INNOVATION UP CLOSE How School Improvement Works
Karya: A. Michael Huberman Mathew B. Miles
Bab 4:
PROSES IMPLEMENTASI
1
bab ini dikaji dan disajikan oleh: Uwes A. Chaeruman. – Zulfani S. – Endang K. - Mustahdi
Pendahuluan Makalah ini membahas hasil penelitian yang dilakukan Huberman dan Miles tentang bagaimana proses suatu adopsi inovasi di sekolah terjadi. Hal pertama yang dibahas dalam makalah ini adalah motif atau alasan yang mendasari mengapa guru (user) dan tenaga administrasi mengadopsi suatu inovasi. Hal lain yang dibahas adalah hubungan adopsi inovasi dengan sikap (attitude) dan rentang waktu adopsi inovasi (adoption timelines). Kedua, Huberman dan Miles menyoroti faktor lain yang mempengaruhi adopsi inivasi pendidikan yaitu pandangan terhadap inovasi. Dalam hal ini adalah bagaimana persepsi dan penilaian awal guru dan administrator terhadap inovasi mempengaruhi adopsi inovasi itu sendiri. Ketiga, Huberman dan Miles membahas tentang implementasi awal yang meliputi 1) upaya guru dan administrator menguasai inovasi; 2) perasaan dan kepedulian (concern) guru dan administrator pada awal penggunaan; 3) pengalaman awal dan kesiapan guru dan administrator; serta 4) hal-hal lain yang mempengaruhi implementasi awal. Keempat, pada masa implementasi awal diperlukan asistensi. Oleh karena itu, Huberman dan Miles membahas tentang peran asistensi serta bentuk-bentuk asistensi yang diperlukan. Bagian akhir, Huberman dan Miles menjelaskan proses implementasi akhir yang dipengaruhi oleh tingkat kemahiran mempraktekkan, tingkat kepedulian, dan stabilisasi atau kontinyuasi.
1
Huberman, Michael A; and Miles, B. Mathew, “Innovation Up Close: How School Improvement Works”, (New York and London: Plenum Press) halaman 43 – 132.
halaman | 1
Motif: Alasan Mengadopsi Inovasi Huberman dan Miles membahas alasan utama mengapa guru dan administrator mengadopsi inovasi pendidikan. Dalam hal ini dibahas motif secara umum, hubungan motif dengan pengembangan karir dan kaitan motif dengan sikap. Motif Umum Berdasarkan hasil penelitiannya Huberman dan Miles mengidentifikasi beberapa hal yang melandasi guru dan administrator mengadopsi inovasi pendidikan. Motif tersebut digambarkan seperti dalam table berikut: Tabel Alasan Adopsi Inovasi (N = 56) Alasan/Motif Jumlah Respondent yang Menyebutkan Tekanan/paksaan administrative 35 Meningkatkan praktek pembelajaran (memiliki 16 keunggulan relative, cara baru) Memiliki nilai kebaruan, tantangan baru 10 Pengaruh sosial (sejawat) 9 Peluang untuk membuat suatu proyek 5 Pegembangan profesi 5 Memberikan kondisi kerja yang lebih baik 3 Memecahkan masalah 2 Memberikan uang tambahan 1 Total 86
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi adopsi inovasi adalah unsur paksaan (otoriter). Faktor kedua adalah apakah inovasi tersebut merupakan cara baru atau hal baru yang dapat meningkatkan praktek pembelajaran atau tidak. Ketika, memiliki nilai kebaruan dan tantangan baru, ditunjang oleh pengaruh sosial yaitu opini teman sejawat atau hasil observasi terhadap teman sejawat. Hal yang sedikit aga berbeda adalah kemampuan memcahkan masalah tidak menjadi alasan utam. Dalam bukunya, Huberman menjelaskan bahwa kebanyakan peserta menyatakan tidak ada inovasi yang dapat meemcahkan masalah kronis, tapi jika meningkatkan praktek pembelajaran, YA. Sementara, jika motif tersebut dibandingkan antara guru dan administrator, maka ada beberapa motif/alasan utama yang berbeda dalam mengadopsi suatu inovasi. Bagi administrator empat besar motif utama menerima inovasi dalah karena inovasi tersebut: 1) memberikan potensi meningkatkan proses pembelajaran (51%); 2) meningkatkan kapasitas sekolah (24%); 3) dapat memecahkan masalah (17%); dan 4) memberikan akses untuk mendapatkan dana (15%). Sementara bagi guru, tiga besar motif utama mengadopsi inovasi halaman | 2
adalah karena inovasi tersebut: 1) dipaksakan digunakan atas perintah administrator (62%); 2) meningkatkan proses pembelajaran (29%); 3) memiliki nilai kebaruan dan menantang; serta 4) pengaruh sosial (pengaruh sejawat). Secara keseluruhan, dapat dilihat pada table berikut: Tabel Perbandingan Motif Adopsi Inovasi antara Administrator dan Guru Motif/Alasan Administrator (N=41) Guru (N=56) Meningkatkan proses pembelajaran 21 (51%) 16 (29%) Meningkatkan kapasitas sekolah 10 (24%) Memcahkan masalah pembelajaran 7 (17%) 2 (4%) Akses terhadap dana 6 (15%) 1 (2%) Meningkatkan kapasitas guru 4 (10%) 5 (9%) Paksaan administrative 4 (10%) 35 (62%) Membantu mencapai tujuan (idealis) 3 (7%) Meningkatkan citra professional diri sendiri 3 (7%) Memenuhi kebutuhan eksternal 2 (5%) Meningkatkan kekuasaan/kewenangan diri sendiri 2 (5%) Memiliki nilai kebaruan dan tantangan 1 (2%) 10 (19%) Meningkatkan skor prestasi sekolah 1 (2%) Pengaruh social ( teman sejawat) 1 (2%) 9 (16%) Politik yang baik 1 (2%) Peluang untuk membuat proyek 5 (9%) Memperbaiki kondise kerja lebih baik 3 (5%) Sebagai bahan diskusi, bagaimana kalau data tersebut kita asosiasikan dengan inovasi pendidikan yang sedang hangat di Indonesia, yaitu Sertifikasi Guru? Apakah data hasil penelitian tersebut relevan dengan konteks Sertifikasi Guru di Indonesia? Motif dan Relevansinya dengan Karir Dari hasil penelitiannya, Huberman dan Miles melihat tada hubungan antara adopsi inovasi dengan pengembangan karir. Dengan kata lain, karir menjadi insentif guru dan administrator untuk mengadopsi inovasi pendidikan. Dalam hal ini, 41% guru dan 52% administrator menyatakan adopsi inovasi karena berpengaruh terhadap kejelasan karir. Motif lain bagi guru adalah karena ada kemungkinan peningkatan rotasi atau promosi karir tapi masih dalam satu wilayah (11%) dan karena berpengaruh terhadap promosi (7%). Sedangkan bagi administrator, sama seperti guru yaitu karena ada kemungikanan peningkatan promosi tapi dalam satu wilayah (17%) dan karena berpotensi untuk tetap pada jabatan semula dan tidak dipindah (15%). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:
halaman | 3
Tabel Perbandingan Hubungan Motif Karir terhadap Adopsi Inovasi antara Guru dan Administrator Aspek Motif Karir Guru (N=56) Adminsitrator (N=41) Ada karir yang jelas 23 (41%) 21 (51%) Pindah Dimasukan kembali 2 (4%) Dipindah dari pekerjaan 2 (4% yang tidak enak Tetap Tetap, aman dengan status 4 (75) 6 (15%) pekerjaan sekarang Siap-siap pindah Pindah posisi sebagai 4 (7%) 4 (10%) persiapan promosi Pindah Promosi dalam wilayah 6 (11%) 7 (17%) sama Promosi ke wilayah lain 1 (2%) 1 (2%) Dipindahkan Ke sector swasta 1 (2%) Ke pekerjaan lain selain 3 (5%) 0 mengajar/tenaga administrasi Digantikan orang lain 1 (2%)
Kalau kita kembalikan ke kasus Sertifikasi Guru dalam konteks Indonesia, data hasil penelitian Huberman dan Miles di atas nampaknya sangat relevan. Sikap terhadap Inovasi Hasil penelitian Huberman dan Miles menunjukkan bahwa sikap terhadap inovasi dipengaruhi oleh apakah inovasi terebut sentral terhadap proses pembelajaran sehari-hari atau tidak. Baik guru maupun administrator memiliki sikap yang sama. Semakin sentral inovasi terhadap proses pembelajaran sehari-hari makan semakin disukai inovasi tersebut yang pada akhirnya semakin positif sikap guru dan administrator terhadap inovasi tersebut. Sealiknya, semakin tidak sentral (tidak berpengaruh langsung), semakin tidak disukai dan semakin skeptic sikap guru dan administrator terhadap inovasi tersebut. Kalau kita cermati dengan baik Tabel 7, pada halaman 47, terlihat jelas bahwa ada hubungan antara motif dengan sikap positif awal terhadap inovasi, yaitu apakah guru dan administrator menyukai, netral atau tidak menyukai. Dari tabel tersebut, yang paling berpengaruh terhadap sikap awal untuk menyukai inovasi adalah relevansi terhadap karir, khususnya ketika inovasi tersebut merupakan tiket untuk mendapatkan posisi mengajar full time atau promosi. Hal kedua adalah ketika dapat mengobservasi langsung hasilnya dari teman sejawat ukan karena pendapat atau masukan dari teman sejawat, tapi dari hasil melihat sendiri secara langsung. Jadi, social influence, mempengaruhi sikap awal guru dan administrator, jika mereka melihat langsung (terkesan). Tapi, sikap awal mereka akan netral jika social influence terjadi karena perbincangan atau seseorang membicarakannya saja. Sedangkan sikap awal tidak menyukai halaman | 4
(unpavorable) lebih disebabkan karena tidak ada relevansinya dengan karir. Dari tabel tersebut terlihat bahwa, walaupun memiliki relative advantage yang tinggi dan tingkat sentralitas terhadap pembelajaran sehari-hari tingggi, tapi karena tidak ada relevansinya dengan karir, maka sikap awal guru dan administrator menunjukkan “unfavorable”.
Pandangan terhadap Inovasi: Persepsi dan Penilaian Awal Huberman dan Miles, dari hasil penelitiannya menekankan bahwa pandangan awal terhadap inovasi mempengaruhi adopsi inovasi tersebut. Yang dimaksud dengan pandangan awal adalah persepsi dan penilaian awal terhadap inovasi tersebut. Beberapa faktor yang sebaiknya dipertimbangkan dalam proses implementasi inovasi pada tahap awal ketika inovasi tersebut diusulkan untuk diadopsi adalah sebagai berikut: 1. Persepsi dan Penilaian terhadap Ukuran Awal (Initial Size-Up), yaitu sejauh mana guru dan administrator mempersepsi dan menilai: Tingkat kerumitan inovasi: sederhana (simple) atau rumit (complex) Tingkat kejelasan: jelas (clear) atau tidak jelas (unclear) Tingkat kemudahan melakukan: mudah dilakukan (easy to do) atau sulit dilakukan (hard to do) Tingkat keluwesan: luwes (flexible) atau kaku/sudah ada pekmnya (prescriptive) 2. Kecocokan dengan pribadi (goodness of user fit); yaitu apakah inovasi tersebut cocok, sedang, tidak cocok dengan pribadi sendiri. 3. Tingkat kemungkinan merubah kelas (level of anticipated classroom level change); yaitu apakah inovasi tersebut merubah kebiasaan proses belajar tinggi, sedang atau rendah. 4. Tingkat kemungkinan merubah organisasi (level of anticipated organization level change); yaitu apakah inovasi tersebut merubah kebiasaan organisasi/sekolah tinggi, sedang atau rendah. 5. Kecocokan dengan organisasi (goodness of organization fit); apakah inovasi tersebut cocok, sedang, tidak cocok dengan organisasi/sekolah. 6. Variabel kunci lain, yaitu paksaan administrator, kepatuhan lokal, solusi terhadap masalah yang dihadapi, dan lain-lain.
Implementasi Awal Implementasi awal inovasi pendidikan, dalam bahasa sunda bisa dikatakan sebaga tahap “LELENGKAH HALU”, tahap “TERTATIH-TATIH”. Pada masa ini menuntut perubahan pemeblajaran dan pengelolaan sekolah yang berdampak pada timbulnya keraguan, ketidakpercayaan diri, ketidak menentuan dan lain-lain. Hal-hal tersebut perlu diantisipasi agar implementasi inovasi pendidikan dapat berjalan dengan mulus. Apa saja yang terjadi pada tahap tertatih-tatih ini? Memasuki tahap implementasi awal Huberman dan Miles mencoba dari hasil penelitiannya mengidentfikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ketika bulan-bulan pertama suatu inovasi dilaksanakan. Berdasarkan hasil penelitian Huberman dan Miles, hal-hal yang terjadi pada masa halaman | 5
ini adalah upaya penguasaan inovasi, perasaan dan kepedulian selama penggunaan awal terhadap inovasi, pengalaman awal dan komponen kesiapan, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi implementasi awal. Menguasai Inovasi (Mastering the Innovation) Sebelum dibahas lebih jauh, yang penulis maksud dengan menguasai inovasi adalah upaya untuk membuat diri mahir, familiar dan mampu menmgoperasikan/menggunakan/menerapkan inovasi sebagaimana seharusnya. Menguasai inovasi (mastering the innovation) dapat dipandang sebagai proses (process) maupun hasil (accomplishment). Pada tahap menguasai materi, Huberman dan Miles menemukan beberapa kesulitan yang dialami guru dan administrator. Temuan pertama adalah banyaknya tugas-tugas yang harus dilakukan secara simultan pada waktu yang sama. Hal ini memberi dampak pada perasaan “overloaded” dan keluhan baik bagi guru dan admin. Dalam kasus sertifikasi guru atau pelaksanaan BOS sebagai inovasi pendidikan, nampaknya masalah ini jelas terjadi dan dirasakan guru dan administrator. Temuan kedua adalah mereka tidak siap mengantisipasi konsekuensi langsung dari pelaksanaan inovasi tersebut. Sebagai contoh, biasa menangani siswa dengan cara ceramah dan diskusi, harus menyajikan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual yang melibatkan beberapa metode sekaligus (ceramah, simulasi, fishbowl, refleksi) dalam dua jam mata pelajaran. Konsekuensi langsung yang dihadapi, sebelum mengajar, dirumah harus menyiapkan dengan baik rencana pembelajaran, menyiapkan bahan, ketika di kelas harus manata ruang terlebih dahulu, mengelompokkan siswa dan lain-lain. Temuan ketiga adalah redahnya pemahaman (lack of understanding). Artinya guru dan administrator masih remang-remang terhadap apa yang mereka lakukan. Celakanya lagi, jika mereka masih tidak mengerti mengapa harus melakukan ini dan itu. Perasaan dan Kekhawatiran selama Penggunaan Awal Huberman dan Miles mengidentifikasi empat area kepedulian dan kemungkinan perasaan emosional yang akan timbul pada diri guru dan administrator pada saat penggunaan awal. Contoh area kepeduliand an perasaan tersebut adalah sebagai berikut: Area Kepedulian Kemampuan Profesional
Contoh Ekspresi “apakah saya melakukannya dengan benar? Dapatkah saya melakukan …? Cacat inovasi atau gagal “ketika dilaksanakan tidak ketika dalam eksekusi inovasi berjalan sebagaimana mestinya?” “siswa tidak menyukai cara
Perasaan/emosi yang Timbul Kekhawatiran, ketidak mampuan Keraguan, kekecewaan
halaman | 6
Kelemahan lembaga
Stamina
baru ini ..? “saya harus mengorbankan Kekhawatiran waktu …. Intuk melakukan ini” “Saya tidak bisa terus-terusan melakukan ini …” Melelahkan, saya sudah tidak Tertekan, putus asa, kelelahan tahan lagi …
Pengalaman Awal dan Komponen Kesiapan Apakah faktor utama yang memungkinkan segala hal di atas terjadi? Menurut Huberman dan Miles, jawabnya satu, yaitu derajat kesiapan relative (relative degree of preparedness). Artinya, ketika tahap awal inovasi diimplemntasikan tidak dipersiapkan dengan baik, tidak dirancang dengan baik, segala kemungkinan konsekuensi yang terjadi tidak diantisipasi dengan baik. Misal, pelaksanaan inovasi akan menuntut lingkungan kelas dengan segala fasilitas tertentu, tapi ketika dilaksanakan fasilitas dan lingkungan tidak sesuai dengan yang seharusnya. Membutuhkan energy dan waktu tambahan, tapi tidak disiapkan biaya dan insentif lain. Huberman dan Miles, menjelaskan komponen kesiapan yang harus disiapkan dalam implementasi awal inovasi pendidikan, yaitu komitmen, pemahaman (understanding), sumber daya dan bahan (resources and materials), keterampilan dan pelatihan, bantuan berjalan/pelatihan dalam jabatan, membangun tingkat dukungan. Semakin tinggi atau semakin kuat dukungan variable di atas maka semakin tinggi tingkat kesiapan implementasi awal, sehingga semakin tinggi kemungkinan suatu inovasi dapat diimplementasikan. Faktor-Faktor lain yang Mempengaruhi Implementasi Awal Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tahap implementasi awal menurut Huberman dan Miles adalah sebagai berikut: Derajat kesukarelawan pengguna; semakin sukarela atau semakin terpaksa? Semakin sukarela semakin tinggi kemungkinan implementasi inovasi dapat dilaksanakan sejak awal. Derajat kesesuaian dengaan kelas atau sekolah; semakin tinggi atau semakin cocok maka semakin tinggi kemungkinana implementasi inovasi dapat dilaksanakan sejak awal. Derajat actual perubahan dalam praktek; semakin tinggi derajat perubahan dalam praktek, semakin tinggi kemungikanan implemntasi inovasi dapat dilaksnakan sejak awal. Derajat keleluasaan membuat perubahan; semakin tinggi keleluasaan membuat perubahan semakin tinggi kemungkinan implementasi inovasi dapat dilaksanakan sejak awal. Derajat besaran dan lingkup inovasi; semakin sempitlingkup inovasi semakin tinggi kemungkinan implementasi inovasi dapat dilaksanakan sejak awal. halaman | 7
Huberman dan Miles menjelaskan bahwa hanya 3 lokasi dari 12 lokasi yang mereka teliti yang dapat melaksanakan inovasi pada tahap awal dengan baik. Faktor yang menyebabkan 9 lokasi lain mengalami kesulitan adalah, hal-hal seperti tersebut di atas.
Peran Asistensi Asistensi berpengaruh besar terhadap implementasi inovasi. Huberman dan Miles menjelaskan derajat pemberian asistensi dan beberapa contoh bentuk-bentuk asistensi yang diberikan dalam konteks inovasi pendidikan yang mereka teliti. Derajat pemberian asistensi dapat digambarkan sebagai berikut: Implementasi awal S. berat s. tinggi tinggi Tingkat Asistensi
1
berat
Stabilisasi Praktek
sedang
lancar
S. rendah rendah sedang
A
1 2
3
4
sedang Agak rendah rendah
6
C 4
tinggi
5
7
C
B 8
5
A 2
3 6
7
B
8
Berdasarkan diagram di atas dapat dilihat bahwa:
pada kondisi tahap implementasi awal: Pada lokasi 1, 2 dan 3 cluster A; semakin berat tingkat/level mplementasi awal semakin tinggi tingkat asistensi yang diberikan, sehingga dalam prakteknya implementasi awal berjalan dengan baik. Pada lokasi 6, 7 dan 8 clister B, tingkat asistensi yang diberikan rendah sampai agak rendah, karena tingkat implementasi awal cukup lancer. Sedangkan pada cluster C, lokasi 4 dan 5, asistensi yang diberikan rendah padahal tahap implementasi awal cukup berat. Hasilnya, tahap implementasi awal tidak berjalan dengan baik. Pada kondisi tahap stabilisasi praktek (pelaksanaan): o Pada lokasi 1, 2, 3 dan 4, berada pada tingkat stabilisasi praktek rendah, sedang dan tinggi dengan tingkat bantuan asistensi yang tinggi. Kecenderungan stabliisasi pelaksanan dilaporkan cukup tinggi. o Pada cluster C, lokasi 5, berada dalam tingkat stabilisasi praktek yang rendah, seharusnya mendapatkan tingkat asistensi yang tinggi, tapi kenyataannya tidak emndapatkan asistensi yang kuat, yang pada akhirnya tahap stabilisasi implementasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
halaman | 8
o Cluster C, lokasi 6,7 dan 8, tidak mendapatkan asistensi yang kuat, karena kebetulan tingkat stabilisasi prakteknya cukup tinggi/baik. Hasilnya dilaporkan berjalan dengan baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa: semakin berat tahap implementasi awal semakin tinggi tingkat asistensi seharusnya diberikan. semakin rendah stabilisasi praktek pada tahap implementasi, semakin tinggi tingkat asistensi seharusnya diberikan. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana bentuk-bentuk asistensi yang dapat diberikan? Huberman dan Miles mengklasifikasikannya kedalam beberapa kategori bentuk asistensi sebagai berikut: 1. Control; dimana asister memberikan tekanan, paksaan yang ditujukan agar pengguna melakukan. 2. Training; asister secara eksplisit memberikan informasi, melatih keterampilan dengan cara yang terstruktur. 3. Solution giving; dimana asister memberikan jawaban, masukan, saran, solusi, terhadap permaslahan yang dihadapi pengguna. 4. Resource adding; asister memberikan bahan, uang, waktu dan sumber daya lain yang diperlukan. 5. Advocacy; asister secara aktif menunjukkan semangat, minat, keberhasilan pengguna kepada pengguna lain dengan berbagai cara. 6. Facilitation; asister membantu pengguna agar mencapai tujuan. Bahu membahu membantu penuh. 7. Inquiring; asister mengumpulkan data dari pengguna terhadap pelaksanaan yang dilakukan dan memberikan umpan balik. Asister melakukan semacam evaluasi formatif. 8. Support; asister memberikan dorongan, semangat, reinforcement, bahkan dukungan emosi kepada pengguna.
Implementasi Selanjutnya Setelah implementasi awal dan adanya bantuan asistensi, maka langkah selanjutnya memasuki tahap implementasi akhir (later implementation). Huberman menjelaskan bebrapa yang terjadi pada tahap ini, yaitu: 1) perasaan utama; 2) tingkat pemahaman akan praktek; 3) katalog bagian-bagian mana yang telah dikuasai dan bagian-bagian mana yang belum dikuasai; 4) tugastugas dan aktifitas yang sedang dilakukan; dan 5) permasalahan-permasalahan dan kekhawatiran yang masih tertinggal. Perasaan Utama Pada tahap ini, pengguna (guru dan administrator) mengalami beberapa perasaan sebagai berikut:
halaman | 9
Merasa nyaman; perasaan ini muncul sebagai akibat penguasaan atau kemahiran dalam menerapkan inovasi secara teknis. Dengan kata lain, “merasa dapat melakukan dengan lebih baik.” Merasa percaya; perasaan ini muncul sebagai akibat mereka merasakan sendiri keberhasilannya dalam menerapkan inovasi secara lebih konsisten. Merasa dalam kendali diri; perasan ini muncul sebagai akibat perasaan percaya diri dan dapat menguasai penuh dengan caranya sendiri. Merasa berguna dan dihargai; perasaan ini muncul sebagai akibat adanya perubahan (dampak positif) dari apa yang dilakukan terhadap siswa atau sekolah.
Pemahaman Huberman dan Miles tidak mendapatkan bukti yang cukup mengenai hal ini. Apakah pengguna (guru dan administrator) memahami betul apa inovasi tersebut, mengapa inovasi tersebut harus dilakukan, dan bagaimana membuat inovasi tersebut berhasil diimplementasikan? Tidak ada bukti yang kuat. Bahkan sampai pertengahan tahun kedua tidak ada informasi yang menunjukkan pemahaman yang signifikan terhadap inovasi yang diimplementasikan. Bagian-bagian yang Siap dan Bagian-bagian yang Belum Siap Temuan penelitian Huberman dan Miles menunjukkan bahwa bahkan sampai 18 bulan pelaksanaan masih banyak beberapa komponen yang belum secara mahir dikuasai, khususnya untuk kasus-kasus yang lebih kompleks. Semakin kompleks, semakin banyak bagian-bagian dari inovasi yang membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat dikuasai secara mahir penuh. Bahkan, temuan penelitian menunjukkan bahwa pengguna baru dapat menguasai penuh pada akhir tahun kedua. Itupun dapat dikatakan bahwa pelaksanaan inovasi sudah cukup baik tapi masih memerlukan penyempurnaan. Tugas dan Aktifitas Utama Tugas dan aktifitas utama yang sebaiknya dilakukan pada tahap implementasi akhir ini, menurut Huberman dn Miles adalah sebagai berikut: 1. Reaching Up. Yaitu pengguna menghabiskan lebih banyak waktu untuk menguasai hal-hal yang lebih kompleks dan lebih sulit. 2. Improving and debugging; aktifitas ini secara langsung difokuskan terhadap kelemahankelemahan program inovasi. Dapat dikatakan sebagai mencari celah kelemahan (debugging) dan memperbaikinya. 3. Refining. aktifitas ini dapat dikatakan sebagai upaya rutinisasi penerapan inovasi sambil menyempurnakan. 4. Integrating. Aktifitas user yang mulai mencoba menggabungkan atau memadukan inovasi baru dengan sistem sekolah yang telah ada.
halaman | 10
5. Adapting. Inovasi yang diimplementasikan bukan berarti sesuatu yang kaku. Tapi, dalam tahap ini, pengguna mencoba menyesuaikan inovasi sesuai dengan kebutuhan. Kalau dalam konsep Rogers, dapat dikatakan sebagai “reinvention”. 6. Extending. Aktifitas memperluas penerapan inovasi. Permasalahan dan Pertimbangan Lanjutan Selanjutnya, Huberman dan Miles mengidentifikasi beberapa permasalahan dan pertimbanganpertimbangan lanjutan yang harus diperhatikan, yaitu:
Pertimbangan terkait efisiensi pengelolaan/manajemen, yang meliputi pengorganisasian, pengelolaan, penjadwalan dan lain-lain. Pertimbangan terkait dampak atau konsekuensi, yaitu upaya untuk meningkatkan outcome dan membuat perubahan untuk meningkatkannya. Pertimbangan terkait kolaborasi dengan yang lain terkait dengan implementasi inovasi. Pertimbangan terkait dengan memfokuskan ulang dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi, alternative-alternatif yang mungkin dan lain-lain.
Disamping itu, ada permsalahan dan pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan pad tahap implementasi akhir ini, seperti yang digambarkan dalam tabel berikut: Jenis Permasalahan/Pertimbangan Pertimbangan Individu Masalah hubungan – friksi antar staf program Masalah motivasi (frustasi, tertekan, terpaksa, berat) Stamina (kelelahan, tuntutan yang berlebih dari program) Pertimbangan Lembaga: Rendahnya reward terhadap program level pusat maupun lokal Lemahnya fungsi secara keseluruhan Resistensi, rendahnya dukungan dari staf Kekhawatiran apaka program akan berjalan dengan baik atau tidak Kesinmabungan di tahun-tahun setelahnya
Terjadi di (N = 12) Banestown. Perry-Parkdale, Calston, Lido, Massepa, Hollow, Proville, Tindale, Masepa, Carson, Plummet
Dun
Lido, Plummet Perry-Parkdale, Dun Hollow, Provile Banestown, Perry-Parkdale. Carson Banestown Banestown, Calston. Lido, PerryParkdale, Plummet
Referensi: Seluruhnya diambil dari: Huberman, Michael A; and Miles, B. Mathew, “Innovation Up Close: How School Improvement Works”, (New York and London: Plenum Press) halaman 43 – 132.
halaman | 11