Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 RESPON DAN APRESIASI PETANI TERHADAP MODEL PERCEPATAN ADOPSI TEKNOLOGI PTT PADI SAWAH LAHAN SUB OPTIMAL KABUPATEN SAROLNGUN JAMBI
Suharyon, dan Busyra Buyung Saidi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jln.Samarinda Paal lima Kota Baru Jambi *) Corresponding author :
[email protected] ABSTRACT Approach Integrated Crop Management (ICM) lowland rice in Jambi underway since 2008, and has been accommodated into one of five Jambi Province Development Priority Program 2010 - 2015. The assessment aims to determine the factors that have influenced the acceleration of technological innovation adoption PTT paddy in Sarolangun. The assessment was done in ivory Aur gading, subdistrict Sarolangun, involving 90 participants PTT paddy farmers to determine the respondents selected randomly. To analyze the factors thought to influence the acceleration of technological innovation adoption PTT paddy, performed by multiple linear regression analysis Medium adoption as the dependent variable (the dependent variable) associated with factors that predicted effect as independent variables. In general, farmers who have knowledge of the components of PTT technology paddy range 76-91% with the average of 84.9%. This means that there are still 11% of respondents who need to be given the knowledge of PTT paddy in Sarolangun this. From a number of farmers who have the knowledge, it is also not entirely apply (adopt) technology already known. In general, approximately 3,99 %. From the description of the respondents in the study revealed the location of the application constraints paddy PTT technology, among others: VUB rice seeds are recommended not available anywhere, not on time, farmers feel less receptive to information technology, VUB seed prices in the market are relatively expensive, labor shortages , and the difficulty of predicting floods because of the uncertain climate. Key words: Acceleration, Adoption, Farmers, PTT, VUB, Rice.
ABSTRAK Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah di Jambi berlangsung sejak 2008, dan telah diakomodasi menjadi salah satu dari lima Program Prioritas Pembangunan Provinsi Jambi 2010 – 2015. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui respon dan apresiasi petani terhadap model percepatan adopsi teknologi PTT padi sawah sub optimal di Kabupaten Sarolangun. Pengkajian dilakukan di tiga kecamatan (Sarolangun, Pelawan, Air Hitam) meliputi 9 desa contoh melibatkan 90 orang petani peserta PTT padi sawah penentuan responden dipilih secara acak sederhana. Untuk mengetahui respon dan apresiasi petani yang diduga mempengaruhi percepatan adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah, yang diukur dari persepsi petani 1
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 menggunakan pendekatan Likert. Sedang adopsi sebagai peubah tergantung (dependent variable). Secara umum petani yang memiliki pengetahuan terhadap komponenkomponen teknologi PTT padi sawah berkisar 76 – 91 % dengan rataan 84,9 %. Artinya masih ada 11 % responden yang perlu diberikan pengetahuan tentang PTT padi sawah di Kabupaten Sarolangun ini. Dari sejumlah petani yang memiliki pengetahuan itu, ternyata juga tidak seluruhnya menerapkan (merespon) teknologi yang sudah diketahuinya. Secara umum terungkap bahwa respon dan persepsi petani dengan skor 3,99 % terhadap program PTT padi sawah di Kabupaten Sarolangun menunjukkan kecenderungan menyatakan setuju hingga sangat setuju. Dari keterangan responden di lokasi pengkajian terungkap kendala penerapan teknologi PTT padi sawah, antara lain: benih padi VUB yang dianjurkan tidak tersedia di tempat, tidak tepat waktu, petani merasa kurang menerima informasi teknologi, harga benih VUB padi di pasar relatif mahal, kekurangan tenaga kerja, dan sulitnya memprediksi banjir karena faktor iklim yang tidak menentu. Kata kunci: Respon dan apresiasi, Petani, Percepatan, adopsi, PTT, VUB, Padi sawah.
PENDAHULUAN Usahatani padi di Jambi merupakan salah satu perwujudan dari Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Daerah Provinsi Jambi untuk mendukung Ketahanan Pangan sebagai salah satu dari lima Program Prioritas Pembangunan Provinsi Jambi 2010 – 2015 (Bappeda Provinsi Jambi, 2010 – 2015). Pengembangan usahatani padi di Jambi didukung areal sawah sekitar 149 ribu ha tersebar di beberapa wilayah kabupaten. Salah satu wilayah pendukung produksi padi di Jambi adalah Kabupaten Sarolangun. Ditinjau dari capaian produksinya, Jambi menghasilkan sekitar 515 ribu ton GKG.Jika dihubungkan dengan luas tanamnya, maka diketahui produktivitas padi di Jambi adalah 4,3 t/ha. Angka produktivitas padi itu masih relatif rendah jika dibandingkan dengan potensinya yang dapat mencapai 6 – 7 t/ha. Menurut Makarim et.al. (2004), rendahnya produktivitas padi sawah terkait dengan penggunaan varietas. Upaya Pemda Jambi untuk meningkatkan produktivitas padi itu mengacu pada Program Peningkatan Beras Nasional yakni melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) (Balitbangtan, 2011).PTT merupakan suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. 2
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 Dalam tataran operasional, penyelenggaraan PTT Padi menerapkan prinsipprinsip partisipatif, spesifik lokasi, terpadu, sinergis atau serasi dan dinamis.Dalam hal ini petani berperan didorong untuk berperan proaktif menentukan teknologinya sesuai kondisi lingkungan sosial budaya dan ekonomi setempat. Pengelolaan tanaman, tanah dan air dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan keterkaitan antar komponen teknologi yang saling mendukung. Dengan prinsip tersebut, penerapan teknologi selalu disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan Iptek serta kondisi sosial ekonomi setempat. Dengan menerapkan pendekatan PTT padi, diharapkan akan terjadi peningkatan produktivitas padi sekitar 0,5 – 1 t/ha (Balitbangtan 2011). Jika pendekatan PTT di Jambi mampu diadopsi oleh petani pada sekitar 10 persen dari total areal sawahnya, maka akan memberikan sumbangan produksi padi sebesar 55 ribu ton GKG. Inovasi PTT yang diinisiasi Balitbangtan tersebut sudah berjalan semenjak tahun 2008, namun dalam prakteknya masih menghadapi berbagai tantangan dan kendala baik dari aspek teknis maupun sosial ekonomis. Dari pengalaman Mundy (2000) dan Simatupang (2004) serta Hendayana (2006, 2009), terungkap bahwa adopsi teknologi di tingkat petani memerlukan waktu. Kesenjangan antara teknologi yang diintroduksikan dengan teknologi yang dibutuhkan petani dan tidak efektipnya cara penyebaran informasi teknologi (infotek), serta kurangnya pelibatan penyuluh di lapangan merupakan beberapa aspek yang memberikan andil terhadap akselerasi adopsi. Linder, (1982); Sukartawi, (1988); dan Subagiyo, dkk , (2005) mengemukakan bahwa
aspek
jarak
tempat
tinggal
petani
dari
sumber
informasi,
tingkat
pendidikan/pengetahuan petani, motivasi, keterlibatan dalam organisasi, komunikasi interpersonal, tingkat kosmopolitan dan terpaan media masa, kebijakan pemerintah, peran tokoh informal dan tokoh agama, dan sistem sosial dan nilai-nilai/norma juga berpengaruh. Menurut Rogers (1983) dan Fagi (2008) kecepatan adopsi dan difusi inovasi teknologi terkait dengan respon
dan apresiasi petani terhadap sifat- sifat
inovasi inovasi itu sendiri. Faktor yang tak kalah pentingnya adalah faktor lingkungan strategis. Dalam hubungan dengan introduksi inovasi teknologi PTT Padi di Provinsi Jambi, persoalannya adalah: (1) bagaimana respon dan apresiasi petani terhadap teknologi PTT
3
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 padi yang diduga mempengaruhi percepatan adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah di Jambi?. Adapaun tujuan dari pengkaian ini adalah : untuk mengetahui respon dan apresiasi petani terhadap model percepatan adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah yang diduga mempengaruhi percepatan adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah di Kabupaten Sarolangun. Pengkajian dilakukan di tiga kecamatan (Sarolangun, Pelawan, Air Hitam) Provinsi Jambi.
METODE PENELITIAN
Pengkajian dilakukan di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi yang berada sekitar 179 km dari Ibu Kota Jambi ke arah Selatan Tenggara. Perjalanan menuju lokasi ini ditempuh dengan kendaraan roda empat sekitar 3 – 4 jam. Dipilihnya Sarolangun sebagai lokasi pengkajian didasarkan pertimbangan perannya sebagai penghasil padi di Provinsi Jambi. Pengembangan padi tersebar di 10 kecamatan di seluruh wilayah Kabupaten Sarolangun. Salah satu lokasi dipilih menjadi lokasi pengkajian, yakni Desa Aur Gading, Serkam, Sungai Baung (Kecamatan Sarolangun), Desa Lubuk Sayap, Pulau Aro, Penegah (Kecamatan Pelawan), Desa Sungai Jernih, Bukit Suban, Pekan Gedang (Kecamatan Air Hitam). Lokasi tersebut dianggap merepresentasikan kondisi lokasi di Kabupaten Sarolangun yang ditunjukkan oleh aksesibilitasnya dekat ke sumber pertumbuhan dekat-kota, Sumber data dikumpulkan dari responden/petani pelaku usahatani padi peserta PTT. Responden ditentukan secara sengaja secara keseluruhan sebanyak 90 orang. Untuk mengungkap respon dan apresiasi petani yang terkait dengan peluang percepatan adopsi teknologi pendekatannya bisa dilakukan melalui pendekatan analisis korelasi bivariat ataupun peluang petani mengadopsi inovasi teknologi dalam waktu relatif cepat, analisisnya menggunakan pendekatan persamaan fungsi Logit, dengan formula sebagai berikut (Pyndick dan Rubinfield, 1981; Gujarati, 1988):
Untuk memudahkan penyelesaiannya, persamaan (5) tersebut ditransformasikan dalam bentuk logaritma, menjadi:
4
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9
Dalam hal ini: = Peluang petani mengadopsi teknologi( = 1, jika petani mengadopsi teknologi = 0 jika petani tidak mengadopsi teknologi) = Peluang petani tidak mengadopsi teknologi = Rasio Odds (risiko) = vektor peubah bebas (j = 1, 2, ... , n) = vektor peubah dummy (k = 1, 2, ... , m) = parameter-parameter dugaan fungsi logistik galat acak Dalam hal ini: Pi =
Peluang petani mengadopsi teknologi lebih cepat. (Pi = 1, jika petani mengadopsi teknologi kurang dari 1 tahun; Pi = 0 jika petani mengadopsi teknologi lebih dari 1 tahun
1 – Pi
=
Peluang petani mengadopsi teknologi lebih dari 1 tahun
Xj
=
vektor peubah bebas (j = 1, 2, ... , n)
Dk
=
vektor peubah dummy (k = 1, 2, ... , m)
α, βj, dan = γk = ei
parameter-parameter dugaan fungsi logistik galat acak
HASIL Karakteristik Rumah Tangga Aspek umur merupakan salah satu identitas yang dapat dijadikan indikator untuk mengungkapkan posisi seseorang dalam hubungannya dengan produktivitas kerja. Dari sisi umur menurut aturan yang berlaku jika seseorang memiliki umur pada kisaran 1555 tahun dogolongkan sebagai orang produktif jika kurang dari 15 tahun diglongkan belum produktif dan diatas 55 tahun tidak produktif. Data pada Tabel.1 menunjukkan kondisi umur anggota rumah tangga responden terlihat bahwa kondisi umur responden berkisar dari 23 – 30 tahun sebanyak 13.3 persen terdapat dilokasi Kecamatan Air Hitam, Kecamatan Pelawan sebanyak 6.7 persen, Kecamatan Sarolangun sebanyak 6.7 persen atau sebesar 8.9 persen. Dilihat 5
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 pada kisaran umur responden 31 – 40 tahun terdapat di Kecamatan Air Hitam sebanyak 33.3 persen, Kecamatan Pelawan sebanyak 10.0 persen, Kecamatan Sarolangun sebesar 23.3 persen rata-rata sebesar 22.2 persen. Pada kisaran umur responden 41 – 50 persen terdapat di Kecamatan Air Hitam sebanyak 23.3 persen, Kecamatan Pelawan sebanyak 26.7 persen, dan Kecamatan Sarolangu sebesar 33.3 persen dengan jumlah 27.8 persen. Umur responden >50 tahun terdapat di Kecamatan Air Hitam sebanyak 20.0 persen, Kecatan Pelawan sebanyak 43.3 persen, dan Kecamatan Sarolangun sebanyak 20.0 persen dengan jumlah 27.8 persen (Tabel 1). Tabel 1. Umur Responden di Lokasi Pengkajian (dalam persentase) Air Hitam Pelawan Sarolangun Jumlah Umur (n=30 org) (n=30 org) (n=30 org) (n=90 org) 23 - 30 13.3 6.7 6.7 8.9 31 - 40 33.3 10.0 23.3 22.2 41 - 50 23.3 26.7 33.3 27.8 >50 20.0 43.3 20.0 27.8 Jumlah 100 100 100 100 Dalam konteks adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah, konsentrasi umur pada usia produktif tersebut dapat menjadi asset sumberdaya yang akan dapat mendorong pendukung percepatan adopsi teknologi usahatani. Rata-rata umur petani yang menjadi responden di tiga kecamatan kabupaten Sarolangun adalah berkisar antara 41 – 50 tahun, dengan umur petani termuda adalah 23 tahun terdapat di kecamatan air hitam dan kecamatan sarolangun, dan yang tertua berumur 50 tahun. Latar Belakang Pendidikan Formal Secara normatif, diketahui bahwa latar belakang pendidikan formal seseorang mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan. Logikanya semakin tinggi basis pendidikan formal seseorang akan semakin baik nalarnya dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu memahami latar belakang pendidikan formal akan menjelaskan pengambilan keputusan adopsi petani. Diketahui struktur latar belakang basis pendidikan formal responden di dominasi responden yang berpendidikan di bawah 6 tahun, meskipun ada diantaranya yang berpendidikan lebih tinggi. Implikasi dari relatif rendahnya basis pendidikan formal
6
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 responden terkait dengan percepatan adopsi inovasi teknologi adalah perlunya pendampingan. Jadi pendampingan teknologi yang dilakukan selama ini pada intinya adalah memacu kemampuan petani dalam mengambil keputusan terbaik dalam menentukan pilihan teknologi dalam usahatani. Melalui pendampingan teknologi akan dapat mempercepat adopsi teknologi. Pendidikan yang dienyam petani responden hanya sampai tingkat SMP bahkan tidak tepat 9 tahun, rataannya hanya 8 tahun. Pendidikan tersingkat selama 5 tahun, yang artinya tidak sampai lulus SD, dan yang terlama sampai tingkat SMA atau selama 12 tahun. Jumlah Tanggungan Keluarga Tanggungan keluarga dalam kegiatan usahatani dibedakan menurut umur ke dalam dua golongan yaitu umur sekolah (< 15 tahun) dan usia kerja (> 15 tahun). Pengelompokkan tersebut untuk mengetahui secara tegas, apakah anggota keluarga itu menjadi beban atau malah menjadi sumberdaya dalam usahatani kepala rumah tangga. Dari hasil survei diketahui terdapat sekitar 20 % rumah tangga responden tidak memiliki asset tenaga keluarga. Selebihnya (80 %) responden memiliki asset tenaga keluarga yang jumlahnya berkisar satu hingga 6 orang, dengan mayoritas 1 – 2 orang per rumah tangga. Kondisi tersebut mencerminkan adanya kemampuan responden dalam mendukung kegiatan usahatani. Dalam konteks adopsi teknologi, dukungan ketersediaan tenaga kerja memberi andil yang besar. Berdasarkan hasil wawancara, terlihat bahwa secara rata-rata, responden memiliki tanggungan keluarga yang berumur di bawah 15 tahun, tetapi secara individu ada tujuh orang yang memiliki tanggungan tersebut dengan jumlah maksimum tanggungan dua orang. Sedangkan tanggungan keluarga yang berumur di atas 15 tahun secara rata-rata ada 1 orang, namun jumlah maksimum tanggungan di batas usia ini adalah 3 orang. Diantara 15 responden ada juga yang tidak memiliki tanggungan sama sekali, hal ini karena yang bersangkutan masih berstatus single atau belum menikah dan tinggal bersama keluarga yang semuanya bekerja
7
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 Aksesibilitas Usahatani Di lihat dari sisi jaraknya dari rumah ke lokasi usahatani, secara keseluruhan menunjukkan kondisi yang kondusif karena relatif dekat yaitu kurang dari 12 km. Disamping itu dari pemukiman ke lokasi usahatani dihubungkan jalan usaha tani yang dibeberapa tempat merupakan jalan batu yang di perkeras dan bisa dilalui kendaraan roda dua dan roda empat. Dalam kontek adopsi inovasi teknologi, jarak lokasi pemukiman ke lokasi usahatani ada hubungannya dengan kemudahan control. Dengan jarak yang dekat ke lokasi usahatani, maka peluang petani untuk mengadopsi inovasi teknologi relatif dekat (Tabel 2.). Tabel 2. Jarak Tempuh dari Lokasi Usaha Tani ke Pemukiman Responden di Lokasi Pengkajian (dalam persentase Jarak Tempuh (km)
Air Hitam (n=30 org)
Pelawan (n=30 org)
Sarolangun (n=30 org)
Jumlah (n=90 org)
<1 1,1 – 5,0 5,1 – 10,0 10,1 - 50 >50 Jumlah
75 21,43 3,57 0 0 100
70 23,34 3,33 0 3,33 100
74,07 25,93 0 0 0 100
73,02 23,57 2,3 0 1,11 100
Ditinjau dari jarak lokasi usahatani ke jalan raya secara umum juga menunjukkan kondisi yang cukup kondusif. Jarak dari lokasi usahatani ke jalan raya keragamannya berkisar kurang dari 1 km hingga paling jauh sekitar 5 km. Kondisi demikian mendukung pengangkutan hasil usahatani yang mudah, disamping itu biaya pengangkutan hasil dari lokasi usahatani ke tempat pengangkutan lebih lanjut juga murah. Efisiensi biaya dapat ditekan dari biaya transportasi seperti pada Tabel 2. Indikator aksesibilitas lainnya yang terkait dengan persoalan adopsi inovasi teknologi ditunjukkan oleh jarak lokasi usahatani (pemukiman) ke sumber teknologi dan permodalan. Dalam hal sumber teknologi yang dimaksud dalam bahasan ini tidak saja institusi yang menghasilkan teknologi seperti misalnya Balai Pengkajian teknologi Pertanian (BPTP) akan tetapi bisa juga sebagai sumber informasi teknologi yang dalam hal ini dikenal petani yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) (Tabel 3). 8
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 Tabel 3. Jarak Tempuh dari Lokasi Usaha Tani Responden ke BPTP di Lokasi Pengkajian (dalam persentase) Jarak Tempuh (km)
Air Hitam (n=30 org)
Pelawan (n=30 org)
Sarolangun (n=30 org)
Jumlah (n=90 org)
0 – 75 76 – 150 151 – 220 221 - 300 Jumlah
0 0 95,45 4,55 100
0 0 83,33 16,67 100
8,33 0 91,67 0 100
2,78 0 90,15 7,07 100
Pengalaman Berusahatani Responden di Lokasi Pengkajian Pengalaman berusaha tani menunjukkan periode waktu seseorang responden telah menggeluti pekerjaannya dalam usahatani. Tabel 4 menunjukkan keragaman pengalaman petani, mulai 0 tahun hingga 50 tahun. Pengalaman berusahatani ini sejalan umur, artinya semakin tua seseorang semakin banyak pengalamannya. Dalam konteks adopsi teknologi, informasi pengalaman dapat menjelaskan tingkat keeretan hubungan antara pengalaman seseorang dengan percepatan adopsi teknologi.Dari 30 responden per kecamatan, terlihat perbedaan dalam hal pengalaman berusahatani padi sawah. Hal ini karena rentang usia yang juga cukup berbeda seperti yang telah disebutkan di atas. Pengalaman paling singkat adalah < 5 tahun, dan yang paling lama adalah > 30 tahun. Secara rata-rata, pengalaman berusahatani padi sawah di kalangan responden di tiga kecamatan di kabupaten sarolangun adalah 8,9 tahun (Tabel 4.). Tabel 4. Pengalaman Berusahatani Responden di Lokasi Pengkajian (dalam persentase) Air Hitam Pelawan Sarolangun Jumlah Pengalaman (th) (n=30 org) (n=30 org) (n=30 org) (n=90 org) < 5 20.0 13.3 13.3 15.6 6 – 10 50.0 40.0 30.0 40.0 11 – 20 20.0 33.3 16.7 23.3 21 – 30 3.3 6.7 26.7 12.2 >30 6.7 6.7 13.3 8.9 Jumlah 100 100 100 100
Respon dan Apresiasi Petani Terhadap Teknologi PTT Padi Sawah
9
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 Respon dan apresiasi petani terhadap teknologi dan informasi PTT padi sawah di Kabupaten Sarolangun, yang diukur dari persepsi petani menggunakan pendekatan Likert, hasilnya dapat dilihat pada table 5 di bawah ini. Tabel 5. Skor Persepsi Petani Terhadap Komponen Teknologi pada Pendekatan PTT Padi sawah di Lokasi Pengkajian Skor No Komponen Teknologi SS S R KS TS Total 5 4 3 2 1 1 Penggunaan VUB 3,000 1,600 0,000 0,000 0,000 4,600 2 Bibit bermutu dan sehat 3,389 0,978 0,000 0,000 0,000 4,367 3 Cara tanam jajar Legowo 2,444 1,511 0,033 0,089 0,000 4,078 4 Pemupukan Berimbang 1,167 2,711 0,000 0,000 0,000 3,878 5 PHT sesuai OPT 1,444 2,489 0,067 0,000 0,000 4,000 6 Bahan organik 1,611 2,044 0,033 0,000 0,000 3,689 7 Umur bibit 1,889 2,044 0,000 0,000 0,000 3,933 8 Pengolahan tanah yang baik 1,389 2,533 0,000 0,000 0,000 3,922 9 Pengelolaan air optimal 1,500 2,089 0,000 0,044 0,000 3,633 10 pupuk cair 1,611 2,267 0,000 0,000 0,000 3,878 penanganan panen dan pasca 1,944 2,000 0,000 0,000 0,000 3,944 11 panen RATAAN 1,944 2,024 0,012 0,012 0,000 3,993 Keterangan : SS=sangat setuju. S=setuju. KS=kurang setuju. TS= tidak setuju Dari sebelas komponen teknologi diatas terlihat, secara umum terungkap bahwa persepsi petani (skor 3,993) terhadap program PTT padi sawah di Kabupaten Sarolangun menunjukkan kecenderungan menyatakan setuju hingga sangat setuju.
PEMBAHASAN Respon dan Apresiasi Petani Terhadap Model Percepatan Adopsi Teknologi PTT Padi Sawah. Respon dan apresiasi petani terhadap model percepatan adopsi teknologi PTT padi sawah telah menjadi perhatian Badan Litbang Pertanian , ditandai adanya penyelenggaraan program SL-PTT dengan inovasi teknologi PTT sebagai langkah terobosan dalam mempercepat adopsi teknologi pertanian. Melalui program itu telah banyak inovasi yang dikembangkan dan diadopsi oleh petani.. Namun kecepatan pemanfaatan inovasi tersebut cenderung melambat (Simatupang, 2005). Salah satu faktor penyebab lambatnya pemanfaatan inovasi teknologi adalah tidak efektipnya cara penyebaran informasi teknologi (infotek), serta kurangnya pelibatan penyuluh 10
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 dilapangan. Faktor lain dikemukakan Subagiyo, dkk (2005) adalah aspek tempat jarak tinggal petani dari sumber informasi,tingkat pendidikan, dan komunikasi internal. Perilaku petani dalam mengadopsi teknologi pada kasus penerapan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) tanaman pangan (padi), belum semua responden memiliki pengetahuan terhadap informasi komponen teknologi. Secara umum petani yang memiliki pengetahuan terhadap komponen-komponen teknologi PTT padi berkisar 7691 persen dengan rataan 84,9 persen. Artinya masih ada 11 persen petani yang perlu diberikan pengetahuan tentang PTT padi sawah di Kabupaten Sarolangun. Senjang adopsi teknologi pada tanaman padi kisarannya berlangsung selama 8 hingga 12 bulan, dan untuk teknologi tertentu ada yang mencapai 36 bulan (3 tahun). Teknologi pertanian yang dijadikan acuan oleh petani tidak sepenuhnya bersumber dari BPTP, tetapi juga dari sumber lain yaitu dari Dinas Teknis Lingkup Pertanian, penyuluh BPP, Bakorluh, dan sesama petani. Hendayana (2006) mengidentifikasi faktor kesenjangan antara teknologi yang diintroduksikan dengan teknologi yang dibutuhkan petani dan tidak efektipnya cara penyebaran informasi teknologi (infotek), serta kurangnya pelibatan penyuluh di lapangan merupakan beberapa aspek yang memberikan andil terhadap akselerasi adopsi. Faktor lainnya dikemukakan Subagiyo, dkk , (2005) adalah aspek jarak tempat tinggal petani dari sumber informasi, tingkat pendidikan/pengetahuan petani, motivasi, keterlibatan dalam organisasi, komunikasi interpersonal, tingkat kosmopolitan dan terpaan media masa, kebijakan pemerintah, peran tokoh informal dan tokoh agama, dan sistem sosial dan nilai-nilai/norma juga berpengaruh. Rogers (1983) mengemukakan kecepatan adopsi dan difusi inovasi teknologi terkait dengan persepsi petani terhadap sifat- sifat inovasi inovasi itu sendiri. Faktor yang tak kalah pentingnya adalah faktor lingkungan strategis (Fagi, 2008). KESIMPULAN DAN SARAN 1. Respon dan apresiasi petani terhadap model percepatan adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah secara umum terungkap bahwa persepsi petani menunjukkan kecenderungan menyatakan setuju hingga sangat setuju dengan skor sebanyak 3,993 persen. 2. Secara rata-rata, pengalaman berusahatani padi sawah di kalangan responden di tiga kecamatan di kabupaten sarolangun adalah 8,9 tahun. 11
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 3. Perilaku adopter dalam mengadopsi teknologi pada kasus penerapan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) tanaman pangan (padi, Secara umum petani yang memiliki pengetahuan terhadap komponen-komponen teknologi PTT padi sawah berkisar 76 – 91 % dengan rataan 84,9 %. Artinya masih ada 11 % responden yang perlu diberikan pengetahuan tentang PTT padi sawah di Kabupaten Sarolangun ini. Saran 1. Meningkatkan fasilitasi penyediaan materi informasi yang memenuhi kualifikasi muatan materi yang dibutuhkan petani dengan jumlah yang memadai sehingga dapat memperluas jaringan distribusi infotek. 2. Meningkatkan intensitas pendampingan kepada petani sebagai kompensasi untuk mendekatkan sumber teknologi dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan usahatani yang lebih produktif.
DAFTAR PUSTAKA Baldwin, John R and Mohammed Rafiquzzaman. 1998. The Determinant of The Adoption Lag for Advanced Manufacturing Technologies. Management of Technology, Sustainable Development and Eco-Efficiency. Elsevier Science Ltd, UK Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2012. Jambi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi Kerjasama Sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jambi. Damandiri, 2008. Pengertian Model. http://www.damandiri.or.id/file/ abdwahidchairulahunairbab2.pdf Fatkhul Maskur. 2014. Kabupaten Sarolangun Defisit Beras 7.000 Ton/Tahun. http://news.bisnis.com/read/20140114/78/197095/kabupaten-sarolangun-defisitberas-7.000-tontahun Gujarati. 1998. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta Hanafi, A., 1981. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya Press. Hendayana, R., Wayan Sudana, A.Rafiq, Zakiah dan Harmi Andryanita. 2010. Strategi Percepatan Adopsi Varietas Padi UnggulDi Agroekosistem Lahan Pasang Surut dan LebakKasus Di Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Tengah. Makalah dipresentasikan di Graha Widya Bhakti - Puspitek Serpong, Tangerang, 29 Desember 2010 Kenneth F.G Masuki, 2009. Determinants of Farm-level Adoption of Water Systems Innovations in Dryland Areas: The Case of Makanya Watershed in Pangani River Basin, Tanzania 12
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN 979-587-580-9 Linder, Pardey, dan Jarrett, 1982. Distance To Information Source And The Time Lag Early Adoption Of Trace Element Fertilizer. Working Paper 82-2. Departement Of Economics University Of Adelaide Mundy, P., 2000. Adopsi dan Adapasi Teknologi Baru. PAATP. Bogor Pindyck, R.S. And D.I. Rubinfeld. 1981. Econometric Models and Economic Forcast.3rd Edition. Mc Graw-Hill International Editions. Singapore Rogers,E. M., 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition, The Free Press, New York. Sukartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UIP Pres Subagiyo, 2005. Kajian Faktor-faktor Sosial yang berpengaruh terhadap Adopsi Inovasi Usaha Perikanan Laut di Desa Pantai Selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 8 No 2. Pusat Penelitian dan Penembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Simatupang, P., 2005. Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis Industrial. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
13