Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Manajemen Pengelolaan Lahan Rawa Gambut di Sumatera Selatan untuk Mencegah Kebakaran dan Kabut Asap dengan Pendekatan Social Entropy Controling Interface (SECI) Peat Swamp Land Management In South Sumatra To Prevent Fire Smoke And Fog By Using Social Entropy Controlling Interface (SECI) 1
Maryadi1*) Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya *) Corresponding author:
[email protected] ABSTRACT
South Sumatra province has an area of 87.017 km2 which spread over in several areas ranging from the eastern district part of the Musi Rawas, MUBA, OKI, Muaraenim, and Banyuasin. Most of the swamp land, approximately 1.42 million ha, is peat lands (Zulfikar, 2006). Currently, the peat swamp forest is one of the types of wetlands are the most threatened by pressure from various human activities (Lopez, 2006). Long drought that occurred almost every year has caused the peat swamp fire due to human error causing smog disaster that caused a lot of losses in various sectors. This topic tries to present ideas and to analyze about good management to manage peat lands, which involves the entire local community groups through approaches Controlling Social Entropy Interface (SECI), a social approach. This approach is ongoing and is an alternative to overcome the disaster. SECI approach uses a comprehensive social approach that includes social psychology, social, ecological, social, economic, and social culture. Community empowerment approach uses four social well and programmed to be able to prevent the swamp peat land fires often occur almost every dry season in South Sumatra. SECI approach has been tried in several companies with good results. Key words: peat land fires, manage peat lands, SECI ABSTRAK Lahan rawa di Provinsi Sumatera Selatan seluas 87.017 km2 tersebar di beberapa daerah bagian timur, mulai dari kabupaten Musirawas, Muba, OKI, Muaraenim, dan Banyuasin. Sebagian besar lahan rawa tersebut atau sekitar 1,42 juta ha merupakan lahan rawa gambut (Zulfikar, 2006). Saat ini, hutan rawa gambut merupakan salah satu tipe lahan basah yang paling terancam dengan tekanan dari berbagai aktivitas manusia (Lubis, 2006). Kemarau panjang yang terjadi hampir setiap tahun, telah menyebabkan lahan rawa gambut terbakar akibat kesalahan manusia dan menyebabkan bencana kabut asap yang menyebabkan banyak kerugian di berbagai sektor. Topik ini mencoba untuk menyajikan pemikiran dan analisis tentang manajemen pengelolaan lahan rawa gambut yang baik, yang melibatkan seluruh kelompok masyarakat lokal dengan pendekatan Social Entropy Controling Interface (SECI), suatu pendekatan sosial berkelanjutan yang merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi bencana kebakaran lahan rawa gambut dan kabut asap tersebut. Pendekatan SECI menggunakan suatu pendekatan sosial yang komprehensif yang meliputi sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan empat pendekatan sosial ini secara baik dan terprogram akan mampu mencegah kebakaran lahan rawa gambut yang sering terjadi hampir setiap
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
musim kemarau tiba di Sumatera Selatan. Pendekatan SECI ini telah dicoba di beberapa perusahaan dengan hasil yang baik. Kata kunci: Kebakaran dan Kabut Asap, Lahan Rawa Gambur, Pengelolaan, SECI. PENDAHULUAN Lahan rawa di Provinsi Sumatera Selatan seluas 87.017 km2 tersebar di beberapa daerah bagian timur, mulai dari kabupaten Musirawas, Muba, OKI, Muaraenim, dan Banyuasin. Sebagian besar lahan rawa tersebut atau sekitar 1,42 juta ha merupakan lahan rawa gambut (Zulfikar, 2006). Saat ini, hutan rawa gambut merupakan salah satu tipe lahan basah yang paling terancam dengan tekanan dari berbagai aktivitas manusia (Lubis, 2006). Kemarau panjang yang terjadi hampir setiap tahun, telah menyebabkan lahan rawa gambut terbakar akibat kesalahan manusia dan menyebabkan bencana kabut asap yang menyebabkan banyak kerugian di berbagai sektor. Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan hampir terjadi setiap tahun, ketika musim kemarau tiba. Kabut asap pun menyerang sejumlah wilayah yang tersebar luas mulai dari Lampung, Jambi, Padang, Riau, dan hingga ke Sumatera Utara. Wilayah yang paling banyak mengalami kebakaran adalah lahan rawa gambut. Pada tahun 2015 ini terjadi kebakaran luar biasa di wilayah rawa gambut Sumatera Selatan. Kebakaran ini menimbulkan bencana nasional berupa kabut asap. Kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan, termasuk dari Riau dan Jambi, turut menyelimuti negara tetangga.Lebih jauh lagi, dampak dari kebakaran gambut telah menimbulkan masalah kabut asap yangmengancam kesehatan kesehatan dan mengganggu lalu lintas penerbangan. Bencana kebakaran hutan rawa gambut dan kabut asap telah menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat secara luas. Banyak penerbangan antar wilayah terpaksa ditunda atau bahkan dibatalkan, penyakit saluran pernafasan menyerang banyak orang, anak-anak sekolah banyak yang diliburkan. Tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkan untuk mengatasi kebakaran hutan tersebut, mulai dari melakukan hujan buatan, pemadaman dengan pesawat helikopter, dan menerjun tim pemadam api baik dari BNPB, maupun dari satuan TNI telah dikerahkan dengan biaya yang tidak sedikit. Musibah yang selalu berulang tersebut, harus menjadi pemikiran kita semua bagaimana cara mengatasinya sehingga bisa dicegah secara dini dan tidak terulang kembali. Untuk itu kami mencoba untuk menawarkan suatu pendekatan pemikiran dan analisis tentang manajemen pengelolaan lahan rawa gambut yang baik, yang melibatkan seluruh kelompok masyarakat lokal dengan pendekatan Social Entropy Controling Interface (SECI), suatu pendekatan sosial berkelanjutan yang merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi bencana kebakaran lahan rawa gambut dan kabut asap di Sumatera Selatan. Kebutuhan untuk mengidentifikasi, mengkaji, dan mengatasi masalah kebakarandi lahan rawa gambut di Sumatera Selatan menjadi sangat penting dan kritis. Hal ini mencakup penyeimbangankebutuhan untuk konservasi dan pembangunan. Hal ini membutuhkan pendekatanpembangunan yang lestari dan berkelanjutan, mencakup kegiatan yangekonomis, serta kemungkinan pemberian insentif ataudisinsentif bagi pengendalian dan pengelolaan api yang tepat.
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
PEMBAHASAN 1. Kebakaran Lahan Dan Kabut Asap Di Provinsi Sumatera Selatan Kebakaran luar biasa di wilayah rawa gambut Sumatera Selatan terjadi pada tahun 1997-1998. Kebakaran ini telah menimbulkan bencana nasional berupa kabut asap yang menyebabkan banyak kerugian baik bagi dunia usaha, kesehatan, dan lingkungan. Kabut asap ini terjadi dari kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera Selatan, termasuk dari wilayah Riau dan Jambi, sehingga ikut menyelimuti wilayah negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Pada tahun 2006, 2007, dan 2008, kebakaran hutan di lahan rawa dan gambut yang cukup luas kembali terjadi. Akibatnya sekitar satu juta dari 1,2 juta hektar luas gambut di Sumatera Selatan, yang tersebar Kabupaten Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Banyuasin, dan Musi Banyuasin mengalami kerusakan yang parah. Diperkirakan saat ini terdapat lahan gambut yang masih “perawan” sekitar 170 ribu hektar. Jumlah ini pun kemungkinan berkurang akibat kebakaran lahan gambut yang terjadi pada tahun 2014 dan 2015 ini. Kebakaran lahan gambut yang paling hebat terjadi pada 1997-1998. Saat itu kebakaran selain didorong oleh El Nino juga akibat aktivitas perambahan hutan dan perladangan. Perambahan hutan di tahun 1970-an dan 1980-an sangat terkenal di wilayah gambut di Sumsel, khususnya di pantai timurnya. Perambahan ini mengiringi aktivitas penebangan kayu oleh perusahaan pemegang HPH maupun yang liar. Akibat kebakaran tersebut, lahan gambut di pantai timur, misalnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menjadi wilayah terbuka yang sangat luas, terdapat sekitar 700-an ribu hektar lahan rawa gambut rusak. Ancaman kebakaran sangat besar, kerugian yang disebabkan oleh kebakarangambut antara lain hilangnya sumber plasma nutfah termasuk hasil hutan dan segalakeanekaragaman hayati di dalamnya serta hilang atau berkurangnya fungsi gambut sebagaipenyimpan air dan karbon. Kebakaran juga dapat mengancam keberadaan manusiadisekitarnya termasuk fasilitas-fasilitas umum yang sangat rentan apabila terjadi kebakaran hutandan lahan disekitarnya. Upaya mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut sangat sulitdilakukan. Usaha yang efektif adalah dengan melakukan pencegahan timbulnya kebakarandengan cara menjaga agar hutan rawa gambut tetap basah sehingga tidak mudah terbakar,serta dengan menutup parit-parit yang ada. Ada dua faktor yang menyebabkan adanya kebakaran lahan gambut pada saat ini.Pertama, musim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan kekeringan yang sangat pada permukaan lahan gambut. Kedua, tata kelola air yang salah untuk perkebunan menyebabkan berkurangnya kandungan air di lahan gambut. Dengan kondisi seperti itu, adanya aktivitas pembakaran sekecil apa pun akan mempercepat terjadi kebakaran lahan. Kebakaran akan menyebar dengan cepat dan sulit dikendalikan karena api bergerak bukan di permukaan saja, tapi juga di bawah. Seseorang membakar pada satu titik, dapatmenyebabkan api merambat di bawah gambut sejauh kiloan meter dalam waktu singkat. Untuk mengatasi kebakaran lahan gambut harus melibatkan banyak pihak. Mulai dari perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Perusahaan bukan hanya memiliki alat dan tenaga ahli pemadaman, juga harus melakukan penataan air yang bagus.Pemerintah selain mengontrol apa yang dilakukan perusahaan, juga harus mendorong tata kelola air yang baik untuk perusahaan maupun pertanian bagi masyarakat. Melibatkan masyarakat agar aktif menjaga lahan gambut dari bencana kebakaran harus dapat dilakukan secara efektif untuk mencegah kebakaran hutan rawa gambut. Salah satu metode yang dapat dikembangkan dalam pendekatan sosial kemasyarakatan dalam
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
metode Social Entropy Controling Interface (SECI) adalah dengan melakukan empat teknik pendekatan sosial, yaitu suatu pendekatan komprehensif yang meliputi sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Penataan masyarakat termasukdi dalamnya adalah penataan psikologi, penataan ekologi, penataan perekonomian, dan penataan budaya masyarakat, termasuk fasilitas umum, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk melakukan pembakaran atau membiarkan adanya pembakaran lahan. 2. Pencegahan Kebakaran Lahan Rawa Gambut dengan Pendekatan Social Entropy Controling Interface(SECI) Kajian sosial dalam masalah lingkungan sebenarnya sudah dimulai sejak lama oleh para ahli ilmu sosial, dalam artikel Bernard (1922), yang berjudul The Significance of Environment as a Social Factor merupakan artikel yang pertama menguraikan tetang permasalahan lingkungan dan faktor sosial. Selanjutnya permasalahan diangkat lebih jauh oleh Riley Dunlap dan William Catton (1978) dalam suatu cabang ilmu sosiologi yang mereka beri nama sosiologi lingkungan. Dalam kajian tentang pengelolaan hutan rawa gambut untuk mencegah kebakaran dan kabut asap yang berkelanjutan, faktor sosial yang dikemukakan oleh para ahli sosiologi lingkungan di atas cukup relevan untuk diterapkan dalam pengelolaan hutan rawa gambut berbasis masyarakat. Untuk itu kajian ini merupakan bahasan mengenai pengendalian faktor sosial untuk mencegah kebakaran hutan rawa gambut dan bencana kabut asap. Istilah SECI ini pertama kali di kemukakan oleh Sjarkowi (2010) dalam laporan penelitian ACIAR untuk menunjukkan pentingnya kontrol sosial dalam kerjasama kemitraan antara pemeritah, perusahaan dan masyarakat dalam menanggulangi kebakaran dan kabut asap di Sumatera Selatan. Dalam pengelolaan hutan rawa gambut, SECI diperlukan sebagai suatu faktor penghubung yang dapat mengontrol agar kemerosotan sosial dapat diminimalisir sehingga manfaat yang dihasikan menjadi optimal dan dalam jangka panjang untuk pengelolaan hutan rawa gambutyang berkelanjutan. Socio-Entrophic yang dimaksud adalah suatu keadaan sosial masyarakat yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadisumber masalah (instabilitas) yang berkepanjangan dan faktor penghambat yang dapat merugikan banyak pihak. Dalam SECI faktor instabilitas ini dapat dikelompokkan dalam empat bagian penting yang merupakan prasayarat bagi pengelolaan hutan rawa gambut secara berkelanjutan. Pengelolan faktor SECI ini juga berpengaruh kepada kemungkinan untuk dapat meningkatkan nilai total ekonomi yang diperoleh dengan bersinergisnya faktor-faktor sosial tersebut terhadap produktifitas. Keempat faktor SECI tersebut adalah: sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial budaya. Beberapa kondisi nyata yang terjadi di lapangan dari keempat komponen gerbang pengendalian kemerosotan soial atau SECI tersebut berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang menimbulkan konsekwensi berupa pelayanan teknis dan pelayanan manajemen untuk kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan kabupaten Ogan Ilir, secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Tabel 1. Analisis Informasi Teknis dan Manajemen serta Pelayanan Teknis dan Manajemen SECI SECI 1. Sosial Psikologi
2. Sosial Ekologi
3. Sosial Ekonomi
4. Sosial Budaya
Informasi Teknis dan Manajemen Adanya rasa sentimen Masyarakat Adanya kecurigaan terhadap perusahaan Tidak adanya pendekatan personal dan kelompok oleh perusahaan Belum adanya edukasi bagi masyarakat Terjadinya kebakaran hutan, kekeringan, kebanjiran, dan erosi Belum dilibatkannya masyarakat dalam penanganan kebakaran Belum ada SOP tentang penanganan kebakaran, kekeringan, kebanjiran, dan erosi
Rendahnya kesempatan kerja dan berusaha masyarakat Rendahnya pendapatan masyarakat sekitar kawasan Kemitraan dan kerjasama belum terjalin dengan baik karena belum terbukanya akses informasi kepada masyarakat Adat istiadat, prilaku, dan kebiasaan masyarakat yang kurang baik. Belum di adopsinya kearifan lokal sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan
Pelayanan Teknis dan Manajemen Melakukan pembinaan masyarakat melalui penyuluhan dan edukasi. Sosialisasi program ekonomi produktif dan pencegahan kebakaran. Adanya pendekatan personal dan kelompok melalui pelayanan umum bidang pendidikan, pelatihan dan kesehatan. Dibangunnya menara api sebagai pengendali kebakaran dan adanya bantuan bencana alam. Dilibatkannya masyarakat dalam penanganan kebakaran Adanya SOP yang jelas utk penanganan kebakaran, kekeringan dan kebanjiran serta erosi yang dilakukan masyarakat. Membangun kemitraan dalam program ekonomi produktif dengan kontrak kerjasama. Adanya informasi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat untuk mendapat kesempatan dan peluang yang sama dalam kerjasama ekonomi. Mengadopsi kembali kearifan lokal dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan masyarakat sekitar kawasan. Menfasilitasi musyawarah dan diskusi kelompok yang tergabung dalam FGD.
Diolah dari : Disertasi Maryadi, Tahun 2011.
a. Sosial Psikologis Dalam sosial psikologi pengamatan yang dilakukan adalah mengidentifikasi respon (cara bereaksi) dari sebagian besar atau kebanyakan orang dalam suatu situasi dan mengamati bagaimana situasi itu mempengaruhi respon tersebut.Faktor sosial psikologi lebih berpusat pada usaha memahami bagaimana seseorang bereaksi terhadap situasi sosial yang terjadi. Faktor ini mempelajari perasaan subyektif yang biasanya muncul dalam situasi sosial tertentu, dan bagaimana perasaan itu mempengaruhi perilaku. Situasi interpersonal yang menimbulkan perasaan marah, dan meningkatkan atau menurunkan kemungkinan munculnya perilaku agresi. Salah satu prinsip dasar sosial psikologi adalah bahwa situasi frustasi akan membuat orang marah, yang memperbesar kemungkinan timbulnya perilaku agresi. Akibat situasi yang menimbulkan frustasi ini merupakan salah satu penjelasan mengenai sebab timbulnya perilaku membakar hutan atau membiarkan kebakaran terjadi. Hubungan ini tidak hanya
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
menjelaskan mengapa perilaku agresif terjadi dalam situasi tertentu, tetapi juga menjelaskan mengapa faktor ekonomi dan kemasyarakatan menimbulkan kejahatan. b. Sosial Ekologi Dalam pandangan konsep ekologi yang mendalam, tidak ada pemisahan antara manusia atau apapun dari lingkungan alamiahnya. Dalam konteks ini dunia dilihat sebagai kumpulan objek-objek yang tak terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain secara fundamental. Pandangan sosial ekologi mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan memandang manusia sebagai salah satu untaian dalam jaringan kehidupan. Faktor sosial ekologi dapat menurunkan produktivitas lahan dan hutanserta keberlangsungan produksi dalam jangka panjang. Untuk itu pelayanan sosial ekologi ini sangat diperlukan untuk pengelolaan lahan rawa gambut yang berkelanjutan c. Sosial Ekonomi Dari sisi sosial ekonomi, keberadaan hutan rawa gambut sudah semestinya berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sekitar, karena aktivitas usaha/perusahaan dapat menimbulkan peluang berbagai aktivitas ekonomi bagi masyarakat sekitar.Aktivitas angkutan, perdagangan, warung dan lain-laindapat tumbuh karena terdapat aktivitas yang melayani kebutuhan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan. Pemerintah dan perusahaan harus betul-betul mempunyai komitmen yang kuat terhadap perluasan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat tempatan yang terkait dengan kegiatan pengelolaan di hutanrawa gambuyt mulai dari pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga pengolahan hasil dan pemasaran. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan yang baik akan sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan hutan rawa gambut yang aman dari kebakaran dan pengrusakan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat terkait dengan penyediaan lapangan kerja yang luas, serta munculnya wirausaha baru yang melayani kebutuhan masyarakat, perusahaan dan perkembangan daerah yang kian maju. d. Sosial Budaya Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak prilaku masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan rawa gambut yang bisa dikelola dengan baik dalam melestarikan dan menjaga hutan. KESIMPULAN Pengelolaan hutan rawa gambut dengan pendekatan SECI diperlukan sebagai suatu faktor penghubung yang dapat mengontrol agar kemerosotan sosial dapat diminimalisir dan mengoptimalkan manfaat dalam jangka panjang untuk pengelolaan hutan rawa gambutyang berkelanjutan. Keadaan sosial masyarakat yang tidak dikelola dengan baik,
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
dapat menjadisumber masalah (instabilitas) yang berkepanjangan dan faktor penghambat yang dapat merugikan banyak pihak. Dalam SECI faktor instabilitas ini dapat dikelompokkan dalam empat bagian penting untuk dapat meningkatkan nilai total ekonomi yang diperoleh dengan bersinergisnya faktor-faktor sosial tersebut terhadap produktifitas. Keempat faktor SECI tersebut adalah: sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial budaya. Pengelolaan faktor-faktor sosial (SECI) yang baik oleh pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dapat meningkatkan Nilai ekonomi total pembangunan hutan rawa gambut yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang selanjutnya dapat menjadikan hutan gambut yang terpelihara dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Lubis, Irwansyah Reza. 2006. Pemanfaatan Lahan Rawa Gambut Dipandang dari Aspek Konservasi: Pengalaman Kegiatan CCFPI di Sumatera Selatan. Dalam: Rimbawanto et al. (ed). Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan LitbangKehutanan.p 15-24. Maryadi, 2011. Valuasi Ekonomi Pengusahaan HTI dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Perspektif Bekelanjutan. Sumatera Selatan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Riley E. Dunlap and William R. Catton, Jr.Environmental Sociology. Annual Review of Sociology. Vol. 5 (1979), pp. 243-273 Sjarkowi, F. 2013. a Socio-Entropic Analysis on Existing and Prospective Participants of a Social Forestry Program as Offered by PT. MHP, a Tree Planting Company in South Sumatra. Laporan ACIAR - II. Sjarkowi, Fachrurrozie. 2009. Effective Capital Gain And Technical Superiority To Prosper Acacia Outgrowers Nearby PT. MHP. Aciar Project Report, Palembang. Sjarkowi, Fachrurrozie. 2010. Manajemen Pembangunan Agribisnis. Penerbit Baldad Grafiti Press, Palembang. Sjarkowi, Fachrurrozie. 2011. Managing Socio-Entropic Factors to Encourage Solid Participation of Small-holder Outgrowers in Social Forestry Program. WWF. 2004. The Economic Values of the World’s Wetlands. Report Prepared with Support from The Swiss Agency for The Environment, Forests and Landscape, Amsterdam. Yoshida, K. and M. Goda. 2001. Economic Evaluation of Multifunctional Roles of Agriculture in Hilly and Mountanious Areas in Japan. Proceeding International Seminar on Multifunctionality of Agriculture 17-19 Octooer. JIRCAS, Tsukuba. Zulfikar. 2006. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Rawa Gambut dengan Pola KPHdi Provinsi Sumatera Selatan. Dalam: Rimbawanto et al. (ed). Prosiding SeminarPengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Pusat Penelitiandan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan. p 7-13.