Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
Program Perguruan Tinggi dalam Menghasilkan Sumber Daya Manusia Yang Berkualifikasi Tinggi 1. Pendahuluan Dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 31 diwajibkan kepada negara untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan dan pengajaran sehingga pendidikan itu menjadi hak dari setiap warga negara. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana di dalamnya dijelaskan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional, merupakan subsistem dari pembangunan nasional dan mempunyai peran utama dalam mengelola pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia sebagai kekuatan sentral dalam proses pembangunan bangsa. Masa depan bangsa dan keunggulan bangsa, ditentukan oleh keunggulan sumber daya manusia yang dimilikinya, disamping sumber daya alam dan modal. Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi diharapkan secara signifikan dapat menjadi subjek pembangunan untuk lebih berhasil mengelola sumber daya (resource) bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur, serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri baik berkenaan dengan aspek jasmaniah maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Untuk mewujudkannya diperlukan peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dinyatakan dalam Undang-Undang N0. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab I pasal 1 ayat (1) bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Selanjutnya berkenaan dengan pendidikan tinggi, dalam Bab V pasal 16 ayat (1) “Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian”.
Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
1
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
Dalam ayat (2) dinyatakan: “Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas.” Selanjutnya, dalam UU Sisdiknas pasal 17 ayat (1) berbunyi: “Pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional”; dalam ayat (2) “Sekolah tinggi, institut, dan universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional”, dan dalam ayat (3) “Akademi dan politeknik menyelenggarakan pendidikan profesional”. Dan pasal 18 ayat (1) berbunyi: “Pada perguruan tinggi ada gelar sarjana, magister, doktor, dan sebutan profesional”; ayat (2) “Gelar sarjana hanya diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas”, ayat (3) “Gelar magister dan doktor diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas yang memenuhi persyaratan”, dan dalam ayat (4) “Sebutan profesional dapat diberikan oleh perguruan tinggi yang menyelengarakan pendidikan profesional”. Mengacu kepada Undang-Undang Sisdiknas, khususnya pasal 16, pasal 17 dan 18, dapat ditarik pemahaman bahwa masing-masing satuan pendidikan tinggi tersebut memiliki karakteristik atau “stressing” tertentu dalam penyelenggaraan pendidikannya. Akademi menekankan pada pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu; sedangkan Politeknik menekankan pada pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus; Sekolah Tinggi menekankan pada pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu tertentu; Institut menekankan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis; dan Universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau professional tetapi dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu. Dengan landasan yuridis ini, satuan-satuan pendidikan tinggi tersebut merupakan institusi yang diharapkan dapat menghasilkan keluaran SDM yang berkualitas atau memiliki kualifikasi tinggi, memiliki kompetensi akademis dan profesional. 2. Program Pendidikan Tinggi Pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, mempunyai tujuan umum sebagaimana tercantum dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, yaitu: "(I) Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian; (2) Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian dan/atau mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional". Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
2
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
Tujuan pendidikan tinggi tersebut, akan sangat tergantung dalam pelaksanaannya dari kondisi penyelenggaraan perguruan tinggi. Memperhatikan Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri (EPSBED) di Indonesia, dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau oleh masyarakat/perorangan. Hal ini seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pada Bab XIV pasal 53, ayat (1); yaitu: "Penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan" Saat ini, Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri (EPSBED) oleh masyarakat/perorangan dengan badan hukum penyelenggara pendidikan tingginya berbentuk "yayasan". Hal ini sesuai dengan keputusan Mendikbud Nomor 0339/U/1994 tentang Ketentuan Pokok Penyelenggaraan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sampai saat ini masih diberlakukan, pada Bab I, pasal (1) disebutkan bahwa: "(1) Perguruan Tinggi Swasta selanjutnya disebut PTS adalah satuan kegiatan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam hal ini Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta; (2) Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disebut BP- PTS adalah badan yang mendirikan dan menyelenggarakan perguruan tinggi swasta, yang dapat berbentuk yayasan, atau perkumpulan sosial, atau badan wakaf". Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sebagai satuan kegiatan pendidikan tinggi. menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa "Perguruan tinggi dapat berbentuk Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas". Seperti halnya pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terdapat juga Sekolah Tinggi, yang menurut peraturan pemerintah Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 58 ayat (1) disebutkan bahwa: "Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional dan/atau program pendidikan akademik". Berdasarkan program pendidikan pada perguruan tinggi, meliputi (1) program keilmuan, yang memberikan pengalaman belajar menuju suatu keahlian akademik dalam suatu bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Program keilmuan mempunyai tiga jenjang pendidikan, yaitu: S1 program pendidikan Sarjana; S2 program pendidikan Pascasarjana; dan S3 program pendidikan Doktor; (2) program kejuruan, yang memberikan pengalaman profesional menuju suatu keahlian dalam suatu bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Program non-gelar terdiri dari dua golongan, yaitu (a) program diploma (D1, DII, DIII, DIV, Sp I, dan Sp II); dan (b) program akta (AI, AII, AIII, AIV, dan AV) (Basir Barthos, 6-9). Lebih lanjut dijelaskan dalam PP.N0. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, bahwa pendidikan akademik adalah pendidikan tinggi yang diarahakan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya, yang diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas; sedangkan pendidikan Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
3
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
profesional diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu, yang diselenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas (Barthos, 1992: 27). Oleh karena itu, mengacu kepada UU N0. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP. N0. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, dapat dipahamkan bahwa lingkup pembahasan perguruan tinggi meliputi satuan satuan pendidikan berbentuk: akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas. Sekolah tinggi, institut, dan universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional; sedangkan Akademi dan politeknik menyelenggarakan pendidikan profesional. 3. Kebijakan Pendidikan Tinggi a. Konsep Pendidikan Tinggi Dalam pembangunan suatu bangsa, pendidikan telah diyakini menjadi komponen startegis dan mendasar untuk mendukung dan mendorong segala upaya pembangunan sektor lainnya (Grikches, 1997; Pritcheett, 1996) dalam buku The Quality of Growth, Word Bank (2001:61) yang merupakan laporan hasil penelitiannya di beberapa negara Asia. Pendidikan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk investasi (human investment) menurut Shultz (1961) dalam isi pidato tentang “investment in Human Capital” dihadapan para akhli ekonomi dan pejabat yang tergabung dalam American Economic Association, yang merupakan dasar diletakkannya teori “Human Capital”. Pesan utama dari pidato tersebut, yaitu bahwa proses peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi merupakan suatu investasi yang amat besar dan berharga. Nilai modal manusia (human capital) suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh jumlah populasi penduduk atau tenaga kerja kasar (labour intensif) akan tetapi sangat ditentukan oleh tenaga kerja intelektual (brain intensif). Adam Smith (1982), pakar ekonomi klasik mengakui bahwa pendidikan dan latihan akan dapat meningkatkan pengetahuan dan keakhlian yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas kerja. Ia mengatakan bahwa kesejahteraan dan kekayaan bangsa sangat bergantung pada keunggulan intelegensi dan intelektual. Pendidikan merupakan salah satu aspek indeks pembangunan manusia (human development index) yang dikembangkan oleh United Nations Development Programs (UNDP). Unsur pendidikan dianggap sebagai indikator kemajuan pembangunan sebuah masyarakat, disamping kesehatan dan daya beli masyarakat. Dengan posisi tersebut, pendidikan dianggap cukup strategis untuk dijadikan agenda pembangunan bangsa. Untuk itu, seluruh potensi pendidikan hendaknya diarahkan pada pencapaian tingkat pembangunan pendidikan yang mantap, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
4
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
Perguruan Tinggi Menurut Fisher dan Noble (1960: 254), Perguruan Tinggi (college) merupakan komunitas khusus. Kekhususannya tidak hanya terletak pada sifat ilmiahnya, tetapi juga pada segi struktur dan fungsi. Keanggotaan Perguruan Tinggi terbatas. Ini menyangkut struktur, tidak semua pelayanan yang dibutuhkan dapat ditawarkan oleh Perguruan Tinggi tidak menuntut semua pertanggungjawaban yang biasa terdapat didalam komunitas umum. Ini menyangkut fungsi. Namun justru keterbatasan itulah yang membuat Perguruan Tinggi dapat berfungsi sebagai komunitas tempat para mahasiswa berusaha dan mencari dan menemukan diri sendiri (Gandana, Deden; 2007). Menemukan diri sendiri (Self realization) berlangsung dalam hubungan antar anggota atau kelompok komunitas: antara mahasiswa dengan dosen, mahasiswa baru (tahun pertama yang disebut freshman) dengan mahasiswa angkatan sebelumnya (tahun kedua disebut sophomore, tahun ketiga disebut junior dan keempat senior), antar bagian atau antar departemen. Hubungan antar pihakpihak tersebut dapat diatur dan diberi makna tertentu. Perguruan Tinggi sebagai komunitas dapat berfungsi mentransformasi dan melestarikan sistem nilai, dan pengetahuan, disamping ia menciptakan penemuan dan nilai-nilai baru yang diserapnya dari lingkungan. Lembaga (institution) dalam konsep antropologi sosial ialah pola perilaku masyarakat sehari-hari yang terorganisasikan (Gillin, 1954 dalam Gandana, Deden, 2007). Jadi perguruan tinggi tidaklah diartikan semata-mata sebagai kampus, gedung, atau organisasi. Fisher dan Noble (1960) dalam College adalah “Community of scholars” (masyarakat pelajar). Walaupun college hanya salah satu bentuk lembaga perguruan tinggi, definisi tersebut dapat dikenakan pada Perguruan Tinggi pada umumnya. Perguruan Tinggi adalah pola proses interaksi belajar mengajar sehari-hari yang terorganisasikan secara khusus sebagai bagian atau komponen sistem belajar mengajar secara keseluruhan di dalam masyarakat. Yang dimaksud proses belajar mengajar (learning process) menurut Axelrod (1969, 15-17), adalah proses pengembangan (pembangunan) pribadi manusia. Belajar berarti berusaha memperoleh pegetahuan yang benar tentang suatu hal, sedangkan mengajar berarti mengkomunikasikan (lebih tepat: menanamkan, mewariskan) pengetahuan yang benar tadi kepada orang lain agar tidak hilang, bahkan agar dapat dikembangkan lebih lanjut oleh orang lain itu. Sesungguhnya menurut rasa bahasa orang membedakan konsep pendidikan (education) dari pengajaran (intruction). Interpretasi yang tidak tepat jika pendidikan diartikan sebagai proses yang lebih dititikberatkan pada pembentukan prilaku daripada sebagai proses untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang sesuatu hal. Dalam tulisan ini, guna menyederhanakan konsep, proses pendidikan dianggap termasuk di dalam proses belajar mengajar. Bagi seseorang, pelajaran itu Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
5
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
berasal dari lingkungan hidupnya, baik menurut dimensi waktu maupun tempat. Jadi belajar berarti berusaha untuk memperoleh pengetahuan dan perilaku yang benar dari lingkungan, dan mengajar berarti mengkomunikasikan (menanamkan mewariskan) pengetahuan dan perilaku tadi kepada orang lain sedemikian rupa sehingga orang lain itu mampu mengembangkannya lebih lanjut. Dalam proses belajar mengajar tersebut pada suatu saat terlihat empat pihak, (Ndraha, 1989) yaitu: (1) pihak yang berusaha belajar mengajar; (2) pihak yang berusaha belajar; (3) pihak yang merupakan sumber pelajaran; (4) pihak yang berkepentingan atas hasil (outcome) proses belajar-mengajar. b. Tinjauan Mikro dan Makro Untuk melihat Perguruan Tinggi sebagai penghasil ilmu pengetahuan dapat kita tinjau secara mikro dan makro. Pendekatan mikro ialah tinjauan terhadap proses belajar mengajar (PBM) yang terjadi di dalam lembaga, dan pendekatan makro ialah Proses Belajar mengajar (PBM) yang berlangsung antar lembaga dengan lingkungannya. 1). Perguruan Tinggi Ditinjau Secara Mikro Masa belajar di Perguruan Tinggi merupakan the great period of generalisation. Selama belajar di bangku sekolah dasar menengah, murid-murid dilatih duduk mendengar dan menghafal, dengan kepala menunduk di atas meja. Di universitas mereka harus dilatih berdiri dan melihat jauh di sekitar, merangkum segenap pengalaman dan pengetahuan yang mereka serap sejak kanakkanak dalam bentuk generalisasi, dan kemudian belajar mengaplikasikan generalisasi itu pada kasus empirik. Whithead menggambarkan belajar mengajar secara universitas ibarat memperhatikan halarnan-haiaman terbuka semua buku yang pemah dibaca, dan kemudian jika kesempatan tiba, halaman yang tepat dipilih untuk dibacakan terhadap seluruh dunia (Gandana, Deden, 2007). Dari sudut psikologi pendidikan, Erik Erickson (dalam Fisher dan Noble, 1960, 17) meletakkan dasar pentingnya proses belajar mengajar pada usia 16 tahun ke atas, yang merupakan usia belajar di Perguruan Tinggi, amat menentukan apakah yang bersangkutan dapat bergaul dengan akrab di dalam masyarakat atau tersisih, mampu menapak kemajuan atau mengalami kemandegan, berintegritas tinggi atau berantakan. Untuk menyiapkan orang yang berkemampuan seperti itu Perguruan Tinggi yang bersangkutan harus memberikan pelayanan edukatif yang sebaik-baiknya kepada para mahasiswa. Perguruan Tinggi harus memiliki potensi akademik dan ilmu pengetahuan berderajat tinggi untuk dirancang dan ditawarkan kepada mereka. Dalam arti luas, Perguruan Tinggi harus mampu menawarkan pengalaman akademik kepada mahasiswa baik di dalam maupun diluar kampus, dan mengendalikannya. H. Remes dalam Edward Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
6
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
A Krug, Curriculum Planning (1957, xi) menyatakan bahwa : “All the experiences of the learner that are under the control of the school” (kurikulum adalah segenap pengalaman murid yang berada di bawah kontrol sekolah). Dalam hubungan ini perguruan tinggi memperhatikan setidak-tidaknya tiga hal: (1) Riset dalam rangka menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, baik sebagai bahan pelajaran, maupun sebagai bahan pelanan masyarakat, (2) Metode belajar-mengajar yang efektif, dan (3) Suasana atau iklim belajar-mengajar yang mendukung proses belajar-mengajar, baik di dalam maupun di luar kampus. Ketiga hal itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Melalui riset diharapkan dapat dibangun sistem-keilmuan terbuka berderajat tinggi dan relevan. Riset yang dilakukan tidak hanya pada aras genetic-adaftif atau adaptif-behavioral, melainkan pada aras penemuan ilmiah (scientific discoveries), meminjam konsep revolusi ilmu pengetahuan Sir Karl Popper dalam lan Hacking (ed.), Scientific Revolutions (1983, 80), informasi keilmuan sistem tersebut melalui metode dan iklim nyaman dan sehat, dapat diserap oleh mahasiswa dengan seefektifefektifnya. 2) Perguruan Tinggi Ditinjau Secara Makro Pendekatan makro, seperti penetapan misi pada universitas di Oklahoma (Gordon A. Christenson, 1969:29) yaitu: The university of Oklahoma, building on its wide respect and recognized capacity, must commit it self to the role of leadership of the economic, intellectual, cultural, and professional life of the region it serves and the nation as a whole. Berbagai sasaran missi universitas lainnya dapat digambarkan menurut Ndraha (1989) sebagai berikut : “(1) Kehidupan intelektual (the life of the mind); (2) Lingkungan artistic dan cultural; (3) Lingkungan spiritual dan moral; (4) Lingkungan ekonomi dan industrial; (5) Lingkungan perkotaan; (6) Lingkungan Sosial; (7) Lingkungan Fisik dan Mental; (8) Lingkungan alam (natural environment); (9) Lingkungan internasional.” Kesembilan aspek tersebut mewakili keseluruhan segi kehidupan masyarakat seutuhnya di suatu tempat pada suatu masa. Untuk dapat mempelajari kesembilan aspek itu, semua disiplin ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, harus terdapat di dalam universitas yang bersangkutan. Disinilah terletak makna kata Universe yang berkaitan dengan konsep universitas. Dengan demikian universitas diharapkan mampu menunaikan dua misi yang saling berkaitan sekaligus, yaitu missi mikro: menyiapkan generasi muda untuk memasuki masyarakat dengan jalan mengembangkan potensi pribadi tiap mahasiswa, dan misi makro; memainkan peranan kepemimpinan atas kehidupan masyarakat setempat. Perguruan Tinggi dapat juga dipandang sebagai suatu proses, yaitu proses produksi. Sebagai proses produksi, Perguruan Tinggi adalah semacam industri.
Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
7
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
Gibson (1990) mengemukakan bahwa produksi dan distribusi ilmu pengetahuan di Amerika telah berkembang menjadi perusahaan terbesar, dan bahwa unsur kekuasaan utama dewasa ini adalah pendidikan, dan pendidikan adalah investasi manusiawi (human investmen). Ia merinci produksi ilm pengetahuan menjadi lima sektor, yaitu (1) pendidikan; (2) penelitian dan pengembangan; (3) media komunikasi; (4) mesin informasi; dan (5) pelayanan informasi. Sebagai industri, Perguruan Tinggi harus dikelola menurut asas-asas ekonomi perusahaan. Memang benar, Perguruan Tinggi bukanlah perusahaan pemburu keuntungan finansial, tetapi bukan juga badan amal, melainkan sebuah industri paling vital yang harus dikelola seefektif dan seefisien mungkin. Oleh karena itu pengelolaannya pun harus memperhatika manajemen bisnis. Tentu saja manajemen professional. Dilihat dari segi pertenggungjawaban sosial, manajemen seperti itu semakin penting, lebih-lebih jika Perguruan Tinggi yang bersangkutan, dalam hal keuangan sedikitbanyak bergantung pada masyarakat. Setidak-tidaknya ada dua macam produk Perguruan Tinggi, yaitu (1) Nilai-tambah manusiawi yang diperoleh mahasiswa yang bersangkutan, sehingga ia diharapkan siap memasuki dunia nyata dan masyarakat. Termasuk di dalam kategori ini pembentukan dan transformasi nilai. Inilah produk Perguruan Tinggi sebagai proses edukatif dan proses pertimbangan (value judgment) dalam menghasilkan ilmu pengetahuan. (2) Temuan ilmiah (scientific discoveries) dan inovasi teknologi (technologi innovations). Inilah produk Perguruan Tinggi sebagai proses riset. Produk ini digunakan untuk bahan baku dan energi kurikuler bagi proses edukatif dan bahan baku dan energi programatik bagi proses pelayanan (pelayanan) kepada masyarakat c. Visi dan Misi Perguruan Tinggi Iding Tarsidi, Dosen UPI Bandung menyatakan; Perguruan tinggi di Indonesia mengahadapi tanggung jawab dan misi yang rumit serta kompleks, jika dikaitkan dengan harapan yang dibebankan kepada perguruan tinggi oleh Pembangunan Nasional, terutama dalam pembangunan SDM. Mengingat kenyataan bahwa pada tahap ini perguruan tinggi di Indonesia belum menunjukkan tingkat kemampuan seperti yang diharapkan. SDM yang bermutu dan profesional merupakan tumpuan dan harapan bangsa. Namun kenyataannya tenaga terdidik perguruan tinggi menghadapi kesulitan dalam pemanfaatannya, karena daya serap ekonomi terhadap tenaga terdidik amat terbatas. Perguruan tinggi mempunyai misi yang bersifat nasional dan merupakan infrastruktur untuk melahirkan pemimpin bangsa. Profil manusia Indonesia yang merupakan keluaran atau produk perguruan tinggi harus mengandung dimensi-dimensi; iman dan taqwa, jati diri Indonesia, IPTEK, demokratis, tanggung jawab Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
8
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
sosial, percaya diri, kreatif dan kritis, serta disiplin. (Fakry Gaffar, 1994). Oleh karena, perguruan tinggi memerlukan kebijaksanaan sebagai “guideline”. Misalnya kebijaksanaan kelembagaan yang ditikberatkan pada upaya meningkatkan kemampuan manajemen kelembagaan sehingga efisiensi dan efektivitas serta mutu perguruan tinggi mencapai standard universal bagi setiap perguruan tinggi. Kemampuan kelembagaan yang tinggi dapat meletakkan masing-masing perguruan tinggi untuk memiliki daya respon yang tajam dan kuat terhadap berbagai tuntutan pembangunan nasional. Kebijaksanaan global dititikberatkan pada perwujudan perguruan tinggi sebagai lembaga yang memimpin dan memegang kendali dalam perkembangan IPTEK dan pengembangan SDM. Komunikasi internasional antar perguruan tinggi dunia, kerjasama antar peruruan tinggi di berbagai negara merupakan fungsi global perguruan tinggi. Kebijaksanaan ini tidak hanya meletakan perguruan tinggi dalam kapasitas peran internasional tetapi sebagai lambang kemajuan bangsa dalam meningkatkan harkat bangsa di mata masyarakat dunia. (Fakry Gaffar, 1994). Jika dilihat, memang SDM ada yang bersifat “intangible” (tidak kentara, tidak dapat diraba, tersembunyi atau potensial) dan bersifat “tangible” (kentara, jelas, nyata, teraktualisasikan) keduanya merupakan aset-aset jangka panjang yang sangat berharga untuk diinvestasikan dalam rangkan perkembangan dan kemajuan suatu korporasi dalam menghadapi persaingan “pasar bebas” atau globalisasi. Sumber daya manusia (SDM) yang kita miliki mempunyai peluang cukup besar dan strategis untuk diinvestasikan dalam korporasi atau institusi dimana ia kita berada, yaitu melalui: (1) “intellectual capital” dengan properti berupa idea-idea, gagasan, dan pemikiran unggul (excellence), kreatif dan inovatif, serta berwawasan ke depan yang kita investasikan dalam mengantisipasi gencarnya arus informasi dan komunikasi menghadapi kehidupan yang “tanpa batas” ini; (2) “person capital” (human capital) dengan kreasi-kreasinya. Dengan demikian, kita tidak hanya sebagai penonton, apalagi menjadi korban, tetapi kita turut memainkan peran di dalamnya, sehingga kita tidak ditinggalkan atau digilas oleh derasnya arus kemajuan kehidupan yang makin mengglobal. Davis (1998) menggambarkan bagaimana perguruan tinggi di negara-negara bagian Amerika Serikat membuat suatu program pinjaman finansial untuk study kepada para mahasiswanya dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan SDM para mahasiswanya, dimana keharusan “repayment” berdasarkan kesuksesan finansial individu. Sebagai contoh, sekolah-sekolah bisnis yang telah memulai menginvestasikan para mahasiswanya, antara lain: Columbia, Michigan, Northwestern, NYU, dan UCLA yang memberikan modal pendanaan untuk mengambil posisi-posisi
Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
9
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
dalam beberapa “interpreneurial” MBA permulaan secara penuh waktu bagi para mahasiswanya. Prinsip-prinsip mengenai nilai dan hakikat dari propertiproperti sumber daya manusia (SDM) baik dalam bentuk “intellectual capital”, maupun “person capital” yang diinvestasikan guna kemajuan korporasi sebagaimana yang dipaparkan oleh Stan Davis tersebut, mempunyai kaitan sangat erat dengan institusiinstitusi pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan atau SDM sebagai tenaga-tenaga terdidik yang terampil dan berkepribadian utuh, serta memiliki kompetensi tinggi baik secara akademik maupun profesional. 4. Penutup Keadaan masa depan sukar diramalkan, namun dapat dipastikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) merupakan sumber penggerak utama pertumbuhan ekonomi atau bahkan kemajuan kehidupan masyarakat disebagian besar negara di dunia (Taroepratjeka 2001). Jumlah inovasi akan kian meningkat, iptek akan menghasilkan hal-hal baru dengan kemajuan yang sangat pesat, baik berupa barang, jasa, layanan komunikasi, maupun tata cara berekonomi. (Taroepratjeka, 2001:21). Di samping itu, globalisasi dalam berbagai bentuk dewasa ini telah mengubah wajah kehidupan di seluruh dunia. Pengaruh globalisasi komunikasi dan informasi yang mengubah pola aliran informasi secara mendasar telah menjadi pengalaman sehari-hari. Globalisasi ekonomi dengan pasar bebasnya akan pula menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dalam waktu dekat. Arus barang dan jasa, juga tenaga ahli, akan melintasi batas negara tanpa hambatan. Keberhasilan usaha dalam pasar terbuka ditentukan oleh produktivitas dan efisiensi dalam berproduksi. Modal penggeraknya adalah dana, penguasaan teknologi, dan sumber daya manusianya yang andal (Faslil Jalal, 2001). Gambaran tersebut menunjukkan betapa besarnya tantangan yang harus dihadapi sekarang dan di masa depan dalam krisis ekonomi nasional, serta betapa pentingnya peran pendidikan tinggi dalam menghasilkan tenaga akademik dan profesional berkemampuan tinggi yang dapat meningkatkan produktivitas dan efesiensi dalam berproduksi agar industri di Indonesia memiliki daya saing yang tinggi. Menghasilkan tenaga profesional yang memiliki kinerja yang baik di lingkungan kerja hanya merupakan satu sisi dari lingkup tugas pendidikan tinggi. Sukar bagi industri untuk mandiri apabila pangkalan teknologinya ada di manca negara. Penguasaan Iptek untuk membangun kemampuan bangsa dalam mengembangkan teknologi diperlukan sebagai landasan pembangunan jangka panjang. Di masa depan, Iptek berperan dalam menentukan kehidupan dan juga bersaing antar negara di dunia. Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
10
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
Gambaran tentang alam yang harus dihadapi dalam era Iptek serta globalisasi menunjukkan mutlaknya mutu lulusan pendidikan tinggi. Demikian pula relevansi program-program yang diselenggarakannya dengan keperluan nyata dunia kerja dan industri harus meningkat. Dapat dikatakan bahwa mutu dan relevansi merupakan isu sentral pendidikan di masa depan, dan sebanyaknya diangkat sebagai masalah utama untuk ditangani. Sisi lain dari lingkup tugas sistem pendidikan tinggi menyangkut implementasi asas “adil” dan “merata”, yaitu bahwa pembangunan nasional yang diusahakan sebagai usaha bersama harus merata di semua lapisan masyarakat. Untuk pendidikan tinggi, persoalannya menyangkut pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara pada kelompok usia 19-24 tahun. Pemerataan tersebut dinyatakan dengan indikator yang dinamakan Angka Partisipasi Kasar (APK). Indikator itu menunjukkan rasio antara jumlah mahasiswa keseluruhan dan besarnya populasi dalam kelompok usia 19-24 tahun. Pemerataan merupakan suatu persoalan besar tersendiri yang diangkat menjadi tema utama pembangunan pendidikan tinggi jangka panjang. Pemerataan Pendidikan Tinggi, yang di samping menanggapi pemerataan kesempatan untuk mengikuti pendidikan tinggi juga menanggapi asimetri dalam penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan. Dipikirkan bahwa lembaga pendidikan yang baik perlu dikembangkan di pusat populasi dan pusat industri potensial. Masalah lain menyangkut manajemen pendidikan tinggi, dirasakan keperluannya, dengan pusat perhatian pada manajemen mutu. Untuk disadari bahwa masukan sumber daya yang besar tanpa didukung manajemen yang tepat akan mengakibatkan penghamburan uang, materi, dan waktu. Gerakan mutu (quality movement) yang intinya bertumpu pada pengejaran mutu bukanlah hal yang baru, tetapi perubahan paradigma baru pendidikan kepada mutu (quality oriented) merupakan strategi yang harus diupayakan sebagai lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang mampu menempatkan dirinya sebagai pusat keunggulan (center of excellence). Dengan demikian persoalan managemen dapat diangkat sebagai masalah utama ketiga yang harus ditangani dalam pembangunan pendidikan tinggi. Sosoknya adalah dalam bentuk suatu paradigma baru, atau kerangka berpikir baru, dalam manajemen. Tujuan format manajemen baru ini adalah peningkatkan kualitas secara berkelanjutan, dengan memasukkan asas otonomi sebagai daya gerak untuk membuat sistem lebih dinamis, akuntabilitas atau tanggung jawab agar otonomi terselenggara secara bertanggung jawab, akreditasi untuk menjamin mutu lulusan, dan evaluasi diri agar proses pengambilan keputusan dalam perencanaan didasarkan atas data dan informasi yang empiris. Penerapan paradigma baru dalam sistem pendidikan Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
11
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
tinggi sangat menarik namun juga sukar, mengingat pengembangannya menuntut kesediaan semua pihak yang terlibat, khususnya perguruan tinggi yang bersangkutan, untuk berubah dari pola manajemen yang lebih berpusat ke manajemen dengan pusat-pusat keputusan yang lebih tersebar. Pada akhirnya, diharapkan bahwa penataan sistem pendidikan tinggi dengan paradigma baru ini akan menciptakan sistem yang lebih dinamis dan efektif. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa perguruan tinggi merupakan salah satu institusi yang diharapkan dapat memainkan peran sebagai kekuatan moral yang kredibel untuk mendukung pembangunan bangsa. Tujuan strategi nasional sistem pendidikan tinggi adalah untuk mengembangkan kredibilitas institusional melalui restrukturisasi seluruh sistem nasional dan sistem perguruan tinggi. Kedua sistem ini harus akuntabel kepada publik, yang ditunjukkan oleh efisiensi yang tinggi dalam pengelolaannya, tingkat mutu dan relevansi lulusannya, dan transparansi dalam manajemen internalnya, dan kesesuaian dengan standar mutu yang diterima (oleh masyarakat). Sebagai suatu keuatan moral yang kredibel, perguruan tinggi harus juga memberikan kontribusi kepada lingkungan dengan cara terlibat langsung dalam pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat, terutama yang berkenaan dengan isu-isu strategis. Memperhatikan peran pendidikan tinggi dalam pembangunan suatu bangsa ternyata sangat kompleks permasalahan yang harus dihadapinya. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan itu sendiri dan bidang-bidang kehidupan lain yang terjadi diluar sistem pendidikan saling mempengaruhi. Untuk memperjelas kaitan antara pendidikan dengan bidang-bidang kehidupan diluar sistem pendidikan, perlu untuk mendapat perhatian supaya tampak keterkaitan fungsionalnya dengan sistem pendidikan. Karena ada empat pilar dalam bidang pendidikan, yakni: (1) learning to know; (2) learning to do yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada penguasaan ketrampilan, (3) learning to live together (whith others), dan (4) learning to be, serta belajar sepanjang hayat (learning throughout life). Daftar Pustaka Axelrod, Joseph, (1969), “Search for Relevance: The Compres in Crisis”, Jossey – Bass, Inc ; Sanfransisco. Barthos, Basir. (1992). Perguruan Tinggi Swasta Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara Davis, Stan. (1998). Future Wealth. Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press. Fakry Gaffar, Mohammad. (1996). Pidato Rektor: Pada Upacara Dies Natalis XLII IKIP Bandung. Bandung: IKIP.
Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
12
Dr. Amiruddin Idris, SE, M.Si
_________. (2002). Menjawab Tantangan Era Teknologi Informasi. Pidato Rektor, Pada Upacara Dies Natalis Ke-48 UPI. Bandung: UPI. Fisher, Margaret B. and Noble, Jeane L., (1960), “Callege Education as Personal Development”, Prentice – Hall Inc. New Jersey. Gibson, James L. Ivan Cevich John, and Donnely, James H., (1990) “Organisasi dan Manajemen” (Edisi Keempat, Bahasa Indonesia-Djaerban Wahid) Erlangga; Jakarta. Jalal, Faslil & Supriadi, Dedi, (2001). “Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah”, DEPDIKNAS, BAPPENASAdicita Karyanusa, Jakarta Ndraha, Taliziduhu, (1989) “Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia” Bina Aksara, Jakarta. Shultz, Theodore W.C., (1961), “Investment in Human Capital”. The American Economic Review. Taroepratjeka, Harsono, (2001). :Pengembangan SDM dan Penguasaan IPTEK”. CIDES, Jakarta.
Amir | Produksi STIE Kebangsaan Bireuen # 2012
13