PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI
MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A
BUKU AJAR I Kekuatan dan Keutamaan Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika
Bagus Takwin Fristian Hadinata Saraswati Putri
i
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012
BUKU AJAR I Filsafat, Logika, Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan Karakter
ii
Pengantar Buku Ajar MPKT A Pendidikan yang Mengembangkan Kapabilitas dan Memerdekakan Manusia Indonesia Bagus Takwin
1. Pendahuluan Konsep pendidikan yang memadai mensyaratkan konsep manusia yang memadai. Manusia sebagai makhluk yang dididik dan makhluk yang mendidik merupakan ihwal atau isu sentral dalam pendidikan. Berbicara tentang pendidikan pada dasarnya adalah berbicara tentang manusia. Siapa manusia dalam konsep pendidikan Indonesia dan apa yang ditujunya? Pertanyaan ini jarang dibahas dewasa ini. Sudah beberapa kali sistem pendidikan Indonesia diubah tetapi konsep tentang manusia yang semestinya mendasarinya malah makin kabur. Idealnya, pendidikan adalah proses menjadi dan menentukan diri sebagai pribadi. Pengertian ini mengindikasikan adanya penguatan daya-daya subjektif dalam pendidikan. Subjektivitas adalah potensi khas manusia, yang hanya mungkin muncul pada manusia. Subjektivitas adalah syarat kemerdekaan. Orang yang merdeka, ketika ia secara subjektif menentukan tindakan-tindakannya, menginterupsi status quo dan mampu mempertanggungjawabkan dirinya. Ki Hadjar Dewantara1 mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menghasilkan manusia merdeka. Sejalan dengan Ki Hadjar, Slamet Iman Santoso2 mengemukakan bahwa tugas pendidikan adalah pembinaan watak atau karakter (Santoso, 1979). Sebagai kepribadian yang dievaluasi berdasarkan nilai dan norma tertentu, watak juga mengandung unsur subjektivitas. Karakter adalah hasil aktualisasi subjektivitas. Kita teringat kepada Muhammad Hatta (1932/1998) yang menyatakan bahwa pendidikan nasional Indonesia diselenggarakan untuk menuju Indonesia Merdeka. Ia
1 2
Tokoh pergerakan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional Indonesia. Pelopor Pendidikan Psikologi di Indonesia dan pemrakarsa IKIP Jakarta.
iii
menganggap pendidikan sebagai ikhtiar pembentukan karakter di tataran individual dan pembangunan bangsa di tataran kolektif. Meskipun tak mengabaikan perlunya kecakapan dan keterampilan untuk menafkahi hidup, Hatta sangat mementingkan pembentukan karakter melalui pendidikan. Orang yang berkarakter kuat adalah orang yang memiliki keutamaan dan mampu menggunakan kekuatan-kekuatan pribadinya untuk memutuskan dan mengambil tindakan yang baik untuk dirinya dan sekaligus untuk lingkungannya. Dengan kata lain, orang yang berkarakter kuat adalah orang yang merdeka, orang yang memanfaatkan dayadaya subjektifnya, karena dia memiliki keleluasaan dan pilihan-pilihan dalam hidupnya dan mampu mencari alternatif-alternatif baru dari apa yang sedang terjadi. Itulah sebabnya mengapa Hatta menekankan bahwa pendidikan nasional Indonesia mendidik rakyat supaya insaf akan kedaulatan dirinya dan paham akan makna dan maksud dasar kedaulatan rakyat. Istilah Bildung dalam bahasa Jerman, yang dalam bahasa Inggris berarti ‘becoming and being somebody’ dapat mewakili pendidikan secara lebih memadai. Dalam Bahasa, Indonesia, Bildung dapat diartikan mengembangkan dan menjaga kesatuan diri, serangkaian proses yang juga mensyaratkan subjektivitas. Dengan demikian, pendidikan lebih dari sekadar pemerolehan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan adalah proses yang bertujuan memfasilitasi individu untuk membentuk dan mengembangkan dirinya. Kemampuan membentuk dan mengembangkan diri sendiri hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang merdeka. Universitas Indonesia3 melalui program-program pendidikannya berusaha untuk mencapai tujuan pendidikan, memfasilitasi mahasiswanya menjadi manusia-manusia yang merdeka, menjadi orang-orang yang mempunyai karakter yang kuat. Kekuatan itu dapat digolongkan atas enam kelompok, yakni rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, rasa cinta pemelajaran, pikiran yang kritis dan terbuka, orisinalitas dan kecerdasan praktis, kecerdasan sosial atau kecerdasan emosional, dan perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk pencapaian hidup yang baik. Keenam kekuatan itu sekaligus juga merupakan nilai yang mendasari, memandu dan menjadi patokan penyelenggaraan pendidikan di UI. Salah satu wujud usaha UI untuk menghasilkan orang-orang yang berkarakter kuat adalah penyelenggaraan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadiaan Terintegrasi.4 Tulisan ini merupakan pengantar yang sekaligus memuat kerangka pikir dari penyelenggaraan MPKT di UI. 3 4
Untuk selanjutnya disingkat menjadi UI. Untuk selanjutnya disingkat menjadi MPKT.
iv
2. Memerdekakan dan Meningkatkan Kapabilitas Pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara (2004) adalah aktivitas untuk menghasilkan manusia merdeka, dalam pengertian tidak hidup terperintah; berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Merdeka di sini mencakup pengertian merdeka secara fisik, mental, dan rohani. Namun kemerdekaan pribadi itu dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, dan disiplin. Lebih khusus lagi, yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah orang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dalam segala aspek kemanusiaannya, serta mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu, bagi Ki Hadjar, dalam konteks pendidikan, pepatah “educate the head, the heart, and the hand” sangat tepat (Dewantara, 2004). Kita dapat menelururi konsep manusia yang mendasari konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa, dan karya. Pengembangan
manusia
menuntut
pengembangan
semua
daya
secara
seimbang.
Pengembangan yang terlalu menitikberatkan satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Pendidikan yang menekankan aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Payung pendidikan mencakup payung nasionalistik, yaitu budaya nasional, bangsa yang merdeka dan mandiri—baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual; dan payung universal, yaitu hukum alam yang berlaku atas segala sesuatu yang merupakan wujud dari kehendak Tuhan. Konsep “manusia merdeka” dari Ki Hadjar Dewantara memiliki implikasi dalam ranah pendidikan. Ia menyatakan bahwa prinsip dasar pendidikan adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian yang tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih, dan penghargaan terhadap setiap orang yang terlibat di dalamnya. Dengan dasar itu maka hak setiap individu hendaknya dihormati. Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan tidak boleh hanya mengembangkan aspek intelektual sebab hal itu akan memisahkan peserta didik dari orang kebanyakan. Pendidikan juga hendaknya memperkaya setiap individu, memperkuat rasa percaya diri, dan v
mengembangkan harga diri. Dalam pada itu, perbedaan di antara pribadi-pribadi harus tetap dipertimbangkan. Lulusan didik yang dihasilkan adalah lulusan yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dengan kata lain, pendidikan menghasilkan pribadi yang berkarakter kuat. Metode pendidikan yang memerdekakan didasari oleh kepedulian, dedikasi, dan kecintaan kepada sesama manusia. Pendidikan harus dapat memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pemelajaran yang mencakup pemelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakan—sesuai dengan hukum sebab-akibat— dan kesadaran akan pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian. Sejalan dengan pandangan pendidikan Ki Hadjar, pendidikan di UI menekankan pentingnya mahasiswa menyadari alasan dan tujuan dia belajar. Ia perlu dihindarkan dari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah. Dari Ki Hadjar Dewantara (2004) kita mendapat pemahaman bahwa mendidik merupakan daya-upaya yang sengaja dilakukan untuk memajukan hidup dan menumbuhkan budi-pekerti (yang mencakup rasa, pikiran, dan roh) dan badan peserta didik dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan. Menurutnya, tidak boleh ada perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pemikiran yang lebih operasional tentang pendidikan adalah pemikiran Amartya Sen.5 Menurut Sen, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan kapabilitas (capability) pada peserta didik (Walker dan Unterhalter, 2007). Meskipun istilah yang digunakan Sen adalah “kapabilitas”, implikasi logisnya sama dengan istilah “merdeka” dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara, yaitu orang yang berkarakter kuat. Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai “a person’s ability to do valuable acts or reach valuable states of being; [it] represents the alternative combinations of things a person is able to do or be” (Sen 1993:30). Kapabilitas merujuk kepada kemampuan pribadi untuk melakukan tindakan berharga atau mencapai keadaan diri yang berharga. Kapabilitas mewakili adanya kemungkinan atau keleluasaan pada diri seseorang untuk menemukan kombinasi alternatif dari hal-hal yang dapat dilakukan atau dicapainya. Dengan demikian, kapabilitas adalah kesempatan atau kemerdekaan untuk mencapai apa yang secara reflektif
5
Ekonom India kelahiran Bengali, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998.
vi
dinilai berharga oleh individu. Kapabilitas dalam terminologi Sen merupakan inti dari kemerdekaan (Dreze dan Sen 1995). Dalam pemikiran awalnya, Sen (1985) mengajukan lima komponen yang terkait erat dengan kapabilitas: 1. kemerdekaan nyata, yaitu adanya pilihan dan alternatif bagi setiap orang yang membuatnya leluasa menjalani dan mencapai tujuan hidupnya 2. kemampuan mengelola dan mengubah sumber daya menjadi kegiatan-kegiatan yang bernilai 3. kegiatan-kegiatan yang menghasilkan kebahagiaan 4. keseimbangan faktor materialistik dan nonmaterialistik dalam mencapai kesejahteraan, dan 5. distribusi kesempatan dalam masyarakat. Pendekatan ini menekankan kapabilitas fungsional, yaitu kemerdekaan substantif seperti kemampuan untuk hidup sampai hari tua, keterlibatan dalam transaksi ekonomi, atau partisipasi dalam kegiatan politik. Hal-hal yang terkandung dalam makna kemerdekaan substantif, menurut pendekatan ini, lebih beralasan untuk dinilai berharga ketimbang kegunaan (utility) seperti kesenangan, pemenuhan hasrat atau pilihan. Kemerdekaan subtantif juga dinilai lebih berharga daripada akses ke sumber daya seperti penghasilan, komoditi, dan aset. Kemiskinan dipahami sebagai kapabilitas yang tercerabut (deprived capability). Patut dicatat, penekanan pendekatan ini tidak hanya pada bagaimana orang secara aktual berfungsi, melainkan juga pada kapabilitasnya, yaitu pilihan praktis untuk berfungsi dalam hal-hal penting jika ia menginginkannya. Seseorang dapat mengalami kapabilitas yang tercerabut, misalnya dalam hal pengabaian, penindasan oleh pemerintah, kurangnya sumber daya finansial, atau kesadaran palsu. Sebaliknya, perlu ditekankan pula, kesejahteraan seseorang juga dipengaruhi oleh keberadaan orang lain. Sen (1993) menekankan, kebebasan memilih cara hidup yang memungkinkan seseorang mencapai kesejahteraan, dalam banyak hal dibantu oleh pilihan-pilihan orang lain. Salah jika kita berpikir bahwa pencapaian prestasi kita masing-masing merupakan hasil pilihan pribadi semata. Pencapaian prestasi setiap orang membutuhkan kebersamaan dengan orang lain. Signifikansi dari ide Sen ini terletak pada kontrasnya dengan ide lain tentang bagaimana kita memutuskan apa yang adil (fair) dalam distribusi sumber daya. Kapabilitas atau kemerdekaan dan keadilan adalah setali tiga uang. Keadilan hanya bermakna pada orang yang merdeka, pada orang yang memiliki kapabilitas untuk menentukan apa yang penting dan berharga baginya. vii
Ki Hadjar dan Sen sama-sama melihat pendidikan dari hal yang paling mendasar, yakni dari konsep manusia, tujuan akhir pendidikan, dan apa yang terbaik bagi kehidupan bersama. Ini membedakan pendekatan mereka dengan pendekatan lainnya yang tampaknya memisahkan pendidikan dari aspek-aspek lain dari kemanusiaan. Sebagai contoh dari perbedaan itu, konsep pendidikan lain menggunakan ide tentang distribusi yang diletakkan pada apa yang ditentukan oleh pihak luar sebagai yang terbaik untuk menciptakan kesempatan maksimum atau mencapai hasil yang memadai. Umpamanya, menurut konsep ini, sekolah bagi siswa adalah alat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dunia kerja. Sementara menurut Ki Hadjar dan Sen, pendidikan merupakan proses yang memfasilitasi pertemuan peserta didik dengan dunia, khususnya dengan masyarakat, sehingga nantinya ia dapat hidup di masyarakatnya secara bermakna dan memberikan kontribusi dalam pengembangan masyarakat itu. Peserta didik juga difasilitasi untuk dapat memberi makna kepada dirinya sendiri dan kepada dunia. Keberfungsiannya dalam masyarakat didasari oleh kebebasan kesempatan yang meleluasakannya memilih cara hidup dan kontribusinya dalam masyarakat (Unterhalter 2003).
3. Kapabilitas dan Fungsi Kapabilitas berbeda dengan fungsi. Fungsi bertujuan untuk memperoleh manfaat sedangkan kapabilitas adalah potensi untuk mencapai fungsi (Sen 1980). Membaca, berbicara menyampaikan gagasan, mengambil peran dalam masyarakat, menjawab pertanyaan, bertindak hati-hati dan cermat, serta menggunakan alat untuk membuat kerajinan tangan adalah fungsi. Mendapat kesempatan untuk belajar dan keleluasaan untuk berpikir, kesempatan untuk bekerja dengan kondisi yang memungkinkan untuk menjadi produktif dan memperoleh penghargaan merupakan contoh dari kapabilitas. Secara konseptual, kapabilitas dapat dipahami sebagai refleksi kebebasan untuk mencapai fungsi-fungsi yang bernilai (Sen, 1992). Perbedaan fungsi dan kapabilitas dapat juga dipahami sebagai perbedaan antara pencapaian prestasi aktual dan kesempatan untuk berprestasi. Pembedaan fungsi dari kapabilitas sangat penting terutama dalam evaluasi pendidikan (Walker dan Unterhalter, 2007). Evaluasi hanya atas fungsi dari pendidikan saja memberikan terlalu sedikit informasi tentang seberapa baik seseorang berlaku dalam kehidupannya. Pencapaian yang sama oleh dua orang yang berbeda bisa saja memiliki cerita yang berbeda di belakangnya. Misalnya, yang satu mencapainya dengan mudah karena kesempatan dan fasilitasnya tersedia, sedangkan yang lain mengorbankan banyak hal untuk mencapai itu. Sebagai contoh, untuk mencapai nilai ujian nasional di atas standar kelulusan, boleh jadi viii
siswa-siswa di satu sekolah mencapainya dengan cara belajar seperti yang biasa mereka lakukan sehari-hari, sementara di sekolah lain para siswa dipaksa mengabaikan pelajaran lain yang tidak disertakan dalam ujian nasional agar dapat memperoleh nilai yang baik dalam ujian nasional. Kemerdekaan dan keagenan (agency) merupakan dua konsep sentral dalam pendekatan kapabilitas (Walker dan Unterhalter, 2007). Dua konsep ini perlu diperjelas dalam kerangka pendekatan kapabilitas. Dalam kerangka ini, orang dipahami sebagai partisipan aktif dalam perkembangan ketimbang sebagai pengamat yang pasif. Keagenan berarti bahwa setiap orang adalah manusia yang terhormat, yang bertanggung jawab membentuk hidupnya dalam arahan tujuan yang berarti. Dengan kata lain, orang tidak dibentuk atau diinstruksikan untuk berpikir, melainkan membentuk dan mengelola dirinya sendiri untuk menjalani hidup yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuannya. Tujuan-tujuan itu boleh jadi tidak niscaya membuat individu lebih senang atau lebih nyaman, tetapi hal itu dicapai melalui penalaran reflektif. Dalam pendidikan, setiap orang diperlakukan sebagai agen dari pemelajarannya, menjadi agen atau instrumen bagi pemelajaran orang lain, dan menjadi penerima dari keagenan orang lain. Sebagai agen, peserta didik layak memperoleh perhatian dari pendidik dan sekolah dalam ikhtiar-ikhtiar untuk mengembangkan mereka sebagai manusia yang merdeka. Bagi Ki Hadjar dan Sen, keterlibatan siswa dalam pembentukan kehidupan dan perolehan kesempatan untuk merefleksikan keagenannya merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan sosial yang positif. Keagenan pada dirinya sendiri penting untuk kemerdekaan individu, juga secara instrumental dibutuhkan untuk tindakan kolektif dan partisipasi demokrasi. Dengan kata lain, keagenan pada individu diperlukan untuk perkembangan masyarakat (Sen, 1990). Orang melatih dan mengembangkan keagenannya secara individual serta lewat kerja sama dengan orang lain (Walker dan Unterhalter, 2007). Melalui kesempatan pendidikan dan proses yang memadai, setiap orang dapat belajar menguatkan keagenan dan kemerdekaannya. Keagenan juga merupakan kunci bagi kebahagiaan atau kesejahteraan (well-being) seseorang (Alkire, 2002). Sama halnya dengan pemelajaran, pemahaman diri sendiri sebagai agen, yang tindakan-tindakan dan kontribusinya diperhitungkan dalam dunia pendidikan, tidak berlangsung sekali jadi dalam waktu yang cepat. Pembentukan kesadaran tentang diri sendiri sebagai agen berlangsung dalam proses yang panjang dan lama, proses yang sekaligus meng-ada (being) dan menjadi (becoming). Dengan membangun keagenan di dalam dan melalui praktik pendidikan, kita membuka kemungkinan untuk menginterupsi hubungan yang
ix
dipaksakan dalam pendidikan yang cenderung mengaitkan sumber-sumber yang dimiliki pemelajar dengan manfaat (Walker dan Unterhalter, 2007).
4. Pendekatan Yang Digunakan Penyelenggara Pendidikan di UI Dengan dasar pertimbangan keagenan, perlu dipertanyakan apakah pemelajar yang berbeda diakui—secara sosial dan edukasional—memiliki klaim yang setara terhadap sumber daya dan kesempatan. Ini merupakan persoalan yang saat ini sedang dihadapi Indonesia. UI berusaha menyelesaikan persoalan ini. Marilah kita cermati apa yang berlangsung umum dalam proses pendidikan di Indonesia. Pada kenyataannya, di Indonesia terdapat perbedaan akses ke sumber dan kesempatan, di antara para lulusan dari sekolah yang dianggap bermutu dan yang kurang bermutu, terutama lulusan perguruan tinggi. Secara sosial tuntutan fungsional terhadap para lulusan perguruan tinggi jauh lebih tinggi daripada tuntutan terhadap kapabilitas mereka. Mereka diharapkan sudah siap berfungsi begitu mereka memasuki dunia kerja. Fungsi yang dituntut dari lulusan itu adalah fungsi yang sudah ditentukan oleh pemberi kerja. Mereka harus siap bekerja dengan fungsi yang sangat khusus. Ternyata, tidak semua lulusan perguruan tinggi—seperti juga lulusan SMA—dapat diserap oleh dunia kerja yang membutuhkan fungsi khusus. Di sisi lain, selama dalam pendidikan mereka tidak dipersiapkan untuk memiliki kapabilitas sehingga mereka seperti tak punya kesempatan dan tak mampu melihat kemungkinan lain di luar menjadi orang “bayaran,” yakni orang yang bekerja pada orang lain, misalnya pemerintah atau perusahaan. Perguruan tinggi di Indonesia umumnya menjadikan keterserapan lulusannya oleh dunia kerja sebagai salah satu indikasi keberhasilan mereka mendididik. Semakin banyak dan semakin cepat lulusan mereka terserap oleh perusahaan atau lembaga pemberi kerja, semakin besar rasa keberhasilan mereka mendidik mahasiswa-mahasiswanya. Dari situ dapat kita lihat bahwa kebanyakan—kalau tidak dapat dikatakan semua—perguruan tinggi di Indonesia masih menggunakan pendekatan utilitarian yang mementingkan pengajaran fungsi dan mengejar manfaat yang spesifik. Pendidikan yang berikhtiar untuk menghasilkan kapabilitas atau kemerdekaan pada siswa-siswanya masih sangat langka. Dalam kajian penelusuran (tracer study) atas sejauh mana efektivitas proses pendidikan melalui identifikasi kegiatan-kegiatan para lulusannya, informasi yang digali ialah sejauh mana fungsi-fungsi dimiliki oleh lulusan. Umumnya dalam kajian itu hanya ditanyakan waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama, besarnya gaji pertama, posisi
atau jabatan di tempat kerja awal dan saat ini, kesesuaian ilmu dengan bidang x
pekerjaan, kebutuhan keilmuan dalam melaksanakan pekerjaannya, serta saran dan kritik untuk kebutuhan pengembangan jurusan. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kapabilitas sangat jarang. UI berupaya mengubah kecenderungan itu. Pemikiran tentang pengembangan kapabilitas dan bukan melulu pembentukan fungsi yang menjadi tujuan pendidikan tinggi diindikasikan oleh kajian penelusuran yang dilakukan oleh UI. Dari kuesioner dan laporan hasil kajian itu, ada indikasi bahwa pendidikan di UI menekankan juga pentingnya pengembangan kapabilitas dalam pendidikan. Mahasiswanya diberi kesempatan dan difasilitasi untuk meningkatkan kapabilitasnya melalui berbagai pengalaman belajar: selain pengalaman belajar di dalam kelas dan di laboratorium, ada juga pengalaman belajar di masyarakat, di perusahaan atau di instansi pemerintah; belajar dalam organisasi dan dalam pergaulan; serta belajar mandiri. Pendidikan yang memungkinkan terbentuknya keterampilan hidup, keterampilan generik atau keterampikan lunak (soft-skill) pun dilakukan oleh UI. Beberapa pelajaran juga disajikan dengan metode yang memungkinkan mahasiswa memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kapabilitasnya, seperti keterlibatan dalam penelitian sebagai bagian dari mata ajar metodologi penelitian, pengalaman bekerja sama dalam tim, fasilitasi keterampilan komunikasi lisan dan tertulis, kepemimpinan, manajemen organisasi, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pemberdayaan masyarakat. Metode pemelajaran yang digunakan pun beragam dan memungkinkan pengembangan kapabilitas mahasiswa. Melalui kajian penelusuran, UI mencoba melihat sejauh mana pendidikan yang bertujuan meningkatkan kapabilitas itu berpengaruh dan berperan dalam kehidupan lulusannya di masyarakat. Kini usaha untuk menekankan pengembangan kapabilitas pada mahasiswa UI dalam keseluruhan kurikulumnya semakin besar porsinya. Sebagai wacana, pendidikan yang bertujuan meningkatkan dan menyetarakan kapabilitas sudah sering dikemukakan di Indonesia. Namun pada praktiknya, belum banyak penyelenggara
pendidikan
yang
sungguh-sungguh
berikhtiar
meningkatkan
dan
menyetarakan kapabilitas. Umumnya pendidikan di Indonesia belum ditujukan untuk menghasilkan manusia yang merdeka atau berkarakter kuat. Dalam banyak hal pendidikan dilakukan semata-mata untuk menghasilkan penguasaan fungsi oleh para siswa; itu pun masih belum efektif. Di tingkat pendidikan yang lebih rendah (SMA, SMP, dan SD), bahkan pendidikan yang menghasilkan fungsi pun, pengembangan kapabilitas belum berjalan. Kecenderungan guru-guru mencekoki murid dengan informasi yang harus dihafal, atau menunjukkan caracara tertentu yang tak boleh ditawar atau dikritik mendorong siswa untuk sekadar menghafal, xi
menjadi orang yang pasif menyerap informasi, dan kurang memiliki inisiatif, apalagi kreativitas. Praktik pendidikan, baik penyekolahan, pembiasaan, maupun peneladanan, jauh dari pencapaian tujuan menghasilkan manusia merdeka. Bahkan, kapabilitas terkesan tak terpikirkan oleh kebanyakan penyelenggara sekolah, guru, dan orang tua.
5. UI Memperjuangkan Kapabilitas dan Kemerdekaan Untuk mengubah kecenderungan pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan fungsi ketimbang kapabilitas, UI memulainya dengan evaluasi yang menekankan pentingnya pengembangan kapabilitas, misalnya melalui kajian penelusuran. Kemudian, pemelajaran diarahkan kepada usaha pengembangan kapabilitas dengan menggunakan pelbagai metode pembelajaran. Metode-metode itu ialah kolaborasi (collaborative learning) dalam membentuk pengetahuan dan menyelesaikan masalah; pemelajaran berdasarkan masalah (problem-based
learning);
pemagangan;
penyelesaian
proyek
bersama;
penugasan
(internship) di beberapa lembaga atau komunitas di masyarakat seperti kuliah kerja nyata (KKN); fasilitasi untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler, seminar dan diskusi lainnya; pelibatan mahasiswa dalam kegiatan riset; serta pemanfaatan mahasiswa dalam penyelenggaraan administrasi pendidikan. Evaluasi terhadap pemelajaran pun mulai ditekankan pada sejauh mana kapabilitas mahasiswa berkembang. Penekanan evaluasi pada kapabilitas ketimbang pada fungsi merupakan kontribusi berarti untuk pembahasan keadilan sosial dalam pendidikan, termasuk peningkatan perhatian kepada gagasan keagenan dan identitas. Dengan evaluasi terhadap kapabilitas, kita dapat menemukan hal-hal yang memperlemah dan memperkuat kapabilitas. Temuan-temuan dalam kajian penelusuran yang dilakukan telah memberikan banyak masukan bagi perbaikan kualitas pendidikan di UI. Temuan itu memungkinkan UI untuk memikirkan strategi, metode, dan teknik peningkatan kapabilitas yang sekaligus merupakan peningkatan keagenan dan kemerdekaan. Evaluasi kapabilitas juga memungkinkan penyelenggara pendidikan memahami persoalan-persoalan yang ada pada para peserta didik dengan identitas tertentu, baik individual maupun kolektif. Pemahaman terhadap permasalahan identitas itu dapat membantu penentuan strategi dan rancangan pendidikan yang sesuai dengan identitas peserta didik. Dengan demikian persoalan identitas mereka dapat diselesaikan bersamaan dengan peningkatan penghargaan mereka terhadap identitas kolektif dan identitas diri mereka masing-masing.
xii
Bagaimana evaluasi itu dilakukan? Dengan kerangka apa? UI belajar dari para pemikir yang bergulat dengan persoalan pendidikan dan evaluasinya. Pelbagai pemikiran tentang pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua arus. Pertama, arus pemikiran yang fokus pada bagaimana sekolah mereproduksi ketaksetaraan dan ketakadilan sosial melalui maldistribusi dan pembungkaman (di antaranya Bowles dan Gintis, 1976, Bourdieu dan Passeron, 1977; Aikman, 1999; Bowles dan Gintis, 2002; Kwesiga, 2002; Ball 2003). Kedua, mereka yang menyadari bagaimana kondisi di sekolah atau situs pemelajaran lainnya menawarkan sumber daya atau kondisi yang melaluinya pemelajar dapat melawan atau mengubah ketaksetaraan (di antaranya Stromquist, 1998; Brighouse, 2002; Lynch dan Baker 2005; McLeod, 2005). UI memadukan kedua pendekatan itu dengan satu tujuan yang memiliki dua sisi. Tujuan itu, yang mensyaratkan kesetaraan dan keadilan sosial, adalah kesejahteraan dan kebahagiaan manusia yang di dalamnya tercakup kapabilitas dan kemerdekaan. Tidak tercapainya kesejahteraan, juga kapabilitas dan kemerdekaan, boleh jadi karena ada ketidaksetaraan dan ketidakadilan, tetapi bisa juga karena upaya-upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan memang tidak dilakukan. Perlu ditekankan di sini, hilangnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan tidak dengan sendirinya berarti tercapainya kesetaraan dan keadilan. Oleh karena itu, usaha untuk menghilangkan ketaksetaraan dan ketidakadilan usaha untuk menghadirkan kesetaraan dan keadilan harus dilakukan secara bersama-sama. Di satu sisi, tujuan itu dicapai dengan mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Di sisi lain, hal itu dicapai dengan meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial. Sejalan dengan beberapa pemikir yang mengedepankan kapabilitas (di antaranya Sen, 1992, 1993; Nussbaum, 1997, 2002, 2004, 2006), di tataran individu, pendidikan di UI dan evaluasinya diselenggarakan dengan dasar kesejahteran dan kebahagiaan manusia sebagai tujuan. Secara operasional, kapabilitas dan kemerdekaan dapat ditingkatkan melalui pendidikan dengan memfasilitasi peserta didik menjadi orang yang belajar sepanjang hayat, memiliki gairah menjalani kehidupan, berani mengambil risiko, mampu berpikir kritis, dan memecahkan masalah, mampu melihat sesuatu secara berbeda, mampu bekerja (baik secara independen maupun bersama orang lain), kreatif, peduli dan rela memberikan kontribusi kepada komunitas, merawat hal-hal yang baik, memiliki integritas dan menghargai diri sendiri, memiliki keberanian moral, mampu menggunakan dunia di sekelilingnya secara konstruktif, mampu berbicara, menulis, membaca dan bekerja secara baik, serta sungguhsungguh menikmati hidup dan pekerjaannya. Semua itu merupakan kapabilitas yang
xiii
diperlukan manusia untuk dapat menjadi sejahtera dan bahagia. Evaluasi pendidikan di tataran individu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hal itu semua telah dicapai. UI mendorong berkembangnya kapabilitas para mahasiswa dan dosennya. Di antaranya dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu secara finansial, menyediakan pelayanan kesehatan dan fasilitas fisik dengan dasar kesetaraan, memberlakukan sistem biaya operasional pendidikan (BOP) berkeadilan yang menggunakan prosedur subsidi silang, melibatkan mahasiswa dalam riset, dan mendorong dan memfasilitasi dosen-dosen melakukan riset sesuai dengan bidang minatnya. Dasar dari kebijakan itu adalah kesadaran bahwa meskipun setiap orang memiliki potensi untuk memperoleh kapabilitas dan kemerdekaan, aktualisasinya memerlukan perjuangan yang tak ringan. Dengan kata lain, kapabilitas dan kemerdekaan harus diperjuangkan. Pendidikan yang merupakan bagian dari aktivitas mengembangkan dan menjaga kesatuan diri setiap pribadi dalam rangka partisipasi mengembangkan dunia pun harus diperjuangkan. UI mengupayakan agar kesetaraan pendidikan itu dapat dicapai secara aktual. Pembedaan BOP, sebagai contoh, dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan mahasiswa yang kurang mampu secara finansial dengan memberikan keringanan biaya kuliah atau beasiswa penuh kepada mereka. UI juga mengupayakan kemerdekaan dari tuntutan dan penindasan rezim manfaat, kekuasaan industri, dan pasar tenaga kerja dengan meleluasakan dosen-dosennya melakukan riset-riset sesuai dengan minat dan bidang keahliannya, terlepas dari apakah riset-riset itu dibutuhkan oleh pasar atau tidak. Lalu, dengan bekal hasil riset mereka, para dosen itu mengajar dan mengembangkan kapabilitas mahasiswa. UI, tentu saja, juga mementingkan manfaat, bekerja sama dengan industri, dan ikut mendukung tersedianya tenaga kerja yang kompeten. Namun, di atas semua itu, UI terutama mendidik mahasiswa agar berkarakter kuat, mempunyai kapabilitas, dan merdeka sebagai tujuan utamanya.
6. MPKT Sebagai Usaha Pengembangan Kapabilitas Mahasiswa UI Dengan dasar konsep pendidikan sebagai usaha pengembangan kapabilitas dan bertujuan menghasilkan manusia merdeka, maka MPKT diselenggarakan. Penyelenggaraannya merupakan wujud dari komitmen UI untuk mengembangkan kapabilitas mahasiswanya. Buku ajar yang memuat bahan-bahan bacaan ini merupakan satu alat pendidikan yang dimaksudkan untuk menjadi salah satu rujukan yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa, khususnya dalam bagian MPKT A yang lebih menekankan dasar-dasar ilmu pengetahuan xiv
sosial dan humaniora. Bahan bacaan ini hanyalah salah satu alat yang melengkapi metode pemelajaran yang mengutamakan keaktifan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar. Ada banyak alat bantu lain seperti disain instruksional dalam bentuk buku rancangan pembelajaran, formulir evaluasi, peralatan pendukung presentasi, laboratorium, peralatan komputer dan internet, serta alat-alat lain yang disesuaikan dengan jenis dan bentuk pemelajaran mahasiswa. Selain itu, buku ajar ini hanya memuat informasi yang terbatas dan oleh karena itu mahasiswa diharapkan dan didorong untuk juga memanfaatkan sumbersumber bacaan lain untuk memperkaya pengetahuan mereka. Buku ajar ini memuat bahan-bahan bacaan mengenai kekuatan dan keutamaan karakter, filsafat, logika yang sekaligus juga memuat materi berpikir kritis, etika, pengembangan diri individu, kehidupan sosial yang mencakup masyarakat dan bangsa, dan kebudayaan. Bahan-bahan itu dimasukkan ke dalam tiga buku. Buku I memuat dasar-dasar yang dibutuhkan dalam usaha perolehan dan penerapan pengetahuan, yaitu Filsafat, Logika, Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan Karakter. Buku II berisi pokok-pokok Manusia, Masyarakat, dan Kesadaran Lingkungan.
Buku III memuat materi tentang Bangsa dan
Negara, khususnya Bangsa dan Negara Indonesia. MPKT A sebagai bagian dari MPKT keseluruhan merupakan usaha untuk mengembangkan kapabilitas mahasiswa UI. Pelajaran-pelajaran yang dapat diperoleh di dalamnya bukan hanya mengenai fungsi yang harus dimiliki mahasiswa dalam memenuhi tuntutan masyarakatnya, melainkan lebih daripada itu, yakni pelajaran tentang bagaimana kapabilitas mahasiswa dapat dikembangkan sehingga ia dapat mengembangkan dirinya sendiri dan masyarakatnya.
xv
DAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar
Aikman, S. 1999. Intercultural Education and Literacy: An Ethnographic Study of Indigenous Knowledge and Learning in the Peruvian Amazon Studies in Written Language and Literacy 7. Amsterdam: John Benjamins. Alkire, S. 2002. Valuing Freedoms: Sen’s Capability Approach and Poverty Reduction. Oxford: Oxford University Press. Ball, S. 2003. Class Strategies and the Education Market: The Middle Classes and Social Advantage. London: Routledge Falmer. Bourdieu, P. dan Passeron, J.-C. 1977 (cet. ke-2). Reproduction in Education, Society and Culture. London: Sage. Bowles, S. dan Gintis, H. 1976. Schooling in Capitalist America. New York: Basic Books. ———. 2002. “Schooling in Capitalist America Revisited.” Dalam Sociology of Education, 75 (2): 1–18. Brighouse, H. 2002. “What Rights (if any) Do Children Have?” Dalam The Moral and Political Status of Children (suntingan A. Archard dan C. MacLeod). Oxford: Oxford University Press. Brighouse, H. dan Swift, A. 2003. “Defending Liberalism in Education Theory.” Dalam Journal of Education Policy, 18:355–373. Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Dreze, J. dan Sen, A. 1995. India: Economic Development and Social Opportunity. Oxford: Oxford University Press. Hatta, M. 1932/1988. Ke Arah Indonesia Merdeka: Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 1: Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 21—30. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia. Kwesiga, J. 2002. Women’s Access to Higher Education in Africa: Uganda’s Experience. Kampala: Fountain Publishers. Lynch, K. dan Baker, J. 2005. “Equality in Education: An Equality of Condition Perspective.” Dalam Theory and Research in Education 3:131–164.
xvi
McLeod, Julie. 2005. “Feminists Re-reading Bourdieu: Old Debates and New Questions about Gender Habitus and Gender Change.” Dalam Theory and Research in Education, 3:7–9. Nussbaum, M. C. 2000. Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge: Cambridge University Press. Robeyns, I. 2005. “The Capability Approach: A Theoretical Survey.” Dalam Journal of Human Development, 6(1) 93-114. Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Univeritas Indonesia. Sen, Amartya. 1979. “Utilitarianism and Welfarism.” Dalam The Journal of Philosophy, LXXVI, 463-489. ———. 1980. “Equality of What?” Dalam The Tanner Lectures on Human Values (suntingan S. McMurrin). Salt Lake City: University of Utah Press. ———. 1985. Commodities and Capabilities. Oxford: Oxford University Press ———. 1992. Inequality Re-examined. Oxford: Oxford University Press. ———. 1993. “Capability and Well-being” dalam Nussbaum dan Sen, The Quality of Life. ———. 1999. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press. ———. 2002. Rationality and Freedom. Cambridge, MA: Harvard University Press. ———. 2004. “Capabilities, Lists and Public Reason: Continuing the Conversation.” Dalam Feminist Economics, 10:77–80. Stromquist, Nelly. 1998. “Empowering Women through Knowledge: Politics and Practices” dalam International Cooperation in Basic Education. Stanford, CA: SIDEC. Unterhalter, E. 2003. “The Capabilities Approach and Gendered Education: An Examination of South African Complexities.” Dalam Theory and Research in Education, 1 (1): 7–22. Walker, M. dan Unterhalter, E. (editor). 2007. Amartya Sen’s Capability Approach and Social Justice in Education. New York: Palgrave MacMillan.
xvii
DAFTAR ISI
PENGANTAR …………………………………………………………………..……… iii DAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar ………………………………………..………. xvi DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. xviii BAB I: KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER 1. Pendahuluan……………………………………………………..…………. 1 2. Kepribadian dan Karakter……….……………………...………………….. 2 3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter………………………..……………….. 4 4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional….… 4 5. Kriteria Karakter yang Kuat…………………………………….………… 6 6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter yang Membentuknya……….………… 7 7. Karakter dan Spiritualitas……………………………….……….………… 12 8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan……………………………………. 15 DAFTAR PUSTAKA untuk Bab I....................................................................
17
BAB II: DASAR-DASAR FILSAFAT 1. Pendahuluan……… ……………………………………………....……….. 18 2. Pengertian Filsafat……….………………………………………....………. 20 3. Cabang dan Aliran Filsafat………..…………………………...…………… 26 4. Alternatif Langkah Belajar Filsafat……………………………………....… 34 DAFTAR PUSTAKA untuk Bab II …............................................................. 38
BAB III: DASAR-DASAR LOGIKA……………………………………………..…….. 39 1. Apakah Logika Itu?...............................………………..……………...….. 39 2. Kategori…………………..…………………………………..……….....… 43 3. Term, Definisi dan Divisi…………………..……………………….……… 48
xviii
3.1 Term…………………………………………..………..……….……… 48 3.2 Definisi…………………………………………………………………. 49 3.2.1 Penggolongan Definisi…………………………………………… 50 3.2.2 Aturan Membuat Definisi………………………………………… 51 3.3 Divisi……………………………………………………………………. 52 3.3.1 Divisi Real atau Aktual…………………………………………… 52 3.3.2 Divisi Logis……………………………………………………….. 53 3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi…………………………………………. 53 4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi..………………………….……….…… 54 4.1 Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi………..……….……… 54 4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks……………………… 56 4.3 Jenis-Jenis Pernyataan Kompleks………………………….…………… 58 4.3.1 Negasi……………………………………………………………... 58 4.3.2 Konjungsi…………………………………………………………. 59 4.3.3 Disjungsi………………………………………………………….. 61 4.3.4 Kondisional……………………………………………………….. 62 4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang Mencukupi………………………………………………………… 64 4.4 Hubungan Antar-pernyataan………………………………..…….…….. 65 4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dan Proposisi…………………… 66 4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi……………………………………. 68 4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis…………………. 68 5. Penalaran…………..………………………………………….……………. 70 5.1 Penyimpulan Langsung……………………………...………….…….. 70 5.2 Penyimpulan Tak Langsung………………………..……………….….. 71 5.3 Dua Jenis Penalaran….…………………………………………………. 72 5.4 Kesalahan Penyimpulan………………………………………………… 72 5.5 Argumentasi…………………………………………………………….. 73 6. Argumen Deduktif…………………………………….………………….…. 74 6.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi)…………………………………. 74 6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif…….…………………………………. 74 6.3 Silogisme………………………..………………………………….…… 75 6.3.1 Silogisme Kategoris………………………………………………. 76 6.3.2 Delapan Hukum Silogisme……………………………………….. 76 xix
6.3.3 Silogisme Hipotetis………………………………………………. 79 6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih……………………. 79 7. Argumen Induktif……………………….…………………………….……. 81 7.1 Definisi Induksi………………………………………………………… 81 7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)………………………. 84 7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal……………………….. 88 7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik……………………………….. 92 8. Sesat Pikir…………………………………….……………………………... 100 8.1 Pengertian Sesat Pikir (Fallacies)……………………………………….. 100 8.2 Sesat Pikir Formal………………………………………………………. 101 8.3 Sesat Pikir Nonformal………………………………………………….. 104 9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif………………………………. 109 9.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif………………….. 110 9.2 Kesalahan Generalisasi…………………………………………………. 112 9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan Kecelakaan)………………………………………………………. 112 9.2.2 Kesalahan Kecelakaan……………………………………………. 113 9.3 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah……………………………. 116 9.3.1 Kesimpulan yang Tidak Relevan…………………………………. 116 9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan…………………………………… 117 9.4 Kesalahan Statistikal…………………………………………………… 119 9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias)………………. 119 9.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Ststistik yang Tidak Cukup)…. 120 9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gambler’s Fallacy)………………………...... 122 9.5 Kesalahan Kausal………………………………………………………. 123 9.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat…………………………………. 124 9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama………………………………… 125 9.5.3 Kesalahan Penyebab yang Salah (Kesalahan Post Hoc)…………. 126 9.5.4 Mengacaukan Penyebab yang Berupa Necessary Condition dengan Sufficient Condition……………………………………………… 127 9.6 Kesalahan Analogi……………………………………………………… 129 DAFTAR PUSTAKA untuk Bab III…..………................................................. 132
BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA………………………………………………………. 133 xx
1. Perbedaan Etika dan Moralitas...................................................................... 133 2. Klasifikasi Etika…………………………………………………………….. 135 2.1 Etika Normatif………………………………………………………….. 136 2.2 Etika Terapan…………………………………………………………… 137 2.3 Etika Deskriptif…………………………………………………………. 138 2.4 Metaetika……………………………………………………………….. 140 3. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis..…………………………………….. 141 3.1 Realisme Etis……………………………………………………………. 141 3.2 Nonrealisme Etis………………………………………………………... 142 4. Empat Jenis Pernyataan Etika………………………………………………. 143 5. Kegunaan Etika…………………………………………..…………………. 145 6. Immanual Kant dan Etika Kewajiban.……………………………………… 146 7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian…………………………….. 149 8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban……………………..…………………… 152 DAFTAR PUSTAKA untuk Bab IV ………………........................................ 156
xxi
BAB I KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER
Bagus Takwin
1. Pendahuluan Persoalan karakter belakangan ini mencuat kembali. Ada banyak pembahasan tentang karakter di dalam diskusi dan seminar. Bermunculan juga lembaga pendidikan yang diberi label “pendidikan karakter”. Program-program pendidikan dari pemerintah pun mulai banyak memberi penekanan pada pendidikan karakter. Kecenderungan ini adalah kecenderungan yang baik jika memang persoalan karakter dibidik secara tepat, dan juga jika pendidikan karakter yang dimaksud bukan label saja. Pembentukan karakter memang menjadi salah satu kunci dari kemajuan dan pembangunan bangsa. Jauh-jauh hari Bung Hatta (1932/1988) sudah menekankan pentingnya pembentukan karakter bersama dengan pembangunan rasa kebangsaan dan peningkatan pengetahuan serta keterampilan (Hatta, 1988). Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka adalah manusia dengan karakter yang kuat (Dewantara, 2004). Pembentukan karakter juga merupakan isu penting dalam pendidikan mengingat tujuan pendidikan adalah pembentukan watak atau karakter (Santoso, 1979). Dalam psikologi, khususnya psikologi positif, belakangan ini pembahasan tentang karakter dengan kekuatan dan keutamaannya cukup menonjol. Dalam rangka memahami kebahagiaan, mereka sampai pada pengertian bahwa kebahagiaan yang otentik adalah perpaduan perasaan-perasaan positif dan penilaian-penilaian terhadap hidup yang memuaskan berdasarkan kekuatan dan keutamaan karakter. Kebahagian otentik bersumber pada diri sendiri dan pada kekuatan dan keutamaan karakter, tetapi bukan berasal dari hal-hal lain di luar diri sendiri. Dengan kekuatan dan keutamaan karakter, orang dapat menghasilkan perasaan-perasaan positif dalam situasi apa pun. Ia juga dapat melihat sisi-sisi baik dari hidupnya sehingga ia dapat memberikan penilaian positif pula kepada hidupnya. Oleh sebab itu, pendidikan karakter juga merupakan usaha untuk membantu peserta didik mencapai kebahagiaan.
1
Jika kita pikirkan dengan lebih mendalam lagi, kekuatan karakter bersumber pada keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual. Manusia memiliki daya-daya spiritual yang memberikan kebebasan kepadanya untuk melampaui apa yang ada di sini dan saat ini. Dengan spiritualitasnya, manusia mengatasi dan melampaui keterbatasannya sebagai makhluk alamiah. Spiritualitas manusia merupakan dasar dari kekuatan karakter. Kemampuan manusia untuk memperbaiki diri dan dunianya dari waktu ke waktu bersumber pada daya-daya spiritualnya. Dalam bab ini akan dibahas pengertian karakter dengan merujuk kepada Allport (1937;1961). Selanjutnya akan dibahas kekuatan dan keutamaan karakter yang sudah dihimpun oleh Peterson dan Seligman (2004) dari pendekatan psikologi positif. Kemudian dibahas spiritualitas sebagai dasar kekuatan karakter.
2. Kepribadian dan Karakter Karakter bukan kepribadian meskipun keduanya berkaitan erat. Perlu dibahas lebih dulu apa yang dimaksud dengan kepribadian mengingat istilah ini sering dipertukarkan dengan karakter. Selain itu, penjelasan tentang karakter akan lebih mudah dilakukan dengan menjelaskan kepribadian terlebih dahulu. Allport (1937:48) mendefinisikan kepribadian sebagai “...the dynamic organization within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustment to his environment” (“…organisasi dinamis dari keseluruhan sistem psiko-fisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya”). Dari definisi itu dapat dipahami bahwa kerpibadian manusia—sebagai hal yang terorganisasi—tidak acak, dan unsur-unsurnya tidak bekerja sendiri-sendiri. Kepribadian manusia adalah kesatuan yang teratur dengan unsur-unsur yang berkaitan satu sama lain. Allport juga memandang kepribadian manusia sebagai sesuatu yang dinamis. Artinya, kepribadian manusia terus bergerak dan berkembang, tidak berhenti atau terhenti pada satu titik. Kepribadian manusia tampil dalam perilaku yang melibatkan aspek psikis seperti berpikir, mempercayai dan merasakan sesuatu. Kepribadian juga tampil dalam perilaku yang melibatkan aspek fisik manusia seperti berjalan, berbicara dan melakukan tindakan-tindakan motorik. Organisasi, dinamika, dan interaksi antara psikis dan fisik manusia dalam kepribadiannya menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya. Di sini terkandung pengertian bahwa baik faktor internal diri manusia maupun faktor eksternal (lingkungan)-nya mempengaruhi kepribadian manusia. Manusia memiliki otonomi dalam 2
dirinya tetapi, di sisi lain, ia juga menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara unik. Dengan keunikan itu, seorang manusia berbeda dari manusia lainnya. Allport (1937; 1961) menambahkan beberapa pengertian yang menyangkut kepribadian sebagai berikut. Pertama, kepribadian dapat dipahami sebagai perpaduan dari sifat-sifat (traits) mayor dan minor yang masing-masing dapat berdiri sendiri dan dikenali. Kedua, sifat kepribadian (personality trait) merupakan suatu mekanisme paduan antara faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosial yang mengarahkan individu kepada kegiatan-kegiatan spesifik dalam suatu keadaan yang spesifik. Ketiga, seorang ahli psikologi dapat mengatakan bahwa dirinya “memahami” orang lain hanya jika keseluruhan sejarah hidup orang itu telah ditelitinya, hanya jika “hidup” orang itu diamati, dan hanya jika orang itu sendiri ikut berkontribusi dalam proses penilaian terhadap dirinya sendiri (self-evaluation). Allport cenderung untuk tidak memilah-milah dan menganalisis motif, keinginan, dan perilaku sebagai hal yang terpisah satu sama lain, melainkan menganggapnya sebagai hal-hal yang saling mempengaruhi. Allport (1961) melihat manusia sebagai keseluruhan yang utuh berdasarkan pembentukan sifat-sifat dasarnya. Oleh karena itu, dalam memahami kepribadian seseorang perlu diketahui sejarah hidup, latar belakang budaya, ambisi, cita-cita, karakter, motif, dan sifatnya serta keterkaitan semua itu dalam pembentukan kepribadiannya. Pemahaman tentang unsur-unsur kepribadian berdasarkan analisis terhadap unsur-unsurnya masing-masing itu baru merupakan langkah awal untuk membantu pemahaman tentang keseluruhan kepribadian. Pada akhirnya, sintesis dari unsur-unsur itulah yang merupakan gambaran kepribadian. Allport (1937) mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dievaluasi. Artinya, karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari, dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu. Karakter, dengan demikian, adalah kumpulan sifat mental dan etis yang menandai seseorang. Kumpulan ini menentukan orang seperti apa pemiliknya. Karakter juga menentukan apakah seseorang akan mencapai tujuan secara efektif, apakah ia apa adanya dalam berurusan dengan orang lain, apakah ia akan taat kepada hukum, dan sebagainya. Karakter diperoleh melalui pengasuhan dan pendidikan meskipun potensialitasnya ada pada setiap orang. Untuk membentuk karakter yang kuat, orang perlu menjalani serangkaian proses pemelajaran, pelatihan dan peneladanan. Seperti yang sudah disebutkan di atas, pendidikan pada intinya merupakan proses pembentukan karakter.
3
3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter Identifikasi karakter yang merupakan pengenalan terhadap keutamaan tertentu pada diri seseorang dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap ciri-ciri keutamaaan yang tampil dalam perilaku khusus dan respons secara umum dari orang itu. Peterson dan Seligman (2004) mengembangkan klasifikasi keutamaan beserta pendekatan metodik untuk mengidentifikasinya. Mereka mengatakan bahwa karakter yang kuat adalah karakter yang bercirikan keutamaan-keutamaan yang merupakan keunggulan manusia. Di sini keutamaan sebagai kekuatan karakter dibedakan dari bakat dan kemampuan. Mereka juga menjelaskan kondisi situasional yang dapat memunculkan atau menyurutkan kekuatan-kekuatan itu, pelatihan atau pembinaan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter yang kuat, serta hasil-hasil positif yang dapat diperoleh seseorang yang memiliki keutamaan. Penggalian, pengenalan, dan pengukuran keutamaan dapat dilakukan melalui teknik inventori, skala sikap, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah (focus-group discussion) dan simulasi. Pada prinsipnya, semua teknik itu membutuhkan ahli yang memahami konstruk karakter dan keutamaan, terutama dalam proses penafsiran dan pemaparan keseluruhan karakter subjek yang diteliti. Tetapi, dalam pelaksanaannya, beberapa teknik dapat digunakan oleh lebih banyak orang yang terlebih dahulu dilatih dalam waktu singkat.
4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional Peterson dan Seligman (2004) mengemukaan tiga level konseptual dari karakter, yaitu keutamaan, kekuatan dan tema situasional dari karakter. Pembedaan ini berguna untuk kepentingan pengenalan, pengukuran dan pendidikan karakter. Komponen karakter yang baik tampil dalam level abstraksi yang berbeda sehingga pengenalannya dalam kenyataan praktis pun memerlukan pendekatan yang berbeda. Cara mengenali keutamaan berbeda dengan cara mengenali kekuatan karakter, juga berbeda dengan cara mengenali tema situasional. Hubungan antara keutamaan, kekuatan dan tema situasional karakter bersifat hierarkis. Keutamaan berada di level atas, lalu kekuatan di level tengah, dan tema situasional di level bawah. Dalam keseharian, kita terlebih dahulu mengenali tema situasional dari karakter. Ketika orang menampilkan serangkaian perilaku dalam situasi tertentu, kita dapat mengenai tema situasional tertentu dari karakter, tetapi kita belum dapat menyimpulkan bahwa orang itu memiliki kekuatan tertentu. Kita dapat lebih memastikan kekuatan apa yang dimiliki orang itu jika kita dapat mengenali bahwa orang itu juga menampilkan perilakuperilaku sesuai tema situasional tertentu dalam beberapa situasi. Kemudian, jika dalam 4
berbagai situasi dan dalam rentang waktu yang relatif lama, seseorang menunjukkan berbagai kekuatan tertentu secara konsisten, baru kita dapat mengenali keutamaan orang itu. Keutamaan merupakan karakteristik utama dari karakter (Peterson & Seligman, 2004). Para filsuf dan agamawan menjadikan keutamaan sebagai nilai moral oleh karena itu keutamaan dianggap sebagai dasar dari tindakan yang baik. Berbagai perilaku dapat dinilai berdasarkan keutamaan yang secara umum terdiri dari: kebijaksanaan, courage (kesatriaan), kemanusiaan, keadilan, pengendalian atau pengelolaan diri, dan transendensi. Enam kategori besar keutamaan ini muncul secara konsisten dalam survei sejarah sehingga dinilai sebagai keutamaan universal. Peterson dan Seligman (2004) pun menegaskan bahwa enam keutamaan ini universal dan mungkin memiliki dasar pada manusia secara biologis. Enam keutamaan ini harus ada di atas batas nilai standar pada individu yang dipercaya sebagai orang yang memiliki karakter yang baik. Kekuatan
karakter
adalah
unsur
psikologis,
lebih
tepatnya,
proses
yang
mendefinisikan keutamaan. Dengan kata lain, keutamaan dapat dicapai melalui pencapaian kekuatan karakter. Untuk kepentingan pengukuran dan pendidikan karakter, kekuatan karakter adalah karakteristik yang dijadikan indikator untuk mengenali adanya satu atau lebih keutamaan pada diri seseorang. Peterson dan Seligman (2004) memberi contoh berikut ini. Keutamaan kebijaksanaan dapat dicapai melalui kekuatan seperti kreativitas, rasa ingin tahu, cinta pembelajaran, keterbukaan pikiran, dan perspektif (memiliki “gambaran besar” mengenai kehidupan). Untuk memiliki keutamaan kebijaksanaan, orang harus memiliki kekuatan-kekuatan ini. Kekuatan karakter ini memiliki kesamaan peran dan pengaruh dalam keterlibatannya menghasilkan pengetahuan. Perolehan dan penggunaan pengetahuan melibatkan kekuatan-kekuatan ini. Tetapi, kekuatan-kekuatan ini juga berbeda satu sama lain. Sekali lagi, kita mengenali semua kekuatan ini di setiap tempat dan dihargai meski jarang orang menampilkannya. Selain itu, tidak harus semua kekuatan tampil untuk dapat menyebut seseorang berkarakter baik. Orang yang memiliki satu atau dua kekuatan ini saja dapat dikatakan berkarakter baik, bahkan dapat disebut memiliki keutamaan kebijaksanaan. Tema situasional dari karakter adalah kebiasaan khusus yang mengarahkan orang untuk mewujudkan kekuatan karakter dalam situasi tertentu. Pengenalan rinci terhadap tema situasional membutuhkan pengenalan terhadap situasi dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai contoh, survei oleh The Gallup Organization mengenali ratusan tema yang relevan dengan kinerja prima di tempat kerja, di antaranya empati, inklusivitas (menghargai perbedaan dan terbuka pada siapa saja), dan positivitas (berpikir positif) yang mencerminkan kebaikan hati yang tercakup dalam kekuatan cinta dan kecerdasan sosial, serta tercakup 5
dalam keutamaan kemanusiaan (Peterson dan Seligman, 2004). Munculnya tema situasional bergantung pada karakteristik tempat beradanya seseorang. Tema situasional dapat muncul dalam lingkungan yang meleluasakan individu tampil apa adanya, jujur dan tulus. Dari sini dapat dipahami bahwa lingkungan juga berperanan penting dalam memfasilitasi munculnya kekuatan karakter melalui pemunculan tema situasional. Semakin banyak dan sering tema situasional ditampilkan semakin terbentuk kekuatan karakter. Dalam pendidikan karakter, perancangan lingkungan yang memfasilitasi tampilnya tema situasional menjadi faktor penting untuk pembentukan karakter yang baik.
5. Kriteria karakter yang kuat Apa yang menjadi kualitas dari kekuatan karakter pribadi dan bagaimana mengenalinya? Peterson dan Seligman (2004) mengemukakan kriteria dari karakter yang kuat sehingga kita dapat mengenalinya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ialah kriteria dari karakter yang kuat. 1. Karakter yang ciri-cirinya (keutamaan yang dikandungnya) memberikan sumbangan terhadap pembentukan kehidupan yang baik untuk diri sendiri dan sekaligus untuk orang lain. 2. Ciri-ciri atau kekuatan yang dikandungnya secara moral bernilai sebagai sesuatu yang baik bagi diri sendiri dan orang lain, bahkan walaupun tak ada keuntungan langsung yang dihasilkannya. 3. Penampilan ciri-ciri itu tidak mengganggu, membatasi atau menghambat orang-orang di sekitarnya. 4. Kekuatan karakter tampil dalam rentang tingkah laku individu yang mencakup pikiran, perasaan, dan tindakan, serta dapat dikenali, dievaluasi dan diperbandingkan derajat kuatlemahnya. 5. Karakter yang kuat dapat dibedakan dari ciri-ciri yang berlawanan dengannya. 6. Kekuatan karakter diwadahi oleh model atau kerangka pikir ideal. 7. Kekuatan karakter dapat dibedakan dari sifat positif yang lain tetapi yang saling terkait secara erat. 8. Dalam konteks dan ruang lingkup tertentu, kekuatan karakter tertentu menjadi ciri yang mengagumkan bagi orang-orang yang mempersepsinya. 9. Boleh jadi tidak semua ciri karakter yang kuat muncul pada seseorang, tetapi kebanyakan dari ciri-ciri karakter yang kuat tampil pada orang itu. 6
10. Kekuatan karakter memiliki akar psiko-sosial; potensinya ada dalam diri sendiri, dan aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Peterson (2006) percaya bahwa orang memiliki tanda kekuatan yang sama dengan yang disebut Allport sebagai personal traits (sifat pribadi) satu dekade lalu. Kekuatan karakter itu yang dimiliki, dihargai, dan seringkali dilatih orang. Dalam penelitian Peterson, ditemukan bahwa hampir setiap orang dapat secara cepat mengenali sekumpulan kekuatan yang mereka ia miliki, sekita 2 sampai 5 kekuatan pada setiap orang.
6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter Yang Membentuknya Dalam usaha membentuk karakter, diperlukan pemahaman mengenai apa yang saja keutamaan dan kekuatan karakter yang sejauh ini sudah dikembangkan oleh manusia. Peterson dan Seligman (2004) berusaha untuk membuat daftar kekuatan karakter pribadi. Daftar ini masih terus dilengkapi dan tidak tertutup terhadap penambahan. Seperti teori ilmiah lainnya, teori tentang kekuatan karakter adalah subyek yang siap untuk diubah sesuai dengan bukti yang ditemukan dari waktu ke waktu. Berikut ini 24 kekuatan karakter yang tercakup dalam 6 kategori keutamaan.
Kebijaksanaan dan Pengetahuan Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Ada enam kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini, yaitu (1) kreativitas, orisinalitas dan kecerdasan praktis, (2) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (3) cinta akan pembelajaran, (4) pikiran yang kritis dan terbuka, dan (5) perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk pencapaian hidup yang baik. Kreativitas memberikan kemampuan untuk berpikir dengan cara baru dan produktif dalam membuat konsep dan menyelesaikan pekerjaan. Bersama dengan kekuatan orisinalitas dan kecerdasan praktis, kreativitas memungkinkan orang yang memilikinya untuk dapat menemukan solusi atau produk orisinal serta mampu menemukan cara-cara yang cerdik untuk untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Keingintahuan mencakup minat, dorongan untuk mencari kebaruan, keterbukaan terhadap pengalaman. Kekuatan ini menjadikan orang memiliki minat dalam pengalaman
7
yang sedang berlangsung baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, serta melakukan penjelajahan dan penemuan. Keterbukaan pikiran mencakup kemampuan membuat penilaian dan berpikir kritis. Kekuatan ini memampukan orang yang memilikinya untuk berpikir mendalam dan menyeluruh tentang berbagai hal, memeriksa mereka dari semua sisi, serta menimbang semua bukti memadai. Cinta pembelajaran memampukan orang yang memilikinya menguasai keterampilan, topik, dan cabang pengetahuan baru, baik dengan cara belajar sendiri maupun secara formal dalam lembaga pendidikan. Dengan kekuatan ini, orang mau terus belajar dan terus menerus mengembangkan dirinya menjadi lebih. Kekuatan perspektif menjadikan orang yang memilikinya mampu memberikan nasihat bijak kepada orang lain serta memiliki cara untuk melihat dunia yang masuk akal bagi diri sendiri dan orang lain. Dengan keutamaan ini, orang dapat memahami berbagai perspektif yang ada dan menemukan benang merah di antara perspektif.
Kemanusiaan dan Cinta Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Keutamaan ini terdiri atas kekuatan (1) baik dan murah hati, (2) selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu orang lain, mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai, serta (3) kecerdasan sosial dan kecerdasan emosional. Kekuatan
Kemanusiaan
adalah
kekuatan
interpersonal
yang
melibatkan
kecenderungan dekat dan berteman dengan orang lain. Kekuatan cinta membuat orang mampu menjalin hubungan dekat dengan orang lain, khususnya yang bercirikan kegiatan berbagi dan peduli yang saling membalas. Kekuatan kebaikan hati mencakup kedermawanan, pemeliharaan, perawatan, kasih sayang, dan altruistik menjadikan orang mau berbagi kesenangan dan kebaikan dengan orang lain. Orang dengan kekuatan ini menjadi berbuat baik sebagai bagian dari pengembangan dirinya. Kecerdasan sosial mencakup kecerdasan emosional dan kecerdasan intrapersonal memampukan orang yang memilikinya memahami motif dan perasaan orang lain, serta memahami motif dan perasaan diri sendiri. Orang dengan kekuatan ini dapat menempatkan diri sesuai dengan kebutuhan orang lain tanpa mengorbankan kebutuhan diri sendiri. Mereka mengembangkan dirinya sekaligus juga mengembangkan orang lain. 8
Kesatriaan (Courage) Keutamaan kesatriaan (courage) merupakan kekuatan emosional yang melibatkan kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan, baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup empat kekuatan, yaitu (1) untuk menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, (2) ketabahan atau kegigihan, tegus dan keras
hati, (3) integritas, kejujuran, dan penampilan diri dengan wajar, serta (4) vitalitas, bersemangat dan antusias.
Kekuatan Keberanian mencakup kekuatan emosional yang melibatkan pelaksanaan kehendak untuk mencapai tujuan dalam menghadapi oposisi eksternal dan internal membuat orang tahan menghadapi ancaman dan tantangan. Orang dengan kekuatan ini kehendaknya tidak menyusut ketika berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi seperti rasa nyeri atau keletihan. Kekuatan ini memampukan orang bertindak atas keyakinan meskipun tidak populer. Ketabahan atau kegigihan mencakup ketekunan dan kerajinan adalah kekuatan yang memampukan orang untuk menyelesaikan apa sudah dimulai, bertahan dalam suatu rangkaian pencapaian tindakan meskipun ada hambatan. Orang dengan kekuatan ini mampu menyesuaikan kata-kata dan perbuatan, serta berpegang pada prinsip dalam berbagai situasi, bahkan situasi yang menghambat dan mengancam. Integritas yang mencakup otentisitas (keaslian), kejujuran dan penampilan diri yang wajar adalah kekuatan yang membuat orang mampu menampilkan diri secara tulus. Orang dengan kekuatan ini mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tindakannya. Ia mau bertanggung jawab untuk semua perbuatannya dan menjalankan tugas-tugas secara jujur. Vitalitas mencakup semangat, antusiasme, semangat, dan penuh energi adalah kekuatan yang membuat orang dapat menjalani kehidupan penuh dengan kegembiraan, semangat dan energi. Orang dengan kekuatan ini merasa hidup, aktif dan penuh daya juang.
Keadilan Keutamaan keadilan (justice) mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup di sini, yakni 1) kewarganegaraan atau kemampuan mengemban tugas, dedikasi dan kesetiaan demi keberhasilan bersama, 2) kesetaraan (equity dan fairness) perlakuan terhadap orang lain atau tidak membeda-bedakan perlakuan yang diberikan kepada satu orang dengan yang diberikan kepada orang lain, dan 3)
9
kepemimpinan. Keadilan adalah kekuatan sipil yang mendasari kehidupan masyarakat yang sehat. Kewarganegaraan mencakup tanggung jawab sosial, loyalitas dan kesiapan kerja dalam tim membuat orang dapat bekerja dengan baik sebagai anggota kelompok yang setia kepada kelompok. Kesetaraan adalah kekuatan yang membuat orang memperlakukan semua orang sama di hadapan keadilan, bukan membiarkan keputusan atau perasaan pribadi yang bias tentang orang lain. Kekuatan ini menghindarkan orang dari prasangka primordial seperti rasisme dan stereotipe. Orang dengan kekuatan ini mementingkan kesejahteraan orang lain seperti kesejahteraannya sendiri. Kepemimpinan adalah kekuatan yang mendorong orang sebagai anggota kelompok atau sebagai pemimpin untuk menyelesaikan tugas dan pada saat yang sama menjaga hubungan yang baik dengan orang lain dalam kelompok. Orang dengan kekuatan ini dapat menempatkan diri dan bekerja secara prima baik sebagai pemimpin maupun sebagai bawahan.
Pengelolaan Diri Pengelolaan diri (temperance) adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya tercakup kekuatan (1) pemaaf dan pengampun, (2) pengendalian diri, (3) kerendahan hati, dan (4) kehati-hatian (prudence). Keutamaan ini melindungi terhadap kemungkinan hidup berlebihan atau berkurangan, serta menjaga orang berada di situasi yang tepat. Kata lain yang dapat digunakan untuk keutamaan ini adalah ugahari. Pengampunan dan belas kasihan adalah kekuatan yang memberikan orang kemampuan untuk mengampuni mereka yang telah berbuat salah, menerima kekurangan orang lain, memberikan orang kesempatan kedua, dan tidak pendendam. Kekuatan ini membuat orang percaya kepada kemampuan manusia untuk berbuat baik dan menghindarkan diri dari pesimisme terhadap kebaikan manusia. Pengendalian diri adalah kekuatan yang memampukan orang mengetahui apa yang masuk akal dan tidak masuk akal untuk dilakukan sehingga dapat memilih hal-hal yang masuk akan untuk dilakukannya. Kekuatan ini membuat orang dapat disiplin, mengendalikan selera dan emosi mereka. Orang dengan kekuatan ini dapat menentukan tindakan-tindakan yang tepat bagi dirinya sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
10
Kerendahan hati atau kesederhanaan adalah kekuatan yang membuat orang mengedepankan prestasi daripada pengakuan atas keberhasilan. Orang dengan kekuatan ini tidak melakukan kebaikan hanya untuk diri mereka sendiri. Prestasi bagi orang dengan kekuatan ini bukan tentang diri sendiri, melainkan untuk sebanyak mungkin orang. Mereka tida menilai diri sendiri sebagai lebih atau khusus dibandingkan orang lain. Kehati-hatian adalah kekuatan yang membuat orang selalu berhati-hati dalam memilih seseorang, tidak mengambil risiko yang tidak semestinya, tidak mengatakan atau melakukan hal-hal yang nantinya mungkin akan disesali.
Transendensi Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan. Di dalam keutamaan ini tercakup kekuatan (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2) kebersyukuran (gratitude) atas segala hal yang baik, (3) penuh harapan, optimis, dan berorientasi ke masa depan, semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari; (4) spiritualitas: memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta, serta (5) menikmati hidup dan selera humor yang memadai. Keutamaan Transendensi adalah kekuatan yang menempa orang untuk dapat memahami koneksi yang ada di alam semesta, memahami daya-daya yang lebih besar dari manusia, serta memperoleh dan memberikan makna. Penghargaan terhadap keindahan dan keunggulan yang mencakup kekaguman, keheranan, peningkatan kesadaran adalah kekuatan yang membuat orang mampu menghargai keindahan, keunggulan, keterampilan, dan kinerja yang baik dalam berbagai ranah kehidupan. Pada diri sendiri, orang dengan kekuatan ini terdorong juga untuk menghasilkan keindahan, keunggulan, keterampilan dan kinerja yang baik. Kekuatan ini juga membuat orang mampu menangkap inspirasi atau gugahan untuk menampilkan diri lebih baik. Syukur adalah kekuatan yang menbuat orang dapat menyadari dan berterima kasih atas hal baik yang terjadi, serta meluangkan waktu untuk mengungkapkan terima kasih. Orang dengan kekuatan ini menerima apa yang ada dalam kehidupan sebagai anugrah dan berkah sehingga selalu berusaha menampilkan perilaku yang baik sebagai ungkapan terima kasihnya. Harapan mencakup optimisme, menjalani hidup secara positif dari waktu ke waktu, dan pikiran yang berorientasi ke masa depan adalah kekuatan yang membuat orang selalu mengharapkan yang terbaik di masa depan dan bekerja untuk mencapainya. Orang dengan 11
kekuatan ini selalu optimistik menjalan hidup, berusaha terus menerus untuk lebih baik, dan percaya bahwa yang baik selalu dapat dicapai dalam hidup. Spiritualitas mencakup religiusitas, iman, dan adanya tujuan hidup adalah kekuatan yang membuat orang memiliki keyakinan koheren tentang tujuan yang lebih tinggi, makna hidup, dan makna alam semesta. Orang dengan kekuatan ini menampilkan perilaku yang konsisten dan koheren sebagai bagian dari usaha mencapai tujuan hidupnya dan berusaha menyesuaikan diri dan aktivitasnya dengan daya-daya yang lebih besar di alam semesta. Kekuatan menikmati hidup dan humor membuat orang dapat menjalani hidup yang penuh suka-cita, menyukai tertawa dan menggoda orang untuk menghasilkan keceriaan, membawa dirinya dan orang lain kepada situasi yang membuat tersenyum, serta melihat sisi terang dari kehidupan. Orang dengan kekuatan ini menjalani hidup secara ringan meski dalam situasi-situasi yang sulit dan berat.
Tabel 4.1: Kekuatan dan Keutamaan Karakter No.
Keutamaan
1.
Kognitif: Kebijaksanaan dan pengetahuan
2.
Interpersonal: Kemanusiaan
3.
Emosional: Kesatriaan
4.
Kewarganegaraan (Civic): Berkeadilan
5.
Menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan: Pengelolaandiri (Temperance) Spiritual: Transendensi
6.
Kekuatan kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, mencintai kegiatan belajar, perspektif (memiliki “gambaran besar” mengenai kehidupan). cinta kasih, kebaikan hati (murah hati, dermawan, peduli, sabar, penyayang, menyenangkan dan cinta altruisitik), serta memiliki kecerdasan sosial. keberanian untuk menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, teguh dan keras hati, integritas (otentisitas, jujur), serta bersemangat dan antusias. citizenship (tanggung jawab sosial, kesetiaan, mampu bekerjasama), fairness (memperlakukan orang setara dan adil), serta kepemimpinan. pemaaf dan pengampun, kerendahatian, hati-hati dan penuh pertimbangan, serta regulasi-diri.
apresiasi keindahan dan kesempurnaan, penuh rasa terima kasih, harapan (optimis, berorientasi ke masa depan), spritualitas (religiusitas, keyakinan, tujuan hidup), serta menikmati hidup dan humor,
7. Karakter dan Spiritualitas Manusia memiliki kemampuan untuk memahami keterkaitan dirinya dengan seluruh alam semesta, juga keterkaitan semua hal yang ada di alam semesta. Kekuatan-kekuatan yang 12
tercakup dalam keutamaan karakter transendensi memungkinkan manusia memahami keterkaitan itu. Dengan kekuatan-kekuatan itu manusia dapat memaknai apa yang ada di dunia dalam hubungannya dengan hal lain dan dalam konteks keseluruhan semesta. Pemaknaan terhadap keseluruhan alam ini dimungkinkan adanya pada manusia meskipun secara fisik ia terbatas dan tak pernah dapat mengenali keseluruhan dunia secara empirik. Kekuatan dalam keutamaan transendensi ditandai oleh kemampuan untuk membayangkan apa yang mungkin ada di luar situasi yang dialami kini dan di sini. Pembayangan itu dapat menggerakkan manusia untuk melampaui situasi kini dan di sini, mewujudkan apa yang dibayangkannya itu menjadi situasi nyata yang memberikan kebaruan bagi dunia. Kemampuan membayangkan apa yang mungkin ada dan kemampuan melampaui situasi kini dan di sini mensyaratkan adanya kemampuan memahami keterkaitan semua unsur alam semesta. Daya yang memungkinkan manusia untuk melakukan itu semua disebut spiritualitas. Istilah spiritualitas mempunyai pengertian yang luas dan menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda. Meskipun tak ada kesatuan pengertian, secara umum kita dapat memahami fenomena spiritualitas dari berbagai pengertian yang ada dan pernah diajukan oleh beberapa ahli. Dengan pertimbangan itu, pemaparan beberapa pengertian spiritualitas di sini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang apa itu spiritualitas. Dalam salah satu pengertiannya, spiritualitas merujuk kepada sesuatu yang teramat religius, sesuatu yang berkaitan dengan roh (spirit) dan hal-hal yang sakral. Pembicaraan tentang spiritualitas merujuk kepada hal-hal yang berhubungan dengan roh dan hal-hal sakral lainnya yang dianggap berkaitan dengan roh, misalnya Tuhan dan makhluk-makhluk di luar manusia yang memiliki sifat dan kekuatan gaib. Di dalamnya juga terkandung pengertian tentang bagaimana kita bersikap dan memperlakukan hal-hal yang gaib dan sakral itu. Pandangan lain menunjukkan bahwa spiritualitas tidak terpisah dari kehidupan seharihari. Ia adalah pengalaman yang terjadi di tengah keseharian hidup manusia. Spiritualitas memberikan kedalaman dan integritas kepada kehidupan manusia sebagai makhluk yang hidup dalam kebudayaan, tempat, dan waktu tertentu. Perbedaan-perbedaan yang ada antarmasyarakat hanya gejala yang tampil di permukaan. Di bagian yang lebih dalam, setiap masyarakat memiliki dasar spiritualitas yang universal. Spiritualitas terpancar dari dalam semua struktur sosial yang ada dalam setiap masyarakat dan dalam tampilan fisik. Setiap peristiwa fisik dapat membawa manusia kepada aspek spiritual jika manusia meningkatkan kepekaannya. Dengan menghayati kehidupan sehari-hari, seseorang dapat merasakan pengalaman spiritual yang mendalam. 13
Narayanasamy (dalam McSherry, 1998) menegaskan bahwa tidak ada satu pun definisi dari spiritualitas yang otoritatif. Burnard (1988, dalam McSherry, 1998) melihat spiritualitas dapat merujuk kepada pengertian yang berbeda pada orang yang berbeda. Menurutnya semua individu memiliki spiritualitas yang khas dan khusus bagi diri mereka, terlepas dari orientasi religius dan kepercayaan yang dianutnya. Meskipun begitu, Burnard menilai definisi spiritualitas yang dikemukakan oleh Murray dan Zentner (1989, dalam McSherry, 1998) mendekati pengertian yang universal dan komprehensif. Mereka mendefinisikan spiritualitas demikian: “. . . a quality that goes beyond religious affiliation, that strives for inspirations, reverence, awe, meaning and purpose, even in those who do not believe in any god. The spiritual dimension tries to be in harmony with the universe, and strives for answers about the infinite, and comes into focus when the person faces emotional stress, physical illness or death.” Definisi Murray dan Zentner tersebut mengusulkan spiritualitas harus ditempatkan dalam konteks keseluruhan alam semesta dan keterkaitan isi dunia ini. Spiritualitas melampaui afiliasi terhadap agama tertentu. Spiritualitas merupakan suatu kualitas yang juga dapat dicapai bahkan oleh mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Pada intinya, dimensi spiritual manusia selalu berusaha melakukan penyelarasan dengan alam semesta dan menjawab pertanyaan tentang yang tak terbatas. Definisi ini menunjukkan spiritualitas sebagai hal yang kompleks dan memiliki kaitan dengan banyak variabel. Segala hal yang ada di alam semesta ini terkait dengan spiritualitas. Dengan demikian, spiritualitas dapat dipahami sebagai dasar kekuatan dan keutamaan karakter manusia. Kekuatan yang terkandung dalam keutamaan transendensi merupakan kekuatan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam keutamaan transendensi ada penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan. Penghargaan ini memberikan dasar bagi manusia untuk menjalani hidup secara bermakna, optimis, dan selalu memperjuangkan kebaikan. Penghargaan ini juga menyebabkan kekuatan karakter yang lain menjadi penting dalam rangka memperjuangkan kehidupan yang indah dan sempurna. Tanpa penghargaan akan kehidupan yang indah dan sempurna, kita tidak dapat mengembangkan kekuatan karakter pada diri kita sebab kita akan cenderung pesimis, masa bodoh, semenamena, dan membiarkan saja hal-hal buruk terjadi, jika kita memaknai hidup sebagai hal yang buruk, jelek, dan kacau-balau. Kita memperjuangkan kehidupan yang baik jika kita percaya bahwa dalam hidup kita ada yang baik, indah, dan sempurna yang perlu diperjuangkan terus. 14
Dengan pemaknaan terhadap hidup yang baik, indah dan mengandung kesempurnaan, kita membangun rasa syukur dan terima kasih atas segala hal baik, indah dan sempurna itu. Kita pun dapat hidup dengan penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan. Dengan itu kita memaknai adanya tujuan kehidupan di masa depan. Kita meningkatkan spiritualitas, menambah daya untuk mencapai tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta. Harapan, rasa optimis, dan rasa syukur memberi kita kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni sebab kita tetap dapat melihat kemungkinan segala sesuatu akan menjadi lebih baik lagi di masa depan. Kita pun dapat menikmati hidup dan mempunyai selera humor yang memadai sebab pikiran-pikiran positif yang kita hasilkan selalu membantu kita menemukan hal yang baik, indah, dan sempurna dalam hidup kita. Dengan kenikmatan dan kepuasan hidup, kita menghasilkan semangat dan gairah besar dalam diri kita untuk menyongsong hari demi hari. Integritas yang mencakup kejujuran dan kesiapan menghadapi berbagai situasi secara teguh menjadi benang yang menjalin semua keutamaan lain dalam menjalani kehidupan agar terus bergerak ke arah yang lebih baik. Karakter selalu didasari oleh spirtualitas. Daya-daya spiritual menjadi kekuatan kita untuk bertahan dan setia menuju satu tujuan. Daya-daya itu menghindarkan kita dari godaan dan menguatkan kita saat berada dalam situasi yang sulit. Pikiran bahwa apa yang kita hadapi saat ini dan di sini selalu dapat kita lampaui memberikan harapan kepada kita untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Dengan daya-daya spiritual, manusia dapat melampaui dirinya, berkembang terus sebagai makhluk yang self-trancendence (selalu mampu berkembang melampaui dirinya). Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang karakter maka kita juga berbicara tentang spiritualitas, tentang daya-daya yang menguatkan dan mengembangkan manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan Pembentukan karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebahagiaan. Pada akhirnya, orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia, mandiri, dan memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Peterson dan Seligman (2004) memaparkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan keberadaan potensi setiap keutamaan karakter itu pada diri manusia. Dengan demikian, setiap orang memiliki potensi untuk mencapai kebahagiaan, dan potensi untuk menjalani hidup yang baik; tinggal bagaimana mengaktualisasikannya. Seligman (2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu memiliki makna dari semua tindakan yang dilakukan, mengetahui kekuatan tertinggi, dan menggunakan kekuatan tertinggi untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal yang 15
lebih besar dari diri sendiri. Jelaslah bahwa ketiga bentuk kebahagiaan ini berkaitan erat dengan keutamaan dan kekuatan karakter manusia. Jelas juga bahwa ketiga hal itu merupakan kategori spiritual. Ketiganya dimungkinkan oleh daya-daya spiritual manusia. Singkatnya, kebahagiaan manusia mensyaratkan pemanfaatan daya-daya spiritualnya. Menurut Seligman, tidak ada jalan pintas untuk mempersingkat pencapaian kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memandang hidup sebagai hal yang bermakna dan berharga, mengenali diri sendiri dan menemukan kekuatan-kekuatan kita, lalu memanfaatkan kekuatan-kekuatan itu untuk kepentingan yang lebih besar. Jadi, jika kita ingin bahagia, maka kita harus mulai dengan belajar berpikir positif, memandang hidup dan orang lain sebagai hal yang baik, serta memaknai dunia dan seisinya sebagai kebaikan yang dianugerahkan kepada kita. Pendidikan harus diarahkan kepada ketiga kebahagiaan itu. Peserta didik difasilitasi dan dilatih untuk selalu memaknai setiap tindakan yang dilakukannya. Mereka juga difasilitasi untuk memahami kekuatan dan keutamaan tertinggi yang dimiliki manusia. Lalu mereka difasilitasi dan dibiasakan untuk melayani atau mengerjakan hal-hal yang lebih besar dari mereka sendiri. Perpaduan dari tiga kebahagiaan dan keutamaan-keutamaan karakter merupakan bahan dari pendidikan karakter. Materi-materi itu yang diajarkan kepada peserta didik dengan berbagai cara yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan dan keterampilan, bahkan, lebih jauh lagi, sampai terbentuknya sifat-sifat yang merupakan keutamaan. Jika dipahami bahwa inti pendidikan adalah pembentukan karakter maka seharusnyalah dicamkan pula bahwa setiap pendidikan adalah pembentukan karakter. Dengan demikian tidak diperlukan “pendidikan karakter” khusus di luar pendidikan secara keseluruhan; juga tak diperlukan pelatihan pembentukan karakter. Tetapi belakangan kita menyaksikan pendidikan secara umum seperti dipisahkan dari pembentukan karakter sehingga diperlukan usaha khusus untuk menyelenggarakan “pendidikan karakter” sebelum nanti pembentukan karakter kembali menjadi inti dari pendidikan.
16
DAFTAR PUSTAKA Allport, G. W. 1937. Personality: A Psychological Interpretation. New York: Holt. Allport, G. W. 1961. Becoming: Basic Consideration for a Psychology of Personality. New Haven: Yale University Press. Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Hatta, M. 19932/1988. “Ke Arah Indonesia Merdeka.” Dalam Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 1): Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 211—30. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia. McSherry, W. 1998. “Nurses’ Perceptions of Spirituality and Spiritual Care Nursing Standard.” 13, 4, 36-40. Situs Web: http://www.nursingstandard.co.uk/archives/vol13-04/research.htm. Peterson, C. (2006). A Primer in Positive Psychology. New York: Oxford University Press Peterson, C. dan Seligman, M. E. P. 2004. Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Oxford: Oxford University Press. Radhakrishnan, Sarvepalli, dll. (ed.). 1957. History of Philosophy: Eastern and Western, Vol. I. London: George Allen & Unwin. Ross, L. 1995. “The Spiritual Dimension: Its Importance to Patient’s Health, Well-being and Quality of Life and Its Implications for Nursing Practice.” Dalam International. Journal of Nursing Studies, 32, 5, 451-468. Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Universitas Indonesia. Seligman, M. P. E. 2004. “Interview with Martin Seligman.” Dalam Edge, 23 Maret 2004.
17
BAB II DASAR-DASAR FILSAFAT Bagus Takwin
1. Pendahuluan Tulisan ini menyajikan secara singkat hal-hal yang mendasar atau prinsip-prinsip dasar tentang filsafat. Dengan demikian, materi yang disajikan di sini boleh dikatakan hanya berupa pengantar filsafat disertai identitas utamanya sebagai perkenalan. Pokok bahasan yang termuat dalam bab ini terdiri atas pengertian, cabang, dan aliran filsafat, serta alternatif langkah belajar dan manfaat filsafat. Sebelum masuk ke pembahasan topik-topik tersebut, terlebih dahulu akan dibahas alasan perlunya kita yang mendalami ilmu pengetahuan atau sains belajar filsafat. Di pendahuluan ini juga dibahas hubungan filsafat dengan kekuatan dan keutamaan karakter. Mengapa ilmuwan masih perlu filsafat? Penjelasan tentang hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dapat kita temui dalam literatur filsafat ilmu. Filsafat ilmu berkaitan dengan asumsi, fondasi, metode, dan implikasi dari ilmu pengetahuan. Kajian ini juga berkaitan dengan penggunaan dan manfaat ilmu pengetahuan, serta eksplorasi apakah hasil ilmiah sungguh-sungguh menghasilkan kebenaran. Filsafat ilmu juga mempertimbangkan masalah yang berlaku untuk ilmu tertentu (misalnya filsafat biologi atau filsafat fisika). Beberapa filsuf ilmu juga menggunakan hasil kontemporer ilmu pengetahuan untuk memperoleh kesimpulan tentang filsafat. Di sisi lain, filsafat ilmu berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan.
18
Ada alasan karya pemenang Hadiah Nobel fisika 1932, Weiner Heisenberg, mengenai fisika abad ke-20 diberi judul Physics and Philosophy (Fisika dan Filsafat). Juga ada alasan hasil karya Karl Popper disebut filsafat ilmu. Keduanya memberikan indikasi yang kuat bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan saling membutuhkan. Meski ada pertentangan pendapat mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dan filsafat, dewasa ini hubungan keduanya erat lagi dewasa ini. Setidaknya, ada tiga bidang kajian filsafat yang dibutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjadi dasar bagi aktivitas-aktivitasnya mencari pengetahuan. 1. Etika. Ilmuwan dituntut bertindak secara etis, baik dalam aktivitas mencari pengetahuan maupun dalam penerapan pengetahuan. Sejarah menunjukkan bahwa tanpa dasar etis, ilmu pengetahuan dapat menghasilkan kerugian dan kerusakan di dunia. 2. Epistemologi. Sebagai bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan, epistemologi diperlukan oleh ilmu pengetahuan untuk memberi dasar bagi perolehan pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan epistemologi juga merupakan pertanyaan yang perlu diajukan ilmu pengetahuan. Bagaimana kita mengetahui apa yang kita ketahui? Sejauh mana ilmu pengetahuan dapat bekerja tanpa mengkaji pengetahuan? Apa itu pengetahuan?
Apa
yang
membuat
pengetahuan
benar
dan
bagaimana
kita
mengetahuinya? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab baik oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan membutuhkan jawaban, setidaknya pendekatan kerja yang akan digunakan dalam penelitian, yang biasanya tampil dalam bentuk paradigma ilmiah. 3. Logika. Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita peroleh dihasilkan dari metode rasional? Apa itu metode rasional? Bagaimana kita memastikan pikiran yang digunakan dalam usaha perolehan pengetahuan yang benar adalah pikiran yang tepat?
19
Untuk dapat menjawab ini semua dibutuhkan filsafat logika. Tanpa logika, filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dapat memastikan langkah-langkah perolehan pengetahuan yang benar. Lalu, mengapa filsafat dibahas beriringan dengan pengembangan kekuatan dan keutamaan karakter? Apa hubungan antara keduanya? Karakter dan filsafat memiliki hubungan yang saling menguatkan. Filsafat memang mengandalkan pikiran karena untuk mencapai kebenaran diperlukan pikiran. Tetapi berfilsafat tidak hanya menggunakan pikiran. Berfilsafat berarti juga melibatkan keseluruhan diri untuk terlibat dalam pencarian kebenaran. Ada syarat-syarat berfilsafat yang melibatkan sifat-sifat baik manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa berfilsafat membutuhkan kekuatan dan keutamaan karakter. Filsafat yang berarti cinta kebenaran menuntut orang yang menekuninya memiliki keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan beserta kekuatan-kekuatan yang tercakup di dalamnya. Tetapi, berfilsafat juga merupakan sebuah cara untuk membangun karakter. Aktivitas dalam filsafat mencakup kegiatan berpikir, mencari kemungkinan lain dari situasi, menjaga kesetiaan, berani mengambil risiko, dan sebagainya merupakan aktivitas yang dapat menguatkan karakter. Dengan dasar itu, maka filsafat dipelajari beriringan dengan pengembangan karakter.
2. Pengertian Filsafat Kata filsafat pertama kali ditemukan dalam tulisan sejarawan Yunani Kuno, Herodotus (484-424 SM). Ia menggunakan kata kerja “berfilsafat” dalam percakapannya dengan Croesus yang kemudian menyampaikan kepada Solon bahwa ia mendengar Solon telah melakukan perjalanan melalui berbagai negeri untuk berfilsafat digerakkan oleh hasrat akan pengetahuan.
20
Kata “berfilsafat” di situ mengindikasikan bahwa Solon mencari pengetahuan untuk pengetahuan semata. Kata filosof atau filsuf berasal dari kata philosophos yang berati pencinta kebijaksanaan; philos berarti kebijaksanaan, dan sophos berarti pecinta dari kata dasar sophia yang berarti cinta. Ada dugaan yang tak dapat dilacak catatan tertulisnya bahwa kata filsafat dapat dilacak lebih jauh lagi asalnya pada Pythagoras (sekitar 582-500 SM). Dugaan itu didasarkan pada tulisan Cicero (106-43 SM), Diogenes Laertes dan Iamblichus. Sebagaimana dikatakan oleh Cicero (terjemahan King, 1945), cerita tentang penggunaan kata filsafat itu terdapat dalam percakapan Pythagoras dengan Leon, penguasa Phlius di Peloponnesus. Pythagoras menjelaskan dirinya sebagai filsuf, dan berkata bahwa urusannya adalah menyelidiki hakikat benda-benda. Penjelasan Cicero diperkuat oleh Laertes (terjemahan Hicks, 1931) dan Iamblichus (terjemahan Burch, 1965). Dari ketiganya, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari orang-orang kebanyakan yang mencari ketenaran atau kemasyuran (doxa), filsuf mencari kebenaran (aletheia, kalliston theorian). Penggunakan kata filsuf selanjutnya digunakan oleh beberapa penulis Yunani, di antaranya Xenophon (430-354 SM) dan Plato (427-347 SM). Pengertian filsuf dalam tulisan-tulisan mereka adalah orang yang mencurahkan diri dan hidupnya untuk mencari kebijaksanaan atau untuk melakukan pembelajaran. Dalam arti sempitnya, filsuf adalah orang yang menyelidiki dan mendiskusikan sebab-sebab benda dan kebaikan tertinggi (Thayer, 2011). Dalam dialog Plato, Phaedrus, ditemukan penggunaan kata filsuf melalui paparan Socrates: “…to all of them we are to say that if their compositions are based on knowledge of the truth, and they can defend or prove them, when they are put to the test, by spoken arguments, which leave their writings poor in comparison of them, then they are to be called, not only poets, orators, legislators, but are worthy of a higher name, befitting the serious pursuit of their life… Wise, I may not call them; for that is a great name
21
which belongs to God alone,―lovers of wisdom or philosophers is their modest and befitting title.” (Plato, terjemahan Jowett, 1892: 488) Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka adalah pencinta kebijaksanaan. Apa yang dilakukan oleh filsuf kemudian disebut filsafat. Dari asal katanya dalam bahasa Yunani Kuno yaitu philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan) maka artinya adalah cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan (wisdom). Definisi ini masih terlalu umum sebab ada banyak juga usaha untuk memperoleh kebenaran yang bukan filsafat. Untuk itu perlu dirumuskan sebuah definisi filsafat yang lebih spesifik. Jika kita pelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran filosofis sejak Yunani Kuno hingga abad ke-21, filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memahami segala perwujudan kenyataan secara kritis, radikal dan sistematis. Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah usaha. Sebuah usaha adalah sebuah proses, bukan semata produk. Dengan demikian, yang pertama-tama memiliki sifat sistematis, kritis dan radikal adalah proses memperoleh pengetahuan. Filsafat sebagai sebuah upaya adalah sebuah proses yang terus menerus berlangsung, tak ada kata putus, berlangsung terus hingga kini. Proses itu berisi aktivitas-aktivitas untuk memahami segala perwujudan kenyataan atau apa yang ada (being). Hasrat filsafat adalah memahami apa yang ada dan mungkin ada. Apa yang hendak diketahui filsafat tak terbatas, oleh karena itu proses pemahaman itu berlangsung terus menerus. Meski produk filsafat berupa pemikiran filosofis mencerminkan proses pencariannya dan merupakan pelajaran penting, tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita hanya fokus pada produknya. Sebagai produk, filsafat dapat terkesan sebagai barang jadi, sesuatu yang telah selesai. Bisa jadi, jika kita lihat produknya saja kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai 22
resep, ibarat resep masakan, tinggal diikuti petunjuknya mulai dari bahan sampai cara memasak, jadilah makanan yang siap santap. Atau sebaliknya kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai kerumitan yang sulit dimengerti, membuat orang gentar dan berpikir bahwa filsafat bukan urusan orang kebanyakan. Itu bisa
terjadi jika kita tidak memahami prosesnya. Padahal, filsafat
semestinya ditujukan kepada siapa saja, kepada semua orang. Filsafat mengupayakan pengetahuan universal. Lebih penting lagi, filsafat mengupayakan berlangsungnya proses pencarian pengetahuan universal. Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai, maka akan terjadi kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak mungkin merupakan barang yang jadi. Setidaknya, sebagai produk filsafat adalah pemikiran yang perlu dikaji, direfleksikan dan dikritik lagi. Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah latin kritein yang berarti memilahmilah dan kritikos yang berarti kemampuan menilai. Sifat kritis filsafat mengandung dua pengertian ini. Berfilsafat berarti memilah-milah obyek yang dikaji dan memberi penilaian terhadap obyek itu. Dalam berfilsafat, para filsuf memilah satu hal dari hal lainnya untuk diperbandingkan. Hasil perbandingan kemudian dinilai guna mengetahui hubungan antara hal. Penilaian diberikan dalam bentuk yang paling sederhana seperti “lebih kecil” atau “lebih besar” hingga bentuk yang kompleks seperti “hubungan sebab-akibat” dan “dialektika” (perpaduan dua hal yang berlawanan dengan dasar pemikiran yang lebih abstrak). Secara lebih khusus lagi kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada kemungkinankemungkinan baru, dialektis (menjajaki kemungkinan perpaduan dua hal yang bertentangan), tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga berpikir
23
kritis. Lebih khusus lagi, yang dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang dilakukan secara aktif untuk memahami dan mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima, ditolak atau belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum jelas. Sifat utama filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang berarti akar. Radikal berarti mendalam, sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis memungkinkan orang untuk dapat berpikir radikal. Dengan berpikir kritis yang sifatnya luas dan mendalam, orang tidak begitu saja menerima apa yang ada, melainkan mencermati, menemukan masalah dan “lubang-lubang” pada pengetahuan yang sudah ada, lalu mencari pejelasan baru yang lebih lengkap. Penjelasan baru itu bisa jadi menggantikan penjelasan terdahulu, membongkar dasar dan mencabut akar-akar pemikiran sebelumnya. Sifat radikal pada filsafat memungkinkannya memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan yang mendasar. Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti keteraturan, tatanan dan saling keterkaitan. Sistematis di sini memiliki pengertian bahwa upaya memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut dan bertahap, serta hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertentu pula. Sifat sistematis itu disertai dengan jaminan langkah-langkah berpikir yang tepat. Dengan kata lain, sifat sistematis dalam filsafat sekaligus mencakup sifat logis. Dari sini dapat dipahami bahwa filsafat mencakup logika. Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran. Logika yang digunakan dalam filsafat merupakan logika baru untuk jamannya. Jika kita cermati pemikiran para filsuf besar dunia, maka kita temukan di sana logika yang mereka gunakan untuk memahami perwujudan kenyataan yang dikaji.
24
Berdasarkan pengertian filsafat yang sudah dipaparkan di sini, dapat disimpulkan bahwa berpikir filosofis berarti merenung yang bukan mengkhayal atau melamun. Merenung yang dimaksudkan adalah berkontemplasi, yaitu berpikir mendalam, kritis, dan universal dengan konsentrasi tinggi yang terfokus atau menitikberatkan pada segi usaha mengetahui sesuatu. Seorang filsuf bernama Jacques Maritain mengatakan, “Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan sifatnya pada hakikatnya berupa usaha mengetahui. Mengetahui dalam arti paling penuh serta paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian berdasarkan sebab-sebabnya mengapa barang sesuatu itu seperti keadaannya, tidak bisa lain dari itu” (Kattsoff, 2004:65). Usaha mengetahui yang dilakukan melalui filsafat dengan cara berpikir, harus mengikuti kriteria yang sekaligus merupakan ciri berpikir filosofis yang disarikan berikut ini. Filsafat merupakan pemikiran yang sistematis. Perenungan filosofis ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri. Perenungan itu dapat dilakukan oleh perseorangan, sama seperti cara bertanya kepada diri sendiri, dan bisa juga secara berkelompok yang diisi dengan dialog yang bersifat analitis dan kritik secara timbal balik. Hasrat filosofis ialah berpikir secara ketat. Kegiatan filosofis sesungguhnya merupakan perenungan atau pemikiran yang sifatnya kritis, tidak begitu saja menerima sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan “mengapa”, dan mencari jawaban yang lebih baik dari jawaban pertama (pandangan awal). Suatu perenungan filosofis harus bersifat koheren atau runtut (tidak boleh mengandung pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan alias tidak runtut (inconsistent)). Dua pernyataan yang saling bertentangan (contradictory), tidak mungkin kedua-duanya benar.
25
Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagian konsepsional yang merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses, satu demi satu. Di antara yang dibicarakan itu adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan hasil menjadi sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi kritisnya manusia terhadap dirinya sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya. Jadi, seorang filsuf pada hakikatnya membicarakan tiga hal, yaitu dunia di sekitarnya, dunia yang ada dalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri. Dalam filsafat tidak boleh ada misteri. Misteri adalah sesuatu yang gelap, belum terpecahkan, bahkan bisa jadi tidak akan pernah terpecahkan karena gaib. Misteri yang telah terpecahkan turun statusnya menjadi problem. Problem adalah sesuatu masalah yang dapat dipecahkan (ada ilmu untuk itu: how to solve the problem). Objek filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Pada dasarnya filsafat menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Namun, masalah yang dipikirkan itu harus jelas, bukan yang misterius. (Kattsoff, 2004:1—5.)
3. Cabang dan Aliran Filsafat Ada berbagai cara untuk membagi filsafat menjadi cabang-cabang yang memiliki obyek kajian khusus. Kita dapat menemukan pembagian filsafat berdasarkan sistematika permasalahan (Gazalba, 1979) atau area kajian filsafat yang secara garis besar terdiri dari ontologi, epistemologi dan axiologi. Kita juga bisa menemukan pembagian filsafat berdasarkan obyek kajian dengan cabang-cabang di antaranya filsafat alam, filsafat matematika, filsafat ilmu, filsafat sejarah, filsafat ketuhanan, filsafat bahasa, filsafat agama dan filsafat politik. Di sini kita akan fokus pada pembagian filsafat berdasarkan sistematika permasalahannya. Seperti yang sudah disebut, filsafat secara sistematis terbagi menjadi 3 bagian besar:
26
1) Ontologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji tentang ‘ada’ (being) atau tentang apa yang nyata; 2) Epistemologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji hakikat dan ruang lingkup pengetahuan; dan 3) Axiologi yaitu bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia.
Ontologi Epistemologi dlm arti sempit Metafisika
1 2
Filsafat Ilmu
3 Metodologi
Etika Estetika
Logika
Gambar 1. Diagram pembagian bidang filsafat
Ontologi Istilah ontologi berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu onta yang berarti ‘ada’ dan logia yang berarti ‘ilmu’, ‘kajian’, ‘prinsip’ atau ‘aturan’. Ontologi secara umum didefinisikan sebagai studi filosofis tentang hakikat ada (being), eksistensi, atau realitas, serta kategori dasar keberadaan dan hubungan mereka. Ontologi secara tradisional dianggap sebagai cabang utama filsafat. Tetapi belakangan, banyak filsuf modern dan pascamodern yang mengabaikan ontologi dan tidak memiliki pemikiran ontologis, atau menganggap ontologi bukan bagian penting dari filsafat. Meskipun demikian, masih banyak filsuf yang masih menganggap penting ontologi. 27
Sebagai bidang kajian filsafat tentang ‘ada’, ontologi dalam arti umum dibagi dua menjadi dua subbidang, yaitu ontologi (dalam arti khusus) dan metafisika. Ontologi dalam arti khusus mengkaji ‘ada’ yang keberadaannya tidak disangsikan lagi. Dalam ontologi kita berfilsafat tentang sesuatu yang keberadaannya dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra. Sedangkan metafisika mengkaji ‘ada’ yang masih disangsikan kehadirannya. Kata metafisika berasal dari kata tameta dan taphysika. Tameta berarti di balik atau dibelakang. Taphysika berarti sesuatu yang bersifat fisikal, dapat ditangkap bentuknya oleh indra. Berdasarkan asal katanya itu, metafisika diartikan sebagai “kenyataan di balik fisika” atau “kenyataan yang bentuknya tak terjangkau oleh indra”. Metafisika berhubungan dengan obyekobyek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena obyek itu melampaui sesuatu yang bersifat fisik. Secara fisik ‘ada’ itu tidak tampak namun oleh sebagian orang dianggap ada, misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, pengertian metafisika bergeser menjadi suatu cabang filsafat yang mengkaji hal-hal (being) yang masih disangsikan kehadirannya. Metafisika berhubungan dengan objek-objek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena objek itu melampaui sesuatu yang bersifat fisik. Secara fisik ‘hal’ itu tidak tampak namun oleh sebagian orang dianggap ada, misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan, dan sebagainya. Dapat dikatakan pula bahwa metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji realitas yang supra-inderawi dibalik gejala-gejala fisik. Beberapa ahli filsafat memberi pengertian yang berbeda-beda terhadap metafisika. Salah satunya Whiteley (1977) yang mendefinisikan metafisika sebagai “The theory of the nature of the universe as a whole, and of those general prinsiples which are true of everything that exist.” Menurutnya metafisika adalah teori tentang sifat-sifat alamiah keberadaan dunia sebagai suatu
28
keseluruhan, dan teori yang merupakan prinsip umum itu dapat menjelaskan secara benar segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.
Epistemologi Epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji teori-teori tentang sumber-sumber, hakikat, dan batas-batas pengetahuan. Oleh karenanya kajian ini masuk juga dalam ruang lingkup epistemologi. Pertanyaan epistemologis yang hendak dijawab di sini adalah bagaimana proses perolehan pengetahuan pada diri manusia dan sejauh mana ia dapat mengetahui. Dalam epistemologi terdapat empat cabang yang lebih kecil (1) epistemologi dalam arti sempit; (2) filsafat ilmu; (3) metodologi; dan (4) logika. Epistemologi dalam arti sempit merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan yang ditelusuri melalui 4 pokok, yaitu 1) sumber pengetahuan, 2) struktur pengetahuan, 3) keabsahan pengetahuan, dan 4) batas-batas pengetahuan. Pengetahuan di sini adalah pengetahuan umum atau pengetahuan sehari-hari (knowledge) atau pengetahuan yang berguna bagi manusia secara praktis (eksistensial pragmatis). Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mengkaji ciri-ciri dan cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan yang dikaji berbeda dengan pengetahuan pada epistemologi dalam arti sempit. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, yang menjadi obyek adalah pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (science). Berbeda dengan pengetahuan sehari-hari (knowledge), pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sistematis, diperoleh dengan menggunakan metode-metode tertentu, logis dan teruji kebenarannya. Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu pengetahuan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih (valid), dan teruji. Di sini
29
cara dan metode ilmu pengetahuan dikaji sejauh mana kesahihannya dalam kegiatan menemukan ilmu pengetahuan. Di dalamnya termasuk juga kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja dan metode ilmu pengetahuan. Selain mengkaji cara-cara dan metode-metode yang sudah ada, dalam metodologi dikaji pula kemungkinan-kemungkinan cara dan metode baru. Seperti yang sudah disinggung terdahulu, logika adalah kajian filsafat yang mempelajari teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat. Yang menjadi satuan penalaran dalam logika adalah argumen yang merupakan ungkapan dari putusan (judgment). Penalaran berlangsung lewat argumen sebagai kelompok proposisi. Proposisi tersusun dari premis ke kesimpulan lewat proses penyimpulan (inference). Logika berkaitan dengan filsafat ilmu dan metodologi ilmu. Proposisi adalah pernyataan untuk mengiyakan (afirmasi) atau menyangkal (negasi) sesuatu yang dapat diujicoba, di dalamnya termasuk bahasa kognitif. Proposisi terdiri dari pokok yang dibicarakan (subyek), apa yang disangkal atau diiyakan (predikat), dan hubungan yang sifatnya menyatukan atau memisahkan (kopula). Secara umum ada dua jenis argumen: 1) induktif dan 2) deduktif. Argumen induktif bergerak dari premis-premis khusus ke kesimpulan atau premis umum. Argumen deduktif bertolak dari premis umum ke premis atau kesimpulam khusus. Penilaiannya adalah valid atau invalid. Induksi menghasilkan pengetahuan yang tidak niscaya, melainkan boleh jadi. Kadar kebolehjadiannya dapat diukur lewat statistik dengan penilaian kuat atau lemah.
Axiologi Axiologi adalah bidang filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan “Apa yang dilakukan manusia dan apa yang seharusnya dilakukan manusia?” Di sini yang dibicarakan adalah nilainilai (kata axiologi sendiri dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menjadi sumbu perilaku
30
penghayatan dan pengamalan manusia). Axiologi mengkaji pengalaman dan penghayatan dari perilaku-perilaku manusia. Di dalamnya dibahas tentang nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Selain itu juga dibicarakan tentang nilai rasa manusia yang dikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat yang termasuk dalam axiologi adalah etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kata etika menunjuk dua hal. Pertama: disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia. Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasanalasan yang lebih abstrak mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah sekedar kumpulan perintah dan larangan (‘harus’ dan ‘jangan’) tetapi merupakan satu sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu secara teratur untuk mencapai masyarakat yang berbudaya dan hidup bahagia. Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu itu indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia. Pada dasarnya, pembahasan tentang nilai menyangkut banyak cabang pengetahuan yang berkaitan atau bersangkutan dengan masalah nilai yang khusus seperti ekonomi, estetika, etika, agama, dan epistemologi. Dari lima cabang ilmu tersebut, ada tiga nilai yang berbeda namanya, tetapi mempunyai persamaan dalam penafsiran. Etika berkaitan dengan masalah kebaikan; epistemologi dengan masalah kebenaran; dan estetika dengan masalah keindahan. Kebaikan,
31
kebenaran, dan keindahan merupakan tiga serangkai yang bertalian dan saling melengkapi. Dari sudut pandang filsafat, baik, benar, dan indah membentuk kesatuan makna. Kattsoff (2004:324) berpendapat bahwa istilah “nilai” mempunyai bermacam makna, yakni mengandung nilai (artinya, berguna); merupakan nilai (artinya, ‘baik’ atau ‘benar’ atau ‘indah’); mempunyai nilai (artinya, merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sikap nilai tertentu); dan memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu). Pembicaraan tentang nilai mempunyai spektrum atau jangkauan yang sangat luas. Penjelasan Kattsoff tentang cara penggunaan kata nilai dapat kita jadikan pedoman dalam pemakaiannya. Menurut Kattsoff, sesuatu benda atau perbuatan dapat mempunyai nilai, dan karena itu dapat dinilai. Hal-hal tersebut di bawah ini dapat mempunyai nilai karena mengandung nilai atau menggambarkan suatu nilai. Suatu pernyataan mengandung nilai kebenaran, dan karena itu bernilai sebagai pemberitahuan. Suatu lukisan mempunyai nilai keindahan, dan karena itu bernilai bagi mereka yang menghargai seni. Seorang ilmuan memberi nilai kepada pernyataan-pernyataan yang benar, dan pencinta keindahan memberi nilai kepada karya-karya seni.
Aliran Filsafat Pemahaman terhadap filsafat dapat juga dilakukan melalui pemahaman terhadap tokohtokoh dan aliran-alirannya. Seorang filsuf biasanya terfokus pada satu atau dua wilayah sistematika saja. Hanya Immanuel Kant yang menjelajahi ketiga wilayah sistematika filsafat secara lengkap lewat tiga bukunya: Critic of Pure Reason, Critic of Practical Reason, dan Critic of Judgement. F.W. Nietzsche, seorang filsuf Jerman, hanya menelaah wilayah epistemologi,
32
metafisika, estetika dan etika. Filsuf-filsuf lain yang cukup terkenal dan berpengaruh di antaranya Rene Descartes, David Hume, F.G.W. Hegel, Edmund Husserl, Karl Marx dan Bertrand Russell. Dalam perkembangan filsafat, berbagai aliran, berbagai isme bermunculan. Berikut adalah beberapa aliran yang cukup berpengaruh dalam sejarah perkembangan filsafat: a. Rasionalisme: aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber dari akal (rasio), ditegaskan di sini bahwa akal yang mampu mendapatkan pengetahuan secara jernih (clear) dan lugas/terpilah (distinct) tentang realitas. b. Empirisme: aliran dalam filsafat yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. c. Kritisisme: aliran filsafat yang dibangun oleh filsuf besar: Imanuel Kant. Aliran ini pada dasarnya adalah kritik terhadap rasionalisme dan empirisme yang dianggap terlalu ekstrem dalam mengkaji pengetahuan manusia. Akal menerima bahan-bahan yang belum tertata dari pengalaman empirik, lalu mengatur dan menertibkannya dalam kategori-kategori. d. Idealisme: aliran filsafat yang berpendirian bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subyektif. Materi tidak memiki kedudukan yang independen melainkan hanya merupakan materialisasi dari pikiran manusia. e. Vitalisme: aliran filsafat yang memandang hidup tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara mekanis karena pada hakikatnya manusia berbeda dengan benda mati. Manusia memiliki kehendak yang mampu mengubah keadaannya yang statis menjadi lebih dinamis. f. Fenomenologi: aliran filsafat yang mengkaji penampakan (gejala-gejala) dan memandang gejala dan kesadaran selalu saling terkait.
33
4. Alternatif Langkah Belajar Filsafat Ada banyak cara untuk belajar filsafat sesuai dengan pesatnya perkembangan filsafat sehingga sekarang kini. Para filsuf mengembangkan cara belajar filsafat sesuai dengan pendekatan yang digunakannya. Dalam tulisan ini dikemukakan satu alternatif langkah belajar filsafat yang umum dipakai oleh para filsuf, juga oleh ahli filsafat dan ilmuwan untuk memecahkan masalah filsafat secara umum dan mengkaji aliran filsafat tertentu. Secara umum, filsuf berusaha memperoleh makna istilah-istilah dengan cara melakukan analisis terhadap istilah-istilah itu berdasarkan pengenalan obyeknya dalam kenyataan. Analisis didefinisikan sebagai pemilahan bagian-bagian satu satu hal berdasarkan kategori yang relevan. Analisis terhadap istilah dilakukan dengan memilah-milah bagian makna atau isi pikiran dari istilah berdasarkan kategori tertentu. Meski pada dasarnya para filsuf memulai filsafat dari benda-benda dan bukan dari kata atau istilah, pemakaian istilah yang tepat harus dilakukan. Bahasa adalah medium filsafat dan oleh karena itu istilah dan pernyataan yang merupakan bagian dari bahasa menjadi penting dalam filsafat. Analisis terhadap istilah merupakan langkah penting yang harus dilakukan untuk mendapatkan makna yang tepat dan memadai. Setelah analisis istilah, filsuf berusaha untuk memadukan hasil-hasil penyelidikannya melalui aktivitas sintesis. Dalam aktivitas sintesis, filsuf membanding-bandingkan bagian-bagian dari makna istilah yang dihasilkan dari aktivitas analisis. Lalu ia mencari benang merah antarbagian untuk kemudian menemukan kesamaan makna di antara mereka. Dari situ diperoleh satu makna istilah yang komprehensif yang memayungi semua bagian sekaligus menjelaskan hubungan antar-bagian istilah. Penggunaan analisis dan sintesis dalam filsafat ini disebut metode analisis-sintesis. Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh filsuf. Menganalisis adalah
34
melakukan pemeriksaan konsepsional terhadap istilah-istilah yang digunakan atau pernyataanpernyataan yang dibuat. Tujuannya adalah (1) memperoleh makna baru yang terkandung dalam istilah-istilah yang bersangkutan, dan (2) menguji istilah-istilah itu melalui penggunaannya, atau dengan melakukan pengamatan terhadap contoh-contohnya. Analisis istilah berarti perincian istilah atau pernyataan ke dalam bagiannya sedemikian rupa sehingga orang dapat melakukan pemeriksaan terhadap makna yang dikandungnya. Tujuan pemeriksaan ini adalah penentuan makna apa yang akan diberikan. Menurut Kattsoff (2004), secara filosofis analisis adalah pengumpulan semua pengetahuan yang dapat dikumpulkan oleh manusia untuk menyusun suatu pandangan tentang dunia. Sedangkan sintesis dapat didefinisikan sebagai aktivitas menemukan benang merah antarbagian yang dipilah berdasarkan kategori tertentu untuk kemudian menemukan kesamaan makna di antara bagian-bagian itu. Secara ringkas, Kattsoff (2004:34-38) mengemukakan langkah-langkah umum yang disarankan dalam menganalisis dan sintesis. 1. Memastikan adanya masalah yang diragukan kesempurnaan atau kelengkapannya. 2. Masalah umumnya terpecahkan dengan mengikuti dua langkah, yakni menguji prinsip-prinsip kesahihannya dan menentukan sesuatu yang tak dapat diragukan kebenarannya (untuk menyimpulkan kebenaran yang lain). 3. Meragukan dan menguji secara
rasional segala hal yang ada sangkut pautnya dengan
kebenaran. 4. Mengenali apa yang dikatakan orang lain mengenai masalah yang bersangkutan dan menguji penyelesaian-penyelesaian mereka. 5. Menyarankan suatu hipotesis yang kiranya memberikan jawaban atas masalah yang diajukan.
35
6. Menguji konsekuensi-konsekuensi dengan melakukan verifikasi terhadap hasil-hasil penjabaran yang telah dilakukan. 7. Menarik simpulan mengenai masalah yang mengawali penyelidikan.
Metode belajar filsafat sebenarnya bukan hanya dapat digunakan untuk belajar filsafat, melainkan juga dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran di bidang ilmu pengetahuan lain. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan filsuf untuk menemukan pengetahuan diperlukan juga oleh bidang ilmu lain. Selain sifat filsafat, kritis, radikal dan sistematis, cara filsuf menemukan pengetahuan juga dimanfaatkan oleh ilmuwan untuk menemukan pengetahuan. Hanya saja, para ilmuwan sangat mementingkan juga bukti empirik dari penjelasan tentang gejala. Bagi ilmuwan, cara berpikir filosofis, yaitu kritis, radikal dan sistematis ditambah dengan bukti empirik harus muncul bersama untuk menghasilkan solusi permasalahan yang dianggap paling tepat atau paling benar. Secara umum, disadari atau tidak, filsafat digunakan manusia untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Jika orang menyadarinya, maka lebih banyak lagi manfaat berpikir filosofis yang dapat diperoleh. Dengan berpikir filosofis orang dapat berpikir mendalam dan mendasar. Orang juga dapat memperoleh kemampuan analisis, berpikir kritis dan logis sehingga ia mampu juga berpikir secara luas dan menyeluruh. Berpikir filosofis juga membuat orang dapat berpikir sistematis dalam mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin secara tertata. Berpikir filosofis juga membantu orang untuk menjajaki kemungkinan baru sehingga dapat memperoleh pengetahuan baru. Orang dapat terus menerus menambah pengetahuannya dengan berpikir filosofis. Di sisi lain, berpikir filosofis juga memberikan kesadaran kepada orang mengenai keterbatasan pengetahuannya. Kesadaran akan masih banyaknya hal yang tidak diketahui
36
membuat orang menjadi rendah hati, terbuka dan siap untuk memperbaiki pengetahuannya. Dengan demikian, berpikir filosofis merupakan satu cara untuk membangun keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan dengan kekuatan-kekuatan yang dikandungnya.
37
DAFTAR PUSTAKA Diogenes Laertes, Lives of Eminent Philosophers, VIII, 8 (Loeb Classical Library, trans. R.D. Hicks, Harvard University Press, 1931, Vol II. pp. 327 & 329) Gazalba, Sidi. (1979). Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. Kattsoff, Louis O. (2004). Dasar-dasar Filsafat (terjemahan Soejono Soemargono). Cetakan ke9. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Iamblichus, The Life of Pythagoras, chap. XII. (translated by R. Burch from De vita Pythagorica liber, ed. [A.M. Hakkert, 1965], pp. 39-41). Jowett, B. (1892). The Dialogues of Plato, 3rd Edition. Oxford: Clarendon. Thayer, J.H. (2011). Thayer’s Greek Lexicon. Electronic Database. Biblesoft, Inc. Whiteley, C.H. (1977). An Introduction to Metaphysics. Hassocks Eng. and Atlantic Highlands, N.J: Harvester Press.
38
BAB III DASAR-DASAR LOGIKA Bagus Takwin
1. Apakah Logika Itu? Secara umum, logika dikenal sebagai cabang filsafat, tetapi ada juga ahli yang menempatkannya sebagai cabang matematika. Kedua bidang kajian ini menempatkan logika sebagai dasar berpikir dalam memperoleh, mencermati dan menguji pengetahuan. Logika dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip, hukum, metode, dan cara berpikir yang benar untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Jika ditempatkan sebagai cabang filsafat, logika dapat diartikan sebagai cabang dari filsafat yang mengkaji prinsip, hukum dan metode berpikir yang benar, tepat dan lurus. Jika ditempatkan sebagai matematika maka logika merupakan cabang matematika yang mengkaji seluk-beluk perumusan pernyataan atau persamaan yang benar, khususnya pernyataan yang menggunakan bahasa formal. Bahasa formal adalah bahasa buatan yang dibedakan dari bahasa alamiah. Bahasa formal di sini merujuk kepada rangkaian simbol matematis seperti yang biasa kita jumpai dalam literatur matematika. Sedangkan bahasa alamiah, atau bahasa non-formal, adalah bahasa yang umumnya kita gunakan sehari-hari dalam berkomunikasi. Dari sejarah filsafat kita mengenal Aristoteles sebagai filsuf yang pertama kali membeberkan hal-ihwal logika secara komprehensif. Sebelumnya ada beberapa filsuf Yunani Kuno yang sudah mengemukakan prinsip-prinsip berpikir dan pemerolehan pengetahuan seperti Parmenides, Zeno, dan Pythagoras. Tetapi penjelasan khusus dan menyeluruh tentang bagaimana pikiran manusia bekerja dan dapat memperoleh pengetahuan yang benar baru ditulis secara sistematis oleh Aristoteles. Penggunaan istilah logika untuk menyebut cabang filsafat yang mengkaji prinsip, aturan, dan metode berpikir yang benar bukan berasal dari Aristoteles melainkan dari Alexander Aphrodisias sekitar permulaan abad ke-3 M. Sebelumnya istilah logika dipakai oleh Cicero (abad ke-1 M) yang menggunakan kata logika dalam arti ‘seni berdebat’. Aristoteles sendiri menggunakan istilah analitika untuk merujuk kepada penyelidikan terhadap argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang sudah dipastikan kebenarannya, serta dialektika untuk penyelidikan terhadap argumentasi39
argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang belum pasti kebenarannya (Bertens, 1999). Dalam matematika, logika dikaji dalam kaitannya dengan upaya menyusun bahasa matematika yang formal, baku, dan jernih maknanya, serta dalam kajian tentang penyimpulan dan pembuatan pernyataan yang benar. Tradisi penggunaan dan pengkajian logika dalam matematika sudah sangat lama dilakukan sehingga matematika tak dapat dipisahkan dari logika, dan keduanya saling melengkapi. Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead bahkan menyatakan bahwa matematika adalah logika murni. Istilah logika klasik (classical logic, classical elementary logic, atau classical first-order logic) merujuk kepada kajian tentang logika dalam matematika. Kata klasik di situ mengindikasikan betapa sudah menyatunya logika dan matematika, yang sudah dianggap sebagai dua sisi dari satu keping mata uang. Terlepas dari latar belakang kajian dan penemuannya serta klasifikasinya dalam penggolongan ilmu, logika merupakan alat yang dibutuhkan dalam kajian berbagai ilmu pengetahuan dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Logika, di samping etika, dapat dipahami sebagai asas pengaturan alam dan isinya yang dikembangkan manusia. Alam yang pada awalnya tampil di hadapan manusia sebagai sesuatu yang tak termaknai dan sebagai ketidakteraturan mendorong manusia untuk memaknainya dan untuk memberikan arti kepada unsur-unsurnya dan penjelasan kepada dinamikanya. Alam, yang awalnya tak terpahami dan terkesan tak teratur, pelan-pelan namun pasti mulai terpahamkan. Pemaknaan dan pengaturan itu dari waktu ke waktu berkembang semakin sistematis dan komprehensif. Logika berperan di sana, mulai dari penamaan benda-benda berdasarkan prinsip identitas (X = X) hingga penemuan beragam hubungan antara unsur alam melalui penalaran analogis, deduktif, dan induktif. Logika memungkinkan manusia memahami seluk-beluk dan dinamika alam berserta isinya, menerangkan, meramal, dan menata alam. Berbagai persoalan manusia terselesaikan dengan bantuan logika. Meskipun belum semua persoalan selesai sementara berbagai persoalan baru sudah muncul—termasuk persoalan yang disebabkan oleh penggunaan (dan penyalahgunaan) logika—tak dapat dimungkiri bahwa logika sudah membantu manusia meningkatkan kualitas hidupnya dan mengembangkan peradabannya seperti yang kita saksikan sekarang. Sebagai asas pengaturan, logika menjelaskan bahwa alam yang awalnya tampak sebagai kekacau-balauan (chaos) sebenarnya merupakan jagat raya (cosmos) yang teratur. Kembali lagi ke logika sebagai cabang filsafat. Secara filosofis, logika adalah kajian tentang berpikir atau penalaran yang benar. Penalaran merupakan aktivitas mental yang 40
bertujuan memperoleh pengetahuan; dengan kata lain, penalaran merupakan aktivitas epistemik. Penalaran adalah proses penarikan kesimpulan berdasarkan alasan yang relevan. Dalam logika dikaji bagaimana berlangsungnya proses penarikan kesimpulan yang mencakup unsur-unsur dari proses, langkah-langkah, serta hukum, prinsip dan aturan-aturannya. Untuk dapat menjelaskan karakteristik penaralan yang benar serta mengapa dan bagaimana itu dapat dihasilkan, logika menggunakan pemahaman tentang standar kebenaran yang diperoleh dari epistemologi yang merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan. Di samping itu, sebagai bagian dari epistemologi dalam arti luas, logika juga memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang dikaji oleh epistemologi, yang mencakup segisegi sumber pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan pengetahuan. Sebuah sistem logika didasari oleh asumsi tentang sumber pengetahuan, apakah pengetahuan itu dianggap bersumber dari pikiran, pengalaman atau dari hal-hal lain. Dalam sistem logika yang komprehensif juga ditentukan batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui, jenis pengetahuan yang dapat diperoleh, dan syarat-syarat dari pengetahuan sehingga dapat dipahami manusia. Struktur pengetahuan yang berkaitan dengan bagaimana pengetahuan terkumpul, tersusun, dan tertata sedemikian rupa dalam diri manusia juga mendasari sebuah sistem logika. Lalu, untuk menentukan benar atau tidaknya sebuah penalaran sebuah sistem logika perlu didasari oleh syarat-syarat dari keabsahan pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa logika merupakan dasar filosofis dari matematika. Ini disebabkan oleh asas epistemologis matematika yang berakar pada filsafat. Belakangan, mereka yang membahas matematika kebanyakan adalah filsuf, seperti Bertrand Russell, Alfred North Whitehead dan Gottlob Frege. Di sisi lain, matematika juga banyak memberi masukan kepada logika, bahkan dianggap sebagai logika murni oleh Russell dan Whitehead dalam buku mereka yang berjudul Principia Mathematica (1925). Dalam pengertiannya sebagai kajian tentang penalaran yang benar, logika memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan aspek matematis dari logika. Dua di antaranya ialah bagaimana pembuatan kesimpulan dari prinsip-prinsip umum yang sudah ada dan validitasnya berhubungan dengan penalaran yang benar? Dan bagaimana matematika sebagai proses pembuatan kesimpulan khusus berdasarkan hukum-hukum umum dapat dipahami dari segi logis; dan, sebaliknya, bagaimana logika dipahami dari sudut pandang matematika? Sebagai kajian tentang penalaran, logika juga berhubungan erat dengan bahasa alamiah yang sehari-hari dipakai oleh manusia. Untuk berkomunikasi, orang bernalar dengan menggunakan bahasa alamiah. Ini juga berkaitan dengan matematika. Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan: bagaimana matematika dapat diterapkan di dalam kenyataan non41
matematik? Bagaimana matematika dapat menjelaskan realitas sehari-hari? Bagaimana matematika dapat digunakan untuk melakukan penalaran yang benar? Apa dasar epistemologis dari matematika sehingga dapat digunakan untuk membuat penalaran yang benar? Buku ini tidak akan menjelaskan bagaimana logika dan matematika saling berhubungan, dan juga tidak menjelaskan secara khusus dan rinci hubungan antara bahasa dan penalaran sehari-hari dengan logika. Uraian tadi hanya sekadar menunjukkan secara singkat bahwa logika berkaitan erat dengan matematika sehingga beberapa simbol matematika digunakan di dalam logika. Logika juga berkaitan dengan pemahaman manusia dalam kesehariannya karena sama-sama menggunakan bahasa sebagai medianya. Di atas sudah dibahas secara umum tentang dua pengertian logika, yakni sebagai cabang filsafat dan sebagai cabang matematika. Sebelum pembahasan lebih khusus tentang logika, di sini dikemukakan dua pengertian lain dari logika, yakni logika sebagai kajian tentang kebenaran khusus atau fakta dan logika sebagai kajian ciri-ciri atau bentuk umum dari putusan (bahasa Inggris: judgment). Sebagai kajian tentang kebenaran khusus, logika merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menjelaskan kebenaran atau fakta tertentu, sama halnya dengan ilmu pengetahuan lain yang bertujuan menjelaskan kebenaran lainnya. Kebenaran logis dapat dipahami sebagai kebenaran paling umum, satu kebenaran yang dikandung oleh semua kumpulan kebenaran lain yang hendak dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Dalam pengertian ini logika berbeda dari biologi karena logika lebih umum; tetapi, di pihak lain, sama dengan biologi, yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran tertentu. Pengertian logika ini sering kali diasosiasikan dengan Gottlob Frege (1848-1925), ahli matematika dan filsuf dari Jerman. Konsepsi logika ini secara dekat diasosiasikan dengan satu pernyataan yang diperoleh dengan menggunakan logika secara fundamental tentang kesimpulan-kesimpulan tertentu dan tentang semua konsekuensi logis dari tiap kesimpulan itu. Pengertian logika di sini dapat dipulangkan kepada asal katanya, logos, dari Herakleitos yang berarti ‘aturan’, ‘prinsip’, atau ‘kata-kata yang menjelaskan realitas’. Kebenaran logis dalam pengertian ini merupakan satu kebenaran yang diungkapkan dengan representasi yang secara logis tidak mengikuti asumsi apa pun. Kebenaran logis ini dapat dipahami juga sebagai asumsi dasar atau postulat atau prinsip pertama yang mencukupi dirinya sendiri (self-sufficient reason). Dalam pengertian lain, kebenaran logis adalah satu pernyataan yang kebenarannya dijamin sejauh makna dari konstanta logisnya tetap, terlepas dari apa makna bagian lain yang menyertainya. 42
Dalam arti kajian ciri-ciri atau bentuk umum dari putusan atau bentuk pikiran dari putusan, logika dapat dipahami sebagai kajian yang mempelajari unsur-unsur putusan dan susunannya dengan tujuan untuk memperoleh pola atau bentuk umum dari proses pembuatan putusan. Satu contoh bentuk kegiatan dari logika ini adalah penyelidikan tentang struktur hubungan antara subjek dan predikat dari berbagai putusan yang ada; penelitian tentang jenis putusan, dan bagaimana pikiran manusia menggunakan bentuk-bentuk pernyataan tertentu untuk membuat kesimpulan. Fokus kajian dari logika ini adalah pikiran, representasi linguistik, meskipun pikiran dan bahasa saling terkait erat. (Putusan terdapat dalam pikiran dan diungkapkan dengan tanda-tanda konvensional yang dapat diinderai.) Kajian ini berurusan dengan berbagai bentuk putusan, bukan bentuk kalimat seperti yang dipelajari oleh linguistik meskipun dalam praktiknya keduanya mirip karena sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat ekspresi utamanya. Berbeda dengan bentuk dari bahasa sebagai representasi linguistik yang konstan terlepas dari apa pun isinya, bentuk pikiran diperoleh melalui abstraksi dari isi pikiran.
2. Kategori Manusia berpikir dengan menggunakan kategori. Contohnya, kita mengenal kursi sebagai perabot, kucing sebagai makhluk hidup, mobil sebagai kendaraan, dan rumah sebagai tempat tinggal. Perabot, makhluk hidup, kendaraan, dan tempat tinggal adalah contoh kategori yang digunakan untuk mengenali dan mengelompokkan benda-benda. Sejak anak dapat mengenali dunia, kategori digunakan untuk mengenali obyek-obyek di dunia. Pada awalnya kategori yang digunakan sangat sederhana dan umum seperti lebih besar dan lebih kecil, atau lebih jauh dan lebih dekat, atau lebih keras atau lebih lembut. Kemudian kategori yang lebih kompleks dikemba
ngkan, seperti makhluk hidup
yang bernafas dengan paru-paru, tempat tinggal yang layak huni dan nyaman, dan sebagainya. Selain itu, ada hierarki kategori, baik berdasarkan sifat umum atau khusus, maupun sifat kompleks atau simpleks. Makhluk hidup, contohnya, merupakan kategori yang lebih umum dari hewan yang didefinisikan sebagai makhluk hidup yang berindera. Contoh lain, zat merupakan kategori yang lebih umum dari zat cair dan zat padat. Dilihat dari kompleksitasnya, hotel lebih adalah kategori yang lebih kompleks daripada rumah karena pada hotel ada karakteristik yang lebih banyak daripada pada rumah, seperti memiliki
43
fasilitas ruang tidur yang dapat disewakan, ruang makan bersama, lobi, tempat parkir, pegawai hotel, tarif menginap, dan lain-lain. Para filsuf membantu kita untuk mengenali benda-benda secara lebih sistematis dan koheren dengan mengajukan kategori-kategori dasar dari semua yang ada dan mungkin ada di dunia. Aristoteles adalah filsuf pertama yang menggunakan istilah kategori dalam filsafat dan mengajukan jenis-jenis kategori yang menurutnya dapat diterapkan pada semua benda yang ada di dunia. Untuk memahami secara lengkap apa yang dimaksud dengan kategori oleh Aristoteles kita perlu membaca dua kutipan berikut ini. “We should distinguish the kinds of predication (ta genê tôn katêgoriôn) in which the four predications mentioned are found. These are ten in number: what-it-is, quantity, quality, relative, where, when, being-in-a-position, having, doing, undergoing. An accident, a genus, a peculiar property and a definition will always be in one of these categories.” (Topics I.9, 103b20-25 dalam Owen (ed.), 1968; Smith, 2000) “Of things said without any combination, each signifies either substance or quantity or quality or a relative or where or when or being-in-a-position or having or doing or undergoing. To give a rough idea, examples of substance are man, horse; of quantity: four-foot, five-foot; of quality: white, literate; of a relative: double, half, larger; of where: in the Lyceum, in the market-place; of when: yesterday, last year; of being-in-a-position: is-lying, is-sitting; of having: has-shoes-on, has-armor-on; of doing: cutting, burning; of undergoing: being-cut, being-burned.” (Categories 4, 1b25-2a4, tr. Ackrill, 1961) Dari dua kutipan tersebut, diketahui bahwa Aristoteles membagi segala sesuatu dalam sepuluh kategori mencakup (1) substansi’ (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi (relatio), (5) aksi (actio), (6) reaksi atau terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu (kapan), (8) lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik atau posture, silus) dan (10) memiliki atau mengenakan (habitus). Bagi Aristoteles, ke-10 kategori yang diajukannya bukan hanya berkaitan dengan logika tetapi lebih jauh lagi berkaitan dengan segala hal yang ada dan mungkin ada di dunia ini. Penentuan kesepuluh kategori itu berangkat dari penggolongan dari seluruh ‘ada’ (being). Ia membagi ‘ada’ menjadi ‘ada bagi diri sendiri’ dan ‘ada bagi yang lain’. Dari dua jenis ada ini lalu diturunkan lagi hingga diperoleh sepuluh kategori tempat setiap hal dapat dimasukkan ke dalam salah satu kategori itu (lihat gambar 3. Skema kategori menurut Aristoteles dalam Bittle, 1950: 55). Dari sini dapat dipahami bahwa dasar dari kategori adalah pengetahuan tentang ada yang menjadi pembahasan utama dalam metafisika dan ontologi. Dengan penentuan sepuluh kategori, Aristoteles telah mengklaim bahwa ia memahami segala hal sebagai ‘ada’ (being). Filsuf setelah Aristoteles yang mengemukakan pemikiran mengenai kategori adalah Immanuel Kant. Kant (dalam Takwin, 2005) memandang manusia sebagai agen aktif dengan 44
pikiran sebagai pusat aktivitasnya. Menurut Kant pikiran manusia sudah memiliki pengetahuan bawaan dalam bentuk kategori-kategori. Pengetahuan bawaan yang secara tegas tak dapat ditolak keberadaannya adalah kerangka pemahaman ruang dan waktu. Menurut Kant, setiap pemahaman tentang sesuatu selalu dalam kerangka ruang dan waktu. Pengetahuan apa pun selalu terkait dengan kualitaskualitas serta kuantitas-kuantitas ruang dan waktu. Sejauh berkaitan dengan pengalaman, manusia selalu berpikir dalam kerangka ruang dan waktu. Setiap benda yang diperoleh dari pencerapan indrawi selalu dipahami dalam kerangka ruang dan waktu. Benda-benda sendiri pada dirinya tidak mengandung kualitas dan kuantitas ruang dan waktu. Manusialah yang menempatkan mereka dalam kerangka ruang dan waktu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang ruang dan waktu tidak diperoleh dari pengalaman. Pengetahuan tentang ruang dan waktu sudah ada pada diri manusia, dibawanya sejak lahir. Pemahaman tentang ruang dan waktu sudah ada dalam pikiran manusia sebagai pengetahuan bawaan. Selain ruang dan waktu, menurut Kant, manusia juga memiliki pengetahuan bawaan berupa kategori-kategori. Dari analisis dan abstraksinya terhadap berbagai macam putusan dan bentuk-bentuk intelektualnya, Kant menemukan bahwa fungsi berpikir manusia yang tetuang dalam putusan-putusan dapat dikategorikan dalam empat kelompok besar, kuantitas (quantity), kualitas (quality), relasi (relation) dan modalitas (modality). Masing kelompok terdiri dari tiga momenta yang biasa disebut sebagai kategori. Kuantitas mencakup kategori universal, partikular dan singular. Kualitas mencakup kategori afirmatif, negatif dan infinit. Relasi mencakup kategori kategorikal, hipotetikal dan disjunktif. Modalitas mencakup kategori problematik (problematical), asertorik (assertorical) dan apodeiktik (apodeictical). Dari segi kuantitasnya, setiap pernyataan atau putusan selalu dapat digolongkan sebagai universal atau partikular. Kuantitas universal atau partikular dari sebuah pernyataan ditentukan oleh ekstension (keluasan) dari term (istilah) subjek pernyataan. Jika ekstension term subjek mencakup keseluruhan individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan yang menyertakan term subjek ini adalah universal. Jika ekstension term subjek hanya mencakup sebagian individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan yang menyertakan term subjek ini adalah partikular. Contoh: ‘Semua manusia adalah makhluk hidup.’ Pernyataan ini adalah pernyataan universal karena term manusia yang dalam pernyataan ini merupakan subjek memiliki ekstension yang mencakup semua individu yang tergolong sebagai manusia. Contoh lain: ‘Beberapa filsuf adalah rasionalis.’ Pernyataan in adalah pernyataan partikular karena term filsuf yang dalam pernyataan ini merupakan subjek memiliki ekstension yang hanya mencakup sebagain filsuf. Jika term subjek memiliki 45
ekstension yang hanya mencakup satu saja maka term ini adalah term ini masuk dalam kategori singular. Dalam logika umum (general logic) ketika term singular digunakan dalam pernyataan maka pernyataan itu adalah pernyataan universal. Namun bagi Kant pernyataan dengan term subjek singular perlu dibedakan dari pernyataan universal dan pernyataan partikular. Contoh: pernyataan ‘Tuhan mendasari hukum moral.’ Term ‘Tuhan’ dalam pernyataan ini adalah term singular karena merujuk hanya pada satu hal saja, Tuhan. Dengan memahami bahwa term ‘Tuhan’ sebagai term singular, bahwa hukum moral yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah hukum moral tertentu dan bukan hukum moral yang lain. Dari segi kualitasnya, setiap pernyataan dapat dibedakan apakah itu afirmatif, negatif atau infinit. Sebuah pernyataan memiliki kualitas afirmatif jika itu mengafirmasi atau mengiyakan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini hujan.’ Sebuah pernyataan memiliki kualitas negatif jika itu menegasi atau menidakkan/membukankan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini tidak hujan.’ Sebuah pernyataan memiliki kualitas infinit jika pernyataan itu mengungkapkan sesuatu yang tak terbatas. Contoh: ‘Jiwa manusia abadi.’ Dari segi waktu, keberadaan jiwa manusia tak terbatas. Perlu dipahami di sini bahwa dalam logika umum pernyataan infinit ini digolongkan sebagai pernyataan afirmatif karena secara logis itu mengafirmasi sesuatu, misalnya mengafirmasi bahwa jiwa adalah abadi. Pernyataan ‘jiwa manusia abadi’ secara logis memiliki pengertian yang definit karena dapat dibedakan dengan pernyataan-pernyataan lain yang mengungkap hal-hal yang terbatas seperti ‘Daya ingat manusia terbatas.’ Namun Kant membedakan pernyataan-pernyataan infinit dari pernyataan afirmatif untuk memahami pernyataan-pernyataan a priori sintetik. Sesuatu yang infinit, tak terbatas ruang dan waktu, perlu diandaikan ada untuk kepentingan praktis menjaga keteraturan dunia. Dari segi relasi, pernyataan-pernyataan yang ada dapat digolongkan sebagai kategorikal, hipotetikal atau disjunktif. Sebuah pernyataan termasuk dalam kategori kategorikal jika pernyataan itu dapat langsung dinilai benar salahnya tanpa tergantung pada kondisi dan situasi tertentu, juga tidak tergantung pada tempat dan waktu. Contoh: ‘Makhluk hidup bernafas.’ Sejauh sesuatu itu adalah makhluk hidup, maka di mana pun dan kapan pun, dalam keadaan bangun atau tidur, ia pasti bernafas, tidak mungkin tidak. Sebuah pernyataan termasuk kategori hipotetikal jika benar atau salahnya tergantung pada kondisi atau situasi tertentu. Contoh: ‘Jika hari ini turun hujan maka jalan basah.’ Basah tidaknya jalan ditentukan oleh hujan-tidaknya hari ini. Penyataaan disjunktif ditentukan berdasarkan hubungan oposisi logis yang saling meng-ekslusi atau saling meniadakan antara satu dan lainnya. Contoh: ‘Dunia terjadi kalau tidak karena kebetulan semata atau karena ada yang menciptakan.’ Pernyataan ini mengandung dua kemungkinan yang satu sama lain saling 46
meniadakan yaitu ‘kebetulan belaka’ dan ‘ada yang menciptakan.’ Tidak mungkin keduanya sekaligus benar, salah satu pasti salah. Jika yang satu benar maka yang lain salah. Pernyataan disjunktif mengandung seluruh hubungan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran karena setiap kemungkinan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran dapat dinyatakan dengan pernyataan disjunktif lepas dari apakah kemungkinan-kemungkinan itu secara logis berhubungan satu sama lain atau tidak. Semua hal yang tak dapat diungkapkan baik secara kategorikal maupun hipotetikal dapat diungkapkan secara disjunktif. Dari segi modalitas, setiap pernyataan dapat digolongkan sebagai pernyataan problematik, asertorik atau apodeiktik. Sebuah pernyataan adalah problematik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu masih berupa kemungkinan. Contoh: ‘Manusia dapat hidup di bulan.’ Apa yang dikemukakan pernyataan ini masih berupa kemungkinan. Sejauh ini manusia belum dpaat hidup di bulan tetapi hal itu mungkin karena sudah ada manusia yang mendarat di bulan. Sebuah pernyataan adalah asertorik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu nyata dan sudah terjadi. Contoh: ‘Manusia mampu membuat pesawat ulangalik.’ Sebuah pernyataan adalah apodeiktik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu merupakan sesuatu yang pasti terjadi, dengan kata lain apa yang diungkapkan oleh pernyataan itu merupakan keharusan atau keniscayaan. Contoh: ‘Manusia harus makan agar dapat bertahan hidup.’ Dalam pandangan Kant, kategori-kategori yang sudah diuraikan di atas merupakan ide bawaan. Kategori-kategori itu terkandung dalam pikiran manusia dan menjadi kerangka bagi rasionalitas manusia. Filsuf berikutnya yang mengemukakan mengenai kategori adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel (Takwin, 2005) mengartikan kategori sebagai ide-ide yang menjelaskan realitas. Ia menggunakan skema triadik sebagai prinsip bagi penentuan kategori dan menemukan sekitar 272 kategori. Berbeda dari Aristoteles dan Kant, Hegel menyatakan bahwa jenis-jenis kategori dan jumlahnya yang tepat tidak dapat ditentukan sebelum sistem realitas dijelaskan secara lengkap. Ia lalu mengubah arti kategori menjadi sekedar pernyataan, konsep atau prinsip dasar dalam sistem filsafat. Di awal abad ke-20, kita temukan Charles Sanders Pierce (10 September 1839-19 April 1914) memahami kategori sebagai istilah-istilah paling umum yang dapat digunakan untuk membagi-bagi atau menggolong-golongkan pengalaman. Kategori-kategori, dalam pandangan Pierce (Takwin, 2005), mencerminkan tiga predikat atau hubungan. Tiga kategori utama menurutnya adalah (1) firstness; (2) secondness; dan (3) thirdness. Masing-masing kategori ini berperan dalam pola pemaknaan monadic, dyadic dan polyadic. Whitehead 47
menggunakan pernyataan tradisional tentang kategori dan mengelaborasi satu set kategori yang berisi 37 kategori yang menjadi dasar bagi penjelasan semua pengalaman. Pendapat tentang kategori yang mengkritik penggolongan kategori dari filsuf-filsuf sebelumnya dikemukakan oleh Gilbert Ryle. Ryle (1949) berpendapat bahwa kategori berjumlah tak terhingga dan tak teratur. Totalitas dari kategori tidak terletak pada prinsip yang menentukan hirarki dari jenis-jenis hal yang tak terbatas. Totalitas kategori tidak dapat ditentukan polanya. Jumlah kategori yang tak terhingga dan sifatnya yang tak beraturan menjadikan mereka tak terangkum dalam satu prinsip. Dengan ketidakteraturannya itu, maka secara tegas kesalahan kategori terutama bukan terletak pada ketidaktepatan menempatkan suatu hal dalam kategori tertentu tetapi lebih pada memaksakan sesuatu dalam kategori tertentu. Kesalahan kategorikal bagi Ryle dimulai dari penentuan sejumlah kategori yang diklaim sebagai fundamental, dasar dan mutlak. Dari sini kesalahan-kesalahan pemahaman selanjutnya terjadi. Bagi Ryle, siapa pun dapat menentukan kategori apa pun tetapi tak ada yang berhak mengklaim satu sistem kategori sebagai benar dan mutlak sementara sistem yang lain salah. Saat ini kata ‘kategori’ digunakan kebanyakan filsuf untuk merujuk pada jenisjenis fundamental tanpa menentukan apa saja jenis-jenis itu. Padahal kategori-kategori yang ada, menurut Ryle, tidak terbatas pada apa yang dirumuskan oleh filsuf-filsuf itu dan tidak terbatas pula jumlahnya. Pada dasarnya, pemikiran mengenai kategori dari berbagai filsuf memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam mengenali dan memahami benda-benda, kita perlu cermat dan hatihati. Kita tidak dapat sembarangan mengartikan satu hal dan tidak dapat mencampuradukan kategori yang satu dengan kategori yang lain. Meski, seperti yang dinyatakan oleh Ryle, jenis kategori tak terbatas, kita perlu tetap menggunakan aturan dan disiplin dalam menggunakan kategori. Kita dapat menggunakan kategori yang kita anggap sesuai dengan kebutuhan kita dalam mencari pengetahuan, tetapi kita harus konsisten dan koheren dalam menggunakannya. 3. Term, Definisi dan Divisi1 3.1 Term Setiap hal yang diinderai dan dipersepsi dibentuk oleh pikiran menjadi ide. Hasil dari pembentukan ini adalah konsep. Setiap konsep ditandakan dalam bentuk term. Rangkaian term yang bermakna adalah pernyataan. Term dan pernyataan merupakan bagian dari bahasa.
1
Sebagian dari pasal yang menjelaskan term, definisi dan divisi disadur dari C.N. Bittle, The Science of Correct Thinking: Logic (Milwaukee, 1950).
48
Bahasa adalah sarana bagi manusia untuk menyampaikan kepada orang lain dan menerima ide dari orang lain. Term merupakan tanda untuk menyatakan suatu ide yang dapat diinderai (sensible) sesuai dengan pakat (conventional). Tanda itu dapat bersifat formal dan instrumental. Tanda formal digunakan berdasarkan kesamaan antara tanda dan yang ditandai seperti gambar, potret, film, dan huruf hieroglif. Tanda instrumental digolongkan atas dua, yakni tanda alamiah dan tanda konvensional. Tanda alamiah digunakan berdasarkan kaitan alamiah antara tanda dan yang ditandai, misalnya asap menandai api, rasa sakit menandai gangguan pada tubuh, dan tangis menandai kesedihan. Tanda konvensional
digunakan berdasarkan
kesepakatan sejumlah orang tertentu pada waktu tertentu, misalnya sandi Morse, tanda lalulintas, dan bahasa. Secara umum term adalah tanda yang didasarkan pada kelaziman, bukan tanda alamiah. Hal ini terlihat dari adanya berbagai bahasa di dunia. Jika semua term bersifat alamiah maka akan terdapat hanya satu bahasa di dunia. Tetapi kita melihat bahwa untuk hal yang sama, bahasa-bahasa menggunakan term-termnya sendiri. Sebagai contoh, untuk term ‘kursi’ bahasa Indonesia memakai kursi, bahasa Inggris chair, dan bahasa Belanda stuhl. Suatu term sering kali mempunyai bermacam-macam arti. Jika dikelompokkan, setidaknya ada tiga jenis makna term dan penggabungannya dalam kalimat, yakni makna denotatif, makna kesan (sense), dan makna emotif. Makna denotatif merujuk kepada satu arti yang tertera dalam kamus; sering disebut makna sesungguhnya, namun penentuan ‘makna sesungguhnya’ ini dilakukan berdasarkan kesepakatan. Makna kesan (sense) ialah makna term berdasarkan penggabungannya dengan kata lain; dalam hal ini term dapat memiliki makna lain, misalnya penggunaan term hati pada kalimat “Saya sakit hati” berbeda dengan “Semur hati itu enak sekali”. Makna emotif ialah makna term yang didasarkan pada perasaan atau emosi, sikap--baik secara tersurat maupun secara tersirat. Term keras hati secara denotatif memiliki makna yang sama dengan keras kepala, namun keras hati sering kali diartikan sebagai ‘teguh’ atau ‘tahan godaan’, sedangkan keras kepala sering diartikan sebagai ‘tidak mau mengalah’ atau ‘tidak mau mendengarkan orang lain’.
3.2 Definisi Untuk menyamakan pengertian dan menghindari kesalahan penafsiran terhadap term diperlukan definisi. Di samping itu, definisi juga diperlukan untuk dapat memahami sebuah kalimat secara jelas dan sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Definisi adalah pernyataan yang menerangkan hakikat suatu hal. Definisi menjawab pertanyaan, “Apakah 49
itu?” Untuk dapat mendefinisikan suatu term kita harus tahu persis tentang hal yang didefinisikan. Kendala yang sering muncul dalam pembuatan definisi adalah keterbatasan pengetahuan dan keterbatasan term. Keterbatasan pengetahuan sering menghasilkan definisi yang terlalu luas. Keterbatasan term memungkinkan penggunaan term yang sama untuk mewakili hal yang berbeda. Kedua kendala ini menyebabkan sulit dicapai definisi yang 100% menjelaskan hal yang hendak didefinisikan.
3.2.1 Penggolongan definisi Menurut kesesuaiannya dengan hal atau kenyataan yang diwakilinya ada dua jenis definisi, yakni definisi nominal (definisi sinonim) dan definisi real (definisi analitik). Definisi nominal ialah definisi yang menerangkan makna kata seperti yang dimuat dalam kamus, misalnya introspeksi berarti ‘menilai diri sendiri’, inspeksi ‘memeriksa’, dan kursi ‘tempat duduk’. Definisi real adalah definisi yang menerangkan arti hal itu sendiri. Pembuatannya menuntut dilakukannya analisis terhadap hal yang akan didefinisikan terlebih dahulu. Sebagai contoh, sikap adalah ‘kecenderung memberikan tanggapan secara positif atau negatif terhadap objek tertentu’ dan HP adalah ‘daya gerak yang ada dalam mesin yang dinyatakan dengan daya gerak seekor kuda’. Definisi real dibedakan atas dua, yakni definisi esensial dan definisi deskriptif. Definisi esensial menerangkan inti (esensi) dari suatu hal dengan menyebutkan genus dan diferentianya. Genus adalah kelompok besar atau kelas dari hal yang akan dijelaskan, sedangkan diferentia adalah ciri khas yang hanya ada pada hal yang didefinisikan. Ciri khas inilah yang membedakan suatu hal dengan hal lain dalam genus atau kelompok yang sama. Sebagai contoh, dalam “Manusia adalah makhluk rasional”, makhluk adalah genusnya dan rasional adalah diferentia spesifiknya.
Definisi ini adalah definisi yang ideal dan mendekati
pengertian hal yang hendak didefinisikan. Definisi deskriptif mengemukakan segi-segi yang positif tetapi belum tentu esensial mengenai suatu hal. Definisi deskriptif dibedakan atas empat, yakni definisi distingtif, definisi genetik, definisi kausal, dan definisi aksidental. Definisi distingtif menunjukkan properti, misalnya “Oksigen adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, tak mempunyai rasa, 1105 kali dari berat udara, dan mencair pada suhu di bawah -115 derajat C”. Definisi genetik menyebutkan asal mula atau proses terjadinya suatu hal, misalnya “Air adalah zat yang terjadi dari gabungan 2 atom Hidrogen dan 1 atom oksigen,” dan “Lingkaran adalah bentuk geometris yang terdiri dari garis-garis lurus yang sama panjang yang terletak pada 50
bidang datar dan berawal dari satu titik pusat”. Definisi kausal menunjukkan penyebab atau akibat dari sesuatu hal, misalnya “Lukisan adalah gambar yang dibuat oleh seorang seniman”, dan “Arloji adalah alat penunjuk waktu”. Definisi aksidental tidak mengandung hal-hal yang esensial dari suatu hal, misalnya “Dijual rumah. Luas tanah 170 m2. Bangunan bertingkat dan pekarangan tertata rapi. Lokasi: Jln. Macan No. 30 Jakarta Pusat. Dilengkapi telepon dan AC. Lingkungan nyaman, aman, dan tentram”. Definisi real jarang dapat tercapai sepenuhnya karena sering kali ada karakteristik yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kadang-kadang perumusannya terkendala karena kurangnya pengetahuan si pembuat definisi. Ada term yang tidak dapat didefinisikan karena berhubungan langsung dengan indera, misalnya manis, pahit, dan sakit. Ada juga term yang sulit didefinisikan karena sangat umum, misalnya ada (hanya dapat didefinisikan dengan cara membandingkannya dengan tidak ada yang merupakan term di luar term yang didefinisikan). Contoh lain ialah satu, benda, dan hal. Di samping definisi yang telah diuraikan di atas, ada juga definisi yang dibuat dengan menggunakan contoh, misalnya “Minuman yang sehat itu, di antaranya ialah air dan hasil perasan buah segar”. Pernyataan seperti ini sebenarnya kurang memadai sebagai definisi karena tidak mencakup keseluruhan ide yang terkandung dalam term atau hal yang didefinisikan. 3.2.2 Aturan membuat definisi Pembuatan definisi yang memadai untuk digunakan dalam pemikiran logis harus mengikuti aturan-aturan berikut ini. Pertama, definisi harus lebih jelas dari yang didefinisikan; jika tidak, maka definisi akan kehilangan fungsinya. Untuk itu harus diperhatikan catatan-catatan berikut ini. Term-term yang muluk seperti contoh berikut, “Manusia adalah alam semesta yang mengejawantah” dan “Kewibawaan adalah pancaran nurani dan kedigjayaan manusia” harus dihindari. Demikian pula term-term yang sulit dimengerti (tidak lazim), misalnya definisi pemimpin berikut ini yang diberikan kepada orang yang bukan penutur bahasa Jawa, “Pemimpin adalah orang yang bersifat ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”. Kedua, definisi tidak boleh mengandung ide atau term dari yang didefinisikan seperti pada contoh “Binatang adalah hewan yang mempunyai indera” dan “Emosi adalah gejolak perasaan”. Definisi semacam ini disebut definisi sirkular (circular definition). Ketiga, definisi dan yang didefinisikan harus dapat dibolak-balik dengan pas, misalnya “Buku adalah sejumlah kertas yang terjilid”. Kalau dibalik, “Sejumlah kertas yang terjilid 51
adalah buku”. Contoh yang salah ialah “Kecap adalah penyedap masakan”. Jika urutannya dibalik menjadi, “Penyedap masakan adalah kecap” maka pernyataan itu menjadi salah karena penyedap makanan belum tentu kecap. Keempat, definisi harus dinyatakan dalam kalimat positif. Kalimat ingkar atau negatif seperti “Gembira adalah keadaan tidak sedih” atau “Manusia bukan binatang” tidak memenuhi syarat definisi. Dalam tulisan jenis sastra ada kekecualian dalam pembuatan definisi karena pendefinisian di situ umumnya bukan dalam rangka menjelaskan hal tertentu secara harafiah, melainkan untuk memberi kesan tertentu. Sastra juga memakai teknik gaya bahasa yang tidak harus mengikuti tata cara pembuatan definisi tersebut di atas. Tulisan-tulisan retorika yang mementingkan makna sense dan pengaruh tulisan terhadap pembaca atau pendengar juga tidak harus mengikuti tata cara pembuatan definisi itu. 3.3 Divisi Selain dapat dijelaskan apa artinya, term juga dapat diuraikan dengan kriteria tertentu menjadi bagian-bagian. Penguraian term itu biasa disebut divisi. Divisi adalah uraian suatu keseluruhan ke dalam bagian-bagian berdasarkan satu kesamaan karakteristik tertentu. Pembagian dalam bentuk divisi merupakan upaya lain untuk menjelaskan term. Ada beberapa jenis divisi, yakni divisi real (atau aktual) dan divisi logis.
3.3.1 Divisi real atau aktual Penguraian dengan divisi real atau aktual dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang ada pada objek itu sendiri—baik fisik maupun metafisik—terlepas dari aktivitas mental manusia. Divisi berdasarkan bagian fisik dilakukan berdasarkan faktor-faktor fisik yang dapat dipisahkan, satu dari yang lain. Bagian itu dapat berupa bagian yang esensial atau bagian yang integral. Bagian-bagian yang essensial ialah bagian-bagian yang harus lengkap. Jika salah satu di antaranya hilang maka hilang pula eksistensi keseluruhannya, misalnya “Manusia terdiri dari badan dan jiwa”, “air terdiri dari oksigen dan hidrogen”, “garam dapur terdiri dari sodium dan klorin”, dan “mobil terdiri dari mesin dan ‘tubuh’”. Bagianbagian yang integral ialah bagian-bagian yang tidak harus lengkap. Jika salah satu anggotanya hilang, hal itu tidak mlenyapkan eksistensi atau esensi halnya. Bagian yang integral terbagi atas dua, yakni yang homogen dan yang heterogen. Bagian-bagian yang homogen ialah segolongan unsur yang menjadi bagian dari sesuatu hal, misalnya “Air terdiri dari titik-titik”, “Api terdiri dari percikan-percikan”, dan “Pasir terdiri dari butir-butir”. 52
Sementara itu, bagian-bagian yang heterogen ialah bagian-bagian—yang tidak segolongan— dari sesuatu hal, misalnya “Manusia terdiri dari kaki, tangan, dan mata”, dan “Masyarakat terdiri dari golongan kaya dan miskin”. Divisi berdasarkan bagian metafisik dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang merupakan esensi dari sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam kenyataannya bagian-bagian itu merupakan ketunggalan, misalnya “Manusia terdiri dari rasio, indera, nyawa, dan tubuh”. Bagian-bagian ini tidak terpisahkan. Dalam pembuatan divisi real sebaiknya dilakukan observasi, analisis, dan abstraksi terhadap hal yang akan diuraikan. Observasi, analisis, dan abstraksi ini diperlukan untuk memahami hal yang akan diuraikan sehingga penguraiannya tidak bertentangan dengan kenyataan dari hal itu.
3.3.2 Divisi Logis Dalam divisi logis mental manusialah yang membagi keseluruhan hal
menjadi bagian-
bagian. Kita menambahkan unsur-unsur tertentu kepada suatu hal untuk menjadikannya kelas atau sub-kelas, misalnya “Hal”, “Hal yang hidup”, “Hal hidup yang berindera (= hewan)”, “Hal hidup yang berindera dan berakal (= manusia)”. Kegiatan menambahkan elemenelemen ini, yang merupakan kegiatan dari divisi logis, disebut sintesis.
3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi Divisi harus dibuat memadai; artinya, jumlah semua bagian harus sama dengan keseluruhan. Ada sejumlah aturan yang harus diikuti dalam pembuatan divisi. 1) Tidak boleh ada bagian yang terlewati. 2) Bagian tidak boleh melebihi keseluruhan. 3) Tidak boleh ada bagian yang meliputi bagian yang lain. 4) Divisi harus jelas dan teratur. 5) Jumlah bagian harus terbatas; kalau kebanyakan akan kacau. Jika diperlukan, dibuat subbagian. Berikut adalah contoh divisi yang salah, “Pengguna terminal terdiri dari pengendara kendaraan bermotor, supir kendaraan umum, pengendara kendaraan tak bermotor, mahasiswa/pelajar, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, pejalan kaki, penumpang kendaraan umum, dan karyawan.” Pembagian divisi ini salah karena hal-hal berikut ini. Pertama, ada bagian yang terlewati (petugas terminal juga menggunakan terminal sebagai tempat kerjanya). Kedua, ada bagian yang meliputi bagian yang lain (mahasiswa bisa saja sekaligus pengendara kendaraan bermotor atau tak bermotor; penumpang kendaraan umum 53
bisa saja sekaligus mahasiswa/pelajar, ibu rumah tangga, dan karyawan). Ketiga, dasar pembagiannya tidak jelas (apakah berdasarkan jenis pekerjaan, lama atau sebentarnya di jalan, atau penggunaan kendaraan?). Keempat, jumlah bagian terlalu banyak. 4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi2 4.1. Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut. (1) “Hari ini cuaca cerah.” (2) “Apakah kamu sudah sarapan tadi pagi?” (3) “Jawab pertanyaan saya.” Kalimat-kalimat itu merupakan tiga kalimat yang berbeda. Kalimat (1) adalah kalimat berita, yaitu kalimat yang memberitakan hal tertentu. Kalimat (2) adalah kalimat tanya; isinya merupakan pertanyaan tentang hal tertentu. Kalimat (3) adalah kalimat perintah yang isinya menyerukan atau memerintahkan orang untuk melakukan hal tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk berkomunikasi kita menggunakan kalimat, baik kalimat berita, kalimat perintah, maupun kalimat tanya. Secara umum, kalimat didefinisikan sebagai: serangkaian kata yang disusun berdasarkan aturanaturan tata bahasa dalam suatu bahasa, dan dapat digunakan untuk tujuan menyatakan, menanyakan, atau memerintahkan sesuatu hal. Benar atau salahnya struktur suatu kalimat ditentukan berdasarkan kaidah atau aturan tata bahasa suatu bahasa. Penilaian terhadap kalimat terutama dalam hal apakah susunan atau bangunan kata yang membentuk kalimat tepat atau tidak. Secara umum, struktur kalimat berita terdiri dari subjek-predikat-objek, misalnya, “Saya memakai baju”. Dalam kalimat itu, saya adalah subjek, memakai predikat, dan baju objek. Kalimat tanya umumnya dibuat dengan menggunakan kata yang dilengkapi dengan bentuk akhir -kah, seperti apakah, adakah, sudahkah, pernahkah, dan maukah. Bisa juga kalimat tanya hanya terdiri dari satu kata, seperti “Mau?” atau “Ada?” Dalam bahasa lisan kalimat tanya ditandai dengan intonasi tertentu; dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda tanya [?]. Kalimat perintah umumnya dimulai dengan kata kerja, seperti “Pergi kau!”, atau dengan kata larangan seperti “Jangan datang lagi.” Kalimat perintah bisa saja hanya terdiri dari satu kata. Dalam bahasa lisan, kalimat perintah dengan satu kata ditandai dengan intonasi yang menunjukkan ketegasan, sedang dalam bahasa tulisan kalimat ini diakhiri dengan tanda titik [.] dan kadang-kadang dengan tanda seru [!].
2 Sebagian dari pasal yang membahas kalimat, pernyataan, dan proposisi ini disadur dari buku A. K.Bierman dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A. Wirawan.
54
Salah satu jenis kalimat adalah pernyataan (bahasa Inggris statement) yang dalam praktiknya sama dengan kalimat berita. Tetapi, pernyataan memiliki pengertian yang lebih khusus. Pernyataan adalah kalimat yang digunakan untuk membuat suatu klaim atau menyampaikan sesuatu yang bisa benar atau salah. Kalimat yang berupa pertanyaan atau perintah berbeda dari pernyataan karena pertanyaan dan perintah tidak bisa benar dan sekaligus salah. Pernyataan memiliki nilai kebenaran (truth value). Artinya, suatu pernyataan bisa dinilai benar atau salah, misalnya pernyataan
“Hari ini hujan turun” benar jika sesuai dengan kenyataan bahwa hari ini
memang hujan. Tetapi jika kenyataan menunjukkan bahwa hari ini tidak hujan, maka pernyataan itu salah. Suatu pernyataan tidak bisa benar dan salah sekaligus. Jika ada pernyataan yang mengandung benar dan salah sekaligus, maka itu adalah paradoks yang merupakan satu bentuk kesalahan dalam berpikir. Dalam literatur logika dan ilmu pengetahuan, kita juga menemukan term proposisi (dari kata bahasa Inggris proposition). Proposisi ialah makna yang diungkapkan melalui pernyataan, atau dengan kata lain arti atau interpretasi dari suatu pernyataan. Sebagai analogi, jika kata mengungkapkan konsep atau ide (konsep/ide = makna kata), maka pernyataan mengungkapkan proposisi (proposisi = makna pernyataan). Proposisi juga dapat dipahami sebagai makna dari kalimat berita, mengingat bahwa pernyataan merupakan kalimat berita yang dapat dinilai benar atau salah. Berikut ialah tiga hal yang menjadi konsekuensi dari definisi kalimat, pernyataan dan proposisi tersebut. Pertama, kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak mengungkapkan proposisi apa pun. Misalnya, deretan kata penerangan tapi kecepatan membaca tidak mengungkapkan proposisi apa pun karena penerangan dan kecepatan membaca di sini tidak mempunyai hubungan yang jelas dan penggunaan kata tapi di sini tidak tepat. Kedua, pernyataan atau kalimat yang berbeda dapat mengungkapkan proposisi yang sama, misalnya, “Rina adalah adik Yanto” merupakan proposisi yang sama dengan “Yanto adalah kakak Rina.” Ketiga, kalimat atau pernyataan yang sama dapat mengungkapkan proposisi yang berbeda, misalnya, “Masyarakat Jakarta adalah masyarakat yang majemuk” dapat mengungkapkan proposisi yang berbeda-beda, antara lain “Masyarakat Jakarta terdiri dari banyak etnis” atau “Masyarakat Jakarta terdiri dari banyak agama” dan “Masyarakat Jakarta merupakan keturunan dari perpaduan suku tertentu.” Lalu, bagaimana kita dapat mengetahui apa proposisi yang ingin diungkapkan suatu kalimat atau pernyataan? Kita dapat memastikannya melalui pencermatan terhadap informasi non-bahasa atau konteks atau dengan menggunakan kalimat lain yang lebih jelas dan khusus. 55
Kalimat atau pernyataan yang boleh ditafsirkan lebih dari satu makna (multi-tafsir) dapat menyebabkan kita salah dalam memahami dan menanggapinya. Jika kita menggunakan hasil pemaknaan itu dalam pembuatan keputusan, maka kita pun bisa salah membuat keputusan dan menanggung kerugian akibat kesalahan itu. Oleh karena itu, perlu dihindari penggunaan kalimat atau pernyataan yang multi-tafsir dengan membuat pernyataan yang baik, yang jelas maknanya. Untuk membuat suatu pernyataan yang baik, perlu dilakukan halhal berikut. Pertama, membangun suatu kalimat yang mengungkapkan suatu proposisi. Kedua, mengusahakan supaya proposisi yang ingin diungkapkan menjadi jelas. Akhirnya, membuat pernyataan mengenai nilai kebenaran kalimat itu. Biasanya langkah-langkah itu tidak disadari ketika seseorang menyusun suatu pernyataan. Oleh karena itu orang perlu berlatih membuat pernyataan yang baik agar terbiasa. Tanpa latihan, orang cenderung membuat kalimat yang multi-tafsir atau tidak jelas maknanya. Bahkan orang bisa saja membuat kalimat atau pernyataan yang tidak koheren sehingga sama sekali tidak dapat dimaknai. Kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan kalimat atau pernyataan adalah yang berikut. 1) Kalimatnya tidak koheren sehingga tidak dapat dimaknai oleh pendengar atau pembaca. 2) Kalimatnya sudah koheren tetapi proposisi apa yang dimaksudkan tidak jelas sehingga dapat menyebabkan salah tafsir. 3) Tidak menunjukkan dengan jelas bahwa kita sedang menyatakan nilai kebenaran dari kalimat kita (dan bukannya sedang bertanya, mencoba sound system, berspekulasi, atau berlatih drama). Dalam bahasa lisan, kesalahan ini seringkali disebabkan oleh salah intonasi. Dalam bahasa tulis, hal ini seringkali timbul karena kesalahan penggunaan tanda baca.
4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks Secara umum, berdasarkan proposisi yang dikandung, ada dua jenis pernyataan, yaitu pernyataan sederhana dan pernyataan kompleks. Pernyataan sederhana adalah pernyataan yang hanya mengandung satu proposisi, misalnya, “Anak itu menangis”. Pernyataan kompleks adalah pernyaataan yang mengandung lebih dari satu proposisi, misalnya, “Selain gemar membaca buku, Adi juga senang menulis cerita pendek”. Pernyataan ini mengandung dua proposisi, yaitu “Adi gemar membaca buku” dan “Adi senang menulis cerita pendek”. Proposisi yang dikandung oleh suatu pernyataan juga disebut komponen logika dari pernyataan. Komponen logika adalah komponen yang turut menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Oleh karena sebuah pernyataan ditentukan benar-salahnya berdasarkan
56
makna yang diungkapkannya atau proposisinya, maka komponen logika suatu pernyataan dapat dipahami dari proposisi pernyataan itu. Tidak semua kalimat kompleks (kalimat yang mengandung lebih dari satu komponen) merupakan pernyataan kompleks, karena komponen itu belum tentu merupakan komponen logika. Sebagai contoh, “Saya harap kamu belajar giat” memang merupakan kalimat kompleks tetapi termasuk jenis pernyataan sederhana karena hanya mengandung satu proposisi atau satu komponen logika. Yang menentukan benar atau tidaknya pernyataan itu adalah “saya harap”. Jika kenyataannya saya berharap kamu belajar giat maka pernyataan itu benar. Tetapi jika kenyataannya saya tidak berharap kamu belajar giat maka pernyataan itu salah. Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini. (1) Tidak benar bahwa anak itu nakal. (2) Rani pikir anak itu nakal. Pernyataan yang dikandung dalam kalimat (1) adalah ‘[Hal] itu (anak itu nakal) tidak benar’ dan “Anak itu nakal”. Dalam pernyataan pertama, anak itu nakal merupakan komponen logika karena benar atau salahnya komponen itu turut menentukan benar atau salahnya pernyataan itu: jika kenyataannya benar bahwa anak itu nakal, maka pernyataan itu adalah salah, sedangkan jika kenyataannya tidak benar bahwa anak itu nakal, maka pernyataan itu adalah benar. Kalimat ini mengandung dua proposisi. Pernyataan yang terkandung dalam kalimat (2) adalah ‘Rani pikir [x]’ dan ‘Anak itu nakal.’ Dalam pernyataan itu, anak itu nakal bukan komponen logika karena benar atau salahnya hal itu tidak menentukan benar atau salahnya pernyataan: apakah kenyataan anak itu nakal atau tidak nakal, tidak menentukan apakah benar bahwa Rani berpikir anak itu nakal. Nilai kebenaran pernyataan kedua ada pada: apakah benar bahwa Rani pikir anak itu nakal, ataukah Rani tidak berpikir bahwa anak itu nakal. Kalimat ini hanya mengandung satu proposisi. Demikianlah anak itu nakal merupakan komponen logika dalam kalimat (1), tetapi bukan komponen logika dalam kalimat (2). Jadi, kalimat (1) merupakan pernyataan kompleks, sedangkan kalimat (2) merupakan pernyataan sederhana. Biasanya, komponen yang mengikuti kata-kata yang menunjukkan sikap atau pendapat pribadi, seperti pikir, harap, kira, dan percaya bukan merupakan komponen logika. Dalam percakapan sehari-hari, komponen-komponen dalam pernyataan kompleks sering kali tidak diungkapkan secara lengkap, seperti diperlihatkan oleh contoh-contoh berikut. (1) Kalau kamu tidak mau pergi, tidak usah. (Lengkapnya: Kalau kamu tidak mau pergi, kamu tidak usah pergi.) 57
(2) Mengingat kamu punya kehendak sendiri, kamu boleh memilih untuk ikut atau tidak. (Lengkapnya: Kamu punya kehendak sendiri, jadi kamu boleh memilih untuk ikut atau kamu boleh memilih untuk tidak ikut.) (3) Kuda tidak satu spesies dengan keledai. (Lengkapnya: Tidak benar bahwa kuda satu spesies dengan keledai.)
4.3 Jenis-jenis Pernyataan Kompleks Hubungan di antara proposisi atau pernyataan sederhana dalam pernyataan kompleks ditunjukkan oleh penggunaan kata penghubung seperti tidak, dan, atau, jika, dan maka. Katakata yang menghubungkan pernyataan-pernyataan sederhana—sehingga terbentuk satu pernyataan kompleks—dan menjelaskan hubungan-hubungan yang terdapat di antara pernyataan-pernyataan sederhana itu disebut kata penghubung logis atau kata penghubung kalimat. Kata penghubung itu digunakan untuk membangun struktur logika dari pernyataan kompleks. Berdasarkan hubungan di antara proposisi-proposisi yang terkandung dalam pernyataan kompleks, ada empat jenis pernyataan kompleks, yaitu: 1) Negasi (bukan P) 2) Konjungsi (P dan Q), dan 3) Disjungsi (P atau Q) 4) Kondisional (Jika P maka Q) Secara umum struktur logika terdiri atas empat jenis seperti yang sudah disebutkan di atas. Dalam praktiknya, tidak mudah menemukan struktur logika suatu pernyataan atau suatu argumen. Hal itu dapat terjadi karena 1) ada lebih dari satu cara untuk mengungkapkan keempat jenis pernyataan kompleks tersebut di atas, dan 2) struktur logika suatu pernyataan sering kali tersembunyi. Untuk dapat menemukan struktur logika dari pernyataan-pernyataan, kita perlu mempelajari struktur logika dari keempat pernyataan kompleks itu.
4.3.1 Negasi Negasi dari suatu pernyataan sederhana adalah pengingkaran atas pernyataan itu. Jika A adalah suatu pernyataan, negasinya adalah “Tidak benar bahwa A”. Ini disingkat menjadi “Bukan-A” atau “Bukan (A).” Suatu pernyataan dan negasinya tidak mungkin benar keduaduanya, atau salah kedua-duanya. Benar atau salahnya (nilai kebenaran) suatu negasi tergantung pada nilai kebenaran komponen logikanya. Karena itu, negasi termasuk pernyataan kompleks, bukan pernyataan sederhana. 58
Dalam percakapan sehari-hari, kita jarang menyatakan negasi dalam kalimat, “Tidak benar bahwa…” melainkan kita cukup menyingkatnya dengan kata tidak, misalnya: (1) Orang jujur tidak bisa berbohong. (‘Tidak benar bahwa orang jujur bisa berbohong’.) (2) Kamu tidak pernah mengajak saya makan-makan. (‘Tidak benar bahwa kamu mengajak saya makan-makan’.) Perhatikan bahwa penafsiran dari contoh (2) sebenarnya agak kurang tepat. Untuk menafsirkan “Kamu tidak pernah mengajak saya jalan-jalan” diperlukan teknik logika lebih lanjut, yang akan dijelaskan kemudian. Kata-kata yang maknanya berlawanan (antonim) tidak berarti bahwa kata-kata saling menegasikan. Misalnya, “Brian membenci Ratih,” bukan negasi dari “Brian mencintai Ratih.” Negasi dari “Brian membenci Ratih” adalah “Brian tidak membenci Ratih”. Bisa saja terjadi bahwa Brian tidak mencintai Ratih tetapi juga tidak membenci Ratih. Umpamanya, jika Brian tidak mengenal Ratih sama sekali, atau Brian dan Ratih berteman, maka mereka tidak saling mencintai dan juga tidak saling membenci. Dengan kata lain, “Brian membenci Ratih” menunjukkan bahwa Brian mempunyai sikap negatif terhadap Ratih. Sementara itu, “Brian tidak mencintai Ratih” hanya menunjukkan bahwa Brian tidak mempunyai afeksi positif terhadap Ratih, namun itu tidak harus berarti Brian membenci Ratih. “Brian membenci Ratih” merupakan suatu pernyataan sederhana. Negatif ganda pada umumnya membentuk pernyataan positif seperti pada contohcontoh berikut. (1) Pikiran manusia tidak tak terbatas. (Pikiran manusia terbatas.) (2) Jangan sekali-sekali tidak membayar pajak. (Bayarlah pajak.)
4.3.2 Konjungsi Suatu pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata dan disebut konjungsi atau kalimat konjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah P dan Q. Komponen-komponennya (masing-masing P dan Q) disebut konjung. Sebagai contoh, pernyataan kompleks “Indonesia dan Malaysia berasaskan demokrasi” terbentuk dari dua pernyataan sederhana, masingmasing “Indonesia berasaskan demokrasi” dan “Malaysia berasaskan demokrasi”. Jumlah konjung dalam suatu kalimat konjungsi tidak harus dua, tapi bisa juga lebih, misalnya, “Indonesia, Malaysia dan Australia berasaskan demokrasi”. Pernyataan kompleks ini terdiri dari tiga pernyataan sederhana, yaitu “Indonesia berasaskan demokrasi”, “Malaysia berasaskan demokrasi”, dan “Australia berasaskan demokrasi”. 59
Suatu konjungsi benar bila semua konjungnya benar, dan salah jika salah satu konjungnya salah. Sebagai contoh, pernyataan “Indonesia dan Malaysia berasaskan demokrasi” benar jika dalam kenyataannya memang “Indonesia berasaskan demokrasi” dan “Malaysia berasaskan demokrasi”. Jika semua salah atau salah satu pun konjungnya salah, maka konjungsi salah. Pernyataan “Manusia dan burung adalah makhluk rasional” salah karena pernyataan “Burung adalah makhluk rasional” salah. Ada kata lain di samping dan yang fungsinya kurang lebih sama. Perhatikanlah contoh-contoh berikut. (1) Saya mau nasi dan daging, tetapi sayur tidak. (Saya mau nasi, dan saya mau daging, tapi saya tidak mau sayur.) (2) Walaupun miskin, dia bahagia. (Dia miskin dan dia bahagia.) (3) Anto datang ke rapat itu, begitu pula Yana. (Anto datang ke rapat itu dan Yana datang ke rapat itu.) (4) Kami berhasil; namun demikian, kami menyadari kekurangan kami. (Kami berhasil, dan kami menyadari kekurangan kami.) Penggunaan tapi, walaupun, dan lain-lain itu mengandung arti lebih dari sekadar dan. Tetapi, secara logis, nilai kebenaran “Dia miskin dan dia bahagia” sama dengan nilai kebenaran “Walaupun dia miskin, dia bahagia”. Artinya, jika “Dia miskin dan dia bahagia” benar, maka “Walaupun dia miskin, dia bahagia” juga benar. Sebaliknya, jika “Dia miskin dan dia bahagia” salah, maka “Walaupun dia miskin, dia bahagia” juga salah. Penggunaan kata dan kadang-kadang taksa atau ambigu (ambiguous). Contohnya, “Joko
dan
Patmo
memenangkan
perlombaan
maraton.”
Pernyataan
ini
dapat
diinterpretasikan menjadi: 1) Joko memenangkan perlombaan maraton dan Patmo memenangkan perlombaan maraton (konjungsi), atau 2) Pasangan Joko dan Patmo memenangkan perlombaan maraton (pernyataan sederhana). Untuk mengetahui interpretasi mana yang benar, digunakan konteks atau informasi lain yang tersedia. Jika kita yang menyampaikan pernyataan itu, sebaiknya kita menggunakan pernyataan yang lebih lengkap dan jelas. Meskipun ada konteks, kemungkinan salah tafsir tetap besar. Oleh sebab itu, penggunaan pernyataan yang taksa atau bertafsir ganda harus dihindari. Menurut logika, urutan konjungsi boleh dibolak-balik tanpa mempengaruhi nilai kebenarannya, misalnya “Saya ingin makan nasi dan minum teh” dapat dibalik menjadi “Saya ingin minum teh dan makan nasi.” Kedua pernyataan ini sama saja arti dan nilai 60
kebenarannya. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, urutannya tidak dapat dibalik. Sebagai contoh, pernyataan “Made meninggal dunia dan dibakar” berbeda maknanya dengan “Made dibakar dan meninggal dunia” karena urutannya berbeda.
4.3.3 Disjungsi Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata atau disebut disjungsi atau pernyataan disjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan komponen pernyataan kompleks, bentuk standar dari disjungsi adalah P atau Q, misalnya “Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Komponenkomponennya (masing-masing P dan Q) disebut disjung. Jumlah disjung dalam suatu disjungsi tidak harus dua, tetapi bisa juga lebih, misalnya, “Joko atau Padmo atau Riski yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Urutan disjung dalam suatu disjungsi tidak mempengaruhi nilai kebenarannya. A atau B secara logis ekuivalen dengan B atau A. Umpamanya, “Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis” sama maknanya dengan “Padmo atau Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Suatu disjungsi benar bila paling sedikit salah satu disjungnya benar, dan salah jika semua disjungnya salah. Jadi, A atau B benar jika A benar, B benar, atau A dan B benar. Sedangkan A atau B salah jika A dan B salah. Disjungsi “Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis” benar jika salah satu konjungnya benar, misalnya “Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis.” Disjungsi “Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis” salah jika baik pernyataan “Joko yang memenangkan
pertandingan
bulu
tangkis”
maupun
“Padmo
yang
memenangkan
pertandingan bulu tangkis” salah. Penggunaan kata atau seperti ini disebut atau-inklusif. Dalam percakapan sehari-hari, kadang-kadang kata atau digunakan sebagai ataueksklusif, yang berarti bahwa hanya salah satu dari disjungnya yang benar, misalnya “Anto ada di Jakarta atau di Bandung” (tidak mungkin kedua disjungnya benar). Dalam teori-teori logika, yang dipakai adalah atau-inklusif. Jika dalam teori logika, kita ingin mengungkapkan suatu hubungan atau -eksklusif, maka struktur logikanya menjadi A atau B dan bukan (A dan B), misalnya “Anto ada di Jakarta atau dia ada di Bandung dan tidak benar bahwa dia ada di Jakarta sekaligus dia ada di Bandung”. Perhatikan penulisan struktur logika, jika kita menggunakan bentuk negasi tanpa tanda kurung, maka hasilnya menjadi ambigu seperti ini: A atau B dan bukan -A dan B.
61
4.3.4 Kondisional Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan jika…, maka… disebut pernyataan kondisional atau hipotetisis. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah Jika P maka Q. Pernyataan dalam anak kalimat yang mengandung kata jika disebut anteseden, dan pernyataan dalam anak kalimat yang mengandung kata maka disebut konsekuen. Nilai kebenaran suatu pernyataan kondisional agak rumit penentuannya. Hal ini menyebabkan timbulnya pandangan yang berbeda-beda. Salah satu di antaranya (yang dianut oleh para ahli logika formal) ialah pandangan kondisional material, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan kondisional dianggap salah hanya jika antesedennya benar dan konsekuennya salah. Perhatikan pernyataan hari hujan dan tanah basah yang masing-masing benar. Menurut syarat kondisional material, hal itu berarti bahwa jika hari hujan maka tanah basah adalah benar, semrntara jika hari hujan maka tanah kering salah; jika hari cerah, maka tanah basah adalah benar, dan jika hari cerah maka tanah kering benar. Nilai kebenaran kondisional material tidak tergantung pada hubungan antara komponen-komponennya karena kondisional material tidak melihat isi dari pernyataan yang menjadi komponennya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan pernyataan kondisional untuk menggambarkan hubungan antara komponen-komponennya, misalnya jika Maulana minum alkohol 1 liter, maka ia akan mabuk untuk menunjukkan hubungan kausal; jika binatang itu termasuk mamalia, maka dia pasti menyusui untuk menunjukkan hubungan konseptual; dan jika seseorang termasuk mahasiswa, maka dia pasti terdaftar secara resmi sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi untuk menunjukkan hubungan definisional. Kebenaran pernyataan-pernyataan itu tergantung pada hubungan antara anteseden dengan konsekuennya juga. Tetapi dari sudut pandang logika murni, maka yang dianut adalah kondisional material. Secara logika, jika A, maka B ekuivalen dengan jika tidak B, maka tidak A. Kedua bentuk ini disebut kontrapositif. Pernyataan kondisional yang mempunyai anteseden yang salah disebut kondisional yang berlawanan dengan kenyataan. Dari sudut pandang kondisional material, nilai kebenaran kondisional seperti ini adalah benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang orang menggunakan bentuk kondisional bukan untuk menggambarkan hubungan kondisional, misalnya jika saya jadi kamu, saya akan minta melamar (kamu sebaiknya melamar); di gudang ada payung, kalau kamu mau (kamu boleh ambil payung di gudang); kalau laki-laki itu kamu bilang ganteng, maka saya adalah Arjuna (laki-laki itu tidak ganteng). Untuk membedakan mana pernyataan kondisional 62
yang sesungguhnya dan mana yang bukan, digunakan akal sehat dan ingatan tentang kenyataan-kenyataan yang dirujuk dalam pernyataan. Ada banyak cara untuk mengungkapkan pernyataan kondisional, yang semuanya dapat dikembalikan ke bentuk standar Jika A, maka B. Kadang-kadang jika suatu bentuk kondisional yang tidak standar diterjemahkan ke bentuk standar, maka artinya berubah, misalnya “Saya senang hanya jika saya berhasil menjadi juara 1”. Jika diubah ke bentuk standar menjadi “Jika saya senang, maka saya berhasil menjadi juara 1”, maka artinya pun berubah jika kita menerjemahkan ‘Kesenangan saya menyebabkan saya menang’ke dalam bentuk kontrapositifnya menjadi “Jika saya tidak menang, maka saya tidak senang” maka artinya menjadi lebih masuk akal. Oleh sebab itu, dalam mengubah suatu bentuk kondisional menjadi bentuk standarnya, kita harus melihat apakah bentuk standar ataukah bentuk kontrapositifnya yang lebih dapat “menangkap” arti sesungguhnya dari pernyataan asalnya. (Periksa Tabel 2.1.) Tabel 2.1: Pernyataan Kondisional dan Bentuk Standarnya Pernyataan Kondisional Hanya manusia yang dapat menggunakan simbol. Di mana ada api, di situ ada oksigen. Saya tidak mau pergi kecuali dibiayai.
Kamu boleh menyetir mobil hanya jika kamu sudah punya SIM A. Tidak mungkin kamu datang ke rapat itu tapi tidak melihat aku. Syarat untuk hidup sejahtera adalah sehat.
Bentuk Standar Jika suatu makhluk menggunakan simbol, maka makhluk itu adalah manusia.
Jika MS, maka M. Jika ada api, maka ada oksigen. Jika A, maka O. Jika saya tidak dibiayai, saya tidak mau pergi. Jika tidak D, tidak P. Jika kamu belum punya SIM A, kamu tidak boleh menyetir mobil. Jika tidak SA, tidak MM. Jika kamu pergi ke rapat itu, maka kamu melihat aku. Jika R, maka M. Jika tidak sehat, maka tidak bisa hidup sejahtera. Jika tidak S, maka tidak S.
Pengenalan terhadap kontrapositif dari suatu pernyataan akan berguna pada saat kita berusaha mengenal struktur logika dari suatu pernyataan atau argumen yang rumit. Ada aturan informal yang mengatakan bahwa kita boleh mengganti kata kecuali dengan jika tidak. 63
Namun karena mengandung negasi, maka kalimat yang baru bisa jadi sangat rumit. Sebagai contoh, jika kalimat “Dodo tidak akan mengaku kecuali tidak ada sanksi atas perbuatannya” kita ubah sesuai dengan aturan informal itu, maka kita akan memperoleh “Dodo tidak akan mengaku jika tidak ada sanksi atas perbuatannya”. Kemudian, kalimat yang baru itu dibalik susunannya menjadi bentuk standar, “Jika tidak tidak ada sanksi atas perbuatannya, Dodo tidak akan mengaku”, sehingga kita memperoleh dua bentuk negasi (tidak [ada...] dan tidak [akan ...]). Jika kedua negasi itu diubah menjadi positif, maka pernyataan itu menjadi “Jika ada sanksi atas perbuatannya, Dodo tidak akan mengaku”. Demikian pula, jika kita mau, kita dapat mengubahnya menjadi kontrapositifnya, “Jika Dodo mengaku, maka [itu berarti] tidak ada sanksi atas perbuatannya”.
4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang Mencukupi Ada dua kondisi yang merupakan bentuk khusus dari hubungan kondisional, yaitu yang mencukupi (sufficient condition, S) dan kondisi niscaya (necessary condition, N). Hanya jika pernyataan kondisional Jika S maka N adalah benar. Contoh: 1. Menghasilkan sperma merupakan kondisi yang mencukupi untuk membuktikan bahwa seseorang adalah laki-laki. 2. Jenis kelamin laki-laki merupakan kondisi niscaya untuk menghasilkan sperma. 3. Jika seseorang menghasilkan sperma, maka dia laki-laki. Oleh karena pernyataan kondisional digunakan untuk menggambarkan hubungan tertentu antara komponennya, maka kondisi yang mencukupi dan niscaya juga demikian. Ada lima jenis hubungan itu, yang berikut ini didaftarkan beserta contohnya. 1) Kausal a. Mencabut jantung Dul merupakan kondisi yang mencukupi untuk membunuhnya. b. Jika kita mencabut jantung Dul, maka kita membunuhnya. 2) Konseptual a. Kondisi niscaya untuk tergolong manusia adalah mampu menggunakan simbol. b. (i) Jika B adalah manusia, maka dia pasti mampu menggunakan simbol. c. (ii) Jika B tidak mampu menggunakan simbol, maka dia pasti bukan manusia. 3) Definisional a. Kondisi niscaya dan mencukupi untuk disebut mahasiswa adalah orang yang terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi. 64
b. Jika seseorang adalah mahasiswa, maka dia adalah orang yang terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi, dan jika ia adalah orang yang terdafatar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi maka ia adalah seorang mahasiswa. Seseorang adalah mahasiswa jika dan hanya jika dia adalah orang yang terdafatar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi. 4) Regulatori a. Lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi merupakan kondisi niscaya untuk kuliah di universitas negeri. b. (i) Jika seseorang dapat kuliah di universitas negeri secara sah, maka ia lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi. c. (ii) Jika seseorang tidak lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi, maka dia tidak dapat kuliah di universitas negeri secara sah.
5) Logis a. Menjadi kucing hitam adalah kondisi niscaya untuk berwarna hitam. b. Jika seekor binatang adalah kucing hitam, maka warnanya hitam. Ada kondisi yang niscaya sekaligus mencukupi untuk suatu situasi. Kondisi ini diungkapkan dalam bentuk X jika dan hanya jika Y, misalnya, “Makhluk hidup jika dan hanya jika bernafas”. Ini bisa dibalik menjadi, “Bernafas jika dan hanya jika makhluk hidup”. Contoh lain, “Mahkluk adalah manusia jika dan hanya jika makhluk itu adalah makhluk rasional.” Ada juga kondisi niscaya dan mencukupi yang berlaku hanya dalam konteks tertentu. Umpamanya, dalam suatu ruangan yang penuh oksigen dan hidrogen, menyalakan korek api merupakan kondisi yang mencukupi untuk terjadinya ledakan, namun tidak dalam konteks lain.
4.4 Hubungan Antar-pernyataan Ada pengetahuan tertentu yang dapat langsung disimpulkan dari suatu pernyataan. Oleh para ahli logika, ini disebut hubungan langsung. Misalnya, jika benar bahwa semua manusia pasti akan mati maka dapat disimpulkan bahwa Sokrates, seorang manusia, pasti akan mati. Ada beberapa jenis hubungan seperti itu yang masing-masing diterapkan di bawah ini.
65
4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dari Proposisi Pernyataan kategorikal adalah pernyataan yang terdiri dari subjek dan predikat yang membenarkan atau menidakkan bahwa individu adalah anggota suatu kelompok. Ada empat jenis pernyataan kategorikal, yakni yang berikut. A: E: I: O:
Semua S adalah P. (Universal-afirmatif) Tidak ada S yang P. (Universal-negatif) Beberapa S adalah P. (Partikular-afirmatif) Beberapa S bukan P. (Partikular-negatif) Hubungan antara keempat jenis pernyataan kategorikal dapat digambarkan dalam
segi-empat oposisi pada Bagan 2.1.
Bagan 2.1: Segiempat Oposisi
A: Semua S adalah P.
Kontrari
Kontradiktori
Sub-alternasi
I: Beberapa S adalah P.
E: Tidak ada S yang P.
Subkontrari
O: Beberapa S bukan P.
Kontradiksi (A dan O; E dan I) Dalam hubungan ini, tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah (Salah satu pasti benar). Umpamanya, “Makhluk hidup bernafas” adalah benar, dan “Beberapa makhluk hidup tidak bernafas” adalah salah.
Kontrari (A dan E) Dalam hubungan ini tidak mungkin keduanya benar, tapi mungkin saja keduanya salah. Sebagai contoh, jika “Semua melati berwarna putih” adalah benar, maka “Tidak ada mawar 66
berwarna merah” adalah salah. Akan tetapi, apabila “Semua mawar berwarna merah” adalah salah, dan “Tiada mawar berwarna merah” juga salah.
Subkontrari (I dan E) Dalam hubungan ini mungkin saja keduanya benar, tetapi tidak mungkin keduanya salah, misalnya “Beberapa orang sedang sedih” adalah benar, dan “Beberapa orang tidak sedang sedih” juga benar. Subalternasi (A dan I; E dan O) Jika superalternasinya (A atau E) benar, maka subalternasinya (I atau O) benar. Umpamanya, jika “Semua manusia bernafas” (A) adalah benar, maka “Beberapa manusia bernafas” (I) juga benar. Jika subalternasinya (I atau O) benar, maka superalternasinya (A atau E) belum tentu benar: jika “Beberapa orang tidak terpelajar” (O) adalah benar, maka “Semua orang tidak terpelajar” (E) bisa benar, bisa salah. Jika subalternasinya (I atau O) salah, maka superalternasinya (A atau E) pasti salah. Dalam logika tradisional, yang disebut kontrari adalah pernyataan bentuk A terhadap pernyataan bentuk E. Namun, di sini setiap dua pernyataan yang memenuhi definisi di atas dapat dianggap sebagai kontrari. Kontradiksi dan kontrari cukup sering disebut “lawan” dari suatu pernyataan, namun keduanya berbeda satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari, memang cukup sering orang mengacaukan keduanya. Untuk lebih memahami perbedaan di antara keduanya, perhatikanlah contoh pada Tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2: Perbedaan dan Bentuk Kontrari dengan Kontradiksinya Pernyataan Semua mawar berwarna merah. Semua angsa berwarna putih. Tidak ada orang yang bermoral. Rumah saya hijau. Dia selalu jujur. Beratnya lebih dari 50 kg.
Kontrari Semua mawar berwarna kuning. Tiada angsa mawar berwarna putih. Semua orang bermoral.
Kontradiksi Beberapa mawar tidak berwarna merah. Beberapa angsa tidak berwarna putih. Beberapa orang bermoral.
Rumah saya putih. Dia tidak pernah jujur. Beratnya kurang dari 50 kg.
Rumah saya tidak hijau. Dia kadang-kadang jujur. Beratnya 50 kg atau kurang.
Secara logis, kontradiksi suatu pernyataan sama dengan negasi dari pernyataan itu. Oleh sebab itu, semua pernyataan yang merupakan kontradiksi dari pernyataan X (misalnya 67
Semua melati berwarna putih), pada dasarnya adalah ekuivalen dari pernyataan bukan-X (Tidak benar bahwa semua melati berwarna putih). Sedangkan ada banyak pernyataan yang merupakan kontrari dari pernyataan X namun tidak saling ekuivalen, misalnya “Semua melati berwarna kuning”, “Semua melati berwarna hijau”, dan “Tiada melati berwarna putih.” Pernyataan kompleks juga memiliki kontradiksi dan kontrari. Kontradiksi pernyataan “Ia orang yang baik hati dan [ia] orang yang terpelajar” ialah “Ia bukan orang yang baik hati sekaligus terpelajar”, yang secara logis ekuivalen dengan “Ia bukan orang yang baik hati atau [ia] bukan orang yang terpelajar.” Sedangkan kontrarinya adalah “Ia bukan orang yang baik hati dan [ia] bukan orang yang terpelajar”, yang secara logis ekuivalen dengan “Tidak benar bahwa ia orang yang baik hati ataupun orang yang terpelajar”.
4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi Dua pernyataan disebut inkonsisten jika, dan hanya jika keduanya tidak mungkin benar pada saat yang bersamaan. Pada kondisi yang sebaliknya, dua pernyataan itu disebut konsisten; artinya, kedua pernyataan itu mungkin sama-sama benar pada saat bersamaan. Pernyataan “Saya adalah laki-laki” dan “Saya bukan laki-laki” merupakan contoh dua pernyataan yang inkonsisten dan “Saya adalah laki-laki” dan “Saya adalah dosen” merupakan contoh dua pernyataan yang konsisten.Pernyataan yang termasuk inkonsisten adalah kontrari dan kontradiksi. (Lihat Tabel 2.3.) Tabel 2.3: Pernyataan yang Konsisten dan yang Inkonsisten Pernyataan Ada anyelir Dia harus belajar. Dia X dan Y. Jika A maka B.
Konsisten Ada anggrek. Dia harus belajar logik. Dia X. Jika B maka A.
Inkonsisten Tidak ada anyelir. Dia tidak boleh belajar. Dia bukan Y. A dan bukan-B.
4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis Tiga jenis hubungan antar-pernyataan adalah implikasi, ekuivalensi dan independensi logis. Ketiga jenis hubungan ini sering muncul dalam keseharian kita dan sering pula dipertukarkan pengertiannya; tidak jarang orang memperlakukan hubungan yang satu sebagai hubungan yang lain. Misalnya, independensi logis diperlakukan seolah-olah implikasi, dan sebaliknya. Untuk memahami ketiga jenis hubungan itu, dan untuk menghindari kesalahan
68
dalam penggunaannya, kita perlu memahami pengertian masing-masing dan bagaimana penggunaannya. Implikasi Pernyataan P mengimplikasikan pernyataan Q ketika secara logis tidak mungkin P benar dan Q salah pada waktu yang bersamaan. Perhatikan contoh-contoh berikut. Pernyataan P Semua melati berwarna putih. Aten adalah seorang guru. Saya gemuk dan pendek. Joko adalah laki-laki.
mengimplikasikan
Pernyataan Q Beberapa melati berwarna putih. Aten mempunyai murid. Saya gemuk. Joko menghasilkan sperma.
Ekuivalensi Dua pernyataan secara logis ekuivalen bila keduanya saling mengimplikasikan. Jadi dua pernyataan yang secara logis ekuivalen memiliki makna yang sama. Begitu pula sebaliknya, dua pernyataan yang memiliki makna yang sama berarti secara logis keduanya ekuivalen. Berikut ini adalah beberapa pernyataan yang secara logis ekuivalen. 1. Negasi dari suatu konjungsi [Bukan (P dan Q)] ekuivalen dengan disjungsi dari negasi konjung-konjungnya [Bukan-P atau Bukan-Q], misalnya “Kita tidak akan pergi ke perpustakaan sekaligus ke pertandingan basket” ekuivalen dengan “Kita tidak pergi ke perpustakaan atau kita tidak pergi ke pertandingan basket”. 2. Negasi dari suatu disjungsi [Bukan-(P atau Q)] ekuivalen dengan konjungsi dari negasi disjung-disjungnya [Bukan-P dan Bukan-Q], misalnya “Tidak benar bahwa Doni atau Yanto akan gagal” ekuivalen dengan “Doni tidak akan gagal dan Yanto juga tidak akan gagal”. 3. Suatu pernyataan kondisional [Jika P maka Q] ekuivalen dengan pernyataan yang menolak bahwa antesedennya benar dan konsekuennya salah [Bukan-(P dan bukan-Q)], misalnya “Jika orang itu melahirkan anak, maka dia pasti perempuan” ekuivalen dengan “Tidak mungkin orang itu melahirkan anak namun bukan perempuan”. 4. Suatu disjungsi [P atau Q] ekuivalen dengan pernyataan kondisional yang antesedennya merupakan negasi dari salah satu disjung dan konsekuennya adalah disjung yang lain [Jika Bukan-P maka Q, atau Jika Bukan-Q maka P], misalnya “Kita pergi ke Bangkok
69
atau ke Bali” ekuivalen dengan “Jika kita tidak pergi ke Bangkok maka kita pergi ke Bali”, atau “Jika kita tidak pergi ke Bali maka kita pergi Bangkok”. Independensi Logis Dua pernyataan disebut secara logis independen jika secara logis tidak berhubungan; jadi, kedua pernyataan maupun negasinya tidak saling mengimplikasikan. Umpamanya, pernyataan “Ratno sedang belajar” dan “Anti tahu tempat membeli sepatu yang murah” secara logis independen karena keduanya tidak saling berhubungan. Contoh lain, pernyataan “Embun menetes di pagi hari” secara logis independen dengan pernyataan “Aku sedang bersedih”.
5. Penalaran Penalaran adalah penarikan kesimpulan berdasarkan alasan-asalan yang relevan. Alasanalasan itu dapat berupa bukti, data, informasi akurat, atau penjelasan tentang hubungan antara beberapa hal. Penalaran berlangsung dalam pikiran. Ungkapan verbal dari penalaran adalah argumentasi. Dalam pasal ini akan diuraikan dua jenis penalaran, syarat penalaran yang benar, dan kesalahan dalam penalaran. Sebelum itu, penyimpulan langsung dan prinsip-prinsip logika yang mendasari penalaran akan dijelaskan terlebih dahulu.
5.1 Penyimpulan Langsung Fungsi akal manusia adalah mencapai kebenaran. Proses pencapaian kebenaran dimulai dari pengenalan terhadap gejala dan pembentukan ide itu sendiri. Tetapi kebenaran tidak terdapat dalam Ide. Kebenaran terdapat dalam putusan (judgement). Kalau putusan kita sesuai dengan kenyataan, maka kita mencapai kebenaran objektif. Atas dasar kebenaran-kebenaran semacam inilah pengetahuan mengalami kemajuan. Kebenaran pertama-tama dapat dicapai melalui penyimpulan langsung (immediate inference), yaitu penyimpulan yang ditarik sesuai dengan prinsip-prinsip logika. Prinsipprinsip logika terdiri atas prinsip identitas, prinsip kontradiksi, dan prinsip tanpa nilai tengah (excluded middle). Prinsip identitas menyatakan bahwa X = X; artinya, sesuatu adalah sesuatu itu sendiri. Prinsip kontradiksi menyatakan bahwa jika X = X maka tidak mungkin X tidak sama dengan X; artinya, sesuatu adalah dirinya sendiri, tidak mungkin sesuatu itu sekaligus bukan dirinya sendiri. Prinsip tanpa nilai tengah menyatakan bahwa untuk proposisi
70
apa pun, proposisi itu hanya dapat benar atau salah; tidak mungkin diperoleh sebuah proposisi yang benar sekaligus salah, atau setengah salah atau setengah benar. Penyimpulan langsung dilakukan melalui indera, umpamanya memberikan putusan bahwa mawar berwarna merah (putusannya: mawar merah), hari sedang hujan, matahari bersinar, atau saat ini pagi hari. Penyimpulan langsung menghasilkan pengetahuan dasar bagi manusia. Pengalaman empirik yang menjadi sumber pengetahuan itu. Akan tetapi penyimpulan langsung tidak membawa kita beranjak jauh dari informasi-informasi asal sehingga tidak dapat menambah pengetahuan lebih banyak lagi. Kita perlu mengetahui kebenaran-kebenaran dari berbagai hal yang tidak dapat dibuktikan dengan penyimpulan langsung maupun pembuktian melalui panca indera, seperti contoh-contoh berikut. Apakah matahari mengelilingi bumi atau bumi mengelilingi matahari? Apakah jiwa manusia berbeda dengan jiwa binatang? Apakah matahari itu jauh atau dekat? Apakah bulan besar atau kecil? Benarkah jiwa itu kekal?
5.2 Penyimpulan Tak Langsung Untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar tentang hal-hal yang tidak dapat dibuktikan dengan penyimpulan langsung atau indera, kita perlu membandingkan ide-ide. Penyimpulan melalui perbandingan ide-ide adalah penyimpulan tak langsung. Putusan yang dihasilkan bukan hasil dari pengenalan langsung terhadap gejala, melainkan hasil dari mempertemukan dua ide yang diperbandingkan dengan perantaraan ide ketiga yang sudah diketahui sebelumnya. Di atas (pasal 4.1) telah kita bahas cara membenarkan atau mengingkari suatu ide atas dasar satu ide yang lain (negasi, oposisi dari proposisi, dan lain-lain).
Tetapi dalam
kenyataannya kita tidak selalu dapat membuat putusan hanya berdasarkan dua ide (kita dalam keadaan ragu). Untuk itu diperlukan ide ketiga. Proses membandingkan dua ide dengan melibatkan ide ketiga untuk menghubungkan dua ide itulah yang disebut penalaran. Dengan kata lain, penalaran adalah penyimpulan tak langsung atau penyimpulan dengan menggunakan perantara (mediate inference). Berdasarkan prinsip identitas kita dapat menyimpulkan bahwa Jika ide 1 = ide 3, dan ide 2 = ide 3, maka ide 2 = ide 1. Berdasarkan prinsip kontradiksi kita dapat menyimpulkan bahwa Jika ide 1 ≠ ide 3, dan 71
ide 2 = ide 3, maka ide 1 ≠ ide 2. Kedua prinsip dan turunannya yang menjadi dasar-dasar dari penalaran.
5.3 Dua Jenis Penalaran Ada dua jenis penaralan, yaitu deduksi atau penalaran deduktif dan induksi atau penalaran induktif. Kedua jenis penalaran ini diperlukan dalam proses pencapaian kebenaran. Pemanfaatan keduanya telah menghasilkan pengetahuan yang berguna bagi manusia dan membawa peradaban manusia menjadi semaju yang kita saksikan saat ini. Deduksi adalah proses penalaran yang dengannya kita membuat suatu kesimpulan dari suatu hukum, dalil, atau prinsip yang umum kepada suatu keadaan yang khusus yang tercakup dalam hukum, dalil, atau prinsip yang umum itu. Umpamanya, kita meragukan apakah putri malu mempunyai indera atau tidak. Tetapi ilmu pengetahuan sudah menetapkan dalil bahwa hakikat suatu tanaman adalah tidak berindera. Maka kita dapat melakukan inferensi berikut. Semua tanaman tak berindera. Puteri malu adalah tanaman. Jadi: Puteri malu tak berindera. Kita juga dapat mulai dengan proposisi hipotetis, misalnya: Penjahat itu sehat atau gila. Ia sehat. Jadi: Ia tidak gila. Penyimpulan melalui deduksi disebut juga silogisme. Induksi adalah proses penalaran yang dengannya kita menyimpulkan hukum, dalil, atau prinsip umum dari kasus-kasus khusus (individual). Contoh: Air, di mana pun, di muka bumi atau di laut, pada tingkat permukaan laut akan membeku pada nol derajat Celcius. Tetapi air di mana pun adalah air belaka. Jadi: Semua air pada tingkat permukaan laut membeku pada nol derajat Celcius. 5.4 Kesalahan Penyimpulan Manusia tidak jarang memperoleh pengetahuan yang tidak benar karena adanya kesalahan dalam proses penyimpulan. Kesalahan penyimpulan digolongkan atas dua, yakni kesalahan material dan kesalahan formal. Kesalahan material adalah kesalahan putusan yang 72
digunakan sebagai pertimbangan yang seharusnya memberikan fakta atau kebenaran. Mari kita lihat contoh berikut. Berdasarkan pengamatan orang melihat setiap hari matahari tampak bergerak dari timur ke barat, dulu orang menyimpulkan bahwa matahari mengelilingi bumi. Lalu kesimpulan ini digunakan untuk menjelaskan susunan alam semesta. Oleh karena putusan (kesimpulan) yang digunakan untuk menjelaskan susunan alam semesta salah, maka penjelasan tentang alam semesta pun salah. Kesalahan formal ialah kesalahan yang berasal dari urutan penyimpulan yang tidak konsisten. Sebagai contoh, untuk menjelaskan perilaku korupsi digunakan penalaran berikut ini yang merupakan penalaran sirkular. Tanya: Mengapa petugas hukum dapat disogok? Jawab: Karena gaji mereka kecil. Tanya: Mengapa gaji petugas hukum kecil? Jawab: Karena ekonomi tidak tumbuh secara baik. Tanya: Mengapa ekonomi tidak tumbuh secara baik? Jawab: Karena hukum tidak berjalan dengan baik. Tanya: Mengapa hukum tidak berjalan dengan baik? Jawab: Karena petugas hukum dapat disogok. Kesalahan penalaran ini muncul dalam beragam bentuk. Bentuk-bentuk kesalahan penyimpulan dan penalaran akan dibahas di pasal 8.
5.5 Argumentasi Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ungkapan verbal dari penalaran atau penyimpulan tak langsung adalah argumentasi. Di dalam argumentasi terkandung term yang merupakan ungkapan verbal dari ide dan proposisi yang merupakan ungkapan verbal dari putusan. Proposisi yang dijadikan dasar dari kesimpulan disebut premis atau anteseden. Subjek (S) dan Predikat (P) dari kesimpulan masing-masing disebut ekstrem minor dan ekstrem mayor yang cakupannya lebih luas dari subjek. Ungkapan dari ide ketiga yang menghubungkan ide pertama dan ide kedua yang diperbandingkan dalam argumentasi disebut term tengah (middle term, disingkat M). Premis yang mengandung term mayor disebut premis mayor. Premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Ketentuan ini baku, terlepas dari posisi premis-premis itu dalam argumentasi. Perhatikan contoh berikut. (1) Premis mayor: Semua hewan (M) adalah mahluk (P). Premis Minor: Semua belut (S) adalah hewan (M). Ergo : Semua belut (S) adalah mahluk (P). (2) Premis Minor: Semua besi (S) adalah logam (M). 73
Premis Mayor: Semua logam (M) adalah unorganik (P). Ergo : Semua besi (S) adalah unorganik (P). Term tengah (M) harus muncul di premis mayor maupun premis minor sebagai perbandingan, tetapi tidak boleh muncul dalam kesimpulan. Ada dua macam argumentasi yang umum digunakan dalam logika, yaitu silogisme kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah argumentasi yang menggunakan proposisi kategoris yang oleh Aristoteles disebut analitika. Silogisme hipotetis adalah argumentasi yang menggunakan proposisi hipotetis (silogisme hipotetis) yang oleh Aristoteles disebut dialektika.
6. Argumen Deduktif 6.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi) Deduksi adalah bentuk argumen yang kesimpulannya niscaya mengikuti premispremisnya. Lazimnya deduksi juga dipahami sebagai pembuatan pernyataan khusus berdasarkan pernyataan-pernyataan yang lebih umum. Pernyataan khusus itu disebut kesimpulan dan pernyataan-pernyataan yang lebih umum disebut premis. Dalam deduksi kesimpulan diturunkan dari premis-premisnya. Menerima premis tetapi menolak kesimpulan adalah tidak konsisten. Penalaran deduktif adalah proses perolehan kesimpulan yang terjamin validitasnya jika bukti yang tersedia benar dan penalaran yang digunakan untuk menghasilkan kesimpulan tepat. Kesimpulan juga harus didasari hanya oleh bukti yang sudah ada sebelumnya. Kesimpulan tidak boleh mengandung informasi baru tentang materi.
6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif Penalaran deduktif—yang sering digunakan untuk menulis esai argumentatif— diawali dengan generalisasi yang dianggap benar (self-evident) yang menghasilkan premispremis, lalu dari situ diturunkan kesimpulan yang koheren dengan premis-premisnya. Premis dan kesimpulan harus berkesesuaian dan tertata dalam bentuk argumentasi tertentu. Bentuk deduksi yang paling umum digunakan adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor, premis minor, kesimpulan. Bentuk argumentasi ikut menentukan sahih (valid) atau tidaknya penalaran deduktif. Sebagaimana sudah disebutkan di atas, dalam penalaraan deduktif kesimpulan bersifat lebih khusus daripada premis-premisnya. Penalaran deduktif bertujuan
74
untuk menentukan putusan yang sahih tentang hal khusus tertentu berdasarkan pemahaman tentang hal-hal yang lebih umum.
6.3 Silogisme Silogisme berasal dari kata Yunani syllogismos yang berarti ‘kesimpulan’. Silogisme adalah jenis argumen logis yang kesimpulannya diturunkan dari dua proposisi umum (premis) yang berbentuk prosisi kategoris. Dilihat dari bentuknya, penilaian terhadap silogisme adalah sahih (valid) atau tidak sahih (invalid). Silogisme sahih jika kesimpulannya dibuat berdasarkan premis-premisnya dengan bentuk-bentuk yang tepat. Sedangkan penilaian benar (true) diberikan jika silogisme valid dan klaimnya akurat (informasinya sesuai dengan fakta). Perhatikanlah contoh berikut. (1) Premis Mayor : Semua politikus adalah laki-laki. Premis Minor : Sri adalah politikus. Kesimpulan : Maka, Sri adalah laki-laki. Sahih atau tidak sahihkah silogisme ini? Jawabnya “sahih”. Jika kita tahu bahwa Sri adalah perempuan maka silogisme itu tidak benar karena pernyataan tidak sesuai dengan kenyataan. (2) Premis Mayor: Semua ayah adalah laki-laki. Premis Minor: Dino adalah laki-laki. Kesimpulan : Maka, Dino adalah ayah. Silogisme ini tidak sahih karena term tengahnya yaitu term yang muncul di kedua premis, dalam hal ini laki-laki merujuk kepada semua anggota dari kelompok laki-laki, bukan hanya kepada ayah atau Dino. (3) Premis Mayor: Tidak ada seorang pun yang ditolak menjadi mahasiswa karena ketidakmampuan fisik. Premis Minor: Tunarungu adalah ketidakmampuan fisik. Kesimpulan : Maka, tunarungu akan ditolak menjadi mahasiswa karena ketidakmampuan fisik. Silogisme ini juga tidak sahih karena salah satu premisnya negatif sehingga hanya dapat memiliki kesimpulan negatif. (4) Premis Mayor : Mahasiswa yang tidak belajar bisa jadi akan lulus ujian. Premis Minor : Dono adalah mahasiswa yang belajar. Kesimpulan : Maka, Dono bisa jadi akan lulus ujian. Silogisme ini sahih karena memenuhi hukum-hukum silogisme. 75
6.3.1 Silogisme Kategoris Bentuk dasar silogisme kategoris ialah: Jika A adalah bagian dari C maka B adalah bagian dari C (Adan B adalah anggota dari C). Silogisme kategoris ini mengikuti hukum “Semua atau Tidak Sama Sekali” (All or None atau Dictum de Omni et Nullo); artinya, berlaku untuk seluruh anggota kelas, atau tidak sama sekali. Tidak dikenal “ada sebagian” dan “tidak ada sebagian”. Sebagai contoh, kalau kelas ikan memiliki insang, maka tidak mungkin ada anggotanya yang tak berinsang; dan kalau kelas merpati adalah burung, maka tak mungkin ada merpati yang bukan burung. Dengan mengikuti hukum “Semua atau Tidak Sama Sekali” itu dapat dibuat silogisme seperti berikut: (1)
Semua makhluk hidup (M) bernafas (P). Semua burung (S) adalah makhluk hidup (M). Jadi: Semua burung (S) bernafas (P).
yang dirumuskan menjadi Semua M adalah P. Semua S adalah P. Jadi: Semua S adalah P. atau silogisme berikut: (2)
Tiada hewan (M) berkaki tiga (P). Semua beruang (S) adalah hewan (M). Jadi: Tiada beruang (S) berkaki tiga (P).
yang dirumuskan menjadi Tiada M yang P. Semua S adalah M. Jadi: Tiada S yang P. 6.3.2 Delapan Hukum Silogisme Silogisme tunduk kepada delapan hukum yang masing-masing diterapkan berikut ini. (Keterangan: P = Predikat/mayor; S = Subjek/minor; M = Term tengah (Middle term); u = Universal; p = partikular; + = afirmatif; dan − = negatif.) Hukum 1: Silogisme hanya mengandung tiga term. Semua tanaman (M1) adalah hidup (P). 76
Semua batu (S) adalah mineral (M2). Jadi: Semua batu (S) adalah/tidak (?) hidup (P). Buku (P) mempunyai halaman (M). Rumah (S) mempunyai halaman (M). Jadi: Rumah (S) adalah buku (P). Halaman di sini bermakna ganda (equivocal), silogisme di atas mempunyai empat term.
Hukum 2: Term mayor atau term minor tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan jika dalam premis hanya bersifat pertikular. uM + pP uS − uM uS − uP
Semua manusia adalah hewan. Tak ada binatang yang manusia. Tak ada binatang yang hewan.
Yang salah adalah P (disebut illicit mayor). uM − uP uM + pS uS − uP
Tiada burung yang menyusui. Semua burung adalah hewan berkaki dua. Tiada hewan berkaki dua yang menyusui.
Yang salah adalah S (disebut illicit minor).
Hukum 3: Term tengah tidak boleh muncul dalam kesimpulan. M M M
+ P + S + S/P
Aristoteles adalah filsuf. Aristoteles adalah misikin. Aristoteles adalah filsuf yang miskin.
M dalam silogisme itu tidak lagi berfungsi sebagai pembanding, melainkan menjadi salah satu bagian dari kesimpulan.
Dengan demikian, kesimpulan yang terjadi bukanlah
merupakan putusan baru.
Hukum 4: Term tengah harus digunakan sebagai proposisi universal dalam premispremis, setidak-tidaknya satu kali. uP uS uS
+ pM Semua orang mati. + pM Semua artis mati. + pP Semua artis adalah orang.
Silogisme ini seakan-akan benar, oleh karena kebetulan posisi term-term itu adalah sebagai berikut: 77
M (mati) mempunyai ekstensi yang paling benar. P (orang) mempunyai ekstensi yang lebih kecil dan termasuk dalam M. S (artis) mempunyai ekstensi yang paling kecil dan termasuk dalam P. Tetapi perhatikanlah silogisme berikut: uP uS uS
+ pM Semua orang mati. + pM Semua kucing mati. + pP Semua kucing adalah orang.
Dalam silogisme ini, kesalahannya sangat nyata karena walaupun P (orang) dan S (kucing) sama-sama termasuk dalam ekstensi dari M (mati), tetapi P dan S tidak saling meliputi (berdiri sendiri-sendiri). Pelanggaran hukum 4, seperti yang terdapat dalam kedua silogisme di atas, disebut Undistributed Middle
Hukum 5: Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan juga afirmatif. M + P Semua mamalia menyusui. S + M Beberapa kuda adalah mamalia. S − P Beberapa kuda tidak menyusui. Hukum 6: Tidak boleh kedua premis negatif, setidaknya salah satu harus afirmatif. M − P Tiada binatang yang batu. S − M Tiada intan yang binatang. S − P Tiada intan yang batu. Hukum 7: Kalau salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif. Kalau salah satu premis partikular, kesimpulan harus partikular. Fase I. P S S
− + +
M Tiada perokok yang bebas nikotin. M Balita bebas nikotin. P Balita adalah perokok.
Fase II. M + P Semua manusia adalah mahluk rasional. pS + M Sebagian hewan adalah manusia. uS + P Semua hewan adalah mahluk rasional. M − P Tiada karbon yang putih. pS + M Sebagian zat padat adalah karbon. uS − P Tiada zat padat yang putih.
78
Hukum 8: Tidak boleh kedua premis partikular, setidaknya salah satu harus universal. pM + pP Beberapa orang adalah tukang becak. pS + pM Beberapa bule adalah orang. pS + pP Beberapa bule adalah tukang becak. Silogisme itu dapat benar walaupun kedengarannya agak janggal (mungkin saja ada orang bule yang bekerja sebagai tukang becak). Tetapi kalau kata-kata tukang becak diganti dengan berkulit hitam, maka kesalahan karena pelanggaran hukum ke-8 ini akan sangat nyata. pM + pP Beberapa pakar agama adalah orang Indonesia. pS − uM Beberapa penduduk Depok bukan pakar agama. pS − uP Beberapa penduduk Depok bukan orang Indonesia. 6.3.3 Silogisme Hipotetis Dalam logika, silogisme hipotetis memiliki dua penggunaan. Dalam logika proposisional, silogisme mengungkapkan aturan-aturan penyimpulan, sedangkan dalam sejarah logika ia berperan sebagai teori konsekuensi. Silogisme hipotetis berbeda dengan silogisme kategoris dan tunduk kepada aturan tersendiri. Dalam silogisme hipotetis, premis pertama (premis mayor) menampilkan kondisi yang tak tentu (“jika P, maka Q”) atau masalah (“atau P atau Q”; “P dan Q tidak dapat benar dua-duanya”). Premis pertama itu harus diselesaikan secara memadai oleh premis kedua (premis minor) sehingga kesimpulan yang sahih dapat dihasilkan. Penyelesaian masalah selalu dalam bentuk afirmasi atau negasi. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa premis mayor silogisme hipotetis adalah proposisi hipotetis sedangkan premis minor dan kesimpulannya adalah proposisi kategoris. Dalam silogisme hipotetis, tidak term mayor, term minor atau term tengah. Premis mayor terdiri atas anteseden dan konsekuen. Sebagai contoh, dalam pernyataan “Jika hari hujan, maka tanah basah”, hari hujan adalah anteseden dan tanah basah adalah konsekuen.
6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih Ada tiga bentuk dasar dari silogisme hipotetis, yaitu modus ponens yang mengafirmasi anteseden, modus tollens yang menolak konsekuen, dan silogisme hipotetis dengan rantai kondisional. Berikut ini ketiga bentuk dasar silogisme hipotetis. 1) Mengafirmasi anteseden (modus ponens) P→Q P 79
Q Contoh: Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi menggunakan metode. Psikologi adalah ilmu pengetahuan. Psikologi menggunakan metode. 2) Menolak konsekuensi (modus tollens) P→Q -Q -P
Contoh: Jika astrologi adalah ilmu pengetahuan maka astrologi menggunakan metode. Astrologi tidak menggunakan metode. Astrologi bukan ilmu pengetahuan. 3) Silogisme Hipotetis (Rantai Kondisional) P→Q Q→R P→R Contoh: Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi menggunakan metode. Jika psikologi menggunakan metode maka psikologi sistematis. Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi sistematis. Selain ketiga bentuk itu, ada bentuk-bentuk lain yang lebih kompleks. Berikut ini adalah tiga di antaranya. 1) Silogisme Disjungtif PVQ - P Q Contoh: Psikologi adalah ilmu ramal atau psikologi bersifat ilmiah. Psikologi bukan ilmu ramal. Psikologi bersifat ilmiah. 2) Dilema Konstruktif (P → Q) & (R → S) 80
PVR QVS Contoh: (Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi didasari prinsip sebabakibat.) dan (Jika manusia dikaji oleh psikologi maka kehendak bebas adalah objek kajian psikologi.) Psikologi adalah ilmu pengetahuan atau manusia dikaji oleh psikologi Psikologi didasari prinsip sebab-akibat atau kehendak bebas adalah kajian psikologi
3) Dilema Destruktif (P → Q) & (R → S) ~ Q V ~R ~PV~R Contoh: (Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi didasari prinsip sebabakibat) dan (Jika manusia dikaji oleh psikologi maka kehendak bebas adalah objek kajian psikologi). Psikologi tidak didasari prinsip sebab-akibat atau manusia tidak dikaji oleh psikologi. Psikologi bukan ilmu pengetahuan atau kehendak bebas bukan objek psikologi.
7. Argumen Induktif3 7.1. Definisi Induksi Istilah argumen induktif atau induksi biasanya mencakup proses-proses inferensial dalam mendukung atau memperluas keyakinan kita pada kondisi yang mengandung risiko atau ketidakpastian. Argumen induktif dapat dipahami sebagai hipotesis yang mengandung risiko dan ketidakpastian. Ketidakpastian dalam argumen induktif muncul dalam dua area yang berhubungan, yaitu dalam premis-premis argumen dan dalam asumsi-asumsi inferensial argumen. Mari kita ambil sebuah contoh kasus: “Jono mati tertembak”. Argumen berikut ini merupakan argumen deduktif yang sahih yang dapat diberikan untuk mendukung pernyataan bahwa “Andi membunuh Jono”. 3
Pasal tentang induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A. Wirawan.
81
Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Siapa pun yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol pasti membunuh Jono. Andi membunuh Joon. Jika kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, maka kita juga harus menerima bahwa kesimpulannya benar. Informasi dalam premis-premis itu secara logis tidak mencakup pernyataan apa pun yang merupakan kontradiksi dari kesimpulan. Para ahli logika menggambarkan hal ini sebagai berikut: isi informasi dari premis-premis mencakup isi informasi dari kesimpulan. Tidak ada informasi dalam kesimpulan di luar apa yang sudah ada dalam premis-premisnya. Seandainya orang yang mengajukan argumen itu merasa tidak pasti akan kebenaran premis pertama, yaitu dia tidak merasa benar-benar pasti bahwa Andi yang lari dari kamar itu (mungkin saksi matanya tidak sepenuhnya dapat dipercaya), maka dia hanya dapat mengeluarkan argumen induktif (Garis dua berarti ‘jadi, ada kemungkinan bahwa…’.) Kemungkinan besar, Andilah yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Siapa pun yang lari dari kamar Jono pasti membunuh Jono. Andi membunuh Jono. Jelas bahwa kalaupun kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, kita tidak harus menerima bahwa kesimpulannya benar. Bisa saja orang yang mengajukan argumen ini punya alasan-alasan yang tidak dapat dibantah mengenai kebenaran premis kedua, namun argumen ini tetap tidak dapat menjamin bahwa Andilah yang membunuh Jono. Kesimpulan bahwa Andi membunuh Jono telah melebihi apa yang dapat dideduksi dari premis-premisnya. Kemungkinan lain, asumsi inferensialnyalah yang tidak pasti benar sehingga orang yang mengajukan argumen terpaksa membuat argumen induktif. Misalnya, dia melihat sendiri Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Hanya itu bukti yang dimilikinya. Berdasarkan bukti itu, dia menyimpulkan bahwa Andi membunuh Jono. Ini berarti dia mengambil kesimpulan terlalu cepat karena dia tidak merasa pasti akan kebenaran asumsi inferensialnya, padahal asumsi ini dibutuhkan untuk dapat menarik kesimpulan dari bukti yang ada. Argumennya menjadi seperti ini: Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Kemungkinan, orang yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol telah membunuh Jono. Andi telah membunuh Jono. 82
Premis-premis dalam argumen ini juga tidak menjamin kebenaran kesimpulannya. Karena orang yang mengajukan argumen masih merasa tidak pasti akan kebenaran asumsi yang menjembatani bukti (pada premis pertama) dengan kesimpulan, maka dia hanya menyatakan bahwa asumsi itu mungkin terjadi. Sama seperti contoh argumen induktif yang pertama, dalam argumen ini pun informasi pada kesimpulan melampaui apa yang dapat dideduksi dari premis-premisnya. Dalam semua argumen induktif, ada premis atau asumsi inferensial yang lemah yang mencerminkan ketidakpastian karena informasi ada yang kurang lengkap. Pada contoh yang pertama, argumen tidak memiliki bukti yang kuat untuk menjamin kebenaran kesimpulannya. Pada contoh yang kedua, argumen tidak memiliki jembatan inferensial yang kuat untuk mendeduksi kesimpulan dari bukti yang ada. Jadi, karakteristik semua argumen induktif adalah bahwa dalam kondisi ketidakpastian atau kurangnya informasi, kita langsung mengambil kesimpulan dengan risiko bahwa kita mengambil kesimpulan yang salah. Penalaran induktif yang baik berusaha meminimalkan risiko sehingga kita lebih sering mengambil kesimpulan yang benar daripada yang salah, dan berusaha memperhitungkan risiko itu dengan akurat. Panduan umum untuk melakukan penalaran induktif yang baik adalah yang berikut. 1) Usahakanlah mengumpulkan semua informasi yang tersedia yang berhubungan dengan topik argumen sebelum mengambil kesimpulan mengenai topik itu. Kita menginginkan kesimpulan yang kecil kemungkinannya menjadi batal jika ada informasi baru. 2) Cobalah mengeliminasi kesimpulan lain yang juga konsisten dengan bukti yang ada sebelum meyakini kesimpulan pilihan kita. 3) Jangan membuat kesimpulan jika kita menilai bahwa premis-premis yang kita miliki terlalu lemah. Karena argumen induktif mempunyai karakteristik ketidakpastian, kesimpulan dari suatu argumen induktif sering disebut hipotesis. Suatu hipotesis adalah suatu proposisi yang diterima secara tentatif untuk menjelaskan fakta-fakta atau bukti-bukti tertentu. Kesimpulan dari suatu argumen induktif sering kali merupakan pernyataan yang dapat menjelaskan mengapa informasi dalam premis-premisnya benar. Misalnya, hipotesis bahwa Andi membunuh Jono dapat menjelaskan mengapa Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Sejalan dengan itu, strategi untuk membangun dan mengevaluasi argumen induktif adalah menentukan apakah kesimpulan yang diambil dari premis-premis yang ada merupakan penjelasan terbaik mengapa premis-premis bukti benar. Para ahli logika menggambarkan hal ini sebagai berikut: argumen induktif yang baik sebagai “kesimpulan yang merupakan 83
penjelasan terbaik dari bukti.” Sayang sekali, tidak ada metode yang sederhana untuk mengevaluasi argumen induktif jika dibandingkan dengan pengukuran validitas argumen deduktif. Terlebih lagi, ada banyak kesulitan filosofis di sekitar konsep dukungan induktif, dan apakah induksi dapat dijadikan alat untuk mendapatkan pengetahuan. Walaupun ada masalah-masalah teoretis, para ahli logika sering kali setuju mana yang termasuk dalam penalaran induktif yang baik. Kita dapat membedakan kapan bukti-bukti yang ada sudah cukup untuk mengambil kesimpulan dan kapan tidak, jika kita mempunyai akal sehat dan pengalaman, dan berefleksi dengan teliti. 7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif) Induksi enumeratif, atau generalisasi induktif, adalah proses yang menggunakan premispremis yang menggambarkan karakteristik sampel untuk mengambil kesimpulan umum mengenai kelompok asal sampel itu. Induksi jenis argumen ini merupakan argumen induktif yang paling terkenal. Begitu terkenalnya jenis argumen ini sampai-sampai beberapa penulis mendefinisikan argumen induktif sebagai argumen yang “bergerak dari premis-premis partikular ke kesimpulan umum.” Namun, sebenarnya bentuk ini hanyalah salah satu bentuk saja dari argumen induktif. Perhatikanlah contoh-contoh argumen berikut ini dan polanya: (1) Kami mengobservasi 27.830 ekor angsa di Inggris dan menemukan bahwa setiap angsa tersebut berwarna putih. Kami menyimpulkan dari bukti ini bahwa semua angsa putih. Pola Argumen 1: X1 mempunyai karakteristik P. X2 mempunyai karakteristik P. X3 mempunyai karakteristik P. : Xn mempunyai karakteristik P.
Dasar bukti atau tabel konfirmasi (n=27.830)
Semua X mempunyai karakteristik P. (2) Saya pergi ke New York untuk pertama kalinya minggu lalu. Orang pertama yang saya tanyai tentang jalan ke Carnegie Hall bersikap sangat kasar dan menyuruh saya mundur. Saya bertanya kepada orang kedua, dan dia juga kasar dan menyumpahi saya supaya pergi. Saya bertanya kepada tujuh orang lagi, dan setiap orang mengusir saya tanpa menolong saya. Akhirnya, orang kesepuluh yang saya tanya memberi tahu saya jalan ke Carnegie Hall. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa hampir semua orang New York bersikap kasar kepada pendatang yang menanyakan jalan. 84
Pola Argumen 2: X1 mempunyai karakteristik R. X2 mempunyai karakteristik R. X3 mempunyai karakteristik R. : X10 tidak mempunyai karakteristik R.
Tabel konfirmasi
Kebanyakan X mempunyai karakteristik R. (3) Dari 200.000 cip (chip) yang dibuat dengan proses baru kami bulan lalu, diambil secara acak (random) 1.000 buah untuk diuji. Hanya 50 buah dari sampel itu yang cacat, yang berarti 95% buah sampel lainnya sempurna. Kita menyimpulkan bahwa proses pembuatan cip yang baru ini menghasilkan sekitar 95% cip yang sempurna, dan hanya 5% yang cacat. Pola Argumen 3: X1 mempunyai karakteristik G. X2 mempunyai karakteristik G. X3 mempunyai karakteristik G. : X950 mempunyai karakteristik G. Tabel konfirmasi X951 tidak mempunyai karakteristik G. X952 tidak mempunyai karakteristik G. X953 tidak mempunyai karakterisitk G. : X1000 tidak mempunyai karakteristik G. Sekitar 95% X mempunyai karakteristik G. Dalam
masing-masing argumen itu, premis-premisnya merupakan contoh dari
individu-individu
yang
mempunyai
karakteristik
tertentu.
Kesimpulannya
menggeneralisasikan bahwa individu dari kelompok itu mempunyai karakteristik itu sampai dengan batas tertentu. Pada contoh (1), batasnya adalah 100%, dan kesimpulannya merupakan generalisasi universal, yaitu semua individu mempunyai karakteristik tersebut. Pada dua contoh lainnya, korelasinya tidak mencapai 100%. Kesimpulannya berupa generalisasi statistikal yang memperkirakan persentase individu yang mempunyai karakteristik tersebut. Perkiraan ini masih belum jelas pada contoh (2), tetapi jauh lebih jelas pada contoh (3).
85
Secara umum induksi enumeratif dapat dianggap sebagai argumen dari sampel. Individu yang diobservasi merupakan sampel yang diambil dari populasi yang lebih besar, yang kebanyakan anggotanya belum diobservasi. Berdasarkan karakteristik yang diobservasi pada sampel, kesimpulan dibuat mengenai populasi secara keseluruhan. Dalam pola-pola argumen yang digambarkan di atas, pernyataan-pernyataan yang menggambarkan hasil observasi individual didaftarkan. Ini disebut tabel konfirmasi. Secara lebih umum, karena premis-premis ini mengandung data yang digunakan sebagai bukti dalam membuat kesimpulan, maka premis-premis ini disebut dasar induksi atau dasar bukti atau, lebih sederhana lagi, data atau bukti. Tabel konfirmasi tidak selalu dibuat. Kalaupun dibuat, hal itu dilakukan pada proses pengumpulan bukti dan jarang sekali dicantumkan pada pernyataan argumen. Namun, bukti lebih sering diringkas dalam bentuk statistik mengenai sampel yang diobservasi. Agar dapat diterima, argumen yang berdasarkan sampel harus mempunyai asumsi bahwa sampel itu representatif terhadap populasi dan cukup besar sehingga dapat menyediakan perkiraan yang terandalkan (reliable). Kalaupun tidak disebutkan, asumsi ini selalu merupakan premis atau asumsi inferensial yang implisit dalam argumen induktif yang baik. Oleh sebab itu, pola generalisasi induktif yang baik adalah sebagai berikut: N persen dari sampel S yang diambil dari F yang diobservasi mempunyai karakteristik G. Sampel S cukup besar dan representatif terhadap F. Kira-kira N persen dari F mempunyai karakteristik G. Induksi enumeratif sangat bervariasi dalam hal kualitas pengumpulan dan presentasi datanya, dan dalam kekuatan kesimpulannya. Karena itu, kita dapat menggunakan pola argumen ini sebagai perkiraan kasar untuk mengevaluasi argumen jenis ini secara cepat. Kita dapat menggunakan model ini untuk melakukan rekonstruksi kekuatan suatu induksi enumeratif. Dari sini terlihat bagaimana suatu argumen dapat ditingkatkan kekuatannya. Dalam argumen (1) di atas, N=100% sehingga kesimpulannya merupakan generalisasi universal untuk semua angsa. Rekonstruksi kekuatan argumen (1) adalah sebagai berikut: 100% dari sampel yang diobservasi sejumlah 27.830 angsa di Inggris berwarna putih. Sampel sebesar 27.830 cukup besar dan representatif terhadap semua angsa. Semua angsa berwarna putih. 86
Kebenaran premis pertama dari argumen ini dapat dipertanyakan, misalnya seseorang dapat meragukan apakah semua unggas yang diobservasi memang benar-benar angsa. Namun jika bukti dikumpulkan dengan hati-hati, fokus kritik terhadap argumen ini terletak pada premis kedua. Dalam semua argumen yang didasarkan pada suatu sampel, selalu harus dipertanyakan apakah sampelnya cukup besar dan representatif terhadap populasi sehingga kesimpulannya dapat dipercaya. Mengambil kesimpulan yang terlalu kuat berdasarkan sampel yang terlalu kecil berarti melakukan percontoh salah (error sampel) yang tidak cukup. Membuat kesimpulan berdasarkan sampel yang tidak representatif berarti melakukan percontoh salah yang bias. Dalam kasus ini, percontoh atau sampelnya nampaknya cukup besar untuk menjamin kesimpulan mengenai semua angsa. Namun kita dapat melihat bahwa observasi hanya dilakukan pada angsa di Inggris sementara kesimpulannya mengenai semua angsa. Jadi, jika kita menduga bahwa angsa di Inggris berbeda dari angsa pada umumnya, dapat dipertanyakan apakah sampelnya representatif. Argumen ini akan lebih kuat jika lebih dimiripkan dengan pola di atas, yaitu dengan melemahkan kesimpulannya sampai dengan batas semua angsa di Inggris saja. Dengan demikian, argumen (2) dapat direkonstruksi kekuatannya menjadi: Sebanyak 9 dari 10 orang New York sampel yang diobservasi (90%) bersikap kasar pada pendatang yang menanyakan jalan. 10 orang itu merupakan sampel yang cukup besar dan representatif dari orang New York. Kira-kira 9 dari 10 (90%) orang New York bersikap kasar pada pendatang yang menanyakan jalan. Jelas bahwa kesimpulan ini bukanlah hasil dari penyelidikan yang sistematis. Kemungkinan besar, seperti yang terjadi pada banyak argumen sehari-hari, tidak diduga atau diharapkan bahwa argumennya akan dianalisis dan dievaluasi secara detil. Kelemahan argumen kedua tampak jelas setelah direkonstruksi. Percontoh sejumlah 10 orang terlalu kecil untuk membuat kesimpulan secara meyakinkan mengenai orang New York pada umumnya. Di samping itu, juga tidak disebutkan bagaimana percontohnya dipilih sehingga kita tidak tahu apakah percontoh itu representatif. Lagi pula, premis yang satunya lagi, yakni bahwa 9 dari 10 orang sampel yang diobservasi dan bersikap kasar kepadanya ketika dia menanyakan jalan baru diduga saja sebagai orang New York. Kita membutuhkan 87
bukti tambahan apakah orang-orang itu memang orang New York dan apakah mereka menganggapnya pendatang. Singkatnya, argumen kedua itu belum memenuhi pola argumen, dan premis-premisnya tidak sepenuhnya relevan dengan kesimpulannya. Jadi, dengan memeriksa argumen berdasarkan pola induksi enumeratif, kita mengungkapkan kemungkinan bahwa suatu argumen ternyata tidak kuat. Dengan demikian, argumen (3) dapat direkonstruksi menjadi:
95% dari 1000 cip yang dipilih secara acak dari semua cip yang dibuat bulan lalu dengan proses baru merupakan cip yang baik. 1000 cip itu merupakan percontoh yang cukup besar dan representatif dari semua cip yang dibuat dengan proses baru. Kira-kira 95% dari cip yang dibuat dengan proses baru merupakan cip yang baik. Argumen (3) cukup mendekati pola induksi enumeratif. Dengan asumsi bahwa premis pertama benar, argumen ini boleh dikatakan kuat. Memilih cip secara acak berarti kemungkinannya sangat besar bahwa percontoh itu representatif terhadap populasi. Berdasarkan teori statistik, sampel sebesar itu cukup besar untuk mendukung kesimpulan dengan probabilitas 99%, dan kira-kira 95% dianggap sebagai interval di sekitar 95%, plus atau minus 3% (jadi, dari 92% sampai 98%). Satu masalah dalam argumen (3) adalah bahwa sampel dipilih dari cip yang dibuat bulan lalu, dan kesimpulannya mengenai cip yang dibuat dengan proses baru. Pola di atas menuntut bahwa populasi yang disebutkan di kesimpulan sama dengan populasi asal sampel. Ini berarti cip yang dibuat dengan proses baru harus merupakan cip yang dibuat dengan cara yang sama dengan cip yang dibuat bulan lalu. 7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal Silogisme statistikal merupakan argumen yang menggunakan generalisasi statistik tentang suatu kelompok untuk mengambil kesimpulan mengenai suatu sub-kelompok atau anggota individual dari kelompok itu. Silogisme statistikal—jenis spesifikasi induktif yang paling umum digunakan sehari-hari—merupakan kebalikan dari proses generalisasi induktif. Dalam konteks profesional atau ilmiah— yang menggunakan teori-teori matematika untuk menarik kesimpulan mengenai sampel dari informasi mengenai populasi yang lebih besar—spesifikasi statistik jauh lebih kompleks..
88
Penyimpulan dalam silogisme statistikal bergerak dari generalisasi mengenai suatu kelompok ke kesimpulan yang lebih spesifik mengenai satu anggota kelompok itu atau lebih. Bentuk standar silogisme statistikal ialah yang berikut: N persen dari M adalah P. Semua S adalah M. (Kira-kira) N persen dari S adalah P. Argumen jenis ini dapat atau tidak dapat diterima, tergantung pada seberapa tepat generalisasi statistikalnya dinyatakan. Mari kita perhatikan contoh Hampir semua M adalah P atau Kebanyakan M adalah P. Jelas bahwa silogisme statistikal yang menggunakan generalisasi yang samar-samar seperti ini tidak layak diyakini sepenuhnya. Apakah suatu argumen dapat diterima atau tidak juga tergantung pada apa yang kita ketahui mengenai anggota S dan sejauh mana anggota S itu representatif terhadap M. Jika situasi anggota S itu tidak sama, maka penerapan generalisasi itu pada percontoh S patut dipertanyakan. Bila S sangat kecil jika dibandingkan dengan M, atau S adalah individu tunggal, maka dapat atau tidak dapat diterimanya argumen tergantung pada ukuran N selain pada ketepatan premis statistiknya. Misalnya, jika hanya 55% siswa di suatu kelas adalah murid baru, maka kesimpulan kita bahwa seorang siswa tertentu di kelas itu adalah murid baru dapat dikatakan lemah. Jika N sama dengan 100%, argumen jenis ini menjadi silogisme kategorial, dan kesimpulannya menjadi deduktif. Contoh-contoh berikut akan memperjelas uraian di atas: Sembilan dari 10 orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi. Jadi, kemungkinannya sangat besar bahwa sekitar 90% suku Sioux tinggal di daerah reservasi. 90% dari orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi. Suku Sioux adalah orang Indian. (implisit) Kira-kira 90% suku Sioux tinggal di daerah reservasi. Karena hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang dan karena Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington, maka kemungkinannya sangat besar bahwa dia dapat mengeja kata itu. Hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang. Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington. Wakil Presiden dapat mengeja kata kentang.
89
Pada pandangan pertama, kedua argumen itu tampak cukup kuat. Dalam argumen (1), generalisasi bahwa 90% orang Indian tinggal di daerah reservasi dihubungkan dengan suku Sioux, suatu sub-kelompok dari kelompok orang Indian. Namun, kesimpulan ini masih goyah sebelum kita yakin bahwa tidak ada perbedaan yang relevan antara suku Sioux dengan populasi orang Indian secara keseluruhan. Walaupun kita berasumsi bahwa statistik 90% didapatkan dari sampel yang representatif, tetap ada masalah dalam menerapkan persentase ini pada suku Sioux. Statistik dalam premis itu mungkin didapatkan dari hasil sensus: berapa rasio jumlah orang Indian yang tinggal di daerah reservasi terhadap perkiraan jumlah populasi orang Indian keseluruhan. Jika memang demikian, berarti data ini mengabaikan kenyataan bahwa suku-suku Indian sangat berbeda dalam adat dan kebiasaan hidup. Ada kemungkinan lain juga, yakni misalnya, suku Sioux tidak wajib tinggal di reservasi khusus sehingga banyak yang tinggal di tempat lain. Argumen (2) tampak sangat kuat. Memang ada masalah kecil, yaitu ketidakspesifikan premis pertama, namun argumen ini masih dapat diterima karena sangat kecil kemungkinannya ada penelitian mengenai kemampuan mengeja para politisi. Argumen ini menggunakan akal sehat—yaitu bahwa hampir semua politisi atau orang dewasa yang berpendidikan dapat mengeja kata yang sederhana seperti kentang. Jadi, kita dapat mengganggap pernyataan hampir semua politisi di Washington berarti tidak kurang dari 90%, sehingga kesimpulan mengenai Wakil Presiden termasuk sangat kuat (kecuali ada alasan untuk meyakini bahwa Wakil Presiden mempunyai masalah khusus dalam hal mengeja). Dua contoh berikut menyajikan masalah yang menarik, yang tampaknya lebih mirip prediksi daripada silogisme statistikal. Karena 9 dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati, kartu berikutnya yang diambil pasti bergambar hati. 90% dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati. Kartu berikutnya yang diambil merupakan salah satu dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu. (implisit) Kartu berikutnya yang diambil bergambar hati. Setiap pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Karena orang yang akan kita temui adalah pengacara, kemungkinan besar dia juga agresif. 100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Orang yang akan kita temui adalah pengacara. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.
90
Argumen (3) tampaknya memprediksi kejadian di masa depan dan bukannya mengambil kesimpulan mengenai anggota suatu kelompok berdasarkan generalisasi mengenai kelompok itu secara keseluruhan. Namun, kartu berikutnya yang diambil dari tumpukan merupakan anggota tumpukan yang sudah mempunyai karakteristik yang relevan (yakni, bergambar hati) sejak sebelum kartu itu diambil. Jadi, kita dapat mengabaikan aspek prediktif dari kesimpulan itu. Argumen (3) merupakan argumen silogisme statistikal yang sangat kuat. Jika kita tahu bahwa tumpukan itu tidak diatur dan kocokannya jujur, maka tidak ada masalah atau pun informasi yang dapat memperlemah argumen itu. Kemungkinannya 9 berbanding 1 bahwa kesimpulannya benar. Contoh (4) bukanlah silogisme statistik, walaupun tampak mirip contoh (3). Orang yang akan kita temui yang tercantum dalam premis dan kesimpulan bukanlah anggota dari kelompok pengacara yang pernah kita temui yang tercantum dalam generalisasi. Jadi, argumen ini bukanlah contoh langsung dari spesifikasi statistikal. Argumen ini tampaknya merupakan prediksi mengenai seorang pengacara yang belum ditemui berdasarkan sampel pengacara yang pernah ditemui. Satu bentuk rekonstruksi dari contoh (4) mungkin ialah argumen dua langkah yang terdiri dari generalisasi induktif yang diikuti oleh silogisme statistikal: 100% dari sampel pengacara yang diobservasi bersifat agresif. Sampel yang diobservasi cukup besar dan representatif terhadap semua pengacara. (implisit) Kira-kira 100% pengacara bersifat agresif. Orang yang akan kita temui adalah pengacara. Orang yang akan kita temui bersifat agresif. Di sini kita juga menghilangkan aspek prediktif dari silogisme statistikalnya. Jelas bahwa dapat atau tidak dapat diterimanya argumen ini tergantung pada kebenaran premis implisitnya dan pada hal lain yang kita ketahui mengenai orang yang akan kita temui. Masalah yang timbul adalah kita tidak dapat yakin apakah rekonstruksi di atas memang merupakan apa yang dimaksud si pembicara. Ada kekemungkinan lain, yaitu si pembicara tidak memaksudkan observasinya mengenai pengacara yang pernah mereka temui sebagai generalisasi mengenai semua pengacara, melainkan hanya mengenai pengacara yang mereka temui. Jadi, rekonstruksinya mungkin seperti ini. 100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Sampel yang kita observasi cukup besar dan representatif terhadap semua pengacara yang kita temui (atau akan kita temui). 91
Kira-kira 100% pengacara yang (akan) kita temui bersifat agresif. Orang yang akan kita temui adalah pengacara yang (akan) kita temui. Orang yang akan kita temui bersifat agresif. Rekonstruksi ini—tampaknya merupakan rekonstruksi yang aneh dan rumit—dari argumen (4). Pertama, mengapa pembicara membatasi kesimpulannya hanya pada pengacara yang pernah atau yang akan dia temui. Mungkin sejauh itu dia baru bertemu dengan pengacara pengadilan New York saja dan semuanya cenderung agresif. Namun jika demikian, argumen ini gugur dan kita masih membutuhkan informasi lebih jauh mengenai orang yang akan mereka temui untuk menentukan apakah dia adalah seorang pengacara pengadilan New York. Kedua, keanehan rekonstruksi yang kedua ini menunjukkan bahwa mungkin argumen (4) memang merupakan prediksi yang mencoba memprediksi kejadian di masa depan berdasarkan bukti observasi di masa lalu. Prediksi ini menyangkut seorang pengacara yang belum diobservasi, yang bukan merupakan anggota kelompok yang sudah diobservasi. Jika memang demikian, maka pernyataan ini bukanlah argumen dua langkah yang terdiri dari generalisasi induktif dan silogisme statistikal, melainkan sebuah prediksi.
7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik Argumen
induktif
eliminatif
atau
diagnostik
mempunyai
premis-premis
yang
menggambarkan suatu konfigurasi fakta atau data yang berbeda-beda, yang merupakan bukti dari kesimpulannya. Kesimpulan ini didukung oleh bukti-bukti diagnostik yang ada, yang menghapus adanya kemungkinan kesimpulan lain sebagai penjelasan terbaik atas bukti-bukti itu. Induksi jenis ini menghasilkan kesimpulan yang merupakan penjelasan terbaik, tetapi tidak statistikal. Dengan induksi enumeratif kita menyimpulkan bahwa semua burung gagak berwarna hitam berdasarkan observasi bahwa gagak ini hitam, gagak itu hitam, begitu juga gagakgagak lain, dan seterusnya. Dalam argumen eliminatif atau diagnostik, datanya tidak berupa repetisi dari jenis observasi yang sama. Umpamanya kita mendengar suara orang berteriakteriak marah, barang-barang pecah, dan pintu dibanting di apartemen sebelah. Kita menyimpulkan bahwa tetangga kita sedang bertengkar. Kita memutuskan bahwa ini adalah penjelasan yang paling mungkin dari apa yang kita dengar, karena kita tahu bahwa mereka bukan aktor yang sedang berlatih akting, dan juga tidak mempunyai sound system yang sangat baik yang mungkin menipu kita. 92
Bukti-bukti
dalam
argumen
induktif
mana
pun
tidak
pernah
menjamin
kesimpulannya. Premis-premis dari argumen induktif dapat mendukung beberapa kesimpulan yang berbeda dan bertentangan. Kesimpulan-kesimpulan itu disebut kesimpulan rival atau hipotesis rival. Dalam induksi diagnostik, orang yang mengajukan argumen meneliti buktibukti untuk membuat kesimpulan berupa hipotesis yang paling mungkin menjelaskan buktibukti itu. Argumen diagnostik yang kuat harus mempunyai cukup bukti untuk menghapuskan semua kecuali satu hipotesis rival. Hipotesis yang tersisa itu merupakan kesimpulan yang paling mungkin. Tidak seperti pada penyimpulan deduktif, kemampuan membuat kesimpulan induktif yang merupakan penjelasan terbaik biasanya tergantung pada keahlian dan pengetahuan si pembicara mengenai topik yang dibahas, dan bukan pada pengetahuan mengenai bahasa dan aturan pengambilan kesimpulan. Contoh kasus yang merupakan paradigma dari induksi diagnostik adalah diagnosis dokter mengenai penyakit pasien dari konfigurasi gejala, hasil pemeriksaan laboratorium, dan bukti-bukti lain. Penalaran diagnostik atau eliminatif barangkali merupakan jenis penalaran induktif sehari-hari yang paling umum. Walaupun biasanya tidak dilakukan seteliti dokter, induksi jenis ini merupakan dasar dari pengetahuan sehari-hari kita mengenai dunia di sekitar kita. Perhatikanlah contoh berikut. 1. Jimmy demam, dia kelihatan lemah, dan ada bintik-bintik kecil berwarna merah di wajahnya. Karena dia belum pernah kena cacar air sebelumnya, kemungkinan dia kena cacar air sekarang. Jimmy demam. Dia kelihatan lemah. Ada bintik-bintik kecil berwarna merah di wajahnya. Dia belum pernah kena cacar air. Orang dengan gejala seperti itu, yang belum pernah kena cacar air sebelumnya, barangkali kena cacar air. Jimmy kena cacar air.
Bukti Kondisi pembatas Hipotesis bantuan (implisit)
2. Kita yakin bahwa akan ada serangan musuh di sektor selatan karena ada pengumpulan pasukan di sektor itu dan komandan mereka ada di situ. Terlebih lagi, mengingat keadaan pasukan mereka, kesempatan terbaik mereka untuk menang adalah dengan menyerang sektor selatan sekarang. Ini adalah kesempatan yang kemungkinannya kecil untuk mereka lewatkan. Ada pengumpulan pasukan di sektor selatan. Komandan mereka ada di sektor itu. Mengingat keadaan pasukan mereka, kesempatan terbaik mereka untuk menang adalah dengan menyerang
Bukti
93
Hipotesis bantuan
sektor selatan sekarang. Kecil kemungkinannya musuh melewatkan kesempatan untuk menang. Akan ada serangan musuh di sektor selatan.
3. Jethro menunjukkan ekspresi tidak enak di wajahnya, dan wajahnya memerah. Mereka mengatakan dia sering malu bila berada dekat perempuan yang tidak dikenalnya. Karena dia sedang berbicara dengan Harriet dan dia tidak mengenal Harriet, kita dapat menyimpulkan bahwa dia mungkin sedang malu. Hal itu juga dapat menjelaskan mengapa dia terus mencari pintu keluar. Jethro menunjukkan ekspresi tidak enak di wajahnya. Wajahnya memerah. Dia terus mencari pintu keluar. Jethro sedang berbicara dengan Harriet. Harriet adalah perempuan yang tidak dikenal Jethro. Dia sering malu bila berada di dekat perempuan yang tidak dikenalnya.
Bukti Kondisi pembatas Hipotesis bantuan
Jethro malu. Contoh-contoh itu mengandung unsur-unsur yang merupakan ciri khas dari argumen diagnostik, yaitu premis-premis yang mengungkapkan bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis bantuan. a. Bukti Bukti dalam suatu argumen diagnostik adalah informasi dalam premis yang harus dapat dijelaskan oleh kesimpulan dari argumen tersebut. Bukti disebut juga data diagnostik. Informasi lain dalam premis dapat dibedakan dari bukti; informasi itu tidak harus dapat dijelaskan oleh kesimpulan. Pada contoh (1), bukti atau data diagnostiknya adalah “Jimmy demam, tampak lemah, dan ada bintik-bintik kecil warna merah di wajahnya”. Kesimpulan apa pun yang diambil dari bukti ini harus dapat menjelaskannya. Jadi, hipotesis bahwa “Jimmy kena cacar air” menjelaskan mengapa dia demam, tampak lemah, dan ada bintik-bintik di wajahnya. Jika hipotesis itu tidak dapat menjelaskan bukti yang ada, maka kita tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa dia kena cacar air berdasarkan bukti ini. Tetapi kesimpulan ini tidak perlu menjelaskan semua informasi dalam premis. Misalnya, kesimpulan tidak perlu menjelaskan mengapa Jimmy belum pernah kena cacar air sebelumnya. Itu bukan bagian dari data diagnostik. 94
Pada contoh (2), kesimpulan bahwa musuh akan menyerang di sektor selatan dapat menjelaskan mengapa ada pengumpulan pasukan di sana dan mengapa komandan mereka ada di sana. Informasi itu adalah bukti. Namun kesimpulan tidak dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa saat itu adalah kesempatan terbaik mereka untuk menang dan mengapa mereka tidak akan melewatkan kesempatan itu. Premis-premis yang disebut terakhir ini membantu mengeliminasi hipotesis rival, namun tidak termasuk bukti. Informasi dalam premis, di samping data diagnostik, dapat berfungsi mengeliminasi hipotesis rival. Informasi seperti ini dapat menjelaskan kondisi atau konteks tempat bukti dipahami sebagai bukti dari kesimpulan. Ini disebut kondisi pembatas. Bukti untuk pengambilan kesimpulan induktif bukan berupa informasi yang sudah diberi label, atau terisolasi, sehingga kita tinggal menggunakannya, melainkan informasi yang sangat banyak yang harus dipilih sebagai data yang kita yakini relevan untuk mendukung kesimpulan kita. Jadi, data yang terpilih menjadi bukti bagi kesimpulan dalam konteks yang kita batasi. Konteks ini hampir selalu mengandung informasi faktual yang bukan merupakan bagian dari data diagnostik. b. Kondisi Pembatas Kondisi pembatas dalam suatu argumen induktif diagnostik terdiri dari premis-premis faktual tambahan yang membatasi konteks argumen dan digunakan untuk menunjukkan bagaimana bukti mengarah ke kesimpulan. Kondisi pembatas secara logis berbeda dari bukti karena tidak harus dijelaskan oleh kesimpulan. Kondisi pembatas adalah keadaan faktual yang membantu menunjukkan mengapa kesimpulan itu adalah penjelasan yang paling mungkin dari bukti dan bukannya kesimpulan rival. Beda contoh (1), misalnya, pembicara menyatakan fakta bahwa Jimmy belum pernah kena cacar air sebelumnya dalam menyimpulkan bahwa Jimmy kena cacar air. Fakta ini bukan bukti menurut definisi kita. Namun, fakta ini mendukung kesimpulan karena mengeliminasi kemungkinan bahwa Jimmy sudah mempunyai kekebalan terhadap cacar air—kemungkinan yang akan menggugurkan kesimpulan bahwa Jimmy sekarang kena cacar air. Informasi lain yang diketahui dapat juga berfungsi sebagai fakta yang membantu menunjuk ke arah cacar air sebagai penjelasan yang paling mungkin dari bukti. Misalnya, jika Jimmy baru-baru ini bertemu dengan anak-anak yang sedang menderita cacar air, maka fakta ini adalah kondisi pembatas yang penting. Dengan hipotesis pembantu bahwa cacar air menular, fakta ini dapat membantu menunjukkan mengapa cacar air merupakan penjelasan terbaik atas bukti yang ada. 95
Pembicara pada contoh (3) memilih fakta bahwa Jethro sedang berbicara dengan Harriet sebagai informasi yang relevan dengan kesimpulannya bahwa Jethro sedang malu. Fakta ini bukan bukti atau data diagnostik untuk kesimpulan itu karena kesimpulan bahwa Jethro malu tidak menjelaskan mengapa dia berbicara dengan Harriet. Namun fakta ini menerangkan keadaan Jethro. Begitu pula, fakta bahwa Jethro tidak mengenal Harriet tidak dapat dijelaskan oleh kesimpulan. Fakta-fakta ini adalah kondisi pembatas, yang dengan bantuan hipotesis pembantu turut menunjukkan mengapa “malu” adalah penjelasan yang paling mungkin dari bukti-bukti yang ada. Singkatnya, kondisi pembatas menggambarkan keadaan faktual atau konteks di mana bukti dapat mendukung kesimpulan. Bukti dan kondisi pembatas adalah fakta atau pernyataan yang dianggap benar oleh pembicara dalam mengambil kesimpulan. Kedua hal ini tidak termasuk hipotesis karena dianggap tentatif atau teoretis, tetapi dianggap sebagai fakta dan benar. c. Hipotesis Bantuan Hipotesis bantuan dalam suatu argumen adalah hipotesis yang membantu menunjukkan bagaimana bukti, dalam kondisi pembatas, dapat diyakini mengarah pada kesimpulan. Dalam argumen diagnostik, hipotesis pembantu juga dapat membantu menunjukkan bagaimana kesimpulan, dalam kondisi pembatas, merupakan penjelasan yang paling mungkin dari bukti yang ada. Hipotesis pembantu dapat berupa generalisasi, hukum alam, atau pernyataan tentatif yang digunakan pembicara untuk menarik kesimpulan berupa penjelasan terbaik. Hipotesis pembantu mungkin mengandung pernyataan spekulatif atau interpretatif yang menunjukkan mengapa si pembicara yakin kesimpulannya mungkin benar, dan mengapa kesimpulan rival mungkin tidak benar. Pada contoh (2), misalnya, kedua hipotesis pembantu tidak dianggap sebagai fakta. Keduanya tidak termasuk bukti maupun kondisi pembatas. Hipotesis pertama, yang didasarkan pada bukti dan keahlian pembicara, berspekulasi bahwa kesempatan terbaik bagi musuh untuk menang adalah dengan menyerang sektor selatan. Hipotesis kedua berspekulasi mengenai motivasi musuh untuk menang dengan menyatakan bahwa kemungkinannya kecil mereka akan melewatkan kesempatan terbaik mereka untuk menang. Hipotesis ini membantu mengikat bukti pada kesimpulan bahwa musuh akan menyerang sektor selatan, dan juga membantu membatalkan kemungkinan kesimpulan lain. Jadi, misalnya, jika menyerang sektor selatan merupakan kesempatan terbaik mereka untuk menang, kemungkinannya kecil bahwa mereka mengumpulkan pasukan di sektor itu untuk menyamarkan serangan di sektor lain. 96
Pada contoh (1), pembicara menganggap bukti dan kondisi pembatasnya sebagai sesuatu yang benar, dan dia tidak mengemukakan hipotesis pembantu. Dari sudut pandangnya, fakta-fakta yang mendukung kesimpulannya bahwa Jimmy kena cacar air sudah jelas dan tidak ada masalah. Kita menambahkan pernyataan implisit bahwa orang yang berada dalam kondisi seperti Jimmy mungkin sedang menderita cacar air. Pernyataan implisit ini merupakan generalisasi yang membantu menunjukkan mengapa bukti itu dapat diyakini mengarah ke kesimpulan. Argumen induktif sehari-hari tidak berupa unsur-unsur yang diberi label seperti contoh di atas. Argumen ini biasanya dinyatakan secara tidak lengkap, lebih tidak lengkap daripada argumen deduktif. Dalam penalaran induktif, di mana ketidakpastian sering kali dominan, kesimpulan sering kali tergantung pada pengambilan kesimpulan tanpa menyebutkan banyak detil-detil. Keahlian dan pengalaman pembicara, intuisi, aturan umum, dan spekulasi sering kali berperan dalam pengambilan kesimpulan. Ini membuat rekonstruksi argumen menjadi sulit. Namun, biasanya, kita dapat mengkategorikan premis-premis dalam kebanyakan argumen induktif ke dalam tiga tipe di atas, yakni bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis pembantu. Dalam mengemukakan argumen diagnostik atau eliminatif, bukti adalah apa yang dianggap benar oleh pembicara. Dia harus menyatakan bukti ini secara eksplisit; tidak mungkin ada bukti yang implisit. Sebaliknya, kondisi pembatas dan hipotesis pembantu sering kali tidak dinyatakan dan dibiarkan implisit. Dalam kasus seperti itu, kita harus menggunakan pengetahuan kita mengenai topik argumen, imajinasi kita dalam memikirkan kesimpulan-kesimpulan rival yang mungkin, dan logika kita dalam memutuskan kondisi pembatas dan hipotesis pembantu apa saja yang diperlukan pembicara untuk membuat kesimpulan induktif yang dapat diterima. Singkatnya, kita perlu tahu banyak mengenai topik argumen atau tahu banyak pengetahuan umum jika kita ingin menjadi evaluator penalaran induktif yang efektif.
Latihan 7.1 (Hipotesis Induktif dan Ketidakpastian) Perhatikan informasi yang diberikan dalam masing-masing soal berikut. Rumuskanlah suatu hipotesis yang dapat ditarik dari informasi yang ada. Kemudian, susunlah argumen untuk hipotesis itu dalam pola standar. Selanjutnya, sebutkan informasi lain apakah yang harus Anda cari untuk mengkonfirmasi hipotesis Anda. Akhirnya, bayangkan dan tuliskan
97
informasi yang akan membuat Anda mempertayakan atau menolak hipotesis yang telah Anda buat. Contoh: Sepuluh saksi mata menyatakan bahwa mereka melihat Andi berlari dari kamar tempat Jono ditembak dan dia memegang pistol di tangannya. Kesepuluh saksi mata mendengar Andi berteriak bahwa dia senang Jono sudah mati.
Jawaban: Sepuluh saksi mata menyatakan bahwa mereka melihat Andi berlari dari kamar tempat Jono ditembak. Kesepuluh saksi mata menyatakan bahwa dia memegang pistol di tangannya. Kesepuluh saksi mata mendengar Andi berteriak bahwa dia senang Jono sudah mati. Andi menembak dan membunuh Jono. 1) Informasi yang mengkonfirmasi: Pistol yang dipegang Andi memang merupakan pistol yang digunakan untuk membunuh Jono. Perhatikan informasi tambahan yang berikut. Laporan forensik mengenai waktu Jono meninggal bersamaan dengan waktu Andi dilihat lari dari kamar itu. Andi mempunyai motif membunuh Jono. Tidak ada orang lain yang terlihat meninggalkan tempat kejadian. 2) Informasi yang mendiskonfirmasi: Laporan polisi menunjukkan bahwa Jono ditembak dengan pistol yang berbeda dari yang dipegang Andi. Kesepuluh saksi mata adalah anggota suatu geng yang bermusuhan dengan Andi dan telah bersumpah untuk mencelakainya.
Soal pertanyaan: 1. Dua puluh orang yang makan di Rumah Makan Joe pada hari Kamis malam sakit parah dan harus dirawat di rumah sakit. Kedua puluh orang itu makan kerang mentah. 2. Enam jawaban dari sepuluh soal di lembar ujian John dan Tammy sama persis. 3. Nilai ulangan Jimmy di sekolah sangat jelek. Dia sering bersikap cemas dan terlalu bersemangat. Dia sering bersama Mark, seorang siswa yang tahun lalu diskors dari sekolah karena ketahuan menggunakan obat-obatan terlarang.
98
Latihan 7.2 (Induksi Enumeratif) Jawablah soal-soal berikut. Buatlah struktur induksinya jelas dan usahakan semirip mungkin dengan bentuk generalisasi induktif yang sudah dijelaskan dalam uraian di atas. Kemudian diskusikanlah sejauh mana kesimpulannya didukung oleh bukti-bukti yang ada. Dalam berdiskusi, jangan lupa membahas masalah-masalah apa saja—seperti relevansi, cukup atau tidaknya data, dan apakah data representatif atau tidak—yang ada sehingga Anda sulit menerima kesimpulan itu berdasarkan bukti-bukti yang ada. Jika mungkin, buatlah kesimpulan yang lebih lemah yang lebih sesuai dengan data yang ada. 1. Hanya dua puluh persen dari 1000 orang California yang dipilih secara acak mengatakan bahwa mereka percaya presiden telah berusaha mencoba merangsang pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan itu, kita menyimpulkan bahwa pemeringkat (rating) positif terhadap presiden di bidang ekonomi turun hingga di bawah 25%. 2. Memang benar apa yang mereka dikatakan tentang pengendara sepeda motor. Mereka adalah orang yang paling antisosial dan sopan santunnya sangat buruk serta cenderung melakukan tindak kekerasan. Kami pergi ke pertemuan kelompok Bay Area Marauders, suatu kelompok sepeda motor Hell Angel yang berpusat di San Fransisco. Dari dua puluh orang yang kami wawancarai, lima orang mengaku pernah masuk penjara. Sepuluh orang menjawab secara kasar dan menyuruh kami pergi sebelum mendapat masalah. Empat orang terakhir menolak menjawab pertanyaan dan memaksa kami keluar dari tempat itu.
Latihan 7.3 (Silogisme Statistikal) Jika mungkin, buatlah rekonstruksi dari argumen dalam soal-soal berikut ini sehingga menjadi silogisme statistikal. Jika argumen itu tidak dapat direkonstruksi menjadi bentuk silogisme statistikal, jelaskan mengapa demikian. Akhirnya, diskusikanlah secara kritis mengapa Anda menerima atau menolak argumen itu dan diskusikan juga alasannya. 1. Kebanyakan orang yang tinggal di Bell Air kaya raya. Jadi, keluarga yang tinggal di sebelah rumah keluarga Reagan kemungkinan besar kaya raya. 2. Begini, Joe. Orang tua mencintai anak-anaknya. Jadi, walaupun tampaknya orang tuamu bertingkah laku seolah-olah tidak mencintaimu, ingatlah bahwa mereka mencintaimu.
99
3. Setiap kali kita pergi ke rumah keluarga Quigley, mereka pasti sedang bertengkar. Mungkin mereka juga akan bertengkar hari Minggu besok ketika kita ke sana. Barangkali sebaiknya kita tidak usah ke sana.
Latihan 7.4 (Induksi Diagnostik) Gambarkanlah struktur argumen-argumen induktif dalam soal-soal berikut. Dalam gambaran Anda itu, tunjukkan premis mana yang berisi bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis pembantu. Jika Anda mengalami kesulitan dalam menentukan kategori yang tepat untuk salah satu premis, jelaskan mengapa. Selanjutnya, sebutkan satu asumsi implisit yang menurut Anda dapat memperkuat argumen itu, dan tentukan apakah asumsi itu berfungsi sebagai kondisi pembatas atau hipotesis pembantu jika diikutsertakan dalam argumen. Akhirnya, diskusikan secara singkat mengapa Anda menerima atau menolak argumen itu. 1. Wajah Jimmy berbintik-bintik merah. Tony, anak tetangga, sedang menderita cacar air. Mungkin Jimmy juga menderita penyakit itu. Cacar air, ‘kan, menular? 2. Kami tahu bahwa pasien itu merasa mual, muntah-muntah, dan rambutnya rontok selama tiga minggu sebelum dirawat di rumah sakit. Di beberapa bagian tubuhnya ada luka-luka menganga. Kami juga tahu bahwa dia bekerja di suatu reaktor nuklir selama setahun terakhir. Bukti ini mengarah kepada kesimpulan bahwa dia menderita keracunan radiasi. Tentu saja, kami masih harus melakukan beberapa tes.
8. Sesat Pikir 8.1. Pengertian Sesat Pikir (Fallacies) Sesat pikir menurut logika tradisional adalah kekeliruan dalam penalaran berupa penarikan kesimpulan-kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah, yang disebabkan oleh dilanggarnya kaidah-kaidah logika. Menurut Copi, sesat pikir adalah perbincangan yang mungkin terasa betul, tetapi yang setelah diuji terbukti tidak betul. Perhatikanlah contoh berikut. (1) Kalau hujan turun, maka tanah basah. Tanah basah. Jadi hujan turun. (2) Kalau manusia mati tak bernafas. Susi, seorang manusia, tak bernafas Jadi Susi mati. 100
Argumentasi di atas salah karena dalam kedua argumentasi itu, “hujan” dan ”tak bernafas” masing-masing adalah kondisi yang mencukupi (sufficient condition), bukan kondisi niscaya (necessary condition); dengan kata lain, hubungannya asimetris. Hujan memang menyebabkan tanah basah, tetapi tanah basah belum tentu karena hujan. Mati sudah tentu tak bernafas, tetapi tak bernafas belum tentu mati. Sebetulnya tidak ada penggolongan sesat pikir yang sempurna, tetapi penggolongan dari Copi (1986) dapat digunakan sebagai pegangan untuk mengenali sesat pikir.
8.2. Sesat Pikir Formal A. Dalam Deduksi Dalam deduksi, penalaran ditentukan oleh bentuknya. Jika sebuah penalaran bentuknya tidak sesuai dengan bentuk deduksi yang baku, maka penalaran itu tidak sahih dan tergolong sesat pikir. 1. Empat Term (Four Terms) Seperti namanya, sesat pikir jenis empat term terjadi jika ada empat term yang diikutsertakan dalam silogisme padahal silogisme yang sahih hanya mempunyai tiga term. Contoh berikut ini mengandung kesalahan empat term. Rumah mempunyai halaman. Buku mempunyai halaman. Jadi: Buku adalah rumah. Kesalahan terletak pada kata halaman yang mempunyai makna ganda sehingga ada tambahan term. Halaman rumah dan halaman buku berbeda maknanya karena merujuk kepada dua ide yang berbeda. Jadi, terdapat empat term dalam silogisme di atas, yang seharusnya hanya tiga. 2. Term tengah yang tidak terdistribusikan (undistributed middle terms) Pengertian dari term tengah yang tidak terdistribusikan adalah silogisme kategoris yang term tengahnya tidak memadai menghubungkan term mayor dan term minor, misalnya Kucing makan daging. Anto makan daging. Jadi: Anto adalah kucing. 3. Proses Ilisit (Illicit process) Proses ilisit adalah perubahan tidak sahih dari term mayor atau term minor seperti pada contoh berikut. 101
Banyak orang Indonesia pemalas. Pemalas tidak bisa maju. Jadi: Orang Indonesia tidak bisa maju. Kesalahan silogisme ini terletak pada peralihan dari banyak orang Indonesia yang merujuk kepada sebagian orang Indonesia (partikular) ke orang Indonesia yang merujuk kepada semua orang Indonesia (universal).
4. Premis-premis afirmatif tetapi kesimpulannya negatif Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi afirmatif (pernyataan yang menyatakan sesuatu secara positif) tetapi dalam kesimpulan digunakan proposisi negatif (pernyataan yang menegasi sesuatu). Perhatikanlah contoh berikut. Semua orang Indonesia adalah manusia. Sebagian orang Indonesia adalah ahli logika. Jadi: Sebagian orang Indonesia bukan ahli logika. Meskipun diketahui bahwa sebagian orang Indonesia adalah ahli logika, tidak ada informasi yang menyebutkan sebagian lagi bukan ahli logika. Kesimpulan “Sebagian orang Indonesia bukan ahli logika” tidak dapat diturun dari dua premis dalam silogisme ini. Kesimpulan yang dapat dibuat adalah “Sebagian ahli logika adalah manusia”. Dalam deduksi, yang dijadikan dasar penilaian sahih atau tidaknya argumen adalah bentuknya. Bentuk yang benar harus benar untuk semua argumen, apa pun isi materialnya. Memang dalam silogisme di atas terkesan argumennya tetapi jika kita gunakan untuk silogisme berikut, maka dapat diketahui bahwa bentuk itu tidak sahih. Semua orang Indonesia adalah manusia. Sebagian orang Indonesia bernafas. Jadi: Sebagian orang Indonesia tidak bernafas. 5. Premis negatif dan kesimpulan afirmatif Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi negatif tetapi dalam kesimpulan digunakan proposisi afirmatif, misalnya Tiada hewan yang berkaki tiga. Semua hewan peka terhadap rangsang. Jadi: Semua yang peka terhadap rangsang berkaki tiga.
102
6. Dua premis negatif Sesat pikir dua premis negatif terjadi jika dalam silogisme kedua premis yang digunakan adalah proposisi negatif. Perhatikanlah contoh-contoh berikut. (1)
Tiada hewan yang berkaki tiga. Tiada hewan dapat membuat alat. Jadi: Semua yang dapat membuat alat bukan hewan.
Meskipun terkesan benar, silogisme ini tidak sahih karena tidak ada kesimpulan yang dapat diturunkan dari dua proposisi negatif. Kesimpulan dalam silogisme ini tidak memberi tambahan pengetahuan baru. Berikut ini dua contoh lain sesat pikir berbentuk dua premis negatif. (2)
Tiada hewan yang berpikir. Semua hewan tidak dapat membuat alat. Jadi: Semua yang dapat membuat alat berpikir.
(3)
Tiada buku Jono yang mudah dibaca. Tiada buku yang mudah dibaca bermutu. Jadi: Semua buku Jono bermutu.
7. Mengafirmasi konsekuensi Sesat pikir mengafirmasi konsekuensi adalah pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Perhatikan contoh berikut. Kalau lampu menyala, perabot-perabot di rumah saya nampak. Perabot-perabot di rumah saya nampak. Jadi: Lampu menyala. Bentuk penalaran ini salah sebab perabot-perabot rumah saya nampak bukan hanya karena diterangi oleh cahaya lampu, melainkan dapat juga karena hal lain, misalnya diterangi oleh sinar matahari. Jadi dapat saja terjadi perabot-perabot di rumah saya nampak tetapi lampu tak menyala, misalnya pada siang hari. 8. Menolak anteseden Sesat pikir menolak anteseden juga merupakan pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Tetapi dalam bentuk ini yang ditolak adalah antesedennya. Perhatikan contoh berikut. Jika guru pandai maka murid pandai. 103
Murid tidak pandai. Jadi: Guru tidak pandai. Murid tidak pandai bisa saja karena tidak cerdas atau tidak pernah masuk kelas. Hubungan antara guru pandai dan murid pandai berlaku dalam situasi dengan kondisi-kondisi tertentu. Jika kondisi itu tidak dipenuhi maka hubungan itu tidak berlangsung. Jadi murid tidak pandai belum tentu karena guru tidak pandai. 9. Mengiyakan suatu pilihan dalam suatu susunan argumentasi disjungsi subkontrer (atau) Sesat pikir ini terjadi jika hubungan atau di antara dua hal diperlakukan sebagai pengingkaran oleh hal yang satu terhadap hal yang lain. Atau belum tentu menunjukkan suatu pengingkaran. Perhatikan contoh berikut. Hari hujan atau panas. Hari hujan. Jadi: Hari tidak panas. Hari hujan belum tentu tidak panas karena hari hujan dan panas tidak saling mengingkari. 10. Mengingkari suatu pilihan dalam suatu disjungsi yang kontrer (dan) Bentuk sesat pikir ini terjadi jika dua hal yang dihubungkan dengan kata dan diperlakukan seolah-olah nilai kebenaran (benar atau tidak benar) dari gabungan keduanya sama dengan nilai kebenaran dari setiap hal yang digabungkan, atau nilai tidak benar dari gabungan dari dua hal itu seolah-olah disebabkan oleh salah satunya. Perhatikan contoh berikut. Nativisme dan empirisme tidak benar. Nativisme benar. Empirisme tidak benar. Jika tidak digabungkan, baik nativisme maupun empirisme bisa saja sama-sama benar. Yang membuat tidak benar adalah penggabungan keduanya.
8.3. Sesat Pikir Nonformal 1. Perbincangan dengan ancaman Dalam sesat pikir ini kebenaran dari kesimpulan didasarkan kepada ancaman, misalnya “Saya menerima penyataan bahwa bumi ini pusat dunia karena jika tidak maka nyawa saya terancam”.
104
2. Salah guna (Abusive) Sesat pikir salah guna adalah penyalahgunaan pertimbangan-pertimbangan yang secara logis tidak relevan, misalnya Parpol dan Golkar mendukung Orde Baru. Golkar yang melahirkan Orde Baru. Jadi: Golkar yang paling mendukung Orde Baru. 3. Argumentasi berdasarkan kepentingan (circumstantial) Sesat pikir ini timbul sebagai akibat dari penarikan kesimpulan secara logis melainkan untuk kepentingan pihak yang termaksud seperti pada contoh berikut. Agar persatuan pemuda dapat dipertahankan, maka si X harus menjadi ketua organisasi pemuda. Karena X sudah berumur 40 tahun, maka dalam anggaran dasar organisasi pemuda itu, definisi pemuda ditetapkan sampai umur 45 tahun. 4. Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan adalah argumentasi yang menilai sesuatu—tindakan atau pernyataan—benar berdasarkan ketidaktahuan, bukan berdasarkan isi dan bentuk argumentasinya. Orang membenarkan sebuah keputusan, meskipun salah, hanya dengan alasan ia tidak tahu. Lalu orang lain menerima dan tidak menyalahkan keputusan itu dengan alasan bahwa orang yang membuat keputusan tidak tahu. Perhatikanlah contoh berikut. Kami memilih Suyadi sebagai dekan meskipun ia belum memenuhi syarat karena kami tidak tahu bahwa ia tak memenuhi syarat, jadi kami tak bisa disalahkan. 5. Argumentasi berdasarkan belas kasihan Argumentasi belas kasihan adalah argumentasi yang menilai benar atau salahnya sesuatu berdasarkan belas kasihan, bukan berdasarkan isi dan bentuk argumennya. Orang membenarkan sebuah keputusan, meskipun salah, hanya dengan alasan kasihan. Lalu orang lain menerima dan tidak menyalahkan keputusan itu dengan alasan orang yang membuat keputusan merasa belas kasihan. Perhatikanlah contoh berikut. Andi memang salah dan menurut peraturan ia harus dihukum, tetapi kasihan jika ia dihukum, hidupnya sudah susah, jadi kami tak dapat menyalahkannya dan tak menghukumnya.
105
6. Argumentasi yang disangkutkan dengan orang banyak Sesat pikir jenis ini adalah argumentasi yang menjadikan apa yang dipercaya oleh kebanyakan orang sebagai dasar penentuan benar atau salahnya argumentasi. Orang membenarkan sebuah keputusan dengan alasan semua orang berpendapat demikian. Perhatikanlah contoh berikut. Semua orang juga tahu Muhidin bersalah, oleh karena itu Muhidin pasti salah. 7. Argumentasi dengan kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan Sesat pikir jenis ini adalah argumentasi yang membenarkan kesimpulan berdasarkan kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan. Isi dan bentuk argumentasi tidak dicermati dan tidak dijadikan dasar penentuan benar atau salahnya kesimpulan. Misalnya, menerima kesimpulan tentang perilaku seseorang yang dinilai melanggar kejahatan karena beberapa profesor sosiologi menyalahkan perilaku itu. Contoh berikut ini merupakan sesat pikir jenis ini. Internet berbahaya bagi generasi muda. Hal ini disampaikan oleh Prof. Herdin. Apa yang dikatakan profesor benar karena dia ahli. Jadi internet memang berbahaya bagi generasi muda. 8. Accident atau argumentasi berdasarkan ciri-ciri tak esensial Sesat pikir accident adalah argumentasi yang menjadikan satu sifat yang berbeda atau yang sama sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa dari dua hal semuanya sama atau semuanya berbeda. Perhatikan contoh berikut. Bangsa Indonesia tidak sama dengan bangsa Jepang. Jadi, semua orang Indonesia tidak sama dengan semua orang Jepang. 9. Perumusan yang tergesa-gesa (converse accident) Sesat pikir perumusan yang tergesa-gesa adalah pembuatan kesimpulan yang didasari oleh alasan tak memadai atau tanpa alasan sama sekali. Berikut ini dua contohnya. (1) Semua pegawai negeri adalah koruptor karena kita menemui banyak koruptor dalam keseharian kita. (2) Semua mahasiswa malas membaca. 10. Sebab yang salah Sesat pikir sebab yang salah adalah pembuatan kesimpulan berdasarkan satu dugaan yang tak terbukti dan tetap dipertahankan meskipun bukti menunjukkan bahwa kesimpulan itu salah. Misalnya pernyataan bahwa penyakit disebabkan oleh kemasukan setan. Lalu setannya diusir, 106
penyakitnya tetap ada. Tetapi tetap dipercaya bahwa penyakit disebabkan oleh kemasukan setan. 11. Penalaran sirkular Sesat pikir penalaran sirkular menjadikan kesimpulan sebagai alasan. Alasan yang digunakan secara substansial tidak berbeda dengan keseimpulan. Sesat pikir ini juga dapat muncul dalam argumentasi yang menggunakan kesimpulan yang masih harus dibuktikan sebagai pangkal pikir. Periksalah dua contoh berikut. (1) Petugas hukum dapat disogok karena penghasilannya rendah. Penghasilan hakim rendah karena ekonomi buruk. Ekonomi buruk karena hukum tidak berfungsi. Hukum tidak berfungsi karena petugas hukum dapat disogok. (2) A adalah orang yang jujur. Itu terbukti dari ucapan-ucapannya sendiri kemarin. 12. Sesat pikir karena terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab sehingga jawaban tak sesuai dengan pertanyaan Ketika seseorang menerima banyak pertanyaan dan tak sempat mencermati pertanyaan itu satu per satu, ia bisa saja menjawab sekenanya sehingga terjadi kekeliruan dalam penalarannya. Argumentasi yang dibangunnya menjadi sesat pikir. Sesat pikir jenis ini menghasilkan kesimpulan yang tak jelas dan tak berkaitan dengan alasan yang digunakan. Umpamanya, seorang polisi ditanya oleh banyak wartawan setelah peristiwa meledaknya bom di sebuah hotel, lalu menjawab bahwa pelakunya adalah orang-orang yang anti NKRI dan ingin menjatuhkan pemerintahan tanpa ada bukti dan tak ada koherensi dalam argumentasinya. 13. Kesimpulan tak relevan. Sesat pikir kesimpulan tak relevan adalah argumentasi yang kesimpulannya tidak sejalan dengan alasannya, misalnya (1) Rumah di ujung jalan itu sering kemalingan karena warna catnya hijau. (2) Orang tua lebih tahu dan lebih pintar dari anak-anaknya karena anak-anak itu dilahirkan orang tuanya.
107
14. Makna ganda (equivocation) Sesat pikir makna ganda adalah argumen yang menggunakan term yang bermakna ganda sehingga kesimpulannya tidak jelas dan dapat diubah-ubah berdasarkan pemaknaan terhadap term itu. Argumentasi dengan makna ganda merupakan sesat pikir karena makna kata dapat dipilih untuk maksud-maksud tertentu. Perhatikanlah contoh berikut. Politisi yang dituduh menjelek-jelekkan presiden itu diamankan oleh pemerintah sebab jika dibiarkan akan mengganggu stabilitas keamanan. Oleh karena itu, pemerintah tidak melanggar HAM. Kata diamankan dapat berarti ‘ditangkap’, ‘dipenjarakan’, atau ‘dilarang berbicara di muka umum’. Contoh kata lain yang bermakna ganda ialah ditindak yang dapat berarti ‘dipukuli’, ‘ditangkap’ atau ‘ditembak’. 15. Makna ganda ketata-bahasaan (amphiboly) Sesat pikir dapat juga terjadi karena argumentasi yang dikemukakan menggunakan term-term yang bermakna ganda jika dilihat dari tata bahasa, misalnya kata mata yang dapat digunakan dengan makna yang lain seperti dalam matahari, mata kuliah, mata sapi, mata hati, mata kaki, dan mata-mata. Berikut ini contoh argumentasi yang merupakan sesat pikir makna ganda ketata-bahasaan. Diri seseorang tercermin dari hatinya. Hati yang baik mencerminkan diri yang baik. Hati yang buruk mencerminkan diri yang buruk. Kata hati dalam argumentasi di atas dapat bermakna ganda. Term hati di situ tidak merujuk kepada organ hati, melainkan kepada perasaan, intuisi, atau nurani. Argumentasi itu menjadi sesat pikir karena hati yang dimaksud tak dapat dikenali secara jelas merujuk kepada objeknya sehingga tak dapat dibuktikan benar atau salah. Argumentasi yang dicontohkan di atas tidak bermakna karena proposisi-proposisinya tidak jelas maknanya. 16. Sesat pikir karena perbedaan logat atau dialek bahasa Sesat pikir dapat terjadi karena adanya perbedaan logat atau dialek bahasa atau cara menamai sesuatu tetapi perbedaan itu tidak disadari. Sebagai contoh, mobil di Medan disebut motor dan motor dinamakan kereta, sedangkan di Jakarta kereta berarti ‘kereta api’. Perbedaan ini dapat menghasilkan sesat pikir jika tidak diklarifikasi.
108
17. Kesalahan komposisi Sesat pikir kesalahan komposisi adalah argumentasi yang memperlakukan kebenaran pada bagian sebagai kebenaran keseluruhan. Dalam membuat keputusan, misalnya, manusia sering kali dirugikan oleh perasaan, lalu disimpulkan bahwa perasaan pasti merugikan manusia. Intinya, benar pada bagian dianggap benar pada keseluruhan. 18. Kesalahan divisi Sesat pikir kesalahan divisi adalah argumen yang serta-merta menyimpulkan bahwa karakteristik dari keseluruhan pasti ada pada bagian-bagiannya. Dalam sesat pikir ini, kebenaran keseluruhan dianggap sebagai kebenaran pada bagian-bagiannya. Umpamanya, manusia adalah makhluk yang berpikir, oleh karena itu kaki dan tangan manusia pun berpikir. 19. Generalisasi tak memadai Sesat pikir generalisasi yang tak memadai adalah argumentasi yang kesimpulannya didasarkan pada data atau fakta yang tak memadai. Misalnya, generalisasi berdasarkan sampel yang terlalu kecil atau menggunakan sampel tertentu untuk membuat kesimpulan tentang populasi yang berbeda. 9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif4 Kesalahan-kesalahan yang dibahas di pasal ini merupakan ringkasan dari jenis-jenis kesalahan yang dapat terjadi dalam pengambilan kesimpulan secara induktif. Kesalahankesalahan itu sering disebut dengan nama yang cukup umum dalam percakapan sehari-hari mengenai argumen induktif dan statistik. Namun perlu diingat bahwa memberi nama pada jenis-jenis kesalahan dalam suatu argumen tidak sama dengan menganalisis dan mengevaluasi argumen itu. Tidak semua orang tahu nama kesalahan. Selain itu, nama kesalahan juga tidak selalu digunakan secara tepat dan konsisten. Anda harus selalu siap memberikan kritik dengan cara melakukan teknik-teknik rekonstruksi dan evaluasi yang telah dijelaskan pasal-pasal sebelumnya. Jika Anda menyebutkan bahwa suatu argumen mengandung kesalahan tertentu, Anda harus siap untuk menjelaskan apa arti nama kesalahan yang Anda sebutkan itu, dan untuk menunjukkan letak premis atau kesimpulan yang patut dipertanyakan. 4 Pasal tentang kesalahan umum dalam penalaran induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A. Wirawan.
109
9.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif Kita tahu banyak hal tentang dunia ini. Dari semua pengetahuan yang kita miliki, sebagian besar kita peroleh dari pengalaman dan dokumentasi mengenai pengalaman orang lain. Tanpa pengetahuan empiris, kita tidak mungkin bertahan hidup. Pada akhirnya, kita mendasarkan pengetahuan empiris kita pada penalaran induktif. Untungnya, dunia kita cukup seragam dan tearatur sehingga pengetahuan yang kita peroleh dengan cara ini cukup kokoh. Misalnya, kita tahu bahwa kita tidak dapat terbang ke luar angkasa, bahwa roti yang kita makan tidak bisa tiba-tiba berubah menjadi kodok, bahwa tanah yang kita injak akan tetap diam di bawah kaki kita. Ini semua adalah bagian dari dunia yang kita kenal baik. Deduksi memungkinkan kita memastikan kebenaran pengetahuan kita hanya jika kita yakin akan kebenaran premis-premisnya. Informasi yang terdapat dalam kesimpulan deduksi tidak melampaui informasi yang terdapat dalam premis-premis asal kesimpulan itu. Pada akhirnya, agar dapat mendukung premis-premis dalam argumen deduktif dan untuk menambah informasi empiris kita, kita harus mengandalkan induksi. Kita tidak perlu menolak suatu kesimpulan induktif semata-mata karena buktibuktinya tidak dapat menjamin kebenaran kesimpulan itu. Jaminan memang bukan karakteristik induksi, dan kita jangan menilai argumen induktif dengan standar deduktif. Kita jangan terlalu skeptis dalam menghadapi suatu argumen induktif, cukup kalau kita menerapkan keraguan yang masuk akal (reasonable doubt). Batasan suatu keraguan yang masuk akal tergantung pada konteks argumen, dan terutama pada konseksuensi dari diterima atau ditolaknya kesimpulan dari argumen itu. Standar keraguan yang masuk akal dalam menerima suatu gosip yang tidak berbahaya, atau bertaruh kecil-kecilan pada balap kuda, jangan dibuat setinggi standar pada saat memutuskan apakah seseorang bersalah dalam suatu pengadilan kriminal. Jadi, jika kita sudah secara berhati-hati mengevaluasi bukti-bukti dalam suatu argumen dan telah mempertimbangkan hipotesis-hipotesis rival yang paling mungkin, dan jika argumen itu lolos semua tes yang kita lakukan, maka kita boleh menerima kesimpulannya. Jika kita mau, kita dapat mengawali pernyataan kita dengan kata-kata seperti sejauh pengetahuan saya atau kecuali ada tambahan bukti yang bertentangan. Dengan melakukan hal itu, tidak ada orang yang dapat mengatakan pemikiran kita salah. Mereka boleh saja mengkritik kita karena telah mengabaikan hipotesis rival yang mungkin atau karena kurang banyak mempertanyakan bukti yang ada. Tetapi kita tidak dapat dituduh
110
melakukan penalaran yang buruk ketika kita menarik suatu kesimpulan yang didukung dengan baik namun tidak dijamin oleh premis-premisnya. Jika ada yang mengkritik kita dengan mengatakan bahwa kita telah melakukan penalaran yang buruk, maka kritik itu sendiri sudah merupakan pemikiran yang buruk. Harus dicamkan bahwa menilai induksi dengan standar deduksi adalah suatu kesalahan. Standar itu tidak mungkin dicapai. Jika kita terus mengikuti standar itu, kita tidak akan pernah memiliki banyak pengetahun yang dapat kita yakini. Satu latihan yang baik agar kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan ini adalah dengan memikirkan kembali keyakinan-keyakinan yang kita miliki. Kita akan mendapati bahwa kebanyakan dari keyakinan kita tidak didukung oleh argumen deduktif yang baik dan kuat. Keyakinan-keyakinan itu belum terbukti sepenuhnya, tetapi kita tetap bertindak atas dasar itu dengan cukup percaya diri. Tuntutan yang keterlaluan biasanya muncul ketika kita menilai pernyataan orang lain. Ini adalah kesalahan yang umum pada orang yang baru belajar logika. Kesalahan ini dapat menyangkut penalaran induktif apa pun, dan dari jenis yang mana pun. Kesalahan-kesalahan induktif yang akan dibahas selanjutnya dalam pasal ini akan berlaku lebih spesifik.
Latihan 8.1 (Mendukung Pernyataan dengan Deduksi dan Induksi) 1. Sebutkan lima pernyataan penting tentang dunia yang Anda yakini kebenarannya tanpa keragu-raguan, tetapi yang Anda yakin tidak dijamin dengan penalaran deduktif. 2. Untuk masing-masing pernyataan berikut, jika Anda yakin bahwa pernyataan itu benar, sebutkan apakah Anda akan membuat argumen yang mendukungnya dengan dasar deduksi atau induksi, dan gambarkan secara singkat bagaimana Anda membuat argumen itu. Sebaliknya, jika Anda yakin pernyataan itu salah, pilih dan buatlah argumen untuk negasi dari pernyataan tersebut. Jika Anda merasa bahwa pernyataan itu tidak benar dan tidak salah, jelaskan mengapa. (1) Ratu Inggris adalah seorang perempuan. (2) Paus Yohanes Paulus menentang aborsi. (3) Sinterklas benar-benar ada.
111
9.2 Kesalahan Generalisasi 9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan Kecelakaan) Kesalahan ini merupakan kesalahan yang sering dilakukan. Kita seringkali senang “merapikan” dunia dengan memasukkannya dalam kategori-kategori dan menggeneralisasi pengalaman kita. Namun generalisasi harus dilakukan dengan berhati-hati. Bahkan generalisasi dalam ilmu pengetahuan yang dibuat dengan sangat hati-hati pun sering kali salah. Karena bukti-bukti dalam suatu argumen induktif sejalan dengan lebih dari satu kesimpulan, kita menarik kesimpulan yang lebih lemah atau lebih kuat, atau bahkan kesimpulan yang bertentangan, berdasarkan bukti yang sama. Kesimpulan mana yang kita tarik tergantung pada interpretasi kita mengenai data dan sejauh mana kita berhati-hati. Kita melakukan kesalahan generalisasi yang terburu-buru jika kita memilih untuk menarik kesimpulan yang umum dari data yang kurang. Kita juga melakukan kesalahan yang sama jika kita membuat generalisasi yang lebih kuat atau lebih luas daripada yang diijinkan oleh bukti-bukti yang ada, atau membuat generalisasi dari informasi yang tidak lengkap. Kesalahan itu merupakan akibat dari pembuatan generalisasi berdasarkan bukti yang tidak cukup, tidak lengkap, atau bias. Perhatikanlah contoh berikut. (1) Ya, saya tahu Mike baru dioperasi. Tapi itu, ‘kan, sudah lebih dari sebulan yang lalu, dan dia tentunya sudah sembuh sekarang. Masalahnya adalah dia seharusnya menyerahkan laporannya sekarang. Ini cukup menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah dapat mengandalkan Mike untuk melakukan pekerjaannya dengan benar. (2) Saya sudah bertemu dengan hampir setengah dari anggota perkumpulan itu waktu saya mau mendaftar di sana. Semuanya pemabuk dan memakai “obat.” Ya, saya yakin mereka semua pasti seperti itu. Makanya, kamu jangan banyak bergaul dengan Sam. Dia, ‘kan, anggota perkumpulan itu. Dalam masing-masing contoh itu, si pembicara menarik kesimpulan yang tidak tepat. Pada contoh (1), si pembicara menggeneralisasi bahwa berdasarkan satu kesalahan yang dilakukan Mike kita tidak akan pernah dapat mengandalkannya. Ini saja sudah merupakan generalisasi yang terburu-buru. Namun seandainya si pembicara mempunyai lebih banyak contoh mengenai ketidakbertanggungjawaban Mike pun, kesimpulannya tetap tidak tepat karena dia tidak memperhatikan kondisi Mike. Dia tahu bahwa Mike baru dioperasi, tapi tidak mencari tahu apakah Mike mengalami komplikasi yang memperlama masa penyembuhannya. Ini merupakan informasi yang relevan, dan si pembicara seharusnya tidak 112
menarik kesimpulan mengenai keterandalan Mike dengan informasi yang tidak lengkap. Dia belum mengetahui semua faktanya. Pada contoh (2), hampir setengah populasi memang merupakan sampel yang cukup besar untuk mengambil kesimpulan mengenai perkumpulan itu. Tetapi si pembicara menggeneralisasi semua anggota perkumpulan itu pemabuk dan pemakai “obat.” Ini penting karena dia lalu mencela anggota lain berdasarkan kesimpulan ini. Jelas bahwa pernyataan universal mengenai semua anggota tidak tepat. Kesimpulan ini terlalu kuat, walaupun sampelnya cukup besar. Terlebih lagi, dia bertemu dengan anggota yang mengurus pendaftaran. Ini mungkin merupakan informasi yang relevan. Orang-orang ini mungkin melebih-lebihkan kebiasaan mereka agar dapat menarik perhatian calon anggota baru. Jadi, bukti yang didasarkan pada perilaku anggota yang sedang melakukan rekrutmen mungkin kurang dapat diandalkan. Si pembicara seharusnya tidak menggunakannya untuk melompat ke kesimpulan yang universal.
Menanggapi Generalisasi yang Terburu-buru Cara terbaik untuk mengalahkan generalisasi yang terburu-buru adalah dengan menemukan bukti yang berlawanan atau argumen yang berlawanan untuk menunjukkan bahwa kesimpulan si pembicara salah. Generalisasi universal merupakan generalisasi yang paling mudah digugurkan. Tetapi bukti yang berlawanan tidak selalu tersedia, dan orang yang melakukan generalisasi yang terburu-buru sering kali menolak bukti yang berlawanan itu jika generalisasi yang mereka lakukan tidak universal (tetapi terburu-buru). Jadi, kita harus mencoba meyakinkan si pembicara bahwa kesimpulannya tidak tepat dengan cara mengomentari kesalahan bukti atau sampelnya yang bias. Kita mungkin perlu mengajarinya mengenai bagaimana membuat kesimpulan yang lebih tepat atau yang lebih lemah. Lalu kita dapat mengajaknya menerima kesimpulan yang lebih lemah berdasarkan bukti yang ada, kemudian menunjukkan bahwa ada alternatif kesimpulan lain yang mungkin benar. Jika kesimpulannya sama sekali mengawur, proses yang gradual ini mungkin dapat membantu kita mengajaknya meninggalkan kesimpulan itu. 9.2.2 Kesalahan Kecelakaan Kita
hidup
berdasarkan
aturan
dan
generalisasi
yang
mengatur
perilaku
kita,
mengorganisasikan pengalaman kita, dan membantu kita meringkas pengetahuan kita. Tetapi generalisasi sering kali mempunyai kekecualian. Bahkan hukum yang paling tepat pun
113
mempunyai batas-batas penerapan, dan untuk menentukan kapan hukum itu dapat diterapkan dan kapan tidak, dibutuhkan keterampilan profesional. Kesalahan ini muncul ketika suatu prinsip umum salah diterapkan pada contoh atau situasi yang sebenarnya tidak termasuk dalam prinsip umum tersebut. Si pembicara menerapkan generalisasi atau aturan secara salah supaya kesimpulannya yang kurang tepat dapat diterima, atau untuk memaksakan kepatuhan pada aturan itu. Si pembicara sering kali menganggap bahwa aturan atau prinsip itu tanpa kekecualian dan menolak, untuk mempertimbangkan bahwa mungkin ada kasus yang sangat luar biasa sehingga jatuh di luar jangkauan prinsip itu. Sebagian orang menganggap ini merupakan kebalikan dari kesalahan generalisasi yang terburu-buru. Generalisasi yang terburu-buru bergerak dari kasus yang tidak umum atau tidak representatif ke generalisasi yang tidak tepat. Kesalahan kecelakaan menerapkan suatu generalisasi pada kasus yang tidak umum atau “kecelakaan” yang sebenarnya tidak termasuk dalam generalisasi itu. Kesalahan ini dapat terjadi, baik pada argumen deduktif maupun induktif. Perhatikanlah contoh berikut. (1) Begini, Bu. Saya tahu anak Ibu berusia 12 bulan. Tapi aturan di bioskop ini jelas. Tidak ada orang yang berusia di bawah 18 tahun yang boleh menonton film untuk orang dewasa. Jadi, Ibu lebih baik pulang saja. (2) Orang tua sebaiknya tidak menipu anaknya dengan mengatakan hal-hal yang tidak benar. Jadi, Anda bersalah jika mengatakan pada anak Anda bahwa Sinterklas membawa hadiah untuk mereka sementara sebenarnya Andalah yang membeli hadiah itu. Dalam masing-masing kasus di atas, si pembicara menerapkan prinsip umum pada kasus kekecualian yang sebenarnya tidak termasuk. Pada contoh (1), kita tahu bahwa larangan menonton film orang dewasa berlaku bagi anak-anak di bawah umur yang sudah bisa menonton film dan yang mungkin mendapat pengaruh buruk dengan melihat film itu. Bayi sebenarnya tidak termasuk di dalamnya, tetapi si penjaga bioskop memberlakukan aturan itu secara kaku. Berdasarkan penerapan aturan secara salah, dia mengambil kesimpulan yang tidak tepat, yaitu bahwa ibu itu harus pergi dengan bayinya. Pada contoh (2), aturan moral yang melarang kita untuk berbohong diterapkan secara salah pada mitos anak-anak tentang Sinterklas. Kita memperkaya hidup kita dengan mitos, permainan, cerita, dan drama. Kita biasanya tidak menerapkan prinsip bahwa berbohong itu salah pada fiksi anak-anak yang menyenangkan. Namun, si pembicara bersikukuh
114
melakukannya. Dia menerapkan prinsip yang baik pada kasus yang tidak tepat. Kesalahan ini sering kali dilakukan oleh orang yang dogmatis dan birokrat.
Menanggapi Kesalahan Kecelakaan Sayangnya, orang yang melakukan kesalahan ini mungkin akan bersikeras dan tidak mau mendengarkan penjelasan kita. Tanggapan terbaik adalah mencoba membuat si pembicara paham bahwa aturan atau prinsip itu sengaja dibuat samar-samar. Kebanyakan aturan atau hukum tidak dapat mencakup semua keadaan yang mungkin terjadi. Pembuat hukum memperhitungkan hal ini dengan cara sengaja menyediakan ruang untuk interpretasi si penerap hukum pada waktu membuat hukum tertulis. Kemudian kita dapat mencoba membuat si pembicara memahami tujuan yang diinginkan oleh aturan tersebut. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan bahwa dia menghalangi dicapainya tujuan itu, atau dia menghalangi dicapainya tujuan lain yang lebih penting, jika dia bersikeras menerapkan aturan itu secara salah. Untuk itu mungkin Anda perlu mengemukakan prinsip lain yang lebih tinggi, yang tujuannya harus didahulukan daripada tujuan aturan yang diperdebatkan. Cara lain adalah mencoba menemukan situasi yang sangat tidak umum sehingga dia terpaksa menerima kekecualian untuk aturannya. Misalnya, si pembicara memegang prinsip bahwa orang harus menghindari obat terlarang, khususnya morfin. Ajukan kasus seseorang yang jantungnya harus dioperasi: apakah pasien itu tidak boleh mendapatkan morfin sebagai obat bius? Jika dia setuju bahwa morfin boleh dipakai dalam kasus itu, kita dapat mulai mendiskusikan kapan aturan itu dapat diterapkan dan kapan tidak. Ini adalah sebuah langkah besar. Jika hal itu sulit dilakukan, carilah contoh aturan lain yang disetujuinya—tetapi ada kekecualiannya yang jelas—yang pasti akan diterimanya. Ini dapat menunjukkan kepadanya melalui analogi bahwa dalam aturan yang begitu keras dipegangnya itu pun mungkin ada kekecualian. Jika dia tidak mengakui adanya kekecualian pada aturan mana pun, menyerahlah!
Latihan 9.2 (Kesalahan Generalisasi) Untuk masing-masing soal berikut ini, coba cari si pembicara ingin membujuk kita untuk meyakini apa? Lalu jelaskan apakah ada kesalahan dalam soal itu dan apa kesalahannya. Akhirnya, sebutkan nama kesalahan yang terjadi. 115
1. Saya sudah minta Dorothy pergi dengan saya dua kali. Dia selalu menolak dengan mengatakan bahwa dia ingin pergi dengan teman-teman kelas baletnya. Jelaslah bahwa dia dan teman-teman baletnya tidak suka dekat-dekat dengan laki-laki. 2. Jelas bahwa sebagian besar orang California setuju dengan aborsi. Pada survei di daerah perumahan West Hollywood, 89% menjawab bahwa perempuan seharusnya punya hak untuk meminta aborsi, dan negara harus menyediakan dana bagi perempuan yang tidak mampu membayar. 3. Memang benar, Pak. Saya tahu istri Bapak sakit dan Bapak merasa harus mengemudi dengan cepat sampai-sampai melanggar batas kecepatan maksimal. Tetapi tugas saya adalah menegakkan hukum. Hukum kita jelas. Jadi, saya terpaksa menilang Bapak karena mengebut. Tolong tanda tangani formulir tilang ini, Pak, lalu Bapak boleh pergi. Istri Bapak kelihatannya sudah parah. 9.3 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah 9.3.1 Kesimpulan Yang Tidak Relevan Kesalahan karena kesimpulan yang tidak relevan muncul ketika orang menarik kesimpulan yang salah dari bukti yang ada. Biasanya bukti yang ada itu dapat digunakan untuk mendukung kesimpulan yang berhubungan atau mirip, sehingga kesalahan ini sulit dilacak. Walaupun dapat terjadi, baik dalam penalaran deduktif maupun penalaran induktif, kesalahan ini lebih sering muncul pada penalaran induktif karena konteksnya lebih rumit sehingga kita lebih mungkin menarik kesimpulan yang salah. Perhatikanlah contoh kasus berikut ini. (1) Buktinya jelas. Mark selalu bekerja keras. Dia adalah seorang pemuda yang tegas dan cinta tanah air. Dia sopan, tulus, dan tidak pernah berpikiran buruk tentang orang lain. Jadi, dia pasti cocok masuk ke fakultas kedokteran. (2) Masyarakat Amerika pasti senang dengan pemerintah yang sekarang. Lima puluh lima persen responden kami menjawab “Ya” ketika ditanya “Apakah Anda merasa lebih sejahtera sekarang daripada empat tahun yang lalu?” Dalam masing-masing kasus, si pembicara menarik kesimpulan yang sangat tidak relevan dengan bukti yang tersedia. Pada contoh (1), karakteristik pribadi Mark yang disebutkan sebagai bukti mungkin membuat Mark termasuk kategori orang baik, tapi tidak cukup dan bahkan tidak perlu untuk membuatnya calon mahasiswa kedokteran yang berhasil. Jika kita tidak mempunyai bukti tentang nilai dan bakat Mark di bidang kedokteran, kita jangan menerima ajakan si pembicara untuk menarik kesimpulan yang salah. 116
Pada contoh (2), tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang ada. Pertama, kata senang merupakan kesimpulan yang buruk jika tidak tercakup di dalam pertanyaan survei. Kedua, kalaupun pertanyaan survei itu “Apakah Anda merasa lebih senang…,” term itu tetap terlalu luas untuk digunakan. Yang lebih parah lagi, kita tidak tahu siapa yang menjadi percontoh survei itu. Siapa tahu, mereka adalah keluarga presiden semua, sementara si pembicara membuat pernyataan tentang seluruh masyarakat. Walaupun informasinya dapat diandalkan dan percontohnya baik, kita sebaiknya tidak menarik kesimpulan mengenai seorang individu berdasarkan jawaban kuesioner. Bukti ini hanya dapat menjamin satu kesimpulan, yaitu bahwa 55% dari populasi yang diwakili oleh sampelnya yang menjawab “Ya” atas pertanyaaan yang diajukan itu. Singkatnya, kesimpulannya sama sekali tidak relevan dengan premisnya. Menanggapi Kesalahan Kesimpulan yang Tidak Relevan Kalau kita dapat mengidentifikasi adanya kesalahan itu dalam suatu argumen, tanggapannya mudah. Kita tinggal berkeras bahwa si pembicara tetap pada buktinya. Jika dia ingin kita menerima kesimpulannya, dia harus memberikan argumen. Dengan melakukan kesalahan ini, berarti dia tidak memberikan argumen yang logis. Masalahnya adalah bagaimana mengidentifikasi kesalahan ini. Satu-satunya cara agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan ini adalah dengan melatih ketelitian dalam menilai bukti.
9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan Kesalahan karena bukti yang ditahan terjadi ketika pembicara menarik kesimpulan yang tidak tepat dengan mengabaikan, menahan, atau meminimalkan derajat pentingnya suatu bukti yang
bertentangan
dengan
kesimpulan.
Kesalahan
ini
tidak
hanya
mencakup
disembunyikannya suatu bukti secara sengaja supaya kesimpulannya diterima, tetapi juga yang tidak disengaja. Kasus tidak sengaja sering terjadi ketika keyakinan sudah sedemikian kuatnya sehingga kita menolak mempertimbangkan bukti apa pun yang mungkin bertentangan. Kesalahan ini juga termasuk tidak ditelitinya berbagai sudut pandang dari sebuah topik sehingga kesimpulan ditarik secara tidak adil bagi pihak-pihak tertentu. Perhatikanlah contoh berikut. (1) Tidak ada orang waras yang akan mau tinggal di San Fransisco. Di situ banyak kabut dan lembab. Lalu tempatnya berbukit-bukti curam sehingga menyetir menjadi berbahaya sekali. Belum lagi gempa bumi yang selalu siap
117
menyerang. Jadi, jelas bahwa sama sekali tidak ada alasan mengapa orang akan senang tinggal di San Fransisco. (2) Frank, kita akan menghadapi jaksa penuntut yang keras. Kita akan kalah kalau dia tahu bahwa ada saksi yang melihat perampokan ini. Kita memang sudah tahu, tapi itu tugas dia untuk mencari tahu. Jadi, argumen kita tidak akan menyinggung-nyinggung kemungkinan adanya saksi mata, ya? Pada contoh (1), si pembicara, baik sengaja ataupun tidak, hanya berfokus pada aspek yang tidak menyenangkan dari San Fransisco. Jika memang cuma itu yang ada di San Fransisco, maka dia mempunyai argumen yang kuat. Tetapi dia tidak mempertimbangkan kelebihan hidup di San Fransisco. Dari akal sehat saja kita tahu bahwa tidak mungkin kota itu hanya mempunyai kejelekan melulu. Jadi, kita belum dapat menerima kesimpulannya; kita masih membutuhkan informasi lebih lanjut untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang lebih tepat. Pada contoh (2), si pengacara menyatakan bahwa dia akan menahan suatu bukti. Orang mungkin berpikir bahwa argumen apa pun yang dihasilkan dalam kondisi seperti ini pasti mengandung kesalahan bukti yang ditahan. Tetapi dalam sistem peradilan kita, hal itu tidak salah. Jaksa penuntut harus membuktikan kesalahan terdakwa. Tugas mereka adalah mengumpulkan bukti-bukti. Jika si pengacara mengungkapkan bukti yang memberatkan kliennya, maka si pengacara justru telah melanggar kewajibannya terhadap kliennya. Maka, dalam keadaan ini, si pengacara tidak bersalah menahan bukti. Menanggapi Kesalahan Bukti yang Ditahan Dalam situasi yang kooperatif, lebih baik kita mengajukan semua bukti yang relevan sehingga suatu kesimpulan yang logis dapat ditarik. Untuk memperoleh kebenaran, memang diperlukan semua bukti yang relevan. Dalam situasi seperti ini, bukti yang tertahan lebih mungkin merupakan akibat kecerobohan dan sudut pandang yang terlalu sempit. Diskusi yang jujur, terbuka, dan terstruktur biasanya dapat menunjukkan hal apa yang masih terlewat. Memang sulit sekali untuk tetap rasional tanpa terpengaruh oleh emosi pada saat bertentangan pendapat dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam situasi demikian, kita harus berusaha mempertanyakan pandangan kita sendiri. Kita harus berusaha keras menemukan bukti yang bertentangan yang mungkin dapat menggugurkan kesimpulan kita. Kita juga harus mencoba menemukan argumen yang paling kuat yang mendukung sudut pandang lawan kita. Usaha ini dapat membantu memastikan bahwa tidak ada bukti yang tertahan dan penalaran yang salah dapat diminimalkan. 118
9.4 Kesalahan Statistikal Metodologi statistik dikembangkan terutama untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang dibahas di sini. Jadi, kemungkinannya kecil bahwa seorang ahli statistik yang kompeten dan profesional akan melakukan kesalahan ini. Namun, dunia adalah suatu tempat yang rumit. Dan bahkan seorang profesional yang sangat berhati-hati pun kadang-kadang tanpa sengaja mengabaikan kondisi yang sebenarnya membuat data mereka menjadi bias atau menarik kesimpulan yang melampaui data yang ada. Kesalahan ini lebih umum dibuat dalam penelitian yang dilakukan oleh para amatiran atau mereka yang kekurangan dana sehingga tidak dapat melakukan penelitian secara mendetil. Kesalahan ini pun sering muncul dalam argumen sehari-hari, yaitu yang mengambil kesimpulan secara terburu-buru dari pengalaman pribadi saja. Dalam usaha kita untuk memahami dunia, kita sering kali kurang teliti. Dua kesalahan pertama dari tiga yang akan kita bahas sering disebut kesalahan pemercontohan (sampling error). 9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias) Kesalahan ini dilakukan ketika data yang digunakan untuk menarik kesimpulan statistik diambil dari sampel yang tidak representatif terhadap populasi. Ahli statistik profesional mencoba menghilangkan bias ini melalui pemercontohan acak (random sampling) dan teknik pemercontohan lain. Percontoh yang tidak dipilih secara acak merupakan percontoh yang bias dan tidak dapat digunakan untuk menarik kesimpulan mengenai populasi. (1) Kami yakin bahwa kebanyakan akademisi akan lebih senang jika mereka mempunyai akses ke komputer pribadi mereka dari universitas. Kesimpulan ini kami dapatkan karena 90% dari responden kuesioner yang kami sebarkan melalui e-mail menjawab “Ya” atas pertanyaan, “Apakah Anda akan lebih senang jika ada komputer pribadi di kantor Anda?” (2) Waktu saya di Paris, saya hampir selalu diperlakukan dengan kasar oleh pelayan ketika makan di restoran. Ya, orang Perancis memang sangat kasar pada orang Amerika. Saya sangat tidak menyarankan kamu berlibur ke Perancis musim panas ini. Semua argumen pada contoh di atas kelihatannya didasarkan pada prosedur penelitian yang sangat amatir. Kesimpulannya ditarik berdasarkan percontoh yang sangat bias. Pada contoh (1), sampelnya bias karena tidak semua akademisi mempunyai e-mail. Jadi, tidak semua akademisi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Selain itu, akademisi yang menggunakan e-mail kemungkinan besar akan bias ke arah menyukai akses 119
komputer yang lebih banyak. Jadi, sampel berupa pengguna e-mail tidak representatif untuk semua akademisi. Kesimpulan ini seharusnya diperlemah menjadi populasi akademisi pengguna e-mail saja. Pembicara pada contoh (2) melakukan kesalahan berupa perumusan argumen yang lebih didasarkan pada prejudis dan emosi pribadi daripada penalaran. Kesimpulannya tentang semua orang Perancis didasarkan pada percontoh sejumlah pelayan Paris yang melayaninya di restoran. Percontoh ini bias dalam beberapa aspek. Pertama, sebagian dari populasi orang Perancis, misalnya yang bukan penduduk Paris, tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi sampel. Kedua, percontoh ini bias, bahkan untuk penduduk Paris sekalipun karena tidak semua penduduk Paris menjadi pelayan, dan otomatis tidak termasuk sampel. Karena kita tidak tahu batasan perilaku yang kasar menurut pembicara, dan kita juga tidak tahu di restoran seperti apa dan bagaimana perilaku si pembicara sendiri ketika dia memperoleh data itu, maka sampelnya sama sekali tidak berguna, bahkan untuk populasi pelayan Paris. Akhirnya, karena kita tidak tahu berapa banyak pelayan yang kasar kepadanya, sampelnya bisa saja terlalu kecil. Dan ini mengarahkan kita ke kemungkinan sumber kesalahan pemercontohan (sampling) berikutnya. 9.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Statistik yang Tidak Cukup) Kesalahan ini terjadi ketika pembicara menggunakan sampel yang terlalu kecil sehingga kesimpulannya tidak dapat dipercaya. Kesalahan ini juga terjadi ketika kesimpulannya sangat dipercayai sementara ukuran sampelnya sedang-sedang saja. Dalam penelitian statistik yang profesional, ukuran sampel ditentukan sedemikian rupa untuk mengurangi batas kesalahan yang mungkin terjadi pada kesimpulan. Dalam situasi sehari-hari, sampel yang besar biasanya membantu mengurangi kemungkinan bias. Makin banyak observasi yang kita lakukan, makin kecil kemungkinan observasi yang kita lakukan menjadi bias. Tetapi kita sering kali terlalu tidak sabar dan ceroboh sehingga tidak menarik kesimpulan hanya dengan sampel yang tidak cukup besar dan bias, melainkan juga berdasarkan bukti yang terlalu sedikit. Di pihak lain, kita sering kali terpaksa membuat keputusan secara cepat sementara kita tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan penelitian yang mendalam. Kita harus bertindak berdasarkan informasi yang ada. Dalam situasi seperti itu, hal yang terbaik adalah bertindak berdasarkan informasi yang kita miliki walaupun tidak lengkap. Hanya saja harus disadari bahwa kesimpulan kita itu sangat mungkin lemah. Perhatikanlah contoh berikut.
120
(1) Saya bertemu Larry kemarin, dan dia sangat menyebalkan. Dua kali saya mencoba bercakap-cakap dengannya, dan dia selalu cemberut dan menggerutu. Kemudian ketika saya mengajukan satu pertanyaan kepadanya, dia mengabaikan saya dan pergi. Jelas bahwa kepribadiannya sangat tidak menyenangkan. Saya tidak mau berurusan apa pun dengannya lagi.
(2) Saya bertemu Larry hari ini, dan dia menyebalkan. Dua kali dia bersikap kasar kepada saya, dan pada kesempatan ketiga dia mengabaikan saya ketika saya mengajukan satu pertanyaan kepadanya. Mungkin dia sedang tidak enak hati. Jadi, saya tidak akan mendekatinya lagi hari ini. Tetapi saya perlu bantuannya segera, jadi saya akan coba lagi besok, mungkin mood-nya sudah bagus. Saya akan mendekatinya dengan sangat hati-hati. Dia sedang punya masalah, ya? Atau dia memang selalu begitu? (3) Ya, penelitian ilmiah yang dilakukan para ahli dengan sampel anak-anak SD menunjukkan bahwa 95% dari kelompok uji kami ternyata lubang giginya lebih sedikit setelah menggosok gigi dengan Grit secara teratur. Jadi, pastikan bahwa anak-anak Anda menggunakan pasta gigi Grit.
Pada contoh (1), pembicara melakukan kesalahan yaitu menarik kesimpulan yang terlalu kuat berdasarkan sampel yang terlalu kecil. Tiga kali observasi atas perilaku seseorang tidak cukup untuk menarik kesimpulan mengenai populasi yang mencakup seluruh perilakunya secara umum. Karena observasinya berlangsung pada waktu yang sangat berdekatan dan dua kejadian yang pertama mungkin mempengaruhi yang ketiga, maka si pembicara juga mungkin melakukan kesalahan percontoh yang bias. Kesalahan pada contoh (1) menjadi jelas ketika kita membahas contoh (2). Di sini pembicara tidak menarik kesimpulan umum mengenai semua perilaku Larry. Dia membatasi kesimpulannya hanya pada populasi perilaku Larry hari ini. Dengan sampel yang ada, kesimpulannya lebih dapat dipercaya. Dan dia memang masih berencana untuk membuat lebih banyak observasi pada hari berikutnya. Karena dia perlu berinteraksi dengan Larry, dia menggunakan data-data yang sudah dimilikinya untuk membuat keputusan mengenai bagaimana dia harus berperilaku terhadap Larry di kemudian hari. Dia juga mencari informasi mengenai Larry untuk membantunya menginterpretasi hasil observasinya dan menarik kesimpulan yang lebih dapat dipercaya. Jadi, dia menarik kesimpulan yang tentatif atau yang lebih lemah dulu untuk menentukan bagaimana dia harus bertindak dan mencoba mengumpulkan lebih banyak data. Ini merupakan cara yang baik jika kita hanya mempunyai data yang terbatas dengan sampel yang tidak cukup sementara kita harus bertindak sebelum ada lebih banyak data.
121
Pada contoh (3), kita melihat jenis iklan yang cukup umum. Masalah pertama, si pembicara tidak memberi tahu ukuran sampelnya. Dengan asumsi bahwa adanya undangundang periklanan telah memaksa perusahaan itu benar-benar melakukan penelitian dan bukannya mengada-ada tentang data itu, kita tetap harus meragukan laporan hasilnya karena sangat mungkin kesimpulan ini didasarkan pada sampel yang tidak cukup besar dan yang telah dipilih supaya hasilnya menguntungkan perusahaan. 9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gambler’s Fallacy) Peristiwa yang terjadinya hanya secara kebetulan, misalnya hasil lemparan koin atau dadu, merupakan hal yang berdiri sendiri. Artinya, hasil lemparan suatu koin tidak mempengaruhi hasil lemparan berikutnya. Kita sudah melempar koin lima ratusan sepuluh kali misalnya, dan keluarnya selalu gambar garuda, meskipun sebenarnya probabilitas lemparan koin itu (yang tidak berat sebelah) menghasilkan gambar garuda dan gambar melati, masing-masing 0,50. Kesalahan penjudi mengabaikan kaidah probabilitas. Nama kesalahan ini berasal dari kepercayaan para penjudi, yaitu bahwa keberuntungan akan berbalik kepadanya jika dia sudah mengalami kesialan berturut-turut. Kesalahan ini terjadi ketika seseorang menyimpulkan bahwa suatu kejadian yang sebenarnya berdiri sendiri dipengaruhi atau probabilitas kemunculannya diubah oleh sederatan kejadian yang mendahuluinya. Perhatikanlah contoh berikut. (1) Joe sudah menebak 20 kali dengan benar. Kali ini, dia akan salah menebak. Saya akan bertaruh melawannya. (2) Kita menghadapi perampok yang cukup cerdik. Dia beraksi lima atau enam kali di satu tempat, lalu pindah ke kota lain. Ini adalah perampokannya yang keenam di San Diego. Setelah ini dia pasti beraksi di tempat lain. Dalam contoh (1), si pembicara melakukan kesalahan penjudi. Dua puluh kali menebak dengan benar memang jarang terjadi. Suatu saat Joe akan salah menebak kecuali dia main curang. Tetapi kemungkinan dia menebak benar atau salah pada lemparan dadu berikutnya tetap sama. Si pembicara melakukan kesalahan jika dia menyimpulkan bahwa Joe pasti akan salah kali ini, kalau pun Joe ternyata benar-benar salah menebak. Contoh (2) kelihatannya merupakan argumen yang baik. Si pembicara mengandalkan suatu keteraturan yang dilihatnya dalam perilaku kriminal si perampok. Dia mempunyai alasan yang cukup baik untuk meyakini bahwa enam perampokan yang telah terjadi di San Diego akan mempengaruhi tempat kejadian perampokan yang ketujuh. Jadi, dia tidak 122
melakukan kesalahan penjudi karena kejadian yang diprediksinya bukan kejadian yang tergantung pada kebetulan. Menanggapi Kesalahan Penjudi Satu-satunya tanggapan yang dapat dikemukakan untuk menghadapi orang yang melakukan kesalahan penjudi adalah mencoba mengajarinya tentang teori probabilitas. Kita dapat menggunakan pengalamannya yang sudah-sudah yang menyangkut kesalahan ini, tetapi kemungkinan besar perilakunya tetap tidak akan berubah. Jadi, hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah berhati-hati supaya jangan terpengaruh oleh argumen yang mengandung kesalahan penjudi.
Latihan 8.3 (Kesalahan Statistik dan Penggunaan Bukti secara Salah) Pada masing-masing soal berikut, tentukan si pembicara sedang mencoba mempengaruhi kita untuk menerima apa. Jelaskan kesalahan dalam soal itu, jika ada, dan sebutkan namanya. 1. Saya pernah mencoba makan seekor kerang. Terus terang saja, kawan, tidak akan pernah lagi, tidak akan pernah lagi. 2. Harapan hidup perempuan Amerika adalah 76 tahun. Harapan hidup laki-laki Amerika 72 tahun. Jadi, harapan hidup orang Amerika secara umum adalah 74 tahun. 3. Sudah ada jutaan orang yang meninggal, dan belum ada satu pun yang kembali untuk memberi tahu kita tentang kehidupan setelah mati. Jadi, tunggu saja, cepat atau lambat seseorang pasti akan datang kembali untuk memberi tahu kita tentang hal itu. 9.5 Kesalahan Kausal Jika terdapat hubungan kausal di antara dua kejadian X dan Y, ada tiga kasus yang mungkin, yaitu (1) X menyebabkan Y; (2) Y menyebabkan X; dan (3) X dan Y sama-sama disebabkan oleh Z. Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y, sementara sebenarnya Y yang menyebabkan X, maka kita melakukan kesalahan mengacaukan sebab dan akibat. Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y atau Y menyebabkan X, sementara yang benar ialah bahwa keduanya sama-sama disebabkan oleh Z, maka kita mengabaikan penyebab bersama. Kedua kesalahan ini kadang-kadang disebut kesalahan penyebab-gejala. Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y semata-mata berdasarkan fakta bahwa X mendahului Y, maka kita melakukan kesalahan penyebab yang salah (post hoc). 123
Penyebab sering kali dibedakan menjadi necessary condition atau sufficient condition bagi akibatnya. Jika kita salah menganggap suatu penyebab yang berupa necesarry condition dengan penyebab yang berupa sufficient condition, atau sebaliknya, maka kita telah mengacaukan necessary condition dengan sufficient condition.
9.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat Kesalahan ini terjadi ketika suatu hubungan kausal salah diinterpretasi. Si pembicara salah menginterpretasi bukti sehingga menyimpulkan bahwa Y disebabkan oleh X sementara sebenarnya Y-lah yang menyebabkan X, Kesalahan ini sering kali merupakan akibat dari interpretasi yang ceroboh atas bukti yang tersedia dan kemalasan untuk menyelidiki lebih lanjut sebelum menarik kesimpulan. Perhatikanlah contoh berikut. Jika Sam mulai minum, dia jadi tidak menyenangkan. Dia tidak gembira, ingin berhenti bekerja dan dia mengatakan dia tidak punya alasan untuk hidup. Sungguh, dia harus berhenti minum. Minum-minum membuatnya jadi orang yang depresi. Dalam contoh ini, korelasi antara minum-minum yang dilakukan Sam dengan ketidakgembiraannya belum menunjukkan bahwa minum-minumlah yang menyebabkan ketidakgembiraannya itu. Kemungkinannya sama besar bahwa karena tidak gembira dia minum-minum. Si pembicara perlu menyelidiki dan mencari bukti lebih lanjut untuk mencoret kesimpulan rival ini. Kesalahan ini lebih mudah dihindari jika akibatnya jelas terpisah dari sebab, dan timbulnya setelah sebab. Kita paling mungkin melakukan kesalahan ini ketika sebab dan akibatnya merupakan kondisi yang terjadi bersamaan atau ketika akibat timbul dalam jangka panjang. Situasi yang kompleks membutuhkan analisis yang hati-hati dan cermat sebelum kita dapat mengambil kesimpulan yang paling mungkin.
Menanggapi Kesalahan Mengacaukan Sebab dan Akibat Jika si pembicara hanya ceroboh dalam menilai bukti yang ada, kita cuma perlu menunjukkan kepadanya bahwa bukti yang ada juga dapat mendukung hubungan kausal yang sebaliknya. Lalu usulkan bahwa dia perlu melakukan penelitian lebih lanjut sebelum menarik kesimpulan. Jika dia menolak usulan itu dan mengajukan argumen kausal yang spekulatif untuk mendukung interpretasinya atas data yang ada, coba tunjukkan bahwa hubungan kausal yang diajukannya itu memang hanya spekulasi saja yang tidak didukung oleh data empiris.
124
Mintalah dia memberikan data empiris, lalu nilailah data yang diberikannya. Siapa tahu, mungkin kesimpulannya dapat diterima. 9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama Kesalahan karena mengabaikan penyebab bersama terjadi ketika seorang pembicara menyimpulkan bahwa X adalah penyebab Y sementara sebenarnya keduanya merupakan akibat dari sebab lain. Kesalahan ini dan pengacauan sebab dan akibat juga disebut kesalahan penyebab-gejala. Contoh berikut akan menunjukkan mengapa disebut demikian. Jimmy demamnya sangat tinggi. Itu yang menyebabkan wajahnya berbintik-bintik merah. Dalam contoh itu, si pembicara menyimpulkan bahwa demam Jimmy menyebabkan bintikbintik merah di wajahnya. Walaupun mungkin saja hal itu benar—karena memang ada orang yang kulitnya jadi berbintik-bintik merah jika dia demam—namun kesimpulan ini tidak dapat dipercaya tanpa bukti lebih lanjut. Jika Jimmy menderita cacar air, maka baik demam maupun bintik-bintiknya merupakan akibat atau gejala dari penyakit Jimmy. Jadi, sama seperti pada kesalahan mengacaukan sebab dan akibat, tanggapan kita selalu adalah bahwa kita membutuhkan lebih banyak bukti dan analisis dalam suatu situasi yang kompleks sebelum kita dapat mempercayai kesimpulan apa pun. Menanggapi Kesalahan Mengabaikan Penyebab Bersama Sama seperti pada kesalahan mengacaukan sebab dan akibat, kesalahan ini sering kali merupakan akibat dari kurang sadarnya pembicara bahwa hubungan dan kondisi kausal boleh jadi merupakan masalah yang rumit, dan bahwa kita seharusnya menarik kesimpulan hanya setelah menilai data dengan sangat hati-hati. Namun, bahkan dengan berhati-hati pun, tetap ada kemungkinan terdapat kesalahan dalam situasi kausal yang kompleks sehingga kesimpulan kita harus tetap tentatif. Oleh sebab itu, tanggapan kita atas kesalahan ini seharusnya sama dengan tanggapan atas kesalahan mengacaukan sebab dan akibat. Kita mencoba untuk memaksa si pembicara menilai kembali buktinya atau memberi bukti empiris yang mendukung analisisnya. Kita menyediakan alternatif hubungan kausal untuk menjadi tandingan bagi kesimpulannya. Perbedaannya adalah, kita bukan memaksanya mengakui kemungkinan bahwa hubungan kausalnya terbalik, tapi bahwa ada faktor penyebab yang terabaikan.
125
9.5.3 Kesalahan Penyebab Yang Salah (Kesalahan Post Hoc) Cukup sering kita jumpai satu contoh kejadian kausal saja sudah cukup bagi kita untuk menarik kesimpulan yang benar mengenai apa yang terjadi. Kita melihat sebuah bom jatuh dengan akibat ada ledakan. Kita menyentuh kompor yang menyala dan tangan kita terbakar. Dalam kasus-kasus seperti ini, kita bahkan tidak mempertanyakan hubungan kausal antara kejadian-kejadian itu. Pengetahuan umum kita tentang dunia dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal pada kejadian-kejadian itu. Kesalahan penyebab yang salah juga disebut kesalahan post hoc, ergo propter hoc. Ini merupakan kata-kata dalam bahasa Latin yang artinya ‘sesudah ini, maka, karena ini’. Orang yang melakukan kesalahan ini sering disebut melakukan penalaran post-hoc. Kita melakukan kesalahan penalaran post hoc ketika kita menyimpulkan—tanpa dasar yang cukup kuat— semata-mata hanya karena Y mengikuti X, maka X pasti penyebab Y. Kesalahan dalam argumen seperti ini adalah bahwa kesimpulannya merupakan pernyataan kausal yang kurang didukung oleh bukti, dan tidak ada informasi tambahan maupun hipotesis pembantu yang membuat hubungan kausal itu masuk akal. Memang, kita sering kali menentang penalaran seorang pembicara dengan mengajukan alternatif analisis kausal dari situasi yang diperdebatkan. Perhatikanlah contoh berikut. (1) Ya, anak muda, begitu mereka mulai menambahkan fluor pada air minum di kota ini, teman-teman saya mulai meninggal kena serangan jantung. Tidak boleh itu. Memang, kita tidak boleh bermain-main dengan alam. Delapan puluh tahun makan asam garam dunia sudah menunjukkan itu padaku. (2) Setan kulit putih itu punya kekuatan untuk membunuh dengan suara. Kemarin, saya melihat salah satu dari mereka mengangkat sebuah tongkat. Setelah suara yang sangat keras, timbul lubang pada kijang itu yang mengeluarkan darah sehingga kijang itu mati. Seorang setan kulit putih lain mengangkat tongkat, mengeluarkan suara keras, dan seekor kijang lain jatuh mati. Ini terjadi berulangulang, selain pada kijang juga pada hewan ternak. Saya mencoba mengangkat tongkat dan berteriak “Dor!” sekeras-kerasnya. Sayangnya, suara saya tidak cukup keras untuk membunuh seekor laba-laba pun, apalagi salah satu dari setan kulit putih itu. Dalam masing-masing kasus, si pembicara menemukan korelasi yang positif antara dua kondisi atau kejadian. Apa yang terjadi sebelum akibat dianggap sebagai sebab, dan itu menjadi satu-satunya bukti yang diberikan untuk menarik kesimpulan. Pada contoh (1), si pembicara secara implisit menyimpulkan bahwa minum air yang mengandung fluor telah menyebabkan teman-temannya meninggal kena serangan jantung. Namun, tanpa bukti lebih lanjut, kesimpulannya belum dapat dipercaya. Dia melakukan 126
kesalahan penalaran post hoc. Karena dia berusia 80 tahun, barangkali teman-temannya pun sudah tua juga, dan mereka meninggal karena memang sudah lanjut usia. Tentu saja, mungkin ada hubungan kausal antara minum air yang menandung fluor dengan serangan jantung pada orang lanjut usia, tetapi tanpa penelitian dan bukti lebih lanjut, hipotesis ini tidak dapat diterima. Dalam contoh (2), si pembicara sudah benar menghubungkan suara senjata dengan kematian. Tetapi hubungan itu adalah korelasi, bukan kausal. Karena kita tahu bagaimana sebuah senjata dapat membunuh, dengan mudah kita dapat menerangkan kepadanya bahwa dia telah salah menginterpretasikan bukti yang dimilikinya.
Menanggapi Kesalahan Penyebab yang Salah Tanggapan atas kesalahan tentang penyebab sama dengan cara menghadapi kesalahankesalahan kausal sebelumnya. Kita meminta si pembicara menilai kembali data yang ada untuk membuatnya menyadari bahwa dia mungkin telah salah menginterpretasikannya. Jika dia cuma ceroboh dan jika kita tahu penyebab yang sebenarnya, kita cukup menjelaskan kepadanya letak kesalahannya. Ini yang terjadi pada contoh (2). Cara lain adalah kita dapat menjelaskan padanya mengapa korelasi tidak sama dengan hubungan kausal. Lalu, mintalah kepadanya untuk memberikan lebih banyak bukti yang menunjukkan hubungan kausal antara kejadian-kejadian itu. 9.5.4. Mengacaukan Penyebab Yang Berupa Necessary Condition dengan Sufficient Condition Kesalahan ini terjadi ketika seseorang salah menganggap atau mengacaukan suatu penyebab yang merupakan necessary condition dengan penyebab yang merupakan sufficient condition bagi akibatnya. Ini paling mungkin terjadi jika pembicara tidak memahami term-term kondisional seperti yang telah dijelaskan di pasal 1. Perhatikanlah contoh berikut. (1) Donna, kamu bilang jika saya ingin membuat kue yang bagus, saya harus menggunakan telur segar. Saya sudah mencobanya. Tapi kue yang saya buat jadi bantat dan tidak enak. Pesta saya jadi berantakan. Saya tidak akan pernah mengikuti nasehatmu lagi. (2) Profesor, Bapak mengatakan bahwa saya tidak akan dapat A untuk mata kuliah ini kecuali saya mendapat nilai 80 pada ujian akhir. Dan saya memang dapat 80. Tetapi Bapak berbohong. Bapak hanya memberi saya nilai B. Saya ingin protes.
127
Pada contoh (1), maksud pernyataan Donna adalah bahwa telur segar merupakan bahan yang diperlukan (necessary) untuk membuat kue yang baik. Kita tidak tahu apakah si pembicara melaksanakan juga necessary condition lainnya seperti oven yang panas. Dalam kasus ini, ia menyimpulkan bahwa telur yang segar sudah memadai (sufficient) untuk menghasilkan kue yang baik. Ini jelas salah. Orang sering salah paham mengenai term kondisional. Kata-kata seperti hanya dan kecuali sering kali digunakan untuk mewakili kondisi yang perlu (necessary) sekaligus memadai (sufficient). Penggunaan kata-kata secara kacau seperti ini menunjukkan bahwa mereka tidak memahami secara jelas struktur bahasa. Pada contoh (2), si pembicara juga melanggar hal ini. Dia beranggapan bahwa sang profesor berkata bahwa mendapat nilai 80 pada ujian akhir merupakan syarat yang memadai untuk memperoleh nilai A untuk mata kuliah itu. Pernyataan sang profesor memaksudkan nilai 80 sebagai syarat yang perlu (necessary condition). Mungkin sang profesor harus mengungkapkan maksudnya dengan lebih jelas jika dia tahu bahwa orang sering menyalahartikan term kondisional. Karena kita tidak tahu apa lagi yang sebenarnya dikatakan oleh sang profesor, kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak. Namun berdasarkan buktibukti yang ada, protes si pembicara tidak dapat diterima.
Menanggapi Kesalahan Mengacaukan Syarat yang Perlu dengan Syarat yang Memadai Cara terbaik untuk menghadapi kesalahan ini adalah mencoba mencegahnya. Harus dipastikan bahwa kita menggunakan term-term secara benar dan bahwa orang lain memahami apa yang kita katakan. Karena orang sering kali tidak memahami term kondisional, harus digunakan cara lain untuk membuat maksud kita jelas. Jika kesalahan ini terjadi, kita perlu menerangkan arti term kondisional. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menunjukkan contoh yang jelas di mana kesalahan seperti ini terjadi. Contoh (1) merupakan contoh yang cukup jelas. Coba pikirkan contoh lain juga. (Lihat kembali pasal 1 yang membahas term kondisional. )
Latihan 9.4 (Kesalahan Kausal) Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah si pembicara sedang ingin mempengaruhi kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan sebutkan namanya. 1. Tentu saja Tanya mendapat nilai bagus. Dia, ‘kan, anak emas guru.
128
2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 90% dari mereka yang merokok berat juga minum paling sedikit 5 gelas kopi setiap hari. Menurut saya cukup jelas bahwa banyak merokok menyebabkan orang banyak minum kopi. 3. Mati aku. Aku tadi melakukan apa, ya? Begitu aku masuk ke restoran itu, Jill berdiri dan pergi dengan terburu-buru lewat pintu belakang. Aku pasti melakukan suatu kesalahan sehingga dia pergi seperti itu. 9.6 Kesalahan Analogi Kesalahan analogi terjadi ketika orang menggunakan analogi yang tidak tepat atau yang menyesatkan dalam argumennya. Dari sudut pandang logika, argumen analogi bukanlah argumen yang paling baik. Analogi dapat merupakan cara pandang yang original, kreatif, dan menohok pikiran. Namun analogi tidak dapat menggantikan argumentasi langsung mengenai suatu sudut pandang. Ketika pembicara menggunakan analogi yang buruk atau tidak cocok, argumennya seharusnya ditolak. Sayangnya, orang-orang tetap saja mungkin terpengaruh. Perhatikanlah contoh berikut. Negara itu seperti sebuah kapal, dengan presiden sebagai kapten kapalnya. Seperti juga seorang kapten harus dipatuhi tanpa dipertanyakan, demikian pula seorang presiden harus mendapat kesetiaan dan kepatuhan dari kabinetnya. Analogi dalam contoh ini merupakan analogi yang buruk. Pertama, ada banyak aspek yang membuat sebuah negara sangat berbeda dengan sebuah kapal. Salah satu aspek yang paling penting adalah: kapal selalu berada dalam situasi yang berubah dengan cepat, penuh stres dan bahaya. Ini menuntut tindakan yang terpadu dan segera. Negara tidak demikian, kecuali dalam keadaan perang atau ketika menghadapi masalah seperti bencana alam atau masalah-masalah mendesak lainnya. Biasanya, kita mempunyai waktu untuk mendiskusikan dan merefleksikan situasi yang ada sehingga keputusan yang diambil pun lebih bijaksana. Karena itulah kapten diberi kekuasaan yang mirip diktator sementara presiden lebih baik tidak. Jadi, kesimpulan yang diperoleh dari argumen di atas lemah. Kedua, dasar analogi itu lemah. Bahkan dalam situasi yang sangat berbahaya pun, tidak benar bahwa kapten harus dipatuhi tanpa dipertanyakan; misalnya, apakah si pembicara akan tetap meyakini pendapatnya jika kaptennya mabuk atau gila. Lalu, apakah presiden harus dipatuhi jika dia gila, atau jika dia memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan kriminal atau tindakan yang melawan undang-undang dasar? Seperti juga seorang anak buah kapal wajib melawan perintah kapten, begitu juga kabinet wajib melawan presiden dalam kasus seperti itu. Jadi, kesimpulan di atas tidak dapat diterima. 129
Menanggapi Analogi yang Salah Secara umum, ada dua cara menanggapi analogi yang salah. Pertama, dengan menunjukkan bahwa hal-hal yang dianalogikan mempunyai terlalu banyak perbedaan yang relevan sehingga kesimpulannya tidak meyakinkan. Ini seperti respon pertama kita pada contoh di atas. Kedua, dengan menunjukkan kelemahan analogi itu, dengan cara melanjutkan analogi itu hingga mencapai kesimpulan yang tidak dapat diterima si pembicara. Ini seperti kritik kedua kita pada contoh di atas. Si pembicara mungkin menjawab bahwa kita tidak boleh terlalu serius menanggapi analogi ini. Ini, ‘kan, hanya analogi. Kita dapat menyetujui bahwa ini memang hanyalah analogi. Lalu, mintalah alasan lain yang lebih langsung untuk meyakinkan kita akan kebenaran kesimpulannya.
Latihan 9.5 (Analogi yang Salah) Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah: si pembicara sedang ingin mempengaruhi kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan jelaskan juga bagaimana Anda akan menyerang analogi ini. 1. Kalau kamu memancung kepala seseorang, maka organnya yang lain tidak akan dapat lagi berfungsi, dan orang itu akan mati. Begitu pula kalau kamu memenggal kepala suatu negara, maka negara itu akan mengalami kekacauan untuk beberapa waktu, dan sudah pasti negara itu akan hancur dengan berjalannya waktu atau menjadi sasaran empuk bagi negara-negara tetangganya. Jadi, mengkudeta pemerintah yang sudah mapan tidak akan pernah menguntungkan negara mana pun. 2. Menghisap rokok sama saja dengan menelan arsenik. Keduanya sudah terbukti menyebabkan kematian. Jadi, jika kamu tidak ingin menelan sesendok arsenik, maka kamu pun seharusnya tidak ingin terus merokok. 3. Dunia ini seperti sebuah jam. Keduanya merupakan sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang bergerak, yang diatur secara sangat tepat, mempunyai keseimbangan dan gerakan yang seragam dan berulang-ulang. Karena jam diciptakan oleh seseorang, maka dunia juga pasti mempunyai pencipta. Pencipta itu kita sebut Tuhan.
Latihan 9.6 (Kesalahan Induksi) Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah: si pembicara sedang ingin mempengaruhi kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan sebutkan nama kesalahan itu. 130
1. Saya minum vodka dicampur air pada hari Senin, dan saya mabuk. Saya minum scotch dicampur air pada hari Selasa, dan saya mabuk. Saya minum wiski dicampur air pada hari Rabu, dan saya mabuk. Nah, jelas, bukan? Minum air membuat kita mabuk. 2. Jenny merokok berat, dan ketika dia tidak merokok, dia mengunyah tembakau. Kemungkinan dia akan menderita kanker paru-paru atau kanker mulut. 3. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mendapat nilai baik belajar sekitar tiga jam setiap hari. Kamu ingin mendapat nilai baik, ‘kan? Yang perlu kamu lakukan cuma belajar sekitar tiga jam setiap hari.
131
DAFTAR PUSTAKA Ackrill, J. L. 1961. Aristotle’s Categories and De Interpretatione. Clarendon Aristotle Series. Oxford: Clarendon Press. Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Bierman, A. K. dan Assali, R. N. 1994. The Critical Thinking Handbook. New Jersey: Prenctice Hall. Bittle, C. N. 1950. The Science of Correct Thinking: Logic. Milwaukee: The Bruce Publishing Company. Copi, I. M. dan Cohen, C. 1990 (ed. ke-8). Introduction to Logic. Ohio: Macmillan. Dolhenty, J. 2001 (ed. ke-9). The Problem of Knowledge: A Brief Introduction to Epistemology. Oregon: The Radical Academy. Owen, G. E. L., ed. 1968. Aristotle on Dialectic: The Topics. Proceedings of the Third Symposium Aristotelicum. Cambridge: Cambridge University Press. Ryle, G. 1949. The Concept of Mind, London: Hutchinson. Smith, Robin. 2000. “Aristotle’s Logic”
[email protected] dalam situs web Stanford Encyclopedia of Philosophy. Takwin, B. 2005. Kesadaran Plural: Sebuah Sintesis Rasionalitas Dan Kehendak Bebas. Yogyakarta: Jalasutra.
132
BAB IV DASAR-DASAR ETIKA
Fristian Hadinata dan L.G. Saraswati Putri
1. Perbedaan Etika dan Moralitas Ada dua kata yang seringkali rancu penggunaanya, yaitu etika dan moralitas. Etika dan moralitas memang dua kata berhubungan erat dan seringkali orang mengunakan dua kata tersebut secara bergantian, tetapi tidak tepat (Graham, 2010, 1). Kita dapat memahami perbedaan antara dua kata tersebut dengan cara yang lebih baik, jika kita mencoba untuk memahami apa makna dua kata tersebut dari interpretasi yang paling dasar.
Gambar 1 Perbedaan Etika dan Moralitas
Secara etimologis, istilah etika berasal dari kata Yunani " ēthikos" yang bearti "adat", "kebiasaan", atau "watak" (Pritchard, 2012, 1). Dalam perkembangannya, etika mengacu kepada seperangkat aturan-aturan, prinsip-prinsip atau cara berpikir yang menuntun tindakan dari suatu kelompok tertentu. Akan tetapi, kata etika spesifik mengacu kepada studi sistematis dan filosofis tentang bagaimana kita seharusnya bertindak (Borchert, 2006, 279). Dalam pengertian yang terakhir ini, etika adalah
133
cabang ilmu filsafat yang menyelidiki suatu sistem prinsip moral dan berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan radikal seperti: Apa artinya baik? Apa itu keputusan moral? Apakah moral itu subjektif atau objektif? Bagaimana menjalani kehidupan yang baik?
Tidak heran jika etika disebut juga filsafat atas moral. Etika punya fokus tentang bagaimana kita mendefinisikan sesuatu itu baik atau tidak. Dalam rangka untuk melihat perilaku yang dapat diterima atau tidak dalam situasi tertentu, maka perilaku etis didefinisikan. Lain halnya dengan moralitas berasal dari kata Latin "moralis" yang berarti "tata cara", "karakter", atau "perilaku yang tepat" (Pritchard, 2012, 1). Secara terminologis moralitas sering kali dirujuk sebagai diferensiasi dari keputusan dan tindakan antara yang baik atau yang tidak baik. Moralitas mengacu pada nilai baik atau tidak baik yang disepakati dan diadopsi dalam suatu lingkungan tertentu (Borchert, 2006, 280). Moralitas biasanya didefinisikan melalui otoritas tertentu. Artinya, moralitas lebih dipahami sebagai suatu keyakinan untuk menjalani hidup yang baik. Karena itu sistem moralitas seringkali sangat bergantung dengan komutitasnya, misalnya agama atau budaya tertentu. Lebih lanjut, konsep tentang moral bisa berubah dari waktu ke waktu dan mengambil makna baru. Moralitas sangat berhubungan dengan etika karena hal itu adalah objek kajiannya. Etika adalah suatu abstraksi dalam memahami atau mendefinisikan moral dengan melakukan refleksi atasnya. Etika membahas persoalan moral pada situasi tertentu dengan pendekatan tertentu pula. Sedang moralitas tergantung pada pilihan individu, keyakinan atau agama dalam menentukan hal yang benar atau salah, baik atau buruk.
134
Ada asumsi penting terkait masalah penjelasan moral tentang tanggung jawab etis. Asumsi tersebut di dalam etika, yaitu pentingnya kehendak bebas di dalam pertanggungjawaban etis (Sidgwick, 2004, 10), sedang dalam soal moralitas hal ini biasanya tidak terlalu dipentingkan. Jika pengandaian tentang kehendak bebas tidak ada maka pertanggungjawaban etis tidak bisa diajukan. Hal ini karenakan apa yang dilakukan seseorang tidak lebih dari sesuatu yang dikontrol. Dengan kata lain, seseorang tidak bisa diminta pertanggung jawaban etis ketika seseorang itu tidk punya kehendak bebas --seperti yang boneka yang dikontrol seorang dalang. Asumsi seperti ini yang menjadi kajian-kajian etika. 2. Klasifikasi Etika Etika bisa dibagi menjadi berberapa bidang sebagai berikut:
Gambar 2 Pembagian Bidang Etika
135
Jika kita sederhanakan maka akan menjadi sebagai berikut:
Gambar 3 Empat Bidang Etika Utama
2. 1. Etika Normatif Etika normatif merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak secara etis. Dengan kata lain, etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau keputusan etis. Di samping itu, etika normatif berhubungan dengan pertimbanganpertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus dijalankan agar sautu tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2). Dalam etika normatif ini muncul teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika deontologis, etika kebajikan dan lain-lain. Suatu teori etika dipahami bahwa hal tersebut mengajukan suatu kriteria tertentu tentang bagaimana sesorang harus bertindak dalam situasi-situasi etis (Williams, 2006, 72). Dalam pengajukan kriteria norma tersebut, teori etika akan memberikan semacam pernyataan yang secara normatif mengandung makna seperti "Fulan seharusnya melakukan X" atau "Fulan seharusnya tidak melakukan X". Harus dipahami bahwa setiap teori etika didasarkan pada sebuah kriteria tertentu tentang apa yang etis untuk dilakukan. Kriteria ini disusun berdasarkan prioritas, di mana dari kriteria umum bisa diturunkan menjadi prinsip-prinsip etis yang lebih konkret. Dengan begitu, suatu tindakan dapat disebut etis jika ada kondisi-kondisi
136
tertentu yang memenuhi prinsip-prinsip etis yang diturunkan dari kriteria umum dalam sebuh teori etika normatif tersebut. Misalnya pada teori etika utilitarian, kriteria umum itu adalah suatu tindakan dianggap benar atau baik jika menghasilkan utilitas paling besar bagi semua orang yang terpengaruh oleh tindakan atau keputusan tersebut, termasuk orang yang melakukan tindakan. Lain halnya dengan teori etika deontologis Kant yang punya kriteria umum sebagai berikut: "Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui keinginan Anda sendiri dapat menjadi sebuah Hukum Alam yang Universal" (Tännsjö, 2008, 56-58). 2. 2. Etika Terapan Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik kepada topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang, hak-hak binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi menjadi etika profesi, etika bisnis dan etika lingkungan. Secara umum ada dua fitur yang diperlukan supaya sebuah permasalahan dapat dianggap sebagai masalah etika terapan. Pertama, permasalahan tersebut harus kontroversial dalam arti bahwa ada kelompokkelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral. Masalah pembunuhan, misalnya tidak menjadi masalah etika terapan karena semua orang setuju bahwa praktik tersebut memang dinilai tidak bermoral. Sebaliknya, isu kontrol senjata akan menjadi masalah etika terapan karena ada kelompok yang mendukung dan kelompok yang menolak terhadap isu kontrol senjata. Kedua, sebuah permasalahan menjadi permasalahan etika terapan ketika hal itu punya dimensi dilema etis. Meskipun ada masalah yang kontroversial dan memiliki dampak penting terhadap masyarakat, hal itu belum tentu menjadi permasalahan etika terapan. Kebanyakan masalah yang kontroversial di masyarakat adalah masalah kebijakan sosial. Tujuan dari kebijakan sosial adalah untuk membantu suatu masyarakat tertentu berjalan secara efisien yang dilegitimasinya disandarkan pada konvensi tertentu, seperti undang-undang, peraturan-peraturan dan lain-lain (Debashis, 2007, 28-30).
137
Berbeda dengan permasalahan etis yang lebih bersifat universal, seperti kewajiban untuk tidak berbohong, dan tidak terbatas pada suatu masyarakat tertentu saja. Seringkali memang isu-isu kebijakan sosial tumpang tindih dengan isu-isu moralitas. Namun, dua kelompok isu tersebut bisa dibedakan dengan mengunakan kedua pendekatan yang dilakukan di atas. Dengan begitu bisa dimengerti bahwa istilah etika terapan digunakan untuk menggambarkan upaya untuk menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apa saja yang benar secara moral terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Misalnya, bioetika yang berhubungan dengan mengidentifikasi pendekatan yang benar untuk persoalan-persoalan seperti euthanasia, penggunaan embrio manusia dalam penelitian dan lain-lain. 2.3. Etika Deskriptif Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap 'etis' oleh individu atau masyarakat. Dengan begitu, etika deskriptif bukan sebuah etika yang mempunyai hubungan langsung dengan filsafat tetapi merupakan sebuah bentuk studi empiris terkait dengan perilaku-perilaku individual atau kelompok. Tidak heran jika etika deskriptif juga dikenal sebagai sebuah etika komparatif yang membandingkan antara apa yang dianggap etis oleh satu individu atau masyarakat dengan individu atau masyarakat yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan masa sekarang. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk menggambarkan tentang apa yang dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis yang digunakan untuk menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000, 3). Penyelidikan etka deskriptif juga melibatkan tentang apa yang dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai sesuatu yang ideal. Artinya, kajian ini melihat apa yang bernilai etis dalam diri seseorang atau masyarakat merupakan bagian dari suatu kultur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Akan tetapi, etika deskriptif juga memberikan gambaran tentang mengapa satu prinsip etika bisa ditinggalkan oleh genarasi berikutnya.
138
Oleh karena itu, etika deskriptif melibatkan stud-studi empris seperti psikologi, sosiologi dan antropologi untuk memberikan suatu gambaran utuh. Di sini antropologi dan sosiologi mampu memberikan segala macam informasi mengenai bagaimana masyarakat di masa lalu dan sekarang menciptakan standar moral dan bagaimana masyarakat itu ingin orang bertindak. Sedang, psikologi bisa melakukan sebuah studi tentang bagaimana seseorang punya kesadaran tentang apa itu baik dan buruk serta bagaimana seseorang membuat keputusan moral dalam situas nyata dan situasi hipotetis (Kitchener, 2000, 3). Akan tetapi, etika deskriptif bisa digunakan dalam argumentasi filosofis terkait dengan masalah etis tertentu. Observasi yang dilakukan oleh ilmu-ilmu empiris dalam etika deskripsi seringkali menjadi argumen untuk relativisme etis. Beragamnya fenomena dan perilaku etis di antarbudaya memberikan pemahaman bahwa apa yang baik dan buruk tidaklah absolut, tetapi relatif. Dalam konteks ini, moralitas dianggap relatif pada tingkat antarbudaya. Hal ini juga memberikan pemahaman bahwa moralitas merupakan sebuah konstruksi sosial sehingga sangat tergantung kepada subjek etis dalan lingkungannya. Ringkasnya, etika deskriptif mempertanyakan dua hal berikut: 1. Apa yang seseorang atau masyarakat klaim sebagai "baik"? 2. Bagaimana orang bertindak secara nyata ketika berhadapan dengan masalahmasalah etis?
2. 4. Metaetika Metaetika berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adala arti atau makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain, metaetika merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Artinya, pertanyaan yang diajukan dalam metaetika adalah apa makna jika kita berkata bahwa sesuatu itu baik? Metaetika juga bisa dimengerti sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi pernyataan-pernyataan etika, dalam arti bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk dari pernyataan-pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan sebagai sesuatu yang bermakna. 139
Perkembangan metaetika awalnya merupakan jawaban atas tantangan dari Positivisme Logis yang berkembang pada abad 20-an (Lee, 1986, 8). Kalangan pendukung Positivisme Logis berpendapat bahwa jika tidak bisa memberikan bukti yang menunjukkan sebuah pernyataan itu benar, maka pernyataan itu tidak bermakna. Ketika prinsip dari Positivisme Logis juga diujikan kepada pernyataan-pernyataan etis, maka pernyataan-pernyataan itu harus berdasarkan bukti. Ringkasnya, jika tidak ada bukti, maka tidak ada makna. Di sini kata kuncinya adalah apa yang dikenal dengan "naturalistic fallacy", yaitu dianggap akan melakukan kesalahan jika kita menarik suatu pernyataan tentang apa yang seharusnya dari pernyataan tentang apa yang ada. Kesulitan dari bahasa etika adalah penyataan-pernyataannya tidak selalu berupa fakta. Disinilah peran sentral dari metaetika yang mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan bahasa etika dengan intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis punya makna. Dalam pembahasan ini metaetika biasanya terbagi menjadi dua, yaitu realisme etis dan nonrealisme etis. 3. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis Ada satu persoalan penting di dalam etika, yaitu pernyataan etika itu objektif atau hal itu bergantung kepada subjek etika itu sendiri. Persoalan ini menghasilkan dua aliran besar terkait dengan cara melihat pernyataan etika atau kualitas etis tersebut, yaitu realisme etis dan nonrealisme etis (Callcut, 2009, 46). 3.1. Realisme Etis Gagasan realisme etis berpusat pada manusia menemukan kebenaran etis yang memiliki eksistensi independen di luar dirinya. Konsekuensinya, realisme etis ini mengajarkan bahwa kualitas etis atau tidak ada secara independen dari manusia dan pernyataan etis memberikan pengetahuan tentang dunia objektif. Dengan kata lain, properti etis terlepas dari apa yang orang pikirkan atau rasakan. Hal ini disebut dengan fakta etis tentang fakta sebuah tindakan. Artinya, jika seseorang mengatakan bahwa tindakan tertentu salah, maka hal itu adalah kualitasnya yang salah dan itu harus ada di sana dan bersifat independen. 140
Apa yang diungkapkan di atas biasanya dikenal juga dengan istilah absolutisme etis. Gagasannya bersandar pada adanya aturan-aturan universal yang tidak berubah dan berlaku setiap bagi semua orang. Absolutisme etis berpendapat bahwa ada beberapa aturan moral yang selalu benar dan aturan-aturan tersebut dapat ditemukan serta berlaku untuk semua orang. Dengan kata lain, tindakan tidak etis atau tindakan yang melanggar aturan-aturan yang ditemukan itu berkualitas salah di dalamnya sendiri, terlepas dari keadaan atau konsekuensi dari tindakan-tindakan itu sendiri. Absolutisme etis mengambil pandangan kemanusiaan universal dan berkeyakinan bahwa ada satu perangkat aturan untuk semua orang, misalnya seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia. Masalah bagi etika realis adalah manusia mengikuti keyakinan etis yang berbedabeda. Jika memang ada kebenaran etis yang nyata di luar sana, maka manusia seharusnya bisa menemukannya dan punya keyakinan etis yang sama. Artinya, realisme etis dalam bentuk absolutisme etis tidak sesuai dengan keragaman budaya dan tradisi. Di samping keberatan itu, absolutisme moral yang tidak memperhitungkan konsekuensi dari suatu tindakan atau keadaan etis untuk menghasilkan fakta etis. Padahal konsekuensi dan keadaan etis itu sangat relevan dengan dengan kategori tindakan itu baik atau buruk. 3.2. Nonrealisme Etis Keberatan terhadap realisme etis di atas menimbulkan cara melihat persoalan etis yang disebut dengan nonrealisme etis. Gagasan utama dari nonrealisme etis adalah manusia yang menciptakan kebenaran etis (Callcut, 2009, 46). Nonrealisme etis ini sangat terkait dengan relativisme etis. Relativisme etis yang mengatakan bahwa jika Anda melihat budaya yang berbeda atau melihat periode yang berbeda dalam sejarah, Anda akan menemukan bahwa hal itu memiliki aturan etis yang berbeda pula. Oleh karena itu, masuk akal untuk mengatakan bahwa apa yang "baik" mengacu pada kelompok tertentu di mana orang-orang menyetujuinya menjadi sesuatu yang "baik" (Williams, 2006, 157). Dengan kata lain, relativisme menghormati keragaman budaya dan tindakan manusia yang berbeda pula dalam cara merespon situasi yang berbeda.
141
Akan tetapi, ada persoalan juga di dalam relativisme etis. Diantaranya adalah kita merasa bahwa aturan etis memiliki nilai kualitas yang lebih tinggi daripada sekedar kesepekatan umum dari sekelompok orang. Terkadang kita berpikir bahwa kita bisa menjadi "baik tanpa sesuai dengan semua aturan masyarakat. Misalnya, keputusan untuk menjadi seorang vegetarian terkait dengan hak-hak hewan dinilai "baik", walau masyarakata melihat hal itu bukanlah suatu perkara yang terkait dengan masalah etis, bahkan memakan daging dianjurkan. Lebih jauh, relativisme memiliki masalah dengan persoalan tirani mayoritas. Dalam relativisme etis, jika kebanyakan orang dalam suatu masyarakat setuju dengan aturan tertentu, itulah akhir dari masalah etis. Apa yang diabaikan dari relativisme etis adalah banyaknya perbaikjan yang terjadi di dunia dikarenakan orang menentang pandangan etika yang berlaku --relativisme etis punya kecenderungan untuk menganggap orangorang seperti
itu berperilaku "buruk".
Persoalan yang paling mendasar dari
relativisme etis adalah setiap pilihan "etis atau tidak" menjadi sewenang-wenang dikarenakan terkait dengan keelompok sosial atau budaya itu sendiri sebagai landasan etika. Artinya, relativisme moral tidak menyediakan cara untuk mengatasi perbedaan moral antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. 4. Empat Jenis Penyataan Etika Pengkajian terhadap permasalahan etis pada dasarnya bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Ketika seseorang mengatakan "pembunuhan itu tidak baik" apa yang dimaksudkannya sesungguhnya? Pertanyaan ini adalah pertanyaan sederhana, tetapi hal ini adalah cara yang sangat berguna untuk mendapatkan gagasan yang jelas tentang apa yang terjadi ketika orang berbicara tentang isu-isu etis. Kita bisa melihat ketika orang mengucapkan pernyataan "pembunuhan itu tidak baik", orang merujuk pada hal yang berbeda. Perbedaan ini memberikan pendekatan yang berbeda pula untuk melihat persoalan etis (Johnson dan Reath, 2011, 472). Kita dapat menunjukkan beberapa hal yang berbeda ketika Anda mengatakan 'pembunuhan adalah tidak baik' dengan menulis ulang pernyataan tersebut untuk menunjukkan apa yang benar-benar dimaksud oleh Anda sebagai berikut:
142
1. Saya mungkin bermaksud membuat pernyataan tentang fakta etis, seperti "pembunuhan itu adalah salah". Hal ini adalah realisme moral. Realisme moral didasarkan pada gagasan bahwa ada fakta-fakta nyata dan objektif terkait masalah etis di alam semesta. Pernyataan etis dinilai memberikan informasi faktual tentang kebenaran. 2. Saya mungkin bermaksud hendak menyatakan tentang perasaan saya sendiri seperti, "saya tidak menyetujui pembunuhan". Hal ini adalah subjektivisme. Subjektivisme mengajarkan bahwa penilaian etis tidak lebih dari pernyataan perasaan atau sikap seseorang. Di sini, pernyataan etis tidak mengandung kebenaran faktual tentang kebaikan atau keburukan. Artinya, Jika seseorang mengatakan sesuatu itu baik atau buruk, apa yang dia maksudkan tidak lebih dari perasaan positif atau negatif yang dia miliki terkait sesuatu itu. Jadi, jika seseorang mengatakan 'pembunuhan adalah tidak baik, apa yang dia apa yang dia maksud adalah dia tidak menyetujui pembunuhan. Dalam konteks ini, pernyataan dinilai benar jika orang tersebut memegang sikap yang tepat atau memiliki perasaan yang tepat seperti yang diungkapkannya. Dengan kata lain, pernyataan akan salah, jika ternyata orang tesebut tidak memiliki perasaan tersebut. 3. Saya mungkin bermaksud untuk mengekspresikan perasaan saya saja "tidak ada kompromi dengan pembunuhan". Hal ini adalah emotivisme. Emotivisme adalah pandangan bahwa klaim moral adalah tidak lebih dari ekspresi persetujuan atau ketidaksetujuan. Hal ini seperti subjektivisme, tetapi dalam emotivisme pernyataan moral tidak memberikan informasi tentang perasaan pembicara tentang topik tetapi ungkapan perasaan itu sendiri. Ketika sebuah emotivis mengatakan "pembunuhan adalah salah" apa yang dimaksud seperti mengatakan "tidak ada kompromi pembunuhan" atau hanya mengekspresikan wajah ngeri ketika mendengar kata "pembunuhan" dan lainlain. Dengan kata lain, jika dilihat dari emotivisme ketika seseorang membuat penilaian moral apa yang ditunjukkan adalah perasaan tentang sesuatu. 4. Saya mungkin bermaksud ingin memberikan instruksi atau larangan, seperti "jangan melakukan pembunuhan". Hal ini adalah preskriptivisme. Gagasan preskriptivisme berfokus pada pernyataan etis adalah petunjuk atau rekomendasi. Jadi jika saya mengatakan sesuatu itu baik, artinya saya 143
merekomendasikan kepada Anda untuk melakukannya. Sedang, jika saya mengatakan sesuatu itu buruk, apa yang saya katakan sebenarnya adalah Anda jangan melakukannya. Hampir selalu ada unsur preskriptif dalam suatu pernyataan etis. Misalnya, "menghina itu tindakan yang buruk" dapat ditulis sebagai "orang tidak boleh menghina".
5. Kegunaan Etika Etika sebenarnya tidak secara langsung mengharuskan orang mengikuti hasil analisisnya. Hal ini dikarenakan etika sebagai bagian dari filsafat menekankan jika seseorang menyadari bahwa secara etis lebih baik untuk melakukan sesuatu, maka akan menjadi tidak rasional untuk orang tidak melakukannya. Artinya tidak ada intensi dari etika untuk menekan orang untuk melakukan suatu tindakan atau keputusan etis sesuai dengan pedoman-pedoman tertentu. Akan tetapi, ada kegunaan dari etika dapat dirumuskan. Etika menyediakan alat-alat analisis untuk berpikir tentang isu-isu moral. Dalam konteks ini etika dapat menyediakan sebuah gambaran utuh dan lebih mengedepankan rasionalitas ketika berhadapan dengan isu-isu tersebut. Memnag sebagian besar masalah moral yang sering terjadi melibatkan persoalan emosional. Dalam situasi seperti itu, kita sering membiarkan perasaan-perasaan yang menentukan keputasan moral kita, sedang nalar kita hanya mengikuti arus perasan-perasaan tersebut. Di sinilah peran etika, yaitu menawarkan suatu prinsip-prinsip yang memungkinkan kita untuk mengambil pandangan yang lebih jernih dalam melihat isuisu moral. Dengan kata lain, etika memberikan sebuah peta moral atau kerangka berpikir yang bisa digunakan untuk menemukan jalan keluar dari masalah-masalah moral yang sulit. Di satu sisi, melalui menggunakan kerangka etika, dua orang yang saling berdebat mengenai masalah moral dapat menemukan apa yang mereka tidak sepakat tentang sesuatu, bisa menyadari bahwa mereka hanyalah tidak sepakat pada salah satu bagian tertentu dari masalah tersebut. Artinya kedua orang tersebut secara umum setuju pada sesuatu yang lain yang lebih luas mengenai masalah moral tersebut. Di sisi lain, ada ekspektasi tersedianya jawaban yang benar dan tunggal untuk satu pertanyaan etis. Bahkan ketika kita tidak bisa mengetahui apa yang benar, kita tetap 144
menyukai gagasan bahwa untuk satu masalah etis, ada satu jawaban yang tepat. Akan tetapi, sering tidak ada satu jawaban yang benar. Apa yang ditawarkan etika biasanya adalah beberapa jawaban yang tepat, atau hanya beberapa jawaban sedikit lebih baik daripada jawaban yang lain. Setidaknya, seseorang dapat memilih antara jawabanjawaban tersebut. Memang harus dimengerti bahwa etika tidak selalu memberi jawaban yang tepat untuk masalah moral. Hal ini karenakan masalah-masalah moral, seringkali tidak ada jawaban yang tunggal. Dalam hal ini, seperangkat prinsip etika hanya dapat diterapkan untuk kasus-kasus tertentu saja. Akan tetapi pada dasarnya semua jenis prinsip-prinsip etika dapat menghilangkan kebingungan dan memperjelas masalah. Hal ini dikarenkan persoalan moral sangat sulit dan komplek (Hinman, 2012, 1-6). Persoalan etis sangat sulit dikarenakan hal itu memaksa kita untuk mengambil tanggung jawab atas pilihan dan tindakan kita sendiri daripada langsung kembali pada aturan-aturan dan adat istiadat. Satu masalah etika adalah hal itu sering digunakan sebagai senjata. Jika sebuah kelompok percaya bahwa aktivitas tertentu adalah "salah", kemudian dengan prinsip-prinsip etika digunakan sebagai pembenaran untuk menyerang mereka yang melakukan aktivitas tersebut.Akan tetapi, etika bukan soal sekedar mencari pembenaran atas apa yang kita yakin tentang soal benar atau salah dalam suatu tindakan atau keputusan. Etika memberikan pertimbangan untuk yang melampaui kepentingan diri sendiri. Dengan kata lain etika sangat memperhitungkan bukan hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain. Dalam konteks ini, etika berkaitan dengan kepentingan orang lain secara lebih luas. 6. Immanual Kant dan Etika Kewajiban Dalam karyanya Critique of Practical Reason, Immanuel Kant membahas secara filosofis tentang apa yang dimaksud dengan moral. Prinsip moral dapat muncul dari berbagai sumber, diserap dari nilai-nilai agama, kaidah norma masyarakat, maupun dari hukum yang dibuat oleh negara. Hal-hal ini dapat menjadi referensi bagaimana seseorang bertingkah laku dan membedakan manakah baik dan buruk. Tetapi bagi Immanuel Kant, sikap etis tidak datang dari luar individu tersebut. Mengapa demikian? Ini berkaitan erat dengan era dimana Kant mempopulerkan filsafatnya, ia 145
selalu berkata Sapere Aude! Bila diterjemaahkan, berarti beranilah berpikir secara mandiri, semangat ini tercermin juga didalam filsafatnya. Sapere Aude dalam pengertian Kant mendorong individu bahkan dalam urusan bersikap etis, individu harus dapat memikirkan dan bertindak atas kehendaknya sendiri. Berbicara tentang tindakan etis, tentunya kita membicarakan tentang agen moral itu sendiri. Telah dijelaskan sekilas, bahwa untuk Kant, individu harus memiliki kehendak sendiri untuk berkarakter baik serta bertindak sesuai moral. Namun agen moral yang dibicarakan oleh Kant, darimanakah ia tahu prinsip mana yang harus ia jalankan atau tidak? Tentunya ini tidak semudah bila seseorang mematuhi ajaran agama atau aturan yang sudah ditetapkan masyarakat. Prinsip moral dari Kant mengharuskan adanya kesadaran untuk bersikap etis. Meskipun prinsip moral datang dari rasio praktis individu tersebut sebagai agen moral, Immanuel Kant menekankan bahwa sifat dari prinsip moral itu bukanlah sesuatu yang partikular, karena untuknya ada hukum universal dimana hukum tersebut merupakan muara dari segala tujuan etis. Kant menekankan bahwa prinsip ini bekerja bila setiap orang memperlakukan orang lain dengan prinsip bahwa yang diperbuat secara individual berdampak serta perlu diperhitungkan dalam tataran universal, “aku harus melakukan tindakan moral yang dapat diterima sebagai prinsip moral yang universal”. Uniknya dari prinsip Kant ini, walaupun tujuan besar dari sikap moral adalah untuk mencapai kebaikan bersama tetapi tujuan itu dicapai secara kesadaran individual yang memiliki otonomi. Dalam prinsip moral Kant, ia menekankan betapa mendasarnya konsep kewajiban sebagai dasar dari segala perbuatan etis. Konsep kewajiban inilah yang kemudian dikenal sebagai prinsip deontologis, yakni yang menyatakan bahwa suatu tindakan memiliki nilai moral yang baik bila tindakan itu terlepas dari kepentingan individu, dan hanya bertujuan terhadap prinsip kewajiban tersebut, “kehendak baik tidak menjadi baik karena apa yang diakibatkan ataupun yang dicapainya,--ataupun kesesuaiannya untuk mencapai suatu tujuan akhir: kehendak baik itu dinyatakan baik karena ia menginginkan kebaikan itu sendiri.”1 Pertanyaan yang timbul adalah; darimanakah kita mengetahui perbuatan mana yang memiliki nilai kebaikan yang intrinsik secara universal? Bagi Kant, pengetahuan akan 1
.lih (ed) John Cottingham, bagian Immanuel Kant, hlm. 382
146
kebaikan itu datang dari rasio praktis kita. Apa yang dimaksud dengan rasio praktis? Rasio praktis adalah kecerdasan yang datang dari individu sebagai agen moral, yakni ketika pemahaman tentang kebaikan dan mampu menyesuaikan pilihan-pilihannya dengan apa yang dipertimbangkan baik secara universal. Tetapi akal tidak cukup bagi suatu perbuatan yang sesuai moral, untuk Kant, akal harus dijalani dengan kehendak, tetapi kehendak ini hanya memusatkan pada kewajiban, tidak pada motif untuk menguntungkan dirinya atau tujuan akhir tertentu. Prinsip moral oleh Kant, tidak lagi menjadi argumen etis, tetapi menjadi keharusan, karena itulah dinyatakan sebagai Imperatif Kategoris. Ada unsur mengikatnya, dan mengharuskan kita untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut. Contoh yang bisa disimak adalah tentang berbohong. Dalam perspektif Kant berbohong adalah suatu tindakan yang melanggar kebaikan, mengapa? Karena berbohong secara umum dapat menyebabkan ketidaknyamanan, berbohong kita ketahui sebagai sesuatu hal yang tidak baik, ini bisa disepakati secara universal menurut Kant. Tetapi problem filosofis yang muncul adalah bagaimana bila berbohong untuk suatu tujuan yang baik, benarkah tindakan tersebut? Dalam prinsip kewajiban, tentunya meskipun berbohong itu untuk suatu hasil akhir yang baik tetap tidak bisa dikatakan sebagai tindakan yang memiliki nilai moral. Hal lain yang disampaikan oleh Kant adalah bagaimana ketika melakukan tindakan etis meski terlepas dari motif individual, hal ini tetaplah dianggap sebagai tindakan yang bernilai moral. Kant memberikan contoh misalnya seseorang yang tidak menyukai kehidupannya, karena kehidupannya sangat menyengsarakan, bila mengikuti keinginannya ia ingin segera mengakhiri kehidupannya, tetapi ia menolak melakukan hal itu karena membunuh diri dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik secara universal. Meski seseorang yang tidak menyukai prinsip-prinsip kewajiban tetapi tetap menjalankannya, bagi Kant tindakan itu memiliki nilai moral. Ini untuk menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan individu haruslah datang dari kesadaran akan kewajiban untuk berbuat baik, karena hal ini bukanlah pilihan yang berdasarkan motif atau kesenangan, tetapi atas dasar kewajiban, maka ada penekanan pada keharusan itu. Contoh lainnya adalah perbuatan menolong orang lain, meskipun menolong orang lain adalah tindakan yang baik, bagi Kant, tindakan ini tidak terlalu relevan apakah 147
datang dari rasa belas kasih, maupun empati. Suatu tindakan menolong orang lain haruslah datang dari rasa kewajiban, terlepas dari motif pribadi individu tersebut. Bagi Kant, contoh ini menekankan bahwa prinsip moral dilaksanakan bukan karena prinsip tersebut sesuai dijalankan untuk suatu tujuan akhir semata, tetapi demi kewajiban atas kebaikan itu sendiri. Kewajiban itu sifatnya mengingkat dan terlepas dari kepentingan dari individual tersebut. Etika kewajiban dari Kant mengingatkan kita betapa pentingnya perbuatan moral yang patuh pada suatu prinsip moral bahwa kebaikan tersebut intrinsik adanya. Bahwa suatu tindakan dinyatakan benar atau baik dapat diperiksa oleh rasio praktis kita. Sebagai agen moral yang bebas dan memiliki kecerdasan, Kant menjelaskan bahwa melalui kecerdasaannya manusia dapat mencapai pada pemahaman tentang konsep kebaikan universal. Dimana pemahamannya ini mewajibkannya untuk bersikap etis, dan melakukan tindakan etis tanpa melibatkan perasaan atau memikirkan tentang hasilnya saja, tetapi tegas untuk mematuhi suatu prinsip moral, “Kewajiban adalah tindakan yang dilaksanakan atas dasar keharusan yang dilakukan dikarenakan ada rasa hormat terhadap hukum.”2 7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian Teori moral dalam filsafat dapat dipahami menjadi dua aliran besar, yang pertama adalah deontologis, seperti yang telah dibahas pada bagian Immanuel Kant, yang kedua
adalah
kaum
konsekuensialis.
Apa
yang
dimaksud
dengan
etika
konsekuensialis? Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala tindakan dianggap bernilai secara moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan tersebut. Tentunya pendekatan konsekuensialis kaum utilitarian sangat bertolak belakang dengan konsep imperatif dari Immanuel Kant. Konsekuensialis justru menegaskan bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai baik bila menyebabkan kebahagiaan bagi individu serta orang-orang disekitarnya. Motif terhadap apa yang dianggap menyebabkan kebahagiaan dianggap oleh kaum konsekuensialis menjadi dasar dari suatu perbuatan moral. Adapula tokoh yang mengembangkan paham etis utilitarian adalah John Stuart Mill. Utilitarianisme, dari akar kata utility, yang berarti kegunaan, menganggap bahwa dorongan utama bagi seseorang untuk bersikap etis adalah untuk mencapai 2
Ibid. hlm. 384
148
kebahagiaan, “Kredo yang menerima prinsip moral utility, atau kebahagiaan sebagai fondasi moral meyakini bahwa tindakan dianggap sebagai suatu kebenaran sejauh tindakan itu memproduksi serta mempromosikan kebahagiaan, akan menjadi kesalahan bila berlaku terbalik dari kebahagiaan itu.” 3 Cukup jelas dalam pernyataan ini, bahwa apa yang dianggap secara moral baik adalah keadaan yang menimbulkan kebahagiaan. Tetapi seringkali pernyataan kaum utilitarian disalahartikan menjadi pandangan yang secara general memperbolehkan apapun untuk mencapai kebahagian, inilah kritik terutama bagi kaum utilitarian. Mill membantah argumen ini dengan mengatakan bahwa seolah-olah pandangan etis kaum utilitarian terlampau meninggikan kesenangan ragawi semata. Mill menyatakan bahwa pandangan utilitarian tidak sesederhana itu dalam menggunakan kata kebahagiaan. Konsep kebahagiaan sebagai suatu tujuan seseorang sesungguhnya bukanlah murni milik Mill, seorang pemikir Yunani kuno yang bernama Epikurus yang pertama kali mengutarakan gagasan tersebut. Untuk Mill ada perbedaan mendasar antara paham Utility yang ia gagas, dan miliki pendahulunya Epikurus, kelalaian utama dari Epikurus adalah tidak membahas konsep kebahagiaan secara mendetil. Dikemudiannya Mill mengkoreksi pandangan dari Epikurus, dengan menyebutkan bahwa jenis kenikmatan atau kebahagiaan ada yang tinggi dan rendah. Hirarki ini menjadi penting dalam konsep etis kaum utilitarian, karena Mill berupaya menyampaikan bahwa ada tingkatan dalam kebahagiaan, dimana pengejaran etis berurusan dengan kebahagiaan yang bertingkat tinggi, karena itulah kebahagiaan itu memiliki nilai moral. Klarifikasi ini menunjukan bahwa kebahagiaan yang memiliki nilai moral atau yang bertujuan etis bagi Mill adalah jenis kebahagiaan yang utama atau tertinggi, misalnya, kebahagiaan disaat melakukan aktivitas hobi, dengan kebahagiaan yang didapatkan ketika melakukan kebaikan untuk orang lain bertempat di tingkatan yang amat berbeda. Itulah konteks kata kebahagiaan sebagai suatu tujuan etis. Permasalahan yang timbul adalah bila kebahagiaan yang kita tuju sebagai tindakan yang bermoral, harus dilalui dengan sesuatu yang menyengsarakan kita? Bukankah prinsip utility menjadi berkontradiksi? Tentunya problem filosofis ini memberatkan logika dari argumen etis para utilitarian, tetapi Mill menjawab, bahwa selain adanya tingkatan-tingkatan dari kebahagiaan, atau 3
Ibid. bagian John Stuart Mill, hlm. 388
149
klasifikasi kebahagiaan, tentunya tingkatan ini mengimplikasikan suatu anggapan bahwa tidak semua kebahagiaan itu memuaskan kita secara sempurna. Mill secara gamblang menyatakan bahwa kita harus menyadari bahwa tidak ada kepuasan yang sempurna itu, meskipun demikian kita harus berupaya untuk memaksimalisasikan kebahagiaan. Misalnya dalam satu contoh, ketika seseorang harus mengalami rasa sakit mendonorkan darah demi membantu seorang temannya yang sedang sekarat, tindakan ini pada dasarnya memang menyengsarakannya, tetapi kebahagiaan untuk melihat temannya sembuh, atau untuk menolong temannya memberikan kebahagiaan yang melampaui rasa sakitnya. Contoh ini juga dapat digunakan untuk memahami pandangan etis kaum utilitarian yang sangat berbeda dengan deontologi Kantian. Mill mengkritik bagaimana Kant dengan mudahnya meniadakan peran individu yang memiliki kesadaran untuk bermotif moral. Pada filsafat moral Kant, ia menekankan bahwa individu tidak boleh memiliki kepentingan disaat ia berbuat kebaikan, tujuannya adalah kewajiban terhadap kebaikan itu sendiri. Mill menganggap prinsip deontologi ini sangatlah tidak realistis, karena mengabaikan aspek kepekaan individu untuk berkendak serta menginginkan kebaikan. Menginginkan kebaikan dalam arti utilitarian adalah keinginan kebaikan tidak saja untuk individu itu sendiri, tetapi mencakup orang-orang yang mungkin mendapatkan dampak dari perbuatan itu. Atas alasan inilah Mill menekankan niat baik serta pertimbangan kebahagiaan untuk sebanyak mungkin orang-orang.
Prinsip etis utilitarian ini untuk mengenyahkan anggapan bahwa bila prinsip terutama manusia adalah kebahagiaan maka ia hanya akan melakukan sesuatu hal yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, sebaliknya karena ia menyadari bahwa kebahagiaan itu untuk kebahagiaan semuanya, maka ia terdorong untuk bersikap etis. Mengapa motif menjadi sedemikian penting untuk kaum utilitarian? Mill menjelaskan bahwa hanya ketika seseorang berkeinginan untuk bertindak etis maka ia dapat mempertanggung jawabkan pilihan yang telah ia lakukan. Ia tidak dapat mengelak dengan mengatakan bahwa, ia hanya menjalankan suatu perintah, atau ia hanya mengikuti hukum tanpa memikirkan akibatnya. Motif dan konsekuensi menjadi dua hal yang sangat penting dalam prinsip etis utilitarian, karena seseorang bermotif untuk 150
berbuat baik, maka ia diharuskan untuk mempertimbangkan hasil akhir dari pilihan yang akan ia ambil. Penjelasan dari John Stuart Mill memberikan kita perspektif yang berbeda tentang suatu tindakan moral. Bila pandangan yang mendominasi adalah pandangan yang mengatakan bahwa prinsip moral itu didasari atas kewajiban, Mill mengkritik dengan mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari kita bertindak yang bernilai moral. Sebagai konsekuensialis, Mill menjelaskan bahwa dalam melakukan apapun kita terpaut dengan hasil akhir dari suatu pilihan, dan bagi kaum utilitarian, konsekuensi yang dipikirkan adalah bagaimana multiplikasi suatu kebahagiaan, dan menghindari kesengsaraan. Seperti yang telah ditekankan oleh Mill, kebijaksanaan yang utama serta memiliki nilai moral adalah mengejar kebahagiaan, “Dengan demikian, meningkatkan kebahagiaan, menurut etika utilitarian, merupakan objek dari kebijaksanaan” 4 8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban Telah dibahas dua aliran besar dalam filsafat moral, yakni pandangan deontologi dengan pandangan konsekuensialis. Dalam bagian ini akan dibahas tentang bagaimana pandangan moral intuitif dari seorang etikus bernama W.D Ross. Bila Kant menegaskan bahwa rasio praktis memungkinkan kita memisahkan mana kebaikan dan mana keburukan, atau maxim kewajiban yang harus kita lakukan, dalam pandangan Ross, ia menggunakan penjelasan intuisi. Apa yang dimaksud dengan intuisi? Ross berargumen bahwa seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan apa yang bernilai baik maupun buruk. Ia mengkritik pandangan utilitarian yang terlalu menekankan pada konsep kebahagiaan, bahkan mensejajarkan kebahagiaan sebagai kebaikan. Bagi Ross, kebahagiaan tidak dapat secara mudah disamakan dengan kebaikan, justru kebaikan adalah bentuk nilai moral yang lebih tinggi. Jadi tujuan moral adalah mencapai kebaikan bukan kebahagiaan. Ross mengkritik pandangan etis dari kaum utilitarian sebagai pandangan hedonistik, yakni bertujuan hanya pada kebahagiaan tanpa membedah lebih tajam perbedaan mendasar antara kebahagiaan dan kebaikan. Meskipun ketika seseorang berbuat kebaikan dan kebaikan itu menyebabkan rasa senang, kesenangan itu tidak relevan dengan suatu prinsip moral. 4
Ibid. hlm. 390
151
Justru untuk Ross, yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang signifikan adalah benarnya tindakan individu itu. Senada dengan Kant, Ross adalah seorang filosof moral yang menekankan bahwa tindakan etis haruslah terlepas dari kepentingan individual. Bila dalam argumen utilitarian ditekankan bahwa motif merupakan hal yang mendasar, bagi Ross, motif menunjukan bahwa seseorang bertindak etis bukan karena tindakan itu benar secara prinsipil, tapi tindakan itu menguntungkan baginya. Ross berargumen bahwa di luar dari kebahagiaan terdapat berbagai hal yang menurutnya lebih tepat untuk dijadikan prinsip tindakan moral yakni kebaikan melalui karakter yang mulia, atau berdasarkan intelegensia. Sehingga untuk Ross premis yang mengatakan bahwa kebenaran moral adalah memperbanyak kebahagiaan bagi semakin banyak orang dikoreksi menjadi kebenaran moral adalah memperbanyak kebaikan bagi semakin banyak orang. Pembedaan antara kebahagiaan dan kebaikan bagi Ross menjadi pembeda penting, bahwa dari kedua hal tersebut kebaikan adalah yang tertinggi. Meskipun terdapat keserupaan dalam filsafat moral Ross dengan Kant, ada perbedaan penting antara Ross dan Kant. Ross mengkritik kewajiban sempurna dari Kant. Ia mendebat bahwa kewajiban sempurna mengandaikan bahwa tidak ada perselisihan menyangkut tindakan moral mana yang harus diprioritaskan. Bagi Ross, kita kerap dibenturkan dengan dilema moral yang tidak dapat secara sederhana diselesaikan dengan prinsip mengikat imperatif Kant. Di satu sisi Ross menyetujui adanya kewajiban, tetapi kewajiban yang ia maksudkan bukanlah kewajiban sempurna yang dijelaskan oleh Kant, melainkan kewajiban dengan syarat atau kondisional. Untuk mempermudah pembedaan kewajiban imperatif Kant dengan kewajiban kondisional dari Ross adalah melalui contoh berikut. Prinsip moral dari Kant akan melarang kita dari tindakan berbohong karena menurut Kant berbohong melanggar prinsip kewajiban imperatif yang universal. Tetapi bagaimana bila keadaannya, seseorang harus memilih antara berbohong atau mengatakan kejujuran, tetapi hasil dari kejujurannya akan menyebabkan kematian orang lain? Dari contoh semacam ini Ross memaparkan bahwa secara intuitif kita memahami mana prioritas dalam dilema moral semacam ini. Jika kita menggunakan perspektif Kant maka secara imperatif individu itu harus menyampaikan kejujuran, meski kejujuran itu menyebabkan kematian orang lain, karena prinsip moral dari Kant mengandalkan kewajiban yang 152
mengikat dan bukan didasarkan pada hasil akhir dari tindakan. Ross mengkritik konsep kewajiban menurut Kant. Dari perspektif Ross, justru dari pilihan antara kejujuran dan kematian, kita memiliki pemahaman bahwa nyawa seseorang jauh lebih mendesak untuk didahulukan. Ide moral semacam ini disebut oleh Ross sebagai Prima Facie. Menurut Ross, “Prima facie menunjukan bahwa sesungguhnya pada pandangan awal yang muncul adalah situasi moral yang hanya kemunculan semata, tetapi apa yang dimaksud dengan Prima Facie adalah situasi moral yang dapat ditelaah secara objektif.”5 Penelaahan secara objektif yang dimaksud oleh Ross adalah bahwa pada faktanya manusia memiliki kecerdasan untuk membandingkan pilihan moral manakah yang paling menyebakan kebaikan utama. Melalui cara ini, menurut Ross, maka kita dapat menghindarkan generalisasi yang dapat mengakibatkan keburukan, seperti dalam contoh menyampaikan kejujuran yang mengakibatkan kematian bagi orang lain. Prima Facie menekankan tentang bagaimana seseorang merefleksikan pilihan-pilihan moralnya, sebelum ia bertindak. Ross menyebutkan tentang berbagai macam kewajiban yang membutuhkan pertimbangan individu dalam kejadian-kejadian aktual, ia menyusunya sebagai berikut: (1) fidelitas (kesetiaan) atau yang menyangkut perihal bagaimana seseorang memegang janji atau komitmennya; (2) kewajiban atas rasa terimakasih ketika kita berkewajiban atas jasa yang sudah ditunjukan oleh orang lain; (3) kewajiban berdasarkan keadilan; hal ini menyangkut perihal pembagian yang merata yang berhubungan dengan kebaikan orang banyak, (4) kewajiban beneficence, atau bersikap dermawan, dan menolong orang lain sebagai tanggung jawab sosial, (5) kewajiban untuk merawat dan menjaga diri sendiri, (6) kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain. Enam tipe dari Prima Facie yang dijelaskan oleh Ross menunjukan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu kita kerap terbentur untuk memutuskan di antara pilihanpilihan moral. Dalam suatu situasi yang amat mendesak, Ross menekankan pada kemampuan intuitif manusia untuk mengambil keputusan. Keputusan ini ditujukan untuk mencari tahu pilihan manakah yang dimungkinkan menyebabkan kebaikan yang tertinggi. Pertimbangan intuitif ini bagi Ross sangat vital karena intuisi bukanlah 5
Ibid. bagian W.D Ross, hlm. 407
153
pertimbangan yang serampangan, tetapi pertimbangan yang menggunakan segala aspek kecerdasan dan sensibilitas individu. Dengan demikian maka ia dapat menghindarkan dirinya dari pilihan yang menyebabkan keburukan untuk dirinya maupun terhadap orang disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA Borchert, Donald M (Ed.). 2006. Encyclopedia of Philosophy Vol. III. Farmington Hills: Thomson Gale Callcut, Daniel. 2009. Reading Bernard Williams. London dan New York: Routledge Debashis, Guha. 2007. Practical and Professional Ethics Vol. 1: The Primer of Applied Ethics. New Delhi: Concept Publishing Co Graham, Gordon. 2010. Theories of Ethics: An Introduction to Moral Philosophy with a Selection of Classic Readings. London dan New York: Routledge Hinman, Lawrence M. 2012. Ethics: A Pluralistic Approach to Moral Theory. California: Wadsworth Publishing 154
Johnson, Oliver A. dan Reath, Andrews. 2011. Ethics: Selections from Classic and Contemporary Writers. California: Wadsworth Publishing Kagan, Shelly. 1997. Normative Ethics. New York: Dimensions of Philosophy Kitchener, Karen Strohm. 1999. Foundations of Ethical Practice, Research, and Teaching in Psychology and Counseling. London: Lawrence Erlbaum Associates Lee, Keekok. 1985. A New Basis for Moral Philosophy (International Library of Philosophy). London: Routledge Kegan & Paul MacIntyre, Alasdair. 1997. A Short History of Ethics: A History of Moral Philosophy from the Homeric Age to the Twentieth Century. London dan New York: Routledge Pritchard, Michael S. 2012. What is Ethics?. Michigan: Department of Philosophy, Western Michigan University & Theodore Goldfarb Sidgwick, Henry. 2004. Outlines of the History of Ethics. Montana: Kessinger Publishing Tännsjö, Torbjörn. 2008 Understanding Ethics: Introduction to Moral Theory. Edinburgh: Edinburgh University Press Williams, Bernard. 2006. Ethics and the Limits of Philosophy. London dan New York: Routledge Cottingham, John. 1996. An Anthology: Western Philosophy. UK: Blackwell Publisher Singer, Peter. 1993. Practical Ethics. New York: Cambridge University Press.
155