PROGRAM INSENTIF RISET DANA BANTUAN SOSIAL (BLOCK GRANT) RISTEK 2010
1. PEMANFAATAN AREN SEBAGAI POHON BATAS KAWASAN HUTAN 2. PENGEMBANGAN BIOFARMAKA DI SEMATERA SELATAN 3. PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK HUTAN TANAMAN JELUTUNG DENGAN POLA AGROSILVOFISHERY 4. PENGEMBANGAN NIBUNG SEBAGAI SUMBER PANGAN DAN KAYU PERTUKANGAN 5. PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS POHON PENGHASIL GAHARU SEBAGAI BAHAN OBAT DI SUMATERA
Program
Judul Kegiatan Peneliti Utama Pelaksana Kegiatan
: Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementrian Riset dan Teknologi : Pemanfaatan Aren sebagai Pohon Batas Kawasan Hutan : Ir. R. Dody Prakosa, M. Sc : Edwin Martin, S. Hut, M. Si Junaidah, S. Hut Armellia Prima Yuna, S. Hut
Abstrak Penanaman pohon batas diharapkan dapat meningkatkan nilai manfaat batas kawasan hutan bagi masyarakat dan memperkuat kejelasan batas antara kawasan hutan dengan areal budidaya. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode penelitian partisipatif (riset aksi) dalam mendorong aksi bersama pemanfaatan aren sebagai pohon batas kawasan hutan lindung (yang didominasi areal berlereng) dan untuk mengetahui kemampuan citra satelit ALOS dalam mendeteksi vegetasi aren sebagai potensi pohon batas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan penataan batas pada posisi yang berbatasan langsung dengan areal garapan masyarakat, terutama persawahan, cukup meresahkan masyarakat. Tata batas terbukti menguatkan posisi hukum kawasan hutan lindung, namun secara faktual seringkali tidak efektif menjadi batas aktivitas, sehingga pengalihfungsian hutan lindung menjadi perkebunan kopi tetap terjadi. Penelitian aksi “penanaman aren sebagai pohon batas kawasan hutan” dapat mewujudkan ide untuk menanami kebun-kebun di sepanjang garis batas kawasan dengan pohon aren, melalui dukungan masyarakat untuk menanam dan memelihara aren secara swadaya. Selanjutnya, kebun aren diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai batas yang memisahkan antara kawasan hutan lindung dengan areal budidaya masyarakat tetapi juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Ditinjau dari kajian analisis citra satelit yang menjadikan aren sebagai vegetasi penciri batas kawasan hutan diperoleh informasi bahwa formula indeks vegetasi terbaik bagi citra ALOS-AVNIR-2 guna mendeteksi tutupan tegakan aren sebagai pohon batas adalah MID14 dan MSAVI. Jarak tanam untuk penanaman aren sebagai pohon batas agar dapat dideteksi dengan citra satelit ALOS-AVNIR-2 resolusi 10 meter adalah 8x8 meter sampai 10x10 meter, dengan lebar jalur minimum 40 meter. Deteksi tutupan tegakan aren secara visual tidak dapat dilakukan dengan ALOS-AVNIR-2 resolusi 10 meter, dengan demikian perlu dicoba untuk resolusi yang lebih tinggi yaitu resolusi 5 meter sampai 1 meter. Kata Kunci : Tata batas, Aren, Pohon Batas, Citra Satelit, Riset Aksi
Ringkasan : A. Latar Belakang Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 634/Kpts-II/1996 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 339/Kpts-II/1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan disebutkan bahwa pohon batas adalah pohon yang ditanam atau tumbuh di sepanjang batas yang dapat berfungsi sebagai tanda batas.
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
105
Ini berarti bahwa pohon dapat dijadikan sebagai tanda batas di sepanjang batas kawasan hutan. Pohon yang ditanam dapat menjadi penciri batas antar kepemilikan hak penguasaan lahan (property right). Penelitian Wulan et al. (2004) menyebutkan bahwa masalah tata batas adalah salah satu faktor penyebab konflik kehutanan di Indonesia. Penataan batas kawasan hutan dianggap dapat mengurangi akses masyarakat ke kawasan hutan. Pada kasus seperti ini, patok batas antara kawasan hutan dengan areal budidaya dinilai sebagai benda negatif dari sisi kepentingan masyarakat. Batas kawasan hutan selain tidak berharga juga dianggap merupakan penghalang aktivitas ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Oleh sebab itu, penanaman pohon batas diharapkan dapat meningkatkan nilai manfaat batas kawasan hutan bagi masyarakat dan memperkuat kejelasan batas antara kawasan hutan dengan areal budidaya. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode penelitian partisipatif (riset aksi) dalam mendorong aksi bersama pemanfaatan aren sebagai pohon batas kawasan hutan lindung (yang didominasi areal berlereng) dan untuk mengetahui kemampuan citra satelit ALOS dalam mendeteksi vegetasi aren sebagai potensi pohon batas. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai melalui kegiatan penelitian pada tahun 2010 ini adalah: 1. Tersedianya rumusan mekanisme rekayasa sosial dalam upaya pengembangan aren sebagai pohon batas kawasan hutan. 2. Tersedianya data dan informasi pengaturan jarak tanam aren dalam lebar jalur di sepanjang batas kawasan hutan yang efektif terdeteksi oleh citra satelit. C. Metodologi Penelitian Tujuan penelitian dicapai melalui 2 (dua) metode yang berbeda. Upaya pengembangan aren sebagai pohon batas kawasan hutan lindung dilakukan melalui metodologi penelitian partisipatif, sedangkan ketepatan vegetasi aren dan pengaturan jarak tanamnya dalam lebar jalur batas kawasan hutan sebagai objek dalam analisis citra satelit dinilai dari hasil analisis digital dari indeks vegetasi (tingkat kehijauan) tanaman. Secara umum penelitian dilakukan dengan cara survei dan non survei. Survei meliputi kegiatan observasi lapangan seperti pemeriksaan pal batas kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan kawasan budidaya masyarakat, aktivitas sosial ekonomi masyarakat, dan pemeriksaan lapangan posisi tegakan aren. Aktivitas sosial ekonomi masyarakat dipahami melalui teknik penilaian desa secara cepat (Rapid rural appraisal). Kegiatan non survei berupa diskusi dengan para pihak yang terkait, yaitu Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah II Palembang, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Pagaralam dan Dinas Kehutanan Kab. Muara Enim.
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
106
Selanjutnya, dilakukan diskusi desa dengan tema “Peluang Aren sebagai Pohon Batas Kawasan Hutan” Tahapan kegiatan penelitian diuraikan sebagai berikut: (1) Pengumpulan informasi mengenai kegiatan tata batas dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah II Palembang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Pagaralam dan Dinas Kehutanan Kab. Muara Enim, (2) Survei respon masyarakat terhadap kegiatan tata batas di desa-desa dalam wilayah administratif Kota Pagar Alam dan Kab. Muara Enim yang bersinggungan secara langsung dengan kawasan hutan, (3) Observasi posisi pal batas yang dianggap masalah oleh masyarakat desa dan dilanjutkan dengan diskusi dengan warga yang merasa dirugikan dengan posisi pal batas, (4) Penilaian secara cepat desa-desa yang paling memungkinkan untuk menanam aren sebagai pohon batas, berdasarkan kriteria intensitas pengelolaan masyarakat pada areal sepanjang batas dan tingkat masalah pasca kegiatan tata batas, (5) Observasi lapang terhadap posisi pal batas di sepanjang garis batas kawasan hutan yang berbatasan dengan desa terpilih, (6) Diskusi desa dengan tema “Peluang Aren sebagai Pohon Batas Kawasan Hutan”. Data dan informasi yang terkumpul dianalisis sesuai jenis datanya. Data posisi pal batas disajikan melalui aplikasi ArcView GIS 3.2. Data dan informasi hasil survei desa dan observasi lapangan disampaikan melalui tabulasi deskriptif. Informasi hasil diskusi desa dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif D. Hasil yang Telah Dicapai 1. Permasalahan Batas Kawasan Hutan; Kasus HL. Bukit Jambul Gunung Patah dan HL. Bukit Dingin Gunung Dempo Pagar Alam Kegiatan penataan batas Kawasan Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan pada tahun 2010 dimaksudkan untuk mengukur dan memancang pal/patok/ajir sementara di lapangan, serta memetakan batas areal kawasan hutan. Terdapat 3 (tiga) desa definitif yang berada di dalam kawasan hutan, yaitu Desa Tanjung Tiga di Kecamatan SDU, Desa Rekimai Jaya dan Desa Swarna Dwipa di Kecamatan SDT. Penataan batas sementara pada tahun 2010 telah meresahkan penduduk di ketiga desa tersebut. Mereka pada umumnya mempertanyakan mengapa desa mereka dimasukkan kedalam kawasan hutan dan bagaimanakah dampak dari posisi tersebut bagi masa depan desanya. Selain meresahkan 3 (tiga) desa yang masuk ke dalam kawasan HL., kegiatan penataan batas HL Bukit Jambul Asahan juga membuat risau masyarakat di desa-desa lainnya yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan dan memiliki usaha (terutama sawah) di lahan-lahan yang ternyata termasuk kedalam kawasan HL. Tabel 1 menyajikan desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HL. dan tipologi usahatani masyarakatnya. Sebagian besar masyarakat desa-desa yang tersebut dalam Tabel 1 berinteraksi secara langsung dengan lahan-lahan yang diidentifikasi sebagai kawasan HL, dalam bentuk usahatani sawah dan kebun. Keluhan yang paling sering muncul sehubungan dengan kegiatan penataan
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
107
batas HL adalah mengapa sawah mereka masuk ke dalam kawasan HL, karena sawah memiliki nilai tersendiri dalam tradisi orang Semende. Tabel 1. Karakteristik usaha masyarakat desa-desa yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan No
Nama Kecamatan
1.
Semende Darat Laut (SDL)
2.
Semende Darat Tengah (SDT)
3.
Semende Darat Ulu (SDU)
Nama Desa 1. Penyandingan 2. Muara Danau 3. Muara Dua 4. Pulau Panggung 1. Batu Surau 2. Seri Tanjung 3. Gunung Agung 1. Cahaya Alam 2. Pelakat 3. Danau Gerak 4. Segamit
Karakteristik Usaha Masyarakat Sebagian besar sawah, kebun Sebagian besar kebun, sawah Sebagian besar sawah, kebun Sebagian besar sawah, dagang Sebagian besar sawah, kebun Sawah dan kebun Sebagian besar sawah, kebun Sawah dan kebun Sawah dan kebun Sebagian besar sawah dan kebun Sebagian besar sawah dan kebun
Intensitas keluhan kegiatan tata batas paling rendah disuarakan oleh Desa Muara Danau. Di desa ini, interaksi antara masyarakat dengan lahan hutan lindung sebagian besar dalam bentuk kebun kopi. Dalam kasus Desa Muara Danau, keluhan masyarakat terhadap kegiatan tata batas dapat diselesaikan oleh Pemerintahan Desa setempat, karena kebun tidak memiliki ikatan sosiologisHampir seluruh masyarakat Desa Muara Danau mengetahui dimana posisi kawasan hutan lindung yang mereka sebut sebagai “hutan rintis”. Secara formal masyarakat desa mengetahui dan mengakui keberadaan kawasan hutan lindung, namun secara faktual mereka tetap berusahatani atau mengalihfungsikan kawasan hutan tersebut untuk keperluan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang kuat dengan tradisi orang Semendo. Pada sisi lain, masyarakat tetap menebangi hutan lindung dengan alasan bahwa pal batas tidak dipasang pada lahan yang mereka masuki. Oleh karena itu, tanpa menyediakan alternatif sumber ekonomi, keberadaan pal batas tidak cukup berguna untuk memantapkan fungsi kawasan hutan lindung, meskipun kuat secara hukum. 2. Mengenalkan Aren sebagai Pohon Batas; Upaya Multimanfaat Tanaman aren terbukti menjadi sumber ekonomi utama bagi masyarakat di Desa Air Meles Atas, Desa Sindang Jaya, dan Sindang Jati di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu (Prakosa et al., 2009). Kesamaan ke-2 daerah ini adalah bahwa desa-desa itu berada di sekitar kawasan hutan lindung, topografi bergelombang hingga berbukit, jenis tanah berasosiasi dengan andosol, ketinggian antara 700 m s.d. 1100 m di atas permukaan laut, dan jenis tanaman dominan di kebun adalah kopi. Perbedaan yang mencolok antar desa yang berbeda kabupaten dan provinsi Penelitian Program Insentif Ristek-2010
108
ini adalah bahwa masyarakat desa aren di Rejang Lebong tidak mengalihfungsikan kawasan hutan lindung karena mereka memiliki sumber ekonomi selain kopi, yaitu pohon aren penghasil gula yang mampu memberikan penghasilan harian atau mingguan dan menyibukkan aktivitas harian masyarakat, sementara desa-desa Semendo hanya mengandalkan kopi sebagai komoditas utama dan masyarakatnya terpaksa memasuki kawasan hutan lindung untuk mencari lahan-lahan subur baru di dalam kawasan HL untuk pertanaman kopi. Persamaan dan perbedaan antara desa-desa Semendo yang berbatasan langsung dengan kawasan HL Bukit Jambul Asahan dengan desa-desa penghasil gula aren di Rejang Lebong menjadi pintu masuk bagi introduksi tanaman aren sebagai pohon batas kawasan HL Bukit Jambul Asahan. Pengenalan aren sebagai pohon batas kawasan HL dilakukan hanya untuk desa-desa yang dapat menerima atau tidak bermasalah dengan keberadaan batas kawasan hutan yang bersinggungan dengan desanya. Dalam kasus ini, hanya Desa Muara Danau di Kecamatan SDL yang dapat menerima semua posisi pal batas sementara yang dipasang oleh Tim Tata Batas. Sementara, desa-desa lainnya belum dapat menerima posisi batas sementara yang ditunjuk oleh Tim Tata Batas, terutama pada posisi yang melintasi persawahan. Diskusi desa “aren sebagai pohon batas kawasan hutan” diikuti oleh para penguasa kebun yang teridentifikasi berada dalam garis batas kawasan HL Bukit Jambul Asahan, para tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan Desa Muara Danau. Dalam diskusi tim peneliti menawarkan untuk membuat rencana penanaman aren di sepanjang kebun dalam garis batas kawasan hutan. Peserta diskusi desa merespon lontaran ide “penanaman aren di sepanjang batas kawasan hutan” dengan 12 orang dapat menerima dan 8 orang menolak, sementara yang lainnya tidak menyatakan pendapat. Penolakan terutama dilakukan oleh para tokoh masyarakat yang khawatir akan hilangnya sumber ekonomi masyarakat akibat penanaman aren. Penolakan terhadap ide penanaman aren di sepanjang batas kawasan hutan merupakan pintu masuk untuk menyampaikan “persamaan dan perbedaan antara desa-desa di Semendo dengan desa-desa Aren di Rejang Lebong. Kelebihan tingkat ekonomi masyarakat desa-desa aren dibandingkan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat desa-desa Semendo, kemudahan teknik budidaya dan pengolahan nira aren menjadi gula ternyata mampu mempengaruhi minat masyarakat untuk mendukung ide menjadikan aren sebagai batas kawasan hutan. Bahkan, para tokoh masyarakat yang pada awalnya menolak ide tersebut justru menunjukkan keinginan (passion) yang besar untuk turut menanam aren, meskipun tidak termasuk sebagai penguasa kebun di sepanjang garis batas. Penerimaan masyarakat terhadap ide penanaman aren di sepanjang batas ditunjukkan dengan kesediaan mereka untuk menanam dan memelihara tanaman aren secara swadaya. Tim peneliti diminta hanya menyediakan bibit aren dan memberi arahan teknik penanaman di lapangan serta melakukan evaluasi terhadap Penelitian Program Insentif Ristek-2010
109
keberhasilan penanaman. indung Bukit Jambul Asahan dengan areal budidaya masyarakat, tetapi menjadi inspirasi sumber ekonomi warga sekitarnya 3. Deteksi Tanaman Aren dengan Indeks Vegetasi Jumlah band pada citra Alos hanya 4 band (saluran) sehingga formula indeks vegetasi yang dipakai hanya NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), SAVI (Soil-adjusted Vegetation Index) dan MSAVI (Modified Soil Adjusted Vegetation Index). Citra yang dipakai adalah ALOS AVNIR-2 dengan waktu pengambilan 25 Juni 2010 dan resolusi spasial 10 m, yang diperoleh dari LAPAN. ALOS/AVNIR-2 atau Advanced Land Observing Satellite/Advanced Visible Near Infrared Radiometer type 2, merupakan citra yang digunakan untuk mengobservasi daratan dan pantai khususnya untuk menghasilkan peta tutupan lahan (land cover) dan peta penggunaan lahan dalam monitoring perubahan lingkungan (JAXA, 2007). Dari tiga indeks vegetasi yang digunakan untuk analisis, maka penanaman pohon batas dengan tanaman aren hendaknya ditanam agak rapat agar tajuk dapat menutup rapat, sehingga nilai indeks vegetasinya (MSAVI) menjadi tinggi. Dengan demikian tegakan pohon batas tersebut dapat dibedakan dengan pohon di sekitarnya. Rumus MSAVI memberikan hasil yang terbaik dibandingkan rumus indeks vegetasi yang lain. Interval nilai MSAVI yang besar memberikan peluang untuk lebih mudah membedakan tutupan tajuk tegakan aren dengan tutupan tanaman lain di sekitarnya. Jarak tanam tanaman aren agar dapat dideteksi dengan citra ALOS-AVNIR-2 tergantung dari lebar tajuknya, yang penting tajuk tersebut bisa menutup rapat sehingga tidak ada pantulan dari semak belukar, tanaman kopi ataupun tanah. Dengan demikian diperkirakan jarak tanamnya antara 8x8 meter sampai 10x10 meter. 4. Deteksi Tanaman Aren dengan Cara Visual Deteksi tutupan tanaman aren secara visual dengan citra ALOS-AVNIR-2 dengan resolusi 10 meter ternyata masih sulit dilakukan, karena resolusi 10 meter belum cukup terlihat secara visual untuk membedakan antara tutupan lahan tanaman aren dengan tanaman di sekitarnya. E. Kesimpulan Secara umum kegiatan penataan batas pada posisi yang berbatasan langsung dengan areal garapan masyarakat, terutama persawahan, cukup meresahkan masyarakat. Tata batas terbukti menguatkan posisi hukum kawasan hutan lindung, namun secara faktual seringkali tidak efektif menjadi batas aktivitas, sehingga pengalihfungsian hutan lindung menjadi perkebunan kopi tetap terjadi. Penelitian aksi “penanaman aren sebagai pohon batas kawasan hutan” dapat mewujudkan ide untuk menanami kebun-kebun di sepanjang garis batas kawasan dengan pohon aren, melalui dukungan masyarakat untuk menanam dan memelihara aren secara swadaya. Selanjutnya, kebun aren diharapkan tidak hanya
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
110
berfungsi sebagai batas yang memisahkan antara kawasan hutan lindung dengan areal budidaya masyarakat tetapi juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Ditinjau dari kajian analisis citra satelit yang menjadikan aren sebagai vegetasi penciri batas kawasan hutan diperoleh informasi bahwa formula indeks vegetasi terbaik bagi citra ALOS-AVNIR-2 guna mendeteksi tutupan tegakan aren sebagai pohon batas adalah MID14 dan MSAVI. Jarak tanam untuk penanaman aren sebagai pohon batas agar dapat dideteksi dengan citra satelit ALOS-AVNIR2 resolusi 10 meter adalah 8x8 meter sampai 10x10 meter, dengan lebar jalur minimum 40 meter. Deteksi tutupan tegakan aren secara visual tidak dapat dilakukan dengan ALOS-AVNIR-2 resolusi 10 meter, dengan demikian perlu dicoba untuk resolusi yang lebih tinggi yaitu resolusi 5 meter sampai 1 meter.
Posisi pal batas 2010
Posisi trayek batas 2010
Gambar 1. Posisi pal batas sementara yang dipasang pada tahun 2010 dan jalur trayek batas sebagai pedoman pelaksanaan tata batas
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
111
(2a) (2b) Gambar 2. Pal batas kawasan HL yang dipasang pada tahun 1999 (2a) dan hutan lindung yang berubah menjadi perkebunan kopi (2b)
Gambar 3. Nilai indeks vegetasi MSAVI pada plot tanaman aren milik masyarakat di Desa Air Meles, Kabupaten Rejang Lebong
Gambar 4. Hasil analisis indeks vegetasi MID14 dari ALOS-AVNIR-2
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
112
Program
Judul Kegiatan Peneliti Utama Pelaksana Kegiatan
: Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementrian Riset dan Teknologi : Pengembangan Biofarmaka Di Sumatera Selatan : Ir. Asmaliyah, MSc. : Nanang Herdiana S.Hut Etik Ernawati Hadi, S.Hut Imam Muslimin, S.Hut Kusdi
Abstrak Tingginya laju deforestasi di dalam kawasan hutan Indonesia secara langsung akan berakibat pada minimnya keanekaragaman dan ragam penggunaan jenis tanaman obat yang terdapat di kawasan hutan. Lebih jauh, kearifan tradisional dalam pemanfaatan hasil hutan yang dianut dan dipegang oleh masyarakat asli yang mendiami atau telah sejak lama berinteraksi dengan hutan juga mulai menunjukkan gejala terdegradasi. Oleh karena itu apabila tidak segera dilakukan upaya pendokumentasi terhadap pengetahuan dan kearifan masyarakat tradisional tersebut, dikhawatirkan akan semakin banyak plasma nutfah Indonesia yang punah karena ketidaktahuan kita akan manfaat dan perannya terhadap kehidupan manusia.Mengacu pada keterangan tersebut, maka dalam kegiatan penelitian ini dilakukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis tumbuhan berkhasiat obat di beberapa lokasi dalam wilayah Sum-Sel dan dokumentasi herbarium dan kebun koleksi mini serta uji fitokimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) ditemukan sekitar 592 jenis tumbuhan obat yang digunakan mayarakat sebagai obat tradisional di tiga wilayah kabupaten di Sumatera Selatan, 2) sebagian jenis tumbuhan obat tersebut merupakan jenis tumbuhan obat yang dapat dikembangkan sebagai obat tradisional atau sebagai bahan baku obat tradisional dan sebagian lagi merupakan jenis tumbuhan obat potensial yang khasiatnya perlu dikaji secara ilmiah. Kata kunci: tumbuhan obat, inventarisasi dan identifikasi, uji fitokimia Ringkasan A. Latar Belakang Tingginya laju deforestasi di dalam kawasan hutan Indonesia, akan mengancam entitas dan kelestarian plasma nutfah botani Indonesia, utamanya yang berpotensi besar sebagai obat-obatan. Lebih jauh, kearifan tradisional dalam pemanfaatan hasil hutan yang dianut dan dipegang oleh masyarakat asli yang mendiami atau telah sejak lama berinteraksi dengan hutan juga mulai menunjukkan gejala terdegradasi. Jika tidak dilakukan upaya pendokumentasian pengetahuan dan kearifan masyarakat tradisional tersebut, dikhawatirkan akan semakin banyak plasma nutfah Indonesia yang punah karena ketidaktahuan kita akan manfaat dan perannya terhadap kehidupan manusia. Sehubungan dengan keterangan tersebut di atas, maka sebagai langkah awal telah dilakukan kegiatan
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
113
inventarisasi semua jenis tanaman obat yang masih dan pernah dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional untuk kepentingan pengobatan. Untuk menyakinkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam penggunaan obat dari bahan alam (tumbuhan), perlu pembuktian bahwa zat aktif yang dihasilkan dari suatu jenis tumbuhan merupakan kemampuan genetik yang bermanfaat sebagai obat. Data dan informasi yang didapat akan sangat berguna dalam strategi pengembangan suatu jenis tanaman obat yang komersial dan bernilai ekonomis tinggi untuk dikembangkan dimasa yang akan datang. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi jenis-jenis tumbuhan obat yang potensial yang akan dibuktikan secara ilmiah sehingga penggunaannnya dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Sedangkan sasaran dari kegiatan penelitian adalah: 1). Untuk mendapatkan data dan informasi serta dokumentasi jenis-jenis tumbuhan obat yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengobatan tradisional serta peta persebaran tumbuhan obat tersebut di wilayah Sumatera Selatan, dan 2) Untuk mendapatkan kandungan senyawa aktif dari jenis-jenis tumbuhan obat tersebut. C. Metode Penelitian 1. Inventarisasi dan Eksplorasi Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat Data dan informasi jenis tumbuhan yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat masing-masing etnis untuk pengobatan didapatkan dengan dua cara pendekatan, yaitu wawancara dan observasi lapang. Teknik wawancara dilakukan untuk menggali informasi sebanyak mungkin pengetahuan masyarakat lokal mengenai interaksi yang pernah dan tetap mereka lakukan terhadap jenis-jenis tumbuhan yang ada di sekitarnya. Observasi lapang digunakan sebagai teknik triangulasi bersama masyarakat untuk memverifikasi data dan informasi yang sebelumnya telah diperoleh melalui wawancara dan menggali lebih banyak lagi data dan informasi manfaat jenis tumbuhan yang ditemui di lapang. 2.
Analisis Data Jenis Tumbuhan Kegiatan analisa data jenis tumbuhan berupa: 1) menyusun daftar jenis tumbuhan berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi lapang; 2) Mengidentifikasi jenis tumbuhan yang ditemukan dengan menggunakan kunci identifikasii dengan buku-buku identifikasi yang ada. Adapun tumbuhan yang tidak ditemukan jenisnya akan diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, Botani LIPI, Cibinong dan 3) Membuat rangking dari jenis tumbuhan obat hasil kegiatan inventarisasi berdasarkan kriteria tingkatan tanaman, nilai kegunaan, ketersediaan sumberdaya di alam, kemudahan dalam perbanyakan, bagian tanaman yang bermanfaat, status riset pemanfaatan. 3. Dokumentasi herbarium, buku dan kebun koleksi mini Kegiatan dokumentasi herbarium dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tumbuhan hasil inventarisasi dan eksplorasi Penelitian Program Insentif Ristek-2010
114
dibuat koleksi kering (herbarium). Bagian tumbuhan secara lengkap, baik daun, bunga, biji, buah, kulit batang/batang, ranting, dan akar (bila ada) diolesi alkohol 70% kemudian ditempelkan pada kertas karton. Selanjutnya jenis-jenis tumbuhan (dalam kertas karton) tersebut disatukan dan dipress kemudian dikeringanginkan dan disimpan dalam kotak koleksi. Data dan informasi lokasi jenis tanaman dari GPS merupakan data dasar untuk pembuatan peta persebaran jenis tanaman biofarmaka. Kebun koleksi mini merupakan salah satu dokumentasi hidup dari jenis-jenis tanaman hasil eksplorasi yang telah dilakukan. Kegiatan pembuatan kebun koleksi ini dilakukan di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. 4.
Uji Fitokimia Kegiatan Uji fitokimia ekstrak dilakukan pada beberapa jenis tanaman biofarmaka yang penting. Pengujian ini diperlukan untuk mendapatkan perkiraan senyawa bioaktif yang terkandung dalam suatu jenis tanaman. Kegiatan ini dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Kehutanan Palembang dan Laboratorium Kimia Organik, Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya Palembang. Beberapa kegiatan dasar yang dilakukan sebelum uji fitokimia adalah kegiatan penyiapan serbuk dan ekstraksi. 5. Analisis Kualitatif Ekstrak dengan Kromatografi Gas Analisis ekstrak dengan kromatografi gas bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan jenis senyawa bioaktif dalam ekstrak yang diujikan. Kegiatan ini dilakukan di Laboraorium Kimia Hasil Hutan, Bogor. D. Hasil Yang Dicapai 1. Inventarisasi dan Eksplorasi Tumbuhan Berkhasiat Obat Berdasarkan hasil wawancara dan observasi langsung ke lapangan pada tiga kabupaten di Sumatera Selatan, yaitu kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Musi Banyuasin (Muba) dan Musi Rawas (Mura) dengan beberapa nara sumber berupa dukun, pemuka adat, perangkat desa, ibu-ibu PKK, generasi muda dan masyarakat yang dipercaya mempunyai pengetahuan tentang pengobatan tradisional, ditemukan total keseluruhan jumlah tumbuhan yang biasa digunakan masyarakat lokal untuk pengobatan tradisional berjumlah 383 jenis tumbuhan di kabupaten OKI dari sembilan desa; 158 jenis tumbuhan di kabupaten Muba dari empat desa; dan 161 jenis tumbuhan di kabupaten Mura dari tiga desa. 2. Dokumentasi herbarium, elektronik, buku dan kebun koleksi mini Jenis tumbuh-tumbuhan yang ditemukan berdasarkan hasil inventarisasi dan eksplorasi di lapang didokumentasikan dalam bentuk foto, herbarium (koleksi kering), elektronik dan koleksi hidup. Dokumentasi dalam bentuk foto dan elektronik dilakukan terhadap semua jenis tumbuh-tumbuhan yang ditemukan, sedangkan dokumentasi dalam bentuk herbarium dan koleksi hudup belum semuanya bisa didokumentasikan. Hal ini disebabkan karena jenis tumbuhtumbuhan tersebut tidak ditemukan atau sulit untuk mengambil bagian tertentu
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
115
dari tanaman tersebut untuk dikembangbiakkan. Sampai saat ini jumlah koleksi hidup yang ada di persemaian sekitar 90 jenis tumbuhan. 3. Uji Fitokimia dan CGMS (Gas Chromatografi dan Spektroskopi Mass) Jumlah jenis tumbuhan yang telah dilakukan uji fitokimianya sebanyak lebih kurang 30 jenis tumbuhan, antara lain kembang hati, tapak gajah, seribu bisa, kunir putih, nangka kuning dan kentangan. Sedangkan untuk uji analisis secara kualitatif dengan CGMS sebanyak lebih kurang 20 jenis tumbuhan, antara lain bemban burung (ranting, buah dan daun), kayu diwil putih, daun tuba ulat, daun pinang, daun semangsat, daun semantung, daun puar merah dan balik angin. Jenis-jenis tumbuhan yang dianalisis dengan CGMS adalah jenis tumbuhan yang secara ujifitokimia mengandung senyawa aktif dengan nilai +4 dan +3. Hasilnya sampai saat ini belum bisa dilaporkan karena masih dalam proses pengujian.
a
b
c
d
Gambar 1. a= kembang hati, b= seribu bisa, c= tapak gajah, d= kunir putih Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan a. Total keseluruhan jenis tumbuhan obat yang ditemukan di tiga wilayah kabupaten di Sumatera Selatan, yaitu kabupaten OKI, MUBA, dan MURA berjumlah sekitar 592 jenis tumbuhan b. Sebagian jenis tumbuhan obat yang ditemukan merupakan jenis tumbuhan obat tradisional yang dapat dikembangkan sebagai obat tradisional atau sebagai bahan baku obat tradisonal dan sebagian lagi merupakan jenis tumbuhan obat potensial yang khasiatnya perlu dikaji secara ilmiah. 2. Rekomendasi Untuk mengantisipasi kelangkaan jenis-jenis tumbuhan obat ini perlu adanya konservasi baik di habitat aslinya maupun di luar habitatnya. Salah satunya dengan pembuatan demplot tanaman obat, yang juga dapat dijadikan sebagai media bagi masyarakat untuk mengenal dan mendapatkan informasi tentang jenis tumbuhan obat. Ketidaktahuan masyarakat terhadap jenis tumbuhan obat dan manfaatnya tersebut dapat menjadi salah satu penyebabnya kelangkaan atau musnahnya tumbuh-tumbuhan tersebut.
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
116
Program
Fokus Bidang Prioritas Judul Kegiatan
Peneliti Utama Pelaksana Kegiatan
: Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementrian Riset dan Teknologi : Teknologi Kesehatan dan Obat : Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Hutan Tanaman Jelutung Dengan Pola Agrosilvofishery : Ir. R. Dody Prakosa, M. Sc : Ir. Bastoni Andika Imanullah, S. Si Agung Wahyu N, S. Hut, M. Sc Fatahul Azwar, S. Hut
Abstrak Konversi lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dan karet telah mengundang banyak perdebatan. Di satu sisi konversi dapat meningkatkan nilai ekonomi lahan, sementara di sisi lain konversi dapat menimbulkan kerusakan dan mengancam kelestarian lahan gambut dalam jangka panjang. Minat konversi yang besar masih lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi semata, belum tersedia alternatif pengganti kedua komoditi tersebut yang banyak diminati masyarakat di lahan kering. Oleh karena itu perlu dicari jenis komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang tidak kalah dengan kelapa sawit dan karet tetapi lebih ramah lingkungan untuk pengembangan di lahan gambut. Jelutung (Dyera lowii) adalah salah satu dari sedikit pilihan komoditi yang sesuai untuk tujuan tersebut. Jelutung merupakan jenis pohon penghasil getah dan kayu. Jelutung juga dapat digunakan sebagai penyerap karbon yang efektif dalam jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk membangun hutan tanaman jelutung sebagai alternatif pengganti kelapa sawit dan karet di lahan gambut. Penelitian dilaksanakan pada lahan gambut dalam - sangat dalam (> 3 meter) di Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan Demonstrasi Plot (Demplot) hutan tanaman jelutung menggunakan pola agrosilvofishery (wana-mina-tani) untuk diversifikasi komoditi dan melipatgandakan hasil dalam satu hamparan lahan. Pada tahun 2010 kegiatan orientasi dan penetapan lokasi penelitian, penyiapan lahan dan penanaman tanaman jelutung pada lahan gambut sangat dalam (> 3 meter), pemeliharaan, pengamatan dan pengumpulan data pertumbuhan tanaman hutan (jelutung), pembuatan empang parit dan penabatan kanal untuk perikanan, penyiapan lahan dan penanaman tanaman pertanian (nenas). Kata kunci: Jelutung, lahan gambut, hutan tanaman, ramah lingkungan, agrosilvofishery
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
117
Ringkasan: A. Latar Belakang Potensi lahan gambut di pulau Sumatera sangat besar meliputi areal seluas 7,2 juta hektar dan 1,42 juta hektar diantaranya terdapat di provinsi Sumatera Selatan (Wahyunto, Ritung dan Subagjo, 2003). Kondisi lahan gambut saat ini, pada kawasan hutan sebagian besar sudah tidak berhutan dan pada areal penggunaan lain sebagian besar telah dibebani konsesi perkebunan besar kelapa sawit. Luas konsesi perkebunan kelapa sawit di lahan gambut secara nasional telah mencapai 2,8 juta hektar (Antaranews, 31-10-2009). Masyarakat juga mulai menanam karet di lahan gambut yang belum teruji kesesuaiannya. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 14 tahun 2009, pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut harus dilakukan pada gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter, substratum tanah di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam. Praktek di lapangan menunjukkan masih cukup banyak areal gambut dalam – sangat dalam (> 3 meter) yang terkena konsesi perkebunan. Apabila lahan gambut dalam – sangat dalam tetap dibuka untuk perkebunan maka dampaknya akan sangat mengancam kelestarian gambut dan lingkungan. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk membangun hutan tanaman jelutung sebagai alternatif pengganti kelapa sawit dan karet di lahan gambut dengan mengintegrasikan budidaya perikanan dan tanaman pangan yang sesuai dalam pola agrosilvofishery (wana-mina-tani). Sedangkan sasaran penelitian adalah: 1. Mengenalkan hutan tanaman jelutung sebagai komoditi andalan ramah lingkungan untuk lahan gambut yang bersifat multiguna sebagai penghasil kayu pertukangan, HHBK dan penyerap karbon. 2. Menekan upaya konversi lahan gambut untuk penggunaan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahannya sehingga dapat mencegah kerusakan gambut dan lingkungan. 3. Mengoptimalkan pemanfaatan lahan gambut sebagai sumber ketahanan pangan melalui penerapan pola agrosilvofishery. C. Metode Penelitian Pembangunan Demonstration Plot (Demplot) hutan tanaman jelutung dengan pola agrosilvofishery dilaksanakan pada lahan gambut sangat dalam (> 3 meter) di daerah Kedaton Kabupaten OKI – Sumatera Selatan. Lahan gambut di daerah tersebut merupakan eks hutan produksi konversi (HPK) yang telah dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dan karet. Tahapan pembuatan demplot meliputi: identifikasi karakter lahan gambut, pembuatan desain demplot, penyiapan lahan dan penanaman tanaman kehutanan (jelutung) dan tanaman pertanian (nenas), pembuatan parit dan penabatan dan kanal untuk perikanan.
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
118
Rancangan percobaan yang digunakan adalah petak terbagi (Split plot design). Petak utama adalah pola tanam, terdiri dari (1) hutan tanaman jelutung monokultur (T1) dan (2) hutan tanaman jelutung tumpangsari dengan tanaman pertanian (T2). Anak petak adalah perlakuan pemupukan, terdiri dari (1) tanpa pemupukan NPK(P0), (2) pemupukan NPK 2 kali per tahun (P2), (3) pemupukan NPK 3 kali per tahun (P3), (3) pemupukan NPK 4 kali per tahun (P4). D. Hasil yang Telah Dicapai Demplot yang telah dibangun mempunyai luas 1,5 hektar. Jumlah tanaman jelutung yang ditanam sebanyak 750 batang dengan jarak tanam 5 m x 4 m. Nenas ditanam diantara 2 jalur jelutung dengan jarak tanam 1 m x 0,5 m. Parit untuk perikanan dibuat sepanjang 750 meter dengan dimensi dalam 0,5 meter dan lebar 1 meter. Penabatan (bendungan) kanal dilakukan pada parit utama yang memiliki aliran cukup deras. Pada bagian permukaan bendungan dibuat outlet yang didesain untuk masuknya ikan dari bagian bawah menuju ke bagian atas parit utama yang dibendung. Jelutung yang ditanam mempunyai tinggi awal berkisar antara 38,20 cm – 58.20 cm. Diameter awal tanaman jelutung berkisar antara 0.83 cm – 1.06 cm. Daya hidup tanaman jelutung berkisar antara 91.67% - 100%. Dari indikator daya hidup tanaman yang sangat tinggi menunjukkan bahwa jelutung sangat adaptif pada kondisi site di lokasi penelitian. Ikan yang banyak dijumpai pada lokasi penelitian adalah ikan tapa yang berukuran besar (> 1.0 kg/ekor) dan ikan lele, sereko, serandang yang berukuran sedang (0.1 – 1.0 kg/ekor) dan ikan selincah, sepat dan betok yang berukuran kecil (< 0,1 kg/ekor). Jenis tanaman pertanian yang dipilih adalah jenis tanaman yang sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Pilihan tanaman pertanian untuk kegiatan ini adalah nenas. Nenas merupakan jenis tanaman hortikultura penghasil buah yang sangat adaptif dikembangkan pada lahan gambut tebal (dalam). Nenas dapat bertahan hidup pada kondisi tergenang air. Input pupuk tanaman nenas pada lahan gambut relatif kecil dengan pemiliharaan yang tidak perlu intensif. E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Jelutung yang ditanam dengan porsi terluas dalam plot penelitian mempunyai daya hidup yang tinggi. 2. Ikan yang dikembangkan adalah jenis-jenis ikan lokal yang sudah teruji dan mampu beradaptasi dengan kondisi air gambut yang bereaksi masam (lele, gabus, selincah, betok, sepat dan tembakang). 3. Nenas adalah tanaman pertanian yang dipilih karena kemampuan adaptasinya yang baik pada lahan gambut dan genangan air. 4. Penabatan kanal (parit) dapat meningkatkan permukaan air tanah, meningkatkan kelembaban areal pertanaman jelutung dan nenas serta dapat meningkatkan volume air yang mengisi empang parit. Kondisi tersebut akan
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
119
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jelutung dan nenas yang diusahakan, meningkatkan produksi ikan alam yang dapat dipanen. 5. Kegiatan penelitian ini masih tahap awal dan perlu terus dilanjutkan untuk pengamatan dan pengumpulan data. Data yang diperoleh akan sangat berharga untuk mencari alternatif pengganti kelapa sawit dan karet dan mencari polapola budidaya campuran (integratif farming) pada lahan gambut. Demplot yang telah dibangun merupakan percontohan yang akan berdampak besar bagi perubahan pola budidaya pada lahan gambut yang lebih ramah lingkungan. Lampiran :
Kondisi awal lahan gambut
Penyiapan lahan untuk Jelutung
Pemupukan jelutung
Penanaman nenas
Parit untuk perikanan
Jenis-jenis ikan lokal yang dibudidayakan Penelitian Program Insentif Ristek-2010
120
Program
:
Judul Kegiatan
:
Peneliti Utama Pelaksana Kegiatan
: :
Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementrian Riset dan Teknologi Pengembangan Nibung (Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl.) Sebagai Sumber Pangan dan Kayu Pertukangan Ir. Abdul Hakim Lukman, MSi. Hengki Siahaan, S. Hut., MSi. Sahwalita, S. Hut., MP. Maliyana Ulfa, SP., MSc.
Abstrak Nibung (Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl.) merupakan salah satu jenis hasil hutan yang perlu dikembangkan dan dilestarikan melalui kegiatan penanaman, karena populasinya di hutan alam sudah menurun sementara kebutuhan akan batang nibung khususnya bagi masyarakat di pesisr pantai dan sekitar hutan rawa sangat memerlukannya. Sebagai langkah awal dalam pengembangan nibung, Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada tahun 2009 dan 2010 telah melaksanakan kegiatan penelitian nibung mulai dari aspek kajian sebaran, pembibitan dan pembuatan plot uji penanaman. Hasil survei menunjukkan sebaran nibung dapat dijumpai di pesisir pantai timur Sumatera, seperti di TN. Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Bengkalis, dan Tanjung Jabung Timur. Potensi jumlah rumpun maupun batang nibung per hektar menurun, sementara jumlah tunggak dan pohon yang mati cukup banyak. Hasil pemibitan aplikasi arang kompos dan naungan menunjukan tingkat naungan 65% menghasilan pertumbuhan bibit nibung umur 1 tahun yang lebih baik. Kata kunci : Nibung (Oncosperma tigillarium), kayu pertkangan, sebaran, pembibitan Ringkasan A. Latar Belakang Nibung (Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl) merupakan pohon yang termasuk ke dalam kelompok palma yang masih liar dan telah lama dimanfaatkan untuk tiang bangunan rumah panggung di daerah rawa pasang surut dan untuk membuat konstruksi bagan bagi penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Fakta di lapang menunjukkan batang nibung hingga saat ini masih diperlukan, khususnya untuk membuat bagan, karena belum ada jenis tumbuhan lain sebagai substitusinya yang memiliki batang lurus dan panjang serta tahan dalam air laut, sementara populasinya di alam semakin berkurang, akibat eksploitasi yang kurang bijaksana selama ini. Saat ini para penibung sudah merasa kesulitan mencari atau mendapatkan rumpun-rumpun nibung di alam. Melihat permasalahan nibung tersebut di atas, yakni permintaannya yang masih cukup tinggi, khususnya oleh penduduk sekitar daerah pesisir dan pasang surut, sementara ketersediaanya di alam sudah berkurang, sehingga perlu upaya pengembangan dan pelestarian jenis tersebut melalui kegiatan penanaman Penelitian Program Insentif Ristek-2010
121
kembali. Pada tahun 2010 Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah membangun plot ujicoba penanaman nibung di Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan. Selain kegiatan penanaman, dilakukan juga kegiatan pembibitan dan survey sebarannya. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran alami nibung, teknik pembibitan dan penanaman nibung. Sasarannya yang ingin dicapai dalam tahun 2010 adalah diperolehnya informasi sebaran nibung di Sumatera Selatan, Jambi dan Riau; data pertumbuhan bibit nibung dengan aplikasi naungan dan arang kompos di persemaian; data pertumbuhan cabutan bibit nibung rawa dan bayas dengan metode penyungkupan; dan data pertumbuhan awal tanaman nibung pada berbagai jarak tanam dan dosis dolomit yang digunakan C. Metode Penelitian 1. Survey Sebaran dan Potensi Tegakan Lokasi sebaran alami diperoleh dengan metode survey, sedangkan untuk mengetahui potensi tegakan diperoleh dengan metode inventarisasi. Metode inventarisasi menggunakan metode jalur dengan lebar 20 m dan jarak antar jalur 50 m, Pada setiap jalur dibuat petak pengamatan berukuran 20 x 20 m secara sistematis dengan jarak antar petak sebesar 20 m. 2. Pembibitan Nibung Pada penelitian pembibitan nibung dilakukan tiga kegiatan ujicoba, yaitu uji perkecambahan benih nibung, uji apikasi arang kompos dan naungan pada pembibitan nibung asal cabutan, dan komparasi pertumbuhan cabutan nibung rawa (O. tigillarium) dan nibung darat (O. horridum) dengan metode penyungkupan. Penelitian pembibitan nibung menggunakan metode eksperimental. 3. Persiapan Lahan dan Penanaman Nibung Penelitian penanaman nibung menggunakan rancangan Split plot dengan jarak tanam sebagai petak utama dan dosis dolomit sebagai sub plot. Jarak tanam terdiri atas tiga taraf yaitu 4 x 4 m; 4 x 5 m; dan 5 x 5 m sedangkan dosis dolomit terdiri atas 3 taraf yaitu tanpa dolomit, dosis dolomit 1 kg/tanaman dan 2 kg/tanaman. Peubah yang diamati terdiri dari persentase hidup, tinggi dan jumlah pelepah tanaman. D. Hasil yang dicapai 1. Sebaran Nibung Hasil studi, nibung diperkirakan tersebar di wilayah pantai timur Sumatera. Berdasarkan dugaan awal ini survey sebaran alami dilaksanakan di lokasi di Pantai Timur Sumatera, yaitu di daerah Taman Nasional Sembilang, Provinsi Sumatera Selatan (3 lokasi), pesisir pantai Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau (2 lokasi), dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi (1 lokasi). 2. Permudaan dan potensi nibung Penelitian Program Insentif Ristek-2010
122
Nibung tumbuh dan tersebar secara berkelompok dalam rumpun-rumpun. Rumpun terbentuk akibat terjadinya permudaan alami secara vegetatif melalui tunas. Potensi dan tingkat permudaan nibung adalah sebagai berikut : Jumlah rumpun per hektar berkisar 50-425 dengan jumlah batang per rumpun sekitar 2,8 – 8,7 batang dan jumlah tunggak berkisar anatara 0 – 1.749 per hektar. Potensi anakan berkisar antara 6,0 – 7,9 per rumpun atau sekitar 542,5-2.328 anakan per hektar. 3. Pembibitan Nibung Hasil pengamatan pertumbuhan bibit nibung pada umur 1 tahun pada kegiatan aplikasi arang kompos dan naungan) menunjukkan bahwa pada naungan 65% (N2), pertumbuhan bibit lebih baik daripada kedua naungan lainnya. Pada intensitas naungan 65 % nilai tinggi bibit, jumlah pelepah, dan persen hidup, masing-masing mencapai 33,08 cm; 5,97 helai, dan 73,23%. Pada aplikasi arang kompos, masing-masing variabel pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda. Pertumbuhan tinggi bibit terbaik pada komposisi arang kompos 20% (M3) dengan rata-rata tinggi bibit 30,5 cm. Jumlah pelepah terbanyak terjadi pada media M2 (arang kompos 10%) sementara persen hidup tertinggi terjadi pada media M1 (top soil murni). Hasil kegiatan komparasi pertumbuhan 2 jenis nibung asal cabutan alam, yaitu nibung rawa dan nibung darat atau bayas menunjukkan bahwa persen hidup bibit nibung rawa jauh lebih baik dibandingkan nibung darat (bayas). Hingga umur 3 bulan persen hidup nibung rawa mencapai 96,97%, sedangkan bayas hanya mencapai 63,79%. 4. Pertumbuhan Tanaman Kegiatan pengamatan pertumbuhan tanaman nibung pada tahun 2010 baru dilakukan satu kali, yaitu pada umur tanaman satu bulan setelah tanam. Pertumbuhan tanaman nibung umur satu bulan setelah tanam adalah : persentase hidup 100%, tinggi berkisar antara 26,07 – 29,40 cm dan jumlah pelepah berkisar anatar 5,31 – 5,90 helai. E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan: a. Sebaran nibung (Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl) dapat dijumpai di pesisir timur Sumatera, seperti di TN. Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan; Kabupaten Bengkalis, Propinsi Raiau; dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi. b. Jumlah batang nibung per hektar di lokasi studi berkisar antara 283 – 2490 batang, dengan jumlah tungak sekitar 0 – 1749 buah. c. Permudaan alam nibung dapat terjadi secara vegetatif melalui tunas, dengan jumlah anakan per hektar sekitar 258 – 2749 anakan. d. Pada umur 1 tahun pertumbuhan bibit nibung terbaik terdapat pada naungan 65% (N2) untuk semua variabel pengamatan. Pada intensitas naungan 65 %
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
123
tinggi, jumlah pelepah, dan persen hidup, masing-masing mencapai 33,08 cm; 5,97 helai, dan 73,23%. e. Persen hidup bibit nibung rawa lebih baik dibandingkan nibung darat (bayas). Hingga umur 3 bulan persen hidup nibung rawa mencapai 96,97%, sedangkan bayas hanya mencapai 63,79%. f. Pada tahap awal penanaman, tanaman nibung dapat tumbuh dengan baik hingga mencapai persen hidup 100%. Perlakuan yang diterapkan, baik jarak tanam maupun jenis pupuk belum menunjukkan perbedaan pada awal penanaman. 2. Rekomendasi Untuk menghasilkan bibit nibung siap tanam (umur 1 tahun) yang baik, sebaiknya menggunakan naungan dengan intesitas sebesar 65%. Lampiran
Gambar 1. Kegiatan pembuatan plot ukur
Gambar 3. Pohon nibung pada lahan darat di Kabupaten Batanghari, Jambi
Gambar 2. Pohon nibung pada lahan rawa di Tanjung Jabung Timur, Jambi
Gambar 4. Kegiatan pengukuran bibit nibung di persemaian
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
124
Program
Judul Kegiatan
Peneliti Utama Pelaksana Kegiatan
: Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementrian Riset dan Teknologi : Pengembangan Dan Peningkatan Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu Sebagai Bahan Obat Di Sumatera : Drs. Agus Sofyan, MSc. : Agus Sumadi S. Hut Agus Kurniawan, S. Hut Ari Nurlia, S. Hut
Abstrak Gaharu memiliki fungsi sebagai bahan obat yang potensial. Melihat kondisi di lapangan pada konvesi CITES tanggal 2 – 14 Oktober 2004 di Bangkok, gaharu dimasukkan dalam Apendix II yang artinya termasuk dalam pohon terancam punah, sehingga diperlukan penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan informasi sebaran, potensi, persyaratan tumbuh, pertumbuhan pohon penghasil gaharu dan koleksi genus dari berbagai populasi sebagai bahan penelitian budidaya pohon penghasil gaharu. Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan survei sebaran, potensi dan persyaratan tumbuh pohon penghasil gaharu di tempat endemik gaharu dan lokasi penanaman jenis pohon gaharu oleh masyarakat yang ada di Sumatera. Penelitian juga melakukan pengamatan pertumbuhan pohon penghasil gaharu. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan sebaran penanaman pohon penghasil gaharu telah dilaksanakan secara luas oleh masyarakat baik dengan pola monokultur dan pola campuran. Tegakan pohon gaharu yang ada dimasyarakat memiliki berbagai umur dan kondisi pertumbuhan yang berbeda. Permasalahan yang dihadapi masyarakat kurangnya pengetahuan mengenai teknik pembudidayaan dan inokulasi pohon penghasil gaharu untuk mencapai hasil yang maksimal. Kata kunci : gaharu, obat, sebaran, potensi, inokulasi. A. Latar Belakang Gaharu mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi dengan varian pemanfaatan yang luas, sebagai bahan obat berbagai penyakit, kosmetik serta parfum. Budidaya atau penanaman pohon penghasil gaharu secara tradisional telah mulai dilakukan sejak tahun 2003 di beberapa daerah seperti Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Bangka Blitung, sementara informasi tentang sebaran alami dan persyaratan tumbuh pohon-pohon penghasil gaharu guna pengembangan jenis-jenis dimaksud pada masa mendatang belum banyak diketahui. Pemahaman masyarakat mengenai proses pembentukan gubal gaharu serta teknik inokulasinya belum memadai, sehingga memerlukan dukungan teknologi guna peningkatan riap pertumbuhan tanaman dan percepatan pembentukan gubal gaharu.
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
125
B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan paket informasi sebaran, potensi dan persyaratan tumbuh jenis pohon penghasil gaharu di Sumatera bagian selatan. Sasaran penelitian antara lain mendapatkan informasi sebaran, persyaratan tumbuh dan potensi pohon penghasil gaharu di berbagai wilayah yang ada di Sumatera bagian selatan, Mendapatkan informasi pertumbuhan pohon penghasil gaharu pada berbagai kondisi tempat tumbuh, Mendapatkan materi genetik dari berbagai spesies dan populasi (sumber benih) dalam upaya konservasi dan peningkatan produktivitas. C. Metode Penelitian Kegiatan penelitian sebaran alami, pertumbuhan serta teknik budidaya pohon penghasil gaharu dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu 1) Survey sebaran, teknik budidaya pohon penghasil gaharu pada beberapa kabupaten di kedua propinsi. Pengumpulan informasi dilakukan melalui berbagai literature, Dinas Kehutanan/Perkebunan pada kedua Propinsi/Kabupaten yang dilanjutkan dengan penelusuran (ground cek) ke masing-masing lokasi. 2) pengukuran pertumbuhan pohon penghasil gaharu dilakukan dengan pembuatan plot pengamatan pada masing-masing lokasi (kabupaten). Parameter yang diukur adalah pertumbuhan tinggi dan diameter. D. Hasil yang Telah Dicapai 1. Potensi Pohon Penghasil Gaharu Pengamatan dan pengukuran potensi pohon penghasil gaharu di Kabupaten Banyuasin dilakukan Kecamatan Betung. Pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami tumbuh diantara pohon-pohon karet yang dipelihara oleh masyarakat dengan diameter berkisar antara 15 - 20 cm dan tinggi berkisar antara 8 – 13 m. Lokasi tegakan gaharu terdapat pada ketinggian 26 mdpl. Pengukuran pertumbuhan pohon penghasil gaharu telah dilakukan pada tanaman umur 1 tahun (seluas 4 Ha) dengan naungan pohon karet, dari 40 pohon sampel yang diukur, diperoleh rata-rata pertumbuhan diameter sebesar 2,6 ± 0,97 cm dan tinggi sebesar 1,74 ± 0,27 m. Kabupaten Lahat tepatnya di Kecamatan Merapi Barat. Pengukuran dan pengamatan dilakukan pada pohon penghasil gaharu umur 6 tahun dengan pola tanam monokultur jarak tanam 2 x 3 m, dan jumlah tanaman sebanyak 400 pohon. pertumbuhan pohon mempunyai tinggi rata-rata sebesar 6,78 ± 0,63 m dengan diameter sebesar 10,53 ± 1,52 cm. Pada lokasi ini dijumpai sebagian pohon telah mengalami masa generatif. Kegiatan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Musi Rawas berlokasi di Desa Sukakarya, Kecamatan STL Ulu Terawas. Masyarakat telah mengembangkan dan membudidayakan pohon penghasil gaharu sejak tahun 2005. Lokasi tegakan pohon penghasil gaharu pada ketinggian 69 m dpl. Hasil pengukuran tegakan rata-rata diameter tegakan
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
126
sebesar 5,14 cm, rata-rata tinggi bebas cabang sebesar 1,19 m serta rata-rata tinggi total 4,28 m. Kegiatan pengembangan dan peningkatan produktivitas pohon penghasil gaharu di Propinsi Jambi telah dilakukan di Kabupaten Merangin (2 lokasi) dan Kota Madya Jambi (2 lokasi). Di Kabupaten Merangin, kegiatan dilaksanakan di Desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu pada ketinggian 86 m dpl. Pertumbuhan tanaman pada umur 4 tahun (30 pohon), rata-rata diameter sebesar 8,26 ± 2,2 cm dengan tinggi 4,85 ± 0,82 m. Pada umur 5 tahun (5 pohon), rata-rata diameter sebesar 16,73 ± 2,41 cm dengan tinggi 8,63 ± 0,95 m. Sementara pada umur 7 (11 pohon) dan 8 tahun (20 pohon) masing-masing sebesar 18, 96 ± 3,03 cm untuk diameter dengan tinggi 8,50 ± 1,58 m dan 17,42 ± 2, 17 cm untuk diameter dengan tinggi sebesar 7,13 ± 0,76 m. Pengukuran pertumbuhan dan penyuntikan pada lokasi ke-2 di Propinsi Jambi telah dilaksanakan di Kota Madya Jambi (Kelurahan Kenali Asam Bawah dan Kelurahan Mayang Mangurai, Kecamatan Kota Baru). Data hasil pengukuran di Kelurahan Mayang Mangurai menunjukkan rata-rata pertumbuhan diameter sebesar 9,32 ± 2,24 cm dan tinggi sebesar 5,42 ± 0,49 m. Sementara di Kelurahan Kenali Asam Bawah rata-rata pertumbuhan diameter sebesar 13,08 ± 2,06 cm dengan tinggi 6,68 ± 0,55 m 2. Teknik inokulasi dalam rangka pembentukan gaharu melalui penyuntikan inokulan Di Desa Sukakarya Kecamatan STL Ulu Terawas, Musi Rawas, telah dilakukan penyuntikan terhadap 4 pohon penghasil gaharu yang berumur 4 tahun yang ditanam di pekarangan rumah masyarakat. Masing-masing pohon disuntik sebanyak 6 lubang suntikan dengan mata bor 6 mm. Masing-masing lubang disuntik dengan 3 ml inokulan. Kegiatan inokulasi di Kabupaten Banyuasin telah dilakukan di Dusun Sungai Kabung, Desa Rimba Asam, Kecamatan Betung sebanyak 10 pohon yang tumbuh secara alami. Masing-masing pohon diinokulasi sebanyak 9 – 12 lubang dengan berbagai asal inokulan (Kalimantan, Bogor, dan Perhutani). Perlakuan yang diterapkan, selain asal inokulan, juga ukuran mata bor yang digunakan dalam pengeboran (6, 8, dan 10 mm). Untuk di Kabupaten Lahat, selain dilakukan penyuntikan, juga dilakukan pelatihan. Pelatihan mengenai prosedur inokulasi (persiapan alat, pengeboran, penyuntikan, dan penutupan lubang) kepada para petugas penyuluh lapangan (3 orang) dan petani gaharu (1 orang). Penyuntikan dan pengukuran dilakukan terhadap tanaman gaharu yang berumur 6 tahun. Percobaan penyuntikan dilakukan terhadap 10 batang pohon dengan 9 lubang suntik per pohon. Kegiatan inokulasi di Propinsi Jambi telah dilakukan di Kabupaten Merangin dan Kota Madya Jambi. Inokulasi di Kabupaten Merangin telah dilakukan pada tanaman penghasil gaharu berbagai umur (4, 5, 7, dan 8 tahun). Pada tanaman umur 4 tahun telah dilakukan inokulasi atau penyuntikan sebanyak 20 pohon dengan masing-masing 6 lubang suntik per pohon (3 lubang dengan inokulan asal Kalimantan dan 3 lubang inokulan asal Bogor (Biotrop)). Pada Penelitian Program Insentif Ristek-2010
127
tanaman umur tahun sebanyak 5 pohon dengan masing 9 lubang suntik per pohon dengan 3 asal inokulan (Kalimantan, Bogor, dan Perhutani). Penyuntikan atau inokulasi pada tanaman umur 7 tahun dan 8 tahun masing sebanyak 11 dan 12 pohon dengan jumlah lubang suntik masing-masing 9 lubang per pohon, menggunakan 3 asal inokulan yang berbeda (Kalimantan, Bogor,dan Perhutani). Kegiatan inokulasi di Kota Madya Jambi dilakukan di dua lokasi yaitu Kelurahan Kenali Asam Bawah dan Kelurahan Mayang Mangurai, Kecamatan Kota Baru masing-masing sebanyak 4 pohon dan 6 pohon. Masing-masing pohon ada 6 lubang suntikan, selain itu dilakukan juga kegiatan pelatihan terhadap penyuluh (1 orang) dan petani (2 orang) mengenai teknik penyuntikan dan penjelasan tentang proses terbentuknya gaharu. 3. Evaluasi inokulasi pohon penghasil gaharu Evaluasi dilakukan dengan membuka lubang bekas inokulasi untuk mengetahui ada tidaknya indikasi keberhasilan perlakuan yang diterapkan yaitu asal inokulan dan ukuran mata bor yaitu meliputi bentuk dan luas infeksi pada batang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum, batang tanaman gaharu yang diinfeksi mempunyai indikasi awal terjadinya infeksi dengan pengaruh positif. Hal ini ditandai dengan adanya bau khas gaharu jika dilakukan pembakaran pada sayatan yang berasal dari luka infeksi yang terjadi. Luas infeksi yang terjadi setelah 1,5 bulan diinokulasi berkisar antara 1,6 – 5 cm untuk horisontal (diameter) dan untuk vetikal (tinggi) berkisar antara 5 – 16 cm. Pertambahan luas infeksi umumnya berbentuk elip dan bulat, warna coklat kehitaman, dengan kondisi batang relatif masih keras. E. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan 1. Sebaran pohon penghasil gaharu khususnya Aquilaria malaccensis terdapat di seluruh wilayah Sumatera bagian selatan baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan oleh masyarakat. 2. Adanya variasi pertumbuhan di berbagai lokasi tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi tempat tumbuh baik edafis maupun klimatis. Rekomendasi Mengingat pemahaman tentang proses pembentukan gaharu yang belum dipahami oleh petani gaharu, maka pembelajaran dan alih teknologi mengenai teknik budidaya dan inokulasi pohon penghasil gaharu sangat perlu untuk dilakukan.
Penelitian Program Insentif Ristek-2010
128
a
b
a
b
Gambar 1. Gaharu umur 1 tahun memiliki pertumbuhan berbeda antara ternaungi (a) dan terbuka (b)
a b Gambar 2. Tegakan pohon gaharu umur 6 tahun (a), batang pokok lebih dari satu (b)
Gambar 3. Reaksi positif batang pohon setelah diinokulasi selama 1,5 bulan Penelitian Program Insentif Ristek-2010
129