PROGRAM COGNITIVE-BEHAVIOR-ORGANIZATION MENINGKATKAN KETELITIAN, MENURUNKAN INDEKS STRES DAN CORTISOL, KARYAWAN BANK "X" BALI Susy Purnawati Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana E-mail: s
[email protected] ABSTRACT In recent years, job stress is a major issue in the field of occupational health. Awareness of the problem of job stress among managers, employees and implementing health care began to emerge when the perceived demands of the increasing pressure of work, job insecurity and feelings of under capability in the workplace. So it is necessary to apply job stress management program that are not only important for the productivity and morale but also for the company image. As well as for the individual or the employees themselves and for the society in general. Experimental studies have been carried out against 15 employees of a bank in Bali in April to December 2010 which aims to analyze the increased of vigilance, reduced stress, index and cortisol after the intervention of CBO (cognitive-behavior organization). The mean age of employees who are involved in this study were 37 ± 6.1 years with the lowest employment is two years. The working environment shows the wet temperature range 19.5 degree Celsius, dry temperature of 25.1 degrees Celsius and relative humidity 60%. After the intervention program CBO found a significant increase in accuracy (23%) with a decrease in error, with a value of p = 0.004 (p 0.005). Similarly, the index of stress (stress index reduced of 19%) with a value of p = 0.024 or p <0.005. Against the morning blood cortisol decreased by 8% with p value = 0.000 (or p <0.05).
Key words: job stress, CBO, vigilance
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
1
PENDAHULUAN Stres kerja dalam bahasa Inggrisnya diistilahkan dalam beberapa term, yaitu job stres atau work stres atau work-related stres. Stres kerja adalah kondisi distres (pengertian oleh Selye) atau allostatic load (istilah oleh Mc Ewan, 2007) yang dihubungkan dengan faktor pekerjan akibat stres fisik maupun psikologis. Stres kerja dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi produktivitas kerja, performance dan image perusahaan (Susy Purnawati, 2007). Beberapa tahun terakhir, stres kerja merupakan isu utama dalam bidang kesehatan kerja. Sudah terbukti bahwa stres kerja berkontribusi terhadap terjadinya burnout (Tsai, dkk., 2009),berkembangnya perilaku maladaptasi seperti minum-minuman keras dan merokok dan kondisi-kondisi kesehatan seperti depresi, kecemasan, kegugupan, kelelahan, gangguan jantung (Baker dan Karasek, 2000) dan low back pain (Ghaffari, dkk., 2008). Selain itu, stres kerja juga dapat memicu timbulnya kekerasan di tempat kerja yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas kerja dan image perusahaan serta menurunkan kesejahteraan pekerja (Giga dan Hoel, 2003). Di negara Jepang, proporsi pekerja yang dilaporkan mengalami kecemasan yang berat, kekhawatiran atau stres sehubungan dengan pekerjaan atau working life menunjukkan peningkatan dari 53% pada tahun 1982 menjadi 63%pada tahun1997 (Baker dan Karasek, 2000; Haratari dan Kawakami, 2003). Penelitian oleh Hoel dkk pada tahun 2001 menemukan bahwa sepertiga komunitas pekerja di negara berkembang mengalami tingkat stres dari tinggi sampai sangat tinggi (Giga dan Hoel, 2003). Di antara berbagai industri, industri perbankan merupakan industri jasa yang dituntut dapat memberi layanan yang memuaskan bagi pelanggan. Dalam era persaingan bisnis dewasa ini, berbagai upaya dilakukan industri perbankan agar mampu menjadi pemenang dalam persaingan secara berkesinambungan. Penguasaan teknologi tinggi dan terbaru serta strategi merebut pasar menjadi perhatian yang serius. Tingginya target penampilan kerja industri ini tentunya harus didukung oleh kapasitas kerja dan organizational citizenship behavioral dari karyawannya (Utomo, 2002). Pengetahuan dan keterampilan terbaru Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
2
penerapan teknologi perbankan harus dapat dikuasai dengan cepat oleh karyawan. Idealnya, tuntutan tugas atau beban kerja harus seimbang dengan kapasitas kerja karyawan. Jika terjadi ketidakseimbangan dapat berdampak timbulnya stres kerja. Studi pendahuluan (Susy, 2009) yang dilakukan terhadap 12 orang karyawan sebuah bank di Bali, mendapatkan informasi bahwa kondisi stres memang dirasakan oleh karyawan yang umumnya ditandai dengan tanda-tanda gelisah, uring-uringan, temperamen dan gangguan konsentrasi. Untuk mengantisipasi stres seorang pekerja memilih mengikuti grup meditasi. Jika dalam monitoring di tempat kerja ditemukan adanya gejala stres kerja yang dialami karyawan, maka secara dini perlu dilakukan manajemen yang tepat. Mengingat dampak buruk yang dapat ditimbulkannya. Program manajemen stres kerja tidak saja penting bagi produktivitas dan moral maupun image perusahaan, tetapi juga penting bagi individu atau karyawan sendiri dan masyarakat pada umumnya. Beberapa bukti manfaat penerapan program manajemen stres terhadap kondisi kesehatan mental karyawan di Negara Inggris telah diungkapkan oleh Cooper (1986). Di Indonesia, sampai saat ini upayaupaya penerapan strategi manajemen stres kerja di masyarakat industri tampak belum memuaskan. Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia masih terbatas pada penemuan fakta-fakta tentang kejadian stres kerja pada karyawan (Ambar, 2004). Belum sampai kepada penemuan strategi yang efektif sebagai solusi dari kondisi tersebut. Secara teori aktivitas program manajemen stres kerja bisa dalam bentuk pencegahan primer, sekunder dan tersier (Cooper dkk., 1986). Jenis aktivitas program dapat berupa perbaikan kondisi kerja dalam bentuk perbaikan organisasi atau penerapan ergonomi dan peningkatan kapasitas kepribadian (Munandar, 2001). Dalam penelitian ini, program manajemen stres diberi nama program cognitive-behavior and organization (CBO). Program manajemen stres kerja CBO adalah bentuk dari penerapan partisipatori ergonomi yang diintegrasikan dengan psikologi industri dalam pelayanan kesehatan kerja di perusahaan. Program ini memadukan upaya-upaya penerapan ergonomi dan peningkatan kapasitas kepribadian sehingga upaya perbaikan yang dihasilkan nantinya merupakan satu kesatuan yang utuh dalam aspek kerja dan kapasitas individu Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
3
karyawan.
Upaya
peningkatan
kapasitas
kepribadian
diharapkan
dapat
membentuk mekanisme coping yang adekuat dalam diri individu dalam menghadapi stresor. Dengan diterapkannya program manajemen stres kerja CBO diharapkan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan stres kerja pada karyawan dapat dikelola dengan lebih menyeluruh dan berkesinambungan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui peningkatan ketelitian karyawan Bank "X" Bali sesudah menjalani program manajemen stres kerja CBO; 2) mengetahui penurunan indikes stres karyawan Bank "X" Bali sesudah menjalani program manajemen stres kerja CBO; 3) mengetahui penurunan kadar kortisol darah karyawan Bank "X" Bali sesudah menjalani program manajemen stres kerja CBO. Hipotesis penelitian adalah: 1) program manajemen stres kerja CBO dapat meningkatkan ketelitian karyawan Bank "X" Bali; 2) program manajemen stres kerja CBO dapat menurunkan indeks stres karyawan Bank "X" Bali; 3) program manajemen stres kerja CBO dapat menurunkan kadar kortisol darah karyawan Bank "X" Bali
METODOLOGI Penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan sama subjek ini dilakukan di Denpasar pada bulan April — Desember tahun 2010. Sebanyak 15 karyawan ditetapkan sebagai sampel penelitian yang dipilih secara random menggunakan teknik undian. Sebelum dan sesudah aplikasi program CBO dilakukan pemeriksaan Boudon Wiersma test (untuk menilai ketelitian), penilaian indeks stres menggunakan kuesioner indeks stres dan pemeriksaan kortisol darah pagi hari. Program CBO dilakukan dengan memberi satu sesi pelatihan di tempat kerja yang dilakukan pads siang hari selama 90 menit dengan materi yang diajarkan berupa stres dan dampaknya terhadap kesehatan, menata emosi dan pikiran, keterampilan manajemen waktu serta latihan relaksasi dalam bentuk mini progresive muscle relaxation.
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan program CBO dalam menurunkan indeks stres, ketelitian dan kadar kortisol darah karyawan sebelum dan sesudah intervensi. Temuan yang utama dari penelitian ini adalah bahwa intervensi tersebut secara signifikan menurunkan indeks stres, meningkatkan ketelitian dan menurunkan kadar kortisol darah karyawan bank "X" Bali. Responden dalam penelitian ini memiliki rerata umur 37 ± 6,1 tahun dengan masa kerja terendah adalah dua tahun, dominan menikah dan memiliki keperibadian extrovert. Lingkungan kerja menunjukkan kisaran suhu basah 19,5, suhu kering 25,1 derajat Celcius dan kelembaban relatif 60%. Hasil uji beda menggunakan uji T -paired dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Beda Indeks Stres, Ketelitian dan Kadar Kortisol Darah Sebelum dan Sesudah Intervensi Program CBO dengan Menggunakan Uji T -Paired. VARIABEL
Periode I Rerata
SD
Intervensi (Periode II)
Rerata
SD
t
p
Indeks stes pre
66,07
4.55
66,09
4.21
0,991
0,332
Indeks stres post
66,10
4,04
53,38
2,31
3.991
0,024
Ketelitian pre
14,79
5,49
14,68
5,56
1,650
0,079
Ketelitian post
14,69
4.11
11,31
3.565
3.201
0,004
Kortisol darah post
14.03
3,05
12,94
3,07
4,520
0,000
Pengaruh Penerapan Program CBO terhadap Ketelitian Dalam penelitian ini ditemukan eningkatan ketelitian yang bermakna dengan adanya penurunan kesalahan yaitu p = 0,004 (p < 0,005) setelah aplikasi program CBO pada karyawan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aplikasi program CBO meningkatkan ketelitian sebesar 23 %. Temuan ini senada dengan temuan Shimazu (2003) yang mengaplikasikan lima sesi program manajemen stres terhadap 24 orang guru dan menemukan bahwa program tersebut dapat menurunkan respon stres responden yang mengindikasikan perbaikan terhadap Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
5
kemampuan konsentrasi dan berfikir atau mengolah informasi dengan lebih tepat. Perubahan ini dapat terjadi karena individu lebih mengerti tentang situasi emosi dan pikiran yang dialami dan sudah memiliki keterampilan coping, terjadi persepsi yang berbeda di sistem limbik yang terintegrasi dengan pusat kognitif di area korteks otak) sehingga bisa meningkatkan ketelitian dan akhirnya muncul respon yang lebih positif. Hal yang sama juga ditemukan oleh (Kobayashi dkk., 2008) dalam penelitian clinical trial pada industri manufaktur. Kobayashi, dkk menemukan adanya perubahan stresor yang bermakna pada aspek intrinsik rewards setelah responden mendapatkan intervensi berupa perbaikan organisasi secara partisipatori. Richardson dalam penelitian meta analisisnya terhadap 36 buah studi ekperimental tentang efektivitas program manajemen stres dalam bidang kesehatan kerja, mendapatkan bahwa yang paling menunjukkan efek maksimal adalah intervensi berupa pembelajaran yang mencakup aspek perubahan kognitif dan perilaku responden terhadap stres kerja. Pemahaman yang holistik tentang faktor risiko potensial penyebab stres kerja sangat membantu dalam merancang isi dari suatu program manajemen stres kerja tersebut. Analisis beberapa pakar ilmu kesehatan jiwa mengatakan bahwa proses globalisasi menimbulkan transformasi komunikasi dan informasi di berbagai kawasan dunia yang memberikan dampak terhadap perubahan nilai-nilai sosial dan budaya. Keadaan ini membutuhkan kemampuan penyesuaian dan mengatasi masalah yang tinggi, disamping dukungan lingkungan yang kondusif untuk berkembangnya nilai-nilai sosial budaya yang tanggap terhadap berbagai perubahan. Kondisi demikian sangat rentan terhadap stres, kecemasan, konflik, ketergantungan obat psikotropika, perilaku seksual yang menyimpang yang dapat digolongkan sebagai masalah psikososial (Nasution, 2011). Kondisi stres kerja sangat merugikan dalam hal performance kognitif atau fungsi intelegensi. Penurunan fungsi kognitif merupakan ancaman terhadap ketelitian dan penampilan kerja. Buruknya konsentrasi, ketidakmampuan dalam pengambilan keputusan, mental block, dan penurunan rentang perhatian muncul akibat stres kerja. Efek peningkatan ketelitian berdampak kepada peningkatan penampilan kerja mencakup juga pengambilan keputusan-keputusan yang Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
6
kompleks (Guyton dan Hall 2006). Mekanismenya mencakup intervensi terhadap sirkuit otak di area talamo-kortikal yang menjelaskan bahwa emosi dan inotivasi berhubungan dengan fungsi intelegensi (area Wernicke). Rangsangan pada pusat emosi (pada sistem limbik di midbasal otak) dapat mempengaruhi area Wernicke, area pikiran kompleks termasuk ingatan yang rumit dan mempengaruhi fungsi kognitif yang juga berperan dalam pengambilan keputusan / performance. Secara detail, optimaliasi fungsi intelektual di area tersebut mencakup: kemampuan memecahkan masalah kompleks, mengantisipasi beberapa aktivitas kompleks secara simultan, perasaan yang mampu bersaing, mampu berfikir yang lama, emosi stabil, aktivitas-aktivitas fisik lebih bertujuan, respon sosial yang lebih sesuai, tingkah laku lebih terkendali (karena area otak tersebut berhubungan dengan korteks asosiasi limbik), performance kemampuan kognitif sangat cemerlang (berfikir, menganalisis tingkat tinggi, proses berfikir dengan urutan yang logis dengan cepat, lebih cepat menyelesaikan tugas atau tujuan tanpa rasa bingung, berperan dalam ingatan aktif, yaitu kemampuan untuk: memperkirakan masa depan, membuat rencana untuk masa yang akan datang, perlambatan kerja sebagai respon terhadap sinyal sensorik yang masuk sehingga informasi sensorik ini dapat dipertimbangkan sampai bentuk respon yang terbaik diputuskan, mempertimbangkan akibat kerja motorik bahkan sebelum kerja tersebut dilakukan, menyelesaikan masalah yang kompleks, menganalisis fenomena dan mengendalikan aktivitas dalam kaitannya dengan hukum dan moral (Guyton dan Hall, 2006). Secara teori penurunan kekuatan fisik sudah terjadi mulai umur 30 tahun dan kemampuan fisiologis menurun secara bermakna pada umur 44 tahun. Sehingga kemampuan untuk mengantisipasi beban kerja fisik maupun mental berkurang dan penurunan psycho physical fitness akibat pengaruh umur ini dapat berakibat risiko circadian fatigue lebih cepat muncul. Literatur lain mengatakan bahwa antara umur 25-60 tahun ada penurunan kapasitas fisik seseorang. Kekuatan otot menurun 25% dan kapasitas sensoris motoris 60%. Berbagai perubahan biologis terjadi sejalan dengan penambahan umur yang berpengaruh kepada kemampuan seseorang melakukan pekerjaan. Secara teori terdapat pengaruh faktor life style, kebugaran jasmani dan perbedaan faktor individual atau Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
7
perbedaan individual coping strategies pada seseorang yang juga dapat berpengaruh terhadap tingkat kelelahan umum sejalan dengan pengaruh umur. Seseorang yang berumur di atas 30 tahun bisa saja memiliki tingkat kelelahan yang lebih rendah dari orang yang berumur kurang dari 30 tahun dengan beban pekerjaan yang sama apabila tingkat kebugaran jasmaninya lebih baik. Faktor tingkat pendidikan secara teori dapat mempengaruhi kelelahan oleh karena faktorfaktor
tersebut
yang
merupakan
personal
characteristic
factors
dapat
mempengaruhi employees values dan job expectations. Pekerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap tugas dan faktor-faktor stres lainnya ditempat kerja. Mereka akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memecahkan masalah-masalah ataupun tugas di tempat kerja sehingga memiliki kapasitas yang lebih besar dalam mengantisipasi kelelahan. Secara teori terdapat pengaruh proses pembelajaran di tempat kerja yang dapat menutupi pengaruh perbedaan status pendidikan terhadap persepsi pekerja terhadap beban pekerjaan. Hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat kelelahan. Pekerja-pekerja dengan tingkat pendidikan lebih rendah tetapi memiliki kemampuan adaptasi tinggi akan dengan cepat belajar bagaimana mengantisipasi tugas-tugas yang harus dijalankan sehingga akan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap tugas-tugas tersebut. Maka tingkat kelelahan bagi pekerja-pekerja ini bisa menjadi lebih rendah.
Pengaruh Program CBO terhadap Indeks Stres Setelah intervensi program CBO ditemukan penurunan indeks stres sebesar 19 %) dengan nilai p = 0,024 atau p < 0,005. Dengan adanya program CBO berdampak dilakukannnya perbaikan kondisi kerja dan berefek terhadap image karyawan terhadap organisasinya, atau dengan kata lain terbentuk citizenshif behavior organization yang lebih positif. Intervensi yang sampai kepada core belief individu melalui cogtitive restructuring dapat mengarahkan individu untuk mengubah mood yang negatif dan cara berfikir yang salah (distorsi) menjadi individu yang selalu berfikir dan berperasaan (memiliki mood) yang lebih positif, sehingga pada akhimya berperilaku yang lebih positif terhadap Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
8
stresor yang berhubungan dengan efek job demands. Pada akhirnya efek yang terjadi adalah penurunan indeks stres. Efektivitas program ini sejalan dengan pendapat Abbatt (1992) yang mengatakan bahwa metode dan situasi pembelajaran sangat mempengaruhi efek perubahan sikap. Training atau pelatihan bagi pekerja sangat mempengaruhi suasana organisasi ke arah lebih positif. Dengan adanya pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan
perusahaan
untuk
pekerja,
selain
dapat
meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan juga dapat meningkatkan semangat kerja. Pekerja akan terhindar dari suasana kemonotonan dan kebosanan sehingga mempunyai kapasitas yang lebih besar untuk mengantisipasi beban kerja mental maupun fisik serta efek kelelahan. Latihan pendahuluan untuk membentuk keterampilan harus dilakukan terutama kalau satu teknologi baru mulai diperkenalkan. Pelatihan yang tepat dapat meningkatkan produktivitas kerja dan dapat menimbulkan lingkungan kerja yang lebih aman serta sikap mental yang lebih positif.
Pengaruh Program CBO terhadap Kadar Kortisol Darah Beberapa peneliti menemukan bahwa kondisi akumulasi stres dapat dilihat dari peningkatan kadar kortisol darah pagi hari (Schulz dkk., 1998; Wust dkk., 2000, dalam Sonnentag dan Fritz, 2006; Pruessner dkk., 2003). Toivanen dkk. (1996), dalam Sonnentag dan Fritz (2006), dalam penelitiannya mengukur kadar kortisol pagi hari pada pekerja bank, pembantu rumah tangga dan petugas kebersihan rumah sakit, akan tetapi tidak menemukan gambaran yang jelas tentang hubungan antara kadar kortisol dengan beberapa variabel sebagai bukti adanya kondisi stres. Berbeda halnya dengan penelitian oleh Brandstadter dkk. (1991), dalam Sonnentag dan Fritz (2006), yang menemukan peningkatan kadar kortisol pagi hari pada pekerja-pekerja yang terpapar stres berkepanjangan. Theorel dkk., meneliti 150 pekerja dari berbagai profesi, dan menemukan kortisol pagi hari yang lebih tinggi pada pekerja profesi dokter (Sonnentag dan Fritz, 2006). Dengan masih adanya ketidakkonsistenan hasil-hasil penelitian yang melihat hubungan antara kadar kortisol dan kondisi stres pada pekerja maka tentunya masih sangat dibutuhkan penelitian-penelitian dengan sampel yang lebih Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
9
besar yang sifatnya penelitian longitudinal untuk bisa membuktikan adanya hubungan tersebut. Dalam penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan kortisol darah pagi hari terhadap responden dan ditemukan adanya perbedaan kadar kortisol darah yang bermakna antara sebelum dan sesudah program CBO, nilai p = 0,000 (p < 0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi CBO menurunkan kadar kortisol darah pagi hari sebesar 8 %. Rerata kadar kortisol darah responden sebelum perlakuan sebesar 14,03 tg/dl (SB = 3,05) menyerupai kadar kortisol darah para tenaga kesehatan yang menjadi responden dalam penelitian Kawaguchi dkk. (2007) yaitu sebesar 13,7 tg/dl (SB = 5,1). Temuan dalam penelitian ini senada dengan temuan Theorel dkk. (2001) pada penelitian eksperimennya dengan intervensi berupa pemberian pelatihan manajemen stres dua kali seminggu masing-masing dua jam dalam tiap sesi selama setahun kepada supervisor perusahaan asuransi. Theorel, dkk menemukan penurunan kadar kortisol darah yang sigifikan pada 155 orang pada kelompok intervensi dan tidak ada perubahan pada 147 orang pada kelompok kontrol (nilai p = 0,002). Evolahti dkk. (2006) dalam studi longitudinalnya yang mengikuti 100 orang responden di Swedia selama dua tahun merekomendasikan beberapa faktor yang dapat menjadi intervensi untuk menurunkan kadar kortisol darah karyawan adalah peningkatan awareness tentang kondisi psikososial ditempat kerja, peningkatan dukungan sosial dan pengaturan kembali tuntutan kerja yang tinggi. Apa yang direkomendasikan oleh Evolahti dkk, tentunya sesuai dengan isi program ErgoJSI terutama aspek perubakan kondisi kerja dan peningkatan pemahaman karyawan tentang kondisi stres kerja dan mekanismenya dalam tubuh. Sebelum dapat menentukan parameter biologi terkini yang sangat akurat dalam menggambarkan kondisi stres kerja pada karyawan, mengetahui kadar kortisol dalam darah karyawan yang terpapar stres merupakan hal yang penting. Karena kortisol yang tinggi dalam darah dapat berakibat timbulnya berbagai masalah kesehatan, diantaranya: meningkatkan lemak abdomen, gangguan penampilan kognitif, meningkatkan kadar gula darah, menurunkan densitas tulang, meningkatkan tekanan darah, menurunkan imunitas tubuh dan respon terhadap Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
10
inflamasi dengan berbagai konsekuensinya (Hanson dkk., 2000; Hanson dkk., 2008). Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, peningkatan kadar kortisol dalam tubuh diatur oleh mekanisme kontrol yang melibatkan pusat-pusat kontrol di otak maupun oleh kadar kortisol sendiri di dalam darah. Stres mental dapat juga segera menyebabkan peningkatan sekresi ACTH. Keadaan ini dianggap sebagai akibat dari naiknya aktivitas dalam sistem limbik, khususnya dalam regio amigdala dan hipokampus, yang keduanya kemudian menjalankan sinyal ke bagian posterior medial hipotalamus. Berbagai stres dapat mengaktifkan seluruh sistem untuk menyebabkan timbulnya pelepasan kortisol dengan cepat, dan jika masih dalam rentang kondisi terkontrol kortisol ini selanjutnya akan menginduksi suatu rangkaian efek metabolisme yang akan langsung mengurangi sifat pengerusakan dari keadaan stres itu. Sebagai tambahan, juga ada umpan balik langsung dari kortisol terhadap hipotalamus dan kelenjar hipofisis anterior untuk menurunkan konsentrasi kortisol dalam plasma sewaktu tubuh tidak mengalami stres. Akan tetapi, rangsangan stres itu sebenarnya merupakan salah satu rangsangan terkuat; rangsangan ini selalu dapat mematahkan umpan balik penghambat langsung dari kortisol, sehingga akan menyebabkan timbulnya eksaserbasi periodik dari sekresi kortisol pads berbagai waktu selama satu hari atau pemanjangan sekresi kortisol dalam keadaan stres kronik. Menurut Guyton dan Hall (2006), temyata sebagian besar stresor dalam kehidupan kita sehari-hari bersifat psikososial. Walaupun mobilisasi cepat sumber-sumber daya tubuh memang tepat untuk menghadapi cedera fisik baik yang masih bersifat sebagai ancaman atau yang sudah terjadi, secara umum hal tersebut kurang sesuai untuk respon terhadap stres non fisik. Apabila tidak diperlukan energi tambahan, tidak ada kerusakan jaringan, dan tidak ada pengeluaran darah, penguraian cadangan energi tubuh dan retensi cairan merupakan tindakan yang sia-sia, bahkan merugikan bagi individu yang mengalami stres. Pada kenyataannya, terdapat bukti-bukti tidak langsung yang kuat yang menghubungkan antara pajanan stresor psikososial kronik dan berkembangnya keadaan patologis, misalnya aterosklerosis dan tekanan darah tinggi, walaupun hubungan sebab dan akibatnya masih perlu dibuktikan lebih Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
11
lanjut. Akibat respon stres yang tidak digunakan akan dapat dijelaskan secara logis dampak yang dapat ditimbulkannya sehubungan dengan kondisi patologis yang muncul akibat stres tersebut (Guyton and Hall, 2006). Dalam penelitian ini, pemeriksaan kortisol dilakukan pagi hari. Hal ini didasari juga bahwa sekresi kortisol bervariasi mengikuti pola diurnal harian. Sekresi tertinggi terjadi pada pagi hari yang kemudian menurun sampai kadar terendah pada tengah malam Penyimpangan sekresi kortisol dari pola siklus diurnal menjadi dasar informasi sehubungan dengan pengaruh lingkungan, termasuk stres kerja, terhadap HPAaxis dan peran HPA-axis tersebut terhadap proses-proses penyakit (Stone dkk., 2001). Dalam CBO kondisi kerja dikondisikan menjadi lebih ergonomis dan mengajarkan individu agar mengerti dan lebih mengenali kondisi emosi maupun pikiran, serta mengajarkan karyawan melakukan relaksasi secara teratur terutama saatsaat merasakan adanya tekanan. Hal ini dapat mengubah persepsi yang diterima oleh sistem limbik otak sehingga berdampak kepada lebih optimalnya fungsi kognitifdan respon lanjutan pada system HPA-axis dan SAM-axis menjadi lebih terkontrol sehingga kadar kortisol darah pagi hari turun yang menjadi efek dari intervensi. Kondisi homeostasis ini sangat dibutuhkan oleh karyawan yang memiliki kemungkinan-kemungkinan mengalami stres akut selama waktu kerja akibat tuntutan beban pekerjaan yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif. Lonjakan kadar kortisol darah karyawan yang telah mendapatkan efek intervensi CBO dapat mengendalikan kadar kortisol darah agar tidak sampai kepada kondisi yang patologis yang terutama berdampak kepada sistem metabolisme energi dan sistem imunitas tubuh. Temuan penelitian ini yang memakai marker biologi kadar kortisol darah untuk menilai efek aplikasi program manajemen stres secara objektif tentunya masih
perlu
mendapat
penguatan-penguatan
dari
studi-studi
lainnya.
Kecenderungan perkembangan studi-studi tentang stres kerja ke depan adalah pemakaian marker-marker biologi sebagai parameter objektif yang handal untuk menilai kondisi stres kerja maupun efek program manajemennya secara akurat dan aplikatif. Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
12
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan yang dikaji
berdasarkan literatur
yang
mendukung dan temuan dalam penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Intervensi program CBO menurunkan indeks stres karyawan bank "X" Bali; 2) Intervensi program CBO meningkatkan ketelitian karyawan bank "X" Bali; 3) Intervensi program CBO menurunkan kadar kortisol darah karyawan bank "X" Bali. Beberapa hal yang dapat disarankan setelah penelitian ini adalah: 1) masih dibutuhkan penelitian-penelitian yang lebih besar dan menemukan suatu kreativitas yang tinggi untuk merancang sebuah program yang sesuai dengan kondisi perusahaan dan diadopsi oleh karyawan; 2) untuk dapat memaksimalkan efektivitas program, dalam merancang suatu program manajemen stres kerja komponen perbaikan kondisi kerja hendaknya disesuaikan; dengan jenis permasalahan yang ada yang benar-benar sudah dianalisis dengan teliti dan prioritas aplikasinya ditetapkan secara partisipatori bersama pihak perusahaan. Mengingat kondisi kerja sangat beragam dengan berbagai variasi faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja; 3) program hendaknya benar-benar dapat menjadi suatu customer need yang sudah mempertimbangkan berbagai aspek secara holistik agar program dapat diaplikasikan secara berkesinambungan dan dapat sampai membentuk suatu corporate culture yang positif. Untuk itu dibutuhkan pembentukan komitmen yang sungguh-sungguh kepada pihak perusahaan untuk merasa perlu melakukan program pencegahan dengan menerapkan program manajemen stres di tempat kerja.
DAFTAR PUSTAKA Baker, D.B. and ,Karasek R.A., 2000. Stress. Occupational Health, Recognition and Preventing Work-Related Disease and Injury 4th Ed. USA: Lippincot Williams Wilkins. pp. 419-36 Cooper, C.L., Dewe, P. and O'Driscoll, M.P. 1986. Organizational Stress: AReview and Crique of Theory, Research, and Applications. UK: Sage. Available from: URL: http// www.polaris.com.Akses 16/09/ 2009 Evolahti, A., Hultcrantz, M., and Collins, A. 2006. Women's work stress and cortisol levels: a longitudinal study of the association between the psychosocial work Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
13
environment and serum cortisol. Journal of Psychosomatic Research, 61: 645 – 652 Ghaffari M., AlipourA., Farshad AS., Jensen I., Josephson M., and Eva Vingard. 2008. Effect of psychosocial factors on low back pain in industrial workers. Occupational Medicine. Oxford University Press Giga, S.I. and Hoel, H. 2003. Violence and Stress at Work in Financial Services. Geneva: ILO. Guyton & Hall. 2006. Adrenocortical Hormones. In Textbook of Medical Physiology 7 ed. Philadelphia, Pensylvania: Elsevier Inc. Hanson, E.K.S., Maas, C.J.M., Meijman, T.F., Godaert, GL.R. 2000. Cortisol secretion throughout the day, perceptions of the work environment, and negative affect. Ann Behav Med; 22 (4): 316 – 324. Hansson,A.S., Vingard, E.,Arnetz, B.B. and Anderzen, I. 2008. Organizational change, health, and sick leave among health care employees: a longitudinal study measuring stress markers, individual, and work site factors. Work & Stress, A Journal of Work, Health and Organization, 22 (1), January-March. Haratari, T. dan Kawakami, N. 1999. Internatinal Perspective. Work Stress and Health'99. Available from: URL: http://www.cdc.gov/niosh Aksestanggal 1/7/10. Kawaguchi, Y., Toyomasu, K., Yoshida, N., Baba, K., Uemoto, M., Minota, S. 2007. Measuring job stress among hospital nurses: an attempt to identify biologycal markers. Fukuoka Acta Med, 98 (2): 48 – 55. Kobayashi Y., Kaneyoshi A., Yokota A., Kawakami N. 2008. Effects of Worker Participatory Program for Improving Work Environments on Job Stressors and Mental Health among Workers: A Controlled Trial. (Journal of Occupational Health; Vol 50 (6), November: 455-70 Kunz-Ebrecht, SR., Kirschbaum, C., and Steptoe, A. 2004. Work stress, socioeconomic status and neuroendocrine activation over the working day. Social Science & Medicine, 58: 1523 — 1530. McEwan, B.S.2007.Physiology and Neurobiology of Stres and Adaptation: Central Role of teh Brain. Physiol Rev. American Physiological Society; 87:873-904. Munandar, A.S.2001. Stres dalam Pekerjaan. Psikologi Industri & Organisasi. UIP Nasution, H.2011. Manajemen Risiko Psikososial di Tempat Kerja. 22-23 September. Kuta-Bali:Depnakertrans-perdoki. Shimazu, A., Umanodan, R., dan Schaufeli, W.B.2006. Effect of brief worksite stres manajemen program on coping skills, psychological distres and physical complaints: a controlled trial. Int Arch Occup Environ Health, 80:60-69. Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
14
Sonentag, S., dan Firtz, C.2006.Endocrinological Processes Associated with Job Stres: Cathecholamine and Kartisol Responses to Acute and Cronic Stressor. Employee health, coping and Methodologies Research in Occupational Stres and Wellbeing. Elsevier Ltd. Volume 5.p. 1-59. Steptoe, A.,OE, Hill,D.P.,Cropley,M., Griffith, J., and Kirschbaum, C.2000. Job strain and anger ekspression predict early morning elevation in salivary cortisol. Psychosomatic Medicine, 62:286-292. Susy.2007. manajemen Stres Kerja dan Penampilan Kerja. Majalah Kedokteran Udayana. Vol.38 September Susy.2009. work Ability Index,Job Satisfaction dan Indeks Stres pada karyawan Bank ―X‖ Bali. Tsai, F.J., Huang, W.L., Chan, C.C.2009. Occupational Stres and Burnout. J Occup Health; 51:443-450. Utomo, K.W.2002. Kecenderungan Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional, dan Hubungannya dengan Organizational Citizenship Behavior, Komitmen Organisasi, dan Kepuasan Kerja. Journal Riset Ekonomi dan Manajemen. Surabaya. Vol.2. No.2. hal.34-52.
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
15