The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey
Profil Penduduk Dewasa Muda di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi Drs. Heru Suparno, M.Kes, Drs. Ferdinand Siagian, M.Si, Dr. Iwu Dwisetyani Utomo, dan Drs. Dadun, M.Kes
Australian Demographic and Social Research Institute - ADSRI
The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey Profil Penduduk Dewasa Muda di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi
Daftar Isi
Daftar Isi Galeri Foto Pendahuluan Dari Garuda ke Emirates dengan gaji Rp.30 juta per bulan Pengusaha rumah makan dengan pendidikan tidak tamat SD Sarjana akuntansi dengan penghasilan Rp.7 juta per bulan Pengusaha Soto Bogor 11 gerobak dan toko sembako Menjadi guru kesenian dan galeri seni Usaha gerai handphone, internet untuk usaha dan peran gender yang tradisional Ketergantuang ekonomi seorang isteri Mensiasati keuangan keluarga: strategi seorang ibu rumah tangga Sepak terjang seorang laki-laki lulusan SMP untuk tetap bekerja Isteri seorang TKI: hamil sebelum menikah Foto-foto pemukiman kampung tempat responden tinggal Tim Peneliti
1 2 3 6 9 12 15 18 20 23 26 29 33 36 37
1
Galeri Foto
Gambar 1. Pemukiman kumuh tempat tinggak beberapa responden, 2011
Gambar 3. Buruh pabrik sedang istirahat makan siang, 2011
Gambar 5. Kumpul-kumpul, 2011
2
Gambar 2. Aktifitas buruh babrik, 2011
Gambar 4. Main games di rumah kontrakan sempit, 2011
Gambar 6. Mahasiswa santai, 2011
Pendahuluan Survei transisi kehidupan penduduk usia dewasa muda pada tahun 2010 di Jakarta, Bekasi dan Tangerang melibatkan 3.006 representatif responden yang berusia antara 20-34 tahun. Survei berlanjut setahun kemudian dengan pengumpulan data kualitatif guna mendalami dinamika dan seluk beluk kehidupan penduduk usia muda dan masalah-masalah yang dihadapi, terkait pendidikan, pekerjaan, hubungan sosial, pernikahan, seksualitas, kehidupan keagamaan serta politik, dan migrasi. Setahun setelah survey dilakukan, wawancara mendalam terhadap sebagian responden dilakukan. Tujuan wawancara mendalam ini untuk lebih menggali, memperdalam dan memperkaya seluk beluk kehidupan penduduk dewasa muda di JATABEK. Sebanyak 81 responden terpilih, 41 perempuan dan 40 laki-laki, diwawancarai secara mendalam untuk tujuan disebut di atas. Dalam tulisan ini dipilih sebanyak 10 responden untuk menggambarkan variasi kehidupan responden yang terlibat pada survei kualitatif ini.
Metode Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam yang dilakukan oleh tim yang terlatih. Partisipan survei dipilih secara random sebanyak 100 responden dari seluruh jumlah responden survei awal. Sebelum wawancara, interviewer telah mempelajari dan mendalami profil kehidupan responden berdasar hasil studi sebelumnya. Hasil studi kualitatif ini untuk mengetahui dan mempelajari secara mendalam perjalanan hidup responden menuju dewasa, bagaimana prosesnya, siapa saja orang yang berpengaruh dalam menghadapi tahapan-tahapan transisi menuju dewasa dan menjadi lebih mandiri tersebut menjadi lebih lancar. Wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara dan alat perekam yang selanjutnya data ini dibuat dalam bentuk transkrip. Pada studi kualitatitif ini data dianalisis secara diskriptif dan disusun berdasar tematik. Beberapa cuplikan temuan menarik hasil studi kualitatif ini disajikan sebagai contoh atas variasi cara-cara menghadapi masalah kehidupan sosial dan ekonomi di masa transisi.
3
Analisis Studi Kasus Karakteristik dari seluruh kasus ini terutama difokuskan kepada kegiatan ekonomi dan pendidikan. Karakteristiknya dibagi menjadi tiga bagian, keluarga atau informan yang kondisi ekonomi baik, biasa dan kurang baik (kurang mampu). Yang dimaksud dengan karakteristik ekonomi yang baik adalah keluarga yang penghasilannya diatas Rp.5 juta/bulan dan berhasil dalam pekerjaan atau usaha yang mereka lakukan. Karakteristik keluarga yang biasa saja, dalam pekerjaan atau usaha penghasilan cukup untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dan yang ketiga adalah keluarga yang dalam pekerjaan atau usaha mereka dan kehidupan rumah tangganya bisa dikatakan bersahaja, harus bekerja keras untuk dapat bertahan hidup di kota. Karakteristik keluarga dengan ekonomi yang baik terdapat dalam kasus keluarga Farid, Irvan, Rizal, dan Yeti. Farid dan Irvan mewakili informan yang memiliki pendidikan yang tinggi dan berhasil mendapatkan pekerjaan yang baik di sektor formal dan masih memiliki kesempatan yang luas untuk mencapai karir yang lebih baik lagi dan pendapatan yang juga makin besar. Keluarga Farid dan Irvan berasal dari keluarga yang orangtuanya merantau ke Jakarta sebelum mereka lahir. Mereka dibesarkan dalam keluarga yang kondisi ekonominya cukup baik dan berpendidikan. Berbeda dengan Farid dan Irvan, kasus keluarga Rizal dan Yeti berasal dari keluarga yang kondisi ekonominya kurang mampu. Rizal pergi dari kampung halamannya di Sumatera Barat karena tidak mau memiliki pekerjaan petani sama dengan orangtuanya. Kondisi ekonomi orangtuanya yang pas-pasan menguatkan keinginan Rizal merantau ke Jakarta. Yeti tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena orangtuanya tidak memiliki uang untuk membiayai sekolahnya. Kedua orang ini hidup merantau bekerja di sektor informal. Mereka berdua melihat dan mampu memanfaatkan ketrampilan mereka dalam membuat peluang sumberdaya ekonomi di bidang usaha membuka berjualan makanan khas dari daerah asal. Usaha yang mereka jalani dapat berkembang setelah mereka tekuni selama lebih dari 10 tahun. Dengan motivasi yang besar akhirnya mereka mampu berhasil menjalankan usaha yang bagus dan juga mampu membuka usaha tambahan menyewa mobil, jasa dokumentasi (video) dan warung sembako. Karakteristik keluarga dari keluarga yang biasa saja terdapat pada kasus keluarga Pratiwi, Dedi dan Yuniarti. Informan Dedi dan Pratiwi sejak lahir
4
sudah tinggal di Jakarta memiliki pendidikan S1 dan memiliki pekerjaan yang mereka rasakan sudah dapat mencukupi kebutuhan mereka yang masih hidup membujang. Kedua informan ini mempunyai keinginan yang besar untuk memilki usaha yang baik. Pratiwi rajin menabung untuk membuka sebuah sanggar seni agar dapat menyalurkan talentanya di bidang seni patung. Dedi berharap gerai handphone dapat semakin berkembang. Yuniarti berasal dari Kediri, seorang ibu rumah tangga dengan dua orang anak berpendidikan Aliyah juga mengatakan kehidupan ekonomi mereka cukup baik. Yuniarti dan suaminya berusaha mengembalikan konidisi ekonomi keluarganya yang pernah cukup baik sebelum kerusuhan tahun 1998 terjadi. Informan Iis, Joko dan Nuraini mewakili keluarga yang kehidupannya masih sangat susah. Kehidupan yang dialami keluarga ini di perkotaan ternyata penuh dengan persaingan dan lapangan kerja terbatas. Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan ternyata banyak di pengaruhi oleh faktor kualitas keterampilan, tingkat pendidikan, semangat kerja, uang dan faktor peluang lapangan kerja. Keluarga ini belum mampu memperoleh kesempatan tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bekerja sangat keras, bekerja sebagai buruh kasar dengan gaji yang sangat minim. Mereka tinggal dalam lingkungan yang kumuh dengan rumah yang sangat sederhana. Joko sedikit lebih “beruntung” karena masih diijikan tinggal di salah satu rumah milik majikannya. Karena keterbatasan yang ada mereka berharap suatu saat kelak dapat merubah nasib menjadi lebih baik lagi.
5
Dari Garuda ke Emirates dengan gaji Rp.30 juta per bulan Farid (57): laki-laki, 34 tahun, lahir di Jakarta, Islam, suku bangsa Tidore, S1, bekerja, menikah, mempunyai 2 anak (7 dan 3 tahun), memiliki rumah sendiri. Isteri: 34 tahun, Islam, Sunda, pendidikan Akademi, tidak bekerja. Wawancara: 19 Februari 2011.
Farid adalah alumni dari Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti Jakarta D4 Jurusan Manajemen Transportasi Udara. Dia lulus pada tahun 2001. Kuliah di STMT adalah pilihannya. Farid memilih kuliah Manajemen Transportasi Udara karena dia melihat jurusan tersebut sangat berbeda dari jurusan atau fakultas yang sudah umum seperti Ekonomi, Tehnik, Hukum dan lain-lainnya. Setelah tamat dari STMT, Farid bekerja sebagai tenaga marketing pada sebuah perusahaan swasta. Pekerjaan tersebut memang tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikannya, tetapi tetap diambilnya sebagai pengalaman sambil menunggu pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Alasan lain dia bekerja saat itu karena dia tidak enak menolak ajakan temannya yang sudah lebih dahulu bekerja di perusahaan tersebut. Farid bekerja selama 4 bulan sebagai tenaga marketing sampai dia diterima pada anak perusahaan Garuda yang bernama Garuda Angkasa Pura di Tangerang pada tahun 2001. Farid bekerja sebagai Load Control, bagian yang mengontrol berat pesawat. Setelah bekerja sekitar 6 tahun, pada tahun 2007 Farid mencoba melamar pada perusahaan penerbangan Emirates. Lowongan pekerjaan itu dia lihat di website. Farid menyadari bahwa dia bersaing dengan orang dari berbagai negara dan jumlahnya mungkin ribuan orang. Tetapi Farid tidak kecil hati, dia berdoa semoga saja lamarannya diterima. Lama sekali Farid menunggu balasan dari Emirates perilahal lamarannya tetapi tidak kunjung juga. Istrinya sebenarnya keberatan Farid bekerja di luar negeri. Penghasilan suaminya sebesar Rp.5.00.000 perbulan sebenarnya sudah cukup untuk membiayai kebutuhan mereka dan membayar kredit rumah mereka.
6
Sebelum menjadi ibu rumah tangga, istri Farid pernah bekerja pada salah satu maskapai penerbangan kompetitor Garuda. Saat itu itu istrinya bekerja di bagian counter check in di bandara Soekarno – Hatta, Tangerang. Setelah anak keduanya lahir 2008, Farid meminta agar istrinya behenti bekerja agar fokus dalam mengurus anak karena sangat berat bagi seorang ibu bekerja sekaligus mengurus anak dan rumah tangga. Farid ingin agar anak-anaknya dibesarkan dalam asuhan istrinya secara penuh, urusan mencari nafkah menjadi tanggung jawab Farid sepenuhnya. Dalam hal pekerjaan rumah tangga, Farid turut serta membantu istrinya dalam membersihkan rumah dan menjaga anak karena dia tahu bahwa pekerjaan istrinya dalam mengurus anak sangat berat. Dalam beberapa kesempatan Farid melakukan diskusi dengan istrinya tentang keiinginannya bekerja di Emirates. Istrinya keberatan jika Farid bekerja di luar negeri apalagi pesaingnya sangat banyak, tetapi Farid terus meyakinkan istrinya bahwa lowongan itu adalah kesempatan yang langka. Farid juga tidak lupa meminta doa restu dari ibunya agar mendoakan semoga saja lamarannya diterima. Setelah menunggu hampir 3 tahun, Emirates baru memberikan pemberitahuan bahwa Farid lulus seleksi tahap pertama. Test selanjutnya adalah test tertulis pada bulan April 2010. Pada saat ujian tertulis istri Farid mulai mendukung keinginan suaminya bekerja di maskapai Emirates. Pada akhir 2010 Farid dinyatakan lulus dan selanjutkan mengikuti test wawancara. Tidak disangka-sangka Farid pada bulan Februari 2011 mendapat pemberitahuan bahwa dia diterima bekerja di Emirates. Farid sangat senang sekali dan merasa bersyukur. Dengan diterimanya Farid di Emirates, akhirnya dia mengajukan pengundaran diri setelah bekerja selama 10 tahun di Garuda. Alasan utama Farid keluar dari Garuda karena dia ingin mendapatkan penghasilan yang lebih baik dan suatu kebanggan juga dapat bekerja di luar negeri di perusahaan asing yang cukup terkenal. Penghasilan yang didapat di Emirates sebesar Rp.30.000.000, 6 kali lipat dari gajinya di Garuda. Selain itu juga selama di Dubai dia tinggal di sebuah apartemen, keluarganya dapat datang ke Dubai kapan saja. “Yang pertama income, yang kedua, kan enggak semua orang bisa berkesempatan kerja di luar negeri. Saya dapet apartemen. Terus tiket untuk keluarga free, any time mereka mau ke Dubai free” kata Farid ketika ditanya tentang motivasinya bekerja di maskapai Emirates.
7
Untuk sementara waktu belum ada rencana Farid untuk membawa keluarganya tinggal bersama di Dubai. Suatu saat jika dia bisa bekerja lama di Dubai, mungkin saja keluarganya ikut tinggal bersamanya. Farid belum ada rencana untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Saat ini yang dia bayangkan adalah bekerja sebaik-baiknya. “Saat ini belum ada keinginan untuk kuliah lagi, fokus pada pekerjaan saja dulu” ujar Farid yang gemar ber-BBM (Black Berry Messenger) ketika ditanya rencana ke depan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
8
Pengusaha rumah makan dengan pendidikan tidak tamat SD Rizal (43): laki-laki, 35 tahun, Islam, Minang, pengusaha, menikah, mempunyai anak 3 (17, 14 dan 11 tahun), memiliki rumah sendiri. Isteri: 34 tahun, Islam, Minang, SMP/MTs, tidak berkerja-membantu usaha suami. Wawancara: 27 Februari 2011.
“Padang itu artinya pandai dagang” kata Rizal menjelaskan tentang asal suku bangsanya. Ungkapan tersebut benar-benar mengalir dalam darah Rizal. Dengan berbekal pendidikan tidak tamat SD, saat ini dia sudah mempunyai tiga usaha yang menghasilkan uang yang lebih dari cukup bagi keluarganya. Rizal memiliki usaha rumah makan Padang, menyewakan mobil dan membuat video atau foto baik itu untuk acara pernikahan maupun untuk pembuatan video klip. Dari hasil usahanya tersebut dia hanya memberi tahu omset dari rumah makan yang minimal Rp.1 juta/hari dan biaya sewa mobil selama 12 jam Rp.300.000. Dalam setiap minggu ada saja orang yang menyewa mobilnya. Uang sewa mobil ini dipergunakan untuk membayar kredit mobilnya. Pada tahun 1988 ketika dia berumur 13 tahun dia turut serta bersama teman-temannya merantau ke Jakarta tanpa sepengetahuan orang tua dan keluarganya. Dia ingin merantau karena dia tidak mau menjadi petani seperti ayahnya dan iri melihat orang-orang dari kampungnya yang hidupnya berhasil setelah merantau ke Jakarta. Dengan berbekal uang Rp.13.000 dia berangkat ke Jakarta, saat itu ongkos bis dari Padang ke Jakarta Rp.3.500. Tempat yang dituju adalah pabrik pembuatan kerupuk kulit di daerah Ragunan, Jakarta Selatan. Bekerja di pabrik kerupuk kulit bagi Rizal hanya sebagai batu loncatan. Saat itu dia belum tahu bidang usaha apa yang akan diajalani. Baginya yang terpenting saat itu adalah dapat bertahan hidup di Jakarta dahulu. Setelah bekerja selama 6 bulan Rizal berhenti bekerja di pabrik kerupuk karena tidak tahan dengan beban pekerjaan yang berat. Dia bekerja mulai jam 7 pagi sampai jam 10 malam. Jika sedang lembur bisa mencapai jam 1 malam tanpa ada tambahan uang lembur. Gaji yang dia terima saat itu sebesar
9
Rp.15.000/bulan. Selama bekerja dia hanya memperoleh makan dan tempat menginap di lingkungan pabrik. Selepas dari pabrik kerupuk kulit itu, Rizal pergi ke rumah pamannya yang membuka rumah makan masakan padang di daerah Jatipadang, Jakarta Selatan tidak terlalu jauh dari tempat Rizal bekerja. Gaji yang diperolehnya sebagai pelayan rumah makan sebesar Rp.30.000 per bulan. Selang enam bulan bekerja di restoran itu, Rizal berhenti bekerja mengikuti ajakan temannya yang juga bekerja di restoran itu. Temannya ingin membuka warung padang sendiri. Memasuki tahun keempat itu, berketepatan dengan bulan puasa, rumah makan tempatnya bekerja ternyata tutup untuk sementara waktu selama bulan puasa. Hal itu tidak seperti biasanya rumah makan tutup selama bulan puasa. Bagi Rizal yang hidup merantau seorang diri, tidak bekerja selama lebih satu bulan tentu sangat berpengaruh kepada penghasilannya. Mengantisipasi tidak ada pekerjaan, Rizal pindah ke rumah makan di daerah Bukit Duri. Selama bekerja dari satu rumah makan ke rumah makan yang lain, yang awalnya bekerja sebagai pelayan Rizal mulai belajar memasak. Dia belajar dari awal cara meracik bumbu, mengolahnya dan memasak. Dengan berbekal pengalaman sudah dapat memasak ditambah lagi istrinya juga juru masak di rumah makan tempat Rizal bekerja terakhir, Rizal dan istrinya sepakat untuk membuka rumah makan sendiri. Dia merasa yakin mampu menjalankan usaha rumah makan karena pada saat itu dia melihat rumah makan Padang belum sebanyak sekarang. Modal awal yang mereka miliki untuk membuka rumah makan sebesar Rp.800.000. Modal itu dipergunakan untuk menyewa warung, membeli perabotan dan peralatan makan. Sebagai seorang wirawasta, perjuangan Rizal dalam menjalankan usahanya jatuh bangun. Setelah berjalan delapan bulan, pemilik rumah makan hendak menjadikan tempat Rizal berdagang itu sebagai bengkel sepeda. Dia mencari dan berhasil mendapatkan tempat yang dia sewa selama 2 tahun. Baru berjalam sekitar 8 bulan, ternyata tanah dimana warung Rizal berdiri dibeli sebuah organisasi politik besar untuk dijadikan kantor. Jadilah dia digusur tanpa mendapat penggantian yang layak. Dengan memiliki modal yang seadanya, Rizal terpaksa membuka warung tenda di trotoar jalan. Dia tidak berani menyewa tempat untuk sementara waktu karena khawatir
10
tempat tersebut tidak dapat bertahan lama. Sambil berjualan di trotoar, Rizal keliling mencari tempat yang benar-benar aman dan dapat bertahan lama. Selama 15 hari Rizal mencari ke sana ke mari akhirnya dia mendapatkan tempat yang dia nilai cocok dan aman dari penggusuran. Rumah kontrakkan yang berhasil diperolehnya berukuran kira-kira 4x5 m dengan harga sewa waktu itu sebesar Rp.350.000 per tahun. Di rumah itu menjadi rumah makan sekaligus tempat tinggal untuk tempat tidur dia sediakan sedikit ruangan yang diberi sekat. Lokasi rumah makan ini menurut Rizal jauh lebih bagus dari tempat sebelumnya di Rawamangun. Tempatnya berada di tepi jalan dan tidak jauh dari tempat itu ada sebuah pabrik ban, sehingga dapat dibayangkan bahwa daerah itu cukup ramai dan banyak terdapat rumah-rumah yang dikontrakkan. Saat ini di daerah itu sangat padat dan ramai sekali. Tidak jauh dari tempatnya terdapat pangkalan ojek dan tempat mangkal angkutan kota. Di tempat yang baru ini rumah makan Rizal terus berkembang dari waktu ke waktu. Rumah makan itu berhasil direnovasi menjadi bertingkat dimana di bagian atas digunakan untuk keluarga. Dalam menjalankan usaha rumah makannya, Rizal dan istrinya saling membantu. Setiap hari mereka belanja berdua segala bahan-bahan untuk dimasak. Karena keduanya sudah mahir memasak, pekerjaan memasak dilakukan berdua. Terkadang Rizal menyiapkan bumbu-bumbu, istrinya memasak atau sebaliknya. Sampai saat ini mereka masih sering belanja berdua ke pasar. Pekerjaan memasak lebih banyak dikerjakan oleh istrinya karena terkadang Rizal mengantar orang yang menyewa mobilnya atau pergi membuat video perkawinan atau video klip. Dengan usaha yang pantang menyerah dan keuletan, dari usaha rumah makan itu Rizal berhasil membeli sebuah rumah yang cukup besar, memiliki 3 buah sepeda motor dan sebuah mobil. Ungkapan ”Pandai Dagang” ternyata bukan hanya sekedar ucapan semata, dalam 2 tahun terakhir dia mulai mengembangkan usahanya dalam penyewaan kendaraan –meskipun baru satu mobil- dan pembuatan jasa video klip. Sejauh ini kedua usaha barunya itu katanya berjalan cukup baik. Semoga saja kelak nanti jerih-payah Rizal membuahkan hasil yang bagus.
11
Sarjana akuntansi dengan penghasilan Rp.7 juta per bulan Irvan (63): laki-laki, 31 tahun, Katholik, S1 Komputer Akuntansi, menikah, WNI keturunan Tionghoa, rumah mengontrak, belum punya anak. Isteri: 31 tahun, Katholik, Akademi, bekerja-staff perusahaan perhiasan. Wawancara: 22 Februari 2011.
Irvan lahir dan dibesarkan di Jakarta Selatan. Dari sejak lahir sampai saat ini dia tinggal di daerah Jakarta Selatan. Perbedaannya adalah setelah menikah dia mengontrak rumah sendiri yang letaknya saling bertolakbelakang dengan rumah orang tuanya. Pendidikan terakhir Irvan adalah S1 Komputer Akuntansi, menurut pengakuannya sebenarnya cita-citanya ia ingin menjadi seorang atlet olah raga, karena ia sangat menyukai olah raga. Tetapi entah mengapa setelah lulus SMA akhirnya ia melanjutkan kuliah di jurusan Komputer Akuntansi. Menurut Irvan kedua orang tuanya sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada anak-anaknya memilih pendidikan. Irvan mengaku masih ada keinginan untuk melanjutkan pendidikan jika suatu saat nanti ada kesempatan. Tetapi menurut Irvan untuk melanjutkan pendidikan perlu banyak pertimbangan dan persiapan, karena kondisinya sekarang ia telah berkeluarga dan bekerja sehingga perlu ada pembagian waktu dan biaya. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah otak juga harus dipersiapkan dengan matang. Setelah selesai kuliah, Irvan bekerja di perusahaan kontraktor milik temannya. Pada saat itu menurut Irvan dia belum “bekerja” karena hanya membantu temannya saja. Irvan juga belum mendapatkan penghasilan yang tetap dan teratur setiap bulannya layaknya seorang karyawan. Pada tahun 2005 ia pindah bekerja di sebuah perusahaan Financial Multi Finance yang bergerak di bidang leasing dengan posisi sebagai Collection Head. Di perusahaan leasing ini Irvan menganggap bahwa ia baru merasakan bekerja yang sesungguhnya, mendapatkan penghasilan/gaji yang teratur setiap bulannya. Dia mempunyai tanggung jawab memantau anak perusahaan di sekitar Jabotabek.
12
Setelah bekerja selama 5 tahun di perusahaan leasing tersebut, pada pertengahan tahun 2010 Irvan pindah bekerja lagi di sebuah perusahaan kontraktor milik temannya yang lain. Dia pindah kerja karena diajak oleh temannya yang kebetulan menjadi pimpinan di perusahaan tersebut. Hingga saat ini Irvan sudah bekerja selama kurang lebih 6 bulan di perusahaan kontraktor milik temannya dengan posisi di bagian keuangan. Dari segi penghasilan/gaji per bulan menurut Irvan saat ini ada peningkatan penghasilan jika dibandingkan dengan tempat ia bekerja sebelumnya sekitar Rp.3.500.000. Penghasilan per bulan yang diperoleh Irvan saat ini berkisar antara Rp.5 jutaRp.7 juta. Rumah orangtua dan rumah kontrakan Irvan berada di lingkungan yang cukup padat dan berada di sebuah gang dengan lebar kurang lebih 2 meter yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan mobil. Walaupun lingkungan rumahnya berada di sebuah gang dan cukup padat, tetapi tidak nampak kumuh atau kotor seperti lingkungan padat pada umumnya yang ada di wilayah Jakarta lainnya. Rumah kontrakan Irvan tidak terlalu besar tetapi nampak terlihat rapi, bersih dan terawat. Di dalam rumah juga tersedia perabotan rumah tangga yang cukup layak dan terkesan bagus, seperti kursi sofa dan meja tamu, lemari kayu dan kaca sebagai tempat untuk meletakkan barang-barang hiasan ruang tamu dan televisi berukuran sedang. Irvan menikah pada awal tahun 2010, setelah berpacaran selama 13 tahun. Dia kenal dengan istrinya karena sama-sama kuliah dalam satu kampus. Setelah 1 tahun menikah Irvan belum dikaruniai anak. Namun menurut Irvan walaupun ia dan istrinya belum mempunyai anak, hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, karena mereka menganggap kehadiran anak dalam pernikahan adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan. Sehingga jika Tuhan belum memberikan atau menunda kehadiran anak, hal tersebut jangan sampai mengganggu hubungan suami istri. Irvan merasa hubungannya dengan istrinya sangat baik dan harmonis karena sudah saling mengenal pribadi masing-masing selama 13 tahun.. Untuk pembagian kerja di rumah seperti mengatur uang dan belanja kebutuhan rumah tangga, Irvan menyerahkan sepenuhnya kepada istrinya, karena menurut Irvan istri lebih teliti dan detail dalam mengatur keuangan. Sedangkan untuk merawat dan membesarkan anak, serta melakukan pekerjaan rumah menurut Irvan bisa dilakukan berdua antara suami dan istri. Tentang istri yang bekerja bagi Irvan tidak masalah jika tujuannya ingin
13
membantu untuk menambah penghasilan rumah tangga, apabila penghasilan suami belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kebetulan dalam hal ini istri Irvan saat ini juga bekerja. Pada prinsipnya Irvan tidak keberatan dan tidak mau melarang jika istri bekerja di luar rumah meskipun nanti setelah mereka memiiki anak. Saat ini sudah banyak perempuan yang memiliki anak tetapi tetap bekerja bahkan mempunyai jabatan yang cukup tinggi. Pengalaman dalam menggunakan alat komunikasi seperti Hand Phone (HP) dan Komputer sudah tidak asing lagi bagi Irvan. Ia menggunakan HP setiap hari untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarganya baik melalui SMS maupun telepon. Tetapi Irvan lebih sering menggunakan fasilitas Black Berry Mesenger (BBM) pada HPnya. BBMnya selalu aktif setiap saat, baik ia berada di kantor maupun di rumah. Biaya yang ia keluarkan untuk pulsa HP dan BBM nya setiap bulan antara Rp.100 ribu-Rp.150 ribu. Selain itu juga setiap hari ia menggunakan internet di kantor untuk keperluan pekerjaannya seperti mencari data-data, penerimaan dan pengiriman email atau untuk chatting melalui Facebook dan Yahoo dengan teman-temannya.
14
Pengusaha 11 gerobak Soto Bogor dan toko sembako Yeti (109): perempuan, 31 tahun, Islam, Sunda, Madrasyah Ibtidaiyah (SD), menikah, ibu rumah tangga, mempunyai anak 3 orang (7 th, 4 th, 2 th), rumah kontrak di Jakarta, tetapi mempunyai rumah di Bogor dan sepeda motor. Suami: 33 tahun, Sunda, Madrasyah Ibtidaiyah (SD), wiraswasta. Wawancara: 23 Maret 2011.
Pendidikan Yeti hanya sampai Madrasah Ibtidaiyah atau setingkat SD saja di Bogor, karena pada saat ia berusia 12 tahun bapaknya meninggal dunia dan ibunya tidak mampu lagi untuk membiayai sekolahnya. Yeti mengatakan bahwa sesungguhnya ia belum merasa puas pendidikannya hanya sampai tingkat SD saja. Cita-citanya ia ingin sekali menjadi guru. Menurut Yeti biar anaknya saja yang nanti harus bersekolah sampai tingkat yang lebih tinggi dari dirinya. Setelah berhenti sekolah pada usia 12 tahun, karena bapaknya Yeti meninggal dunia dan ibunya tidak mampu untuk membiayai sekolah, ia hanya menganggur saja di rumah dan membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah tangga. Setelah menganggur selama kurang lebih 1 tahun, pada tahun 1992 saat ia berusia 13 tahun ia diajak kakaknya untuk pindah ke Jakarta untuk bekerja di sebuah rumah makan di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Saat pertama kali mulai bekerja Yeti mengaku menaikkan usianya lebih tua dari usia sebenarnya yang masih 13 tahun agar ia bisa diterima bekerja, karena usia 13 tahun pada saat itu masih terlalu kecil dan belum boleh untuk bekerja. Setelah beberapa tahun bekerja di rumah makan, kemudian ia pindah bekerja di perusahaan garment (tekstil). Setelah itu ia pindah lagi bekerja di beberapa rumah makan di Jakarta. Yeti merasa bekerja di rumah makan sangat cocok dengan dirinya, mungkin bakat memasak ibunya turun kepada Yeti. Sewaktu Yeti masih kecil ibunya bekerja menjual nasi di Bogor. Sering berpindah bekerja dari satu rumah makan ke rumah makan lain memunculkan keinginan Yeti membuka usaha sendiri di bidang kuliner.
15
Pada tahun 1999 Yeti menikah dengan seorang pria yang juga berasal dari suku Sunda Suaminya itu bekerja sebagai pedagang Soto Bogor di daerah Jakarta Barat. Ia tinggal bersama suaminya mengontrak sebuah rumah di lingkungan yang padat. Setelah setahun menikah, pada tahun 2010 Yeti dan suaminya punya ide untuk mengembangkan usaha mereka. Dengan uang yang mereka miliki, mereka menambah 2 buah gerobak lagi menjadi 3 buah. Kemudian dia mencari orang yang mau bekerja berdagang Soto Bogor. Dalam menjalankan usaha sotonya Yeti dan suaminya menyediakan gerobak dan seluruh peralatan untuk berjualan serta memasak semua bahanbahan soto di rumah kontrakannya, kemudian yang bertugas membawa gerobak dan berjualan adalah karyawannya yang diberi penghasilan dengan sistem bagi hasil (persentasi) dari hasil penjualan soto. Sistim bagi hasil yang diterapkan adalah sebesar 75% dari hasil penjualan soto menjadi milik Yeti dan suaminya dan sebesar 25% menjadi milik karyawannya/pedagang. Rata-rata dari satu orang karyawan Yeti mendapat sebesar Rp.100.000 per hari. Para karyawannya ini berdagang dengan cara mangkal di pusat keramaian seperti pertokoan, pasar dan perkantoran yang ada di daerah Mangga Besar, Jakarta Pusat. Usaha Yeti dan suaminya ini berbuah manis, semakin lama gerobak soto terus bertambah hingga sampai pada tahun 2010 mereka memiliki 11 buah gerobak. Rumah kontrakan Yeti selain menjadi tempat tinggal keluarganya juga berfungsi sebagai tempat penampungan gerobak-gerobak usaha soto dan karyawannya. Seluruh gerobak sotonya setiap hari sebelum dan setelah berjualan ditampung di rumah kontrakannya yang tidak terlalu luas itu. Rumah kontrakan Yeti nampak terkesan kumuh dan kotor karena beberapa gerobak soto selain ditampung di halaman rumahnya yang tidak terlalu luas, juga ditampung di dalam rumahnya. Keinginan Yeti untuk mengembangkan usaha tidak berhenti, sejak tahun 2010 lalu Yeti mulai membuka usaha warung kelontong yang menjual kebutuhan sehari-hari seperti sembako, jajanan, minuman ringan, rokok dan lain-lain. Usaha warung kelontong ini letaknya berada satu gang dengan rumah kontrakan Yeti yang hanya berjarak 20 meter dari rumahnya, yang ia sewa dengan luas bangunan yang tidak terlalu besar hanya sekitar 2x3 m saja. Dari usaha warungnya dalam sehari dia memperoleh minimal Rp.50.000. Jika sedang banyak pembeli dia bisa mendapatkan uang sebesar Rp.100.000.
16
Yeti merasa bersyukur karena usaha mereka sampai saat ini terus berjalan dengan baik. Hubungan Yeti dan suaminya juga harmonis. Mereka saling berbagi peran dalam mengatur rumah tangga dan usaha. Dalam hal keuangan diatur secara bersama antara Yeti dan suaminya. Untuk urusan belanja bahanbahan untuk soto dikerjakan oleh suaminya, Yeti membantu suami saat mengolah dan memasak seluruh bahan-bahan untuk soto. Dalam hal mengurus anak sebagian besar dilakukan oleh Yeti, suaminya tidak sungkan turut serta membersihkan rumah dan membayar rekening listrik. Dari hasil usahanya ini Yeti dan suaminya berhasil membangun sebuah rumah di Bogor di tempat kelahirannya dan membeli sebuah sepeda motor. Selain itu juga sebulan sekali Yeti mengirim uang kepada orangtuanya. Dia berharap agar dapat menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin sampai mencapai apa yang mereka cita-citakan. Tidak seperti dirinya yang hanya mampu sekolah sampai Ibtidaiyah.
Gambar 7. Rumah dan toko Yeti
17
Mejadi guru kesenian dan mempunyai galeri seni Dinda Pratiwi (103): perempuan, 29 tahun, Protestan, Jawa, S1, belum menikah, tinggal dengan orangtua. Wawancara: 5 Februari 2011.
Dinda Pratiwi atau yang akrab disapa Tiwi merupakan anak terakhir dari empat bersaudara.Tiwi dilahirkan di Jakarta, dan berasal dari keluarga Jawa. Setelah menamatkan pendidikannya di jenjang SMA di Jakarta, ia kemudian melanjutkan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta. Ia mengambil jurusan Seni Patung. Tiwi mengatakan bahwa jalur pendidikan yang ia pilih sangat sesuai dengan minatnya secara pribadi. Tiwi tidak merasakan paksaan dari pihak orang tuanya ketika memutuskan memilih jalur pendidikan yang ia minati Minatnya pada dunia seni diakui Tiwi berasal dari keluarganya. Meskipun keluarganya tidak menekuni dunia seni dalam bidang seni pahat maupun seni rupa, namun hampir seluruh keluarganya menyukai seni musik. Menurut Tiwi hampir seluruh anggota keluarganya mahir memainkan alat musik. Tiwi juga berpendapat bahwa dunia seni harus berangkat dari minat dalam diri, maka keinginannya untuk mengambil kuliah jurusan musik ia urungkan dan memutuskan untuk mengambil Jurusan Seni Patung. Kecintaannya pada dunia seni membuat Tiwi ingin mengambil kuliah lagi. Namun ia mengatakan tidak berminat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, ia berniat untuk mengambil jenis seni lainnya untuk ia pelajari. Meskipun tidak secara langsung berkecimpung dalam dunia seni, namun Tiwi bekerja sebagai guru yang mengajar mata pelajaran kesenian di sebuah sekolah swasta di Jakarta. Baginya menjalani keseharian sebagai seorang pengajar memberikannya kepuasan dan kebanggaan tersendiri. Dalam menerapkan pelajaran yang ia berikan kepada para muridnya, Tiwi menerapkan prinsip hidupnya. Dengan mengutip petuah salah seorang tokoh, Tiwi mengatakan, “…kalau kamu kerja keras bakat 1% pun kamu bisa.” Tiwi memilih mengajar dengan cara yang menyenangkan bagi anak-anak. Ia tidak
18
mau membuat anak didiknya merasa tertekan dalam menerima ilmu yang ia berikan. Saat ia memutuskan bekerja menjadi seorang guru seluruh keluarganya cukup terkejut. Ia mengatakan, saat mendiang ibunya masih hidup, beliau sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) namun harus terhenti karena memutuskan menikah dengan ayah Tiwi. Pengalaman itulah yang membuat keputusan Tiwi dianggap menjadi pengganti cita-cita ibunya. Mulai menjalani kehidupan sebagai seorang guru bukanlah perkara mudah pada awalnya. Tiwi mengatakan awalnya ia sampai mengajar di berbagai tempat untuk bisa memenuhi tuntutan financialnya. “Sampai saya sempat putus asa gitu karena sebulan aja saya ngajar di 4 sekolah itu honor saya hanya Rp.900.000. Jadi saya sempet sampe putus asa sebenernya cita-cita saya bakal sampe” ujar Tiwi. Sampai akhirnya dia diterima di sekolah swasta sebagai guru tetap dengan penghasilan yang Tiwi rasa cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Meskipun saat ini Tiwi menganggap bahwa kehidupannya sudah cukup stabil namun bila mengingat pengalamannya saat baru menjadi sarjana, ia mengatakan bahwa sempat menganggur selama 1 tahun tanpa pekerjaan. Tiwi tidak menilai pekerjaanya menjadi guru sebagai suatu hal yang merugikannya. Sebagai seorang lulusan sekolah seni, Tiwi memiliki keinginan untuk mendirikan sebuah galeri kesenian hasil karya buatannya. Namun ia juga menyadari, keadaan financialnya saat ini dan usia yang sudah tidak muda lagi—saat diwawancarai Tiwi mengaku berumur hampir 30 tahun— membuatnya berfikir untuk mencari jalur pekerjaan lain. Tiwi mengatakan bahwa meskipun ia saat ini seorang guru, ia menganggap bahwa pekerjaannya tersebut merupakan batu loncatan untuk mengembangkan karirnya. Untuk mewujudkan cita-citanya membuat galeri kesenian Tiwi rajin menabung. Menurutnya, pengalaman mengenyam pendidikan di kota berbeda dengan kota yang ia tinggali saat ini membuatnya cukup bergantung dengan teknologi komunikasi. Tiwi memanfaatkan teknologi short message system (SMS) dan Facebook untuk tetap berkomunikasi dengan teman-temannya di Yogya. Namun, karena ia tidak memiliki teman yang cukup dekat saat ini, ia tidak terlampau sering memanfaatkan teknologi tersebut untuk berkomunikasi dengan teman-teman kuliahnya dulu.
19
Usaha gerai handphone , internet untuk usaha peran Gender yang tradisional Dedi (61): laki-laki, 31 tahun, Islam, lahir dan besar di Jakarta, Betawi, S1, wirasuasta membuka gerai handphone, belum menikah, tinggal di rumah orangtua. Wawancara: 19 Februari 2011.
Dedi merupakan lulusan S1 Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan dari Universitas Jenderal Sudirman, Purwekrto, Jawa Tengah. Jurusan yang dia pilih sesuai kemauan sendiri itu dicapai melalui jalur masuk Perguruan Tinggi Negeri. Dia mengaku tidak mempunyai panutan dalam pemilihan kuliahnya dan dia sendiri pun tidak ingat apa cita-citanya ketika kecil dulu. Tetapi Dedi memang sangat tertarik di bidang ekonomi, oleh karena itu dia memilih jurusan ilmu ekonomi Studi Pembangunan untuk kuliahnya. Sejak lulus kuliah pada tahun 2001, Dedi sudah memiliki keinginan untuk membuka usaha sendiri. Dia sempat bekerja di sebuah perusahaan selama 2 bulan, namun tidak dia lanjutkan karena merasa capek dan minatnya memang ingin membuka usaha sendiri. Meskipun puas dengan pendidikan S1 yang telah ditempuhnya, Dedi masih memiliki keinginan untuk melanjutkan ke jenjang S2. Namun karena belum menemukan waktu yang tepat, dia belum bisa melanjutkan sekolahnya. Saat ini kegiatan Dedi adalah mengurus gerai handphone yang dia mulai sejak tahun 2003. Dedi sudah menunjukan ketertarikan untuk membuka usaha sendiri sejak kuliah, namun masih dalam skala kecil. Usahanya ini merupakan keputusan dia sendiri tanpa adanya campur tangan dari orangtua. Kegiatan yang dilakukan dalam usahanya mencakup; jual-beli handphone, jual pulsa, servis handphone dan instalasi software dan aplikasi handphone. Keuntungan yang diperoleh setiap bulan dari usahanya ini sekitar Rp.3.000.000-Rp.5.000.000. Dedi merasa penghasilannya ini sudah cukup untuk memenuhi kehidupannya. Lokasi gerainya yang strategis membuat usahanya ini bertahan lama. Selain itu, Dedi juga merasakan keuntungan dari penggunaan internet untuk
20
perkembangan usahanya. Dia melakukan promosi melalui forum-forum di internet sehingga usahanya semakin terkenal. Dia juga mengunduh software dan aplikasi untuk handphone melalui internet. Dedi mengatakan bahwa penggunaan internet sangat menguntungkan. Selain dia bisa melakukan promosi gratis, jangkauan yang dia dapat juga sangat luas.Hingga saat ini Dedi masih ingin terus melanjutkan usahanya karena memang pekerjaannya saat ini sudah sesuai dengan keinginannya. Penghasilan yang dihasilkan pun sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat ini Dedi belum menikah namun sudah memiliki pacar yang sudah dikenalnya sejak SD. Dedi mengungkapkan bahwa pasangannya saat ini sudah memenuhi kriteria yang dia inginkan sebagai calon istri. Dia sudah memiliki niat untuk menikah, namun dia belum tahu kapan pastinya. Saat ini usia Dedi sudah 31 tahun, menurutnya usia ideal untuk laki-laki menikah adalah 30 tahun, oleh sebab itu dia sudah berniat untuk menikah dengan pasangannya. Bagi Dedi, tidak perlu ada sesuatu yang harus dicapai sebelum menikah. Selama dirinya sudah siap dan sudah memiliki jodoh, pernikahan bisa dilakukan kapan saja. Pekerjaan tetap dan rumah bisa didapat setelah menikah nanti, yang paling penting adalah pasangan tersebut sudah bisa bertanggung jawab dalam membentuk sebuah keluarga. Setelah menikah Dedi juga tidak ingin menunda kepunyaan anak. Apabila memang diberikan anak langsung setelah pernikahan, maka tidak ada alasan untuk menunda. Pandangan Dedi mengenai pembagian peran dalam rumah tangga adalah istri yang mengatur segala kebutuhan rumah tangga dan suami mendukung dari belakang dan juga mencari nafkah. Istri yang berperan dalam pengelolaan keuangan rumah tangga seperti pembayaran listrik, telepon dan membeli kebutuhan sehari-hari. Untuk urusan anak seperti mendaftarkan sekolah atau membawa ke rumah sakit, juga merupakan tugas istri. Dedi berpendapat bahwa seorang istri lebih baik berada di rumah apabila sudah memiliki anak. Bekerja baik untuk membantu keuangan keluarga dan Dedi bukan sesorang yang suka melarang pasangannya. Apabila pasangannya mau bekerja setelah menikah nanti, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Namun bila sudah memiliki anak, lebih baik diutamakan mengurus anak mereka.
21
Gambar 8. Dedi dengan usahanya toko handphone
22
Ketergantuangan ekonomi seorang isteri Yuniarti (114): perempuan, 33 tahun, Islam, Jawa, pendidikan Madrasyah Aliyah, menikah, mempunyai 2 anak (13 dan 8 tahun), memiliki rumah sendiri. Suami: 35, Islam, Akademi, pedagang pakaian. Wawancara: 14 Februari 2011.
Yuniarti, lahir dan dibesarkan di Kediri Jawa Timur. Ia anak pertama dari 4 orang bersaudara dan sangat berbakti pada orangtuanya dibandingkan ketiga saudaranya. Dalam hal pendidikan Yuniarti mengikuti arahan orangtuanya sekolah di sekolah agama mulai dari Tsanawiyah (SLTP) dan Aliyah (SLTA). Tidak hanya dalam hal pendidikan, dalam hal jodohpun dia menuruti keiinginan ayahnya. Yuniarti rela menikah secara sirih demi untuk menjaga kehormatan orangtuanya yang sudah berjanji menikahkannya. Meskipun pernikahan itu hanya sehari saja, paling tidak dia sudah berani merubah dirinya dari seorang gadis menjadi seorang “janda”. Dalam pernikahan tersebut tidak pernah terjadi hubungan suami istri. Pada malam pengantin dia memilih tidur bersama nenek dan teman dekatnya. Keesokan harinya Yuniarti kembali ke rumah orangtuanya. Sejak saat itu dia tidak pernah mau menemui suaminya tersebut. Pada saat merantau ke Jakarta Yuniarti bekerja sebagai Sales Promotion Girl (SPG) di Ramayana Departemen Store. Di tempat itu Yuniarti berkenalan dengan seorang pria yang bekerja sebagai pedagang pakaian dalam areal yang sama. Pada pria tersebut Yuniarti mengaku berterus terang bahwa stasusnya adalah seorang janda tetapi masih gadis. Pada tahun 1997 hubungan kasih mereka berlanjut ke pelamaninan pada saat dia masih berusia 19 tahun meskipun sebenarnya orang tua Yuniarti tidak terlalu suka dengan laki-laki pilihannya yang berasal dari suku Sunda. Orang tuanya lebih senang jika anakanaknya menikah dengan yang satu suku dan seiman.
23
Setelah menikah Yuniarti berhenti bekerka sebagai SPG. Dia bersama suaminya mengelola usaha menjual pakaian di Pasar Palmerah. Perekonomian keluarga Yuniarti dari sejak menikah hingga umur anak pertamanya berusia 3 tahun bisa dikatakan mengalami peningkatan meskipun mereka masih tetap mengontrak di daerah Cipulir. Usaha menjual pakaiannya semakin berkembang sampai akhirnya mereka dapat membeli sebuah kios/toko di pasar itu. Pada tahun 1998 pada saat Indonesia dilanda kerusuhan dimana terjadi penjarahan di Jakarta, kios Yuniarti di Palmerah turut dijarah dan dibakar. Seluruh barang dagangan yang ada di pasar tidak dapat diselamatkan. Masih beruntung pasca kerusuhan tersebut seluruh pedagang di Palmerah mendapat santuan dari sebuah gereja dan pengelola Pasar Palmerah masing-masing sebesar Rp.1.000.000. Sumbangan tersebut sangat berarti dalam kondisi terpuruk kala itu. Dengan sisa uang yang masih ada ditambah uang santunan suaminya berusaha bangkit kembali. Usaha Yuniarti dan suaminya untuk bangkit kembali tidak sia-sia meskipun penghasilan yang mereka dapat tidak dapat menyamai penghasilan sebelum terjadi kerusuhan tersebut. Menjelang usia anaknya memasuki usia tiga tahun, musibah kedua datang. Yuniarti mengetahui suaminya menikah lagi secara sirih. Saat itu Yuniarti merasa dunia ambruk. Dia tidak tahan melihat apa yang terjadi pada keluarganya dan pergi pulang ke Kediri bersama anaknya. Tanpa sepengetahuan suaminya Yuniarti kembali lagi merantau ke Jakarta seorang diri, anaknya dititipkan kepada orang tuanya. Selama lebih kurang 3 bulan Yuniarti mengontrak rumah seorang diri dan dia bekerja sebagai pelayan di restoran Jepang sambil mencari pekerjaan yang lebih baik. Akhirnya dia diterima sebagai tenaga Merchandiser (MD) di perusahan Viva Cosmetics. Selama dalam pelarian ke Jakarta, ternyata suaminya gigih berusaha mencari Yuniarti mulai dari datang ke Kediri sampai mencarinya ke perusahan Viva. Mereka akhirnya sepakat untuk rujuk lagi dengan catatan suaminya harus menceraikan istri sirihnya. Setelah tiga tahun rujuk, Yuniarti melahirkan anak ke dua. Dengan lahirnya anak kedua Yuniarti memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih menjadi ibu rumah tangga pada tahun 2007. Dari sejak menikah hingga saat ini, keuangan rumah tangga dikelola oleh suaminya. Yuniarti hanya diberi uang belanja untuk memasak sebesar Rp 40.000 sehari. Untuk keperluan lain-lain seperti susu anak, keperluan rumah tangga seperti sabun, pakaian dan lain-lain
24
dibelikan oleh suaminya. Jika Yuniarti ingin membeli baju untuk anaknya dia meminta uang kepada suaminya. Pola pengaturan keuagan seperti itu menurut Yuniarti hal yang lumrah bagi keluarga yang penghasilannya dari berdagang. Sementara ini yang bekerja mencari nafkah hanya suaminya seorang diri jadi sudah seharusnya keuangan dikelola oleh suaminya. Uang belanja yang diberikan suaminya benar-benar dikelola dengan baik oleh Yuniarti. Dia berusaha setiap hari agar dapat menyisihkan sebagian dari uang itu untuk disimpan. Tanpa sepengetahuan suaminya, Yuniarti memiliki tabungan di bank. Sebagian dari uang itu dia gunakan untuk membeli kebutuhan anak-anaknya dan keperluan pribadinya. Bahkan dia pernah menggunakan uang tabungannya sebesar Rp.1.000.000 untuk menambah modal usaha membeli pakaian. Yuniarti berkata kepada suaminya uang itu adalah uang yang dia peroleh dari temannya bukan uang tabungannya. Dengan menyatakan itu uang pinjaman, suaminya harus mengembalikan uang pinjaman tersebut. Sejauh ini Yuniarti tidak menaruh curiga kepada suaminya dalam hal berapa besar keuntungan yang diperoleh dari usaha menjual pakaian. Suaminya sering bercerita tentang apa yang dia lakukan selama seharian bekerja seperti dari mulai mengambil pakaian dari toko atau konveksi lalu mengirimnya ke berbagai toko di Jakarta dan Tangerang. Yuniarti tidak pernah mempunyai pikiran buruk terhadap suaminya apakah benar-benar sudah menceraikan istri sirinya dahulu atau mengulang lagi perbuatannya. Jikapun itu terjadi, dia tidak mau ambil pusing, apalagi pergi meninggalkan suaminya seperti dulu. Satu yang dipikirkan oleh Yuniarti adalah bahwa dia merasa tidak sanggup jika harus berpisah dengan suaminya karena dia tidak memiliki pekerjaan yang dapat membiayai kebutuhan anak-anaknya yang semakin hari terus bertambah seiring dengan perkembangan anak-anaknya.
25
Mensiasati keuangan keluarga: strategi seorang ibu rumah tangga Iis (112): perempuan, 33 tahun, Islam, Sunda, tamat SD, menikah, mempunyai 2 anak (13 dan 8 tahun), mempunyai rumah sendiri. Suami: 40 tahun, Islam, Tionghoa, SMP, buruh konveksi. Wawancara: 10 Maret 2011.
Iis lahir di Majalengka, Jawa Barat 33 tahun lalu. Pendidikannya hanya sampai tamat SD karena dilarang orang tuanya melanjutkan sekolah dengan alasan tidak ada gunanya bagi anak perempuan berpendidikan tinggi karena setinggi-tingginya sekolah pada akhirnya bekerja di dapur juga. Menurut Iis, alasan yang utama sebenarnya adalah orang tuanya tidak mampu lagi menyekolahkannya karena dia berasal dari keluarga besar, saudaranya ada 8 orang. Ayahnya rupanya semasa hidupnya gemar kawin–meskipun hanya sebagai petani biasa- sehingga mempunyaianak banyak. Pada tahun 1990 saat Iis masih berusia 13 tahun Iis berangkat ke Jakarta tinggal di rumah kakaknya untuk mencari pekerjaan. Dia sudah tidak tahan lagi tinggal di kampung karena ayahnya sudah tidak mampu mengurusnya lagi apalagi setelah ibu kandungnya meninggal. Dia kerap iri melihat sepupunya atau tetangga seusianya dibelikan baju baru oleh orangtuanya, sesuatu yang tidak pernah dia rasakan. Yang Iis tahu waktu itu banyak orang-orang di kampungnya merantau di Jakarta, dan setiap pulang ke kampung selalu membawa oleh-oleh untuk keluarga mereka di kampung. Oleh karena itu Iis ingin sekali merantau ke Jakarta agar dapat membeli baju yang bagus-bagus. Di Jakarta, Iis langsung bekerja di perusahaan konveksi rumahan yang berada tidak jauh dari tempat tinggal bibi dan kakaknya yang terlebih dahulu sudah merantau ke Jakarta. Pertama kali Iis bekerja dengan upah Rp.1.500 per hari. Setelah dikurangi untuk makan dan jajan, Iis masih bisa menabung Rp.800-Rp.900 setiap hari. Harga satu bungkus nasi dengan lauk sepotong tempe dan sayur pada saat itu Rp.200. Dia sudah merasa senang bisa memiliki uang sendiri.
26
Iis telah beberapa kali pindah pekerjaan namun tetap di bidang yang sama yaitu konveksi. Terakhir bekerja di sebuah PT di Jakarta Barat sampai kehamilan anak yang kedua. Perusahaan ini tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Iis. Alasan berhenti karena tidak ada orang yang menjaga kedua anaknya. Pada saat memiliki anak pertama, anaknya dijaga oleh kakaknya. Setelah kelahiran anak kedua kakaknya tidak sanggup lagi menjaganya. Penghasilannya sebesar Rp 600.000/bln dan ditambah penghasilan suaminya tidak mampu untuk membayar gaji pembantu untuk mengurus kedua anaknya. Penghasilan mereka berdua hanya cukup untuk membeli susu anak-anaknya dan belanja kebutuhan sehari-hari. Masih untung setelah berhenti bekerja pada tahun 2002 dia mendapat pesangon sebesar Rp 10.000.000 yang digunakan untuk membeli sebuah rumah 3x4 meter. Iis menikah dengan pria keturunan Cina asal Teluk Melano, Ketapang, Kalimantan Barat yang pada waktu mengontrak tidak jauh dari tempat dia tinggal. Suaminya berpendidikan tamat SMP dan bekerja serabutan di bidang konveksi, dengan penghasilan berkisar Rp.700.000-Rp.900.000/minggu bila sedang banyak pekerjaan. Jika permintaan pakaian sedang sedikit, penghasilan suaminya juga turut berkurang berkisar Rp.300.000-Rp.500.000/minggu. Penghasilan suaminya tidak diberikan seluruhnya kepada Iis, jika sedang tidak banyak pekerjaan dia hanya diberi Rp.200.000/minggu. Jika pekerjaan sedang banyak suaminya memberi tidak lebih dari Rp.300.000/minggu. Seluruh biaya itu digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga dari belanja dapur, rekening listrik, air dan biaya pendidikan anak. Dengan uang sebesar itu ditambah dia sudah tidak bekerja, tentu tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Meminta tambahan dari suaminya tidak mungkin karena suaminya perlu juga uang untuk kebutuhannya selama bekerja untuk membeli makanan dan jajan. Melihat kondisi keuangan rumah tangganya, sebenarnya Iis ingin bekerja kembali tetapi dia sadar betul bahwa hal itu tidak mungkin. Oleh karena itu Iis berusaha mengelola uang dari suaminya seirit mungkin. Dia berusaha agar dapat menyisihkan sebesar Rp.10.000-Rp.20.000 setiap minggu yang dipergunakan untuk membayar uang pendidikan (SPP) anak-anaknya. Untuk menambah kekurangannya dia berjualan kue lalu dijual keliling atau dititipkan di warung-warung atau turut serta bersama tetangganya dalam membuat pesanan tumpeng. Penghasilan yang dia peroleh dari berjualan berkisar Rp.30.000-Rp.40.000. Sayangnya Iis tidak dapat setiap hari menjual
27
kue gorengan itu karena disatu pihak dia harus merawat anaknya. Suaminya sama sekali tidak mau mengurus anak-anaknya. Pekerjaan rumah tangga sepenuhnya menjadi tanggung jawab Iis, suaminya bertanggungjawab mencari nafkah. Sementara disatu pihak, penghasilan suami tidaklah dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga yang terus meningkat. Terlepas dari segala macam pergulatan hidupnya, Iis masih bisa bersyukur untuk sesaat karena dalam satu tahun terakhir (2010) perusahan tempat suaminya bekerja sedang banyak pemesanan pakaian. Penghasilan suaminya juga ikut meningkat, dalam setiap minggu suaminya dapat memperoleh Rp.900.000-Rp.1.000.000/minggu. Dengan semakin bertambahnya penghasilan suaminya, uang belanja juga ikut bertambah. Dia berharap kondisi seperti ini dapat bertahan lama agar dia dapat fokus mengurus anak-anaknya dan biaya pendidikan anaknya dapat terpenuhi setiap bulannya. Jika anakanaknya sudah dapat ditinggal dan mengurus diri sendiri seperti mandi dan makan, Iis ingin dapat bekerja lagi di PT tempat ia bekerja sebelum ia memutuskan untuk tidak bekerja. Pihak manajemen sering menawarkan Iis untuk bekerja lagi jika kebetulan dia sedang rindu bertemu teman-temannya di perusahan tersebut.
28
Sepak terjang seorang laki-laki lulusan SMP untuk tetap bekerja Joko (46): laki-laki, 33 tahun, Islam, Jawa, tamat SMP, bekerja, menikah, mempunyai anak 3 orang (17, 14 dan 11 tahun), rumah kantor tempat isteri bekerja. Isteri: 31 tahun, Islam, Minang, SMP/MTs, bekerja sebagai penjaga TK Minang. Wawancara: 5 November 2011.
Joko lahir di Ponorogo, Jawa Timur pada tahun 1978. Joko anak ke tiga dari tiga bersaudara dan dia adalah laki-laki satu-satunya. Ibunya meninggal sejak dia masih belum berusia 2 tahun. Setelah ibunya meninggal dia dititipkan oleh ayahnya di rumah neneknya, sementara ayahnya merantau ke Palembang. Ketika Joko memasuki SMP, ayahnya kembali ke Ponorogo. Orangtua Joko tidak pernah mengenyam pendidikan, sehari-hari di kampung bekerja sebagai petani. Sejak kecil Joko memiliki cita-cita ingin menjadi tentara atau polisi. Karena keterbatasan ekonomi pendidikan yang berhasil ditamatkan hanya sampai tingkat SMP meskipun sebenarnya Joko ingin melanjutkan sekolahnya ke SMA. Setelah tamat SMP ayahnya ingin agar Joko bekerja mengikuti kakak keponakannya yang menjadi mandor bangunan di Jakarta. Tetapi Joko menolak keinginan orangtuanya. Menyadari bahwa orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya, Joko mencoba melamar ke Kepolisian dan Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus). Berbekal ijazah SMP, pada tahun 1993 saat usianya masih 15 tahun Joko mencoba melamar tetapi semuanya kandas karena orangtuanya tidak mampu membayar uang sebesar Rp 4.000.000. Melihat keinginan Joko untuk melanjutkan sekolah sementara ayahnya tidak mampu membiayainya, ayahnya “menipu” Joko dengan mengatakan bahwa kakak keponakannya yang menjadi mandor di Jakarta akan menyekolahkannya ke SMA. Dengan semangat Joko berangkat ke Jakarta dan dia tinggal bersama buliknya (adik perempuan dari ayah) di daerah Bekasi – Jawa Barat. Tunggu punya tunggu Joko heran kenapa dia belum juga didaftarkan masuk sekolah. Sambil menunggu disekolahkan Joko membantu buliknya menjual nasi di kompleks Pertamina Jatiwaringin, Bekasi. Lama
29
kelamaan Joko sadar bahwa dia tidak mungkin melanjutkan sekolah, akhirnya Joko turut serta bekerja pada proyek bangunan. Pilihan bekerja pada proyek bangunan adalah satu-satu pilihan karena dia malu kembali ke kampung selain di kampung juga dia tidak ada yang bisa dikerjakan. Penghasilan sebagai buruh bangunan gajinya memang kecil tetapi bagi Joko yang masih bujangan sudah cukup untuk membiayai kebutuhannya. Tetapi bagi yang sudah berkeluarga pekerjaan itu tidak dapat diandalkan, karena proyek bangunan tidak setiap saat ada. Terkadang bisa 1-2 bulan tidak ada pekerjaan. Joko sering mendengar kakaknya ribut dengan suaminya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Percekcokkan lebih banyak disebabkan karena penghasilan suaminya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu Joko memilih berhenti menjadi buruh bangunan dan mencari pekerjaan lain sebagai supir angkot. Dia belajar menyupir dari temannya yang bekerja sebagai supir angkot. Pekerjaan sebagai supir angkot dijalaninya selama 4 tahun. Setelah itu dia beralih bekerja sebagai supir pribadi. Bosan bekerja sebagai supir pribadi selama sekitar 10 tahunan, Joko beralih menjadi karyawan penyembuhan alternatif di sebuah daerah perumahan di Bekasi. Dia bekerja selama 2 tahun dan berhenti karena semakin hari semakin sedikit orang yang datang berobat. Lepas dari pekerjaan tersebut Joko mulai beralih pekerjaan menjadi wiraswasta menjual handphone (HP) dan pulsa pada awal 2009. Dari semua pekerjaan yang dia lakoni, menjadi wiraswata ini yang Joko rasa paling berhasil. Usahanya ini terus berkembang hingga Joko terkena musibah ditangkap polisi di arena judi di sekitar Bekasi pada akhir 2010. Usahanya saat itu bisa mendapatkan keuntungan sampai Rp.5.000.000 setiap bulan. Joko masih ingat sekali pada saat peristiwa penangkapannya. Setelah selesai usaha Joko diajak temannya untuk berkumpul bersama teman-teman yang lain di sebuah rumah. Ternyata di tempat itu teman-temannya sedang bermain judi dadu koprok dan kartu. Tanpa diketahui tiba-tiba Polisi datang menggerebek rumah tersebut. Menurut pengakuan Joko, saat itu dia datang hanya melihat saja, tidak turut serta bermain judi. Tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan polisi dan keterangan dari orang yang tertangkap di rumah itu mengatakan bahwa Joko turut serta bermain judi. Joko merasa dunia runtuh menimpa dirinya. Dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dia mencoba naik banding tetapi malah diancam oleh hakim yang akan memperberat hukumannya. Saat itu dia merasakan bahwa hukum itu memang tidak adil terutama bagi rakyat yang tidak mampu.
30
Selama Joko dipenjara di Lapas Bekasi, usahanya yang sedang berkembang tidak dapat dilanjutkan karena istrinya tidak sanggup meneruskan. Seluruh aset yang ada dari usaha itu dijual untuk membiayai istri dan ketiga anaknya. Satu hal yang paling menyakitkan bagi Joko adalah bahwa dia merasa dijebak oleh teman dekatnya sendiri. Joko berpikir mungkin saja temannya iri atau sentimen atas kemajuan usaha Joko. Joko menjalani masa tahanan selama 9 bulan dan dia bebas menjelang hari Lebaran 2011. Selama 3 bulan setelah bebas (saat wawancara berlangsung), ingatan betapa beratnya hidup selama di penjara masih terus terbayang. Saat ini Joko berusaha untuk bangkit kembali. Sebagai langkah awal dia mulai bekerja lagi sebagai supir pribadi di tempat istrinya bekerja pada sebuah sekolah Taman Kanak-kanak di Bekasi. Gaji yang dia terima sebesar Rp.600.000 perbulan ditambah uang makan Rp.15.000 sehari. Bisa dikatakan Joko bekerja setiap hari, karena pada saat hari Minggu dia sering diminta untuk mengantar anak bosnya jalan-jalan. Istri Joko sehari-hari bekerja sebagai penjaga sekolah TK di Bekasi. Istrinya sudah sekitar 12 tahun bekerja di sekolah itu. Ukuran sekolah TK itu cukup besar sehingga oleh pemiliknya sebagian ruangan dipergunakan untuk tempat tinggal Joko dan keluarganya. Pemilik TK ini sebenarnya juga adalah majikan Joko saat dulu dia bekerja sebagai supir pribadi sampai sekarang setelah keluar dari penjara. Joko masih bersyukur karena majikannya orang yang baik hati yang masih mau menerima dia tinggal di sekolah dan bekerja kembali. Saat ini Joko sangat berhati-hati dalam memilih teman. Dia tidak mau lagi bergaul dengan teman-teman lamanya. Temannya yang ada saat ini hanya tetangganya saja. Sekarang dia fokus kepada pekerjaan dan ingin menebus dosanya karena sempat “menelantarkan” keluarganya selama di penjara. Suatu saat dia berharap akan mampu bangkit, mempunyai suatu usaha sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain.
31
Gambar 9. Joko sedang di interview di TK tempat kerja isterinya yang juga merupakan tempat tinggal keluarganya.
32
Isteri seorang TKI: hamil sebelum menikah Nuraini (67): perempuan, 25 tahun, Islam, Sunda, SMP, menikah, mempunyai anak satu, tinggal di rumah kontrakan. Suami: 24 tahun, Islam, Sunda, SD, buruh di Malaysia. Wawancara: 5 Februari 2011.
Nuraini, 25 tahun, lahir dari pasangan orangtua berdarah Sunda, ibu berasal dari Bogor dan bapak berasal dari Karawang Jawa Barat. Nuraini sendiri merasa sebagai orang Jakarta karena selama ini belum pernah ke kampung orangtuanya. Orangtuanya tidak pernah membawa ke Bogor atau Karawang. Dia tinggal mengontrak bersama adik dan kakaknya di daerah Rawa Badak, Jakarta. Lingkungan tempat tinggal Nuraini dapat dikatakan sebagai pemukiman kumuh dan padat. Nuraini menamatkan pendidikan hanya sampai SMP karena orangtuanya tidak memilik dana untuk meneruskan pendidikan. Bapaknya meninggal 13 tahun lalu ketika dia berumur 11 tahun. Ibunya meninggal 4 tahun lalu. Sebenarnya Nuraini ingin terus melanjutkan pendidikan ke SMEA dan ingin menjadi pramugari. Namun demikian dia merasa senang dengan pendidikan yang telah dicapainya karena menurut dia setidaknya sudah pernah sekolah. Saat ini Nuraini tidak bekerja karena harus mengurus anak yang baru berumur 3 bulan, Suaminya membolehkan dirinya bekerja kembali setelah anaknya nanti berumur 1 tahun. Sebelumnya Nuraini pernah beberapa kali bekerja sebagai buruh membuang benang di pabrik konveksi yang berada di Kawasan Berikat Nasional (KBN), Cakung Jakarta Timur. Pekerjaan lainnya Nuraini pernah menjadi pelayan kantin di beberapa gedung perkantoran dan berjualan nasi uduk di sekitar rumah. Pendidikan suaminya Nuraini hanya tamat SD yang berasal dari Sumedang, Jawa Barat. Orangtua suaminya berasal dari keluarga kurang mampu. Saat berkenalan dengan suaminya, suaminya bekerja sebagai kuli bangunan. Sekitar lima bulan yang lalu (saat wawancara dilakukan) suaminya berangkat ke
33
Malaysia sebagai buruh cat mobil dengan masa kontrak kerja selama 3 tahun. Suaminya baru akan kembali ke Indonesia jika kontrak berakhir. Dia ingin bekerja lagi secepatnya bila ada yang mengajak kerja untuk menambah penghasilan karena kiriman dari suami sebesar Rp.1.500.000 per bulan menurutnya belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Dia ingin kembali bekerja di pabrik konveksi karena persyaratan yang mudah dan sistem penggajiannya dilakukan per 2 minggu dengan besar mencapai Rp.400.000. Menurutnya seorang istri tidak masalah bekerja apabila penghasilan suami tidak mencukupi. Sedangkan anaknya bisa dititipkan pada kakak atau adik perempuannya yang masih menganggur. Saat ini Nuraini sudah merasa mandiri karena sudah mempunyai suami dan tidak tergantung pada pada orang lain. Dia merasa mandiri sejak umur 20 tahun karena waktu itu dia sudah bekerja bahkan sudah bisa memberi bantuan ekonomi pada orangtua. Ini menurutnya berbeda dengan sebelum usia 20 tahun, saat itu dia belum punya pekerjaan dan masih meminta pada orangtua. Saat itu kegiatannya juga hanya bermain saja. Mandiri sendiri menurut Nuraini artinya sudah tidak menyusahkan orangtua lagi, bisa melakukan apa saja untuk diri sendiri. Nuraini mengaku punya banyak teman yang berasal dari lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kerja, sebagian besar temannya adalah laki laki terutama saat kerja di kantin seperti sopir truk dan office boy. Menurutnya lebih enak berteman dengan laki- laki karena bisa menjaga rahasia dibandingkan dengan perempuan yang “bocor” dan cerewet. Teman menurutnya sangat penting karena bisa saling bantu dan saling berbagi pengalaman dan keluh kesah. Teman tidak saja untuk curhat tetapi juga bisa saling bantu keuangan. Dia memiliki satu orang teman yang selalu saling bantu dalam segala hal kadang bila dia sedang tidak punya uang untuk beli susu anak, temannya itulah yang membelikan. Dalam behubungan dengan temannya tersebut biasa berkomunikasi dengan handphone (HP) baik menelepon maupun SMS hampir setiap hari. Walaupun sudah 5 bulan terpisah dengan suami yang bekerja di Malaysia menurutnya hubungan dengan suami saat ini baik baik saja. Dalam seminggu biasanya suami menelon sebanyak 2-3 kali. Nuraini bertemu dengan suaminya karena dikenalkan oleh temannya saat bermain di Jakarta Utara. Menurutnya suaminya sudah sesuai dengan yang diinginkannya karena dia bisa menerima
34
apa adanya dan kepribadiannnya juga baik. Kalau dari segi finasial suaminya adalah orang yang kurang mampu karena waktu itu hanya bekerja serabutan. Nuraini menikah 8 bulan yang lalu (pada saat wawancara dilakukan) pada saat berumur 24 tahun setelah berpacaran selama 2 tahun. Tidak ada pesta pernikahan karena tidak mempunyai biaya. Lima bulan setelah menikah dia melahirkan. Sebelum resmi menikah dia sering melakukan hubungan seks karena yakin suaminya akan menikahinya. Dia bersyukur ternyata suaminya menepati janjinya. Jika suatu saat nanti tidak cocok lagi dengan suaminya, Nuraini berani meminta cerai. Menurutnya tidak ada gunanya rumah tangganya dipertahankan apabila sudah tidak cocok dan ribut terus karena hanya akan membuat lelah. Saat menikah Nuraini tidak mengadakan pesta pernikahan hanya selamatan kecil bersama keluarga dan tetangga dekat. Sebenarnya bagi perempuan pesta pernikahan itu penting untuk kenang kenangan bila suatu saat nanti anak menanyakannya, tetapi karena tidak dimilikinya dana dan kedua orangtua sudah tidak ada serta suami juga orang kurang mampu terpaksa tidak melaksanakan pesta pernikahan. Nur mengaku tidak ikut organisasi apapun baik organisasi keagamaan maupun organisasi politik. Bahkan pengajian di lingkungan pemukimanpun juga tidak ikut karena sibuk mengurus anak. Pada masa kampanye dulu dia suka kampanye partai bila ada yang memberi uang seperti saat kampanye PDIP dan Demokrat. Dirinya merasa tidak tertarik untuk ikut organisasi sosial ataupun partai. Dalam bidang keagaamaan dirinya mengaku tidak terlalu taat beragama, membaca Qur’an sangat jarang, hanya sesekali saja membaca Yasin pada malam Jum’at demikian juga dengan shalat dan puasa menurutnya masih bolong-bolong. Ke masjid kadang dilakukannya hanya saat bulan puasa sesekali ikut tarawih. Nur tidak mengenakan jilbab walaupun dirinya merasa senang melihat orang yang berjilbab karena terlihat lebih cantik. Dirinya sendiri belum berminat untuk memakai jilbab. Menurutnya sebenarnya kalau mengikuti perintah agama jilbab itu wajib bagi perempuan tetapi tergantung pada orangnya saja mau mengenakan atau tidak.
35
Foto-foto pemukiman kampung tempat responden tinggal
Gambar 10. Dapur multi fungsi, 2011
Gambar 11. WC Umum, 2011
Gambar 12. Gang pemukiman, 2012
Gambar 13. Perabotan dalam rumah sederhana, 2011
Deskripsi penelitian acknowledgement dan tanggal 11 januari, 2012.
Gambar 14. Alat usaha asongan air jahe
36
Gambar 15. Rumah kontrakan penjual asongan
Tim Peneliti Australian Demographic and Social Research InstituteAustralian National University (ADSRI-ANU): Dr. Iwu Dwisetyani Utomo (Kepala/Peneliti Utama I) Prof. Peter McDonald (Peneliti Utama II) Prof. Terence Hull (Peneliti Utama III) Anna Reimondos Dr. Ariane Utomo Pusat Penelitian Kesehatan-Universitas Indonesia: Dr. Sabarinah Prasetyo Prof. Budi Utomo Heru Suparno Dadun Yelda Fitria Asian Research Institute-National University of Singapore (ARI-NUS): Prof. Gavin Jones Bila ada pertanyaan tentang policy brief ini dapat ditanyakan melalui e-mail pada:
[email protected] atau
[email protected]
Deskripsi Studi dan Survei Transisi Penduduk Usia Muda 2010 di JATABEK Penelitian tentang transisi penduduk usia muda (20-34 tahun) ini dilakukan di JATABEK. Penelitian yang dibiayai oleh Australian Research Council, WHO, ADSRI-ANU dan ARI-NUS, merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Penarikan sampel dilakukan dalam dua tahap dengan metode gugus (cluster) dan dengan memakai metode probabilitas proporsional (probability proportional to size-PPS). Pada tahap pertama, ditarik 60 kelurahan dengan menggunakan PPS. Pada tahapan kedua, dari setiap kelurahan yang sudah dipilih, 5 Rukun Tetangga dipilih dengan menggunakan sampel acak sistematis (systematic random sampling). Dari 300 RT yang terpilih kemudian dilakukan sensus dan pemetaan. Sensus rumah tangga tersebut dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang umur, jenis kelamin, status pernikahan dan hubungan dengan kepala rumah tangga. Sensus ini dilakukan untuk semua anggota keluarga. Dari hasil sensus ini diperoleh daftar dari semua calon responden yang berusia antara 20-34 tahun yang tinggal di RTtersebut. Dari setiap RT yang terpilih, dipilih 11 responden dengan menggunakan sampel acak sederhana (simple random sampling). Dengan menerapkan metode sampling tersebut terpilih sebanyak 3.006 responden.
37
Dua daftar pertanyaan digunakan dalam penelitian ini. Daftar pertanyaan pertama ditanyakan pada responden dengan menggunakan teknik wawancara mendalam yang dilakukan oleh pewawancara yang sudah dilatih. Daftar pertanyaan pertama meliputi pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan demografik dari responden dan juga tentang latar belakang orangtua responden dan suami/istri bagi responden yang sudah menikah. Dalam daftar pertanyaan yang pertama ini ditanyakan tentang: sejarah pendidikan, pekerjaan dan migrasi; pendapatan dan keadaan ekonomi; kondisi pekerjaan; tempat tinggal; hubungan dengan lawan jenis dan pernikahan, jumlah anak, KB dan aborsi; kesehatan fisik dan mental serta kebahagiaan; tingkah laku merokok dan mimum minuman keras; keimanan, serta afiliasi pada organisasi keagamaan dan organisasi politik; norma-norma tentang gender, nilai anak dan pandangan-pandangan terhadap keadaan dunia. Untuk menjaga kerahasiaan responden, daftar pertanyaan kedua yang berisi pertanyaanpertanyaan yang lebih sensitif, diisi sendiri oleh responden. Daftar pertanyaan ini diberikan pada responden dalam amplop dan dikembalikan pada interviewer setelah responden selesai menuliskan jawabannya. Untuk daftar pertanyaan yang kedua ini pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan meliputi perilaku seksual, praktek-praktek seks yang aman, pengetahuan tentang STDs/HIV/AIDS, akses pada pelayanan kesehatan reproduksi, dan pegunaan narkoba. Setelah survei selesai dilakukan, 100 responden dipilih secara random dan kemudian dilakukan wawancara yang mendalam terhadap responden yang terpilih tersebut. Berdasarkan hasil analisa peneltian ini akan dihasilkan sejumlah policy brief dan bila mendapatkan dana maka survei ini akan diulang setiap 3 tahun sekali selama 10 tahun dengan mewawancarai responden yang sama untuk mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada responden sehubungan dengan transisi kehidupannya dalam bidang karakteristik demografi responden, pendidikan dan karirnya.
Acknowledgement: Policy background ini didanai oleh Australian Research Council, ADSRI-ANU, Ford Foundation, WHO, National University of Singapore, dan BAPPENAS. Jakarta, 11 Januari 2012. Australian Demographic and Social Research Institute The Australian National University Canberra ACT 0200, AUSTRALIA http://adsri.anu.edu.au Enquiries: +61 2 6125 3629
38
Cover: Australian Gum Tree Designed by Iwu Dwisetyani, Toto Purwanto, and Andi Lazuardi ©copy right reserved