PROFIL 10 LEMBAGA NON STRUKTURAL
Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia 2013
PROFIL 10 LEMBAGA NON STRUKTURAL Cetakan 103 Halaman
TIDAK DIPERJUALBELIKAN
Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia 2013
DAFTAR ISI Hal Kata Pengantar Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan............................................................................................. i Daftar Isi........................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1 1. Latar Belakang.........................................................................................
1
2. Sekilas Pengertian Lembaga Non Struktural...........................................
4
3. Tujuan Penulisan…………………………………………………….....
6
BAB II PROFIL LEMBAGA NON STRUKTURAL............................................
9
1. Komisi Pengawas Haji Indonesia ……...................................................
9
2. Dewan Penerbangan Antariksa Nasional RI ………............................... 14 3. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam......
21
4. Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.................................
31
5. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.…………………………...... 36 6. Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu …………………........
49
7. Komite Antidumping Indonesia.…………………………………........
55
8. Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia..……………………........
68
9. Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang .......................................................................... 79 10. Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat........................................................................................................ 86
iii
BAB III PENUTUP..................................................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 103
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Demokratisasi menjadi salah satu isu sentral yang paling gencar dituntut oleh masyarakat melalui gerakan reformasi, yang kemudian direspon oleh seluruh elemen bangsa dengan melakukan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Amandemen konstitusi tersebut kemudian berdampak terhadap tatanan politik maupun praktek ketatanegaraan di Indonesia. Lembaga-lembaga yang menjalankan kekuasaan negara tidak lagi terbatas pada lembaga negara fundamental (state organs) seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dikenal pula lembaga negara yang disebut sebagai Lembaga Non Struktural (LNS) dan dibentuk untuk menjalankan fungsi sebagai berikut: a. Memberikan masukan, saran dan juga rekomendasi terhadap berbagai usaha perubahan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, maupun budaya. LNS seperti ini dapat dikategorikan sebagai LNS advisory. b. Melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan yang akan ataupun telah dijalankan oleh Pemerintah. Dalam kerangka ini, LNS merupakan penyeimbang terhadap berbagai kebijakan Pemerintah, sehingga dapat disebut juga sebagai LNS evaluator.
1
c. Menerapkan menyangkut meningkatkan
berbagai
kebijakan
terwujudnya
Pemerintah
penegakan
kesejahteraan
rakyat,
dan dan
terutama
kepastian juga
yang hukum,
pengembangan
kehidupan sosial budaya di Indonesia. Sejak beberapa tahun belakangan, jumlah lembaga non struktural mengalami peningkatan. Periode sekarang, komisi negara bermunculan, yang pembentukannya dengan dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun keputusan presiden. Dalam kerangka pengkajian penataan lembaga non struktural, pada tahun 2010, Menteri Sekretaris Negara telah membentuk
Tim
Antarkementerian Pengkajian Penataan Lembaga Non Struktural yang terdiri dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Keuangan, Sekretariat
Kabinet,
Lembaga
Administrasi
Negara,
dan
Badan
Kepegawaian Negara. Pada langkah awal pengkajian, Tim Antarkementerian melakukan persamaan persepsi berkaitan dengan jumlah LNS, mengingat beberapa Kementerian/Lembaga memiliki data jumlah LNS yang berbeda-beda, yaitu: a. Kementerian PAN dan RB, berdasarkan Rekap Lembaga Non Struktural Per Maret 2010 menyatakan terdapat 80 LNS.
2
b. Lembaga Administrasi Negara, berdasarkan Kajian Tentang Evaluasi Kelembagaan Non Struktural (Fokus pada Komisi dan Dewan), Tahun 2008 menyatakan terdapat 82 LNS. c. Kementerian Keuangan, berdasarkan Ikhtisar Laporan Keuangan Lembaga Non Struktural Unaudited APBN/Non APBN Per 30 Juni 2009 menyatakan terdapat 90 LNS. d. Sekretariat Negara, berdasarkan Buku Kajian Lembaga Non Struktural di Indonesia, Tahun 2009 menyatakan terdapat 67 LNS. Perbedaan data jumlah LNS tersebut di atas, disebabkan oleh belum adanya kesamaan pemahaman mengenai LNS dan tidak adanya aturan tunggal yang mengatur secara umum tentang LNS. Pada beberapa lembaga peraturan pembentukannya secara eksplisit menyebutkan bahwa lembaga tersebut adalah LNS. Hal ini mengakibatkan pengkategorian sebuah lembaga sebagai LNS di keempat Kementerian/Lembaga di atas menjadi berbeda-beda sehingga jumlah LNS yang tercatat di setiap Kementerian/Lembaga dimaksud menjadi tidak sama. Untuk mengatasi perbedaan tersebut, Tim Antarkementerian (2010) melakukan penyamaan persepsi dan menyepakati bahwa jumlah LNS adalah sebanyak 85 LNS, yang terdiri dari: a. LNS berbentuk Badan
= 25
b. LNS berbentuk Dewan
= 22
c. LNS berbentuk Komisi
= 16
d. LNS berbentuk Komite
= 11
3
e. LNS berbentuk Lembaga
=5
f. LNS dengan Bentuk Lainnya
=5
g. LNS berbentuk Tim
=1
Total 2.
= 85
Sekilas Pengertian Lembaga Non Struktural Penggunaan istilah LNS merupakan bentuk konvensi di antara para penyelenggara negara, karena hingga saat ini tidak ada satu pun peraturan perundangan yang memberikan definisi secara gamblang tentang pengertian lembaga non struktural. Begitu pula dengan kalangan akademisi yang tampaknya juga tidak memiliki kesepakatan tentang penamaan lembaga ini. Di antara mereka menyebutkan sebagai lembaga negara sampiran, lembaga kuasi negara, lembaga ekstra struktural, maupun sebagai badan independen. Berkenaan tentang lembaga non struktural, Dr. Hamdan Zoelva S.H., M.H. (2010) mengatakan: “UUD 1945 tidak memberikan batasan maupun norma yang memberikan petunjuk pembentukan berbagai organ konstitusional selain organ konstitusional yang ditentukan dalam undang-undang dasar yang pembentukan maupun penghapusannya harus berdasarkan ketentuan konstitusi. Karena itu, organ konstitusional di luar yang dibentuk undang-undang dasar lahir dan tumbuh sesuai kebutuhan penyelenggaraan fungsi negara. Dalam tinjauan kepustakaan organ negara yang demikian dikenal dengan istilah state auxiliary institutions atau organ negara tambahan, yaitu merujuk pada selain organ negara utama yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Di Indonesia, organ negara yang demikian dapat berarti
4
lembaga negara non departemen atau non kementerian serta lembaga non struktural.” Selanjutnya, Lembaga Administrasi Negara dalam Zoelva (2010), menyebutkan: “Lembaga non struktural adalah institusi yang dibentuk karena urgensi terhadap tugas khusus tertentu yang tidak dapat diwadahi dalam kelembagaan pemerintah (konvensional) dengan keunikan tertentu dan memiliki karakteristik tugas yang urgen, unik dan terintegrasi serta efektif.” Tim Antarkementerian (2010) dalam kajiannya menyebutkan bahwa LNS adalah lembaga yang dibentuk melalui peraturan perundangundangan tertentu guna menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah, yang dapat melibatkan unsur-unsur pemerintah, swasta dan masyarakat sipil, serta dibiayai oleh anggaran negara. LNS tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, namun dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemerintahan terdapat tugas dan fungsi lain yang dinilai harus diselenggarakan, sehingga perlu dibentuk lembaga independen. Dinamika dimaksud melahirkan bermacam varian LNS dengan tugas dan fungsi masing-masing, seperti mempercepat proses terwujudnya penegakan dan kepastian hukum,
meningkatkan kesejahteraan rakyat,
pengembangan kehidupan sosial budaya di Indonesia.
5
dan juga
3.
Tujuan Penulisan Kedeputian Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan c.q. Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural (Asdep Hubungan LN dan LNS) pada tahun 2010, 2011, dan 2012 telah menerbitkan buku-buku profil LNS sebagai berikut: 1. Buku Profil Lembaga Non Struktural di Indonesia, terbit tahun 2010, yang meliputi profil 52 LNS. 2. Buku Profil 10 Lembaga Non Struktural di Indonesia, edisi tahun 2011. 3. Buku Profil 10 Lembaga Non Struktural di Indonesia, edisi tahun 2012. Sebagai kelanjutan penerbitan Profil LNS tersebut di atas, maka pada tahun 2013 disusunlah Buku Ke-4 mengenai Profil Lembaga Non Struktural (LNS), dengan Judul “Profil 10 Lembaga Non Struktural di Indonesia”. 10 LNS dimaksud sebagai berikut: 1.
Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI)
2.
Dewan Penerbangan Antariksa Nasional RI (DEPANRI)
3.
Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
4.
Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan
5.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)
6.
Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (BOTASUPAL)
7.
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)
6
8.
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI)
9.
Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU)
10. Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) Penyusunan profil LNS ditujukan sebagai pelaksanaan tugas dan fungsi Asdep Hubungan LN dan LNS terutama berkaitan dengan penyelenggaraan hubungan dengan Lembaga Non Struktural. Dalam penyusunan profil LNS dimaksud, secara umum akan dijelaskan beberapa hal, antara lain sejarah singkat pembentukan, dasar hukum pembentukan, tugas dan fungsi, bentuk organisasi dan keanggotaan, implementasi dari tugas dan fungsi, penganggaran, serta keterkaitan dengan lembaga/institusi lain.
7
8
BAB II PROFIL LEMBAGA NON STRUKTURAL 1.
Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) A. Sejarah Singkat Pembentukan Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang memenuhi syarat istitaah (mampu), baik secara finansial, fisik, maupun mental, sekali seumur hidup. Di samping itu, kesempatan untuk menunaikan ibadah haji yang semakin terbatas juga menjadi syarat dalam menunaikan kewajiban ibadah haji. Sehubungan dengan hal tersebut, penyelenggaraan ibadah haji harus didasarkan pada prinsip keadilan untuk memperoleh kesempatan yang sama bagi setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam. Penyelenggaraan ibadah haji merupakan salah satu tugas nasional karena jumlah jemaah haji Indonesia yang sangat besar, melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan berkaitan dengan berbagai aspek, antara lain bimbingan, transportasi, kesehatan, akomodasi, dan keamanan. Di samping itu, penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan di negara lain dalam waktu yang sangat terbatas yang menyangkut nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri, khususnya di Arab Saudi. Di sisi lain, adanya upaya untuk melakukan peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji merupakan tuntutan reformasi dalam
9
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, penyelenggaraan ibadah haji perlu dikelola secara profesional dan akuntabel dengan mengedepankan kepentingan jemaah haji dengan prinsip nirlaba. Untuk menjamin penyelenggaraan ibadah haji yang adil, profesional, dan akuntabel dengan mengedepankan kepentingan jemaah, diperlukan adanya lembaga pengawas mandiri yang bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Upaya penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji secara terus-menerus dan berkesinambungan yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan terhadap jemaah haji sejak mendaftar sampai kembali ke tanah air. Pembinaan haji diwujudkan dalam bentuk pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan kepada masyarakat dan jemaah haji. Pelayanan diwujudkan dalam bentuk pemberian layanan administrasi dan dokumen, transportasi, kesehatan, serta akomodasi dan konsumsi. Perlindungan diwujudkan dalam bentuk jaminan keselamatan dan keamanan jemaah haji selama menunaikan ibadah haji. B. Dasar Hukum Pembentukan KPHI dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 tentang
10
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang-Undang. C. Tugas dan Fungsi KPHI bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan
penyelenggaraan
ibadah
haji
Indonesia.
Dalam
melaksanakan tugasnya, KPHI bertanggung jawab kepada Presiden. KPHI memiliki fungsi: a. memantau dan menganalisis kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji Indonesia; b. menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat; c. menerima masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah haji; dan d. merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji. D. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan KPHI adalah lembaga mandiri yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji. Sedangkan kebijakan dan pelaksanaan dalam penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah yang dikoordinasikan oleh Menteri Agama dengan bekerja sama dengan masyarakat,
11
kementerian/instansi terkait, dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Pelaksanaan dalam penyelenggaraan ibadah haji dilakukan oleh Pemerintah
dan/atau
masyarakat.
Dalam
rangka
pelaksanaan
penyelenggaraan ibadah haji dimaksud Pemerintah membentuk satuan kerja di bawah Menteri Agama. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, kemudian diatur tata cara pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia. Anggota KPHI berjumlah 9 (sembilan) orang yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Agama setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Anggota KPHI terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari: a. Unsur masyarakat 6 (enam) orang. b. Unsur Pemerintah 3 (tiga) orang. Unsur masyarakat dimaksud terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam. Unsur Pemerintah dimaksud dapat ditunjuk dari departemen/instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji. Pada tanggal 13 Februari 2013, untuk pertama kalinya diangkat 9 (sembilan) Anggota KPHI
12
melalui Keputusan Presiden RI Nomor 13/P Tahun 2013. Masing-masing nama Anggota KPHI tersebut sebagai berikut: 1.
Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.
(Unsur Masyarakat)
2.
Ir. H. Agus Priyanto
(Unsur Masyarakat)
3.
Drs. H. Imam Addaruquthni, SQ, M.A.
(Unsur Masyarakat)
4.
Dr. H. Samsul Ma’arif, M.A.
(Unsur Masyarakat)
5.
Drs. H. Muhammad Samidin Nashir, M.M.
(Unsur Masyarakat)
6.
Drs. H.M. Thoha, M.Si.
(Unsur Masyarakat)
7.
Drs. H. Ahmed, M.M.C., M.P.A.
(Unsur Pemerintah)
8.
Dr. H. Abidinsyah Siregar, DHSM., M.Kes.
(Unsur Pemerintah)
9.
Dra. Lilien Ambarwiyati.
(Unsur Pemerintah)
E. Implementasi Tugas dan Fungsi Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPHI dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. KPHI melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden dan DPR paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Sejak dilantik, kegiatan KPHI adalah mengadakan rapat-rapat internal untuk penguatan kelembagaan dengan membahas hal-hal antara lain: 1. Draft Rancangan Perpres tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja KPHI; 2. Tugas, Pokok dan fungsi; dan 3. Rancangan kerja KPHI.
13
Pelaksanaan tugas dan fungsi KPHI dalam rangka pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji akan terlihat secara aktif terutama saat dimulainya penyelenggaraan ibadah haji. Kegiatan pengawasan dan pemantauan akan dilaksanakan di dalam dan luar negeri. Pengawasan dan pemantauan di dalam negeri terutama pada kegiatan di 12 Embarkasi di Indonesia. Embarkasi adalah bandara yang ditunjuk untuk
proses
pemberangkatan
jemaah
haji
ke
Mekah/Madinah.
Pengawasan dan pemantauan di luar negeri dilakukan di Arab Saudi, tempat kegiatan ibadah haji. F. Anggaran Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas KPHI dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, khususnya pada DIPA Kementerian Agama. G. Keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga 1. Kementerian Agama 2. Kementerian Perhubungan 3. Para penyelenggara ibadah haji 2.
Dewan Penerbangan Antariksa Nasional RI (DEPANRI) A. Sejarah Singkat Pembentukan Dengan bentuk geografis, sangat jelas bahwa Indonesia adalah negara yang dapat dijangkau, dimasuki, atau dilalui dari arah manapun.
14
Wilayah udara nasional berada di atas daratan dan laut wilayah yang terbentang dari 95º 00´ BT sampai 141 º 00´ BT, serta mulai dari 6º 00´ LU sampai 11º 00´ LS, dengan batas-batas yang telah diatur dalam peraturan perundangan. Dengan batas-batas tersebut, ruang udara wilayah tergambar sebagai dimensi ruang yang sangat luas di atas wilayah seluas 5.193.252 km2. Dengan memasukkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebesar 2,6 juta km2 maka luas wilayah yang dikelola Indonesia menjadi 7,7 juta km2. Dengan cakupan wilayah yang sangat luas, potensi pelanggaran wilayah udara Indonesia cukup besar, antara lain pelanggaran perbatasan oleh negara tetangga, penerbangan gelap (black flight) dan penerbangan tanpa ijin. Sementara itu, pesawat udara sangat diperlukan untuk mendukung operasi penegakan kedaulatan dalam mengatasi ancaman dari pelintas gelap dan penyelundupan, pencurian ikan, illegal loging, dan lain-lain. Pemanfaatan ruang udara nasional secara optimal merupakan kunci pembangunan bangsa. Hal ini juga menjadi titik tolak bagi penguasaan teknologi telekomunikasi, kemiliteran, dan juga penerbangan. Untuk itulah diperlukan adanya penelitian, pengkajian, serta pengaturan strategik terhadap ruang udara nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah kemudian membentuk Dewan Penerbangan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI).
15
DEPANRI adalah forum tingkat tinggi dibidang kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan, telekomunikasi dan kepentingan lainnya. B. Dasar Hukum Pembentukan DEPANRI dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 sebagaimana telah diubah dalam Keputusan Presiden Nomor 132 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 tentang Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia. C. Tugas dan Fungsi DEPANRI mengemban Indonesia
dalam
tugas
merumuskan
membantu
kebijaksanaan
Presiden umum
Republik di
bidang
penerbangan dan antariksa, serta melaksanakan fungsi: a. Merumuskan kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan, telekomunikasi dan kepentingan nasional lainnya. b. Memberikan pertimbangan, pendapat maupun saran kepada Presiden mengenai pengaturan dan pemanfaatan wilayah udara dan antariksa di bidang-bidang tersebut di atas. Selain tugas dan fungsi tersebut, DEPANRI juga memiliki kewajiban-kewajiban seperti merekomendasikan kebijaksanaan umum di bidang penerbangan dan antariksa dan menyelenggarakan rapat paripurna DEPANRI.
16
D. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan DEPANRI merupakan lembaga non struktural yang kedudukannya sebagai forum koordinasi tingkat tinggi di bidang kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan, telekomunikasi dan kepentingan nasional lainnya. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 132 Tahun 1998, susunan organisasi DEPANRI terdiri dari: 1. Ketua
: Presiden RI
2. Wakil Ketua/ Pelaksana Harian
: Menteri Negara Riset dan Teknologi/ BPPT
3. Sekretaris (Anggota)
: Kepala LAPAN
4. Anggota
: a. Menteri Luar Negeri b. Menteri Pertahanan Keamanan c. Menteri Perindustrian dan Perdagangan d. Menteri Perhubungan e. Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya f. Menteri PPN/Kepala Bappenas g. KASAU
Berdasarkan Keppres Nomor 99 Tahun 1993, dinyatakan bahwa tugas Sekretaris DEPANRI adalah memberi pelayanan administrasi baik kepada DEPANRI maupun Pelaksana Harian. Sekretaris DEPANRI,
17
dibantu oleh sebuah Sekretariat yang secara fungsional dilakukan oleh salah satu unit kerja di lingkungan LAPAN. Berdasarkan hal tersebut, melalui Keputusan Kepala LAPAN Nomor: Kep/116/IX/2002 tentang Uraian Tugas di lingkungan LAPAN, ditetapkan bahwa Pusat Analisis dan
Informasi
Kedirgantaraan
(Pusisfogan)
sebagai
Pelaksana
Kesekretariatan DEPANRI, yang secara fungsional dan administratif bertanggungjawab kepada Sekretaris DEPANRI. Dalam rangka mendukung kelancaran tugas dan fungsi DEPANRI, dapat dibentuk satu atau lebih Panitia Teknis yang keanggotaannya terdiri dari para ahli di bidang penerbangan dan keantariksaan. Panitia Teknis dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada Wakil Ketua selaku Pelaksana Harian. Pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan Panitia Teknis ditetapkan oleh Wakil Ketua selaku Pelaksana Harian. Dalam hal keanggotaan, beberapa kementerian yang menjadi anggota Dewan ini sudah tidak aktif seiring dengan adanya perubahan nomenklatur dan perpindahan fungsi. Seperti halnya, Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya yang pada saat itu menjadi anggota karena didalamnya terdapat Dirjen Postel, yang menangani telekomunikasi. Namun dalam perkembangannya, nomenklaturnya
Kementerian
berubah menjadi
Pariwisata,
Seni
dan
Budaya
Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata, serta fungsi Ditjen Postel dipindahkan ke Kementerian Komunikasi dan Informasi. Selanjutnya nomenklatur Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata berubah lagi menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
18
E. Implementasi Tugas dan Fungsi Sebagaimana dinyatakan dalam dasar hukum pembentukannya, tugas pokok dan fungsi DEPANRI adalah merumuskan kebijakan umum di bidang penerbangan dan antariksa nasional. Menurut Tim Antar Kementerian dalam buku Kajian Penataan Lembaga Non Struktural (2010), Tugas DEPANRI dimaksud berpotensi tumpang tindih dengan tugas dan fungsi LAPAN yang diatur dalam Keppres 103 Tahun 2001 tentang LAPAN. Potensi tumpang tindih dimaksud misalnya terlihat pada tugas dan fungsi DEPANRI dan LAPAN yang sama-sama merumuskan kebijakan pemanfaatan dan penelitian ruang udara nasional. Dalam hal kinerja, meskipun fungsi DEPANRI adalah merumuskan kebijakan namun pada kenyataannya DEPANRI hanya sebatas memberikan rekomendasi kebijakan. Hal ini terjadi karena kewenangan mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang pemanfaatan ruang udara nasional dan antariksa ada pada kementerian/lembaga terkait. Begitu pula dalam hal penyusunan laporan dan hasil pengkajian sebenarnya banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti di LAPAN, dan bahkan sulit untuk memisahkan antara kegiatan Pusisfogan LAPAN dengan kegiatan Pokja Tim Teknis DEPANRI. Berikut ini beberapa kegiatan DEPANRI: 1. Penyiapan dan pembahasan secara Antardep bahan pedoman Delegasi RI ke Sidang UNCOPUOS/United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (dilaksanakan rutin setiap tahun).
19
2. Penyiapan bahan penyusunan Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Keantariksaan secara Antardep (RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional prioritas 2010). 3. Pembentukan Panitia Teknis DEPANRI dengan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi. 4. Pada Tahun 2008, dilaksanakan Seminar Sehari DEPANRI terkait dengan Isu Strategis Pembangunan Kedirgantaraan Nasional Ke Depan. 5. Laporan DEPANRI Tahun 2009 memuat Isu Strategis Pembangunan Kedirgantaraan Nasional (Kondisi Saat Ini, Sasaran Kegiatan 20102014, Tantangan Yang Dihadapi, Kebijakan Yang Diperlukan). 6. Lokakarya Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional dengan Tema "Iptek Penerbangan Yang Tangguh Dalam Era Globalisasi", pada tanggal 20 Desember 2012, di Jakarta. F. Anggaran Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan DEPANRI dibebankan pada APBN melalui Anggaran Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), DIPA Pussisfogan. G. Keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga 1. Kementerian Riset dan Teknologi 2. Kementerian Pertahanan 3. Kementerian Perindustrian
20
4. Kementerian Perhubungan 5. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) 3.
Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam A. Sejarah Singkat Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000, menetapkan sejumlah kriteria bagi suatu kawasan untuk dapat diusulkan menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, diantaranya kriteria yang terkait dengan letak kawasan tersebut. Pulau Batam dikembangkan sebagai daerah industri sejak tahun 1971. Selain sebagai kawasan industri, Pulau Batam juga memiliki tiga fungsi utama lainnya berupa pusat perdagangan, pariwisata, dan alih kapal. Pertumbuhan ekonomi Batam yang terus meningkat dan mampu bertahan saat krisis global melanda dunia, menempatkan Batam sebagai lokomotif pembangunan ekonomi nasional. Di bidang pariwisata, Pulau Batam menjadi pintu gerbang kedua bagi wisatawan asing ke Indonesia setelah Denpasar, Bali, dengan jumlah wisatawan asing mencapai lebih dari 1,5 juta orang, atau sekitar 30% dari wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia.
21
Dengan kemampuan pertumbuhan tersebut di atas, Pemerintah menjadikan Batam sebagai kawasan bebas dan pelabuhan bebas (Free Trade Zone), yang sudah diresmikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 19 Januari 2009. Pulau Batam telah dikembangkan pula sebagai kota MICE (Meeting, Incentive, Conference dan Exhibition) yang akan semakin menarik wisatawan domestik maupun mancanegara ke Batam. Hal ini tentunya didukung oleh kontribusi dan kerja sama dari berbagai pihak. Pembangunan berbagai fasilitas dan infrastruktur modern di Pulau Batam akan memberikan kemudahan bagi para investor dan wisatawan. Pertumbuhan yang pesat dalam bidang investasi dan sektor pariwisata di Batam, senantiasa juga diimbangi dengan rasa aman dan kenyamanan. Kemajuan investasi di Batam tidak hanya meningkatkan lapangan kerja pada sektor formal, melalui permintaan tenaga kerja oleh beberapa perusahaan yang beroperasi di Batam, tetapi juga merangsang pertumbuhan lapangan kerja pada sektor informal. Dalam rangka memaksimalkan pelaksanaan pengembangan serta menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomian yang meliputi perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidang-bidang lainnya dalam kawasan sebagaimana dimaksud, perlu untuk menetapkan kawasan dimaksud menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Letak Batam di sisi jalur perdagangan internasional paling ramai di dunia dengan wilayahnya dan pulau-pulau kecil di sekitarnya serta
22
perannya yang demikian penting sebagai salah satu gerbang dan ujung tombak ekonomi Indonesia merupakan pertimbangan utama bagi penetapan kawasan Batam menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-undang, pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, telah menetapkan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone) akan semakin mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Kawasan Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah tersebut. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru.
23
Di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dilakukan
kegiatan-kegiatan
di
bidang
ekonomi,
seperti
sektor
perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata dan bidang lainnya. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang, bahwa dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas perlu ditetapkan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan. Presiden menetapkan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di daerah, yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan. Ketua dan Anggota Dewan Kawasan ditetapkan oleh Presiden atas usul Gubernur bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Masa kerja Ketua dan Anggota Dewan Kawasan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
24
Batam, maka ditetapkanlah Dewan Kawasan pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Kemudian melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, ditetapkan kembali pembentukan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam mempunyai tugas dan wewenang menetapkan kebijaksanaan umum, membina,
mengawasi
dan
mengoordinasikan
kegiatan
Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di Batam. B. Dasar Hukum Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang. Peraturan
Pemerintah
46
Tahun
2007
tentang
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
25
Kawasan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. C. Tugas dan Fungsi Dewan Kawasan mempunyai tugas dan wewenang menetapkan kebijaksanaan umum, membina, mengawasi, dan mengkoordinasikan kegiatan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Dewan Kawasan dalam pelaksanaan tugasnya memperhatikan kebijakan umum Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dewan
Kawasan
membentuk
Badan
Pengusahaan
Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan.
Dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Pengusahaan mempunyai wewenang untuk membuat ketentuan-ketentuan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepala Badan Pengusahaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sesuai dengan fungsi-fungsi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
26
D. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam merupakan sebuah Dewan yang ditetapkan oleh Presiden, dengan Ketua dan anggotanya yang juga ditetapkan oleh Presiden atas usul Gubernur bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dengan tugas menetapkan
kebijaksanaan
umum,
membina,
mengawasi
dan
mengkoordinasikan kegiatan Badan Pengusahaan. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, Dewan Kawasan membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan Batam (BP BATAM). Kepala dan Anggota Badan Pengusahaan ditetapkan oleh Dewan Kawasan. Masa kerja Kepala dan Anggota Badan Pengusahaan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Badan Pengusahaan bertanggung jawab kepada Dewan Kawasan. Susunan keanggotaan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam: a. Ketua merangkap Anggota : Gubernur Kepulauan Riau b. Wakil Ketua
: Walikota Batam
merangkap Anggota
27
c. Anggota
: 1. Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam, Direktorat
Jenderal
Bea
dan
Cukai, Kementerian Keuangan; 2. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kepulauan Jenderal
Pajak
Riau
Riau, Pajak,
dan
Direktorat Kementerian
Keuangan; 3. Kepala
Kantor
Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia
Provinsi
Kepulauan Riau; 4. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional
Provinsi
Kepulauan Riau; 5. Kepala
Kepolisian
Daerah
Kepulauan Riau; 6. Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Kepulauan Riau; 7. Komandan Tentara
Pangkalan Nasional
Utama Indonesia
Angkatan Laut IV; 8. Komandan Gugus Keamanan Laut Wilayah Barat; dan
28
9. Komandan
Komando
Resort
Militer 033 Wirapratama. E. Implementasi Tugas dan Fungsi a. Pada hari Selasa, tanggal 4 Juni 2013, bertempat di Hotel Mercure Jl. Raden Patah No. 12 Nagoya, Batam, diadakan kegiatan Desiminasi Kebijakan di Bidang Perdagangan Luar Negeri. Acara yang diprakarsai oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepri ini menampilkan pembicara dari Sekretariat Dewan Kawasan dan Direktorat Impor Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Ada dua peraturan yang disosialisasikan pada kegiatan tersebut yaitu Peraturan Ketua Dewan Kawasan Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pemasukan Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet Asal Luar Daerah Pabean ke Kawasan FTZ dan Peraturan Ketua Dewan Kawasan Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pemasukan Produk Hortikultura dari Luar Daerah Pabean ke Kawasan FTZ Batam/Bintan/Karimun yang merupakan perubahan dari Peraturan Ketua Dewan Kawasan Nomor 2 Tahun 2013. b. Pada hari Senin, tanggal 24 Juni 2013, bertempat di Hotel Redtop, Jakarta, dilaksanakan kegiatan Sinkronisasi Rencana dan Program dengan
tema
“Peningkatan
Daya
Saing
Kawasan
Batam/Bintan/Karimun dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan 29
Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun serta BAPPENAS. Dalam pelaksanaannya, kegiatan sinkronisasi ini dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama membahas mengenai peningkatan daya saing Infrastruktur, sementara sesi kedua membahas mengenai kebijakan, peraturan, perizinan, dan insentif. F. Anggaran Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Dewan Kawasan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pengelolaan anggaran Dewan Kawasan dimasukkan kedalam Bagian Anggaran 999 Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan. G. Keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga 1. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau 2. Pemerintah Kota Batam 3. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 4. Kementerian Keuangan 5. Badan Pertanahan Nasional 6. Kepolisian 7. Kejaksaan
30
4.
Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan A. Sejarah Singkat Pembentukan Setiap warga negara berhak memajukan, memperjuangkan, dan memperoleh kesempatan yang sama dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negara sehingga patut mendapatkan penghargaan atas jasajasa yang telah didarmabaktikan bagi kejayaan dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan serta simbol pengakuan terhadap warga negara yang berjasa dan mendarmabaktikan hidupnya serta memberikan karya terbaiknya terhadap bangsa dan negara adalah dengan penganugerahan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan merupakan pengakuan dan penghayatan terhadap momentum sejarah, peristiwa ataupun kejadian penting dalam sejarah hidup berbangsa dan bernegara, sekaligus menjadi bukti kebesaran bangsa dan merupakan cermin citacita perjuangan hidup bernegara. Penghargaan atas jasa-jasa yang diberikan oleh negara dalam bentuk gelar,
tanda
jasa,
dan
tanda
kehormatan
dimaksudkan
untuk
menumbuhkan kebanggaan, sikap keteladanan, semangat kejuangan, dan motivasi untuk meningkatkan darmabakti kepada bangsa dan negara. Pasal 15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa, ”Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lainlain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang’’. Pasal 15
31
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut secara tegas mengamanatkan pembentukan undang-undang yang mengatur kewenangan Presiden sebagai kepala negara untuk memberikan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Rumusan pasal tersebut mengamanatkan kepada Presiden agar dalam memberikan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan kepada WNI, kesatuan, institusi pemerintah, organisasi, ataupun WNA mempertimbangkan aspek kesejarahan, keselarasan, keserasian, keseimbangan, bobot perjuangan, karya, prestasi, visi ke depan, objektif, dan untuk mencegah kesan segala bentuk dikotomi. B. Dasar Hukum Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. C. Tugas dan Fungsi Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dibentuk untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Tugas dan kewajiban Dewan meliputi: a. Meneliti, membahas, dan memverifikasi usulan, serta memberikan pertimbangan mengenai pemberian gelar;
32
b. Meneliti, membahas, dan memverifikasi usulan, serta memberikan pertimbangan mengenai pemberian dan pencabutan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan; serta c. Merencanakan dan menetapkan kebijakan mengenai pembinaan kepahlawanan. D. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang selanjutnya disebut Dewan adalah dewan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dan bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dewan dimaksud berkedudukan di ibukota negara. Dewan terdiri atas: a. 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota; b. 1 (satu) orang Wakil Ketua merangkap anggota; dan c. 5 (lima) orang anggota. Dewan terdiri dari unsur: a. akademisi sebanyak 2 (dua) orang; b. militer dan/atau berlatar belakang militer sebanyak 2 (dua) orang; dan c. tokoh masyarakat yang pernah mendapatkan Tanda Jasa dan/atau Tanda Kehormatan sebanyak 3 (tiga) orang.
33
Calon anggota Dewan diusulkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada Presiden. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan adalah 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan dibantu oleh Sekretariat. Sekretariat Dewan dilaksanakan oleh salah satu unit kerja di lingkungan kementerian yang menangani urusan kesekretariatan negara. Sekretariat Dewan mempunyai tugas memberikan dukungan teknis, operasional, dan administrasi kepada Dewan. Sekretariat Dewan dipimpin oleh seorang sekretaris dari unsur pegawai negeri, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Dewan dan secara administratif dikoordinasikan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara. Sekretaris Dewan secara ex-officio dijabat oleh salah seorang pimpinan unit kerja terkait pada kementerian yang menangani urusan kesekretariatan negara. Dewan menyampaikan laporan kinerja pelaksanaan tugasnya kepada Presiden paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. E. Implementasi Tugas dan Fungsi Tata Kerja Dewan sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2010 tentang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan sebagai berikut:
34
1. Dalam rangka pemberian pertimbangan kepada Presiden atas usul pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Dewan mengadakan sidang yang dipimpin oleh ketua Dewan. 2. Dalam hal ketua Dewan berhalangan, sidang sebagaimana dimaksud dipimpin oleh wakil ketua Dewan. 3. Risalah sidang disampaikan kepada Presiden sebagai
bahan
pertimbangan pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Berikut ini adalah beberapa pengertian yang terkait dengan pelaksanaan tugas Dewan:
Gelar adalah penghargaan negara yang diberikan Presiden kepada seseorang yang telah gugur atau meninggal dunia atas perjuangan, pengabdian, darmabakti, dan karya yang luar biasa kepada bangsa dan negara.
Tanda Jasa adalah penghargaan negara yang diberikan Presiden kepada seseorang yang berjasa dan berprestasi luar biasa dalam mengembangkan dan memajukan suatu bidang tertentu yang bermanfaat besar bagi bangsa dan negara.
Tanda Kehormatan adalah penghargaan negara yang diberikan Presiden kepada seseorang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi atas darmabakti dan kesetiaan yang luar biasa terhadap bangsa dan negara. Pelaksanaan
tugas
Dewan
di
daerah
diselenggarakan
oleh
Pemerintah Daerah sebagai tugas pembantuan. Tugas pembantuan
35
sebagaimana dimaksud, meliputi: menerima dan mengajukan usulan pemberian Gelar;
menerima dan mengajukan usulan pemberian dan
pencabutan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan; melaksanakan dan membina kepahlawanan di daerah; dan mengelola dan memelihara taman makam pahlawan nasional di daerah. F. Anggaran Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditempatkan pada anggaran kementerian yang menangani urusan kesekretariatan negara. G. Keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga 1. Kementerian Sosial 2. Kementerian Pemuda dan Olahraga 3. Kementerian Pendidikan 5.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) A. Sejarah Singkat Pembentukan Semburan lumpur panas di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, pada tanggal 29 Mei 2006, telah berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan dan penghidupan masyarakat di sekitarnya. Bencana lumpur Sidoarjo tersebut begitu luas antara lain berdampak terhadap lahan, rumah, bangunan sekolah (termasuk TPQ), tempat ibadah (masjid), pabrik, dan jalan yang tergenang, maupun
36
penduduk yang terpaksa harus dipindahkan. Korban dan kerugian akibat bencana lumpur Sidoarjo masih saja bertambah sejalan dengan perkembangan waktu. Untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada awal terjadinya semburan
lumpur,
Pemerintah
mengambil
kebijakan
dalam
penanggulangan semburan lumpur di Sidoarjo dengan membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (TimNas PSLS) melalui Keppres No. 13 Tahun 2006 tanggal 8 September 2006 dengan masa tugas selama 6 (enam) bulan, yang kemudian masa tugasnya diperpanjang 1 (satu) bulan dengan Keppres Nomor 5 Tahun 2007. Berdasarkan data yang disampaikan oleh TimNas PSLS dalam Review Renstra BPLS Tahun 2010-2014, jumlah korban dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana semburan dan luapan lumpur Sidoarjo antara lain:
Luas lahan terdampak 518 hektar.
Jumlah korban warga/penduduk terdampak sampai dengan tanggal 16 Februari 2007 adalah 5.900 KK atau 22.301 jiwa.
Dampak pada bangunan (rumah dan fasilitas umum) adalah 11.006 rumah, 33 bangunan sekolah, 28 bangunan Tempat Pendidikan Al Qur'an (TPQ), 65 bangunan masjid dan surau, 30 bangunan pabrik, dan 4 bangunan perkantoran.
Rusaknya infrastruktur kereta api.
37
Terputusnya ruas jalan tol Porong – Gempol sepanjang 5,5 KM, sehingga perlu direlokasi.
Terputusnya jaringan irigasi dan drainase kawasan sehingga perlu direlokasi dan direvitalisasi.
Pecahnya pipa PDAM Kota Surabaya dan pipa gas Pertamina. TimNas PSLS mempunyai tugas untuk mengambil langkah-langkah
operasional secara terpadu dalam rangka penanggulangan semburan lumpur di Sidoarjo yang meliputi penutupan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur dan penanganan masalah sosial. Pembiayaan pelaksanaan tugas-tugas TimNas PSLS tersebut dibebankan pada anggaran PT Lapindo Brantas. Berbagai upaya untuk menghentikan dan mengendalikan semburan lumpur tersebut telah dilakukan TimNas PSLS bersama PT lapindo Berantas, meski belum membuahkan hasil yang maksimal sampai dengan akhir masa tugas TimNas. Dengan terus berlangsungnya semburan dan luapan lumpur Sidoarjo, pada awal bulan Maret 2007, luapan lumpur telah menggenangi dan menenggelamkan wilayah hunian seluas 641 Ha di 12 desa/kelurahan, yaitu Desa Siring, Jatirejo, Mindi, Renokenongo, Kedungbendo, Gempolsari, Pejarakan, Besuki, Gempolsari, Glagaharum, Ketapang, dan Kalitengah. Dari 12 desa tersebut terdapat dua desa yang seluruh wilayahnya
tergenangi
lumpur,
yaitu
Desa
Renokenongo
dan
Kedungbendo. Sebanyak lebih kurang 14.000 KK/40.000 jiwa di 12 desa/kelurahan tersebut menjadi korban luapan lumpur, dan sebanyak 9.385 kepala keluarga atau sebanyak 36.403 jiwa di antaranya harus 38
mengungsi serta meninggalkan desa dan tempat tinggalnya untuk selamalamanya karena sudah tidak mungkin untuk dihuni kembali. Untuk memberikan kejelasan dalam penanganan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh semburan dan luapan lumpur Sidoarjo, wilayah 12 desa tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai wilayah terdampak berdasarkan Peta Area Terdampak (PAT) tanggal 22 Maret 2007. Dengan masih berlanjutnya aktivitas gunung lumpur dan fenomena deformasi geologi, semburan gas metan dan atau gas lainnya dalam bentuk bubbles (gelembung gas bercampur lumpur), pencemaran air tanah, dan pergerakan horizontal tanah, maka dampak yang ditimbulkan bergerak ke wilayah di luar Peta Area Terdampak (PAT) 22 Maret 2007, sehingga ancaman kedaruratan wilayah tidak layak huni juga menyebar pada wilayah di luar PAT. Dalam
rangka
melanjutkan
langkah-langkah
penyelamatan
penduduk, penanganan masalah sosial dan infrastruktur di sekitar bencana akibat luapan lumpur di Sidoarjo, perlu peningkatan penanganan masalah dimaksud, dengan memperhitungkan risiko lingkungan yang terkecil.
Berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud,
dan
sehubungan berakhirnya masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, maka dipandang perlu membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Pada tanggal 8 April 2007 tugas TimNas PSLS dalam menghentikan lumpur Sidoarjo berakhir, kemudian Pemerintah menetapkan dan membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
39
Dengan memperhatikan dampak yang semakin meluas pada triwulan pertama tahun 2007, Pemerintah menetapkan kebijakan nasional yang lebih komprehensif dalam penanggulangan lumpur di Sidoarjo melalui penetapan
Perpres
Nomor
14
Tahun
2007
tentang
Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Berdasarkan Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tersebut, langkah-langkah pengendalian penanganan semburan lumpur dan luapan lumpur, penyelamatan penduduk, penanganan masalah sosial kemasyarakatan, dan infrastruktur yang terdampak semburan dan luapan lumpur menjadi tanggung jawab BPLS, dengan tetap memberi tanggung jawab kepada PT. Lapindo Brantas dalam penanganan semburan dan luapan lumpur serta penanganan masalah sosial kemasyarakatan di Area Peta Terdampak. Secara efektif BPLS melakukan penanganan semburan dan luapan lumpur pada tanggal 1 Mei 2007. Dalam rangka mengefektifkan upaya penanggulangan semburan lumpur dan penanganan luapan lumpur serta penanganan masalah sosial kemasyarakatan, dan setelah melakukan evaluasi yang komprehensif atas kondisi di lapangan, maka Pemerintah melakukan beberapa kali perubahan atas Perpres mengenai BPLS antara lain dengan menetapkan Perpres Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Perpres Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Perpres Nomor 68 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007, serta Perpres Nomor 37 Tahun 2012 40
tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. B. Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. C. Tugas dan Fungsi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang selanjutnya dapat disebut sebagai Badan Penanggulangan, bertugas menangani upaya penanggulangan
semburan
lumpur,
41
menangani
luapan
lumpur,
menangani masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil. D. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan BPLS merupakan lembaga non struktural yang bersifat adhoc dengan misi utama menanggulangi dampak bencana akibat semburan lumpur di Sidoarjo dengan mengadakan langkah-langkah penyelamatan penduduk, penanganan masalah sosial dan infrastruktur dengan memperhitungkan resiko lingkungan yang terkecil. Badan Penanggulangan terdiri dari: 1. Dewan Pengarah; dan 2. Badan Pelaksana (BAPEL). Dalam pelaksanaan tugasnya Dewan Pengarah bertanggung jawab kepada Presiden, dan BAPEL bertanggung jawab kepada Dewan Pengarah. Tata kerja Badan Penanggulangan diatur lebih lanjut oleh Ketua Dewan Pengarah. Dewan Pengarah bertugas memberikan arahan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan atas upaya penanggulangan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, penanganan masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, yang dilaksanakan Badan Pelaksana. Dewan Pengarah terdiri dari: a. Ketua
: Menteri Pekerjaan Umum/merangkap Anggota
b. Wakil Ketua
: Menteri Sosial/merangkap Anggota
c. Anggota
: 1. Menteri Keuangan;
42
2. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 3. Menteri Dalam Negeri; 4. Menteri Kelautan dan Perikanan; 5. Menteri Perhubungan; 6. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS; 7. Menteri Negara Lingkungan Hidup; 8. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 9. Gubernur Provinsi Jawa Timur; 10. Panglima Daerah Militer V/Brawijaya; 11. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur; dan 12. Bupati Kabupaten Sidoarjo. Dewan Pengarah membentuk Sekretariat yang bertugas memberikan dukungan administrasi kegiatan dewan. Susunan organisasi Badan Pelaksana, terdiri dari: a. Kepala Badan Pelaksana; b. Wakil Kepala Badan Pelaksana; c. Sekretaris Badan Pelaksana; d. Deputi Bidang Operasi; e. Deputi Bidang Sosial; dan f. Deputi Bidang Infrastruktur.
43
Kepala Badan Pelaksana mempunyai tugas memimpin Badan Pelaksana dalam penanganan penanggulangan semburan lumpur, luapan lumpur, serta masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo. Kepala Badan Pelaksana menyusun laporan pelaksanaan tugasnya secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Dewan Pengarah. Wakil Kepala Badan Pelaksana mempunyai tugas mewakili dan membantu pelaksanaan tugas Kepala Badan Pelaksana sehari-hari. E. Implementasi Tugas dan Fungsi Setiap bencana harus segera ditanggapi dengan cepat dan ditangani dengan tepat. Penanggulangan bencana satu dengan yang lain tidak selalu sama, tergantung karakteristik sumber bencananya. Demikian pula pada bencana lumpur panas Sidoarjo, yang memiliki karakteristik: berjangka panjang, daya rusak meliputi di atas permukaan dan bawah permukaan serta berada pada wilayah pemukiman padat, maka pilihan pendekatan penanggulangan harus bersifat komprehensif, holistik dan berkelanjutan. Dalam penanggulangan bencana, pada prinsipnya ada 3 (tiga) macam pendekatan yang harus ditetapkan pilihannya dengan cerdas dan cermat sehingga dapat diperoleh hasil yang efektif dan efisien, yaitu: 1) Keep the mud away from the people (Hindarkan lumpur dari masyarakat); 2) Keep the people away from the mud (Jauhkan masyarakat dari lumpur); atau 3) Living in harmony with the mud (Hidup harmonis dengan lumpur).
44
Pendekatan menghindarkan lumpur dari masyarakat pernah dicoba pada awal bencana dengan tindakan untuk menutup atau menghentikan semburan lumpur panas. Berbagai teknik yang umum dipakai pada kegiatan pengeboran minyak, yakni: snubbing unit dan relief well, tidak memberikan hasil yang signifikan, atau dengan kata lain gagal, begitu juga dengan memasukkan bola-bola beton. Pendekatan menjauhkan masyarakat dari lumpur, yang pada awalnya mendapatkan penolakan keras dari masyarakat, namun setelah diketahui nilai jual beli aset masyarakat sangat tinggi, masyarakat berubah dan menuntut untuk dipindahkan menjauhi lumpur. Pilihan ini sangat dilematis bagi pemerintah, mengingat kemampuan keuangan negara yang terbatas, karena harus berbagi dengan penanganan bencana di berbagai lokasi di tanah air dalam waktu bersamaan/berurutan. Pedekatan terakhir yang dipilih BPLS adalah living in harmony with the mud atau hidup harmonis dengan lumpur. Mengingat semburan lumpur panas tidak mungkin dihentikan, padahal volume semburan sekitar 100.000 m3 per hari terus ke luar, deformasi geologi berupa amblesan dan munculnya bubble terus berlangsung, maka perlu dilakukan penanggulangan dengan tujuan, yaitu:
Pulihnya kehidupan sosial masyarakat.
Terlindunginya warga dari bencana geologi.
Pulihnya infrastruktur jalan dan infrastruktur luapan lumpur melalui Kali Porong.
45
Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan yang handal. Untuk mewujudkan penanggulangan dengan pendekatan hidup
harmonis dengan lumpur, telah disusun Rencana Induk Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo, yang terdiri dari: 1) Rencana penanganan bencana geologi 2) Rencana pengaliran lumpur ke Kali Porong 3) Rencana penanganan infrastruktur di sekitar wilayah semburan 4) Rencana penangaman Kali Porong 5) Rencana penanganan endapan di muara Implementasi rencana induk tersebut dilakukan melalui tahapantahapan sebagai berikut: Tahun 2007-2008
: Safe More life (mengamankan kehidupan)
Tahun 2009-2010
: Recognize and control the hazard (mengenal dan mengendalikan bahaya)
Tahun 2011-2014
: Social and Infrastructur Recovery (pemulihan infrastruktur dan kehidupan sosial)
Strategi secara umum dalam mengimplementasikan rencana induk tersebut adalah: 1) Pembangunan waduk penampung lumpur seluas ± 600 Ha dengan kapasitas sekitar 54 juta m3.
46
2) Waduk difungsikan untuk menampung lumpur di musim kemarau dan dikuras ke Kali Porong pada musim penghujan. 3) Pembuangan lumpur ke Kali Porong didistribusikan di palung sungai (tidak ditumpuk pada satu lokasi) melalui beberapa lokasi dan semakin ke hilir semakin baik. 4) Pengaliran lumpur ke muara dengan memanfaatkan potensi aliran Kali Porong pada musim hujan. 5) Pengamanan fungsi Kali Porong sebagai kanal banjir DAS Kali Brantas. 6) Penanganan endapan lumpur di muara untuk memperlancar aliran Kali Porong. F. Anggaran Berkaitan dengan penganggaran, berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia
Nomor
14
Tahun
2007
tentang
Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo sebagai berikut: a. Biaya administrasi Badan Penanggulangan didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). b. Penyusunan rencana kerja dan anggaran dikelola oleh Kepala Badan Pelaksana selaku Pengguna Anggaran di lingkungan Badan Pelaksana. c. Biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007, dibebankan pada APBN.
47
d. Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada PT. Lapindo Brantas. e. Biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah. G. Keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga 1.
Kementerian Pekerjaan Umum;
2.
Kementerian Sosial;
3.
Kementerian Keuangan;
4.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
5.
Kementerian Dalam Negeri;
6.
Kementerian Kelautan dan Perikanan;
7.
Kementerian Perhubungan;
8.
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS;
9.
Kementerian Lingkungan Hidup;
10. Badan Pertanahan Nasional; 11. Pemerintah Provinsi Jawa Timur; 12. TNI dan POLRI; dan 13. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
48
6.
Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (BOTASUPAL) A. Sejarah Singkat Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia. Salah satu simbol kedaulatan negara tersebut adalah Mata Uang. Mata Uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia adalah Rupiah. Rupiah dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam kehidupan perekonomian suatu negara, peranan uang sangatlah penting karena uang mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai alat penukar atau alat pembayar dan pengukur harga sehingga dapat dikatakan bahwa uang merupakan salah satu alat utama perekonomian. Dengan uang perekonomian suatu negara akan berjalan dengan baik sehingga mendukung tercapainya tujuan bernegara, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Selain itu, jika dilihat secara khusus dari bidang moneter, jumlah uang yang beredar dalam suatu negara
harus
dikelola
dengan
baik
sesuai
dengan
kebutuhan
perekonomian. Karena melihat perannya yang sangat penting, uang harus dibuat sedemikian rupa agar sulit ditiru atau dipalsukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah peran otoritas yang profesional sangat diperlukan untuk menentukan ciri, desain, dan bahan baku Rupiah.
49
Kejahatan terhadap Mata Uang, terutama pemalsuan uang, saat ini semakin merajalela dalam skala yang besar dan sangat merisaukan, terutama dalam hal dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan pemalsuan uang yang dapat mengancam kondisi moneter dan perekonomian nasional. Pemalsuan uang dewasa ini ternyata juga menimbulkan kejahatan lainnya seperti terorisme, kejahatan politik, pencucian uang (money laundring), pembalakan kayu secara liar (illegal logging), dan perdagangan orang (human trafficking), baik yang dilakukan secara perseorangan, terorganisasi, maupun yang dilakukan lintas negara. Bahkan, modus dan bentuk kejahatan terhadap Mata Uang semakin berkembang. Pemberantasan Rupiah Palsu merupakan kewenangan Pemerintah. Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
mengamanatkan
pembentukan
2011
Badan
tentang
yang
Mata
Uang
mengoordinasikan
pemberantasan Rupiah Palsu. Badan sebagaimana dimaksud terdiri atas unsur, yaitu Badan Intelijen Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, khususnya Pasal 28 ayat (3), maka dibentuklah Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu atau disebut Botasupal melalui Peraturan Presiden Nomor 123 Tahun 2012 tertanggal 7 Desember 2012. Botasupal mempunyai fungsi memadukan kegiatan dan operasi pemberantasan Rupiah Palsu yang dilakukan oleh lembaga/instansi terkait sesuai dengan
50
fungsi,
tugas,
dan
wewenang
masing-masing
lembaga/instansi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. B. Dasar Hukum Pembentukan Dasar Hukum pembentukan Botasupal adalah Peraturan Presiden Nomor 123 Tahun 2012 tentang Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu, yang merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. C. Tugas dan Fungsi Botasupal mempunyai fungsi sebagai koordinator pemberantasan Rupiah Palsu. Fungsi koordinator pemberantasan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud adalah memadukan kegiatan dan operasi pemberantasan Rupiah Palsu yang dilakukan oleh lembaga/instansi terkait sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing lembaga/instansi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut, Botasupal mempunyai tugas: a. mengoordinasikan dan mensinkronisasikan penyusunan kebijakan pemberantasan Rupiah Palsu. b. Mengoordinasikan
dan
mensinkronisasikan
pelaksanaan
pemberantasan Rupiah Palsu. c. menganalisis dan mengevaluasi pelaksanaan pemberantasan Rupiah Palsu. d. memfasilitasi kerja sama pelaksanaan pemberantasan Rupiah Palsu.
51
e. membuat dan memberikan rekomendasi kepada lembaga/instansi terkait mengenai pemberantasan Rupiah Palsu. f. menghimpun data dan bahan keterangan yang terkait dengan pemberantasan Rupiah Palsu. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud Botasupal berwenang: a. mengoordinasikan penyusunan kebijakan pemberantasan Rupiah Palsu. b. meminta
data
dan
bahan
keterangan
yang
diperlukan
dari
lembaga/instansi terkait dalam pemberantasan Rupiah Palsu. c. meminta masukan dari lembaga/instansi terkait tentang spesifikasi teknis dan ciri bahan baku Rupiah. d. memberikan masukan kepada lembaga/instansi terkait terhadap aspek keamanan tentang spesifikasi teknis dan ciri bahan baku Rupiah. e. memberikan masukan kepada lembaga/instansi terkait terhadap aspek keamanan
Rupiah
mulai
dari
perencanaan,
pencetakan,
dan
pemusnahan Rupiah. f. mengoordinasikan kegiatan unsur pemberantasan Rupiah Palsu. D. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu, yang selanjutnya disebut Botasupal adalah lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
52
Susunan Organisasi Botasupal terdiri atas: a. Ketua Botasupal, secara ex-officio dijabat oleh Kepala Badan Intelijen Negara. b. Unsur Botasupal terdiri atas: 1. Badan Intelijen Negara. 2. Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3. Kejaksaan Agung. 4. Kementerian Keuangan. 5. Bank Indonesia. Untuk membantu pelaksanaan fungsi dan tugas, Ketua Botasupal dibantu oleh Kepala Pelaksana Harian yang disebut Kalakhar. Kalakhar dimaksud pada ayat secara ex-officio dijabat oleh pejabat yang berada di lingkungan Badan Intelijen Negara. Kalakhar bertanggung jawab kepada Ketua Botasupal. Dalam melaksanakan tugas, Ketua Botasupal dapat membentuk kelompok kerja. Kelompok kerja dimaksud terdiri atas anggota dari unsur: Badan Intelijen Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia. Susunan keanggotaan kelompok kerja tersebut ditetapkan oleh Ketua Botasupal. E. Implementasi Tugas dan Fungsi Botasupal melakukan rapat koordinasi secara berkala sekurangkurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu sesuai
53
dengan kebutuhan. Rapat koordinasi dimaksud dipimpin oleh Ketua Botasupal atau wakil yang ditunjuk oleh Ketua Botasupal. Ketua Botasupal melaporkan hasil pelaksanaan fungsi dan tugas Botasupal kepada Presiden sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Beberapa kegiatan terkait upaya pemberantasan uang palsu: Semiloka Pemberantasan Uang Palsu bertema "Arah dan Strategi Kebijakan Pemberantasan Pemalsuan Uang Rupiah", di Aula Bale Pasundan Bank Indonesia Bandung, Jalan Braga, Kota Bandung, Kamis, 11 Oktober 2013. Dalam acara tersebut dibahas mengenai maraknya uang rupiah palsu yang ditemukan di seluruh Indonesia. Bersama Bank Indonesia, Polri, Departemen Keuangan, dan beberapa instansi lainnya menggelar semiloka implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Dalam Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah, Rabu 19 Juni 2013 di Kota Cirebon. Semiloka diadakan untuk pencegahan peredaran uang palsu. F. Anggaran Biaya pelaksanaan fungsi koordinasi yang dilaksanakan Botasupal dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara cq. Anggaran Badan Intelijen Negara. Biaya pelaksanaan pemberantasan Rupiah Palsu yang dilakukan oleh masing-masing unsur Botasupal, dibebankan pada Anggaran Pendapatan
54
dan Belanja Negara yang dialokasikan dalam anggaran masing-masing kementerian/lembaga yang menjadi unsur Botasupal. G. Keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga 1. Badan Intelijen Negara. 2. Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3. Kejaksaan Agung. 4. Kementerian Keuangan. 5. Bank Indonesia. 7.
Komite Antidumping Indonesia (KADI) A. Sejarah Singkat Pembentukan Seiring dengan semakin meningkatnya globalisasi, pasar dunia dewasa ini cenderung semakin terbuka dan semakin bebas hambatan. Kecenderungan ini adalah fenomena yang tidak dapat dihindari, karena setiap negara yang melakukan kegiatan perdagangan internasional menghendaki pasar dunia yang terbuka bagi produk-produk ekspornya masing-masing. Tuntutan untuk membuka pasar bagi produk impor tentunya dapat membawa dampak yang negatif bilamana produksi domestik belum mampu menghadapi persaingan yang ketat dari produk impor, terutama bilamana produk impor membanjiri pasar dalam negeri. Sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Perjanjian WTO tentang antidumping, setiap negara Anggota WTO berhak untuk melindungi
55
industri dalam negerinya bilamana industri yang bersangkutan menderita kerugian sebagai akibat masuknya barang impor dari produk yang sama atau sejenis dengan harga yang tidak wajar (dumping dan subsidi). Anggota WTO diijinkan untuk mengambil tindakan antidumping dan imbalan untuk memulihkan kerugian yang dialami oleh industri dalam negeri sebagai akibat masuknya barang impor dari produk yang sama atau sejenis dengan harga yang tidak wajar. Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, dan telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, membentuk Komite Antidumping Indonesia sebagai otoritas penyelidikan dumping dan subsidi. Komite Antidumping Indonesia, yang selanjutnya disingkat KADI, adalah komite yang bertugas untuk melaksanakan penyelidikan dalam rangka Tindakan Antidumping dan Tindakan Imbalan. B. Dasar Hukum Pembentukan KADI dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, dan telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Peraturan Pemerintah dimaksud merupakan ketentuan mengenai tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan pengamanan perdagangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7
56
Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) dan Pasal 23D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 mengatur mengenai penyelidikan Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan, serta tugas dan fungsi Komite Antidumping Indonesia. C. Tugas dan Fungsi KADI bertugas untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan importasi Barang Dumping dan barang mengandung Subsidi. Untuk
menjalankan
tugas
sebagaimana
dimaksud,
KADI
melaksanakan fungsi: a.
melakukan penyelidikan terhadap kebenaran tuduhan dumping atau subsidi, adanya kerugian yang dialami oleh pemohon dan hubungan sebab akibat antara dumping atau subsidi dan kerugian yang dialami oleh pemohon;
b.
mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi terkait dengan penyelidikan;
c.
membuat laporan hasil penyelidikan;
57
d.
merekomendasikan pengenaan Bea Masuk Antidumping dan/atau Bea Masuk Imbalan kepada Menteri Perdagangan; dan
e.
melaksanakan tugas lain terkait yang diberikan oleh Menteri Perdagangan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, dumping dan subsidi dapat
diartikan sebagai berikut:
Dumping adalah harga jual ekspor yang lebih murah dari harga jual barang yang sama bila dipasarkan di negara eksportir yang bersangkutan.
Subsidi adalah: a. Setiap bantuan yang diberikan oleh pemerintah atau badan pemerintah, baik langsung atau tidak langsung secara spesifik kepada perusahaan, industri, kelompok industri atau eksportir. b. Setiap bentuk dukungan terhadap pendapatan atau harga, yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan impor dari atau ke negara yang bersangkutan. Bantuan dimaksud dapat memberikan manfaat bagi penerima
subsidi. D. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan KADI merupakan komite yang bersifat independen, dengan tugas menangani permasalahan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan
58
importasi Barang Dumping dan barang mengandung Subsidi, yang dalam pelaksanaan dan bertanggung jawab kepada Menteri Perdagangan. KADI terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Perdagangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, KADI beranggotakan unsur-unsur dari: a. Departemen Perindustrian dan Perdagangan; b. Departemen Keuangan; dan c. Departemen atau Lembaga Non Departemen terkait lainnya. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur dengan Peraturan Pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Saat pembuatan Buku Profil Lembaga Non Struktural ini, Peraturan Pelaksanaan baru yang didasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011, masih dalam proses pembuatan. Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia, susunan organisasi KADI sebagai berikut:
59
1. Ketua 2. Wakil ketua 3. Sekretaris 4. Bidang-Bidang terdiri dari: a. Bidang Pengaduan b. Bidang Penyelidikan Dumping dan Subsidi c. Bidang Pengkajian Kerugian d. Bidang Hukum e. Bidang Umum E. Implementasi Tugas dan Fungsi Dalam rangka pelaksanaan fungsi Penyelidikan, KADI dapat melakukannya berdasarkan permohonan atau inisiatif KADI. Produsen dalam negeri Barang Sejenis dan/atau asosiasi produsen dalam negeri Barang Sejenis dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada KADI untuk melakukan penyelidikan dalam rangka pengenaan Tindakan Antidumping atas barang impor yang diduga sebagai Barang Dumping yang menyebabkan kerugian. Permohonan dimaksud hanya dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri Barang Sejenis dan asosiasi produsen dalam negeri Barang Sejenis yang mewakili Industri Dalam Negeri.
60
Permohonan penyelidikan/Pelaporan kasus dumping, selain melalui cara manual/secara tertulis dapat juga secara online. Pelaporan kasus dumping dapat mengisi formulir pemohonan yang dapat di download melalui
link
yang
tersedia
pada
website
KADI
http://kadi.kemendag.go.id/statis-7-panduan-laporan.html. formulir
dapat
langsung
dikirimkan
ke
berikut:
Selanjutnya,
alamat
email
[email protected] atau diserahkan langsung ke kantor KADI. Penyelidikan berdasarkan inisiatif KADI dapat dilakukan apabila KADI memiliki bukti awal yang cukup mengenai adanya Barang Dumping, Kerugian Industri Dalam Negeri, dan hubungan sebab akibat antara Barang Dumping dan Kerugian Industri Dalam Negeri. Penyelidikan dalam rangka pengenaan Tindakan Antidumping dimulai pada saat diumumkan kepada publik. Selain diumumkan kepada publik, KADI memberitahukan dimulainya penyelidikan kepada: 1. eksportir dan/atau eksportir produsen secara langsung atau melalui pemerintah
negara
pengekspor,
perwakilan
Negara
Republik
Indonesia di negara pengekspor, importir, dan pemohon, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan permohonan; atau 2. eksportir dan/atau eksportir produsen secara langsung atau melalui pemerintah
negara
pengekspor,
perwakilan
Negara
Republik
Indonesia di negara pengekspor, importir, dan Industri Dalam Negeri, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan inisiatif KADI.
61
Proses penyelidikan dilakukan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sampai paling lama 18 bulan terhitung sejak tanggal penyelidikan dimulai. Penyelidikan berakhir pada tanggal laporan akhir hasil penyelidikan. KADI menyampaikan laporan akhir hasil penyelidikan kepada Menteri dan kepada eksportir dan/atau eksportir produsen secara langsung atau melalui pemerintah negara pengekspor, perwakilan Negara Republik Indonesia di negara pengekspor, pemohon atau Industri Dalam Negeri, dan importir dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penyelidikan berakhir. Pengenaan Bea Masuk Antidumping (BMAD) atau Bea Masuk Imbalan (BMI) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengenaan dan dapat diperpanjang paling lama 5 tahun apabila masih terjadi dumping/subsidi dan kerugian masih tetap berlanjut atau berulang kembali. Dalam hal laporan akhir hasil penyelidikan terbukti adanya Barang Dumping yang menyebabkan kerugian, KADI menyampaikan besarnya Marjin Dumping dan merekomendasikan kepada Menteri Perdagangan mengenai pengenaan Bea Masuk Antidumping. Dalam hal laporan akhir hasil penyelidikan tidak terbukti adanya Barang Dumping yang menyebabkan kerugian, KADI melaporkan kepada Menteri Perdagangan mengenai penghentian penyelidikan. Berikut ini beberapa hal terkait pelaksanaan tugas dan fungsi KADI: a. Pengumuman KADI Nomor: 754/KADI/VIII/2013: Pada tanggal 2 Agustus 2013 KADI mengumumkan bahwa telah menerima
62
permohonan dari PT. Asia Pacific Fibers Tbk, dan PT. Indorama Synthetics Tbk, yang mewakili industri dalam negeri, untuk melakukan penyelidikan antidumping atas barang impor Drawn Textured Yarn (DTY) (nomor HS. 5402.33.00.00) yang berasal dari Republik Rakyat Tiongkok (China), Malaysia, Taiwan, India, dan Thailand. Dari hasil penelitian, KADI menemukan indikasi kuat jika impor Drawn Textured Yarn (DTY) dimaksud yang berasal dari Republik Rakyat Tiongkok (China), Malaysia, Taiwan, India, dan Thailand telah mengakibatkan kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, KADI memutuskan untuk melakukan penyelidikan atas barang dumping yang diimpor dari Republik Rakyat Tiongkok (China), Malaysia, Taiwan, India, dan Thailand tersebut. Sesuai Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011, dalam hal jumlah eksportir produsen yang diketahui menyangkut jumlah yang besar, KADI dapat membatasi jumlah eksportir produsen yang terlibat dalam penyelidikan. Dan untuk itu KADI mengundang semua eksportir produsen, untuk membuat perusahaannya diketahui KADI dalam waktu 10 (sepuluh) hari kalender sejak pengumuman ini. Pemberitahuan keberadaan eksportir produsen supaya disampaikan secara tertulis kepada Komite Antidumping Indonesia. b. Pengumuman KADI Nomor: 753/KADI/VIII/2013: Pada tanggal 2 Agustus 2013, KADI mengumumkan bahwa telah menerima
63
permohonan dari PT. Indorama Synthetics Tbk, PT. Asia Pacific Fibers Tbk dan PT. Indorama Polyester Industries Indonesia yang mewakili industri dalam negeri, untuk melakukan penyelidikan anti dumping atas barang impor Partially Oriented Yarn (POY) (nomor HS. 5402.46.00.00) yang berasal dari Malaysia, Thailand, Taiwan, Republik Rakyat Tiongkok (China), dan Republik Korea. Dari penelitian terhadap permohonan penyelidikan antidumping tersebut, KADI menemukan indikasi kuat jika impor POY yang berasal dari Malaysia, Thailand, Taiwan, Republik Rakyat Tiongkok (China), dan Republik Korea telah mengakibatkan kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, KADI memutuskan untuk melakukan penyelidikan atas barang dumping yang diimpor dari Malaysia, Thailand, Taiwan, Republik Rakyat Tiongkok (China), dan Republik Korea tersebut. Sesuai Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011, dalam hal jumlah eksportir produsen yang diketahui menyangkut jumlah yang besar, KADI dapat membatasi jumlah eksportir produsen yang terlibat dalam penyelidikan. Dan untuk itu KADI mengundang semua eksportir produsen, untuk membuat perusahaannya diketahui KADI dalam waktu 10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal pengumuman ini.
Pemberitahuan
keberadaan
eksportir
produsen
supaya
disampaikan secara tertulis kepada Komite Antidumping Indonesia.
64
c. Pengumuman KADI Nomor: 415/KADI/VI/2011: Pada tanggal 24 Juni 2011, KADI mengumumkan telah menerima permohonan dari PT. Krakatau Steel yang mewakili Industri Dalam Negeri untuk melakukan penyelidikan antidumping atas barang impor Baja Lembaran Canai Dingin (Cold Rolled Coil/ Sheet (CRC/S)) nomor pos tarif 7209.16.00.10, 7209.17.00.10, 7209.18.90.00, 7209.26.00.10, 7209.27.00.10,
7209.28.90.00,
7209.90.90.00,
7211.23.20.00,
7211.23.90.90, 7211.29.20.00, 7211.29.90.00, 7211.90.10.00, dan 7211.90.90.00 yang berasal dari Jepang, Republik Korea, Taiwan, Republik Rakyat Tiongkok, dan Republik Sosialis Vietnam. Dari penelitian terhadap permohonan tersebut, KADI menemukan indikasi kuat adanya produk Baja Lembaran Canai Dingin (Cold Rolled Coil/ Sheet (CRC/S)) yang diimpor dengan harga dumping yang mengakibatkan kerugian bagi Industri Dalam Negeri yang memproduksi Barang Sejenis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, KADI memutuskan untuk melakukan penyelidikan atas barang yang diduga sebagai barang dumping yang diimpor dari Jepang, Republik Korea, Taiwan, Republik Rakyat Tiongkok, dan Republik Sosialis Vietnam, sebagaimana tersebut dimulai dari tanggal pengumuman ini. KADI selanjutnya akan menyampaikan Kuesioner dan Copy Berkas Pengaduan yang bersifat tidak rahasia serta Pengumuman dimulainya penyelidikan ini kepada Pihak yang berkepentingan (Interested Parties). Pihak lain yang berkepentingan terhadap penyelidikan dapat
65
memperoleh informasi tersebut apabila memerlukannya dengan menyampaikan surat kepada KADI. Tambahan informasi, tanggapan, atau permintaan dengar pendapat (Hearing) yang berkaitan dengan penyelidikan barang dumping dan kerugian disampaikan secara tertulis kepada Komite Antidumping Indonesia. Berikut ini beberapa kegiatan dengar pendapat dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi KADI: a. Dengar Pendapat Terkait Penyelidikan Antidumping Terhadap Barang Impor Cold Rolled Coil/Sheet (CRC) Topik
:
Dengar pendapat dihadiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan yaitu instansi pemerintah, perwakilan dari negara tertuduh, pemohon penyelidikan PT. Krakatau Steel, eksportir dan/atau produsen dari negara tertuduh, importir, dan asosiasi dari industri pengguna. Dengar pendapat diadakan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memberikan tanggapan atas proses yang terjadi didalam berjalannya penyelidikan. Tanggal : 05 Oktober 2011 Tempat
: Kementerian Perdagangan
b. Dengar Pendapat Terkait Penyelidikan Antidumping Terhadap Barang Impor Tin Plate.
66
Topik
:
Dengar pendapat dihadiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan yaitu instansi pemerintah, perwakilan dari negara tertuduh, pemohon penyelidikan, eksportir dan/atau produsen dari negara tertuduh, importir, dan asosiasi dari industri pengguna. Dengar pendapat diadakan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memberikan tanggapan atas proses yang terjadi didalam berjalannya penyelidikan. Tanggal : 21 Maret 2013 Tempat : Kementerian Perdagangan
F. Anggaran Segala biaya yang diperlukan untuk melaksanakan tugas KADI dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Perdagangan. G. Keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga 1. Kementerian Perdagangan 2. Kementerian Keuangan 3. Perusahaan dalam negeri yang mewakili industri dalam negeri sebagai pemohon penyelidikan anti dumping atas barang impor 4. Eksportir dan/atau eksportir produsen
67
8.
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) A. Sejarah Singkat Pembentukan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) adalah sebuah komite yang bertugas melaksanakan penyelidikan dalam rangka Tindakan Pengamanan atas Permohonan Tindakan Pengamanan (Safeguards) terhadap produsen dalam negeri yang menderita kerugian serius dan/atau mengalami ancaman terjadinya kerugian serius, dari akibat melonjaknya impor barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing dengan barang produsen dalam negeri. KPPI didirikan pada tahun 2003 melalui SK Menperindag No. 84 /MPP/Kep/2/2003 tanggal 17 Februari 2003. SK ini merupakan tindak lanjut dari Keppres No. 84 Tahun 2002 tanggal 16 Desember 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor. Setelah berakhirnya Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang menghasilkan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) 1994 dan terbentuknya WTO, pasar dunia cenderung semakin terbuka dan semakin bebas hambatan. Kecenderungan ini adalah fenomena yang tidak dapat dihindari, karena setiap negara yang melakukan kegiatan perdagangan internasional menghendaki pasar dunia yang terbuka bagi produk-produk ekspornya masing-masing. Oleh karena itu setiap hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif diupayakan untuk dikurangi atau dihapuskan melalui perjanjian bilateral, regional maupun multilateral.
68
Kesepakatan liberalisasi perdagangan dunia di WTO menyebabkan terbukanya pasar karena hambatan tarif dan non tarif semakin berkurang sehingga memperlancar dan meningkatkan kegiatan impor. Hal ini dapat menyebabkan banjirnya impor sehingga membuka persaingan dengan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis atau yang secara langsung bersaing. WTO Agreement on Safeguards merupakan suatu instrumen yang memberikan perlindungan bagi industri dalam negeri yang mengalami kerugian akibat banjir impor. Berdasarkan perjanjian Safeguards dalam rangka World Trade Organization (WTO), suatu negara diijinkan untuk mengambil Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) guna melindungi produsen dalam negerinya yang mengalami kerugian yang disebabkan oleh lonjakan impor. Sebelum Tindakan Pengamanan Perdagangan dilakukan, melalui suatu penyelidikan, suatu negara wajib untuk membuktikan bahwa lonjakan impor merupakan penyebab kerugian produsen dalam negeri. Di Indonesia, otoritas yang bertugas melakukan penyelidikan adalah Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). KPPI dibentuk berdasarkan Keppres No. 84 Tahun 2002 tentang Tindakan
Pengamanan
Industri
Dalam
Negeri
Dari
Akibat
Lonjakan Impor. Keppres tersebut ditetapkan dengan dasar pertimbangan bahwa pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) melalui penurunan tarif dan
69
penghapusan hambatan bukan tarip, dapat menimbulkan lonjakan impor yang mengakibatkan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius sebagaimana dimaksud dapat dicegah dengan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tindakan pengamanan sehingga
industri
yang
mengalami
kerugian
dapat
melakukan
penyesuaian-penyesuaian struktural yang dibenarkan secara hukum berdasarkan ketentuan Agreement on Safeguards sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World trade Organization. B. Dasar Hukum Pembentukan KPPI dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan
Impor.
Kemudian
dengan
diberlakukannya
Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, maka Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Namun demikian, pada saat Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 mulai berlaku: 1. KPPI yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor dinyatakan tetap berlaku dan melanjutkan tugasnya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011.
70
2. Segala keputusan dan kegiatan KPPI berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 dinyatakan sah; dan 3. Peraturan pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011. C. Tugas dan Fungsi KPPI dibentuk untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan upaya memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius yang diderita oleh industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah barang impor. KPPI bertugas melaksanakan penyelidikan dalam rangka Tindakan Pengamanan, dan bertanggungjawab kepada Menteri. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud KPPI melaksanakan fungsi: a. melakukan penyelidikan terhadap kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami oleh industri dalam negeri Barang Sejenis atau Barang Yang Secara Langsung Bersaing dengan Barang Yang Diselidiki sebagai akibat lonjakan jumlah impor; b. mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi terkait dengan penyelidikan; c. membuat laporan hasil penyelidikan;
71
d. merekomendasikan pengenaan Tindakan Pengamanan kepada Menteri Perdagangan; dan e. melaksanakan tugas lain terkait yang diberikan oleh Menteri Perdagangan. Dalam proses pelaksanaan tugasnya, hasil penyelidikan yang membuktikan adanya kerugian industri dalam negeri sebagai akibat lonjakan volume barang impor, akan dilanjutkan dengan memberikan rekomendasi pengenaan tindakan pengamanan (safeguard measures) untuk menanggulangi kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri tersebut. D. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan KPPI adalah komite yang bertugas untuk melaksanakan penyelidikan dalam rangka Tindakan Pengamanan. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2002, Komite dipimpin oleh seorang Ketua dan beranggotakan unsur-unsur dari : a. Departemen Perindustrian dan Perdagangan; b. Departemen Keuangan; c. Badan Pusat Statistik; d. Departemen atau Lembaga Non Departemen terkait lainnya; dan e. Pakar di bidang barang terselidik.
72
Pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan Komite ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan, yang saat ini merupakan kewenangan Menteri Perdagangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 84/MPP/Kep/2/2003 Tentang Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia, susunan keanggotaan Komite terdiri dari: 1. Ketua dan satu orang Wakil Ketua merangkap Anggota; 2. Satu orang Sekretaris Eksekutif merangkap Anggota dan; 3. Anggota terdiri dari : a.
Direktur
Jenderal
Kerjasama
Industri
dan
Perdagangan
Internasional; b.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri;
c.
Direktur Jenderal Industri, Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka;
d.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Argo dan Hasil Hutan;
e.
Pejabat Eselon I Departemen Keuangan;
f.
Pejabat Eselon I Departemen Pertanian;
g.
Pejabat Eselon I Departemen Kehutanan;
h.
Pejabat Eselon I Departemen Kelautan dan Perikanan;
i.
Pejabat Eselon I Kantor Menteri Perekonomian; dan
j.
Pejabat Badan Pusat Statistik.
73
Keanggotaan Komite sebagaimana dimaksud dilengkapi dengan pakar di bidang Barang Terselidik yang diangkat dan diberhentikan sesuai kebutuhan. Untuk menangani tugas administrasi dan teknis penyelidikan Lonjakan Barang Impor yang mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius industri dalam negeri, Komite dibantu oleh satu unit kerja Sekretariat yang terdiri dari : a. Bidang Pengaduan dan Hukum; b. Bidang Pengkajian Barang Terselidik, Data dan Informasi; c. Bidang Tindakan Pengamanan; d. Bagian Umum dan Keuangan; serta e. Tim Penyelidik. E. Implementasi Tugas dan Fungsi Terhadap barang impor selain dikenakan Bea Masuk dapat dikenakan Tindakan Pengamanan jika: a. terjadi lonjakan jumlah impor secara absolut atau relatif atas barang yang sama dengan Barang Sejenis atau Barang Yang Secara Langsung Bersaing; dan b. lonjakan jumlah impor barang sebagaimana dimaksud pada huruf a menyebabkan terjadinya Kerugian Serius atau Ancaman Kerugian Serius terhadap Industri Dalam Negeri.
74
Tindakan Pengamanan sebagaimana dimaksud meliputi pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan dan/atau Kuota. Besarnya Bea Masuk Tindakan Pengamanan tersebut paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk memulihkan Kerugian Serius atau mencegah Ancaman Kerugian Serius terhadap Industri Dalam Negeri. Jumlah Kuota yang ditetapkan dimaksud tidak boleh kurang dari jumlah impor rata-rata paling sedikit dalam 3 (tiga) tahun terakhir, kecuali terdapat alasan yang jelas bahwa Kuota yang lebih rendah diperlukan untuk memulihkan Kerugian Serius atau mencegah Ancaman Kerugian Serius terhadap Industri Dalam Negeri. Tindakan Pengamanan dikenakan setelah dilakukan penyelidikan oleh KPPI. Penyelidikan oleh KPPI sebagaimana dimaksud atas Barang Yang
Diselidiki
dapat
dilakukan
berdasarkan
permohonan
atau
berdasarkan inisiatif KPPI. Permohonan sebagaimana dimaksud perlu melengkapi data dan informasi, antara lain: 1. Identitas lengkap pemohon. 2. Uraian lengkap dan nomor HS barang yang diproduksi. 3. Pihak-pihak yang berkepentingan (Industri dalam negeri/asosiasi dan importir). 4. Kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius pemohon (perubahan: pangsa pasar industri dalam negeri, penjualan, produksi,
75
produktivitas, kapasitas produksi, persediaan, keuntungan, atau kerugian dan tenaga kerja). Beberapa kegiatan KPPI dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya antara lain: 1. Penyelidikan impor ikan kembung (makarel) pada tahun 2012. Penyelidikan dilakukan karena adanya laporan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai lonjakan impor ikan kembung yang mengakibatkan kerugian serius dan mengganggu usaha perikanan tangkap para nelayan di Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan, memohon agar impor ikan kembung dikenakan, tindakan pengamanan perdagangan (safeguard measures). Permohonan tersebut didukung data yang menunjukkan adanya kerugian serius yang telah mengganggu usaha perikanan tangkap para nelayan di Indonesia, yang mengancam
keberlanjutan
usaha
para
nelayan
di
Indonesia.
Penyelidikan untuk menemukan ada tidaknya hubungan kausal antara kenaikan jumlah impor dengan kerugian serius yang dialami usaha perikanan nelayan di Indonesia. Oleh karena itu, KPPI meminta para importir
produk
perikanan
menyampaikan
tanggapan
tertulis.
Membanjirnya produk impor ikan bermasalah dari China dan India itu sangat merugikan nelayan dan memukul daya saing perikanan nasional, apalagi ikan impor ditemukan mengandung formalin yang membahayakan kesehatan konsumen. 2. Penyelidikan safeguard (tindakan pengamanan) atas impor casing and tubing (semacam pipa untuk industri minyak dan gas) pada Januari
76
2012. Penyelidikan dilakukan, setelah KPPI menerima laporan kenaikan impor casing and tubing yang berpotensi merugikan industri nasional. Industri yang merugi akibat tingginya arus impor casing and tubing itu adalah PT Citra Tubindo Tbk. Melalui Asosiasi Produsen Pipa Pemboran Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Apropipe), PT Citra Tubindo Tbk mengajukan permohonan safeguard kepada KPPI. Dalam permohonan itu, Apropipe meminta KPPI segera menerapkan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) untuk impor casing and tubing.Namun sesuai prosedur, KPPI mesti melakukan penyelidikan terlebih dahulu, untuk mendapatkan bukti kerugian industri dalam negeri akibat tingginya impor casing and tubing. Keputusan penyelidikan safeguard untuk impor casing and tubing itu, KPPI meminta importir casing and tubing atau pihak terkait yang keberatan segera melapor ke KPPI. Selama ini, Tindakan Pengamanan Perdagangan yang diambil oleh anggota WTO dalam periode 29 Maret 1995 s.d 30 April 2012 berjumlah 118 tindakan. Sedangkan di Indonesia, sejak berdirinya KPPI pada tahun 2003, Indonesia telah mengenakan Tindakan Pengamanan Perdagangan terhadap 12 barang. Barang tersebut adalah Keramik Tableware, perpanjangan Keramik Tableware, barang kimia Dextrose Monohydrate (DMH), Paku Kawat (Wire Nails), Kawat Bindrat, Kawat Seng, Tali Kawat Baja 1 Pilihan, Tali Kawat Baja 6 Pilihan atau Lebih, Kain Tenunan dari Kapas, Benang Kapas selain Benang Jahit, Terpal dari Serat Sintetik selain Awning dan Kerai Matahari, dan Bronjong Kawat.
77
Sejak tahun 2004 s.d. Agustus 2013, KPPI telah menangani 35 kasus dan 4 calon permohonan dengan rincian sebagai berikut: 1. Kasus yang telah dikenakan Bea masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) sebanyak 12 Produk. 2. Kasus yang diperpanjang dengan BMTP ada 1 Produk. 3. Kasus yang ditutup karena tidak ada hubungan kausal antara kerugian dan lonjakan impor barang sejenis sebanyak 6 Produk. 4. Kasus yang tidak memenuhi persyaratan untuk ditindaklanjuti sebanyak 11 Produk. 5. Kasus yang dalam proses penyelidikan (telah diinisiasi) sebanyak 5 Produk (2 Produk tersebut telah direkomendasi). 6. Permohonan yang masih dalam tahapan asistensi sebanyak 4 Produk. F. Anggaran Segala biaya yang diperlukan untuk melaksanakan tugas KPPI dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. G. Keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga 1.
Kementerian Perdagangan
2.
Kementerian Keuangan
3.
Kementerian yang terkait dengan Produk yang sedang dalam penanganan KPPI
78
9.
Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) A. Sejarah Singkat Pembentukan Tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana. Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerja sama bantuan timbal balik tersebut dapat dilaksanakan jika negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas. Oleh karena itu, untuk meningkatkan koordinasi antar lembaga terkait dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dibentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
79
B. Dasar Hukum Pembentukan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Komite
Koordinasi
Nasional
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang
Komite
Koordinasi
Nasional
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. C. Tugas dan Fungsi Komite TPPU bertugas mengoordinasikan penanganan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Komite TPPU melaksanakan fungsi : 1) perumusan arah, kebijakan, dan strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; 2) pengoordinasian pelaksanaan program dan kegiatan sesuai arah, kebijakan, dan strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
80
3) pengoordinasian
langkah-langkah
yang
diperlukan
dalam
penanganan hal lain yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan
tindak
pidana
pencucian
uang
termasuk
pendanaan terorisme; dan 4) pemantauan dan evaluasi atas penanganan serta pelaksanaan program dan kegiatan sesuai arah, kebijakan dan strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. D. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan Komite TPPU berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Komite TPPU mengadakan pertemuan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Susunan keanggotaan Komite TPPU terdiri dari: a. Ketua
:
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan;
b. Wakil Ketua
: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
c. Sekretaris
:
merangkap Anggota d. Anggota
Kepala Pusat Pelaporan dan Anggota Analisis Transaksi Keuangan;
: 1. Gubernur Bank Indonesia; 2. Menteri Keuangan; 3. Menteri Luar Negeri; 4. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; 5. Menteri Dalam Negeri;
81
6. Jaksa Agung; 7. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 8. Kepala Badan Intelijen Negara; 9. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; dan 10. Kepala Badan Narkotika Nasional. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Komite TPPU dibantu oleh Tim Pelaksana dengan susunan keanggotaan sebagai berikut: a. Ketua
: Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan;
b. Wakil Ketua
:
Deputi V Keamanan Nasional pada Kementerian Koordinator
Bidang
Politik,
Hukum
dan
Keamanan; c. Anggota
:
1.
Deputi
Menteri
Koordinator
Bidang
Perekonomian Bidang Kerjasama Ekonomi Internasional; 2.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Perbankan;
3.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem Pembayaran;
4.
Direktur
Jenderal
Bea
dan
Cukai,
Kementerian Keuangan; 5.
Direktur
82
Jenderal
Pajak,
Kementerian
Keuangan; 6.
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan,
Kementerian
Keuangan; 7.
Direktur Jenderal Multilateral, Kementerian Luar Negeri;
8.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri;
9.
Direktur
Jenderal
Administrasi
Hukum
Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; 10. Direktur Jenderal
Imigrasi, Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia; 11. Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri; 12. Direktur
Jenderal
Kependudukan
dan
Administrasi Pencatatan
Sipil,
Kementerian Dalam Negeri; 13. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum; 14. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; 15. Kepala Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Negara Republik Indonesia; 16. Deputi
Kepala
Badan
Intelijen
Negara
Bidang Kontra Intelijen; 17. Deputi
Penindakan
83
dan
Pembinaan
Kemampuan
Badan
Nasional
Penanggulangan Terorisme; dan 18. Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional. E. Implementasi Tugas dan Fungsi a. PPATK telah melaksanakan sosialiasi dan penyamaan pemahaman tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada Aparat Penegak Hukum (Apgakum), Penyedia Jasa Keuangan (PJK), Akademisi dan New Reporting Parties sebanyak 20 (dua Puluh) kali selama bulan Januari sampai dengan Agustus 2013. b. Menyelenggarakan Rapat Kelompok Kerja PPTPPU pada tanggal 21 Agustus 2013 dengan agenda, antara lain: evaluasi atas implementasi strategi nasional Nomor VIII tentang pengefektifan Penerapan Penyitaan Aset (Asset Forfeiture) dan Pengembalian Aset (Asset Recovery), membahas mengenai pelaksanaan penyitaan aset sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU No. 8 Tahun 2010. c. Menyelenggarakan Rapat Kelompok Kerja PPTPPU pada tanggal 3 Juni 2013 dengan agenda: evaluasi pelaksanaan strategi nasional pada tahun 2012, rencana implementasi strategi nasional tahun 2013 dan perkembangan member status report Indonesia. d. Menyelenggarakan Rapat Tim Pelaksana PPTPPU pada tanggal 19 Oktober 2012 dengan agenda, antara lain: perkembangan implementasi resolusi DK PBB No. 1267, rekomendasi FATF
84
mengenai RBA dan perkembangan pemenuhan rekomendasi FATF Indonesia. e. Menyelenggarakan Rapat Komite PPTPPU pada tanggal 2 Oktober 2013 dengan agenda, antara lain: membahas hasil sidang pleno Financial Action Task Force (FATF) tanggal 16 Februari 2012 di Paris, Prancis, Rekomendasi No. 1 FATF tentang Risk-Based Approach (RBA) dan membahas mengenai strategi nasional PP TPPU periode 2012-2016. f. Menyelenggarakan Rapat Kelompok Kerja PPTPPU pada tanggal 19 Juni 2012 dengan agenda: penyampaian standar internasional tentang pemberantasan TPPU dan Pendanaan Terorisme dan Ploriferasi Terbaru (The New FATF Recommendation) bulan Februari 2012 dan pembahasan Progress Detail Mutual Evaluation Report (MER) Indonesia per 2011 serta pembahasan langkah lanjutan penyelesaian revisi Stranas. F. Anggaran Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi Komite TPPU dibebankan pada Anggaran Belanja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. G. Keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga Dalan menjalankan tugas dan fungsinya, Komite TPPU memiliki keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga, antara lain: 1.
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan;
85
2.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;
3.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan;
4.
Bank Indonesia;
5.
Kementerian Keuangan;
6.
Kementerian Luar Negeri;
7.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
8.
Kementerian Dalam Negeri;
9.
Kejaksaan Agung;
10. Kepolisian Negara Republik Indonesia; 11. Badan Intelijen Negara; 12. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; dan 13. Badan Narkotika Nasional. 10. Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) A. Sejarah Singkat Pembentukan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat adalah kebijakan dan program pemerintah yang dilakukan secara sistematis,
terencana,
terukur,
dan
sinergis
guna
mempercepat
peningkatan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Hal tersebut kemudian dituangkan dalam Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang 86
memuat penjabaran Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dalam kurun waktu 2011- 2014, bersifat indikatif, rinci, serta merupakan prioritas yang dikhususkan, konkrit, cepat terwujud, dan dapat dirasakan manfaatnya. Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dilaksanakan melalui peningkatan koordinasi, sinergi dan sinkronisasi perencanaan, serta pengendalian pelaksanaan program dan kegiatan yang berasal dari berbagai sumber pendanaan dan pelaku pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional tahun 2010-2014 dan RPJM Provinsi Papua serta RPJM Provinsi Papua Barat, serta memperhatikan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada koridor ekonomi Papua - Kepulauan Maluku. Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat kemudian dibentuk untuk mendukung koordinasi, memfasilitasi dan mengendalikan pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
87
B. Dasar Hukum Pembentukan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884); Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang Perubahan Nama Provinsi Irian Jaya Barat Menjadi Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4718); Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5107) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 44);
88
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan pembangunan Provinsi papua dan provinsi papua barat; Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. C. Tugas dan Fungsi UP4B bertugas membantu Presiden dalam melakukan dukungan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan, fasilitasi, serta pengendalian pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Dalam rangka melaksanakan tugas, UP4B melakukan dukungan: a. Koordinasi,
sinkronisasi
dan
fasilitasi
perencanaan
program
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; b. Koordinasi
dan
sinkronisasi
pendanaan
program
Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; c. Pengendalian
dan
evaluasi
pelaksanaan
program
Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; d. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintah daerah; serta
89
e. Peningkatan komunikasi konstruktif antara Pemerintah Pusat, pemerintah
provinsi
dan
pemerintah
kabupaten/kota
dengan
masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. UP4B menyelenggarakan fungsi: a. Menjabarkan Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tahun 2011-2014, yang selanjutnya disebut Rencana Aksi, menjadi rencana kerja tahunan; b. Memastikan Rencana Kerja Tahunan penyusunan
Rencana
Kerja
menjadi acuan dalam
Pemerintah,
Rencana
Kerja
Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah; c. Melaksanakan
koordinasi
dengan
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Perencana Pembangunan Daerah untuk menyelenggarakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Khusus dalam rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; d. Melaksanakan dukungan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan program dan pendanaan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pihak swasta, lembaga donor, dan lembaga non pemerintah dengan berpedoman pada Rencana Aksi; e. Memastikan
terlaksananya
kegiatan
pembangunan
secara
berkelanjutan dan alokasi pembiayaan secara tahun jamak dengan menggunakan pendekatan kerangka pendanaan jangka menengah;
90
f. Melaksanakan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan program kementerian/lembaga, pemerintah daerah maupun pihak swasta, lembaga donor dan lembaga non pemerintah dengan berpedoman pada Rencana Aksi; g. Melaksanakan
koordinasi
dengan
kementerian/lembaga
dalam
peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintah daerah dengan berpedoman pada Rencana Aksi; h. Meningkatkan komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam koordinasi dengan Pemerintah Pusat untuk bersinergi secara kemitraan dengan lembaga adat, agama, dan lembaga swadaya masyarakat yang berperan aktif dalam pengembangan program pemberdayaan masyarakat kampung; i. Menampung saran dan masukan masyarakat terkait Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; j. Mengembangkan sistem komunikasi konstruktif dan pelibatan kegiatan konstruktif masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk sinergitas pelaksanaan Rencana Aksi; serta k. Melaksanakan fungsi lain yang ditugaskan Presiden. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, UP4B mempunyai kewenangan: a. Melaksanakan koordinasi dengan menteri, pimpinan lembaga nonkementerian, pimpinan lembaga lain, dan kepala pemerintah daerah dalam melaksanakan Rencana Aksi;
91
b. Mendapatkan informasi dan dukungan teknis dalam pelaksanaan tugasnya dari kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya; c. Memonitor dan menyarankan penyelarasan program dan kegiatan serta memperbaiki kinerja pelaksanaan kegiatan terkait dengan upaya Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; serta d. Memberikan alternatif solusi jika terjadi ketidaksepakatan dalam penetapan program dan kegiatan antara rencana kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan UP4B
dilakukan
dengan tetap memperhatikan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga dengan tetap membuka kemungkinan dilakukan terobosan yang diperlukan, dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. D. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan UP4B berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. UP4B memiliki masa kerja sampai dengan tahun 2014. Susunan organisasi UP4B terdiri dari: a. Kepala; b. Wakil Kepala; c. 5 (lima) Deputi; dan
92
d. Tenaga Profesional. Tenaga Profesional terdiri dari Asisten Ahli, Asisten, Asisten Muda dan Tenaga Terampil, yang seluruhnya berjumlah paling banyak 20 (dua puluh) orang. Untuk menunjang pelaksanaan tugas UP4B, dibentuk Tim Pengarah Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang bertugas memberikan arahan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang dilaksanakan oleh UP4B. Susunan Tim Pengarah tersebut adalah sebagai berikut: a. Ketua
:
Wakil Presiden Republik Indonesia;
b. Wakil Ketua I
:
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
Wakil Ketua II
:
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
Wakil Ketua III
:
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
:
1.
c. Anggota
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
2.
Menteri Sekretaris Negara;
3.
Menteri Keuangan;
4.
Menteri Dalam Negeri;
5.
Menteri Perhubungan;
6.
Menteri Pekerjaan Umum;
7.
Menteri Pertanian;
8.
Menteri Kelautan dan Perikanan;
93
9.
Menteri Kehutanan;
10. Menteri Pendidikan Nasional; 11. Menteri Pertahanan; 12. Menteri Kesehatan; 13. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 14. Menteri Perindustrian; 15. Menteri Perdagangan; 16. Menteri Sosial; 17. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 18. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah; 19. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal; 20. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata; 21. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 22. Panglima Tentara Nasional Indonesia; 23. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 24. Jaksa Agung Republik Indonesia; 25. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan; 26. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 27. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 28. Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi; 29. Kepala Badan Intelijen Negara;
94
30. Gubernur Provinsi Papua; dan 31. Gubernur Provinsi Papua Barat. E. Implementasi Tugas dan Fungsi a. Menyelenggarakan kegiatan monitoring bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Kota Wasior (ibukota Kabupaten Teluk Wondama) dan Kabupaten Kaimana sebagai bentuk fasilitasi UP4B terhadap problema pembangunan kelautan dan perikanan di kabupaten tersebut pada tanggal 27-28 Agustus 2013. b. Penyampaian pemaparan Rencana Aksi pelayanan pendidikan dan kesehatan Tahun 2013/2014 oleh Asisten Kepala UP4B, Anianto, mewakili Kepala UP4B di depan pejabat Kapolres di jajaran Polda Papua bertempat di ruang rapat Polda Papua Senin 10 Juli 2013 dalam rangka kegiatan crash program untuk Tahun 2013/2014. Dalam
pelaksanaan
program
tersebut
di
lapangan,
akan
diperbantukan unsur TNI dan Polri. c. Menerima kunjungan kerja Duta Besar Selandia Baru untuk Republik Indonesia dan ASEAN, H. E. David Taylor di Kantor UP4B di Angkasapura, Jayapura, tanggal 15 April 2013. Pada kunjungan tersebut juga dilakukan penyerahan Buku Laporan Hasil Kerja UP4B Tahun 2012. Duta Besar Selandia Baru kemudian menyampaikan posisi dukungan pemerintah Selandia Baru terhadap integrasi Tanah Papua dalam NKRI dan sedang menyiapkan bantuan Pemerintah Selandia Baru dengan beberapa
95
program seperti Program Community Policing atau Polmas (Polisi Masyarakat) senilai Rp. 20 Milyar, yang akan melatih polisi di Papua untuk lebih meningkatkan komunikasi konstruktif dalam menjalankan tugas pelayanan kepolisian di Papua. Selain itu, juga menyampaikan komitmen Selandia Baru untuk melanjutkan program PCDP (People Centered Development Program) atau program pembangunan terpusat kepada masyarakat yang sudah dilaksanakan dengan asistensi UNDP. Selandia Baru juga meminta dukungan UP4B agar Program beasiswa S2 dan S3 NZAID dapat dimanfaatkan SDM terdidik di Papua sebagai salah satu daerah prioritas program. d. Pelaksanaan
Roundtable
Discussion
tentang
"Optimalisasi
Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat" bertempat di Lemhanas, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta pada tanggal 1 April 2013. Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat di lingkungan Lemhannas, Menteri PDT, Kepala UP4B, Juru Bicara UP4B, para akademisi, pemerhati dan peneliti dari LIPI. e. Menerima kunjungan Shintani Naoyuki dari Kedutaan Jepang pada tanggal 6 Maret 2013. Pada acara tersebut juga dilakukan dialog mengenai Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B) dan peranan UP4B dalam hubungannya dengan Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota), pemberdayaan masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup serta peran
96
UP4B dan prakarsa-prakarsa yang telah dimainkan dalam rangka mendorong P4B. f. Menyelenggarakan pertemuan antara Kepala UP4B Bambang Darmono dengan Isabelle Arradon Deputy Director at the AsiaPacific Program of Amnesty International dan Laura Haigh Amnesty Southeast Asia Research and Campaign Assistant, di KBRI London pada tanggal 5 Maret 2013. g. Menerima kunjungan Bupati Kabupaten Sarmi Provinsi Papua Mesak Manibor pada tanggal 5 Maret 2013 di kantor UP4B Jayapura. Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka konsultasi pelaksanaan
pembangunan
Kabupaten
Sarmi,
melaporkan
kerusakan sejumlah jembatan akibat banjir beberapa hari lalu, serta dialog mengenai masalah kesehatan. h. Menyelenggarakan pertemuan antara Kepala UP4B bersama T.M. Hamzah Thayeb Dubes RI untuk Inggris dengan anggota Parlemen Inggris yang tergabung dalam All Party Parliamentary Group for Indonesia (APPGI) dan dipimpin Richard Graham MP selaku Ketua APPGI pada tanggal 4 Maret 2013 di Gedung Parlemen Inggris. i. Menyelenggarakan Pertemuan dengan T.M. Hamzah Thayeb Duta Besar Indonesia untuk Inggris untuk memaparkan mengenai P4B dan UP4B kepada staf Kedutaan Besar Repubik Indonesia (KBRI) di London, Inggris.
97
j. Mengadakan kunjungan ke Belanda pada tanggal 27 Februari-3 Maret 2013. Pada kunjungan tersebut, juga dilakukan pembicaraan dengan anggota Parlemen, NGO, akademisi dan round table discussion di Clingdael Academy, Netherlands Institute of International Relations. F. Anggaran Semua pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas UP4B dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. G. Keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga 1.
Kementerian
Koordinator
Bidang
Politik,
Hukum,
Keamanan; 2.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;
3.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
4.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
5.
Kementerian Sekertariat Negara;
6.
Kementerian Keuangan;
7.
Kementerian Dalam Negeri;
8.
Kementerian Perhubungan;
9.
Kementerian Pekerjaan Umum;
10. Kementerian Pertanian; 11. Kementerian Kelautan dan Perikanan; 12. Kementerian Kehutanan; 13. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
98
dan
14. Kementerian Pertahanan; 15. Kementerian Kesehatan; 16. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; 17. Kementerian Perindustrian; 18. Kementerian Perdagangan; 19. Kementerian Sosial; 20. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 21. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah; 22. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal; 23. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; 24. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 25. Tentara Nasional Indonesia; 26. Kepolisian Negara Republik Indonesia; 27. Kejaksaan Agung Republik Indonesia; 28. Unit Kerja Presiden Bidang Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan; 29. Badan Pertanahan Nasional; 30. Badan Koordinasi Penanaman Modal; 31. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi; 32. Badan Intelijen Negara; 33. Pemerintah Provinsi Papua; dan 34. Pemerintah Provinsi Papua Barat.
99
100
BAB III PENUTUP
Dinamika pembentukan LNS pasca reformasi berlangsung sangat cepat. Salah satu alasan yang muncul dengan adanya pembentukan LNS di Indonesia adalah karena lembaga-lembaga yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin disuarakan seiring dengan munculnya era demokrasi. LNS dipandang sebagai salah satu jalan keluar dari
hambatan-hambatan
birokrasi
sehingga
program-program
pembangunan dan pelayanan publik dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Namun demikian, keberadaan LNS dengan jumlah yang semakin banyak, telah mengindikasikan potensi tumpang tindih tugas dan fungsi antara LNS dengan kementerian/lembaga ataupun dengan sesama LNS. Tim Antarkementerian Pengkajian Penataan Lembaga Non Struktural telah menghasilkan rekomendasi penataan terhadap 11 LNS melalui penggabungan dengan kementerian/lembaga ataupun penghapusan. Namun demikian tuntutan pembentukan LNS-LNS baru masih terus berlanjut terutama untuk memenuhi undang-undang yang mengamanatkan adanya LNS tertentu. Sebagaimana dicontohkan dari pembentukan beberapa LNS yang telah disusun profilnya pada buku ini, antara lain Komite TPPU dan KPHI. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 92 ayat (2) Undang-Undang
101
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka pada tanggal 11 Januari 2012, dibentuklah Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu, UndangUndang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji telah mengamanatkan pembentukan KPHI paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan. Namun demikian, untuk pertama kalinya 9 (sembilan) Anggota KPHI diangkat melalui Keputusan Presiden RI Nomor 13/P Tahun 2013 pada tanggal 13 Februari 2013. Hal tersebut menunjukan betapa dinamisnya perkembangan LNS. Di satu sisi dilakukan penataan terhadap LNS, di sisi lain pembentukan LNS baru tidak dapat dihindarkan karena memang dibutuhkan dan merupakan amanat undang-undang. Memperhatikan dinamisnya perkembangan LNS maka penyusunan buku profil perlu dilakukan secara berkesinambungan baik terhadap LNS lama maupun LNS-LNS yang baru dibentuk. Dengan demikian akan tersedia data dan informasi yang valid dan akurat.
102
DAFTAR PUSTAKA Tim Antarkementerian Pengkajian Penataan Lembaga Non Struktural (2010), Kajian Penataan Lembaga Non Struktural: Analisis Terhadap Eksistensi 11 Lembaga Non Struktural, Sekretariat Negara, Jakarta. Zoelva (2010) dalam Bunga Rampai Pemikiran Penataan Lembaga Non Struktural, Sekretariat Negara, Jakarta.
103