Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia1 Hamdan Zoelva2
Pendahuluan Negara adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsifungsi, yang secara singkat oleh Logeman, disebutkan bahwa negara adalah organisasi jabatan (lihat Logeman: 1948). Pembukaan UUD 1945, tegas menyebutkan bahwa pemerintahan negara dibentuk untuk mencapai tujuan negara, yang dalam penyelenggaraannya dilakukan berdasarkan Undang-Undang Dasar. Pemerintahan negara tersebut tidak lain dari organorgan negara yang menyelenggarakan kekuasaan negara. Secara teoretik ada tiga kelompok penyelenggara kekuasaan negara, yaitu penyelenggara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang menurut Montesqueu, ketiga penyelengga-
1
2
64
Disampaikan pada acara Seminar “Formulasi Desain Penataan LNS yang Dibentuk Berdasarkan Undang-Undang dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” diselenggarakan oleh Sekretariat Negara RI, 23 November 2010. Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
NEGARAWAN Jurnal Sekretariat Negara RI | No. 18 | November 2010
raan kekuasaan negara itu harus dipisahkan (separation of power). Pemisahan kekuasaan secara murni antara penyelenggaraan kekuasaan negara seperti teori Montesquei tidak pernah terjadi dalam praktik. Namun dalam kajian ketatanegaraan, semangat teori ini yaitu untuk membatasi kekuasaan negara melalui pembatasan masing-masing lembaga penyelenggara kekuasaan negara, telah mengilhami berbagai negara untuk melakukan pembatasan kekuasaan ini melalui konstitusi. Dalam kajian teoretik pembatasan kekuasaan ini, tidak dilakukan melalui pemisahan kekuasaan, tetapi melalui pendekatan check and balances, yaitu suatu pendekatan yang menekankan adanya hubungan yang saling terkait dan saling membatasi antarorgan penyelenggara kekuasaan negara sebagaimana ditentukan oleh konstitusi. Pendekatan seperti ini dianut juga oleh UUD 1945, yang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), tegas menentukan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar. Dari norma ini terkandung pengertian bahwa negara Indonesia adalah negara yang menganut sistem konstitusional. Hal ini bermakna pula bahwa seluruh organ penyelenggara kekuasaan negara menjalankan fungsi berdasarkan ketentuan konstitusi. UUD Republik Indonesia 1945 menyebutkan paling tidak 8 (delapan) organ negara yang menerima kewenangan konstitusional langsung dari UUD, yaitu (1) Dewan Perwakilan Rakyat, (2) Dewan Perwakilan Daerah, (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (4) Badan Pemeriksa Keuangan, (5) Presiden dan Wakil Presiden, (6) Mahkamah Agung, (7) Mahkamah Konstitusi, dan (8) Komisi Yudisial. Di samping itu terdapat beberapa organ negara yang oleh konstitusi tidak secara tegas menyebutkan nomenklaturnya, tetapi memiliki fungsi yang jelas, antara lain: penyelenggaran pemilihan umum, dewan yang memberi pertimbangan kepada Presiden, bank sentral, TNI dan POLRI, serta kementerian negara sebagai institusi yang berada di bawah Presiden. Walaupun demikian, dalam kenyataannya terdapat banyak institusi atau organ baik sebelum maupun setelah perubahan UUD 1945 yang menjalankan
NEGARAWAN Jurnal Sekretariat Negara RI | No. 18 | November 2010
65
fungsi negara tetapi tidak disebutkan dalam UUD 1945 baik secara ekspreisf verbis maupun tidak. Institusi atau organ ini, lahir atau dibentuk baik berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan presiden. Persoalannya adalah apakah organ-organ yang disebut terlahir merupakan organ konstitusional sehingga segala konsekuensi baik implikasi pelaksanaan kewenangan maupun pembiayaannya menjadi tanggung jawab negara. Sehubungan dengan tema seminar ini, maka pertanyaan terkait adalah bagaimana menata kembali organ tersebut dari sisi sistem konstitusional yang dianut. Organ Konstitusional Dalam arti luas, organ konstitusional tidak hanya terbatas pada organ negara yang disebutkan secara tegas dalam konstitusi. Ukuran utama sebuah organ atau institusi, disebut organ konstitusional apabila suatu organ memenuhi paling tidak dua syarat, yaitu pembentukan oleh institusi negara baik yang disebutkan dalam undang-undang dasar maupun dibentuk oleh institusi negara yang tidak disebut dalam undang-undang dasar dan dibentuk melalui mekanisme konstitusional yang legal3 dan organ yang dibentuk itu menjalankan fungsi atau kekuasaan negara. Sehingga dengan demikian, organ konstitusional ini dapat merupakan organ negara yang disebut dalam konstitusi, organ yang dibentuk berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan lainnya. Sepanjang sebuah organ menjalankan fungsi negara dan dibentuk oleh organ negara yang lain secara sah, maka dapatlah organ itu disebut organ konstitusional. Pandangan demikian sejalan dengan pendapat yang umum di kalangan teoritisi dan akademisi, seperti Hans
3
66
Mekanisme konstitusional di sini adalah mekanisme yang sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
NEGARAWAN Jurnal Sekretariat Negara RI | No. 18 | November 2010
Kelsen, dengan menggunakan istilah organ negara (state-organ) yang menurut Kelsen menganut makna bisa sangat luar, yaitu siapa saja yang menjalankan fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ. Bahkan menurut Kelsen, setiap orang yang memegang jabatan dapat disebut organ negara sepanjang menciptakan atau menjalankan norma (Kelsen : 1949:192-193). Demikian pula, Jimly Asshiddiqqie berkesimpulan konsep organ negara dan lembaga negara itu sangat luas maknanya sehingga tidak dapat dipersempit hanya pada pengertian ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif saja (Jimly Asshiddiqqie : 2006). Dalam pengertian yang luas seperti ini, seluruh organ yang menjalankan fungsi negara adalah organ konstitusional. Pada prinsipnya, organ negara dibentuk oleh organ konstitusional yang lainnya yang lebih tinggi atau superior (Lihat Kelsen : 1949 : 195). Dengan demikian, organ konstitusional yang disebut dalam konstitusi dapat membentuk organ negara yang lebih inferior sepanjang untuk menjalankan fungsi negara yang menjadi bidang tugasnya. Dalam ilmu organisasi, berbagai organ konstitusional di luar yang dibentuk oleh konstitusi ini menandakan lunturnya prinsip sentralisasi dalam pemerintahan dan menuntut negara lebih terbuka dan inklusif dan untuk mendorong ke arah itu tumbuh bermacammacam organ yang mengurusi hal-hal yang spesifik dan khusus yang bertujuan untuk memperluas akses masyarakat terhadap proses pengambilan kebijakan (lihat Rhodes, 1997:109). Karena itu, adalah wajar DPR dan Presiden melalui ketentuan undang-undang membentuk berbagai organ konstitusional untuk menjalankan sebagian fungsi pemerintahan yang spesifik sepanjang terdapat kebutuhan untuk itu. Umumnya, organ konstitusional yang dibentuk oleh undangundang bersifat, antara lain : i) independen –dalam arti tidak berada di bawah pengaruh salah satu organ kekuasaan negara yang utama -; ii) menjalankan fungsi pemerintahan yang bersifat eksekutif, legislatif terbatas, bahkan ada yang menjalankan fungsi yudikatif sekaligus; serta iii) pengisian jabatan atau anggotanya melibatkan masyarakat. Karena itu, organ
NEGARAWAN Jurnal Sekretariat Negara RI | No. 18 | November 2010
67
konstitusional yang dibentuk berdasarkan undang-undang, haruslah organ negara yang sangat penting yaitu sifat kewenangan organ yang bersangkutan harus diberikan oleh undang-undang, atau karena kebutuhan adanya kepentingan kontrol rakyat melalui DPR. Dengan demikian, jika suatu organ konstitusional tidak mengandung muatan kewenangan yang demikian, tidak perlu dibentuk dengan undang-undang. Jika berkaitan dengan pelaksanaan fungsi eksekutif (pemerintah), maka pembentukannya cukup diserahkan kepada pemerintah agar lebih fleksibel. UUD 1945 tidak memberikan batasan maupun norma yang memberikan petunjuk pembentukan berbagai organ konstitusional selain organ konstitusional yang ditentukan dalam undang-undang dasar yang pembentukan maupun penghapusannya harus berdasarkan ketentuan konstitusi. Karena itu, organ konstitusional di luar yang dibentuk undang-undang dasar lahir dan tumbuh sesuai kebutuhan penyelenggaraan fungsi negara. Dalam tinjauan kepustakaan organ negara yang demikian dikenal dengan istilah state auxiliary institutions atau organ negara tambahan, yaitu merujuk pada selain organ negara utama yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Di Indonesia, organ negara yang demikian dapat berarti lembaga negara non-departemen atau non-kementerian serta lembaga non-struktural. Merujuk pada batasan yang ditentukan oleh Lembaga Administrasi Negara, Lembaga Non-Struktural adalah institusi yang dibentuk karena urgensi terhadap tugas khusus tertnetu yang tidak dapat diwadahi dalam kelembagaan pemerintah (konvensional) dengan keunikan tertentu dan memiliki karakteristik tugas yang urgen, unik, dan terintegrasi serta efektif. Penataan Konstitusional Lembaga Non-Strutktural Konstitusi tidak memberikan batasan maupun norma petunjuk pembentukan Lembaga Non-Struktural. Karena itu, Konstitusi memberi kebebasan untuk membentuk lembaga yang demikian sepanjang benar-benar dibutuhkan. Dalam praktiknya, sudah banyak Lembaga Non-Struktural dengan
68
NEGARAWAN Jurnal Sekretariat Negara RI | No. 18 | November 2010
berbagai istilah/penyebutan yang berbeda-beda, dan dibentuk baik oleh undang-undang, peraturan pemerintah, maupun Keppres yang memiliki fungsi dan tujuan dalam bidang-bidang yang spesifik. Apabila dilihat dari dasar hukum pembentukannya, maka Lembaga Non-Struktural di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, Lembaga Non-Struktural yang dibentuk berdasarkan undang-undang, antara lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dewan Pers, dan sebagainya. Kedua, Lembaga Non-Struktural yang dibentuk berdasarkan Peraturan pemerintah seperti Badan SAR Nasional, Lembaga Sensor Film, Komisi Banding Merek, dan sebagainya. Ketiga, Lembaga Non-Struktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden, antara lain, Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional Lanjut Usia, Komite Olahraga Nasional Indonesia, dan sebagainya. Dasar hukum pembentukan lembaga-lembaga nonstruktural seharusnya didasarkan pada kewenangan atau otoritas apa yang diberikan kepada Lembaga Non-Struktural itu. Karena Lembaga Non-Struktural menjalankan fungsi negara yang spesifik, maka bila kewenangan yang diberikan itu berdasarkan pada tingkat undang-undang, Lembaga NonStruktural itu hanya dapat dibentuk dengan undang-undang. Tetapi jika hanya menjalankan fungsi eksekutif saja, maka Lembaga Non-Struktural itu cukup dibentuk dengan peraturan pemerintah atau keputusan presiden agar lebih fleksibel. Aspek inilah yang harus diperhatikan dalam penataan kembali Lembaga Non-Struktural ini, oleh karena itu, dalam penataan Lembaga Non-Struktural ini sekaligus juga perlu ada norma guidance/petunjuk sebagai desain dasar pembentukan sebuah Lembaga Non-Struktural, hal ini sangat diperlukan agar Lembaga Non-Struktural yang seharusnya membantu penyelenggaraan negara oleh lembaga negara utama, justru tidak menjadi beban dan penghalang tercapainya misi penyelenggaraan negara tersebut, terlebih lagi bila kita lihat dari segi anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk membentuk dan menjalankan lembaga-lembaga non-struktural ini.
NEGARAWAN Jurnal Sekretariat Negara RI | No. 18 | November 2010
69
Penataan Konstitusional Lembaga Non-Struktural Paling tidak ada dua aspek yang harus diperhatikan untuk menata kembali Lembaga Non-Strutural yang ada, yaitu pertama; aspek kebutuhan atau analisis organisasi terhadap perlu tidaknya suatu Lembaga Non-Struktural dipertahankan, dihapus, atau digabung dengan Lembaga Non-Struktural yang lain, dan kedua; bagimana mekanisme konstitusional yang harus dilakukan untuk melakukan penataan kembali? Untuk pertimbangan aspek yang pertama akan didalami oleh pembicara yang lain. Pada kesempatan ini, saya hanya ingin mengulas aspek yang kedua. Seperti telah dikelompokkan di atas, Lembaga NonStruktural dapat dibedakan berdasarkan dasar hukum pembentukannya, baik berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah, maupun keputusan presiden. Dengan dasar hukum yang berbeda, maka mekanisme penataannya juga akan berbeda. Penataan kembali Lembaga Non-Struktural yang dibentuk undang-undang harus melalui proses yang cukup rumit yaitu harus melakukan revisi atas undangundang yang membentuk Lembaga Non-Struktural yang bersangkutan. Salah satu pendekatan secara konstitusional yang dapat dilakukan untuk melakukan penataan kembali lembagalembaga non-struktural yang dibentuk undang-undang adalah dengan melakukan revisi parsial terhadap ketentuan/pasal mengenai pembentukan lembaga yang bersangkutan dan mengatur konsekuensi atas penataan tersebut. Mekanisme seperti ini menuntut diadakan revisi parsial terhadap semua undang-undang yang mengandung pengaturan pembentukan Lembaga Non-Struktural sehingga pendekatan seperti ini akan sulit dilakukan karena harus melalui revisi terhadap banyak undang-undang melalui mekanisme pembahasan dan proses yang rumit dan panjang. Akibatnya, proses ini berlarut-larut dan dapat berakibat timbulnya ketidakpastian dalam pelaksanaan tugas lembaga-lembaga non-struktural tersebut. Pendekatan lain adalah dengan menyusun satu undang-undang baru yang pada intinya adalah memuat aturan mengenai pembentukan dan penataan lembaga-lembaga
70
NEGARAWAN Jurnal Sekretariat Negara RI | No. 18 | November 2010
non-struktural. Undang-undang ini dapat dinamakan “Undang-Undang Pembentukan dan Penataan Lembaga NonSruktural”. Dalam undang-undang ini diatur mekanisme dan persyaratan pembentukan sebuah Lembaga Non-Struktural dan mengatur juga mengenai penataan Lembaga Non-Struktural yang ada yang telah dibentuk dalam berbagai undangundang serta mengatur konsekuensi atau akibat hukum dari penataan tersebut. Melalui undang-undang tersebut, dengan sendirinya dapat merevisi ketentuan-ketentuan mengenai Lembaga Non-Struktural yang telah ada dalam berbagai undang-undang yang berlaku. Pendekatan ini tentunya lebih mudah dilakukan untuk menghindari proses revisi parsial terhadap semua undang-undang yang mengatur Lembaga Non-Struktural yang telah ada. Sedangkan untuk Lembaga Non-Struktural yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang seperti Peraturan Pemerintah dan kebijakan eksekutif dalam bentuk Keputusan Presiden, persoalannya lebih sederhana. Proses penataan ulang lembaga-lembaga ini dapat diserahkan sepenuhnya pada tindakan Pemerintah dan Presiden untuk melakukan revisi atau penggantian terhadap peraturan pemerintah atau Keppres yang sudah ada. Tentunya, dalam melakukan revisi peraturan perundangundangan ini tetap tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan organ konstitusional sebagai organ negara di luar organ utama yang ditentukan UUD adalah sesuatu yang sah, bahkan dalam perkembangan organisasi negara yang modern dalam banyak keberadaan organ yang demikian hal sangat diperlukan. UUD memberikan kebebasan dan tidak membatasi pembentukan organ-organ yang demikian dan sangat tergantung pada kebutuhan pelaksanaan fungsi negara yang efektif. Demikian juga mekanisme pembentukan maupun penataan organ negara yang demikian, termasuk Lembaga Non-
NEGARAWAN Jurnal Sekretariat Negara RI | No. 18 | November 2010
71
struktural tidak secara tegas diatur dalam UUD. Walaupun demikian, mekanisme pembentukan maupun penataan lembaga yang demikian dapat mengikuti prinsip-prinsip konstitusi dan hukum administrasi, yaitu sebuah aturan atau norma termasuk suatu institusi hanya dapat dibatalkan atau diubah oleh institusi yang membentuknya, atau organ yang ada di atasnya atau organ yang lebih superior, atau oleh putusan pengadilan yang berwenang untuk itu.[]
DAFTAR PUSTAKA Jimly Asshiddiqqie, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York. Logeman, J.H.A., 1948. Over de theorie van een stellig staatsrecht, diterjemahkan oleh Makkatutu dan J.C. Pangkerego: Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Iktiar BaruVan Hoeve, Jakarta. Rhodes, R. A. W., 1997. Understanding Governance, Open University Press, Buckingham and Philadelphia.
72
NEGARAWAN Jurnal Sekretariat Negara RI | No. 18 | November 2010