Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
Profesionalisasi Tenaga Kependidikan A. Pengertian Profesi Secara harfiah kata profesi berasal dari kata profession (Inggris) yang berasal dari bahasa Latin profesus yang berarti mampu atau ahli dalam suatu bentuk pekerjaan” (Sanusi, 1987 : 18). Dalam Webster’s New World Dictionary ditemukan bahwa profesi merupakan “suatu pekerjaan yang menuntut pendidikan tinggi, dalam liberal art’s atau scince dan biasanya meliputi pekerjaan mental yang ditunjang oleh kepribadian dan sikap profesional”. Vollmer dan Mill yang dikutip Peter Jarvis (1983 : 21) menyatakan bahwa profesi adalah : suatu pekerjaan yang didasarkan atas studi intelektual dan latihan yang khusus, tujuannya untuk menyediakan pelayanan keterampilan atau advise terhadap yang lain dengan bayaran atau upah tertentu (a profession may perhaps be defined as an occupation based upon specialized intellectual study and training, the purpose of which is to supply skilled service or advice to other for a definite fee or salary). Lebih lanjut, Peter Jarvis mengutip pendapat Cogan (1983 : 21) profesi adalah suatu “keterampilan yang dalam prakteknya didasarkan atas suatu struktur teoritis tertentu dari beberapa bagian pelajaran atau ilmu pengetahuan”. Dengan demikian tidak semua pekerjaan dapat disebut suatu profesi, karena hanya pekerjaan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang dapat dikatakan profesi. Abin Syamsuddin (1996) mengartikan profesi sebagai suatu “pekerjaan tertentu yang menuntut persyaratan khusus dan istimewa
sehingga
meyakinkan
dan
memperoleh
kepercayaan
pihak
yang
memerlukannya”. Di dalam berbagai referensi, pengertian profesi dapat berbeda makna sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Pendekatan dari sisi sifat (trait) memandang profesi sebagai suatu yang memiliki seperangkat elemen inti atau embrio (a set of core element) yang membedakan dari jenis pekerjaan lain, artinya sifat profesi ditandai oleh seperangkat elemen inti. Dedi Supriadi (1998 : 95) memaknai profesi dengan menunjuk kepada suatu “pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab dan
1
Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
kesetiaan terhadap profesi”. Lebih lanjut Dedi menyatakan bahwa “suatu profesi tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih dan disiapkan untuk itu”. Dari perspektif sosiologis, profesi adalah suatu pekerjaan yang mengatur dirinya melalui suatu latihan wajib dan sistematis dan disiplin kesejawatan, yang didasarkan atas pengetahuan teknis yang spesialis, memiliki orientasi pelayanan dan bukan keuntungan serta dijunjung tinggi melalui kode etiknya. Merujuk kepada uraian di atas, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, yang didapat melalui pendidikan dan latihan tertentu, menuntut persyaratan khusus, memiliki tanggung jawab dan kode etik tertentu pula. Ciri/karakteristik pelayanan profesi ini adalah : adanya ikatan profesi, adanya kode etik, adanya pengendalian batas kewenangan dan adanya pengaturan hukum untuk mengontrol praktek. Greenwood (1957) menambahkan beberapa ciri lain yaitu adanya teori yang sistematis, otoritas, sangsi dari masyarakat, dan adanya budaya khusus. Wilensky (1964) menambahkan juga ciri profesi, yaitu pekerjaan penuh waktu, adanya pendidikan yang berhubungan dengan universitas. Suatu pekerjaan dianggap profesi, menurut Achmad Sanusi (1991) apabila memiliki fungsi dan signifikansi sosial secara krusial, memiliki keterampilan atau keahlian tertentu, dalam memperoleh pengetahuan dilakukan bersifat pemecahan masalah dengan menggunakan metoda ilmiah, didasarkan pada suatu disiplin ilmu tertentu yang jelas dan eksplisit, memiliki kode etik, membutuhkan masa pendidikan dan latihan yang lama, memiliki kebebasan untuk memberikan judgment, memiliki tanggung jawab otonomi dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Karakteristik lain tentang profesi diidentifikasi oleh Liebermen (1956) yaitu sebagai berikut : (1)
A unique, definite and essential (suatu pelayanan yang khas, tertentu dan mendasar, pelayanan yang dalam pelaksanaannya dapat diidentifikasi dari pelayanan lain);
2
Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
(2)
An emphasis upon intellectual techniques in performing its service (suatu yang menekankan atas teknik-teknik intelektual dalam pelayanannya);
(3)
A long period of specialized training (profesi ditempuh melalui latihan dalam periode waktu yang panjang);
(4)
A broad range of autonomy for both the individual practitioners and occupation group as a whole (suatu lapangan ekonomi yang luas baik bagi para individuindividu praktisi maupun bagi kelompok kerja sebagai suatu keseluruhan);
(5)
As acceptance by practitioners of road personal responsibility for judgment made and acts performed with in the scope of profession autonomy (sebagai penerimaan oleh praktisi-praktisi atas tanggung jawab personal yang luas terhadap keputusan yang dibuat dan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam ruang lingkup otonomi profesional);
(6)
An emphasis upon the service to be rendered rather than the economic gain to the practitioners as the basis for organization and performance of the social service delegated to the occupational group (suatu penekanan atas pelayanan yang diberikan daripada ganjaran ekonomis dan penampilan pelayanan sosial terhadap kelompok kerja);
(7)
A comprehensive self governing organization of practitioners (suatu organisasi praktisi yang menyeluruh dalam mengelola organisasi secara mandiri);
(8)
A code of ethics which has been classified and interpreted without ambiguous and doubtful points (suatu kode etik yang telah diklasifikasi dan ditafsirkan dengan pengertian yang tidak kabur).
Glenn Langford (1978 : 6) mengemukakan ciri profesi sebagai berikut : (1)
Payment (bersifat bayaran);
(2)
Knowledge and skill (memiliki pengetahuan dan keterampilan yang luas);
(3)
Responsibility purpose (memiliki tanggung jawab sebagai agen, pribadi, sosial dan tanggung jawab sebagai pengembang misi untuk mencapai tujuan;
(4)
The profession ideal services (memberi pelayanan yang tepat);
(5)
Unity (memiliki suatu kesatuan dalam upaya mencapai tujuan);
(6)
Recognition (memperoleh pengakuan dari masyarakat).
3
Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
Dalam dunia pendidikan beberapa referensi tentang sifat-sifat atau ciri-ciri profesi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan profesi pendidikan datang dari Oteng Sutisna (1987) yang mengambil dari buku tahunan Persatuan Administratur Sekolah Amerika Serikat, menjelaskan bahwa profesi itu adalah : (1)
Berbeda dengan pekerjaan lain, karena memiliki sejumlah pengetahuan yang unik yang dikuasai dan dipraktekkan oleh para anggotanya;
(2)
Memiliki suatu ikatan yang kuat terdiri dari para anggotanya dan aktif mengatur syarat-syarat memasuki profesi;
(3)
Memiliki kode etik yang memaksa;
(4)
Memiliki literatur sendiri, walaupun ia mungkin menimba kuat dari banyak disiplin akademis untuk isinya;
(5)
Biasanya memberikan jasa-jasa kepada masyarakat dan digerakkan oleh cita-cita yang mengatasi tujuan-tujuan mementingkan diri sendiri semata-mata;
(6)
Tidak hanya personal tetapi juga dilihat demikian oleh masyarakat. Selanjutnya Oteng Sutisna menyimpulkan bahwa profesi yang ideal itu harus
memiliki : (1) Suatu dasar ilmu atau teori sistematis; (2) Kewenangan profesional yang diakui oleh klien; (3) Sangsi dan pengakuan masyarakat akan keabsahan kewenangannya; (4) Kode etik yang regulative; (5) Kebudayaan profesional; (6) Persatuan profesi yang kuat dan berpengaruh. Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat, ciri atau karakter profesi adalah : (1) Profesi membutuhkan waktu pendidikan dan latihan yang khusus dan memadai; (2) Suatu pekerjaan yang khas dengan keahlian dan keterampilan tertentu; (3) Menurut kemampuan kinerja intelektual; (4) Mempunyai konsekwensi memikul tanggung jawab pribadi secara penuh; (5) Kinerja lebih mengutamakan pelayanan daripada imbalan ekonomi; (6) Ada sangsi jika terdapat pelanggaran; (7) Memiliki kebebasan untuk memberikan judgment; (8) Ada pengakuan dari masyarakat; (9) Memiliki kode etik dan asosiasi profesional.
4
Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
B. Konsep Profesionalisasi Profesional adalah kata benda dari profesi, merupakan lawan kata dari amateur yang berkaitan dengan seseorang yang menerima bayaran atas jasa pekerjaannya. Pengertian lain adalah seseorang yang mempraktekkan suatu profesi dan seseorang yang dipandang sebagai ahli dalam suatu cabang ilmu (one who is regarded an expert since he has mastery of a specific branch of learning). Jadi seseorang yang mempraktekkan suatu pekerjaan yang diterima sebagai status profesional, maka ia adalah seorang yang ahli dari cabang ilmu yang digelutinya, dengan demikian lembaga profesional yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk mengawasinya. Seorang yang profesional akan senantiasa terus-menerus mencari kesempurnaan (mastery) dari cabang ilmu yang ia kuasai dan melakukan pekerjaan dengan itu, sehingga ia akan lebih sempurna dalam memberikan pelayanan kepada publiknya. Oleh karena itu, seseorang yang menjadi profesional/ahli seharusnya ia terus menerus meningkatkan mutu pengetahuannya sesuai dengan bidang pekerjaan yang ia geluti, ini sesuai dengan pendapat Peter Jarvis (1983 : 27) “In order to be master of branch of learning it is essential for a practitioner to continue his learning after initial education and some professions have institutionalized education”. Selanjutnya Jarvis menegaskan bahwa seorang profesional adalah yang berikhtiar untuk menjadi ahli serta melaksanakan ilmu pengetahuannya dalam pekerjaannya secara efektif (one who endeavor to have mastery of and to apply effectively that knowledge upon which his occupations is based). Untuk menjadi profesional harus melalui pendidikan dan atau latihan yang khusus. Pendidikan profesional adalah suatu pendidikan yang mempersiapkan peserta didik dengan panggilan atau pekerjaan profesional. Profesionalisasi berasal dari kata professionalization yang berarti kemampuan profesional. Dedi Supriadi (1998) mengartikan profesionalisasi sebagai pendidikan prajabatan dan/atau dalam jabatan. Proses pendidikan dan latihan ini biasanya lama dan intensif. Menurut Eric Hoyle (1980) konsep profesionalisasi mencakup dua dimensi yaitu : “…..the improvement of status and the improvement of practice”. Pendapat ini mengemukakan bahwa dimensi yang pertama meliputi upaya yang terorganisir untuk
5
Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
memenuhi kriteria profesi yang ideal dan bila telah mencapai tingkatan profesi yang sudah mapan, maka upaya tersebut adalah mempertahankan serta membina posisi yang telah mapan itu. Profesionalisasi dalam dimensi ini mengandung implikasi untuk meningkatkan periode latihan bagi anggota profesi yang memiliki kualitas sehingga terlihat jelas batas yang berprofesi dan berhak melaksanakan profesinya secara resmi dengan tidak, selanjutnya mempunyai implikasi dalam meningkatkan kontrol terhadap aktivitas-aktivitas profesi dan kontrol atas latihan yang dilakukan anggota profesi. Dimensi kedua menurut Hoyle adalah penyempurnaan pelaksanaan (improvement of practice), meliputi penyempurnaan keterampilan secara terus menerus, serta pengetahuan dari pelaksanaannya. Karena itu konsep profesionalisasi dapat disamakan dengan pembinaan profesi (professional development). C. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan Secara normatif, Pasal 20 UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen menandaskan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: (a) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; (b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (c) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; (d) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan (e) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Lebih lanjut Pasal 28 PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjabarkan bahwa: (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional;
6
Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
(2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: (a) Kompetensi pedagogik; (b) Kompetensi kepribadian; (c) Kompetensi profesional; dan (c) Kompetensi sosial; (4) Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan; (5) Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pandangan yang ideal mengenai profesionalisme guru, direfleksikan dalam citra guru masa depan sebagaimana dikemukakan oleh Sudarminta (1990), yaitu guru yang: (1) sadar dan tanggap akan perubahan zaman; (2) berkualifikasi profesional;(3) rasional, demokratis dan berwawasan nasional; (4) bermoral tinggi, beriman. Sadar dan tanggap akan perubahan zaman artinya, pola tindak keguruannya tidak rutin, maju dalam penguasaan dasar keilmuan dan perangkat instrumentalnya. Jadi guru tersebut diharapkan menguasai daya foresight, intellectual coriosity, dan kemampuan berpikir lateral. Guru profesional yaitu guru yang tahu mendalam tentang apa yang diajarkan, mampu mengajarkannya secara efektif, efisien, dan berkepribadian mantap. Guru yang bermoral tinggi dan beriman tingkah lakunya digerakkan oleh nilai-nilai luhur. Syah (1995) memperinci kompetensi profesional guru ke dalam tiga aspek, yaitu: (1) kompetensi kognitif; (2) kompetensi afektif; dan (3) kompetensi psikomotorik. Aspek pertama meliputi penguasaan terhadap pengetahuan kependidikan, pengetahuan materi bidang studi yang diajarkan, dan kemampuan mentransfer pengetahuan kepada para siswa agar dapat belajar secara efektif dan efisien.
7
Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
Kompetensi kedua yaitu sikap dan perasaan diri yang berkaitan dengan profesi keguruan, yang meliputi self concept, self efficacy, attitude of self-acceptance dan pandangan seorang guru terhadap kualitas dirinya. Sedangkan aspek yang disebut terakhir -kompetensi psikomotorik- meliputi kecakapan fisik umum dan khusus seperti ekspresi verbal dan nonverbal. Johnson sebagaimana dikutip Sanusi dkk (1991) mengetengahkan tiga aspek performansi guru, yaitu : (a) Kemampuan profesional yang mencakup : (1) penguasaan pelajaran yang terdiri atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan dari bahan yang diajarkan itu; (2) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan; (3) penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa. (b) Kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. (c) Kemampuan personal guru, mencakup : (1) penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya; (2) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogianya dianut oleh seorang guru; (3) penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya. P3G Depdikbud (1980) merumuskan sepuluh kompetensi dasar guru, yang meliputi kemampuan-kemampuan dalam hal : (1) menguasai bahan ajar; (2) mengelola program belajar mengajar; (3) mengelola kelas; (4) menggunakan media dan sumber pengajaran; (5) menguasai landasan-landasan kependidikan; (6) mengelola interaksi belajar mengajar; (7) menilai prestasi belajar siswa; (8) mengenal fungsi dan program pelayanan BP; (9) mengenal dan ikut menyelenggarakan administrasi sekolah; dan (10) memahami prinsip-prinsip penelitian pendidikan dan menafsirkannya untuk pengajaran. Aktualisasi profesi guru dalam proses pembelajaran merupakan hal paling pokok dalam menjawab isu-isu pokok pendidikan dewasa ini. Pelaksanaan pekerjaan dalam bidang ini secara garis besar terdiri atas tiga tahapan: (1) tahap kesiapan guru untuk melakukan tugas yang ditunjukkan dengan perencanaan pengajaran; (2) tahap
8
Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
pelaksanaan prosedur pengajaran berdasarkan perencanaan yang telah dipersiapkan; dan (3) tahap ketiga berkaitan dengan kemampuan guru dalam membina hubungan antarpribadi. Tahap
perencanaan
pengajaran
meliput
aspek-aspek:
(1)
rencana
pengorganisasian bahan pengajaran; (2) pengelolaan pengajaran; (3) rencana pengelolaan kelas; (4) penggunaan media dan sumber belajar; dan (5) rencana penilaian prestasi. Tahap pelaksanaan prosedur terdiri atas aspek-aspek : (1) penggunaan metode, media, dan bahan pengajaran; (2) berkomunikasi dengan siswa; (3) mendemonstrasikan metode; (4) mendorong keterlibatan siswa; (6) mengorganisasikan waktu, ruang, dan perlengkapan pengajaran; (7) melakukan evaluasi. Tahap pembinaan hubungan antarpribadi dapat diamati dari aspek-aspek: (1) pengembangan sikap positif terhadap siswa; (2) sikap terbuka dan fleksibel; (3) kesungguhan dan kegairahan mengajar; (4) mengelola interaksi perilaku di dalam kelas. Sejalan dengan uraian di atas, Wotruba dan Wright (1975) mengidentifikasi enam karakteristik mengajar yang efektif. Pertama, pengorganisasian yang baik dari pokok bahasan dan mata pelajaran. Organisasi yang baik dari pokok bahasan ditunjukkan dalam tujuan-tujuan, materi pelajaran, tugas-tugas, aktivitas kelas, dan ujian. Tahapan penyiapan kelas dan efektivitas penggunaan waktu di dalam kelas, juga merupakan indikator dari organisasi yang baik dari pokok bahasan dan mata pelajaran. Riset menunjukkan bahwa pengorganisasian mata pelajaran mempunyai hubungan dengan cara siswa belajar. Apabila pelajaran diberikan secara terorganisasi akan dapat membantu mengembangkan kemampuan belajar siswa, maka dapat dinyatakan bahwa organisasi bahan pengajaran yang baik memberikan kontribusi terhadap efektivitas mengajar. Kedua, komunikasi yang efektif. Kemampuan guru termasuk penggunaan audiovisual atau teknik-teknik lain untuk menarik perhatian siswa, merupakan karakteristik mengajar yang penting untuk dievaluasi.
9
Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
Keahlian
berkomunikasi
meliputi
kemampuan-kemampuan
menjelaskan
presentasi, kelancaran verbal, interpretasi gagasan-gagasan abstrak, kemampuan berbicara yang baik dan kemampuan mendengarkan. Dapat berkomunikasi dengan baik merupakan karakteristik penting bagi mengajar yang efektif. Karena, komunikasi yang efektif sangat penting untuk kelas-kelas yang besar, seminar, laboratorium, grup-grup diskusi kecil, sebaik dalam percakapan orang perorang. Ketiga, pengetahuan dari —dan perhatian pada— bahan pelajaran serta proses pembelajaran. Guru harus mengetahui bahan pelajaran yang mereka bina agar mereka dapat mengorganisasikannya secara tepat sehingga dapat mengkomunikasikannya secara tepat pula. Seorang pengajar penting untuk mencurahkan perhatian dan pemikirannya terhadap disiplin ilmunya, termasuk yang didapatkannya dari penelitian. Pengetahuan pengajar terhadap materi pelajaran direfleksikan juga dalam kemampuannya memilih buku teks, bahan bacaan dan daftar referensi, isi pengajaran serta silabus pelajaran. Keempat, sikap yang positif kepada siswa. Sikap-sikap yang disukai siswa di antaranya ialah pemberian pertolongan oleh pengajar atau instruktur ketika siswa mengalami kesulitan berkenaan dengan materi pelajaran, pemberian kesempatan mengajukan pertanyaan atau mengekspresikan opini siswa, dan kepedulian terhadap hal-hal yang dipelajari siswa. Sikap positif terhadap siswa dicerminkan pula dalam dukungan dan kepercayaan diri siswa. Mengajar yang efektif sesungguhnya melibatkan harapan-harapan yang tepat, pembimbingan dan dorongan kepada siswa. Kelima, adil dalam ujian dan penilaian. Sejak awal pembelajaran, siswa harus diberitahu mengenai jenis-jenis penilaian seperti karya tulis, proyek, ujian, kuis-kuis, yang akan dijumlahkan pada akhir perkuliahan. Keterkaitan masing-masing materi yang tercakup dalam pelajaran merupakan aspek penting dari keadilan. Konsistensi penting bagi tujuan pelajaran, isi pelajaran, ujian, kuis-kuis, dan penilaian. Batas waktu dan manfaat umpan balik mengenai kinerja siswa, juga merupakan elemen penting dari keadilan sebagaimana kesesuaian antara beban kerja dengan kredit
10
Fikri Aulia Pascasarjasana UNNES
yang diterima. Umpan balik dalam bentuk peringkat dan komentar tidak hanya dapat menjadi indikator pencapaian pengetahuan relatif siswa terhadap dibanding rekan sekelasnya, tetapi harus dapat pula menjadi indikator pertumbuhan pribadi. Keenam, fleksibel dalam pendekatan mengajar. Pengajar yang jarang mencoba pendekatan instruksional yang beragam mengindikasikan kehilangan semangat mengajar. Variasi
pendekatan instruksional
berguna
dalam
menyempurnakan
bermacam-macam peraturan dan tujuan-tujuan pelajaran, serta dalam merespons keragaman latar belakang individual siswa. Dengan memvariasikan langkah-langkah instruksional yang mempertimbangkan keragaman siswa akan memungkinkan pencurahan perhatian yang lebih baik dari siswa terhadap materi pelajaran.
Sumber Rujukan : Mudyaharjo, Redja. 2009. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Saud, Udin Syaefudin. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta. Uno, Hamzah B. 2007. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
11