PRODUKTIVITAS AYAM PEDAGING PADA KETINGGIAN TEMPAT PEMELIHARAAN BERBEDA DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
BAHRI SYAMSURYADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produktivitas Ayam Pedaging pada Ketinggian Tempat Pemeliharaan Berbeda di Provinsi Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Bahri Syamsuryadi NIM D151140371
RINGKASAN BAHRI SYAMSURYADI. Produktivitas Ayam Pedaging pada Ketinggian Tempat Pemeliharaan Berbeda di Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh RUDI AFNAN, IRMA ISNAFIA ARIEF dan DAMIANA RITA EKASTUTI. Kondisi topografi yang beragam di beberapa wilayah di Sulawesi Selatan memiliki pengaruh terhadap karakteristik mikroklimatik suatu wilayah dan dapat mempengaruhi keadaan hidrologis di permukaan bumi. Perbedaan mikroklimat pada satu wilayah memberikan dampak negatif terhadap peternakan ayam pedaging diantaranya gangguan keseimbangan panas tubuh, nafsu makan dan metabolisme energi. Mikroklimat dalam kandang yang tidak dapat dikontrol pada sistem perkandangan terbuka dipengaruhi oleh perubahan lingkungan sekitar kandang. Tinggi dan rendah suhu lingkungan dikombinasikan dengan kecepatan angin yang tidak normal dalam kandang memiliki efek negatif pada produktivitas ayam. Peningkatan produksi panas di dalam tubuh akibat perubahan lingkungan berpengaruh terhadap kondisi fisiologi dan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas daging. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin terhadap performa, karakteristik hematologis dan kualitas daging. Sebanyak 144 ekor ayam pedaging yang terdiri dari 72 ekor jantan dan 72 ekor betina dimasukkan ke dalam kandang petak bambu (pen) berukuran 1x1 m2. Setiap pen diisi 8 ekor ayam pedaging dengan jenis kelamin yang sama. Pengambilan data performa dan mikro klimatik dimulai pada umur 14 hari sampai 42 hari. Lokasi kandang pemeliharaan dibedakan berdasarkan ketinggian tempat, yakni ketinggian 50 mdpl di Kecamatan Segeri Kab. Pangkep, ketinggian 300 mdpl di Kecamatan Pallaka Kab. Bone dan ketinggian 500 mdpl di Kecamatan Ulaweng Kab. Bone. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan perlakuan ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin ayam dan dilakukan uji least square means apabila terdapat perbedaan yang nyata Hasil penelitian menunjukkan ayam yang dipelihara pada ketinggian tempat pemeliharaan 500 mdpl menunjukkan bobot badan dan hematologis yang nyata lebih tinggi (P<0.01) dari ketinggian 300 mdpl dan 50 mdpl. Jenis kelamin jantan tingkat kualitas fisik dan mikrobiologi daging bagian paha, pada ayam yang dipelihara pada ketinggian 500 mdpl mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya ketinggian tempat lokasi penelitian namun masih berada dalam batasan normal. Hasil penelitian ini menyimpulkan performa yang lebih baik dapat dicapai apabila ayam pedaging dipelihara pada dataran tinggi dengan jenis kelamin jantan. Kata kunci :
Hematologi, jenis kelamin, ketinggian tempat pemeliharaan, kualitas daging, performa.
SUMMARY BAHRI SYAMSURYADI. Productivity of Broiler on Different Rearing Elevation in the province of South Sulawesi. Supervised by RUDI AFNAN, IRMA ISNAFIA ARIEF and DAMIANA RITA EKASTUTI The condition of topography in some areas of South Sulawesi has influence on microclimatic characteristics of area and affects the hydrological state of the earth's surface. Differences microclimates in the region cause some negative impact on broiler farms such as disturbances of body heat balance, appetite and energy metabolism. Uncontrolled microclimates at an open cage systems are affected by changes in the environment surrounding the cage. The change of environment temperature combined with abnormal wind speed in the cage cause a negative effect on chickens productivity. The increase of heat production in the body due to environmental changes affectson the physiology condition which is a factor that affect meat quality. This study was conducted to study the relationship of rearing elevationand sex of chickens on performance, hematologic characteristics and meat quality. Total of 144 broiler chickens consisted of 72 males and 72 females were caged at bamboo cage (pen) with size 1x1 m2. Each pen was filled 8 broiler chickens with the same sex. The data of performance and micro-climatic were collected at the age of 14 days to 42 days. The cage location distinguished by elevation that were the elevation of 50 meters above sea level in Sub District Segeri, District Pangkep, elevation of 300 meters above sea level in Sub District Pallaka, District Bone and elevation of 500 meters above sea level in Sub District Ulaweng, District Bone. This study conducted using factorial completely randomized design (CRD) with the treatments were rearing elevation and sex of chickens. The least square means test was concucted if there was a significant result. The results showed that body weight and haematological of the chickens kept at elevation of 500 meters above sea level were significantly higher (P <0.01) than the chickens kept atelevation of 300 meters above sea level and 50 meters above sea level. Physicaland microbiological quality of thigh meat on male chickens kept at elevation of 500 meters above sea level decreased along with the increasing of elevation but still within normal limits. The results of this study concluded that better performance can be achieved when broilers reared on a plateau with the male sex. Key words: Hematology, meat quality, performance, rearing elevation, sex
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpaizinIPB
PRODUKTIVITAS AYAM PEDAGING PADA KETINGGIAN TEMPAT PEMELIHARAAN BERBEDA DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
BAHRI SYAMSURYADI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji luar komisi pada ujian tesis : Dr Ir Rukmiasih, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH subhanahu wa ta’ala atas segala karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Produktivitas Ayam Pedaging pada Ketinggian Tempat Pemeliharaan Berbeda di Provinsi Sulawesi Selatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada kepada Bapak Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr sebagai ketua komisi pembimbing, serta Ibu Dr Irma Isnafia Arief, SPt MSi dan Ibu Dr drh Damiana Rita Ekastuti, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi masukan, arahan, perhatian dan nasihatnya selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan dan Staf PT Satwa Indo Perkasa yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh materi penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini hingga selesai. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, kepada Dosen-Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB yang telah membagi ilmu, memberikan arahan dan bimbingan serta staf kepegawaian yang telah membantu penulis dalam berbagai hal selama penulis menjalankan dan menyelesaikan studi. Terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi memberikan Beasiswa Fresh Garaduate 2014 yang talah membantu penulis selama studi dan Lembaga Pengelolah Dana Pendidikan Kementerian Keuangan memberikan Beasiswa Tesis yang sangat membatu penulis dalam menyelesaikan penelitian . Kepada Ayahanda, Ibunda dan Kakak serta adik, penulis mengucapkan teima kasih atas perhatian, kasih sayang, doanya yang tiada henti serta selalu memberikan semangat, yang menjadi kekuatan bagi penulis selama menyelesaikan studi. Semoga karya ilmiah ini berkah dan bermanfaant bagi kita semua.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Stres Panas pada Ayam Pedaging
4 4
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian Prosedur Pengambilan Data Peubah yang Diamati Rancangan Percobaan
5 5 5 5 6 7 7
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Respon Fisiologi Status Hematologi Performa Kualitas Daging
8 8 9 11 13 14
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
19 19 19
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
25
DAFTAR TABEL 1. Rata–rata suhu, kelembaban, THI dan kecepatan angin dalam kandang 2. Nilai rata–rata suhu rektal (oC) ayam ras pedaging dengan lingkungan pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda 3. Nilai rata–rata frekuensi panting menit-1 ayam ras pedaging dengan lingkungan pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda 4. Nilai rata–rata hematologis ayam ras pedaging dengan lingkungan pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda 5. Nilai rata–rata performa ayam ras pedaging dengan lingkungan pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda 6. Nilai rata–rata kualitas fisik daging ayam ras pedaging (paha) dengan lingkungan pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda 7. Nilai rata–rata kimia daging ayam ras pedaging (paha) dengan lingkungan pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda 8. Nilai rata–rata Total Plate Count (log cfug ram-1) ayam ras pedaging (paha) dengan lingkungan pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda 9. Nilai rata–rata hedonik daging ayam ras pedaging (paha) pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda
8 9 10 11 13 15 16
17 18
DAFTAR GAMBAR 1 Gambaran umum penelitian 2 Suhu nyaman (themonetral zone) pada ayam pedaging
3 4
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis ragam suhu rektal dan panting pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda 2 Hasil analisis ragam konsumsi pakan, konsumsi minum, bobot badan dan konversi pakan pada ketinggian tempat pemeliharaan dan Jenis Kelamin Berbeda 3 Hasil analisis ragam eritrosit, leukosit, hematokrit dan hemoglobin pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda 4 Hasil analisis ragam pH, daya putus daging, susut masak, daya ikat air pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda 5 Hasil analisis ragam kadar air, protein, lemak, abu dan karbohidrat pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda 6 Hasil analisis ragam total kontaminasi bakteri pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda
26
26 27 28 29 29
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Di era modern seperti saat ini, kebutuhan masyarakat semakin meningkat, demikian juga halnya kebutuhan akan pangan, khususnya konsumsi daging ayam. Konsumsi daging ayam per kapita meningkat sebesar 4.6%, dari 3.076 sampai 3.650 kg dari tahun 2009 sampai 2013 (SSEN 2013). Hal ini berpengaruh terhadap peternakan ayam di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan. Beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan berpotensi dalam pengembangan peternakan ayam pedaging. Ditjenak (2013), menyatakan total populasi ayam pedaging di Sulawesi Selatan mencapai 50 144 459 ekor tahun-1 yang tersebar di beberapa kabupaten. Kondisi topografi yang beragam di beberapa wilayah memiliki pengaruh terhadap karakteristik mikroklimatik suatu wilayah dan dapat mempengaruhi faktor hidrologis di permukaan bumi. Perbedaan mikroklimat pada satu wilayah memberikan dampak negatif terhadap peternakan ayam pedaging diantaranya gangguan keseimbangan panas tubuh, nafsu makan dan metabolisme energi (Druyan et al. 2007). Suhu lingkungan yang ekstrim dapat menyebabkan ayam mengalami cekaman dan dapat mengakibatkan kematian. Mikroklimatik dalam kandang yang tidak dapat dikontrol pada sistem perkandangan terbuka mudah dipengaruhi oleh perubahan lingkungan sekitar kandang. Tinggi dan rendahnya suhu lingkungan dikombinasikan dengan kecepatan angin yang tidak normal dalam kandang memiliki efek negatif terhadap pertambahan berat badan, konversi pakan, kesehatan dan tingkat mortalitas (Blahova et al. 2007; Aksit et al. 2008). Peningkatan produksi panas di dalam tubuh akibat perubahan lingkungan berpengaruh terhadap kondisi fisiologi (Sohail et al. 2010; Sohail et al. 2012) dan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas daging yang dapat mempercepat metabolisme glikolitik yang mengakibatkan pucat dan berlendir pada daging ayam (McKee dan Sams 1997; Sandercock et al. 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2012) dengan memanipulasi suhu dalam kandang menjadi standar normal 23 oC, konstan 34 oC dan suhu 23-36 o C telah membuktikan ayam dalam kondisi panas dengan tanda-tanda stres berdasarkan berat badan, kualitas fisik dan kimia pada otot dada ayam lebih rendah dibandingkan suhu kandang yang normal. Ozkan et al. (2010) melaporkan ayam yang dipelihara selama 42 hari pada ketinggian 1720 mdpl dengan temperatur 22-24 oC memiliki nilai berat badan dan konsumsi pakan yang lebih tinggi dibandingkan daerah pesisir dengan suhu berkisar 22-24 oC begitupun dengan nilai hematokrit 6.7% lebih tinggi pada daerah tinggi. Perbedaan produktivitas pada ayam yang dipelihara pada ketinggian lokasi berbeda dilaporkan tergantung pada suhu dan kelembaban selama pemeliharaan yang merupakan faktor utama dalam pelepasan panas dalam tubuh ayam (Lin et al. 2005). Namun demikian, belum ditemukan informasi mengenai besarnya perbedaan produktivitas ayam pedaging dengan jenis kelamin berbeda apabila dipelihara pada kondisi lingkungan berbeda di Sulawesi Selatan.
2 Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Mempelajari hubungan ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin terhadap performa, karakteristik hematologis dan kualitas daging. 2. Menganalisis faktor ketinggian tempat pemeliharaan terhadap performa, karakteristik hematologis dan kualitas daging 3. Menganalisis faktor jenis kelamin terhadap performa, karakteristik hematologis dan kualitas daging. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menghasilkan informasi perbedaan performa, karakteristik hematologis dan kualitas daging, yang dipelihara pada lingkungan pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan lokasi pemeliharaan dan perbaikan aspek manajemen pemeliharaan ayam pedaging untuk menghasilkan performa akhir dapat yang optimal. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tahap awal adalah melakukan analisis ketinggian tempat pemeliharan ayam pedaging dengan data mikro klimatik diantaranya suhu, kelembaban, THI (temperature humidity index) dan kecepatan angin sebagai data deskriptif. Performa ayam ras pedaging dianalisis pada konsumsi pakan, air minum, pertambahan berat badan dan karakteristik hematologis (jumlah eritrosit, leukosit, hemoglobin dan hematokrit). Analisis data dilakukan pada lokasi pemeliharaan berdasarkan ketinggian tempat yang terbagi atas ketinggian 50 mdpl, ketinggian 300 mdpl dan ketinggian 500 mdpl. Penelitian tahap akhir melakukan analisis kualitas daging dengan mengamati uji fisik berupa derajat keasaman (pH), daya ikat air (water-holding capacity), susut masak (cooking loss), keempukan (tenderness), organoleptik dan proksimat. Uji mikrobiologi dengan mengamati TPC (total plate count). Gambaran umum penelitan dapat dilihat pada Gambar 1.
3
Ketinggian 50 mdpl
Ketinggian 500 mdpl
Ketinggian 300 mdpl
Populasi dalam Kandang 8 ekor Jantan
8 ekor Betina
8 ekor Jantan
8 ekor betina
8 ekor Jantan
8 ekor betina
Peubah
1. 2. 3. 4.
Mikro Klimat Suhu Kelembaban THI (temperaturehumidity index) Kecepatan angin
Fisiologi & Performa 1. Suhu rektal 2. Behaviour (panting) 3. Hematologis 4. Konsumsi air minum 5. Konsumsi pakan 6. Bobot badan
Kualitas Daging 1. Fisik daging 2. Kimia daging 3. Mikrobiologi daging 4. Organoleptik
Gambar 1. Gambaran umum penelitian
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Stres Panas Ayam Ras Pedaging Ayam adalah salah satu hewan homeotermik yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuhnya relatif stabil pada suatu kisaran suhu yang sempit walaupun terjadi perubahan suhu yang besar pada lingkungan. Zona suhu nyaman (Thermoneutral zone) pada ayam broiler dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram zona suhu nyaman (themonetral zone) pada broiler (Kuczynski 2002) Ayam pedaging dapat hidup nyaman pada suhu lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya. Ayam pedaging berumur 3-5 minggu memerlukan suhu lingkungan 18-23 oC. Peningkatan suhu harian yang ekstrim akan berakibat buruk terhadap kesehatan dan performa ayam. Menurut Austic (2000), peningkatan suhu lingkungan melebihi kisaran zona suhu kenyamanan menyebabkan stres pada ayam pedaging. Suhu lingkungan yang meningkat menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan pada ayam pedaging (Mashaly et al. 2004) dan kualitas daging (McKee dan Sams 1997). Penurunan pertumbuhan bobot badan berhubungan dengan penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air minum selama ayam mengalami cekaman panas (Cooper dan Washburn 1998). proses metabolisme pada suhu lingkungan panas akan melepaskan panas melalui proses evaporasi (penguapan melalui udara pernafasan) bahkan mengalami panting. Peningkatan suhu tubuh karena cekaman juga menyebabkan metabolisme tidak berjalan optimal karena energi panas yang dihasilkan dari metabolisme harus dibuang ke lingkungan. Panting merupakan salah satu respon ayam pedaging yang nyata akibat stres panas dan merupakan mekanisme evaporasi saluran pernafasan. North dan Bell (1990) menyatakan ayam mulai panting pada suhu lingkungan 29 oC atau
5 ketika suhu tubuh ayam mencapai 42 oC. Panting ayam pada suhu 25 oC dan 35 o C dengan kelembaban relatif 61% masing-masing 91 dan 129 kali. Ondrasovicova et al. (2008) melaporkan suhu lingkungan juga dapat mempengaruhi secara langsung fungsi beberapa organ tubuh seperti jantung dan alat pernafasan dan dapat menyebabkan meningkatnya hormon kortikosteron dan kortisol serta menurunnya hormon adrenalin dan tiroksin dalam darah. Menurut Farrel (1979), suhu lingkungan yang tinggi berpengaruh nyata terhadap fisiologis ayam terutama setelah ayam tersebut berumur lebih dari 3 minggu karena bulu penutup tubuh ayam telah lengkap.
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2015 melalui pengamatan lapangan dan laboratorium. Lokasi penelitian adalah perkandangan ayam pedaging perusahaan mitra di Kabupaten Bone dan Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Uji kualitas daging dilaksanakan di Laboratorium Balai Kesehatan Masyarakat Sulawesi Selatan. Uji karakteristik hematologis dilakukan di Laboratorium Fisiologi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar. Alat dan Bahan Penelitian Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, hygrometer, anemometer, spoit, tabung reaksi, timbangan digital, tempat pakan, tempat minum, kandang pemeliharaan, kamera dan seperangkat alat computer. Bahan Bahan utama dalam penelitian ini adalah ayam ras pedaging yang dipelihara di peternakan rakyat yang berada di Kecamatan Ulaweng dan Kecamatan Pallaka, Kabupaten Bone dan Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Prosedur Penelitian Sebanyak 144 ekor ayam ras pedaging dimasukkan ke dalam kandang petak bambu (pen) berukuran 1x1 m2 . Terdapat 6 buah pen di dalam kandang (depan, tengah dan belakang) dan tiap pen diisi 8 ekor ayam pedaging dengan jenis kelamin yang sama sebagai sampel. Pengambilan data performa dan mikro klimatik dimulai pada umur 14 hari sampai 42 hari. Lokasi kandang pemeliharaan dibedakan berdasarkan ketinggian tempat, yakni daerah ketinggian 50 mdpl (Kecamatan Segeri Kab. Pangkep), daerah ketinggian 300 mdpl (Kecamatan Pallaka Kab. Bone) dan ketinggian 500 mdpl (Kecamatan Ulaweng Kab. Bone). Dua ekor ayam masing–masing diambil secara acak dari setiap petak kandang pada hari ke-40 kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pengujian parameter hematologis. Pemotongan dilakukan di rumah pemotongan unggas pada hari ke-42. Sampel yang diambil dari bagian paha untuk uji kualitas daging (uji fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik).
6 Prosedur Pengambilan Data Mikro Klimatik a. Suhu Suhu diukur menggunakan termometer yang masing–masing dipasang dalam petak kandang (depan, tengah dan belakang) di dalam kandang. Pemasangan termometer berada 50 cm dari lantai kandang. Data diambil 3 kali dalam sehari, yaitu pukul 07.00 WITA, 12.00 WITA dan 17.00 WITA. b. Kelembaban Kelembaban diukur menggunakan higrometer yang masing-masing dipasang dalam petak kandang (depan, tengah dan belakang) di dalam kandang. Pemasangan higrometer berada 50 cm dari lantai kandang. Data diambil 3 kali dalam sehari yaitu pukul 07.00 WITA, 12.00 WITA dan 17.00 WITA. c. Suhu Basah dan Suhu Kering (THI) Suhu basah dan suhu kering atau THI diukur menggunakan termometer kering dan basah yang dipasang di masing–masing petak kandang. Pemasangan thermometer basah dan kering berada 50 cm dari lantai kandang. Data diambil 3 kali dalam sehari yaitu pukul 07.00 WITA, 12.00 WITA dan 17.00 WITA. Rumus menghitung THI (Tao and Xin 2003) adalah sebagai berikut: THI broiler = 0.85 Tdb + 0.15 Twb Keterangan : THI = temperature-humidity index (oC) Tdb = dry-buld termperature (oC) Twb = wet-buld temperature (oC) d. Kecepatan Angin Kecepatan angin diukur menggunakan anemometer pada masing–masing petak kandang. Pengukuran dilakukan pada ketinggian 50 cm dari lantai kandang. Data diambil 3 kali dalam sehari yaitu pukul 07.00 WITA, 12.00 WITA dan 17.00 WITA. Fisiologi & Performa a. Suhu rektal oC diukur menggunakan alat termometer rektal digital. Data suhu rektal diperoleh dengan memasukkan termometer rektal ke dalam rectum ayam broiler sedalam 2 cm selama 10 detik. Pengukuran dilakukan diambil sebanyak 3 kali. Hasil pengukuran kemudian dirata-ratakan. b. Behavior (panting) : Frekuensi panting dihitung selama satu menit untuk setiap perlakuan. . Pengukuran dilakukan diambil sebanyak 3 kali. Hasil pengukuran kemudian dirata-ratakan. c. Pengambilan sampel darah melalui vena brachialis menggunakan spoit dilakukan satu kali pada hari ke-40 pada masing-masing ayam dari tiap unit percobaan. Sampel darah kemudian dipindahkan ke dalam tabung vakum berantikoagulan potasium Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA). Pengamatan Hematologi meliputi jumlah eritrosit, leukosit (Sikar et al. 1984), hemoglobin dan hematokrit (Sastradipradja et al. 1989).
7 d. Konsumsi air minum (ml) diukur berdasarkan jumlah air minum yang diberikan setiap hari, dikurangi dengan jumlah air minum yang sisa pada pada hari itu. e. Konsumsi pakan (g) ditimbang berdasarkan jumlah pakan yang diberikan setiap minggu dikurangi jumlah pakan yang sisa pada minggu tersebut. f. Bobot badan akhir (g) yaitu penimbangan bobot badan ekor-1 pada akhir periode pemeliharaan (umur 42 hari). g. Konversi pakan yaitu menimbang jumlah pakan yang dikonsumsi selama penelitian dibagi dengan pertambahan berat badan yang diperoleh selama penelitian. Konversi pakan dihitung dengan rumus : Konsumsi Pakan (g) Konversi Pakan = Pertambahan berat badan (g) Kualitas Daging a. Komposisi kimia daging meliputi kadar air (metode oven), protein (metode Kjeldahl), lemak (metode Soxlet) dan karbohidrat (berdasarkan berat kering dan bahan organik) (Andarwulan et al. 2011). b. Sifat fisik daging meliputi derajat keasaman diuji menurut (AOAC 2005), daya ikat air, susut masak menggunakan metode (Soeparno 1998) dan keempukan menggunakan daging metode (Bowker et al. 2014 ). c. Kualitas mikroba daging meliputi total mikroba karkas ditentukan menggunakan acuan Dewan Standarisasi Nasional (SNI 2009). d. Uji organoleptik dilakukan dengan hedonic test menurut Setyaningsih et al. (. 2010) dengan jumlah panelis sebanyak 35 orang. Masing-masing panelis mendapat sampel daging dari semua perlakuan dan satu lembar kuesioner. Peubah yang diamati adalah tekstur, warna, aroma, dan rasa Peubah yang Diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah : 1. Mikro klimatik pada saat penelitian meliputi suhu, kelembaban, THI dan kecepatan angin. 2. Parameter fisiologis & performa meliputi suhu rektal, behavior (panting), dan nilai hematologis (Eritrosit, Hemoglobin, Hematokrit, Leukosit) serta konsumsi pakan, konsumsi air minum, bobot badan dan konversi pakan. 3. Kualitas daging ayam pedaging meliputi uji fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Rancangan Percobaan Analisa Data Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3x2 dengan 3 kali ulangan dan tiap ulangan berisi 8 ekor ayam. Faktor pertama adalah ketinggian tempat pemeliharaan (50 mdpl, 300 mdpl dan 500 mdpl). Faktor kedua adalah jenis kelamin terdiri atas jantan dan betina.
8 Model matematika yang digunakan yaitu : Yijk = µ + ai + bj + (ab)ij + €ijk Keterangan : Yijk µ ai bj (ab)ij €ijk
: Nilai pengamatan performa, karakteristik hematologis dan kualitas daging pada faktor ketinggian tempat taraf ke-i faktor jenis kelamin taraf k-j. : Nilai tengah umum (rata–rata umum pengamatan). : Pengaruh faktor ketinggian tempat taraf ke-i (i : 1,2,3) : Pengaruh faktor jenis kelamin taraf ke-j (j :1,2) : Pengaruh interaksi antara faktor ketinggian tempat ke-i dan faktor jenis kelamin ke-j. : Pengaruh galat percobaan ke-k dari kombinasi faktor ketinggian taraf ke-i, faktor jenis kelamin taraf ke-j.
Penelitian untuk parameter THI disusun secara deskriptif. Penelitian untuk uji organoleptik mutu hedonik disusun berdasarkan rancangan statistik non parametrik dengan metode Kruskal wallis. Hasil uji organoleptik disusun dalam score sheet (Walpole 1990). Data diolah menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Jika analisis menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati, maka dilanjutkan uji perbandingan berganda menggunakan uji Tukey (Steel dan Torrie 1995).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Hasil penelitian menunjukkan rata-rata suhu, THI dan kecepatan angin dalam kandang lebih tinggi pada daerah ketinggian 50 mdpl dibandingkan pada ketinggian 300 mdpl dan ketinggian 500 mdpl. Kelembaban yang merupakan konsentrasi uap air di udara lebih tinggi pada ketinggian 500 mdpl berkisar 72%. THI dan kecepatan angin merupakan salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi fisiologi ternak. Rata–rata suhu, kelembaban dan kecepatan angin dalam kandang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata–rata suhu, kelembaban, THI dan kecepatan angin dalam kandang Tempat pemeliharaan Mikro klimat 50 mdpl 300 mdpl 500 mdpl o Suhu ( C) 29.08±4.66 27.33±2.82 25.85±2.49 Kelembaban (%) 67.73±5.44 68.57±2.72 71.97±4.92 THI (oC) 28.78±4.45 27.03±2.72 25.62±2.22 Kecepatan angin (m/s) 1.79±0.65 1.53±0.32 1.23±0.31
Berdasarkan nilai suhu dan kelembaban udara dalam kandang tersebut, lingkungan tersebut berpotensi memberi cekaman fisiologis pada ayam pedaging. Beban panas yang lebih tinggi ditemukan pada ayam terpapar panas dari lingkungan 30 oC dibandingkan dengan ayam yang dipelihara pada kondisi suhu
9 lingkungan yang lebih rendah (20 oC). Perubahan panas pada lingkungan kandang sangat tergantung pada kondisi lingkungan udara di luar kandang seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin dan kepadatan kandang. Menurut Lin et al. (2006), ayam pedaging memiliki zona termonetral optimal berkisar 18-22 oC. Suhu tubuh yang semakin meningkat melebihi zona termonetral yang disebabkan oleh lingkungan memicu timbulnya stres panas. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan akan menurun pada ayam pedaging (Quinteiro-Filho et al. 2010; Yu et al. 2008). Zona nyaman pada ayam pedaging juga telah dievaluasi untuk menilai efisiensi produksi dengan menggunakan THI (Chepete et al. 2005). Nilai THI yang melebihi 20.8 °C pada ayam pedaging menurunkan performa dan peningkatan performa yang tidak seragam (Joseph et al. 2012). Suhu tubuh yang tinggi pada unggas secara signifikan akan meningkatkan nilai THI. Penurunan tingkat performa dan peningkatan suhu tubuh menggambarkan pentingnya kecepatan udara untuk menjaga kenyamanan dan efisiensi produksi. Kelembaban udara di dalam kandang yang tinggi menunjukkan udara yang ada di dalam kandang mengandung uap air yang tinggi. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh ketinggian tempat pemeliharaan tetapi, juga dihasilkan dari proses respirasi ternak. Kecepatan angin yang semakin meningkat pada siang dan sore hari dapat berfungsi mengalirkan udara bersuhu tinggi di dalam kandang ke tempat lain. Angin juga dapat membantu proses transfer panas dari ayam ke lingkungan dengan konveksi dan evaporasi. Menurut Beede dan Coolier (1986), cekaman panas pada ternak dapat direduksi dengan bantuan angin. Hasil penelitian menunjukkan pada dataran rendah (50 mdpl) memiliki nilai THI yang tinggi, tetapi diimbangi dengan kecepatan angin tinggi sehingga dapat mengurangi cekaman panas. Respon Fisiologis Ayam Suhu Rektal Hasil penelitian menunjukkan faktor lingkungan dan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap suhu rektal. Suhu rektal harian ayam selama penelitian masih relatif normal, yaitu berkisar 41.90-42.30 oC. Kisaran suhu rektal normal pada ayam ras pedaging untuk memperoleh performa yang optimal berkisar 35-38 oC (Ahmad et al. 2008 ). Penelitian ini menunjukkan suhu rektal cenderung lebih tinggi pada daerah ketinggian 50 mdpl (Tabel 2) yakni 42.25 oC dibandingkan pada daerah ketinggian 500 mdpl 42.03 oC. Hussain et al. (2011) melaporkan ayam pedaging berumur 26 hari yang dipelihara pada suhu lingkungan 22-26 oC memiliki suhu tubuh 40.91 oC, sedangkan pada suhu 28-33 o C memiliki suhu tubuh 41.24 oC. Tabel 2. Nilai rata–rata suhu rektal (oC) ayam pedaging pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda Tempat Pemeliharaan Jenis Rataan Kelamin 50 mdpl 300 mdpl 500 mdpl Jantan 42.20±0.10 41.90±0.34 41.90±0.35 42.00±0.26 Betina 42.30±0.10 42.00±0.20 42.17±0.12 42.16±0.14 Rataan 42.25±0.10 41.95±0.27 42.03±0.24 42.08±0.20
10 Suhu rektal yang meningkat tersebut diduga akibat pengaruh suhu lingkungan yang tinggi pada daerah ketinggian 50 mdpl dan juga dihasilkan dari metabolisme tubuh serta merupakan proses homeostatis yang terjadi pada ayam pedaging. Cunningham dan Klein (2007), menyatakan ayam mampu melakukan proses homoestatis melalui mekanisme termoregulasi dalam tubuh. Panting Ayam akan mengalami panting sebagai upaya mengeluarkan panas dari saluran pernapasan pada suhu lingkungan yang tinggi. Panting yang merupakan suatu proses pelepasan panas dari tubuh ternak secara evaporasi melalui saluran pernapasan dan merupakan proses pelepasan panas yang baik pada saat suhu lingkungan tinggi. Tabel 3. Nilai rata–rata frekuensi panting/menit ayam pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda Tempat Pemeliharaan Jenis Kelamin Rataan 50 mdpl 300 mdpl 500 mdpl Jantan 49.67±1.15 34.33±0.58 34.33±0.58 39.44±0.77 Betina 49.00±1.73 33.33±0.58 31.67±3.21 38.00±1.84 Rataan 49.33±1.44a 33.83±0.58b 33.00±1.90b Huruf yang sama pada baris rataan menunjukkan tidak berbeda secara statistik.
Frekuensi panting meningkat seiring dangan peningkatan suhu udara dan nilai THI kandang. Ayam pada suhu lingkungan tinggi berusaha menjaga suhu tubuhnya dengan menyeimbangkan produksi panas dengan pelepasan panas. Panas yang diproduksi oleh tubuh tidak mampu dilepaskan melalui radiasi, konduksi dan konveksi. Mekanisme berikutnya yang berfungsi adalah insensible heat loss, salah satunya melalui panting (hiperventilasi). Hussain et al. (2011) melaporkan ayam broiler pejantan panting mulai terjadi ketika suhu lingkungan mencapai 33 °C. Hasil analisis ragam (Tabel 3) menunjukkan perbedaan ketinggian tempat pemeliharaan berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap frekuensi panting. Rata-rata panting pada ketinggian 50 mdpl sebanyak 49.33 kali menit-1. Frekuensi panting yang berbeda diduga karena suhu yang lebih tinggi pada daerah ketinggian 50 mdpl daripada ketinggian 300 mdpl dan 500 mdpl, sehingga frekuensi panting pada ketinggian 50 mdpl lebih tinggi. Laju pernafasan pada saat panting dapat meningkat sampai 200 kali menit-1 (Cunningham dan Klein 2007). Pelepasan panas pada ayam pedaging melalui evaporasi (panting) disertai dengan pelepasan uap air ke udara akan menyebabkan dehidrasi. Konsumsi air minum yang cukup dimanfaatkan dalam suhu lingkungan tinggi untuk mengatasi dehidrasi karena pelepasan panas (Yahav et al. 2005). Pelepasan panas melalui penguapan sebanyak 60% dari total pelepasan panas (Etches et al. 2008) dan bahkan lebih dari 80% pada suhu lingkungan 32 °C (Ahmad dan Sarwar 2006).
11 Status Hematologi Konsentrasi eritrosit dan hematokrit pada unggas dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, hormon, lingkungan dan penyakit. Secara umum, peningkatan jumlah eritrosit dan hematokrit berkaitan dengan lingkungan pemeliharaan dan jenis kelamin. Hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan ketinggian tempat pemelihaan dan jenis kelamin nyata berpengaruh (P<0.05) terhadap nilai hematokrit, yang merupakan persentase sel darah merah yang terdapat dalam darah. Nilai hematokrit pada dasarnya menggambarkan kondisi sel eritrosit dalam darah sehingga menjadi salah satu indikator penentuan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen (O2) yang biasa dikenal dengan istilah Oxygen Carrying Capacity. Nilai rata–rata hematokrit pada ketinggian 500 mdpl 29.17% sedangkan pada ketinggian 50 mdpl 23.50%. Nilai ini sedikit lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Ozkan et al. (2010) pada ayam yang dipelihara pada ketinggian 1720 mdpl, yaitu 33.3%. Sementara ayam yang dipelihara pada ketinggian 50 mdpl, sebesar 23.50% dan 36.49% diperoleh pada ketinggian 2900 mdpl (Zhang et al. 2007). Tabel 5. Nilai rata–rata hematologis ayam pedaging pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda Tempat Pemeliharaan Jenis Hematologi Rataan Kelamin 50 mdpl 300 mdpl 500 mdpl Jantan 2.11±0.05 2.84±0.03 3.32±0.04 2.84±0.04a Eritrosit Betina 1.90±0.07 2.48±0.03 3.32±0.04 2.57±0.05b -3 (Juta mm ) Rataan 2.00±0.06c 2.66±0.03b 3.45±0.04a Jantan 24.83±0.76 26.17±0.28 30.50±2.29 27.17±1.11a Hematokrit Betina 22.17±3.81 23.67±0.76 27.83±2.08 24.56±2.21b (%) Rataan 23.50±2.29b 24.92±0.52b 29.17±2.19a Jantan 7.43±0.64 8.40±0.60 9.53±0.32 8.46±0.52a Hemoglobin Betina 6.67±0.58 7.40±0.34 8.93±0.80 7.67±0.57b -1 (g dL ) Rataan 7.05±0.61b 7.90±0.47b 9.23±0.56a Jantan 1.65±0.03 1.74±0.04 1.88±0.01 1.76±0.03a Leukosit Betina 1.54±0.03 1.61±0.03 1.72±0.04 1.63±0.03b (ribu mm-3) Rataan 1.59±0.03c 1.67±0.04b 1.80±0.03a Huruf yang sama pada baris dan kolom rataan menunjukkan tidak berbeda secara statistik.
Nilai rata–rata hematokrit pada ayam jantan 27.17% sedangkan pada betina 24.56%. Nilai hematokrit yang lebih rendah pada unggas betina adalah akibat terdapatnya hormon estrogen dalam darah. Hormon estrogen diketahui memiliki sifat menghambat proses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis) (Wagner et al. 2008), sebaliknya androgen dan thyroxin merangsang terjadinya erythropoiesis dan peningkatan nafsu makan (Thrall 2004). Nilai hematokrit yang rendah juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, yakni tingkat stres oleh suhu lingkungan, dehidrasi dan parasit dalam darah (Challenger et al. 2001). Konsentrasi hormon estrogen dalam darah merupakan asumsi yang lebih sesuai dalam menggambarkan nilai hematokrit pada ayam betina. Sel darah merah (eritrosit) membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi darah dan dibentuk di sumsum tulang (Thrall 2004). Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 5), perbedaan ketinggian tempat pemelihara dan jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap jumlah eritrosit. Jumlah eritrosit mengindikasikan
12 banyaknya jumlah sel darah dalam satuan liter darah yang berhubungan erat dengan kapasitas pengangkutan oksigen. Nilai rata–rata eritrosit pada daerah ketinggian 500 mdpl 3.45 juta mm-3 sedangkan pada ketinggian 50 mdpl 2.00 juta mm-3. Nilai yang tidak jauh berbeda dilaporkan Zhang et al. (2007) pada ayam yang dipelihara pada ketinggian 2900 mdpl, (sebanyak 2.86 juta mm-3). Sementara pada kondisi ketinggian 100 mdpl jumlah eritosit sebanyak 1.77 juta mm-3. Eritrosit pada unggas mengandung komponen fosfat yang mempengaruhi daya ikat hemoglobin terhadap oksigen (Thrall 2004). Rendahnya kadar oksigen pada ketinggian 500 mdpl meningkatkan proses eritropoiesis yang dikontrol oleh hormon erythropoietin. Pelepasan glikoprotein dari sel tertentu ke ginjal merupakan respon kurangnya kadar oksigen (Frandson et al. 2009). Proses eritropoiesis pada sumsum tulang belakang mamalia hanya terbatas pada daerah ekstravaskular, tetapi pada unggas terjadi juga di dalam lumen sumsum tulang belakang. Peningkatan jumlah eritrosit meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dalam darah yang berperan dalam proses pengangkutan komponen-komponen daging ke seluruh jaringan tubuh. Kadar hemoglobin ayam yang dipelihara pada ketinggian 500 mdpl sebesar 9.23 g dL-1 lebih tinggi dibandingkan ayam yang dipelihara pada ketinggian 50 mdpl dengan nilai rata-rata 7.05 g dL-1. Peningkatan kadar hemoglobin dalam darah pada daerah tinggi diperlukan, untuk menambah daya ikat terhadap oksigen (Wei et al. 2007). Kadar hemoglobin yang diperoleh dalam penelitian ini pada semua perlakuan masih dalam kisaran normal. Kadar normal hemoglobin pada ayam berkisar 6.80-14.10 g dL-1 (Bonadiman et al. 2009). Penelitian yang dilakukan Zhang et al. (2007) pada ayam buras menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, rataan kadar hemoglobin yang dipelihara pada ketinggian 500 mdpl yaitu 10.45 g dL-1 sebaliknya sedikit lebih rendah 9.49 g dL-1 pada ketinggian 50 mdpl. Hemoglobin merupakan suatu senyawa kompleks globulin yang dibentuk 4 sub unit, masing-masing mengandung suatu gugusan heme yang dikonjugasi ke suatu polipeptida. Heme adalah turunan porphyrin yang mengandung zat besi (Fe) yang berfungsi mengangkut oksigen. Hemoglobin menjadi satu dengan oksigen yang terdapat di dalam paru-paru sehingga terbentuk oksihemoglobin yang akan melepaskan oksigen menuju sel-sel jaringan tubuh. Proses oksihemoglobin memerlukan zat besi dalam bentuk ferro di dalam molekul hemoglobin. Jumlah sel darah putih (leukosit) menunjukkan hasil yang signifikan diantara perlakuan. Ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin meningkatkan jumlah leukosit. Peningkatan jumlah leukosit pada ketinggian tempat pemeliharanan 500 mdpl disebabkan tingginya kelembaban yang memicu timbul beberapa bibit penyakit. Rata-rata jumlah leukosit (Tabel 5) berada pada kisaran normal. Bonadiman et al. (2009) melaporkan jumlah leukosit normal pada ayam berkisar 7.06-25.25 ribu mm-3.
13 Performa Ayam Konsumsi air minum tinggi pada ketinggian 50 mdpl dibandingkan pada ketinggian 500 mdpl mengindikasikan ayam membutuhkan air minum yang lebih untuk mengatasi dehidrasi akibat penguapan selama panting. Peningkatan asupan air dapat mengatasi dampak penguapan dan dapat mencegah terjadinya kenaikan suhu dalam tubuh (Furlan et al. 2004; Ahmad et al. 2005). Syafwan et al. (2012) mengemukakan pada suhu tubuh yang tinggi, konsumsi air minum akan meningkat dan konsumsi pakan menurun berkisar antara 25%-30%. Tabel 4. Nilai rata–rata performa ayam pedaging pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda Tempat Pemeliharaan Rataan 50 mdpl 300 mdpl 500 mdpl Jantan 6820.0±242.5 6157.7±62.7 5975.9±146.7 6317.9±150.6a Konsumsi air minum Betina 6680.9±8.54 6039.8±52.5 5812.8±124.7 6153.9±61.9b (ml ekor-1) Rataan 6714.5±125.5a 6098.8±57.6b 5894.4±135.9c Jantan 3440.5±65.4 3775.7±23.5 3963.1±77.7 3726.4±55.5a Konsumsi pakan Betina 3376.9±17.0 3655.8±40.9 3862.9±40.2 3631.9±32.7b (gram ekor-1) Rataan 3408.7±41.2c 3715.7±32.2b 3912.9±58.9a Jantan 1889.5±44.7 2057.4±92.8 2234.1±20.8 2060.3±52.8a Bobot badan Betina 1819.4±52.9 1980.2±43.6 2137.0±44.9 1978.9±47.1b (gram) Rataan 1854.5±48.8c 2018.8±68.2b 2185.6±32.9a Jantan 1.82±0.03 1.84±0.01 1.77±0.05 1.81±0.04 Konversi Betina 1.86±0.04 1.85±0.04 1.81±0.05 1.84±0.04 Pakan Rataan 1.84±0.04 1.84±0.03 1.79±0.05 1.83±0.06 Huruf yang sama pada baris dan kolom rataan menunjukkan tidak berbeda secara statistik. Peubah
Jenis Kelamin
Ayam yang dipelihara pada daerah ketinggian 50 mdpl mendapatkan paparan suhu lingkungan yang lebih tinggi ditandai dengan penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air minum. Kondisi ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan dan bobot akhir ayam dibandingkan dengan ayam yang dipelihara pada daerah ketinggian 300 mdpl dan 500 mdpl. Bobot badan yang rendah akibat cekaman panas berkaitan dengan penggunaan pakan yang tidak efisien (Mashaly et al. 2004). Turunnya produksi pada ternak yang dipelihara pada ketinggian 50 mdpl yang bersuhu tinggi berdampak pada perubahan sistem hormonalnya. Suhu lingkungan tinggi secara tidak langsung mempengaruhi peningkatan hormon kortikosteron dan kortisol serta menurunkan adrenalin dan tiroksin dalam plasma darah (Fuller dan Rendom 1977). Ayam yang dipelihara pada ketinggian 500 mdpl menunjukkan tingkat konsumsi pakan yang lebih banyak dengan nilai rata–rata 3912.9 gram ekor-1 dibandingkan ayam yang dipeliharaan di ketinggian 300 mdpl dan rendah, namun kondisi ini tidak terkait dengan jenis kelamin (Tabel 4 ). Hal ini mengindikasikan tingkat kebutuhan nutrisi pada ayam yang dipelihara di ketinggian 500 mdpl juga lebih tinggi. Konsumsi pakan yang tinggi pada ayam yang dipelihara di ketinggian 500 mdpl selama pemeliharaan meningkatkan pertumbuhan dibandingkan ayam yang dipelihara pada ketinggian 300 mdpl dan 50 mdpl. Tabel 4 menunjukkan tanpa mempertimbangkan jenis kelamin, ayam yang dipelihara di ketinggian 500 mdpl
14 menghasilkan berat badan akhir (2185.6 gram ekor-1) lebih tinggi dibandingkan ayam yang dipelihara pada ketinggian 300 mdpl (2018.8 gram ekor-1) dan ketinggian 50 mdpl (1854.5 gram ekor-1). Ayam pedaging jantan, tanpa mempertimbangkan ketinggian lingkungan pemeliharaan, nyata menghasilkan berat badan lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan ayam dengan jenis kelamin betina. Adanya pengaruh pertumbuhan dari perbedaan jenis kelamin terlihat jelas selama penelitian. Hasil ini sesuai dengan Ozkan et al. (2010) menyatakan ayam pedaging dengan jenis kelamin jantan pada umur 47 hari memiliki berat badan lebih besar (2969 gram ekor-1) dibandingkan ayam betina memiliki (2465 gram ekor-1). Hormon kortisol yang tinggi dalam darah pada ayam yang dipelihara pada suhu yang tinggi mengakibatkan terjadinya proses glukoneogenesis yaitu perubahan dari non karbohidrat (protein) menjadi glukosa (energi). Pembentukan glukosa dari protein menyebabkan penurunan pertambahan bobot badan karena protein yang seharusnya untuk pertumbuhan digunakan untuk membentuk glukosa. Rendahnya bobot badan juga sebagai akibat turunnya konsumsi pakan. Sebaliknya peningkatan hormon thyroxin akan meningkatkan nafsu makan (Luger et al. 2001). Perlakuan ketinggian tempat pemeliharaan, tidak memberikan pengaruh terhadap nilai konversi pakan dengan jenis kelamin berbeda. Penurunan tingkat konsumsi pakan pada tempat pemeliharaan 50 mdpl merupakan respon terhadap kondisi lingkungan yang panas diikuti dengan penurunan tingkat pertumbuhan. Kecepatan angin yang berkisar 1.79-2.00 m s-1 dalam kandang, pada ketinggian 50 mdpl mempermudah proses pelepasan panas dari dalam tubuh kelingkungan. Sehingga dapat mengurangi dampak cekaman panas. Oleh karena itu nilai konversi pakan hampir sama antara ayam yang dipelihara pada ketinggian 50, 300 dan 500 mdpl. Kualitas Daging Kualitas Kimia Daging Komposisi kimia daging sangat menentukan nilai nutrisi dan kualitas daging. Komponen kimiawi utama daging yang terbesar adalah air yaitu berkisar antara 65%-80%, protein 16%-23%, substansi non protein nitrogen sekitar 1.5%, karbohidrat berkisar antara 0.5%-1.5% dan lemak berkisar 1%-4% (Lawrie 2003). Tabel 7 menunjukkan komposisi kimia daging (air, protein, lemak, abu dan karbohidrat). Perlakuan ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0.05). Rata–rata komposisi kimia yang diperoleh pada penelitian ini adalah kadar air 69.61%, protein 22.43%, lemak 3.96%, karbohidrat 2.60% dan abu 1.34%. Kadar air yang merupakan komponen terbesar dari daging juga menentukan tingkat pertumbuhan mikroorganisme (Soeparno 1998). Hasil penelitian ini menunjukkan nilai persentase kadar air, protein dan abu dari kedua perlakuan lebih rendah dibandingkan hasil yang diperoleh Aksit et al. (2006) ayam yang mengalami cekaman panas (34 oC) sebelum pemotongan memiliki komposisi kimia daging diantaranya air 73%, protein 22.7% dan abu 1.11%. Bianchi et al. (2007) melaporkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan komposisi kimia air 75.24%, protein 22.92%, lemak 1.15% dan abu 1.45%.
15 Tabel 7. Nilai rata–rata kimia daging ayam pedaging (paha) pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda Kimia Tempat Pemeliharaan Jenis daging Rataan Kelamin (%bb) 50 mdpl 300 mdpl 500 mdpl Jantan 69.43±0.72 69.60±0.26 69.47±1.02 69.50±0.67 Kadar Air Betina 69.57±0.51 69.70±0.87 69.87±0.68 69.71±0.69 Rataan 69.50±0.62 69.65±0.57 69.67±0.85 69.61±0.68 Jantan 21.87±0.40 22.03±0.55 22.47±0.47 22.12±0.47 Kadar Betina 22.70±0.70 22.37±1.21 23.13±0.23 22.73±0.71 Protein Rataan 22.28±0.55 22.20±0.88 22.80±0.35 22.43±0.59 Jantan 4.20±0.44 4.10±0.53 4.17±0.76 4.16±0.58 Kadar Betina 3.30±0.52 3.60±0.20 4.37±0.60 3.76±0.44 Lemak Rataan 3.75±0.48 3.85±0.36 4.27±0.68 3.96±0.51 Jantan 1.87±1.15 1.90±0.26 1.27±0.98 1.68±0.80 Kadar Abu Betina 0.97±0.21 1.10±0.10 0.97±0.40 1.01±0.24 Rataan 1.42±0.68 1.50±0.18 1.12±0.69 1.34±0.52 Jantan 2.63±0.39 2.43±0.38 2.67±0.21 2.58±0.33 Kadar Betina 2.77±0.23 2.40±0.17 2.70±0.20 2.62±0.20 Kabohidrat Rataan 2.70±0.31 2.42±0.28 2.68±0.21 2.60±0.27
Protein otot mempunyai hubungan yang erat dengan kadar air daging, (sifat hidrofilik), yaitu mengikat molekul-molekul air daging. Hasil penelitian Aksit et al. (2006) melaporkan kadar air dan protein normal pada ayam pedaging umur 7 minggu masing-masing 74.7% dan 23.5% sedangkan ayam yang dipelihara pada suhu 22-28 oC memiliki kadar air 74.4% dan kadar protein 22.1%. Rataan kadar lemak yang diperoleh berkisar antara 3.76%-4.27%. Perlakuan ketinggian lokasi pemeliharaan dan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar lemak daging. Hal ini diduga berhubungan dengan kondisi ayam pada umur 6 minggu yang masih dalam pertumbuhan otot yang maksimal, sehingga penimbunan lemak masih konstan. Soeparno (1998) menambahkan proses terjadinya penimbunan lemak terjadi setelah pertumbuhan otot mencapai maksimal. Abu atau mineral daging lebih ditekankan terutama pada kalsium (Ca), fosfor (P), zat besi (Fe), sodium (Na), Potassium (K) dan magnesium (Mg). Bull (1951) melaporkan fosfor, potasium dan besi merupakan sumber mineral utama daging sedangkan kandungan sodium, klor dan iodin yang rendah. Besi merupakan komponen mineral utama penyusun daging dan lebih dari 40% jumlah zat besi pada daging dalam bentuk besi heme (Cross dan Overby 1988). Fisik Daging Kualitas daging merupakan ukuran dari sifat–sifat daging yang dinilai oleh konsumen. Sifat fisik daging ditentukan oleh keempukan, warna, susut masak, daya mengikat air, pH dan komposisi kimiawi daging (Forrest et al. 1975). Perlakuan lokasi pemeliharaan selama penelitian menunjukkan pengaruh nyata (P<0.05) pada nilai pH dan susut masak. Kondisi ini terlihat dari rata rata pH dan susut masak (Tabel 6) pada ayam yang dipelihara pada ketinggian 500 mdpl yang memiliki nilai pH lebih tinggi dibandingkan dengan ayam dipelihara pada ketinggian 50 mdpl dengan suhu lingkungan yang tinggi. Nilai pH yang
16 rendah diduga disebabkan oleh stres yang terjadi pada ayam sebelum pemotongan. Stres pada ternak menyebabkan berkurangnya cadangan glikogen otot. Petrucci et al. (2001) menambahkan ayam yang dipelihara pada suhu lingkungan yang tinggi 34 o C sebelum dilakukan pemotongan secara signifikan memiliki nilai pH 5.86, lebih rendah dibandingkan ayam yang dipelihara pada suhu lingkungan 25 oC (pH 5.95). Tabel 6. Nilai rata–rata kualitas fisik daging ayam pedaging (paha) pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda Tempat Pemeliharaan Rataan 50 mdpl 300 mdpl 500 mdpl Jantan 6.67±0.06 6.93±0.05 7.17±0.06 6.92±0.06 pH Betina 6.77±0.06 6.97±0.05 7.13±0.06 6.96±0.06 Rataan 6.72±0.06c 6.95±0.05b 7.15±0.06a Jantan 0.83±0.06 0.73±0.11 0.97±0.25 0.80±0.14 Daya putus daging Betina 0.70±0.10 0.70±0.10 0.73±0.06 0.76±0.09 (kg cm-3) Rataan 0.77±0.08 0.72±0.11 0.85±0.16 0.78±0.12 Jantan 19.17±0.05 19.27±0.05 19.17±0.05 19.20±0.05 Susut Masak (%) Betina 19.17±0.06 19.23±0.05 19.17±0.05 19.19±0.05 Rataan 19.17±0.05b 19.25±0.05a 19.17±0.05b Jantan 32.73±3.37 31.80±1.65 31.40±3.50 31.98±2.84 Daya ikat air (%) Betina 36.57±1.66 31.13±2.67 32.27±4.07 33.32±2.80 mg H2O Rataan 34.65±2.52 31.47±2.16 31.83±3.79 32.65±2.82 Huruf yang sama pada baris kolom rataan menunjukkan tidak berbeda secara statistik. Fisik Daging
Jenis Kelamin
Bianchi et al. (2007) melaporkan ayam yang dipelihara di musim panas memiliki pH 5.95 sedangkan pada musim dingin menunjukkan nilai pH yang lebih tinggi 6.99. Hasil yang tidak jauh ditunjukkan oleh nilai pH pada ayam broiler yang berumur 49 hari yakni 5.99 pada suhu lingkungan sebelum pemotongan 22 oC sedangkan nilai pH yang lebih rendah (5.91) pada suhu 34 oC (Aksit et al. 2006). Perubahan pH sesudah ternak mati ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot. Terjadinya penumpukan asam laktat saat aktifitas glikolitik mengakibatkan penurunan pH (Buckle et al. 1987). Penurunan pH setelah pemotongan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik Faktor intrinsik antara lain spesies, kandungan glikogen otot, sedangkan faktor ekstrinsik antara lain suhu lingkungan, perlakuan sebelum pemotongan dan suhu penyimpanan (Lawrie 2003). Nilai susut masak pada penelitian ini menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada ketinggian 300 mdpl (19.25%) dibandingkan pada ketinggian 50 mdpl (19.17%). Peningkatan suhu menyebabkan denaturasi protein myofibrillar, terutama actomyosin kompleks, dan menyebabkan penyusutan serat otot (Bailey 1984). Hasil yang lebih rendah ditunjukkan pada ayam pedaging strain Ross umur 46 hari yang dipelihara pada musim panas yakni 17.02% (Bianchi et al. 2007). Persentase susut masak daging antara 15%-40% termasuk dalam kisaran normal (Soeparno 1998). Susut masak sangat erat kaitannya dengan kadar air. Saat pemanasan terjadi proses dehidrasi dan menyebabkan kadar air berkurang akibat vaporasi. Susut masak juga dipengaruhi oleh pH, umur, bangsa, serabut otot dan daya mengikat air (Bouton et al. 1976).
17 Interaksi ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin tidak nyata mempengaruhi daya ikat air. Faktor yang mempengaruhi jumlah dan daya ikat air dengan gugus reaktif protein diantaranya adalah pembentukan asam laktat, hilangnya ATP (adenosin trifosfat), onset rigormortis dan perubahan struktur sel sehubungan aktivitas enzim proteolitik (Aberle et al. 2001; Lawrie 2003). Keempukan daging banyak ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibril dan status kontraksi, kandungan ikat dan tingkat ikatan silangan dan daya ikat air oleh protein daging (Bouton et al. 1971). Lyon et al. (2004) melaporkan keempukan ayam broiler yaitu berkisar antara 1.82 kg cm-3 sampai 2.19 kg cm-3 . Hasil penelitian ini menunjukkan daging ayam memiliki nilai ratarata kempukan sebesar 0.77. Nilai keempukan ini diduga akibat kadar kolagen yang lebih sedikit sehingga menyebabkan proporsi jaringan ikat lebih sedikit. Mikrobiologi Daging Mutu mikrobiologi dari suatu produk makanan ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam bahan makanan. Mutu mikrobiologi ini menentukan daya simpan dari suatu produk, yang ditinjau dari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba patogen yang terdapat pada makanan. Kandungan mikroorganisme pada suatu bahan pangan dapat memberikan informasi yang mencerminkan mutu bahan mentahnya, keadaan sanitasi pada pengolahan, serta keefektifan metode pengawetan (Fardiaz 1983). Tabel 8. Nilai rata–rata Total Plate Count (cfu log gram-1) ayam ras pedaging (paha) pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda
Jenis Kelamin Jantan Betina Rataan
Tempat Pemeliharaan 50 mdpl 300 mdpl 500 mdpl 4.03±0.06 3.75±0.27 4.63±0.52 4.06±0.16 4.56±0.42 4.89±0.47 4.05±0.11b 4.15±0.35b 4.76±0.50a
Rataan 4.15±0.28 4.50±0.35
Huruf yang sama pada baris rataan menunjukkan tidak berbeda secara statistik.
Hasil peneltian (Tabel 8) menunjukkan terdapat pengaruh yang nyata lingkungan pemeliharaan terhadap total kontaminasi mikroba (P<0.05). Nilai kontaminasi bakteri pada ketinggian 500 mdpl 4.76 log cfu gram-1 lebih tinggi dibandingkan ketinggian 300 mdpl dan 50 mdpl. Hal ini diduga karena daging memiliki kadar air yang lebih tinggi yang didukung dengan kondisi lingkungan yang lembab. Total kandungan kontaminasi bakteri pada daging tidak melebihi standar maksimal dari batas kontaminasi yang ditetapkan oleh (SNI 2009) yaitu 1x106 cfu gram-1 atau 6.0 log cfu gram-1. Hasil penelitian menunjukkan ayam pedaging yang dipelihara pada ketiga lokasi pemeliharaan memiliki kontaminasi bakteri masih berada di bawah ambang batas untuk dikonsumsi. Perlakuan ternak sebelum pemotongan akan berpengaruh terhadap jumlah mikroba yang terdapat dalam daging. Kondisi lingkungan pemeliharaan yang relatif lembab memicu meningkatnya jumlah bakteri dalam daging dibandingkan dengan ternak yang berada di lingkungan dengan kelembaban rendah. Ruiz et al. (2008) menyatakan ayam pedaging umur 42 hari dipelihara pada kondisi kandang yang lembab memiliki nilai kontaminasi mikroba 1.4x106 cfu gram-1 sedangkan pada kondisi normal nilai kontaminasi mikroba berkisar 1x106 cfu gram-1. Daging merupakan bahan pangan yang memiliki kadar air yang tinggi (68.75%),
18 mengandung nitrogen, kaya akan mineral untuk pertumbuhan mikroba yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba (Betty dan Yendri 2007). Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan berlendir, berjamur, daya simpannya menurun, berbau busuk, rasa tidak enak, dan menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi (Djaafar dan Rahayu 2007). Mikroba yang dapat mencemari daging antara lain adalah Salmonella sp., E. coli, Staphylococcus sp., dan Pseudomonas. Organoleptik Penilaian organoleptik merupakan suatu cara penilaiaan dengan memanfaatkan panca indra manusia untuk mengamati aroma, warna, rasa dan tekstur suatu produk makanan berupa daging. Pengujian organoleptik berperan panting dalam meningkatkan nilai produk. Evaluasi sensori dapat digunakan untuk menilai adanya perubahan yang dikehendaki atau tidak di dalam produk atau mengamati perubahan yang terjadi selama proses pemeliharaan sampai pemotongan. Tabel 9. Nilai rata–rata hedonik daging ayam ras pedaging (paha) pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin yang berbeda Tempat Pemeliharaan Jenis Sifat fisik Kelamin 50 mdpl 300 mdpl 500 mdpl Penampakan 3.20±1.05 3.29±093 3.09±1.01 Warna 2.71±0.93 2.89±0.99 3.06±1.06 Jantan Tekstur 3.23±0.77 3.20±0.76 3.29±0.79 Aroma 2.89±1.05 3.09±1.07 2.89±1.11 Rasa 2.89±1.21 2.77±1.19 2.94±1.26 Penampakan 3.03±1.04 3.14±0.94 3.03±0.98 Warna 2.74±0.92 2.49±0.85 2.66±0.91 Betina Tekstur 3.09±0.74 3.14±0.73 3.17±0.79 Aroma 3.11±0.93 3.03±1.04 2.83±1.20 Rasa 3.03±1.10 3.11±0.96 2.89±1.11 1 (tidak suka), 2 (agak suka), 3 (suka), 4 (sangat suka) dan 5 (amat sangat suka)
Ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap aroma, warna, tekstur dan rasa. Penilaian panelis terhadap uji hedonik dari perlakuan ketinggian lokasi pemeliharaan dan jenis kelamin berada pada kategori suka dangan skor 3 (tiga). Hal ini berarti kesukaan konsumen terhadap daging dari ayam pedaging pada ayam yang dipelihara pada 50 mdpl sama dengan pada 300 mdpl dan 500 mdpl. Aroma, warna, tekstur, dan rasa pada daging unggas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, bangsa, lingkungan kandang, lingkungan pemotongan, kondisi sebelum pemotongan, lemak intramuskular dan kandungan air daging (Woelfel et al. 2002). Tekstur daging merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Menurut Desroier (1977), faktor-faktor yang mempengaruhi keempukan daging adalah faktor sebelum pemotongan (ante mortem) dan faktor sesudah pemotongan (post mortem). Ante mortem, meliputi genetik, sifat-sifat biologis, umur, pemberian makan dan pemeliharaan hewan. Post mortem meliputi cara pemotongan, lama penyimpanan, suhu penyimpanan, pH, penambahan zat-zat
19 pelunak, metode pengolahan, jumlah lemak yang terdapat diantara jaringan pengikat otot. Aroma merupakan ciri lain yang penting dalam menilai tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Aroma berkembang pada saat daging dimasak merupakan interaksi antara karbohidrat dan asam amino, lemak dan oksidasi termal dan degradasi tiamin (Soeparno 1998). Diantara persenyawaan kimia tersebut, yang memberikan aroma khas pada daging ayam adalah lemak yang terdapat dalam daging. Pada penelitian ini, uji organoleptik hanya dilakukan pada daging ayam tanpa pemasakan, sehingga hanya mengandalkan indra penciuman. Selain aroma dan warna, daya terima konsumen terhadap bahan pangan juga dipengaruhi rasa bahan pangan tersebut. Seringkali rasa lebih dominan dipertimbangkan oleh konsumen dibandingkan sifat mutu lainnya. Snyder dan Orr (1964) menyatakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi rasa daging antara lain perlemakan, bangsa, umur dan pakan. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi adalah proses pemasakan sebelum daging disajikan.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ketinggian tempat pemeliharaan 500 mdpl menghasilkan nilai performa dan hematologis terbaik. Kualitas fisik dan mikrobiologi daging yang dihasilkan dari ayam pada ketinggian tempat pemeliharaan 50 mdpl lebih baik dari ketinggian tempat pemeliharaan 300 dan 500 mdpl. Ayam jantan menghasilkan nilai performa dan hematologis yang lebih baik dibanding betina dengan nilai kualitas daging tidak berbeda. Saran Pemeliharaan lebih baik dilakukan pada ketinggian tempat pemeliharaan 500 mdpl. Pemeliharaan ayam pedaging pada ketinggian 50 mdpl, dengan nilai suhu dan THI yang tinggi dapat dilakukan dengan memperhatikan rata-rata kecepatan angin dalam kandang yaitu berkisar 1.80-2.00 m s-1. DAFTAR PUSTAKA Aberle ED, Forest JC, Gerrard DE, Mills EW, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA. 2001. Principles of Meat Science. Iowa: Kendall/Hunt Pub. Company Ahmad T, Sarwar M, Mahr-un-Nisa, Ahsan-ul-Haq, Zia-ul-Hasan. 2005. Influence of varying sources of dietary electrolytes on the performance of broilers reared in a high temperature environment.Anim. Feed Sci. Technol. 20:277–298. Ahmad T, Sarwar M. 2006. Dietary electrolyte balance: Implications in heat stressed broilers. World’s Poultry Science. J. 62:638–653. Ahmad T, Khalid T, Mushtaq T, Mirza MA, Nadeem A, Babar ME, Ahmad G. 2008. Effect of Potassium Chloride Supplementation in Drinking Water on Broiler Performance Under Heat Stress Conditions. Poultry Science 87:1276–1280.
20 Aksit M, Yalc S¸ Ozkan S, Metin K, Ozdemir D. 2006. Effects of Temperature During Rearing and Crating on Stress Parameters and Meat Quality of Broilers. Poultry Science 85:1867–1874 Aksit M, Altan O, Karul AB, Balkaya M, Ozdemir D. 2008. Effects of cold temperature and vitamin E supplementation on oxidative stress, Troponin-T level, and other ascites-related traits in broilers. Arch. Geflugelkd. 72:221– 230. Andarwulan, Kusnandar NF, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Cetakan Pertama. PT. Dian Rakyat. Jakarta. [AOAC] Association Official Analitycal Chemistry. 2005.Official Method of Analysis. 18th Ed. Maryland (US) : AOAC International, Washington D.C. Austic RE. 2000. Feeding Poultry in Hot and Cold Climates. Di dalam MK Yousef, editor. Stress Physiology in Livestock Vol III, Poultry. Florida: CRC Pr. hlm. 123 – 136. Bailey AJ. 1984. The Chemistry of Intramolecular Collagen. Pages 22–40 in: Recent Advances in Chemistry of Meat. A. J. Bailey, ed. The Royal Society of Chemistry, London. Beede DK, Coolier RJ. 1986. Potential nutritions for intensive managed cattle during themal stress. Poultry Science. 62: 534. Betty, Yendri. 2007. Cemaran Mikroba Terhadap Telur dan Daging Ayam. Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat, Padang. Bianchi M, Petracci M, Sirri F, Folegatti E, Franchini A, Meluzzi A. 2007. The influence of the season and market class of broiler chickens on breast meat quality traits. Poultry Science. 86:959–963 Blahova J, Dobsikova R, Strakova E, Suchy P. 2007. Effect of low environmental temperature on performance and blood system in broiler chickens (Gallus domesticus). Acta Vet. (Brno) 76:17–23. Bonadiman SF , GC Stratievsky , JA Machado, AP Albernaz , GR Rabelo, RA DaMatta. 2009. Leukocyte ultrastructure, hematological and serum biochemical profiles of striches (Struthio camelus). Poultry Science 88 :2298–2306 Bowker BC, Zhuang H, Buhr RJ. 2014. Impact of carcass scalding and chilling on muscle proteins and meat quality of broiler breast filleds. LWT-Food Science and Tecnology 59(1) : 156-162. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1987. Food Technology. International Development Program of Australian Universities and College. Department of Education and Culture, Directorate General of Higher Education. Bull SMS. 1951. Meat for The Table. McGraw Hill Book Company Inc., USA. Challenger WO, Williams TD, Christians JK, Vezina F. 2001. Follicular development and plasma yolk precursor dynamics through the laying cycle in the European starling (Sturnus vulgaris). Physiol. Biochem. Zool. 74, 356365. Chepete HJ, Chimbombi E, Tsheko R. 2005. Production performance and temperature humidity index of Cobb 500 broilers reared in open-sided naturally ventilated houses in 8 Botswana. In Livestock Environment VII: Proceedings of the Seventh International Symposium, 524-535. St. Joseph, Mich.: ASABE.
21 Cooper MA, Washburn KW. (1998). The Relationships of body temperature to weight gain, feed consumption, and feed utilization in broilers under heat stress. Poultry Science. (77): 237-242. Cross HR, Overby AJ. 1988. Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Publisher BV, New York. Cunningham JG, Klein BG. 2007. Textbook of Veterinary Physiology. 4th Ed. St. Louis Missouri. WB Saunders Company. Desroier NW. 1977. Meat Technology. Elements of Food Technology. AVI Publidhing Compaby. Inc. Westport. Connecticut. pp. 314 – 353. [Ditjenak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2013. Populasi Ayam Ras Pedaging Menurut Provinsi. [Internet]. [diunduh 2014 Nov 17]. Tersedia pada: http://www.pertanian.go.id/pdfDjaafar TF, Rahayu S. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian, penyakit yang ditimbulkan dan pencegahannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(2): 67−75. Druyan S, Shlosberg A, Cahaner A. 2007. Evaluation of Growth rate, body weight, heart rate, and blood parameter as potential indicators for election against susceptibility to the ascites syndrome in young broiler. Poultry Science. 86:621-629. Etches R.J, John TM, Gerrinder-Gibbins GAM. 2008. Behavioral, physiological, neuroendocrine and molecular responses to heat stress. Pages 49–80 in Poultry Production in Hot Climates. NJ Daghir, ed. CAB International, Cromwell Press, Trowbridge, UK. Fardiaz S. 1983. Keamanan Pangan. Bogor : Depdikbud Farrel DJ 1979. Pengaruh dari suhu terhadap kemampuan biologis dari unggas. Laporan Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan 11 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Forrest JC, Judge MD, Merkel RA, Aberle ED, Hedrick HB. 1975. Principles of Meat Science. Kendall/Hunt Publishing Company, Lowa Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animals 7th Edition. Wiley-Blackwell. United State of America. Fuller HL, Rendom M. 1977. Energetic efficiency of different dietary fats for growth of young chicks. Poultry Science. 56:549-557. Furlan RL, de Faria Filho DE, Rosa PS, Macari M. 2004. Does low-protein diet improve broiler performance under heat stress conditions? Braz. Poultry Science. 6:71–79. Hussain A, Khan MZ, Khan A, Saleemi MK, Javed I. 2011. Testicular development and hematological parameters of male broiler breeders under subtropical environment. Pakist J Zool. 43(6):1033-1040. Joseph LP, Dozier AW, Olanrewaju AH, Davis JD, Xin H, Gates RS. 2012. Effect of Temperature-Humidity Index on Live Performance in Broiler Chickens Grown From 49 To 63 Days of Age. USA. An ASABE Conference Presentation. Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London: Bailliere Tindall. Kuczynski T. 2002. The application of poultry behaviour responses on heat stress to improve heating and ventilation systems efficiency. Electr. J. Pol. Agric.Univ.http://www.ejpau.media.pl/series/volume5/issue1/engineering/ar t.01.html. (23 Desember 2006)
22 Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah Aminudin P. UI-Press, Jakarta Lin H, Zhang HF, Du R, Gu XH, Zhang ZY, Buyse J, Decuypere E. 2005. Thermoregulation responses of broiler chickens to humidity at different ambient temperatures. II. Four weeks of age. Poultry Science. 84: 1173– 1178. Lin H, Jiao HC, Buyse J, Decuypere E. 2006. Strategies for preventing heat stress in poultry. Poultry Science. 62:71– 86. Luger D, Shinder D, Rzepakovsky V, Rusal M, Yahav S. 2001. Association Between Weight Gain, Blood Parameters, and Thyroid Hormones and the Development of Ascites Syndrome in Broiler Chickens1. Poultry Science 80:965–971 Lyon BG, Smith DP, Lyon CE, Savage EM. 2004. Effects of diet and feed withdrawal on the sensory descriptive and instrumental profiles of broiler breast fillets. Poultry Science. 83:275-281. McKee SR, Sams AR. 1997. The effect of seasonal heat stress on rigor development and the incidence of pale, exudative turkey meat. Poultry Science. 76:1616–1620. Mashaly MM, Hendricks GL, Kalama MA, Gehad AE, Abbas AO, Patterson PH. 2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses of commercial laying hens. Poultry Science. 83:889–894. North MO, Bell DD. 1990. Commercial Chiken Production Manual 4-th Edition. The Avi Pulishing Company. Inc. Wesport Itaca. New York. Ondrasovicova O, Saba L, Smirkjakova S, Vargova M, Ondrasovic M, Matta S, Lakticova K, Wnuk W. 2008. Effects of vehicle-road transport on blood profile in broiler chickens. Med. Weter. 64:292–293. Ozkan S, Takma C, Yahav S, Sogut B, Turkmut L, Erturun H, Cahaner A. 2010. The effects of feed restriction and ambient temperature on growth and ascites mortality of broilers reared at high altitude. Poultry Science. 89 :974–985. Petrucci M, Fletcher DL, Northcutt JK. 2001. The effect of holding temperature on live shrink, yields and breast meat quality of broiler chicken. Poultry Science. 80:670–675. Quinteiro-Filho WM, Ribeiro A, Ferraz-de-Paula V, Pinheiro ML, Sakai M, Sa LRM, Ferreira AJP, Palermo-Neto J. 2010. Heat stress impairs performance parameters, induces intestinal injury, and decreases macrophage activity in broiler chickens. Poultry Science. 89:1905–1914. Ruiz V, Ruiz D, Gernat AG, Grimes JL, Murillo JG, ineland MJ, Anderson KE, Maguire RO. 2008. The effect of quicklime (CaO) on litter condition and broiler performance. Poultry Science. 87:823–827 Sastradipradja D, Sikar SHS, Wijayakusuma R, Ungerer T, Maad A, Nasution H, Suriawinata R, Hamzah R. 1989. Penutun praktikum Fisiologi Veteriner. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sandercock DA, Hunter RR, Nute GR, Mitchell MA, Hocking PM. 2001. Acute heat stress-induced alterations in blood acid-base status and skeletal muscle membrane integrity in broiler chickens at two ages: Implications for meat quality. Poultry Science. 80:418–425. Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press. Kampus IPB Taman Kencono Bogor.
23 Sikar SHS, Suriawinata R, Ungerer T, Sastradipradja D. 1984. Larutan pengencer darah unggas untuk menghitung jumlah leukosit secara langsung. Jurusan fisiologi dan farmakologi. Fakultas Kedoteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM. Snyder ES, Orr HL. 1964. Poultry Meat. Ontario Department of Agriculture. Parliament Buildings. Toronto. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Mutu Karkas dan Daging Ayam. SNI 3924:2009. Jakarta: Badan Standar Nasional Indonesia. Sohail MU, Ijaz A, Yousaf MS, Ashraf K, Zaneb H, Aleem M, Rehman H. 2010. Alleviation of cyclic heat stress in broilers by dietary supplementation of mannan-oligosaccharide and Lactobacillus-based probiotic: Dynamics of cortisol, thyroid hormones, cholesterol, C-reactive protein, and humoral immunity. Poultry Science. 89:1934–1938. Sohail MU, Hume ME, Byrd JA, Nisbet DJ, Ijaz A, Sohail A, Shabbir MZ, Rehman H. 2012. Effect of supplementation of prebiotic mannanoligosaccharides and probiotic mixture on growth performance of broilers subjected to chronic heat stress. Poultry Science. 91:2235–2240. [SSEN] Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2013. Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan Makanan di Indonesia, 2009-2013. Steel RGD, Torrie GH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan B. Sumantri. Jakarta (ID) : PT Gramedia Utama. Syafwan S, WerminkGJD, Kwakkel RP, Verstegen MWA. 2012. Dietary selfselection by broilers at normal and high temperature changes feed intake behavior, nutrient intake, and performance. Poultry Science 91 :537–549 Tao X, Xin H. 2003Acute synergistic effects of air temperature, humidity and velocity on hemeostatis of market-size broiler. Transactions of the ASAE 46(2): 491 Thrall MA. (2004). Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. Hal. 225 - 258. Wagner CE, Prevolsek JS, Wynne KE, Williams TD. 2008. Hematological changes associated with egg production : estrogen dependence and repeatibility. J. Exp. Biol. 211, 400-408. Walpole RE. 1990. Pengantar Statistika. Jakarta (ID) : PT. Gramedia Pustaka Utama. Wei ZH, Zhang H, Jia CL, Ling Y, Gou X, Deng XM, Wu CX. 2007. Blood gas, hemoglobin, and growth of tibetan chicken embryos incubated at high altitude. Poultry Science 86:904–908. Woelfel RL, Owens CM, Hirschler EM, Martinez-Dawson R, Sams AR. 2002. The characterization and incidence of pale, soft, exudative broiler meat in acomercial plant. Poultry Science (81). Yahav S, Shinder D, Tanny J, Cohen S. 2005. Sensible heat loss: The broilers paradox. Poultry Science 61:419–434. Yu J, Bao ED, Yan JY, Lei L. 2008. Expression and localization of Hsps in the heart and blood vessel of heat-stressed broilers. Cell Stress Chaperones 13:327–335.
24 Zhang H, Wu CX, Chamba Y, Ling Y. 2007. Blood characteristics for high altitude adaptation in tibetan chickens. Poultry Science 86:1384–1389 Zhang ZY, Jia GQ, Zuo JJ, Zhang Y, Lei J, Ren L, Feng DY. 2012. Effects of constant and cyclic heat stress on muscle metabolism and meat quality of broiler breast fillet and thigh meat. Poultry Science 91 :2931–2937.
25
LAMPIRAN
26 LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil analisis ragam suhu rektal dan panting pada ketinggian tempat pemeliharaan dan Jenis Kelamin Berbeda Respon fisiologi
Suhu Rektal
Panting
Sumber Keragaman Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total
db
JK
KT
F
P
2 1 2 12 17 2 1 2 12 17
0.288 0.109 0.028 0.627 1.051 1015.44 9.389 3.444 31.333 1059.61
0.144 0.109 0.014 0.052
2.755 2.085 0.266
0.104 0.174 0.771
507.72 9.389 1.722 2.611
194.45 3.596 0.660
0.000 0.082 0.535
Lampiran 2 Hasil analisis ragam konsumsi pakan, konsumsi minum, bobot badan dan Konversi pakan pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda Performa
Konsumsi Minum
Konsumsi Pakan
Bobot Badan
Konversi Pakan
Sumber Keragaman Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total
db
JK
KT
F
P
2 1 2 12 17 2 1 2 12 17 2 1 2 12 17 2 1 2 12 17
2187092.1 121087.77 6510.478 205224.67 2519915.1 774830.5 40227.7 2448.71 28871.8 846378.8 328937.3 29861.6 586.8 35520.7 394906.5 0.010 0.003 0.001 0.038 0.052
1093546 121087.7 3255.24 17102.06
63.942 7.080 0.190
0.000 0.021 0.829
387415.3 40227.7 1224.4 2405.9
161.02 16.72 0.509
0.000 0.002 0.614
164468.6 29861.6 293.4 2960.1
55.56 10.09 0.10
0.000 0.008 0.906
0.005 0.003 0.000 0.003
1.63 1.01 0.14
0.236 0.335 0.869
27
Lampiran 3 Hasil analisis ragam eritrosit, leukosit, hemoglobin, hematokrit pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda Hematologi
Eritrosit
Hematokrit
Hemoglobin
Leukosit
Sumber Keragaman Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total
db
JK
KT
F
P
2 1 2 12 17 2 1 2 12 17 2 1 2 12 17 2 1 2 12 17
6.27612 3.37211 1.86610 5.43611 7.17512 104.361 30.681 0.028 50.833 185.903 14.534 2.801 0.121 3.987 21.443 1.3337 7702812 219375 1252083 2.2507
3.13812 3.37211 9.3289 4.53010
69.277 7.445 0.206
0.000 0.018 0.817
52.181 30.681 0.014 4.236
12.318 7.243 0.003
0.001 0.020 0.997
7.267 2.801 0.061 0.332
21.87 8.430 0.182
0.000 0.013 0.836
6663576 7702813 109687 104340
63.86 73.82 1.015
0.000 0.000 0.380
28 Lampiran 4 Hasil analisis ragam pH, daya putus daging, susut masak, daya ikat air pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda Fisik Daging
pH
Daya Putus Daging
Susut Masak
Daya Ikat Air
Sumber Keragaman Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total
db
JK
KT
F
P
2 1 2 12 17 2 1 2 12 17 2 1 2 12 17 2 1 2 12 17
0.564 0.005 0.013 0.040 0.623 0.027 0.009 0.101 0.207 0.371 0.028 0.001 0.001 0.040 0.060 36.403 8.134 15.701 105.827 166.065
0.282 0.005 0.007 0.003
84.667 1.500 2000
0.000 0.244 0.178
0.027 0.009 0.051 0.017
1.581 0.516 2.935
0.246 0.486 0.092
0.014 0.001 0.001 0.003
4.167 0.167 0.167
0.042 0.690 0.848
18.202 8.134 7.851 8.819
2,064 0.922 0.890
0.170 0.356 0.436
29 Lampiran 5
Hasil analisis ragam air, protein, lemak, karbohidrat, abu pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda
Kimia Daging
Kadar Air
Kadar Protein
Kadar Lemak
Kadar Abu
Kadar Karbohidrat
Sumber Keragaman Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total
db
JK
KT
F
P
2 1 2 12 17 2 1 2 12 17 2 1 2 12 17 2 1 2 12 17 2 1 2 12 17
0.101 0.201 0.081 6.247 6.629 1.268 1.681 0.194 5.393 8.536 0.901 0.720 0.930 3.433 5.984 0.448 2.000 0.310 5.187 7.984 0.303 0.009 0.021 0.907 1.240
0.051 0.201 0.041 0.521
0.097 0.385 0.078
0.908 0.546 0.926
0.634 1.681 0.097 0.449
1.400 3.739 0.216
0.282 0.077 0.809
0.451 0.720 0.465 0.286
1.575 2.517 1.625
0.247 0.139 0.237
0.244 2.000 0.155 0.432
0.564 4.627 0.359
0.583 0.053 0.706
0.152 0.009 0.011 0.076
2.007 0.118 0.140
0.177 0.738 0.871
Lampiran 6 Hasil analisis ragam total kontaminasi bakteri pada ketinggian tempat pemeliharaan dan jenis kelamin berbeda Peubah
Kontaminasi bakteri
Sumber Keragaman Lingkungan Jenis Kelamin Interaksi Galat Total
db 2 1 2 12 17
JK
KT
F
P
1.774 0.612 0.480 1.560 4.427
0.887 0.612 0.240 0.130
6.825 4.710 1.845
0.010 0.051 0.200
30 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sinjai pada tanggal 25 Maret 1991 dari pasangan Baso Bau SPd dan Normah SPd. Penulis merupakan anak ke-dua dari empat bersaudara yaitu Asmah Yetie, S.Kep Ners dan Muh Nur Alauddin SPdi. pendidikan sarjana ditempuh penulis di Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Ternak, Universitas Hasanuddin, Makassar pada bulan Agustus tahun 2009 dan dinyatakan lulus pada bulan Desember tahun 2013. Pada bulan Agustus tahun 2014 penulis diterima di Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan dengan memperoleh beasiswa Fresh Graduate dari Dikti tahun 2014 dan beasiswa tesis dari Lembaga Pengelolah Dana Pendidikan Kementerian Keuangan. Karya ilmiah penulis dangan judul “Produktivitas Ayam Pedaging pada Ketinggian Tempat pemeliharaan yang Berbeda di Provinsi Sulawesi Selatan” telah diajukan pada Jurnal Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali. Karya ilmiah merupakan bagian dari program magister yang semoga dapat bermanfaat bagi sesama.