i
KUALITAS DAGING DAN PERFORMA AYAM BROILER DI KANDANG TERBUKA PADA KETINGGIAN TEMPAT PEMELIHARAAN YANG BERBEDA DI KABUPATEN TAKALAR SULAWESI SELATAN
ANAS QURNIAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kualitas Daging dan Performa Ayam Broiler Di Kandang Terbuka Pada Ketinggian Tempat Pemeliharaan Yang Berbeda Di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2016 Anas Qurniawan D151130071
iv
RINGKASAN ANAS QURNIAWAN. Kualitas Daging dan Performa Ayam Broiler di Kandang Terbuka pada Ketinggian Tempat Pemeliharaan yang Berbeda Di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh IRMA ISNAFIA ARIEF dan RUDI AFNAN. Populasi ayam broiler di Indonesia semakin meningkat seiring dengan tingginya tingkat konsumsi daging unggas masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau. Tiap pulau mempunyai karakteristik dataran tersendiri yang berbeda-beda yang terbagi berdasarkan ketinggian tempat, yaitu dataran rendah, sedang, dan tinggi. Perbedaan ketinggian tempat ini berpengaruh terhadap kondisi mikroklimatik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor lingkungan berdasarkan ketinggian tempat pemeliharaan ayam broiler yang berbeda terhadap mikroklimatik, performa produksi, dan kualitas daging ayam broiler di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Ayam broiler tersebut dipelihara pada dataran rendah (<300 m dpl), dataran sedang (300-600 m dpl), dan dataran tinggi (>700 m dpl). Parameter yang diamati berupa mikroklimatik, status fisiologis, performa produksi, kualitas fisik daging, organoleptik, kualitas kimia daging, dan mikrobiologi daging. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan satu faktor dan dua faktor berdasarkan parameter penelitian, pengujian organoleptik menggunakan analisis non parametrik Kruskall Wallis. Penelitian ini terdiri 2 tahap yaitu, fase pemeliharaan dan pascapanen. Hasil penelitian menunjukkan ketinggian tempat berpengaruh nyata terhadap mikroklimatik, status fisiologis, performa produksi, kualitas fisik daging, aroma pada pengujian organoleptik kecuali pada pengujian kimia daging, dan mikrobiologi. Perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap performa produksi, namun pada status fisiologis, dan kualitas fisik daging tidak berpengaruh signifikan. Interaksi nyata ditemukan antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan dan daya putus daging mentah. Kualitas daging yang baik dihasilkan pada pemeliharaan dataran sedang dan tinggi. Kata Kunci : Ayam broiler, kualitas daging, mikroklimatik, performa produksi.
v
SUMMARY ANAS QURNIAWAN. Meat Quality and Performance of Broiler Chicken maintainance at The Different Altitude of Takalar South Sulawesi. Supervised by IRMA ISNAFIA ARIEF and RUDI AFNAN. Broiler chicken population in Indonesia is increasing along with the high level of poultry meat consumption of Indonesian society. Indonesia is an archipelago country with more than 17 thousand islands. Each island has own different altitude, low land, medium land, and high land. These altitude differences affect the climatic conditions. This study aims to identify environmental factors which are based on different altitude of broiler chicken maintenance to microclimatic, production performance and meat quality of broiler chicken in Takalar South Sulawesi. Broiler chickens were rared in the low land (<300 high sea level), medium land (300-600 high sea level), and high land (> 700 high sea level). The parameters were microclimatic, physiological status, production performance, organoleptic, physical quality, chemical quality and microbiology of the meat. The experimental design was a randomized complete block design (RCBD) with one factor and two-factor which were based on the study parameters, while the organoleptic by Kruskal Wallis was non-parametric analysis. This study was consisted of two stages, maintenance and post-harvest phase. The results showed that altitude has significant effect to microclimatic, physiological status, production performance, physical quality of the meat, flavor from the organoleptic. Chemical test of the meat and microbiology did not have a significant effect. Sex differences were significant to production, but at not to physiological status, and physical quality of the meat. There was a significant interaction between altitude and sex on body weight gain and tenderness of raw meat. Good quality of meats were resulted from in the medium and high land maintainance. Keywords: Broiler chicken, meat quality, microclimatic, production performance
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
KUALITAS DAGING DAN PERFORMA AYAM BROILER DI KANDANG TERBUKA PADA KETINGGIAN TEMPAT PEMELIHARAAN YANG BERBEDA DI KABUPATEN TAKALAR SULAWESI SELATAN
ANAS QURNIAWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr Ir Niken Ulupi MS
x
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulisan Tesis berjudul "Kualitas Daging dan Performa Ayam Broiler di Kandang Terbuka pada Ketinggian Tempat Berbeda di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan" ini dapat diselesaikan. Saya menyadari banyak pihak yang membantu baik moril, materil, maupun doa dalam perjalanan Tesis ini. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Irma Isnafia Arief S.Pt M.Si dan Dr. Ir. Rudi Afnan S.Pt M.ScAgr sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta atas semua bimbingan dan nasehat, kritik, dan saran selama penelitian dan penyusunan Tesis ini. Penghargaan penulis disampaikan pada DIKTI atas beasiswa BPPDN, yang telah membantu dalam proses penelitian ini hingga selesai. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Drs. Baharuddin K dan Ibunda Dra. Sabria Samson, adik Muhammad Palalloi SE, Nur Faisa S.P, Nur Aulia dan Raikhana Apriana S.S S.Pd. Tak lupa juga ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Effendi Abustam MS, suadara Muh. Adriansyah S.Pt, Daeng Ngempo, Daeng Budianto, Daeng Mukhsin dan seluruh staf laboratorium Teknologi Hasil Ternak Universitas Hasanuddin yang telah membantu dan memberikan fasilitas penelitian ini. Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Rumana Sulawesi Selatan, Forum Wacana IPB, Pasca ITP 2013, Staff Administrasi ITP atas kerja sama selama penulis menyelesaikan studi. Semoga Tesis ini bermanfaat dan memberikan informasi baru untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dunia peternakan, dan bagi para pembaca. Amin Bogor, Februari 2016
Anas Qurniawan
xi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii XII
DAFTAR GAMBAR
XII xii
DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hipotesis Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
xiii XIII 1 1 2 2 2 2
2 METODE Lokasi dan Waktu Alat dan Bahan Prosedur Penelitian Peubah yang Diamati Prosedur Pengambilan Data Mikro Klimatik Status Fisiologis Performa Produksi Pengujian Sifat Fisik Daging Pengujian Kimia Daging Pengujian Organoleptik Pengujian Mikrobiologi Rancangan Penelitian Rancangan Percobaan
4 4 4 5 5 6 6 6 7 7 8 9 10 11 11
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Mikroklimatik Status Fisiologis Performa Produksi Kualitas Fisik Daging Organoleptik Kualitas Kimia Daging Mikrobiologi Daging Diskusi Umum
12 12 12 16 17 23 26 28 30 31
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
32 32 32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
38
RIWAYAT HIDUP
50
xii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Proksimat pakan Mikroklimatik dalam kandang dengan ketinggian berbeda Kecepatan angin (meter detik-1) dalam kandang ayam broiler (rata rata ± SD) Suhu rektal (°C) ayam broiler jantan dan betina berdasarkan ketinggian tempat pemeliharaan (rata rata ± SD) Konsumsi pakan (g ekor-1 minggu-1) ayam broiler jantan dan betina pada pemeliharaan ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Konsumsi air minum (ml ekor-1 minggu-1) ayam broiler jantan dan betina pada pemeliharaan ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Bobot badan akhir pemeliharaan (g ekor-1) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Pertambahan bobot badan (g ekor-1minggu-1) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) FCR ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Bobot karkas (g ekor-1) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Persentase karkas (%) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) pH daging ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Daya putus daging (DPD) mentah (kg cm-2) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Daya putus daging (DPD) masak ayam broiler kg cm-2 jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Susut masak (%) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) DIA (%) daging ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Uji mutu hedonik daging pada bagian dada ayam broiler yang dipelihara di ketinggian tempat berbeda (rata rata ± SD) Uji hedonik daging ayam broiler yang dipelihara di ketinggian tempat berbeda (rata rata ± SD) Analisis kandungan kimia daging (bobot basah) ayam broiler yang dipelihara di ketinggian tempat (rata rata ± SD) Hasil uji mikrobiologi ayam broiler yang dipelihara di ketinggian tempat (rata rata ± SD) Mikroklimatik (THI) terhadap performa produksi ayam broiler (rata rata ± SD)
5 13 15 16 17 18 19 20 21 22 22 23 24 25 25 26 27 28 29 30 31
DAFTAR GAMBAR 1 2
Diagram alir penelitian Lokasi penelitian
3 4
xiii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey antara ketinggian tempat terhadap suhu rektal ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap konsumsi pakan pemeliharaan ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap konsumsi air minum pemeliharaan ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan (PBB) pemeliharaan ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap berat awal pemeliharaan ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap berat akhir pemeliharaan ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap FCR pemeliharaan ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap berat karkas pemeliharaan ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap persentase karkas ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap pH daging ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap daya putus daging (DPD) mentah daging ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap daya putus daging (DPD) masak daging ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap susut masak daging ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap daya ikat air (DIA) daging ayam broiler Hasil analisis Kruskall Wallis, ketinggian tempat terhadap uji hedonik daging ayam broiler Hasil analisis Kruskall Wallis, ketinggian tempat terhadap uji mutu hedonik daging ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji kualitas kimia (air) daging ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji kualitas kimia (protein) daging ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji kualitas kimia (lemak) daging ayam broiler Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji kualitas kimia (karbohidrat) daging ayam broiler
38 38 39 39 40 41 41 42 42 42 43 43 44 44 44 45 46 46 47 47
xiv
21 Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji kualitas kimia (kadar abu) daging ayam broiler 47 22 Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji mikrobiologi (ALT) daging ayam broiler 47 23 Dokumentasi penelitian 48
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Populasi ayam broiler di Indonesia semakin meningkat seiring dengan tingginya tingkat konsumsi daging unggas masyarakat Indonesia. Ayam broiler memberikan sumbangan besar terhadap pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia, karena proses produksi ayam broiler yang relatif cepat, mudah diperoleh di pasar dan harganya relatif murah dibanding sumber protein hewani lainnya. Populasi ayam broiler di Indonesia pada tahun 2013 menurut Ditjenak (2013) sebanyak 1.3 miliar ekor merupakan populasi paling tinggi diantara ternak unggas lainnya yaitu, itik 5.2 juta ekor, ayam petelur 154 juta ekor serta ayam buras 286 juta ekor. Populasi ayam broiler yang dipelihara menurut usaha rumah tangga di Sulawesi Selatan menurut sensus pertanian Badan Pusat Statistik tahun 2013 Kabupaten Takalar sekitar tiga juta ekor (0.73 %), sedangkan total keseluruhan populasi ayam broiler di Sulawesi Selatan adalah 50 juta ekor. Takalar merupakan daerah yang memiliki populasi ternak broiler yang terbanyak ke-3 di Sulawesi Selatan (BPS 2013). Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau. Tiap pulau mempunyai karakteristik dataran tersendiri yang berbeda-beda yang terbagi berdasarkan ketinggian tempat, yaitu daerah rendah, sedang, dan tinggi yang berhubungan dengan kondisi cuaca. Iklim di Sulawesi Selatan termasuk tropika basah dengan suhu udara rata-rata 26.8 °C dan kelembaban udara 81.9%. Kondisi topografi wilayah Kabupaten Takalar berada pada ketinggian 0 sampai 1300 meter di atas permukaan laut (m dpl) dengan bentuk permukaan lahan relatif datar, bergelombang hingga perbukitan. Wilayah pesisir dengan ketinggian 0 sampai 100 m dpl seluas 48.778 km2 (86.10% wilayah). Kondisi topografi tersebut menyebabkan daerah Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Takalar, memiliki potensi untuk pengembangan dan pemeliharaan ayam broiler Stres akibat panas pada daerah panas, musim panas dan perubahan iklim menjadi faktor utama yang membatasi efesiensi produksi ayam broiler (Lin et al. 2006). Ayam broiler yang diseleksi untuk pertumbuhan yang tinggi berhubungan dengan produksi metabolisme panas yang tinggi (Gous 2010). Ozkan et al. (2010) meneliti perbedaan jenis kelamin pada ayam broiler terhadap dalam konsumsi pakan, berat badan dan FCR pada ketinggian tempat (altitude) yang berbeda. Daerah tinggi, konsumsi pakan, bobot badan dan FCR yang lebih baik dibanding daerah rendah. Suhu lingkungan yang melebihi tingkat kenyamanan ayam broiler berdampak pada penurunan konsumsi pakan dan proses metabolisme (Swennen et al. 2007) sehingga mengakibatkan performa yang kurang baik dan tidak menguntungkan (Quinteiro-Filho et al. 2010). Perubahan iklim dapat mempengaruhi kualitas daging melalui dua cara. Pertama, pengaruh langsung pada organ dan metabolisme otot selama paparan cekaman panas yang terjadi setelah pemotongan. Cekaman panas meningkatkan resiko susut masak daging ayam broiler. Kedua, pengaruh tidak langsung respon ayam broiler terhadap perubahan iklim dan manajemen terhadap kualitas daging (Gregory 2010). Piestun et al. (2011) melaporkan penurunan bobot badan 2006 g ekor-1 menjadi 1842 g ekor-1, konsumsi pakan 2005 g ekor-1 menjadi 1902 g ekor-
2
1
, dan feed conversion ratio 1.62 menjadi 1.83 melalui memanipulasi panas sebesar 35 °C selama 12 jam pada pemeliharaan ayam broiler umur 35 hari. Durek et al. (2014) melaporkan pH pada daging broiler 5.84-5.95. Komposisi kimia daging ayam broiler seperti kadar air 73.1%, protein 24.7 %, lemak 1 % dan kadar abu 1.1% (Dotas et al. 2014). Uji mikrobiologi Escherichia coli pada proses pemotongan ayam broiler di Swiss menunjukkan hasil 3.3 - 5.5 log CFU g-1 (Zweifel et al. 2014), level kontaminasi Campylobacter pada karkas broiler untuk mengevaluasi status higenitas daging broiler di Belgia menunjukkan hasil positif terhadap Campylobacter (Habib et al. 2012), Salmonella spp tidak berkorelasi nyata yang ditemukan pada karkas ayam broiler (Hue et al. 2011) dan di Brazil Staphylococcus aureus pada daging ayam menunjukkan hasil positif (Moreira et al. 2008). Pengkajian dan penelitian mengenai kualitas daging dan performa ayam broiler pada pemeliharaan ketinggian yang berbeda akibat perbedaan mikroklimatik yang menyebabkan cekaman panas sangat diperlukan untuk antisipasi dan mitigasi perubahan iklim yang tidak menentu selama pemeliharaan ayam broiler. Hipotesis Menimbulkan perbedaan mikroklimatik, performa produksi dan kualitas daging ayam broiler pada ketinggian tempat pemeliharaan yang berbeda di daerah Sulawesi Selatan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor lingkungan berdasarkan ketinggian tempat pemeliharaan yang berbeda terhadap mikroklimatik, performa produksi, dan kualitas daging ayam broiler di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kualitas daging dan performa produksi ayam broiler yang dipelihara pada ketinggian tempat berbeda sebagai acuan untuk upaya antisipasi dan mitigasi. Ruang Lingkup Penelitian Pemeliharaan ayam broiler dilakukan pada 3 ketinggian tempat berbeda yaitu, dataran rendah (pesisir) (<300 m dpl), dataran sedang (300-600 m dpl) dan tinggi (pegunungan) (>700 m dpl). Penelitian Tahap 1 melakukan analisis a)
3
mikroklimatik meliputi suhu, kelembaban, THI (temperatur humidity index), dan kecepatan angin terhadap suhu rektal ayam broiler dan performa produksi ayam broiler, dan b) performa produksi ayam broiler meliputi konsumsi pakan, konsumsi air minum, pertambahan bobot badan, FCR (feed conversion ratio), bobot badan, bobot karkas, persentase berat karkas. Penelitian Tahap 2 melakukan analisis kualitas daging meliputi a) uji fisik berupa derajat keasaman (pH), DPD/daya putus daging mentah dan masak, susut masak, DIA/daya ikat air (water holding capacity), b) uji organoleptik daging berupa hedonik dan mutu hedonik diuji oleh 30 panelis tidak terlatih, c) uji kualitas kimia meliputi kadar air, protein, lemak, karbohidrat, dan kadar abu, d) uji mikrobiologi daging meliputi TPC (Total Plate Count), E. coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp. Gambaran umum penelitian disajikan pada Gambar 1. Rendah (<300 m dpl)
Sedang (300- 600 m dpl)
Tinggi (>700 m dpl)
Kandang Pemeliharaan 10 ekor Jantan
Tahap 1
1. 2. 3. 4. 5.
Mikroklimatik Suhu Kelembaban THI Kecepatan Angin Suhu Rektal
10 ekor Betina
10 ekor Jantan
10 ekor Betina
10 ekor Jantan
Tahap 2
Tahap 1 Performa Produksi 1. Konsumsi Pakan 2. Konsumsi Air Minum 3. PBB 4. Bobot Badan 5. FCR 6. Karkas
Gambar 1 Diagram alir penelitian
10 ekor Betina
1. 2. 3. 4.
Kualitas Daging Fisik Daging Organoleptik Kimia Daging Mikrobiologi
4
2
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2015 sampai Juni 2015 melalui pengamatan di lapangan dan uji di laboratorium. Lokasi penelitian adalah perkandangan rakyat ayam broiler di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Uji kualitas fisik daging dan organoleptik dilaksanakan di laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Uji kualitas kimia daging dilakukan di laboratorium Nutrisi Ternak Dasar Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Uji mikrobiologi daging dilakukan di Balai Laboratorium Kesehatan Makassar Sulawesi Selatan. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Lokasi penelitian Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: termo-higrometer digital, termometer dry dan wet, anemometer, termometer rektal, timbangan digital, tempat pakan, tempat air minum, termometer bimetal, pH meter daging, cool box, CD shear force, pisau, freezer, plastik, kaos tangan, kamera smartphone dan alat tulis.
5
Kandang yang digunakan adalah tipe panggung terbuat dari kayu untuk tempat pemeliharan ayam broiler strain Lohmann 202. Pakan yang diberikan diproduksi oleh PT. Japfa Comfeed Tbk, yaitu tipe MS-42 (umur 15 - 21 hari), dan tipe MS-44 (umur 22 hari sampai panen). Analisis proksimat pakan ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Proksimat pakan Proksimat Air (%) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Abu (%) Kalsium (%) Fosfor (%)
MS-42
MS-44
12 21 7 5 7 1.1 0.9
12 19 8 5 7 1.1 0.9
Prosedur Penelitian Lokasi pemeliharaan (lokasi perkandangan) ditentukan berdasarkan ketinggian tempat, yaitu dataran rendah / daerah pesisir (<300 m dpl), dataran sedang (300-600 m dpl), dan pegunungan (>700 m dpl). Penelitian tahap 1 melaksanakan pemeliharaan. Sebanyak 6 petak masing-masing berukuran 1 m x 1m terletak di depan, tengah dan belakang kandang. Tiga petak berisi masingmasing 10 ekor ayam broiler jantan dan 3 petak lain masing-masing berisi 10 ekor ayam broiler betina. Pengambilan data dilakukan pada umur ayam broiler 15 hari sampai 42 hari. Penelitian tahap 2 melakukan pemanenan (pemotongan ayam) di rumah potong ayam (RPA) tradisional. Sampel daging bagian dada diambil sebanyak 3 ekor dari masing masing petak untuk uji kualitas daging (uji fisik, uji proksimat dan uji mikrobiologi). Sampel dimasukkan ke dalam coolbox berisi es kristal untuk menjaga suhu sampel daging. Sampel diangkut selama 1 jam menggunakan mobil minibus ke laboratorium. Uji kualitas daging dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, uji proksimat di laboratorium Nutrisi Ternak Dasar Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dan uji mikrobiologi di aboratorium Balai Besar Kesehatan Makassar Sulawesi Selatan. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian tahap 1 adalah: 1. Mikroklimatik saat penelitian meliputi suhu, kelembaban, kecepatan angin, THI (Temperature-Humidity Index), dan suhu rektal ayam broiler.
6
2. Performa produksi ayam broiler meliputi konsumsi pakan, konsumsi air minum, pertambahan bobot badan, dan FCR (Feed Conversion Ratio), bobot badan, dan karkas. Peubah yang diamati dalam penelitian tahap 2 adalah: 1. Kualitas daging broiler meliputi uji sifat fisik, uji kimia daging, uji mikrobiologi dan uji organoleptik. Prosedur Pengambilan Data Mikro Klimatik Suhu dan Kelembaban Suhu basah dan kering serta kelembaban diukur menggunakan termometer digital dan termometer basah kering yang dipasang pada masing-masing petak (depan, tengah, belakang) di dalam kandang pada ketinggian 50 cm di atas lantai kandang. Data diambil 3 kali sehari yaitu, pukul 07.00 WITA, 12.00 WITA, dan 17.00 WITA. Kecepatan Angin Kecepatan angin diukur menggunakan anemometer pada masing masing lokasi petak kandang (depan, tengah, belakang). Pengukuran dilakukan pada ketinggian 50 cm di atas lantai kandang. Data diambil 3 kali sehari yaitu pukul 07.00 WITA, 12.00 WITA dan 17.00 WITA. THI (temperature-humidity index) Temperature-humidity index dihitung berdasarkan rumus Tao dan Xin (2003) sebagai berikut : THI broiler = 0.85 𝑇!" + 0.15 T!" Keterangan : THI = Temperatur humidity index, °C 𝑇!" = Dry-bulb temperatur, °C T!" = Wet-bulb temperatur, °C Status Fisiologis Suhu Rektal Termometer rektal digital digunakan untuk mengukur suhu rektal ayam broiler dengan termometer rektal dimasukkan ke dalam rektum ayam broiler sedalam 2 cm selama 1 menit. Pengurkuran dilakukan sebanyak 3 kali untuk kemudian dirata-ratakan.
7
Performa Produksi Konsumsi Pakan Konsumsi pakan (g ekor-1minggu-1) diukur dari jumlah pakan yang diberikan dikurangi sisa pakan. Konsumsi pakan dihitung setiap minggu kemudian dirata-ratakan. Pemberian pakan dilakukan secara ad libitum. Konsumsi Air Minum Konsumsi air minum (ml ekor-1minggu-1) diukur dari jumlah air minum yang diberikan dikurangi sisa air minum. Konsumsi air minum diukur setiap hari kemudia dirata-ratakan. Pemberian air minum dilakukan secara ad libitum. PBB (Pertambahan Bobot Badan) Pertambahan bobot badan (g ekor-1 minggu-1) diukur setiap minggu menggunakan rumus: 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 – 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑤𝑎𝑙 FCR (Feed Conversion Ratio) Feed Conversion Ratio dihitung dengan rumus: Feed Conversion Ratio =
jumlah pakan yang dikonsumsi (g) bobot badan yang dihasilkan (g)
Karkas Persentase karkas dihitung menggunakan rumus: berat karkas g ×100% Persentase karkas % = berat hidup g
Pengujian Sifat Fisik Daging pH daging Sampel daging diukur menggunakan pH meter digital Lutron tipe PH-201. Setiap sampel diukur sebanyak 3 kali ulangan di titik yang berbeda. pH meter dikalibarisasi setiap akan digunakan dengan larutan buffer pH 7, lalu pada cairan buffer pH 4. Daya Ikat Air (DIA) Daya ikat air atau Water Holding Capacity (WHC) diukur menggunakan metode Hamm (1972). Sampel daging seberat 0.3 g diletakkan di atas kertas saring di antara dua plat baja tahan karat. Sampel diberi beban seberat 35 kg selama 5 menit. Kertas saring akan menunjukkan area yang tertutup oleh sampel daging yang telah menjadi pipih dan luas area basah di sekelilingnya. Kedua area tersebut ditandai dan digambar pada kertas grafik atau kertas kalkir untuk menghitung luas kedua area tersebut. Setelah digambar kemudian discan, kemudian dihitung melalui software Corel Draw X4. Area basah diperoleh dengan
8
dengan mengurangkan area yang tertutup daging dari area total yang meliputi pula area basah pada kertas saring. Kandungan air dihitung menggunakan rumus: area basah cm2 = luas area basah - luas area daging area basa (cm2 )-8.0 mgH2 O = 0.0948 DIA = % kadar air
mgH2 O × 100% 300
Susut Masak Sampel ditimbang sebagai berat awal sebelum direbus. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian diikat agar tidak dimasuki air ketika direbus. Sampel daging direbus dalam penangas air (waterbath) selama 30 menit dan diangkat serta dikeluarkan dari kantong plastik dan dipisahkan dari bagian kaldunya. Sampel kemudian diseka dengan kertas tissu tanpa ditekan dan ditimbang. Susut masak dihitung berdasarakan: berat sebelum dimasak (g) - berat setelah dimasak (g) × 100% Susut Masak (%) = berat sebelum dimasak (g) Daya Putus Daging (DPD) Daya putus daging DPD diukur menggunakan CD (Creuzot Dumont) Shear Force untuk menentukan tingkat keempukan daging. Sampel daging dalam bentuk silender berukuran panjang 1 cm dan berdiameter 0.5 inci diletakkan dalam lubang CD shear force berpisau dengan setebal 1 mm untuk memotong sampel. Semakin besar beban untuk memutus sampel daging maka semakin alot daging tersebut. Nilai daya putus daging dinyatakan dalam kg cm-2 (Abustam 1993). Pengujian Kimia Daging Analisis Kadar Air (AOAC 2005) Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan atau jumlah air yang terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam. Cawan tersebut disimpan ke dalam desikator selama 15 menit dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel 1 gram ditimbang setelah terlebih dahulu digerus. Selanjutnya cawan yang diisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 °C selama 5-6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin selama 30 menit, kemudian ditimbang. Analisis Kadar Protein (Kjeldahl) (AOAC 2005) Sampel daging yang telah dihaluskan sebanyak 0.5 g dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal, kemudian ditambahkan 7.5 g kalium sulfat dan 0.35 g raksa oksida dan 15 ml asam sulfat pekat. Labu Kjedhal dipanaskan dalam lemari asam sampai berhenti berasap dan pemanasan diteruskan hingga mendidih dan cairan menjadi jernih, kemudian didinginkan. Sebanyak 100 ml aquades ditambahkan ke dalam
9
labu Kjeldahl yang didinginkan, ditambahkan 15 ml larutan kalium sulfat 4% kemudian ditambahkan perlahan larutan natrium hidroksida 50% sebanyak 50 ml. Labu kemudian dipanaskan sampai kedua cairan tercampur. Destilisasi ditampung dalam Erlemeyer yang diisi dengan larutan baku asam klorida 0.1 N sebanyak 50 ml dan indikator metal merah 0.1% b/v sebanyak 5 tetes. Titik akhir titrasi terjadi terjadi perubahan warna larutan dari merah menjadi kuning, kemudian dilakukan titrasi blanko. Analisis Kadar Lemak (AOAC 2005) Sampel yang digunakan (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destolasi Soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 °C dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak di destilasi hingga semua pelarut menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor. Pelarut dikeluarkan hingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C, setelah itu labu didinginkan dalam deksikator sampai beratnya konstan (W3). Analisis Kadar Abu (AOAC 2005) Analisis kadar abu dilakukan untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis. Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan dalam oven yang suhunya sekitar 105 °C selama 30 menit. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan abu porselen, selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tamur pengabuan dengan suhu 600 °C selama 6 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai dingin dan kemudian ditimbang. Pengujian Organoleptik Sampel daging ayam direbus sampai suhu 80 oC. Pengukuran menggunakan termometer bimetal. Setelah itu disajikan dan diuji sebanyak 30 orang panelis. Uji organoleptik meliputi hedonik dan mutu hedonik. Uji mutu hedonik terkait dengan warna, aroma, tekstur dan penampilan secara umum. Uji hedonik terkait tingkat kesukaan panelis (Arief et al. 2014). Setelah dikumpulkan data kemudian di uji menggunakan analisis Kruskal Wallis dengan uji lanjut menggunakan uji banding rataan ranking atau Multiple Comparison of Means Ranks (Gibbon 1975).
10
Pengujian Mikrobiologi Angka Lempeng Total (ALT) (SNI 2008) Daging sebanyak 25 gram dari masing masing sampel dihancurkan dan dimasukkan ke dalam 225 ml Bupper Pepton Water sehingga didapatkan pengenceran 101. Sampel yang telah diencerkan dipipet sebanyak 1 ml dan secara aseptik dimasukkan ke dalam 9 ml Bupper Pepton Water untuk diencerkan kembali mencapai pengenceran 106 . Setelah itu, sampel dipupuk ke dalam media Plate Count Agar. Escherichia coli (E .coli) Sebanyak 25 g sampel daging diencerkan dengan larutan 225 ml BPW lalu dihomogenkan menggunakan waring blender. Sampel selanjutnya diencerkan berseri dengan perbandingan 1:9. Sebanyak 0.1 ml pengenceran yang diinginkan (102 dan 103) ditanam ke dalam 15 ml media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) dengan metode sebar. Sampel selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Koloni yang tumbuh berwarna hijau metalik dengan titik hitam pada bagian tengahnya dihitung dan diidentifikasi sebagai E. Coli. Media EMBA yang diduga E. Coli diuji biokimia meliputi pewarnaan Gram, katalase, produksi CO2, dan uji IMViC (Indole, Methyle red, Voges-Proskauer, Citrate) untuk memastikan pendugaan positif E. Coli (Suardana et al. 2007). Staphylococcus aureus (S.aureus) Sampel daging sebanyak 25 g diencerkan dengan larutan 225 ml BPW lalu dihomogenkan menggunakan waring blender. Sampel selanjutnya diencerkan berseri dengan perbandingan 1:9. Sebanyak 1 ml pengenceran yang diinginkan (10-2 dan 10-3) ditanam ke dalam 15 ml media Baird Parker agar dengan metode sebar. Sampel selanjutnya diinkubasi pada suhu 35 °C selama 45 sampai 48 jam. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat, lembut, cembung berukuran 2-3 mm dengan warna abu abu-jet black, terkadang juga dengan tepi berwana cerah (off white), dikelililingi zona transparan, dan diidentifikasi sebagai S. aureus. Beberapa koloni diambil dari setiap cawan petri yang menunjukkan pertumbuhan bakteri yang diduga S. aureus untuk uji katalase, koagulase, clumping factor dan identifikasi Barrow dan Feltham (2003). Salmonella Sebanyak 25 g sampel daging diencerkan dengan larutan 225 ml BPW lalu dihomogenkan menggunakan waring blender. Sampel selanjutntnya diencerkan berseri dengan perbandingan 1:9. Sampel pengenceran 10-3, 10-5, 10-7 diambil dan dipindahkan ke dalam medium enrichment Selenite Cystine broth (SC) lalu diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Hasil enrichment ditanam berdasarkan metode sebar pada media selektif XLDA (Xylose Lysine Desoxycholate Agar) lalu diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Pengamatan, perhitungan dan morfologi koloni dilakukan pada koloni yang tumbuh. Pemurnian dilakukan dengan teknik penggoresan pada media XLDA. Koloni yang dipilih adalah koloni yang mempunyai morfologi dengan warna hitam mengkilat. Hasil pemurnian isolasi yang diduga salmonella kemudian diuji biokimia meliputi pewarnaan gram, uji TSIA, urease, methyl red, citrae, uji fermentasi gula (phenol red lactose
11
broth, phenol red sucrose broth, phenol red maltose broth, phenol red manitol broth), katalase dan oksidase Barrow dan Feltham (2003). Rancangan Penelitian Pemilihan wilayah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) berdasarkan ketinggian tempat. Data dianalisis ragam dan deskriptif. Rancangan Percobaan Mikroklimatik Analisis data dalam mikroklimatik menggunakan analisis deskriptif (Lambey et al. 2013). Analisis deskriptif bertujuan untuk menentukan perbedaan mikroklimatik setiap ketinggian tempat lokasi pemeliharaan ayam broiler di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Performa Produksi dan Kualitas Fisik Daging Rancangan yang digunakan dalam performa produksi adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua faktor. Faktor 1 adalah ketinggian tempat dan faktor 2 adalah jenis kelamin. Perbedaan antar pelakuan diuji Tukey. Model matematika yang digunakan (Mattjik dan Sumertajaya 2013) : Yijk = µ + Li + Sj + (LS)ij + Σijk : Yijk
:
µ Li
: :
Sj (LS)ij Σijk
: : :
Performa poduksi akibat pengaruh ketinggian tempat ke-i dan jenis kelamin ke-j serta interaksi antara keduanya. Nilai tengah umum Pengaruh kelompok ketinggian tempat ke-i (i= rendah, sedang, tinggi) Pengaruh kelompok jenis kelamin ke-j (j= jantan, betina) Interaksi antara ketinggian ke-i dan jenis kelamin ke-j Pengaruh galat
Organoleptik Pengujian organoleptik terdiri dari uji hedonik dan mutu hedonik dengan menggunkan analisis non parametrik Kruskal Wallis (Gasperz 1989), dengan rumus matematika : 1 Σ 𝑅𝑖 ! 𝑁(𝑁 + 1)! − 𝐻 = ! 4 𝑆 𝑖 𝑟! Keterangan : 𝑟! = banyaknya ulangan pada perlakuan ke-i 𝑁 = banyaknya pengamatan N=rt 𝑅𝑖 ! = jumlah ranking dari perlakuan ke-i Nilai S2 diperoleh dari
12
𝑆! =
Σ 1 𝑁(𝑁 + 1)! 𝑅!" ! − 𝑁 − 1 𝑖, 𝑗 4
Dimana 𝑅!" ! adalah pangkat (rank) dari pengamatan pada satuan percobaan (ulangan) ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i. Kualitas Kimia Daging dan Mikrobiologi Rancangan yang digunakan dalam kualitas kimia daging adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perbedaan antar pelakuan diuji Tukey. Model matematika yang digunakan (Mattjik dan Sumertajaya 2013) adalah: Yijk µ Li
: : :
Sj Σijk
: :
Yijk = µ + Li + Sj + Σijk Kualitas kimia daging akibat pengaruh ketinggian tempat Nilai tengah umum Pengaruh kelompok ketinggian tempat ke-i (i= rendah, sedang, tinggi) Pengaruh kelompok kandungan kimia kelompok ke-j Pengaruh galat
3
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Keadaan geografi wilayah Kabupaten Takalar terdiri dari dataran rendah (pesisir), daratan sedang, dan tinggi (pegunungan). Bagian barat wilayah Takalar merupakan daerah pesisir pantai (dataran rendah), dataran sedang, dan perbukitan (dataran tinggi) meliputi Kecamatan Mangarabombang, Kecamatan Mappakasunggu, Kecamatan Sandro Bone, Kecamatan Galesong Selatan, Kecamatan Galesong Kota, dan Kecamatan Galesong Utara. Kabupaten Takalar beriklim tropis dengan dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan biasa terjadi antara bulan Oktober sampai bulan Maret. Musim kemarau antara Oktober sampai Maret. Rata-rata curah hujan bulanan pada musim hujan berkisar antara 122.7 mm hingga 653.6 mm. Suhu rata-rata harian adalah 27.9 °C (Oktober) dan terendah 26.5 °C (Januari sampai Februari). Suhu udara terendah berkisar antara 20.4 °C hingga 22.2 °C pada bulan Februari sampai Agustus dan tertinggi 30.5°C hingga 33.9 °C pada bulan September sampai Januari (Pemkab 2015). Suhu lingkungan Indonesia di dataran rendah pada musim kemarau dapat mencapai 33 °C sampai 34 °C. Mikroklimatik Mikroklimatik merupakan kondisi iklim mikro yang terjadi di dalam kandang di setiap ketinggian berbeda. Kondisi iklim mikro yang dimaksud adalah suhu, kelembaban, THI, dan kecepatan angin.
13
Tabel 2 Mikroklimatik dalam kandang dengan ketinggian berbeda Ketinggian Tempat Rendah
Sedang
Tinggi
Umur (Minggu) III IV V VI Rata-rata III IV V VI Rata-rata III IV V VI Rata-rata
Pagi 28 27 27 27 27 25 24 25 25 25 24 26 26 26 25
Suhu (°C) Siang 32 33 32 31 32 30 29 30 32 31 28 29 32 32 30
Sore 30 30 30 29 30 29 28 27 27 28 28 27 28 27 28
Kelembaban (%) Pagi Siang Sore 78 64 74 75 63 66 84 63 74 86 69 77 81 65 73 92 81 84 93 84 85 95 78 93 96 73 92 94 79 88 88 70 73 87 77 87 83 65 81 89 75 89 87 72 83
Pagi 27.79 27.68 26.47 26.53 27.12 25.30 24.73 25.23 25.57 25.21 24.70 25.93 25.94 26.08 25.66
THI (°C) Siang 31.25 32.66 32.26 31.34 31.88 30.67 29.37 30.50 31.53 30.52 30.40 28.37 31.68 30.39 30.21
Sore 29.92 29.37 29.71 29.46 29.62 29.50 28.53 27.10 28.07 28.30 29.93 26.88 28.60 26.50 27.98
Suhu Massa udara terpengaruh oleh gravitasi bumi, semakin dekat dengan permukaan laut, udara akan semakin rapat. Semakin jauh dari permukaan laut, kerapatan udara semakin renggang. Udara yang massanya rapat akan menyerap panas matahari lebih banyak dari pada udara yang massanya sedikit. Daerah yang menyerap panas matahari lebih banyak suhunya tinggi, sedangkan daerah yang menyerap panas sedikit suhunya rendah. Perubahan suhu sesuai dengan perubahan ketinggian pada waktu dan tempat tertentu disebut Lapse Rate. Perhitungan besaran Lapse Rate yakni pertambahan kenaikan sebesar 1000 feet altitude suhu akan turun sebesar 2 °C. Selain itu peningkatan suhu terkait dengan karakteristik atmosfer, terutama pada lapisan troposfer, yaitu setiap kenaikan 100 meter suhu udara turun 0.5 °C. Fluktuasi suhu udara berkaitan dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Kondisi siang hari sebagian besar radiasi matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikel padat yang melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi ini mengakibatkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum dicapai saat intensitas radiasi matahari maksimum. Intensitas radiasi matahari maksimum tercapai pada saat berkas cahaya jatuh tegak lurus, yakni pada waktu tengah hari (Lakitan 1994). Suhu udara maksimum terjadi sesudah siang hari antara pukul 12.00 sampai 15.00. Suhu minimum terjadi pada pukul 06.00 atau matahari terbit. Suhu berpengaruh langsung terhadap kenyamanan, proses fisiologis dan produktivitas ternak. Suhu rata-rata di lokasi pemeliharaan dataran rendah lebih tinggi dibandingkan lokasi pemeliharaan dataran sedang dan tinggi. Suhu rata-rata pada dataran rendah, sedang dan tinggi berturut-turut 27 °C, 25 °C, 25 °C (pagi hari), 32 °C, 31 °C, 30 °C (siang hari) dan 30 °C, 28 °C, 28 °C (sore hari) (Tabel 2). Suhu terendah tercatat di dataran rendah pada pagi hari. Suhu tetinggi tercatat di dataran terendah pada siang hari.
14
Suhu dalam kandang merupakan gabungan panas lingkungan berasal dari radiasi matahari dan panas metabolisme dalam tubuh ayam yang dilepaskan ke lingkungan. Pemeliharaan ayam broiler pada periode starter memerlukan suhu tinggi sekitar 35 °C dan diturunkan secara bertahap hingga masa akhir brooder (14 hari). Suhu kandang selanjutnya mengikuti suhu lingkungan. Pemeliharaan periode starter memerlukan suhu lingkungan tinggi karena ayam broiler baru menetas dan belum mempunyai bulu. Suhu brooder dikurangi dengan meningkatnya umur. Ayam broiler berproduksi secara optimal pada suhu 18 °C sampai 21 °C. Kenaikan suhu lingkungan sangat mempengaruhi performa produksi ayam broiler. Sulistyoningsih (2004) menyatakan kenaikan suhu dalam kandang dari 21.1 °C menjadi 32.2 °C mengakibatkan konsumsi pakan berkurang hingga 20.2 %. Kelembaban Kelembaban udara adalah jumlah kadar uap air yang ada di udara hasil evaporasi permukaan tanah dan air. Kelembaban relatif merupakan perbandingan antara tekanan uap air aktual (yang terukur) dengan tekanan uap air pada kondisi jenuh (Lakitan 1994). Nilai kelembaban relatif berkisar dari 0 sampai 100%. Nilai 0% menunjukkan udara kering, sedangkan 100% menandakan udara jenuh dengan uap air. Kelembaban relatif lebih tinggi pada pagi hari di dataran sedang. Rata-rata kelembaban relatif dataran rendah, sedang, dan tinggi berturut-turut 81%, 94%, 87% (pagi hari), 65%, 79%, 72% (siang hari), dan 73%, 88%, 83% (sore hari) (Tabel 2). Kelembaban berkaitan dengan suhu udara. Semakin tinggi suhu udara maka kelembaban rendah. Sebaliknya semakin rendah suhu udara maka kelembaban tinggi. Umar (2012) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelembaban udara disuatu tempat adalah suhu. Daerah yang memiliki suhu udara yang tinggi memiliki kelembaban rendah karena suhu udara yang tinggi dapat mempercepat penguapan air sehingga uap air yang terkandung di tempat tersebut sangat sedikit. Suhu dan kelembaban yang tinggi dapat menjadi penyebab utama stres pada ternak. Kenaikan suhu dan kelembaban kandang disebabkan oleh lingkungan, letak kandang atau posisi kandang. Kelembaban relatif kandang 35% sampai 75 % tidak berbeda nyata dalam pertumbuhan ayam broiler (Austic dan Nesheim 1990). THI Indeks termal lingkungan seperti indeks suhu kelembaban (THI) telah dikembangkan untuk menilai dampak lingkungan termal status termoregulasi ternak (Purswell et al. 2012). Index suhu kelembaban atau THI (temperature humidity index) adalah ukuran gabungan dari suhu lingkungan dan kelembaban relatif yang merupakan cara yang berguna dan mudah untuk menilai risiko stres panas. Persamaan THI menggambarkan keadaan relatif dari suhu basah dan suhu kering untuk spesies berdasarkan parameter fisiologis (suhu tubuh, laju respirasi, denyut nadi), produksi panas, dan performa produksi (susu, telur, dan berat badan). Gates et al. (1995) menggunakan THI dari ayam petelur untuk menilai produksi broiler terhadap panas stres karena kurangnya informasi tentang THI
15
untuk ayam broiler. Purswell et al. (2012) melaporkan lingkungan termal dari perkandangan broiler dengan berat lebih besar dari 3.2 kg, yaitu suhu kering pada kisaran 15 °C, 21 °C, dan 27 °C dengan kelembaban 50%, 65%, dan 80% mengahsilkan THI sebesar 14.8 °C sampai 26.9 °C. THI terbagi menjadi tiga kategori, yaitu THI tinggi pada 29.65 °C - 29.90 °C berada pemeliharaan minggu II-III dataran rendah. THI kategori moderat pada 28.34 °C - 29.11 °C di dataran sedang dan sebagian dataran tinggi serta THI rendah pada 27.06 °C ke bawah di dataran tinggi (Tabel 2). Jika membandingkan hasil performa produksi ayam broiler tiga lokasi berbeda, lokasi pemeliharaan dataran tinggi lebih baik dibandingkan dua lokasi lainnya. Lokasi dataran tinggi memiliki kondisi suhu dan kelembaban yang lebih baik sehingga ayam broiler berada pada zona nyaman untuk mengkonsumsi pakan sehingga berdampak pada pertambahan bobot badan mingguan dan bobot akhir pemeliharaan. Pemerintah Uni Eropa melaporkan tentang dampak gelombang panas di Eropa dan kerugian di bidang usaha unggas sebesar 15% sampai 30% akibat gelombang panas yang melanda negara Eropa pada tahun 2003 (Vale et al. 2008). (St-Pierre et al. 2003) memperkirakan berdasarkan indeks suhu dan kelembaban (THI) dari stasiun meteorology di Amerika Serikat, kerugian produksi bisa mencapai 128 juta dolar ketika kondisi lingkungan menjauhi zona termonetral. Kecepatan Angin Kecepatan angin diukur untuk mengetahui seberapa besar sirkulasi udara dalam kandang. Kecepatan angin dapat berubah-ubah setiap saat yang salah satu faktornya disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan udara pada suatu wilayah. Kecepatan angin pada dataran rendah sangat tinggi karena dekat dengan laut dan hembusan angin tinggi sering berulang. Tabel 3 Kecepatan angin (meter detik-1) dalam kandang ayam broiler (rata rata ± SD) Ketinggian tempat Rendah Sedang Tinggi Rata rata
Pagi 26.46 ± 2.47 1.16 ± 0.25 1.51 ± 0.58 9.71 ± 14.51
Waktu Siang 29.15 ± 6.87 2.92 ± 0.25 1.41 ± 0.18 11.16 ± 15.60
Sore 26.57 ± 4.10 1.91 ± 0.69 2.94 ± 1.41 10.47 ± 13.95
Rata rata harian 27.39 ± 1.52 1.91 ± 0.88 1.95 ± 0.85
Rata rata kecepatan angin harian yang paling tinggi pada dataran rendah yaitu 27.39 meter detik-1, sedangkan rata rata kecepatan angin pada dataran sedang 1.91 meter detik-1 dan dataran tinggi 1.95 meter detik-1. Kecepatan angin untuk semua lokasi kandang berdasarkan waktu (pagi, siang, dan sore) tidak berbeda. Yahav et al. (2001) melaporkan terdapat pengaruh kecepatan angin (0.5 m s1 , 1.0 m s-1, 1.5 m s-1, 2.0 m s-1, 2.5 m s-1, 3 m s-1) dan kelembaban kandang 60% terhadap performa produksi ayam broiler pada bobot badan, pemberian pakan, dan efisiensi pakan. Peningkatan kecepatan angin pada perkandangan ayam akan
16
menurunkan suhu pada kulit ayam (Malheiros 2000). Penelitian Simmons et al. (2003) menempatkan ayam broiler di dekat ventilasi udara yang bertujuan untuk mengevaluasi efek dari kecepatan angin dengan suhu dari 25 °C sampai 30 °C pada usia 21 sampai 49 hari dengan meningkatkan kecepatan angin 120 sampai 180 m min-1 menghasilkan peningkatan pertumbuhan dan konversi pakan pada usia 42 sampai 49 hari. Selanjutnya, Dozier et al. (2005) menyatakan meningkatnya kecepatan angin 120 - 180 m min-1 di bawah suhu tinggi dapat menghasilkan keuntungan pada bobot badan ayam broiler. Status Fisiologis Status fisiologis merupakan parameter yang bertujuan untuk mengetahui tingkat cekaman ayam broiler pada saat pemelihraan. Status fisiologis berhubungan dengan kondisi mikroklimatik dalam kandang. Status fisiologi dilakukan dengan mengukur suhu rektal ayam broiler. Suhu Rektal Pengukuran suhu rektal merupakan salah satu indikator terjadinya cekaman atau ketidaknyamanan pada ayam broiler, semakin tercekam ayam artinya semakin tinggi suhu rektalnya. Suhu udara yang tinggi dapat meningkatkan suhu rektal (Acikgöz et al. 2003). Tabel 4 menyajikan suhu rektal ayam broiler jantan dan betina yang dipelihara berdasarkan ketinggian tempat. Tabel 4 Suhu rektal (°C) ayam broiler jantan dan betina berdasarkan ketinggian tempat pemeliharaan (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Rata rata
Jenis Kelamin Jantan 40.41 ± 0.22 41.51 ± 0.20 41.38 ± 0.43 41.10 ± 0.60
Betina 40.51 ± 0.25 41.47 ± 0.18 41.38 ± 0.43 41.45 ± 0.06
Rata rata 40.96 ± 0.77b 41.49 ± 0.03a 41.38 ± 0.00a
Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
Ketinggian tempat berpengaruh nyata terhadap suhu rektal ayam broiler ditemui dilokasi pemeliharaan dataran rendah. Suhu rektal yang rendah sebesar 40.46 °C walaupun memiliki suhu lingkungan yang tinggi. Sementara pada dataran sedang dan tinggi suhu rektal, sama tinggi. Suhu rektal yang rendah dipengaruhi oleh suhu tinggi dan kelembaban rendah. Kandang dataran rendah memiliki suhu yang tinggi sementara kandang dataran sedang dan dataran tinggi memiliki suhu kandang yang sama yaitu paling rendah (Tabel 2). Hal ini sependapat dengan Yuni (2007) yaitu rata rata suhu rektal ayam broiler yang dipelihara dikandang terbuka lebih tinggi dibanding tertutup masing masing 41.19 °C dan 40.56 °C.
17
Perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap suhu rektal. Ayam broiler jantan dan betina memiliki suhu rektal yang sama. Artinya, pengeluaran panas ayam broiler jantan dan ayam broiler betina sama. Interaksi antara kedua parameter tidak berpengaruh nyata terhadap suhu rektal, hal ini berarti ketinggian tempat dan perbedaan jenis kelamin tidak memiliki kaitan dengan suhu rektal. Performa Produksi Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keberhasilan pemeliharaan ayam broiler, karena biaya pakan dalam satu priode pemeliharaan mencapai 60%-70% dari total biaya produksi (Winendar et al. 2006). Tabel 5 menyajikan jumlah konsumsi pakan pada ketinggian tempat yang berbeda. Tabel 5 Konsumsi pakan (g ekor-1 minggu-1) ayam broiler jantan dan betina pada pemeliharaan ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Rata-Rata
Jenis Kelamin Jantan 378.09 ± 22.43 400.97 ± 4.53 449.29 ± 13.20 409.45 ± 34.13a
Betina 317.07 ± 7.94 357.84 ± 17.55 383.05 ± 5.00 352.65 ± 42.90b
Rata-Rata 347.58 ± 36.65c 379.40 ± 26.25b 416.17 ± 37.36a
Angka pada baris dan kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
Ketinggian tempat berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan ayam broiler. Lokasi pemeliharaan dataran tinggi memiliki rata rata konsumsi pakan tertinggi (416.17 g ekor-1 minggu-1) dibanding lokasi kandang dataran sedang (379.40 g ekor-1 minggu-1) dan dataran rendah (347.58 g ekor-1 minggu-1). Perbedaan jumlah konsumsi pakan disebabkan perbedaan mikroklimatik terhadap ketinggian tempat (altitude). Dataran rendah memiliki suhu kandang tinggi di atas comfort zone (13 °C - 27 °C), sehingga ayam tercekaman panas. Saat suhu tinggi, ayam broiler berusaha mendinginkan tubuhnya dengan cara bernafas secara cepat (panting). Panting menyebabkan peredaran darah banyak menuju ke organ pernafasan, sedangkan peredaran darah pada organ pencernaan mengalami penurunan sehingga bisa mengganggu pencernaan dan metabolisme dan akhirnya konsumsi terhadap pakan berkurang. Rosidi et al. (1999) menyatakan aktivitas metabolisme ayam broiler terpengaruh karena suhu lingkungan yang tinggi, dengan menurunkan aktivitas makan. Pendapat berbeda yang dikemukakan oleh Fuller dan Rendon (1977) yaitu pada suhu lingkungan tinggi di atas zona termonetral akan mengakibatkan
18
kebutuhan energi lebih tinggi. Hal ini disebabkan meningkatnya laju metabolisme basal akibat pertambahan penggunaan energi untuk meningkatkan frekuensi pernapasan, kerja jantung serta bertambahnya sirkulasi darah periferi. Bonnet et al. (1997) berpendapat konsumsi ransum berumur 4 sampai 6 minggu yang dipelihara pada suhu lingkungan 32 °C lebih rendah yaitu 105 g ekor-1 hari-1 dibanding suhu lingkungan 22 °C masing-yaitu 159 g ekor -1 hari-1. Jenis kelamin memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi pakan. Konsumsi pakan ayam broiler jantan (409.45 ekor-1 minggu-1) lebih tinggi dibanding ayam broiler betina (352.65 ekor-1 minggu-1). Perbedaan konsumsi pakan antara jantan dan betina disebabkan perbedaan kebutuhan energi metabolisme antara keduanya. Energi metabolisme yang diperlukan ayam broiler berbeda, sesuai dengan umur, suhu dan jenis kelamin. Energi yang dikonsumsi ayam dipergunakan untuk pertumbuhan jaringan tubuh, produksi, aktvitas fisik, dan mempertahankan suhu tubuh normal. Interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi pakan. Konsumsi Air Minum Konsumsi air minum merupakan parameter untuk menduga apakah suhu lingkungannya normal. Pada suhu lingkungan normal konsumsi air minum ayam broiler 1.6-2 kali dari konsumsi pakan. Tabel 6 menyajikan konsumsi air minum ayam broiler yang dipelahara pada ketinggian tempat yang berbeda. Ketinggian tempat berpengaruh nyata terhadap konsumsi air minum ayam broiler. Rata rata konsumsi air minum tertinggi pada kandang dataran rendah (256.02 ml ekor-1 minggu-1) dibanding dataran sedang (233.42 ml ekor-1 minggu-1) dan dataran tinggi (231.61 ml ekor-1 minggu-1). Kandang dataran rendah memiliki suhu di atas comfort zone (13 °C - 27 °C) dan ayam broiler yang terindikasi tercekam panas. Apabila ayam broiler mendapat cekaman panas maka ayam akan kesulitan membuang panas tubuhnya ke lingkungan. Kondisi ini mendorong ayam untuk banyak mengkonsumsi air minum untuk menyeimbangkan kondisi panas dalam tubuhnya. Zurriyati dan Dahono (2013) berpendapat salah satu penyebab cekaman pada ayam broiler adalah perubahan suhu udara yang ekstrim yang mengakibatkan dehidrasi, nafsu makan berkurang, dan pertumbuhan terganggu. Cooper dan Washburn (1998) menyatakan jika ayam broiler mendapat cekaman panas maka akan mengurangi konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi air minum agar pembentukan panas endoterm tubuhnya dapat berkurang. Tabel 6 Konsumsi air minum (ml ekor-1 minggu-1) ayam broiler jantan dan betina pada pemeliharaan ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Rata-Rata
Jenis Kelamin Jantan Betina 283.41 ± 64.45 228.63 ± 79.70 245.51 ±40.89 221.34 ± 55.69 255.12 ± 27.39 208.10 ± 23.26 a 261.34 ± 90.92 219.35 ± 5.69b
Rata-Rata 256.02 ± 136.41a 233.42 ± 44.05b 231.61 ± 105.48b
Angka pada baris dan kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
19
Perbedaan jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap konsumsi air minum. Ayam broiler jantan memiliki konsumsi air minum yang tinggi (261.34 ml ekor-1 minggu-1) dibanding ayam broiler betina (219.35 ml ekor-1 minggu-1). Perbedaan ini disebabkan karena produktivitas ayam broiler jantan lebih tinggi dibanding ayam betina. Produktivitas ditunjukkan dengan tingginya konsumsi pakan dan bobot badan. Interakasi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan. Ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak memiliki keterkaitan antara konsumsi air minum. Bobot Badan Akhir Bobot badan akhir merupakan parameter yang biasanya digunakan peternak untuk mengevaluasi keberhasilan manajemen untuk menghitung keuntungan usahanya. Tabel 7 menyajikan bobot badan akhir ayam broiler yang dipelihara pada ketinggian tempat berbeda. Tabel 7 Bobot badan akhir pemeliharaan (g ekor-1) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Rata Rata
Jenis Kelamin Jantan Betina 3110 ± 125.30 2430 ± 0.00 3032 ± 218.02 2610 ± 98.49 3255 ± 119.25 2756 ± 25.66 a 3132.33 ± 113.17 2598.67 ± 163.30b
Rata Rata 2770 ± 480.83b 2821 ± 298.40ab 3005.50 ± 352.85a
Angka pada baris dan kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
Ketinggian tempat menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap bobot badan akhir pemeliharaan. Lokasi pemeliharaan dataran tinggi memiliki bobot badan tinggi yaitu (3005.50 g ekor -1), dibanding dataran sedang (2821 g ekor-1) dataran rendah (2770 g ekor-1). Dataran tinggi memiliki suhu lingkungan yang rendah sehingga memberikan kenyamanan pada ayam broiler. Salah satu indikator ayam berada dilingkungan nyaman yaitu tingginya konsumsi pakan (Tabel 5) yang berdampak pada bobot badan yang tinggi. Kusnadi et al. (2006) menyebutkan bobot hidup ayam broiler yang dipelihara pada suhu tinggi (32 °C) lebih rendah dibanding yang dipelihara pada suhu rendah (22 °C). Sugito dan Delima (2009) juga berpendapat rendahnya bobot badan ayam broiler disebabkan mengalami cekaman panas. Perbedaan jenis kelamin menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap bobot badan akhir ayam broiler. Bobot badan ayam jantan (3132.33 g ekor-1) lebih tinggi dibandingkan ayam broiler betina (2598.67 g ekor-1). Perbedaan ini disebabkan karena konsumsi pakan ayam broiler jantan lebih tinggi dibanding ayam broiler betina (Tabel 5). Interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap bobot badan akhir pemeliharaan. Ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak memiliki keterkaitan dengan bobot akhir.
20
Pertambahan Bobot Badan (PBB) Pertumbuhan ayam broiler merupakan hasil interaksi antara faktor genetik 30% dan faktor lingkungan 70%. Pertumbuhan adalah suatu proses peningkatan ukuran tulang, otot, organ dalam dan bagian tubuh sampai mencapai dewasa (Ensminger dan Eugene 1992). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah galur ayam, jenis kelamin, dan faktor lingkungan (Bell dan Weaver 2002). Hormon yang erat kaitannya dengan proses pertumbuhan adalah hormon tiroksin, sedangkan aktivitas kelenjar tiroid sangat erat hubungannya dengan suhu udara sekitar yaitu penghambatan aktivitas tiroid. Hormon tiroksin mengatur metabolisme basal mempunyai pengaruh yang penting terhadap pertumbuhan, makin tinggi metabolisme basal, makin rendah pertumbuhannya. Aktivitas metabolisme umumnya diukur melalui konsumsi O2 dan sekresi tiroksin. Salah satu parameter untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan mengukur pertambahan bobot badan tiap minggunya. Tabel 8 menyajikan PBB ayam broiler tiap minggu yang dipelihara pada ketinggian tempat berbeda. Tabel 8 Pertambahan bobot badan (g ekor-1minggu-1) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi
Jenis Kelamin Jantan 777.50 ± 31.32ab 730.83 ± 25.04bc 811.25 ± 29.81a
Betina 607.50 ± 0.00e 652.50 ± 24.62de 691.33 ± 6.4cd
Angka pada baris dan kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
Interaksi antara lokasi ketinggian tempat dan jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan (PBB) ayam broiler. PBB tertinggi pada lokasi pemeliharaan dataran tinggi jantan yaitu 811.25 g ekor-1minggu-1 dan paling rendah lokasi pemeliharaan dataran rendah betina 607.50 g ekor-1minggu-1. Bonnet et al. (1997) menyatakan pertambahan bobot badan ayam broiler umur 4-6 minggu yang dipelihara pada suhu lingkungan tinggi 32 °C sebesar 1615 g/ekor sedangkan pada suhu rendah 22 °C pertambahan bobot badan ayam broiler sebesar 1984 g/ekor. FCR (Feed Conversion Ratio) FCR merupakan rasio antara konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh selama kurung waktu tertentu. FCR digunakan untuk mengukur produktivitas ternak, semakin tinggi FCR maka semakin banyak ransum dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan ternak per satuan berat. Tabel 9 menyajikan FCR ayam broiler yang dipelihara berdasarkan ketinggian tempat.
21
Tabel 9 FCR ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Rata Rata
Jenis Kelamin Jantan Betina 1.31 ± 0.03 1.41 ± 0.03 1.48 ± 0.04 1.48 ± 0.01 1.50 ± 0.10 1.50 ± 0.03 1.43 ± 0.10 1.46 ± 0.04
Rata Rata 1.36 ± 0.06b 1.48 ± 0.02a 1.50 ± 0.06a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
Ketinggian tempat berpengaruh nyata terhadap FCR. FCR paling tinggi pada dataran tinggi 1.50 dibandingkan dataran sedang 1.48 dan dataran rendah 1.36. Pada penelitian ini ayam broiler pada dataran tinggi memiliki konsumsi pakan dan PBB tertinggi, sehingga FCR tinggi. Dataran rendah memiliki konsumsi ransum rendah, PBB rendah, dan memiliki nilai FCR yang paling baik diantara lokasi pemeliharaan lainnya. Ingram dan Hatten (2000) berpendapat nilai FCR disebabkan oleh suhu lingkungan dalam kandang, semakin rendah lingkungan kandang berarti FCR tinggi. Nilai FCR ini masih rendah dibanding penelitian Zurriyati dan Dahono (2013) yaitu 1.7 dan standar petunjuk pemeliharaan lohmann meat broiler yaitu FCR pada umur 42 hari yaitu 1.72 (Aviagen 2007). Perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap FCR. Sementara pada penelitian ini perbedaan jenis kelamin berpengaruh pada konsumsi pakan dan PBB. FCR ayam broiler jantan dan betina pada penelitian ini sama, dengan rata rata FCR yaitu 1.43 sampai 1.46. Interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai FCR. Ketinggian tempat dan jenis kelamin pada penelitian ini tidak memiliki keterkaitan dengan nilai FCR. Karkas Karkas merupakan parameter penilaian produksi daging pada ternak. Karkas adalah potongan ayam bersih tanpa bulu, darah, kepala, leher, kaki, cakar dan organ dalam. Persentase bobot karkas digunakan untuk menilai produksi daging ternak. Salah satu faktor yang mempengaruhi persentase bobot karkas ayam broiler adalah persentase bobot hidup, karena bobot karkas meliputi perbandingan bobot karkas dengan bobot hidup ayam, sehingga bobot hidup yang besar akan diikuti pula oleh bobot karkas yang besar pula, begitu juga sebaliknya. Bobot karkas dan persentase karkas disajikan masing masing pada Tabel 10 dan Tabel 11. Ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata terhadap bobot karkas. Bobot karkas dari semua diketinggian tempat hampir sama. Sementara, pada bobot akhir pemeliharaan berbeda nyata terhadap ketinggian tempat pemeliharaan ayam broiler. Biasanya bobot akhir berkorelasi dengan bobot karkas juga. Tidak adanya pengaruh ini disebabkan karena peralatan saat pengkarkasan dilakukan di rumah potong ayam tradisional, sehingga pemotongan tidak simetris dan tidak konsisten.
22
Faktor genetik, lingkungan, nutrisi, umur dan laju pertumbuhan dapat mempengaruhi bobot karkas (Soeparno 2005). Tabel 10 Bobot karkas (g ekor-1) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Rata Rata
Jenis Kelamin
Rata Rata Jantan Betina 2277.30 ± 90.68 1869.73 ± 13.54 2073.52 ± 230.64 2256.98 ± 91.40 1870.70 ± 97.75 2063.84 ± 227.87 2243.53 ± 224.09 2039.16 ± 125.35 2141.35 ± 197.24 2259.27 ± 130.06a 1926.53 ± 116.18b
Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
Tabel 11 Persentase karkas (%) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat
Jenis Kelamin Jantan Betina
Rendah Sedang Tinggi
73.21±1.74 71.96 ± 0.41 69.04 ± 4.68
76.94 ± 0.56 71.65 ± 1.28 73.72 ± 4.04
Rata Rata
71.40 ± 3.12
74.11 ± 3.15
Rata Rata 75.08 ± 2.35 71.81 ± 0.87 71.38 ± 4.68
Perbedaan jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap bobot karkas. Karkas ayam broiler jantan 2259.27 g ekor-1 lebih berat dibanding betina 1926.53 g ekor1 . Perbedaan ini disebabkan karena PBB dan bobot akhir ayam broiler jantan lebih tinggi dibanding dengan ayam broiler betina. Interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin pada penelitian ini tidak berpengaruh nyata terhadap bobot karkas. Ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak memiliki keterkaitan dengan bobot karkas. Ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata terhadap persentase karkas, Persentase berhubungan dengan bobot karkas. Bobot karkas pada penelitian ini tidak berbeda (Tabel 10). Persentase karkas di setiap ketinggian tempat hampir sama yaitu 71 - 75%. Hal ini bertentangan pendapat dengan Brake et al. (1993) bahwa persentase karkas berhubungan dengan jenis kelamin, umur, dan bobot hidup. Perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap persentase karkas. Pada penelitian ini jenis kelamin berebeda mempengaruhi bobot karkas, sementara bobot akhir mempunyai korelasi dengan persentase karkas. Rata rata nilai persentase karkas berdasakan perbedaan jenis kelamin 71% - 74%. Interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap
23
persentase karkas. Ketinggian tempat dan perbedaan jenis kelamin pada penelitian ini tidak memiliki keterkaitan dengan persentase karkas. Kualitas Fisik Daging Kualitas fisik daging merupakan salah satu uji kualitas yang dilakukan untuk menentukan pengaruh parameter ketinggian tempat dan perbedaan jenis kelamin berpengaruh. Kualitas fisik daging berupa pH, daya putus daging (DPD) mentah, DPD masak, susut masak, dan daya ikat air (DIA). pH pH (derajat keasaman) merupakan salah satu faktor yang penting dalam penilaian kualitas fisik daging. Nilai pH dapat mempengaruhi daya putus daging (DPD), susut masak, dan daya ikat air (DIA). Stres sebelum pemotongan, pemberian obat obatan, jenis daging, stimulasi listrik, dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis dapat mempengaruhi nilai pH pada daging (Lawrie 2003). Tabel 12 menunjukkan pH daging. Ketinggian tempat berpengaruh nyata terhadap nilai pH daging. pH daging tinggi terdapat pada dataran tinggi (6.81), dibanding dataran rendah (6.60) dan dataran sedang (6.27). Nilai pH normal daging ayam broiler berkisar antara 5.96 sampai 6.07 (Laack et al. 2000). Tingginya nilai pH pada penelitian ini disebabkan letak kandang menuju tepat pemotongan jauh sehingga ayam tersebeut mengalami cekaman. Perbedaan nilai pH disebabkan karena kandungan glikogen dalam otot. Boulianne dan King (1998) menyatakan cekaman suhu pada ternak akan menurunkan kadar glikogen otot. Penurunan kadar glikogen dalam otot memicu pembentukan asam piruvat, asam laktat tidak berlangsung baik dan daging tetap mempunyai keasaman yang rendah (pH tinggi) (Suhardi dan Marsono 1982). Menurut Soeparno (2009), nilai pH daging ditentukan oleh kadar glikogen dan asam laktat daging hewan setelah dipotong. Tabel 12 pH daging ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Rata Rata
Jenis Kelamin Jantan Betina 6.61 ± 0.12 6.60 ± 0.04 6.33 ± 0.13 6.22 ± 0.04 6.80 ± 0.33 6.60 ± 0.19 a 6.58 ± 0.28 6.47 ± 0.29a
Rata Rata 6.60 ± 0.08b 6.27 ± 0.11c 6.81 ± 0.26a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
Perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai pH. Nilai pH daging pada ayam broiler jantan dan ayam broiler betina sama. Nilai pH daging
24
yang tidak berbeda nyata disebabkan karena kandungan glikogen otot yang sama dan dapat menyebabkan kandungan asam laktat pada daging postmortem sama. Rata rata nilai pH yaitu 6.47 - 6.58. Standar Nasional Indonesia menyatakan nilai pH produk pangan yaitu 6-7 (Afrianti et al. 2013). Interaksi antara ketinggian tempat dan jenis tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap nilai pH daging. Ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak memiliki keterkaitan dengan pH daging. DPD (Daya Putus Daging) Daya putus daging merupakan parameter untuk menilai keempukan daging. Keempukan merupakan salah satu parameter kualitas daging terpenting yang sering dinilai oleh konsumen. Keempukan daging ditentukan oleh tiga jaringan ikat komponen daging yaitu struktur miofibrial atau status kontraksinya, kandungan jaringan ikat, serta daya ikat oleh protein daging (Soeparno 2005). Daya ikat air terbagi dua yaitu daya putus daging mentah dan daya putus daging setelah masak, masing masing disajikan pada Tabel 13 dan Tabel 14. Tabel 13 Daya putus daging (DPD) mentah (kg cm-2) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi
Jenis Kelamin Jantan 0.77 ± 0.12a 0.19 ± 0.02c 0.24 ± 0.29c
Betina 0.51 ± 0.11b 0.17 ± 0.02c 0.19 ± 0.03c
Angka pada baris dan kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
Interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap daya putus daging (DPD) mentah. DPD mentah ayam jantan pada ketinggian rendah paling tinggi yaitu 0.77 kg cm-2, setelah itu DPD mentah ayam betina pada ketinggian rendah. Nilai DPD ayam jantan dan ayam betina pada dataran sedang dan dataran tinggi hampir sama. Keempukan daging pada dataran sedang dan tinggi lebih tinggi dibanding dataran rendah. Semakin rendah nilai DPD maka semakin empuk daging yang dihasilkan. Perbedaan nilai DPD mentah juga berkaitan dengan nilai pH daging. Boutun (1986) menyatakan daging dengan pH yang tinggi akan menghasilkan keempukan yang tinggi dibandingkan daging yang pH nya rendah. Ketinggian tempat berpengaruh nyata terhadap DPD masak. DPD masak tertinggi pada dataran rendah (0.79 kg cm-2) dibanding dataran tinggi (0.61 kg cm2 ) dan dataran sedang (0.24 kg cm-2). Daging ayam broiler pada dataran sedang dan dataran tinggi lebih empuk dibanding dataran rendah. Ayam yang mendapat cekaman panas yang tinggi alot dagingnya. Hal ini disebabkan karena ayam yang terkena cekaman suhu yang tinggi pada daerah pesisir akan menyebabkan panting, panting memerlukan aktivitas otot yang lebih tinggi (Sidiq dan Wardani 2014) sedangkan aktivitas otot yang tinggi akan menghasilkan daging yang alot.
25
Tabel 14 Daya putus daging (DPD) masak ayam broiler kg cm-2 jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Rata Rata
Jenis Kelamin Jantan 0.71 ± 0.08 0.25 ± 0.01 0.60 ± 0.06 0.52 ± 0.21a
Betina 0.87 ± 0.06 0.24 ± 0.02 0.63 ± 0.06 0.58 ± 0.31a
Rata Rata 0.79 ± 0.21a 0.24 ± 0.02c 0.61 ± 0.06b
Angka pada baris dan kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
Perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap DPD daging masak. Hal ini berarti keempukan antara ayam broiler jantan dan ayam broiler betina sama. Interaksi antara ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata terhadap nilai DPD daging masak. Ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak memiliki keterkaitan dengan DPD masak. Susut Masak Susut masak merupakan hasil dari perbandingan daging sebelum dan setelah dimasak. Susut masak juga merupakan indikator utama terhadap kandungan nutrisi pada daging yang berhubungan dengan banyaknya air yang terikat dalam sel diantara serabut otot. Menurut (Soeparno 2005) daging dengan susut masak rendah mempunyai kualitas lebih baik dibanding dengan daging yang susut masaknya tinggi. Tabel 15 menunjukkan hasil susut masak daging ayam broiler yang dipelihara pada ketinggian tempat berbeda. Ketinggian tempat lokasi pemeliharaan berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap susut masak. Susut masak pada lokasi pemeliharaan dataran rendah paling tinggi (27.57 %) kemudian lokasi pemeliharaan daerah sedang (26.92 %) dan daerah tinggi (22.42 %). Tingginya nilai susut masak pada lokasi pemeliharaan daerah rendah berkaitan dengan tingginya konsumsi air minum ayam broiler (Tabel 6), sehingga pada pemasakan kehilangan yang banyak terhadap kadar air daging. Daging pada pemeliharaan rendah memiliki nutrisi yang kurang dibanding daging pada dataran sedang dan tinggi. Tabel 15 Susut masak (%) ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Rata Rata
Jenis Kelamin Jantan Betina 29.17 ± 5.00 25.97 ± 3.07 25.92 ± 8.63 27.9 2 ± 2.84 22.81 ± 2.42 22.02 ± 3.40 25.97 ± 6.17 25.30 ± 3.86
Rata Rata 27.57 ± 4.29a 26.92 ± 6.22ab 22.42 ± 2.84b
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
26
Perbedaan jenis kelamin tidak mempengaruhi nilai susut masak. Susut masak daging ayam broiler jantan dan betina hampir sama. Wanniatie et al. (2014) berpendapat susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofobril, ukuran dan berat sampel daging, dan penampang lintang daging. Interaksi antara ketinggian tempat dan perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap nilai susut masak. Ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak berkaitan dengan susut masak daging. Daya Ikat Air Daya ikat air merupakan kemampuan daging untuk menahan air selama ada pengaruh tekanan. Apabila daya ikat air rendah akan menyebabkan daging tersebut mengeluarkan banyak air yang berdampak daging tersebut akan menjadi lembek, basah dan memperlihatkan warna yang pucat. Tabel 16 menyajikan nilai DIA daging ayam broiler yang dipelihara pada ketinggian tempat yang berbeda. Tabel 16 DIA (%) daging ayam broiler jantan dan betina pada ketinggian tempat yang berbeda (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Rata Rata
Jenis kelamin Jantan 34.67 ±7.49 36.67 ±4.34 43.33 ±8.71 38.22 ±7.67
Betina 38.26 ±9.59 40.44 ±8.77 38.26 ±4.42 40.12 ±7.58
Rata Rata 36.47 ±8.98 38.55 ±6.88 40.79 ±7.10
Ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata terhadap daya ikat air (DIA). Rata rata nilai DIA yaitu 36.47-40.79 %. Hal ini bertentangan pendapat dengan Kurniawana et al. (2014) dan Tambunan (2009) bahwa nilai susut masak dipengaruhi oleh DIA, pada penelitian ini susut masak berpengaruh nyata (Tabel 15). Daya ikat air dapat dipengaruhi oleh laju dan besarnya nilai pH, semakin rendah pH maka semakin rendah pula daya ikat air daging (Risnajati 2010). Perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap DIA. DIA ayam broiler jantan dan ayam broiler betina sama. Hal ini bertentangan pendapat dengan Soeparno (2005) yaitu salah satu faktor yang mempengaruhi DIA daging adalah jenis kelamin ternak. Interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap DIA. Ketinggian tempat dan jenis kelamin tidak memiliki keterkaitan dengan DIA. Organoleptik Mutu Hedonik Pengujian mutu hedonik merupakan penilaian panelis terhadap produk yang dinilai berupa warna, tekstur, aroma, dan penampilan umum. Penilaian panelis terhadap uji mutu hedonik disajikan pada Tabel 17.
27
Tabel 17 Uji mutu hedonik daging pada bagian dada ayam broiler yang dipelihara di ketinggian tempat berbeda (rata rata ± SD)
Variabel Warna Aroma Kekenyalan Penampilan Umum
Mutu Hedonik* Ketinggian Tempat Rendah Sedang 3.55 ± 0.66 3.63 ± 0.78 b 2.27 ± 0.33 2.14 ± 0.65c 3.38 ± 0.76 3.31 ± 0.62 3.33 ± 0.82 2.95 ± 0.67
Tinggi 3.27 ± 0.68 3.40 ± 0.62a 3.34 ± 0.52 3.40 ± 0.71
Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05) *Warna: 1 = sangat tidak putih, 2 = tidak putih, 3 = sedikit putih, 4 = putih, 5 = sangat putih Aroma: 1 = bau khas daging ayam yang kuat, 2 = bau khas daging ayam, 3 = bau daging ayam sedikit, 4 = tidak bau daging ayam, 5 = sangat tidak bau daging ayam Tekstur: 1 = sangat kasar, 2 = kasar, 3 = sedikit kasar, 4 = lembut, 5 = sangat lembut Penampilan umum: 1 = sangat tidak menarik, 2 = tidak menarik, 3 = sedikit menarik, 4 = menarik, 5 = sangat menarik
Hasil pengujian mutu hedonik Kruskal Wallis untuk warna daging ayam broiler menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Rata rata skor penilaian panelis terhadap warna daging 3.27 - 3.63 yaitu sedikit putih - putih. Hal ini berarti penilaian panelis terhadap warna daging dengan perlakuan berbeda adalah sama. Winarno (1997) menyatakan parameter warna merupakan indikator pangan yang mudah terdeteksi. Meskipun warna paling cepat dan mudah memberi kesan tetapi ternyata paling sulit diberi deskripsi serta tidak mudah cara pengukurannya. Hasil pengujian mutu hedonik Kruskal Wallis untuk aroma daging menunjukkan perlakuan menghasilkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan. Rata rata skor tertinggi terhadap aroma pada lokasi pemeliharaan tinggi 3.40 (tidak bau daging ayam), dibandingkan daerah ketinggian rendah 2.27 (bau khas daging ayam) dan daerah sedang 2.14 (bau khas daging ayam). Faktor-faktor yang mempengaruhi aroma daging adalah umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama waktu, dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan (Forrest et al. 1975). Hasil pengujian mutu hedonik Kruskal Wallis untuk kekenyalan daging ayam broiler tidak berbeda nyata akibat perlakuan. Rata rata skor penilaian panelis terhadap terhadap kekenyalan daging 3.31-3.38 yaitu sedikit kasar. Hal ini berarti penilaian mutu hedonik panelis terhadap kekenyalan daging dengan perlakuan berbeda adalah sama. Hasil pengujian Kruskal Wallis untuk penampilan umum daging ayam broiler tidak berbeda nyata akibat perlakuan. Rata rata skor panelis terhadap terhadap penampilan umum daging ayam broiler 2.95-3.40 yaitu sedikit menarik. Hal ini berarti penilaian mutu hedonik panelis terhadap penampilan umum daging dengan perlakuan berbeda adalah sama.
28
Hedonik Pengujian hedonik merupakan penilaian panelis terhadap produk yang dinilai berupa kesan baik dan buruknya produk. Penilaian panelis terhadap uji hedonik dari daging daging ayam disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Uji hedonik daging ayam broiler yang dipelihara di ketinggian tempat berbeda (rata rata ± SD)
Variabel Warna Aroma Kekenyalan Penampilan Umum
Hedonik* Ketinggian Tempat Rendah Sedang 3.34 ± 0.69 3.30 ± 0.66 a 3.35 ± 0.70 3.16 ± 0.80c 3.34 ± 0.79 3.44 ± 0.53 3.55 ± 0.57 3.34 ± 0.66
Tinggi 3.33 ± 0.58 3.32 ± 0.59b 3.26 ± 0.51 3.40 ± 0.53
Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05) * 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=netral, 4=suka, 5=sangat suka
Hasil pengujian hedonik Kruskal Wallis untuk warna daging tidak berbeda nyata akibat perlakuan. Rata rata skor penilaian panelis terhadap warna 3.30-3.34 yaitu netral. Hal ini berarti panelis memberikan penilaian terhadap warna adalah netral. Hasil pengujian hedonik Kruskal untuk aroma daging berbeda nyata (P<0.05) akibat perlakuan. Skor tertinggi penilaian panelis pada lokasi dataran rendah (3.35) dibanding lokasi dataran tinggi (3.32) dan lokasi sedang (3.16). Hal ini berarti tingkat kesukaan panelis terhadap aroma daging pada tingkatan penilaian berbeda namun secara interpretasi sama yaitu netral. Hasil pengujian hedonik Kruskal Wallis untuk kekenyalan daging tidak berbeda nyata akibat perlakuan. Rata rata skor tingkat kesukaan panelis terhadap kekenyalan daging 3.26-3.44 yaitu netral. Hal ini berarti tingkat kesukaan panelis terhadap kekenyalan daging untuk semua perlakuan adalah netral. Hasil pengujian hedonik Kruskal Wallis untuk penampilan umum daging tidak berbeda nyata akibat perlakuan. Rata-rata skor tingkat kesukaan panelis untuk penampilan umum 3.34 - 3.35 yaitu netral-suka. Hal ini berarti tingkat kesukaan panelis terhadap penampilan umum daging antara netral sampai suka. Kualitas Kimia Daging Pengujian kualitas kimia daging bertujuan untuk melihat komposisi kimia daging yang menjadi salah satu penentu dari kualitas daging. Pengujian kualitas kimia daging berupa kadar air, kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, dan kadar abu. Pada Tabel 19 disajikan hasil pengujian kualitas kimia daging berdasarkan ketinggian tempat lokasi pemeliharaan ayam broiler.
29
Tabel 19 Analisis kandungan kimia daging (bobot basah) ayam broiler yang dipelihara di ketinggian tempat (rata rata ± SD) Ketinggian tempat Rendah Sedang Tinggi Rata rata
Air 72.15 ± 0.42 74.00 ± 1.81 74.06 ± 0.37 73.41 ± 1.33
Kandungan Kimia (%) Protein Lemak Karbohidrat 22.44 ± 0.25 2.56 ± 1.74 1.60 ± 1.23 21.82 ± 1.32 1.24 ± 0.03 1.62 ± 0.84 21.13 ± 1.05 0.72 ± 0.14 2.83 ± 1.42 21.80 ± 1.02 1.50 ± 1.19 2.02 ± 0.29
Abu 1.25 ± 0.17 1.32 ± 0.09 1.26 ± 0.04 1.28 ± 0.09
Kadar air merupakan komponen kimia tertinggi dalam daging. Hasil analisis ragam menunjukkan ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar air (Tabel 19). Kadar air daging yang dipelihara pada dataran rendah sekitar 72.15% menurun, naik pada dataran rendah dan dataran tinggi yaitu masing masing 74.00% dan 74.06%. Menurut Lawrie (2003), umumnya kadar air daging berkisar antara 68 - 80%. Protein merupakan faktor penentu untuk menentukan kualitas produk pangan dalam kualitas sifat kimia daging. Hasil analisis ragam menunjukkan ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar protein. Rata rata kadar protein daging pada dataran rendah 22.44%, kemudian turun pada dataran sedang dan tinggi masing masing 21.82% dan 21.13%. Hal ini sejalan dengan pernyataan Purnamasari et al. (2013) peningkatan kadar protein daging disebabkan karena menurunnya kadar air daging tersebut. Lemak merupakan salah satu indikator yang dapat dijadikan acuan oleh konsumen dalam memilih daging. Beberapa konsumen memilih daging dengan kandungan lemak yang tinggi, dan sebagian juga menginginkan kandungan lemak yang rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar lemak. Rata rata kadar lemak daging naik pada dataran rendah (2.56%), turun pada dataran sedang (1.24%), dan turun lagi pada dataran tinggi (0.72%). Kadar lemang daging berbanding terbalik dengan kadar air daging, apabila kadar air tinggi maka kadar lemaknya rendah. Hal ini didukung oleh Minish dan Fox (1979) yaitu kandungan lemak daging berkorelasi negatif dengan kadar air, semakin tinggi kandungan lemaknya maka semakin rendah kadar air dagingnya. Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang dibutuhkan oleh tubuh, dan merupakan penilaian yang penting terhadap sifat kimia daging. Hasil analisis ragam menunjukkan ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap karbohidrat daging. Nilai karbohidrat daging turun pada dataran rendah dan dataran sedang masing-masing 1.60% dan 1.62%, sedangkan pada dataran tinggi naik yaitu 2.83%. Kadar abu daging merupakan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam daging ayam broiler tersebut. Hasil analisis ragam menunjukkan ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar abu daging. Rata rata nilai kadar abu pada Tabel 19 hampir sama terhadap perlakuan yaitu sebesar 1.252.32%. Nilai kadar abu tidak memiliki hubungan dengan kadar protein, kadar lemak dan kadar air. Hal ini bertentangan pendapat dengan Forrest et al. (1975)
30
yakni kadar abu erat hubungannya dengan kadar lemak, kadar air, dan kadar protein daging tersebut. Mikrobiologi Daging Daging ayam broiler yang sehat pada dasarnya memiliki kandungan mikroorganisme sedikit, namun setelah pemotongan jaringan ternak tersebut dapat terkontaminasi oleh mikroba dari lingkungan sekitarnya. Potensi kontaminasi mikroba tergantung pada kondisi fisiologis ternak pada saat dipotong, kontaminasi saat pemotongan, suhu penyimpanan, kondisi pada saat pendistribusian yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba (Doulgeraki et al. 2012). Kontaminasi mikroba pada daging ayam dapat menyebabkan gangguan keamanan pangan dan manusia. Jay et al. (2006) banyaknya kejadian kontaminasi bakteri pada daging ayam terjadi pada saat pemotongan, pengepakan, pendistribusian, dan pengolahan produk asal hewan. Tabel 20 Hasil uji mikrobiologi ayam broiler yang dipelihara di ketinggian tempat (rata rata ± SD) Ketinggian tempat Rendah Sedang Tinggi Rata rata
ALT bakteri (log CFU g-1) 5.46 ± 0.09 5.36 ± 0.04 5.34 ± 0.15 5.39 ± 0.06
Mikrobiologi Escherichia Staphylococcus coli aureus positif negatif positif negatif positif negatif
Salmonella negatif negatif negatif
Kontaminasi juga dapat terjadi akibat sanitasi yang kurang baik di peternakan, tempat pemotongan maupun tempat pengolahan daging ayam. Pemakaian air dari sanitasi yang kurang baik dalam proses pemotongan, pengolahan, dan penyimpanan dapat meningkatkan jumlah cemaran mikroba di dalam daging ayam. Menurut Raharjo dan Sentosa (2005), mikroorganisme yang mengkontaminasi bahan pangan dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan tersebut. Tabel 20 menyajikan hasil pengujian mikrobiologi berupa ALT (angka lempeng total), Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella berdasarkan ketinggian tempat lokasi pemeliharaan. Ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata terhadap ALT daging ayam broiler. Rata rata nilai ALT yaitu 5.39 log CFU g-1. ALT tidak berbeda nyata diduga karena jumlah kadar air daging pada pengujian kimia daging juga tidak berbeda nyata (Tabel 20). Semakin tinggi kadar air maka semakin cepat laju pertumbuhan mikrobiologi pada daging. Hasil pengujian mikrobiologi berupa Escherichia coli yaitu positif di semua lokasi pemeliharaan. Hal ini tidak sesuai syarat SNI no 7388 tahun 2009 yaitu mutu karkas daging ayam segar negatif/25 g pada pengujian Escherichia coli. Hasil positif ini disebabkan karena pemotongan dilakukan di rumah potong ayam tradisional yang penanganannya belum masuk standar rumah potong ayam sehingga menyebabkan bakteri Escherichia coli dengan mudah terjadi
31
kontaminasi silang pada produk daging ayam. Menurut Fardiaz (1992) kontaminasi bakteri Escherichia coli berasal dari saluran pencernaan hewan dan manusia sehingga mengkontaminasi air, bahan pangan yang sering terkontaminasi Escherichia coli yaitu daging, telur, sayur sayuran, dan buah buahan. Hasil pengujian mikrobiologi berupa Staphylococcus aureus disemua lokasi pemeliharaan negatif. Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia nomor 7388 tahun 2009 yang menyatakan batas cemaran mikroba Staphylococcus aureus yaitu negatif. Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang selalu ada di manamana, seperti udara, debu, air buangan, air, susu, makanan dan peralatan makan, lingkungan, tubuh manusia dan hewan seperti kulit, rambut/bulu dan saluran pernafasan. Hasil pengujian Salmonella disemua lokasi pemeliharaan yaitu negatif, hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia nomor 7388 tahun 2009 yang menyatakan batas cemaran mikroba Salmonella yaitu negatif. Salmonella dapat mencemari ayam sejak dari peternakan, dimana titik awal dari rantai penyediaan pangan asal ternak adalah kandang atau peternakan. Diskusi Umum Tabel 21 Mikroklimatik (THI) terhadap performa produksi ayam broiler (rata rata ± SD) Ketinggian Tempat Peubah
Rendah
THI (°C)
29.55 ± 2.38
Sedang a
27.99 ± 2.64
Tinggi b
27.96 ± 2.28b
Konsumsi Pakan (g ekor-1 minggu-1)
347.58 ± 36.65c
379.40 ± 26.25b
416.17 ± 37.36a
Konsumsi Air Minum (ml ekor-1 minggu-1)
256.02 ± 136.41a
233.42 ± 44.05b
231.61 ± 105.48b
Bobot Akhir (g ekor-1)
2770 ± 480.83b
2821 ± 298.40ab
3005.50 ± 352.85a
PBB (g ekor-1minggu-1)
692.50 ± 95.20
691.67 ± 48.31
751.29 ± 68.45
Bobot karkas (g ekor )
2073.52 ± 230.64
2063.84 ± 227.87
2141.35 ± 197.24
Persentase Karkas (%)
75.08 ± 2.35
71.81 ± 0.87
71.38 ± 4.68
-1
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata (P<0.05)
Ketinggian tempat dikategorikan dalam dataran rendah, sedang, tinggi pada lokasi pemeliharaan ayam broiler di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Ketinggian tempat memiliki perbedaan mikroklimatik. Kondisi mikroklimatik berupa suhu, kelembaban, THI, dan kecepatan angin mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status fisiologis dan performa produksi ayam broiler. Dataran rendah memiliki suhu tinggi, kelembaban rendah, THI tinggi, dan kecepatan angin tinggi. Dataran sedang dan dataran tinggi pada dasarnya memiliki kondisi mikroklimatik hampir sama. Dataran sedang memiliki suhu rendah,
32
kelembaban tinggi, THI rendah, kecepatan angin rendah. Dataran tinggi memiliki suhu rendah, kelembaban tinggi, THI rendah, dan kecepatan angin rendah. Kondisi mikroklimatik ini mempengaruhi performa produksi dan kualitas daging. Tabel 21 ditampilkan ketinggian tempat berupa mikroklimatik (THI) terhadap performa produksi ayam broiler. Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap performa produksi ayam broiler berupa konsumsi pakan, konsumsi air minum, PBB, bobot badan akhir dan bobot karkas. Semakin tinggi tempat pemeliharaan maka konsumsi pakan tinggi, konsumsi air minum rendah, PBB tinggi, bobot badan akhir tinggi, FCR tinggi, dan bobot karkas tinggi. Semakin rendah tempat pemeliharaan maka konsumsi pakan rendah, konsumsi air minum tinggi, PBB rendah, bobot akhir rendah, FCR rendah, dan bobot karkas tinggi. Produktivitas ayam broiler jantan lebih tinggi dibanding ayam broiler betina. Dimanapun lokasi pemeliharaan maka produktivitas ayam broiler jantan tetap tinggi. Produktivitas yang tinggi ini ditandai dengan tingginya performa produksi ayam broiler. Ketinggian tempat memiliki pengaruh signifikan terhadap pengujian fisik daging yaitu pH, daya putus daging, dan susut masak, sementara daya ikat air tidak mempunyai pengaruh. Pengujian Kruskal Wallis organoleptik memiliki perbedaan aroma mutu hedonik yaitu bau khas daging ayam sedikit dan bau khas daging ayam, sementara tingkat kesukaan netral. Pengujian kualitas kimia berupa kadar air, kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, dan kadar abu tidak mempunyai pengaruh yang signifikan. Pengujian mikrobiologi daging tidak mempunyai pengaruh terhadap ALT, postif pada E. Coli, negatif pada Staphylococcus aureus dan salmonella.
4
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Mikroklimatik mempengaruhi status fisiologis dan performa produksi seperti konsumsi pakan, konsumsi air minum, pertambahan bobot badan, FCR, bobot akhir pemeliharaan, dan bobot karkas. Performa produksi ayam jantan lebih tinggi dibanding betina. Kualitas daging yang baik pada dataran sedang dan tinggi, sementara pada pengujian organoleptik ketinggian tempat memiliki perbedaan aroma daging. Ketinggian tempat tidak mempengaruhi kualitas kimia dan pengujian mikrobiologi daging ayam broiler Saran Dalam pemeliharaan ayam broiler disarankan mempertimbangkan pemilihan lokasi berdasarkan ketinggian tempat karena mempengaruhi perfoma produksi dan kualitas daging.
33
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada, saudara Muh. Adriansyah S.Pt, Daeng Budianto, Daeng Ngempo, Daeng Mukhsin yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini dan DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPDN selama perkuliahan berlangsung hingga selesai.
DAFTAR PUSTAKA Abustam E. 1993. Karakteristik kualitatif karkas dan daging ternak sapi bali dan kerbau. Buletin Penelitian Unhas 8(23):11-21. Acikgöz Z, V A, K Ö, A Ö, A A, S Ö, Y A. 2003. The effects of dietary oil and methionine on performance and egg quality of commercial laying hens during summer season. Arch. Geflűgelkunde 67( 5):204-207. Afrianti M, Dwiloka B, Setiani BE. 2013. Total bakteri, pH, dan kadar air daging ayam broiler setelah direndam dengan ekstrak daun senduduk (Melastoma malabathricum L.) Selama masa simpan. Jurnal Pangan dan Gizi 4(7):4956. [AOAC] Assosiation of Official Analytical Chemist. 2005. Airlington (US): AOACinc. Arief II, Suryati T, Afiyah DN, Wardhani DP. 2014. Physicochemical and organoleptic of beef sausages with teak leaf extract (Tectona grandis) addition as preservative and natural dye. International Food Research J 21(5):2033-2024. Austic RE, Nesheim MC. 1990. Poultry Production. Philadelphia (US): Lea & Febiger. Aviagen. 2007. Lohmann Meat Broiler Stock Performance Objectives. Scotland (UK): Indian River Meat. Barrow GI, Feltham RKA. 2003. Cowan and Steel'S Manual For Identification of Medical Bacteria. (UK): Cambridge University Press. Bell DD, Weaver WD. 2002. Comercial Chicken Meat and Egg Production. New York (US): Springer Science and Business Medial Inc. Bonnet S, Geraerta P, Lessire M, Carre B, Guillaumin S. 1997. Effect of high ambient temperature on feed digestibility in broilers. Poult Sci 76:857863. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Populasi Ternak yang Dipelihara oleh Rumah Tangga Usaha Peternakan Sesuai Jenis Ternak yang Diusahakan Menurut Wilayah dan Jenis Ternak. Jakarta (ID): BSN. Brake J, Havenstein GB, Scheideler SE, Ferket PR, Rives DV. 1993. Relationship of sex, age, and body weight to broiler carcass yield and offal production. Poult Sci 72:1137-1145. Cooper, Washburn. 1998. The relationships of body temperature to weight gain, feed consumption, and feed utilization in broilers under heat stress. Poult Sci 77:237-242.
34
[Ditjenak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2013. Populasi Ayam Ras Pedaging Menurut Provinsi. Indonesia (ID): Dirjenak. Dotas V, Bampidis VA, Sinapis E, Hatzipanagiotou A, Papanikolaou K. 2014. Effect of dietary field pea (Pisum sativum L.) supplementation on growth performance, and carcass and meat quality of broiler chickens. Livestock Sci 164:135-143. doi:10.1016/j.livsci.2014.03.024 Doulgeraki A, Ercolini D, Villani F, Nychas G. 2012. Spoilage microbiota assosiated to the storage of raw meat ini different condition. IJFoodMicrob 157:130-141. Dozier WA, Lott BD, Branton SL. 2005. Growth responses of male broilers subjected to increasing air velocities at high ambient temperatures and a high dew point. Poult Sci 84:962 – 966. Durek J, Ghadiri Khozroughi A, Fröhling A, Schlüter O, Knorr F, Mader A, Goodarzi Boroojeni F, Zentek J, Knorr D, Bolling JS. 2014. Effects of thermally treated broiler feed with different organic acid levels on resulting meat composition and parameters related to meat quality. Innovative Food Science & Emerging Technologies. doi:10.1016/j.ifset.2014.05.001 Ensminger, Eugene M. 1992. Poultry Science Australia (AU): Interstate Publishers. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Forrest CJ, Aberle ED, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA. 1975. Principles of Meat Science. San Francisco (US): Freeman and Company. Fuller HL, Rendon M. 1977. Energetic efficiency of different dietary fats for growth of young chicks. Poult Sci 56:549-557. Gasperz. 1989. Statistika. Bandung (ID): Armico. Gates RS, Zhang H, Couiver DG, Overhults DG. 1995. Regional variation in temperature humidity index for poultry housing. Transactions of the ASAE 38(1):197 - 205. Gibbon J. 1975. Non Parametric Method For Quantitative Analysis. Alabama: Elsevier. Gous RM. 2010. Nutritional limitations on growth and development in poultry. Livestock Sci 130(3):25-32. doi:10.1016/j.livsci.2010.02.007 Gregory NG. 2010. How climatic changes could affect meat quality. Food Res. Int. 43(7):1866-1873. doi:10.1016/j.foodres.2009.05.018 Habib I, De Zutter L, Van Huffel X, Geeraerd AH, Uyttendaele M. 2012. Potential of Escherichia coli as a surrogate indicator for postchill broiler carcasses with high Campylobacter counts. Food Control 25(1):96-100. doi:10.1016/j.foodcont.2011.10.022 Hamm R. 1972. Functional properties of the myofibrillar system and their measurements. In: Muscle as Food. Orlando, Florida: Acad Press Inc Hue O, Allain V, Laisney MJ, Le Bouquin S, Lalande F, Petetin I, Rouxel S, Quesne S, Gloaguen PY, Picherot M, et al. . 2011. Campylobacter contamination of broiler caeca and carcasses at the slaughterhouse and correlation with Salmonella contamination. Food Microbiol. 28(5):862868. doi:10.1016/j.fm.2010.11.003
35
Ingram DR, Hatten LF. 2000. Effect of light restriction on broiler performance and spesific body structure measurements. J Appl Poultry Res 9:501-504. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2006. Modren Food Microbiologi. New York (US): Springer Science + Business Media. Kurniawana NP, Septinovab D, Adhiantob K. 2014. Kualitas fisik daging sapi dari tempat pemotongan hewan di bandar lampung. J Ilmiah Peternakan Terpadu 2(3):133-137. Kusnadi E, Widjajakusuma R, Sutardi T, Hardjosworo PS, Habibie A. 2006. Pemberian antanan (centella asiatica) dan vitamin c sebagai upaya mengatasi efek cekaman panas pada broiler. Media Petrn 29(3):133-140. Laack RLJMV, Liu C-H, Smith MO, Loveday HD. 2000. Characteristics of pale, soft, exudative broiler breast meat. Poult Sci 79:1057–1061. Lakitan B. 1994. Dasar Dasar Klimatologi. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Lambey LJ, Noor RR, Manalu W, Duryadi D. 2013. Karakteristik Morfologi, Perbedaan Jenis Kelamin, dan Pendugaan Umur Burung Weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa, Sulawesi Utara. J Veteriner 14(2):228-238. Lawrie R. 2003. Ilmu Daging Terjemahan Aminuddin Prakkasi. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Lin H, Jiao HC, Buyse J, Decuypere E. 2006. Strategies for preventing heat stress in poultry. Poult sci 62(1):71-85. doi:10.1079/wps200585 Malheiros EB. 2000. Air velocity and exposure time to ventilation affect body surface and rectal temperature of broiler chickens. J Appl Poultry Res 9:1 5. Mattjik A, Sumertajaya M. 2013. Rancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press. Minish G, Fox D. 1979. Beef Production and Management. Virginia (US): Reston Publishing Co. Moreira AP, Giombelli A, Labanca RA, Nelson DL, Gloria MB. 2008. Effect of aging on bioactive amines, microbial flora, physico-chemical characteristics, and tenderness of broiler breast meat. Poult Sci 87(9):1868-1873. doi:10.3382/ps.2007-00370 Ozkan S, Takma C, Yahav S, Sogut B, Turkmut L, Erturun H, Cahaner A. 2010. The effects of feed restriction and ambient temperature on growth and ascites mortality of broilers reared at high altitude. Poult Sci 89(5):974985. doi:10.3382/ps.2009-00293 [Pemkab] Pemerintah Kabupaten Takalar. 2015. Wilayah Administratif Kabupaten Takalar. Indonesia (ID): Piestun Y, Halevy O, Shinder D, Ruzal M, Druyan S, Yahav S. 2011. Thermal manipulations during broiler embryogenesis improves post-hatch performance under hot conditions. Journal of Thermal Biology 36(7):469474. doi:10.1016/j.jtherbio.2011.08.003 Purnamasari E, Mardiana, Y F, WHZ N, D F. 2013. Sifat fisik dan kimia daging sapi yang dimarinasi jus buah pinang (Areca Catecha L). Sagu 13(2):1-6. Purswell J, Dozier III WA, Olanrewaju HA, Davis JD, Xin H, Gates RS. 2012. Effect of temperature-humidity index on live performance in broiler chickens grown from 49 to 63 days of age. ASABE 1:1-9.
36
Quinteiro-Filho WM, Ribeiro A, Ferraz-de-Paula V, Pinheiro ML, Sakai M, Sa LRM, Ferreira AJP, Palermo-Neto J. 2010. Heat stress impairs performance parameters, induces intestinal injury, and decreases macrophage activity in broiler chickens. Poult sci 89(9):1905-1914. doi:10.3382/ps.2010-00812 Raharjo AHD, Sentosa BS. 2005. Kajian terhadap kualitas karkas broiler yang disimpan pada suhu kamar setelah perlakuan pengukusan. J Anim Prod 7:1-5. Risnajati D. 2010. Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan 13(6). Rosidi, Suswoyo I, Tugiyanti E, Ismoyowati. 1999. Pengaruh galur dan dataran terhadap performan ayam broiler. J Anim Prod 1(2):82-89. Sidiq F, Wardani WW. 2014. Strategi Menghadapi Cekaman Panas pada Industri Unggas Modern. Bekasi (ID): MasterLab Asia. Simmons JD, Lott BD, Miles DM. 2003. The effects of high-air velocity on broiler performance. Poult Sci 82:232 – 234. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging. Indonesia (ID): BSN. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gadja Mada University Pr. Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. St-Pierre NR, Cobanov B, Schnitkey G. 2003. Economic losses from heat stress by us livestock industries. J Dairy Sci 86:53-77. Suardana IW, Sumiarto B, Lukman DW. 2007. Isolasi dan identifikasi Escherichia coli 0157;H7 pada daging sapi di Kabupaten Badung Provinsi Bali. J Vet 8(16-23). Sugito, Delima M. 2009. Dampak cekaman panas terhadap pertambahan bobot badan, rasio heterofil-limfosit dan suhu tubuh ayam broiler. J Ked Hewan 3(1):218-226. Sulistyoningsih M. 2004. Respon fisiologi dan tingkah laku ayam broiler periode starter akibat cekaman temperatur dan awal pemberian pakan yang berbeda [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Swennen Q, Delezie E, Collin A, Decuypere E, Buyse J. 2007. Further investigations on the role of diet-induced thermogenesis in the regulation of feed intake in chickens: comparison of age-matched broiler versus layer cockerels. Poult sci 86(5):895-903. Tambunan RD. 2009. Keempukan Daging dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhinya. Lampung (ID): Badan Litbang Pertanian. Tao X, Xin H. 2003. Acute synergistic effects of air temperature, humidity, and velocity on homeostasis of market-size broilers. Transactions of the ASAE 46(2):491. Umar MR. 2012. Penuntun Praktikum Ekologi. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Vale MM, Moura DJd, Nääs IdA, Stanley, Oliveira RdM, Rodrigues LHA. 2008. Data mining to estimate broiler mortality when exposed to heat wave. Sci Agric 65(3):223-229. doi:10.1590/S0103-90162008000300001
37
Wanniatie V, Septinova D, Kurtini T, Purwaningsih N. 2014. Pengaruh pemberian tepung temulawak dan kunyit terhadap cooking loss, drip loss dan uji kebusukan daging puyuh. J Ilmiah Peternakan Terpadu 2(3):121-125. Winarno F. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Winendar H, Listyawati S, Sutarno. 2006. Daya cerna protein pakan, kandungan protein daging, dan pertambahan berat badan ayam broiler setelah pemberian pakan yang difermentasi dengan effective microorganisms-4 (em-4). Bioteknologi 3(1):14-19. Yahav S, Straschnow A, Vax E, Razpakovski V, Shinder D. 2001. Air velocity alters broiler performance under harsh environmental conditions. Poult Sci 80(6):724-726. Yuni E. 2007. Penampilan dan Status Faali Broiler Jantan - Betina yang Dipelihara pada Dua Tipe Kandang Berbeda [Tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gajahmada. Zurriyati Y, Dahono. 2013. Respon Fisiologis dan Evaluasi Karkas Ayam Broiler Terhadap Suhu Pemeliharaan Dingin. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner:586-591.
38
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey antara ketinggian tempat terhadap suhu rektal ayam broiler Sumber Keragaman
db
JK
KT
F
P
Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
2 1 2 2 46 53
11.5326 0.0031 0.0468 0.0183 4.5334 16.1343
5.7663 0.0031 0.0234 0.0092 0.0986
58.51 0.03 0.24 0.09
<.0001 0.8597 0.7894 0.9115
Tukey Group
Rata rata
B A A
Jumlah
40.46 41.51 41.38
Ketinggian
18 18 18
Rendah Sedang Tinggi
Lampiran 2 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap konsumsi pakan pemeliharaan ayam broiler Sumber Keragaman
db
Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
2 1414048806 707024403 1 1451566086 1451566086 2 44040233 22020117 2 27792245 13896122 10 191054846 19105485 17 3128502216
Tukey Group A B C
Rata rata 416.173 379.406 347.577
JK
Jumlah 6 6 6
KT
Ketinggian Tinggi Sedang Rendah
F 1.54 75.98 0.05 0.05
P <.0001 <.0001 2.46 3.52
39
Tukey Group
Rata rata
A B
Jumlah
Jenis kelamin
409.45 352.65
9 Jantan 9 Betina
Lampiran 3 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap konsumsi air minum pemeliharaan ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
db
JK
KT
F
P
2 2219444147 1 7934500387 2 759481274 2 914364415 10 154229711 17 1337008733
1109722073 7934500387 379740637 457182208 15422971
7.2 51.45 2.46 2.96
0.0116 <.0001 0.1351 0.0975
Tukey Group A B B
Rata rata 256.02 233.42 231.61
Jumlah 6 6 6
Ketinggian Rendah Sedang Tinggi
Tukey Group A B
Rata rata 261.34 219.35
Jumlah 9 9
Ketinggian Jantan Betina
Lampiran 4 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan (PBB) pemeliharaan ayam broiler Sumber Keragaman
db
JK
KT
F
P
Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
2 1402459028 701229514 1 6780403125 6780403125 2 632014583 316007292 2 47196528 23598264 10 581711806 58171181 17 9443785069
12.05 116.56 5.43 0.41
0.0022 <.0001 0,0253 0,677
40
Tukey Group A BA BC DC DE E
Rata rata 811.25 777.50 730.83 691.33 652.50 607.50
Jumlah
Ketinggian
3 3 3 3 3 3
Tinggi Jantan Rendah Jantan Sedang Jantan Tinggi Betina Sedang Betina Rendah Betina
Lampiran 5 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap berat awal pemeliharaan ayam broiler Sumber Keragaman db Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
Tukey Group A A B
Tukey Group A B
2 1 2 2 10 17
Rata rata
JK 5541033333 3166805556 28211111 176933333 177266667 9090250000
Jumlah
688.500 676.667 565.333
Rata rata 685.444 601.556
KT 2770516667 3166805556 14105556 88466667 17726667
Ketinggian 6 Tinggi 6 Sedang 6 Rendah
Jumlah
Jenis kelamin 9 Jantan 9 Betina
F 6.52 178.65 0.05 0.23
P <.0001 <.0001 3.32 0.22
41
Lampiran 6 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap berat akhir pemeliharaan ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
Tukey Group A A B A B B
Tukey Group A B
db 2 1 2 2 10 17
JK KT 183682923 91841462 1250600412 1250600412 55058232 27529116 698701 349350 174924986 17492499 1664965254
Rata rata 3005.17
Jumlah
6 Sedang
2770
6 Rendah
Jumlah
2601.78
P 0.19 <.0001 1.77 6.81
Ketinggian 6 Tinggi
2820.93
Rata rata 3128.95
F 0.22 2.99 0.08 0.001
Jenis Kelamin 9 Jantan 9 Betina
Lampiran 7 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap FCR pemeliharaan ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
Tukey Group A A B
db
JK
KT
F
P
2 1 2 2 10 17
0.06401111 0.00467222 0.01034444 0.00214444 0.02658889 0.10776111
0.03200556 0.00467222 0.00517222 0.00107222 0.00265889
12.04 1.76 1.95 0.4
0.002 0.21 0.19 0.68
Rata rata 1.50 1.48 1.36
Jumlah
Ketinggian 6 Tinggi 6 Sedang 6 Rendah
42
Lampiran 8 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap berat karkas pemeliharaan ayam broiler Sumber Keragaman
db
JK
KT
F
P
Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
2 1 2 2 10 17
214047905 4982153361 374145207 222239306 1622641423 7415227202
107023953 4982153361 187072604 111119653 162264142
0.66 30.70 1.00 0.05
0.538 0.000 0.354 0.526
Tukey Group A B
Rata rata 2259,27 1926,53
Jumlah
Jenis Kelamin 9 Jantan 9 Betina
Lampiran 9 Hasil analisis ragam (ANOVA) interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap persentase karkas ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
db
JK
KT
F
P
2 1 2 2 10 17
4909350972 3289041197 2108709732 1272389677 741494823 1899443981
2454675486 3289041197 1054354866 636194839 74149482
3.31 4.44 1.42 0.86
0.0788 0.0614 0.2861 0.453
Lampiran 10 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap pH daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
db 2 1 2 2 28 35
JK 176427222 0.01000000 0.02555000 0.05133889 0.89216111 274332222
KT 0.88213611 0.01000000 0.01277500 0.02566944 0.03186290
F 27.69 0.31 0.4 0.0256
P <.0001 0.5798 0.673 0.4569
43
Tukey Group A B C
Rata rata 6.81 6.6 6.27
Jumlah 12 12 12
Ketinggian Tinggi Rendah Sedang
Lampiran 11 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap daya putus daging (DPD) mentah daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
Tukey Group A B C C C C
db JK 2 159.086.667 1 0.10780278 2 0.10562222 2 0.03155000 28 0.11403333 35 194.987.500
Rata rata 0.77000 0.50833 0.23500 0.18667 0.18667 0.16833
Jumlah 6 6 6 6 6 6
KT 0.79 0.10 0.05 0.01 0.004
F 195.31 26.47 0.57 0.18
P <.0001 <.0001 00.01 0.23
Ketinggian Rendah Jantan Rendah Betina Tinggi Jantan Tinggi Betina Sedang jantan Sedang Betina
Lampiran 12 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap daya putus daging (DPD) masak daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
Tukey Group A B C
db 2 1 2 2 28 35
Rata rata 0.78750 0.61250 0.24250
JK 185820000 0.03180278 0.04682222 0.01451667 0.45213333 240347500
Jumlah 12 12 12
KT 0.92910000 0.03180278 0.02341111 0.00725833 0.01614762
Ketinggian Rendah Tinggi Sedang
F 2.41 0.10 0.07 0.03
P <.0001 1.19 1.75 4.46
44
Lampiran 13 Hasil analisis ragam (ANOVA) dan Tukey interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap susut masak daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
db
JK
KT
F
P
2 1 2 2 28 35
1891018056 40000000 406212500 636559722 6086040278 9059830556
945509028 40000000 203106250 318279861 217358581
4.35 0.18 0.93 1.46
0.022 0.67 0.40 0.25
Tukey Group B B
Rata rata
A A
Jumlah
27.571 26.921 22.417
Ketinggian
12 Rendah 12 Sedang 12 Tinggi
Lampiran 14 Hasil analisis ragam (ANOVA) interaksi antara ketinggian tempat dan jenis kelamin terhadap daya ikat air (DIA) daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Jenis kelamin Interaksi Ulangan Galat Total
db 2 1 2 2 28 35
JK KT 484283167 242141583 323571361 323571361 2337861056 1168930528 1946428167 973214083 1502011700 53643275 2011226075
F 0.03 0.04 0.09 0.09
P 4.45 3.08 0.92 1.26
Lampiran 15 Hasil analisis Kruskall Wallis, ketinggian tempat terhadap uji hedonik daging ayam broiler Chi-Square df Asymp. Sig.
Warna 1.063 2 0.588
Aroma 26.245 2 0.000
Kekenyalan Penampilan Umum 2.322 0.262 2 2 0.313 0.877
45
Warna
Aroma
Kekenyalan
Penampilan Umum
Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
N 31 32 32 95 31 32 32 95 31 32 32 95 31 32 32 95
Mean Rank 46.35 45.88 51.72 58.98 56.38 28.98 47.42 52.84 43.72 49.82 46.73 47.50
Lampiran 16 Hasil analisis Kruskall Wallis, ketinggian tempat terhadap uji mutu hedonik daging ayam broiler Chi-Square df Asymp. Sig.
Warna 4.473 2 0.107
Aroma Kekenyalan 42.401 0.644 2 2 0.000 0.725
Penampilan Umum 7.912 2 0.019
46
Warna
Aroma
Kekenyalan
Penampilan Umum
Ketinggian Tempat Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
N 31 32 32 95 31 32 32 95 31 32 32 95 31 32 32 95
Mean Rank 49.13 54.00 40.91 38.27 33.42 72.00 45.29 48.50 50.13 51.85 37.91 54.36
Lampiran 17 Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji kualitas kimia (air) daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Ulangan Galat Total
db 2 2 4 8
JK 7.0093 1.00334 6.197 14.3296
KT 3.5496 0.6167 1.5492
F 2.29 0.33
P 0.2127 0.7346
Lampiran 18 Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji kualitas kimia (protein) daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Ulangan Galat Total
db 2 2 4 8
JK 2.55 3.1142 2.724 8.3882
KT 1.275 1.5571 0.681
F 1.87 2.29
P 0.2668 0.2177
47
Lampiran 19 Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji kualitas kimia (lemak) daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Ulangan Galat Total
db 2 2 4 8
JK 5.4098 1.8355 4.2735 11.5178
KT 2.7044 0.9177 1.0684
F 2.53 0.86
P 0.1948 0.4898
Lampiran 20 Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji kualitas kimia (karbohidrat) daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Ulangan Galat Total
db
JK
KT
F
P
2 2 4 8
2.9608 0.5843 7.9729 11.518
1.4804 0.2921 1.9932
0.74 0.15
0.5317 0.8681
Lampiran 21 Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji kualitas kimia (kadar abu) daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Ulangan Galat Total
db 2 2 4 8
JK 0.0086 0.00179 0.0487 0.0752
KT 0.0043 0.0089 0.0122
F 0.35 0.73
P 0.7225 0.7225
Lampiran 22 Hasil analisis ragam (ANOVA) antara ketinggian tempat terhadap uji mikrobiologi (ALT) daging ayam broiler Sumber Keragaman Ketinggian Ulangan Galat Total
db 2 2 4 8
JK 0.022 0.2028 0.1384 0.3632
KT 0.011 0.1014 0.0346
F 0.32 2.93
P 0.74 0.16
48
Lampiran 23 Dokumentasi penelitian
49
50
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pare-Pare Sulawesi Selatan pada tanggal 27 April 1990 sebagai anak sulung dari Baharuddin K dan Sabria Samsong. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Ternak Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 2013. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2016. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Tenaga Ahli di Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (BNPP-RI), mendampingi Kecamatan Long Apari Kabupaten Mahakam Ulu Provinsi Kalimantan Timur dalam mengelola potensi sosial dan ekonomi masyarakat perbatasan. Selama mengikuti program S-2, penulis aktif di organisasi mahasiswa seperti, pengurus Forum Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 20132014, Sekretaris Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor asal Sulawesi Selatan (Rumana IPB Sul-Sel) 2014-2015, Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (BPP PISPI) bidang Kajian dan Strategis 2015-2020.