EFEK KEPADATAN KANDANG AYAM PERSILANGAN KAMPUNG DAN BROILER TERHADAP THI, KUALITAS FISIK SERTA DAMPAKNYA PADA MIKROBIOLOGI DAGING
CINTIA AGUSTIN PATRIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efek Kepadatan Kandang Ayam Persilangan Kampung dan Broiler terhadap THI, Kualitas Fisik serta Dampaknya pada Mikrobiologi Daging benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Cintia Agustin Patria NIM D151140021
RINGKASAN CINTIA AGUSTIN PATRIA. Efek Kepadatan Kandang Ayam Persilangan Kampung dan Broiler terhadap THI, Kualitas Fisik serta Dampaknya pada Mikrobiologi Daging. Dibimbing oleh RUDI AFNAN dan IRMA ISNAFIA ARIEF. Ayam kampung merupakan salah satu ternak lokal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber penghasil daging di Indonesia. Keunggulan ayam kampung mampu beradaptasi pada lingkungan tropis serta memiliki sistem imun yang kuat namun kelemahannya yaitu laju pertumbuhan yang lambat. Dilain pihak, ayam ras pedaging (broiler) adalah jenis ras unggulan hasil persilangan bangsa-bangsa ayam yang memiliki produktivitas tinggi terutama dalam memproduksi daging. Upaya untuk mengembangkan ayam kampung dilakukan persilangan dengan ayam broiler. Persilangan ini diharapkan menghasilkan produksi daging dalam jumlah yang besar sekaligus melestarikan ayam kampung sebagai Plasma Nuftah Indonesia. Manajemen lingkungan yang baik merupakan prasyarat baik pada pemeliharaan ayam. Ruang kandang dengan tingkat kepadatan yang tidak sesuai berdampak negatif pada performa produksi dan dapat mengakibatkan stress yang berdampak pada penurunan produksi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi cekaman akibat kepadatan kandang berdasarkan THI dan mengidentifikasi pengaruh kepadatan kandang terhadap kualitas daging yaitu fisik, mikrobiologi dan organoleptik. Sebanyak 90 DOC KB digunakan dalam penelitian ini. Ayam KB ditempatkan pada 9 petak (ukuran 1x1 m-2) pada kandang semi closed house dengan 3 perlakuan. Setiap perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 3 kali. Perlakuan kepadatan kandang yang berbeda yaitu 8, 10 dan 12 ekor m-2 (P1, P2, P3). Kualitas fisik dan mikrobiologi dianalisis menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Data organoleptik diuji secara non parametrik (kruskal-walis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan kandang yang tinggi meningkatkan nilai THI yang berkorelasi dengan meningkatnya cekaman walaupun tidak mempengaruhi kualitas fisik dan mutu hedonik daging dada ayam KB sehingga dapat diterima oleh konsumen. Kepadatan kandang tinggi meningkatkan TPC, E.coli, S.aureus tetapi Salmonella tidak ditemukan. Kualitas daging masih memenuhi standar hingga kepadatan 10 ekor m-2 berdasarkan BSN 01-3924-2009. Kata kunci: broiler, kepadatan, kualitas daging, persilangan ayam kampung, THI
SUMMARY CINTIA AGUSTIN PATRIA. Effect Density of Kampong-Broiler Crossbred Chicken to THI, Physical Quality and Impact to Microbiological of Meat. Supervised by RUDI AFNAN dan IRMA ISNAFIA ARIEF. Kampong chickens are potential in providing meat in Indonesia. Kampong chickens are adaptable towards tropical climates and have a relatively strong immune system, but has disadvantage of their slow growth. On the other hand, broiler chickens are a high-quality breed as the results of carefully selected crossbreeding of chickens with high meat productivity. To improve kampong chicken, attempts on cross-breeding it with broiler chickens has been made. This process is aimed to increase the quantity of meat production and also as a preservation mean of kampong chickens as Indonesian germplasm. Environment managements is important factor in raising chickens. Chicken with inadequate population density may negatively affect production and cause stress, which in turn decreases production. This study was performed to identify the stress-coop density relationship based on Temperature Humidity Index (THI) and the effect of coopdensity on meat quality i.e. physical, microbiological and organoleptic. Anamount of 90 DOC of KB (Kampong-Broiler) were placed into 9 plots sized 1x1 m2 in semi closed house that consist of 3 different densities 8, 10 and 12 birds m-2 (P1, P2 and P3) and respectively 3 replicates. Physical and microbiology meat quality data were subjected to analysis of variance and continued to Duncan’s multiple range test, while organoleptic data were using Kruskal-Wallis test. The results showed that The higher density could increase the THI value that correlated to the stress alteration, not affected to the physical and hedonic quality of breast, nevertheless, thus it can be accepted for consumers. The higher density could increase TPC, E.coli, and S.aureus but not found on Salmonella. The meat quality met the standard up to the stocking density of 10 birds m-2 based on BSN 01-3924-2009. Keywords: broiler, meat quality, density, crosses Kampong chicken, THI
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEK KEPADATAN KANDANG AYAM PERSILANGAN KAMPUNG DAN BROILER TERHADAP THI, KUALITAS FISIK SERTA DAMPAKNYA PADA MIKROBIOLOGI DAGING
CINTIA AGUSTIN PATRIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Niken Ulupi, MS
PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikanNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2015 ini Efek Kepadatan Kandang Ayam Persilangan Kampung dan Broiler terhadap THI, Kualitas Fisik serta Dampaknya pada Mikrobiologi Daging. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Rudi Afnan Msc Agr dan Ibu Dr Irma Isnafia Arief SPt Msi selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan, arahan dan saran mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr Ir Niken Ulupi MS atas kesediaan waktunya menjadi penguji luar komisi pada ujian tesis serta atas saran dan masukannya pada penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Armen Patria SE, Ibunda Mainiar SPd, adikku M.Rafsanzani Patria, terkasih Anggi Nugroho S.Pt dan seluruh keluarga besar atas do’a, kasih sayang dan motivasinya. Disamping itu penulis juga menyampaikan terimakasih kepada tim penelitian, keluarga besar Pascasarjana ITP 2014 dan teman-teman lainnya atas bantuan, kerja sama dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 3 3 3
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian Peubah yang Diamati Analisis Data
3 3 4 5 5 8
3 HASIL DAN PEMBAHASAN THI (Temperature Humidity Index) Kualitas Fisik Daging Dada Ayam KB Jantan Uji Orgnoleptik Mutu Hedonik Daging Dada Ayam KB Jantan Kualitas Mikrobiologi Daging Dada Ayam KB Jantan
9 9 10 14 16
4 DISKUSI UMUM
21
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
22 22 22
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
22 28
DAFTAR TABEL 1 Rataan THI (Temperature Humidity Index) dalam kandang ayam KB pada kepadatan kandang yang berbeda 2 Kualitas fisik daging dada ayam KB jantan 3 Rataan uji organoleptik mutu hedonik daging dada ayam KB jantan 4 Kualitas mikrobiologi daging dada ayam KB jantan
9 11 14 16
DAFTAR GAMBAR 1 2
Skema penelitian persilangan ayam kampung dan broiler THI (Temperature Humidity Index) ayam KB pada kepadatan kandang yang berbeda
4 10
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Hasil analisis ragam dan uji Duncan kualitas fisik daging dada ayam KB jantan pada kepadatan kandang yang berbeda Hasil Uji Kruskal-Wallis daging dada ayam KB jantan pada kepadatan kandang yang berbeda Hasil analisis ragam dan uji Duncan kualitas mikrobiologi daging dada ayam KB jantan pada kepadatan kandang yang berbeda
28 28 29
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang sering disebut juga ayam buras. Ayam kampung merupakan komoditas ternak unggas yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat di pedesaan. Sebagian besar masyarakat memelihara ayam kampung untuk tambahan pendapatan, tetapi pemeliharaanya secara umum masih dilakukan secara ekstensif (diumbar). Sehingga sangat rentan terhadap serangan/wabah penyakit yang dapat menimbulkan kematian dalam jumlah banyak. Menurut (Yaman 2010), laju reproduksi dan pertumbuhan ayam kampung yang lambat menyebabkan terhambatnya produksi daging. Disisi lain produk daging dan telur ayam kampung diminati oleh konsumen dengan harga beli lebih tinggi dibandingkan harga daging dan telur ayam ras. Ayam ras pedaging (broiler) adalah jenis ras unggulan hasil persilangan bangsa-bangsa ayam yang memiliki produktivitas tinggi terutama dalam memproduksi daging. Ayam ras pedaging dapat dipanen dan dijual sebelum usia 6 minggu dengan berat tubuhnya hampir sama dengan tubuh ayam kampung berusia sekitar satu tahun. Kartasudjana (2005), Bobot badan ayam ras pedaging pada umur 4 sampai 5 minggu sekitar 1.2 sampai 1.9 kg ekor-1. Pada bobot yang sama, karkas ayam kampung memunyai bobot lemak yang lebih rendah dibandingkan karkas ayam ras (Ahmad dan Herman 1982). Upaya untuk mengembangkan ayam kampung dilakukan melalui program pemuliaan. Salah satu program pemuliaan dengan tujuan peningkatan produksi daging dapat dilakukan melalui persilangan (crossbreeding). Persilangan merupakan perpaduan sifat unggul yang dimiliki oleh indukan yang akan diturunkan oleh induk pada anaknya (Gunawan dan Tike 2001). Persilangan ayam kampung dan ayam ras pedaging dilakukan kombinasi antara kedua genetik yang dimiliki yaitu pertumbuhan dan masak kelamin yang lebih cepat dari ayam kampung dan bobot dewasa kelamin yang lebih berat dari ayam kampung. Persilangan ayam kampung jantan dengan ayam ras pedaging betina menghasilkan keturunan ayam KB (Pratiwanggana 2014). Persilangan antara ayam kampung dengan ayam ras pedaging diharapkan mempunyai manfaat ganda yaitu dapat memproduksi daging dalam jumlah yang besar sekaligus melestarikan ayam kampung. Pemanfaatan sekaligus pelestarian ayam ini sesuai dengan kebijakan Komisi Nasional Plasma Nuftah Indonesia (Utoyo 2002). Persilangan ayam kampung dengan ayam ras pedaging diharapkan menghasilkan produksi daging dada ayam yang menyerupai daging ayam kampung yang dipelihara dalam waktu yang singkat. Manajemen lingkungan yang baik merupakan prasyarat baik pada pemeliharaan ayam. Salah satu aspek manajemen adalah tata laksana perkandangan. Ruang kandang dengan tingkat kepadatan yang tidak sesuai berdampak negatif pada performa produksi dan dapat mengakibatkan stress yang berdampak pada penurunan produksi. Menurut Iskandar et al. (2009), kepadatan kandang untuk ayam Wareng-Tangerang sebesar 8 ekor 0.405 m-2 dapat memberikan ruang yang cukup untuk hidup sesuai dengan potensi genetik. Standar kepadatan ayam petelur pullet adalah 15 kg m-2 atau setara dengan 6
2 sampai 8 ekor ayam pedaging dan 12 sampai 14 ekor m-2 ayam petelur pullet (Fadilah dan Fatkhuroji 2013). Kandang yang terlalu padat membuat ayam tidak nyaman dan meningkatkan kompetisi dalam mendapatkan pakan, air minum maupun oksigen. Kompetisi ini memunculkan ayam yang kalah dan menang mengakibatkan pertumbuhan menjadi tidak seragam terutama pada ayam broiler jantan dan betina (Zuowei et al. 2011). Hal tersebut dapat mengakibatkan produktivitas ayam tidak optimal. Menurut Berry et al. (2008), kepadatan kandang yang terlalu tinggi atau terlalu rendah berpengaruh terhadap kualitas karkas terutama pada bagian dada dan paha. Keadaan yang tidak nyaman juga menyebabkan ayam terluka akibat gesekan dengan sisi-sisi kandang dan saling patuk sesama. Menurut Estevez (2007) dampak negatif dari kepadatan yang terlalu tinggi akan berpengaruh terhadap bobot badan, foot pad lesion, memar, perkelahian dan cekaman. Apabila kepadatan kandang yang terlalu rendah, terjadi pemborosan ruangan dan ayam banyak bergerak sehingga energi banyak terbuang. Selain itu, kepadatan kandang merupakan prioritas utama dalam kesejahteraan hewan yang mempengaruhi produk unggas (Food Marketing Institute and National Council of Chain Restaurants 2003; Vanhonacker et al. 2008) Daging yang berkualitas baik berciri segar, warna menarik, empuk, juice ketika dimasak, memiliki kalori rendah dan memiliki densitas nutrisi yang tinggi (Abustam 2012). Menurut Nugroho (2005), daging merupakan bahan pangan yang memiliki potensi bahaya biologi, fisik dan kimia. Daging harus aman dan terbebas dari bahan-bahan berbahaya tersebut. Cemaran biologi dapat disebabkan oleh mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam daging dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga daging tersebut tidak layak dikonsumsi (Siagian 2002). Mikroorganisme yang tumbuh pada daging dapat berasal selama pemeliharaan maupun saat proses pemotongan. Kepadatan kandang yang tinggi akan menghasilkan ekskreta yang dapat mencemari ayam hidup melalui bulu. Selain itu, proses pemotongan yang tidak higienis dapat pula mengakibatkan kontaminasi silang pada daging melalui saluran pencernaan. Menurut Asmorowati et al. (2014), salah satu aspek yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu kontaminasi oleh mikroorganisme yaitu higiene dan sanitasi. Pada saat pemotongan higiene sangat berpengaruh terhadap keamanan pangan, agar bahan pangan tidak tercemar. Sedangkan sanitasi tempat pemotongan dilakukan untuk pengendalian kondisi lingkungan sejak penanganan bahan baku sampai proses distribusi (Hariyadi dan Ratih 2009). Ayam ras pedaging mempunyai mempunyai perdagingan yang baik. Daging ayam kampung mempunyai perlemakan yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam ras. Kepadatan kandang yang berbeda diharapkan menghasilkan perbedaan kualitas daging yang dihasilkan. Menurut Lawrie (2003), otot yang banyak melakukan aktivitas akan berpengaruh terhadap kualitas fisik daging. Penilaian terhadap keberhasilan upaya tersebut dapat diukur melalui informasi kualitas daging terutama pada kualitas fisik, mikrobiologi dan organoleptik.
3 Perumusan Masalah Ayam kampung merupakan ternak asli Indonesia yang memiliki beberapa keunggulan, salah satunya daya tahan tubuh yang baik. Sedangkan ayam broiler rentan terhadap penyakit. Informasi mengenai persilangan ayam kampung dan broiler khususnya pada kualitas daging seperti kualitas fisik dan mikrobiologi serta organoleptik masih sangat terbatas. Oleh karena itu, upaya memperoleh karakteristik daging ayam persilangan kampung dan broiler dilakukan pada penelitian ini. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi cekaman panas akibat kepadatan kandang berdasarkan THI (Temperature Humidity Index). 2. Mengidentifikasi pengaruh kepadatan kandang terhadap kualitas daging (uji fisik, mikrobiologi dan organoleptik). Manfaat Penelitian Memberikan informasi mengenai kualitas daging ayam persilangan kampung dan broiler serta kepadatan kandang yang optimum untuk menghasilkan kualitas daging yang terbaik. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis kualitas daging meliputi: 1) pengukuran THI (Temperature Humidity Index), 2) kualitas fisik berupa pH (Potensial Hydrogen), daya mengikat air (DMA), susut masak (cooking loss) dan keempukan (tenderness), 3) uji organoleptik mutu hedonik diuji menggunakan 40 panelis yang tidak terlatih dan 4) kualitas mikrobiologi melalui pengamatan TPC (total plate count), Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Salmonella sp. Secara umum ruang lingkup penelitian disajikan pada Gambar 1.
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 sampai Nopember 2015 melalui pengamatan di lapangan dan uji di laboratorium. Lokasi pemeliharaan di laboratorium Lapang Unit Unggas Blok B Fakultas Peternakan IPB. Uji kualitas daging dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.
4 Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah 90 ekor persilangan ayam kampung dan broiler, pakan BR11, sekam padi, air, formalin, KMnO4 dan disinfektan. Media tumbuh bakteri menggunakan Plate Count Agar (PCA), Eosin Methylen Blue Agar (EMBA), Braid Parker agar (BPA), kalium tellurit, kuning telur, NaCl, Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA), akuades dan alkohol 75%.
Persilangan ayam kampung jantan x ayam broiler
Pengumpulan telur ayam KB ± 180 butir
betina Penetasan telur ±21 hari dalam 2 tahap
Pemeliharaan mulai DOC sampai dengan umur 12 minggu
umur 12 minggu (unsexing) Kepadatan kandang 8,10 dan 12 ekor dalam petak 1x1 m-2 8 ekor
10 ekor
12 ekor
8 ekor
10 ekor
12 ekor
8 ekor
10 ekor
12 ekor
Pengambilan sampel masing-masing 30% per petak
Proses pemotongan pengambilan sampel bagian dada
Pengamatan kualitas daging ayam KB
Kualitas fisik
THI (Temperature Humidity Index)
Uji Organoleptik
Ph Daya Mengikat Air Susut masak Keempukan
Aroma Rasa Tekstur Warna
Kualitas mikrobiologi
Total Plate Count E. coli S. aureus Salmonella sp
Gambar 1 Skema penelitian persilangan ayam kampung dan broiler Alat Alat-alat yang digunakan pada penetasan dan pemeliharaan yaitu mesin tetas, rak telur, termometer, timbangan digital, feedtray, hanging feeder, tempat minum galon, chick guard, kandang koloni dan lampu pijar. Analisa mikrobiologi dan fisik menggunakan peralatan antara lain cawan petri, tabung reaksi, rak
5 tabung reaksi, blender, botol schott, labu erlenmeyer, hot plate, autoclave, waterbath, laminar air flow, pembakar bunsen, vortek, inkubator, bakteri colony counter, gelas ukur, hockey stick, pengaduk besi, warner-blatzer shear force, pH meter dan kertas saring. Prosedur Penelitian Persilangan dilakukan secara kawin alami antara ayam kampung jantan dan ayam broiler betina dengan perbandingan 1:5 per kandang. Pengumpulan telur dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari. Telur disimpan pada ruangan tertutup dengan suhu 20 ºC-25 ºC selama ±5 hari. Proses penetesan telur ayam KB (kampung broiler) dilakukan dalam 2 tahap dengan menggunakan mesin tetas semi otomatis selama ±21 hari. Pemeliharaan ayam KB (kampung broiler) dilakukan di dalam kandang selama 12 minggu. Kandang terdiri dari 9 petak berukuran 1x1 m-2 masingmasing petak berisi satuan percobaan dengan kepadatan kandang 8,10 dan 12 ekor m-2. Alas kandang menggunakan sekam padi yang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum, termometer dan pemanas (lampu pijar). Pemberian pakan dan air minum dilakukan ad libitum setiap hari dan konsumsinya dihitung setiap hari. Vaksin yang diberikan adalah vaksin ND (Newcastle Disease) dan IBD (Infections Bursal Disease). Sampel diambil secara acak masing-masing 30% dari populasi per petak kandang untuk dipotong. Saat umur pemeliharaan 12 minggu ayam dipotong di lingkungan sekitar kandang. Sampel diambil pada daging bagian dada ayam KB jantan tanpa kulit yang diambil untuk uji kualitas fisik daging, uji mikrobiologi dan uji organoleptik. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian adalah kualitas daging ayam persilangan kampung dan broiler meliputi THI, kualitas fisik, uji organoleptik dan kualitas mikrobiologi daging. Temperature-Humidity Index (THI) Suhu Basah dan Suhu Kering (Tao and Xin 2003) Suhu basah dan suhu kering diukur menggunakan termometer kering dan basah yang dipasang masing-masing petak kandang Pemasangan termometer basah dan kering dipasang pada ketinggian 50 cm dari lantai kandang. Data diambil 3 kali dalam sehari, yaitu pukul 07.00 WIB, 12.00 WIB dan 17.00 WIB. THI (temperature-humidity index) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: THI = 0.85 Tdb + 0.15 Twb Keterangan : THI = temperature-humidity index (oC) Tdb = dry-buld termperature (oC)
Twb = wet-buld temperature (oC)
6 Kualitas Fisik Daging Kualitas fisik daging terdiri dari nilai pH, daya mengikat air, keempukan dan susut masak yang diuji secara objektif. Pengujian sampel daging dada ayam KB dilakukan setelah daging mengalami penyimpanan di freezer. Nilai pH (AOAC 2005). Nilai pH diukur menggunakan pH meter (Hanna Instruments, USA) dan dikalibrasi dengan larutan buffer dengan nilai pH 4 dan 7. Katoda pH meter ditusukkan pada sampel dan biarkan hingga angka yang tertera pada pengukuran digital tidak berubah lagi. Katoda pH meter dibilas dengan akuades dan dikeringkan sebelum digunakan lagi. Daya Mengikikat Air (DMA) (Honikel dan Hamm 1994). Sampel daging seberat 0.3 g diletakkan di atas kertas saring diantara dua plat baja tahan karat, kemudian diberi beban seberat 35 kg selama 5 menit. Pada kertas saring akan terlihat suatu area yang tertutup oleh sampel daging yang telah menjadi pipih dan luas area basah disekelilingnya. Kedua area tersebut digambar pada kertas grafik. Area basah diperoleh dengan mengurangkan luas kedua area tertutup daging dari area total yang meliputi area basah pada kertas saring. DMA dihitung berdasarkan persentase antara area basah dari area total. mgH2O=
area basah (cm2 ) x 8.0% 0.0948
Susut Masak (Tijare et al. 2016). Sampel daging dada ditancapkan termometer bimetal hingga menembus ke dalam daging dimasukkan ke dalam air mendidih hingga termometer menunjukkan angka 76 oC. Sampel daging diangkat dan dikeringkan pada suhu ruang hingga mencapai berat konstan. Penimbangan dilakukan setelah sampel dingin. Pengukuran dilakukan berdasarkan perbandingan antara berat daging sebelum dan sesudah dimasak. Keempukan (Bowker et al. 2014). Sampel daging dada dibentuk empat persegi dan arah serabut otot yang jelas. Sampel dibentuk dengan correr mengikuti arah serat daging. Termometer bimetal ditancapkan hingga menembus ke dalam bagian daging. Daging dimasukkan ke dalam air mendidih hingga termometer menunjukkan angka 78 ºC. Sampel daging diangkat dan didinginkan satu jam sampai tercapai berat konstan. Potongan daging diukur dengan alat Warner-Blatzer Shear Force untuk menentukan nilai daya putusnya yang dinyatakan dengan satuan kg cm-2. Kualitas Mikrobiologi Analisis mikrobiologi sampel dimulai dengan pengenceran sampel. Daging ditimbang seberat 25 g dan dimasukkan ke dalam 225 mL buffer pepton water (BPW) dan dihomogenkan selama 30 menit. Larutan ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. Suspensi 1 mL dipindahkan dengan menggunakan pipet steril ke dalam larutan 9 mL BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Pengenceran dilanjutkan sampai pengenceran 10-6 dengan cara yang sama. Pengenceran tersebut kemudian digunakan untuk analisis keberadaan total plate count dengan media tumbuh Plate Count Agar (PCA), Escherichia coli dengan
7 media tumbuh Eosin Methylen Blue Agar (EMBA), Staphylococcus aureus dengan media tumbuh Braid Parker agar (BPA) yang dicampur dengan 1% kalium tellurit, 2% kuning telur dan 2% larutan NaCl dan Salmonella sp dengan media tumbuh Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA). Analisis Total Plate Count (BAM 2001). Suspensi 1 mL dari pengenceran 10-4 sampai 10-6 dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo. Media Plate Count Agar (PCA) dituang sebanyak 15 sampai 20 mL ke dalam cawan dengan suhu 45 °C ± 1 °C. Cawan didiamkan sampai agar menjadi padat dan diinkubasi pada suhu 34-36 °C selama 36 sampai 48 jam dengan posisi terbalik. Analisis Escherichia coli (BAM 2001). Suspensi 1 mL dari pengenceran 10 sampai 10-3 dipipet secara aseptik ke dalam cawan petri secara duplo. Media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA) dituang sebanyak 15 sampai 20 mL ke dalam cawan. Cawan didiamkan sampai agar menjadi padat dan diinkubasi pada suhu 34 sampai 36 °C selama 24 sampai 36 jam dengan posisi terbalik. -1
Analisis Staphylococcus aureus (BAM 2001). Suspensi 1 mL dari pengenceran 10-1 sampai 10-3 dipipet secara aseptik ke dalam cawan petri secara duplo. Cawan petri tersebut sebelumnya telah diisi dengan media Braid Parker agar (BPA) + egg yolk 5% dituang sebanyak 15 sampai 20 mL ke dalam cawan. Suspensi kemudian disebarkan pada permukaan media dengan menggunakan batang gelas bengkok (hockey stick) dan biarkan meresap selama ±30 menit pada suhu ruang. Setelah itu, media diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24-36 jam dengan keadaan cawan petri terbalik. S.aureus mempunyai ciri khas berbentuk bundar, licin dan halus, cembung, diameter 2 sampai 3 mm, berwarna abu-abu sampai hitam pekat dan dikelilingi zona luar yang bening (clear zone). Analisis Salmonella sp (BAM 2001). Suspensi 1 mL dari pengenceran 10-1 sampai 10-3 dipipet secara aseptik ke dalam cawan petri secara duplo. Media Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA) yang telah dingin dituang sebanyak 15-20 mL ke dalam cawan. Cawan didiamkan sampai agar menjadi padat dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 sampai 36 jam dengan posisi terbalik. Uji Organoleptik (Arief et al. 2014) Penilaian organoleptik yang dilakukan yaitu uji mutu hedonik. Daging direbus sampai suhu 80 oC diukur menggunakan termometer bimetal. Uji organoleptik berupa mutu hedonik, terkait dengan aroma, rasa, tekstur, warna diujikan pada 40 orang panelis tidak terlatih. Pengujian mutu hedonik untuk aroma (1) sangat amis, busuk, sangat tengik, (2) amis, agak busuk, tengik (3) agak amis, (4) kurang amis (5) khas daging, tidak amis. Pengujian rasa (1) tidak gurih (2) kurang gurih, (3) agak gurih (4) gurih, (5) sangat gurih. Pengujian tekstur (1) sangat kasar (2) kasar (3) agak kasar (4) lembut, empuk (5) sangat lembut, empuk. Pengujian warna (1) sangat pucat (2) agak pucat (3) pucat (4) agak cerah (5) cerah khas daging.
8 Performa Produksi Konsumsi Pakan (g). Penimbangan berdasarkan jumlah pakan yang diberikan setiap minggu dikurangi jumlah pakan yang sisa pada minggu tersebut. Konsumsi air minum (ml). Penimbangan berdasarkan jumlah air minum yang diberikan setiap minggu dikurangi jumlah air minum yang sisa pada minggu tersebut. Analisis Data Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok pada saat pemeliharaan ayam KB dengan 3 perlakuan dan 2 kelompok dengan model linear yang digunakan: Yijk = μ + i + j + εijk Yij μ i j εij
: Respon yang diperoleh dari pengaruh perlakuan (ayam persilangan dengan kepadatan kandang yang berbeda) ke-i (8, 10, 12 ekor m-2) dan kelompok ke-j (1, 2) : Nilai rataan umum : Pengaruh perlakuan ke- i (8, 10, 12 ekor m-2) : Pengaruh kelompok ke-j (periode 1, periode 2) : Pengaruh galat perlakuan ke-i (8, 10, 12 ekor m-2) dan kelompok ke-j (1, 2)
Pengujian kualitas fisik dan mikrobiologi menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dengan model matematika sebagai berikut: Yij = μ + i + εij Yij μ i εij
: Respon yang diperoleh dari pengaruh perlakuan (ayam persilangan dengan kepadatan kandang yang berbeda) ke-i (8, 10, 12 ekor m-2) dan ulangan ke-j (1, 2, 3) : Nilai rataan umum : Pengaruh perlakuan ke-i (8, 10, 12 ekor m-2) : Pengaruh galat perlakuan ke-i (8, 10, 12 ekor m-2) dan ulangan ke-j (1, 2, 3)
Kualitas fisik dan mikrobiologi daging dianalisis ragam (ANOVA). Perlakuan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda menggunakan uji Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Data hasil uji organoleptik dianalisis dengan uji statistik nonparametrik Kruskal-Wallis (Mattjik dan Sumertajaya 2002).
9
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan kandang menyebabkan kondisi THI meningkat yaitu mencapai 29.33±1.32 oC pada kepadatan kandang 12 ekor m-2. Tingginya kepadatan kandang tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas fisik dan mutu hedonik daging dada ayam KB. Dilain pihak, kepadatan kandang memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas mikrobiologi daging dada ayam KB. THI (Temperature Humidity Index) THI (Temperature Humidity Index) atau indeks suhu dan kelembaban yang mulai telah digunakan untuk memperkirakan tingkat stres termal pada ternak (Bouraoui et al. 2002). Hal ini didukung oleh Purswell et al. (2012) bahwa THI mulai dikembangkan untuk menilai lingkungan terutama pada termoregulasi ternak. Pada penelitian ini rata-rata harian THI pada masing-masing kepadatan kandang yaitu 28.98±1.25 oC pada kepadatan kandang 8 ekor m-2, 29.26±1.27 oC pada kepadatan kandang 10 ekor m-2 dan 29.33±1.32 oC pada kepadatan kandang 12 ekor m-2 (Tabel 1). Tabel 1 Rataan THI (Temperature Humidity Index) dalam kandang ayam KB pada kepadatan kandang yang berbeda Waktu
Kepadatan -2
8 ekor m 10 ekor m-2 12 ekor m-2
07.00 27.50±1.44 27.57±1.47 27.71±1.61
12.00 29.63±1.26 30.03±1.28 30.10±1.29
17.00 29.82±1.04 30.19±1.06 30.18±1.07
Rataan Harian (oC) 28.98±1.25 29.26±1.27 29.33±1.32
Pengukuran THI dilakukan sebanyak 3 kali dalam sehari yaitu pukul 07.00, 12.00, dan 17.00 yang dimulai pada saat ayam KB berumur 2 minggu hingga umur 12 minggu. Ayam KB yang dipeliharan dengan kepadatan kandang berbeda menghasilkan THI kisaran 28.98±1.25 oC hingga 29.33±1.32 oC. Kenaikan THI disetiap pengambilan data mengalami kenaikan dari 2.13 oC-2.46 o C. Kenaikan THI dapat dilihat pada Gambar 2. Kondisi kandang dengan nilai THI tersebut menyebabkan kepadatan kandang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas fisik daging dada ayam KB jantan. Penelitian yang dilakukan oleh Purswell et al. (2012) broiler yang dipelihara pada THI melebihi 21 oC berdampak terhadap pada penurunan produktivitas ayam, dimana suhu tubuh akan meningkat 1.7 oC diatas suhu tubuh normal untuk broiler (40 oC). Lingkungan panas merupakan faktor pengendali dalam metabolisme energi. Kondisi kandang yang tidak nyaman atau terlalu panas akan mendorong ayam untuk mengeluarkan panas yang berasal dari dalam tubuh melalui painting. Kepadatan kandang 12 ekor m-2 mampu mencapai suhu 29.33±1.32 oC. THI yang tinggi disebabkan kondisi kandang yang terlalu padat, sehingga memiliki ruang gerak sempit dan sedikitnya pertukaran udara. Kondisi sepertinya dapat menimbulkan adanya kontaminasi silang yang berasal dari udara terhadap
10 mikrobiologi daging dada ayam KB. Menurut Berrang et al. (2011), bakteri yang terdapat pada karkas berasal dari udara dan feses yang mencemari kulit dan karkas. Kepadatan 12 ekor m-2 menghasilkan nilai THI yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan 8 ekor m-2 dan 10 ekor m-2. Tingginya nilai THI merupakan akumulasi panas dari dalam ambien ruang kandang. Hal ini mengakibatkan ayam pada kepadatan kandang 12 ekor m-2 mengonsumsi air minum yang mencapai 19723 ml per ekor selama pemeliharaan. Ayam KB yang dipelihara dengan kepadatan tinggi mengonsumsi air minum yang lebih banyak sebagai akibat terlalu tingginya nilai THI. Panas yang diproduksi oleh ayam pada kepadatan tinggi menghasilkan suhu lingkungan tinggi yang berdampak pula terhadap cekaman panas.
30.5 30
THI (0C)
29.5 29
Kepadatan 8 ekor m2
28.5
Kepadatan 10 ekor m2
28
Kepadatan 12 ekor m2
27.5 27 07.00
12.00 Waktu
17.00
Gambar 2 THI (Temperature Humidity Index) ayam KB pada kepadatan kandang yang berbeda.
Kualitas Fisik Daging Dada Ayam KB Jantan pH (Potensial Hydrogen) Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui tingkat keasamaan pada produk pangan. Nilai pH yang diperoleh pada penelitian ini berkisar 5.43±0.08 sampai 5.49±0.18 (Tabel 2). Persilangan ayam Kampung Broiler (KB) dengan kepadatan kandang yang berbeda tidak memberikan berpengaruh (P>0.05) terhadap nilai pH. Menurut Puolanne et al. (2001), nilai rataan pH akhir daging ayam berkisar 5.4 hingga 6.0. Rata-rata nilai pH pada penelitian ini sebesar 5.46±0.11 (Tabel 2). Perlakuan kepadatan kandang pada ayam persilangan ayam KB menunjukkan nilai pH daging yang masih dalam kisaran normal. Hasil penelitian Duna et al. (1993) bahwa rata-rata pH awal otot dada broiler 7.09 kemudian menurun menjadi 5.94 yaitu pada enam jam setelah mati. Hal ini didukung oleh Suradi (2008), ayam broiler sebelum pemotongan mempunyai pH
11 sekitar 6.31 dan akan menurun menjadi 5.96-5.82 setelah 10 sampai 12 jam pemotongan. Nilai pH daging dada ayam KB pada kepadatan kandang 8 ekor m-2 yaitu sebesar 5.43±0.08. Sedangkan nilai pH pada kepadatan kandang 10 ekor m-2 yaitu sebesar 5.49±0.18. Janisch et al. (2011) melaporkan nilai pH pada dada ayam broiler dengan tiga strain berbeda berkisar antara 5.91 sampai 5.93. Daging ayam kampung memiliki nilai pH 5.10 sampai 5.40 (Dewi 2013). Pada penelitian ini, ayam persilangan KB memiliki nilai pH lebih rendah dari daging dada ayam broiler tetapi lebih tinggi dari nilai pH ayam kampung. Hal ini menunjukaan nilai pH daging ayam KB berada antara pH broiler dan ayam kampung. Perbedaan ini diduga akibat persilangan dan perbedaan genetik pada ayam kampung dan broiler. Stres sebelum pemotongan, spesies, individu ternak dan jenis otot, yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging. Tabel 2 Kualitas fisik daging dada ayam KB jantan Kepadatan 8 ekor m-2 10 ekor m-2 12 ekor m-2 Rataan
pH
DMA (%)
5.43±0.08 5.49±0.18 5.46±0.08 5.46±0.11
27.17±2.71 27.88±1.60 28.74±3.09 27.93±2.47
Peubah Susut masak (%) 42.60±2.57 40.53±1.79 40.94±5.22 41.36±3.19
Keempukan (kg cm-2) 4.00±1.83a 2.78±0.88b 2.50±0.30b -
Menurut Ockerman (1983), otot dada unggas sebagian besar tersusun atas serabut putih yang sifat kontraksinya cepat, metabolisme oksidatif rendah, metabolisme glikolitik dan kadar glikogen relatif tinggi. Terjadinya kontraksi cepat pada otot dada dan metabolisme glikolitik yang tinggi berkaitan dengan pembentukan asam laktat yang besar pada otot daging. Adanya asam laktat dalam daging disebabkan perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob. Kemampuan dalam penanganan karkas ayam sebagian besar dipengaruhi oleh pH akhir daging (Sheard et al. 2012). Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging karena berkaitan dengan keempukan, warna daya ikat air dan masa simpan. Menurut Buckle et al. (1985), daging dengan pH rendah (pH 5.1 sampai 6.1) lebih disukai untuk mempertahankan faktor kualitas daging diantaranya keempukan. Daya Mengikat Air (DMA) Daya mengikat air (DMA) daging merupakan kemampuan protein daging mengikat air di dalam daging sehinga DMA akan menggambarkan tingkat kerusakan protein daging. Menurut Agus et al. (2010), daya mengikat air menunjukkan kemampuan daging untuk mengikat air dalam persen. Persentase DMA semakin besar menyebabkan semakin rendah kemampuan daging dalam mengikat air. Menurut Soeparno (2009), daya mengikat air dipengaruhi oleh umur, spesies, bangsa, jenis kelamin dan perlakuan sebelum dan setelah pemotongan. Tabel 2 menunjukkan rataan daya mengikat air (DMA) berkisar 27.17% sampai 28.74%. Kepadatan kandang berbeda pada ayam persilangan
12 kampung broiler (KB) tidak berpengaruh (P>0.05) terhadap daya mengikat air daging dada ayam KB jantan. Samuel et al. (2011) menyatakan kemampuan daging untuk mempertahankan air dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH, produksi asam laktat dan oksidasi protein. Rendahnya nilai pH daging mengakibatkan struktur daging terbuka sehingga menurunkan daya ikat air, dan tingginya nilai pH daging mengakibatkan struktur daging tertutup sehingga daya ikat air tinggi (Buckle et al. 2009). Kisaran nilai pH pada penelitian 5.43 sampai 5.49 yang dihasilkan masih pada standarnya. Titik minimal daya mengikat air daging bersamaan dengan pencapaian pH terendah pada fase rigormortis yaitu antara pH 5.0 sampai 5.1. Kepadatan kandang 12 ekor m-2 memiliki nilai DMA sebesar 28.74±3.09%. Daya mengikat air mengalami peningkatan dengan adanya kepadatan kandang. Menurut Khasrad (2010), daging yang mempunyai daya mengikat air yang tinggi sangat cocok untuk produk olahan, sebab daging yang mempunyai DMA yang tinggi akan sedikit mengalami penyusutan selama pemasakan. Rata-rata nilai DMA pada penelitian ini sebesar 27.93±2.47%. Nurwantoro et al. (2011) menyatakan penurunan nilai pH berkaitan erat dengan DMA daging. Penurunan DMA disebabkan karena perubahan dari pH protein aktin dan miosin yang mendekati titik isoelektrik daging setelah postrigor sehingga memperkecil jarak antara filamen-filamen protein maupun mengurangi kemampuan dari protein untuk mengikat air dan akan menurunkan DMA daging. Susut Masak Nilai susut masak pada penelitian ini berkisar 40.53% sampai 42.60% dengan memiliki nilai rata sebesar 41.36% (Tabel 2). Analasis ragam menunjukkan persentase susut masak daging dada ayam KB jantan yang dipelihara pada kepadatan kandang berbeda tidak memperlihatkan berbeda (P>0.05). Susut masak yang tidak berbeda nyata berkaitan dengan daya mengikat air oleh protein daging. Daging yang mempunyai daya ikat air rendah akan banyak kehilangan cairan sehingga terjadi penurunan berat daging. Menurut Hartono et al. (2013), susut masak dipengaruhi juga oleh nilai pH. Dalam penelitian ini, nilai pH daging dada ayam KB relatif sama yaitu antara 5.43±0.08 sampai 5.49±0.18 sehingga menghasilkan susut masak yang relatif sama. Tabel 1 menunjukkan persentase susut masak secara berturut-turut pada kepadatan kandang 8 ekor m-2 (42.60±2.57%), kepadatan kandang 10 ekor m-2 (40.53±1.79) dan kepadatan kandang 12 ekor m-2 (40.94±5.22%). Menurut Dilaga dan Soeparno (2007), daging yang berkualitas baik mempunyai susut masak yang rendah karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Penurunan susut masak pada bahan pangan setelah perebusan disebabkan berkurang atau hilangnya kadar air dalam bahan pangan akibat pemanasan. Semakin besar panas yang diberikan dan semakin lama pemanasan akan mengakibatkan berkurangnya kadar air pada bahan pangan dalam jumlah banyak. Penggunaan panas dalam proses pemasakan sangat berpengaruh pada nilai gizi bahan pangan (Sundari et al. 2015). Daging dada ayam KB yang dipelihara dengan kepadatan kandang berbeda menghasilkan susut masak yang tinggi karena mengalami pembekuan terlebih
13 dahulu. Zhuang and Savage (2013) menyatakan, daging dada ayam yang mengalami pembekuan dan thawing meningkatkan nilai susut masak. Pada saat proses thawing serat otot mengalami pemecahan oleh enzimatik dan hilangnya struktur integritas yang disebabkan oleh pembekuan kristal es (Leygonie et al. 2012). Keempukan Tabel 2 menunjukkan kepadatan kandang berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap keempukan daging dada ayam KB jantan. Kepadatan kandang 8 ekor m-2 memiliki keempukan yang lebih tinggi yaitu sebesar 4.00±1.83 kg cm-2 sedangkan keempukan daging dada ayam KB pada kepadatan kandang 12 ekor m-2 dan kepadatan kandang 10 ekor m-2 berturut-turut sebesar 2.50±0.30 kg cm-2 dan 2.78±0.88 kg cm-2. Berdasarkan hasil uji Duncan, keempukan daging daging dada dengan kepadatan 8 ekor m-2 berbeda nyata (P<0.05). Keempukan daging dada ayam KB jantan sama pada kepadatan 10 ekor m-2 dan 12 ekor m-2. Menurut Abustam (2012), daging dada mempunyai nilai keempukan yang rendah dibandingkan daging paha. Daging dada ayam KB dengan kepadatan kandang 8 ekor m-2 memiliki nilai keempukan relatif tinggi dibandingkan kepadatan 10 ekor m-2 dan 12 ekor m-2 (Tabel 2). Soeparno (2009) menyatakan angka keempukan menunjukkan besarnya tekanan yang dibutuhkan untuk memotong tiap satuan luas (kg cm-2) produk, yang berarti semakin kecil angka keempukan maka semakin empuk produk tersebut. Semakin tinggi nilai daya putus Warner Blatzler berarti semakin banyak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut daging persentimeter persegi, yang berarti daging semakin alot atau tingkat keempukan semakin rendah (Suryati 2004). Menurut An et al. (2010), lemak intermuskular mempengaruhi keempukan dengan menurunkan kekuatan jaringan ikat otot yang mengakibatkan otot menjadi lebih empuk. Perimesium dan endomesium ikut terlibat dalam menentukan keempukan daging ayam. Kandang dengan kepadatan 10 ekor m-2 dan 12 ekor m-2 memiliki daging dada yang relatif empuk. Hal ini diduga dengan kepadatan 10 ekor m-2 dan 12 ekor m-2 ayam KB tidak banyak melakukan aktifitas, ruang gerak yang sempit sehingga otot dada lebih sedikit tersusun myofibril dan kurang mengandung protein daging yang menyebabkan kapasitas menahan air lebih rendah sehingga keempukan daging akan lebih rendah. Kepadatan kandang ayam KB 8 ekor m-2 memiliki nilai keempukan daging dada paling tinggi yaitu 4.00±1.83 kg cm-2. Nilai keempukan tersebut menunjukkan daging dada yang dihasilkan tidak begitu padat. Menurut Shackelford et al. (1995), kandungan kolagen mempengaruhi kealotan atau keempukan daging, sehingga otot yang aktif menghasilkan daging yang lebih alot dibandingkan otot kurang aktif. Ayam KB yang dipelihara dengan kepadatan kandang 8 ekor m-2 memiliki banyak ruang gerak, sehingga menghasilkan daging dada yang sedikit alot. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lawrie (2003) bahwa otot yang banyak melakukan aktivitas memiliki serabut myofibril yang banyak dan protein daging sebagai penghubung di dalam otot mempunyai pengaruh penting terhadap nilai keempukan daging. Makin tinggi kandungan protein daging maka nilai keempukan daging makin tinggi.
14 Uji Orgnoleptik Mutu Hedonik Daging Dada Ayam KB Jantan Aroma Aroma daging dada ayam jantan KB pada kepadatan kandang yang berbeda memiliki nilai rataan 3.72±0.80 dengan nilai minimum 3.45±0.64 untuk kepadatan 10 ekor m-2 dan nilai maximum sampai 3.88±0.88 untuk kepadatan 8 ekor m-2 (Tabel 3). Hasil rataan mutu hedonik aroma daging dada ayam KB yaitu berkisar agak amis sampai kurang amis (Tabel 3). Kepadatan kandang tidak memberikan pengaruh (P>0.05) terhadap aroma daging dada ayam KB jantan. Hal ini menunjukkan kepadatan kandang yang berbeda dapat mempertahankan aroma daging dada. Selain itu, pada saat penilaian aroma para panelis sulit mengukur sehingga pada penilaian aroma terjadi penilaian yang subjektif yang menghasilkan data yang seragam. Tabel 3 Rataan uji organoleptik mutu hedonik daging dada ayam KB jantan Kepadatan -2
8 ekor m 10 ekor m-2 12 ekor m-2 Rataan
Peubah Aroma 3.88±0.88 3.45±0.64 3.83±0.87
Rasa 3.23±0.70 3.05±0.75 3.30±1.04
Tekstur 3.23±0.89 3.03±0.66 3.25±0.84
Warna 3.58±0.81 3.43±1.03 3.15±0.70
3.72±0.80
3.19±0.83
3.17±0.80
3.39±0.85
Menurut Rymer and Givens (2009), Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA) merupakan asam lemak yang dapat mempengaruhi aroma daging. Proses pemasakan akan menyebabkan perubahan pada PUFA (Kouba et al. 2008). Berdasarkan hal tersebut, aroma daging dada sulit dibedakan oleh panelis sehingga menyebabkan tidak berbedanya aroma daging dada ayam KB disetiap perlakuan kepadatan kandang. Aroma atau bau dihasilkan dari subtansi-subtansi volatil yang ditangkap oleh reseptor penciuman yang ada di belakang hidung yang selanjutnya diinterprestasikan oleh otak (Warris 2001). Aroma daging yang dimasak lebih kuat dibandingkan daging mentah. Hal ini dipengaruhi oleh metode pemasakan, jenis daging dan perlakuan daging sebelum dimasak. Flavor daging berkembang selama pemasakan. Aroma dari produk olahan daging dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama waktu dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan serta jenis, lama dan temperatur pemasakan (Lawrie 2003). Rasa Salah satu pertimbangan konsumen dalam memilih daging yaitu rasa. Menurut Jayasena et al. (2013), rasa dan aroma daging merupakan hal yang penting dalam parameter kualitas daging. Berbagai daging mempunyai sifat yang khas dalam rasa. Nilai rasa daging dada ayam KB pada kepadatan kandang yang berbeda yaitu berkisar antara skor 3.05±0.75 sampai dengan 3.30±1.04 antara rasa agak gurih sampai gurih. Nilai rataan rasa daging dada yam KB sebesar 3.19±0.83. Kepadatan kandang pada ayam KB tidak berpengaruh (P>0.05) terhadap rasa daging dada ayam.
15 Rasa daging yang hampir sama pada setiap perlakuan kepadatan kandang disebabkan kepadatan kandang tidak mempengaruhi substansi yang terkandung pada daging dada. Pengaruh perlakuan tidak nyata terhadap daging dada dapat juga disebakan oleh keseragaman dalam perlakuan awal pemotongan sampai proses pemasakan. Menurut Agus et al. (2010), salah satu faktor mempengaruhi rasa daging adalah cara pemasakan yang dilaksanakan sebelum daging disajikan. Hal ini sejalan dengan Jayasena et al. (2013) bahwa rasa pada daging dipengaruhi oleh strain ayam, pakan dan proses pemasakan. Kandungan volatil dalam daging akan bereaksi dengan reseptor yang ada dalam mulut yang akan menentukan rasa daging yang berkualitas yang mempunyai rasa yang relatif gurih (Owens 2010). Tekstur Nilai mutu hedonik tekstur daging dada ayam KB pada kepadatan 8,10 dan 12 ekor m-2 berturut-turut 3.23±0.89,3.03±0.66 dan 3.25±0.84. Kepadatan kandang tidak berpengaruh (P>0.05) terhadap tekstur daging dada ayam KB. Menurut Abustam (2012), tekstur daging dipengaruhi oleh nilai pH. Pada penelitian ini, pH daging dada ayam KB berkisar 5.43±0.08 sampai 5.49±0.18. Menurut Buckle et al. (1985), pH 5.1 sampai 6.1 menyebabkan daging memiliki struktur terbuka (renggang) sehingga mempengaruhi kemudahan gigi dalam memotong daging menjadi fragmen yang lebih kecil. Tekstur daging berdasarkan nilai rataan memiliki nilai mutu hedonik cenderung kasar hingga agak kasar (Tabel 3). Hal ini berarti bahwa penampakan serat daging hampir sama. Tektur daging dipengaruhi oleh jaringan ikat daging terutama kandungan kolagen yang memiliki peran dalam menentukan kekerasan atau kealotan pada otot (Abustam 2012). Tingkat kekasaran tekstur meningkat dengan bertambahnya umur. Otot dengan serabut-serabut otot yang kecil tidak menunjukkan peningkatan kekasaran tekstur secara nyata dengan meningkatnya umur (Soeparno 2009). Menurut Jung et al. (2013), daging dada terdiri dari 90% serabut otot putih. Tekstur daging dada ayam KB berdasarkan mutu hedonik pada kepadatan kandang 12 ekor m-2 sebesar 3.25±0.84 dan dengan kepadatan yang sama nilai daya mengikat air daging dada ayam KB sebesar 28.74±3.09 %. Kepadatan kandang 12 ekor m-2, meningkatan nilai mutu hedonik yang diiukuti peningkatan nilai daya mengikat air pada tekstur daging dada ayam KB. Menurut Lawrie (2003), tekstur daging dipengaruhi oleh daya mengikat air. Peningkatan nilai daya mengikat air akan meningkatkan tekstur daging sehingga tekstur daging menjadi lebih kompak. Warna Warna merupakan unsur yang dapat memengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk. Warna daging dada ayam KB memiliki nilai rataan penilaian panelis sebesar 3.58±0.81 untuk kepadatan kandang 8 ekor m-2, 3.43±1.03 untuk kepadatan kandang 10 ekor m-2 dan 3.15±0.70 untuk kepadatan kandang 12 ekor m-2. Mutu hedonik menunjukkan warna daging dada ayam KB pada kepadatan kandang berbeda tidak berbeda (P>0.05). Warna daging dada ayam KB dengan kepadatan kandang 8 ekor m-2 memiliki warna agak cerah sedangkan kepadatan kandang 12 ekor m-2 memiliki warna pucat. Permukaan dan bagian dalam daging yang bewarna cerah lebih
16 disukai oleh konsumen (De Marchi et al. 2011). Menurut Kılıç et al. (2014), perbedaan warna daging disebabkan oleh kadar kandungan mioglobin dan hemoglobin dalam daging. pH akan menurun selama post-mortem glikolisis, cahaya meningkat dan daging menjadi pucat dalam warna (Swatland 2008). Lawrie (2003) menyebutkan pigmen oksimioglobin adalah pigmen penting pada daging segar, pigmen ini hanya terdapat di permukaan saja dan menggambarkan warna daging yang diinginkan konsumen. Kualitas Mikrobiologi Daging Dada Ayam KB Jantan Hasil penelitian menunjukkan persilangan ayam kampung dan broiler pada kepadatan kandang yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap mikrobiologi TPC, E.coli, S.aureus dan Salmonella. Rataan nilai TPC, E.coli, S.aureus dan Salmonella dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 4 Kualitas mikrobiologi daging dada ayam KB jantan Kepadatan -2
8 ekor m 10 ekor m-2 12 ekor m-2 BSN* *
Kualitas mikrobiologi (log cfu g-1) TPC 6.93±1.79a 6.41±0.24a 10.44±0.47b 106
E.coli 3.24±0.06a 2.89±0.06a 5.70±1.28b 101
S.aureus 2.71±0.02a 3.25±0.28b 3.56±0.06b 102
Salmonella 0 0 0 negatif
Badan Standar Nasional 01-3924-2009
Total Plate Count (TPC)
Daging merupakan salah satu bahan pangan hasil ternak yang bersifat perishable dan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Daging mengandung sejumlah nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Tabel 4 menunjukkan daging dada ayam KB dengan perlakuan kepadatan kandang telah terkontaminasi mikroba melebihi standar yang ditetapkan BSN. Batas maksimum cemaran mikroba yaitu 1x106 cfu g-1 (BSN 2009). Pada penelitian ini jumlah TPC yang didapat mungkin disebabkan kondisi alas kandang yang lembab akibat ekskreta yang tercampur dengan sekam sebagai alas kandang sehingga memungkin kan banyak bakteri patogen yang mengontaminasi. Kontaminasi bakteri yang cepat menyebar dapat melalui air, sisa pencernaan. Selain itu, menigkatnya jumlah bakteri dapat juga melalui udara dan kontak langsung kulit dengan ekskreta. Menurut Buckle et al. (2009), karkas ayam sesaat setelah dipotong mengandung jumlah bakteri antara 600 sampai 8.100 unit koloni cm-2 pada permukaan kulitnya. Setelah mengalami berbagai proses jumlahnya dapat meningkat menjadi 11.000 sampai 93.000 unit koloni cm-2. Kepadatan kandang menunjukkan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap Total Plate Count (TPC) daging dada ayam KB jantan. Kepadatan 8 ekor m-2 dan kepadatan 10 ekor m-2 tidak berbeda (P>0.05), tetapi berbeda nyata (P<0.05) dengan kepadatan kandang 12 ekor m-2. Daging dada ayam KB pada kepadatan kandang 12 ekor m-2 memiliki jumlah TPC paling tinggi (Tabel 4) dan daging
17 dada ayam KB pada kepadatan 10 ekor m-2 mengandung TPC terendah. Rata-rata total bakteri pada kepadatan kandang 8 ekor m-2 6.93±1.79 log cfu g-1, kepadatan kandang 10 ekor m-2 6.41±0.24 log cfu g-1 dan kepadatan kandang 12 ekor m-2 10.44±0.47 log cfu g-1. Total mikroba atau Total Plate Count (TPC) merupakan indikator kontaminasi pada daging. Daging dada ayam KB pada kepadatan kandang 12 ekor m-2 memiliki kandungan TPC lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan kepadatan 8 ekor m-2 dan 10 ekor m-2. Kontaminasi yang terjadi pada permukaan karkas sebagian besar dari kontaminasi fekal yang terjadi selama proses penyiapan karkas. Jumlah mikroba pada daging merupakan hasil kontaminasi langsung atau tidak langsung dengan sumber–sumber kontaminasi mikroba, seperti tanah, udara, air, debu dan saluran pencernaan. Menurut Berrang et al. (2011) bakteri yang terdapat pada karkas berasal dari udara dan feses yang mencemari kulit dan daging. Bagian dada ayam yang terletak dekat dengan organ dalam dan saluran pencernaan ayam, menyebabkan daging dada memiliki tingkat cemaran mikroba yang lebih besar (Irmanita et al. 2016) Faktor internal yang mempengaruhi kolonisasi mikroba, yaitu suhu tubuh, pH, dan stres pada saat pemeliharaan maupun transportasi (Abun 2008). Pertumbuhan bakteri sangat erat kaitanya dengan pH daging, semakin tinggi nilai pH daging akan diikuti dengan meningkatnya total koloni bakteri. Kepadatan kandang 12 ekor m-2 memiliki nilai pH 5.46±0.08 dengan nilai rata-rata perlakuan sebeesar 5.46±0.11 (Tabel 4). Nilai pH rendah menyebabkan pertumbuhan bakteri sehingga pada kepadatan kandang 12 ekor m-2 mengandung TPC lebih tinggi dibandingkan kepadatan kandang 10 ekor m-2 dan kepadatan kandang 8 ekor m-2. Menurut Barbut (2002), daging ayam broiler yang memiliki nilai pH berkisar 5.8 menyebabkan tingginya total koloni bakteri. Kontaminasi mikroba pada daging ayam menunjukkan masih ada perlakuan luar yang memberikan pengaruh dalam meningkatkan jumlah TPC. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang mencemari daging ditentukan oleh tingkat pengendalian higienis yang dilaksanakan selama penanganan, diawali saat pemotongan ternak dan pembersihan karkas hingga sampai ke konsumen. Tingginya jumlah bakteri pada daging dada ayam KB dapat disebakan sarana selama proses pemotongan dan penanganan daging yaitu apabila alat-alat yang digunakan untuk pemotongan tidak steril. Disamping itu, air merupakan sumber kontaminasi sejak proses pencelupan air panas pada saat pencabutan bulu hingga pencucuian karkas. Kualitas mikrobiologi daging menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam hal keamanan pangan. Daging yang sehat seharusnya tidak mengandung mikroba patogen, kalaupun mengandung mikroba non patogen maka jumlahnya harus sedikit. Badan Standar Nasional (BSN), mengasumsikan jika kandungan bakteri daging melebihi 106 bakteri g-1 maka daging tersebut dianggap berkualitas rendah. Menurut Usmiati (2010), untuk menekan pertumbuhan bakteri, daging ayam umumnya disimpan dengan cara pendinginan, pembekuan, proses termal (pemanasan), dehidrasi (pengeringan), atau dengan pengawetan menggunakan bahan-bahan pengawet seperti garam, gula, asam, dan berbagai pengawet sintetis atau pengawet kimia. Asmorowati et al. (2014) menambahkan proses keamanan dan kelayakan daging ayam harus dilakukan sedini mungkin. Bahan pangan
18 seperti daging ayam dapat tercemar oleh mikroorganisme sebelum dipanen atau dipotong (pencemaran primer) dan sesudah dipanen atau dipotong (pencemaran sekunder). Escherichia coli Escherichia coli merupakan bakteri yang digunakan sebagai indikator sanitasi. Tabel 4 menunjukkan kepadatan kandang berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap jumlah E.coli dalam daging dada ayam KB jantan. Daging dada dengan kepadatan 8 ekor m-2 dan 10 ekor m-2 tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap jumlah bakteri E.coli dalam daging dada ayam KB jantan. Kepadatan kandang 12 ekor m-2 memiliki perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap bakteri E.coli daging dada ayam KB dengan nilai sebesar 5.70±1.28 log cfu g-1. Daging dada ayam KB dengan kepadatan 10 ekor m-2 mengandung bakteri E.coli yang lebih rendah dibandingkan kepadatan kandang 8 ekor m-2 dan 12 ekor m-2. Sampel daging dada ayam KB tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan BSN 01-3924-2009 yaitu maksimum 1x101 log cfu g-1. Sampel daging dada ayam KB dengan kepadatan kandang 12 ekor m-2 mengandung bakteri E.coli paling tinggi (Tabel 4). Konsumsi pakan pada kepadatan 12 ekor m-2 yang mencapai 5440.58 g per ekorselama 12 minggu akan menghasilkan ekskreta yang tinggi pula. Kondisi kandang yang terlalau padat dapat menyebabkan ayam bergerak tidak bebas sehingga ayam akan mematuk alas kandang. Hal ini yang dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang. Mikroorganisme dapat mencemari daging melalui air, debu, udara, tanah, alat-alat pengolahan dan dari ekskreta hewan. E.coli merupakan bakteri dalam famili Enterobacteriaceae yang merupakan penghuni normal saluran pencernaan hewan berdarah panas sehingga terdapat pada ekskreta. Menurut Yulistiani (2010), bakteri ini banyak terdapat pada saluran pencernaan. Adanya bakteri tersebut dapat dijadikan sebagai indikator bahwa daging ayam tersebut telah tercemar oleh feses/ekskreta selama pemeliharaan. Kotoran dari hewan dan manusia yang terinfeksi adalah sumber kontaminasi bakteri dari lingkungan dan rantai makanan (Estoepangesti et al. 2014). Kepadatan kandang 8 ekor m-2 dan 10 ekor m-2 tidak berbeda (P>0.05) terhadap jumlah bakteri E.coli dalam daging dada ayam KB jantan. Hal ini disebabkan kepadatan tersebut masih memiliki ruang gerak yang cukup. Mikroklimatik selama pemeliharaan pada kepadatan kandang 8 ekor m-2 mencapai 28.98 oC (Tabel 1). Suhu yang yang masih nyaman tersebut menyebabkan kandang tidak terlalu lembab. Tingginya tingkat kontaminasi tempat, peralatan dan higienis personal dapat menjadi sumber kontaminasi silang yang mempengaruhi kualitas produk akhir. Kontaminasi feses terhadap karkas dapat beresiko terhadap penyebaran bakteri patogen seperti Salmonella, Campylobacter dan E. coli (Hansson 2001). Kontaminasi daging ayam dari luar terjadi terus menerus sejak pengeluaran darah sampai dikonsumsi. Menurut Morshedy dan Sallam (2009) tahapan prosesing seperti scalding, pencabutan bulu, pengeluaran jeroan mimilki pengaruh yang signifikan terhadap kontaminasi bakteri. Menurut Buckle et al. (2009), E.coli dapat mengkontaminasi air dan umumnya kontaminasi E.coli pada bahan makanan biasanya berasal dari air yang digunakan. Tahap pemrosesan scalding merupakan peluang terjadinya pencemaran silang yang dapat terjadi.
19 Kontaminasi pada daging dapat disebabkan dari faktor higiene dan sanitasi. Menurut Dewantoro et al. (2009), faktor sanitasi dan penanganan yang kurang baik merupakan faktor terjadinya kontaminasi E. coli di tempat pengolahan produk pangan. Namun daging dada ayam KB ini tetap dapat dikonsumsi dengan aman, dengan penanganan yang tepat. Menjaga higienitas ketika menangani daging merupakan penanganan yang tepat, seperti selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh daging, serta memasaknya hingga benar-benar matang merata. Bakteri dapat mati dengan pemanasan diatas 60 oC. Dalam menghasilkan daging ayam, produsen dan pengolah diharapkan dapat menerapkan cara-cara selama pemeliharaan atau Good Farming Practices (GMP), penanganan hasil panen atau Good Handling Practices (GHP) dan penerapan keamanan pangan atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) (Soon et al. 2011). Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk kokus, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora dan tidak bergerak (Tille 2012). Hasil perhitungan rataan jumlah S.aureus dalam daging dada ayam KB jantan dapat dilihat pada Tabel 4. Kepadatan kandang yang berbeda untuk ayam KB jantan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan bakteri S.aureus (Tabel 4). Perlakuan kepadatan kandang 8 ekor m-2 dan 10 ekor m-2 mengandung S. aureus lebih rendah yaitu berturut-turut 2.71±0.02 log cfu g-1 dan 3.25±0.28 log cfu g-1 dibandingkan kepadatan kandang 12 ekor m-2 sebesar 3.56±0.06 log cfu g-1. Daging dada ayam KB pada kepadatan kandang 10 ekor m-2 dan 12 ekor m-2 mengandung S. aureus yang sama, tetapi berbeda nyata pada kepadatan kandang 8 ekor m-2. Perbedaan ini dapat disebabkan nilai pH dan aw (water activity/aktivitas air) pada daging dada ayam KB. Kepadatan kandang 8 ekor m-2 mengandung nilai pH 5.43 dan nilai aw sebesar 0.86. Menurut Arisman (2009), kisaran nilai aw dalam makanan adalah 0.8 sampai 1.0 dan optimumnya pada aw 1.0 potensial untuk tumbuh Staphylococcus aureus. Aktivitas air merupakan kandungan air dalam bahan pangan yang mempengaruhi daya tahan pangan tersebut terhadap serangan mikroba (Winarno 2002). S. aureus pada daging dada ayam KB jantan dapat diduga bahwa cemaran S. aureus pada daging dada ayam KB jantan dapat berasal dari isi saluran pencernaan. Menurut Berrang et al. (2011), bakteri yang terdapat pada karkas berasal dari udara dan feses yang mencemari kulit dan karkas. Karkas memungkinkan terkontaminasi feses dan bakteri pada kulit, kaki dan permukaan bulu, tetapi populasi bakteri akan berkurang pada setiap tahapan proses (Buhr et al. 2003). Kontaminasi pada daging dada ayam KB kemungkinan dimulai selama pemeliharaan berlangsung hingga proses pemotongan. Pada tahap pemrosesan karkas terutama proses scalding, kontaminasi dapat berasal dari folikel yang terbuka karena bulu akan membawa sejumlah populasi bakteri. Menurut Cason (2004), pencabutan bulu dapat mengurangi kontaminasi bakteri terhadap karkas dan kontaminasi silang. Berdasarkan BSN 01-3924-2009, batasan maksimum S.aureus dalam daging ayam yaitu 1x102 log cfu g-1. Sampel daging dada ayam KB tidak
20 memenuhi standar yang telah ditetapkan SNI. Ditinjau dari kepadatan kandang yang berbeda, daging dada ayam KB pada kepadatan kandang 8 ekor m-2 memiliki jumlah S.aureus yang sesuai dengan SNI. Jumlah S.aureus pada kepadatan 10 ekor m-2 dan 12 ekor m-2 melebihi batas maksimum yang ditetatapkan SNI. Tingginya jumlah S.aureus yang terkandung dalam daging dada ayam KB dapat berasal dari proses pemotongan hingga menjadi karkas. Menurut Owens (2010), kontaminasi karkas ayam oleh S.aureus yang bersumber dari manusia sering terjadi saat pemrosesan. Hal ini didukung Djaafar dan Rahayu (2007) bahwa lingkungan yang kotor memudahkan perkembangan mikroorganisme dalam produk unggas. S.aureus merupakan bakteri gram positif sebagai indikator adanya kontaminasi dari pekerja maupun alat yang digunakan. Proses pemotongan unggas secara kontinyu dan higienitas yang tidak terjaga juga dapat menjadi sumber penularan mikroorganisme dari karkas yang satu ke karkas yang lainnya (Siagian 2002). Untuk menekan tingginya jumlah S.aureus pada daging ayam harus dilakukan sejak dari awal rantai proses yaitu sejak dari peternakan hingga siap saji. Nurwantoro et al. (2011) menyatakan pada kasus-kasus keracunan makanan biasanya jumlah S. aureus mencapai 108 cfu g-1atau lebih. Salmonella Bakteri Salmonella merupakan patogen penyebab penyakit food borne disease yang bersifat zoonosis (Russell 2012). Bakteri ini bukan indikator sanitasi, melainkan bakteri indikator keamanan pangan. Semua serotipe Salmonella bersifat patogen dalam makanan sehingga dianggap membahayakan kesehatan. Pengujian sample daging dada ayam KB jantan (Tabel 4) menunjukkan hasil negatif kontaminasi bakteri Salmonella. Daging dada yang digunakan dalam penelitian ini tidak satupun yang menunjukkan terkontaminasi Salmonella. Salmonella merupakan bakteri patogen yang berbahaya. Sesuai dengan BSN 01-3924-2009, daging ayam yang bermutu baik tidak boleh mengandung Salmonella sp. Salmonella dapat menyebabkan demam tifusa dan paratifus. Salmonella merupakan salah satu mikroba yang dapat menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan dapat dihindarkan dengan melakukan pemasakan daging secara benar. Menurut Mc Auliffe et al. (2001), pemanasan 65 o C sampai 74 oC dapat mengurangi efek salmonellosis pada daging. Salmonellosis jarang ditemukan pada daging ternak yang disembelih dengan penanganan dan proses yang baik serta memenuhi standar (Buckle et al. 2009). Kondisi lembab dan feses yang belum diolah menjadi kompos, menjadikan salmonella dapat bertahan hidup selama tiga sampai empat bulan pada kondisi iklim sedang dan dapat bertahan lebih lama pada kondisi iklim yang panas (Poppe 2000). Salmonella dapat bertahan hidup pada periode waktu yang lama pada feses hewan yang terinfeksi dan pada feses basah dengan tergantung pada beberapa faktor yang mempengaruhi, terutama oleh pengaruh kondisi iklim.
21
4 DISKUSI UMUM Persilangan ayam KB merupakan upaya untuk memperoleh heterosis efek dalam meningkatkan produksi daging. Pemeliharaan yang baik akan meningkatkan produksi. Kepadatan kandang sangat penting dalam mendukung produksi dan berkaitan dengan kesejahteraan hewan. Semakin padat ternak dalam kandang mengakibatkan keterbatasan tingkah laku sehingga konsumsi pakan akan semakin berkurang. Hal ini akan berdampak terhadap laju pertumbuhan ternak terutama dalam memproduksi daging. Kepadatan kandang yang tinggi akan memepengaruhi kinerja produksi ayam. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan amonia dan kualitas udara yang buruk. Pemeliharaan ayam KB pada kepadatan yang tinggi diikuti dengan peningkatan nilai THI. Kepadatan kandang yang tinggi akan menghasilkan suhu lingkungan yang tinggi yang berdampak terhadap kesulitan ayam dalam melepaskan panas dari dalam tubuh ke lingkungan. Kepadatan kandang tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas fisik daging kecuali keempukan. Ayam KB yang dipelihara dengan kepadatan kandang 8 ekor m-2 memiliki banyak ruang gerak sehingga menghasilkan daging dada yang sedikit alot. Kandungan protein dalam dada lebih tinggi dibandingkan paha sehingga protein daging dada lebih banyak mempunyai kesempatan untuk mengikat air. Hal ini pula yang berpengaruh terhadap susut masak karena kandungan protein daging yang lebih tinggi akan mengikat air lebih kuat sehingga ketika pemasakan air yang keluar pada daging dada lebih sedikit dibanding paha. Pengujian organoleptik dengan uji mutu hedonik berupa aroma, rasa, tekstur dan warna daging dada ayam KB tidak berbeda. Kepadatan kandang yang berbeda dapat mempertahankan uji sensori daging dada. Selain itu, pada saat penilaian aroma sulit diukur sehingga terjadi penilaian yang subjektif yang menghasilkan data yang seragam. Tekstur daging dada ayam KB cenderung agak kasar. Tingkat kekasaran tekstur meningkat dengan bertambahnya umur. Konsumen menyukai daging yang bewarna cerah. Warna daging dipengaruhi oleh kandungan mioglobin dan hemoglobin. Ayam KB yang dipelihara pada kepadatan kandang yang tinggi menghasilkan daging dada dengan kandungan bakteri yang lebih tinggi. Kandungan TPC, E.coli, S.aureus pada kepadatan yang tinggi merupakan hasil kontaminasi langsung atau tidak langsung dengan sumber-sumber kontaminasi mikroba, seperti tanah, udara, air, debu dan saluran pencernaan. Mikroorganisme mampu mengkontaminasi ternak pada saat pemeliharaan dan panen yang tidak higienis. Kontaminasi mikroba pada daging terjadi melalui permukaan daging pada saat pembelahan karkas. Selain itu, cemaran mikroba pada daging dada ayam KB dapat terjadi saat ternak masih hidup. Tata laksana selama pemeliharaan berpengaruh terhadap kualitas produk ternak. Cemaran pada air, tanah, alas kandang, feses dapat masuk ke dalam tubuh ternak dan residunya akan ditemukan dalam produk ternak.
22
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kepadatan kandang yang tinggi meningkatkan nilai THI yang berkorelasi dengan meningkatnya cekaman walaupun tidak mempengaruhi kualitas fisik dan mutu hedonik daging dada ayam KB sehingga dapat diterima oleh konsumen. Kepadatan kandang tinggi meningkatkan TPC, E.coli, S.aureus tetapi Salmonella tidak ditemukan. Kualitas daging masih memenuhi standar hingga kepadatan 10 ekor m-2 berdasarkan BSN 01-3924-2009. Saran Penelitian mengenai kepadatan kandang dengan memisahkan ayam KB jantan dan betina perlu dilakukan untuk mengetahui produktivitas dan kualitas daging dari segi perbedaan jenis kelamin. Pengukuran mikrobiologi pada feses dan litter perlu dilakukan untuk mengetahui kontaminasi silang yang terjadi selama pemeliharaan.
23
DAFTAR PUSTAKA Abun. 2008. Hubungan mikroflora dengan metabolism saluran pencernaan unggas dan monogastrik [makalah ilmiah]. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Abustam E. 2012. Ilmu Daging Aspek Produksi, Kimia, Biokimia dan Kualitas. Cet 1. Masagena Press. Makasar Agus P Hadi, Edi S, Zuprizal. 2010. Kualitas Fisik dan Sensori Daging Ayam Broiler yang diberi Pakan dengan Penambahan Ampas Virgin Coconut Oil (VCO). Buletin Peternakan. Vol 34 (1): 55-63. ISSN 0126-4 Ahmad BH, Herman R. 1982. Perbandingan Produksi Antara Ayam Kampung dan Ayam Jantan Petelur. Media peternakan. 7:19-34. An JY, ZHeng JX, Li JY, Zeng D, Qu LJ, Xu GY, Yang N. 2010. Effect of myofiber characteristics and thickness of perimysium and endomysium on meat tenderness of chickens. Poultry Science.89 : 1750–1754 doi: 10.3382/ps.2009-00583 Arief II, Suryati T, Afiyah DN, Wardhani DP. 2014. Physicochemical and organoleptic of beef sausages with teak leaf extract (Tectona grandis) addition as preservative and natural dye. International Food Research Journal 21(5):2033-2024 Arisman. 2008. Keracunan Makanan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta (ID) : Buku Kedokteran EGC Asmorowati NA, Eram Tunggul P, Mardiana. 2014. Hubungan Higiene pedagang dan sanitasi dengan kontaminasi salmonella pada daging ayam potong. Unnes Journal of Public Health 3 (4). [AOAC] Association Official Analitycal Chemistry. 2005. Official Method of Analysis. 18th Ed. Maryland (US): AOAC International. [BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. Bacteriological Analytical Manual (8th Edition) [Internet]. [diunduh 2015 Agustus 11]. Tersedia pada (http://www.fda.gov/Food/FoodScienceResearch/LaboratoryMethods/ucm2 006949.htm Barbut S. 2002. Poultry Product Processing : An industry Guide. CRC Press. Boca Raton. Florida. Bery C, Besnard J, Relandeau C. 2008. Increasing Dietary Lysine Increases Final pH and Decreases Drip Loss of Broiler Breast Meat. Poultry Science 87:480-484. doi:10.3382/ps.2007-00226 Berrang ME, WR Windham, RJ Meinersmann. 2011. Campylobacter sp, Salmonella and Escherichia coli on broiler carcasses subjected to high pH Scald and Low pH postpick chlorine. Poultry Science. (90) : 896-900 Bouraoui R, Lahmar M, Majdoub Abdessalem, Djemali M Nouer, Belyea R. 2002. The Relationship of Terperature-Humudity Index with Milk Production of Dairy Cows in a Mediterranean Climate. Animal Res 479-471. Bowker BC, H Zhuang, RJ Buhr. 2014. Impact of carcass scalding and chilling on muscle proteins and meat quality of broiler breast fillets. LWT-Food Science and Technology 59(1): 156-162. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 01-3924-2009 tentang Mutu dan Karkas Daging Ayam. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional.
24 Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 2009. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta. Buhr RJ, Berrang ME, Cason JA. 2003. Bacterial Recovery From Breast Skin of Genetically Feathered and Featherlesss Broiler Carcasses Immediately Following Scalding and Picking. International Journal of Poultry Science. 2(6): 81-86. Cason JA. 2004. Impact of Feathers and Feather Follicles on Broiler Carcass Bacteria. International Journal of Poultry Science. 1(5): 110-119. De Marchi, Penasa M, Battagin M, Zanetti E, Pulici C, Cassandro M. 2011. Feasibility of the direct application of near-infrared reflectance spectroscopy on intact chicken breasts to predict meat color and physical traits. Poultry Science. 90 :1594–1599. doi: 10.3382/ps.2010-01239. Dewantoro, Adiningsih MW, Purnawarman T, Sunartatie T, Afiff U. 2009. Tingkat Prevalensi Escherichia Coli Dalam Daging Ayam Beku Yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 14 No.3.hlm. 211-216. ISSN 0853 – 4217 Dewi SHC. 2013. Kualitas kimia daging ayam kampung dengan rasnum berbasis konsentrat broiler. Jurnal AgriSains. Vol 4 No 6. Dilaga IWS, Soeparno. 2007. Pengaruh pemberian berbagai level clenbuterol terhadap kualitas daging babi jantan grower. Buletin Peternakan Vol. 31(4):200-208. Djaafar Titiek F, Rahayu S. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian, Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya. Jurnal Libang Pertanian 26 (2). Duna AA, Kilpatrick DJ, Gault NFS. 1993. Effect of Postmortem Temperatur on Chiken in Pectorales Major : Muscle Shortening and Cooked Meat Tenderness. Journal British Poultry Science. 34:689-697 Estevez I. 2007. Density allowances for broilers: Where to set the line. Poultry Science. 86:1265–1272. Estoepangestie ATS, Anggita FA, Setiawan B. 2014. Gambaran Resistensi Kuman Salmonella spp. yang diisolasi dari daging sapi. Veerinert Medika. 7: 67-72. Fadilah R, Fatkhuroji. 2013. Memaksimalkan Produksi Ayam Ras Petelur. Agromedia Pustaka. Jakarta. Food Marketing Institute and National Council of Chain Restaurants. 2003. FMINCCR animal welfare program. Food Marketing Inst. Washington DC. Gunawan B, Tike Sartika. 2001. Crossbreeding between male pelung and female selected native chicken at second generation (G2). Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(1):21-27. Hansson IB. 2001. Microbiological Meat Quality in High and Low Capacity Slaughterhouse in Sweden. Journal Food Protect. 64: 829-825. Hariyadi P, Ratih. 2009. Memproduksi Pangan yang Aman. Dian Rakyat. Jakarta Hartono, Edi Iriyanti, Ning Santosa RSS. 2013. Penggunaan Pakan Fungsional Terhadap Daya Ikat Air, Susut Masak, dan Keempukan Daging Ayam Broiler. Jurnal Ilmiah Peternakan. 1 (1):10-19. Honikel K, R Hamm. 1994. Measurement of water-holding capacity and juiciness. Springer, London, UK.
25 Irmanita V, Wardani AK, Harsojo. 2015. Pengaruh Iradiasi Gamma Terhadap Kadar Protein Dan Mikrobiologis Daging Ayam Broiler Pasar Tradisional Dan Pasar Modern Jakarta Selatan. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.428-435. Iskandar S, Setyaningrum SD, Amanda Y, Iman Rahayu HS. 2009. Pengaruh kepadatan kandang terhadap pertumbuhan dan perilaku ayam WarengTangerang dara. Jurnal Ilmu Ternak Veteriner 14(1): 19-24. Jayasena DD, Ahn DU, Nam KC, Jo C. 2013. Flavour chemistry of chicken meat: A review. Asian-australas. Journal Animal Science. 26:732–742. Janisch S, Krischek C, Wicke M. 2011. Color Values And Other Meat Quality Characteristics Of Breast Muscles Collected From 3 Broiler Genetic Lines Slaughtered At 2 Ages. Poultry Science. 90:1774–1781. doi:10.3382/ps.2010-01073. Jung S, Bae YS, Kim HJ, Jayasena DD, Lee JH, Park HB, Heo KN, Jo C. 2013. Carnosine, Anserine, Creatine, and Inosine 5′-monophosphate Contents in Breast and Thigh Meats From Five Lines of Korean Native Chicken. Poultry Science. 92:3275– 3282. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Kharsad. 2010. Keempukan Daya Mengikat Air dan Cooking Loss Daging Sapi Pesisir Hasil Penggemukan. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Padang. Kılıc B, Simsek A, Claus JR, Atılgan E. 2014. Encapsulated phosphates reduce lipid oxidation in both ground chicken and ground beef during raw and cooked meat storage with some influence on color, pH, and cooking loss. Meat Science. doi: 10.1016/j.meatsci.2014.01.014. Kouba M, Benatmane F, Blochet JE, Mourot J. 2008. Effect of a Linseed Diet On Lipid Oxidation, Fatty Acid Composition of Muscle, Perirenal Fat, and Raw and Cooked Rabbit Meat. Meat Science. 80(3):829-834. Lawrie RA. 2003. Meat Science. Penerjemah: Aminudin Parakasi. UI-Press. Jakarta. Leygonie C, Britz TJ, Hoffman LC. 2012. Impact of freezing and thawing on the quality of meat . Meat Science. 91:93–98. (Review). Mattjik AA, Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Ed ke- 2, Bogor, IPB Press. Mc Auliffe, Hill C, Ross RP. 2001. Inhibition Of Listeria Monocytogenes In Cottage Cheese Manufactured With A Lacticin 3147 Producing Starter Culture. Journal of Applied Microbiology. 86:251-256. Morshedy AEMA, Sallam KI. 2009. Improving The Microbial Quality and Shelf Life of Chicken Carcasses by Trisodium Phosphate and Lactid Acid Dipping. International Journal of Poultry Science. 8 (7) : 645-650. Nugroho WS. 2005. Tingkat cemaran Salmonella sp. pada telur ayam ras di tingkat peternakan Kabupaten Sleman Yogyakarta. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 160−165. Nurwantoro, Bintoro VP, Legowo AM, Ambara LD, Prakoso A, Mulyani S, Purnomoadi A. 2011. Microbiologicaland Physical Properties Of Beef Marinated With Garlic Juice. Journal of the Indonesian Tropical. Animal Agriculture. 36(3).
26 Ockerman HW. 1996. Chemistry of Meat Tissue. Department of Animal Sciences. The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development Center. Owens CM., 2010. Poultry meat processing. CRC Press. Puolanne EJ, MH Ruusunen, JI Vainionpaa. 2001. Combined Effects of NaCl and Raw Meat Ph on Water-Holding in Cooked Sausage with and without added phosphate. Journal of Meat Science 58:1-7. Poppe C. 2000. Salmonella Infection In The Domestic Fowl. Di dalam: Wray C, Wray A, editor. Salmonella in Domestic Animals. Oxon (UK): CABI. Purswell JL, Dozier WA, Olanrewaju HA, Davis JD, Xin H, Gates RS. 2012. Effect of Temperature-Humidity Index on Live Performance in Broiler Chickens Grown From 49 to 63 Days of Age. ASABE Conference Presentation ILES 12-0265. Pratiwanggana AT. 2014. Performa produksi F1 antara ayam ras pedaging x kampung dan kampung x ras pedaging pada umur 0-12 minggu [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Russell SM. 2012. Controlling Salmonella in Poultry Production and Processing. CRC Press. New York (US). Rymer G, Givens DI. 2009. The Effect of Feeding Stearidonic Acid Enriched Soy Oil to Broilers on The Fatty Acid Composition and Sensory Characteristics of Chicken Meal. British Poultry Science. 5(1):44-45. (Abstract). Samuel DB Park, Sohn V, Wicker L. 2011. Visible–near-infrared spectroscopy to predict water-holding capacity in normal and pale broiler breast meat. Poultry Science.90 :914–921. doi: 10.3382/ps.2010-01116. Shackelford SD, Koohmaraie M, Wheeler TL. 1995. Effect of Salughter Age on Meat Tenderness and USDA Carcass Maturity Scores of Beef Females. Journal Animal Science. 73:3304-3309. Sheard PR, Hughes SI, Jaspal MH. 2012. Colour, pH and Weight Changes of PSE, Normal and DFD Breast Fillets From British Broilers Treated With a Phosphate-free, Low Salt Marinade. British Poultry Science. 53:57–65.doi: 10.1080/00071668.2012.655707. Siagian A. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Soon JM, Singh H, Baines R. 2011. Foodborne diseases in Malaysia: a review. Food Control. 22.823-830. Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sundari D, Almasyhuri, Lamid A. 2015. Pengaruh Proses Pemasakan Terhadap Sumber Komposisi Zat Gizi Bahan Pangan Sumber Protein. Media Litbangkes. Vol 25 No 4 235-242. Suradi K. 2008. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Postmortem Selama Penyimpanan Temperatur ruang. [Tesis]. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Bandung. Suryati T, Astawan M, Wresdiyati T. 2004. Sifat Fisik Daging Domba yang Diberi Perlakuan Stimulasi Listrik Voltase Rendah dan Injeksi Kalsium Klorida. Media Peternakan. Vol. 27.no. (3). p.101-106. Swatland HJ. 2008. How pH causes paleness or darkness in chicken meat. Journal Meat Science, 80: 396–400.doi:10.1016/j.meatsci.2008.01.002.
27 Tao X, Xin H. 2003. Acute synergistic effects of air temperature, humidity and velocity on hemeostatis of market-size broiler. Transactions of the ASAE 46(2): 491. Tijare V, F Yang, V Kuttappan, C Alvarado, C Coon, C Owens. 2016. Meat quality of broiler breast fillets with white striping and woody breast muscle myopathies. Poultry Science: pew129. Tille P. 2012. Bailey & Scott's Diagnostic Microbiology, 13th Edition. Canada: Elsevier Canada. Usmiati S. 2010. Pengawetan daging segar dan olahan. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Jurnal Teknologi Sains. 9(3):46-51. Utoyo DP. 2002. Status manajemen pemanfataan dan konservasi sumberdaya genetik ternak (Plasma Nuftah) di Indonesia. Makalah disampaikan pada pertemuan Komisis Nasional Plasma Nuftah, 19-20 April 2001. Jakarta. Vanhonacker F, Verbeke W, Van Poucke E, Buijs S, Tuyttens FAM. 2008. Societal Concern Related to Stocking Density, Pen Size, and Group Size in Farm Animal Production. Livestock Science. 123:16–22. Warris PD. 2001. Meat Science an Intoductory Text. CABI Publishing. Bristol. Winarno FG. 2002. Ilmu Pangan Dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yaman M Aman. 2010. Ayam Kampung Unggul 6 Minggu Panen. Cet 1. Penebar Swadaya. Jakarta. Yulistiani R. 2010. Studi Daging Bangkai:Perubahan Organoleptik dan Pola Pertumbuhan Bakteri. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol 11 No 1 27-36. Zhuang H, Savage EM. 2013. Comparison of Cook Loss, Shear Force and Sensory Descriptive Profiles of boneless skinless white meat cooked from a frozen or thawed state. Poultry Science. 92:3003–3009. doi: 10.3382/ps.2012-02801 Zuowei S, Yan L, Yuan L, Jiao H, Song Z, Guo Y, Lin H. 2011. Stocking Density Affect The Growth Performance of Broilers in A Sex-Dependent Fashion. Poultry Science. 90:1406-1415.doi: 10.3382/ps.2010-01230.
28
LAMPIRAN
29 Lampiran 1. Hasil analisis ragam dan uji Duncan kualitas fisik daging dada ayam KB jantan pada kepadatan kandang yang berbeda Variabel : pH SK Perlakuan Galat Total
db 2 19 21
JK 0.0137 0.2867 0.3004
KT 0.0068 0.0150
F 0.45
P 0.6415
Variabel : Daya Mengikat Air SK db JK Perlakuan 2 8.7016 Galat 19 130.9112 Total 21 139.6129
KT 4.3508 6.8900
F 0.63
P 0.5426
Variabel : Keempukan SK db Perlakuan 2 Galat 19 Total 21
JK 7.7191 19.0085 26.7277
KT 3.8595 1.0004
F 3.86
P 0.0393
Variabel : Susut masak SK db Perlakuan 2 Galat 19 Total 21
JK 13.5639 291.8116 305.3755
KT 6.7819 15.3585
F 0.44
P 0.6495
Uji Duncan Variabel : Keempukan Grup Duncan A B B
Rataan 4.00 2.78 2.50
Jumlah contoh 5 7 10
Perlakuan P1 P2 P3
Lampiran 2. Hasil Uji Kruskal-Wallis daging dada ayam KB jantan pada kepadatan kandang yang berbeda Variabel Aroma Perlakuan P1 P2 P3 Overall
N
Median
Ave Rank
Z
40 40 40 120
4.000 3.000 4.000
66.2 50.9 64.3 60.5
1.27 -2.13 0.86
30 H = 4,60 DF = 2 P = 0,100 H = 5,52 DF = 2 P = 0,063 (adjusted for ties)
Variabel Rasa Perlakuan P1 P2 P3 Overall
N
Median
Ave Rank
Z
40 40 40 120
3.000 3.000 3.000
61.6 54.4 65.6 60.5
0.24 -1.37 1.13
H = 2,14 DF = 2 P = 0,342 H = 2,46 DF = 2 P = 0,292 (adjusted for ties)
Variabel Tekstur Perlakuan P1 P2 P3 Overall
N
Median
Ave Rank
Z
40 40 40 120
3.000 3.000 3,000
63.8 55.2 62.5 60.5
0.74 -1.19 0.45
H = 1.44 DF = 2 P = 0.488 H = 1.77 DF = 2 P = 0.413 (adjusted for ties)
Variabel Warna Perlakuan P1 P2 P3 Overall
N
Median
Ave Rank
Z
40 40 40 120
3.000 4.000 3.000
65.3 64.1 52.1 60.5
1.08 0.80 -1.88
H = 3.55 DF = 2 P = 0.170 H = 4.11 DF = 2 P = 0.128 (adjusted for ties)
Lampiran 3. Hasil analisis ragam dan uji Duncan kualitas mikrobiologi daging dada ayam KB jantan pada kepadatan kandang yang berbeda Variabel : TPC (Total Plate Count) SK db JK Perlakuan 2 19.271 Galat 3 3.508 Total 5 22.780
KT 9.635 1.170
F 8.24
P 0.060
31 Variabel : E.coli SK Perlakuan Galat Total
db 2 3 5
JK 9.3240 1.6453 10.9693
KT 4.6620 0.5484
F 8.50
P 0.0581
Variabel : S. aureus SK db Perlakuan 2 Galat 3 Total 5
JK 0.3187 6.0881 6.4068
KT 0.1593 2.0293
F 0.08
P 0.9263
Uji Duncan Variabel TPC Grup Duncan A A B
Rataan 6.930 6.410 10.445
Jumlah contoh 2 2 2
Perlakuan P1 P2 P3
Variabel E.coli Grup Duncan A A B
Rataan 3.24 2.89 5.69
Jumlah contoh 2 2 2
Perlakuan P1 P2 P3
Variabel S. aureus Grup Duncan A B B
Rataan 2.71 3.25 3.56
Jumlah contoh 2 2 2
Perlakuan P1 P2 P3
32 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Bandar Lampung pada tanggal 19 Agustus 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Armen Patria, S.E dan Ibu Maniniar, S.Pd. Tahun 1995 memulai pendidikan pertamanya di Taman Kanak-kanak (TK) Aji Daya. Tahun 1996 penulis masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Labuhan Ratu dan lulus tahun 2001. Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 8 Bandar Lampung dan lulus tahun 2005. Selanjutnya pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Al-Azhar 3 Bandar Lampung dan lulus tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis diterima di Universitas Lampung (Unila) pada program studi Produksi Ternak memalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat) hingga tahun 2012. Selama menjadi mahasiswa S1, penulis aktif menjadi asisten praktikum pada mata kuliah manajemen ternak unggas S1 dan manajemen ternak perah S1. Penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Peternakan (HIMAPET) Fakultas Peternakan sebagai Sekretaris Bidang Pendidikan dan Pelatihan periode 2009/2010. Penulis pernah menjadi Duta Mahasiswa Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian periode 2010/2011. Pendidikan dilanjutkan dengan mengambil Program Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk mengambil gelar Magister Sains pada tahun 2014. Pada tahun 2015, penulis berpartisipasi dalam The third International Seminar on Animal Industry (ISAI), Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University.