Proceedings of Indonesian Student Conference on Satellite
ISCOS 2011 Surabaya, 17 Desember 2011
ISBN : 978-602-19564-0-3
Indonesian Student Conference on Satellite
ISCOS 2011 Surabaya, 17 Desember 2011 ISBN : 978-602-19564-0-3 Penyelenggara/Penerbit Proceedings Komunitas Satelit ITS Technical Committee Drs. Tri Kuntoro P., MSc (UGM) Prof. Gamantyo Hendrantoro (ITS) Dr. Agfianto Ekaputra (UGM) Dr. Ridanto Eko Poetro (ITB) Dr. Arifin Nugroho (ITT) Dr. Endra Pitowarno (PENS) Drs. Gunawan S. Prabowo, MT (LAPAN) Organizing Committee Gilang Almaghribi S.P (ITS/Chair) Suryadi Tanuwijaya (ITT) Galih Dewandaru (UI) Hagorly M Hutasuhut (ITB) Catur Atmaji (UGM) Bahtiar Alldino AS (UGM) Ondi Tarnama S. (ITS)
i
Halaman Daftar isi
i-v
Kata Pengantar
vi
Perancangan dan Pembuatan Modul PAD (Packet Assembler Disassembler) dengan Protokol AX.25 untuk Stasiun Bumi Portabel pada Sistem Komunikasi Satelit
Dicky Rismawan
1-4
Sistem Deteksi dan Koreksi Error Protokol FX.25 Pada Satelit Iinusat-1 dan Stasiun Bumi Menggunakan ATMega128L
Ondi T. Simamora
5-8
Perancangan Integrasi Sistem untuk Portable Transceiver Satelit Iinusat-01 Perancangan dan Realisasi Compact Butler Matrix 4×4 pada Frekuensi 2,4 GHz
A Budi Santoso
9-12
Achyar Junaedi
13-18
Desain Antena Microstrip Array dengan Teknik Tapered Peripheral Slits untuk Satelit Nano pada Frekuensi 436,5 MHz The Development of Amateur Satellite Ground Station in ITB
Alan Sujadi
19-22
Amrullah A Qadir
23-26
Rancang Bangun Modulator FSK 1200 Baud untuk Perangkat Transceiver Portable Satelit Iinusat-01
Arie Setiawan
27-30
Antena Heliks Quadrifilar Frekuensi S-Band untuk Remote Sensing Payload IiNUSAT-1 Antena Mikrostrip Panel Berisi 5 Larik Dipole dengan Feedline Koaksial Waveguide Untuk Komunikasi Wireless 2,4 GHz
Bimo J. Prasetyo
31-33
Erna Risfaula K
34-38
M. Aenurrofiq Alatasy
39-42
Rancang Bangun Demodulator FSK
ii
9600 Baud untuk Perangkat Transceiver Portable Satelit IiNUSAT – 1 Desain Antena Helix Singleband Pada Frekuensi S-band (2.4 GHz) untuk Sistem Downlinkpada Perangkat Ground Station Satelit Nano
M.Hasan Mahmudy
43-45
Perancangan dan Pembuatan System RF Downlink Portable Ground Station 436.5 Mhz Untuk Satelit Iinusat-01
R. Andami Nafa
46-50
Perancangan dan Pembuatan Antena UHF 436.5 MHz Berpolarisasi Sirkular Untuk Downlink Stasiun Bumi Satelit IiNUSAT-01
R. Sasmita Darwis
51-54
Desain,Fabrikasi dan Karakterisasi Matching Impedance Input pada rectanguler microstrip patch antenna dengan metode trafo lamdha frekuensi 2,4 GHz
Siti Chalimah
55-58
Desain Antena Mikrostrip Untuk Satelit S-Band Pada Frekuensi 2.4 GHz Perancangan dan Pembuatan tahap RF Uplink 145.9 MHz Portable Transceiver Satelit IINUSAT-01
Sri Dwi Emelya
59-64
T. Haryo Putra
65-68
Desain Antena Monopole VHF untuk Uplink pada Satelit Iinusat II
Yahya Syukri Amrullah
69-73
PENGEMBANGAN SIMULATOR STASIUN BUMI LAPAN-TUBSAT
Hagorly M Hutasuhut
74-78
Pengembangan Awal Perangkat Keras Simulator Sistem Dinamika Wahana Antariksa
Hagorly M. Hutasuhut
79-86
Pemilihan Elemen Keplerian dan Jenis Orbit Satelit Sesuai dengan Kegunaan dan Fungsi
Imam PRIAMBODO
87-89
iii
Satelit Komputasi BistaticScattering dari Objek dengan Asumsi Bentuk TitikHujan Prolate Spheroid
Alladina Hapsery
90-92
TATA KELOLA FILING SATELIT BERSTATUS RETURN OF NOTICE
Anna Christina
93-94
Demodulasi Terdistribusi pada Jaringan Sensor Nirkabel 0 Preliminary Design of the Iinusat Inter-Satellite Link System
Ari Endang Jayati
95-98
Arifin Nugroho
99-103
Modulated Wideband Converter (MWC) dengan Block-Sparse Compressive Sensing pada Sinyal Multiband
Chaeriah Wael
104-107
Analisis Doppler Shift pada Sistem Komunikasi Satelit Nano Iinusat untuk Ketinggian Satelit 500 Km, 600 Km, 700 Km, 800 Km, 900 Km, dan 1000 Km
Niko Permana
108-111
Pemanfaatan Wideband Inter Networking engineering test and Demonstration Satellite (WINDS) untuk Sinkronisasi Learning Management System (LMS) di Indonesia Analisa Kinerja Sistem MIMO pada Kanal Multipath Fading dengan Beamforming
Pratomo H
112-115
Yuyun Siti Rohmah
116-121
Aplikasi GPS Dan Peta Google Earth Untuk Pemantauan Dan Perawatan Taman Dan Pohon Kota Secara Berkelanjutan Menuju Surabaya Go Green
Frischa Marcheliana W
122-125
Pemodelan Elevasi Secara Digital Menggunakan Basis Data Vektor dengan Metode Triangular Irregular Network (TIN) DELINIASI KAWASAN PROSPEK KEBUN ENERGI BERBASIS JATROPHA
Hendra Cordova
126-128
Tri Martha KP
129-132
iv
CURCASMENGGUNAKAN ANALISA NDVI DAN GEOMORFOLOGI TERHADAP CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH FLORES Analisis Life Time Satelit Iinusat 1 Berdasarkan Cycle Baterai
Arba’i Yusuf
133-135
Aplikasi Frekuensi GPS L1 1575,42 MHz pada Antena Mikrostrip Berbasis Power Harvesting Validation of Satellite Launch Vehicle Simulation Software 7orbit Using Flight Data Record of SCOUT Rocket
Imatsu. O
136-139
Satriya Utama
140-143
PERANCANGAN AUTONOMOUS PAYLOAD BERBASIS GPS DAN MIKROKONTROLER PICAXE-40X2 (STUDI KASUS KORINDO 2010)
Subhan Rohiman
144-152
Design and Implementation of Elektron Legacy-GS: Ground Station Software for Attitude Monitoring and Surveillance Rocket
Syarif Rousyan Fikri
153-156
PERANCANGAN ROTATOR DAN CONTROLLER ANTENA PARABOLA DISH S-BAND GROUND STATION UNTUK IiNUSAT1
A Achyar Nur
157-162
Peningkatan Performansi Pengaturan Posisi Motor DC untuk Sistem TrackingMenggunakan Kontroler Optimal Sliding Mode
Ramadhani Kurniawan Subroto
163-167
PERANCANGAN SISTEM KENDALI POSISI, KESETIMBANGAN DAN NAVIGASI UNTUK PROTOTIPE SATELIT PERANCANGAN DAN SIMULASI ATTITUDE
Andriyana Subhan
168-177
Bagus Adiwiluhung Riwanto
178-183
v
CONTROL PADA NANOSATELLITE DENGAN MAGNETORQUER Analysis Of A Fiber Optic Gyroscope Based On Ring Resonator
Y.A. Sahodo
184-187
Desain On-Board Computer untuk Balloon Test ITB-Sat
I.M Permata
188-191
DISAIN & IMPLEMENTASI COMMAND & DATA HANDLING SYSTEM (CDHS) PADA SATELIT IiNUSAT-1 Aplikasi Thermal Tape sebagai Thermal Control Subsystem pada Nano Satelite Iinusat – 02
MS. Hendriyawan A
192-196
T. Londong
197-200
Konsep Perancangan Struktur Satelit Iinusat 1
Widodo Slamet
201-208
vi
Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Komunitas Satelit ITS untuk pertama kalinya menyelenggarakan Indonesian Student Conference on Satellite (ISCoS 2011) pada 17 Desember 2011 dengan dukungan penuh dari konsorsium INSPIRE (Indonesian Nano-Satellite Platform Initiative for Research and Education). Konferensi ilmiah yang diselenggarakan oleh dan untuk mahasiswa pada level nasional dengan mengambil teknologi satelit sebagai tema sentral merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Konferensi ini dimaksudkan sebagai ajang untuk saling berbagi ilmu dan teknologi antar mahasiswa seluruh Indonesia dengan tujuan untuk mempercepat penguasaan teknologi satelit secara mandiri oleh bangsa Indonesia. Seperti diketahui, penguasaan teknologi satelit merupakan isu penting bagi negara seperti Indonesia yang memiliki wilayah kepulauan yang sangat luas, penduduk yang tersebar, serta sumber daya alam yang berlimpah. Teknologi satelit akan sangat membantu penyelenggaraan telekomunikasi, pemantauan dan pengawasan wilayah, serta pemetaan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia, dengan tujuan akhir untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara serta memajukan kesejahteraan Indonesia melalui peningkatan kegiatan dan produktivitas ekonomi. Pelaksanaan konferensi ini sejalan dengan upaya realisasi satelit pertama oleh para mahasiswa Indonesia yang tergabung di dalam proyek IINUSAT (Indonesian InterUniversity Satellite) yang didanai oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Di akhir 2012 diharapkan dapat diluncurkan satelit nano Iinusat-1 sebagai buah upaya pengembangan secara bersama-sama sejak 2009. Diharapkan konferensi ISCoS 2011 ini dapat sekaligus menjadi media sosialisasi kegiatan tersebut, serta menumbuhkan motivasi bagi lebih banyak mahasiswa untuk berpartisipasi dalam pengembangan teknologi satelit. Segenap panitia ISCoS 2011 mengucapkan selamat berkonferensi dan berbagi ilmu dan informasi terkait teknologi satelit. Jika terdapat kekurangan dalam buku ini maupun pada pelaksanaan konferensi, kami memohon maaf sebesar-besarnya. Semoga pelaksanaan ISCoS 2011 dapat benar-benar memberikan manfaat bagi Indonesia.
Surabaya, 17 Desember 2011 Panitia
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
1
Perancangan dan Pembuatan Modul PAD (Packet Assembler Disassembler) dengan Protokol AX.25 untuk Stasiun Bumi Portabel pada Sistem Komunikasi Satelit 3)
Dicky Rismawan1), Ondi T. Simamora, Rudy Dikairono, Gamantyo Hendrantoro .
[email protected]),
[email protected]),
[email protected]) Abstrak—Sistem Komunikasi Satelit, komunikasi terjadi antara satelit yang berada di luar angkasa dengan stasiun kontrol yang berada di bumi. Umumnya stasiun bumi mempunyai posisi yang tetap, sehingga untuk berkomunikasi dengan satelit terbatas pada statiun bumi yang telah ditentukan. Tujuan pembuatan stasiun bumi portabel adalah untuk menjamin ketersediaan komunikasi dengan satelit tanpa batasan waktu. Inti utama stasiun bumi portabel adalah modul PAD (Packet Assembler Disassembler) yang berfungsi untuk mengirimkan atau menerima informasi kepada satelit dalam bentuk paket radio. Untuk komunikasi data dibutuhkan sebuah protokol yang mengatur tata cara komunikasi dalam bentuk paket radio. Protokol yang digunakan untuk komunikasi paket radio adalah protokol AX.25. Protokol ini digunakan oleh komunitas radio amatir untuk mengirimkan informasi yang berupa teks. Dalam penelitian ini, protokol AX.25 ini akan diimplementasikan ke dalam perangkat lunak dan perangkat keras berbasis mikrokontroler ATmega128. Hasil yang implementasi protokol AX.25 adalah stasiun bumi portabel yang mampu mengirim atau menerima data teks ke atau dari satelit. Kata Kunci—AX.25, mikrokontroler, paket radio, protokol.
I. PENDAHULUAN
D
alam setiap sistem komunikasi terdapat sebuah pengirim dan sebuah penerima. Di dalam sistem komunikasi satelit pengirim bisa berupa sebuah satelit dan penerima bisa berupa sebuah stasiun yang berada di bumi atau sebaliknya. Karena jarak antar pengirim dan penerima sangat jauh maka digunakan media transmisi yang berupa gelombang radio, dimana data akan ditumpangkan ke dalam gelombang radio untuk ditransmisikan. Data disini harus memiliki bentuk khusus untuk dapat ditransmisikan. Salah satu metodenya adalah mengubah data ke dalam bentuk paket radio. Salah satu protokol yang mengatur paket radio adalah AX.25. Protokol ini umumnya digunakan oleh komunitas radio amatir untuk mengirimkan data teks melalui gelombang radio. Selain itu juga protokol AX.25 telah terbukti mampu untuk mengirim data teks dengan pendeteksi kesalahan yang mungkin terjadi di dalam proses transmisi.
AX.25 merupakan sebuah protokol yang mengatur mengenai proses terjadinya koneksi link, metode pertukaran data dan pemutusan hubungan link. Paket data ini di dalam protokol AX.25 disebut sebagai Frame. Protokol AX.25 ini akan diimplementasikan ke dalam sebuah mikrokontroler. Penggunaan mikrokontroler untuk implementasi protokol AX.25 dinilai mampu dalam hal diprogram untuk mengirim atau menerima data selayaknya sebuah komputer biasa, selain itu juga kemampuannya untuk portabel selama masih terdapat sumber tegangan untuk operasinya dan juga bentuknya yang kecil. Data dari mikrokontroler yang telah berbentuk frame AX.25 akan diteruskan ke dalam sub-modul protokol FX.25 yang berfungsi sebagai pendeteksi dan perbaikan kesalahan. II.
SISTEM KOMUNIKASI DATA PROTOKOL AX.25
A. Model Komunikasi Data Mikrokontroler berfungsi sebagai input data karakter dengan menggunakan sebuah keyboard dan menampilkan data yang telah dimasukkan ke dalam sebuah layar LCD. Data kemudian diubah ke dalam sebuah paket data. Di dalam modul PAD sendiri terdapat sub-bagian yang berisi protokol FX.25 dengan fungsi sebagai pendeteksi dan pengoreksi kesalah. Setelah melalui sub-bagian tersebut maka diteruskan ke bagian RF untuk selanjutnya dikirimkan melalui gelombang radio.
Gambar 2.1. Model sistem komunikasi data protokol AX.25 B. Model Protokol AX.25 Protokol AX.25 jika dipandang melalui OSI Reference Layer berada pada lapisan 1 dan 2.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
2
konektor PS/2. Untuk implementasi kedua rangkaian dan protokol AX.25 digunakan CodeVision AVR sebagai kompilernya.
Gambar 2.2 Model Protokol AX.25 Sebagai layer 2 protokol ini bertanggungjawab untuk mengatur bagaimana link terbentuk, proses pertukaran informasi dan pemutusan link. C. Bentuk Frame AX.25 Protokol AX.25 mempunyai bentuk data yang disebut Frame. Selain itu terdapat 3 tipe frame yang ada di dalam protokol AX.25 yaitu: Information Frame (I Frame), Supervisory Frame (S Frame) dan Unnumbered Frame (U Frame). Bentuk dari setiap tipe frame adalah sebagai berikut.
Gambar 2.3 Konstruksi U dan S frame
Gambar 2.4 Konstruksi I frame Setiap tipe frame bisa digunakan untuk mengirim informasi. Perbedaan dari masing-masing tipe frame adalah fungsi khususnya yaitu pada I frame untuk mengirim informasi dengan urutan untuk data teks yang panjang, S frame untuk mengirim data kontrol dari protokol AX.25 itu sendiri dan U frame untuk mengirim data informasi tanpa urutan untuk data teks yang pendek. III. PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI Perangkat Keras Pada penelitian ini akan dibuah sebuah perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras terdiri dari sebuah mikrokontroler Atmega 128, rangkaian keyboard dan rangkaian LCD. Sedangkan perangkat lunak sendiri adalah sebuah program yang berupa implementasi protokol AX.25 untuk diisikan ke dalam mikrokontroler. Spesifikasi umum sistem ini adalah mampu membangun koneksi dengan satelit, melakukan pertukaran informasi, dan memutuskan koneksi. Untuk spesifikasi khusus sistem ini adalah mampu untuk mengirim data teks sebanyak 500 karakter, serta membentuk data teks tersebut menjadi beberapa frame karena setiap frame dibatasi hanya sepanjang 239 byte untuk diteruskan dan diproses oleh sub-modul berikutnya yaitu sub-modul protokol FX.25. Untuk rangkaian LCD hanya menggunakan beberapa resistor dan sebuah sumber tegangan yang dihubungkan dengan pin-pin LCD untuk dapat beroperasi. Sedangkan pada rangkaian keyboard dipilih menggunakan keyboard dengan
Perangkat Lunak Pada perancangan program akan didesain dengan kemampuan menerima data melalui rangkaian keyboard dan menampilkan data melalui rangkaian LCD. Selain itu program akan mampu membuat frame AX.25 dari data yang dimasukkan dari keyboard sesuai dengan konstruksi frame yang digunakan. Secara umumnya sebuah frame akan terdiri dari sub-frame flag, address, control, info, dan FCS. Flag terdiri dari 1 byte yang digunakan sebagai penanda awal dan akhir dari frame. Flag sendiri mempunyai nilai 01111110 dalam biner atau 7E dalam hex. Address sendiri terdiri dari 2 atau 3 alamat sesuai dengan sistem, apabila tanpa repeater maka terdapat 2 alamat sedangkan apabila dengan repeater akan terdapat 3 alamat. Di dalam sistem akan digunakan contoh address dengan repeater dengan aturan alamat penerima, alamat sumber dan alamat repeater. Setiap alamat baik alamat pengirim, penerima dan repeater terdiri dari 7 byte data dinama 6 byte untuk callsign dan 1 byte untuk SSID dari callsign tersebut. Sub-frame control akan berisi data kontrol mode protokol AX.25 yang digunakan dan terdiri dari 1 byte Sub-frame info akan berisi data teks yang akan dikirimkan. Besar dari sub-frame ini adalag sebesar 212 byte untuk menjamin panjang maksimal dari setiap frame AX.25 adalah 239 byte. Pada sub-frame FCS (Frame Check Sequence) berisi sebuah CRC (Cyclic Redundancy Check) yang berfungsi sebagai pendeteksi kesalahan. Namun karena frame AX.25 ini akan dimasukkan ke dalam sub-bagian modul dengan protokol FX.25 yang berfungsi untuk mendeteksi dan memperbaiki kesalahan, dimana mempunyai cara kerja yang sama namun dengan tambahan pengkoreksi kesalahan dengan CRC AX.25 maka pada FCS bisa diberi nilai bebas. Namun pada frame AX.25 FCS sendiri terdiri dari 2 byte data dimana byte LSB akan dikirimkan lebih dahulu dari pada byte MSB Berikut bagian program yang menginisialisasikan nilai setiap subframe, kecuali sub-frame info yang isinya akan sesuai dengan data masukan keyboard, ke dalam bentuk hex dengan menggunakan tipe Information frame: char flag=0xFE; char control=0x03; char pid=0xF0; char fcslo=0xFF; char fcshi=0xFF; Untuk membangun sebuah link dengan satelit maka pada awalnya dikirimkan frame Supervisory dengan sub-frame control berisi perintah SABME yang berfungsi untuk meminta link dengan satelit. Setelah itu timer pada mikrokontroler akan berjalan untuk menunggu autentifikasi link dari satelit yang berupa S frame dengan sub-frame control berisi perintah UA. Apabila selama timer berjalan hingga berhenti tidak ada
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. balasan dari satelit maka permintaan link akan dikirimkan terus menerus. Setelah link terhubung maka kemudian akan dikirimkan frame informasi. AX.25 Encoder Dengan sub-frame info berisi data masukan dari keyboard maka untuk mengirimkan frame AX.25 bisa dilakukan dengan membuat suatu variabel yang akan menggabungkan semua sub-frame menjadi sebuah frame yang utuh. Berikut adalah flowchart dan program utama yang bekerja terus menerus, memanggil anak program untuk mengirimkan atau menerima frame AX.25. Start
3
menerima saja. Variabel transmit=1 menunjukkan bahwa modul sedang digunakan untuk mengirim data sedang apabila variabel transmit=0 maka modul digunakan untuk menerima data. AX.25 Decoder Untuk mendekodekan frame yang diterima maka seluruh panjang frame akan diterima dan disimpan terlebih dahulu ke dalam memory mikrokontroler. Kemudian akan diperiksa tipe dari frame tersebut dan isinya. Apabila bentuk frame tersebut benar maka data akan disimpan dan ditampilkan ke layar LCD, sedangkan apabila salah maka akan dikirim permintaan untuk mengirim ulang. Berikut adalah flowchart dan program dari AX.25 decoder. Start
Send SABM
Terima SABM
Receive UA
N Kirim UA
Y Address, Info
Terima Frame Informasi
Assembling Frame AX.25
Cek Frame
Send
Frame benar
Stop
Informasi disimpan
N
Y Meminta dikirim ulang
Gambar 3.1 Flowchart AX.25 Encoding Stop
main(){ transmit=1; while (1){ kirim_frame(SABME); for (i=0;i<200;i++){ terima_frame(); if (terima_frame==UA) { break; } delay_ms(25);} if (transmit==1) {kirim_frame(frame_ax);} else {terima_frame();} } Dari program utama di atas menggunakan anak program yang bernama kirim_frame yang memiliki fungsi mengirimkan frame_ax yang telah lengkap menuju ke submodul dengan protokol FX.25. Dimana variabel frame_ax sendiri adalah hasil gabungan dari setiap sub-frame mulai dari flag, address, control, pid, info, FCS, dan flag. Variabel transmit sendiri berfungsi untuk penanda mode yang digunakan. Untuk sistem ini mode yang digunakan adalah half duplex sehingga hanya dapat mengirim atau
Gambar 3.1 Flowchart AX.25 Decoding main(){ transmit=0; while(1){ terima_frame(); if (terima_frame==0x7E) count=count+1; if (count==2) break;} frame_ax=terima_frame; } Dari program di atas fungsi variabel count adalah sebagai penghitung jumlah flag di dalam frame yang diterima. Apabila flag ditemukan mempunyai jumlah sebanyak 2 buah maka frame akan disimpan dan diperiksa data informasinya. IV.
METODE PENGUJIAN SISTEM
Pengujian perangkat keras Pada perangkat keras, prosedur pengujiannya adalah memeriksa nilai tegangan dari setiap port pada mikrokontroler dengan dihubungkan ke sebuah rangkain LED. Untuk
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. rangkaian LCD dapat diuji dengan menggunakan program sederhana untuk menampilkan data ke layar LCD, sedangkan untuk rangkaian keyboard diuji dengan program sederhana pendeteksi masukan dari keyboard.
Keyboard
Mikrokontroler
4
deteksi dan koreksi error yang lebih baik maka pada sub-frame FCS yang berisi CRC bisa diberikan nilai bebas karena telah menggunakan protokol FX.25. Kombinasi dari kedua protokol ini juga membuat bit stuffing bisa dihilangkan. Bit stuffing sendiri berfungsi untuk mencegah adanya data “1” sebanyak 5 kali dengan menambahkan data “0” di akhir data “1” yang ke empat. Hal ini dihilangkan karena pada protokol FX.25 dibutuhkan panjang frame yang telah ditentukan DAFTAR PUSTAKA
LCD
Gambar 4.1 Pengujian rangkaian LCD dan keyboard
[1] [2] [3]
Untuk pengujian komunikasi serial, port akan dihubungkan dengan IC RS232 agar sinyal dapat diterima oleh komputer. Pengujian ini juga menggunakan program sederhana untuk mengirimkan teks “coba” pada hyperterminal komputer. Selain itu juga akan dicoba mengirimkan data teks “a” sebanyak 212 buah untuk menguji mengirim frame dengan panjang 239 byte.
Mikrokontroler
PC
Gambar 4.2 Pengujian komunikasi serial Pengujian perangkat lunak Pada perangkat lunak, prosedur pengujiannya antara lain menguji program untuk mendeteksi inputan data dari rangkaian keyboard, menampilkan data masukan dari rangkaian keyboard ke dalam rangkaian lcd, membentuk frame AX.25 dari masukan data rangkaian keyboard, dan mengirimkannya melalui komunikasi serial dengan komputer untuk diamati di dalam hyperterminal bentuk framenya. Program harus mampu bekerja secara bersamaan dimana data yang dimasukkan dari keyboard akan ditampilkan ke layar LCD kemudian membentuknya ke dalam frame dan mengirimkannya untuk diproses oleh sub-modul protokol FX.25. Selain itu apabila menerima data maka program harus bisa memeriksa frame dan mengambil data informasi yang di dalamnya.
AX.25
FX.25
Gambar 4.3 Komunikasi antar sub-modul V. KESIMPULAN Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa dengan kombinasi protokol AX.25 dengan protokol FX.25 akan membuat keandalan data yang ditransmisikan menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan adanya kemampuan error detection idan error correction pada protokol FX.25. Dengan adanya fungsi
[4] [5]
[6]
W. A. Beech, “AX.25 Link Access Protocol v2.2” , TAPR, 1997. J. Hansen, “PIC-et Radio: How to Send AX.25 UI Frames Using Inexpensive PIC Microcontrollers”, State University of New York, 1998. J. Hansen, “PIC-et Radio II: How to receive AX.25 UI Frames Using Inexpensive PIC Microcontrollers”, State University of New York, 1998. D. W. Presetyo,”Perancangan dan Implementasi Protokol AX.25 (simplified) pada MCS-51”, SNSI07-012, 2007, hal.62-67. A. Setiawan, “Perancangan dan Implementasi Sistem Monitoring Jarak Jauh Berbasis Protokol AX.25 dengan Menggunakan Mikrokontroler”, SILICON, 2008. Selo, “Pengembangan Perangkat Keras Pengiriman Data GPS Berbasis Mikrokontroler untuk Mendukung Sistem Informasi Pelacakan Kereta Api”, SNATI, 2007, hal.C29-C34.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
5
Sistem Deteksi dan Koreksi Error Protokol FX.25 Pada Satelit Iinusat-1 dan Stasiun Bumi Menggunakan ATMega128L Ondi T. Simamora, Dicky R. Raharjo, G. Hendrantoro
Abstrak—Protokol AX.25 memiliki kinerja yang kurang baik pada kanal transmisi yang kurang baik. Sebuah bit error pada sebuah frame akan mengakibatkan frame tersebut rusak, yang berujung pada terbuangnya seluruh paket data yang ditransmisikan. Protokol FX.25 hadir sebagai pengembangan dari AX.25 yang memiliki kemampuan deteksi dan perbaikan error. Ini dapat mengurangi kebutuhan transmisi ulang dari paket yang rusak dengan cara memperbaiki bit-bit yang error pada sebuah paket AX.25. Mekanisme deteksi dan koreksi error dilakukan oleh kode reed-solomon sebagai bagian dalam frame protokol FX.25. ATMega128L digunakan sebagai microcontroller yang bertugas untuk melakukan mekanisme deteksi dan koreksi error tersebut. Microcontroller ini diterapkan pada transceiver satelit Iinusat-1 dan stasiun bumi portabelnya. Index Terms—Deteksi dan perbaikan error, kode reedsolomon, protokol FX.25, ATMega128L
I. PENDAHULUAN
P
komunikasi AX.25 saat ini telah digunakan secara umum untuk transmisi data digital pada layanan radio amatir. Bahkan beberapa satelit menggunakan protokol AX.25 sebagai protokol komunikasinya [1]. ROTOKOL
Namun penggunaan protokol AX.25 secara luas bukan berarti protokol ini merupakan protokol yang sempurna. Kelemahan dari protokol ini berkaitan dengan kanal transmisi yaitu protokol AX.25 memiliki kinerja yang buruk pada kanal transmisi yang kurang baik. Sebuah bit error yang pada frame CRC AX.25 akan menyebabkan frame tersebut rusak dan berdampak pada rusaknya seluruh paket yang menggunakan protokol AX.25 tersebut [2]. Mekanisme perbaikan dan deteksi kesalahan yang ada pada protokol AX.25 bergantung pada transmisi ulang paket data yang rusak yang tentu saja sangat tidak efektif dan efisien pada kanal transmisi yang kurang baik karena paket yang dikirim ulang juga rentan terhadap kerusakan. Protokol FX.25 dengan kemampuan deteksi dan koreksi errornya dapat menjadi solusi atas kekurangan dari protokol AX.25 tersebut. Protokol FX.25 betindak sebagai pembungkus pada paket AX.25, memberikan tambahan FEC (Forward Error Correction) pada paket tersebut. FEC (Forward Error Correction) ini memiliki kemampuan untuk memperbaiki bitbit yang rusak pada saat sinyal melewati media transmisi yang buruk, dimana jumlah bit rusak yang dapat diperbaiki
tergantung dari jenis pengkodean reed-solomon yang digunakan. Protokol FX.25 yang digunakan pada satelit Iinusat menggunakan kode reed-solomon RS(255,239). II. DASAR TEORI 2.1 Protokol FX.25 Format frame protokol FX.25 ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Format frame protokol FX.25 Keterangan : 1. Preamble : berisi data 0x7E 2. Correlation Tag : berisi data 0xB74DB7DF8A532F3E yang telah dihitung menggunakan teknik LFSR [2]. Urutan transmisi correlation tag yaitu 0x3E 0x2F 0x53 0x8A 0xDF 0xB70x4D 0xB7 3. FEC (Forward Error Correction) berisi 16-byte codeword yang dihasilkan oleh encoder reed-solomon 4. Postamble : berisi data 0x7E 2.2 Kode Reed Solomon Kode reed-solomon, yang dirumuskan oleh Irving Reed dan Gus Solomon pada tahun 1960 [3], melakukan fungsi deteksi dan koreksi error pada protokol FX.25. Pada satelit Iinusat, kode reed Solomon yang digunakan adalah RS(255,239), dimana (n,k) berarti : n = panjang blok (dalam byte) = 2m-1 sehingga m=8 k = panjang data (dalam byte) yang akan dikodekan n-k = panjang codeword (dalam byte) t=(n-k)/2 = jumlah data error yang dapat diperbaiki
Protokol AX.25
Codeword (16-byte)
Gambar 2. Reed-Solomon pada frame FX.25 Jadi, jumlah error yang dapat diperbaiki oleh kode
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. RS(255,239) sejumlah 8-byte. 2.3 Galois field (GF) Kode reed Solomon merupakan sebuah kode yang berbasiskan “finite field” atau sering disebut galois field. Field generator polynomial untuk reed Solomon RS(255,239) yaitu x8=x4+x3+x2+x1 [4]. Inilah yang digunakan untuk membentuk table nilai elemen field untuk GF(256).
6
ditunjukkan pada table 1 diatas. Kode generator polynomial memiliki bentuk : g(x)=(x+αb) (x+αb+1)…. (x+αb+2t-1)………(1) Impementasi persamaan (1) tersebut dalam pembentukan kode polynomial RS(255,239) yaitu berkaitan dengan kemampuan koreksi kode RS(255,239) yaitu sebesar 8-byte. Kode generator polynomial untuk memperbaiki sampai dengan 8 error membutuhkan 16 field elemen berurutan sebagai akarnya, sehingga : g(x)=(x+α0) (x+α1) (x+α2)….. (x+α15) Nilai dari α0, α1, sampai α15 diambil dari table 1 sehingga menjadi : g(x)=(x+1) (x+2) (x+4)….. (x+38) Dengan demikian diperoleh kode generator polynomial untuk RS(255,239) yaitu : g(x) = 1x16 + 59x15 + 13x14 + 104x13 + 189x12 + 68x11 + 209x10 + 30x9 + 8x8 + 163x7 + 65x6 + 41x5 + 229x4 + 98x3 + 50x2 + 36x1 + 59………………(2)
Tabel 1. Elemen galois field 256 2.3.1 Operasi Penjumlahan dan Pengurangan Secara praktis dapat dikatakan bahwa operasi penjumlahan dan pengurangan pada galois field menggunakan operasi EXOR, atau dalam program bahasa C untuk implementasi pada ATMega128 menggunakan perintah “%”. Misal, akan dijumlahkan x3+x2+x1 dengan x4+x3+x0. Dalam bilangan hexadecimal 0x0E (00001110) dan 0x0D(00001101), maka hasil EX-OR nya adalah 0x03(00000011). Dalam galois field, operasi penjumlahan dan pengurangan dilakukan dengan cara yang sama. [4] 2.3.2 Operasi Perkalian Secara praktis, operasi perkalian dalam GF(256) ditunjukkan dalam contoh perkalian antara 32 dengan 64 berikut. 32 = α5 dan 16=α4, sehingga : 32x16 = α5 x α4 = α(5+4)mod 256 = α9 = 58 2.3.3 Operasi Pembagian Pada operasi pembagian, pembagi diinverse terlebih dahulu kemudian dikalikan dengan angka yang ingin dibagi. Misal : 16 ÷ 4 = α4 ÷ α -2 mod 255 = α4 x α253 = 16 x 71 2.3.4 Kode Generator Polinomial RS(255,239) Proses encode dan decode RS(255,239) melibatkan penggunaan generator polynomial, dimana dalam proses pembentukannya menggunakan juga galois field seperti yang
III. DESAIN SISTEM 3.1 Reed Solomon Encoder Encoder RS(255,239) berfungsi untuk mencari 16-byte codeword dari 239 byte data masukan encoder, dan menambahkan ke-16-byte tersebut ke belakang data yang akan dikirimkan sehingga jumlah keseluruhan data yang dihasilkan sejumlah 255 byte. Flowchart encoder ditunjukkan pada gambar 3. Mulai Cari Codeword Tambah Codeword Ke belakang data Kirim Data Selesai Gambar 3. Flowchart Encoding Codeword merupakan hasil bagi antara polynomial data yang telah dikalikan dengan x pangkat jumlah codeword, dengan kode generator polynomial pada persamaan (2). Misalkan urutan data yang telah dikonversi ke bentuk decimal mulai dari 1 sampai dengan 239 akan dicari codewordnya. Ini akan direpresentasikan menjadi pesan polynomial : x238+2x237+3x236+4x235…+238x+239
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Pesan polynomial ini kemudian dikalikan dengan x16 menjadi : x254+2x253+3x252+4x236…+238x17+239x16 Ini dilakukan untuk menyediakan tempat untuk 16-byte codeword yang akan dicari. Polinomial ini kemudian dibagi dengan kode generator pada persamaan (2) sehingga menghasilkan 16 simbol codeword. 3.2 Reed Solomon Decoder Data hasil encoding reed-solomon yang telah digabungkan dengan blok-blok data penyusun protokol FX.25 kemudian ditransmisikan dan menjadi inputan decoder. Sebelum fungsi decoder reed-solomon dijalankan, blok-blok data yang tidak termasuk dalam FEC Codeblock, yaitu preamble, postamble, dan correlation tag dibuang terlebih dahulu. Proses decoding reed Solomon dijalankan dengan urutan sebagai berikut : 1. Mencari sindrom error pada data. 2. Jika terdapat sindrom (perhitungan sindrom memberikan hasil bukan “0”), maka dilakukan pencarian lokasi error dengan metoda chien search 3. Dengan algoritma euclidean, mencari error polynomial, yaitu Ω(x) dan Λ(x) untuk digunakan pada perhitungan nilai/besarnya error (error magnitude) 4. Mencari nilai/besarnya error pada data pada lokasi yang telah diperoleh sebelumnya pada prosedur ke 2 dengan algoritma Forney. 5. Melakukan proses penjumlahan (seperti pada bagian 2.3.1) antara nilai error yang diperoleh pada prosedur 4 dengan data pada lokasi error yang ditunjukkan pada prosedur 2. Ini akan membuat data kembali seperti semula. Dalam bentuk flowchart ditunjukkan pada gambar 4. Mulai terima data cari sindrom cari lokasi error cari error polynomial cari error magnitude jumlahkan Selesai Gambar 4. flowchart decoding
7
Namun, untuk kode protokol FX.25 yang menggunakan kode reed-solomon RS(255,239) hanya mampu memperbaiki 8 error. Jika error yang terdapat pada data lebih dari 8 error, maka deteksi dan koreksi error sama sekali tidak akan berfungsi, dan dapat menjadi sebaliknya, akan menyebabkan error yang lebih banyak. Untuk itu, jika pada saat mencari error polynomial menggunakan algoritma Euclidean diperoleh diperoleh remainder yang memiliki derajat lebih besar atau sama dengan 8, proses decoding akan dihentikan dan data akan dibuang. Dalam hal seperti ini, dimana jumlah error lebih banyak daripada kemampuan deteksi dan koreksi, maka protokol akan meminta pengirim melakukan transmisi ulang keseluruhan frame data. 3.3 Implementasi Encoder dan Decoder Reed-Solomon RS(255,239) pada ATMega128L Proses encoding dan decoding dilakukan pada ATMega128L menggunakan perintah dalam bahasa C. Data-data informasi dibentuk ke dalam sebuah array untuk memudahkan dalam pemrograman. Proses looping memegang peranan penting dalam encoder/decoder reed-solomon. Misal untuk proses encoding Reed-Solomon dapat dituliskan dalam bentuk program (dalam bahasa C) sebagai berikut : void main() { int gx[16]={59,13,104,189,68,209,30,8,163,65,41,229, 98,50,36,59}; for(i=254;i>=0;i--) { x[i]=0; } j=254; for(i=0;i<239;i++) { hasil=addition(x[j],data[i]); l=j; for(k=0;k<16;k++) { hasil2[k]=multiplication(hasil,gx[k]); l--; x[l]=addition(x[l],hasil2[k]); } j--; } for(i=15;i>=0;i--) { data[i]=x[i]; } }
Pada bagian decoder, implementasi prosedur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga diprogram menggunakan bahasa C. Setelah program encoder dan decoder dilakukan dan diuji coba pada PC untuk melakukan deteksi dan koreksi error, kemudian program encoder dan decoder tersebut diperbaharui agar dapat diimplementasikan ke microcontroller ATMega128L bersama dengan program untuk protokol AX.25. Jadi dalam microcontroller ATMega128L akan terprogram gabungan dari protokol AX.25 dan protokol FX.25 dimana
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. pada protokol FX.25 ini terdapat fungsi encoding dan decoding RS(255,239). IV. ANALISA SISTEM Sistem minimum ATMega128L telah teruji dapat melakukan misi pengiriman paket data teks antar TNC yang terprogram protokol AX.25 dan FX.25. Demikian halnya dalam mekanisme deteksi dan koreksi error telah sukses dilakukan. Hal ini sudah memenuhi misi satelit iinusat 1 sebagai sebagai transceiver pesan teks antar stasiun bumi. Namun dalam saat dilakukan analisa terhadap deteksi error, didapati bahwa protokol AX.25/FX.25 memiliki dua kekurangan. Dalam dokumen standar FX.25 dikatakan bahwa saat struktur frame FX.25 dipisahkan dari paket AX.25, elemen AX.25 harus menunjukkan paket AX.25 yang lengkap dan valid. Meninjau ke format frame protokol AX.25, dapat dilihat bahwa terdapat blok CRC (Cyclic Redudancy Check) yang berfungsi untuk mendeteksi error yang terjadi pada frame. Fungsinya, jika pada frame AX.25 terjadi kesalahan maka frame tersebut akan dibuang dan akan dikirimkan frame ke pengirim yang mengindikasikan permintaan transmisi ulang frame yang rusak tersebut. Hal ini kurang efisien mengingat protokol FX.25 sudah memiliki fasilitas deteksi dan koreksi error, sehingga pada implementasi program pada ATMega128L, fungsi CRC diabaikan. Kekurangan lainnya terletak pada ketentuan harus dilakukannya bit stuffing “0” pada protokol AX.25 jika terdapat bit “1” yang berurutan sebanyak 5 buah dengan pertimbangan agar flag (0x7E) tidak muncul pada bagian lain dalam frame AX.25 kecuali pada bagian awal dan akhir frame. Hal ini kurang efektif dilakukan pada protokol AX.25 yang dibungkus oleh protokol FX.25 pada sistem komunikasi satelit Iinusat-1. Penggunaan fasilitas bit stuffing akan mengakibatkan panjang frame tidak tetap untuk setiap paket informasi dengan teks yang berbeda, sementara untuk dapat mengkodekan pesan dengan kode reed-solomon dibutuhkan panjang data yang tetap. Selain itu, dalam paket AX.25, flag difungsikan sebagai penanda awal dan akhir sebuah paket data. Jika dilihat dalam struktur frame FX.25 pada gambar 1, terdapat 4 blok data yang berisi data 0x7E (01111110) yaitu preamble, AX.25 packet start, AX.25 packet end, dan postamble, sehingga pada program, penggunaan flag 0x7E sebagai penanda awal dan akhir paket tidak dapat digunakan. Tidak dapat digunakannya flag sebagai penanda awal dan akhir paket menghilangkan satu-satunya alasan penggunaan fasilitas bit stuffing “0” pada protokol AX.25 yang dibungkus protokol FX.25.
8 V. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan Packet Assembler Disassembler (PAD) yang terprogram protokol AX.25 dan protokol FX.25 memiliki tingkat keandalan yang lebih baik daripada PAD yang hanya terprogram protokol AX.25 saja. Meskipun demikian, perlu dilakukan penyesuaian terhadap gabungan antara kedua protokol ini, yaitu pada bagian CRC (cyclic redundancy check) dan pada bagian bit stuffing. Penyesuaian pada CRC misalnya dilakukan dengan tidak digunakannya perhitungan CRC pada paket AX.25, dengan kata lain blok CRC akan diisi dengan data (hex) tertentu. Pada bit stuffing misalnya dengan tidak digunakannya atau mengganti kode karakter yang dapat menimbulkan terjadinya lima buah bit “1” yang berurutan, misalnya 0x3F(“?”), 0x7C(“|”),0x7D(“}”),0x7E(“~”),0x7F(“DEL”). Penyesuaian membuka kemungkinan untuk penggunaan protokol baru untuk system komunikasi yang menggunakan kode reed-solomon sebagai fasilitas deteksi dan koreksi errornya. PUSTAKA [1] [2]
[3] [4]
H. Dwi, Reliable Ground Segment Data Handling System for Del_-n3Xt Satellite Mission. 2009. MSc Thesis : TU Delft McGuire J. FX.25 Forward Error Correction Extension to AX.25 Link Protokol ForAmateur Packet Radio. Stensat Group LLC. 2006 B. Sklar,”Digital Communications : Fundamentals and Applications”. Prentice Hall. 2001 C.K.P Clark, “Reed Solomon Error Correction”. BBC Research and Development White Paper. 2002
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
9
Perancangan Integrasi Sistem untuk Portable Transceiver Satelit Iinusat-01 A. Budi Santoso1), G. Hendrantoro2), E.Setijadi3) Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Surabaya 60111 Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak - Dalam upaya pengembangan sistem stasiun bumi pada proyek satelit Iinusat-01 (Indonesia Inter University Satellite -01) dimana diperlukan sebuah perangkat portable. Di dalam perangkat portable ini terdiri dari modul-modul, diantaranya modul Baseband, modul RF dan Antena. Pada dunia komunikasi satelit permasalahan yang sering dihadapi adalah cara penyampaian informasi dari titik ke titik informasi. Oleh karena itu pada perangkat portable ini dibutuhkan modul integrasi sistem. Dalam modul integrasi sistem ini adalah berupa rangkaian penyesuai impedansi dari modul pemancar RF dan Antena pemancar stasiun bumi portable. Bila impedansi antar modul tersebut tidak sama, maka akan terdapat daya yang dipantulkan. Daya pantul ini dapat mengurangi daya yang dikirimkan. Akibatnya daya yang sampai pada penerima menjadi sangat kecil dan kemungkinan tidak dapat dideteksi oleh penerima.
transmisi yang diberi beban yang sama dengan impedansi karakteristik mempunyai standing wave ratio (SWR) sama dengan satu, dan mentransmisikan sejumlah daya tanpa adanya pantulan. Juga efisiensi transmisi menjadi optimum jika tidak ada daya yang dipantulkan. Matching dalam saluran transmisi mempunyai pengertian yang berbeda dengan dalam teori rangkaian. Dalam teori rangkaian, transfer daya maksimum membutuhkan impedansi beban sama dengan konjugasi kompleks sumber. Matching seperti ini disebut dengan matching konjugasi. Dalam saluran transmisi, matching mempunyai pengertian memberikan beban yang sama dengan impedansi karakteristik saluran [1]. CONJUGATE MATCHING
Kata Kunci – Satelit Iinusat-01, Modul penyesuai impedansi. I.
PENDAHULUAN
D
alam upaya pengembangan system stasiun bumi pada proyek satelit Iinusat (Indonesia Inter University Satellite -1) dimana diperlukan sebuah perangkat portable. Di dalam perangkat portable ini terdiri dari modul-modul, diantaranya modul Baseband, modul RF dan Antena. Dalam dunia komunikasi satelit permasalahan yang sering dihadapi adalah cara penyampaian informasi dari titik ke titik informasi. Media saluran transmisi merupakan salah satu cara yang umum digunakan dalam teknologi telekomunikasi. Karena kesederhanaannya, agar penyampaian informasi berjalan dengan baik maka informasi yang disampaikan melalui saluran transmisi harus berjalan semaksimal mungkin. Pada komunikasi satelit, masalah penyesuaian impedansi antar modul dari perangkat portable transceiver satelit merupakan permasalahan yang amat penting agar impedansi antar modul yang berhubungan dapat berfungsi dengan baik. Dengan dilakukan penyesuaian impedansi, maka pantulan yang terjadi dapat diperkecil sehingga transfer daya dapat berjalan semaksimal mungkin (maximum power transfer), yang secara umum dapat dikatakan bahwa bila diantara modul yang impedansinya berbeda dipasang rangkaian penyesuai impedansi [1]. II. TEORI DASAR PENYESUAIAN IMPEDANSI
Penyesuaian impedansi adalah hal yang penting dalam rentang frekuensi gelombang mikro. Suatu saluran
Digunakan umumnya di bagian sumber. Matching ini memaksimalkan daya yang dikirim ke beban, tapi tidak meminimalkan pantulan ( kecuali Zs real). LOAD MATCHING
Umumnya digunakan di bagian beban. Matching ini meminimalkan pantulan tapi tidak memaksimalkan daya yang dikirim, kecuali jika Z real. SALURAN TRANSMISI
[2]
0
Saluran transmisi didefinisikan sebagai suatu struktur atau susunan yang memandu perambatan gelombang elektromagnetik dari titik α ke titik β. Pada saluran transmisi permukaan sepanjang propagasiberada dalam daerah z dengan frekuensi ω sehingga nilai gelombang sebesar β=ω/c, maka z dalam daerah waktu tergantung dari tegangan dan arus dimana, (1) dengan : V = Tegangan (Volt)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
10 ZS
e = Konstanta Botzman (2,232 x 10-23)
C
β = ω/c
L
Perbandingan nilai konstanta v(z,t)/I(z,t)=V/I sehingga menyisakan nilai konstan dan bebas dari z. Perbandingan tersebut disebut dengan impedansi karakteristik, yang dapat dihitung :
𝑍=
𝑉 𝐼
(2)
dengan : Z = impedansi (Ω) Jalur rugi – rugi transmisi dapat ditangani dengan memperhatikan parameter nilai sistem tersebut. Rugirugi saluran transmisi tersebut dihitung dalam beberapa kondisi tertentu yang dapat menghasilkan parameter tertentu bersubstansial dan dapat dimengerti nilai tertentu tersebut.
ZL
Gambar 2 Penyesuai impedansi bentuk L PENYESUAI IMPEDANSI TIPE PHI
Penyesuai impedansi tipe phi dapat digambarkan sebagai duabuah jaringan L yang disusun menyesuaikan beban dan sumber kesebuah resistansi yang virtual, dialkasikan pada junction antara dua buah jaringan tersebut. Keadaan ini diperlihatkan pada Gambar 3. RS X2
X1
X3
RL
MATCHING DENGAN ELEMEN SERI DAN PARALEL
Perancangan rangkaian penyesuai impedansi selain menggunakan pendekatan matematis dapat juga menggunakan pendekatan grafis dengan Smith Chart. Pada Smith Chart akan diplot titik-titik impedansi atau admitansi. Titik-titik admitansi dan impedansi yang diplot dapat merupakan harga normalisasi pada suatu harga tertentu. Titik admitansi dapat dapat diperoleh dari titik impedansi dengan mencerminkannya pada titik tengah, begitu juga sebaliknya. Penambahan komponen reaktansi seri atau paralel dapat dilakukan dengan aturan sebagai berikut: 1. Penambahan L seri atau C seri menggerakkan titik impedansi di sepanjang lingkaran resistansi konstan. L seri menambah induktansi sedangkan penambahan C seri mengurangi kapasitansi.
Gambar 3Penyesuai impedansi bentuk Phi PENYESUAI IMPEDANSI TIPE-T
Rangkaian penyesuai impedansi tipe T juga merupakan gabungan dari rangkaian penyesuai impedansi tipe L yang membentuk symbol huruf T. Rangkaian penyesuai impedansi ini ditunjukkan pada Gambar 4. RS X1
X2
2.
Penambahan L atau C paralel menggerakkan impedansi di sepanjang lingkaran konduktansi konstan. Penambahan C paralel menaikkan kapasitansi sedangkan L paralel mengurangi induktansi.
RL
Gambar 3Penyesuai impedansi bentuk T III.
Gambar 1 penambahan Induktansi seri dan Kapasitansi seri
X3
RANCANGAN SISTEM
Blok rangkaian sebuah transceiver terdiri dari beberapa modul seperti modul Baseband, modul RF dan Antena. Modul RF dan antena ini harus di matching impedansinya agar transfer dayanya maksimal dan mengurangi refleksi. Dalam merancang suatu alat, spesifikasi merupakan hal yang sangat penting. Apakah alat tersebut sesuai dengan yang kita butuhkan. Misalnya kita membutuhkan sebuah modulator yang bekerja pada frekuensi 145,9 MHz, maka kita harus mengetahui apakah frekuensi yang kita pakai sesuai, dengan daya pancar yang dibutuhkan sehingga alat dapat bekerja optimal.
PENYESUAI IMPEDANSI TIPE L
Rangkaian penyesuai imedansi tipe L merupakan rangkaian penyesuai paling sederhana. Dinamakan rangkaian penyesuai impedansi tipe L karena komponen penyusunnya berbentuk seperti huruf L. Bentuk rangkaian ini diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 4 Blok rangkaian penyesuai impedansi antenna Rangkaian penyesuai impedansi bagian modul RF degan antena ini menggunakan metode rangkaian LC seri dan paralel. Rangkaian ini menggunakan tiga buah komponen
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. yaitu kapasitor trimer 120Pf (2 buah) dan inductor dengan lima lilitan, diameter 1cm. Kapasitor disini menggunakan trimer agar bias diubah nilai kapasitansinya tergantung berapa frekuensi dan daya inputnya untuk menghasilkan nilai impedansi yang match.
Gambar 5 Rancangan rangkaian penyesuai impedansi RF dengan antenna Rancangan diatas kemudian disimulasi menggunakan software Proteus untuk mengetahui respon frekuensinya. Berikut hasil simulasinya.
11
ZL=50; % load impedance % hitung Ztotal for i=1:length(C2) ZC2=1/(w*C2(i)); Zs=ZC2+ZL; ZC1=1/(w*C1); Zp=(ZC1*Zs)/(ZC1+Zs); Ztot1(i)= ZL1+Zp; end L = 45.15e-9; C2= 120e-12; C= (1:120); C1= C*1e-12; f = 146e+6; ZL=75; % load impedance % hitung Ztotal ZC2=1/(w*C2); Zs=ZC2+ZL; for i=1:length(C1); ZC1=1/(w*C1(i)); Zp=(ZC1*Zs)/(ZC1+Zs); Ztot(i) = ZL1+Zp; end
Gambar 6 respon frekuensi rangkaian penyesuai impedansi Nilai Induktor diatas belum pasti karena dihitung menggunakan software elsie, belum menggunakan hitungan manual. Begitu juga untuk nilai Kapasitornya juga belum pasti karena belum menggunakan hitungan manual secara teori. IV.
ANALISIS
A. Simulasi dengan Matlab Simulasi dilakukan untuk mencari nilai Ztotal dari rangkaian matching yang sudah dirancang dengan memasukkan parameter-parameter yang ada seperti nilai kapasitansi, frekuensi kerja, dan nilai induktansi.jika nilai dari komponen tersebut diubah-ubah. Berikut listing program dan plot grafik perbandingan dengan variabel Zl = 50 Ohm dan 75 Ohm %perbandingan nilai Ztot dengan nilai C1 dan C2 variabel dengan Zl=50&75 ohm L = 45.15e-9; C1= 120e-12; C= (1:120); C2= C*1e-12; f = 146e+6;
Gambar 7 plot perbandingan Ztotal dg Zl=50&75 ohm Dari gambar plot diatas diketahui bahwa kapasitor di timer untuk mendapatkan impedansi output yang sama dengan bebannya (antenna). Jika C1 di trimer menghasilkan Zout yang berubah-ubah, hasilnya akan sesuai dengan bebannya. Pada posisi nilai C1 = 120Pf menghasilkan output/Ztotal = 50 ohm atau sama dengan bebannya dengan yaitu 50 Ohm dan posisi nilai C1 kurang lebih 20pf menghasilkan output/Ztotal = 75 Ohm. Untuk nilai C2, jika di trimer hasilnya tidak ada perubahan yang berarti. Jadi berdasarkan simulasi nilai C1 jika di trimer menghasilkan nilai impedansi output yang berubah-ubah, sedangkan nilai C2 jika di trimer tidak berpengaruh pada nilai impedansi outputnya.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. B. Pengujian Alat Tujuan pengujian modul penyesuai impedansi adalah untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran mendekati spesifikasi yang diinginkan. Parameter pengukuran adalah VSWR (Voltage Standing Wave ratio) dari modul penyesuai impedansi. Peralatan yang digunakan : - Dummy load 50 Ohm, VSWR = 1,15 - Transceiver Dual Band - SWR Meter - Kabel Konektor Dari hasil pengujian didapatkan VSWR = 1,15 atau sama dengan VSWR dari dummy load tetapi nilai VSWR tersebut masih berubah-ubah. Dalam pengujian ini menggunakan Induktor 3 lilitan, berbeda dengan rancangan yang menggunakan 5lilitan. Induktor ini mempengaruhi nilai VSWR yang berubah-ubah karena mudah terpengaruh udara dan panas. Untuk mendapatkan nilai VSWR yang sesuai dengan Dummy Load, kapasitor C1 di trimer sampai mendekati nili VSWR yang sesuai tetapi jika kapasitor C2 di trimer maka nilai VSWR akan naik. Berikut gambar modul dan pengukuran matching impedance.
Gambar 8 alat matching impedance dan pengukuran menggunakan Transceiver Dual Band dan SWR Meter V.
KESIMPULAN
Pengujian belum menggunakan beban Dummy Load 75, 100 ohm dan parameter yang digunakan pengujian hanya VSWR, belum mengetahui nilai Power Outputnya dan Impedansi output dari modul penysuai impedansi. DAFTAR PUSTAKA
[1] Bowick C., Blyler J. And Ajluni C., RF Circuit Design 2nd edition, Newnest, Oxford, 2008. [2] David M. Pozar, Microwave Engineering, 3th ed, University of Massachusetts at Ambherst, 2003. .
12
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
13
PERANCANGAN DAN REALISASI COMPACT BUTLER MATRIX 4X4 PADA FREKUENSI 2.4 GHz 1
Achyar Junaedi, 2Bambang Setia Nugroho, 3Nachwan Mufti A, 4Deny Agustian Putra 1,2,3,4 Fakultas Elektro dan Komunikasi IT Telkom, Bandung 1
[email protected],
[email protected],
[email protected] , 4
[email protected]
Abstraksi--Butler Matrix adalah rangkaian microwave 2n masukan dan 2n keluaran, umumnya digunakan dalam sistem beamforming dan terdiri dari hybrid 900 , crossover, dan phase shifter 450,tetapi dalam penelitian ini, untuk membuat desain lebih kecil Butler Matrix 4x4 hanya terdiri dari Hybrid 90o, dan Phase Shifter 450 dan Phase Shifter 00.Butler Matrix ini dirancang, direalisasikan, dan dilakukan pengukuran pada frekuensi 2.4GHz2.5GHz. Ada dua buah desain yang dibuat yaitu Compact Butler Matrix 4x4 dan Conventional Butler Matrix 4x4. Komponen penyusun Compact Butler Matrix 4x4 terdiri dari empat buah Hybrid 90o, dua buah Phase Shifter 450, dan dua buah Phase Shifter 00. Komponen penyusun Conventional Butler Matrix 4x4 terdiri dari empat buah Hybrid 900, dua buah Crossover, dua buah Phase Shifter 450, dan dua buah Phase Shifter 00. Elemen-elemen tersebut dibuat menggunakan microstrip dengan jenis substrat FR4 dengan ketebalan 1,6 mm dan disimulasikan menggunakan Ansoft HFSS 12. Realisasi dengan desain Compact Butler Matrix 4x4 memiliki ukuran 15,7cm x 8,4cm dan besar bandwidth 200MHz pada frekuensi 2.4GHz-2.6GHz. Sedangkan pada desain Conventional Butler Matrix 4x4 memiliki 17cm x 13cm dan besar bandwidth 85MHz pada frekuensi 2.46GHz-2.545GHz. Pada kedua desain tersebut, parameter return loss dan isolasi antar port sudah memenuhi spesifikasi yang besarnya ≤-10dB. Tetapi untuk insertion loss pada beberapa frekuensi masih terdapat nilai ≤-10dB. Salah satu penyebab tidak sesuai nilai insertion loss adalah ukuran Butler Matrix yang besar. Apabila ukuran dimensi bertambah maka rugi-rugi saluran pada stripline menjadi besar. Butler Matrix ini dapat digunakan untuk switched beam adaptive antenna pada Satelit IiNUSAT-1 yang bekerja pada 2.4 GHz – 2.45 GHz Kata Kunci:, Compact Butler Matrix, Conventional Butler Matrix ,Beamforming, Bandwidth
I.
Pendahuluan
Smart Antenna adalah sistem yang berupa kombinasi susunan antena sejenis yang dilengkapi dengan kemampuan signal processing yang dapat mengoptimasikan pola radiasi atau pola penerima
secara otomatis yang akan direspon oleh sinyal di sekitarnya. Pada pengaplikasian Smart Antenna dibutuhkan suatu pengatur phasa yang akan membuat antena memberikan penguatan maksimum pada arah yang tepat (beamforming).Salah satu bagian dalam Smart Antenna adalah Beamforming (Pengarahan Berkas) yang bisa diimplementasikan dengan menggunakan Butler Matrix (Switch Beam Adaptive Antenna). Butler Matrix ini dapat digunakan untuk switched beam adaptive antenna pada Satelit IiNUSAT-1 yang bekerja pada 2.4 GHz – 2.45 GHz .Butler matrix adalah rangkaian pasif yang digunakan untuk mencatu susunan antena linear ataupun sirkular. Idealnya Butler Matrix terdiri dari 3 bagian, yaitu; crossover ,phaseshifter, dan hybrid. Untuk kondisi ideal, yaitu pada port tanpa rugi-rugi dan semua port dalam keadaan matched, daya keluaran pada tiap port keluaran adalah seperempat daya masukan dan dengan fasa yang berbeda-beda tiap port keluaran. Butler Matrix dalam penelitian sebelumnya, yaitu “Perancangan dan realisasi Butler Matrix 4x4 pada frekuensi 2,3GHz untuk aplikasi mobile”[1], memiliki dimensi sebesar 28 x 25 cm, kesalahan phasa lebih besar dari 100, serta insertion loss kurang dari -10 dB. Dalam penelitian ini akan dibuat Butler Matrix 4x4 dengan desain yang lebih kecil dari sebelumnya dengan cara menghilangkan crossover dan merubah bentuk jalur pada saluran microstrip. Desain ini akan disimulasikan dengan menggunakan simulator Ansoft HFSSv12 yang kemudian hasilnya akan dibandingkan dengan hasil pengukuran. II. A.
Landasan Teori
Butler Matrix Butler Matrix adalah rangkaian microwave 2n masukan dan 2n keluaran, umumnya digunakan dalam sistem beamforming (Switched Beam Adaptive Antenna) dan terdiri dari hybrid 900 , crossover, dan phase shifter 450,tetapi dalam penelitian ini, untuk membuat desain lebih kecil Butler Matrix 4x4 dibuat dengan menghilangkan komponen crossover sehingga komponennya hanya terdiri dari Hybrid 90o, dan Phase Shifter 450 dan Phase Shifter 00.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Phase shifter
1L
A1
Hybrids
Hybrids
2R
untuk Quadrature Hybrid dengan keadaan semua port-nya matched adalah sebagai berikut:
A2
1
[S ]
Crossover
2
A3
2L Hybrids
Hybrids Phase shifter
1R
A4
Gambar 1 Conventional Butler Matrix Port 2
Port 1
Hybrid 900
λ/8
λ Port 6
Port 5 Hybrid 900
Hybrid 900
Port 8
Port 7 λ/8
λ
0 j 1 0 j 0 0 1 1 0 0 j 0 1 j 0
C.
Phase shifter Phase Shifter merupakan bagian saluran transmisi dengan panjang tertentu yang digunakan untuk menggeser fasa sinyal yang melewatinya. Setiap saluran yang lebih panjang dengan nilai tertentu dari saluran referensi merupakan phase shifter. Untuk mendapatkan pergeseran fasa sebesar φ, panjang saluran yang dibutuhkan adalah :
Hybrid 900
Port 4
l
Port 3
Gambar 2 Desain Compact Butler Matrix 4x4 Pencatuan pada port masukan (1, 2, 3, 4) yang berbeda akan menghasilkan beda fasa yang berbeda antar port keluaran (5, 6, 7, 8). Untuk kondisi ideal, yaitu pada port tanpa rugi-rugi dan semua port dalam keadaan matched, daya keluaran pada tiap port keluaran adalah seperempat daya masukan. Tabel I Perbedaan fasa antar antar port Masuk Masuk Masuk Masuk an 1 an 2 an 3 an 4 Keluar o o o -45 -135 -90 -180o an 5 Keluar -90o 0o -225o -135o an 6 Keluar -135o -225o 0o -90o an 7 Keluar -180o -90o -135o -45o an 8 ΔØ -45o 135o -135o 45o Quadrature Hybrid (Hybrid 90o) Quadrature Hybrid adalah directional coupler 3 dB yang menghasilkan beda fasa 90o pada kedua keluarannya. Hybrid 900 terdiri dari saluran utama yang mengkopel saluran sekunder dengan dua seperempat panjang gelombang. B.
Z0 2
Z0
14
med 2
Phase Shifter yang ingin dibuat dalm penelitian ini adalah Phase shifter 450 dan 00 λ/8
Gambar 4 : Phase Shifter 450 λ
Gambar 5 : Phase Shifter 00 III.
Perancangan Dan Simulasi Butler Matrix 4x4
Pada penelitian ini dibuat Butler Matrix 4x4 dengan frekuensi 2.4- 2.5 GHz .Spesifikasi Butler Matrix yang diinginkan adalah sebagai berikut : 1) Frekuensi kerja : 2.4-2.5Ghz 2) VSWR input/output : ≤ 1.5 3) Insertion Loss : ≥ -10 dB 4) Kesalahan Fasa : ≤ 200 5) Return Loss dan Isolasi : ≤ -10 dB A. Perancangan Hybrid 900 Dimensi Hybrid 90o sebagai berikut: Port 3
Port 4
Z0
1
2
3.059 mm Z0
/4
Z0
17.55 mm
5 mm
3
4 Z0
Z0
Gambar 3 Hybrid 900 Dengan semua port pada keadaan matched, jika sinyal masuk pada port 1, sinyal keluaran pada dua port lainnya (2,3) akan memiliki amplitude sama tetapi berbeda fasa 90o. Scattering matrix
19 mm
Port 1
Port 2
Gambar 6 Desain akhir Hybrid 900
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
15
D. Perancangan Compact Butler Matrix 4x4
B. Perancangan Phase Shifter 450 Dimensi Phase Shifter 450 sebagai berikut: 7.4 mm
Gambar 9 Desain Compact Butler Matrix 4x4 Ansoft Name LLC X
VSWR
Y
YANG INI
2.3370 1.4934
Curve Info
m2
2.5730 1.4910
VSWR(1) Setup1 : Sw eep1 VSWR(2) Setup1 : Sw eep1
3.00
VSWR(3) Setup1 : Sw eep1 VSWR(4) Setup1 : Sw eep1 VSWR(5) Setup1 : Sw eep1
2.50
VSWR(6) Setup1 : Sw eep1 VSWR(7) Setup1 : Sw eep1 VSWR(8) Setup1 : Sw eep1
2.00
1.50
1.4932
m1
m2 1.4910
1.3527 1.2685
1.3618
1.1157 1.0975 1.0683
1.0930
1.2603 1.1717
1.4066 1.3080 1.2650 1.2153 1.1614
1.00 2.00
2.20
2.40 MX1: 2.3370
2.60 Freq [GHz] 0.2360
Name
Delta(X)
Delta(Y) 2.80
Slope(Y)
d(m1,m2)
0.2360
-0.0024
-0.0103
InvSlope(Y)3.00 -97.5286
MX2: 2.5730
Port 2
3.059 mm
Port 1
Gambar 7 Desain akhir phase shifter 450 Simulasi VSWR tiap port pada frekuensi 2,4GHz 2,5GHz memiliki nilai < 1.5.menunjukkan nilai < 1.5. Hasil fasa S(2,1) pada frekuensi tengah sebesar -45.5190. Sehingga sudah memenuhi spesifikasi yaitu mendekati nilai -450. Insertion loss S(2,1) sudah mendekati 0dB yaitu sebesar -0.0603 dan return loss S(1,1) sudah memenuhi nilai <-10dB yaitu sebesar -43.4343dB. C. Perancangan Phase Shifter 00 Dimensi Crossover sebagai berikut: Port 2
Gambar 10 VSWR Compact Butler Matrix Hasil simulasi menunjukkan bahwa Compact Butler Matrix memiliki VSWR < 1.5 pada frekuensi 2.337GHz-2.573GHz sehingga mempunyai bandwidth sebesar 236 MHz. Hasil simulasi perbedaan fasa pada port keluaran jika diberi masukan di port 1, port 2, port 3, port 4 berturutturut adalah ±-450, ±1350, ±-1350, ±450 dengan toleransi kesalahan fasa <150 . Salah satu hasilnya adalah jika diberi masukan pada port 1 maka kesalahan fasa keluaran pada port 5, port 6, port 7 dan port 8 berturut-turut adalah 11.181560, 12.525970, 9.761143510, 6.64110. Insertion loss pada Compact Butler Matrix di frekuensi tengah 2.45 GHz yaitu > -10dB. Return loss dan isolation pada masukan port yang berbeda-beda di frekuensi tengah 2,45 GHz adalah < -10dB, sehingga sudah sudah sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. E. Perancangan Crossover Dimensi Crossover sebagai berikut:
3.059 mm 65 mm
Port 3
Port 4 36 mm
9.7 mm
Port 1 18 mm
Gambar 8 Desain akhir phase shifter 00 Simulasi VSWR pada frekuensi 2,4GHz -2,5GHz tiap port memiliki nilai < 1.5.Simulasi fasa S(2,1) pada frekuensi tengah 2.45GHz adalah 0.40480. Simulasi insertion loss S(2,1) adalah -0.5225dB dan return loss S(1,1) adalah -37.7619dB.
ANSOFT
3.50 m1
VSWR
Hasil simulasi VSWR pada tiap port memiliki nilai < 1.5 yang terdapat pada frekuensi 2.22GHz2.68GHz, sehingga bandwidth yang dihasilkan adalah 460 MHz. Fasa pada port S(3,1) sebesar -167.70370 dan fasa pada port S(4,1) sebesar 103.60820 sehingga perbedaan fasa adalah -88.69350. Perbedaan fasa ini sudah mendekati spesifikasi yaitu 900. Insertion loss pada frekuensi 2.45Ghz tidak tepat pada -3dB yaitu S(3,1) sebesar -3.4797dB dan S(4,1) sebesar -3.4387dB ini dikarenakan adanya rugi-rugi pada saluran mikrostrip. Sedangakan untuk return loss S(1,1) sebesar -29.1434dB dan isolation S(2,1) sebesar -29.8376dB. Secara keseluruhan hasil simulasi Hybrid 900 telah memenuhi spesifikasi yang diinginkan.
3.059 mm
Port 1
Port 2
Gambar 11 Desain akhir Crossover
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Hasil simulasi menunjukkan bahwa VSWR tiap port < 1.5 yang terdapat pada frekuensi 2.04GHz2.69GHz, sehingga bandwidth yang dihasilkan adalah 650 MHz. Berdasarkan fasa port keluaran S(4,1) mendekati 00 yaitu -0.45570. Insertion loss S(4,1) pada crossover tidak tepat 0 dB yaitu 1.4290dB dikarenakan adanya rugi-rugi pada saluran mikrostrip. Untuk hasil isolasi S(2,1) dan S(3,1) sebesar -37.0236dB dan -9.1711dB serta return loss S(1,1) sebesar -26.3465dB pada frekuensi 2.45 Ghz.
16
sudah mendekati spesifikasi yang diinginkan yaitu menghasilkan fasa 00. Simulasi insertion loss S(2,1) sudah mendekati 0dB yaitu -0.5764dB. Return loss S(1,1) besarnya sudah memenuhi spesifikasi <-10dB yaitu -20.8859dB. H. Perancangan Conventional Butler Matrix 4x4 Dimensi Conventional Butler Matrix sebagai berikut:
F. Perancangan Phase Shifter 450 Dimensi Phase Shifter 450 sebagai berikut: Port 2 9.7 mm
21. 11 mm
Gambar 14 Conventional Butler Matrix 18 mm Ansoft Name LLC X
swr
Y
HFSSDesign1
2.3710 1.4900
Curve Info
m2
2.5410 1.4990
VSWR(1) Setup1 : Sw eep1 VSWR(2) Setup1 : Sw eep1
3.50
3.059 mm
ANSOFT
4.00 m1
VSWR(3) Setup1 : Sw eep1 VSWR(4) Setup1 : Sw eep1
3.00
VSWR(5) Setup1 : Sw eep1
Y1
VSWR(6) Setup1 : Sw eep1
Port 1
VSWR(7) Setup1 : Sw eep1
2.50
VSWR(8) Setup1 : Sw eep1
0
Gambar 12 Desain akhir Phase Shifter 45
2.00
1.50
Hasil simulasi menunjukkan VSWR pada frekuensi tengah < 1.5 yaitu 1.2278. Simulasi fasa S(2,1) pada frekuensi 2.45 GHz adalah -45.61090, besarnya fasa sudah mendekati spesifikasi yang diinginkan yaitu menghasilkan fasa -450. Insertion loss S(2,1) sudah mendekati 0dB yaitu -0.6511dB. Return loss S(1,1) besarnya sudah memenuhi spesifikasi < -10dB yaitu -29.7825dB.
G. Perancangan Phase Shifter 00
Dimensi Phase Shifter 00 sebagai berikut: Port 2
3.059 mm 26.17 mm
8.17 mm 25.841mm
Port 1
Gambar 13 Desain akhir Phase Shifter 00 Hasil simulasi menunjukkan VSWR pada port 1 dan port 2 di frekuensi 2.45 GHz yaitu 1.1739 dan 1.1868. Simulasi fasa S(2,1) dan fasa S(1,2) pada frekuensi 2.45 GHz adalah 0.59360, besarnya fasa
1.4900 1.3843 1.3115 1.2184 1.1965
m1
1.4989 1.3473 1.1480
1.2890 1.1609
m2
1.4562 1.2482 1.2416 1.1957 1.1513
1.0624
1.00 2.00
2.20
2.40
2.60 0.1700
2.80
Freq [GHz] MX1: 2.5410
MX2: 2.3710
Gambar 15 Hasil simulasi VSWR dari masingmasing port pada Conventional Butler Matrix Hasil simulasi VSWR < 1.5 berada pada frekuensi 2.371GHz-2.541GHz, sehingga di dapatkan bandwidth Conventional Butler Matrix adalah 170 MHz. Hasil simulasi perbedaan fasa pada frekuensi 2.4GHz – 2.5GHz dengan masukan di port 1 , port 2, port 3, dan port 4 berturut-turut adalah ±45o,±135o,±-135o,dan ±45o. Kesalahan fasa pada masing-masing port masukan pada frekuensi 2.4GHz – 2.5GHz secara keseluruhan adalah <200. Salah satu hasilnya adalah jika diberi masukan pada port 1 maka kesalahan fasa keluaran pada port 5, port 6, port 7 dan port 8 berturut-turut adalah 13.99510080, 12.577930, 15.026440, 11.233828670. Hasil simulasi insertion loss secara keseluruhan pada frekuensi tengah 2.45GHz adalah > -10 dB. Nilai ideal dari insertion loss adalah -6dB yang artinya adalah daya pada masing-masing port keluaran 0.25 kali dari daya masukan. Hasil simulasi return loss dan isolation dengan port masukan yang berbeda-beda adalah < -10dB. Hasil ini sesuai dengan spesifikasi pada frekuensi kerja 2.45GHz.
3.00
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. IV.
Pengukuran dan Analisis
A. Hasil Pengukuran dan analisa Compact Butler Matrix a)
VSWR dan Bandwidth
Gambar 16 Hasil pengukuran VSWR Compact Butler Matrix pada masing-masing port Irisan frekuensi yang memiliki VSWR< 1.5 pada frekuensi bawah (fL) sebesar 2,395 GHz dan pada frekuensi atas (fU) sebesar 2,6 GHz .Sehingga diperoleh bandwidth sebesar 200 MHz. Jika dibandingkandengan hasil simulasi, bandwidth hasil pengukuran lebih kecil tetapi telah memenuhi spesifikasi dan dapat bekerja pada frekuensi yang di inginkan. b) Insertion loss, Return loss, Isolasi dan Perbedaan Fasa Dari hasil pengukuran insertion loss dengan masukan di port 1, port 2, port 3, dan port 4 pada frekuensi kerja 2.4 GHz – 2.5 GHz masih terdapat beberapa frekuensi yang memiliki nilai Insertion Loss < -10 dB. Pengukuran return loss dan isolasi pada masing-masing port masukan sudah memenuhi spesifikasi pada daerah kerja bandwidth VSWR yaitu pada frekeuensi 2.4 GHz-2.5 GHz. Tetapi jika dibandingkan dengan hasil simulasi , masih terdapat beberapa frekuensi yang memiliki nilai return loss dan isolasi port masukan ≥ -10dB yaitu isolasi port 1 dengan port 4 ,isolasi port 2 dengan isolasi port 3, return loss port 2, return loss port 3,dan return loss port 4. Sedangkan pengukuran kesalahan fasa pada beberapa frekuensi kerja lebih besar dari 20o B. Hasil Pengukuran dan analisa Conventional Butler Matrix a)
VSWR dan Bandwidth
Gambar 17 Hasil pengukuran VSWR Conventional Butler Matrix pada masing-masing port
17
Pada pengukuran Conventional Butler Matrix, bandwidth yang terukur adalah 85 Mhz dengan frekuensi bawah 2.46GHz dan frekuensi atas 2.545 GHz. Apabila hasil pengukuran di bandingkan dengan hasil simulasi maka besarnya bandwidth pada hasil pengukuran lebih kecil dari hasil simulasi yang memiliki bandwidth 170MHz. b) Insertion loss, Return loss, Isolasi dan Perbedaan Fasa Dari hasil pengukuran insertion loss dengan masukan pada port 1, port 2, port 3 , dan port 4 didapatkan nilai <-10 dB pada beberapa frekuensi kerja 2.4GHz-2.5GHz . Jika dibandingkan spesifikasi insertion loss yang menginginkan nilai sebesar ≥-10dB pada frekuensi kerja 2.4GHz2.5GHz maka hasil pengukuran ini belum memenuhi spesifikasi yang diinginkan. Dari hasil pengukuran return loss dan isolasi pada masing-masing port diperoleh nilai >-10dB pada frekuensi kerja bandwidth 2.4GHz-2.5GHz. Selain itu jika dibandingkan hasil simulasi dengan hasil pengukuran, terdapat perbedaan dalam pola grafik Pengukuran kesalahan fasa menunjukkan nilai lebih besar dari 20o pada beberapa frekuensi. Hal-hal yang mempengaruhi perbedaan hasil simulasi dengan pengukuran adalah sebagai berikut : 1) Proses pabrikasi yang kurang presisi. 2) Terminasi beban 50Ω yang tidak matched dengan port masukan maupun port keluaran. 3) Tingkat kesiensitifitasan fasa yang tinggi. Saat melakukan pengukuran, tingkat kesensitifan pengukuran fasa yang terbaca selalu berubah secara fluktuatif . 4) Proses penyolderan konektor yang kurang bagus sehingga menghasilkan kesalahan fasa yang terukur. V.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: 1) Hasil simulasi Compact Butler Matrix menghasilkan kualitas yang lebih bagus dibandingkan Conventional Butler Matrix. Bandwidth simulasi pada Compact Butler Matrix 236 MHz sedangkan pada Conventional Butler Matrix hanya mencapai 170 MHz. Kesalahan fasa rata-rata hasil pengukuran pada Compact Butler Matrix mencapai 3.580 sedangkan pada Conventional Butler Matrix mencapai 8.930. Untuk rata-rata insertion loss hasil pengukuran pada Compact Butler Matrix mencapai -7.29dB sedangkan pada Conventional Butler Matrix mencapai -8.7 dB. 2) Hasil pengukuran Compact Butler Matrix menghasilkan kualitas yang lebih bagus dibandingkan Conventional Butler Matrix.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Bandwidth pengukuran pada Compact Butler Matrix 200 MHz sedangkan pada Conventional Butler Matrix hanya mencapai 85 MHz. Kesalahan fasa rata-rata hasil pengukuran pada Compact Butler Matrix mencapai 10.070 sedangkan pada Conventional mencapai 13.20. Untuk rata-rata insertion loss hasil pengukuran pada Compact Butler Matrix mencapai -9.63 dB sedangkan pada Conventional Butler Matrix mencapai -10.99 dB. 3) Desain Compact Butler Matrix dengan ukuran 15,7cm x 8,4cm memiliki dimensi yang lebih kecil dibandingkan dengan Conventional Butler Matrix yang hanya memiliki ukuran 17cm x 13cm 4) Insertion loss pada Compact Butler Matrix lebih baik jika dibandingkan dengan Conventional Butler Matrix karena rugi-rugi saluran yang dihasilkan lebih kecil yang diakibatkan oleh panjang total saluran transmisi yang lebih pendek. 5) Kesalahan fasa pada Compact Butler Matrix lebih kecil jika dibandingkan dengan Conventional Butler Matrix karena pada desain Conventional Butler Matrix yang menggunakan crossover memiliki kelinieritasan fasa yang berbeda dengan phase shifter 45o DAFTAR PUSTAKA [1] Pamungkas, Adiyanto. 2010. PERANCANGAN DAN REALISASI BUTLER MATRIX 4x4 PADA FREKUENSI 2.3 GHz UNTUK APLIKASI MOBILE WiMAX. Bandung. Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik Telekomunikasi. ITTelkom [2] Agustian Putra, Deny. DESAIN DAN REALISASI WIDEBAND BUTLER MATRIX 4X4 UNTUK SWITCHED BEAM ADAPTIVE ANTENNA. Bandung. Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik Telekomunikasi. ITTelkom. 2011. [3] Mahaputra, I Gede Mahera. 2011. STUDI PERANCANGAN BUTLER MATRIX 4x4 UNTUK ANNTENA ARRAY BEAMFORMING. Bandung. Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik Telekomunikasi. ITTelkom [4] Balanis, Constantine. 2005. Antenna Theory Analysis and Design 3rd. WileyInterscience,hal.728. [5] Ying, Cheung King. 2007. Multi Band Hybrid For WiFi. City University Of Hong Kong [6] P. Q Mariadoss, M.K. A. Rahim, M.Z.A. Abd Aziz. 2005. IEEE. Butler Matrix Using Circular and Mitred Bends at 2,4 Ghz. Universitas Teknologi Malaysia (http://eprints.utm.my/2207/1/MariadossRa himAziz2005__ButlerMatrixUsingCircular MiteredBends.pdf)
18
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
19
Desain Antena Microstrip Array dengan Teknik Tapered Peripheral Slits untuk Satelit Nano pada Frekuensi 436,5 MHz Widyanto Dwiputra P., Alan Sujadi, dan Eko Setijadi Alan Sujadi adalah mahasiswa Teknik Elektro ITS di bidang Telekomunikasi Multimedia. Widyanto Dwiputra P. adalah mahasiswa Teknik Elektro ITS di bidang Telekomunikasi Multimedia. Eko Setijadi adalah dosen Teknik Elektro ITS di bidang Telekomunikasi Multimedia. Abstrak— Teknologi satelit merupakan salah satu produk kemajuan teknologi yang merupakan solusi bagi banyak permasalahan. Sekarang ini di Indonesia sedang mengembangkan satelit nano generasi pertama. Salah satu komponen penting dalam subsystem komunikasi satelit adalah antena satelit. Satelit nano sendiri merupakan golongan satelit berukuran kecil dengan berat 1-10 kg. Karena dimensi yang terbatas itulah ukuran antena satelit yang digunakan harus kompak. Penelitian pada paper ini menyajikan desain antena Microstrip untuk satelit pada frekuensi 436,5 MHz dengan teknik miniaturisasi ukuran Tapered Peripheral Slits untuk mereduksi antena menjadi lebih kecil dan kompak. Selain itu akan diterapkan model Array untuk meningkatkan nilai gain antena. Disain awal antena ini berupa rectangular Microstrip dengan bahan substrat FR-04 dengan polarisasi sirkuler. Dari hasil simulasi didapatkan nilai Return Loss sebesar -11.1 dB untuk single patch dan -0.24 dB untuk 1x2 array. Dimensi akhir antena adalah hanya 12.2cm x 12.2cm untuk patch dan 29.4cm x 16cm untuk substrat. Kata Kunci—satelit nano, antena Microstrip, Tapered Peripheral Slits, dimensi antena.
I. PENDAHULUAN
T
eknologi satelit merupakan salah satu produk kemajuan teknologi yang merupakan solusi bagi banyak permasalahan.Masalah komunikasi dan penyiaran yang mencakup wilayah geografis yang luas dengan jenis topografi yang menyulitkan bagi pengembangan sistem terestrial, seperti yang dialami oleh Indonesia yang berbentuk kepulauan, dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi komunikasi satelit. Selain masalah diatas,teknologi satelit juga bisa dimanfaatkan untuk mengatasai masalah navigasi dan manajemen armada mulai dari angkutan, militer maupun penelitian dengan memanfaatkan satelit khusus yakni satelit navigasi. Penginderaan dan penelitian kebumian yang menyangkut wilayah sasaran yang luas juga dimungkinkan oleh teknologi satelit.[1] Pemerintah mengadakan suatu program pengembangan satelit nano antar universitas yang diberi nama IINUSAT (Indonesia Inter-University Satellite). Universitas yang terlibat antara lain ITB, UI, UGM, IT
Telekom, PENS, dan ITS, ditambah LAPAN. Hal ini dimaksudkan untuk penguasaan secara mandiri teknologi satelit oleh bangsa Indonesia.Dalam program pemerintah ini mahasiswa dari perguruan tinggi tersebut yang berperan utama dalam pengenmbangan Nano Satelit.Dosen dalam program ini berperan sebagai pembimbing dalam pengusaaan teknologi Nano satelit. [2] Teknologi Nano Satelit yang dikembangakan oleh berbagai universitas ini difokuskan untuk satelit yang mengorbit pada orbit LEO (Low Earth Orbit). Teknologi Nano satelit pada orbit LEO karena dimensi satelit kecil dan pengembangan yang relatif murah dan peluncuran yang relatif mudah. Salah satu dari komponen subsystem komunikasi satelit adalah antenna, baik di sisi stasiun angkasa maupun distasiun bumi. Karena dimensi satelit nano yang terbatas itulah diperlukan teknik khusus untuk mereduksi ukuran antena satelit agar lebih kompak. Pada penelitian ini didesain antena Microstrip dengan frekuensi tengah 436,5 MHz. Pilihan menggunakan Microstrip antenna ini lebih kepada bentuk antenna low profile yang sesuai dengan semangat antena compact yang akan diintegrasikan. Desain antena dengan Tapered Peripheral Slits ini ditujukan untuk pengembangan alternative desain antena satelit nano generasi pertama Indonesia, IiNUSAT 1.
II. ANTENA MIKROSTRIP Antena Microstrip terdiri dari beberapa lapisan dilektrik dengan susunan elemen radiasi (patch)di atas dan bagian ground plane di bawah.Elemen radiasi terbuat dari bahan tembaga yang dapat mengalirkan arus listrik dan dapat dibentuk menjadi beberapa bentuk.Gambaran Microstrip antena bisa dilihat pada Gambar 1 [3].
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Gambar 1. Struktur Microstrip Antena
Untuk analisis digunakan antena berbentuk persegi, panjang dari elemen radiasi L berkisar pada 0.3λ0
20
Metode analisis Microstrip antena ada berbagai macam metode tetapi yang paling sering digunakan adalah transmission line, cavity dan full wave analisis.Analisis menggunakan transmission line model merupakan metode analisis yang sederhana dan mudah untuk dilakukan tetapi mempunyai kekurangan dalam hal keakuratan.Metode Cavity model lebih akurat tetapi mempunyai cara yang lebih kompleks [4].Dan metode yang paling akurat adalah metode full wave analisis. Dalam penelitian ini digunakan metode transmission line model karena lebih sederhana dan mudah untuk disimulasikan maupun dibuat.Metode ini menganalogikan antena Microstripsebagai 2 buah lempengan (slots) yang mempunyai lebar (W) dan tinggi substrat (h) kedua lempengan tersebut dipisahkan oleh jarak atau panjang (L). Pada dasarnya metode ini antena terpisah karena adanya panjang dan mempunyai sifat impedansi Zc[5].
Gambar 3. Ilustrasi Transmission Line
Seperti yang terlihat pada Gambar 3, mayoritas jalur medan elektrik terletak pada substrat dan sebagian pada udara bebas. Perbedaan kecepatan rambat gelombang di udara dan substrat mengakibatkan transmission line tidak mampu menyediakan mode transmisi transverseelectromagnetic (TEM) secara murni. TEM merupakan mode propagasi dimana medan magnet dan medan listrik dipancarkan dengan suatu lajur yang terbatas pada arah normal dari arah propagasi. Oleh sebab itu mode propagasi yang umumnya digunakan yaitu quasi-TEM mode dimana terdapat dua media dalam propagasi (subtrat dan udara).hal ini berpengaruh terhadap konstanta dielectrik efektif ( reff) yang bernilai pada rentang nilai 1 <reff<r [6].Pengaruh ini dinamakan fringging effect. Pada frekuensi rendah, konstanta dielektrik efektif bisa diaanggap konstan. pada frekuensi menengah, nilai dari reffakan bertambah secara perlahan dan mencapai nilai dari konstanta dielektrik dari substrat. Nilai konstanta dielektrik efektif awal atau pada frekuensi rendah dapat dinyatakan dengan persamaan 1. (1)
Antena Microstrip dibuat pada dua slot yaitu slot radiasi dan ground plane. Kedua slot ini dipisahkan oleh transmission line dengan panjang L dan rangkaian terbuka pada kedua sisi.Pada seluruh lebar dari penampang, tegangan bernilai maksimum dan arus bernilai minimum sebagai akibat adanya sisi yang terbuka.Akibat adanya fringging effect, penampang dari patchMicrostrip terlihat lebih besar secara elektrik daripada penampang fisiknya.ukuran dari panjang penampang bertambah pada setiap sisi dengan suatu jarak yang dinyatakan dengan ∆L. Gambar 2. Metode Line feeding
(2)
B. Metode Analisis panjang efektif dari lempengan Leffmenjadi
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. .
(3)
Panjang efektif lempengan pada frekuensi resonansi dapat dihitung dengan . (4) Untuk sebuah antenna Microstrippersegi, frekuensi resonansi dinyatakan sebagai berikut. . (5) Sedangkan radiasi efektif, panjang dari W dinyatakan sebagai berikut. . (6)
III. PERENCANAAN DESAIN ANTENA Dalam penelitian ini,pada tahap awal dilakukan penentuan spesifikasi awal dari material pembuatan antena yang akan didesain. Dalam penentuan spesifikasi material diusahakan material yang dapat diperoleh di dalam negeri.Simulasi hasil rancangan dasar juga dilakukan dari metode transmission line model untuk memperoleh dimensi antena yang sesusai. Untuk memperkecil disain antenna digunakan model desain Tapered Peripheral Slits. Sebelumnya dilakukan desain antena mikrostrip dengan jenis yang sama untuk single patch, kemudian dua patch antena disusun secara array untuk meningkatkan gain. Material dasar yang digunakan adalah substrat FR-04 dengan spesifikasi sebagai berikut : Tabel 1. Spesifikasi FR-04
Ketebalan substrat Koefisien dielektrik Dielektrik loss tangent
21
Gambar 4.Dimensi antena mikrostrip single patch dan Array tampak atas
Dari gambar 4 tampak penggunaan Tapered Peripheral Slits dimana sekeliling antena di buat terbelah-belah agar arus dapat berpusat di tengah patch sehingga ukuran patch dapat diperkecil. Pencatuan antena digunakan metode feed line dan insert feed dari tengah substrat yang kemudian dicabangkan ke masing-masing patch. Ukuran panjang dan lebar dari patch masing-masing adalah sebagai berikut: Ukuran lebar patch adalah 12.2 cm Ukuran panjang patch adalah 12.2 cm Sedangkan untuk ukuran lebar dan panjang substrat adalah sebagai berikut: Ukuran lebar substrat adalah 16 cm Ukuran panjang substrat adalah 29.4 cm
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari simulasi yang telah dilakukan,untukmendapatkan parameter yang sesuai dengan desain antena yang mempunyai frekuensi kerja 436,5 MHz, dilakukan analisis return loss dari antena Microstrip yang telah didesain. Gambar 5 adalah grafik return loss dari antenna. Pada grafik tersebut terlihat bahwa antenna bekerja pada frekuensi yang sesuai ditandai dengan return loss pada frekensi 436,5 MHz pada nilai minimum adalah -11.1 dB untuk single patch dan 0.24 dB untuk array. Besar bandwidth dari frekuensi kerja adalah 2 MHz untuk single .
32 mm 4.4 0.002
Berikut ukuran antena yang akan disimulasikan untuk mendapatkan frekuensi dual band. Ukuran panjang dan lebar antena tersaji pada gambar dibawah ini.
Gambar 5. Grafik Return Loss
Untuk grafik VSWR dapat dilihat pada gambar 6 dibawah ini, pada antena mikrostrip single patch didapatkan nilai 1,77 dan untuk array didapatkan nilai yang masih belum dapat ditampilkan oleh software yang digunakan dikarenakan desain yang masih memerlukan riset lanjutan. Berikut hasil
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. plot grafik dari VSWR :
22 V. KESIMPULAN
Penelitian ini bertujuan mendesain antenna Microstrip guna mendukung penelitian pengembangan alternative antena mikrostrip untuk satelit nano dengan ukuran yang lebih compact. Dari hasil simulasi menunjukan VSWR, return loss dan pola radiasi masih belum sesuai untuk diterapkan sebagai antena IINUSAT I. Oleh karena itu antena Microstrip Tapered Peripheral Slits Array yang telah didesain ini dan teknik-teknik miniaturisasi yang telah diterapkan masih perlu riset lebih lanjut agar sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. DAFTAR REFERENSI
Gambar . Plot grafik VSWR untuk single patch dan array [1]
Pola radiasi dapat sesuai dengan hasil perencanaan yaitu sirkuler. Polarisasi antena Microstrip dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini.
[2]
[3] [4] [5] [6] [7] [8]
Gambar 6. Pola radiasi
Constantine G. Kakoyiannis, Philip Constantinou, "A Compact Microstrip Antenna with Tapered Peripheral Slits for CubeSat RF Payloads at 436 MHz: Miniaturization techniques, design & numerical results", IEEE, 2008. Ajibesin, A.A., Bankole, F.O., Odinma, A.C. A review of next generation satellite networks: Trends and technical issues, AFRICON, hal.2009,1-7. IiNUSAT, Preliminary Design Review, 2010 Garg, R., Bhartia, P., Bahl, I., Ittipiboon, A., Microstrip Antenna Design Handbook, Artech House, Inc, 2001. Balanis,Constantine A. Antenna Theory Analysis And Design,Canada: John Wiley & Sons.2005, Hal 769-790. Behera, Soumya R., Dual Band and Dual Polarized Microstrip Patch Antenna, Tesis India, Mei, 2010. Chen , Zhi Ning, Chia , Michael Y. W. Broadband Planar Antennas Design and Applications, Singapore: John Wiley & Sons. 2006. Orban, D., Moernaut, G.J.K., The Basic of Patch Antennas, Urban Microwave Products. 2007
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
23
The Development of Amateur Satellite Ground Station in Institut Teknologi Bandung Amrullah A. Qadir and Ridanto E. Poetro This work was supported by the Ministry of Research and Technology, Indonesia, under the Insentif Ristek program 2010. A. A. Qadir is with the Department of Aeronautics and Astronautics, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia (e-mail: amrul_no_1@ students.itb.ac.id). R. E. Poetro is with the Department of Aeronautics and Astronautics, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia (e-mail:
[email protected]).
This paper is going to present about the establishment of an amateur satellite ground station in Institut Teknologi Bandung, at the department of Aeronautics and Astronautics. The station is currently aimed at providing hands-on approach to students who are taking astrodynamics class especially in tracking and telemetry and also for those who are interested to do final year project in space engineering, especially in communication and ground control sections. In the long run, the station is going to perform independent orbit determination, provide access to the student-built ITB-SAT for tracking, telemetry, and command purposes and become part of the ground station network. Index Terms—ground station, orbit determination, amateur satellite
of amateur ground station in ITB. Besides tracking, telemetry, and command purposes, the development of the ground station will foster the interest of the students to space systems engineering. In the past, students who take astrodynamics and other space-related subjects only receive lectures and technical knowledge from books and internet sources. In the end of the study period, they only know the theory behind space-related knowledge, but lack of practical experiences, which is needed in real situations. Finally, the ground station will be used as a tool to perform orbit determination using multiple observations [3]. This paper will present the development of amateur ground station in ITB which will include the tracking system, including its hardware and software, current tasks, and future plans.
I. INTRODUCTION
T
HE development of an amateur satellite ground station is quite new in Indonesia. Initially, the early version of amateur satellite ground control station is built by the National Aerospace and Space Institute (LAPAN) for the purpose of telemetry and command of the LAPAN-TUBSAT, which is built together with Technische Universitat Berlin, Germany. The station consists of a pair of cross-yagi antennas for telemetry and command purpose and an S-band dish antenna for live video feeds from the satellite during its pass over Indonesia. In countries like Japan and The USA, university ground station using amateur radio bands has long been established to support the student-built cubesat projects and introduce satellite-building to university students as early as possible. In Indonesia, cubesat programs started in 2009, five main state universities of Indonesia, including ITB, initiated a program called INSPIRE, which stands for Indonesian NanoSatellite Platform Initiative for Research and Education. The goal of this program is to design, build, and integrate a nanosatellite by collaboration between these five universities. Parallel to this, Institut Teknologi Bandung is also initiating to build a nanosatellite which currently is in development of the bench model. These two programs led to the development
II. SATELLITE TRACKING SYSTEM A. Overview The satellites that are going to be tracked are the ones that broadcast and transmit amateur radio waves. Other satellites can be tracked, but the signal cannot be received due to limitation of the ground hardware. B. Hardware The main hardware of the tracking system is a pair of yagi antennas to receive the signal. For this particular ground station, a pair of cross-yagi antennas is used. The antennas will be used to receive and transmit Ultra High Frequency (UHF) band and Very High Frequency (VHF) band. Currently, the station can only receive signals from passing satellites due to legal reasons. These antennas are then connected to a dual band transceiver (transmitter and receiver). The transceiver used is designed to work for UHF and VHF band, which are able to receive and transmit. The transmitter is then connected directly to the personal computer or to a digital signal processor to be processed and analyzed. During reception of signals, the antenna is moved by a computer-controlled rotator that so that it can point to the tracked satellite to obtain a strong signal.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
24
keplerian elements. This data is then used to calculate the position of the satellite in its orbit, and later the azimuth and elevation of the satellite relative to the ground station observer. This information is used to rotate the antenna so that it can point to the currently tracked satellite. The tracking software used in this satellite tracking system is Nova For Windows, developed by The Northern Lights Software Associates. This software contains module to control the rotator, calculate orbit propagation, and produce ground track of the desired satellite on a world map provided in the software. The screen shot of Nova For Windows can be seen in figure 2. Fig.1. The graphical representation of local horizon coordinates [2]. Az represents Azimuth angle and El represents elevation angle. The point along the Z-axis is known as the zenith, which is directly above the observer and perpendicular to the X-Y local horizon plane. The symbol 𝜌 is the range, which is the distance between the observer and the satellite.
C. Software The software part of the tracking system is the tracking software, which controls the rotator according to the position of the satellite relative to the position of the station. Since the station is in local horizon coordinate system, the position of the satellite is represented as the azimuth (angle of the satellite position in a clockwise direction from true north) and elevation (angle of satellite position above the local horizon). The basic idea is represented in fig. 1. The azimuth and elevation angles are calculated by the propagation software, which is included in the tracking software. This tracking software uses Two Line Element (TLE) data from North American Aerospace Defense Command (NORAD) as the initial data, which mainly contains the
D. Tracking Process The brief graphical tracking process is in Fig. 3. To begin tracking and receiving signal, the operator first decide the satellite that will be tracked. This can be done by browsing amateur radio satellite sites such as AMSAT (www.amsat.org). In this site, a list of currently operating satellites is available. The operator will then choose a satellite and then input the TLE data obtained from websites such as Celestrak (www.celestrak.com) into Nova. Otherwise, satellites to be tracked can be chosen from the database provided by the Nova For Windows software. But for the latter case, the TLE database must be updated first to obtain an accurate propagation. After a satellite has been chosen and the time of the acquisition of signal (AOS, when the satellite rises from the horizon) has been determined, the operator will start the automatic tracking module that has been set accordingly. When the satellite has risen, the tracking module of the software will instruct the rotator to turn to the azimuth angle where the satellite rises. As the azimuth and elevation changes
Fig. 2. The main window of Nova For Windows satellite tracking software. The current positions of the tracked satellites are projected on the world map. By selecting the each satellite, the operator can see the ground track of the selected satellite and find out when the satellite will pass over the observer (shown here the observer is in Bandung, which is the ITB ground station). The inset on the right is the frequency of the beacon with Doppler correction for both downlink and uplink frequency.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. according to the propagation calculated earlier, the rotator will
25
limitations. The results obtained from these two versions would also differ slightly, where the one using the hardware spectrum analyzer would produce a better result. Using the FFT software also requires modification of the transceiver, where an external OCXO would be inputted into the transceiver to reduce frequency deviation [3]. An example of the result that can be obtained from frequency measuring is the plot of Doppler frequency changes
Fig.3. The graphical schematic of how the interaction between each hardware occurs [4].
follow these changing values until the time where loss of signal (LOS) occurs. This is when the reception of signal can no longer be obtained from the tracked satellite. During the tracking process, signal reception and transmission for telemetry and command purposes are carried out. Due to the high velocity of the satellite, Doppler effect has to be considered. The Doppler correction can be done manually according to the shown frequency in the Nova software, like the one in Fig. 2. Unfortunately, for automatic correction, users of this software must purchase a third party add-on software to control the transceiver. Fig.4. Doppler frequency changes during a single pass. The data obtained is already filtered to remove unnecessary data and noise [3].
III. ORBIT DETERMINATION SYSTEM Another main purpose of the development of university ground station in ITB is to develop an independent orbit determination system. The orbit determination system makes use of the current TLE data that will be updated independently without having to download new TLE data from the internet. This is possible by using range-rate and angular data obtained from the observation of the satellites. The obtained range-rate and angular data is later processed using programs developed from algorithms available in astrodynamics textbook such as reference [5]. The range-rate data is obtained from the continuous wave (CW) from the beacon on the satellite. This beacon broadcast the signal as the satellite orbits the earth. The purpose of using CW is because CW uses a single frequency, unlike FM (frequency modulation) signal that uses sideband frequency. Modulated signals (that use sideband frequency) are difficult to distinguish the Doppler frequency of the carrier frequency [7]. For orbit determination system setup, hardware and software are quite straightforward. The hardware is the same as the ones used for satellite tracking, but this time the use of digital signal processor is not required. Instead of signal processor, the device that will be used is a spectrum analyzer [6] to obtain detailed readings of the beacon frequency. There are two version of spectrum analyzer that can be used, namely the hardware version spectrum analyzer and the FFT software type of analyzer. The ITB ground station for the time being will be using the latter version due to budget
with respect to time, as shown in Fig. 4. This data is later used to determine the orbit of the satellite. IV. CURRENT CONDITIONS AND FUTURE PLANS A. Current situations In terms of hardware and software, the ground station is considered operable. The hardware that is already set up at the ground station can be seen in Table 1. Currently, the ground station is used to track amateur satellites and satellites owned by other universities such as Swisscube (EPFL Switzerland), Cubesat XI-IV and XI-V (University of Tokyo), and Cute-I (Tokyo Institute of Technology). So far, reception of signal has been no problems. In addition to tracking by lab members, students who take astrodynamics subject are encouraged to perform satellite tracking using the ground station. This is to expose them to practical knowledge of astrodynamics, at least at the ground level. B. Future Plans In the future, the ground station will be expanded to enable reception of S-band frequency, since it will also be used to as a control center for the upcoming ITB-SAT. Besides expansion into S-band, joining into a ground station network also has been considered. Joining a ground station network would be beneficial since the operator will be able to access ground station in other universities and institutions. This is very useful in telemetry, especially when
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. downloading large packets from the passing satellites. Since the access time needed to download large packets is longer, the having more access time by having access to other ground station would be beneficial. An example is having access to a ground station that is located in the polar region, like Sweden [7].
ACKNOWLEDGMENT The setup of the ground station is helped by Yuji Sakamoto of the Space Robotics Laboratory, Tohoku University, who provided hardware specifications and developed tracking software that is able to be used in Ground Station Network in the future. REFERENCES [1]
[2]
[3]
[4] [5]
[6]
[7]
R. R. Bate, D. D. Mueller, and J. E. White, “Fundamentals of Astrodynamics,” Dover Publication, New York, NY, ISBN 0-48660061-0, Jan. 1971. Y. Sakamoto and A. Yoneyama, “Orbit Determination System with Reasonable Performance Using Low-Cost Ground Station for Nanosatellite Projects,” presented at The 28th International Symposium on Space Technology and Science, Okinawa, Japan, June 5-12, 2011, paper ID 2011-f-37. Hsiao, F.B., Liu, H.P. and Chen, C.C., 2000, “The Development of a Low-Cost Amateur Microsatellite Ground Station for Space Engineering Education,” Global Journal of Engineering Education, Vol. 4, no. 1, pp. 83-88, 2000. P. R. Escobal, “Methods of Orbit Determination,” Robert E. Krieger Publishing Company, Malabar, FL, ISBN 0-88275-319-3, Apr. 1975. Y. Sakamoto, “Construction of Orbit Determination System Using LowCost Ground Station,” presented at The 22nd International Symposium on Space Technology and Science, Morioka, Japan, May 28 - June 4, 2000, paper ID 2000-s-10. Y. Sakamoto, “Low Cost Orbit Determination System For A Cubesat,” presented at The 1st International CubeSat Symposium, Tokyo, Japan, March 10 - 11, 2003. Y. Oda, et al., "Improvement in University Satellite Operation Using Ground Station Network," Space Technology Japan, Vol.7, ists26, pp. Tu_31-Tu_34, 2009.
26
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
27
Rancang Bangun Modulator FSK 1200 Baud untuk Perangkat Transceiver Portable Satelit Iinusat-01 Arie Setiawan1), Gamantyo Hendrantoro2) Abstrak—Salah satu bagian penting dari sistem operasional satelit adalah sistem komunikasinya itu sendiri. Modulator adalah salah satu perangkat untuk membangun komunikasi yang digunakan sebagai media pengiriman data. Perancangan dan pembuatan modulator FSK ini menggunakan rangkaian terintegrasi IC XR2206 yang mampu beroperasi pada Baud rate sebesar 1200 bps. Modulator FSK ini berfungsi untuk perubahan data dari digital ke analog. Berdasarkan pengujian, saat data input berlogika ‘1’ maka rangkaian modulator FSK menghasilkan frekuensi 1200 Hz (mark) dan pada saat input berlogika ‘0’ maka rangkaian menghasilkan frekuensi 2200 Hz (space) dimana tegangan input minimal yang diperlukan untuk berubah dari frekuensi tinggi ke frekuensi rendah adalah 1,5 V. Pemakaian modulator FSK dalam penelitian ini sebagai perangkat yang mengubah data dari digital ke analog, dengan ini data informasi akan menjadi sebuah sinyal baseband yang telah termodulasi (baseband modulated signal) dan siap untuk dihubungkan dengan perangkat RF untuk ditransmisikan ke satelit.
Ada beberapa metode modulasi yang dapat digunakan, tapi pemilihan lebih mengarah pada Frequency Shift Keying (FSK) karena pertimbangan penerimaan yang non-coherent [3]. Modulasi FSK dapat dikenalkan dengan pemberian 2 simbol, yaitu “1” dan “0” . Dengan bentuk sederhana, modulasi (binary) FSK dapat dibuat dengan mengaplikasikan aliran data menuju sebuah Voltage controlled Oscillator (VCO), VCO akan menghasilkan sebuah sinyal dengan dua frekuensi berbeda jika sinyal input mempunyai dua level. Dengan ini data informasi akan menjadi sebuah sinyal baseband yang telah termodulasi (baseband modulated signal). Input modem ini dapat berupa data digital pada level TTL maupun serial RS232 dengan penambahan modul pengubah level tegangan. Modulator ini sangat sederhana dan mempunyai kemampuan transfer data yang terbatas yaitu sampai dengan kecepatan 1200 bps namun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan pengembangan.
Kata Kunci— Iinusat-01, modulator FSK, XR2206
Dalam memenuhi kebutuhan transmisi sinyal, maka dibutuhkan suatu proses modulasi atau penumpangan sinyal data yang berbentuk biner pada suatu gelombang pembawa (carrier). pemilihan jenis modulasi atau penumpangan sinyal data yang digunakan ditentukan oleh penerapanyang diinginkan, termasuk juga karakteristik kanal yang digunakan seperti bandwidth yang tersedia dan kerentanan susceptibility) kanal terhadap perubahan (fading). Sesuai dengan namanya, modulasi pengiriman data digital ini adalah dua buah frekuensi utnuk mengirim data digital high dan low, yang biasa disebut ‘mark’ dan ‘space’ frekuensi. Standar modem seperti Bell202, frekuensi untuk modem dengan kecepatan 1200 bps adalah, 1200 Hz (mark) dan 2200 Hz (space). FSK pada dasarnya adalah system modulasi FM dimana penerima dapat memperkuat sinyal tanpa AGC (Automatic Gain Control). Pada frequency shift keying modem, terdapat hubungan antara output frekuensi analog dengan digital input yaitu frekuensi f1 untuk bit 0 dan frekuensi f2 untuk bit 1. Hasil modulasi sinyal FSK didapatkan dengan cara menjumlahkan 2 frekuensi yang berbeda dari frekuensi carrier dan data, dimana dua buah sinyal dengan amplitude Ac, tetapi frekuensi berbeda, f1 dan f2, digunakan untuk merepresentasikan biner 1 dan 0. Secara matematis dapat dituliskan :
I.PENDAHULUAN atelit berada sangat jauh dari pengguna (user) di bumi, oleh karenanya dibutuhkan komunikasi radio. Radio akan digunakan untuk komunikasi data digital antara satelit dan ground station menggunakan sebuah UHF/VHF yang dilengkapi dengan perangkat modem. Perkembangan komunikasi data dengan radio dekade ini sangatlah pesat, dimana pada awalnya menggunaka radio suara dengan sebuah modem audio. Frekuensi rendah adalah frekuensi yang paling optimal untuk melakukan komunikasi data jarak jauh, bisa UHF/VHF, karena jika menggunakan frekuensi yang lebih tinggi, maka daya jangkaunya menjadi berkurang dan juga ada konsekuensi bahwa jumlah data yang dikirim menjadi terbatas. Komunikasi data melalui radio telah banyak dikembangkan pada awal tahun 80an dan masih digunakan sampai sekarang. Dalam upaya pengembangan sistem stasiun bumi pada proyek satelit Iinusat-1 (Indonesia Inter University Satellite -1) dimana diperlukan sebuah perangkat portable guna pemanfaatannya di lapangan dalam hal mobilitas. Salah satu tipe ground station yang akan dibangun adalah portable transceiver dimana sistem ini terdiri dari berbagai modul-modul, salah satunya modulator FSK. Banyak hal yang harus diperhatikan saat mendesain sebuah sistem radio, ini meliputi penentuan data rate, yang merujuk pada bandwidth, power dan masalah modulasi.
S
1
Mahasiswa Bidang Studi Telekomunikasi Multimedia, e-mail:
[email protected] 2 Dosen Pembimbing, e-mail:
[email protected]
II.TEORI DASAR BFSK
s (t) = Ac cos (2πf1t) untuk symbol „1‟ s (t) = Ac cos (2πf2t) untuk symbol „0‟
(2.1) (2.2)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Gambar 2.1. Blok diagram Modulator FSK
28
Modulator digunakan untuk mengkonversi sinyal digital (gelombang persegi menjadi sinyal analog yang memiliki dua frekuensi berbeda berdasarkan level inputnya. Pada penelitian ini digunakan rangkaian terpadu IC XR-2206 yang memiliki jenis modulasi Frequency Shift Keying (FSK). Teknik FSK memiliki rangkaian switching sederhana dan bandwidth rendah, sehingga modulator yang sesuai dengan teknik ini adalah modem dengan kecepatan transfer tidak terlalu tinggi. IC ini merupakan sebuah sinyal generator yang mampu membangkitkan sinyal dari 0,01 Hz sampai lebih dari 1 MHz. Gelombang yang keluar memiliki dua nilai frekuensi dengan amplitude yang sama. Amplitude dan frekuensi dimodulasikan oleh suatu tegangan eksternal. IC XR-2206 memiliki pin sebanyak 16 buah, fungsi tiap pin dicantumkan pada table :
Data
Carrier
Sinyal FSK Gambar 2.2 Gelombang Termodulasi FSK
Gambar 3.1 Blok Diagram IC XR-2206
Gambar 2.1 menunjukkan blok diagram modulator FSK. Pada modulasi FSK frekuensi carrier digeser oleh input data yang berupa biner. Ketika sinyal input biner berubah dari logika 0 ke logika 1 atau sebaliknya, maka output FSK bergeser antara dua frekuensi (frekuensi mark dan space). Output modulasi FSK akan mengalami perubahan frekuensi untuk setiap terjadinya perubahan kondisi logika dari sinyal input data sehingga kecepatan perubahan output modulasi FSK akan sama dengan kecepatan perubahan data pada input. Gambar 2.2 adalah gambar hubungan sinyal digital dengan sinyal termodulasi FSK. Modulasi FSK merupakan modulasi yang mempunyai kinerja yang lebih baik dan menggunakan system deteksi yang lebih sederhana dibangdingkan dengan PSK. Oleh karena itu penerapan cukup luas pada system transmisi data. Frequency Shift Keying (FSK) relative sederhana, FSK memiliki bentuk penampakan gelombang yang konstan dari modulasi sudut yang similar (sama) terhadap frekuensi modulasi konvensional kecuali bahwa sinyal modulasinya adalah untaian pulsa biner yang bervariasi di antara dua tegangan diskrit disbanding perubahan bentuk gelombang secara terus menerus.
Tabel 3.1 Deskripsi Pin IC XR-2206
III.RANCANG BANGUN MODULATOR FSK
Untuk mengaktifkan hubungan antara fungsi-fungsi pada sisi masukan dan keluaran perlu ditambahkan perangkat pendukung. Perancangan perangkat meliputi: rangkaian regulator, rangkaian pengubah level tegangan, chip modulator FSK, rangkaian low pass filter.
Pin 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Simbol AMSI STO MO Vcc TC1 TC2 TR1 TR2 FSKI BIAS SYNCO GND WAVEA1 WAVEA2 SYMA1 SYMA2
Deskripsi Input Sinyal Modulasi Amplitudo Keluaran Gelombang Sinus atau Segitiga Positif Power Suplly Tegangan Input Timing Kapasitor 1 Timing Kapasitor 2 Timing Resistor Output 1 Timing Ouput Resistor 2 Input FSK Internal Voltage Reference Output Sinus Kaki Ground Pengatur bentuk Gelombang Input 1 Pengatur Bentuk Gelombang Input 2 Pengatur Kesimetrian Gelombang 1 Pengatur Kesimetrian 2
Sebagaimana terlihat pada gambar 3.1, rangkaian dibagi dalam empat blok fungsi yaitu : Voltage Controled Oscillator (VCO), pengali analog dan pembentuk gelombang sinusoidal, rangkaian penyangga (buffer) yang sekaligus berfungsi sebagai penguat dan kontak arus. Kontak arus (current Switches) akan mengirimkan arus osilator ke salah saltu dari dua resistor timing luar untuk menghasilkan dua frekuensi diskrit yang dipilih dengan menggunakan level logika pada terminal masukan FSK (pin 9). VCO menghasilkan frekuensi osilasi fo yang ditentukan oleh harga Timing Resistor yang menghubungkan pin 7 dan pin 8 dengan ground dan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Timing Capacitor yang menghubungkan pin 5 dan pin 6. Osilasi yang dihasilkan sesuai dengan persamaan : 𝑓0=
1 𝑅𝐶
𝐻𝑧
(3.1)
Dengan demikian untuk mendapatkan frekuensi dapat menggunakan rumus sebagai berikut: 1 𝑓0= 𝐻𝑧 𝑅𝐶
𝑓0=
1 𝑅𝐶
𝐻𝑧
mark (3.2) (3.3)
Dalam perancangan modulator FSK digunakan rangkaian terintegrasi IC XR-2206 dengan menggunakan baudrate 1200. Pada baudrate tersebut harga frekuensi mark (masukan logika tinggi ”1” ) 1200 Hz dan frekuensi space ( masukan logika rendah ”0” ) 2200 Hz. Agar dapat menghasilkan kecepatan data sampai 1200 bps, maka frekuensi mark dan space harus diset pada frekuensi 1200 Hz dan 2200 Hz. Untuk melakukan pengesetan ini dilakukan dengan jalan menentukan harga dari kapasitor (C) dan resistor timing (R5 dan R5). Untuk mendapatkan harga resistor yang akan digunakan dalam perancangan ini, ditentukan terlebih dahulu harga kapasitor. Harga kapasitor C yang ditentukan sebesar 100nF.
1 1200 𝑥100 .10 −9
= 8.33 𝐾Ω
1 2200 𝑥100 .10 −9
= 4.54 𝐾Ω
A. Pengujian Sinyal Keluaran Pengujian ini bertujuan untuk melihat apakah sinyal FSK yang dihasilkan sudah sesuai atau belum. Frekuensi yang dihasilkan adalah sebesar 1200 Hz dan 2200 Hz. Frekuensi 1200 Hz adalah frekuensi yang menggantikan logic high (1) da frekuensi 2200 Hz adalah frekuensi yang menggantikan logic low (0). Inout logic High pada modulator didapat dengan cara memberikan tegangan sebesar 5 VDc, sedangkan input logic low diperoleh dengan cara menghubungkan input modulator ke gorund. Berikut adalah gambar tampilan pada osciloscope yang menunjukkan frekuensi 1200 Hz dan 2200 Hz.
(a)
(b)
(c)
(3.4)
Dengan cara yang sama, resistor R6 untuk frekuensi space 2200 Hz diperoleh dengan cara : 𝑅6=
IV.PENGUJIAN ALAT
Gambar 4.1. a) keluaran sinyal 1200Hz (logic 1) b) keluaran sinyal 2200Hz (logic 0) c) keluaran sinyal FSK
Maka untuk frekuensi mark 1200 Hz, 𝑅5=
29
(3.5)
nilai resistor yang didapat disesuaikan dengan menggunakan VR (Variable Resistor) sebesar dengan sebuah resistor sebesar 20 KΩ. Gambar rangkaian akhir ditunjukkan pada gambar 3.2 :
Untuk mendapatkan frekuensi pada saat pemberian logic high (1), pemutaran VR5 yang terhubung dengan pin 7 dari XR2206 perlu dilakukan. Sedangkan untuk mendapatkan frekuensi pada saat pemberian logic high (0). Pemutaran VR6 yang terhubung dengan ping 8 pada XR2206 perlu dilakukan (lihat gambar 3.2). Modulator XR2206 akan mengeluarkan output berupa sinyal FSK saat diberi input yang bervariasi dari logic high dan low. Pada pengujian yang dilakukan, modulator diberi input sinyal kotak yang berasal dari function generator dengan frekuensi 600 Hz (1200bps). Hasil yang diperoleh adalah modulator dapat menghasilkan sinyal FSK yang merupakan kombinasi dari dua frekuensi, yaitu 1200 Hz dan 2200 Hz. B. Pengujian Pengiriman Data Tahap Awal Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah modulator mampu digunakan secara baik untuk mengirimkan data. Dalam pengujian digunakan sebuah perangkat mikrokontroler sebagai sumber informasi dan demodulator FSK berbasis IC XR-2211. Berikut ilustrasi dari pengujian yang dilakukan.
Mikrokontroller
Modulator
Demodulator Computer
Gambar 3.2 Rangkaian Modulator dengan IC XR-2206 Gambar 4.2 Pengujian Data Tahap Awal
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Dalam pengujian dikirimkan data berupa beberapa karakter, Pengiriman data menggunakan antarmuka RS232 dengan baud rate 1200. Data yang berasal dari mikrokontroler dimodulasikan oleh modulator dan keluarannya langsung dihubungkan ke input demodulator, lalu keluaran demodulator dihubungkan ke komputer. Untuk melihat hasil pengiriman data digunakan perangkat lunak untuk uji port serial. Dari pengujian didapatkan bahwa data yang dikirimkan dapat diterima dengan baik oleh demodulator dan juga mampu diterjemahkan kembali informasinya. Dibawah ini adalah gambar pengujian yang dilakukan.
Gambar 4.3 Pengujian Pengiriman Data
dari pengiriman data yang dilakukan, hampir tidak menunjukkan kesalahan. Ini berarti bahwa modulator sudah mampu untuk digunakan untuk pengiriman data. Namun perlu diujikan kembali menggunakan jalur transmisi yang sesungguhnya yaitu melalui jalur RF. Dari hasil pengujian didapatkan tabel pengujian, yang dapat berguna untuk mengetahui karakteristik alat yang dibuat, bahwa tegangan input minimal yang diperlukan untuk berubah dari frekuensi tinggi ke frekuensi rendah adalah 1,5 V. Tabel 4.1 Output frekuensi XR-2206
Tegangan Input (pin 9) Open 0.5 V 1V 1.5 V 2V 6V 12 V
Output Frekuensi 2.200 Hz 2.200 Hz 2200 Hz 1.200 Hz 1.200 Hz 1.200 Hz 1.200 Hz
VI.KESIMPULAN Dari hasil realisasi dan pengujian modulator dengan IC XR-2206 mampu mengirimkan data dengan baik dengan kecepatan data maksimal 1200 bps, input masukan bisa dalam level tegangan TTL maupun RS232 dengan penambahan rangkaian perubah level tegangan. Tegangan input minimal untuk mendapatkan perubahan frekuensi dari tinggi ke rendah adalah 1.5 V. Untuk tahap awal modulator sudah dapat digunakan untuk melalukan pengiriman data dengan cukup baik, namun masih perlu dilakukan pengujian yang sesungguhnya melalui transmisi radio untuk melihat apakah modulator mampu untuk mengirimkan data dengan baik.
30
DAFTAR PUSTAKA
[1] Shoji Shigeki, Suhana, Ir. 2004. Teknik Telekomunikasi. Pradnya Paramita.Jakarta. [2] Cooper, George, Modern Communications and Spread Spectrum, McGraw Hill Book Company, Singapore 1986 [3] Roger Birkeland, Study of a 145 MHz Tranceiver, Norwegian University of Science and Technology Department of Electronics and Telecommunications, Norwegian June 2007
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
31
Antena Heliks Quadrifilar Frekuensi S-Band untuk Remote Sensing Payload IiNUSAT-1 Bimo J. Prasetyo, Budi Prasetya, A. D. Prasetyo, Hardian K. Pambudi Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari proyek pengembangan IiNUSAT-1 di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia, oleh Institut Teknologi Telkom yang tergabung dalam tim INSPIRE. Bimo J. Prasetyo, dari Fakultas Elektro dan Komunikasi, Institut Teknologi Telkom, Indonesia (e-mail:
[email protected]). Budi Prasetya dari Fakultas Elektro dan Komunikasi, Institut Teknologi Telkom, Indonesia (e-mail:
[email protected]). A. D. Prasetyo, dari Fakultas Elektro dan Komunikasi, Institut Teknologi Telkom, Indonesia (e-mail:
[email protected]). Hardian K. Pambudi, dari Fakultas Elektro dan Komunikasi, Institut Teknologi Telkom, Indonesia (e-mail:
[email protected]).
Abstrak—Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan teknologi satelit berukuran nano atau yang sering disebut nanosatellite dengan merancang Indonesia interUniversity Satellite – 1 (IiNUSAT-1). Satelit nano ini mempunyai fungsi utama untuk keperluan komunikasi data. Namun dalam perkembangnya, dirasa perlu untuk menambahkan subsistem baru, yaitu Remote Sensing Payload (RSPL) untuk keperluan sensor payload gambar (image) berikut dengan sistem transmitter yang dapat digunakan untuk aplikasi penginderaan permukaan bumi. Transmitter bekerja dalam frekuensi S-band (2,4 – 2,45 GHz) dan menggunakan antena heliks quadrifilar. Antena tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan komunikasinya dengan karakter: pola radiasi unidireksional dengan beamwidth lebar, polarisasi sirkular, gain di atas 6 dBi, serta struktur yang kecil dan ringan. Setelah dirancang dan direalisasikan, antena tersebut mempunyai nilai VSWR 1,141 pada frekuensi 2,4 GHz dan 1,279 pada frekuensi 2,45 GHz. Dengan spesifikasi tersebut, diharapkan antena helix quadrifilar akan bekerja dengan baik untuk IiNUSAT-1 Kata Kunci—Antena heliks quadrifilar, IiNUSAT-1, RSPL, satelit nano.
I. PENDAHULUAN
K
OMUNIKASI satelit merupakan teknologi yang terus berkembang. Selain itu, riset dalam bidang ini juga marak di beberapa perguruan tinggi di dunia. Tren yang berkembang adalah menciptakan teknologi yang efektif dan efisien dengan biaya yang murah. Salah satu yang dikembangkan adalah satelit berukuran kecil (nano) atau yang sering disebut nanosatellite. Berawal dari permasalahan itu, konsorsium INSPIRE (Indonesian Nanosatellite Platform
Initiative for Research and Education) dibawah DP2M DIKTI Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan Indonesia inter-University Satellite-1 (IiNUSAT-1) [1]. Salah satu subsistem yang ada dalam satelit tersebut adalah Remote Sensing Payload (RSPL) untuk keperluan sensor payload gambar (image) berikut dengan sistem transmitter yang dapat digunakan untuk aplikasi penginderaan permukaan bumi. Sebagian besar satelit mentransmisikan gelombang elektromagnetik menggunakan polarisasi sirkular untuk mendapatkan keuntungan propagasi saat menembus atsmosfer. Karakteristik lain yang dibutukan komunikasi satelit, yaitu pola radiasi unidireksional dengan beamwidth lebar, pertimbangan hal ini untuk menutupi kekurangpresisian pengarahan satelit ke stasiun bumi. Nilai gain diatas 6 dBi sesuai link budget, serta struktur yang kecil dan ringan. Beberapa jenis antena yang memenuhi karakteristik dan kebutuhan tersebut antara lain antena heliks quadrifilar [2] atau printed stacked patch antenna [3]-[5]. Quadrifilar helical antenna (QHA) pernah digunakan dan sangat cocok untuk spesifikasi satelit nano karena memenuhi karakteristik yang dibutuhkan [6]. Piranti simulasi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Antenna Magus [7] and CST Microwave Studio 2010 [8]. Tujuan dari penelitian ini adalah merancang antena heliks quadrifilar pada frekuensi S-band (2,4 – 2,45 GHz) dengan polarisasi sirkular pada sisi pemancar untuk aplikasi RSPL pada IiNUSAT-1, desain dan struktur antenna akan dijelaskan pada Bab II. Bab III berisi hasil simulasi dan pengukuran. Kesimpulan akan dipaparkan pada Bab IV.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
32
II. DESAIN DAN STRUKTUR Antena heliks quadrifilar adalah kombinasi dari dua bifilar heliks yang diatur dalam hubungan yang saling ortogonal. Komponen quadrifilar yang berupa kawat/lempengan tembaga dibentuk dari kawat yang berbentuk segi empat dengan salah satu sisinya tidak saling tersambung. Oleh karena itu, kawat segi empat tersebut mempunyai dua ujung yang saling berdekatan. Ujung dari kawat segi empat yang membentuk loop ini yang dicatu pada saluran transmisi. Bentuk awal komponen quadrifilar disajikan pada Gambar 1. Sebagai elemen driven, masing-masing sisi pada persegi tersebut mempunyai panjang 1/4 λ dan terminal catuan dibentuk oleh kawat terbuka pada titik tengah sisi bawah. Selanjutnya, proses pembentukan komponen quadrifilar dilakukan dengan memutar sisi atas loop dengan menahan sisi bawahnya, sehingga bentuk dari kawat loop segi empat terlihat yang disebut half-turn bifilar helix loop (Gambar 2).
(a) Gambar 3. Desain dan Struktur Antena (a) Tampak Atas, (b) Tampak Samping
Gambar 1. Kawat Segi Empat Terpolarisasi
Selanjutnya, komponen bifilar seperti yang terlihat pada Gambar 2, disusun orthogonal dengan komponen bifilar yang lain untuk membentuk komponen quadrifilar dengan menyisipkan silinder yang mempunyai panjang diameter 1/4 λ dari frekuensi kerja. Sistem transmitter untuk keperluan RSPL pada IiNUSAT-1 bekerja pada frekuensi S-band (2,4 – 2,45 GHz), sehingga didapatkan ukuran-ukuran yang disajikan pada Tabel 1. Desain dan struktur antena ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 (a) menunjukkan struktur antena jika dilihat dari atas sedangkan Gambar 3 (b) adalah struktur antena tampak samping. Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 3 dapat terlihat bahwa bifilar-0 dan bifilar-1 mempunyai ukuran yang berbeda. Bifilar0 mempunyai panjang jari-jari (radius) 11.35 mm dan tinggi 30.49 mm. Sedangkan bifilar-1 mempunyai dimensi yang lebih besar, yaitu mempunyai panjang jari-jari 12.21 mm dan tinggi 32.81 mm.
III. SIMULASI DAN PENGUKURAN Gambar 2. Half-Turn Bifilar Helix Loop Tabel 1. Parameter Ukuran Antena Dimensi Radius bifilar-0 (Rh0) Radius bifilar-1 (Rh1) Tinggi bifilar-0 (Hh0) Tinggi bifilar-1 (Hh1)
Ukuran (mm) 11.35 12.21 30.49 32.81
Perancangan antena heliks quadrifilar dilakukan dengan menggunakan software CST Microwave Studio 2010. Dari hasil simulasi, antena tersebut memiliki HPBW sebesar 163,1°, dan VSWR sebesar 1,0081726 seperti ditunjukkan Gambar 4 dan 5. Dengan menggunakan software yang sama, pada frekuensi 2,425 GHz diperoleh gain sebesar 4,3 dBi.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
33
Gambar 4. Hasil Simulasi: Pola Pancar
Gambar 7. Grafik VSWR Hasil Pengukuran
Pada pengukuran menggunakan Network Analyzer didapatkan hasil VSWR sebesar 1,209 pada frekuensi 2,425 GHz, 1,141 pada frekuensi 2,4 GHz, dan 1,279 pada frekuensi 2,45 GHz seperti pada Gambar 7.
IV. KESIMPULAN Gambar 5. Grafik VSWR Hasil Simulasi
Dari hasil perancangan dan simulasi kemudian dilakukan proses manufaktur. Prototipe yang dihasilkan ini kemudian diukur menggunakan Network Analyzer (Gambar 6).
Antena heliks quadrifilar yang dipaparkan pada paper ini terdapat perbedaan antara hasil simulasi dan pengukuran. Pada hasil simulasi nilai VSWR sebesar 1,0081726 pada frekuensi 2,425 GHz, gain sebesar 4,3 dBi, HPBW sebesar 163,1°. Sedangkan, pada hasil pengukuran didapatkan nilai VSWR sebesar 1,209 pada frekuensi 2,425 GHz. Berdasarkan hasil simulasi dan pengukuran, perbedaan nilai VSWR antena ini dinilai memenuhi kebutuhan dari IiNUSAT-1. Kemudian yang akan dilakukan proses manufaktur yang lebih kokoh, dan lebih rapi. REFERENSI [1] [2]
[3]
Gambar 6. Realisasi dan Pengukuran Antena
[4]
[5]
[6] [7] [8]
Tim INSPIRE-IiNUSAT. Pleriminary Design Review IiNUSAT1.Desember 2010. M. Tranquilla, and S. R. Best, “A study of the quadrifilar helix antenna for global positioning system (GPS) applications,” IEEE Trans. Antennas and Propag., vol. 38, no. 10, pp. 1545-1550, Oct. 1990. D. M. Pozar, and S. M. Duffy, “A Dual-Band Circularly Polarized Aperture-Coupled Stacked Microstrip Antenna for Global Positioning Satellite,” IEEE Trans. Antennas and Propag., vol. 45, no. 11, pp. 16181625, Nov. 1997. Y. Zhou, C.-C. Chen, and J. L. Volakis, “Single-fed Circularly Polarized Antenna Element With Reduced Coupling for GPS Arrays,” IEEE Trans. Antennas and Propag., vol. 56, no. 5, pp. 1469-1472, May 2008. E. G. Doust, M. Cl´enet, V. Hemmati, and J. Wight, “An aperturecoupled circularly polarized stacked microstrip antenna for GPS frequency bands L1, L2, and L5,” in Proc. IEEE AP-S Int. Symp. Dig., July 2008. M.W.Maxwell, Chapter 22 “The Quadrifilar Helix Antenna” in ARRLbook “Reflections”, 1991, ISBN 0.087259-299-5. “Antenna Magus 1.0.2 (Professional)”, 2010, http://www.antennamagus.com/. “CST MICROWAVE STUDIO”, 2010, http://www.cst.com/.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
34
Antena Mikrostrip Panel Berisi 5 Larik Dipole dengan Feedline Koaksial Waveguide Untuk Komunikasi Wireless 2,4 GHz Erna Risfaula K., Yono Hadi P., dan Agus Rubiyanto Erna Risfaula K. Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Surabaya (e-mail:
[email protected]). Yono Hadi Pramono. Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Surabaya (e-mail:
[email protected]). Agus Rubiyanto. Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Surabaya (e-mail:
[email protected] ).
Abstract— Disain, fabrikasi, dan karakterisasi antena mikrostrip panel berisi 5 larik dipole dengan feedline koaksial waveguide telah dilakukan di Laboratorium Optik dan Microwave Jurusan Fisika FMIPA ITS. Antena difabrikasi untuk bisa bekerja pada frekuensi WiFi 2,4 GHz. Substrat PCB double side yang digunakan untuk fabrikasi adalah fiber dengan permitivitas relatif 4,8. Fabrikasi dilakukan dengan metode etching dengan larutan Fe(ClO2)3 (Ferric Chloride). Dimensi antena adalah 22 x 18 cm, tebal 21,2 mm, dan berat 0,35 kg. Struktur antena terdiri dari 5 larik dipole dengan feedline koaksial waveguide. Parameter-parameter yang dikarakterisasi meliputi VSWR (Voltage Standing Wave Ratio), Return Loss (RL), bandwidth, gain, dan pola radiasi. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa antena ini dapat diaplikasikan sebagai directional antenna (antena pengarah) dengan nilai VSWR 1,202, nilai koefisien refleksi 0,092, nilai return loss -20,77 dB, bandwidth 0,64 GHz, pola radiasi horizontal memiliki gain 20 dB dengan HPBW (Half Power Beamwidth) bernilai 87,50. Kelebihan dari antena ini adalah strukturnya sederhana, efisiensi yang besar, mudah difabrikasi, relatif ringan, biayanya lebih murah, dan dapat diaplikasikan sebagai directional antenna (antena pengarah).
Index Terms— antena panel, dipole, microstrip line, wireless, VSWR, return loss, feedline, waveguide, HPBW
I. INTRODUCTION
T
EKNOLOGI komunikasi pada saat ini berkembang dengan sangat cepat Salah satunya adalah teknologi komunikasi wireless. Perkembangan sistem yang bekerja pada frekuensi 2,4 GHz ini, tidak terlepas dari model device antena yang mampu mentransmisikan energi atau sinyal ke ruang bebas dan udara. Beberapa model antena seperti Dipole, Horn, Loop, Helical, dan lain-lain digunakan untuk mengoptimalkan
Erna Risfaula K. Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Surabaya (e-mail:
[email protected]). Yono Hadi Pramono. Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Surabaya (e-mail:
[email protected]). Agus Rubiyanto. Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Surabaya (e-mail:
[email protected] ).
energi radiasi pada beberapa arah tertentu sesuai kebutuhan tergantung lokasi user [2]. Pengembangan antena dengan berbagai variasi dan desain dilakukan untuk mendukung teknologi komunikasi wireless. Bentuk dan desain antena yang diharapkan adalah antena yang mempunyai gain yang tinggi, efisiensi yang besar, bandwidth yang lebar, Return Loss (RL) kecil, Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) bernilai antara 1 dan 2, berat yang ringan, dan biaya yang murah [10-11]. Salah satu jenis antena yang memenuhi kriteria semacam itu adalah antena mikrostrip. Antena mikrostrip merupakan salah satu jenis antena yang pengembangannya dimulai sejak tahun 1950an dan sampai sekarang masih menjadi topik riset yang dinamis. Berbagai aplikasi komunikasi gelombang radio tidak lepas dari penggunaan antena ini. Hal yang menjadi alasan dalam pemilihan antena mikrostrip pada berbagai aplikasi adalah bahannya yang ringan dan murah tetapi mampu memberikan unjuk kerja yang cukup baik. Pada paper ini dipaparkan disain dan fabrikasi antena mikrostrip panel berisi 5 larik dipole dengan feedline koaksial waveguide untuk komunikasi wireless 2,4 GHz yang dilengkapi dengan reflektor. Penelitian ini mengembangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Edi Daenuri Anwar tahun 2009 dengan antena mikrostrip tiga larik (array) dipole[1]. Pada penelitian Edi Daenuri Anwar, ketiga karakter spesifik antena mikrostrip yaitu koefisien refleksi, return loss, dan VSWR pada dasarnya sudah memenuhi kriteria aplikasi, namun gain dan bandwidth yang tercapai perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan perubahan struktur antena dengan menambahkan jumlah larik (array) dari 3 larik menjadi 5 larik, memasang reflektor pada antena yang akan difabrikasi, dan juga membuat program perhitungan parameter antena seperti impedansi, koefisien refleksi, dan VSWR. II.
ANTENA MIKROSTRIP
Antena mikrostrip adalah antena yang terbuat dari strip logam (patch) yang sangat tipis dengan ketebalan strip dan ketebalan substrat (h) yang jauh lebih kecil dibanding dengan panjang gelombang di ruang hampa (λ0). Ketebalan substrat h pada umumnya terletak pada rentang 0,003 λ0 ≤ h ≤ 0,005 λ0 di atas ground plane [9]. Strip (patch) logam dipisahkan dari ground planenya oleh substrat dari bahan dielektrik dengan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. konstanta dielektrik pada rentang 2,2 ≤ εr ≤ 12 [2]. Bagianbagian antena mikrostrip dapat dilihat pada Gambar 1.
35
lebar transmission line (w6=w7) yang sama yaitu 2 mm. Hasil disain antena dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 1. Bagian-bagian antena mikrostrip
Dimana L adalah panjang larik (mm), W adalah lebar larik (mm), t adalah lebar patch (mm), dan h adalah lebar substrat (mm). III. ANTENA MIKROSTRIP 3 LARIK DIPOLE Antena mikrostrip 3 larik dipole yang difabrikasi oleh Edi Daenuri Anwar dapat bekerja optimal pada frekuensi 2,4 GHz dengan VSWR 1,135, return loss -23,97, dan koefisien refleksi 0,06. Pada pola radiasi horizontal memiliki nilai sinyal maksimum 25 dB dan radiasi vertikal 41 dB. Gain yang dicapai oleh antena ini adalah 16 dB dan bandwidth 0,5 GHz [1]. Parameter antena mikrostrip 3 larik dipole yaitu koefisien refleksi, return loss, dan VSWR pada dasarnya sudah memenuhi kriteria aplikasi, namun gain dan bandwidth yang tercapai perlu ditingkatkan. Antena mikrostrip 3 larik dipole dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 3. Disain antena 5 larik dipole
V. PARAMETER-PARAMETER KARAKTERISASI PADA ANTENA MIKROSTRIP A. VSWR dan Koefisien Refleksi Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) adalah kemampuan suatu antena untuk bekerja pada frekuensi yang diinginkan. Pengukuran VSWR berhubungan dengan pengukuran koefisien refleksi dari antena tersebut ( ). Nilai VSWR merupakan representasi dari peristiwa standing wave [7]. Nilai VSWR antara 1 sampai tak hingga, apabila VSWR bernilai 1 berarti tidak ada pantulan[4]. Suatu antena dikatakan bekerja baik jika VSWR bernilai antara 1 sampai dengan 2. V ............................................. (1) VSWR max Vmin VSWR
1 Γ 1 Γ
............................................... (2)
B. Return Loss (RL) Return loss adalah besaran yang menunjukkan nilai loss (rugi) dari power input terhadap power refleksi dari suatu antena. Nilai return loss dinyatakan dalam satuan dB berkisar antara -∞ sampai 0 dB. Suatu antena dikatakan bekerja baik jika RL ≤ 9,54 dB [3]. Gambar 2. Antena mikrostrip 3 larik dipole (Anwar, 2009)
IV. DISAIN ANTENA PANEL DENGAN MICROSTRIP LINE BERSTRUKTUR 5 LARIK DIPOLE Antena dengan struktur patch double side memiliki 5 larik dipole pada tiap side. Semua larik memiliki ukuran lebar (w1=w2=w3=w4=w5) yang sama yaitu 4 mm. Sedangkan panjang larik 1 (l1) sama dengan panjang larik 5 (l5) yaitu 20 mm (0,16 λ0), panjang larik 2 sama dengan larik 4 (l4) yaitu 25 mm (0,2 λ0), dan panjang larik 3 (l3) sama dengan 30 mm (0,24 λ0). Untuk jarak antar larik 1 dengan larik 2 (d1) besarnya sama dengan jarak larik 4 dengan larik 5 (d4) yaitu 25 mm, jarak antar larik 2 dengan jarak larik 3 (d2) sama dengan jarak larik 3 dengan 4 (d3) yaitu 15 mm. Struktur antena ini juga memiliki
RL (dB) 20log10 Γ
....................................(3)
C. Bandwidth Bandwidth antena adalah rentang daerah frekuensi kerja dimana antena dapat bekerja efektif dan baik. Perhitungan bandwidth dibatasi oleh VSWR ≤ 1,5 atau return loss ≤ -15 dB [6]. Besarnya bandwidth dapat dihitung menggunakan persamaan (2.28). f ........................ (4) Bandwidth (broadband) H fL
Bandwidth ( narrowband) f H f L [8]
....................(5)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Antena acuan
Power Edimax =100mW = 20dBm Total power standar pengukuran = 43 + 20 = 63 dB
masing 1,202 dan 1,255. Nilai VSWR yang terendah yaitu 1,202 pada frekuensi 2,45 GHz. Nilai ini sesuai dari yang diharapkan karena antena yang telah difabrikasi pada frekuensi 2,45 GHz memiliki nilai VSWR yang paling kecil dan berada pada rentang antara 1 sampai dengan 2. Nilai VSWR antena yang telah difabrikasi telah memenuhi kriteria nilai VSWR.Hal ini mengindikasikan bahwa antena memiliki unjuk kerja terbaik pada frekuensi 2,45 GHz dan 2,9 GHz. Secara fisis dapat diartikan bahwa pada frekuensi 2,45 GHz dan 2,9 GHz sinyal yang diterima antena lebih banyak ditransmisikan ke free space daripada dipantulkan kembali ke sumber sinyal. 2
1.8 1.6 1.4
VSWR
D. Pola Radiasi dan Gain Pola radiasi antena merupakan pernyataan grafis yang menggambarkan sifat suatu antena pada medan jauh sebagai fungsi arah. Pola radiasi terjadi karena arus listrik dalam suatu antena selalu dikelilingi oleh medan magnetis. Arus listrik bolak balik (alternating current) menyebabkan muatan-muatan listrik bebas dalam antena akan mendapat percepatan, sehingga timbul suatu medan elektromagnetik. Medan elektromagnetik tersebut bolak-balik akan berjalan menjauhi antena dalam bentuk gelombang elektromagnetik sehingga terbentuklah medan elektromagnetik [5]. Sedangkan gain merupakan 4π kali perbandingan antara intensitas radiasi pada suatu arah dengan daya yang diterima oleh antena penerima dari pemancar [7]. Disain pengukuran dan perhitungan gain seperti pada Gambar 4 berikut.
36
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Antena Pemancar
2
Step 2
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3
Frekuensi (GHz)
Gain 18 dB Power 25 dBm Total =18 + 25 = 43 dB
Antena panel 5 larik dipole
Sinyal maksimum pengukuran = (x) dB Gain = (x)– 63 =... dB
Gambar 4. Disain pengukuran dan perhitungan gain antena
VI. HASIL PENGUKURAN DAN DISKUSI A. Hasil Fabrikasi Antena Berdasarkan desain yang telah dibuat, antena mikrostrip hasil fabrikasi yang terdiri dari 5 larik dipole dapat dilihat pada Gambar 5 sebagai berikut: reflektor
Antena 5 larik dipole
Sedangkan data hubungan antara frekuensi dengan return loss dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan grafik pada Gambar 7, hubungan return loss terhadap frekuensi memiliki kecenderungan pola yang sama dengan hubungan VSWR terhadap frekuensi dan koefisien refleksi terhadap frekuensi. Berdasarkan grafik pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa terdapat dua nilai return loss yang paling curam yaitu pada frekuensi 2,45 GHz dan 2,9 GHz dengan nilai return loss masing-masing -20,77 dB dan -18,93 dB. Pada range frekuensi Wifi 2,45 GHz, nilai return loss paling kecil yaitu -20,77 dB. Nilai return loss ini sudah memenuhi kriteria karena suatu antena dikatakan bekerja baik jika RL ≤ -9,54 dB [3]. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan bahwa antena yang telah difabrikasi dengan nilai return loss -20,77 dB dapat bekerja baik pada range frekuensi WiFi 2,45 GHz. 0
Koaksial waveguide
(a)
Gambar 6. Grafik hubungan antara frekuensi dengan nilai VSWR
(b)
Return Loss (dB)
Step 1
-5
-15
-20 -25 2
Gambar 5. (a) Hasil fabrikasi antena dilihat dari sisi atas (b) Hasil fabrikasi antena dilihat dari sisi samping
fc2
fc1
-10
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3
Frekuensi (GHz)
Gambar 7. Grafik hubungan antara frekuensi dengan nilai return loss
B. Nilai VSWR dan Return Loss Setelah dilakukan pengukuran dengan menggunakan Network Analyzer , diperoleh data hubungan antara frekuensi dengan VSWR pada Gambar 6. Dapat dilihat dari grafik Gambar 6 bahwa terdapat dua nilai yang curam yaitu pada frekuensi 2,45 GHz dan 2,9 GHz dengan nilai VSWR masing-
Besarnya bandwidth dapat dihitung berdasarkan Grafik pada Gambar 7. Batas nilai return loss yang dipakai untuk perhitungan bandwidth adalah ≤ -15 dB. Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa terdapat dua nilai frekuensi center yaitu fC1=2,45 GHz dan fC2=2,9 GHz. Berdasarkan nilai frekuensi ini, antena 5 larik dipole termasuk narrowband sehingga besarnya
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. bandwidth dapat dihitung menggunakan persamaan (5). Nilai bandwidth pada frekuensi center = 2,45 adalah fH1 – fL1 = 2,64 – 2 = 0,64 GHz sedangkan nilai bandwidth pada frekuensi center = 2,9 adalah fH2 – fL2 = 3 – 2,72 = 0,28 GHz. Hal ini berarti antena yang difabrikasi merupakan antena dualband karena bisa bekerja pada dua rentang frekuensi yaitu pada frekuensi antara 2,64 GHz sampai 2 GHz dan antara 2,72 GHz sampai 3 GHz. Antena 5 larik dipole yang sudah difabrikasi diaplikasikan pada frekuensi WiFi dengan frekuensi center adalah fC1=2,45 GHz sehingga bandwidth antena yang difabrikasi pada frekuensi WiFi (fC1=2,45 GHz) sebesar 0,64 GHz. Apabila dibandingkan dengan bandwidth antena 3 larik dipole sebesar 0,5 GHz, maka antena 5 larik dipole memiliki bandwidth yang lebih lebar. Bandwidth yang lebar berdampak pada kecepatan transmisi data. Semakin lebar bandwidth maka kecepatan transmisi data semakin tinggi.
37
Gambar 9. Pola radiasi vertikal ternormalisasi
Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa sinyal yang diterima paling maksimal pada sudut 00 dan sinyal terkecil berada pada sudut 2900 dan 1300. Nilai sinyal maksimum pada pengukuran pola radiasi vertikal adalah 78 dB dan nilai terkecil adalah 36 dB. Apabila dibandingkan antara pola radiasi horizontal dengan vertikal seperti pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai sinyal dengan pengukuran pola radiasi horizontal secara umum lebih besar dibandingkan hasil pengukuran pola radiasi vertikal. Hal ini memberikan rekomendasi bahwa pemasangan antena akan mendapatkan sinyal yang terbaik adalah pada posisi horizontal.
C. Pola Radiasi
Gambar 10. Perbandingan pola radiasi horizontal dengan vertikal yang Ternormalisasi
VII. Gambar 8. Pola radiasi horizontal ternormalisasi
Pengolahan data dilakukan dengan menormalisasi nilai sinyal, yaitu mengurangi semua nilai sinyal dengan nilai sinyal terkecil. Nilai sinyal maksimum pada pengukuran pola radiasi horizontal 83 dB dan nilai terkecil 36 dB. Berdasarkan Gambar 8, sinyal yang diterima paling maksimal pada sudut 3500, 3550, dan 3600 dan sinyal terkecil berada pada sudut 2650. Gain antena diperoleh dengan menghitung terlebih dahulu nilai total power dan gain antena pemancar dan antena penerima (antena omni) yang digunakan sebagai standar pengukuran. Pada saat pengukuran diperoleh total nilai power dengan gain antena pemancar dan antena penerima sebesar 63 dB. Nilai tersebut digunakan untuk menghitung gain antena hasil fabrikasi. Perhitungan gain antena 5 larik dipole diperoleh dengan cara mengurangkan nilai sinyal maksimum hasil pengukuran pola radiasi horizontal dengan 63 dB. Untuk nilai HPBW diperoleh 87,50.
KESIMPULAN
Hasil pengukuran dan fabrikasi antena mikrostrip panel berisi 5 larik dipole dengan feedline koaksial waveguide mempunyai unjuk kerja terbaik pada frekuensi WiFi 2,45 GHz dengan nilai VSWR 1,202, koefisien refleksi 0,092, nilai return loss -20,77, dan bandwidth 0,64 GHz. Sedangkan nilai gain antena pada pola radiasi horizontal sebesar 20 dB dengan HPBW (Half Power Beamwidth) bernilai 87,50. Pemberian menyebabkan pola radiasi yang dihasilkan oleh antena lebih terfokus satu arah dibanding dengan radiasi antena tanpa reflektor sehingga antena yang sudah difabrikasi dapat diaplikasikan sebagai directional antenna (antena pengarah). Di samping itu, antena ini memiliki kelebihan yaitu strukturnya sederhana, efisiensi yang besar, mudah difabrikasi, relatif ringan, dan biayanya lebih murah. Pembuatan program perhitungan karakteristik antena Bahasa Pemrograman Visual Basic 6 dapat memudahkan dalam perhitungan karakteristik antena. REFERENSI [1]
[2] [3]
Anwar, E.D, Desain dan Karakterisasi Antena Mikrostrip Yagi Tiga Array Double Side, Magister Tesis Program Pasca Sarjana Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2009. Balanis, C.A., Antenna Theory and Design. Second edition. New York: John Wiley & Sons, 1997. Balemurli, Perancangan Antena Mikrostrip Patch Sirkular Untuk Aplikasi Wlan Menggunakan Simulator Ansoft Hfss V10, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. [4]
Edwards, T., Foundations For Microstrip Circuit Design. Second edition. Canada: John Wiley & Sons, Inc, 1992. [5] Fadlillah, U., Simulasi Pola Radiasi Antena Dipole Tunggal, Teknik Elektro, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2004 [6] Hermansyah, R.M, Rancang Bangun Antena Microstrip Patch Segi EmpatUntuk Aplikasi Wireless-LAN, Skripsi Sarjana Teknik Elektro, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010. [7] Rahayu, E.M., Pramono, Y.H., ―Fabrikasi dan Karakterisasi Antena mikrostrip Loop Co-Planar Waveguide dua Lapis Substrat untuk Komunikasi C-Band dan Ku-Band‖, Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 5, 2009. vol. 2 [8] Santoso, S.P., Antena Mikrostrip Segitiga dengan Saluran Pencatu Berbentuk Garpu yang Dikopel Secara Elektromagnetik, Magister Tesis Program Pasca Sarjana Teknik Telekomunikasi, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jakarta, 2008. [9] Uboyo, A., Pramono, Y.H., ―Desain dan Fabrikasi Antena Mikrostrip loop dengan Feed Line Mikrostrip Feed Line Dua Lapis Substrat untuk Komunikasi C-Band‖, Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 5, 2009, vol.2 [10] Tefiku, F., 1996. A Broadband Antenna Of Double-Sided Printed Strip Dipoles. Japan: Denki Kogyo Co., Ltd, 1996. [11] Tefiku, F., 2000. Design of Broad-Band and Dual-Band Antennas Comprised of Series-fed Printed-Strip Dipole Pairs. IEEE Transactions on Antennas and Propagation,1993, 48 (6), pp.895-900.
38
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
39
Rancang Bangun Demodulator FSK 9600 Baud untuk Perangkat Transceiver Portable Satelit IiNUSAT - 1 1
M. Aenurrofiq Alatasy1), Gamantyo Hendrantoro2), Devy Kuswidiastuti3). Mahasiswa Bidang Studi Telekomunikasi Multimedia, e-mail:
[email protected] 2 Dosen Pembimbing I, e-mail:
[email protected] 3 Dosen Pembimbing II, e-mail:
[email protected]
Abstrak—Dalam upaya pengembangan sistem stasiun bumi pada proyek satelit IiNUSAT 1 (Indonesia Inter University Satellite -1) dimana diperlukan sebuah perangkat portable guna pemanfaatannya di lapangan dalam hal mobilitas. Di dalam perangkat portable ini terdiri dari modul-modul. Salah satu bagian dari perangkat portable tersebut adalah penerima yang mana membutuhkan transfer data yang cepat. Untuk interface yang menghubungkan antara penerima dan PAD (packet assembler disassemble) menggunakan demodulator FSK. Pemakaian demodulator FSK ini digunakan sebagai perangkat mengubah data analog menjadi data digital yang mampu beroperasi dengan 9600 baud.
demodulasi yang dapat digunakan, tapi pemilihan lebih mengarah pada Frequency Shift Keying (FSK) karena pertimbangan penerimaan yang non-coherent [1]. Yang dimaksud dengan deteksi non-coherent yaitu dengan filtering Output demodulator ini dapat berupa data digital pada level TTL maupun serial RS232 dengan penambahan modul pengubah level tegangan. Demodulator ini sangat sederhana dan mempunyai kemampuan transfer data yang terbatas yaitu 9600 bps namun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan pengembangan. II.
TEORI DASAR BFSK
Kata Kunci—demodulator FSK, IiNUSAT.
I.
S
PENDAHULUAN
alah satu bagian penting dari sistem operasional satelit adalah sistem komunikasinya itu sendiri. Satelit berada sangat jauh dari pengguna (user) di bumi, oleh karenanya dibutuhkan komunikasi radio. Radio akan digunakan untuk komunikasi data digital antara satelit dan ground station. Perkembangan komunikasi data dengan radio dekade ini sangatlah pesat, dimana pada awalnya menggunaka radio suara dengan sebuah modem audio. Frekuensi rendah adalah frekuensi yang paling optimal untuk melakukan komunikasi data jarak jauh, bisa UHF maupun VHF, karena jika menggunakan frekuensi yang lebih tinggi, maka daya jangkaunya menjadi berkurang dan juga ada konsekuensi bahwa jumlah data yang dikirim menjadi terbatas. Salah satu tipe ground station yang akan dibangun ada portable transceiver dimana sistem ini terdiri dari berbagai modulmodul, salah satunya adalah demodulator FSK yang dilengkapi dengan perangkat modem.. Dalam upaya pengembangan sistem stasiun bumi pada proyek satelit Iinusat-1 (Indonesia Inter University Satellite -1) dimana diperlukan sebuah perangkat portable guna pemanfaatannya di lapangan dalam hal mobilitas. Salah satu tipe ground station yang akan dibangun adalah portable transceiver dimana sistem ini terdiri dari berbagai modulmodul, salah satunya demodulator FSK. Ada beberapa metode
Untuk keperluan transmisi data dikembangkan teknik yang dinamakan modulasi FSK. Dari sistem FSK dapat diatur sedemikian rupa untuk memberikan transmisi narrowband maupun wideband . Untuk membangkitkan sinyal FSK, kita bisa menggunakan teknik modulasi seperti pada gambar 2. Deretan biner masukan direpresentasikan sebagai bentuk onoff. Dengan menggunakan Inverter dibagian kanal bawah, seperti terlihat pada gambar 2 akan dihasilkan frekuensi yang bergantian di keluarannya. Osilator dengan frekuensi f1 di kanal atas aktif jika masukannya berlogika 1 sedangkan osilator dengan frekuensi f2 di kanal bawah tidak aktif dengan hasil keluaran pada frekuensi f1 yang ditransmisikan. Jika masukan modulator berlogika 0, osilator di kanal atas tak aktif dan osilator di kanal bawah aktif sehingga frekuensi f2 yang ditransmisikan. Dua frekuensi f1 dan f2 dipilih pada perkalian bilangan bulat dari laju bit 1/Tb. Pada modulasi FSK frekuensi carrier digeser oleh input data yang berupa biner. Ketika sinyal input biner berubah dari logika 0 ke logika 1 atau sebaliknya, maka output FSK bergeser antara dua frekuensi (frekuensi mark dan space). Output modulasi FSK akan mengalami perubahan frekuensi untuk setiap terjadinya perubahan kondisi logika dari sinyal input data sehingga kecepatan perubahan output modulasi FSK akan sama dengan kecepatan perubahan data pada input. Hasil modulasi sinyal FSK didapatkan dengan cara menjumlahkan 2 frekuensi yang berbeda dari frekuensi carrier dan data, dimana dua buah sinyal dengan amplitude A, tetapi frekuensi berbeda, f1 dan f2, digunakan untuk merepresentasikan biner 1 dan 0. Secara matematis dapat dituliskan[2] :
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
40
pulsa biner yang bervariasi di antara dua tegangan diskrit disbanding perubahan bentuk gelombang secara terus menerus.
Data
Gambar 2. Blok diagram Modulator FSK Carrier
Sinyal FSK Gambar 3. Demodulator FSK non coherent [3] Gambar 1. Gelombang Termodulasi FSK
S1 (t) = A cos (2πf1t) untuk symbol „1‟ S2 (t) = A cos (2πf2t) untuk symbol „0‟ dimana, S1(t) = sinyal keluaran FSK untuk bit 1 S2(t) = sinyal keluaran FSK untuk bit 0 A = amplitude sinyal f1 = frekuensi carrier 1 f2 = frekuensi carrier 2
(1) (2)
Pada dasarnya penerima cukup membedakan dua keadaan saja. Hal ini berbeda dengan pengiriman sinyal analog murni yang bentuknya dapat agak berbeda pada saat diterima oleh penerima. Agar data atau informasi dapat disalurkan melalui saluran transmisi yang mempunyai jarak jangkau jauh diperlukan gelombang yang mempunyai frekuensi tingggi sebagai pembawa. Gelombang ini disebut carier ,disebut demikian karena seolah-olah sinyal analog tadi membawa (carry) sinyal informasi digital tersebut. Dalam teknik modulasi sinyal pembawa diubah sehingga informasi dapat dibawa atau disalurkan. Modulasi FSK merupakan modulasi yang mempunyai kinerja yang lebih baik dan menggunakan system deteksi yang lebih sederhana dibangdingkan dengan PSK. karena itu jarang digunakan untuk sistem-sistem radio digital berunjuk kerja tinggi. Pemakaianya terbatas pada modem-modem data yang asinkronous, unjuk kerja rendah dan murah. Oleh karena itu penerapan cukup luas pada system transmisi data. FSK adalah modulasi digital yang relative sederhana. serta modulasi sudut yang mempunyai bentuk selubung (envelope) konstan yang mirip dengan modulasi frekuensi kecuali bahwa sinyal pemodulasinya berupa aliran pulsa biner yang berubah-ubah diantara dua level tegangan, FSK memiliki bentuk penampakan gelombang yang konstan dari modulasi sudut yang similar (sama) terhadap frekuensi modulasi konvensional kecuali bahwa sinyal modulasinya adalah untaian
Untuk mendeteksi sinyal FSK dari Modulator FSK dan mengubahnya ke data digital semula, maka diperlukan suatu teknik yang dinamakan demodulasi sinyal FSK. Sinyal FSK bisa dideteksi dengan menggunakan deteksi tak koheren. Yang dimaksud dengan deteksi tak koheren yaitu dengan filtering. Pada deteksi tak koheren memiliki Care to Noise Ratio (CNR) yang lebih tinggi dari CNR pada deteksi koheren sehingga deteksi tak koheren memiliki probabilitas kesalahan yang lebih tinggi dari deteksi koheren. Pada Gambar 3 ditunjukkan sebuah metode pendeteksian sinyal FSK dengan metode tak koheren. Penerima terdiri dari sepasang filter yang dicocokkan yang diikuti oleh detektor selubung. Filter di bagian atas dicocokkan terhadap sinyal FSK untuk frekuensi f1 dan filter di bagian bawah dicocokkan terhadap sinyal FSK untuk frekuensi f2. Low pass filter yang berkesinambungan untuk mencegah aliasing yang disebabkan oleh sampling alami dari filter penerima. Filter yang dicocokkan ini merupakan low pass filter dengan frekuensi pusat di f1 dan f2. III.
RANCANG BANGUN DEMODULATOR FSK
Demodulator adalah sebuah mutivibrator yang digerakkan dari tepi menampilkan konversi frekuensi ke tegangan yang mengijinkan untuk menyaring data yang ditransmisikan dari sinyal termodulasi. Trigger monostabil pada positif dan negatif menuju tepi sinyal yang terbatas, sehingga menghasilkan pada outputnya, sebuah aliran pulsa dengan panjang yang tepat pada sebuah frekuensi ganda pada sinyal input terbatas. Demodulator digunakan untuk mengubah sinyal analog menjadi sinyal persegi. Pada penelitian ini menggunakan rangkaian terpadu MO 96 yang memiliki jenis modulasi FSK. Dari gambar 3, demodulator terdiri dari rangkaian low pass filter, peak detector dan slicer. Sinyal dari penerima masuk ke demodulator difilter menggunakan low pass filter yang
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. melewatkan sinyal dengan frekuensi dibawah frekuensi tertentu atau frekuensi cut-off (ωc) dan membuang sinyal dengan frekuensi diatas frekuensi cut-off (ωc)[4]. Filter tersebut dioptimalkan untuk sinyal dengan 9600 baud. Output yang dihasilkan filter tersebut adalah sinyal data yang mirip dengan sinyal yang dikirimkan. Sinyal yang sudah difilter tersebut selanjutnya masuk pada rangkaian peak detector. Dipeak detector sinyal akan diambil bagian puncaknya paling tinggi baik yang positif maupun yang negative. Slicer akan mendeteksi perubahan atas atau bawah pusat suatu tegangan sinyal, yaitu menghasilkan gelombang persegi yang mewakili sinyal data mirip dengan yang dikirimkan. Dari skema deteksi dapat dijelaskan bahwa setiap drift frekuensi di pemancar atau penerima akan mengakibatkan distorsi yang tertahankan dari sinyal data. Output slicer akan melalui Q5(transistor), yang berfungsi sebagai switch dengan tegangan 0-5 VDC dan masuk ke TNC. Komponen DC dari sinyal ini adalah secara terbalik sebanding pada frekuensi yang diterima dan disaring oleh kapasitor filter terhubung, low pass filter. Sinyal analog output pada filter demodulator akhir harus diubah dalam sinyal kembar.
41
Gambar 6. Realisasi demodulator
IV.
PENGUJIAN ALAT
Pengujian ini bertujuan untuk melihat apakah sinyal FSK yang dihasilkan sudah sesuai atau belum. Pada dasarnya pengujian ini dilakukan dua tahap. Pertama dilakukan secara simulasi. Simulasi dilakukan untuk melihat output dari blok-blok rangkaian (gambar 4) yang sudah dirancang. Sinyal yang diterima demodulator berupa sinyal analog. Pengujian pertama dilakukan pada rangkaian low pass filter yang terdiri dari sebuah komparator. Test point pertama yaitu pada pin 14. Hasilnya berupa sinyal sinus dengan frekuensi yang mirip dengan frekuensi yang dikirim, dapat dilihat pada gambar 6. Untuk test point kedua yaitu pada E5 (output dari slicer). Hasilnya berupa sinyal kotak yang mirip dengan sinyal kotak sebelum dikirimkan, dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 4. Blok diagram MO 96
Gambar 7. Input setelah difilter
Gambar 5. Skematik demodulator MO 96
Gambar 8. output demodulator
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. V.
KESIMPULAN
Dari hasil simulasi demodulator dengan rangkaian MO 96 mampu mengirimkan data dengan baik dengan kecepatan data maksimal 9600 baud, input masukan bisa dalam level tegangan TTL dan output RS232 dengan penambahan rangkaian perubah level tegangan. Untuk hasil realisasi masih dalam tahap pengujian. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2] [3] [4]
Charles Thompson Adam, M. Hussain Zahir, O‟Shea Peter “A Single-Bit Digital Non-Coherent Baseband BFSK Demodulator”, IEEE Region 10 Conference 2004, 21-24 Nov.2004,Vol.1,pp.515-518. Sklar, Bernard, “Digital Communications : Fundamentals and Aplications,” 2nd edition, Prentice Hall International Inc, 2001. Peebles, P.Z, “Digital Communication Systems”, Prentice – Hall, USA, 1987. Mc Dermott, T., “Wireless Digital Communication Design and Theory”, Tucson Amateur Packet Radio Corporation, USA, 1998.
42
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
43
Desain Antena Helix Single-band Pada Frekuensi S-band (2.4 GHz) untuk Sistem Downlink pada Perangkat Ground Station Satelit Nano [1]
, Yuga Hastungkara[1], Eko Setijadi[2] [1]M. Hasan Mahmudy dan Yuga Hastungkara adalah mahasiswa bidang studi telekomunikasi multimedia, Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Indonesia (e-mail: mahmudyhasan@ yahoo.com). [2]Eko Setijadi adalah dosen pengajar di bidang studi telekomunikasi multimedia, Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Indonesia (e-mail:
[email protected]). M.Hasan Mahmudy
Abstrak— Paper ini menjelaskan mengenai desain antena Helix untuk perangkat ground station satelit nano. Antena ini merupakan antena single-band yang bekerja pada frekuensi Sband 2.4 GHz untuk mendukung perencanaan satelit S-Band yang digunakan untuk komunikasi real-time video. Oleh karena itu diperlukan antena penerima di ground segment untuk menerima sinyal berupa gelombang elektromagnetik yang dikirim dari satelit. Antena yang didesain berupa antena helix moda aksial dengan polarisasi sirkuler untuk downlink pada frekuensi 2.4 GHz Dari hasil desain antena helix memiliki gain 10dB,Circumference 12,5cm, Pitch Angle 12.50,diameter antena 4cm serta Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) 1.42. Kata Kunci—Antena Helix, Frekuensi S-Band, Moda aksial, Polarisasi sirkuler.
kecil juga memiliki gain tinggi hingga mencapai 15 dB sehingga diharapkan dapat menerima daya yang ditransmisikan satelit yang sangat rendah untuk mendapatkan kualitas sinyal yang diinginkan.
II. METODE A. Antena Helix Antena helix terdiri dari konduktor tunggal atau multi konduktor terbuka yang berbentuk Helix. Antena Helix merupakan antena yang mempunyai bentuk tiga dimensi. Bentuk dari antena Helix menyerupai per atau pegas dan diameter lilitan serta jarak antar lilitan berukuran tertentu. TABEL 1 PARAMETER ANTENA HELIX
I.
PENDAHULUAN
T
EKNOLOGI satelit merupakan salah satu produk kemajuan teknologi yang merupakan solusi bagi banyak permasalahan. Masalah komunikasi dan penyiaran yang mencakup wilayah geografis yang luas dan topografi yang menyulitkan bagi sistem terrestrial, masalah navigasi dan manajemen armada milik militer ataupun penelitian dapat menggunakan teknologi satelit untuk mengatasinya. Untuk mendukung pengembangan satelit nano di Indonesia yang dikembangakan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, dimana kedepannya akan direncanakan pembuatan satelit S-Band yang bekerja pada frekuensi 2.4 GHz untuk komunikasi real-time video, diperlukan antena penerima di ground segment untuk menerima siyal dari satelit. Pada paper ini akan dijelaskan mengenai desain antena helik moda aksial untuk downlink pada frekuensi 2.4 GHz karena moda ini menyediakan gain yang tinggi hingga 15 dB dan rasio bandwith yang tinggi berkisar 1.78:1 dengan pola radiasi sirkular. Antena helix dipilih karena selain dimensinya yang
Simbol D C S α L n A d
Keterangan diameter antena circumference (keliling) dari helix jarak antara lilitan sudut jepit (pitch angle) panjang satu lilitan jumlah lilitan panjang axial diameter konduktor Helix
Rumus
Satuan
-
cm
D
cm
-
cm
arctan S/D
derajat
nS
cm
λ/
cm
cm
Antena Helix mempunyai bentuk geometri tiga dimensi seperti pada Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bentuk dasar dari sebuah antena Helix. Diameter dan keliling (circumference) digunakan sebagai parameter dalam menentukan frekuensi kerja dari helix, biasanya dinyatakan pula dalam panjang gelombang Dλ dan Cλ. Panjang axial dan pitch angle menentukan gain dari Helix.Untuk mencari diameter antena Helix dapat
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. menggunakan persamaan : (1)
44
Impedansi antena Helix dapat diatur sesuai dengan impedansi yang diinginkan dengan cara memodifikasi ¼ lilitan terakhir. Beamwidth antena helix dapat dihitung dengan persamaan : (4) Sementara itu,beamwidth between first null dihitung berdasar persamaan : (5)
(a)
(b)
III. ANALISA DAN SIMULASI
Gbr 1.(a) Bentuk dasar antena helix (b) Hubungan antara D,S,C,L
B. Mode Radiasi Antena Helix Antena Helix dapat dioperasikan dalam dua mode, yaitu mode transmisi (transmission mode) dan mode radiasi (radiation mode). Mode transmisi digunakan untuk menjelaskan bagaimana gelombang elektromagnetik dioperasikan sepanjang Helix dapat diasumsikan sebagai saluran transmisi tak hingga atau waveguide, dimana beberapa mode transmisi yang berbeda dapat dioperasikan. Sedangkan mode radiasi digunakan untuk mengetahui bentuk dari medan jauh (far field pattern) dari sebuah Helix. Pada mode radiasi dikenal dua macam mode, yaitu mode axial dan mode normal. C. Operasi Antena Helix pada Mode Axial Mode operasi axial terjadi jika circumference (C) dari Helix bernilai kurang lebih satu kali panjang gelombang pada frekuensi tengah dari frekuensi kerjanya (0,75λ
A. Analisa Perhitungan yang dilakukan adalah untuk mendapatkan diameter helix yaitu dengan rumus : (6). Dimana (7)
(8)
A. Hasil Simulasi Dari hasil perhitungan, kemudian disimulasikan mengenai pembuatan antena helix tersebut dengan besar diameter antena adalah 3.9754 cm, jarak atau space antara lilitan adalah 2.7701 cm, jumlah lilitan adalah sebanyak empat, dengan diameter kawat sebesar 0.7049 cm. Antena ini disimulasikan seperti pada gambar 2 dengan return loss dan pola radiasi yang terdapat pada gambar 3.
(2) Sedangkan impedansi dengan model axial dapat dihitung dengan persamaan : (3)
Gbr 2. Desain antena helix axial hasil simulasi
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
45
(a)
(e) Gbr.3 (a) Return loss (b) VSWR (c) Input impedance (d) Gain RHCP (e) Gain LHCP pada antena helix axial 2,4 GHz
IV. KESIMPULAN
(b)
Antena helix moda aksial memiliki polarisasi sirkular,dapat digunakan secara optimal dalam pengiriman data video real time dari satelit. Dari hasil desain antena helix memiliki gain 10dB, Circumference 12,5cm, Pitch Angle 12.50,diameter antena 4cm serta Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) 1.42.Hasil diatas sudah cukup baik untuk digunakan sebagai antena penerima sinyal video real timevdari satelit Iinusat-02 dari satelit nano.
V. DAFTAR PUSTAKA [1] Balanis, constantine, Antena Theory: Analisys and desaign, New York: Wiley (1982). [2] W. L. Stutzman And G. A. Thiele, Antena Theory and Design, 2nd Ed.(1998). [3] R. S. Elliott, Antenna Theory and Design (Englewood cliffs, NJ: preticeHall, 1981). [4] M. W. Maxwell, Reflection-Transmission Lines and antennas (Nawington:ARRL, 1990). (c)
(d)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
46
Perancangan dan Pembuatan System RF Downlink Portable Ground Station 436.5 Mhz Untuk Satelit Iinusat-01 ( Low Noise Amplifier dan Phase Locked Loop UHF ) R. Andami Nafa1), G. Hendrantoro2), Endroyono3) Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Surabaya 60111 Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak - Perkembangan teknologi satelit khususnya di Indonesia mulai ramai diperbincangkan. Hal ini dimulainya dengan proyek Satelit Mahasiswa yang dikenal dengan Iinusat (Indonesian Inter University Satellite) yang tergabung dalam sebuah konsorsium INSPIRE (Indonesian nano satellite Platform Initiative for research and education). Salah satu aspek dalam teknologi satelit ini adalah system Ground Station, tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan membuat sistem receiver sinyal radio frekuensi dari satelit ke ground station. LNA dan PLL UHF adalah bagian dari system receiver, LNA yang didisain harus mencapai gain yang tinggi serta noise figure (Nf) yang rendah. PLL yang didisain juga harus bisa bekerja pada frekuensi downlink 436,5 Mhz. PLL ini terdiri dari subsystem yaitu Mixer downfrekuensi yang merubah frekuensi RF ke Intermediate frekuensi, Local Oscilator dan IF Amplifier. Kata Kunci – LNA, Local Oscilator, Mixer frekuensi dan UHF I.
PENDAHULUAN
D
alam upaya pengembangan system stasiun bumi pada proyek satelit Iinusat (Indonesia Inter University Satellite -1) dimana diperlukan sebuah perangkat portable. Didalam perangkat portable ini terdiri dari modul-modul salah satunya adalahRF Downlink. Sistem kerja dari RF Downlink adalah sinyal yang diterima dari satelit pada frekuensi 435Mhz yang daya sinyalnya sangat lemah akan dikuatkan oleh LNA, setelah itu akan di downconverter menjadi intermediate frekuensi. Tujuan penelitian ini untuk mendesain RF downlink transceiver yang bisa terkoneksi dengan modul-modul dari stasiun bumi portable lainnya. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran karakteristik RF, perancangan dan pembuatan modul serta pengujian peralatan. Hasil yang diharapkan berupa komponen modul RF yang terintegrasi dalam stasiun bumi portable. II.
ground station sangat jauh, maka SNR (signal to noise ratio) yaitu perbandingan daya sinyal per daya noise akan kecil. Artinya daya noise akibat rugi-rugi transmisi akan besar. Noise Faktor dalam sistem penerimaan berdasarkan formula friss [1], dengan persamaan :
𝐹 = 𝐹1 +
𝐹2 −1 𝐺𝐴 1
−𝐺
𝐹3 −1 𝐴 1 ×𝐺𝐴2
–𝐺
𝐹4 −1 𝐴 1 ×𝐺𝐴 2 × 𝐺𝐴 3
Dimana 𝐺𝐴𝑖 , 𝑖 = 1,2,3, … adalah parameter setiap stage dalam sistem receiver ground station. Dan Noise figure dalam system (NF) dalam direpresentasikan dalam persamaan dibawah ini, (dalam decibel) : 𝑁𝐹 = 10 log 𝐹 𝑑𝐵
2
Dari persamaan pertama menyatakan tahap pertama dalam sistem receiver akan menjadi kontibusi yang signifikan untuk noise figure keseluruhan sistem. Itu bearti LNA harus didesain untuk noise figure yang minimum dengan gain yang tinggi sehingga daya sinyal dimaksimalkan sambil menekan terjadinya penguatan daya noise. Salah satu parameter yang paling penting dalam design LNA yang dapat mempengaruhi kinerja dari LNA adalah 1dB compression point (P1dB), third order intercept point (IP3) dan dynamic range (DR). Output 1 dB Compression Point ditunjukan sebagai OP1dB dan didefenisikan level daya keluar dengan karakteristik non linear dan menguragi power daya sebanyak 1 dB dari sinyal yang dayanya kecil [3]. Kinerja dari OP1dB menggambarkan pendekatan output daya maksimum yang dicapai dari LNA dibawah kondisi operasi linear.
KRITERIA DESAIN
LOW NOISE AMPLIFIER
Ada dua tahap yang harus dikerjakan dalam penelitian ini adalah tahap LNA (Low Noise Amplifier) dan frekuensi downconverter menggunakan teknik dari PLL (Phase Locked Loop). Gambaran umum dari LNA yang akan didisain memiliki dimensi yang kecil, dengan kualitas yang baik. Filter yang digunakan adalah bandpass filter sehingga dapat membedakan sinyal yang dipancarkan Pt yang besar dengan sinyal yang diterima dengan Pr yang sangat kecil. Ada dua parameter kinerja dari LNA yaitu Power Gain (G) dan noise figure (Nf). Karena jarak antara satelit dengan
− …. 1
Gambar 1 Ilustrasi DR, IIP3, P1dB [2]
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Output third order intercept point (OPIP3) didefinisikan hipotesis output power level dimana komponen urutan ketiga akan mencapai tingkat kekuatan yang sama sebagai komponen dasar (sepeti yang ditunjukan gambar 3). Dynamic Range (DR) didefenisikan sebagai area operasi linear dari amplifier dimana sebuah konstanta power gain dibatasi oleh sinyal level OPMDS di noise floor dan level sinyal OP1dB.. LNA akan ditentukan oleh beberapa parameter yaitu, LNA itu harus konsumsi daya yang rendah, transistor yang dipakai haruslah Unconditional Stabile, Good Input dan output return loss, NF yang rendah, Gain yang tinggi, OP 1dB dan OP1P3 yang tinggi. PHASE LOCKED SYNTHESIZER
LOOP
(PLL)
FREQUENCY
47
Loop filter harus mampu menahan goyangan voltage tersebut sehingga perubahan voltage yang masuk ke VCO menjadi halus. Kristal referensi ditentukan sesuai dengan frekuensi yang diinginkan. III.
LNA DESIGN
Untuk perancangan LNA pada ground station ini menggunaka komponen RF2361. IC RF2361 ini termasuk dalam GaAS HBT (Heterojunction Bipolar Transistors) yang dapat bekerja pada frekuensi tinggi sampai pada orde Giga (150 Mhz – 2400 Mhz). RF2361 yang memiliki noise yang rendah dan Intercept Point (IP3) yang tinggi. Alasan digunakan IC2361 ini adalah IC ini mampu memberikan gain yang stabil pada frekuensi yang diinginkan. Kestabilan ini tergantung dengan perancangan tegangan Vpd yang diberikan.
Prinsip phase lock loop adalah suatu control system yang terdiri dari phase detector, loop filter dan voltage oscillator (VCO). Peran utamadalam PLL dipegang oleh phase detector yang bertugas membandingkan phase input sinyal dari VCO dengan suatu sinyal referensi dan sebagai outputnya adalah beda phase dengan keduanya.
RF2361 ini terdiri dari 5 pin (Gambar 4). Perancangan kali ini difokuskan ke pin VPD. Pin ini digunakan untuk mengontrol bias arus. Diperlukan tambahan resistor (R1) yang digunakan menset bias arus untuk setiap tegangan VPD. Tegangan VPD yang masuk haruslah 3 Volt dengan arus 200 mA. Berikut criteria desain yang harus dipenuhi dalam perancangan LNA (Tabel 2).
Adanya beda phase akan memberikan perbedaan voltage yang selanjutnya, perbedaan voltage tersebut difilter oleh loop filter dan diapplied ke VCO. Kemudian control voltage pada VCO mengubah frekuensi kearah, memperkecil perbedaan sinyal referensi dengan sinyal feedback dari VCO. Bila loop menjadi terkunci ( locked ), maka control voltage berada pada posisi dimana frekuensi rata-rata sinyal feedback tepat sama dengan frekuensi referensi.
Untuk mencapai kondisi diatas diperlukan 2 buah IC RF2361 yang dipasang seri sehingga dapat memberikan daya makasimalnya. Perancangan dilakukan dengan mempelajari datasheet RF2361 dan membuat konsep disain dengan software.
Keberhasilan desigan suatu PLL sebagian besar ditentukan oleh disain loop filter yang baik. Hal ini disebabkan karena pada saat perbedaan phase, phase detector akan mengeluarkan perbedaan voltage yang berubah-rubah naik turun.
Tegangan VPD harus didisesuaikan dengan datasheet RF2361 ini, maka untuk menghindari overload tegangan yang masuk ke IC, digunakanlah regulator tegangan AMS1117 yang mempunyai input 5V dan output 3 V.
Gambar 4. Struktur dari RF2361
Gambar 2. Konsep Dasar PLL
Parameter Supply Voltage
Rating +0.5 – 8.0
Unit Volt DC
Power Down (VPD) Input RF Level
VDC
+10
dBm
Temperatur Operasi
-40 – 85
°C
Gain Min
19.5
dB
NF
1,4
dB
Input IP3
6.5
dBm
Range Frekuensi
150 – 2400
MHz
Voltage
Tabel 1. Karakteristik RF2361 Gambar 3. Perbandingan Tegangan VCO dengan Frekuensi
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
48
Tabel 2. Critical Design LNA Parameter
Nilai
Gain Minimal
22 dB
Frekuensi Operasi
436,5 Mhz
Noise Figure maksimal
1.5 dB
Potensial Supply
5 Vdc
OP1dB
>0dBm
OPIP3
10 dBm
Asumsikan daya yang diterima oleh antenna stasiun bumi sangat lah kecil, dapat dilihat spectrum frekuensi dengan di frekuensi 436.5 Mhz. Dengan daya yang kecil tersebut dan noise yang sangat besar, peran dari LNA sangatlah dibutuhkan. LNA yang di desain ini telah dilengkapi dua filter BPF menggunakan inductor 56 nH, kapasitor 10 nF dan 220 pF. Filter BPF merupakan gabungan dari filter LPF dan HPF karena frekuensi yang diinginkan hanyalah satu yaitu 436,5 Mhz.
Gambar 7. PCB On Board LNA
Untuk resonansi parelel : 𝐶𝑛
𝐶= 𝐿=
2𝜋𝑅𝐵
3
𝑅𝐵 2𝜋𝑓02 𝐿𝑛
4
Gambar 8. Camera Ready LNA IV.
Untuk resonansi seri :
𝐶=
𝐵 2𝜋𝑓02 𝐶𝑛 𝑅
𝐿=
𝑅𝐿𝑛 2𝜋𝐵
5
6
Dimana : R = Impedansi Beban B = Bandwidth 3-dB 𝑓0 = Frekuensi center dalam design filter 𝐿𝑛 = Nilai normalisasi Induktor element bandpass 𝐶𝑛 =Nilai normalisasi kapasitor element bandpass Komponen yang digunakan untuk LNA ini dipilih dengan criteria dimensi yang kecil, Bill of materials adalah IC RF2361, Inductor SMD Coilcraft, Resistor SMD 1 KΩ, Kapasistor 220pF, 10uF, 100pF dan regulator tegangan .
PLL DESIGN
Phase Locked Loop didisain untuk receiver yang bekerja pada frekuensi 436.5 Mhz (blok diagram PLL Receiver dapat dilihat digambar 8). Teknik terlebih dahulu ditentukan Kristal referensi yang digunakan, hal demikian digunakan untuk menjadi frekuensi referensi yang akan dimultiplier oleh crystal oscillator multiplifer. Crystal Filter yang digunakan untuk frekuensi IF adalah 21,345 Mhz dengan ceramic filter 455 Khz. Maka Intermediate Frequency untuk system receiver adalah 21,345 Mhz + 0.455 Mhz = 21,800 Mhz. Maka didapatkan frekuensi VCO (Voltage Control Oscilator) dengan persamaan 𝐹𝑉𝐶𝑂 = 𝐹𝑑𝑜𝑤𝑛𝑙𝑖𝑛𝑘 − 𝐹𝐼𝐹
Gambar 5. Referensi Design LNA
Gambar 6. Schematic Komponen LNA
Gambar 9. Blok Diagram PLL Receiver UHF
7
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Frekuensi VCO adalah 414.700 Mhz. Programmble Divider menggunakan IC TC9122 yang mempunyai maksimal frekuensi internal adalah 30 MHz. Programmble Divider bertugas membagi frekuensi feedback dari VCO dengan faktor pembagi sesuai dengan program yang di inputkan, hasil pembagian tersebut diumpankan ke phase detector dan dibandingkan phasenya dengan sinyal referensi. Tapi yang diatur frekuensi TC9122 adalah 16.500 Mhz dengan pertimbangan, ketika frekuensi crystal referensi yang dimultiplier akan mendapatkan frekuensi yang cocok dengan frekuensi IC PLL. 𝐹𝑃𝐿𝐿 = 𝐹𝑉𝐶𝑂 − (𝐹𝐶𝑟𝑦𝑠𝑡𝑎𝑙 × 𝑛)
49
Signal Generator
Low Noise Amplifier
Spectrum Analyzer Pr = -2 dB
PLL Syste m
Gambar 11. Diagram pengujian LNA
8
Dimana n adalah jumlah multiplier. Dipilih frekuensi Kristal yang paling dekat dengan frekuensi PLL. Frekuensi Kristal didapatkan 44.215 Mhz dengan multiplier 9 kali, maka : 𝐹𝑃𝐿𝐿 = 414.700 − 44.215 × 9 Pemograman TC9122 dilakukan Binary Coded Decimal (BCD) adalah bilangan decimal yang setiap angkanya diwakili oleh 4 digit binary A1A2A3A4 B1B2B3B4 C1C2C3C4 D1D2. Pemasukan angka satuan dilakukan dengan manual sedangkan angka ribuan (MHz) dilakukan secara tetap artinya menghubungkan langsung pin-pin 15 dengan Vdd. Maka untuk crystal oscillator multiplier menghasilkan frekuensi 398,2 Mhz yang akan dimixer dengan frekuensi VCO yang dihasilkan oleh Oscilator Divider yang menggunakan IC5082L yang disambungkan oleh Xtal 5.12 Mhz. Sebagai phase detector menggunakan IC jenis TC5081yang bertugas membandingkan phase sinyal feedback yang diperoleh dari VCO melalui programmable divider dengan referensi sinyal. Selanjutnya phase detector akan mengatur control voltage melalui loop filter sehingga VCO menyesuaikan frekuensinya sehingga phase-nya sama dengan phase referensi. Salah satu yang penting adalah mixer frekuensi downconverter. Frekuensi yang telah terkunci dari merupakan output dari buffer Amplifier yang akan menjadi input untuk mixer frekuensi. Mixer ini menggunakan MOSFET Dual Gate sebagai komponen utama yang akan dilengkapi Crystal Filter 21,354 Mhz (Gambar 8). IC IF digunakan adalah MC3357 yang akan dihubungkan dengan keramik filter 455 Khz. Tujuannya adalah supaya bisa dihubungkan dengan Audio Amplifier. Dalam Design PLL ini akan dibuat switch untuk koneksi Audio dan Modem, Spectrum Analyzer digunakan untuk menganalisa gain yang didapatkan dengan membandingkan daya sinyal input.
Gambar 10. Perancangan Mixer menggunakan MOSFET Dual Gate 2SK76
Gambar 12 a). Signal tanpa LNA b). Signal LNA Parameter
Nilai
Gain 33,36 dB Kebutuhan Supply 5 Vdc Dimensi 8,15 x 3,4 cm NF 1,5 dB Frekuensi 400 – 500 Mhz Tabel 3. Performance LNA V.
PENGUJIAN
Untuk menganalisa unjuk kerja dari Low Noise Amplifier (LNA), maka dilakukan pengujian dengan dilakukan menggunkan signal generator dengan level yang sangat lemah. Asumsikan sinyal tersebut merupakan sinyal ditangkap oleh antenna stasiun bumi. Pengujian kali ini tidak mengikutsertakan noise karena tidak adanya peralatan yang membangkitkan noise dalam sinyal. Asumsikan daya sinyal yang diterima diantena adalah 35,95 dBm, maka sebelum diproses oleh PLL, akan diproses oleh LNA. LNA bekerja pada frekuensi 436.5 Mhz, daya sinyal yang diterima oleh antenna sangat lemah, sehingga sangat sulit membedakan dengan noise. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap informasi yang didapatkan dengan kondisi SNR yang sangat kecil. Daya input adalah -35.95 dBm sedangkan daya output dari LNA adalah -2.59 dBm maka minimum Gain adalah 33.36 dB. Data hasil pengujian dapat dilihat di table 3. Untuk PLL menggunakan sebuah pemancar lainnya seperti transceiver ICOM IC9N VHF/UHF dengan melakukan uji komunikasi berupa voice repeater.
Gambar 13. Camera Ready PLL Iinusat
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Tabel 4. Performance PLL Parameter Nilai hasil Uji Frekuensi Tengah 436,5 Mhz Frekuensi VCO 414.700 Mhz Bandwidth 20 Mhz Frekuensi IF 21,345 Mhz Kebutuhan Tegangan 12Vdc / 2 A Dimensi 15 x 12.7 cm
Power Amplifier
21,345 akan lebih mudah dikonversi ke 455 Khz dengan IC MC3357. VII.
REFERENSI
[1] Te-Hsin. Huang., Ertan Zencir., Numan S.Dogan.,Ercument. “A 22-mW 435 Mhz Differential CMOS High-Gain LNA For Subsampling Receiver”.Circuit and System 2002. ISCAS. IEEE International Symposium. Hal IV-29 – IV-32 Vol.4 [2] Ertan Zencir.,Nurman S Dogan.,Ercument Arvas.” A 10-mW 435 Mhz Differential LNA for low IF Receiver for space application”. Circuit and System 2002. ISCAS. IEEE International Symposium. Hal IV-23 – IV-37. Vol 4 [3] Ertan Zencir.,Nurman S Dogan.,Ercument Arvas. “A Low power 435 Mhz SOI CMOS LNA and Mixer”. Microwave Symposium Digest, 2003, IEEE MTT-S International. Hal 555 – 558 Vol 1
PLL VHF LNA
50
PLL UHF
[4] Bowick Chris.2008.”RF Circuit Design 2rd Edition”.USA; Newmes [5] Team ARRL. 2011. “ The ARRL Handbook for radio communication, the comprehensive RF Engineering References” [6] Datasheet RF2361 for Radio Communication
PAD & MODEM
Gambar 14. Konstruksi Design Portabel Ground Station Untuk RF downlink berupa LNA dan PLL UHF untuk downconverter dapat berjalan dengan baik, suara yang dihasilkan dapat didengar dengan jelas tepat pada frekuensi yang diinginkan. VI.
KESIMPULAN
Low Noise Amplifier di disain menggunakan IC RF2361 sebagai amplifier yang dipasang seri. RF2361 ini dapat bekerja pada frekuensi UHF dan konsumsi tegangan yang sedikit. Gain yang diperoleh dari LNA ini adalah 33.66 dB pada frekuensi 436,5 Mhz dengan Noise Figure minimal adalah 1.7 dB. Menurut hasil perhitungan link budget dengan gain 33,66 dB dan asumsi sensitivitas penerima adalah -90 dBm, maka sinyal tersebut bisa diproses oleh PLL. Untuk Sistem downconverter menggunakan teknik phase locked loop karena frekuensi yang keluar akan tepat sehingga tidak adanya pergeseran frekuensi. Hal tersebut sangat dibutuhkan untuk membuat sebuah penerima yang optimal. Teknik desain PLL tersebut didasari atas konsep penerima radio, menggunakan TC9122 sebagai programmable divider dan TC5081, TC5082 sebagai phase detector. Keberhasilan desigan suatu PLL sebagian besar ditentukan oleh disain loop filter yang baik. Hal ini disebabkan karena pada saat perbedaan phase, phase detector akan mengeluarkan perbedaan voltage yang berubah-rubah naik turun. Pemilihan crystal oscillator akan menjadi faktor penting dalam mendapat frekuensi VCO yang diinginkan. Intermediate Frequency yang digunakan adalah 21,345 Mhz dan 455 Khz, karena untuk frekuensi
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
51
Perancangan dan Pembuatan Antena UHF 436.5 MHz Berpolarisasi Sirkular Untuk Downlink Stasiun Bumi Satelit IiNUSAT-01 R. Sasmita Darwis, E. Setijadi, G. Hendrantoro Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak - IiNUSAT-1 (Indonesia Inter University Satellite-1) merupakan proyek satelit pertama antar universitas yang ada di indonesia pada awal tahun 2010 sampai akhir 2012. Dalam rangka partisipasi ITS pada pembangunan satelit IiNUSAT-1 pada bagian stasiun bumi yang terdiri dari stasiun bumi tetap dan stasiun bumi bergerak. Pada penelitian portable ground station salah satu sub-sistem yang akan di bangun adalah antena. Desain antena pada satelit tidak mungkin berpolarisasi sirkular, karena ukuran satelit nano IiNUSAT-1 yang kecil sehingga digunakan antena Linier Cross Polar. Untuk dapat membangun komunikasi antara portable ground station dan satelit, pada ground stationakan dibangun antena yang berpolarisasi sirkular. Untuk membuat antena pada portable ground station dibutuhkan desain dengan ukuran kecil. Pada penelitian ini akan dilakukan perancangan dan pembuatan antena UHF 436.5 MHz berpolarisasi sirkular untuk downlink stasiun bumi satelit IiNUSAT-01. Tahap yang harus dilakukan adalah pembuatan disain berdasarkan parameter impedansi antena, gain, vswr, current distribution, S11(return loss), near dan far field.
pada satelit menggunakan antena linier cross dengan polarisari polar. Satelit ini bekerja pada frekuensi 435-438 MHz pada downlink[1]. Untuk menjawab permasalahan di atas, maka pada pembuatan sub-system antena portable ground segment yang cocok adalah antena mikrostrip pada frekuensi 436.5MHz terpolarisasi sirkular. Perancangan antena mikrotsrip dengan karakteristik polarisasi sirkular dirancang untuk mendukung komunikasi satelit bergerak [2], yang sangat cocok diaplikasikan pada portable ground segment. II. LANDASAN TEORI Pada antena mikrostrip ada beberapa macam patch yang dapat diaplikasikan. Pada penelitian ini konfigurasi digunakan adalah circular patch ditunjukkan seperti pada Gambar 1.
Kata Kunci— Antena Mikrostrip UHF, Polarisasi Sirkular, Portable Satellite Ground Station.
I. PENDAHULUAN
Gambar 1. Geometri antena mikrostrip circular patch
IiNUSAT-1 sebagai cikal bakal satelit pertama yang akan dibangun oleh mahasiswa Indonesia dengan kerjasama antar 5 perguruan tinggi dan 1 badan nasional yaitu UI, ITB, UGM, ITS, PENS ITS dan LAPAN. Pada IiNUSAT-1, Institut Teknologi Sepuluh Nopember berpartisipasi pada bidang ground segment. Ground segment terbagi menjadi dua bagian yaitu fix ground segment dan portable ground segment. Penelitian mahasiswa ITS saat ini fokus pada pembangunan portable ground segment.Antena merupakan salah satu subsystem penting pada portable ground segment, sehingga pada portable ground segment diharapakan menghasilkan antena yang kecil.Satelit IiNUSAT-1 merupakan satelit NANO yang memiliki dimensi kecil sehingga pada satelit tidak memungkinkan pembuatan antena dengan polarisasi sirkular yang memiliki dimensi lebih besar dari dimensi satelit dimana
2.1 Design [3] Berdasarkan perumusan model ruang, prosedur perancangan direncanakan berperan penting untuk perancangan yang berguna bagi antena mikrostrip sirkular untuk mode dominan TM110. Prosedur mengansumsikan bahwa informasi yang ditetapkan termasuk konstanta dielektrik substrat (ɛr), frekuensi resonansi (fr) dan ketebalan substrat h. Prosedurnya adalah sebagai berikut : Menetapkan :ɛr, fr(dalam Hz), dan h (dalam cm). Menentukan :jari-jari sebenarnya a dari bidang. Prosedur Merancang:Urutan pertama untuk aadalah untuk mencari aedan untuk a dalam fungsi logaritma. Mencari ini untuk menunjuk kepada :
I
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. a=
F ì ùü 2h é æ p F ö í1+ ÷ +1.7726úý êln ç ûþ î per F ë è 2h ø
1
52
( pers. 1 ) 2
Dimana
8.791´10 9 fr er Ingat bahwa h pada (pers 7) harus dalam cm. F=
( pers. 2 )
2.2 Sistem Feeding[4] Ada banyak tipe dari antena cetak berpolarisasi circular, secara luas dingunakan sebagai radiator yang efisien dalam banyak sistem komunikasi. Antena mikrostrip adalah salah satu radiator yang paling efektif untuk polaradiasi circular/lingkaran. Antena mikrostrip berpolarisasi circular dikategorikan menjadi dua tipe berdasarkan sistem feeding nya , yang pertama adalah dual-feed CP antena dengan polarizer eksternal seperti 3 dB hibrid, dan yang lain adalah singly-fed tanpa polarizer eksternal. Klasifikasi antena berdasarkan jumlah titik feeding diperlukan untuk eksitasi circularpatch.
Gambar 3. Dimensi antena mikrostrip UHF 436.5 MHz
Dimensi antena microstrip 436.5 MHz berdsarkan Gambar 3 di atas di jabarkan pada table 1 dibawah ini : Tabel 1. Dimensi Antena Mikrostrip UHF 436.5 MHZ Simbol Ukuran (cm)
(a) Dual fed patch
(b) Singly fed patch
Gambar 2. Dua tipe sistem feeding pada antena mikrostrip polarisasi circular III. PERANCANGAN DAN SIMULASI Langkah awal dalam perancangan antena mikrostrip UHF 436.5 MHz polarisasi sirkular adalah menentukan karakteristik awal yaitu return loss ≤-10dB, VSWR <2, polarisasi sirkular,substrat yang digunakan adalah FR4 dengan ketebalah h=1.6mm dan permitifitas relativeεr=4.4.Makajarijaricircularpatch antena menggunakan pers.1 dihasilkan 9.53cm. Untuk mendapatkan panjang sisi ground plane digunakan rumus Wg 40h D dimana D adalah diameter circular patch dan Wg adalah panjang sisi ground plane, maka dihasilkan 25.46cm. Untuk menghasilkan polarisasi dari antena adalah sirkular, maka ditambahkan 2 slot persegi pada sisi patch circular yang terpisahkan 180o yang terlihat pada Gambar 2b untuk patch circular. Untuk peletakan coaxial feed diletakan 45o terhadap salah satu slot, jika peletakan coaxial feed disebelah kanan arah z disebelah kana maka polarisasi yang akan dihasilkan adalah RHCP dan disebelah kiri LHCP. Setelah dilakukan simulasi untuk antena mikrostrip UHF 436.5 MHz dan dilakukan optimasi pada simulasi dihasilkan dimensi antena UHF 436.5 MHZ sebagai berikut :
Patch Radius Feed X Feed Y Slot_X Slot_Y Substrat_X Substrat_Y Subtrat_Height
8.2 5 5 3.3 3.3 24 24 0.16
IV. ANALISIS DATA SIMULASI DAN PENGUKURAN Ada beberapa parameter unjuk kerja dari antena mikrostrip yang akan dianalisis dan dibahas untuk simulasi antena, yaitu: a. Return Loss (S11) b. Bandwidth c. VSWR d. Pola Radiasi Sedangkan parameter yang akan dianalisis dan akan di bahas untuk hasil pengukuran antena mikrostrip adalah : a. Return Loss (S11) b. Bandwitdh c. VSWR Dari data hasil simulasi dan data hasil pengukuran akan dilakukan perbandingan parameter-parameter di atas. Simulasi antena mikrostrip dilakukan dengan menggunakan software Ansoft HFSS 11 sedangkan pengukuran awal antena dilakukan dengan menggunakan Bird Antena Tester 400. 4.1 Hasil Simulasi Antena Mikrostrip UHF 436.5 MHz Nilai retun loss merupakan parameter penting dalam mendesain suatu antena, antena baru dapat dibuat harus memenuhi nilai retun loss dibawah -10dB. Nilai return loss dari data simulasi dinyatakan sebagai S11. Berikut data hasil simulari return loss antena mikrostrip pada frekuensi 436.5 MHz.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Gambar 4. Grafik Hasil Simulasi Nilai Return Loss Pada Frekuensi 436.5 MHz Dari Gambar 4 di atas, dapat dilihat bahwa simulasi dilakukan pada rentang frekuensi 390 MHz sampai dengan 440 MHz pada sumbu x dan nilai return loss dihasilkan dari rentang 0dB sampai dengan -35dB sebagai sumbu y. Maka dari data hasil simulasi, return loss antena mikrostrip pada frekuensi 436.5 MHz yaitu -22.47dB. Untuk menentukan bandwidth dari antena mikrostrip pada frekuensi 436.5 MHz berdasarkan simulasi dapat dihitung dari nilai return loss dibawah -10dB. Sehingga bandwidth dapat dihitung menggunakan rumus [5]: 𝐵𝑊 =
𝐹2 − 𝐹1 𝑥100% 𝐹𝑐
53
Gambar 5. Grafik Hasil Simulasi Nilai VSWR Antena Mikrostrip 436.5 MHz Berdasarkan data hasil simulasi diperolah nilai VSWR untuk antena mikrostrip pada frekuensi 436.5 MHz adalah 1.16:1. Nilai VSWR 1.16 berdasarkan simulasi ini menunjukkan lebih kecil dari 2 sehingga sesuai dengan kriteria disain yang diinginkan. Pola Radiasi menggambarkan kekuatan relatif medan yang dipancarkan di berbagai arah dari antena, pada jarak yang konstan. Pola radiasi berdasarkan data hasil simulasi ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
( pers. 3 )
F1 merupan frekuensi terendah pada nilai return loss sama dengan -10dB, F2 merupan frekuensi tertinggi pada nilai return loss sama dengan -10dB dan Fc merupakan frekuensi tengah dari F1 dan F2. Dari hasil simulasi F1= 434 MHz, F2= 440 MHz dan Fc= 437 MHz. Maka bandwidth dapat dihutung sebagai berikut : 𝐵𝑊 =
440𝑀𝐻𝑧 − 434𝑀𝐻𝑧 𝑥 100% = 1.372% 437𝑀𝐻𝑧
Maka bandwidth yang dihasilkan berdasarkan simulasi menggunakan Ansoft HFSS 11 adalah 1.372% atau 6 MHz. Nilai VSWR (Voltage Standing Wave Ratio) yang baik dan dinyatakan memenuhi standar adalah bernilai dibawah dua. Nilai VSWR berengaruh terhadap daya datang dan daya pantul. Jika nilai VSWR 1 maka daya datang akan tersalur secara sempurna ke beban atau antena dan tidak memiliki daya pantul ke sumber. Jika nilai VSWR semakin besar maka daya pantul yang terpantul ke beban akan semakin besar juga. Nilai VSWR dari data hasil simulari di tunjukkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 6. Pola Radiasi Antena Mikrostrip 436.5 MHz 4.2 Hasil Pengukuran Antena Mikrostrip UHF 436.5 MHz Return Loss berdasarkan data hasil pengukuran antena mikrostrip 436.5 MHz dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Gambar 7. Grafik Nilai Pengukuran Return Loss Antena Mikrostrip 436.5 MHz. Berdasarkan Gambar 7 dari data hasil pengukuran return loss antena mikrostrip pada frekuensi 436.5 MHz adalah 17.24dB, dimana nilai return loss terendah terletak pada frekuensi 431.1 MHz dengan nilai -31.06dB. Bandwidth berdasarkan pengukuran antena mikrostrip 436.6 MHz ditentukan berdasarkan nilai return loss terukur dibawah -10dB, dimana nilai F1=390.5 MHz, F2=498.5 dan Fc adalah 444.5 MHz. Sehingga bandwidth dapat dihitung menggunakan rumus di bawah ini [5]. 𝐵𝑊 = 𝐵𝑊 =
𝐹2 − 𝐹1 𝑥 100% 𝐹𝑐
498.5 𝑀𝐻𝑧 − 390.5 𝑀𝐻𝑧 444 .5 𝑀𝐻𝑧
54
Tabel 2. Hasil pengukuran daya terima antena Antena Mikrostrip Antena Monopole 436.5 MHz -53.3 dBm -56.3 dBm Dari kedua daya terima terbut dan dengan gain antenna referensi diketahui, maka gain antenna mikrostrip dapat dicari[6]: 𝑃𝑟𝑚𝑜𝑛𝑜𝑝𝑜𝑙𝑒 = 𝐺𝑀𝑜𝑛𝑜𝑝𝑜𝑙𝑒 + 𝐾 −53.3 𝑑𝐵𝑚 = 5.2 𝑑𝐵 + 𝐾 𝐾 = −53.3 𝑑𝐵𝑚 − 5.2 𝑑𝐵 = −58.5 𝑑𝐵 𝑃𝑟𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑠𝑡𝑟𝑖𝑝 = 𝐺𝑀𝑖𝑘𝑟 𝑜𝑠𝑡𝑟𝑖𝑝 + 𝐾 −56.3 𝑑𝐵𝑚 = 𝐺𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑠𝑡𝑟𝑖𝑝 + −58.5 𝑑𝐵𝑚 𝐺𝑀𝑖𝑘𝑟𝑜𝑠𝑡𝑟𝑖𝑝 = −56.3 𝑑𝐵𝑚 + 58.5 𝑑𝐵𝑚 = 2.2 𝑑𝐵
( pers. 5 )
𝑥 100% = 24.29%
Maka bandwidth antena mikrostrip 436.5 MHz berdasarkan pengukuran adalah 24.29% atau 108 MHz. VSWR berdasarkan data hasil pengukuran antena mikrostrip 436.5 MHz dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
V. KESIMPULAN Antena mikrostrip untuk frekuensi UHF 436.5 MHz dengan polarisasi sirkular telah di desain dan diimplementasikan pada downlink portable untuk satelit IiNUSAT-01. Hasil pengukuran menunjukkan gain = 2.2 dB, VSWR = 1.31, return loss = -17.24 dB memiliki perbedaan nilai berdasarkan simulasi yaitu gain = -5 dB, VSWR = 1.16, return loss = -22.47 dB. Untuk hasil akhir setelah dilakukan pembuatan antena dan pengukuran hasil akhirnya telah memenuhi parameter awal yaitu nilai return loss< -10 dB, nilai VSWR < 2, polarisasi berdasakan vector real pointing menunjukkan arah vector sirkular, bandwidth yang diinginkan termasuk ke dalam lebar pita 435 MHz sampai 438 MHz. Sehingga antena mikrostrip 436.5 MHz menjanjikan untuk diaplikasikan pada downlink ground station satelit IiNUSAT01. VI. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 8. Grafik Nilai Pengukuran VSWR Antena Mikrostrip 436.5 MHz. Berdasarkan Gambar 8 dari data hasil pengukuran vswr(Voltage Standing Wave Rasio) antena mikrostrip pada frekuensi 436.5 MHz adalah 1.31, dimana nilai VSWR terendah terletak pada frekuensi 431.1 MHz dengan nilai 1.06. Pengukuran gain antena dilakukan dengan menggunakan antena referensi monopole yang bekerja pada frekuensi 430 MHz dengan gain antena 5.2 dBi. Untuk pengukuran digunakan spectrum analyzer untuk mengetahui daya terima dari antena referensi monopole dan antena mikrostrip 436.5 MHz. berikut table hasil pengukuran daya terima untuk kedua antena :
[1] IiNUSAT. "Preliminary Design Review". 2010. [2] Darsono M.Perancangan Antena Mikrostrip Patch Segitiga Polarisasi Lingkaran Untuk Aplikasi Global Positioning Service (Gps) Pada Satelit Mikro LapanTubsat. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. Vol 18. No 2; Mei 2008. [3] Balanis. Constantine.A. Antenna Theory : Analysis and Design. (USA: John Willey and Sons, 1997). [4] James J R & Hall P S. Handbook of Microtrip Antennas. IEE Electromagnetic Waves Series 28. Vol 1; 1989. [5] Nakar, Punit S. 2004. Design of a Compact Microstrip Patch Antenna for use in Wireless/Cellular Devices. The Florida State University. Thesis. [6] Mudrik Alaydrus. Antena Prinsip dan Aplikasi.Graha Ilmu, 2011.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
55
Analisis matching impedance pada rectanguler microstrip patch array antenna dengan metode transformer ¼ λ pada frekuensi 2,4 GHz Yono Hadi Pramono (1), Gontjang Prajitno(2), Hasto Sunarno(3) , Ali Yunus Rohedi(4), Siti Chalimah(5) Jurusan Fisika,Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,Indonesia.
[email protected],
[email protected],
[email protected] , (1)
Ketua Jurusan Fisika MIPA ITS Dosen Jurusan Fisika MIPA ITS (5) Mahasiswa Jurusan Fisika MIPA ITS (2,3,4)
Abstrak Rectanguler microstrip patch array antenna dianalisa dengan metode transformer 1/4 panjang gelombang untuk mendapatkan kondisi matching dengan input impedance yang diberikan yaitu 50 Ω. Struktur rectanguler microstrip patch array antenna diteliti mulai 2 dan 4 array dengan variasi lebar dan panjang masing-masing microstrip line pada subtrat FR4 untuk frekuensi 2.4 GHz. Hasil penelitian ini diharapkan nilai VSWR dari Microstrip rectanguler patch array antenna bernilai ≤ 1.1.
Abstract Rectanguler microstrip patch array antenna is analyzed by transformer ¼ λ method to get input impedance matching. In this research,will be discussed two and four arrays of rectanguler microstrip patch antenna by using a variety of microstripline which connected to each patch antenna on FR4 subtrat at 2.4 GHz. Microstrip rectanguler patch array antenna would be available for resultingvalues of VSWR ≤ 1.1.
dalam penelitian ini akan dibahas analisa antena array tersebut secara rinci terkait dengan teori transmission line [2]-[5] dan dibatasi hanya pada struktur patch. Rectanguler microstrip patch array antenna merupakan antena yang memiliki nilai bandwidth yang relatif sempit. Pada penelitian digunakan berbagai variasi desain yang memiliki dimensi yang berbeda-beda pada microstripline dan jumlah patch yang dirancang dengan menggunakan variasi sistem persamaan paralel dan seri dengan menggunakan metode transformer 1/4 panjang gelombang. Metode transformer 1/4 panjang gelombang.digunakan dalam penyesuaian nilai impedansi karakteristik dengan impedansi input,metode ini juga memanfaatkan SmithChart. Rectanguler microstrip patch antenna yang memiliki variasi dimensi diasumsikan mengunakan bahan FR4 yang memiliki nilai permitivitas bahan 4.3 double side dengan bagian bawah digunakan sebagai ground plane dan dirancang pada frekuensi resonansi 2.4 GHz. Diharapkan hasil analisa ini diperoleh nilai VSWR ≤ 1.1
2. Dasar Teori 1. Pendahuluan Pada akhir-akhir ini semakin banyak riset tentang antena panel yang berbasis array microstrip[1]. Banyak tool dan software diterapkan untuk mendesain sebuah array antena namun tidak sedikit dari para pendesain tidak mengerti analisa dan metode apa yang digunakan dalam tool tersebut. Untuk itu
2.1 Rectanguler Microstrip Patch Antenna Rectanguler microstrip patch antenna memiliki struktur yang terdiri dari tiga lapisan yaitu patch merupakan bagian paling atas dan terbuat dari bahan konduktor yang berfungsi untuk meradiasikan gelombang elektromagnetik ke udara, subtrat berfungsi sebagai media penyalur gelombang elektromagnetik dalam sistem pencatuan dan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
groundplane yaitu lapisan paling bawah yang berfungsi sebagai reflektor.
Z0=
Ketebalan patch sangat tipis t<<λo , tinggi bahan dielektrik biasanya 0.003 λo ≤h ≤ 0.05 λo dan terbuat dari bahan yang memiliki nilai konstanta dielektrik 2.2 ≤ε0≤12. Penentuan lebar patch(W) optimum pada desain antena mikrostrip digunakan rumus sebagai
56
ln
(6) W’ =W+∆W’ (7) ∆W’=
berikut:
(8)
W=
= ln (1)
Panjang fisik dari antena mikrostrip dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: L=
(9) 2.2 Matching Impedance
- 2ΔL (2)
ΔL adalah besarnya medan elektromagnetik yang mengalir dari patch yang besarnya dapat dinyatakan dengan persaman sebagi berikut:
(3) h adalah tebal subtrat W adalah lebar dari patch Untuk menentukan impedansi karakteristik dari saluran transmisi digunakan persamaan sebagai berikut: εeff = (4)
εeff = (5)
Gener ator
Zin
ZL
Zo
¼λ
1 λ
Gambar 2.1 Matching impedance menggunakan saluran ¼ λ[5] Teknik matching impedance dengan menggunakan metode transformer 1/4 panjang gelombang seperti dalam gambar 2.1, yaitu dengan meggunakan panjang strip line sebesar seperempat panjang gelombang dengan mencari impedansi karakteristik terlebih dahulu tranmission line agar didapatkan hasil yang match antara impedansi beban dengan impedansi input dengan formula Z01= . Untuk mendapatkan saluran
dengan impedansi karakteristik kompleks dengan harga tertentu sangat sulit,maka matching impedance saluran ¼ λ ini lebih baik jika digunakan untuk menyesuaikan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
dua saluran yang mempunyai impedansi resistif murni, karena yang dibutuhkan adalah saluran dengan panjang ¼ λ dan dengan impedansi karakteristik murni atau berarti saluran yang dibutuhkan adalah saluran lossless. Pada saluran lossless frekuensi yang digunakan adalah frekuensi tinggi. Biasanya saluran ¼ λ ini digunakan untuk matching impedance antara dua saluran transmisi lossless yang berbeda impedansi karakteristik. 3. Desain Rectanguler Microstrip Patch Antenna
Desain rectanguler microstrip patch antenna dirancang bekerja pada frekuensi resonansi 2.4 GHz dengan bahan dielektrik yang digunakan adalah FR4 yang memiliki permitivitas relatif 4.3, ketebalan dielektrik 1.6 mm dan ketebalan konduktor 0.035 mm. Dimensi patch pada rectanguler microstrip patch antenna dtentukan dengan menggunakan rumus 1 dan 2 dan didapatkan nilai W=38.3934448021 mm L=29.7794007953 mm. Pada rancangan pertama dibuat desain dengan dua dan empat rectanguler patch dan dalam menentukan rancangan saluran transmisi digunakan mikrostrip kalkulator dan digunakan beberapa panjang dan lebar saluran transmisi yang berbeda serta penyusunan saluran tranmisi secara paralel dan seri untuk mendapatkan nilai impedansi yang match dengan impedansi input yang diberikan. Adapun rancangan untuk saluran transmisi serta hasil impedansi yang didaptkan dari desain yang dibuat baik disusun secara paralel maupun secara seri adalah sebagai berikut: Data lebar, permitivitas efektif dan impedansi karakteristik transmisi line empat array: w(mm) 38.3934448021 0.673 0.8665
εeff 2.976 3.007
Zo(ohm) 238.5 100 91.57
57
Data panjang transmisi line yang digunakan adalah sebagai berikut: No L(mm) No L(mm) 1 29.7794007953 5 72.45920246 2 18.11327897 6 36.23112287 3 18.02118345 Panjang gelombang no 2=0.249979 Data lebar,permitivitas efektif dan impedansi karakteristik transmisi line dua array : w(mm) εeff Zo(ohm) 38.3934448021 238.5 0.673 2.976 100 1.935 3.149 64.75 Data panjang transmisi line yang digunakan adalah sebagai berikut: No L No L 1 29.7794007953 5 36.23105042 2 36.22960123 3 18.11335143 4 17.61017579 Panjang gelombang no 2=0.24998
Pada panjang ketiga digunakan metode trafo seperempat lamdha dari panjang yang kedua digunakan SmithChart untuk menggeser keangka real agar didapatkan nilai riil saja,kemudian dicari impedansi karakteristik dari panjang yang ketiga agar didapatkan nilai impedansi 200 Ω. Adapun cara yang digunakan adalah sebagai berikut: Dari panjang no 2 pada empat array didapatkan nilai impedansi riil sebesar 41.9287217756529 Ω,untuk mendapatkan nilai impedansi input sebesar 200 Ω dengan metode trafo ¼ lamdha,maka impedansi karakteristik transmisi line ketiga adalah sebagai berikut: Z03= = =91.57 Ω. panjang no 2 pada dua array didapatkan nilai impedansi riil sebesar 41.9287217197177 Ω,untuk mendapatkan nilai impedansi input sebesar 100 Ω dengan metode trafo seperempat lamdha,maka impedansi karakteristik transmisi line ketiga adalah sebagai berikut:
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
58
4. Kesimpulan
Z03= = =64.75Ω W1 L1
L2
2
L3
L4
L5
Gambar 3.1 Desain rectanguler microstrip patch antenna empat array Data hasil perhitungan VSWR menggunakan mikrostrip kalkulator:
dengan
Z o 5 0
IГI
VSWR
1.35871 0307974 9E-04
1.00027 177898 849
DAFTAR PUSTAKA
L1
[1] Bualkar, Yono HP dan Eddy Y,” CPW FED DOUBLE BOWTIE MICROSTRIP SLOT ANTENNA 3 ARRAY FR4 SUBSTRATE FOR 2.4 GHz COMMUNICATION,” International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01, February 2011, p.70-73.
L4
[2] Balanis, C. A.,” Antenna Theory Analysis and Desaign,” Harper & Row, Publisher: New York 1988.
Zl Real 49.9959 453854 753
Imajiner 1.296744 0154746 8E-02
w1
¾𝝀
L2
L3
Rectanguler microstrip patch array antenna telah dirancang dengan metode transformer 1/4 panjang gelombang untuk mendapatkan impedansi matching pada frekuensi 2.4 GHz. Telah ditunjukkan dalam hasil analisa perhitungan nilai VSWR = 1. Diharapkan dari hasil disain antena ini dapat dipakai sebagai dasar perhitungan mendisain struktur array yang lebih banyak agar tetap terjaga impedansi matchingnya.
L5
Gambar 3.2 Desain rectanguler microstrip patch antenna dua array Data hasil perhitungan VSWR menggunakan mikrostrip kalkulator:
dengan
Z Zl IГI o Real Imajiner 5 49.9963 1.296756 1.348456 0 037316 4921444 8154737 764 8E-02 6E-04
VSWR 1.00026 972773 472
[3] Edwards, T.,” Foundation for Microstrip Circuit Design,” Second Edition, John Wiley & Sons: Inc. 1998. [4] Hund, E.,” Microwave Communication, Component Circuit.,” McGraw-Hill: New York 1989. [5] Kraus, J. D. ,”Electromagnetics”, Third edition, McGraw-Hill, International Book Company: New York 1985.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
59
Desain Antena Mikrostrip Untuk Satelit S-Band Pada Frekuensi 2.4 GHz Sri Dwi Emelya[1], Eko Setijadi[2], Gamantyo Hendrantoro [3] Mahasiswa Sarjana Bidang StudiTelekomunikasi Multimedia, Teknik ElektroITS (email :
[email protected]) [2] Jurusan Teknik Elektro ITS, Surabaya 60111 (email :
[email protected]) [3] Jurusan Teknik Elektro ITS, Surabaya 60111(email:
[email protected]) [1]
Abstract—Pada makalah ini akan dejelaskan penelitian tentang desain antena mikrostrip yang digunakan untuk satelit S-Band pada frekuensi 2.4 GHz. Antena mikrostrip memiliki desain compact, berukuran kecil, efisien, mudah dalam pembuatannya serta menghasilkan polarisasi sirkular. Namun, antena mikrostrip ini memiliki kekurangan yaitu bandwith yang sempit dan gain yang kecil. Untuk mendapatkan bandwith dan gain yang besar, di rancang antena mikrostrip array patch rectangular dengan Left-Hand circular polarization (LHCP). Pada makalah ini telah dilakukan desain elemen tunggal dari antena mikrostrip array yaitu dengan menggunakan sistem feeding single-fed dan pemberian slot di ujung patch agar menghasilkan polarisasi sirkular. Hasil yang telah didapatkan yaitu antena mikrostrip array yang dapat diletakkan pada satelit S-Band dengan ukuran 10 x10 cm pada frekuensi 2.4 GHz. Hasil simulasi desain elemen tunggal antena mikrostrip memiliki VSWR < 2, return loss < -10 dB,Gain > 6 dBi serta polarisasi sirkular. Keyword : microstrip antenna, circular polarization(RHCP)
I. PENDAHULUAN ada penelitian ini menggunakan antena mikrostrip, dimana merupakan suatu antenna gelombang mikro yang digunakan sebagai radiator yang efisien yang banyak digunakan oleh sistem komunikasi telekomunikasi modern lainnya selain satelit. Hal ini dikarenakan, antena mikrostrip ini memiliki beberapa keuntungan, diantaranya mempunyai bentuk yang kompak, dimensi kecil, mudah untuk difabrikasi dan mudah dikoneksikan serta diintegrasikan dengan divais elektronik lain. Namun antena ini memiliki beberapa kelemahan di antaranya bandwidth yang relatife sempit (narrow bandwidth), efisiensi dan gain yang rendah. [1] Pada penelitian ini akan dilakukan desain antena mikrostrip untuk satelit S-Band dengan menggunakan metode pencatuan coaxial/probe feeding yang bekerja pada range frekuensi 2.4 GHz – 2.45 GHz sehingga didapatkan frekuensi kerja 2.425 GHz. Setelah menemukan desain single patchnya maka nantinya akan disusun sehingga menjadi antenna mikrostrip array. Perancangan ini disimulasikan dengan menggunakan software High Frequensi Simulation Software (HFSS). Antena mikrostrip ini akan diletakkan pada satelit yang hanya
P
berdimensi 10 cm x 10 cm, sehingga dibutuhkan kreatifitas ilmiah agar dapat memposisikan letak antena yang akan menghasilkan polarisasi sirkular. Untuk mendapatkan antena mikrostrip dengan polarisasi sirkular, maka desain awal menggunakan single-fed Left-Hand Circular Polarization (LHCP) yaitu suatu teknik yang cocok digunakan untuk patch rectangular karena tipe ini dapat dianggap sebagai radiator sederhana. Perancangan antena mikrostrip agar mempunyai polarisasi sirkular untuk satelit S-Band bertujuan supaya dapat mengatasi masalah ketidaksejajaran ketika mengorbit bumi. II. DASAR TEORI 2.1 Antena Mikrostrip Secara umum, antena mikrostrip terdiri atas 3 bagian, yaitu patch, substrat, dan ground plane. Patch terletak di atas substrat, sementara ground plane terletak pada bagian paling bawah. Pada umumnya, patch terbuat dari logam konduktor seperti tembaga atau emas berfungsi sebagai pemancar (radiator). Patch dan saluran pencatu biasanya terletak di atas substrat. Tebal patch dibuat sangat tipis (t = ketebalan patch). Substrat terbuat dari bahan-bahan dielektrik. Substrat biasanya mempunyai tinggi (h) antara 0,003 𝜆𝜊 – 0,05 𝜆𝜊 [2]. Groundplane berfungsi sebagai pembumian bagi sistem antena mikrostrip. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 yang menunjukkan struktur dari sebuah antena mikrostrip
Gambar 1. Struktur Antena microstrip, (W = lebar patch, L = panjang patch, t=tebal patch, h = tebal substrat)
Berdasarkan bentuknya, patch memiliki jenis yang bermacam-macam yaitu : rectangular, segitiga, lingkaran, dan lain-lain. Patch rectangular dipilih untuk perancangan ini karena patch rectangular lebih mudah dianalisis serta kemudahannya dalam pencetakannya [3]. Antena mikrostrip merupakan salah satu jenis antena yang mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut [4] :
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. 1) Kelebihan a. Low-profile, ringan serta ukuran kecil dan compact b. Low-fabrication, fabrikasi mudah dan murah, dan diproduksi dengan menggunakan teknik printed-circuit atau dengan teknik pemotongan biasa. c. Bisa menghasilkan polarisasi sirkular maupun linier d. Bisa dibuat compact sehingga cocok untuk komunikasi bergerak e. Bisa beroperasi pada single, dual, ataupun multi band 2) Kekurangan a. Bandwidth yang kecil, <1% (dengan teknik pencatuan konvensional) b. Gain yang rendah, berkisar 3-10 dBi untuk satu patch c. Membutuhkan substrate bekualitas baik (mahal) d. Sistem pencatuan yang kompleks untuk array e. Efisiensi rendah Frekuensi resonansi (fo) dari antena mikrostrip berdasarkan panjang (L) dan secara matematika dituliskan pada persamaan (1). Untuk antena mikrostrip, panjang elemen resonan biasanya sedikitnya kurang dari ½ λd (biasanya 0.45 λd sampai dengan 0.49 λd) sebagai berikut :
𝑓𝑜 =
𝑐 2 𝑥 𝐿 𝜀𝑒
(1)
dan 𝐿 = 0.48 𝜆𝑑 = 0.48
𝜆0 𝜀𝑟
(2)
dengan : L = panjang elemen (mm) 𝜆𝑑 = panjang gelombang pada dielektrik (mm) 𝜆𝑜 = panjang gelombang di ruang bebas (free space) (mm) Persamaan (1) dan (2) menyatakan antena microstrip harus mempunyai panjang yang hampir sama dengan setengah panjang gelombang (λ/2) dengan adanya dielektrik. Untuk mencari dimensi antena mikrostrip (W dan L), harus diketahui terlebih dahulu parameter bahan yang akan digunakan yaitu tebal dielektrik (h), konstanta dielektrik (𝜀𝑟 ), tebal konduktor (t) dan rugi-rugi bahan (rugi-rugi tangensial). Panjang antena mikrostrip harus disesuaikan, karena apabila terlalu pendek maka bandwidth akan sempit sedangkan apabila terlalu panjang bandwidth akan menjadi lebih lebar tetapi efisiensi radiasi akan menjadi kecil. Dengan mengatur lebar dari antenna mikrostrip (W) impedansi input juga akan berubah. Pendekatan yang digunakan untuk mencari dimensi antena mikrostrip dapat menggunakan persamaan [5]: 1. Menghitung lebar patch (W)
𝑊=
2.
𝑐 2 𝑓𝑟
2 𝜀𝑟 + 1
Menghitung konstanta dielektrik efektif (εeff)
(3)
𝜀reff 3.
60
𝜀𝑟 + 1 𝜀𝑟 − 1 12 = + 1+ 2 2 𝑊
(4)
Menghitung panjang tambahan (ΔL)
∆𝐿 = 0.412
4.
1 − 2
𝑤 + 0.264 𝑤 − 0.258 + 0.813
𝜀𝑒ff + 0.3 𝜀𝑒ff
(5)
Menghitung panjang patch sebenarnya (L) 𝐿=
𝑐 2𝑓0 𝜀𝑒𝑓𝑓
− 2Δ𝐿
(6)
Menentukan dimensi Groundplane Setelah mendapatkan nilai panjang dan lebar patch antena, maka mencari panjang dan lebar pada groundingnya. Maka dapat dilihat bahwa dimensi panjang groundplane (Lg) dan lebar grounplane (Wg) lebih besar dari pada dimensi patch antena kurang lebih 6 kali ketebalan subtract (h), dengan menggunakan persamaan : 𝐿𝑔 = 6 + 𝐿 𝑊𝑔 = 6 + 𝑊
(7) (8)
Menentukan lokasi feeding Pada perancangan single-fed ini, posisi kabel koaksial dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan, yaitu : 𝑋𝑓 =
𝐿 εreff
(9)
Dimana 𝑋𝑓 merupakan input impedansi yang diharapkan agar match dengan kabel koaksial. 𝑌𝑓 =
𝑊 2
(10)
2.2 Antena mikrostrip polarisasi sirkular Antena mikrostrip adalah salah satu radiator yang paling efektif untuk polarisasi sirkular. Polarisasi sirkular ini dapat direalisasikan dengan membangkitkan 2 mode orthogonal dengan besar yang sama, yang berada dalam kuadrat phasa. Tanda phasa relatife menunjukkan jenis polarisasi (LHCP atau RHCP). Sehingga antenna mikrostrip berpolarisasi sirkular dapat dikategorikan menjadi 2 tipe berdasarkan sistem feedingnya yaitu Single fed dan Dual fed.[6]
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
61
Bandwidth Gain Polarisasi Pola radiasi Metode Pencatuan
50 MHz > 6 dB Sirkular Directional Antena mikrostrip array
(a) Dual fed patch
(b) Singly fed patch Gambar 2. Dua tipe sistem feeding pada antena mikrostrip polarisasi circular (a) dual-fed patch, (b) single-fed patch.
2. Spesifikasi bahan dasar (substrat) Jenis substrate yang digunakan untuk antena mikrostrip akan mempengaruhi parameter–parameter dalam perancangan karena dari tiap–tiap substrate memiliki parameter–parameter yang berbeda. Parameter yang sangat mempengaruhi adalah konstanta dielektrik relatif substrate (er), rugi-rugi tangensial (tan d), tebal elemen penghantar (t), dan nilai konduktivitas elemen penghantar (s), dan ketebalan substrate (h). Pada perancangan ini substrate yang digunakan adalah FR-04. Adapun spesifikasi bahan dasar untuk perancangan ini dapat dilihat pada TABEL II. Mulai
Menentukan Spesifikasi Antena Perancangan
Gambar 3. Patch Rectangular single-fed polarisasi sirkular dengan posisi Left-hand Circular Polarization (LHCP). a=panjang patch, F(0,ρo) = lokasi feeding, ΔS1,2 = panjang slot
III. MODEL SISTEM Dalam pembuatan makalah desain antena mikrostrip untuk satelit S-Band pada frekuensi 2.4 GHz, maka terlebih dahulu menentukan spesifikasi antena perancangan, spesifikasi bahan dasar(substrat), menghitung ukuran patch antena,groundplane, lokasi feeding dan panjang slot. Setelah didapatkan ukuranukuran tersebut, maka dapat dilakukan simulasi antena dengan menggunakan perangkat lunak HFSS, jika tidak memenuhi spesifikasi antena perancangan maka dilakukan pengubahan dimensi geometri antena (W,L,Wg,Lg). Jika memenuhi maka simulasi antena dapat menghasilkan desain yang diinginkan. Tahapan-tahapan ini dapat dilihat pada flowchart gambar 4. Adapun pejelasasnnya yaitu : 1. Spesifikasi Antena perancangan Perancangan ini menentukan kriteria desain atau parameter-parameter apa saja yang kita inginkan seperti frekuensi resonansi, polarisasi yang diinginkan, VSWR, return loss, bandwidth, gain antena, dan polaradiasi. Hal ini harus dilakukan agar nantinya kita dapat membandingkan hasil simulasi dan pengukuran berdasarkan spesifikasi antenna perancangan ini. Sehingga antenna yang kita desain sesuai dengan yang kita inginkan. Hal ini dapat dilihat pada TABEL I. TABEL I Spesifikasi antena perancangan
Bentuk Antena Frekuensi range VSWR Return Loss
Patch Rectangular 2400 MHz – 2450 MHz <2 < - 10 dB
Menentukan Spesifikasi Bahan dasar (Substrat)
Menentukan ukuran patch, groundplane, lokasi feeding dan panjang slot
Melakukan simulasi Antena dengan Perangkat Lunak agar mendapatkan parameter antena yang diinginkan
TIDAK Memenuhi spesifikasi antena perancangan ?
Mengubah geometri antena : Wg,Lg, W, L,S11,S12
YA
HASIL DESAIN
Gambar 4. Proses perancangan simulasi antena mikrostrip single-fed polarisasi sirkular (flowchart) TABEL II Spesifikasi Bahan Dasar (Karakteristik substrat FR-04)
Karakteristik Koefisien dielektrik Koefisien permeabilitas Rugi-rugi Tan dielektrik Frekuensi Kerapatan massa Ketebalan tembaga (t) Ketebalan FR-04 (h)
Nilai 4.4 1 0.02 9.109 1900 36 1.6
Satuan Hz Kg/m3 µm mm
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. 3. Menentukan dimensi antena microstrip Penentuan parameter rancangan awal untuk dimensi antena mikrostrip ini dapat menggunakan persamaan (3),(4),(5),(6),(7),(8),(9)dan(10) sehingga didapatkan dimensi yang ada pada Table III. Untuk menghitung panjang slot pada patch antena, maka berdasarkan sub 2.2 pada gambar.3, maka digunakan persamaan : ∆𝑆 = ∆𝑆1 + ∆𝑆2 ∆𝑆 = 𝑐 2 𝑆 = 𝑎2
62
sebenarnya agar mendapatkan parameter perancangan yang diinginkan. Adapun hasil simulasi antena mikrostrip dapat dilihat pada gambar 6 dan dimensi antena keluaran hasil simulasi dapat dilihat pada TABEL IV. TABEL IV. Ukuran Antena Mikrostrip Hasil Simulasi
L Wg Lg Xf Yf
29 mm 39.4 mm 39.4 mm 12.5 mm 14.5 mm
Dimana diasumsikan c (panjang slot) yaitu 3.4 mm, maka didapatkan ∆𝑆 yaitu 11,56 mm dan ∆𝑆1 , ∆𝑆2 adalah 5.78 mm. TABEL III. Parameter rancang awal Antena mikrostrip single-fed patch rectangular
Frekuensi kerja (Fo) Substrat (FR-04), (𝜀𝑟 ) Tinggi Substrat, (h) Lebar Patch (W) Konstanta dielektrik effektif (𝜀reff ) Panjang Tambahan (∆𝐿) Panjang Patch sebenarnya (L) Dimensi Groundplane (Wg,Lg) Lokasi feed (Xf) Lokasi feed (Yf)
2.425 GHz 4.4 1.6 mm 37.64 mm 4.083 0.7388 28.01 mm 47.24, 37.61mm 13.86 18.82 mm
Setelah mendapatkan parameter rancang awal dimensi antena mikrostrip maka dapat digunakan ke dalam simulasi HFSS. Maka nilai-nilai parameter ini dapat berubah sesuai dengan spesifikasi yang kita inginkan serta untuk mencari nilai performa antena dalam frekuensi kerja yang diinginkan. Adapun geometri rancangan awal antena microstrip single-fed dapat dilihat pada gambar 5. Lg
L
S1
Gambar 6. Hasil simulasi antena mikrostrip single-fed polarisasi sirkular
V. HASIL DAN ANALISA SIMULASI Hasil simulasi antena mikrostrip single-fed polarisasi sirkular ini menghasilkan parameter-parameter seperti S11 parameter (returnlosss), VSWR, bandwidth, pola radiasi dan polarisasi antena. Return loss dapat menunjukkan bandwidth antena pada batas dibawah -10 dB. Pada gambar 7 dapat dlihat nilai frekuensi tengah yaitu 2.410 GHz pada nilai return loss 14.44 dB. Pada frekuensi maksimum diperoleh 2.46250 GHz dengan nilai return loss -10 dB dan nilai frekuensi minimum 2.35375 GHz pada nilai return loss -10 dB. Sehingga nilai Bandwidth dari returnloss didapatkan 4.5 % atau 108.75 MHz.
S1
Wg
W
Yf
S2
Xf
Gambar 5. Bentuk rancangan awal patch rectangular berdasarkan feeding single-fed dengan diberi slot pada tiap ujungnya. (dimensi groundplane WgxLg, dimensi Patch WxL, S1=S2 = slot patch, Yf&Xf lokasi feeding)
IV. SIMULASI DESAIN ANTENA Untuk menghasilkan antena mikrostrip polarisasi sirkular, maka patch rectangular dengan dimensi panjang (L) dan lebar (W), maka dipilih dimensi L agar menghasilkan medan arus dapat melingkar dan menghasilkan polarisasi sirkular. Setelah melakukan desain antena menggunakan simulasi HFSS berkali-kali, sehingga didapatkan dimensi dengan ukuran yang
Gambar 7. Hasil Simulasi Nilai Return Loss Pada Frekuensi 2.410 GHz
Nilai VSWR (Voltage Standing Wave Ratio) yang baik dan dinyatakan memenuhi standar adalah kecil dari dua (VSWR < 2). Pada gambar 8 dapat diketahui nilai frekuensi tengah diperoleh 2.4 GHz dengan nilai VSWR yaitu 1.5396. sehingga memenuhi syarat VSWR < 2.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
63
Gambar 11. Hasil Simulasi Real_Poynting Gambar 8. Hasil Simulasi Nilai VSWR Pada Frekuensi 2.4 GHz
Hasil Simulasi pola radiasi yang digunakan pada penelitian ini adalah pola radiasi pada bidang elevasi θ = 0˚yaitu (φ = 00 sampai dengan 90 ). Dapat dilihat pada gambar 9. bahwa pola radiasi yang dihasilkan oleh simulasi antena mikrostrip ini adalah polaradiasi directional. . 0
Distribusi arus listrik menunjukkan tingkat intensitas arus listrik pada tiap bagian antena ketika memancarkan atau menerima gelombang elektromagnet. Dapat dilihat pada gambar.12 bahwa distribusi arusnya sangat baik, karna tiap ujung patch antena memberikan medan listrik pada 9.29 V/m.
Gambar 9. Hasil Simulasi pola radiasi Gambar 12. Hasil Simulasi distribusi Arus
Dari hasil simulasi untuk nilai impedansi, dapat dilihat pada gambar.10 bahwa antena memberikan nilai impedansi mendekati 50 Ohm. Hal ini dapat diketahui jika nilai impedansi kabel koaksial juga mempunyai nilai 50 Ohm.
VI. KESIMPULAN Dari hasil desain antena mikrostrip untuk satelit S-Band pada frekuensi 2.4 GHz dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Desain Antena mikrostrip menggunakan single-fed dan pemberian slot sangat cocok untuk menghasilkan antena mikrostrip berpolarisasi sirkular. 2. Frekuensi kerja yang dihasilkan berdasarkan simulasi yaitu 2,4 GHz dimana mempunyai nilai VSWR < 2 yaitu 1.5396. 3. Bandwidth yang dihasilkan dari simulasi yaitu 4.5 % atau 108.75 MHz 4. Pada desain antena, untuk melihat antena berpolarisasi sirkular, dapat dilihat dengan hasil vector medan magnet dan medan listrik yang membentuk lingkaran.
Gambar 10. Hasil Simulasi Impedansi
Polarisasi sirkular terjadi ketika suatu gelombang elektromagnetik berubah menurut waktu pada suatu titik tertentu yang mempunyai vector medan magnet pada titik tersebut pada jalur lingkaran sebagai fungsi waktu. hal ini dapat dilihat pada gambar.11 bahwa vektor listrik mempunyai arah Left-Hand Circular Polarization (LHCP) yaitu mengikuti arah jarum jam.
VII. DAFTAR PUSTAKA [1] Pozar, D.M., “Microstrip Antenna”, Proceeding of the IEEE, Vol.80, No.1, Januari 1992. [2] Balanis, Constantine.A., Antena Theory : Analysis and Design, (USA: John Willey and Sons,1997).
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. [3] Hirasawa, K dan M. Haneishi, “Analysis, Design and Measurement of Small and Low Profile Antennas”, Artech House, Boston, 1992. [4] Kumar, Girish and Ray, K.P. Broadband Microstrip Antennas. London: Artech House Boston. 2003 [5] Kamtongdee, Chakkrit and Nantakan, Wongkasem. 2009. A Novel Design of compact 2,4 GHz Microstrip Antennas.hal 766 – 769. [6] James J R & Hall P S. Handbook of Microtrip Antennas. IEE Electromagnetic Waves Series 28. Vol 1; 1989, hal 220 – 232
64
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
65
Perancangan dan Pembuatan Tahap RF Uplink 145.9 MHz Portable Transceiver Satelit IINUSAT-01 T. Haryo Putra1), Gamantyo Hendrantoro2), Endroyono3) 1) Mahasiswa Sarjana Bidang Studi Telekomunikasi Multimedia, Teknik Elektro ITS,
[email protected] 2) Jurusan Teknik Elektro ITS, Surabaya 60111, email
[email protected] 3) Jurusan Teknik Elektro ITS, Surabaya 60111, email
[email protected] Abstract—Portable Transceiver merupakan suatu pemancar dan penerima sinyal dibumi agar mampu berkomunikasi dengan satelit. Untuk melakukan komunikasi dengan satelit yang berada jauh sekitar ratusan kilometer dibumi maka dibutuhkan suatu pemancar (RF Uplink) yang memiliki daya cukup besar. Makalah ini akan membahas perancangan dan pembuatan RF Uplink. RF uplinkinibekerjapadafrekuensi145.9MHz. RF uplink terdiri dari dua bagian utama yaitu Phase Lock Loop (PLL) dan Power Amplfier(PA). PLLnantinyaakanmencampursinyalinformasitersebutkedalamfr ekuensi yang lebihtingi (145.9 MHz), halinibergunamembawasinyalinformasiuntukmencapaijarak yang lebihjauh. PLL ini memperolehinputansinyal yang berasaldaribasebanddanmenghasilkansinyalfrekuensi radio yang telahdimodulasi yang selanjutnyaakan dikuatkan oleh PA hingga beberapa watt dan kemudiandipancarkanmelaluiantenakeudarabebas yang berupa gelombang elektromagnetik. Kata Kunci—Portable Transceiver, RF Uplink, Power Amplifier, Baseband
I. PENDAHULUAN alam mendukung tercapainya teknologi satelit maka dibutuhkan sebuah ground segment yang akan melakukan fungsi store dan forward data dari stasiun bumi A ke stasiun bumi B yang berjauhan jarak namun masih dalam wilayah jangkauan atau coverage satelit. Ada 3 jenis ground segment salah satunya adalah portable transceiver. Portable Transceiver merupakan ground segment yang mampu dibawa kemana-mana, sehingga dalam kondisi dimanapun dan kapanpun atau dalam keadaan darurat dapat selalu mengirimkan dan menerima data dengan baik selama masih dalam wilayah coverage satelit.
D
Portable transceiver dari berbagai modul penyusunya, salah satunya modul RF Uplink. RF Uplink nantinya akan mencampur sinyal informasi tersebut kedalam frekuensi yang lebih tinggi, hal ini berguna membawa sinyal informasi untuk mencapai jarak yang lebih jauh. Modul RF Uplink memperoleh inputan sinyal yang berasal dari basebanddan menghasilkan sinyal frekuensi radio yang telah dimodulasi yang selanjutnya akan dipancarkan melalui antena ke udara bebas. RF Uplink terbagi menjadi 2 tahap yaitu Phase Lock Loop (PLL) dan Power Amplifier (PA). PLL bekerja seperti up-converter yang berguna menaikan frekuensi dari baseband dicampur dengan frekuensi carrier yang lebih tinggi, selanjutya PA berfungsi sebagai penguat akhir yang menguatkan sinyal hingga mengalami beberapa kali penguatan [1]. Kinerja PA sangat berpengaruh terhadap RF Uplink karena seperti dalam teknologi handphone, meskipun handphone memperoleh jaringan tetapi PA dalam keadaann rusak atu tidak terpasang maka sinyal akan drop atau hilang
dalam waktu sekitar 10 detik, selain itu kerusakan sekecil apapun dari komponen ini akan menyebabkan terganggunya sistem pemancar. Dalam perancangan PA dituntut memiliki lineraritas dan efisiensi yang tinggi karena hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam design PA namun untuk mencapai nilai tersebut diperlukan usaha ekstra dengan menggunakan berbagai teknik agar tercapai nilai yang sesuai dengan keinginan [2]. Pada perancangan ini perlu memperhatikan sifat komponen elektronika yang bekerja pada frekuensi tinggi akan berbeda kelakuan materialnya dibandingkan pada frekuensi rendah [1]. Selain itu tata letak komponen pada frekuensi tinggi berbeda halnya pada frekuensi rendah yang dapat diatur serapi dan seminimal mungkin, namun pada frekuensi tinggi seringkali luas (foot-print) PCB melebihi luasan yang dibutuhkan oleh komponenya sehingga akan terlihat begitu banyak ruang kosong [1]. II.
METODE PERANCANGAN
Pada prinsipnya Phase Lock Loop (PLL) adalah suatu feedback control rangkaian yang terdiri atas phase detector, loop filter dan voltage controlled oscillator (VCO). Peran utama PLL dipegang oleh phase detector yang bertugas membandingkan phase input signal dari VCO dengan suatu referensi dan sebagai outputnya beda phase. Perbedaan phase inilah yang akan memberikan perbedaan voltage yang selanjutnya difilter oleh loop filter dan dikembalikan ke VCO. Kemudian voltage pada VCO mengubah frekuensi kearahmemperkecil perbedaan antara sinyal referensi dengan sinyal feedback dari VCO. Bila loop menjadi locked, maka control voltage berada pada posisi dimana frekuensi rata-rata sinyal feedback tepat sama dengan frekuensi referensi. Kesuksesan perancangan suatu PLL sebagian besar ditentukan oleh perancangan loop filter yang baik. Hal ini disebabkan pada saat terjadi perbedaan fase, phase detector akan mengeluarkan perbedaan voltage yang berubah-ubah naik turun. Loop filter harus mampu menahan goyangan voltage tersebut sehingga perubahan voltage yang masuk ke VCO menjadi mulus.
Gambar 1 Diagram Blok Dasar PLL
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
PA adalah komponen elektronika yang digunakan untuk menguatkan sinyal dimana parameter yang digunakan adalah tegangan dan daya tanpa mengubah nilai frekuensi. Besarnya penguatan ini disebut gain. [3] Rangkaian penguatan terdiri dari komponen aktif dan komponen pasif. Komponen aktif dapat berupa transistor atau IC, sedangkan komponen pasif terdiri dari resistor, kapasitor dan induktor. 𝐺𝑑𝐵 = 20 log
𝑉𝑜𝑢𝑡 𝑉𝑖𝑛
𝐺𝑑𝐵 = 10 log
𝑃𝑜𝑢𝑡 𝑃𝑖𝑛
rancang, akan tetapi dalam makalah ini akan diajukan sebuah perancangan PLL dengan berbagai macam IC seperti TC9122, TC5081 dan TC5082. Gambar 5 menunjukan blok-blok penyusun suatu PLL. Suatu sinyal gelombang dibangkitkan oleh osilator kristal 35 MHz, yang akan dimultiplier sebanyak 2 kali agar menjadi 70 MHz, selanjutnya sinyal yang tidak diinginkan akan dibuang oleh filter. Kemudian sinyal tadi mengalami perubahan level sebelum masuk ke programable divider. Programmable divider berfungsi membagi frekuensi feedback dari VCO dengan faktor pembagi sesuai program yang dimasukan, hasil pembagian tersebut diumpan ke phase detector dan dibandingkan phasenya dengan sinyal referensi. Programmable divider ini menggunakan TC9122 yang mempunyai kemampuan membagi dengan faktor pembagi sampai 3.999. oleh karena itu feedback dari VCO tidak dapat langsung diinpukan ke TC9122 dan harus terlebih dahulu
PA RF pada umumnya dirancang pada kelas A-F. Perbedaan kelas ini berdasarkan metode operasi yang digunakan, efesiensi yang dibutuhkan dan kemampuan daya keluaran. Topologi dasar dari suatu single-ended PA (gambar 3) yang meliputi perangkat aktif, kaki DC dan output filter atau jaringan matching impedansi [2]. Pada perancangan ini menggunakan kelas C karena rangkaian penguat ini biasa digunakan pada penguat tingkat akhir dari suatu amplifier. rangkaian ini sangat tepat pada perancangan ini karena memiliki linearitas relatif lebih kecil, effisiensi tinggi, distorsi relatif besar dan disipasi daya yang dihasilkan relatif rendah. Linearitas sangat erat hubungannya dengan besar distorsi yang terjadi pada kaki transistor, sedangkan efisiensi menentukan besar catu daya yang dibutuhkan untuk memperoleh keluaran daya tertentu. Oleh karena itu linearitas dan efisiensi merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan perancangan PA. III.
66
Gambar 2.Flow Chart Amplifier
PERANCANGAN DAN PENGUJIAN RF UPLINK
Perancangan suatu pemancar tidak hanya terdiri dari blok PA, tetapi juga terdiri dari berbagai blok-blok lainnya yang meliputi osilator, mixer , low-level amplifier, filter, matching network, VCO (Voltage Control Oscilator) dan combiner. Namun dari berbagai blok tersebut sebenarnya hanya tersusun dari 2 bagian utama yaitu PLL dan PA. Penempatan dan pengaturan dari susunan bangunan blok-blok ini dikenal dengan arsitektur suatu pemancar [2]. Blok-blok diagram dari perancangan suatu pemancar dapat kita lihat pada gambar 4. A. PLL (Phase Lock Loop) Gambar 3Topologi Dasar Single-ended PA Dalam keperluan penggunaan sebagai pengatur frekuensi kerja pada transceiver berbagai macam PLL dapat kita FLOW CHART DIAGRAM TRANSMITTER (Tx) PORTABLE TRANSCEIVER IINUSAT-01 35 MHz
70 MHz
Local Oscilator Crystal
Crystal Oscilator Multiplier x2
Low Pass Filter
PLL Mixer
Level Converter
Modulator
Programmable Divider
PAD Crystal 5.12 MHz
Buffer Amplifier
VCO FM Modulator
FILTER
Phase Detector
Oscilator Divider
Antena
Buffer Amplifier
Multiplier x2
Buffer Amplifier
DRIVER
PA 1 W-3 W
LPF
PA 10 W-25 W
LPF
Keterangan:
PLL
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
67
Gambar 4 Flow Chart Diagram Transmitter Portable Transceiver FLOW CHART DIAGRAM PLL PORTABLE TRANSCEIVER IINUSAT-01 35 MHz
70 MHz
Local Oscilator Crystal
Crystal Oscilator Multiplier x2
PLL Mixer
Low Pass Filter
Level Converter
3 4
Vcc Frekuensi
13.5 V Band VHF hingga 175 MHz
Programmable Divider IC TC9122
Crystal 5.12 MHz PA 1 W-3 W
DRIVER
Buffer Amplifier
LPF
Multiplier x2
output
Buffer Amplifier
Modulator
PAD
VCO FM Modulator
FILTER
Phase Detector IC TC5081
Oscilator Divider IC TC5082
Gambar 5. Flow Chart PLL Portable Transceiver dicampur dengan frekuensi 50 MHz yang dihasilkan dari osilator kristal sebelumnya dan hasil pengurangannya baru nantinya akan diinputkan ke devider. Setelah melalui programmable devider, sinyal akan diteruskan ke phase detector yang menggunakan TC5081. Phase detector ini akan membandingkan sinyal yang masuk dengan sinyal referensi. Sinyal referensi ini dibangkitkan oleh TC5082 dengan frekuensi 5 KHz. Nilai ini diperoleh dari crystal 5.12 MHz yang dibagi agar memperoleh 5 KHz. Dari sinyal yang dibandingkan tadi maka akan diperoleh sinyal dengan frekuensi 72.95 MHz dan akan dikunci difrekuensi tersebut dan selanjutnya akan dimultiplier kembali sebanyak 2 kali menjadi 145.9 MHz.
Gambar 6. Hasil Rancangan PLL Portable Transceiver VCC
L3 10mH
C5 25pF C4 25pF
Matching Impedansi C1 25pF
Filter
L1 10mH
L2 10mH Q1 2SC2593
Input C2 25pF
R1 100
𝑓𝑣ℎ𝑓 = 2 ∗ 𝑓𝑉𝐶𝑂
C3 25pF
Matching Impedansi
Blok Filter
𝑓𝑣ℎ𝑓 = 2 ∗ 72.95 = 145.9 𝑀𝐻𝑧 Dari pengujian yang telah dilakukan PLL ini berhasil terkunci difrekuensi 145.9 MHz dengan daya keluaran sebesar 1-2 Watt. Daya yang cukup besar ini diperoleh karena didalamPLL tersendiri telah diintegrasi dengan buffer dan driver amplifier sehingga untuk tahap selanjutnya cukup dikuatkan hingga beberapa dB.
L1 10mH
L1 10mH
Antena
L1 10mH
Filter C6 25pF
C7 25pF
C8 25pF
Gambar 7. Rangakaian Power Amplifier dan Filter
B. PA (Power Amplifier) PA RF (Radio Frekuensi) adalah penguat yang khusus didesain untuk memperkuat frekuensi tinggi. Rangkaian PA ini terdiri dari dua blok utama yaitu blok Final Amplifier dan Blok Filter. Blok final amplifier sendiri terbagi menjadi 2 bagian yaitu blok matching impedansi dan blok penguat. Blok penguat ini dalam perancangan ini menggunakan komponen aktif transistor 2SC2539 yang merupakan transistor silikon jenis NPN yang umumnya digunakan untuk band VHF pada aplikasi radio bergerak [4]. Spesifikasi alat dapat dilihat pada tabel 1. Blok impedansi berguna untuk menyesuaikan penguat terhadap blok-blok lainnya agar diperoleh nilai impedansi yang sama, apabila tidak sama maka daya yang disalurkan tidak maksimum. Blok matching impedansi ini diberikan pada input dan outpput dari penguat dan hanya terdiri dari induktor dan kapasitor. Tabel 1. Spesifikasi Transistor 2SC2539 No 1 2
Spesifikasi Gain Daya Output
Nilai 14.5 dB 14 W
Gambar 6. Hasil Rancangan PA dan Filter Portable Transceiver Selanjutnya untuk blok filter ini menggunakan 3 buah lilitan dan 3 buah trimmer kapasitor. Filter ini bertujuan untuk membatasi frekuensi yang tidak diinginkan oleh output pemancar dan juga membatasi seberapa besar bandwidth yang akan dihasilkan. Dari pengujian yang telah dilakukan terhadap PA diperoleh data seperti pada tabel 2. Tabel menunjukan bahwa dengan mengubah-ubah tegangan Vcc maka dan mengubahubah daya input (Pin) maka akan menyebabkan perubahan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
daya keluaran, selain itu daya keluaran sangat diperngaruhi oleh rangkaian impedansi matching agar daya yang disalurkan maksimum. Setelah PLL dan PA telah bekerja dengan baik, langkah selanjutnya melakukan integrasi masing-masing blok. Pengujian integrasi masing-masing blok ini dilakukan dengan Tabel 2. Hasil Pengujian PA No. 1 2 3
Vcc (Pin = 0.2 W) 10 12 13.5
Pout (Watt) 8 11 13
68
memiliki gain sebesar 14.5 dB. Dalam perancangan ini sangat perlu memperhatikan linearitas dan efisiensi, karena Linearitas sangat erat hubungannya dengan besar distorsi yang terjadi pada kaki transistor, sedangkan efisiensi menentukan besar catu daya yang dibutuhkan untuk memperoleh keluaran daya tertentu. V.
REFERENSI
[1] Ludwig Reinhold., Bretchko Pavel. “RF Circuit Design Theory and Applications”. Prentice-Hall, 2000, Hal 3-5 [2] H. Raab Frederick.,Asbeck Peter.,Cripps Steve,. B. Kenington Peter,. B. Popovic Zoya,. Pothecary Nick,. John F. Sevic,. O. Sokal Nathan. ”Power Amplifiers and Transmitters for RF and Microwave”. IEEE Transacations on Microwave Theory and Techniques. Vol. 50, No.3, March 2002 [3] Sari Indah.”Rancang Bangun Penguat Daya RF 30 Watt”. Amd. Tugas Akhir, Teknik Elektro, Politeknik Negeri Sriwijaya, Sumatera Selatan, 2010.
PLL VHF LNA
[4] Datasheet 2SC2539 for Mitsubishi RF Transistor.
PLL UHF Power Amplifier
PAD & MODEM
Gambar 7. Konstruksi Design Portabel Ground Station melakukan uji voice repeater dengan transceiver icom 910 VHF/UHF dan HT IC2N. Dari uji komunikasi suara yang dilakukan, menunjukan pemancar ini dapat bekerja dengan baik sebesar 10 watt sesuai dengan daya yang dibutuhkan serta bekerja di frekuensi 145.9 MHz. IV.
KESIMPULAN
Phase Lock Loop (PLL) dirancang untuk mampu mengubah frekuensi atau upconverter frekuensi yang diberikan VCO menjadi frekuensi yang diharapkan sebesar 145.9 MHz. Rangkaian ini menggunakan menggunakan TC9122 sebagai programmable divider, TC5082 sebagai Oscilator Devider dan TC5081 sebagai phase detector.PLL diharapkan mampu mengunci frekuensi dengan baik tanpa adanya pergeseran agar pemancar dapat bekerja secara optimal. Power Amplifier (PA) akan memancarkan sinyal keluaran yang diberikan PLL hingga 10 watt sesuai dengan perhitungan link budget yang telah dihitung. Rangkaian ini menggunakan komponen aktif transistor 2SC2539 yang
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
69
Desain Antena Monopole VHF untuk Uplink pada Satelit Iinusat II Yahya Syukri Amrullah, Muhammad Rizal Habibi Paper ini merupakan hasil dari proses riset yang dilaksanakan oleh laboratorium antenna dan propagasi, Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya. Yahya Syukri Amrullah adalah berasal dari Laboratorium Antena dan Propagasi (B306), bidang studi Telekomunikasi Multimedia, Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya. (email:
[email protected]) Muhammad Rizal Habibi adalah berasal dari Laboratorium Antena dan Propagasi (B306), bidang studi Telekomunikasi dan Multimedia, Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. (email:
[email protected]) Abstract—Satelit Iinusat II merupakan satelit yang dibuat oleh komunitas satelit perguruan tinggi di Indonesia yang digunakan untuk komunikasi komunikasi real-time video. Dalam paper ini, yang dibahas adalah mengenai desain antena uplink untuk melakukan fungsi TT&C satelit Iinusat II. Antena uplink digunakan untuk menerima command dari stasiun bumi. Model antena yang digunakan untuk keperluan ini adalah antena monopole yang bekerja dalam lingkup VHF. Index Terms—Antena Monopole, Satelit Iinusat II, VHF, Uplink.
I. PENDAHULUAN ETELAH satelit nano Iinusat I diluncurkan, program selanjutnya dari komunitas satelit perguruan tinggi di Indonesia adalah membuat satelit nano Iinusat II. Perbedaan antara Iinusat I dengan Iinusat II adalah terdapat pada fungsinya. Iinusat I digunakan untuk komunikasi data teks sedangkan Iinusat II digunakan untuk komunikasi realtime video. Tetapi sampai sekarang ini, desain Iinusat II belum dispesifikkan. Hanya ada beberapa informasi mengenai Iinusat II, yaitu Iinusat II merupakan satelit berukuran nano, akan diorbitkan pada orbit LEO dan digunakan untuk komunikasi real-time video. [1] Berdasarkan beberapa informasi tersebut, satelit Iinusat II mempunyai banyak kemiripan dengan satelit LAPANTUBSAT. Satelit LAPAN-TUBSAT merupakan satelit mikro milik LAPAN yang bekerjasama dengan TU Berlin dimana satelit ini mampu melakukan surveillance permukaan wilayah Indonesia kemudian mengirimkan data surveillance tersebut dalam bentuk video secara real time. Selain mampu melakukan surveillance, satelit LAPAN-TUBSAT mengirimkan informasi dalam bentuk teks yang berisi kondisi “kesehatan” satelit. Selama mengorbit, satelit LAPANTUBSAT mengalami tumbling, kecuali pada saat melakukan surveillance.[2] Berdasarkan kesamaan fungsi antara satelit Iinusat II dan satelit LAPAN-TUBSAT, beberapa informasi teknis satelit LAPAN-TUBSAT dapat digunakan sebagai referensi dalam perancangan sistem satelit Iinusat II.
S
Salah satu sistem yang penting untuk ditempatkan di satelit Iinusat II adalah sistem TT&C, sebagaimana ditempatkan di satelit LAPAN-TUBSAT.[2] Dengan adanya sistem TT&C ini, kualitas dari surveillance dapat ditingkatkan karena arah kamera dan arah antena video dapat dikontrol oleh operator dan dapat digunakan untuk memaksimalkan level daya terima sinyal kondisi “kesehatan” dari satelit itu sendiri.[3] Pada sistem TT&C terdapat beberapa bagian. Dalam paper ini, yang dibahas adalah mengenai desain antena uplink untuk melakukan fungsi TT&C satelit Iinusat II. Antena uplink digunakan untuk menerima command dari stasiun bumi. Model antena yang sering digunakan untuk keperluan ini adalah antena monopole. [2] Iinusat II merupakan satelit nano yang dirancang mampu melakukan surveillance di wilayah Indonesia. Untuk menjaga keandalan sistem dan memperpanjang masa hidup, maka pada umumnya satelit dibuat tumbling selama mengorbit. namun, agar satelit dapat melakukan surveillance pada saat berada di atas wilayah Indonesia, maka satelit tidak melakukan tumbling, sehingga satelit berkamera tersebut selalu menghadap ke arah bumi. Oleh karena itu, Satelit Iinusat II dilengkapi sistem TT&C agar satelit dapat dikontrol. Sesuai dengan data perancangan sistem, satelit Iinusat II akan bekerja para frekuensi 145,995 MHz untuk uplink dan 2,4 GHZ untuk downlink. Uplink dimanfaatkan untuk pengiriman data command kepada satelit, sedangkan downlink dimanfaatkan untuk pengiriman data audio dan gambar. Data command yang terdapat pada sistem komunikasi uplink tersebut berisi tentang instruksi mengenai pengendalian attitude satelit, sehingga penangkapan gambar dapat diarahkan sesuai dengan yang diharapkan. Sistem pengarahan tersebut dilakukan oleh sistem TT&C, dimana salah satu bagian dari sistem tersebut adalah antena. Antena yang dapat dipergunakan dalam sistem TT&C tersebut adalah antena monopole. Penentuan antena monopole sebagai antena yang dipergunakan dalam sistem Iinusat II dilatarbelakangi oleh frekuensi kerja dari uplink untuk satelit Iinusat II tersebut, dimana antena monopole bekerja dengan cukup baik dalam frekuensi VHF. Yang dibahas dalam paper ini adalah mengenai desain antena monopole untuk TT&C satelit Iinusat II yang bekerja di frekuensi VHF. Selain parameter-parameter untuk mendesain
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. antena, beberapa pertimbangan lain yang dimasukkan adalah material antena, ukuran antena dan instalasi antena pada satelit Iinusat II. II. TEORI PENUNJANG A. Antena Antena adalah suatu piranti transisi antara saluran transmisi dengan ruang hampa dan sebaliknya. Antena terbuat dari bahan logam yang berbentuk batang atau kawat dan berfungsi untuk memancarkan atau menerima gelombang radio. Antena juga merupakan tranducer karena mengubah arus bolak-balik menjadi foton pada frekuensi radio, atau sebaliknya. Selain itu, antena juga merupakan piranti pengarah karena digunakan untuk mengarahkan energi pancaran pada suatu arah dan menekan pada arah yang lain. Dalam sistem komunikasi khususnya dalam pembuatan antena panjang gelombang merupakan faktor utama untuk merancang antena. Rumus perhitunganya adalah : 𝑐
𝜆=𝑓
70
C. Half Power Beamwidth (HPBW) dan First Null Beamwidth (FNBW) HPBW yaitu lebar berkas diantara sisi-sisi mayor lobe yang nilai dayanya setengah dari nilai daya maksimum mayor lobe. Sedangkan FNBW adalah lebar berkas diantara sisi-sisi mayor lobe yang nilai dayanya nol. HPBW dan FNBW dinyatakan dalam satuan derajat sudut, seperti pada Gambar 3 dibawah ini. Area berkas (sudut tetap berkas untuk sebuah antena), seperti pada Gambar 2 diberikan oleh nilai integral dari pola daya ternormalisir sepanjang lapisan 4𝜋𝑠𝑟 dengan 𝑑𝛺 = sin 𝜃. 𝑑𝜃. 𝑑𝛷 2𝜋 𝜋 𝛺𝐴 𝑠𝑟 = 0 0 𝑃𝑛 (𝜃, 𝛷)𝑑𝛺 (2) Sudut solid sering pula dijelaskan mendekati sudut yang dibentuk oleh daya setengah dari main lobe dalam ruang utama, yang besarnya 𝛺𝐴 𝑠𝑟 ≈ 𝜃𝐻𝑃 . 𝛷𝐻𝑃 (3)
(1)
Dengan 𝜆 adalah panjang gelombang, 𝑐 adalah kecepatan cahaya (3.108 m/s), serta 𝑓 adalah frekuensi gelombang (Hz).
dengan 𝜃𝐻𝑃 dan 𝛷𝐻𝑃 = lebar berkas setengah daya (half power beamwidth = HPBW)
B. Pola Radiasi Pola radiasi adalah sebuah fungsi matematika atau representasi grafik dari radiasi suatu antena sebagai sebuah fungsi pada koordinat ruang. Dalam kebanyakan kasus, pola radiasi didefinisikan daerah medan dan direpresentasikan sebagai fungsi dari koordinat directional.
Gambar 2. HPBW dan FNBW (dalam dua dimensi dan tiga dimensi) D. Directivity Directivity merupakan penggambaran dari arah pancar atau terima gelombang elektromagnatik dari suatu antena. Directivity dapat diperoleh dari persamaan sebagai berikut
𝐷= Gambar. 1. Pola Radiasi Antena Macam-macam pola radiasi ada tiga, yaitu isotropic, directional dan omnidirectional. Pola radiasi isotropic menyebar ke segala arah, pola radiasi directional mengikuti pengarahan dari antena, sedangkan pola radiasi omnidirectional menyebar dalam arah azimut. [5]
4𝜋 𝛺𝐴
(4)
Jika daya radiasi sama baik pada semua arah atau 𝑃𝑛 𝜃, 𝛷 = 1 untuk semua 𝜃 dan 𝛷 , maka 𝛺𝐴 sama dengan 4𝜋, sehingga diperoleh 𝐷 = 1. Nilai tersebut adalah directivity untuk sumber isotropis dan merupakan nilai terkecil yang mampu dimiliki antena. Maka 𝛺𝐴 harus selalu sama dengan atau lebih kecil dari 4𝜋, sedangkan directivity harus selalu sama dengan atau lebih besar dari satu 𝐷 ≥ 1 .
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Dengan memasukkan persamaan 2.3 ke persamaan 2.4 akan diperoleh
𝐷≈
4𝜋 𝜃𝐻𝑃 .𝛷 𝐻𝑃
71
saluran transmisi (𝑍𝑜 ). Sehingga didapat persamaan sebagai berikut
𝜌=
(5)
Bila diubah dalam skala logaritmik, satuan D adalah dBi. Misal D suatu antena adalah 20 dBi berarti antena tersebut meradiasikan daya pada arah main lobe maksimum yang besarnya 100 (1020/10) kali lebih besar dibandingkan bila diradiasikan oleh antena isotropis pada daya masukan yang sama. E. Gain Gain merupakan besaran nilai yang menunjukkan adanya penambahan level sinyal dari sinyal masukan menjadi sinyal keluaran. Penguatan bergantung pada keterarahan dan efisiensi. Semakin tinggi keterarahannya maka semakin besar pula penguatannya, ditunjukkan pada persamaan berikut ini
𝐺 = 𝑘. 𝐷 (6) dengan 𝑘 = faktor efisiensi antena.
𝑍 𝐿 −𝑍𝑜 𝑍 𝐿 +𝑍𝑜
(8)
Dari Persamaan 2.14a didapat pula persamaan untuk VSWR, yaitu
𝑉𝑆𝑊𝑅 =
1+ǀ𝜌ǀ 1−ǀ𝜌ǀ
.
(9)
Sehingga dari Persamaan 2.14b dan Persamaan 2.14c didapat persamaan VSWR sebagai berikut
𝑉𝑆𝑊𝑅 =
𝑍𝐿 𝑍𝑜
untuk 𝑍𝐿 > 𝑍𝑜
𝑍𝑜
𝑉𝑆𝑊𝑅 = 𝑍 untuk 𝑍𝑜 > 𝑍𝐿 𝐿
(10) (11)
H. Antenna Monopole Antena monopole merupakan salah satu jenis antena dengan pola radiasi omnidirectional. Ukuran antena tersebut berbanding lurus dengan panjang gelombangnya, yakni 𝜆
F. Polarisasi Antena Polarisasi gelombang didefinisikan sebagai arah dari vektor medan listrik terhadap arah rambatan. Polarisasi gelombang dikelompokkan menjadi polarisasi linear, lingkaran (circular), dan elips.
0,95. 4 . Oleh karena antena monopole memiliki pola radiasi omnidirectional, maka arah radiasinya menyebar dalam arah azimut. [5] III. RANCANG BANGUN ANTENA MONOPOLE Dalam hal ini, kami menerapkan antenna monopole ke dalam satelit Iinusat II. Rancang bangun dari antena monopole tersebut dibagi ke dalam tiga bagian, yakni frekuensi kerja antenna monopole, material antenna monopole, dan juga desain dari antenna monopole tersebut. A. Perhitungan Panjang Antena Monopole Untuk mementukan panjang antena monopole yang didesain, informasi pertama yang dibutuhkan adalah pada frekuensi berapa uplink satelit Iinusat II bekerja. Frekuensi kerja uplink satelit Iinusat II berada pada frekuensi 145,995 MHz. Panjang gelombang frekuensi ini adalah
G. Impedansi Antena Impedansi masukan adalah impedansi yang ditunjukkan oleh antenna pada terminalnya atau nilai perbandingan antara tegangan dan arus pada terminal antenna atau nilai perbandingan antara komponen medan listrik dan medan magnet pada suatu titik. Setiap impedansiantenna (𝑍𝐿 ) yang dihubungkan dengan saluran transmisi akan menghasilkan gelombang pantul dengan koefisien pantulan ρ dan perbandingan tegangan gelombang berdiri (VSWR) sebagai berikut
𝜌=
𝑡𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑛𝑡𝑢𝑙 𝑡𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔
=
𝑉𝑟 𝑉𝑖
=
𝑉𝑆𝑊𝑅 −1 𝑉𝑆𝑊𝑅 +1
𝑐 𝑓 3. 108 𝜆= 145,995. 106 𝜆 = 2,055𝑚 𝜆=
Gambar 3. Polarisasi Antena
(7)
Koefisien pantul dapat juga dihitung atau ditentukan dari nilai impedansi terminal ( 𝑍𝐿 ) dan impedansi karakteristik
Untuk memperoleh panjang suatu antena monopole maka dipergunakan rumus
𝜆 4 2,055 𝑙 = 0,95. 4 𝑙 = 0,488𝑚 𝑙 = 48,8𝑐𝑚 𝑙 = 0,95.
B. Desain Antena Monopole Material untuk rancang bangun antena yang tersedia di Indonesia ada empat yaitu kawat stainless steel (baja nirkarat) diameter 1/16”, kawat tembaga AWG #10 (2,5 mm), aluminium tubing dengan diameter 1/4 s/d 5/8” atau kawat
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. tungsten dengan diameter 2 mm. Dalam rancang bangun antena monopole ini dipilih tungsten 2 mm sebagai material rancang bangun. Pertimbangan memilih tungsten sebagai material rancang bangun antena monopole pada satelit Iinusat II adalah karena tungsten bersifat elastis. Karena panjang antena monopole lebih panjang dari dimensi satelit Iinusat II maka instalasi antena monopole di satelit Iinusat II ketika berada di roket peluncur dibuat sedemikian sehingga panjang antena monopole tidak melebihi dimensi satelit. Dengan adanya sifat elastis pada tungsten tersebut, pada saat satelit Iinusat II mengorbit antena monopolenya ini kembali ke bentuk semula, yaitu berbentuk lurus. Selain itu, dengan panjang 48.8 cm dan diameter 0,2 cm, massa antena monopole ini tidak melebihi mass budget maksimal, yaitu 85 gram. Perhitungan antena monopole adalah sebagai berikut: tungsten mempunyai massa jenis19,3 gr/cm3. Massa antena monopole tungsten ini adalah 19,3. 𝜋. 0,12 . 48,8 = 29,589gram. Berdasarkan hasil simulasi software HFSS 13.0, diperoleh desain antena monopole sebagaimana terdapat pada gambar 4 berikut:
72
Gambar 5. Resistansi Input dari antenna Monopole Iinusat II Dari Gambar 5 di atas, diketahui nilai resistansi input antena sebesar 0,2571-j28,6511. Nilai yang diperoleh tersebut masih jauh dari nilai standar yaitu 36,5 + j21.25.
Gambar 4. Desain Antena Monopole IV. PENGUJIAN PERFORMANSI ANTENA MONOPOLE Antena Monopole yang diterapkan pada sistem komunikasi satelit nano Iinusat II adalah satelit yang berukuran kecil. Oleh karena itu, dibutuhkan uji performansi untuk mengetahui kelayakan dari antenna monopole tersebut saat diterapkan dalam satelit nano Iinusat II. Pengujian dilakukan dalam beberapa bagian, mulai dari pengujian resistansi input dari antenna monopole Iinusat II, pengujian pola radiasi dari antenna monopole Iinusat II, dan pengujian return loss dari antena monopole pada satelit nano Iinusat II. Pengujian dilakukan dengan metode simulasi, yakni dengan software simulator Ansoft HFSS 13.0. pengujian dilakukan dengan memasukkan parameter nilai frekuensi operasi dari antena monopole untuk satelit Inusat II tersebut, yakni 145,995 Mhz. Dengan memasukkan niilai dari parameter tersebut, kita bisa mendapatkan hasil-hasil sebagai berikut :
Gambar 6. Pola Radiasi dari Antena Monopole Iinusat II Dari gambar 6 di atas, pola radiasi yang dihasilkan adalah omnidirectional sedangkan gain yang dihasilkan sebesar 2,1466 dB. Gain yang dihasilkan lebih besar dari 0 dB bukan lebih kecil dari 0 dB, artinya antena monopole ini mampu memperkuat sinyal yang diterima bukan melemahkan sinyal yang diterima..
Gambar 7. Return Loss Antena monopole Iinusat II. Dari gambar 7 di atas, nilai return loss antena sebesar -0,0054 dB. Nilai yang diperoleh tersebut masih jauh dari nilai standar yaitu lebih kecil dari -10 dB.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. V. INSTALASI ANTENA MONOPOLE DI SATELIT IINUSAT II Pola radiasi antena monopole tersebut adalah omnidirectional maka instalasi antena di satelit sejajar dengan permukaan bumi. Pada saat mengorbit, satelit Iinusat II tidak dibuat tumbling ketika mengorbit dan dengan asumsi kamera yang bertugas mengambil citra bumi selalu menghadap ke bumi maka antena monopole untuk uplink ini hanya membutuhkan satu antena monopole saja, sebagaimana terlihat pada gambar 8 dibawah ini.
REFERENSI [1]
[2]
[3]
[4] [5] [6]
Gambar 8. Posisi antena monopole saat satelit mengorbit Mengingat panjang antena monopole lebih panjang dari pada panjang, lebar maupun tinggi satelit Iinusat II, maka pemasangan antena monopole pada saat sebelum diluncurkan dibuat spiral sebagaimana terlihat pada gambar 9 dibawah ini.
Gambar 9. Posisi antena monopole selama peluncuran VI. KESIMPULAN Pada paper ini, telah dirancang desain antena monopole untuk sistem komunikasi satelit Iinusat II. Antena monopole tersebut diaplikasikan pada uplink jaringan telekomunikasi satelit dengan frekuensi kerja antena adalah berada pada frekuensi kerja VHF. Frekuensi kerja dari antenna monopole yang diterapkan dalam satelit nano Iinusat II adalah pada 145,995 Mhz. Dengan frekuensi kerja tersebut, maka didapatkan desain antenna monopole-nya adalah setinggi 0,488 meter dengan material tungsten. Massa antena monopole hasil desain adalah 29,589 gram dimana nilai ini mempunyai selisih yang relative besar dari pada mass budget, yaitu sebesar 85 gram. Gain antena monopole yang dihasilkan sebesar 2,1446 dB. Tetapi ada dua parameter yang nilainya belum dipenuhi, yaitu parameter return loss dan parameter resistansi input. Karena desain antena monopole ini berfungsi sebagai penerima di satelit Iinusat II maka parameter return loss dan resistansi input tidak berpengaruh secara signifikan terhadap performansi terima sinyal antena. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antena monopole tersebut layak diterapkan pada satelit nano Iinusat II. Antena monopole yang dibutuhkan untuk uplink satelit Iinusat II sebanyak satu buah yang dipasang secara horizontal atau sejajar dengan permukaan bumi. Selama peluncuran antena monopole dikondisikan seperti bentuk spiral dengan diameter 10 cm.
73
Prof. Ir. Gamantyo Hendrantoro, M.Eng, Ph.D., “Teknologi Satelit di Indonesia Beserta Prospeknya”, disampaikan dalam Seminar Komunitas Satelit ITS, 2011 Robertus Heru Triharjanto, dkk., “LAPAN TUBSAT Technical Documentation, Microsatellite for Surveillance”, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jakarta, 2005. Yahya Syukri A., Muhammad Hasan M., “Analisis Penerimaan Sinyal S-Band Satelit LAPAN-TUBSAT di Stasiun Bumi LAPAN Bogor”, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, 2011. Http://www.ina-dxer.com/2010/06/about-amateur-satellitefrequency.html, diakses tanggal 10 November 2011 Constantine A. Balanis, “Antenna Theory, Analysist and Design, Second Edition”, John Wiley & Sons, Inc., United States of America. 1997. Warren L. Stutzman,.Gary, A. Thiele,. “Antenna Theory and Design”, John Wiley & Sons, Inc, United States of America, 1981
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
74
PENGEMBANGAN SIMULATOR STASIUN BUMI LAPAN-TUBSAT Hagorly M Hutasuhut*, Satriya Utama*, Sibghatullah Mujaddid**, Ridanto Eko Poetro*, Rianto Adhy Sasongko* Hagorly Mohamad Hutasuhut, Mahasiswa Aeronotika dan Astronotika, Institut Teknologi Bandung (e-mail:
[email protected],
[email protected] ). Satriya Utama, Mahasiswa Aeronotika dan Astronotika, Institut Teknologi Bandung (email:
[email protected] ). Sibghatullah Mujaddid, Mahasiswa Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung (email:
[email protected] ). Rianto Adhy Sasongko, Dosen Aeronotika dan Astronotika, Institut Teknologi Bandung (e-mail:
[email protected] ). Ridanto Eko Poetro, Dosen Aeronotika dan Astronotika, Institut Teknologi Bandung (e-mail:
[email protected] ). Abstract—This paper presents development of LAPAN-TUBSAT Ground Station Simulator. LAPAN-TUBSAT is first satellite developed and operated by LAPAN. The STK-X based simulator is required since the loss of its star sensor which make employment of lo-res camera as a mean to determine the satellite attitude. Focus of the simulator is on the task of taking earth pictures which is controlled manually by an operator at the ground station. The main objectives are decreasing operator training time, and therefore increasing ground station’s efficiency during satellite access time. Abstrak-Paper ini berisi penjelasan mengenai pengembangan simulator atau wahana simulasi yang digunakan untuk melatih operator atau calon operator mengoperasikan LAPAN-TUBSAT, yang telah kehilangan star sensor nya. LAPAN-TUBSAT adalah satelit pertama yang dikembangkan dan dioperasikan oleh LAPAN. Simulator Stasiun bumi berbasis STK/X (C# programming) ini difokuskan pada simulasi operasi pengambilan gambar untuk melatih operator mendapatkan citra bumi. Sehingga tujuan akhirnya ialah mengurangi waktu yang dibutuhkan operator untuk dapat mahir mengoperasikan satelit tersebut, dan akan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu akses dengan stasiun bumi.
Index Terms— Simulator, stasiun bumi, LAPAN-TUBSAT
I. PENDAHULUAN Saat ini kondisi LAPAN-TUBSAT sudah mengalami degradasi pada star sensor. Hal ini mengakibatkan sensing sikap satelit tidak dapat dilakukan. Sikap dari satelit sangat
penting dalam pengoperasian LAPAN-TUBSAT sesuai dengan misi nya sebagai earth observer. Untuk mengatasi permasalahan itu dilakukan suatu metode penangkapan horison. Dengan metode ini sikap dari LAPAN-TUBSAT dapat diketahui sehingga observasi bumi tetap dapat dilakukan. Tetapi kerugian dari metode ini adalah cukup mempersulit operator dan cukup membuang-buang waktu. Ketrampilan dari operator ini menjadi suatu permasalahan yang cukup krusial dan sampai saat ini belum ditemukan cara yang cukup efektif untuk mengatasinya. Untuk dapat melatih seorang operator baru hingga terampil dibutuhkan waktu sekitar satu tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk terampil dikarenakan setiap hari LAPAN-TUBSAT hanya lewat dua kali dalam satu hari untuk satu ruas bumi. Dari dua kali lewat hanya satu kali yang dapat dimanfaatkan untuk pengoperasian observasi bumi, yaitu saat pagi hari. Dalam satu minggu terdapat dua ruas bumi yang bergantian mengoperasikan LAPAN-TUBSAT. Di setiap ruas bumi terdapat rata-rata empat operator. Sehingga dalam satu tahun satu operator akan mengoperasikan satelit sebanyak 52 kali, atau selama 520 menit. Bukan waktu yang lama sebenarnya, akan tetapi karena kondisi LAPAN-TUBSAT yang demikian maka dibutuhkan waktu hingga satu tahun untuk bisa terampil. Keberadaan simulator ini diharapkan dapat mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk membuat seorang operator menjadi terampil. Dengan asumsi dalam satu hari seorang operator melakukan simulasi selama 30 menit maka seorang operator akan menjadi ahli hanya dalam waktu 18 hari efektif. Batasan masalah pada simulator ini adalah: 1. Tidak dilakukan simulasi telemetri antara satelit dengan stasiun bumi 2. Tidak dilakukan simulasi power satelit 3. Pemodelan aktuator hanya reaction wheel.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. 4. Untuk analisis spatial sensor kamera hanya menggunakan kamera kappa. 5. Disturbance torque hanya akibat aerodynamic, dan magnetic. 6. Sensor kamera disimulasikan berbentuk rectangular.
Principal Axes
II. LAPAN-TUBSAT DAN STASIUN BUMI A. LAPAN-TUBSAT LAPAN-TUBSAT adalah sebuah satelit mikro yang dikembangkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bekerja sama dengan Universitas Teknik Berlin (Technische Universität Berlin; TU Berlin). Wahana ini dirancang berdasarkan satelit DLR-TUBSAT, sensor bintang.
Principal Axes Orientation
75 Ixy Ixz Iyz I1 I2 I3 X -0,05 Y -0,54 Z 0,84
0,035 0,063 -0,003 2,064 1,481 1,344 1,00 -0,04 0,04
kg.m2 kg.m2 kg.m2 kg.m2 kg.m2 kg.m2 0,01 0,84 0,54
LAPAN-TUBSAT yang berbentuk kotak dengan berat 57 kilogram dan dimensi 45 x 45 x 27 sentimeter ini akan digunakan untuk melakukan pemantauan langsung situasi di bumi seperti kebakaran hutan, gunung berapi, banjir. LAPAN-TUBSAT membawa sebuah kamera beresolusi tinggi dengan daya pisah 5 meter dan lebar sapuan 3,5 kilometer di permukaan Bumi pada ketinggian orbit 630 kilometer serta sebuah kamera resolusi rendah berdaya pisah 200 meter dan lebar sapuan 81 kilometer.
Gambar 2.2. Sistem Kendali Wahana Antariksa Reaction Wheel Reaction wheel merupakan sebuah alat yang dapat memanfaatkan momentum sudut untuk menghasilkan torsi yang dapat mengubah atau menjaga arah pergerakan satelit. Reaction wheel yang digunakan LAPAN-TUBSAT ialah reaction wheel RW303 dibuat oleh IRE. Reaction wheel tersebut memiliki dimensi 100x100x70 mm dengan berat 1.2 kg. Memiliki momen inersia 0.00088 kg.m2 dan bisa berputar hingga 6000 rpm. Mengenai prinsip kerja reaction wheel, dapat disederhanakan konservasi momentum sudut sebagai berikut:
Dimana: : inersia wheel : kecepatan sudut wheel Gambar 2.1. LAPAN-TUBSAT B. Attitude Control LAPAN- TUBSAT Untuk dapat membuat simulasi kontrol sikap LAPANTUBSAT dibutuhkan informasi mengenai sifat massa yang terdiri dari massa total satelit, pusat massa, momen inersia, dan principal axes. Tabel 2.1. Sifat Massa Jenis Arah Besar Satuan Massa Total 54,7 kg X 215 mm Pusat Massa Y 129 mm Z 218 mm Ixx 1,386 kg.m2 Momen Inersia Iyy 2,062 kg.m2 Izz 1,441 kg.m2
: inersia satelit : kecepatan sudut satelit Dengan kata lain, persamaan tersebut berarti untuk total momentum sudut yang sama, rasio perputaran satelit dapat bertambah atau berkurang dengan merubah rasio perputaran reaction wheel. Sistem Kendali Wahana Antariksa Pengendalian dapat dipandang sebagai suatu aktivitas untuk menjaga atau memanipulasi variabel dinamika suatu sistem wahana antariksa agar mengikuti suatu referensi tertentu.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Pengendalian dengan menggunakan pendekatan lingkar tertutup digambarkan secara skematik pada gambar 2.2. Output merupakan keluaran variabel dinamika sikap satelit, diindra oleh sensor untuk mendapat informasi sikap wahana antariksa, informasi ini kemudian dikirim ke system pengendali atau operator untuk diolah dan dibandingkan dengab informasi referensi yang diinginkan. Jika informasi sikap/variabel dinamika wahana belum mengikuti referensi yang diinginkan, maka akan dibangkitkan sinyal kendali yang akan membangkitkan gaya dan momen kendali yang membuat wahana antariksa bergerak/rotasi sehingga variabel output sama seperti yang diinginkan. C. Sistem antar muka stasiun bumi lapan-tubsat Unit Penerima Data Unit penerima data berfungsi untuk menampilkan data yang diterima ruas bumi dan menyimpan data tersebut. Di ruas bumi Rancabungur terdapat dua buah layar LCD yang menampilkan data dan satu buah DVD recorder untuk penyimpan data. Dua LCD disini memiliki fungsi yang berbeda. LCD pertama berfungsi untuk menampilkan data yang diterima oleh antena parabola 2,4 m, LCD kedua menampilkan empat tampilan dimana tiga tampilan untuk memantau kondisi antena parabola sementara satu tampilan untuk menampilkan data yang diterima parabola 3,8 m. Pada LCD pertama dilengkapi tanda arah X dan Y serta posisi zoom kamera sony untuk memudahkan operator ketika tracking.
76
itu tampilan simulator akan menghasilkan output yang akan diterima oleh operator.
Mekanisme Kerja Simulator Bagian-bagian tampilan simulator : 1. Menu, fungsinya melakukan setting (pada tampilan simulator 7) memasukkan input waktu simulasi, koordinat posisi stasiun bumi, dan wilayah target yang telah ditentukan, 2. Kamera satelit, fungsinya menampilkan hasil output gambar dari kamera satelit, 3. Satelit LAPAN-TUBSAT, fungsinya memberi gambaran kepada operator bagaimana sikap dan orientasi satelit saat beroperasi, 4. Report dan grafik, fungsinya menghasilkan output report hasil analisis dan grafik yang diinginkan, 5. Grafik 2D, fungsinya menampilkan posisi dan orbit satelit terhadap permukaan bumi secara 2D.
III. SIMULATOR SATELIT LAPAN-TUBSAT A. Arsitektur Simulator Simulator satelit terdiri dari dua bagian utama, yaitu simulator engine dan desain graphic user interface (GUI). Simulator Engine Mesin utama simulator stasiun bumi lapan tubsat ialah Satellite Tool Kit (STK). Mesin utama ini mengontrol dan mengatur interface simulator. Melakukan propagasi satelit, penentuan letak stasiun bumi, menghitung akses, dan melakukan simulasi analisis spasial. Graphic User Interface Interface simulator dibangun menggunakan bahasa pemrograman C#. GUI ini bertujuan agar simulator dapat didesain sesuai yang diinginkan. B. Mekanisme Kerja Simulator LAPAN-TUBSAT Simulator ini memiliki cara kerja sebagai berikut operator memberikan input kepada sistem simulator (komputer), setelah itu program C# yang telah dibuat akan memanggil library STK yang telah dibuat, kemudian STK akan melakukan perhitungan, analisis, dan menghasilkan visualisasi yang diinginkan. Setelah
Tampilan Simulator Stasiun bumi LAPAN-TUBSAT C. Prosedur Simulasi Operasi Satelit LAPAN-TUBSAT Simulasi operasi satelit LAPAN-TUBSAT secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu persiapan, melakukan simulasi, dan evaluasi. Persiapan Persiapan dilakukan sebelum melakukan simulasi. Persiapan ini meliputi: Memasukkan input data posisi stasiun bumi Memasukkan input data waktu simulasi Memasukkan input data wilayah target yang telah ditentukan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Melakukan Simulasi Melakukan simulasi adalah kegiatan inti dari menjalankan simulator. Hal-hal yang dilakukan ketika melakukan simulasi adalah: Menunggu sampai satelit melakukan akses dengan stasiun bumi, Dapat mempercepat, atau memperlambat waktu simulasi, ketika satelit LAPAN-TUBSAT sudah bisa melakukan akses dan tampilan layar sudah aktif yang pertama kali harus dilakukan operator adalah mencari horison dengan cara memberi kecepatan sudut pada satelit ke arah tertentu (+X, X, +Y, -Y, bebas), ketika horison sudah ditemukan yang harus dilakukan selanjutnya adalah mensejajarkan posisi horison yang nampak di layar dengan horison lokal operator, ketika horison sudah sejajar satelit diarahkan ke nadhir dengan cara memberikan input sudut 64 derajat ke arah -Y (jika bumi berada di bagian bawah layar dan angkasa di bagian atas layar, +Y jika kondisi sebaliknya), setelah satelit mengarah nadir, langkah selanjutnya adalah pencarian target, untuk operator yang belum terbiasa dan kurang hapal posisi geografis hal ini akan menyulitkan, pencarian dilakukan menggunakan kamera kappa, setelah target ditemukan ubah mode ke kamera utama (sony) untuk melakukan zoom dan pengamatan yang lebih detail pada target, simulasi akan selesai ketika elevasi satelit sudah rendah. Evaluasi Evaluasi dilakukan segera setelah simulasi selesai. Tahap evaluasi meliputi: melakukan komputasi figure of merit, target wilayah yang berhasil diambil gambarnya. Menghasilkan laporan data mengenai komunikasinya. Untuk pengembangan lebih lanjut dapat membuat analisis mengenai contour permukaan wilayah yang berhasil diambil.
77
satelit mengambil gambar, hingga kualitas wilayah yang berhasil dipantau (figure of merit). Untuk melakukan spatial analysis, sesuai asumsi kamera satelit menghasilkan swath kamera kappa sebesar 81 km, dan bentuk sensor rectangular. sehingga untuk mencari besar sudut sensor rectangular kamera dapat disederhanakan sebagai berikut : arctan(θ) = (s/2)/h Dimana : h : ketinggian orbit s : panjang swath θ : sudut rectangular sensor Sehingga akan diperoleh besar sudut ≈ 3.45°
Gambar 4.1. Swath Satelit Setelah menentukan ukuran sensor, langkah selanjutnya ialah menentukan grid. Simulasi ini menggunakan istilah point granularity. Semakin kecil sudut point granularity untuk latitude atau longitudenya, maka simulasi akan semakin akurat, dan jumlah grid akan semakin banyak. Namun akan menambah beban kerja komputer untuk melakukan simulasi.
IV. ANALISIS DAN HASIL SIMULASI A. Analisis Simulasi Secara umum simulator menggunakan dua macam library yang disediakan AGI yaitu spatial analysis library dan insight3D visualization library. Untuk spatial analysis digunakan untuk melakukan analisis spatial (tata ruang) suatu wilayah. Sedangkan insight3D visualization digunakan hanya untuk manipulasi tampilan simulator yang diinginkan. Analisis spatial dipilih karena dapat digunakan untuk melakukan simulasi target wilayah yang akan dipantau, visualisasi ketika
Gambar 4.2. Point Granularity sebesar 0.5°
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
78
B. Hasil Simulasi
Gambar 4.3. Simulasi Pengambilan Gambar Satelit LAPAN-TUBSAT
Gambar 4.4. Hasil Stiching Kawasan Jakarta (12 Juli 2007) Pada gambar 4.3. dibandingkan dengan keadaan sebenarnya, hasil stiching LAPAN-TUBSAT gambar 4.4. Hingga dapat menentukan kualitas wilayah yang berhasil dipantau (figure of merit).
Selain itu dengan adanya simulator LAPAN-TUBSAT ini maka dapat melatih dan mempersiapkan operator untuk pengoperasian satelit LAPAN generasi selanjutnya yaitu LAPAN A2. VI. SARAN
V. KESIMPULAN Dengan adanya simulator operasi stasiun bumi ini maka operator dapat melakukan simulasi operasi tanpa harus menunggu saat akses dengan satelit. Sehingga, waktu yang dibutuhkan oleh seorang calon operator untuk mahir mengoperasikan LAPAN-TUBSAT, khususnya dalam operasi pengambilan gambar bumi, menjadi lebih singkat. Dengan perhitungan waktu latihan yang sama, jangka waktu training yang semula 1 (satu) tahun menjadi sekitar 18 (delapan belas) hari saja. DAFTAR PUSTAKA [1] Hardhienata, S., & Triharjanto, R.H., Lapan-Tubsat: From Concept To Early Operation, LAPAN, 2007. [2] Ranner, U., & Matthias, B., High Precesion Interactive Earth Observation With Lapan-Tubsat, 2008.
Simulator ini belum menggunakan model matematika dinamika sikap dan pengendalian LAPAN-TUBSAT yang sesungguhnya. Saat ini sedang dilakukan penyempurnaan simulator ini dengan menggunakan model dinamika sikap dan pengendalian dari LAPAN-TUBSAT. Model ini akan dibuat generic sehingga bisa dengan mudah diadaptasi untuk satelit yang lain. Setelah penerapan model matematika ini direncanakan juga untuk uji validasi dengan pengujian di stasiun bumi LAPAN di Rumpin atau Ranca Bungur. [3] Mukhayadi, M., & Rahman, A., Aktivitas Operasi Satelit Mikro Lapan-Tubsat, LAPAN. [4] Najati, N., Instruksi Kerja Untuk Operator Satelit Mikro Lapan-Tubsat, LAPAN. [5] Sasongko, R.A., Diktat Kuliah Dinamika dan Pengendalian Satelit, ITB. [6] www.agi.com
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
79
Pengembangan Awal Perangkat Keras Simulator Sistem Dinamika Wahana Antariksa Hagorly M. Hutasuhut, Rianto Adhy Sasongko, Ridanto Eko Poetro Hagorly M. Hutasuhut, Aeronotika dan Astronotika, Institut Teknologi Bandung (e-mail:
[email protected],
[email protected] ). Rianto Adhy Sasongko, Aeronotika dan Astronotika, Institut Teknologi Bandung (e-mail:
[email protected] ). Ridanto Eko Poetro, Aeronotika dan Astronotika, Institut Teknologi Bandung (e-mail:
[email protected] ).
Abstract—ADCS subsystem (Attitude Determination and Control System) is one of the main key for successful satellite mission. If a satellite has ADCS subsystem, satellite attitude and orientation can be controlled as needed. Before control the satellite, first thing to do is sensing position and dynamic satellite after that determination process. So, the knowledge about rigid body dynamics particulary spacecraft dynamics is so important. This paper presents development of hardware spacecraft dynamic system simulator. Software spacecraft dynamic simulator is used as tool for design hardware simulator and analyze spacecraft dynamic rotation. Abstraksi—Subsistem ADCS(Attitude Determination and Control System) merupakan salah satu subsistem yang sangat penting bagi keberlangsungan misi wahana antariksa. Dengan adanya ADCS maka sikap dan orientasi wahana antariksa dapat dikontrol sesuai yang diinginkan. Sebelum dapat mengontrol sikap suatu wahana antariksa tahap pertama yang harus dilakukan ialah mengindra dinamika dan posisi wahana antariksa kemudian proses determination. Sehingga pemahaman mengenai dinamika suatu wahana antariksa sangatlah diperlukan. Dalam paper ini penulis hanya fokus pada proses pembuatan perangkat keras simulator sistem dinamika wahana antariksa, pembuatan perangkat lunak simulasi digunakan sebagai alat bantu desain awal simulator sekaligus dapat mengkaji dan merepresentasikan dinamika rotasi suatu wahana antariksa. Keywords : Wahana Antariksa, Simulator, Dinamika Rotasi
I. PENDAHULUAN Anatomi suatu wahana antariksa, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua modul utama, yakni spacecraft bus dan spacecraft payload. Spacecraft bus merupakan infrastruktur dari wahana antariksa yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar bagi keberlangsungan misi wahana antariksa. Sedangkan spacecraft payload merupakan payload atau muatan dari wahana antariksa yang berfungsi sebagai pelaksana misi wahana antariksa.
Spacecraft bus pada umumnya terdiri dari subsistemsubsistem sebagai berikut, OBDH (On Board Data Handling System) yang berfungsi mengatur Telemetry, Tracking, dan Command (TTC) dan subsistem lainnya, EPS (Electrical Power System) yang berfungsi menyediakan sumber energi, sistem komunikasi yang berfungsi menyediakan kebutuhan komunikasi selama wahana antariksa beroperasi, pelindung termal yang berfungsi melindungi wahana antariksa beserta komponenkomponennya dari pengaruh termal atau suhu temperatur ekstrim yang dapat merusak komponen wahana antariksa, propulsion yang berfungsi menghasilkan gaya dorong yang dibutuhkan selama wahana antariksa beroperasi, struktur yang berfungsi menyokong dan melindungi semua komponen dari beban saat proses peluncuran, life support yang berfungsi menyediakan sistem yang mendukung kehidupan misi berawak, dan ADCS (Attitude Determination and Control System). Khusus mengenai ADCS, subsistem ini merupakan salah satu subsistem yang sangat penting bagi keberlangsungan misi wahana antariksa. Dengan adanya ADCS maka sikap dan orientasi wahana antariksa dapat dikontrol sesuai yang diinginkan. Sebelum dapat mengontrol sikap suatu wahana antariksa tahap pertama yang harus dilakukan ialah mengindra sikap dan dinamika wahana antariksa kemudian proses determination. Sehingga pemahaman mengenai dinamika suatu wahana antariksa sangatlah diperlukan maka dibutuhkan simulasi atau perangkat lunak yang mampu mensimulasikan dinamika tersebut. Setelah simulasi atau perangkat lunak tersebut dibuat lalu dibutuhkan suatu alat untuk melakukan verifikasi perangkat lunak tersebut, maka dibuatlah suatu simulator atau perangkat keras yang dapat merepresentasikan gerak dan dinamika suatu wahana antariksa. Jika dilihat dari sejarah pengembangannya, simulator telah dikembangkan oleh banyak badan riset dan universitas diberbagai belahan dunia selama lebih dari 45 tahun dari awal pengembangannya. Simulator tersebut bertujuan untuk dapat merepresentasikan dinamika wahana antariksa (memiliki minimal tiga derajat kebebasan putar), mensimulasikan lingkungan antariksa yaitu gaya dan torsi eksternal relatif kecil, dan efisien dalam segi biaya.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Jika dilihat secara umum simulator yang biasa digunakan ialah menggunakan air bearing. Air bearing tersebut memanfaatkan udara yang bertekanan kemudian dialirkan ke pori-pori kecil dan akan menghasilkan lapisan tipis udara sehingga gaya geser antara permukaan dengan bearing akan berkurang. Ini akan meminimalkan efek torsi gangguan dari lingkungan dan akan diperoleh kondisi menyerupai microgravity. Namun pada prakteknya penggunaan air bearing kurang efisien dari segi biaya karena dibutuhkan biaya yang besar dalam pembuatan dan perawatan sistem air bearing. Ada dua konfigurasi yang biasa digunakan untuk simulator air bearing yaitu :
80
Pada gambar 2.2 momen gravitasi muncul karena bagianbagian wahana antariksa mempunyai jarak radial yang berbeda atau berlainan terhadap pusat gravitasi yang dalam kasus ini planet bumi, sehingga gaya yang dialami tiap bagian akan berbeda satu sama lain dan membangkitkan momen terhadap titik pusat massa wahana antariksa.
1. Konfigurasi Air Bearing Tabletop, 2. Konfigurasi Air Bearing Dumbbell Gambar 2.2 Momen Gravitasi Bumi Namun karena biaya manufaktur yang cukup mahal jika menggunakan konfigurasi airbearing maka solusinya ialah menggunakan simulator dengan konfigurasi giroskop dengan alasan derajat kebebasan yang lebih banyak, biaya yang lebih murah, dan gaya eksternal yang masih relatif kecil, dibandingkan dengan dua konfigurasi lainnya. Batasan masalah : 1. 2. 3. 4. 5.
Momen inersia diasumsikan pada principle axis wahana antariksa, Torsi atau momen eksternal akibat gravity moment dari planet bumi dan gaya gesek bearing, Ketinggian wahana antariksa diasumsikan pada sea level, Gerak satelit hanya rotasi, translasi diabaikan, Wahana antariksa diasumsikan benda kaku,
Untuk mensimulasikan persamaan dinamika rotasi wahana antariksa tata acuan yang digunakan ialah tata acuan koordinat orbit memiliki sumbu dan arah sebagai berikut :
Searah dengan gerak orbit tegak lurus bidang orbit, berlawanan arah dengan momentum orbit tegak lurus bidang Sudut antara dengan akibat putaran pada sumbu atau adalah ψ Sudut putaran sumbu adalah θ Sudut putaran sumbu adalah ϕ
II. PERANGKAT LUNAK SIMULASI PERSAMAAN DINAMIKA WAHANA ANTARIKSA Persamaan gerak satelit pada umumnya menggunakan konsep benda kaku (rigid). Konsep ini mengidealisasikan benda padat dengan ukuran tertentu tanpa mengalami perubahan bentuk atau deformasi. Dengan kata lain jarak antara dua titik sembarang pada benda kaku tersebut tetap konstan terhadap waktu walaupun mengalami gangguan gaya luar.
Gambar 2.3 Tata Acuan Orbit Sehingga gerak rotasi wahana antariksa dapat dimodelkan ke dalam bentuk persamaan matematik. Persamaan matematik gerak rotasi wahana antariksa tersebut diturunkan dari hukum II Newton dengan memperhatikan kesetimbangan momen. [2.1]
Dimana : Gambar 2.1 Konsep Benda Kaku
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
81
Persamaan kinematika rotasi wahana antariksa : [2.2] [2.3] [2.4]
Dimana : P = putaran pada sumbu benda X Q = putaran pada sumbu benda Y R = putaran pada sumbu benda Z
[2.8]
Setelah persamaan linear dinamika rotasi wahana antariksa diperoleh maka selanjutnya simulasi dibuat menggunakan perangkat lunak matlabTM/simulinkTM. Simulasi tersebut berfungsi menirukan dan pengkajian awal sifat dinamika sistem wahana antariksa dengan batasan persamaan linear hasil linearisasi. Simulasi pada matlabTM/simulinkTM ini berupa tampilan menu – menu yang langsung dapat mengakses simulasi yang dirancang sehingga memudahkan user dalam penggunaannya. Tahap-tahap yang biasa dilakukan untuk mensimulasikan persamaan gerak suatu benda menjadi blok-blok simulink :
Φ = sudut roll Θ = sudut pitch Ψ = sudut yaw Maka, persamaan dinamika wahana antariksa :
[2.5]
[2.6]
[2.7]
Dimana : Ix = Inersia simulator pada sumbu X Iy = Inersia simulator pada sumbu Y Iz = Inersia simulator pada sumbu Z
Kemudian setelah dilinearisasi dan dijadikan matriks maka persamaan linear dinamika rotasi wahana antariksa sebagai berikut :
1. Gambarkan sistem kedalam persamaan diferensial, 2. Beri integrator, label input, dan output, 3. Hubungkan blok-blok tersebut menjadi persamaan yang diinginkan, 4. Set kondisi awal. Pada simulasi ini terdapat dua bagian utama yaitu GUIDE (Graphic user Interface Development Environment) dan simulink. Fungsi GUIDE ialah memberikan tampilan yang userfriendly dan memudahkan pengguna dalam menggunakan simulasi. Sedangkan simulink berfungsi mensimulasikan gerak rotasi wahana antariksa yang dibuat dari persamaan gerak rotasi kemudian dibuat blok-blok simulink menjadi persamaan yang diinginkan.
Gambar 2.1 Tampilan GUIDE Simulasi Pada gambar 2.1 tampilan simulasi terdiri dari enam bagian tampilan, yaitu tampilan satu adalah initial condition spacecraft yang berfungsi sebagai input kondisi awal wahana antariksa, tampilan dua adalah moment of inertia spacecraft yang berfungsi sebagai input dari inersia wahana antariksa pada
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
82
sumbu principal axis wahana antariksa, tampilan tiga adalah tombol untuk memasukkan properties wahana antariksa, menjalankan, dan menghentikan simulasi, tampilan empat adalah moment control spacecraft yang berfungsi sebagai input dari momen yang dihasilkan aktuator wahana antariksa, tampilan lima adalah moment of inertia reaction wheel yang berfungsi sebagai input dari inersia roda momentum, tampilan enam adalah grafik yang menampilkan kecepatan sudut wahana antariksa pada tiga sumbu benda, dan tampilan tujuh adalah grafik yang menampilkan sudut wahana antariksa terhadap acuan inersial. III. SIMULATOR SISTEM DINAMIKA WAHANA ANTARIKSA Gambar 3.1 Desain Bagian-bagian Simulator Diakhir pendahuluan tadi telah ditentukan mengenai konfigurasi yang akan digunakan untuk mendesain simulator, dan desain yang dipilih ialah konfigurasi giroskop, selanjutnya simulator didesain melewati beberapa tahap berikut pada gambar 3.2 : 1. Membuat simulasi dari persamaan gerak rotasi wahana antariksa, dan akan diperoleh nilai-nilai desain awal seperti inersia wahana antariksa, inersia roda momentum, dll, 2. Kemudian simulator didesain menggunakan CAD (Computer Aided Design), sehingga akan diperoleh inersia dan perkiraan massa komponen awal, 3. Kemudian dilakukan analisis struktur, jika struktur tidak cukup kuat menahan beban muatan simulator, maka desain simulator harus diubah dan perhitungan kembali dilakukan (iterasi). Sampai diperoleh struktur yang cukup kuat menahan beban muatan dan inersia roda momentum yang cukup mampu mengerakkan simulator, 4. Kemudian detail desain dilakukan seperti mekanisme gerak simulator, posisi balancing, bearing, analisis biaya, uji motor DC, dll, jika ada bagian yang tidak memenuhi persyaratan desain maka iterasi dikembalikan ke proses awal desain atau mencari solusi masalah, 5. Proses manufaktur dilakukan, Gambar 3.2 Diagram Proses Desain Simulator 6. Setelah manufaktur selesai dilakukan, perhitungan inersia dan massa komponen kembali dilakukan untuk memperoleh nilai yang mendekati atau sama dengan yang sebenarnya, 7. Kemudian nilai inersia dimasukkan kembali ke simulasi persamaan gerak rotasi wahana antariksa untuk analisis karakteristiknya, dan dibandingkan secara visual dengan simulator sistem wahana antariksa.
A. Stuktur Pada gambar 3.1 simulator sistem dinamika wahana antariksa dapat dibagi menjadi tujuh bagian utama, yaitu pelat yang berfungsi sebagai tempat diletakkannya roda momentum, motor DC, komponen elektronik, balancing, komponen pendukung lainnya, roda momentum satu dan roda momentum dua berfungsi menghasilkan momen kontrol, rangka satu dan rangka dua berfungsi sebagai penyokong struktur simulator, bearing berfungsi mengurangi gaya gesek yang terjadi akibat putaran simulator, komponen elektronik berfungsi mengatur
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. putaran motor DC, dan balancing berfungsi menyeimbangkan simulator pada tiap axis.
83
Tabel 4.3 Perkiraan Massa Komponen Awal Simulator Bagian Simulator
Pada gambar 3.4 mengenai sumbu benda simulator terdiri dari tiga buah, yang pertama putaran pada sumbu x benda sebesar p dan nilai φ (phi) merupakan perubahan sudut antara tata acuan koordinat sumbu x benda terhadap inersial, maka besar inersia x ialah besar inersia pelat (warna merah) pada sumbu putarnya.
Massa (kg)
Pelat (warna merah)
1.07
Komponen muatan
0.91
Rangka satu (warna hijau)
0.45
Rangka dua (warna kuning)
0.89
Pelat + komponen muatan Pelat + komponen muatan + rangka satu Pelat + komponen muatan + rangka satu + rangka dua
1.98 2.43 3.32
Gambar 3.4 Sumbu Benda Simulator Gambar 3.3 Perangkat Keras Simulator Putaran kedua pada sumbu y benda sebesar q dan nilai θ (theta) merupakan perubahan sudut antara tata acuan koordinat sumbu y benda terhadap inersial, maka besar inersia y ialah besar inersia pelat (warna merah) dengan rangka satu (warna hijau) pada sumbu putarnya. Putaran ketiga pada sumbu z benda sebesar r dan nilai ψ (psi) merupakan perubahan sudut antara tata acuan koordinat sumbu z benda terhadap inersial, maka besar inersia z ialah besar inersia pelat (warna merah), rangka satu (warna hijau), dan rangka dua (warna kuning).
B. Roda Momentum Momen kontrol pada umumnya dihasilkan oleh perangkat keras kontrol atau aktuator untuk mengontrol sikap wahana antariksa. Sebuah sistem kontrol sikap merupakan suatu gabungan antara proses dan aktuator sehingga sikap dapat dikendalikan. Simulator ini menggunakan aktuator roda momentum untuk menghasilkan momen kontrol yang dibutuhkan. [3.1]
Dari hasil simulasi dan desain CAD diperoleh perkiraan mechanical properties pada tabel 4.2 sebagai berikut :
Sehingga torsi dari roda momentum diperoleh dari inersia roda momentum dikalikan dengan percepatan sudut atau perubahan kecepatan sudut, pada tabel 4.4 memberikan informasi mengenai besar inersia tiap roda momentum.
Tabel 4.2 Mechanical Properties
Tabel 4.4 Mechanical Properties
Inersia
Nilai (Kg.M2)
Inersia
Nilai (Kg.M2)
Pada sumbu X principal axis
0.062
Roda momentum satu
6.39E-05
Pada sumbu Y principal axis
0.043
Roda momentum dua
1.38E-04
Pada sumbu Z principal axis
0.064
Hasil perhitungan perkiraan massa komponen awal untuk analisis struktur simulator pada tabel 4.3 :
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Gambar 3.5 Roda Momentum
84
Gambar 3.7 Mikrokontroler Pengendali Putaran Motor
C. Mekatronika Motor DC Motor DC ini dilengkapi dengan gearbox metal, bekerja pada tegangan 6v, memiliki rasio 1:50 untuk memberikan kecepatan putar poros 260 rpm dengan torsi mendekati 800 gr.cm, serta memiliki stall current 360 mA pada 6V.
Untuk dapat mengendalikan putaran motor, simulator menggunakan metode PWM (Pulse Width Modulation) sebagai pengendali putarannya. PWM adalah teknik mendapatkan efek sinyal analog dari sebuah sinyal digital yang terputus-putus. PWM dapat dibangkitkan hanya dengan menggunakan digital i/o yang difungsikan sebagai output.
Alasan pemilihan motor tersebut ialah mempertimbangkan torsi yang dihasilkan apakah sudah cukup memenuhi desain yang diinginkan dan sesuai dengan simulasi persamaan gerak wahana antariksa yang telah dibuat menggunakan matlabTM/simulinkTM.
Gambar 3.8 Pengendali Putaran Motor
Gambar 3.6 Motor DC
D. Integrasi Setelah struktur dan semua komponen telah dibuat maka simulator kemudian diintegrasi menjadi satu sistem terpadu. Mengenai sistem power simulator menggunakan dua sumber utama yaitu 4,5 volt dan 9 volt. Pada gambar 3.9 dijelaskan mengenai distribusi power untuk tiap komponen simulator.
Mikrokontroler Mikrokontroler (biasa disebut μC, uC atau MCU) adalah computer kecil yang berupa IC atau integrated circuit yang terdiri dari prosesor, memory, dan input/output peripheral yang dapat diprogram. Mikrokontroler memiliki kemampuan manipulasi data atau informasi berdasarkan suatu urutan instruksi (program) yang dibuat oleh programmer.
Gambar 3.9 Power Sistem Simulator
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. IV.
PENGOPERASIAN
Untuk dapat mengoperasikan simulator ada beberapa prosedur yang harus dilakukan, prosedur tersebut :
85
sumbu Y benda), dan R (pada sumbu Z benda) sebagai berikut, grafik tersebut menunjukkan bahwa simulator mengalami penambahan kecepatan sudut secara gradual kemudian saat t ≈ 5 detik, simulator tidak lagi mengalami penambahan, dan kecepatan sudutnya konstan.
1. Power simulator dihidupkan, 2. Setelah itu mikrokontroler diprogram menggunakan perangkat keras ISP untuk dapat menghasilkan putaran yang diinginkan, 3. Setelah itu jalankan simulator, 4. Lihat perubahan dinamikanya, Untuk mengubah arah dan besar putaran atau momen dari motor cukup dilakukan pemrograman kembali.
Gambar 5.3 Grafik Output Kecepatan Sudut P, Q, dan R
Gambar 4.1 Prosedur Operasi Simulator V.
ANALISIS HASIL SIMULASI
Mengenai analisis hasil simulasi perangkat lunak dari persamaan linear dinamika rotasi wahana antariksa, simulasi diberikan input sumbu X, Y, dan Z pada gambar 5.1 dengan percepatan putar sebesar 20 rad/s2 dan saat kecepatan putar mencapai 104,72 rad/s, putaran aktuator kemudian saturasi atau kecepatan putarnya konstan.
Gambar 5.1 Diagram Input Kecepatan Sudut Dari input diagram diatas maka dapat diperoleh percepatannya pada gambar 5.2 sebagai berikut, simulator diberikan percepatan sebesar 20 rad/s2 kemudian setelah t ≈ 5 detik percepatnnya menjadi nol, hal ini disebabkan kecepatan putar aktuator konstan.
Gambar 5.4 Grafik Output Sudut Roll, Pitch, dan Yaw Sehingga dari input tersebut diperoleh output pada gambar 5.4 sudut roll, pitch, dan yaw sebesar ≈ 1° saat t ≈ 5 detik. VI.
KESIMPULAN
Pengaturan sikap wahana antariksa, selain dengan menggunakan thruster, dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat pembangkit momentum inersial. Pembangkitan momentum inersial untuk pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan roda momentum. Khusus mengenai aktuator roda momentum, momen kontrol tersebut hanya dapat dihasilkan jika dilakukan perubahan kecepatan maka percepatan dapat terjadi. Sebab torsi merupakan hasil perkalian antara inersia roda momentum dengan percepatan (perubahan kecepatan) sudut. Sehingga dari hasil output simulasi persamaan linear dinamika rotasi wahana antariksa tersebut dapat disimpulkan simulator cukup dapat merepresentasikan dinamika rotasi suatu wahana antariksa. VII.
SARAN
Perlu dilakukan pengembangan desain agar meminimalisir torsi eksternal akibat gesekan bearing. Perlu adanya tambahan feedback dengan cara mensensing output simulator, sehingga analisis membandingkan antara hasil output perangkat lunak simulasi persamaan linear dinamika rotasi wahana antariksa dengan hasil output sesungguhnya (dari perangkat keras) dapat dilakukan.
Gambar 5.2 Diagram Input Percepatan sudut Karena diberikan input tersebut maka diperoleh, pada gambar 5.3 kecepatan sudut P (pada sumbu X benda), Q (pada
Pada proses desain perhitungan kebutuhan momentum pengendalian harus dilakukan dengan baik agar pemilihan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. (sizing) aktuator dan roda momentum dapat dilakukan dengan tepat. Sebaiknya dilakukan melakukan uji putaran yaw, sehingga momen gravitasi tidak terlalu mempengaruhi platform simulator, dan perlu dipertimbangkan mengenai desain auto mass balancing untuk mempermudah pengaturan letak center of gravity simulator. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2] [3] [4] [5] [6] [7]
Schwartz, Jana., & Hall, Christopher., The Distributed Spacecraft Attitude Control System Simulator : Development, Progress, Plans, Department of Aerospace & Ocean Engineering Virginia Polytechnic Institute & State University. Kaplan, Marshall., Modern Spacecraft Dynamics and Control, John Wiley and Sons. Kane, Thomas., Likins, Peter., Spacecraft Dynamics, McGraw-Hill book company. Wertz, James., Spacecraft Attitude Determination Control. Larson, Wiley., & Wertz, James., Space Mission Analysis. Isakowitz, Steve., International Reference Guide to Space Launch Systems American Institute of Aeronautics and Astronautics Rahmatullah, Syawaluddin., Modul Training Mikrokontroler AVR
86
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
87
Pemilihan Elemen Keplerian dan Jenis Orbit Satelit Sesuai dengan Kegunaan dan Fungsi Satelit Imam PRIAMBODO Geodesy Engineering Department, University of Diponegoro
dengan efek Atmospheric drag, yaitu :
Abstract—Dalam proses pengembangan suatu sistem satelit, pemilihan elemen Keplerian, yang mendefinisikan parameterparameter posisi dari satelit merupakan hal yang fundamental. Paper ini membahas mengenai pemilihan dan perhitungan dari elemen Keplerian yang mencakup Epoch, Inklinasi Orbit, Right Ascension of Ascending Node, Argument of Perigee, Eksentrisitas, Mean Anomaly, Mean Motion, dan Drag. Penentuan elemen-elemen Keplerian yang baik yang sesuai dengan kegunaan dari satelit akan sangat berpengaruh pada kondisi satelit secara umum dan kualitas data yang dihasilkan Index Terms—Element of Keplerian, Satellite Position, Satellite Condition, Produced Data Quality
I. PENDAHULUAN
S
UATU sistem koordinat adalah seperangkat parameterparameter yang berguna untuk mendefinisikan posisi dari suatu objek terhadap bidang referensi tertentu. Pada proses pendefinisan posisi dari suatu satelit, diperlukan minimal tujuh buah elemen Keplerian yang digunakan untuk menjelaskan posisi satelit pada waktu tertentu. Elemen-elemen Keplerian dipilih berdasarkan pada kegunaan dari satelit yang bersangkutan, dimana satelit yang bertujuan untuk navigasi/penentuan posisi (seperti satelit GPS/GLONASS), tentu memiliki karakteristik elemen Keplerian yang berbeda dengan satelit telekomunikasi dan satelit untuk penginderaan jauh. Sebagai contoh, satelit Navigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System (NAVSTAR-GPS) atau yang biasa dikenal dengan GPS, memiliki sumbu panjang sebesar 26400 Kilometer, dengan Mean Motion sebesar 12 sidereal jam, Inklinasi sebesar 55 derajat, Eksentrisitas yang hampir mendekati 0, dan 6 bidang orbit dengan 4-5 satelit tiap orbit. II. ELEMEN KEPLERIAN Elemen Keplerian dibagi menjadi tujuh (7) elemen ditambah
1.) Epoch, yaitu waktu pengambilan ‘cuilan’ data dari pergerakan satelit. Epoch menjelaskan kapan waktu dari suatu data dari satelit dihasilkan 2.) Inklinasi Orbit, yaitu sudut yang dibentuk antara bidang ekuator bumi dengan bidang orbit satelit 3.) Right Ascension of Ascending Node (RAAN), yaitu sudut horizontal yang dibentuk antara titik nol meridian (Greenwich) dengan titik ‘naik’ dari orbit (Ascending Node) 4.) Argument of Perigee, yaitu sudut vertikal yang dibentuk antara titik ‘naik’ (Ascending Node) dengan titik jarak terdekat suatu satelit terhadap permukaan bumi (perigee) 5.) Eksentrisitas, yaitu besar ‘kelonjongan’ dari suatu elips. Eksentrisitas 0 menunjukkan suatu orbit adalah lingkaran sempurna 6.) Mean Motion, yaitu waktu yang dibutuhkan bagi satelit untuk sekali revolusi terhadap bumi dan kembali ke titik perigee-nya. Kecepatan dari satelit adalah semakin cepat saat semakin mendekati bumi (perigee), dan diperlambat saat menjauhi bumi (apogee) 7.) Mean Anomaly, yaitu sudut yang dibentuk antara posisi satelit saat epoch tertentu dengan perigee yang berpusat pada pusat bumi, dimana Mean anomaly sebesar 0 derajat menunjukkan satelit berada pada perigee, dan Mean anomaly sebesar 180 derajat menunjukkan satelit berada pada apogee. Disamping elemen-elemen Keplerian di atas, tentu saja terdapat faktor-faktor lain yang perlu diperhitungkan dalam penentuan posisi dari suatu satelit, seperti gangguan (disturbance) akibat atmospheric drag, perubahan kecepatan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
88
akibat gravitasi benda langit selain bumi, percepatan yang disebabkan oleh pasut, dan lain sebagainya.
Gambar 1. Elemen Keplerian
Di bawah ini adalah ilustrasi mengenai ketujuh elemen Keplerian di atas III. TIPE ORBIT Dalam bidang geodesi satelit, terdapat beberapa jenis tipe orbit yang lazim dipakai, yaitu : 1.)Orbit prograde dan retrograde Orbit prograde adalah orbit yang memiliki sudut inklinasi lebih kecil dari 90 derajat, sehingga pergerakannya terlihat seperti mengikuti arah rotasi bumi. Sebaliknya, orbit retrograde adalah orbit yang memiliki sudut inklinasi lebih dari 90 derajat, sehingga pergerakannya terlihat seperti berlawanan terhadap arah rotasi bumi. Perlu dicatat bahwa dengan menggunakan orbit retrograde, maka waktu yang diperlukan untuk sekali berevolusi mengelilingi bumi menjadi jauh lebih cepat karena arahnya berlawanan dengan arah rotasi bumi. Baik orbit prograde maupun retrograde mempunyai cakupan wilayah (span area) yang cukup luas, sehingga cocok digunakan untuk beragam aplikasi satelit, mulai dari satelit navigasi, sateli telekomunikasi, cuaca, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, satelit GPS mempunyai jenis orbit prograde, karena memiliki sudut inklinasi sebesar 55 derajat. Salah satu hal yang perlu diperhatikan pada pemilihan tipe orbit adalah satelit dengan orbit prograde akan memiliki waktu revolusi terhadap bumi yang ‘seolah-olah’ lebih lambat, karena satelit berevolusi searah dengan arah rotasi bumi, sebaliknya, satelit dengan orbit retrograde, akan terlihat seolah-olah berevolusi lebih cepat, karena arah pergerakan satelit berlawanan dengan arah rotasi bumi. 2.)Orbit polar Jenis orbit polar adalah jenis orbit dimana sudut inklinasi dari satelit adalah mendekati 90 derajat, sehingga dapat
mencakup hampir seluruh permukaan bumi, termasuk kutub. Orbit polar lazim digunakan untuk satelit dengan keperluan untuk pengamatan cuaca, inderaja, dan keperluan ilmiah. Contoh dari satelit yang menggunakan orbit polar adalah satelit meteorologi milik Amerika Serikat (DMSP) dan satelit cuaca NOAA. 3. Orbit geostationer Satelit yang memiliki orbit geostasioner, akan selalu berada pada titik penglihatan yang sama di permukaan bumi, karena posisi satelit akan selalu mengikuti posisi dari titik di bumi. Orbit geostasioner memiliki sudut inklinasi sebesar 0 derajat terhadap bidang ekuator, sehingga waktu revolusinya akan sama dengan waktu rotasi bumi, yaitu 23 jam 56 menit 4.09 detik. Karena memiliki waktu revolusi (periode) yang sama dengan waktu rotasi bumi, sesuai dengan hukum Kepler III, maka ketinggian dari satelit yang menggunakan orbit geostasioner akan selalu sama, yaitu berada pada ketinggian sekitar 35787 kilometer dari permukaan bumi. Karena memiliki ketinggian yang besar, maka satelit akan mempunyai cakupan/sapuan area yang luas, namun dengan resolusi yang tidak begitu tinggi. Orbit geostasioner biasa digunakan untuk satelitsatelit cuaca dan telekomunikasi yang harus berada pada daerah kerjanya secara terus menerus, contoh : Geostationary Operational Environmental Satellite (GOES) buatan Amerika, Indian National Satellite System (INSS) buatan India, dan Meteosat buatan Uni-Eropa.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
89
Figure 3. Sun-Synchronous Orbit
IV. KESIMPULAN Sebagai penutup, maka akan disimpulkan beberapa karakteristik dari elemen keplerian dan jenis sistem orbit menurut kegunaan dari satelit, yaitu : 1) Jenis orbit Geostasioner dengan ketinggian satelit sebesar 35787 kilometer dari permukaan bumi, lazim digunakan untuk keperluan satelit komunikasi, peramalan cuaca/lingkungan, dan kebutuhan lain dengan area kerja yang tetap 2) Jenis orbit prograde dan retrograde, cocok digunakan untuk satelit navigasi, remote sensing, dan kebutuhan lain yang memerlukan cakupan wilayah luas
Gambar 2. (searah jarum jam dari pojok kiri atas) Geostationer, Polar, Prograde, and Retrograde Orbit
4. Orbit Sun-Synchronous Orbit Sun-Synchronous adalah jenis orbit yang dapat menghasilkan posisi satelit pada suatu tempat pada waktu lokal yang sama setiap kalinya. Hal ini didapat dengan mengatur sudut inklinasi dan eksentrisitas yang tepat, yang disesuaikan dengan ketinggian orbitnya di atas permukaan bumi. Biasanya, satelit dengan orbit Sun-synchronous memiliki sudat inklinasi sebesar 98 derajat, dengan ketinggian sekitar 600-800 kilometer dari permukaan bumi. Penggunaan dari orbit sun-synchronous adalah untuk satelit penginderaan jauh, seperti satelit European Remote-Sensing Satellite(ERS 1 dan ERS 2)
3) Jenis orbit polar (inklinasi mendekati 90 derajat), cocok digunakan untuk satelit penginderaan jauh dan satelit cuaca yang mampu melingkupi hampir seluruh permukaan bumi 4) Jenis orbit tersinkron matahari (sun-synchronous) cocok digunakan untuk satelit penginderaan jauh dengan lokasi yang spesifik REFERENCES [1]
E. J. Krakiwsky,Coordinate Systems in Geodesy. Geodesy and Geomatics University of New Brunswick, May 1971 [2] Lyndon B. Johnson Space Center, Orbital Debris Education Package, June 2008 [3] H.Z. Abidin, Geodesi Satelit, Institut Teknologi Bandung, Pradnya paramita, 2001, Chapter 4 [4] Gulf of Maine Aquarium, How Satellite Work, March 2011 [5] http://en.wikipedia.org/wiki/Satellite http://en.wikipedia.org/wiki/Orbital_elements
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
90
Komputasi Bistatic Scattering dari Objek dengan Asumsi Bentuk Titik Hujan Prolate Spheroid Alladina Hapsery1, Suwadi2, A. Mauludiyanto3, Eko Setijadi3, Gamantyo H.3dan A. Matsushima4 Penelitian ini dilakukan oleh tim gelombang millimeter. Yang mendapat dana dari PUM-ITS (Program Unggulan Mandiri-ITS) dengan nomor kontrak 0750.017/I2.7/PM/2011. 1. Mahasiswa Strata-1 TeknikElektro ITS Surabaya 2. Mahasiswa Strata-3 TeknikElektro ITS Surabaya 3. PenelitiTeknikElektro ITS Surabaya 4. PenelitiTeknikElektroUniversitas Kumamoto.
Abstract—Dalam sistem telekomunikasi, salah satu permasalahan propagasi yang bekerja pada frekuensi tinggi adalah redaman yang disebabkan olehhujan. Redaman hujan menjadi masalah yang cukup penting dalam propagasi gelombang elektromagnetik mengingat bahwa redaman hujan sangat berpengaruh terhadap kualitas komunikasi. Interaksi gelombang elektromagenetik dengan titik-titik hujan menyebabkan penghamburan dan penyerapan. Pada penelitian ini akan dilakukan komputasi model redaman hujan secara analisis numeric dengan mempertimbangkan efek scattering dan absorption kemudian membandingkan dengan hasil pengukuran. Permasalahan yang akan dicari jawabannya adalah: (i) model redaman hujan dengan efek scattering dan absorption, dan (ii) perbandingan hasil analisis numeric redaman hujan dengan hasil pengukuran. Kata kunci—Redaman hujan, prolate spheroid, scattering and absorption, bistatic scattering.
I. PENDAHULUAN
P
ERKEMBANGAN teknologi telekomunikasi berkembang dengan sangat cepat termasuk dalam komunikasi nirkabel (wireless), sebut saja komunikasi terrestrial dan komunikasi satelit. Hal ini ditandai dengan penggunaan frekuensi tinggi sampai dalam orde GHz. Gelombang ini dapat mengirimkan data informasi dengan kecepatan tinggi. Dengan tersedianya komunikasi kecepatan tinggi tersebut layanan internet dengan kecepatan tinggi, digital video, audio broadcasting dan video conference dengan kapasitas besar dan bandwidth yang lebar dapat bekerja dengan baik. Dalam sistem telekomunikasi, khususnya untuk komunikasi satelit, salah satu permasalahan propagasi yang bekerja pada frekuensi tinggi adalah redaman yang disebabkan oleh sekumpulan titik air di atmosfer, contohnya awan dan hujan. Redaman hujan menimbulkan penghamburan dan penyera pangelombang elektromagnetik. Redaman ini akan menjadipermasalah yang cukuppentingdalampropagasigelombang. Padadaerah yang memiliki curah hujan yang tinggi mengindikasikan bahwa titik hujan besar dan jarak antar titik hujan lebih rapat sehingga
redaman yang ditimbulkan juga semakin besar. Pada saat gelombang elektromagnetik mengenai titik-titik hujan maka gelombang tersebut akan mengalami redaman, depolarisasi dan scattering (penghamburan) dan absorption (penyerapan). Dampak yang timbul dari fenomena ini adalah menurunnya kualitas komunikasi yang dapat berbentuk melemahnya penerimaan sinyal, gangguan antar saluran pada sistem polarisasi ganda, atau gangguan dari system komunikasi lain yang menggunakan daerah spektrum yang sama. Diantarasemuagangguan system komunikasitersebut, redaman adalah hal yang paling berpengaruh pada kualitas komunikasi terutama pada frekuensi micro wave dan millimeter wave. Perhitungan redaman hujan akan menjadi lebih akurat ketika faktor-faktor yang mempengaruhi didalamnya turut dipertimbangakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil perhitungan tersebut adalah factor penghamburan dan penyerapan. Pada penelitian sebelumnya telah dirumuskan metode estimasi redaman hujan dengan mempertimbangkan efek scattering namun hasil yang didapat kurang akurat, karena bentuk titik hujan yang digunakan adalah bentuk simple, dimana diameter vertical dan horizontal besarnya sama. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan referensi model redaman hujan dalam bentuk prolate spheroid dengan menggunakan analisis numerik. Memberikan rekomendasi model redaman hujannya. II. ANALISA MEDAN A. Medan Datang Untukan alisis lebih lanjut, kita dapat menyatakan medan elektromagnetik yang datang dalam sistem kordinat bola. Dari persamaan (1.2)-(1.4) kita dapatkan 𝐸𝑟𝑖 𝑟 𝜁0 𝐻𝑟𝑖 𝐸𝜃𝑖 𝑟 𝜁0 𝐻𝜃𝑖 𝐸𝜙𝑖 𝑟 𝜁0 𝐻𝜙𝑖 sin 𝜃 cos 𝜙 = cos 𝜃 cos 𝜙 − sin 𝜙
sin 𝜃 sin 𝜙 cos 𝜃 sin 𝜙 cos 𝜙
cos 𝜃 − sin 𝜃 0
− cos 𝜃 𝑖 cos 𝛿 𝑖 sin 𝛿 𝑖 sin 𝜃 𝑖 cos 𝛿 𝑖
× 𝑒 𝑗 𝑘 0 𝑟(sin 𝜃 cos 𝜙 sin 𝜃
cos 𝜃 𝑖 sin 𝛿 𝑖 cos 𝛿 𝑖 − sin 𝜃 𝑖 sin 𝛿 𝑖
𝑖 +cos 𝜃 cos 𝜃 𝑖 )
(1)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. 𝑬𝑑𝑁 𝒓 𝑯𝑑𝑁 𝒓
Untuk mendiskritisasi sistem dalam arah 𝜙, kita gunakan ekspansi deret Fourier 1 cos 𝜙 𝑒 𝑗𝛼 cos 𝜙 = sin 𝜙
∞ 𝑚 =−∞
𝛽𝑚 (𝛼) 𝛽𝑐𝑚 (𝛼) 𝑒 𝑗𝑚𝜙 𝛽𝑠𝑚 (𝛼)
(2)
Koefisiennya dinyatakan dalam fungsi Bessel yaitu
𝑁 𝑛=1
91
= 𝑛 𝑚 =−𝑛
𝑑 𝐸𝜃𝑚𝑛 ,𝑁 (𝑟, 𝜃)
𝑑 𝐸𝜙𝑚𝑛 ,𝑁 (𝑟, 𝜃)
𝑑 𝑑 𝐻𝑟𝑚𝑛 ,𝑁 (𝑟, 𝜃) 𝐻𝜃𝑚𝑛 ,𝑁 (𝑟, 𝜃)
𝑑 𝐻𝜙𝑚𝑛 ,𝑁 (𝑟, 𝜃)
𝑑 𝐸𝑟𝑚𝑛 ,𝑁 (𝑟, 𝜃)
𝑟 𝜃 𝑒 𝑗𝑚𝜙 𝜙
(14)
𝛽𝑚 𝛼 = 𝑗 𝑚 𝐽𝑚 (𝛼)
𝛽𝑐𝑚 𝛼 = 𝛽𝑠𝑚 𝛼 =
𝑗 𝑚 +1 2 𝑗𝑚 − 2
𝐽𝑚 +1 𝛼 − 𝐽𝑚 −1 𝛼
(3)
𝐽𝑚 +1 𝛼 − 𝐽𝑚 −1 𝛼
Dalam bentuk vektor, dapat dinyatakan sebagai berikut 𝑬𝑖 (𝑟) = 𝑯𝑖 (𝑟)
𝑬𝑖𝑚 (𝑟,𝜃) ∞ 𝑚 =−∞ 𝑯𝑖 (𝑟,𝜃 ) 𝑚
𝑒 𝑗𝑚𝜙
(5)
Kita anggap sumbu kedatangan dimana 𝜃 𝑖 = 𝜋 dan 𝛿 = 0 .sehingga persamaan(1.3) dan (1.4) menjadi 𝑖
𝑬𝑖 𝑟 = 𝑥 𝑒 −𝑗 𝒌0 .𝒓 , 𝑯𝑖 𝑟 = 𝑦
1 −𝑗 𝒌 .𝒓 𝑒 0 𝜁0
(6)
B. Medan Terhambur di luar dielektrik Perkiraan fungsi gelombang untuk medan yang terhambur diluar dielektrik. Medan scattering (𝑬𝑠 , 𝑯𝑠 ) dinyatakan (4) (4) 𝑛 𝑬𝑁𝑠 𝒓 = 𝑁 (7) 𝑛 =1 𝑚=−𝑛 𝐴𝑚𝑛 𝑵𝑚𝑛 𝑘0 𝑟, 𝜃, 𝜙 + 𝐵𝑚𝑛 𝑴𝑚𝑛 𝑘0 𝑟, 𝜃, 𝜙 𝑗 (4) (4) 𝑠 𝑁 𝑛 𝑯𝑁 𝒓 = 𝜁 𝑛=1 𝑚=−𝑛 𝐴𝑚𝑛 𝑴𝑚𝑛 𝑘0 𝑟, 𝜃, 𝜙 + 𝐵𝑚𝑛 𝑵𝑚𝑛 𝑘0 𝑟, 𝜃, 𝜙 (8) 0 Dimana fungsi gelombang vektor bola 𝑙 𝑴𝑚𝑛 𝜌, 𝜃, 𝜙 = 𝑙 𝑵𝑚𝑛 𝜌, 𝜃, 𝜙 =
𝑗𝑛 𝑛+1
𝑍𝑛𝑙 𝜌 𝜌
𝑚𝑚𝑛 𝜃, 𝜙
𝑍𝑛𝑙 𝜌 sin 𝜃 𝜋𝑛𝑚 𝜃 𝑒 𝑗𝑚𝜙 𝑟 +
𝜌2
𝑍𝑛 𝑙 ′ 𝜌 𝜌
III. BENTUK TITIK HUJAN Sebelumnya telah dilakukan penelitian dengan bentuk titik hujan dengan asumsi bentuk titik hujan dengan jari-jari sama. Bentuk ini dikenal dengan bentuk bola spheroidal. Selain bentuk titik hujan bola spheroid, juga terpaat asumsiasumsi bentuk titik hujan lainnya, yaitu bentuk prolate spheroid, oblate spheroid, dan bentuk titik hujan realistik. Bentuk titik hujan prolate yaitu bentuk titik hujan dengan jarijari vertical dan horizontalnya tidak sama lebih besar jari-jari vertikal. Sedangkan bentuk titik hujan oblate spheroid merupakan kebalikan dari bentuk titik hujan prolate, yaitu dengan asumsi jari-jari horizontal lebih besar daripada vertikalnya (lihatgambar1). Asusmsi bentuk titik hujan lainya yaitu bentuk titik hujan realistic yaitu bentuk titik hujan yang mendekati bentuk sebenarnya. Terdapat 2 teori bentuk ini, yaitu PrupacherPitter (PP) dan Modified Prupacher Pitter (MPP). Bentuk titik hujan yang digunakan adalah bentuk prolate, dengan perbandingan jari-jari horisonal (sb. semimayor) dengan vertikal (sb. semiminor) adalah 2.
𝑛𝑚𝑛 𝜃, 𝜙
(9) dengan 𝑚𝑚𝑛 𝜃, 𝜙 = −𝑚𝜋𝑛𝑚 𝜃 𝜃 − 𝑗 𝜏𝑛𝑚 𝜃 𝜙 𝑒 𝑗𝑚𝜙 , |𝑚|
𝑛𝑚𝑛 𝜃, 𝜙 = 𝑗 𝜏𝑛 𝜋𝑛𝑚 𝜃 =
𝑃𝑛𝑚 cos 𝜃 sin 𝜃
𝜃 𝜃 − 𝑚𝜋𝑛𝑚 𝜃 𝜙 𝑒 𝑗𝑚𝜙 (10) |𝑚 |
, 𝜏𝑛
𝜃 =
𝑑𝑃𝑛𝑚 (cos 𝜃 ) 𝑑𝜃
= − sin 𝜃 𝑃𝑛𝑚 ′(cos 𝜃)
(11) C. Medan Terserap di dalam dielektrik Prakiraan fungsi gelombang untuk medan yang terhambur di dalam dielektrik Perkiraan fungsi gelombang untuk medan terhambur di dalam bentuk dielektrik(𝐸 𝑑 , 𝐻𝑑 ) dinyatakan 𝑬𝑑𝑁 𝒓 =
𝑁 𝑛=1
𝑛 𝑚 =−𝑛
(1)
(1)
𝐶𝑚𝑛 𝑵𝑚𝑛 𝑘𝑟, 𝜃, 𝜙 + 𝐷𝑚𝑛 𝑴𝑚𝑛 𝑘𝑟, 𝜃, 𝜙
(12) 𝑯𝑑𝑁 𝒓 =
𝑗 𝜁
𝑁 𝑛=1
𝑛 𝑚 =−𝑛
(1)
(1)
𝐶𝑚𝑛 𝑴𝑚𝑛 𝑘𝑟, 𝜃, 𝜙 + 𝐷𝑚𝑛 𝑵𝑚𝑛 𝑘𝑟, 𝜃, 𝜙
(13) Dimana 𝑘 = 𝜔 𝜀0 𝜀𝑟 𝜇0 , 𝜁 = 𝜇0 (𝜀0 𝜀𝑟 ). Dengan alasan yang sama, kita tuliskan koefisien 𝐴𝑚𝑛 (𝑁)dan 𝐵𝑚𝑛 (𝑁) dengan sederhana. Substitusi persamaan (9) dan (10) dengan persamaan (12) dan (13) kitaperoleh
Gambar. 1. Bentuk prolate spheroid (kiri), dan oblate spheroid , a=sb.semimayor, dan b=sb. Semiminor.
IV. HASIL KOMPUTASI NUMERIK Komputasi dilakukan dengan parameter sebagai berikut. Nilai sudut datang (θ) = 0°-180°, sudut polarisasi 0° dan 90° .TE adalah kondisi saat sudut polarisasi 0° dan TM adalah kondisi saat sudut 90°. Pada gambar 2 merupakan hasil komputasi bistatic scattering (hamburan bistatik) dari distribusi angular sudut datang dari gelombang elektromagnetik untuk bentuk obyek prolate spheroid dengan permittivitas absolut 1.7689 mendekati permitivitas air, dengan a/b=2 sebagai properties of shape. Dan k=1 sampai 3, dimana nilai k tergantung dari panjang gelombang dan ukuran obyek. Dimanab/λ2[dB], b adalah bistatic scattering, dan sudut datang gelombang EM mulai dari 0o sampai 180o dalam 2𝜋𝑎 derajat. Nilai didefinisikan sebagai:𝑘 = 𝜆 , dan properties of shape a/b=2.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
92
0o sampai 90º dan akan naik setelah 90º. Kejadia n ini dikarenakan karena lintasan yang dilalaui di dalam dielektrik prolate spkeroid berubah dari lintasan yang lebih panjang pada susut datang 0o dan semakin pendek pada susut 90º dan terjadi sebaliknya untuk sudut datang lebih dari 90º. Untuk ukran obyek yang berbeda juga menunjukan perbedaan nilai dan pola hamburan bistatik. Nilai hamburan untuk ukuran obyek yang lebih besar memberikan nilai hamburan yang lebih besar, sedangkan nilai mínimum bergeser ke nilai hamburan yang lebih besar ataupun ke nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran obyek yang lebih kecil. Dan pada frekuensi yang sama, scattering berbeda signifikan untuk TE dan TM pada sudut datang 90°.
REFERENCES [1]
[2]
[3] [4]
Gambar.2. Bistatic Scattering (dB) vs theta (degree) dengan perubahan parameter k mulai dari 1, 2, dan 3, dan sudut polarisasi 0° dan 90 ° untuk masing-masing nilai k. perbandingan a/b = 2.
[5] [6]
[7]
V. KESIMPULAN Kesimpulan secara umum, bahwa bistatic scattering semakin besar untuk jari-jari titik hujan yang semakin besar pula. Dari gambar 2 tersebut menunjukan bahwa ada variasi nilai hamburan bistatik untuk sudut datang gelombang EM yang berbeda. Nilai hamburan menunjukan penurunan untuk sudut
[8]
Kanellopoulos J.D, Koukolas S.G (1991), “Outage Performance Analysis of Route Diversity Systems of Cellular Structure, Radio science Vol.26, Number 4, hal.891-899. Fiddin, Fikih A. dkk., “Computation of Rain Attenuation in Tropical Region with Multiple Scattering and Multiple Absorption Effects Using Exponential Drop Size Distribution.” URSI General Assembly and Scientific Symposium of International Union of Radio Science Turkey, 2011. Brussaard, G. dan P. A. Watson, Atmospheric Modelling and Milimeter Wave Propagation, Sec. 4.2, Chapman & Hall, London, 1994. Li, Le-Wei,dkk., “Microwave Attenuation by Realistically Distorted Raindrops: Part I-Theorys," IEEE Trans. Antennas Propagat., Vol. 43, No. 8, 811-822, 1995. Marshall, J. S. and W. M. Palmer, “The distribution of raindrops with size,” J. Meteorology, Vol. 5, 165-166, 1948. Sekine, M., C.-D. Chen, dan T. Musha, “Rain attenuation from Lognormal AND Weibull Raindrop-size distribution,” IEEE Trans. Antennas Propagat., Vol. 35, No. 3, 358-359, 1987. Setijadi, Eko dkk., “Effect of Temperature and Multiple Scattering on Rain Attenuation of Electromagnetic Waves by a Simple Spherical Model.” PIER 99, 339-354, 2009. Setijadi, Eko and Matshushima A., “Numerical Analysis of Electromagnetic Wave Scattering from Dielectric Spheres and its Application to Computing Specific Rain Attenuation by Realistic Distribution Models.” Kumamoto Univ., 2010.G. O. Young, “Synthetic structure of industrial plastics (Book style with paper title and editor),” in Plastics, 2nd ed. vol. 3, J. Peters, Ed. New York: McGraw-Hill, 1964, pp. 15–64.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
93
TATA KELOLA FILING SATELIT BERSTATUS RETURN OF NOTICE Anna Christina Abstrak — Orbit satelit merupakan sumber daya alam terbatas yang bernilai ekonomis tinggi. Dalam pemanfaatannya diperlukan pendaftaran filing ke ITU (International Telecommunication Union) dan pendaftaran ISR (Ijin Stasiun Radio) ke Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika up. Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika). Dalam hal pendaftaran filing ke ITU, berdasarkan pengecekan ITU dapat ditemukan unfavorable finding (PART-IIIS) dimana berkas filing tersebut akan dikembalikan kepada Administrasi bersangkutan untuk diselesaikan koordinasinya. Upaya penyelesaian koordinasi perlu dilakukan dengan manajemen yang baik agar memenuhi tenggat waktu yang ditentukan oleh ITU dan menghindari potensi hilangnya filing Indonesia. Maka perlu dilakukan inventarisasi hal-hal yang menyangkut return of notice itu sendiri seperti konsep, potensi interferensi yang merugikan (harmful interference) dan bentuk koordinasi. Langkah selanjutnya adalah mencari metode pengelolaan yang tepat untuk mengoptimalkan upaya tersebut dengan pemanfaatan software dan eksplorasi website. Tulisan ini merupakan kajian pustaka yang diharapkan dapat menjadi langkah awal yang mendasari kajian yang lebih mendalam dari seluruh aspek notifikasi dan recording dalam upaya pengelolaan filing Indonesia. Kata Kunci : Administrasi, filing, interferensi, unfavorable finding
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Permasalahan Latar belakang akan menjelaskan bagian dari Radio Regulation yang mengatur mengenai koordinasi, notifikasi dan perekaman frekuensi terkhusus pada Artikel 4, 9, dan 11. Akan disajikan gambar regulatory period pendaftaran filing satelit yang merupakan ringkasan Radio Regulation dan akan dijelaskan berbagai jenis status filing dalam proses pendaftaran filing. Pada prinsipnya status filing dapat bersifat junior maupun senior berdasarkan first in first served, dimana status filing yang lebih junior akan memproteksi keberadaan filing yang lebih senior. Sebelum filing satelit suatu Administrasi masuk ke dalam daftar MIFR (Master International Frequency Register), yang merupakan database resmi penempatan
frekuensi satelit dan terestrial yang dikelola oleh ITU, Administrasi dimaksud perlu menyelesaikan koordinasi dengan Administrasi negara lain dengan filing status yang lebih senior untuk mencegah terjadinya interferensi yang merugikan (harmful interference). Enam bulan sebelum berakhirnya masa 7 tahun penyelesaian notifikasi, melalui hasil pemeriksaan ITUR apabila ditemukan unfavorable finding, Biro akan mengirimkan surat Return of Notice kepada Administrasi yang belum selesai koordinasinya. Filing yang bersifat Return of Notice wajib diselesaikan koordinasinya dalam waktu enam bulan, apabila hal ini diabaikan maka date-of-receipt dari filing tersebut tidak dapat dipertahankan lagi (suppression) dan berakibat hilangnya status senior sehingga perlu mengulang prosedur pendaftaran agar frekuensi satelit tersebut tetap dapat dimanfaatkan. Mengingat rata-rata umur satelit adalah 15 (lima belas) tahun dan masa pendaftaran adalah selama 7 (tujuh) tahun, maka penghapusan filing (filing suppression) wajib untuk dihindari. Tahap pengumpulan data Return of Notice bukanlah perkara yang mudah, oleh sebab ITU hanya menyampaikan daftar nama Administrasi negara yang belum selesai koordinasinya. Kemudian merupakan upaya penulis dalam mencari, mengolah dan menentukan filing mana saja dari ratusan filing Administrasi negara lain dimaksud yang berpotensi menyebabkan gangguan yang merugikan terhadap salah satu filing milik Indonesia. Setelah data teknis siap, maka penyelesaian koordinasi baik secara korespondensi maupun tatap muka dilakukan. Apabila tidak mendapat respon setelah regulatory period tertentu, asistensi ITU dapat dimanfaatkan. Untuk mempermudah alur penanganan, paper ini bertujuan memberikan SOP (Standard Operating Procedure) yang efektif dan efisien. B. Maksud dan Tujuan Maksud tulisan ini adalah menyampaikan gagasan tentang pentingnya menjaga tenggat waktu ITU dalam proses notifikasi melalui pemanfaatan software di pasaran dan data dari website ITU, dan menyebarluaskan informasi pendaftaran orbit satelit. Tujuan atau sasarannya agar didapati suatu SOP tata kelola filing berstatus Return of Notice yang dapat membantu pemerintah dalam hal ini Administrasi Telekomunikasi Indonesia untuk mengevaluasi filing berstatus Return of Notice.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. C. Metode Metode yang digunakan adalah kajian pustaka dan pemanfaatan software untuk menganalisa dan mengolah data.
II. PENGUMPULAN DATA Contoh kasus adalah pada salah satu filing satelit milik Indonesia. A. Daftar nama Administrasi negara lain yang belum selesai koordinasinya Hal ini dilakukan dengan cara mengecek hasil pemeriksaan ITU dalam dokumen BRIFIC (BR International Frequency Information Circular) yang didapatkan dari circular CD IFIC 2-mingguan yang dikirimkan ke masing-masing Administrasi maupun dari website ITU itu sendiri. Data ini dibuka menggunakan software SpaceCom v6 dalam format mdb. B. Daftar nama filling Administrasi negara lain yang belum selesai koordinasinya Sorting data dilakukan berdasarkan batas separasi orbit (orbital arc) dan frekuensi setelah didapatkan data Administrasi yang ter-effected. Data ini didapatkan dari website ITU. C. Dokumen summary record koordinasi dari negaranegara yang ter-effected. Data ini didapatkan dari dokumen hardcopy dalam database pemerintah Indonesia.
III. PENGOLAHAN DATA Pemanfaatan software dan dongle Visualyse GSO untuk mencari overlapping network. Dari data olah ini akan dihasilkan nama-nama filling yang masih perlu dikoordinasikan agar tidak terjadi interferensi yang merugikan. Penyelesaian koordinasi dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu bertemu secara “Home or Away” ataupun melalui korespondensi. Prosedur permintaan koordinasi ini akan ditampilkan dalam bentuk flowchart.
IV. KESIMPULAN Kesimpulan berupa flowchart SOP tata kelola filing berstatus Return of Notice.
94
95 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Demodulasi Terdistribusi pada Jaringan Sensor Nirkabel Ari Endang Jayati, Wirawan Ari Endang Jayati adalah staf pengajar Teknik Elektro Universitas Semarang dan mahasiswi S2 Telekomunikasi Multimedia ITS, Surabaya Indonesia 60111 (e-mail: ari10@ mhs.ee.its.ac.id). Wirawan adalah Kepala Laboratorium Telekomunikasi Multimedia Jurusan Teknik Elektro ITS, Surabaya Indonesia 60111(email :
[email protected])
Abstrak— Pada sistem deteksi terdistribusi jaringan sensor nirkabel, sejumlah sensor disebar secara acak untuk monitoring kondisi lingkungan dan saling bekerja sama melakukan deteksi untuk menggabungkan informasi yang diperoleh sehingga dapat menentukan atau membedakan dua atau lebih hipotesa. Algoritma yang digunakan adalah konsensus terdistribusi dimana data yang diperoleh oleh setiap sensor akan diperbaharui setiap waktu oleh sensor tetangganya. Hasil pendeteksian tersebut akan diberikan kepada sensor tetangganya kemudian dilakukan penggabungan sehingga diperoleh hasil deteksi yang optimal dari informasi yang ada. Pada penelitian ini akan membandingkan tiga metode pada demodulasi sistem terdistribusi yaitu Zero Forcing, Minimum Mean Squared Error dan Method of Multiplier (MoM). Parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja ketiga metode tersebut adalah Signal to Noise Ratio (SNR) dan Symbol Error Rate (SER). Index Terms— Jaringan Sensor Nirkabel, Konsensus Terdistribusi, Zero Forcing, Minimum Mean Squared Error, Method of Multiplier (MoM)
I.
PENDAHULUAN
ada saat ini jaringan sensor nirkabel berkembang sangat pesat, hal ini dikarenakan jaringan sensor nirkabel mempunyai aplikasinya yang sangat luas diberbagai bidang kehidupan, seperti bidang militer, kesehatan, perumahan, industri, transportasi dan lingkungan. Di bidang militer contohnya, penyebaran yang cepat dan dinamis serta selforganization dari jaringan sensor membuat sistem ini menjadi suatu sistem penginderaan yang sangat menjanjikan untuk keperluan militer diantaranya dalam memberi aba-aba, sistem kontrol, dan intelijen. Dibidang kesehatan, jaringan sensor dapat digunakan untuk memonitor kondisi pasien, dinama data psikologis pasien dapat diakses menggunakan remote oleh dokter. Jaringan sensor juga dapat digunakan untuk mendeteksi penyebaran polutan/bahan kimia asing pada udara dan air, dapat membantu mengindentifikasi jenis, kadar dan lokasi dari polutan (Akyldiz, 2002). Sebuah jaringan sensor nirkabel terdiri dari sejumlah sensor yang disebar pada suatu daerah tertentu yang disebut sebagai sensor field/medan sensor. Penyebaran sensor ini dapat
P
dilakukan secara acak atau mengikuti suatu pola tertentu. Masing-masing sensor dilengkapi dengan beberapa komponen utama yaitu sensor, memori dan peralatan komunikasi.
Gambar 1. Arsitektur Jaringan Sensor Nirkabel (Anastasi, 2009)
Pada sistem deteksi terdistribusi jaringan sensor nirkabel, sejumlah sensor disebar secara acak untuk monitoring kondisi lingkungan dan saling bekerja sama melakukan deteksi untuk menggabungkan informasi yang diperoleh sehingga dapat menentukan atau membedakan dua atau lebih hipotesa. Permasalahan dalam jaringan sensor nirkabel sistem terdistribusi adalah bagaimana mendeteksi pesan seefisien mungkin yang dikirimkan multiantena Access Point (AP) ke suatu jaringan sensor nirkabel. Karena keterbatasan sumber daya maka sensor hanya bisa melakukan proses demodulasi linier. Pada penelitian ini akan membandingkan tiga metode pada demodulasi sistem terdistribusi yaitu Zero Forcing, Minimum Mean Squared Error dan Method of Multiplier. Parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja ketiga metode tersebut adalah Signal to Noise Ratio (SNR) dan Symbol Error Rate (SER).
II.
MODEL SISTEM
Model sistem yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem deteksi terdistribusi jaringan sensor nirkabel dengan topologi serial. Multi antena AP dengan M antena memetakan matriks ruang-waktu S ukuran MxN menjadi alfabet terbatas 𝒜 dengan N adalah jumlah slot waktu. AP mentransmisikan S ke jaringan sensor nirkabel dengan jumlah sensor J. Kanal antara AP dan sensor bersifat fading dengan koefisen fading hj yang bersifat statik terhadap waktu tetapi berubah dari transmisi ke transmisi. Jaringan sensor nirkabel dimodelkan sebagai graph 𝒢 := {ℰ,𝒥} dimana 𝒥 := {1, . . . , 𝐽}
96 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. menggambarkan himpunan sensor dan ℰ ⊂ 𝒥×𝒥 adalah himpunan link komunikasi (graph edges). Himpunan tetangga dari sensor j dinotasikan dengan 𝒩𝑗 ⊆ 𝒥. Model sistem dapat dilihat pada gambar 2.
C. Sumber Multi antena AP dengan M antena memetakan matriks ruangwaktu S ukuran MxN menjadi alfabet terbatas 𝒜 dengan N adalah jumlah slot waktu. AP mentransmisikan S ke jaringan sensor nirkabel dengan jumlah sensor J. Simbol s bersifat independen dan uniform dan modulasi yang digunakan adalah 4-PAM. Pulse Amplitude Modulation (PAM) merupakan modulator yang memodulasi pulsa berdasarkan amplitudo. Sinyal PAM direpresentasikan sebagai :
sm (t ) Re[ Am g (t )e j 2fct ]
Am g (t ) cos 2f ct , m 1,2,...., M , 0 t T Gambar 2. Model Sistem
A. Sensor Pada makalah ini digunakan pemodelan penyebaran sensor dengan menggunakan distribusi uniform. Pemodelan penyebaran sensor dengan menggunakan distribusi uniform dapat dirumuskan dengan: f ( xi , yi )
1 a a xi , yi 2 2 a 2
(1)
dimana a merupakan batas minimum panjang daerah yang akan dimodelkan dan b merupakan batas maksimum panjang daerah yang akan dimodelkan. Model pendeteksian sensor yang digunakan adalah model deteksi biner. Jangkauan sensing dari sensor dimodelkan isotropik dengan radius tertentu yang disebut range sensor (rs). Jarak antara target dan sensor digunakan jarak Euclidean :
di
(4)
Dimana M=2k yang mungkin dari k blok bit atau simbol.
xi xt yi yt 2
2
(2) dengan : di = jarak target dengan sensor ke i (xi,yi) = koordinat dari sensor (xt,yt) = koordinat dari target di = jarak target dengan sensor ke i Jika target berada dalam range sensor maka diasumsikan terdeteksi dan jika diluar range sensor maka tidak terdeteksi. B. Kanal Data dari antena Access Point (AP) dikirimkan ke sensor melalui kanal fading dengan koefisien fading hj yang bersifat statik terhadap waktu transmisi AP ke sensor, tetapi berubah dari transmisi ke transmisi. Blok yang diterima yj ukuran N x 1 pada sensor ke-j diberikan hubungan input output sbb :
y j S T hj j
(3)
Topologi yang digunakan adalah topologi jaringan mesh. Komunikasi antara sensor yang berdekatan dalam hop tunggal melalui saluran yang bersifat ideal dan time-invariant. Noise kanal adalah additive white noise Gaussian dan tidak berkorelasi antar kanal.
D. Teori Graph Secara umum bentuk dari graph dapat dirumuskan menjadi G = (V,E). Suatu graph dikatakan terhubung apabila terdapat suatu edge diantara node tersebut. Komposisi dari graph dapat dituliskan dengan matrix adjacency N x N, A [ An ] dimana Anl 1 jika (n, l ) E dan lainnya bernilai 0. Dari degree yang didapatkan dapat diperoleh suatu matrix diagonal D diag (d1......d n ) . Matrix Laplacian (L) dari suatu graph dapat diperoleh dari persamaan dibawah ini. : L=D–A (5) E. Algoritma Konsensus Terdistribusi Algoritma konsensus terdistribusi adalah suatu algoritma dimana data yang diperoleh oleh setiap sensor akan diperbaharui setiap waktu oleh sensor tetangganya. Hasil (2.2) diberikan kepada sensor pendeteksian tersebut akan tetangganya kemudian dilakukan penggabungan sehingga diperoleh hasil deteksi yang optimal dari informasi yang ada. Terdapat dua macam algoritma yang termasuk algoritma konsensus terdistribusi, algoritma tersebut adalah Consensus Averaging Single Iteration (CA-SI) dan Consensus Averaging Method of Multipliers (CA-MoM). Pertukaran pesan antara sensor tetangga single hop dalam bentuk terdistribusi dapat menggunakan MoM. v ji (k ) v ji (k 1)
2
( s j (k ) si (k )),
j J,i N j
s j (k 1) ( H j H j 2 | N j | I NM ) 1{H j y j [v ji (k ) T
T
iN j
vij (k ) (s j (k ) si (k ))]}, j J
(6)
F. Demodulator Linier Terdistribusi Ada 2 jenis algoritma demodulator linier terdistribusi yaitu Zero Forcing (ZF) dan Minimum Mean-Square Error (MMSE). ZF akan membalikkan efek kanal dengan cara mengalikan vektor sinyal yang diterima dengan pseudo-inverse dari matrik kanal (Proakis, 2008). Bentuk demodulator Centralized Zero Forcing sebagai berikut :
97 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
1 J (7) || y j H j s || 2 ( H T H ) 1 H T y s 2 j 1 Sedangkan persamaan demodulator Centralized MMSE dapat dituliskan (Zhu, 2010) :
SER for 4-PAM modulation ZF and MMSE equalizer (Rayleigh channel)
sˆZF arg min
(H H I T
III.
2 s NM
1
T
) H y
(7)
Symbol Error Rate
sˆMMSE s2 H T ( s2 HH T I NJ ) 1 y
-1
10
-2
10
-3
10
SIMULASI DAN ANALISA HASIL -4
10 Pemodelan Sistem : - Model Sumber - Model Sensor - Model Topologi Jaringan
-5
10
Menerapkan Demodulator Centralized MMSE
0
5
10
15
20
25
SNR,dB
Penentuan Parameter : - Jenis Modulasi - Luas Area - Jumlah Sensor - Parameter Kanal
Menerapkan Demodulator Centralized Zero Forcing
sim (nTx=2, nRx=2, Centralized ZF) theory (nTx=2, nRx=2, Centralized ZF) sim (nTx=2, nRx=2, Centralized MMSE) theory (nTx=2, nRx=2, Centralized MMSE)
Gambar 4. SER vs SNR Centralized Zero Forcing dan Centralized MMSE
Optimasi data dengan MoM
Mengukur Kinerja SER
Perbandingan Kinerja
Kesimpulan
Gambar 3. Langkah-langkah Penelitian
Tahap pertama menentukan model dari sistem, tahap kedua menentukan parameter sistem yang digunakan, tahap ketiga membuat simulasi dengan menggunakan software Matlab. Tahap keempat analisa kinerja dari sistem. A. Centralized Zero Forcing dan Centralized MMSE Pada simulasi yang pertama ini, luas area yang digunakan adalah 10m x 10m dengan node sebanyak 2 buah yang disebar menggunakan distribusi uniform. Parameter lain yang digunakan adalah range komunikasi node sensor sebesar r = 0,5 dan kedua node dihubungkan dengan jarak Euclidean kurang dari r. Simbol berasal dari konstelasi 4 PAM dan dipetakan langsung ke matrik S dimana Ap memiliki antena M=2. SNR antara AP ke sensor dalam dB sebesar SNR : 10 log10 ( s2 h2 ) dB.
Gambar 4 membandingkan antara Centralized Zero Forcing dan Centralized MMSE dengan teori. Pada grafik tersebut terlihat antara Centralized Zero Forcing dan Centralized MMSE berimpit walaupun sebenarnya agak berbeda nilainya. Kinerja MMSE akan sama dengan Zero Forcing untuk Centralized jika informasi dimodulasi 4 PAM dan dilewatkan kanal Rayleigh. Nilai SER dapat terlihat pada tabel berikut : Tabel 1. Perbandingan Centralized Zero Forcing, Centralized MMSE dan Method of Multiplier
SNR(dB) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
SER Centralized Zero Forcing 0,443659 0,413468 0,381576 0,349127 0,316595 0,282876 0,250672 0,220208 0,189886 0,16269 0,138064 0,114726 0,096152 0,079064 0,065082 0,053488 0,042848 0,034848 0,027873 0,022523 0,01801 0,014779 0,0114 0,009181 0,007314 0,005857
SER Centralized MMSE 0,480292 0,445274 0,408185 0,372383 0,335617 0,298653 0,263109 0,230307 0,198767 0,169138 0,14276 0,120246 0,099171 0,081765 0,067447 0,054611 0,044657 0,035749 0,028706 0,023154 0,018565 0,014794 0,011803 0,009475 0,00752 0,006115
SER MoM 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,752 0,724 0,718 0,677 0,64 0,59 0,515 0,445 0,327
98 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. [3]
Channel Decoding,‖ IEEE Trans. On Signal Processing, vol. 57, 2009,
B. Method of Multiplier
pp 3970-3983.
SER for 4 PAM CA MoM Zero Forcing
0
Hao Zhu, Alfonso Cano, Georgios B. Giannakis, ―Distributed in Network
10
[4]
Hao Zhu, Alfonso Cano, Georgios B. Giannakis, ―Distributed Consensus-Based Demodulation : Algorithm and Error Analysis,” IEEE
-1
10
Transactions on Wireless Communications, 2010, Vol. 9, No. 6.
Symbol Error Rate
[5] -2
J.G. Proakis (2001). ―Digital Communications, 4th edition,‖ New Jersey : McGraw-Hill.
10
[6] -3
Citra Devi Murdiningtyas, ―Dekode Berbasis Konsensus Dalam Pengkodean Kanal yang Terdistribusi Pada Jaringan Sensor Nirkabel,‖
10
Thesis S2 ITS, 2011. -4
10
CA-MoM theory 0
5
10
15
20
25
SNR, dB
Gambar 5. Perbandingan Method of Multiplier dengan Teori
Pada simulasi yang kedua parameter yang digunakan sama dengan simulasi yang pertama yaitu dengan node sebanyak 2 buah yang disebar menggunakan distribusi uniform. Pada gambar 5 terlihat hasil demodulasi menggunakan algoritma konsensus terdistribusi MoM dimana data yang diperoleh oleh setiap sensor akan diperbaharui setiap waktu oleh sensor tetangganya. Hasil pendeteksian tersebut akan diberikan kepada sensor tetangganya kemudian dilakukan penggabungan sehingga diperoleh hasil deteksi yang optimal dari informasi yang ada. Terlihat bahwa hasil simulasi masih jauh berbeda dari teori yang mempunyai nilai SER di atas SNR 18 dB. IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan : 1) Demodulasi terdistribusi dari simbol yang ditransmisikan dari AP ke jaringan sensor nirkabel telah dilakukan menggunakan konsensus dimana data yang diperoleh oleh setiap sensor akan diperbaharui setiap waktu oleh sensor tetangganya. 2) Algoritma Centralized MMSE memiliki kinerja yang sama dengan Centralized Zero Forcing untuk informasi yang dimodulasi 4 PAM dan dilewatkan kanal Rayleigh. 3) Algoritma konsensus terdistribusi menggunakan MoM telah dicoba untuk memecahkan masalah demodulasi linier dalam bentuk terdistribusi. REFERENSI [1]
Akyldiz, I.F, Sankarasubramaniam, Y, dan Cayirci, E,’’A Survey on Sensor Network,‖ IEEE Commun Mag, 2002, hal. 102-114.
[2]
Hao Zhu, Alfonso Cano, Georgios B. Giannakis, ―Distributed Demodulation
using
Consensus
Averaging in Wireless
Sensor
Networks,” Signal and Computers, 42’nd Asilomar Conference on Signals, Sys and Comp, 2008.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
99
Preliminary Design of the Iinusat Inter-Satellite Link System Arifin Nugroho, Nurwahidah Jamal , and Suryadi Tanuwijaya Insitut Teknologi Telkom, Jl. Telekomunikasi Terusan Buah Batu Bandung 40257 Indonesia Telp: 62-22-756 4108 Fax: 62-22 756 5200 Email:
[email protected]
Abstract : This paper concerns with the main considerations for designing the Inter Satellite Link (ISL) for the system of Iinusat. It starts with the assessment of microwave spectrums required for operating the RF antennas and transceivers. In particular an analysis of how to cope with Doppler effect which inherently present in LEO system, is presented. The result will require a certain wide bandwidth of the PLL if we are to operate a coherent communications systems. Finally a choice of IEEE 802.11 is proposed for the networking of the group of satellites. Keywords : ISL; Doppler; coherent communications system; IEEE 802.11 I . INTRODUCTION Iinusat stands for Indonesian Inter-University Satellite, a nano-satellite being construed, designed and implemented by six universities and Lapan (Indonesia Space Agency) [see Tri , 2011]. After the implementation of the first satellite, the group has contemplated a cluster of similar ones being developed by each member of the group, to form a constellation. The first of the series will be functioning as a proof of concept of the design, focusing only on the spacecraft , battery and power, TT&C payload including VHF/UHF antennas, and an Onboard Data handling, subsystems. In addition, the group is trying to let in a remote sensing S-band payload. The last subsystem will send images information resulting from the image taking by a camera then to be relayed toward the earth. The nano-satellite, by its nature, has both power and mass constraints, thereby it has an inherent mission’s limitation. As an example, the Iinusat will send only captured images of Jpeg formats throughout one cycle of orbit above Indonesia , reflecting the images of one stripe of 600 km wide and 1000 km length. It is impossible to send further images obtainable from the stripe’s extension unless the present satellite can relay the additional images information to next Iinusat within the constellation and have, in turn, rerelayed it back to earth . As the number of constellation member increases, there will be more images coming from the further stripe’s extension can be obtained. Other small satellites missions have indicated the relevance of having more than one nano-satellite constituting a formation which will do a mission which is undoable by only a single nano-satellite . An example would be a mission to create a three-dimensional images or other effects out of many individual images obtainable from each member of the satellites cluster.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
100
The underlying needs of the above cases would be Inter Satellite Links (ISL). The ISL will function as a relay system which interconnect one nanosat to the other, so as to form a network. There are successful ISLs nowadays being implemented such as Iridium [see Ma Jinling & Lu Ruimin, 2011], and other systems. This paper will outline the assessment of design alternatives being taken in light of accommodating the ISLs in the Iinusat constellation. Subsequent paragraphs will be organized as follows : Section II describes the microwave technology approach of designing the ISL, Section III assesses the network protocol applicable in the Iinusat network, and Section IV concludes the paper. II MICROWAVE ISL : SPECTRUMS BEING PROPOSED Communications between LEO satellites can take place at the two scenarios. First, the inter satellite links are between satellites located at the same orbital planes, second, if they are at the different planes. The frequency bands available for this purpose are very well regulated by the ITU-R, and is summarized as in the following table [See Morgan, 1999]. Table 2-1 : the choice of ISL Frequency Bands
The use of both Ka and V bands comes from the consideration that the link lies totally outside the atmosphere and the atmospheric oxygen belt surrounding the Earth [ See Ma Jinling& Lu Ruimin, 2011], and therefore the link is not affected by rain attenuation which otherwise presents for the ground to satellite links. The very use of such higher frequencies will permit wider bandwidth, lower mass and power requirement payload. The Iridium system ISLs are of 23.5 GHz Ka-band, whereas the MILSTART system uses 60 GHz V-band ISL. In fact these two frequency bands lie closely to peaks in atmospheric RF energy absorption, which impede its practical use for either uplink and downlink frequencies. The two bands will provide smaller antennas, higher EIRP and smaller beams. In the ISL applications, both bands will render the link budget calculations depend on clear sky condition only. However, the true allocation of those bands for the ISL is to be determined in the future Word Radio Conference. Meanwhile, based on the present 2008 Radio Regulation, we are given the following bands [see 2008 Radio Regulation] :
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
101
Table 2-2 The Scientific and Amateur Satellite Allocation at S and Ka-bands Frequency (MHz) 2025 – 2110
Bandwidth (MHz) 85
2200 – 2290
90
24890-24990
100
28000-29700
300
ITU-status
Notes
SPACE OPERATION EARTH EXPLORATION SATELLITE SPACE RESEARCH SPACE OPERATION EARTH EXPLORATION SATELLITE SPACE RESEARCH
AMATEUR SATELLITE AMATEUR SATELLITE
The application of the above bands is subject for coordination under ITU-R. For the present study we will focus on the use of those bands for our Iinusat design. The Inter Satellite link exercise has already been developed by Ma Jinling and Lu Ruimin, which shows a.o. the data rate dependence upon distance for 60 GHz. This paper will extend the analysis to take into account the Doppler impairment which is notorious in any ISL. In LEO communications, in which there is a relative in velocity between transmitter and receiver, the normalized Doppler effect will be of v / c of the total reference frequency. Such an effect shall be compensated for before the coherent communication can take place. An attempt to synchronized the carrier under Doppler shift has been carrier out by [Katayama, et al, 2002], which utilize the previous result of Gardner [Gardner,1997]. Also in view of seam communications which takes place between two satellites at different orbital planes, a closed loop system employing smart antennas shall be called for. Basically the analysis is about how the PLL will behave if the carrier’s frequency and phase are both affected by the Doppler shift. Assuming the second order loop in the PLL, then loop can acquire the carrier without cycle slips if the maximum value of Doppler shift is less than the lock-in frequency :
fc m n (1). Here f c is the carrier’s frequency, m is the maximum value of the normalized Doppler shift, is the damping-factor of the PLL, and n is the natural frequency of the loop, which relates to the loop input bandwidth the quality factor Q and , as follows:
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
n
WL 1 2Q 4
102
(2).
In consequence, the PLL will be able to track the carrier phase if the following condition is satisfied :
1 WL 2 f c mQ 1 2 (3). 4 Presuming now the ISL between two satellites of two orbital planes approaches one another, then
m v / c 2 7.3747 /(3 105 ) 4.92 105. With f c 2.4 GHz, Q = 100, 1/ 2 , finally we conclude that WL 111.23 MHz. This bandwidth represent an input filter bandwidth of the PLL that shall be accounted for in light of tracking the carrier in the ISL operation. On the other, should we use
fc 23GHz , then WL 1.065GHz . In operating coherent link communication for the ISL employing the PLL, such bandwidths necessary for capturing the carrier shall be primarily taken into consideration. The use either S band or Ka band will affect the antenna design for the ISL. III. NETWORK PROTOCOL FOR IINUSAT Compared with terrestrial environment , the constellation of nanosatellites will be governed by the following medium : i) large transmission delays, ii) low signal to noise ratio and iii) large Doppler effect. Whereas iii) has been discussed at Section II, i) and ii) will affect the network protocol design being employed in the constellation. Presuming we are to choose the IEEE 802.11 to be implemented for Iinusat constellation for layer 2, whereas TCP/IP will be adopted for the networking protocol. The adoption of the IEE 802.11 needs the following remarks: i) ii)
iii)
The protocol is connectionless, equipped only by CRC as far as error control, leaving to the TCP/IP for making it connection oriented. The adaptation to space environment from the outdoor “echo-system” is necessary: In IEEE 802.11 standard defines SIFS 10us and DIFS 50us. However, these timings are only meaningful for indoor use of 300m ranges. In space environment, the e.m. waves travel at the velocity of light at the average distance of 3200 km, need 22 ms (round trip time) [ Chen, et all, 2010]. Therefore the MAC timing, in light of improving the probability of collision, needs to be all redefined. In the poles (as we use solar synchronous orbit) the interference will be inevitably high, therefore hand-offs are necessary.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. iv)
v)
vi)
103
In the seam communication whereby the satellites passing-by very quickly, Doppler effect will be extremely high, it is better off to hand offer the communications, in view of maintaining the phase-locked condition. The CDMA technique can offer better performance compared to TDMA because it improves the capacity by 100% reusing spectrum. The average power of CDMA is far less than TDMA, which is a particular benefit to small satellites like Iinusat. See [Sidibeh, 2006] Smart antennas need to be employed to cope for a dynamic nature of LEOs, so that the reception of correct signals during transfer of data coming from the wanted other satellite can be optimized, by at the same time minimizing other unwanted ( interference) signals.
IV CONCLUSION Iinusat satellites are designed to form a constellation and therefore will form a network of nano-satellites. This will certainly enhance the performance , increase the reliability and conduct many more tasks which otherwise can not be done by a single satellite. The paper will propose to use either S , Ka or V band as they are suggested or regulated by the ITU. By the nature of high mobility of LEOs satellites, this will pose the design problem for coherent communications as Doppler effect will inherently come about. For example, the input filter bandwidth shall be wide enough to cope with the insurgence of the Doppler effect. The protocol of IEEE 802.11 will be chosen in view of simplicity, however it needs some redefinition of the timing parameter of the MAC. While this preliminary suggestion needs more elaboration in the future, further research is also necessary for every aspect of networking of those satellites.
REFERENCES 1. Tri Kuntoro Priyambodo, et al, Program Inspire-Iinusat 1, (Internal Report of Inspire Program), Surabaya, May, 2011 2. Ma Jinling and Lu Ruimin, The Study on RF Inter-Satellite Links, Wireless Communications, Networking and Mobile Computing, (WiCOM), 2011, 7th International Conference on Digital Object Identifier, 3. Morgan, Walter L., Intersatellite Links, Tested idea to New Technology, Communications Center, Space Business International, 1999 4. ITU Radio Regulation 5. Katayama, et al, Carrier Synchronization under Doppler Shift of the Nongeostationary Satellite Communication Systems, Singapore ICCS/ISITA 1992 6. Gardner, F.M., Phaselock Techniques (2 nd Ed), John Wiley & Sons, 1979. 7. Chen B., et al, Implementation and Analysis of Networking Protocol for Low Earth Orbit Satellite Formation Network, ICISE 2010, 2nd International Conference on Digital Object Identifier 8. Sidibeh, K., and Vladimirova, T., IEEE 802.11 Optimisation Techniques for inter-Satellite Links in LEO Network, ICACT 2006.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
104
Modulated Wideband Converter (MWC) dengan Block-Sparse Compressive Sensing pada Sinyal Multiband Chaeriah Wael, Wirawan Chaeriah Wael adalah mahasiswa Pasca Sarjana Teknik Elektro ITS, Surabaya. (e-mail:
[email protected]). Wirawan adalah Kepala Laboratorium Komunikasi dan Multimedia, Jurusan Teknik Elektro ITS, Surabaya
Abstraksi—Metode sampling klasik dihadapkan pada masalah laju sampling yang dibatasi oleh laju Nyquist. Perkembangan teori compressive sensing memungkinkan adanya sub-Nyquist sampling yang mampu mencapai laju sampling jauh di bawah laju Nyquist. Modulated Wideband Converter (MWC) merupakan salah satu metode sub-Nyquist sampling yang memiliki keunggulan dibandingkan metode lainnya. Dalam makalah ini, penulis ingin menerapkan block-sparse compressive sensing yang secara teori memiliki performansi yang lebih baik daripada model sparse konvensional pada MWC. Selanjutnya hasil simulasi MWC dengan block-sparse compressive sensing dianalisa dan dibandingkan dengan MWC dengan framework compressive sensing standar. Kata kunci—Modulated Wideband converter, sub-Nyquist sampling, compressive sensing, block sparse
(CS). Pada compressive sensing, dengan sejumlah pengukuran terhadap sinyal sparse atau compressive melalui proyeksi random, sinyal asli dapat direkonstruksi secara sempurna dengan tingkat probabilitas yang tinggi. Prinsip CS memberikan penurunan yang signifikan pada laju sampling. Pada [6-7], ditunjukkan bahwa block-compressive sensing mampu memberikan performansi yang lebih baik daripada skema compressive sensing standar. Dengan mekanisme pemrosesan per blok, kompleksitas algoritma sampling menjadi lebih rendah, dapat meningkatkan kecepatan dan kualitas rekonstruksi yang lebih baik. Berangkat dari berbagai kelebihan yang dimiliki skema block-compressive sensing, penulis ingin menerapkan skema ini pada MWC. Selanjutnya dianalisa hasil simulasi MWC dengan block-sparse compressive sensing dan dibandingkan dengan MWC yang diusulkan pada [4].
I. PENDAHULUAN
T
eorema sampling klasik menyatakan bahwa sinyal lowpass, bandlimited pada rentang (-fmax, +fmax) dapat direkonstruksi dari sampel yang uniform jika laju sampling memenuhi laju Nyquist yakni fnyq = 2fmax. Dalam kasus sinyal multiband dengan spektrum sparse, metode sampling klasik tidak efektif digunakan. Metode sampling Nyquist juga menghadapi masalah secara praktis jika diterapkan pada sinyal wideband yang mencapai GHz, karena perangkat ADC yang tersedia di pasaran tidak mendukung laju sampling yang tinggi. Sebagai solusinya dikembangkan metode Sub-Nyquist sampling yang dimana laju sampling yang dibutuhkan jauh di bawah laju Nyquist. Beberapa metode sub-nyquist sampling telah diusulkan, yakni multicoset sampling [1-2], Random Demodulator (RD) [3], dan Modulated Wideband Converter (MWC) [4-5]. Masing-masing metode menggunakan pendekatan yang berbeda baik dalam model sinyal yang diasumsikan, proses sampling dan proses rekonstruksi sinyal. Walaupun demikian, ketiga metode ini menjamin proses rekonstruksi sinyal dilakukan secara sempurna. Dari hasil penelitian sebelumnya [5], MWC memiliki beberapa keunggulan diantaranya mendukung sistem fully blind, proses komputasi yang ringan, efisien dalam implementasi pada hardware yang ada serta lebih stabil karena menggunakan clock uniform. MWC menggunakan framework Compressive Sensing
II.
PEMODELAN SISTEM
Secara umum, model sistem yang diusulkan terdiri atas tiga tahapan utama, yaitu sampling, deteksi support sinyal dan rekonstruksi sinyal asli. Blok diagram sistem yang diusulkan dapat dilihat pada Gambar 1. Untuk perbandingan kinerja, dilakukan dua skenario, yakni MWC dengan pemodelan sparse dan block sparse. y1[n] h(t) x(t)
t = nTs
p1(t)
⋮ yL[n]
CS CmxM
z1[n]
MMV
m<M
zN[n]
h(t)
Signal Recovery
Pm(t)
Gambar 1. Blok diagram sistem
Kedua skenario pemodelan sinyal menggunakan blok diagram pada Gambar 1. Perbedaan kedua skenario ini terletak pada proses sampling dimana skenario pertama menggunakan MWC dengan pemodelan sparse sementara skenario lainnya menggunakan model block sparse. Ilustrasi kedua pemodelan sinyal ini dapat dilihat pada Gambar 2. A. Pemodelan sinyal input Sinyal multiband x(t) adalah sinyal analog kontinyu dalam domain waktu dengan nilai real dimana energinya
∑
𝑥(t)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
105
terkonsentrasi pada satu atau lebih disjoint band frekuensi. x(t) 1 1 diasumsikan bandlimited pada ℱ = [− 2 𝑓𝑛𝑦𝑞 , + 2 𝑓𝑛𝑦𝑞 ) dengan 0 untuk 𝑓 ∉ ℱ. Support spektral sebuah sinyal multiband merupakan gabungan dari interval frekuensi dimana energi sinyal terkonsentrasi. Transformasi Fourier dari x(t) didefinisikan sebagai : ∞
𝑥 𝑡 𝑒 −𝑗2𝜋𝑓𝑡 𝑑𝑡
𝑋 𝑓 =
(1)
−∞
Sinyal multiband sparse adalah sinyal multiband yang Support spektralnya memiliki Lebesgue measure relatif kecil terhadap bandwidth sinyal secara keseluruhan [8]. Jika semua band yang aktif memiliki bandwidth yang sama B Hz dan sinyal terdiri atas K frekuensi disjoint, maka sinyal multiband sparse memenuhi KB << fNyq.
Gambar 4. fungsi pencampur dan respon frekuensi LPF
Mekanisme MWC pada sinyal multiband dapat dipahami dengan memperhatikan sistem ekivalennya pada Gambar 5(b). Sinyal x(t) dibagi dalam M = 2L + 1 kanal, dengan L adalah integer terkecil sehingga M ≥ TfNyq. Pada kanal ke-l, dilakukan frekuensi-shift sebesar l/T Hz, -L ≤ l ≤ L. Kemudian daerah baseband [-1/2T, 1/2T] difilter dan disampling setiap T detik menghasilkan sekuens zl[n] (bernilai kompleks) seperti terlihat pada Gambar 6. Jika x(t) terdiri atas sedikit energi terkonsentrasi, maka sebagian besar zl[n] akan bernilai nol, karenanya digunakan framework compressive sensing. Untuk setiap satuan waktu, vektor z[n] = [z-L[n], ..., zL[n]]T dikompres menjadi vektor output y = [y1[n], ..., ym[n]]T menggunakan proyeksi linear y[n] = Cz[n] (2) y1[n] h(t) t = nTs
p1(t)
x(t)
⋮ yL[n] h(t) PL(t)
(a)
Gambar 2. Pemodelan sinyal : (a) model sparse (b) model block sparse
(b)
Gambar 5. (a) blok diagram MWC (b) sistem ekivalen MWC
Gambar 3. Sinyal multiband Gambar 6. Sekuens zl[n]
B. Modulated Wideband Converter (MWC) MWC terdiri atas front-end analog dengan m kanal. Pada masing-masing kanal setiap sinyal dikalikan dengan fungsi pencampur pi(t) yang periodik dalam waktu Tp dimana setiap nilai pi(t) ∈ +1, −1 . Sinyal yang telah dicampur difilter menggunakan Low Pass Filter (LPF) dengan frekuensi cutoff 1/2Ts serta memiliki respon frekuensi yang ideal berbentuk rectangular. Output filter kemudian disampling pada laju 1/Ts. Gambar 4 menunjukkan gelombang periodik fungsi pencampur dan respon frekuensi h(t) dari LPF.
Dari gambar 5(a), diperoleh persamaan berikut : 𝑦𝑖 𝑛
𝑔𝑎𝑚𝑏𝑎𝑟 5(𝑎)
𝑔𝑎𝑚𝑏𝑎𝑟 5(𝑏)
=
𝑥 𝑡 𝑝𝑖 (𝑡) ∗ (𝑡)
𝑡=𝑛𝑇
(3)
𝐿
=
𝑐𝑖𝑙
𝑥 𝑡 𝑒 −𝑗2𝜋𝑙𝑡 /𝑇 ∗ (𝑡)
𝑡=𝑛𝑇
(4)
𝑙=−𝐿
Fungsi pencampur pi(t) merupakan fungsi periodik sehingga diperoleh pi(t) = pi(t + T) dengan transformasi Fourier sebagai berikut :
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. ∞
2𝜋
𝑐𝑖𝑙 𝑒 𝑗 𝑇 𝑙𝑡
𝑝𝑖 𝑡 =
(5)
1. 2.
𝑙=−∞
C. Deteksi Support dan Rekonstruksi Sinyal Deteksi support merupakan proses untuk mengedentifikasi Salah satu pendekatan untuk mengetahui support sinyal adalah berdasarkan matriks korelasi dengan mengubahnya menjadi permasalahan Multiple Measurement Vector (MMV) yang solusinya dapat diperoleh melalui compressive sensing [6]. Algoritma penyelesaian MMV adalah sebagai berikut : 1. Hitung matriks korelasi Q dari sinyal sample 𝑦 𝑛 𝑦 𝑇 [𝑛]
𝑄=
(6)
𝑧𝑖 𝑛 = 0 untuk 𝑖 ∉ 𝑆. Notasi CS berarti subset kolom dari matriks C yang diindikasikan oleh S. III. BLOCK-SPARSE COMPRESSIVE SENSING Permasalahan rekonstruksi sinyal sparse memperoleh banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Tujuan utama permasalahan ini adalah untuk menemukan vektor x yang tidak diketahui sebagai bentuk permasalahan invers sistem underdetermined y = Φx, dengan hanya sedikit elemen tidak-nol dari x yang diasumsikan. Matriks Φ disebut sebagai matriks kamus basis. Pada model sparsity standar, elemen tidak-nol diasumsikan dapat muncul di mana saja dalam vektor x. Dalam model block-sparse, nilai tidak-nol vektor x muncul dalam blok-blok atau kluster. Vektor x ∈ ℂ𝑝𝑁𝑥 1 dipandang sebagai rangkaian N blok dengan setiap blok memiliki p elemen. Vektor x dituliskan sebagai berikut : x = [xT[1] xT[2] ... xT[N]] (2) dimana x[i] ∈ ℂ𝑝𝑥 1 untuk i = 1, ..., N dan T menotasikan transpose. Vektor x disebut blok k-sparse jika x[i] memiliki Eucledian norm elemen tidak-nol sebanyak-banyaknya k indeks. Karena itu, kamus basis Φ dapat direpresentasikan sebagai rangkaian N matriks berukuran dxp. Φ = [Φ [1] Φ [2] ... Φ [N]] (3) dimana Φ [i] ∈ ℂ𝑑𝑥𝑝 untuk i = 1, ..., N. Salah satu algoritma recovery sinyal sparse yang banyak digunakan adalah Orthogonal Matching Pursuit (OMP). Versi blok dari algoritma OMP yang disebut Block Orthogonal Matching Pursuit (BOMP) telah diusulkan dalam [6]. Berikut adalah algoritma BOMP :
Inisialisasi residu r0 = y, index set S0 = ∅ Pada step ke-t (t ≥ 1), pilih blok yang paling match dengan rt-1 sesuai dengan : 𝑖𝑡 = arg max 𝐴𝑇𝑖 𝑟𝑡−1 2 𝑖
3.
Tambahkan index set dan matriks blok-blok yang telah dipilih : 𝑆𝑡 = 𝑆𝑡−1 ∪ 𝑖𝑡 dan Ψ 𝑡 = Ψ 𝑡−1 𝐴𝑖𝑡 Biasanya Ψ (0) menyatakan matriks kosong 4. Selesaikan permasalahan least square untuk memperoleh estimasi sinyal yang baru : 𝑥𝑡 = arg min y − Ψ (𝑡) 𝑥 2 𝑥
5.
𝑛
2. Dekomposisi matriks Q = VHV 3. Selesaikan sistem CS V = CU untuk memperoleh solusi yang paling sparse dari U 4. Support 𝑆 = 𝑖 𝑠𝑢𝑝𝑝 (𝑈𝑖 ) Setelah memperoleh support sinyal, matriks pseudo-inverse † 𝐶𝑆 dapat dihitung dan x(t) dapat direkonstruksi kembali melalui persamaan berikut : 𝑧𝑆 𝑛 = 𝐶𝑆† 𝑦 𝑛 7
106
Hitung residu baru sebagai : 𝑟𝑡 = y − Ψ (t) 𝑥𝑡 = y − †
6.
𝒫Ψ (t) y, dimana 𝒫Ψ (t) = Ψ (t) Ψ (t) adalah (t) proyeksi ortogonal ke column space Ψ , dan † menyatakan pseudo invers Jika 𝑟𝑡 2 ≥ 𝜖, ulangi step 2 ; jika sebaliknya prosedur selesai IV.
SIMULASI DAN ANALISA
Untuk mengevaluasi performansi sistem dengan pemodelan sparse konvensional, sinyal input diasumsikan terkontaminasi white noise Gaussian. Lebih tepatnya, penulis mengevaluasi performansi 500 sinyal test yang tercampur noise dalam bentuk x(t) + w(t), dimana x adalah sinyal multiband yang terdiri atas 3 pasangan sub-band dengan lebar setiap band B = 50 MHz. Secara matematis, sinyal input x(t) dituliskan sebagai berikut : 𝑁
𝑥 𝑡 =
𝐸𝑖 𝐵 𝑠𝑖𝑛𝑐 𝐵𝑡 cos(2𝜋𝑓𝑖 𝑡)
(8)
𝑖=1
Keterangan : x(t) : sinyal input analog N : jumlah band Ei : energi band ke-i B : bandwidth maksimum tiap band t : waktu fi : frekuensi carrier band ke-i Dimana sinc (x) = sin (πx)/ (πx). Koefisien energi bernilai tetap yaitu Ei = {1, 2, 3} dengan frekuensi carrier setiap sinyal 𝑓
𝑓
fi dipilih secara acak dalam range [− 𝑛𝑦𝑞 , 𝑛𝑦𝑞 ] dengan fnyq = 2 2 10 GHz. Jumlah band (N) sebanyak 6, dengan lebar maksimum tiap pita (B) adalah 50 MHz. Berikut adalah pilihan parameter-parameter sampling : N=6 B = 50 MHz L = 195 fp = fnyq/195 = 51,3 MHz fs = fp = 51,3 MHz m ≥ 2N = 12 M = 195 Gambar 7 menunjukkan plot sinyal input x(t) dalam domain frekuensi dengan 3 pasang sub-band. Gambar 8 adalah plot sinyal asli, sinyal asli yang tercampur noise serta sinyal hasil rekonstruksi, dimana terlihat bahwa support sinyal pada hasil
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
rekonstruksi sama dengan support sinyal asli.
107
metode sampling Modulated Wideband Converter (MWC). Dengan MWC, laju sampling yang dibutuhkan jauh di bawah laju Nyquist. Makalah ini masih belum mencakup penerapan blok compressive sensing. REFERENSI [1]
[2]
[3]
Gambar 7. Plot sinyal x dalam domain frekuensi [4]
[5]
[6]
[7] [8]
Gambar 8. Plot sinyal asli, sinyal asli yang bercampur noise serta sinyal hasil rekonstruksi
Gambar 9 menunjukkan kinerja proses recovery dengan level SNR yang berbeda-beda. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa recovery dapat dilakukan secara sempurna ketika nilai 𝑚 ≥ 40.
Gambar 9. Persentasi support recovery benar, dimana SNR = 25
V.
KESIMPULAN
Dalam makalah ini diteliti proses sampling sinyal multiband dengan lebar mencapai GHz (wideband) menggunakan
R. Venkataramani and Y. Bresler, “Perfect reconstruction formulas and bounds on aliasing error in sub-Nyquist nonuniform sampling of multiband signals,” IEEE Trans. Inform. Theory,vol. 46, pp. 2173-2183, Sept. 2000. M. Mishali and Y.C. Eldar, “Blind multiband signal reconstruction : compressed sensing for analog signals”, IEEE Trans. Signal Process., vol 57, no. 3, pp. 993-1009, mar. 2009. J. A. Tropp, J. N. Laska, M. F. Duarte, J. K. Romberg, and R. G. Baraniuk, “Beyond Nyquist: Efficient sampling of sparse bandlimited signals,” IEEE Trans. Inf. Theory, vol. 56, no. 1, pp. 520–544, Jan. 2010. M. Mishali and Y. C. Eldar, “From theory to practice: Sub-Nyquist sampling of sparse wideband analog signals,” IEEE J. Sel. Topics Signal Process., vol. 4, no. 2, pp. 375–391, Apr. 2010. M. Mishali, Y. C. Eldar, O. Dounaevsky, and E. Shoshan, “Xampling : Analog to digital at sub-nyquist rates,” CIT Report #751 Dec-09, EE Pub No. 1708, EE Dept., Technion - Israel Institute of Technology; [Online] arXiv 0912.2495, Dec. 2009. Y. C. Eldar, P. Kuppinger, and H Bolcskei, “Block-Sparse Signals : Uncertainty Relations and Efficient Recovery”, IEEE Trans. Signal Process., vol. 58, no. 6, pp. 3042-3054, June 2010. L. Gan, “Block Compressed Sensing of Natural Images,” Proc. Int. Conf. Digital Signal Process., Cardiff, UK, pp. 403-406, July 2007. Ping Feng, Universal Minimum-Rate Sampling and Spectrum-Blind Reconstruction for Multiband Signals, Ph.d., University of Illinois at Urbana-Champaign, Urbana-Champaign, IL U.S.A., 1997.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
108
Analisis Doppler Shift pada Sistem Komunikasi Satelit Nano Iinusat untuk Ketinggian Satelit 500 Km, 600 Km, 700 Km, 800 Km, 900 Km, dan 1000 Km Niko Permana R.W., Ibrahim Zein A., Riska Cahya W, ST. (1), Prof. Ir. Gamantyo H. M.Eng. Ph.D., Devy Kuswidiastuti, ST.,M.Sc.(2) Penelitian ini dilakukan oleh tim penelitian satelit JTE ITS 1.Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITS (e-mail :
[email protected],
[email protected]) 2. Peneliti dari Jurusan Teknik Elektro ITS Abstrak— Satelit nano Indonesia-Inter University Satellite (IiNUSAT) bergerak pada Low Earth Orbit (LEO).Pergerakan relatif satelit terhadap terminal di bumi dapat mengakibatkan pergeseran frekuensi kerja satelit yang dinamakan Doppler shift. Pada makalah ini disimulasikan pemodelan sistem komunikasi satelit nano IiNUSAT berdasarkan ketinggian satelit 500 Km, 600 Km, 700 Km, 800 Km, 900 Km, dan 1000 Km. Dari simulasi yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa semakin rendah kedudukan satelit maka nilai frekuensi Doppler shift semakin besar. Nilai Doppler shift terbesar terletak pada kedudukan 500 Km dengan nilai Doppler shift untuk lintasan uplink 3250 Hz dan lintasan uplink 9729 Hz.
I. INTRODUCTION
S
istem komunikasi satelit menawarkanbeberapakeunggulandibandingkandengansiste mkomunikasi yang lain, yaitusistemdapatmencakupdaerah (coverage) yang luasdalamwaktu yang singkatdanpemanfaatan yang luasdalamberbagaibidang. Untuk memacu penguasaan teknologi satelit di Indonesia, maka diperlukan upaya menuju penjajagan pengembangan sistem satelit oleh perguruan tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, dibentuklah Indonesian Nano Satellite Platform Initiative for Research and Education (INSPIRE) yang menggerakkan kemandirian mahasiswa untuk membuat dan meluncurkan satelit nano Indonesia yang pertama, Indonesian Inter-University Satellite (IiNUSAT). Satelit ini akan dibuat oleh enam perguruan tinggi di Indonesia (ITS, PENS ITS, UI, ITB, UGM, dan IT TELKOM), serta LAPAN.[1] Satelit nano IiNUSAT memiliki ukuran 10 cm x 10 cm x 30 cm dan massa sekitar dua kg. Satelit ini dirancang untuk bergerak pada Low Earth Orbit (LEO) dengan kecepatan tertentu. Pergerakan satelit ini dapat ditangkap oleh antena receiver dan diamati dengan menggunakan satellite trackingsoftware. Dalam sistem komunikasi bergerak dimana
user bergerak dengan kecepatan tertentu melalui sebuah lintasan dengan jarak tertentu, membuat terjadinya kesalahan penerimaan sinyal pembawa yang diterima oleh receiver. Kesalahan tersebut terjadi karena adanya pergeseran yang biasa disebut dengan efek Doppler. Pada komunikasi satelit, efek Doppler terjadi karena posisi pergerakan satelit yang berubah-ubah terhadap antena receiver di ground station.Doppler spread(Bd) adalah ukuran pelebaran spectral yang dikarenakan oleh pergeseran kanal dan didefinisikan sebagai interval frekuensi pada spektrum Doppler yang nilainya tidak sama dengan nol. Doppler spread digunakan sebagai parameter yang merepresentasikan ukuran pelebaran spektrum karena adanya perubahan dari kanal setiap waktu. Ketika dikirim sebuah sinyal sinusoidal murni dengan frekuensi f, maka spektrum sinyal yang diterima akan mempunyai komponen spectral dalam range (f-fd) sampai (f+fd), dengan fd adalah Doppler Shift. Ketika bandwidth sinyal basebandjauh lebih besar daripada Bd maka pengaruh dari Doppler spread dapat diabaikan oleh penerima. Padakanaltransmisiselaluterdapatpenambahannoise yang timbulkarenaakumulasinoisetermaldariperangkat, dimana dapatmemperburuksinyalinformasi.Noisetersebutdapatdidekati dengan model matematisstatistikAdditive White Gaussian Noise (AWGN).Padasisipenerima, sinyalinformasi yang terkenaefek Doppler dan AWGN berbedadengansinyalinformasi yang dibangkitkan. Denganmenggunakansistempenerimanonkoheren, sinyalinformasitersebutdiprosesdandideteksiuntukmenentukan apakahsinyalinformasi yang dikirimberupa bit 1 atau bit 0. Sinyalhasildeteksidibandingkandengansinyalinformasi yang dikirimkanuntukmendapatkanjumlahkesalahandeteksi bit yang terjadi. Berdasarkanjumlahkesalahantersebut, kinerjasistemkomunikasisatelitdapatdiketahui.Hasilanalisiskin erjasisteminidapatdigunakansebagaiacuandalammerancangsist emkomunikasisatelitnanoIiNUSAT yang reliable.[2] Penjelasan mengenai pemodelan sistem akan dibahas
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
109
Selanjutnyapadagambar2 (c) ,jaraksudutantara M dan N yang dapatdiukursepanjangjejakpadapermukaanbumidapatdinotasik ansebagai𝜓 𝑡 − 𝜓 𝑡0 dan t0 merupakan
Gambar 1 Ilustrasi Doppler Shift
pada bab 2. Sedangkan bab 3 berisi tentang hasil analisa dari nilai Doppler shift pada kedua lintasan. Kesimpulan dibahas di dalam bab 4. II. PEMODELAN SISTEM Secaraumum diagram bloksistemkomunikasisatelitnano IiNUSATmiripdengansistemkomunikasilainnya yang terdiridaritransmitter, kanal transmisi, danreceiver.Padapemodelansimulasimakalahini, digunakanbeberapaasumsi yang adapadainisialisasi parameter.Padasistemkomunikasisatelitterdapatdualintasanuta ma, yaituuplinkdandownlink.LintasandownlinkpadasatelitnanoIiN USATmemilikifrekuensicarrier 436,915 MHz, sedangkanfrekuensicarrier padalintasanuplinkadalah 145,95MHz.Karenaterdapatdualintasantransmisi yang memilikifrekuensicarrier yang berbeda, makaDopplershiftyang terjadijugaberbedauntuksetiaplintasantransmisi. IlustrasiDopplershiftpadakomunikasisatelitdapatdilihatpadaGa mbar 1. Perhitungan besarnya pergeseran frekuensi Doppler dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan matematis. Asumsi yang digunakan dalam pendekatan antara lain eksentrisitas (e) = 0 yang berarti bahwa lintasan orbit satelit berupa lingkaran (circular orbit), sudut inklinasi 53°. Agar dapatmelakukanpenjajaganposisisatelit, diperlukansuatupenggunaanilmugeometri, yaitudenganmenggunakansistemkoordinat Earth Centered Fixed (ECF).Penggunaansistemkoordinat ECF dapatdilihatpadagambar 2.Padagambar2, P merupakanlokasi terminal di bumi yang dapatmengamatisatelitpadasudutelevasimaksimum (θmax), sedangkan M merupakanposisisubsatelit di bumisaatsudutelevasinyamaksimum.Posisisatelitdapatditentuk andenganmenggunakanhukum cosine padasegitiga SOP, sehinggadidapatkanpersamaanposisisatelit : 𝑠 𝑡 =
𝑟𝐸2 + 𝑟 2 − 2 𝑟𝐸 𝑟 cos 𝛾(𝑡)
(1)
(a)
Gambar 2GeometriSatelitselamaDurasiKemunculanSatelit Dasar Geometri Satelit ; (b) Plane Triangle SOP ; (c) Spherical Triangle MNP
waktusaatsudutelevasibernilaimaksimum. Persamaaninidapatditerapkanmenggunakansegitiga sehinggadidapatkan :
cos 𝛾 𝑡 = cos 𝜓 𝑡 − 𝜓 𝑡0
cos 𝛾(𝑡0 )
MNP,
(2)
Persamaan (2) dapatditurunkandandisubstitusikankepersamaan (1) yang akanmenghasilkanpersamaan (3). 𝑠 𝑡 =
𝑟 𝐸 𝑟 sin 𝜓 𝑡 −𝜓 𝑡 0
cos 𝛾 𝑡 0 .𝜓 (𝑡)
𝑟𝐸2 +𝑟 2 −2 𝑟 𝐸 𝑟 cos 𝜓 𝑡 −𝜓 𝑡 0
Sudutelevasi yang terjadisaat epoch adalahsudutelevasimaksimum, makadiperoleh : cos (𝜃𝑚𝑎𝑥 + 𝛾(𝑡0 )) =
𝑟𝐸 𝑟
(3)
cos 𝛾 𝑡 0
cos 𝜃𝑚 𝑎𝑥
time
(t 0)
(4)
Dimana𝜓(𝑡) merupakan kecepatan sudut dari satelit pada frame ECF, oleh karena 𝜓 𝑡 = 𝜔𝑓 (𝑡), makan 𝜔𝑓 (𝑡) merupakan kecapatan sudut satelit pada ECF frame. Pergeseran frekuensi Doppler yang ternomalisasi (∆f / f) dapatdicaridaripersamaan𝑠 𝑡 /𝑐 sehingga diperoleh persamaan 5.Dari persamaantersebut, dapatdiketahuibahwaPergeseranfrekuensiDoppler ternormalisasimerupakanfungsidarisudutelevasimaksimumdan kecepatansudut (𝜔𝑓 (𝑡)) dari satelit pada ECF frame. ∆𝑓 𝑓
1
= −𝑐
𝑟𝐸 𝑟 sin 𝜓 𝑡 −𝜓 𝑡 0
𝑟𝐸 cos 𝜃𝑚𝑎𝑥 –𝜃𝑚𝑎𝑥 .𝜔 𝑓 𝑡 𝑟 𝑟𝐸 cos 𝑐𝑜𝑠 −1 cos 𝜃𝑚𝑎𝑥 –𝜃𝑚𝑎𝑥 𝑟
cos 𝑐𝑜𝑠 −1
𝑟𝐸2 +𝑟 2 −2 𝑟𝐸 𝑟 cos 𝜓 𝑡 −𝜓 𝑡0
(5) Hal yang perludiperhitungkanuntukmendapatkankarakterisasi Doppler adalahdurasikemunculansatelit.tvdinotasikansebagaiwaktusaats atelitterlihatdaristasiun di bumi. Sudutelevasi yang
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
110
terjadisaattv ,merupakansudutelevasi minimum untukkemunculansatelit (θv). Dari hukumcosine padasegitiga MNP, didapatkanhubungansepertipadapersamaanberikut : cos 𝛾(𝑡𝑣 ) = cos 𝜓 𝑡 − 𝜓 𝑡0
cos 𝛾(𝑡0 ) cos 𝛾 𝑡 𝑣 𝑡0
( 𝜓 𝑡 − 𝜓 𝑡0 = 𝜔𝑓 𝑡𝑣 − 𝑡0 = cos −1 ( cos 𝛾
Dengandemikian, durasi kemunculansatelitterhadapreceiver di stationdapatdiperkirakandenganpersamaan7.
)
(6) total ground
𝜏 𝜃𝑚𝑎𝑥 = 2 𝑡𝑣 − 𝑡0 𝜏 𝜃𝑚𝑎𝑥 =
2 ω s – ω E cos 𝑖
cos −1
𝑟𝐸 cos 𝜃𝑣 )−𝜃𝑣 ) 𝑟 𝑟𝐸 cos (cos −1 ( cos 𝜃𝑚𝑎𝑥 )−𝜃𝑚𝑎𝑥 ) 𝑟
cos (cos −1 (
(7) Persamaan 5 digunakandalamsimulasiiniuntukmendapatkannilaipergeseran Doppler ternormalisasi.Nilai Doppler ternormalisasiinidigunakanuntukmencarinilai Doppler shifttiaplintasandengancaramengalikannyadenganfrekuensicar riermasing-masinglintasan. III. ANALISIS HASIL SIMULASI Padababiniakandianalisapengaruhketinggiansatelitterhad apnilaipergeseranfrekuensikerja (Doppler shift) untukdualintasansistemkomuikasisatelityaituuplink dan downlinkakibatadanyapergerakanrelatifsatelitterhadapstasiunb umi. Dampak yang ditimbulkandaripergeseranfrekuensi Doppler iniyaitutimbulnyakesalahansaatpendeteksian data padapenerima.Hal initimbulkarena data yang terkirimberbedadengan data yang diterima. Hasilsimulasipertama yang diperolehberupakurva S normalisasipergeseranfrekuensi Doppler. Normalisasi Doppler yang berubahterhadapfungsiwaktuditunjukkanolehkurva S tersebutdengansudutelevasi minimum 10°dansudutelevasimaksimum 90°.Padagambar3tersebut, dapatdilihatbahwasemakinbesarwaktunyamakasemakinbesarp ergeseran Doppler yang terjadidanbegitusebaliknya.Waktuinimerupakansalahsatu parameter untukmenentukanletaksatelit.Ketikasatelitpertama kali munculdanterlihat di terminal di bumi, saatitumerupakanposisiterjauhsatelit ter-
Tabel I Parameter Sistem. Parameter Sudutelevasimaksimum Sudutelevasi minimum Kelengkunganbumi Konstantagravitasigeosentrisbumi Frekuensicarrier uplink Frekuensicarrier downlink Ketinggiansatelit 1 Ketinggiansatelit 2 Ketinggiansatelit 3 Ketinggiansatelit 4 Ketinggiansatelit 5 Ketinggiansatelit 6
Nilai 90° 10° 6371 Km 3,986x1014m3/s2 145,95 MHz 436,915 MHz 500 Km 600 Km 700 Km 800 Km 900 Km 1000 Km
Tabel II. Nilai Doppler ternonmalisasiberdasarkanketinggiansatelit. KetinggianSatelit (Km)
Normalisasi Doppler (x10 -4)
500 600 700 800 900 1000
0.2226 0.2177 0.2129 0.2082 0.2038 0.1994
Gambar3.Grafikrekuensi Doppler Normalisasi. hadap terminal, sehingga Doppler shift yang terjadicukupbesar. Kemudiansatelitterusbergerakmendekati terminal hinggaberadatepat di atasposisi terminal, dimana Doppler shift bernilai 0 (θmin = 90°). Waktupadasaat Doppler shift samadengannoldinamakanzero Doppler instant. Setelah melewatiposisiterdekat, satelitkembalibergerakmenjauhi terminal di bumisehinggapergeseranfrekuensi yang terjaditerusmeningkathinggasatelitakanhilangdantidakterlihatl
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
agiolehbumi.Grafik yang ditampilkanpadagambar 4 jugamenunjukkanbahwasemakinrendahkedudukansatelitmaka durasikemunculansatelitakansemakinnaik. PadatabelIIdapatdibandingkannilai Doppler normalisasiterhadapketinggiansatelit.Semakintinggikedudukan satelit, makanilai Doppler normalisasisemakinkecil.Hal iniberdampakpadanilai Doppler shift.yangdiperoleh.Nilaifrekuensi Doppler ternormalisasi yang diperolehiniselanjutnyadigunakanuntukmencarinilaipergeseran frekuensi yang akanmunculpada 2 lintasantransmisisatelityaituuplink dandownlink. Nilaipergeseranfrekuensi Doppler yang diperolehuntuklintasanuplinkmaupundownlinktergantungpada besarnyanilaifrekuensi Carrier padamasingmasinglintasan.Hasilsimulasiberikutnyayaitunilaifrekuensi Doppler shift. Padagambar4 dan5 dapatdiketahuibahwanilaifrekuensi Doppler shift untukkelimaketinggiansatelit yang terbesarterjadiketikasatelitpertama kali teramatiolehtermi-
111
nal di permukaanbumidansaatmomenakhirmenghilangdaripengamata n terminal dibumi.Tabel 3 menunjukkanbahwasemakintinggikedudukansatelitmakanilaifr ekuensi Doppler shiftuntuklintasanuplink maupundownlinksemakinkecil. Nilaifrekuensi Doppler shift terbesarterjadiketikasatelitberadapadaketinggian 500 Km dengannilai 3250 Hz untuklintasanuplinkdan 9729 Hz untuklintasandownlink.
Gambar 5.Grafik Doppler shiftuntuklintasan Downlink IV. KESIMPULAN Padamakalahini, kami menyajikananalisis Doppler shift padasistemkomunikasisatelitnanoIinusatuntukketinggiansatelit 500 Km, 600 Km, 700 Km, 800 Km, 900 Km, dan 1000 Km. Berdasarkanhasilsimulasidananalisadiperolehbahwasemakinre ndahkedudukansatelitmakanilai Doppler shift yang didapatsemakinbesar. Nilai Doppler shift terbesarpadasaatketinggiansatelit 500 Km dengannilai 3259 Hz untuklintasanuplink dan 9729 Hz untuklintasandownlink. Gambar 4.Grafik Doppler shiftuntuklintasan Uplink
DAFTAR PUSTAKA [1] [2]
Tabel 3 Nilaifrekuensi Doppler shiftmaksimumuntuklintasanuplinkdandownlink. KetinggianSatelit (Km) 500 600 700 800 900 1000
Doppler Shift Maksimum Uplink (Hz) Downlink (Hz) 3250 9729 3177 9512 3107 9302 3039 9100 2974 8904 2911 8716
[3] [4]
[5] [6]
[7]
INSPIRE, “Tentang INSPIRE”
, Nopember 2011 Wijayanti, Riska Cahya, “Analisis Efek Doppler pada Sistem Komunikasi Satelit Nano IiNUSAT”, Tugas Akhir JTE ITS, Juli, 2011. Sklar, Bernard, “Digital Communications : Fundamentals and Aplications,” 2nd edition, Prentice Hall International Inc, 2001. Ali, I., Al-Dhahir,N. dan Hershey, E.J., “Doppler Characterization for LEO Satellites” , IEEE Transactions on Communication, vol.46 no.3, Maret 1998. Roddy, D. “Satellite Communications 3rd Edition”, Mc Graw – Hill, USA, 2001. Judianto, C.T., “Analisis ketinggian Orbit Satelit LAPAN-TUBSAT Setelah Satu Tahun Beroperasi”, Jurnal Teknologi Dirgantara, vol.7 no.2, pp 67-77, Februari 2009. AU space Primer. “Chapter 8 Orbital Mechanics”,, Maret 2003.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
112
Pemanfaatan Wideband Inter Networking engineering test and Demonstration Satellite (WINDS) untuk Sinkronisasi Learning Management System (LMS) di Indonesia Pratomo H., Sirajuddin dan Affandi, A. Penelitian ini dilaksanakan oleh Tim Learning Management System (LMS) laboratorium Jaringan Telekomunikasi B301 Jurusan Teknik Elektro ITS.
Abstract —Learning management system (LMS) merupakan sistem yang mendukung implementasi elektronik learning (elearning). Akan tetapi, belum ada aplikasi yang memenuhi kebutuhan pengguna dalam mengakses LMS server pada suatu institusi. Oleh karena itu, untuk memudahkan user dalam melakukan update maupun upload konten materi pada LMS Server ini, perlu dilakukan integrasi sistem sinkronisasi pada moodle. Dalam Implementasinya, sinkronisasi antar server LMS di Indonesia membutuhkan infrastruktur jaringan dengan bandwidth yang cukup besar, maka dari itu dengan mengintegrasikan Wideband Inter Networking engineering test and Demonstration Satellite (WINDS) dengan jaringan lokal yang digunakan oleh LMS server, proses sinkronisasi akan lebih mudah. Namun dengan kondisi hujan di Indonesia yang dapat mengganggu frekuensi satelit khususnya Ka-band, sehingga disini akan dibuat model sistem seed and leech dari tiap client pada LMS server. Kata Kunci – INHERENT, Ka-band, LMS, Moodle, WINDS, Seed and Leech.
I.
P
PENDAHULUAN
teknologi yang pesat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi telekomunikasi. Salah satu faktor pendorong perkembangan teknologi adalah ketersediaan internet yang membantu mendapat berbagai sumber informasi di dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki permasalahan lama tentang kesetaraan kualitas pendidikan di berbagai wilayahnya. Ketersediaan jaringan informasi yang tidak merata menjadi salah satu faktor penyebabnya. Masyarakat di wilayah terpencil yang sulit terjangkau transportasi memiliki kecenderungan tidak mendapat akses internet , sehingga ERKEMBANGAN
sekolah-sekolah di daerah tersebut juga tidak bisa mendapat sumber pembelajaran dari luar dan hanya bisa bergantung pada sumber buku ajar saja. Salah satu cara mengatasi pengadaan internet di wilayah terpencil adalah dengan menggunakan teknologi satelit. Wideband Inter Networking engineering test and Demonstration Satellite (WINDS), adalah program penelitian yang dimulai oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA). Penelitian WINDS dimulai sejak tahun 2008, diawali dengan peluncuran satelit ini oleh roket H2A pada tanggal 23 Februari 2008. Satelit berteknologi Ka band ini, bisa mencakup wilayah Asia Pasifik dan Asia Tenggara. Saat ini terdapat sepuluh lokasi penelitian tersebar di seluruh Asia Pasifik. Masa kerja satelit WINDS akan berakhir pada Maret 2013. Curah hujan yang tinggi menjadi masalah utama penggunaan satelit ini di Indonesia, namun dengan kemampuan transfer data berkecepatan tinggi dan kemampuan mencakup area yang luas , satelit ini cocok untuk diaplikasikan dalam dunia pendidikan di Indonesia dan mampu menjangkau wilayah terpencil. Dalam penelitian ini akan dibahas implementasi satelit geo WINDS untuk sinkronisasi e-learning Learning Management System (LMS) dan metode untuk menghadapi kelemahan teknologi Ka band di Indonesia. II.
TEORI PENUNJANG
A. Learning Management System (LMS) Learning Management System (LMS) adalah sebuah sistem yang didesain untuk menyajikan, melacak, melaporkan, dan mengatur konten pembelajaran, kemajuan siswa, dan interaksi siswa. LMS dapat berupa sistem manajemen kuliah yang sangat sederhana atau sistem yang sangat kompleks dalam lingkungan yang terdistribusi. Beberapa fungsi dalam LMS antara lain: back-end connection pada sistem informasi yang lain, pelacakan dan pelaporan mengenai aktifitas dan performa siswa, registrasi yang terpusat, penyajian konten secara online
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. dan adaptif. Untuk mendukung kinerja LMS, digunakan suatu antarmuka interaktif yang disebut dengan moodle. Moodle adalah singkatan dari Modular Object-Oriented Dynamic Learning Environment, merupakan paket perangkat lunak yang diproduksi untuk kegiatan belajar berbasis internet dan situs yang menggunakan prinsip social constructionist pedagogy[4]. Moodle merupakan salah satu aplikasi dari konsep dan mekanisme belajar mengajar yang memanfaatkan teknologi informasi, yang dikenal dengan konsep e-learning. Moodle dapat digunakan secara bebas sebagai produk sumber terbuka (open source) di bawah lisensi GNU.
Gambar. 1. Halaman Moodle Standar
B. Satelit GEO(Geostationary Orbit) Satelit GEO merupakan satelit yang memiliki bidang orbit memotong equator, dan jaraknya dari permukaan bumi sejauh 35790 km. Satelit pada orbit ini kecepatannya sama dengan Bumi, maka untuk keperluan komunikasi dapat berlangsung sampai 24 jam. Orbit ini banyak dipakai untuk oleh satelit komunikasi domestic maupun internasional, seperti satelit komunikasi intelsat[3]. Pada satelit GEO untuk dapat mencakup seluruh permukaan bumi, satelit perlu disusun minimal 3 satelit.
113
aperture 45-centimeter dan kecepatan tinggi 1,2 Gbps untuk komunikasi kantor dengan antena lima meter. WINDS bertanggung jawab untuk mendemonstrasikan validitas dan kegunaan teknologi yang berkaitan dengan kapasitas komunikasi data dalam proyek infrastruktur "iSpace", yang bertujuan untuk mempromosikan penggunaan satelit di bidang komunikasi seperti Internet, pendidikan, kedokteran, penanggulangan bencana dan Sistem Transportasi Cerdas [5]. WINDS akan memberikan internet kecepatan tinggi. Hal ini dimungkinkan karena teknologi komunikasi satelit mampu mencapai jarak jauh, multicast, dan tahan terhadap gangguan. Komunikasi satelit mampu menyediakan transmisi data berukuran besar dan berkecepatan tinggi, menyediakan akses internet untuk wilayah Jepang dan negaranegara sekitarnya, terutama negara-negara Asia Tenggara. D. BitTorrent BitTorrent adalah protokol file sharing peer-to-peer yang digunakan untuk mendistribusikan sejumlah besar data melalui Internet. BitTorrent adalah salah satu protokol yang paling umum digunakan untuk mentransfer file besar, dan diperkirakan telah menyumbang sekitar 43% sampai 70% dari semua lalu lintas internet (tergantung lokasi geografis) per Februari 2009 [7]. Bagian yang membuat protokol BitTorrent unik adalah BitTorrent mendistribusikan file di semua pengguna yang telah men-download atau sedang dalam proses download file. Proses download disebut leeching, sedangkan proses upload disebut seeding. Protokol BitTorrent tidak mengenal istilah server dan klien, karena pengguna akan berperan sebagi kedunya yaitu sebagai server ketika sedang upload dan menjadi klien ketika download. BitTorrent dan mendistribusikan file dalam ratusan potongan kecil, ketika proses download dimulai seketika itu juga proses upload dijalankan sehingga file tersebut tetap ada di internet. Proses leeching dan seeding ini membuat BitTorrent menjadi protokol yang tahan terhadap gangguan, karena tidak perlu satu server terpusat.
Gambar. 2. Orbit Satelit GEO
C. Wideband Inter Networking engineering test and Demonstration Satellite (WINDS) WINDS dikembangkan oleh JAXA dan Institut Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi Jepang, sebagai bagian dari Program e-Japan Priority Police dari Kementerian Teknologi dan Informasi Jepang. WINDS diluncurkan oleh HIIA pada 23 Februari 2008 (JST) dari Tanegashima Space Center untuk membangun jaringan teknologi informasi dunia yang paling canggih [6]. Diharapkan kecepatan jaringan informasi dan telekomunikasi akan jauh lebih tinggi dari yang selama ini tercapai. Sistem komunikasi satelit WINDS dibuat dengan tujuan mencapai kecepatan maksimum 155Mbps (receiving) / 6Mbps (transmitting) untuk kebutuhan rumah tangga dengan antena
Gambar 3. Cara kerja BitTorrent
Download dimulai dengan terlebih dahulu menemukan dan men-download sebuah file torrent (yang menggunakan ekstensi file .torrent) dan kemudian membukanya dengan klien BitTorrent. File torrent tidak berisi file, Sebaliknya, berisi informasi yang memberitahu klien BitTorrent di mana alamat
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. file tersebut di internet. III.
PEMBAHASAN
A. Integrasi WINDS dan Jaringan lokal LMS Server LMS server di tiap-tiap titik sudah terhubung jaringan lokal dengan clientnya. Disini berarti tidak ada jaringan internet yang dapat mendukung LMS server tersebut. Maka dari itu dengan memanfaatkan WINDS sebagai backbone, layanan internet akan dapat teratasi. Cara integrasinya adalah dengan membangun stasiun bumi pada tiap-tiap titik di Indonesia yang memiliki LMS Server khususnya perguruan tinggi, kemudian data dari satelit akan diolah dan diteruskan melewati jaringan lokal.
Gambar 4. Rancangan Jaringan
B. Sinkronisasi LMS Server Pada konten LMS server yang ada pada suatu institusi pendidikan akan berbeda dengan LMS yang dimiliki penggunanya. Konten tersebut berbeda karena pengguna atau user, hanya memiliki konten-konten pembelajaran tertentu bergantung dari mata kuliah yang dipilihnya. Pada sinkronisasi uni-direksional tidak semua data disinkronisasikan termasuk data pribadi dosen maupun mahasiswa yang tersimpan di dalam tabel-tabel sendiri pada database. Sinkronisasi yang dilakukan pada dasarnya adalah bermain pada table-table yang digunakan dalam database dengan mengupdate dan menambahkan parameter di dalamnya Sistem sinkronisasi yang akan dibangun disini berbeda dengan sistem sinkronisasi yang telah ada. Sistem sinkronisasi ini berbasis web atau web-based. Halaman untuk proses sinkronisasi sudah diintegasikan dengan halaman depan elearning untuk mempermudah akses pengguna saat melakukan sinkronisasi. Sistem sinkronisasi terintegrasi ini memiliki dua alur sinkronisasi yang berbeda, yaitu sinkronisasi server to client dan client to server[5]. Alur sinkronisasi server to client dapat digambarkan sebagai suatu proses download konten dan materi dari LMS server ke LMS client atau user secara otomatis melalui proses sinkronisasi. Alur sinkronisasi client to server dapat digambarkan sebagai suatu proses upload materi atau tugas dari LMS client atau user ke LMS server. C. Implementasi Protokol BitTorrent Gangguan akibat adanya redaman hujan adalah masalah utama penggunaan satelit Ka band di Indonesia. Curah hujan yang tinggi membuat sinyal satelit menjadi rendah sehingga menurunkan kecepatan transmisi data dari dan ke satelit. Untuk
114
menghindari gangguan tersebut sebuah sistem LMS bisa memakai metode yang dipakai pada protokol BitTorrent. Protokol ini akan menjamin keandalan suatu jaringan dan memastikan adanya koreksi error dari tiap data yang didistribusikan. Cara kerja sinkronisasi menggunakan protokol BitTorrent ini berbeda dengan cara kerja LMS biasa dalam hal penyimpanan database LMS. Pada umumnya database akan disimpan di server master, kemudian berbagai klien yang ada di daerah lain akan men-download data tersebut untuk di tampilkan di LMS klien. Masalah akan timbul ketika terjadi hujan di daerah sekitar server master, master akan kesulitan mengirimkan data update database LMS ke satelit karena ada gangguan redaman hujan, hal ini membuat database di sisi klien tidak terupdate dan sinkronisasi gagal. BitTorrent bekerja dengan cara menjadikan tiap klien juga ikut serta menjadi master ketika sedang download database dari master. Gambar 3 menunjukkan cara kerja sistem ini, ketika sebuah klien B mengupdate database dari master A, secara bersamaan klien B menjadi master (seeder) dengan cara mengupload data update tersebut, sehingga bisa diupdate oleh klien C. Ketika di wilayah server master A terjadi hujan, maka sinkronisasi di klien C (leecher) akan terus berlangsung dengan klien B menjadi master baru baginya. Protokol BitTorrent akan menjaga sinkronisasi di klien B tetap terjaga meskipun tidak bisa mengakses master A, dan akan dilanjutkan kembali ketika gangguan selesai. download Klien B upload
Master A
upload
download
upload Klien C download
Klien B/Master B
Master A tidak bisa diakses
upload
download
Klien C/Master C
Gambar 5. Cara kerja seed and leech
Protokol BitTorrent memungkinkan proses perpindahan master-klien ini berhasil karena pada data dari master terdapat sebuah file tambahan bernama file torrent.
File torrent berisi informasi tentang alamat dari data yang akan diupdate oleh klien setiap ada klien baru yang mengambil data dari master maka file ini akan terupdate dan menambah
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. alamat baru dimana sebuah klien bisa mendownload data yang dibutuhkan. Sebagai contoh sebuah file torrent yang berfungsi untuk memberitahu letak sebuah file adalah: {'announce': 'http://contoh.com:6969/announce', 'info': {'name': buku-ajar.zip, 'piece length': 262144, 'length': 678301696, 'pieces': '841ae846bc5b6d7bd6e9aa3dd9e551559c82abc1 ... d14f1631d776008f83772ee170c42411618190a4' } } IV. KESIMPULAN Pada implementasi WINDS dibutuhkan pembangunan stasiun bumi pada tiap-tiap LMS Server di Indonesia. Dengan mengintegrasikan WINDS dan jaringan lokal akan memudahkan client dalam menggunakan layanan internet dengan kecepatan tinggi serta sinkronisasi LMS. Permasalahan gangguan redaman hujan pada satelit Ka band yang digunakan pada WINDS tersebut dapat dihindari dengan menggunakan protocol BitTorrent dalam sinkronisasi LMS. Setiap klien bisa menjadi master bagi klien yang lain sehingga ketika server master terjadi gangguan, masih bisa mendapat data dari klien yang lain. . REFERENCES [1] [2] [3] [4]
[5]
[6]
[7]
Darin E. Hartley, Selling e-Learning, American Society for Training and Development, 2001. Bachtiar, Arie, dkk. 2007. Learning Management System Using Moodle and Multimedia Content on e-learning Competensi Webmaster Series. Susilo, Andi.2002.Perkembangan Teknologi Satelit. ________. MOODLE: A Free Software e-Learning Platform Evaluation,Resources and Information. http://moodle.org/. Accessed: April 18, 2009. Linawati, Ir., M.Eng, M.Sc, PhD. 2009. Implementasi dan Integrasi Aplikasi Learning Management System Dan Video Conference Untuk Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran. Laporan akhir penelitian. Universitas Udayana. Denpasar. Anonim. (2011, 5, 21). Broadband communication verification between KIZUNA and ocean surface. Diakses di:http://www.jaxa.jp/projects/sat/ winds/index_e.html C. Carmen. (2011, 3). How BitTorrent Works. Diakses di: http://computer.howstuffworks.com/bittorrent.htm
115
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
116
Analisa Kinerja Sistem MIMO pada Kanal Multipath Fading dengan Beamforming Yuyun Siti Rohmah1, Budi Prasetya2, Koredianto Usman3 1,2,3 Teknik Telekomunikasi – Fakultas Elektro dan Komunikasi – Institut Teknologi Telkom
Jl. Telekomunikasi, Dayeuh Kolot Bandung 40257 Indonesia [email protected], [email protected]; [email protected] Abstract— Pada sistem komunikasi wireless, sinyal transmisi akan mengalami kerusakan akibat adanya multipath fading, sehingga akan menurunkan performansi sistem. Hal tersebut dapat dicapai dengan menggunakan multi antena dikedua sisi transmitter dan receiver. Teknik ini dikenal sebagai MIMO (Multi Input Multi Output). Salah satu skema MIMO adalah Space Time Block Coding (STBC) yang bertujuan untuk memaksimalkan reabilitas link komunikasi wireless melalui kanal fading dengan menggunakan metode diversity antenna transmitter. Meskipun sistem MIMO dapat meningkatkan kinerja sistem komunikasi dengan memaksimalkan SNR, tetapi interferer belum tentu bisa ditekan. Oleh karena itu, beamforming digunakan untuk memusatkan kemampuan array menangkap sinyal yang dinginkan sekaligus menekan sinyal yang datang dari arah lain (interferensi). Pada penelitian ini akan meneliti perbaikan kinerja dari penggabungan sistem MIMO menggunakan teknik Space Time Block Coding dan beamforming. Dari hasil simulasi, sistem MIMO tanpa beamforming dan MIMO dengan beamforming mempunyai performansi yang sama untuk kondisi single user. Namun jika terdapat sinyal interferer, sistem MIMO dengan beamforming memberikan performansi yang lebih baik daripada sistem MIMO tanpa beamforming. Index Terms— MIMO, STBC, Beamforming, Multipath fading.
I. PENDAHULUAN
P
ADA beberapa tahun yang akan datang, Wireless systems di Indonesia diperkirakan akan membutuhkan sarana komunikasi yang lebih kompleks dari sekarang. Dimana kebutuhan bandwidth lebih bervariasi, mulai dari yang sempit (misal untuk komunikasi suara) sampai yang sangat lebar (misal untuk pengiriman gambar/video), dengan kebutuhan kualitas sinyal yang bervariasi pula dan didukung oleh infrastrukur dengan standar dan spesifikasi yang beragam. Untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tersebut, dikembangkan/diteliti teknologi yang mendukung. Salah satu masalah dalam komunikasi wireless adalah adanya fenomena multipath fading. Efek multipath disebabkan oleh lingkungan kanal propagasi. Sinyal yang diterima oleh penerima merupakan penjumlahan dari sinyal langsung dan sejumlah sinyal terpantul dari berbagai objek. Multipath didefinisikan sebagai lintasan jamak dari sinyal
informasi yang dikirimkan karena perbedaan jarak tempuh masing-masing sinyal yang dikirimkan sehingga dapat menyebabkan perbedaan fasa antara sinyal langsung dan sinyal tidak langsung. Sedangkan fading adalah fluktuasi level daya terima akibat perubahan kondisi kanal. Metoda diversitas berperan penting dalam komunikasi wireless karena dapat mengurangi efek multipath fading. Metoda diversitas yang akan dibahas dalam Penelitian ini adalah space time diversity. Selain masalah multipath fading diatas, pada sistem komunikasi wireless sering kali sinyal dari user yang diinginkan dan penginterferensi menduduki band frekuensi yang sama tetapi keduanya datang dari arah yang berbeda sehingga mempunyal Angles-of-Arrival (AOA) yang berbeda. Hal ini dapat diatasi dengan teknik beamforming. Beamforming adalah suatu teknik yang digunakan untuk mensteer antena dalam menetukan arah dari sumber sinyal yang diinginkan sekaligus menekan sinyal interferensi yang datang dari arah lain. Dalam teknik beamforming, algoritma adaptif digunakan untuk menentukan nilai pembobotan pada setiap elemen antena. Pembobot tersebut nantinya digunakan untuk men-steer beam menuju user yang diinginkan dan men-steer null kearah yang interferensi, sehingga beamforming dapat disebut juga sebagai spatial filtering sinyal. Pada penelitian ini akan dianalisis dan disimulasikan performansi kinerja dari skema Space Time Coding pada sistem MIMO pada kanal flat fading dan frequency selective fading yang berdistribusi Rayleigh. Sedangkan untuk menekan interferer digunakan teknik beamforming. Dimana konfigurasi sistem MIMO yang akan diteliti adalah maksimal sampai 2 antena pengirim dan 2 antena penerima.
II. DASAR TEORI 2.1
Sistem MIMO MIMO merupakan suatu teknik diversitas pada antena pemancar dan penerima saja, dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi spektrum dan perbaikan kualitas saluran.
Gambar 2.1 digram blok MIMO secara umum
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. 2.2
Orthogonal Space Time Block Code
2.3 Estimasi Kanal dengan Orthogonalitas STBC
Skema transmisi orthogonal space time block code merupakan skema transmisi yang diperkenalkan oleh Alamouti, seperti yang terlihat pada gambar 2.2 berikut ini: Tx0
Tx1
t
S0
S1
t 1
-S1*
S0*
117
Pada antena Rx-0, sinyal-sinyal terima r0 dan r1 berdasarkan persamaan 2.1 dapat dijadikan persamaan matriks berikut : r0 s0 s1 h0 n0 (2.3) r s * s * h n 0 1 1 1 1 Demikian juga pada antena Rx-1, sinyal-sinyal terimanya dijadikan persamaan matriks berikut :
r2 s 0 r s * 3 1
Gambar 2.2 Skema Matriks Transmisi Orthogonal Space Time Block Code [15]
s1 h2 n2 s 0* h3 n3
(2.4)
Dari persamaan 2.3 dan 2.4 kita dapat mengetahui h0, h1, h2 dan h3 , dengan melakukan proses invers matriks pada persamaan tersebut. Sehingga diperoleh persamaan hasil estimasi kanal dari antena Rx-0 dan Rx-1 berikut [24]:
Gambar 2.3 Skema Transmisi Dengan 2 Antena Tx & 2 Antena Rx [15]
Pada saat t, Tx0 memancarkan sinyal S0 dan Tx1 memancarkan sinyal S1, kemudian saat t+T, Tx0 memancarkan sinyal –S1* dan Tx1 memancarkan sinyal S0*. Tanda * merupakan operasi konjugat dari persamaan sinyal yang dimaksud. Tabel 2.1 : Notasi Sinyal Terima Pada Skema 2x2 [15]
Berdasarkan gambar 2.3 dan tabel 2.1, persamaan seluruh sinyal terima adalah:
(2.1)
n0, n1, n2 dan n3 adalah variabel acak kompleks yang mewakili interferensi dan noise termal. Blok combiner pada gambar 2.15 membuat dua sinyal berikut yang akan dikirimkan ke detektor maximum likelihood : (2.2)
~ h0 s0 1 ~ * 2 2 h 1 s0 s1 s1
s1 r0 n0 s0* r1 n1
(2.5)
~ h2 1 ~ 2 2 h s s1 3 0
s1 r2 n2 s0* r3 n3
(2.6)
s0 s * 1
H
H
2.4 Pemodelan kanal 2.4.1Fading Pada sistem komunikasi wireless, kondisi lingkungan kanal propagasi bersifat time variant karena pergerakan relatif penerima terhadap pemancar yang menghasilkan perubahan lintasan propagasi. Perambatan sinyal antara pemancar dan penerima melalui berbagai lintasan yang berbeda (multipath), sehingga sinyal yang diterima di penerima merupakan penjumlahan dari sinyal-sinyal tidak langsung. Lintasan yang berbeda-beda tersebut mengakibatkan kuat sinyal penerimaan menjadi bervariasi. 2.4.2
Model Rayleigh fading
Distribusi Rayleigh mempunyai fungsi kerapatan probabilitas (probability density function - pdf) diberikan oleh [3] : r r2 2 exp 2 p ( r ) 2 0
dimana
0 r
(2-7)
r 0
adalah adalah nilai rms dari level sinyal yang
diterima sebelum detektor, dan adalah daya waktu ratarata dari sinyal yang diterima sebelum detektor. 2
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Beamforming Process
2.5 Konsep Dasar Beamforming Beamforming adalah proses pembentukan beam menuju ke arah user yang diinginkan serta menekan sinyal dari arah lain. Dengan demikian, beamforming bisa dikatakan sebagai spatial filtering sinyal. Pembentukan beam ke arah sinyal yang diinginkan bisa dilakukan dengan memberikan pembobotan secara adaptif pada elemen antena di sistem penerima maupun pemancar. Algoritma Adaptif Algoritma adaptif menentukan pembobotan secara iteratif. Salah satu algoritma adaptif yang digunakan yaitu LMS (Least Mean Square). X(n)
118
Rx1
Channel Estimation
W1
Remove pilot from each antenna
Rx2
STBC Decoder
W2
Adaptive Algorithm
-+
Pilot Error pilot referensi
Gambar 3.2 Blok Diagram Receiver Sistem MIMO dengan Beamforming
3.2 Pemodelan Kanal 3.2.1 Pemodelan Kanal MIMO 2x2 Secara Umum n0
Ŵ(n)
h0
+
h2
n1 n2
+
Tx0
Sistem Pengirim MIMO 2x2
+
Rx0
Sistem Penerima MIMO 2x2
+
e(n)
Viterbi Decoder
Σ
ď(n)
Adaptive Algorithm
DeInterleaver
De-Mapper
Channel Estimation
h1
Σ
+
Tx1
h3
+
+
Rx1
n3
d(n)
Gambar 2.4 Blok diagram adaptif filter Vektor pembobotan ditentukan secara rekursif dengan persamaan sebagai berikut : w n 1 w n x n * e n (2.7)
Dengan
e(n) d (n) wnT x(n)
(2.8)
Pada persamaan diatas, μ adalah step-size yang menentukan konvergensi dari algoritma adaptif. Syarat algoritma LMS adalah diketahuinya sinyal transmit. Hal ini dipenuhi dengan mengirimkan beberapa sinyal pilot atau sinyal training secara periodik yang umumnya diketahui di sistem penerima.
Gambar 3.3 Pemodelan Kanal Untuk Sistem MIMO 2x2
3.2.2
Pemodelan Kanal Multipath Fading
1 Rayleigh Fading simulator 0
A0
Rayleigh Fading simulator 1
2 A1
Rayleigh Fading simulator 2
3 A2
5
4
Rayleigh Fading simulator 3
A3
Rayleigh Fading simulator 4
A4
Rayleigh Fading simulator 5
A5
+ Multipath Rayleigh Fading
Gambar 3.4 Pemodelan Kanal Multipath Fading
3.3 Perencanaan Parameter Simulasi 3.3.1 Parameter kanal dan Sinyal Baseband Tabel 3.1 Parameter Simulasi kanal dan sinyal baseband
III. PEMODELAN SISTEM 3.1. Blok Diagram Transmitter dan Receiver pada Sistem MIMO (Multi Input Multi Output) Pada Penelitian ini, sistem MIMO yang dirancang dimodelkan oleh blok diagram yang ditumjukkan pada gambar 3.1 untuk transmitter dan 3.2 untuk receiver. Add Pilot Data Genarator
Convolutional Encoder
Interleaver
Mapper
Tx1
STBC Encoder Add Pilot
Tx2
Gambar 3.1 Blok Diagram Transmitter Sistem MIMO
Data
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. 3.3.2 Parameter Beamforming 1. Sistem terdiri dari dua array antena dengan jarak pisah
119 BER vs SNR akibat variasi AOA pada frek doppler=156 Hz
0
10
AOA = AOA = AOA= AOA =
0.5
3.
4.
Dalam sistem yang dibuat, diasumsikan tidak ada interferensi antar array antena Jarak antara antena transmitter dan receiver cukup jauh (transmitter dianggap sebagai sumber titik) sehingga sudut kedatangan pada sub-array antena receiver pertama dianggap sama dengan sudut kedatangan untuk sub-array antena receiver kedua Pergerakan user yang terjadi tidak merubah sudut datang sinyal terhadap arah pergerakan antena (user bergerak mendekati dan menjauhi antena
BER
2.
30 derajat 60 derajat 90 derajat 120 derajat
-1
10
-2
10
0
2
4
6
8 10 12 14 Signal to Noise Ratio(dB)
16
18
20
Gambar 4.2 Performansi Sistem MIMO Beamforming pada Frek Doppler 156 Hz dengan AOA yang berbeda
IV. ANALISA HASIL SIMULASI 4.1. Perbandingan Kinerja sistem MIMO dengan dan tanpa Beamforming pada kanal Rayleigh dengan kecepatan pergerakan user yang berbeda BER Vs SNR MIMO dengan dan tanpa Beamforming pada variasi Frek Doppler
0
10
-1
10
-2
BER
10
Dari ketiga gambar diatas dapat dilihat bahwa performansi sistem untuk masing-masing nilai frek doppler maksimum pada angle of arrival (AOA) yang berbeda tidak mengurangi kinerja sistem. Hal ini dikarenakan pada simulasi ini hanya dikondisikan untuk single user. Selain itu, pada sistem MIMO dengan beamforming terdapat steering factor yang akan men-steer beam antena ke arah datangnya sinyal dan memberikan pembobotan terhadap sinyal yang datang sesuai yang dihasilkan oleh algoritma adaptif beamforming yang digunakan.
-3
10
4.3 Perbandingan Kinerja Sistem MIMO dengan Algoritma Adaptif Beamforming pada faktor µ yang berbeda (frek doppler = 6.67 Hz)
fd = 0 Hz tanpa Beamforming fd = 6.67 Hz tanpa Beamforming
-4
10
fd = 67 Hz tanpa Beamforming fd = 156 Hz tanpa Beamforming fd = 0 Hz Beamforming
-5
10
fd = 6.67 Hz Beamforming
BER Vs BER Variasi Nilai Miu pada Frek Doppler 6.67 Hz
0
10
fd = 67 Hz Beamforming fd = 156 Hz Beamforming -6
2
4
6
8 10 12 14 Signal To Noise Ratio (dB)
16
18
-1
10
20
Gambar 4.1 Perbandingan Performansi Sistem MIMO dengan dan tanpa Beamforming pada Frek doppler yang berbeda Dari gambar 4.1 diatas dapat dilihat bahwa jika sistem MIMO tanpa algoritma adaptif beamforming dibandingkan dengan sistem MIMO yang menggunakan algoritma adaptif beamforming, performansi kedua sistem tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Hal ini karena sistem dikondisikan untuk single user. 4.2. Perbandingan Kinerja Sistem MIMO dengan Beamforming pada Sudut Kedatangan (Angle Of Arrival ) yang berbeda Pada Frekuensi Doppler Maksimum = 156 Hz
-2
10
-3
10
-4
10
miu = miu = miu = miu = miu =
-5
10
0.001 0.005 0.01 0.05 0.1
-6
10
0
2
4
6 8 10 Signal to Noise Ratio (dB)
12
14
16
Gambar 4.3 Performansi Sistem MIMO Beamforming pada frek doppler 6.67 Hz dengan Nilai µ yang berbeda 4.4 Pengaruh terhadap Kecepatan Konvergensi pada frek doppler = 0 Hz µ = 0.001 Grafik Mean Square Error pada miu = 0.001
1
10
0
10
Mean Square Error
0
BER
10
-1
10
-2
10
-3
10
0
100
200
300
400
500 Iterasi
600
700
800
900
1000
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
120
Gambar 4.4(a) Grafik Minimum Mean Square Error pada µ = 0.001 untuk SNR 20 dB
Grafik Koefisien Pembobot pada miu = 0.01 0.7
0.6
0.5
Coefficients
Grafik Koefisien Pembobot pada miu = 0.001 0.5 0.45
0.4
0.3
0.4 0.2
Coefficients
0.35 0.3
0.1
0.25
0
0
100
200
300
400
0.2
0.1 0.05 0
500 Iterasi
600
700
800
900
1000
Gambar 4.4(f) Grafik Koefisien Pembobot antena ke-2 pada µ = 0.01 untuk SNR 20 dB
0.15
0
100
200
300
400
500 Iterasi
600
700
800
900
1000
Gambar 4.4(b) Grafik Koefisien Pembobot antena ke-1 pada µ = 0.001 untuk SNR 20 dB
µ = 0.5 Grafik Mean Square Error pada miu = 0.5
10
10
8
10
Grafik Koefisien Pembobot pada miu = 0.001 0.5
Mean Square Error
0.45 0.4
Coefficients
0.35 0.3
6
10
4
10
0.25 2
10
0.2 0.15
0
0.1
10
0
100
200
300
400
0.05 0
0
100
200
300
400
500 Iterasi
600
700
800
900
500 Iterasi
600
700
800
900
1000
1000
Gambar 4.4.(g) Grafik Minimum Mean Square Error pada µ = 0. 5 untuk SNR 20 dB
Gambar 4.4(c) Grafik Koefisien Pembobot antena ke-2 pada µ = 0.001untuk SNR 20 dB
Grafik Koefisien Pembobot pada miu = 0.5
600
µ = 0.01
400 Grafik Mean Square Error pada miu = 0.01
1
10
Coefficients
200
0
Mean Square Error
10
-200 -1
10
-400
-2
10
-600
-3
10
0
100
200
300
400
500 Iterasi
600
700
800
900
Grafik Koefisien Pembobot pada miu = 0.01 0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
100
200
300
400
500 Iterasi
600
700
800
900
0
100
200
300
400
500 Iterasi
600
700
800
900
1000
Dari percobaan- percobaan di atas, dapat dilihat bahwa semakin besar nilai µ (stepsize) maka akan meningkatkan kecepatan konvergensi sistem untuk mendapatkan pembobotan optimum yang menghasilkan mean square error yang minimum. Akan tetapi, menyebabkan ripple pada grafik sinyal semakin banyak. Sebaliknya, semakin kecil nilai µ akan menyebabkan semakin lambat sistem mencapai konvergen, tetapi grafik dari sinyal yang dihasilkan akan mulus sehingga mudah dalam menentukan nilai mean square error. Terdapat batasan nilai µ yang digunakan supaya konvergensi sistem masih tercapai. Dari hasil percobaan diatas untuk SNR 20 dB konvergensi sistem tidak tercapai pada µ = 0.5.
1000
Gambar 4.4(d) Grafik Minimum Mean Square Error pada µ = 0. 01 untuk SNR 20 dB
Coefficients
0
1000
Gambar 4.4(e) Grafik Koefisien Pembobot antena ke-1 pada µ = 0.01untuk SNR 20 dB
V. KESIMPULAN 1.
2.
Sistem MIMO tanpa beamforming dan MIMO dengan beamforming untuk kondisi single user memberikan performansi sistem yang sama untuk setiap variasi frekuensi doppler maksimum. Namun, jika terdapat sinyal penginterferensi performansi sistem MIMO dengan beamforming lebih baik daripada sistem MIMO tanpa beamforming. Pada sistem MIMO dengan beamforming untuk single user, sudut kedatangan AOA (Angle of Arrival) user tidak
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
3.
berpengaruh terhadap performansi sistem. Hal ini dibuktikan dengan dihasilkannya performansi sistem yang sama untuk sudut datang berbeda pada kecepatan pergerakan user yang sama. Faktor µ (step-size) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap performansi sistem. Hal ini dikarenakan μ adalah faktor penentu konvergensi sistem algoritma adaptif pada teknik beamforming. Semakin besar nilai µ maka sistem akan semakin cepat konvergen, tetapi akan menyebabkan ripple semakin banyak sehingga penentuan nilai mean square error semakin sulit. Terdapat batas-batas nilai µ yang digunakan agar sistem masih dapat konvergen. Untuk SNR 5 dB, pada µ = 0.43 sistem sudah tidak konvergen, untuk SNR 10 dB sistem sudah tidak konvergen pada µ = 0.48, sedangkan untuk SNR = 20 dB sistem sudah tidak konvergen pada µ = 0.5. REFERENSI
[1]
[2]
[3]
[4]
[5] [6] [7]
[8]
[9]
[10] [11] [12] [13] [14]
Alamouti SM, “A Simple Transmit Diversity Technique for Wireless Communication”, IEEE Journal on Selected Areas in Communication, vol 16 No.8, October 1998. A.v. Zelst, T.W.Schenk , “Throughput Enhancement for Wireless Communication Systems using the Multiple Antenna Technique MIMO”, Wireless. David Gesbert, Mansoor Shafi, Da-Shan Shiu, Peter J. Smith, Ayman Naguib, “From Theory to Practice : An Overview of MIMO SpaceTime Coded Wireless Systems”, Tutorial Paper, IEEE Journal On Selected Areas In Communication Vol. 21, No.3 April 2003, Oslo University, Norway. Valenti,M.C, and Baker,D.A, “The Impact of Channel Estimation Errors on Space-Time Block Codes”, Wireless Communications Research, Lab West Virginia University, 2004. Theodore, S.Rappaport, “Wireless Communication”, Prentice Hall, 2002. Richard Van Nee, Ramjee Prasad, “OFDM for Wireless Multimedia Communication”, Artech House, Boston, London, 2000. Venkatasubramanian, Ramasamy, “Beamforming for MC-CDMA “, Blacksburg : Virginia Polytechnic Institute and State University.January 2003. Fakoukakis, F.E., Diamantis, S.G., cs, “ Development of An Adaptive and A Switched Beam Smart Antenna System for Wireless Communications”, Greece : Democritus University of Thrace. Manickam, Seetha, “Adaptive Beamforming Algorithm for Smart Antenna Systems in a CDMA Mobile Communication Systems”, USA : Department of Electrical and Computer Engineering Michigan Technological University. “Systems Aspects of Smart Antennas Technology”, Helsinki University of Technology Communications Laboratory. Paulraj, A.J, Lessbert, D cs, “Smart Antennas for Mobile Communication”, John Wiley Publishing. Hayes, Manson H, “Statistical Digital Signal Processing and Modeling”,wiley. Budiman, Gelar, “Konfigurasi MIMO MC-CDMA Pada Fading Rayleigh ”, Program Pasca Sarjana STTTelkom.2005. Firdaus, Eko, “Analisa Performansi MIMO OFDM pada WLAN”, STTTelkom.2005.
121
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
122
Aplikasi GPS dan Peta Google Earth Untuk Pemantauan, Perawatan Taman Dan Pohon Kota Secara Berkelanjutan Menuju Surabaya Go Green Frischa Marcheliana W, Gabriela Amanda G A, Stevanus Kristianto N, Widya Utama
Abstrak— GPS (Global Positioning System) yang berbasiskan teknologi satelit merupakan sebuah alat atau sistem yang dapat digunakan untuk menginformasikan tentang posisi dan kecepatan obyek dalam dimensi ruang dan waktu, secara kontinyu di seluruh dunia. Data dikirim dari satelit berupa sinyal radio dalam bentuk digital dan diolah oleh GPS untuk memperoleh posisi koordinatnya. Layanan GPS saat ini telah tersedia di berbagai alat komunikasi seperti handphone Layanan GPS di berbagai alat komunikasi tersebut telah tersedia gratis. Pada awalnya, GPS hanya digunakan untuk kepentingan militer, tapi untuk saat ini layanan GPS dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan. Dalam makalah ini akan ditunjukkan pemanfaatan GPS, yang dintegrasikan dengan pemanfaaatan aplikasi google earth, untuk mengukur luas taman kota di Surabaya dan memantau keadaan pohon besar di dalam taman. Perhitungan luas dengan GPS dilakukan melalui penerapan metode polygon, koordinat lokasi pohon dicatat dan dipetakan pada aplikasi google earth. Dengan mengetahui kondisi aktual tersebut, melalui suatu sistem data base pohon taman Surabaya dapat dikembangkan upaya perencanaan baik penanaman maupun perawatan pohon secara lebih optimum dalam skema pembiayaan dan cakupan wilayah. Untuk mengajak masyarakat luas berperan serta aktif, dapat pula dilakukan pelatihan aplikasi ini kepada siswa SMA. Disamping upaya pengenalan teknologi satelit sejak dini, nantinya mereka diharapkan mampu membantu pemerintah kota untuk memantau kondisi pohon melalui aplikasi GPS yang telah ada pada handphone mereka. Dengan demikian, keterlibatan masyarakat secara lebih luas dalam perawatan taman dan pohon kota Surabaya dapat dilakukan secara efektif dan efisien serta berkelanjutan menuju Surabaya Go Green. Kata kunci: satelit, GPS, peta Google Earth, taman kota, Surabaya Go Greeen,
I. PENDAHULUAN
G
PS merupakan sebuah alat yang dapat digunakan untuk menentukan koordinat lokasi dan luas suatu daerah dengan memanfaatkan satelit. Pada mulanya, GPS merupakan alat yang tidak mudah didapatkan karena harganya yang mahal. Namun saat ini, GPS bukanlah
suatu alat yang asing lagi karena masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah, misalnya dengan menggunakan aplikasi pada telepon genggam. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia. Sebagai kota dengan jumlah penduduk yang tinggi, Surabaya seharusnya memiliki jumlah pohon dan taman kota yang seimbang dengan kepadatan penduduknya. Maka dari itu, baik masyarakat maupun pemerintah kota Surabaya harus bergerak aktif dalam menggalakkan penghijauan. Di sisi lain, dalam proses penghijauan di Surabaya, persebaran taman-taman kota tersebut belum merata. Maka dari itu, perlu dilakukan pendataan dan pemantauan taman-taman kota di Surabaya agar penghijauan dapat dilakukan dengan lebih optimal. GPS yang dapat digunakan untuk mengetahui luas suatu daerah, dapat dimanfaatkan dalam pemantauan persebaran taman kota. Dengan menggunakan GPS, koordinat lokasi taman-taman kota yang ada di Surabaya dapat diketahui dan kemudian dapat disimpan sebagai database taman kota Surabaya. Selain itu, dengan menggunakan software Google Earth, perkembangan persebaran taman-taman kota di Surabaya dapat dilihat dan diketahui koordinat lokasinya. Selanjutnya, perkembangan penghijauan suatu wilayah dapat dipantau oleh siapa saja dengan menggunakan aplikasi GPS dan software Google Earth. II. DASAR TEORI GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi dengan menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Departemen Pertahanan Keamanan Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi dan informasi mengenai waktu secara kontinu. GPS terdiri dari tiga segmen utama, segmen angkasa (space segmen) yang terdiri dari satelit-satelit GPS, segmen sistem kontrol (control segment) yang terdiri dari stasion-stasion pemonitor dan pengontrol satelit, dan segmen pemakai (user segment) yang terdiri dari pemakai GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal data GPS.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Sistem GPS terdiri dari 24 satelit. Konstelasi 24 satelit GPS tersebut menempati 6 orbit yang mengelilingi bumi dengan sebaran yang telah diatur sedemikian rupa sehingga mempunyai probabilitas kenampakan setidaknya 4 satelit yang bergeometri baik dari setiap tempat di permukaan bumi di setiap saat. Satelit GPS mempunyai ketinggian rata-rata di atas permukaan bumi sekitar 20.200 km. Satelit GPS memiliki berat lebih dari 800 kg, bergerak dengan kecepatan sekitar 4 km/detik dan mempunyai periode 11 jam 58 menit.
Gambar 1. Konstelasi Satelit GPS Kelebihan penentuan posisi dengan menggunakan GPS antara lain : GPS dapat digunakan setiap saat tanpa bergantung waktu dan cuaca. GPS dapat digunakan oleh banyak orang pada waktu yang sama dan pemakaiannya tidak bergantung pada batas politik dan alam. Penggunaan GPS dalam penentuan posisi secara relatif tidak bergantung dengan kondisi topografis daerah survey. Posisi yang ditentukan dengan GPS mengacu ke datum global yang dinamakan World Geodetic System 1984 (WGS’84). Dengan kata lain posisi yang diberikan oleh GPS akan selalu mengacu ke data yang sama. Pemakaian sistem GPS tidak dikenakan biaya, setidaknya sampai saat ini. Receiver GPS cenderung lebih kecil ukurannya, lebih murah harganya dan kualitas data yang diberikan lebih baik. Pengoperasian alat GPS untuk penentuan posisi suatu titik relatif lebih mudah dan tidak mengeluarkan biaya banyak. Data pengamatan GPS sukar untuk dimanipulasi. Semakin banyak bidang aplikasi yang dapat ditangani dengan menggunakan GPS dan di Indonesia semakin banyak instansi yang menggunakan GPS. 2.2 Prinsip Penentuan Posisi dengan GPS Prinsip penentuan posisi dengan GPS yaitu menggunakan metode reaksi jarak, dimana pengukuran jarak dilakukan secara simultan kebeberapa satelit yang telah diketahui koordinatnya. Pada pengukuran GPS, setiap tempatnya memiliki empat parameter yang harus ditentukan : yaitu tiga parameter koordinat X,Y,Z atau L,B,H dan satu parameter kesalahan waktu akibat katidaksinkronan jam osilator di satelit dengan jam di receiver. Oleh karena diperlukan minimal pengukuran jam keempat satelit.
123
2.3 Tipe Alat Ada tiga macam alat GPS sebagai receiver, dengan masingmasing memberikan tingkat ketelitian (posisi) yang berbedabeda. Tipe alat GPS sebagai berikut : 1. Tipe navigasi (Handheld, Handy GPS) memiliki ketelitian posisi mencapai 3 sampai 6 meter 2. Tipe Geodetik single frekuensi (tipe pemetaan) Memiliki ketelitian posisi sekitar sentimeter sampai dengan beberapa desimeter 3. Tipe Geodetik dual frekuensi Memiliki ketelitian posisi hingga mencapai milimeter. Tipe ini biasa digunakan untuk aplikasi precise positioning seperti pembangunan jaring titik kontrol, survey deformasi dan geodinamika. 2.4 Cara GPS mengetahui posisinya Untuk mengetahui posisi dari GPS, diperlukan minimal 3 satelit. Pengukuran posisi GPS didasarkan oleh sistem pengukuran matematika yang disebut dengan Triliterasi. Yaitu pengukuran suatu titik dengan bantuan 3 titik acu. Beberapa fungsi dari GPS adalah : 1. Untuk melakukan navigasi terhadap kapal laut dan pesawat terbang. 2. Untuk menentukan jarak-jarak tertentu 3. Untuk melakukan suatu penemuan di bidang geografi. 2.5 Luas Segitiga Sembarang Teorema Heron biasanya digunakan untuk mencari luas dari suatu segitiga sembarang. a, b dan c adalah ketiga sisi segitiga (1.1) (1.2) dengan a,b, c adalah panjang sisi segitiga sembarang
2.6 Trigonometri Bola Sama seperti rumus trigonometri bidang datar yang dapat digunakan untuk melakukan perhitungan pada geometri bidang datar, trigonometri bola juga dapat digunakan untuk melakukan perhitungan ada geometri bola. Ada banyak rumus dalam trigonometri bola akan tetapi hanya 4 rumus yang sering digunakan daripada yang lainnya. Pada gambar 1.2 ABC adalah segitiga bola dengan sisi AB, BC dan CA dengan panjang c, a dan b, dan dengan sudut CAB, ABC dan BCA yang direpresentasikan dengan sudut A, B dan C rumusannya adalah Rumus Cosinus cos a = cos b cos c + sin b sin c cos A. Ada dua variasi rumus lainnya yaitu cos b = cos c cos a + sin c sin a cos B cos c = cos a cos b + sin a sin b cos C.
(1.3) (1.4) (1.5)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
III.
124
METODOLOGI
Menentukan lokasi taman yang akan diukur serta memberikan mark pada Google Earth
Menuju ke lokasi yang sudah di-mark pada Google Earth a
b
Memberikan mark pada setiap sudut taman dengan menggunakan GPS
1
Memetakan taman dengan memasukkan data koordinat yang tersimpan pada GPS ke dalam peta Google Earth
c
Gambar wilayah pada Google Earth dibuat polygon dan dibagi menjadi segitiga
Gambar 3. Marking Taman Lansia Surabaya
Melakukan perhitungan luas taman dan membuat sketsa taman pada Google Earth
1 c b1
IV. HASIL DAN ANALISA Pada percobaan yang sudah dilakukan, didapatkan data koordinat lokasi dan mark dengan menggunakan GPS di Taman Bungkul, Taman Lansia, dan Taman Flora. Data ini dapat digunakan dalam menentukan marking di Google Earth sehingga kemudian didapatkan luas pada masingmasing taman.
a2 2 a
c 1
a
a4 4 c3 b4 b2 3 a3
b Gambar 2. Marking Taman Bungkul Surabaya
2
a1 Gambar 4. Marking Taman Flora Surabaya Dari gambar 2, 3 dan 4 dapat dilihat kondisi beberapa taman kota Surabaya. Penghijauan di kota Surabaya dapat dipantau secara kontinu dengan menggunakan aplikasi Google Earth, sehingga sangat praktis untuk digunakan oleh masyarakat. Selain itu, pelajar-pelajar di kota Surabaya dapat diperkenalkan dengan teknologi satelit dan GPS sekaligus turut berpartisipasi dalam penggalakan Surabaya Go Green. Percobaan yang telah dilakukan merupakan suatu contoh sederhana yang masih dapat dikembangkan. Misalnya saja untuk mengetahui koordinat pohon-pohon langka yang dimiliki oleh kota Surabaya. Adapun perhitungan luas beberapa taman kota di Surabaya dapat dilihat pada tabel berikut.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
125
Tabel 1. Perhitungan Luas Taman Kota Surabaya Sisi a b c a2 b2 a3 c3 a4 b4 Sisi a b c Sisi a b c a1 b1
Mark A Lintang (°) Bujur (°) 7,29097 112,73917 7,29178 112,73919 7,29097 112,73917 7,29097 112,73917 7,29181 112,74019 7,29181 112,74019 7,29156 112,74053 7,29128 112,74058 7,29156 112,74053 Mark A Lintang (°) Bujur (°) 7,27122 112,74981 7,27122 112,74981 7,27069 112,75036 Mark A Lintang (°) Bujur (°) 7,29736 112,76194 7,29383 112,76208 7,29375 112,76133 7,29736 112,76194 7,29725 112,76122
Taman Bungkul Mark B a (°) Lintang (°) Bujur (°) 7,29178 112,73919 97,29097 7,29181 112,74019 97,29178 7,29181 112,74019 97,29097 7,29111 112,74044 97,29097 7,29111 112,74044 97,29181 7,29156 112,74053 97,29181 7,29111 112,74044 97,29156 7,29111 112,74044 97,29128 7,29128 112,74058 97,29156 Taman Lansia Mark B a (°) Lintang (°) Bujur (°) 7,27069 112,75036 82,72878 7,27131 112,75036 82,72878 7,27131 112,75036 82,72931 Taman Flora Mark B a (°) Lintang (°) Bujur (°) 7,29383 112,76208 82,70264 7,29375 112,76133 82,70617 7,29736 112,76194 82,70625 7,29725 112,76122 82,70264 7,29375 112,76133 82,70275
b (°)
C (°)
97,29178 97,29181 97,29181 97,29111 97,29111 97,29156 97,29111 97,29111 97,29128
0,00003 0,00100 0,00103 0,00128 0,00025 0,00033 0,00008 0,00014 0,00006
b (°)
C (°)
82,72931 82,72869 82,72869
0,00056 0,00056 0,00000
b (°)
C (°)
82,70617 82,70625 82,70264 82,70275 82,70625
0,00014 0,00075 0,00061 0,00072 0,00011
Jarak Mark A-B (°) 2,90170 3,57228 4,74020 4,59012 2,65461 1,49225 1,62744 0,77845 1,01949
Jarak Mark A-B (m) 89,76680 110,51208 146,64266 141,99977 82,12292 46,16420 50,34641 24,08206 31,53891
Jarak Mark A-B (°) 2,74699 2,00647 2,20000
Jarak Mark A-B (m) 84,98065 62,07208 68,05913
Jarak Mark A-B (°) 12,70968 2,69490 13,18188 2,60978 12,60625
Jarak Mark A-B (m) 393,18623 83,36943 407,79418 80,73600 389,98638
Tabel 2. Perhitungan Luas Taman Bungkul Segitiga 1 2 3 4
a (m) 89,77 142,00 46,16 24,08
b (m) 110,51 82,12 82,12 31,54
c (m) s (m) 146,64 173,46 146,64 185,38 50,35 89,32 50,35 52,98 Σ Luas Taman
L (m2) 4950,57 5672,04 1039,48 294,29 11956,38
Tabel 3. Perhitungan Luas Taman Lansia Segitiga 1
a (m) 84,98
b (m) 62,07
c (m) s (m) 68,06 107,56 Σ Luas Taman
L (m2) 2088,54 2088,54
Tabel 4. Perhitungan Luas Taman Flora Segitiga 1 2
a (m) 393,19 389,99
b (m) 83,37 80,74
c (m) s (m) 407,79 442,17 407,79 439,26 Σ Luas Taman
L (m2) 16346,78 15625,19 31971,97
V. KESIMPULAN Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan GPS sangat praktis untuk masyarakat, sehingga dapat diaplikasikan untuk mendukung penghijauan di Kota Surabaya. Misalnya dalam pemantauan penghijauan di taman-taman kota seperti taman Bungkul, taman Lansia dan taman Flora Surabaya yang berupa luas masing-masing taman. Sehingga hal ini dapat mendukung kota Surabaya menuju Surabaya Go Green dengan melibatkan masyarakat secara lebih luas termasuk pelajar SMA dalam perawatan taman kota Surabaya. DAFTAR PUSTAKA [1] Roy, A.E dan D. Clarke. 2004. “Astronomy: Principles and Practice”. Adam Hilger Ltd: Bristol.
Dari data percobaan didapatkan sketsa Taman Bungkul pada gambar 2 dengan luas taman bungkul sebesar 11956,38 m2, sketsa Taman Lansia pada gambar 3 dengan luas tamannya sebesar 20.088,54 m2 dan sketsa Taman Flora pada gambar 4 dengan luas sebesar 31.971,97 m2. Beberapa taman ini diukur luasnya dengan menandai sudut-sudut masingmasing taman dengan menggunakan GPS, dan kemudian dihitung dengan menggunakan metode poligon.
[2] Robinson, Arthur H, Morrison, Joell, Muehrcke, Phillip C, et.al.1995. Elements of Cartography. John Wiley & Sons, Inc. New York [3] Winardi. Penentuan Posisi dengan GPS Untuk Survey Terumbu
Karang.
Puslit
Oseanografi-LIPI
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
126
Pemodelan Elevasi Secara Digital Menggunakan Basis Data Vektor dengan Metode Triangular Irregular Network (TIN) Hendra Cordova, Agung Rohmanto Hendra Cordova adalah Dosen di Jurusan Teknik Fisika FTI-ITS Agung Rohmanto adalah Mahasiswa di Jurusan Teknik Fisika FTI-ITS).
Abstract—Kontur diperlukan untuk berbagai macam pemetaan berbasis GIS (Geographic Information System). Makalah ini menurunkan model elevasi digital (Digital Elevation Model, DEM) menggunakan dua basis data yaitu data digital atau peta kontur dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lokasi Bangkalan Jawa Timur. Metode yang digunakan adalah TIN dengan beberapa iterasi, sehingga didapatkan DEM untuk selanjutnya digunakan membangun data digital Kontur. Hasil yang didapat dilakukan validasi dengan data lapangan dan beberapa penampakan yang diolah dari data citra Landsat 7 ETM+. Index Terms—DEM, TIN, Kontur, Citra Satelit
I. PENDAHULUAN
P
enggambaran berbasis bentuk dua dimensi (data vektor digital) masih belum cukup mewakili karakteristik serta informasi sebuah obyek. Sebuah cara yang lebih informatif adalah dengan menyajikan bentuk rupa bumi dalam tiga dimensi yang lebih menguntungkan secara visual untuk manganalisa suatu kawasan dan menyajikannya bukan hanya dalam ukuran luas saja tapi juga volume. Penyajian tersebu dikenal dengan memodelkan volume bentuk rupa bumi dalam tiga dimensi dalam model elevasi secara digital (DEM). Salah satu metode yang dapat digunakan adalah triangular irregular network atau metode triangulasi. Metode ini memungkinkan untuk membuat model elevasi digital dengan menggunakan data elevasi yang lebih sedikit dan memiliki tingkat akurasi yang baik, dan memungkinkan untuk melakukan interpolasi terhadap titik-titik yang tidak diketahui elevasinya. Sehingga diharapkan metode ini tepat untuk menggambarkan bentuk rupa muka bumi dengan variasi yang komplek dan rumit. Hendra Cordova (2000) melakukan studi estimasi luasan mineral kelas C di wilayah Kabupaten Bangkalan menggunakan teknik GIS (2D) yang di integrasi dengan Landsat 5 berbasi metode “supervised classification”. Teknik tersebut mempunyai kesalahan jika letak ketinggian atau elevasi dari galian mineral mempunyai nilai citra digital yang hampir sama, sehingga estimasi volume kandungannya agak sulit ditentukan. Alvin (2004) melakukan perbaikan dengan
menggunakan peta kontur dan teknik GIS untuk diketahui estimasi volume diatas permukaan dengan tingkat kesalahan yang relatip tinggi (> 60%) bila dibandingkan dengan data Dinas ESDM Kabupaten Bangkalan. Elevasi dalam bentuk digital berkembang menjadi data elevasi dijital dan turunannya. Digital terrain data (DTD), Digital terrain model (DTM), Digital elevation model (DEM), dan Digital elevation terrain model (DETM) adalah istilah-istilah yang paling umum digunakan. Dalam data digital ada dua tipe data utama, yaitu data raster dan vector .Data vector disimpan dalam kumpulan titik-titik. Tiap detail alam digambarkan sebagai sebuah entitas yang berupa garis dengan arah tertentu (vector) atau titik. Untuk menyimpan garis harus merekam seluruh titik sesuai dengan arah garis. Detail luasan digambarkan sebagai sebuah area yang dibatasi oleh garis tertutup. Untuk membuat area (polygon) harus mengakhiri garis dengan menutupnya sehingga membentuk sebuah area (Yulianto, 2003). Cakupan wilayah dalam makalah ini dibatasi pada sebagian wilayah Kabupaten Bangkalan dan sebgaian wilayah Distrik Oksibil Papua. Sedangkan data yang digunakan dalam pemodelan elevasi secara digital ini adalah data elevasi kontur (polyline) dan tidak dilakukan perhitungan dike dan strike untuk menghitung volume.
II. MODEL ELEVASI DIGITAL Setiap penyajian secara digital ketinggian dari relief dalam sebuah ruang disebut dengan Model Elevasi Digital (DEM). Variasi elevasi atau ketinggian dari suatu area dapat dimodelkan dalam berbagai cara. DEM dapat direpresentasikan dengan pendefinisian permukaan secara matematik atau dengan gambar titik maupun garis (Mark, 1978). Kemiringan digambarkan dengan tangen bidang terhadap permukaan, sebagaimana yang dimodelkan oleh DEM pada setiap titik yang diberikan dan meliputi dua komponen. Dua komponen tersebut diberi nama gradien, maksimum rata-rata dari perubahan ketinggian, dan aspek, penunjuk arah dari perubahan maksimum rata-rata. Banyak yang menyebut kemiringan dengan gradien, dengan rumusan:
tan G Z X
2
2 Z Y
1
2
(1)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. dengan Z adalah altitud, X dan Y adalah koordinat aksis. Kecekungan (convexity) dan kecenbungan (concavity) digambarkan sebagai dua hal yang sama. Evans (1980) mendekati gradien, aspek, kecekungan, dan kecembungan dari persamaan kuadrat yang ditentukan ke digital. Pendekatan yang terbaik diberikan denagn metode analisis numerik (Horn 1981) untuk gradien timur-barat :
Z X Z i. j
i 1 j 1
127
memiliki variasi ketinggian yang paling komplek mulai dari terendah 25 m sampai ketinggian lebih dari 200 m, sehingga sangat menarik untuk dimodelkan secara digital. Selanjutnya dilakukan deliniasi (digitasi) untuk lokasi kajian menggunakan Peta RBI. Secara lengkap urutan proses yang dilakukan adalah sebagai berikut:
2Z i1 j Z i1 j 1 Z i1 j 1 2Z i1 j Z i1 j 1 8x (2)
Triangular Irregular Network adalah sebuah sistem yang didesain oleh Peuker (Peuker et al. 1978) untuk pemodelan elevasi secara digital yang menggunakan data cadangan dari matrik altitude, dan pada saat yang sama juga akan lebih efisien untuk berbagai tipe komputasi (termasuk kemiringan) dibandingkan dengan sistem yang hanya berdasarkan pada digitasi kontur. Peuker et al (1978) telah mendemonstrasikan bahwa struktur TIN dapat dibangun dari pengambilan data secara digitasi manual atau dari seleksi titik secara otomatis dan segitiga dari pengumpulan data raster dengan mesin orthophoto otomatis. Formula yang diturunkan untuk pembangunan DEM dari TIN adalah relatip sederhana, yaitu membentuk segitiga masing-masing dari tiik yang ditinjau (Maasati, A). Interpolasi disini dilakukan untuk menghasilkan titik tunggal, kontur, maupun grid yang akan digunakan sebagai bantuan dalam membentuk TIN. Penyusunan TIN dan interpolasi dilakukan dengan menggunakan software Acr View GIS 3.2 sehingga didapatkan model elevasi digital.
III. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA Daerah yang menjadi obyek penelitian adalah sebagian wilayah kabupaten bangkalan. Tepatnya berada di kecamatan Geger dan Galis. Berada pada lembar peta RBI 1608.444 Bakorsurtanal , yaitu pada koordinat 07o 00’ 00“ – 07o 07’ 30“ LS dan 112o 52’ 30“ – 113o 00’ 00“ BT.
Gambar 1. Citra Lansat 7 ETM+ (Lokasi kajian di dalam kotak putih), Datum WGS 84, Channel 321
Gambar 1 adalah citra satelit Landsat 7 ETM+ yang dikombinasi 3 kanal untuk membentuk citra RGB. Beberapa peneliti menggabungkan kanal-kanal 542, 741 dan lain sebagainya. Dari keseluruhan wilayah bangkalan, daerah ini
Gambar 2. Peta RBI
Gambar 3. Hasil Digitasi Peta Kontur
Gambar 4. Proses pembentukan DEM dengan TIN
Ga,bar 5. Penampakan DEM dan rupa bumi 3D
Hasil akhir DEM (gambar 5) dilakukan verifikasi lapangan menggunakan GPS masing-masing titik yang terpilih, berikut adalah hasil perbandingan antara data lapangan dan DEM yang dihasilkan. TABLE I PERBANDINGAN DEM DAN DATA LAPANGAN (CUPLIKAN DATA) Data Lapangan (meter
Data DEM (meter)
43
46.99
59
50.94
62
67.23
115
115.77
68
68.97
120
122.68
69
59.11
74
65.35
70
66.94
227
22.48
169
149.97
160
149.97
65
68.67
57
49.99
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Berdasar uji statistik dari tabel 1 dihasilkan tinggi terukur (data lapngan, GPS) rata-rata ketinggian adalah 97.98 m sedangkan untuk tinggi hasil pemodelan, rata-rata ketinggian adalah 86,18 m. Selain data ketinggian dilakukan pula uji slope dengan hasil sebagai berikut, 3 2.5
Slope
2
128
kemiringan antara kedua data, data diambil membentuk potongan melintang.
IV. KESIMPULAN Telah dilakukan pembuatan model elevasi digital untuk sebagian wilayah bangkalan menggunakan metode Triangular Irregular Network cukup baik untuk memodelkan elevasi secara digita dengan standart eror rata-rata 1.5708 %, dan standart deviasi simpangan sebesar 8.604 meter. References
1.5 1
[1]
0.5
[2]
0 0
2
4
6
8
10
12
14
-0.5
[3] Data ke
Gambar 6. Nilai Slope untuk titik uji melintang
[4] [5] [6]
Nilai slope untuk setiap titik pengambilan data dapat dilihat pada gambar 6. Dari grafik ini terlihat bahwa daerah yang relative landai memiliki nilai slope yang rendah, dan sebaliknya. Untuk dapat membandingkan slope atau
[7] [8] [9]
Aronoff Stan, “Geographic Information System: A Management Perspective”, WDL Publication, Canada, 1989. Borrough Peter A. “Principles of Geographic Information System for Land Resources Assessment”, Clarendon Press Oxford, London, 1986. Borrough, P. A., McDonnell R. A. “Principles of Geographic Information System”, Oxford University Press Inc, New York, 1998. Evans, I. S. “The Selection of Class Interval” Transaction Institute of British Geographer, 1977. Brinker, Russel C. “Elementary Surveying” Harper & Row publishers Inc., New York,1984. Henry D. Foth, “ Dasar-dasar Ilmu Tanah “, Gadjah Mada University Press “, 1988. Budiyanto Eko, “Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS”, Andi Yogyakakarta, 2002. Sosrodarsono Suyono, “ Pengukuran topografi dan teknik pemetaan”, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983. Yulianto widi, “Aplikasi AutoCAD 2002 untuk Pemetaan dan SIG”, Elex Media Komputindo, Jakarta, 200
129 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Deliniasi Kawasan Prospek Kebun Energi Berbasis Jatropha Curcas Menggunakan Analisa NDVI dan Geomorfologi Terhadap Citra Landsat 7 ETM+ di Wilayah Flores
Tri Martha Kusuma P(1), Pebrian Tunggal P, Widya Utama [1]Laboratorium Geofisika-Jurusan Fisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (e-mail: [email protected], +6285645501110).
Abstrak— Kelak, terutama ketika energi berbasis fossil telah habis dan ketika energi hijau semakin berperan dalam upaya pemenuhan kebutuhan energi di masyarakat, kebun energi menjadi bidang usaha yang menguntungkan. Salah satu bentuk kebun energi adalah kebun jarak. Tanaman jarak (Jatropha Curcas) saat ini dibudidayakan dan diolah minyaknya menjadi biofuel. Biofuel dari ekstraksi biji jarak pagar telah banyak dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif, bahkan sudah dapat dipakai sebagai bahan bakar pesawat jet dan sudah digunakan secara komersial. Lahan penanaman jarak pagar saat ini dikenal dengan sebutan kebun energi. Jarak pagar mampu tumbuh pada lahan tandus di ketinggian 500 m di atas muka air laut. Delineasi lahan penanaman jarak pagar untuk membangun kebun energi dibutuhkan teknologi satelit. Pada makalah ini akan disampaikan kajian tentang aplikasi citra satelit digunakan pada studi kasus penentuan wilayah kebun energi di Flores. Di Flores akan dibangun kebun energi berbasis tanaman jarak pagar. Dalam penggunaan teknologi satelit untuk delineasi kebun energi sebagai studi awal, akan dilakukan analisis geomorfologi dan perencanaan tata guna wilayah untuk perkebunan berbasis pola kontur topografi dan lokasi sumber air (sungai dan danau). Aplikasi teknologi satelit yang digunakan adalah NDVI dan geomorfologi. NDVI dapat memprediksi dan menilai beberapa karakteristik tutupan lahan oleh tanaman, seperti; luasan daun, persentase tutupan lahan dan kerapatan vegetasi. Analisa NDVI sebagai kajian wilayah tandus kawasan Flores yang dapat dimanfaatkan dalam penentuan deliniasi kebun jarak. Analisa geomorfologi digunakan untuk penentuan wilayah kebun energi berdasarkan kondisi topografi yang mendukung lingkungan pertumubuhan tanaman jarak. Analisa NDVI dan geomorfologi menggunakan citra Landsat 7 ETM+. Hasil delineasi akan memberikan gambaran luasan dan posisi wilayah prospek untuk penanaman jarak pagar. Kata kunci— kebun energi, Jatropha Curcas, Landsat 7 ETM+, NDVI, geomorfologi.
I.
PENDAHULUAN
anaman jarak pagar (Jatropha curcas L) saat ini dibudidayakan dan diolah menjadi biofuel. Biofuel berasal dari ekstraksi biji jarak pagar yang banyak dikembangkan dan dimanfaatkan oleh negara-negara maju dan berkembang sebagai bahan bakar alternatif. Lahan penanaman jarak pagar saat ini dikenal dengan sebutan kebun energi. Kebun energi digunakan sebagai istilah lahan penanaman jarak pagar karena biji jarak mampu menghasilkan biodiesel yang digunakan sebagai sumber energi. Produksi biofuel dari biji jarak pagar merupakan salah satu bentuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Selain itu tanaman jarak pagar mampu menyerap emisi karbon untuk mengurangi pemanasan udara. Tanaman jarak pagar merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada dataran rendah sampai pada ketinggian 500 m di atas muka air laut. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman jarak pagar adalah 300 mm – 2.380 mm per-tahun. Kisaran suhu yang diperlukan agar tanaman jarak dapat tumbuh baik adalah 20˚C-26˚C. Apabila suhu terlalu rendah atau terlalu tinggi akan dapat mengurangi kadar minyak dalam biji dan mengubah komposisinya. Tanaman jarak pagar tahan terhadap kondisi tanah yang kering karena memiliki perakaran yang mampu menahan air dan tanah. Jarak pagar dapat tumbuh pada berbagai ragam tekstur dan jenis tanah [1]. Flores, Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah di Indonesia yang akan dilakukan pengembangan lahan untuk perluasan area penanaman tanaman jarak pagar. Perluasan area penanaman jarak pagar memiliki tujuan untuk memproduksi BBN (Bahan Bakar Nabati) sebagai bahan bakar alternatif di Indonesia. Wilayah Flores memiliki morfologi yang sesuai dengan kriteria tumbuhnya tanaman jarak pagar [1]. Penentuan wilayah yang cocok untuk perkebunan jarak pagar kawasan Flores dapat dilakuan dengan menggunakan metode citra satelit. Analisa citra satelit yang digunakan untuk delineasi lahan penanaman jarak pagar adalah NDVI (Normalized Different Vegetation Index) dan geomorfologi.
T
130 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Analisa NDVI dapat memprediksi dan menilai beberapa karakteristik kanopi, seperti; luasan daun, persentase tutupan lahan dan kerapatan vegetasi. Analisa geomorfologi untuk penentuan wilayah kebun energi berdasarkan kondisi topografi yang mendukung lingkungan pertumubuhan tanaman jarak. Analisa NDVI dan geomorfologi menggunakan pengolahan data Landsat 7 ETM+. Hasil pengamatan menggunakan citra satelit ini adalah delineasi dan usulan daerah yang cocok untuk dilakukan penanaman jarak pagar di wilayah Flores.
II.
PENGINDERAAN JAUH
Penginderaan jauh merupakan pengukuran dari beberapa sifat objek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang tidak terjadi kontak langsung dengan objek atau fenomena yang dikaji. Data penginderaan jauh adalah berupa citra. Citra penginderaan jauh memiliki beberapa bentuk yaitu foto udara ataupun citra satelit. Data penginderaan jauh tersebut adalah hasil rekaman obyek muka bumi oleh sensor yang berada pada satelit. Teknik analisis citra yang digunakan umumnya adalah teknik visual dan digital. Prinsip dasar analisis citra secara visual adalah perbedaan besarnya pantulan dan penyerapan energi radiasi gelombang elektromagnetik. Citra akan tampak dari perbedaan warna sesuai dengan gabungan band (kanal) yang digunakan. Prinsip dasar analisis digital adalah mengelompokkan obyek yang mempunyai kelas pixel sama. Nilai pixel merupakan perbedaan besarnya nilai pantulan dan diwujudkan dalam bentuk numerik atau disebut juga sebagai nilai intensitas pantulan obyek [4].
III. LANDSAT 7 ETM+ Landsat merupakan satelit pertama tidak berawak yang dikembangkan oleh NASA dan dirancang secara spesifik untuk memperoleh data sumber daya bumi dalam basis yang sistematik dan berulang. Landsat 7 dikontrol oleh USGS yang diluncurkan pada tanggal 15 Desember 1998. Landsat 7 dilengkapi dengan sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM). Orbit Landsat membutuhkan waktu selama 16 hari untuk mengitari bumi. Sehingga suatu wilayah dicitrakan oleh Landsat secara berulang dengan rentan waktu 16 hari. Citra Landsat 7 ETM+ memiliki resolusi 30 meter. Satu layar penuh mencakup luasan 185 km2, sehingga sensor dapat mencakup daerah yang besar di permukaan bumi. Sensor ETM+ menggunakan panjang gelombang dari spektrum tampak mata sampai spektrum infra merah yang berasal dari matahari. Secara radiometrik, sensor ETM+ memiliki 256 angka digital [3]. Data citra Landsat adalah data raster. Suatu data raster merupakan data yang berupa pixel yang tersusun dalam baris dan kolom. Setiap pixel mempunyai nilai yang merepresentasikan sesuatu, seperti ketinggian (digital elevation model), jenis tanah, penggunaan lahan, dalam suatu nilai greyscale. Energi elektromagnetik dari matahari yang dipantulkan dari objek di atas bumi sesuai dengan karakteristik spektralnya.
Karakteristik spektral adalah karakteristik setiap band yang terdapat pada sensor ETM+ memiliki karakteristik berbedabeda sesuai dengan panjang gelombangnya. Ketika gelombang elektromagnetik mengenai objek di permukaan bumi akan terjadi 5 interaksi yaitu transmisi, absorpsi, refleksi, hamburan, dan emisi. Masing-masing interaksi akan menghasilkan nilai energi pantul yang berbeda yang dikumpulkan oleh saluran 1 sampai dengan saluran 5, saluran 7, dan saluran 8 (7 saluran). Selain energi pantulan, Landsat juga menangkap energi pancaran objek di atas permukaan bumi oleh saluran 6 (1 saluran). Sensor ETM akan merubah energi pantulan matahari menjadi satuan radiansi. Radiansi adalah flux energi per satu satuan sudut ruang yang meninggalkan satu satuan area permukaan, pada daerah tertentu. Radiansi berkaitan dengan tingkat kecerahan citra [5]
IV.
GEOMORFOLOGI
Kondisi morfologi suatu wilayah dapat tergambar dengan baik menggunakan analisa geomorfologi pada citra satelit. Penggabungan antara band 4, band 5, dan band 7 akan didapatkan kenampakan alam suatu wilayah. Penggunaan gelombang inframerah mampu menembus tutupan lahan atau vegetasi, sehingga inframerah hanya terpantul pada permukaan bumi sesuai dengan struktur dan kenampakannya. Kenampakan alam yang akan tergamambarkan berupa gunung, lereng, sungai, dan lain sebagainya. Data citra Landsat yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang rekam pada tanggal 4 Desember 2002. Data citra Landsat diolah menggunakan software ILWIS 3.7 [3]. Tanaman jatropha curcas merupakan tanaman yang mampu tumbuh pada dataran rendah. Gambar 1 memberikan gambaran daerah dataran yang rendah berada di bagian utara. Sehingga target wilayah pembangunan kebun energi berada pada bagian utara dari wilayah Flores. Selain syarat tumbuhnya tanaman jarak, wilayah relief datar mempermudah pembangunan dan perencanaan infrastruktur pendukung seperti gudang pupuk, gudang penyimpanan biji, pembangunan gedung dan kebutuhan lainnya.
Gambar 1. Analisa citra geomorfologi dari penggabungan Band 4, Band 5, dan Band 7 citra Landsat 7 ETM+ Wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur.
131 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
V.
INDEKS VEGETASI
Analisa citra untuk mengetahui kenampakan tutupan lahan (vegetasi) suatu wilayah dapat dilakukan dengan menggabungkan band 5, band 4, dan band 2. Band 4 dan band 5 merupakan citra termal yang dapat menembus vegetasi atau tutupan lahan organic. Sedangkan band 2 adalah citra yang menangkap energi pantulan hijau, Sehingga penggabungan ketiganya akan menampilkan kenampakan kondisi tutupan lahan suatu wilayah [5]. Gambar 3. Analisa citra NDVI citra Landsat 7 ETM+ Wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur.
Untuk mempermudah interpretasi dan pengelompokan kategori tutupan lahan maka dibutuhkan proses slicing atau pengelompokan.
Gambar 2. Analisa citra tutupan lahan dari penggabungan Band 5, Band 4, dan Band 2 citra Landsat 7 ETM+ Wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur.
Bagian utara pada gambar 2 tampak warna coklat yang menandakan jarang atau tidak adanya vegetasi. Wilayah minimnya vegetasi pada wilayah Flores terdapat pada daerah yang memiliki elevasi rendah. Pengkategorian nilai vegetasi dilakukan dengan pengukuran jumlah dan kondisi vegetasi dengan menganalisa data citra. Analisa ini dilakukan dengan menggunakan teknik kalkulasi data citra digital dengan tujuan untuk mendapatkan nilai tunggal pada setiap piksel yang dapat memprediksi dan menilai beberapa karakteristik kanopi. Analisa citra satelit untuk mengetahui karakteristik kanopi dinamakan indeks vegetasi. Ada berbagai macam transformasi indeks vegetasi, salah satunya yaitu NDVI (Normalized Different Vegetation Index). NDVI merupakan jenis transformasi indeks vegetasi yang mempunyai korelasi paling besar untuk aspek kerapatan kanopi. Formula NDVI adalah sebagai berikut: 𝑁𝐷𝑉𝐼 =
(𝐵𝑎𝑛𝑑 4−𝐵𝑎𝑛𝑑 3) (𝐵𝑎𝑛𝑑 4+𝐵𝑎𝑛𝑑 3)
(1)
Nilai NDVI berkisar antara -1 hingga 1. Semakin besar nilai NDVI menunjukkan semakin tinggi kerapatan vegetasinya. Hasil dari transformasi NDVI yaitu citra distribusi indeks NDVI [2].
Gambar 4. Pengelompokan jenis tutupan lahan berdasarkan nilai indeks vegetasi analisa NDVI citra Landsat 7 ETM+.
VI.
ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Geomorfologi Kawasan Flores merupakan kawasan yang memiliki banyak gunung dan dataran tinggi sehingga citra tampak permukaan kasar pada gambar 1. Dataran rendah wilayah Flores pada umumnya berada di wilayah utara. Jadi kawasan yang dapat dijadikan sebagai kebun energi di bagian utara. Bagian utara dapat dijumpai dataran yang rendah, sungai dan danau, Sungai dan danau merupakan suplai kebutuhan air dalam pelaksanaan kebun energi di wilayah Flores. Jadi wilayah yang cocok untuk penanaman jarak di wilayah Napoeng Ndoera, Nusa Tenggara Timur.
132 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. pembangunan kebun energi maka analisa NDVI dilakukan pada daerah yang serupa yaitu daerah Napoeng Ndoera Hasil analisa citra NDVI menunjukkan sebanyak 33% dari luas daerah merupakan lahan kering yang terdiri dari semak. Pada daerah Napoeng Ndoera tidak dijumpai lahan yang memiliki vegetasi rapat. Hanya terdapat 4,48% dari total luas TABLE II LUAS DAERAH KARAKTERISTIK TUTUPAN LAHAN
Jenis Tutupan Lahan Air Tanpa vegetasi Semak atau sawah Hutan terbuka Hutan lebat
Gambar 5. Geomorfologi kawasan prospek kebun energi, Wilayah Napoeng Ndoera, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Dataran rendah tidak hanya sebagai persyaratan pertumbuhan tanaman jarak, namun juga untuk membangun sarana dan prasarana penunjang dalam pelaksanaan dan pengolahan hasil dari kebun energi. Prasarana yang dibutuhkan diantaranya adalah gudang penyimpanan biji jarak, gudang pupuk, pabrik pengolahan minyak, gedung kantor dan pelabuhan untuk pemasaran. B. Analisa NDVI Analisa NDVI dilakukan untuk mengetahui nilai indeks vegetasi dari wilayah Flores untuk mendeliniasi kawasan kering atau gersang. Analisa NDVI dilakukan dengan mengkalkulasi band 3 dan band 4 citra Landsat menggunakan software ILWIS 3.7.
Persentase 31,05 % 31,20 % 33,26 % 4,48 % 0,02 %
Luas Wilayah (m2) 90.304.200 90.753.300 96.731.100 13.019.400 63.000
wilayah yang merupakan daerah perkebunan atau dapat dikatakan wilayah bergetasi sedang Kawasan prospek pembangunan kebun energi berada pada wilayah yang tidak bervegetasi hingga bervegetasi jarang. Terdapat daerah seluas 90.753.300 m2 untuk dilakukan peanaman biji jarak pagar.
VII. KESIMPULAN Hasil dari analisa citra geomorfologi wilayah dataran rendah kawasan Flores berada di bagian utara. Hasil analisa citra satelit kawasan vegetasi (lihat gambar 2) pada bagian utara merupakan area yang memiliki vegetasi jarang yang ditunjukkan dengan warna coklat. Hasil analisa indeks vegetasi dengan menggunakan analisa NDVI bagian utara juga memiliki nilai indeks vegetasi yang rendah. Jadi deliniasi kawasan yang cocok untuk pembangunan kebun energi berbasis Jatropha Curcas tepatnya di daerah Napoeng Ndoera. Wilayah Napoeng Ndoera memiliki lahan kering tanpa vegetasi seluas 90.753.300 m2 dan lahan semak sebesar 96.731.100 m2. Wilayah Napoeng Ndoera terdapat 3 buah aliran sungai dan sebuah danau yang merupakan cadangan dan suplai air untuk proses penanaman tanaman jarak.
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2] [3]
Gambar 6. Analisa NDVI wilayah prospek kebun energi, Wilayah Napoeng Ndoera, Flores, Nusa Tenggara Timur.
[4]
Data citra direkam pada tanggal 4 Desember 2002. Pada gambar 2 dan gambar 3 tampak lahan yang kering (didominasi oleh semak dan tanpa adanya vegetasi) pada bagian utara. Sehingga berdasarkan kondisi geomorfologi yang cocok untuk
[5]
Anny Mulyani, F. Agus, dan David Allelorung, ―Potensi Sumber Daya Lahan untuk Pengembangan Jarak Pagar (Jatropha curcas L) di Indonesia‖, Jurnal Litbang Pertanian (25)4, Bogor : Litbang, 2006, halaman 13—138. Larry Ryan,‖ Creating a Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Image using MultiSpec‖, University of New Hampshire, 1997. Riski Sofani, Widya Utama, ―Deliniasi Prospek Panas Bumi Daerah Tiris Probolinggo dan Sekitarnya dengan Analisa Citra Satelit Landsat 7 ETM+‖, Tugas Akhir Jurusan Fisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2010. Sukarman, A. Hidayat, Hardjowigeno, M. Ardiansyah, ―Hubungan Spektral Citra Landsat-7 ETM dengan Beberapa Sifat Tanah‖, Jurnal Tanah dan Iklim No. 25, ISSN 1410 – 7244, 2007. Togu Manurung, Ph.D, ―Pemetaan Land Use Land Cover (LULC) dari Citra Penginderaan Jauh Landsat7 ETM+ untuk Wilayah Mamberamo dan Raja Ampat Provinsi Papua‖, Laporan Kegiatan CI Indonesia, tanpa tahun.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
133
Analisis Life Time Satelit IiNusat-1 Berdasarkan Cycle Baterai Arba’i Yusuf, Gunawan Setyo Prabowo Penelitian ini dibiayai oleh DP2M Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional. Arba’i Yusuf, Pusat Teknologi Satelit, LAPAN, JL. Cagak Satelit KM 0.4 Rancabungur Bogor. (e-mail: [email protected]). Gunawan Setyo Prabowo, Pusat Teknologi Satelit, LAPAN, JL. Cagak Satelit KM 0.4 Rancabungur Bogor. (email: [email protected])
Abstrak— Sebuah satelit tersusun dari beberapa subsistem yang mempunyai fungsi dan tugas tertentu sesuai dengan misi yang diembannya. Semua subsistem membutuhkan energi listrik dari solar panel dan baterai. Umur satelit atau lifetime satelit dapat diperkirakan dari beberapa hal, yaitu orbit satelit, jenis solar panel, dan jenis baterai. Dalam paper ini akan dibahas analisis lifetime satellite berdasarkan jenis baterai. Satelit Iinusat-1 berencana menggunakan jenis baterai Li-Polymer berkapasitas 60WH. Dengan orbit Sun-Synchronous Polar Orbit dengan ketinggian 700 km dan sudut inklinasi 98.20, didapatkan periode orbit sebesar 90 menit. Jika diasumsikan penurunan daya maksimum baterai adalah 50% dan penurunan daya setelah full charge sebesar 20%, dan Deep of Discharge (DOD) yang digunakan sebesar 40%, maka akan dapat dihitung umur satelit Iinusat-1 adalah lebih dari 5 tahun.
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan eksperimental komunikasi yang berguna untuk bantuan komunikasi darurat saat bencana [3]. IiNUSAT-1 merupakan satelit kecil yang terbangnya akan diikutkan dalam sistem piggyback dengan mengikut pada peluncuran satelit yang lain. Dengan cara tersebut orbit yang akan ditempuh satelit ini tergantung pada satelit utama dalam peluncuran tersebut. Orbit yang dipilih rencananya adalah Sun-Synchronous Polar Orbit dengan ketinggian 700 km dan sudut inklinasi 98.2o. Gambar 1.1 menunjukkan satelit Iinusat-1.
Index Terms— Li-Polimer, Lifetime, Deep of Discharge, Cycle Baterai
I. PENDAHULUAN INSPIRE (Indonesian Nano-Satellite Platform Initiative for Research & Education) adalah suatu inisiatif proyek nir-laba yang bertujuan untuk membangun & mengembangkan platform teknologi satelit (satelit-nano khususnya) di kalangan perguruan tinggi di Indonesia, dengan menempatkan mahasiswa sebagai motor/penggerak utamanya [1]. Salah satu kegiatan inspire adalah membuat satelit Iinusat-1 (Indonesian Inter-University Satellite-1). IiNusat-1 dibuat oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan gabungan dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia, yaitu Institute Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajahmada (UGM), Politeknik Negeri Surabaya (PENS), Institute Teknologi Surabaya (ITS), dan Institute Teknologi Telkom (ITTelkom) dengan dibiayai oleh DP2M Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional [2]. Adapun misi dari satelit Iinusat-1 adalah sebagai satelit universitas pertama di Indonesia, yang akan digunakan sebagai sarana belajar dalam space engineering yang terintegrasi dalam jaringan kerjasama perguruan tinggi, serta .
Gambar 1.1. Ilustrasi Satelit Iinusat-1 [4].
Satelit Iinusat-1 ini mempunyai bobot 20 kg yang mempunyai ruang sempit sehingga tidak memungkinkan untuk membawa banyak modul dan baterai. Berdasarkan misi satelit Iinusat-1 direncanakan berada di orbit sekitar 2 tahun, tetapi jika dilihat dari sisi baterai yang digunakan satelit Iinusat-1 bisa lebih dari dua tahun tergantung jenis baterai yang digunakan. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai analisis lifetime satelit Iinusat-1 berdasarkan baterai yang digunakan.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. II. BEBERAPA HAL YANG BERPENGARUH TERHADAP UMUR SATELIT Lifetime atau umur satelit banyak dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu pengaruh atmosfir, jenis baterai yang digunakan dan solar cell yang digunakan. A. Pengaruh Orbit Ada beberapa macam orbit satelit, yaitu orbit Low Earth Orbit (LEO) dengan ketinggian 200 – 2000 km, Medium Earth Orbit (MEO) dengan ketinggian 2000 – 35786 km, Geosynchronouse Earth Orbit (GEO) yang berada pada ketinggian tepat 35786 km, High Earth Orbit (HEO) dengan ketinggian di atas GEO, dan Lagrangian Point Orbits (LPO) yang berada di sistem rotasi bumi- bulan atau bumi-matahari [5]. Satelit Iinusat-1 mempunyai ketinggian 700 km karena itu masuk dalam orbit LEO. Dengan ketinggian tersebut satelit bergerak dengan kecepatan sekitar 7.8 km/s (28080 km/h) dengan waktu tempuh mengelilingi bumi sekitar 90 menit. Di orbit ini satelit juga mendapat hambatan atmosfir yang cukup besar, sehingga satelit akan mengalami penurunan orbit dan lama-lama akan masuk atmosfir bumi dan terbakar [6]. Satelit dengan orbit LEO ini biasanya berumur tidak lebih dari 8 tahun. B. Pengaruh Lingkungan Antariksa Beberapa hal yang dapat mempengaruhi struktur satelit dan beberapa komponen elektronik di dalam satelit adalah radiasi elektromagnetik, neutron, sinar cosmic, micrometeorid, medan magnet, partikel proton dan electron, solar flare, dan puing-puing angkasa [7], [8], [9]. Beberapa partikel seperti solar flare proton dan micrometeorid impact dapat menyebabkan penurunan daya solar cell sebesar 2% setahun, dan dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan solar cell. Dengan adanya penurunan daya sebesar 2% setahun, solar cell tersebut dapat bertahan hingga 3 – 6 tahun. Radiasi partikel seperti alpha, proton, electron, sinar gamma, dan neutron dapat merusak komponen elektronik seperti memori, mikroprosesor, dan beberapa sensor. Biasanya komponen yang rentan terhadap radiasi partikel diberi shielding yang dapat menahan serangan partikel tersebut. Karena seringnya dibombardir oleh partikel-partikel angkasa, beberapa komponen elektronik lama-lama akan rusak sehingga mengurangi kinerja sistem satelit dan juga mengurangi umur satelit tersebut. C. Pengaruh Cycle Baterai Selain pengaruh orbit dan lingkungan antariksa, umur satelit juga dipengaruhi oleh pemakaian baterai dalam hal ini adalah seberapa sering baterai tersebut di charge dan di discharge. Charge discharge baterai dikenal dengan nama cycle baterai. Dan berapa persen deep of discharge (DOD) baterai yang digunakan. DOD berhubungan dengan prosentase pemakaian baterai yang diperbolehkan. Untuk satelit kecil sekelas nanosat biasanya pemakaian DOD sebesar 30% hingga 40%.
134
III. PREDIKSI UMUR SATELIT IINUSAT-1 Di dalam laporan akhir mission analisis dan desain awal Iinusat-1 dijelaskan bahwa satelit Iinusat-1 mengemban misi selama lebih kurang 2 tahun. Satelit Iinusat-1 merupakan satelit eksperimental dan tidak menutup kemungkinan umur satelit tersebut dapat lebih dari dua tahun tergantung jenis baterai yang akan digunakan. Baterai yang akan digunakan satelit Iinusat-1 ini adalah jenis lithium polymer dari Clyde Space berkapasitas 30 WH sebanyak dua buah. Maksimum rating baterai tersebut adalah sbb:
TABEL 3.1 Maksimum Rating Operasi Baterai Li-Polymer 30 WH [10]
Charge limits
Discharge limits
Voltage Current Current rate Voltage Current Current rate
Operating temperature Vacuum Radiation tolerance Shock Vibration
BCR Max Max (C)
Value 8.4 3.75
Max
C
Min Max (C)
6.0 3.75
Max
C -10 s/d 50 10-5 500
Unit V A Fraction of Capacity V A Fraction of Capacity o
C
torr krad
(TBC) (TBC)
Berdasarkan misi bahwa satelit akan berada di orbit sekitar 2 tahun diperlukan baterai yang mampu bertahan di atas dua tahun dengan cycle yang mencukupi. Kemampuan daya tahan baterai dipengaruhi oleh deep of discharge (DOD), dan jumlah revolusi satelit selama di orbit. Penentuan jumlah revolusi satelit selama di orbit dihitung dari jumlah menit dalam satu tahun dibagi dengan periode orbit satelit mengelilingi bumi kemudian dikalikan dengan perkiraan umur satelit. 𝑡
𝑛 = 𝑇 𝐻 ………………………………….................
(3.1)
Dimana n adalah jumlah revolusi satelit selama di orbit, t adalah jumlah waktu dalam satu tahun (menit), T adalah periode orbit satelit (menit), dan H adalah perkiraan umur satelit. Dari hasil tersebut nantinya digunakan untuk menentukan jenis baterai yang akan digunakan dan menentukan cycle minimum dari baterai tersebut. Satelit Iinusat-1 memiliki periode orbit 90 menit (sunlight 60 menit, eclipse 30 menit), dan lifetime diperkirakan 2 tahun. Kita dapat menentukan berapa jumlah revolusi satelit selama di orbit. Dengan menggunakan persamaan 3.1 didapatkan: 𝑛=
12 𝑥 30 𝑥 24 𝑥 60 90
𝑥2
𝑛 = 11520 Selama menjalankan misinya selama lebih kurang 2 tahun, satelit Iinusat-1 menempuh revolusi sebanyak 11520 kali
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. mengelilingi bumi. Table 3.2 berikut menunjukkan hasil perhitungan jumlah revolusi satelit Iinusat-1 dalam beberapa tahun.
bermacam-macam baterai yang mempunyai cycle berbeda. TABEL 3.3 Prediksi Umur Satelit Iinusat-1 Berdasarkan Cycle Baterai
TABEL 3.2 Hasil Perhitungan Jumlah Revolusi Satelit Iinusat-1 Perkiraan umur satelit (tahun) 0.5 1 2 3 4 5 6
Periode orbit (menit)
Jumlah revolusi
90 90 90 90 90 90 90
2880 5760 11520 17280 23040 28800 34560
Untuk menentukan berapa cycle minimum dari sebuah baterai yang dianjurkan digunakan dalam misi satelit menggunakan persamaan berikut: 𝐶=𝑛
𝐷𝑜𝐷 𝐷𝐶ℎ 𝑟𝑔 ……………………………………. 100 𝐷𝑀𝑎𝑥
40 100
𝑥
Lifetime atau umur satelit dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah karena pengaruh orbit yang semakin lama semakin turun, karena pengaruh lingkungan antariksa yaitu karena bombardir partikel-partikel antariksa, dan yang ketiga adalah pengaruh baterai yang digunakan. Berdasarkan baterai yang digunakan oleh satelit Iinusat-1, umur satelit ini diperkirakan 5.4 tahun.
REFERENSI
50
[1] [2]
Dengan demikian untuk menjalankan misi selama lebih kurang dua tahun, satelit Iinusat-1 memerlukan baterai yang mempunyai cycle minimal sebesar 1843.2. Setiap baterai mempunyai jumlah cycle berbeda untuk setiap keperluan dan berbeda juga tiap merek. Baterai untuk keperluan sehari-hari, baterai laptop misalnya mempunyai cycle 300 sedangkan untuk space diperlukan cycle yang lebih besar. Persamaan 3.1 dan persamaan 3.2 dapat digabung untuk memprediksi umur satelit berdasarkan cycle baterai. 𝑇 𝐷𝑀𝑎𝑥
100
𝑡 𝐷𝐶ℎ 𝑟𝑔 𝐷𝑜𝐷
Umur satelit (tahun) 0.3 0.5 1.1 2.7 5.4 10.9 16.3 21.7
Satelit Iinusat-1 menggunakan baterai Lithium polymer dari clyde-space dengan kapasitas 30 WH sebanyak dua buah dengan cycle life sebesar 5000. Jika dilihat berdasarkan table 3.3 di atas, prediksi umur satelit Iinusat-1adalah 5.4 tahun.
20
𝐶 = 1843.2
𝐻=𝐶
Cycle baterai 300 500 1000 2500 5000 10000 15000 20000
IV. KESIMPULAN (3.2)
Dimana C adalah cycle baterai, n adalah jumlah revolusi satelit selama berada di orbit, DoD adalah deep of discharge yaitu prosentase pemakaian maksimum baterai, DChrg adalah degradasi baterai ketika full charge, dan DMax adalah degradasi maksimum baterai. Dengan mengasumsikan DoD 40%, DChrg sebsar 20%, dan DMax sebesar 50%, maka akan didapatkan berapa cycle baterai minimum yang dianjurkan. 𝐶 = 11520 𝑥
135
………………………………….. (3.3)
Tabel 3.3 berikut memperlihatkan prediksi umur satelit dari
http://inspire.or.id/web/ diakses tanggal 31 Oktober 2011. Tim Inspire-Iinusat-1, “Laporan Akhir Analisis Misi dan Desain Awal IiNusat-1”, 2010. [3] Tim Mission Analisis-Iinusat-1, “Laporan Akhir Analisis Misi dan Desain Awal IiNusat-1”, 2010. [4] Tim Struktur-Iinusat-1, “Laporan Akhir Analisis Misi dan Desain Awal IiNusat-1”, 2010. [5] http://gcmd.nasa.gov/User/suppguide/platforms/orbit.html diakses tanggal 31 Oktober 2011. [6] http://en.wikipedia.org/wiki/Low_Earth_orbit diakses tanggal 31 Oktober 2011. [7] S. N. Lehr, V. J. Tronolone, “The Space Environment and Its Effects on Materials and Component Parts”, IEEE Journal, pp. 24 – 37, 1961. [8] J.F. Murray, R.E. Neff, H.E. Pollard, “Space Environment Effects On A Rigid Panel Solar Array”, IEEE Conference, pp. 1540 – 1543, 1991. [9] Murat Hudaverdi, Ýlknur Baylakoðlu, “Space Environment and Evaluation for RASAT”, IEEE Conference, pp. 926 – 931, 2011. [10] Vicki McLaren, John Charlick, “User Manual: Standalone 30Wh Battery”, Clyde Space, Document No.: C3-USM-5016-CS-BAT-30Wh, Issue: A, 28 April 2010.
136 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Aplikasi Frekuensi GPS L1 1575,42 MHz pada Antena Mikrostrip Berbasis Power Harvesting Ongga Imatsu, Tiarlyna S, dan Eko Setijadi Penelitian ini dilakukan oleh tim Wireless Power Transfer Teknik Elektro ITS. 1. Mahasiswa Strata-1 Teknik Elektro ITS 2. Dosen Teknik Elektro ITS
Abstrak— Transfer energi nirkabel merupakan teknik pengambilan energi langsung dari udara bebas yang ramah lingkungan Penilitian ini merancang suatu sistem yang dapat digunakan untuk mencatu daya pada sensor dengan menggunakan frekuensi bebas sebagai sumber energi. Dalam paper ini dirancang suatu sistem yang bernama power harvesting. Dengan adanya sistem transfer energi nirkabel, maka dapat mengatasi masalah kelangkaan energi dan masalah pengisian energi perangkat elektronik yang berada jauh dari jala-jala listrik dengan memanfaatkan frekuensi bebas yang selalu ada di alam. Pada penelitian dilakukan rancang bangun perangkat yang mampu menerapkan sistem power harvesting pada frekuensi GPS L1 1575,42 MHz. Perangkat terdiri dari rectenna (rectifying antena) berupa antena mikrostrip. Perancangan antena dibantu dengan menggunakan software HFSS.
laut. Dengan melihat kondisi tersebut, maka dibutuhkan alternatif pemecahan terhadap dua masalah utama. Masalah pertama yaitu bagaimana mengatasi daerah yang sulit dijangkau oleh kabel listrik, dan masalah kedua yaitu sumber energi apa yang bisa digunakan terus-menerus untuk mengganti sumber energi yang sudah ada. Rectifying antenna berupa mikrostrip antena adalah salah satu solusi untuk diterapkan ke dalam teknologi WPT ini, karena memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dari jenis antena yang lainnya, dan kompatibilitas dengan Monolithic Microwave Integrated Circuits (MMIC) dan Microwave Integrated Circuits ( MIC ). Antena mikrostrip ini merupakan salah satu antenna gelombang mikro yang digunakan sebagai radiator yang efisien pada banyak sistem telekomunikasi modern saat ini, seperti : radar, Global Positioning System (GPS), Personal Communications System (PCS), Direct Broadcast Television (DBS). Mikrostrip antenna memiliki berbagai bentuk patch, yaitu lingkaran, persegi, dan segitiga. II. TEORI PENUNJANG
Kata Kunci— Power Harvesting, Frekuensi GPS L1, antena mikrostrip, rectifying antena
I. PENDAHULUAN
W
ireless power transfer (WPT) adalah transmisi energi listrik dari sumber listrik ke beban listrik yang terhubung melalui media tanpa kabel. Hal ini digunakan jika koneksi kabel tidak memungkinkan terjadi, sehingga WPT akan dapat menjangkau beban. Biasanya pentransmisian daya yang tinggi melalui induksi dilakukan pada jarak di bawah 6 meter, karena alasan keamanan. Induksi digunakan sebagai bentuk transfer nirkabel untuk jarak yang pendek dan tidak cocok untuk pentransmisian listrik ke rumah-rumah. Transfer daya ini juga dapat berasal dari frekuensi radio. Penelitian pada tahun 2004 oleh Heikkinen dan Kivikoski melakukan penelitian WPT dan mendapatkan hasil keluaran berupa tegangan 1.3 Volt dan daya 1.58 Watt. WPT tersebut mendapatkan masukan berupa gelombang radio. Sistem WPT mengalami kesulitan ketika berada jauh dari frekuensi sumber seperti pada daerah hutan dan tengah
A. Rectenna Rectenna merupakan antena penerima dari wireless power transfer. Rectenna ini berguna untuk mengubah gelombang elektromagnetik di udara menjadi daya listrik. Rectenna ini mampu untuk efisiensi yang tinggi yaitu diatas 90% dalam keadaan optimal. Rectenna yang digunakan dalam paper ini yaitu dengan menggunakan mikrostrip antenna dengan polarisasi sirkular dan bekerja pada frekuensi 1575,42 MHz. Antena mikrostrip adalah antenna yang memiliki struktur dielektrik yang terjepit diantara patch metalic dan ground plane. Antenna mikrostrip digunakan untuk menangkap sinyal gelombang elektromagnetik termasuk yang berasal dari satelit. Bentuknya yang kecil dan tipis memakan tempat lebih sedikit daripada antena parabola untuk fungsi yang sama. Antenna mikrostrip menggunakan line feed dan probe feed. Bentuk umum dari antenna mikrostrip biasanya memiliki patch yang berbentuk lingkaran, persegi ataupun segitiga. Berikut ini merupakan gambar dari rectangular patch antenna dengan line feed dan circular patch antenna dengan probe feed.
137 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Gambar 1. Rectangular path antenna dan circular patch antenna Rectennas, yang merupakan kependekan dari rectifying antennas, telah menerima banyak perhatian dalam penggunaan transmisi daya nirkabel (WPT) sistem. Antena tersebut menjanjikan elemen untuk harvesting energy , terutama untuk sistem aplikasi mikro dalam jaringan sensor nirkabel dan militer. Dalam desain rectenna, efisiensi dan ukuran antenna merupakan dua factor yang sangat penting. Penyesuaian antara rectyfing circuit dengan ukuran antenna sangat penting dicermati dengan detail karena berhubungan langsung dengan efisiensi energy yang dihasilkan. Antena adalah interface antara eksternal elektromagnetik (EM) lingkungan dan rectifying circuit. Dalam hal ini antena memainkan peran yang signifikan untuk menerima sinyal EM dan mengubahnya menjadi tegangan dan arus. Akibatnya, antena harus memiliki kecocokan dengan impedansi yang diperlukan serta dengan rectifying circuit yang dipakai. Rectifying circuit terdiri atas filter band-pass, dioda Schottky, dan low pass filter. Untuk meningkatkan rectifying efficiency ketika input daya rendah, digunakan dioda Schottky dengan tegangan built-in rendah dan tegangan breakdown tinggi selalu dipilih. Namun, sinyal harmonik akan dihasilkan karena dioda memiliki karakteristik nonlinier, dan karenanya, dapat dipancarkan oleh antena kembali ke ruang ambien dan diserap oleh board material. Hal tersebut dapat mengakibatkan penurunan rectifying efficiency. Struktur dasar dari sebuah rectenna ditunjukkan pada Gambar. 1
Gambar 2. (a)Struktur dasar Rectena (b) Rectifying circuit B. Global Positioning System GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi dengan menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Departemen Pertahanan Keamanan Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi dan informasi mengenai waktu secara kontinu. GPS
terdiri dari tiga segmen utama, segmen angkasa (space segmen) yang terdiri dari satelit-satelit GPS, segmen sistem kontrol (control segment) yang terdiri dari stasiun-stasiun pemonitor dan pengontrol satelit, dan segmen pemakai (user segment) yang terdiri dari pemakai GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal data GPS. Sistem GPS terdiri dari 24 satelit. Konstelasi 24 satelit GPS tersebut menempati 6 orbit yang mengelilingi bumi dengan sebaran yang telah diatur sedemikian rupa sehingga mempunyai probalitas kenampakan setidaknya 4 satelit yang bergeometri baik dari setiap tempat di permukaan bumi di setiap saat. Satelit GPS mempunyai ketinggian rata-rata di atas permukaan bumi sekitar 20.200 km. Satelit GPS memiliki berat lebih dari 800 kg, bergerak dengan kecepatan sekitar 4 km/detik dan mempunyai periode 11 jam 58 menit.
Gambar 3. Konstelasi Satelit GPS Konsep dasar pada penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan kebelakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Pada pelaksanaan pengukuran penentuan posisi dengan GPS, pada dasarnya ada dua jenis/tipe alat penerima sinyal satelit (receiver) GPS yang dapat digunakan, yaitu tipe navigasi digunakan untuk penentuan posisi yang tidak menuntut ketelitian tinggi dan tipe geodetik digunakan untuk penentuan posisi yang menuntut ketelitian tinggi. Satelit berkomunikasi dengan receiver menggunakan kode. Kode-kode tersebut dibawa oleh dua gelombang pembawa (L1-L2 carrier wave). Masing-masing gelombang pembawa memiliki karakteristik tersendiri (fase, amplitudo atau frekuensi) yang dapat dirubah atau dimodulasi untuk membawa informasi. Gelombang pembawa sinyal GPS juga merupakan gelombang radio, bagian dari L-Band yg meliputi frekuensi gelombang ultrahigh radio dari 390 Mhz sampai 1550 Mhz. Namun demikian, gelombang pembawa L1 GPS memiliki frekuensi sedikit lebih tinggi dari definisi L-band standar. Gelombang pembawa sinyal GPS masing-masing adalah L1 dengan frekuensi 1575.42 MHz dan L2 dengan frekuensi 1227.60 MHz. Panjang gelombang masing-masing carrie wave adalah 19 cm untuk L1 dan 24.4 cm untuk L2. Kelebihan menggunakan frekuensi GPS antara lain : 1. GPS dapat digunakan setiap saat tanpa bergantung waktu dan cuaca.
138 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. 2. GPS dapat digunakan oleh banyak orang pada waktu yang sama dan pemakaiannya tidak bergantung pada batas politik dan alam. 3. Penggunaan GPS dalam penentuan posisi secara relatif tidak bergantung dengan kondisi topografis daerah survey. 4. Pemakaian sistem GPS tidak dikenakan biaya, setidaknya sampai saat ini. 5. Receiver GPS cenderung lebih kecil ukurannya, lebih murah harganya dan kualitas data yang diberikan lebih baik. 6. Pengoperasian alat GPS untuk penentuan posisi suatu titik relatif lebih mudah dan tidak mengeluarkan biaya banyak. 7. Data pengamatan GPS sukar untuk dimanipulasi. 8. Semakin banyak bidang aplikasi yang dapat ditangani dengan menggunakan GPS dan di Indonesia semakin banyak instansi yang menggunakan GPS.
Dengan ketebalan yang dimiliki antena yaitu sebesar 1.6 mm dan konstanta dielektrik (4.4) yang merupakan parameter bahan dasar PCB FR4. Sehingga pada akhirnya, akan didapatkan panjang efektif dari mikrostrip antena ( L eff) dihitung dengan rumus di bawah ini,
= 4,660 Jadi nilai L sebenarnya adalah: L= 4.6228 Lg = 6h + L = 0.96 + 4.6228 = 5,5828 Wg = 6h+W= 0.96 + 5.79 = 6.75
III. PERHITUNGAN MATEMATIS ANTENA GPS frekuensi L1 dipilih karena merupakan frekuensi khusus sipil 1.575,42 MHz dengan bandwidth yang sempit 4,5. c f
0.190cm
karena antena mikrostrip menggunakan PCB FR4 untuk itu = 4.4 Tabel 1 Karakteristik PCB FR 4 Karakteristik Nilai Satuan Koefisien dielektrik 4.4 Koefisien permeabilitas 1 Rugi-rugi Tan dielektrik 0.02 Frekuensi 9.109 Hz Kerapatan massa 1900 Kg/m3 Ketebalan tembaga 36 µm Ketebalan FR-04 1.6 mm Dan untuk mencari konstanta dielektrik relatif efektif menggunakan rumus :
Gambar 4. Design mikrostrip antena Hasil geometri antena mikrostrip 1.575,42 MHz dari program HFSS dapat dilihat pada tabel 1.
Gambar5. return loss dan gain total sehingga, reff = 4.1733 Lebar (W) yang digunakan pada mikrostrip antena dapat dicari. Frekuensi (Fr) bernilai 1.575,42 MHz dan kecepatan cahaya di udara (c) sebesar 3x108.
W = 5.7944 cm Nilai panjang tambahan dari mikrostrip antena diperoleh dari rumus berikut ini
= 0,0186 cm
( L )
Gambar 6. Nilai VSWR
139 1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. IV. POWER HARVESTER
Hasil tersebut merupakan referensi input power pada GPS dimana diukur dengan menggunakan antenna GPS pada umumnya kemudian disimulasikan untuk mengetahui perbandingan antara efficiency power dengan frekuensi yang kita gunakan. V. KESIMPULAN
Gambar 5.Diagram Power Harvesting Perbaikan efisiensi diukur di berbagai masukan ketika frekuensi tersebut tetap pada 1,5754 GHz. Daya input yang diterimadi permukaan bumi berkisar antara 3 dbm. Perbandingan rata-rata pada simulasi daya yang diterima bergantung pada rectifying circuit yang digunakan, dapat dilihat pada gambar 4.
Kesimpulan yang dapat diambil. Rectifiying antenna yang dapat digunakan untuk menangkap frekuensi GPS L1 memiliki L= 4,6 dan W=5,7 cm. Antena tersebut dapat diaplikasikan pada power harvester dengan power input rata-rata 3 dbm. Pengaplikasian frekuensi GPS L1 sebagai sumber energi ini nantinya diharapakan mampu menggantikan solar cell pada satelit. Sehingga mampu menghasilkan energi dengan perangkat yang murah serta memanfaatkan frekuensi bebas GPS L1.
REFERENSI [1] [2] [3] [4]
[5]
[6]
[7]
[8] [9]
Gambar 6. (a) Rectifying efficiency pada GPS L1 dengan input power (b)Rectifying efficiency pada GPS L1 dengan Frekuensi
M.Philip, C. Peter,”GPS applications in power systems,Power Engineering Journal,1999 E. Alboni, M.Cerretelli,”Microstrip Patch Antenna For GPS application, Departement of communication Universita di Firenze.2001 B. Constantine,”Antenna Theory Analisis and Design”, chapter 14,circular polarization, page 859-865 A. Georgiadis, G. Andia, A. Collado,”Rectenna Design and Optimization Using Reciprocity Theory and Harmonic Balance Analysis for Electromagnetic (EM) Energy Harvesting”,IEEE.2010 H.Ahmed, E.Fatma, “Compact Dual Circularly-Polarized Microstrip Antennas”, Center of Applied Electromagnetic System Research (CAESR), Department of Electrical Engineering, The University of Mississippi, USA.IEEE.2010 R.Yu-Jiun, K Chang , “New 5.8-GHz Circularly Polarized Retrodirective Rectenna Arrays for Wireless Power Transmission, IEEE Transaction On Microwave Theory And Technology, Vol. 54, No. 7, July 2006 T. Ungan, L.M. Reindl,” Wireless Energy Transmission Using Electrically Small Antennas, Department of Microsystems Engineering IMTEK, Albert-Ludwigs-Universit¨ at Freiburg, D-79100, Germany M. Sarat Babu,” Dual-Circular Polarized Square Micro strp Antenna”, ME-Telecom ECE Dept. S. Reuven. “Circular Polarization Microstrip Antenna on a Conical Surface”, IEEE.1997
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
140
Validation of Satellite Launch Vehicle Simulation Software 7orbit Using Flight Data Record of SCOUT Rocket Satriya Utama, Ridanto Eko Poetro
This paper tells about the validation prosses of 7orbit. 7orbit is a simulation software that simulated launch vehicle performance. This software is builded in Matlab and using missile datcom to generate aerodynamic data. The validation is using flight data record of SCOUT rocket that would be compared with 7orbit’s simulation result. Index Terns--7orbit, SCOUT rocket, satellite launch vehicle simulation software, validation
Fig. 1. Graphical User Interface 7orbit [1]
I. INTRODUCTION
7
ORBIT is a satellite launch vehicle simulation software that was developed by Mr. Yazdie Ibrahim Jenie, MT and Dr. Ridanto Eko Poetro. The purpose of 7orbit development is to simulate RPS-530 LAPAN to know flight characteristic of the rocket. 7orbit is developed in Matlab R2010a using m file, simulink and GUIDE. 7orbit is also using missile datcom to generate the aerodynamic data for simulation. The major problem of 7orbit is that the software wasn’t validated yet so on this paper 7orbit would be validated. The other problem was appear when simulation speed of 7orbit is decrease significantly when it is running on non super computer, so before the validation 7orbit would be modificated first. In 7orbit there are two different parts. The first part is the mathematical model. This part is representation of satellite launch vehicle’s equation of motion. This part was builded in simulink and m file. The second part is the graphical user interface. This part is the human interface to the software that will make software operation easily. This part was builded in GUIDE. The graphical user interface can seen in Fig. 1., the mathematical model can seen in Fig. 2. In simulating satellite launch vehicle (rocket), 7orbit has some limitation, there are: 1) only can simulated series rocket, 2) the control system must be thruster controller, 3) fuel system are using solid propellant.
Fig. 2. Representation of Mathematical Model in Simulink [1]
II. MODIFICATION OF 7ORBIT There are two types of modification. First, modification that will change the soul of mathematic model, it also will change the output result. Second, modification that will not change the soul of mathematic model nor output result. In this papper, modification that will do is the second type because it just to know is 7orbit valid or not, not to upgrade 7orbit’s performance. This modification has design requirement and objective (DRO) as follow: 1) Improve simulation speed 10 times faster or more 2) Able to show output data airspeed vs time and altitude vs time
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. 3)
141
Didn’t change the simulation output
Fig. 3. shown the modification process in a flow chart. This process will started with by simulating default rocket in 7orbit and record the output. The default rocket in 7orbit is RPS-530 LAPAN. Then it will be continued with the modification. After modification, 7orbit will be runned again, if the modification change the simulation’s output it must be modificated again until doesn’t change the simulation’s output and meet the DRO.
Fig. 4. Graphical User Interface 7orbit After Modification
For the mathematical model the modifications are: Erased “simulation pace” block at SevenOrbitSoul_v00.mdl that isn’t needed in non real time output, 2) “Disable all” the “zero crossing control” in “configuration paramater-solver” to make simulation faster but lower accuracy, 3) Add some “to file” block to store simulation output data when simulation running, there are: GUI.mat to store airspeed, flight path angle, altitude, angle of attact, mass and pitch angle; traje.mat to store rocket’s position in earth fix coordinate; and euler.mat to store the euler angle and rocket’s angular velocity, 4) Upgrade the input control from 1 set thruster control to 4 set thruster control. 1)
Fig. 3. Modification of 7orbit Flow Chart
The modifications are affecting the mathematical model and graphical user interface part. For the graphical user interface the modifications are changed the real time output data became non real time output data. This modification is to make the simulation speed faster. Before modification, the output datas was a real tyme data, after modification output datas are represented in graphic that would be appeared only when the simulation finished. There seven graphical output data are airspeed vs time, angle (angle of attack, pitch angle and flight path angle) vs time, flight altitude vs time, rocket mass vs time, 3D graph of rocket’s position, euler angle vs time, and angular speed vs time. The graphical user interface after modification can seen in Fig. 4.
Finally this modification have changed 7orbit as follows: Simulation speed increasing 25.6 times (before: simulating 14.78 s in 5 minute simulation, after: simulating 378.5 s in 5 minute simulation, computer specification: Intel Core i3 2.4 GHz, ram 2048 MB, operating system Windows 7 Ultimate 32-bit) 2) Able to show speed vs time graph and altitude vs time graph as an output data, also able to show five other output datas’s graph, 3) The modification didn’t change the value of simulation output (see Fig. 5.). From the modification result we can see that the modification have met the DRO. 1)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
142
TABLE II FLIGHT SCHEDULE OF SCOUT ROCKET [4]
Fig. 5. Speed Output Before (above [1]) and After (under) Modification
III. SCOUT ROCKET DATA REVIEW SCOUT rocket was chosen as a validation tool because this rocket didn’t exceed the limitation of 7orbit and has complete data for the validation process. The minimum data that needed for the validation are geometry, mass, propulsion, control, flight schedule, flight parameter and orbit. Some other data like inertia and cg can be calculated from other data. Aerodynamic data is generated from missile datcom. Flight data of SCOUT rocket that used as validation is SCOUT rocket that launched at 19 December 1963 with payload Explorer 19. Geometry data of SCOUT rocket can seen in Fig. 6. Mass and propultion data can seen in Table I. Flight schedule data can seen in Table II.
Fig. 6. Geometry of SCOUT Rocket [3] TABLE I MASS AND PROPULSION DATA OF SCOUT ROCKET
IV. SIMULATION RESULT As shown in Fig. 7. there aren’t too much different flight altitude between simulation result and the reference. But at t=500 s there are a difference between simulation result and the reference. Fig. 8. shows that mach number from simulation result and the reference are different, although they have similar pattern. The simulation result has a greater value than the reference. If we see aerodynamic characteristic as shown in Fig. 9. result (missile datcom) and reference also different. At high mach number the reference have greater CD than the simulation result. At same time as reference, lower simulation CD can make greater airspeed simulation and also greater mach number simulation. Finally it can make higher altitude, but this airspeed is still not enough to enter the higher orbit altitude, so at t=500 s the flight altitude decreasing before entering the orbit altitude that not far from reference value.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
143
From simulation rocket SCOUT has final orbit with pericenter attitude 556 km and apocenter attitude 2487 km. From reference [7] the orbit is 597 km pericenter attitude and 2391 km apocenter attitude. It was an error 0.05% at apocenter and 0.04% at pericenter. The simulation orbit and the reference orbit are shown in Fig. 10. With this small error (less than 1%) we can make a conclusion that 7orbit is valid.
Fig. 7. Flight Altitude Profile of SCOUT Rocket (Blue: Simulation Result, Red: Reference Data)
Fig. 10. Final Orbit of SCOUT Rocket’s Payload (Blue: Simulation Result, Red: Reference, Black: Earth)
V. CONCLUSION 1) 2) 3)
From this paper we can get some conclution: The modification make 7orbit faster, SCOUT Rocket can be used as validation tool for 7orbit, 7orbit was valid with small error (about 0.05%). REFERENCES
Fig. 8. Mach Number Profile of SCOUT Rocket (Blue: Simulation Result, Red: Reference Data [4])
[1]
[2] [3] [4] [5] [6] [7]
Fig. 9. Aerodynamic Data of SCOUT Rocket (Blue: Simulation Result in Missile Datcom, Red: Reference Data [4])
Jenie, Yasdie Ibrahim and Ridanto Eko Poetro. Development of Mathematical Model of Satellite Launcher Vehicle and The Simulation Software System. Presented in TEKNOSIM 2010, UGM, Yogyakarta. Isakowitz, Steven J. 1991. International Reference Guide to Launch System. Washington, DC: AIAA SCOUT PROJECT GROUP. SCOUT System Design Report Suplement I Basic Data. Los Angeles, California: Honeywell Nagy, James A. Flight Performance Data From The Scout X-258 Rocket Motor. Greenbelt, Md: Goddard Space Flight Center Auman, Lamar dkk. 2008. Missile Datcom User’s Manual – 2008 Revision. Air Force Research Laboratory. Cornelisse, J.W, H.F.R. Schoyer, K.F. Wakker. 1979. Rocket Propulsion and Spaceflight Dynamics. London: Pitman. Explorer: AD. http://space.skyrocket.de/doc_sdat/explorer_ad.htm
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
144
PERANCANGAN AUTONOMOUS PAYLOAD BERBASIS GPS DAN MIKROKONTROLER PICAXE-40X2 (STUDI KASUS KORINDO 2010) Subhan Rohiman 1), Agus Mulyana 2) Jurusan Teknik Komputer Universitas Komputer Indonesia, [email protected],[email protected] Abstrak Masalah pada pengendalian sebuah muatan roket adalah bagaiamana sebuah muatan roket dapat mengendalikan dirinya secara otomatis. Pengendalian tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya nilai untuk dijadikan acuan. Untuk mendapatkan sebuah nilai untuk dijadikan acuan pada muatan roket harus dilengkapi dengan sensor. Dari permasalahan ini, maka diperlukan adanya suatu metode pengendalian muatan roket dengan sistem jarak jauh, dilengkapi dengan pendeteksian lokasi koordinat. Sistem ini memakai GPS dan mikrokontroler PICAXE-X2, sehingga lokasi bisa diketahui. Diharapkan sistem ini dapat membantu mengendalikan sebuah muatan roket secara otomatis sehingga muatan roket dapat sampai ke tempat yang dituju. Hasil yang diinginkan adalah membangun sitem kendali otomatis muatan roket yang mampu sampai ke tempat tujuan yang telah ditentukan. Kata kunci: muatan roket, kendali otomatis, GPS
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Roket merupakan suatu pesawat antariksa yang sering digunakan untuk tujuan khusus tertentu. Sebuah roket ini memiliki makna yang strategis. Apabila suatu negara memiliki suatu teknologi roket maka negara tersebut bisa disebut negara berkembang, dan negara tersebut bisa disegani oleh negara lain. Dalam sebuah teknologi roket saat ini perkembangannya sangat pesat. Sebuah roket bisa disebut modern dan baik apabila di dalamnya terdapat suatu muatan yang sering dinamakan dengan payload. Payload ini tidak hanya payload biasa seperti halnya barang yang tidak bisa memberikan keuntungan apapun, tetapi dengan adanya payload ini sebuah roket diharapkan dapat memberikan suatu informasi yang bisa menguntungkan bagi penggunanya.
Apabila suatu roket di isi dengan muatan yang baik, maka roket ini dapat digunakan untuk tujuan tertentu. Suatu roket yang berisi payload untuk bisa disebut modern dan bisa memberikan suatu informasi yang memusaskan, alangkah baiknya sebuah payload tersebut bisa dikendalikan secara otomatis dan manual. Untuk melakukan hal tersebut maka dibutuhkan suatu kemampuan dan pemahaman teknologi, maka dibutuhkan SDM yang terpelajar, dan hal ini bisa mendorong dunia pendidikan di Negara Indonesia untuk lebih maju. Dengan adanya masalah tersebut bisa digunakan sebuah hardware, pengendali yang dapat digunakan yaitu “Autonomous payload berbasis GPS dan Mikrokontroler PICAXE-40X2” yang dapat mengontrol pergerakan payload dan berkomunikasi jarak jauh.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
1.2 Rumusan Masalah Masalah yang akan dibahas adalah bagaimana merancang, membaca data, mengolah data, mengendalikan dan mengirimkan informasi ke ground segment, menggunakan mikrokontroler PICAXE40X2 sebagai unit kontrolnya. Masalah yang dibahas difokuskan pada perancangan dan pengendalian payload tersebut. 2. LANDASAN TEORI Dalam mentransmisikan data ada tiga macam metode transmisi data, ketiga metode tersebut adalah : 2.1 Simplex a) Sinyal ditransmisi dalam satu arah b) Stasiun yang satu bertindak sebagai pengirim (transmitter) dan yang lain sebagai penerima (receiver), tugasnya adalah tetap. c) jarang digunakan untuk sistem komunikasi data 2.2 Half duplex a) Sinyal ditransmisikan ke dua arah secara bergantian b) Kedua stasiun dapat melakukan transmisi tetapi hanya sekali dalam suatu waktu c) Terdapat “turn around time” (waktu untuk mengubah arah)
2.3 Full duplex a) Sinyal ditransmisikan ke dua arah secara bersamaan b) Dua arah pada waktu yang sama.
2.4 Pengertian GPS GPS adalah singkatan dari Global Positioning System yang merupakan sistem untuk menentukan posisi dan navigasi secara global dengan menggunakan satelit. Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika yang
145
digunakan untuk kepentingan militer maupun sipil (survey dan pemetaan). Sistem GPS yang nama aslinya adalah NAVSTAR GPS (Navigation Satelit Timming and Ranging Global Positioning system), mempunyai tiga segmen yaitu: satelit, pengontrol dan penerima/pengguna. Satelit GPS yang mengorbit bumi, dengan orbit dan kedudukan yang tetap, seluruhnya berjumlah 24 buah dimana 21 buah aktif bekerja dan 3 buah sisanya adalah cadangan. 2.5 Penentuan Posisi Dengan GPS Pada dasarnya penentuan posisi dengan GPS adalah pengukuran jarak secara bersama-sama ke beberapa satelit (yang koordinatnya telah diketahui) sekaligus. Untuk menentukan suatu titik dibumi, receiver setidaknya membutuhkan 4 satelit yang dapat ditangkap sinyalnya dengan baik. Secara default posisi atau koordinat yang diperoleh bereferensi ke global datum yaitu World Geodetic System. Secara garis besar penentuan posisi dengan GPS ini dibagi menjadi dua metode yaitu metode absolut dan metode relatif. Metode absolut atau juga dikenal sebagai point positioning, menentukan posisi hanya berdasarkan pada 1 pesawat penerima (receiver) saja. Ketelitian posisi dalam beberapa meter (tidak berketelitian tinggi) dan umumnya hanya diperuntukan bagi keperluan navigasi. b) Metode relatif atau sering disebut differential positioning, menentukan posisi dengan menggunakan lebih dari sebuah receiver. Satu GPS dipasang pada lokasi tertentu dimuka bumi dan secara terus menerus menerima sinyal dari satelit dalam jangka waktu tertentu dijadikan sebagai referensi bagi yang lainya. Metode ini mnghasilkan posisi berketelitian tinggi dan diaplikasikan untuk keperluan survey geodesi a)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
ataupun pemetaan yang memerlukan ketelitian tinggi. 2.6 Sistem Koordinat GPS Pengenalan tentang sistem koordinat sangat penting agar dapat menggunakan GPS secara optimum. Setidaknya ada dua klasifikasi tentang sistem koordinat yang dipakai oleh GPS maupun dalam pemetaan yaitu: sistem koordinat global yang biasa disebut sebagai koordinat geografi dan sistem koordinat di dalam proyeksi. Koordinat goegrafi diukur dalam lintang dan bujur dalam besaran derajat desimal, derajat menit desimal, atau derajat menit detik. Lintang diukur terhadap equator sebagai titik nol (00 sampai 900 positif kearah utara dan 00 sampai 900 negatif kearah selatan). Bujur diukur berdasarkan titik nol di Greenwich (00 sampai 1800 kearah timur dan 00 sampai 1800 kearah barat). b) Koordinat dibidang proyeksi merupakan koordinat yang dipakai pada sistem proyeksi tertentu. Umumnya berkaitan erat dengan sistem proyeksinya, walaupun adakalanya digunakan koordinat geografi dalam bidang proyeksi. Beberapa sistem proyeksi yang lazim digunakan di Indonesia diantaranya adalah: proyeksi merkator, transverse merkator universal transverse merkator, kerucut konformal. Masing-masing sistem tersebut ada kelebihan dan kekurangan, dan pemilihan proyeksi umumnya didasarkan pada tujuan peta yang akan dibuat. Dari beberapa sistem proyeksi tersebut, proyeksi transverse merkator dan universal transverse merkator lah yang banyak digunakan di Indonesia. a)
Membicarakan sistem koordinat dalam bidang proyeksi tidak dapat terlepas dari datum yang digunakan. Ada dua macam datum yang umum digunakan dalam perpetaan yaitu datum horizontal dan
146
datum vertical. Datum horizontal dipakai untuk menentukan koordinat peta (X,Y), sedangkan datum vertikal untuk menentukan elevasi (peta topografi) ataupun kedalaman (peta bimetri). Perhitungan dilakukan dengan transformasi matematis tertentu 2.7 Protokol NMEA 0183 Protokol NMEA 0183 (National Marine Electronics Association) merupakan suatu badan yang menerbitkan spesifikasi yang mendeskripsikan berbagai perlengkapan navigasi agar dapat berkomunikasi satu sama lain melalui koneksi serial RS-232 atau emusinya (misalnya USB port). NMEA menggunakan file data ASCII dalam pentransmisian sistem informasi GPS dari receiver ke hardware yang berfungsi sebagai input dari posisi dan merupakan realtime untuk navigasi dibidang kelautan. Salah satu aplikasi protokol ini adalah pada komunikasi data GPS. Parameter yang digunakan protokol ini adalah sebagai berikut : a. b. c. d.
Baudrate Jumlah data Stop bit Parity
oleh
: 4800 : 8 bit :1 : None
2.8 Format Data GPS Secara periodik GPS menerima data dari satelit dan mengirimkannya ke bagian keluaran dengan format data yang beragam. Setiap data yang dikirimkan oleh GPS mengacu pada standar NMEA 0183. NMEA 0183 adalah standar kalimat laporan yang dikeluarkan oleh GPS receiver, standar NMEA memiliki banyak jenis bentuk kalimat laporan diantaranya yang paling penting adalah koordinat lintang (latitude), bujur (longitude), ketinggian (altitude), waktu sekarang standar UTC (UTC Time) dan kecepatan (speed over ground).
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
147
Berikut ini adalah jenis kalimat NMEA 0183: a) b) c) d) e) f)
$GPGGA (Global Positioning System Fixed Data) $GPGLL (Geographic – Latitude/Longitude) $GPGSA (GNSS DOP and Aktive Satelites) $GPGSV (GNSS Satelite In View) $GPRMC (Recommended Minimum Specific GNSS Data) $GPVTG (Course Over Ground and Ground Speed)
Setiap data di awali dengan karakter “$” dan diakhiri dengan . Pada prakteknya tidak semua data dengan header ini diambil, hanya yang menyangkut waktu, garis lintang dan garis bujur untuk posisi pengguna. 3. PERANCANGAN
Gambar 3.2 Desain payload 2D Dimensi
Adapun untuk ukuran atau dimensi payload, penulis mengacu kepada ketentuan ukuran standar payload. Adapun ukuran yang telah ditentukan tersebut adalah: Tinggi : 200 mm (20 cm) Diameter : 100 mm (10 cm) Berat : 1000 gr ± 1
Bahan Mekanik dan Desain 3D
Untuk pemakaian bahan penulis merancang payload dari bahan teplon dan alumunium. Karena kedua bahan tersebut memiliki daya tahan yang kuat, memiliki berat masa yang ringan dan tahan terhadap magnet. Sehingga tidak akan mengganggu kerja sensor yang nantinya akan mempengaruhi pergerakan payload. Adapun untuk gambar 3 dimensi payload yang dirancang adalah sebagai berikut:
Gambar 3.1 Diagram blok system 3.1 Perancangan Mekanik Bentuk Untuk bisa bekerja secara maksimal, sebuah payload harus mempunyai bentuk struktur mekanik yang sesuai dengan medan yang akan dilalui. Maka dari itu penulis akan membuat bentuk payload sesuai dengan kebutuhan. Adapun gambar mekanik yang penulis buat adalah sebagai berikut:
Gambar 3.3 Desain payload 3D 3.2 Rangkaian Sistem Minimum Untuk rangkaian sistem minimum mikrokontroler yang dipakai, rangkaiannya sangat sederhana. Untuk pengiriman data serial dari komputer mikrokontroler ini hanya menggunakan 3buah resistor. Ini berarti selain mikrokontroler ini lengkap dengan fiturnya juga dilengkapi dengan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
rangkaian yang sangat sederhana. Adapun gambar rangkaian sistem minimum yang penulis buat adalah sebagai berikut:
148
C
Pemeriksaan data yang masuk adalah benar
D
Pemanggilan prosedur aktif sistem kendali payload
E
Akhir dari sistem kendali payload
Algoritma Pengendalian Payload Supaya dalam pengendalian payload dapat terkendali maka dibutuhkan sebuah algoritma, sebuah algoritmanya pun harus tepat dan mengikuti aturan. Dibawah ini contoh algoritma pengendalian payload secara umum. Gambar 3.4 Rangkaian sistem minimum
a Payload Aktif
b Deteksi Sparasi
3.3 Perancangan Software Algoritma Payload Secara Umum Perancangan algoritma merupakan salah satu tahap penting dalam perancangan sistem kendali ini. Maka dari itu penulis membuat rancangan algoritma secara umum untuk mengendalikan payload. Adapun rancangan algoritma yang telah penulis buat adalah sebagai berikut:
T Sparasi ? Y
d
Baca Posisi
e Terima data serial setpoint
f Baca arah saat ini
g T Kendali payload
h Arah saat ini = arah tujuan?
a
Mulai
c
Y
i Pendorong aktif
b Tunggu Data Serial
j Kendali payload
T
T
c
k
Data = A01 ?
posisi saat ini = posisi tujuan? Y
Y
l
Payload Aktif
Return
d
e Selesai
Gambar 3.6 Flowchart prosedur sistem payload
Gambar 3.5 Flowchart kerja secara umum Adapun keterangan dari flowchart diatas adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Penjelasan flowchart kerja payload secara umum
Adapun keterangan dari flowchart diatas adalah sebagai berikut: Tabel 3.2 Penjelasan flowchart prosedur sistem payload Indeks
Indeks
Keterangan
Keterangan
A
Memulai awal program.
B
Kondisi payload menunggu perintah
A
Awal dari prosedur
B
Proses pemeriksaan kondisi sparasi
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
149
a
C D E F G H I J K L
Penyeleksian kondisi sparasi Pemanggilan prosedur baca posisi Penerimaan data set point dari ground segment Pembacaab arah saat ini oleh sensor kompas Pemanggilan prosedur pengendalian payload Penyeleksian kondisi arah saat ini dan tujuan Pendorong payload aktif Pemanggilan prosedur kendali payload Pembandingan posisi saat ini dengan tujuan
Kendali Payload
b
Baca arah saat ini
c
Y
d
Motor kanan > Motor kiri
g
e T
Posisi > setpoint
Posisi < setpoint
T
Y
Y
f
Motor kanan < Motor kiri
Return
Posisi = setpoint
h
Motor kanan = Motor kiri
i
Gambar 3.8 Flowchart prosedur kendali payload Adapun keterangan dari flowchart diatas adalah sebagai berikut:
Kembali ke sistem utama
Tabel 3.4 Penjelasan flowchart prosedur kendali payload
a Baca Posisi
b Tunggu data serial
Indeks
Keterangan
T Data= ‘GPRMC’
c
Y
d
Simpan data latitude dan longitude
e Kirim data ke ground segment
f
A
Awal dari prosedur
B
Pembacaan arah payload saat ini Pengecekan kondisi jika arah lebih besar dari set point
C D
Pergerakan motor
E
Pengecekan kondisi jika arah lebih kecil dari set point
F
Pergerakan motor
G
Pengecekan kondisi jika arah sama dengan dari set point
H
Pergerakan motor
I
Kembali ke sub system
Return
Gamba 3.7. Flowchart prosedur baca posisi Adapun keterangan dari flowchart diatas adalah sebagai berikut: Tabel 3.3 Penjelasan flowchart prosedur baca posisi Indeks A B C
Keterangan Awal dari prosedur Kondisi payload menunggu data serial dari GPS Pemeriksaan data yang masuk dengan header “GPRMC”
D
Penyimpanan data ke variable
E
Pengiriman data ke ground segment
F
Kembali ke sub system
4. PENGUJIAN DAN ANALISA 4.1 Pengujian Hardware Secara Modular Adapun hal-hal yang dilakukan dalam pengujian hardware secara modular adalah sebagai beikut: A. Pengujian GPS Pengujian GPS dilakukan untuk memastikan bahwa GPS telah bekerja dengan baik, karena hal ini akan mempengaruhi pada pergerakan payload karena jika pembacaan data dari GPS error
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
maka pergerakan payload tidak dapat diketahui posisinya dengan benar. Data hasil dari pengujian GPS adalah sebagai berikut:
270 292,5 315 337,5 Rata-rata Error
271 292 310 330
150
1 0,5 5 7,5 2,875
Tabel 4.1 Data hasil pengujian GPS Lokasi Dipati Ukur Dipati Ukur Dipati Ukur Taman Sari Taman Sari Taman Sari Gasibu Gasibu Dago Dago
Latitude 0653.1991
Longitude 10736.9119
Cuaca Cerah
0653.1989
10736.9120
Mendung
-
-
Hujan
0653.7903
10736.5199
Cerah
0653.7921
10736.5196
Mendung
C. Pengujian catu daya Catu daya berfungsi meregulasi tegangan output dari baterai dan memberikan supply daya ke berbagai blok sistem rangkaian sesuai kebutuhan, pengujian dilakukan dengan mengukur output pada IC regulator menggunkan alat ukur multimeter, adapun data hasil pengujian catu daya adalah sebagai berikut:
-
-
Hujan
Tabel 4.7 Data hasil pengujian catu daya
0654.0008 0654.0010 0651.8024 0651.8022
10737.1224 10737.1226 10737.1372 10737.1369
Cerah Mendung Cerah Mendung
B. Pengujian Kompas HM55B Pengujian sensor kompas dilakukan untuk memastikan bahwa kompas telah bekerja dengan baik, karena hal ini akan mempengaruhi pada pergerakan payload karena jika pembacaan data dari kompas error maka pergerakan payload tidak akan sempurna dan sulit untuk dikendalikan. Data hasil dari pengujian kompas adalah sebagai berikut:
IC regulator LM7805
LM7809
Input (V) 12,4 11,1 9,0 5,0 12,4 11,1 9,0 5,0
Output (V) 5,02 5,02 5,02 4,19 8,88 8,88 7,92 4,12
Kondisi Baik Baik Baik Buruk Baik Baik Buruk Buruk
Tabel 4.2 Data hasil pengujian sensor kompas Kompas HM55B 0 22,5 45 67,5 90 112,5 135 157,5 180 202,5 225 247,5
Kompas Analog 0 23 46 68 92 120 137 163 182 203 219 243
Error 0 0,5 1 0,5 2 0,5 2 5,5 2 0,5 6 4,5
Gambar 4.1. Rangkaian catu daya 5V dan 9V 4.2 Analisa auotonomous payload Dari hasil pengambilan data GPS, maka data tersebut bisa dijadikan acuan untuk autonomous payload. Dengan dilakukan perhitungan matematis maka data tersebut akan menghasilkan sebuah arah sudut tujuan yang akan dituju serta dapat mengetahui letak payload tersebut.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Adapun analisa perhitungan matematis berdasarkan data GPS tersebut adalah sebagai berikut: Misal tempat asal suatu payload berada di koordinat 0653.1991, 10736.9119 dan tujuan payload tersebut di koordinat 0660.1000, 10740.5000, maka analisa kontrol untuk autonomus payload adalah sebagai berikut: Menentukan sudut tujuan titik koordinat 0653.1991 = 6.5320 (Y1) 10736.9119 = 107.6391 (X1) 0660.1000 = 6.6010 (Y2) 10740.5000 = 107.4050 (X2)
Gambar 4.2. Penentuan sudut pada autonomous payload
151
Hasil dari perhitungan diatas dihasilkan –x dan y artinya sudut diatas berada pada kuadran IV. Jadi untuk mendapatkan sudut yang tepat maka dilakukan perhitungan sebagai berikut:
Data diatas merupakan data sudut untuk menjadi acuan setpoint untuk pergerakan payload menuju tujuan. 5. KESIMPULAN Simpulan Berdasarkan uji coba dan analisis sistem yang telah dilaksanakan, maka dapat diperoleh beberapa simpulan, diantaranya: 1. Payload dapat menentukan sudut arah tujuan dengan referensi kepada kompas digital dengan mengacu kepada arah utara. 2. Pencarian sudut yang telah ditentukan mengacu pada kompas digital untuk mengetahui arah sudut payload, dengan melihat kepada tabel hasil percobaan percobaan ketelitian error sudut sebesar 2,0850. 3. Payload telah berhasil berkomunikasi dengan software ground segment dengan jarak jangkau 400 m. 4. Dari data hasil pengujian pada Tabel IV.7 dan mengacu pada rule komurindo 2011, payload yang berhasil homing yaitu payload yang berhasil mendarat pada radius 50m dari titik peluncuran, dan dapat disimpulkan bahwa kendali autonomous untuk mode homing dapat digunakan, karena ketelitian dari GPS EM-411 sebesar ±10m. Saran Hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan memiliki banyak kekurangan, karena itu perlu dilakukan studi lebih lanjut dalam proses perancangan untuk menghasilkan kontrol otomatis yang
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
handal. Adapun saran-saran dari penulis yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian autonomous payload berbasis GPS . 1. Penggunaan dua mikrokontroler dapat digunakan untuk mendapatkan transmisi data dengan cepat. 2. Pada pengolahan data GPS untuk autonomous payload baiknya bisa diproses langsung dalam mikroprosesor. 3. Pengolahan data GPS pada software ground segment dapat dikembangkan sampai pada pemetaan. 6. DAFTAR PUSTAKA [1] Varberg, Dale., Purcell, Edwin J., & Rigdon, Steven E., (2003). Kalkulus Edisi 8. Jakarta: Erlangga. [2] Setiawan, Iwan., (2008). Kontrol PID untuk Proses Industri. Jakarta: PT.Gramedia.
[3]
[4]
152
Suhata, ST., (2004). VB Sebagai Pusat Kendali Peralatan Elektronik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Webmaster. (2005). The GPRMC Sentence. Diakses tanggal 4 juli 2011,dari http://www.codepedia.com /1/The+GPRMC+Sentence
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
153
Design and Implementation of Elektron LegacyGS: Ground Station Software for Attitude Monitoring and Surveillance Rocket Syarif Rousyan Fikri, Ichsan Mulia Permata, and Dr. Widyawardana Adiprawita Abstract—This paper will explain the design and implementation process of Elektron Legacy-GS, a software for rocket ground station. The rocket has two main missions. The first mission is to monitor rocket attitude itself. The second mission is to capture surveillance image. From this mission, the requirements and specifications are established for the ground station software. The ground station software is successfully designed and implemented using 3D graphical user interfaces. Index Terms—Attitude Monitoring, Ground Station Software, Graphical User Interfaces, Rocket System, Surveillance Image. Fig. 1. Mission Diagram for Rocket Flight Test I.
INTRODUCTION
A. Rocket System OCKET is one of aerial vehicle that can be used for many purposes. The rocket payload determines what benefit we can get from the rocket. The rocket system usually comprise of two segments: air segment and ground segment. Air segment contains a system that comprise of sensors, processor and transceiver, while ground segment is system that comprise of transceiver and computer. This paper will explain about ground station software for an attitude monitoring and surveillance rocket. The rocket objective is to get attitude data and capture image from the sky. Hence, the ground station software must be designed to be able to present the data into information that easy to understand. The challenge that came up is how to build a ground station software that not only informative but also interactive. In this project, ground station software name is Elektron Legacy-GS. The Elektron Legacy-GS must be able to communicate with the air segment. The rocket payload will be in standby mode until receiving command from ground station. The telemetry and command will determine what action will be taken by the air segment. Because there are two main objectives, system will have two functional modes: attitude monitoring mode, and surveillance image mode.
R
B. Rocket Mission The mission scheme is explained by the figure below.
Firstly, soon after the rocket is launched, attitude sensing is being executed. The air segment has to sense 3-axis acceleration by using accelerometer. Then, the data need to be packaged and then sent to the ground segment. The Elektron Legacy-GS has to go to attitude mode so it can show the 3D model of rocket. Secondly, after reaching about 800 meters in high, approximately it will happen after twelve seconds, the payload and the rocket will be separated. After the separation is done, the payload must capture a surveillance image from the sky. The Elektron Legacy-GS must give command when the capture process has to be started. So, the ground station operator have to pay attention when will the surveillance mode start. After the capturing process is finished, the communication between ground segment and air segment must be terminated for safety. C. Communication Protocol From the mission explained above, there will be two types of data. The first data is attitude data which contain data from 3-axis accelerometer and gyroscope. The second data is image data which contain raw data of grayscale image in size 200x200. Those data will be packaged in a certain format as shown in figure below.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
154
B. Software Design Here is the state diagram of rocket:
Stop = 1
Attitude = 1
Surveillance = 1 Fig. 2. Data Format for attitude data, image header, and image data
II. DESIGN A. Requirements and Specifications After knowing the rocket mission, the requirements for the ground station software can be established. The Elektron Legacy-GS should be able to act as an informative ground station software for attitude monitoring and surveillance rocket. It must have the capability to receive and process the data that sent by air segment through a serial data. It must be able to parse the data to be attitude data and surveillance data. Moreover, it also should have a graphical user interface that can process the attitude and surveillance data into 3D graphic of rocket model and surveillance image. Because the rocket system is designed to have a two ways communication, ground segment is should be able to send command to the payload. Hence, the Elektron Legacy-GS should have a user interface that allows the user to command the air segment. It has to be done by sending data through the serial port. From the requirements above we can design the specification for the Elektron Legacy-GS. To meet the requirements, Elektron Legacy-GS should be able to: 1. communicate with air segment through the RF module that connected to certain serial port; 2. receive and send data by the serial port; 3. store and parse the data to be specific attitude data and surveillance image data; 4. generate a 3D model of rocket that simulate real time attitude of rocket that is obtained by processing the attitude data from 3-axis accelerometer; 5. show the image data in real time; 6. get input from user to determine which mode to execute; 7. show the raw data that is being received or sent in terminal box; 8. save raw data into text file
Fig. 3. State Diagram of Rocket
The rocket will has three states. The first state is initial mode. On initial mode, the air station is waiting for command from ground station. The second state is attitude mode. After the ground station give the command to start attitude mode, the air station will activate the attitude sensor and send the data to ground station. When the ground station gives the sign to start surveillance mode, the air station will start capturing image and start sending data. Then, the possible interaction between user and software is: 1. User can command the Elektron Legacy-GS to start attitude mode and Elektron Legacy-GS can show a 3D model of rocket; 2. User can command the Elektron Legacy-GS to start surveillance mode and Elektron Legacy-GS can reconstruct and display the surveillance image; 3. User can command the Elektron Legacy-GS to back to initial mode; 4. Elektron Legacy-GS show the data terminal. The software will be divided into a few modules: 1. Main Module This module will control the utilization of other modules. User interface form and button also included in this module. 2. Communication Module The communication module will establish connection to the serial port. This module will get the data that sent by air station and parse it to variables that need to be processed. 3. Rocket Model Module The rocket model module will generate a three dimensional model of a rocket. This module will called by attitude processing module to show a rocket model with certain rotation in x-axis, y-axis, and z-axis. 4. Attitude Processing Module This module will generate the 3D rotation for rocket from attitude data that come out from communication module. 5. Terminal Box Module
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
155
The terminal box module will show raw data acquired by communication module. 6. Image Processing Module The image processing module will reconstruct image raw data into a displayed image. This module will get the raw data from communication module. 7. Chart Generator Module Chart generator will generate an attitude chart for every axis. The raw data will provided by communication module. C. Processing Processing is an open source programming language and integrated development built for visual form, motion, and interaction. Processing was built to serve as a electronic sketchbook. The processing project was initiated by Casey Reas and Benjamin Fry, both formerly of the Aesthetics and Computation Group at the MIT Media Lab in 2001. The language builds on Java but uses a simplified syntax and graphics programming model. Processing can be used to generate and modify image. After considering the requirements and specifications of Elektron Legacy-GS, it decided to use processing for building Elektron Legacy-GS. Elektron Legacy-GS will do many images processing such as generating 3D model of rocket, chart, and surveillance image.
Fig. 5. Surveillance System Box and Command Box
Fig. 6. Terminal Box
III. IMPLEMENTATION A. Software Implementation The Ground Station Software is implemented by Processing language. It fulfilled the requirement that designed before. It has a box for showing 3D rocket model for informing attitude. Besides that, it also has a dedicated box for showing surveillance image. Below the surveillance image there are buttons to choose what mode is going to be executed. Moreover, it can also showing an attitude data chart acquired by 3-axis accelerometer by pressing certain button in keyboard. And the last, the software interface also include a terminal box that shows every raw data that useful to know what data that is being sent from the air segment to the ground segment.
Fig. 4. Attitude Monitoring Box
Fig. 7. Overall View in Attitude Chart Mode
B. Test Result The flight test done in Indonesian Rocket Payload Contest (KOMURINDO) 2011. It took place at Pandansimo Beach, Yogyakarta. Unfortunately, the payload and the rocket were not separated during the test. The separation mechanism was failed. This condition made errors to the rocket communication system. Accordingly, the collected data was not completed. The ground station software could process the attitude data well, but could not process the image data. In figure below can be seen that the image is not perfectly reconstructed because of communication failure. Although the data was not valid, but all of the Elektron Legacy-GS function was doing well. The telemetry and command were working perfectly to control the system mode. It proved that the design and implementation of the software are successful and meet the requirements.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
156
Fig. 8. Raw Data in text file
Fig. 10. Implementation of Surveillance Mode
IV. CONCLUSION In conclusion, Elektron Legacy-GS: a ground station software for attitude monitoring and surveillance rocket is successfully designed and implemented. It also equipped by 3D Graphical User Interfaces that can simulate rocket in three dimensions. Elektron Legacy-GS is developed by using processing language and IDE. This programming language and IDE has a simple syntax to generate software that meets the requirements. By using this language, Elektron Legacy-GS able to generate a 3D rocket model, attitude data chart, and surveillance image from the raw data. The flight test was done for testing Elektron Legacy-GS. The flight test took place at Pandansimo Beach, Yogyakarta. Unfortunately, the flight test did not go well. The payload and the rocket were failed to separate. So, the raw image data that given by the payload is not valid. However, the reconstructed picture is right when compared to the data that given by air station. It can be concluded that the surveillance function was working. For future works, a more reliable test is needed to test the ground station software. A better separation mechanism is needed to get a better result. Fig. 9. Implementation of Attitude Mode
REFERENCES [1] [2] [3] [4]
Panduan Kompetisi Muatan Roket Indonesia 2011: Attitude Monitoring and Surveillance Payload. 2011. Kostas Terzidis, Algorithms for Visual Design Using the Processing Language. Indianapolis: Wiley Publishing Inc, 2009. Casey Reas and Ben Fry, Processing: a programming handbook for visual designers and artists . Cambridge: The MIT Press, 2007. Joshua Noble, Programming Interactivity. Sebastopol: O’Reilly, 2009.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
157
PERANCANGAN ROTATOR DAN CONTROLLER ANTENA PARABOLA DISH S-BAND GROUND STATION UNTUK IiNUSAT-1 First A. Achyar Nur Andi, Second B. Dwi Cahyono, Third C. Basuki Rahmat and Fourth D. Junartho Halomoan
implementasi dan pengujian, didapatkan hasil Abstrak---_Antena stasiun bumi adalah salah satu bagian dalam sistem komunikasi satelit, karena bagian ini berfungsi sebagai interface transceiver antara satelit dengan stasiun bumi. Pada sistem komunikasi satelit, arah antena stasiun bumi memegang peranan penting, karena
penyimpangan
arah
antena
akan
berpengaruh terhadap kinerja komunikasi. Dan
pointing controller dapat mengarahkan antena ke satelit berdasarkan parameter-parameter posisi yang menjadi masukan dalam software kalkulasi. Indikator kebenaran
pengarahan
yaitu adanya keluaran berupa channel yang ditranslasikan di decode penerima DVB-S. Kata
kunci:
Latitude,
Langitude,
Mikrokontroler, Inklinasi dan Deklinasi
lingkup satelit yang digunakan dalam hal ini adalah satelit LEO (Low Earth Orbit) untuk IiNUSAT-1 ini yang mempunyai jarak di 700-an
I.
PENDAHULUAN
km dari bumi. Untuk mengarahkan antena dilakukan suatu proses Pointing. Dengan setting parameter-parameter
pengarahan
reflector
satelit, berupa posisi satelit dan posisi stasiun bumi secara Latitude dan Longitude, Data parameter sudut ini akan dikalkulasi secara software komputer untuk mendapatkan sudut inklinasi
dan
deklinasi
antena
yang
dikonversikan dalam bentuk nilai counter. Nilai counter ini diumpankan ke bagian kontrol, yang kemudian mengatur pergerakan motor untuk mengatur arah reflektor antena parabola ke arahsatelit yang diinginkan sesuai dengan parameter yang di-setting. Hasil pengarahan antena yang baik akan memberikan kualitas sinyal yang baik pada penerimaan sinyal. Dalam
Antena stasiun bumi adalah salah satu bagian penting dalam sistem komunikasi satelit, karena bagian ini berfungsi sebagai interface transceiver antara satelit dengan stasiun bumi. Pada system komunikasi satelit iINUSAT , arah antena stasiun bumi
memegang
peranan
penting,
karena
penyimpangan arah antena akan berpengaruh terhadap
kinerja
komunikasi,
meskipun
penyimpangan arah antena terjadi sangat kecil. Seiring
berkembangnya
teknologi,
dibutuhkansebuah alat yang dapat mengarahkan reflector antena yang cepat dan bisa mendapatkan pengarahan yang lebih teliti. Untuk saat ini, pointing otomatis dibuat untuk stasiun bumi berdimensi besar dan fix (menetap).
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
158
Hasil rancangan berupa sebuah alat pointing controller
yang
dapat
mengarahkan
antenna Microcontro ller ATmega 8535
parabola ke satelit yang diinginkan sesuai dengan setting parameter-parameter yang menjadi masukan
Motor DC
sistem., Untuk membatasi luasnya permasalahan yang akan dibahas, maka perancangan ini akan dibatasi dalam hal-hal berikut ini. Catu daya
Menggunakanmicrocontroller Menggunakan
sensor reed
switch
yang
mendeteksi nilai counter putaran motor dalam membentuk sudut. Bahasa
pemrograman
Gambar 2.1 Blok diagram sistem keseluruhan
mikrokontroler
menggunakan bahasa C.
Penjelasan Blok Diagram a. Rangkaian Catu Daya Rangkaian ini berfungsi untuk menyuplai tegangan 5V DC pada sismin ATmega, menyuplai tegangan 12V DC pada relay motor driver, dan menyuplai tegangan 36V DC pada motor DC
Menggunakan perhitungan kalkulasi sudut dan kemiringan
antena
dengan
memanfaatkan
parameter koordinat garis bujur. untuk kalkuasi sudut dan kemiringan antena menggunakan pemrograman visua basic.
Gambar 2.2
Rangkaian Catu Daya
b. Mikrokontroler Mikrokontroler ATmega berfungsi sebagai pusat control, menerima data perhitungan dari software komputer dan mengeksekusi gerakan motor sesuai parameter masukan dari kalkulasi software komputer/laptop.
Gambar 2.3 Rangkaian Mikrokontroler
c. Gambar 2.0 Blok Diagram Gound Station S-Band
II. PERANCANGAN DAN REALISASI ALAT Sensor
Driver Motor DC
Pada sistem ini, driver motor DC berfungsi mengatur pergerakan motor DC yang mengarahkan antena.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Gambar 2.8
a.
159
Flowchart sistem keseluruhan
Algoritma pemrograman Software Kalkulasi.
Gambar 2.4 Rangkaian Driver Motor DC
d. Sensor Pada sistem ini, sensor berfungsi mengidentifikasi besar kemiringan yang telah dibuat oleh antena berdasarkan nilai jumlah perputaran motor.
Gambar 2.9 rangkaian Band Pass Filter
Gambar 2.5 Rangkaian Sensor
e. Komputer/Laptop Komputer digunakan untuk menjalankan software kalkulasi yang mengkonversi koordinat posisi antena penerima menjadi besar ukuran sudut .
Dari flowchart program software, program akan mengkalkulasi parameter-parameter yang diinputkan. Parameter-parameter itu antara lain koordinat longitude, koordinat latitude, dan pilihan satelit. Hasil kalkulasi software tersebut berupa sudut kemiringan yang kemudian dikonversikan dalam bentuk nilai counter yang akan menjadi masukan mikrokontroler melalui komunikasi serial RS2332.
Gambar 2.6 Komputer berisikan software kalkulasi
f. Antena Antena ini merupakan beban yang akan diarahkan oleh motor sesuai dengan setting parameter dari laptop/komputer yang diumpankan ke mikrokontroler.. Gambar 2.10 Software Kalkulasi
Gambar 2.7 Antena
Sistem Software h.
Alogoritma Hardware
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Gambar 2.11 Algoritma Hardware
Mikrokontroler kemudian menganalisa posisi counter antena sementara dengan masukan, kemudian menggerakkan motor DC. Untuk mengetahui nilai counter posisi antena sementara. Mikrokontroler memanfaatkan EPROM sebagai penyimpanan data yang nantinya akan dibandingkan dengan masukan nilai counter dari software. Apabila, nilai counter posisi antena sementara lebih kecil daripada nilai counter masukan, maka mikrokontroler mengaktifkan PORTB0 untuk arus maju motor. Sebaliknya apabila nilai counter posisi sementara lebih besar daripada nilai counter masukan, maka mikrokontroler mengaktifkan PORTB1 untuk arus mundur motor. Agar motor dapat berhenti pada nilai counter yang diinginkan digunakan sensor reed switch untuk mengindra besar counter pergerakan motor yang terjadi. Hasil terakhir perhitungan nilai counter yang menjadi masukan PORTB2 mikrokontroler akan disimpan pada memori dan digunakan sebagai nilai referesi counter pembanding untuk masukan hasil nilai counter software kalkukasi selanjutnya.
3.2 Pengujian keluaran Sensor Dari hasil pengujian keluaran sensor reed switch, dapa disimpulkan bahwa kondisi keluaran ini dapat digunakan sebagai masukan mikrokontroler pada PORTB, untuk menghitung jumlah putaran atau nilai counter yang dilakukan oleh motor untuk menentukan posisi satelit yang akan diakses oleh antena. Adapun hasil pengukuran keluaran reed switch, dideskripsikan pada tabel 3.2 dan 3.3 Tabel 3.2
Gambar 3.1
Tabel 3.3
Pengujian Tegangan Keluaran Reed Switch Sensor
Amplitudo Keluaran Reed Switch Sensor Pengujian Periode Pulsa Keluaran Reed Switch Sensor
III. PENGUJIAN DAN ANALISA 3.1 Pengujian Catu Daya Hasil pengukuran Tegangan catu daya, dapat dianalaisa bahwa catu daya cukup stabil dan dapat memenuhi kebutuhan catuan sistem. Dari hasil pengujian didapatkan data sebagai berikut.
Gambar 3.2 Tabel 3.1
Pengujian Tegangan Catu Daya
160
Lebar Periode Pulsa 1 Keluaran Reed Switch Sensor
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Gambar 3.3
Lebar Periode Pulsa 0 Keluaran Reed Switch Sensor
Tabel 3.4
161
Pengujian Kerja Rangkaian
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan dalam perancangan ini adalah sebagai berikut.
3.3 Pengujian Catuan Motor ke Actuator
Dari hasil pengambilan data pada tabel 3.4, catuan ke motor mengalami penurunan tegangan dari tegangan yang dicatukan oleh catu daya. Hal ini dikarenakan karakteristik motor yang ketika dicatu oleh tegangan tertentu akan mengalami penurunan. Namun demikian, motor masih mampu menggerakkan motor antena. 3.5 Pengujian Rangkaian Keseluruhan Dari hasil pengujian alat secara keseluruhan didapatkan pengujian alat berjalan dengan baik, namun ada beberapa perbedaan antara hasil perhitungan kalkulasi hx secara teori dengan hx yang didapatkan. Hal ini dikarenakan tingkat ketelitian hasil kalkulasi hx teori yang menggunakan metode perhitungan exact lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat ketelitian pengukuran hx yang tercipta yang menggunakan metode pengukuran panjang, akan tetapi masih dapat menerima informasi dari satelit yang dituju sesuai dengan channel indikator. hx
= L reflector x sin b
Membuat pointing otomatis bisa direalisasikan dengan menggunakan IC Mikrokontroler ATmega. IC mikrokontroler ini mengatur pergerakan motor sesuai dengan informasi data yang diterima dari software kalkulasi dengan memanfaatkan komunikasi serial. Pembuatan Rotator pointing dan controller untuk antenna S-Band dan UHF-VHF Band ni dilakukan dengan membuat dua catuan rotator, satu untuk S-Band antenna dan VHF dan satu lagi untuk UHF antenna, yang kemudian di combine di rotator controllernya. Tegangan keluaran catu daya dapat disimpulkan memenuhi kebutuhan sistem berdasarkan dari hasil pengukuran. Untuk tegangan catuan sistem minimum sebesar 4,9 ± 0,03 VDC, relay motor sebesar 11,86 ± 0,13 VDC, dan motor sebesar 35,77 ± 0,49 VDC. Keluaran dari reed switch sensor adalah sebuah pulsa 1 dan pulsa 0, ketika aktif maka bernilai 0 dengan keluaran sebesar 0VDC dan ketika non-aktif maka bernilai 1 dengan keluarnya 4,65±0,20VDC. Keluaran ini difungsikan untuk menghitung nilai counter pergerakan yang dilakukan oleh motor. Hasil pengujian rangkaian secara keseluruhan, terdapat beberapa perbedaan antara hx kalkulasi secara teori dan hx pengukuran praktis. Hal ini dikarenakan tingkat exact teori lebih teliti dibandingkan dengan hx pengukuran secara praktis di lapangan.
(2.5)
b = BSB – BS ; apabila BSB > BS b = BS – BSB ; apabila BSB < BS dimana: BSB = Bujur Stasiun Bumi BS = Bujur Satelit
5.2 Saran Pengembangan (2.4a)yang sebaiknya dilakukan pada (2.4b) perancangan selanjutnya adalah sebagai berikut: Pada saat pencatuan sensor, apabila memanfaatkan tegangan internal sismin, sebaiknya sistem keluaran sensor bersifat active low, hal ini untuk menjaga agar keluaran sensor yang akan menjadi masukan sismin tetap stabil. Untuk menjaga konsumsi arus tetap merata, disarankan untuk mendesain transformator
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
sendiri. Karena pada umumnya arus keluaran transformator dari pabrikan, tidak murni keluarannya sesuai spesifikasi. Untuk keakurasian pointing antenna dalam menembak satelit perlu di perhatikan lebih lanjut, karena untuk Nanosatelit di orbit LEO akan lebih cepat kecepatan orbitnya pada selang waktu tertentu. DAFTAR PUSTAKA [1] Haryono, Nono. Reed Switch.[Online]: < http://otosensing.blogspot.com/2010/11/reedswitch.html> [24 Mei 2010]. [2] Heryanto, Ary dkk. Pemrograman Bahasa C untuk Mikrokontroller ATMEGA 8535. Bandung: Penerbit Andi [3] Laboratorium Mikroprosesor dan Antarmuka. 2009. Modul Praktikum Laboarotirum Mikroprosesor dan Antarmuka D3TT – Mikrokontroler. Bandung. [4] Mahmud, Rahmat. 2007. Komunikasi Satelit. STM Telkom Makassar. [5] Martian.com, Tracking.[Online]: < http://sattracker.mrtian.com/?Tracking> [18 September 2010]. [6] Pratt, Timothy. dkk. 2003. Satellite Communications. John Willey & Sons. [7] Tri T. Ha. 1990. Digital Satellite Communications. New York : McGraw-Hill. [8] Wikipedia, Visual Basic. [Online]: [17 Mei 2010].
162
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
163
Peningkatan Performansi Pengaturan Posisi Motor DC untuk Sistem Tracking Menggunakan Kontroler Optimal Sliding Mode Ramadhani Kurniawan Subroto, Ir. Rusdhianto Effendi Abdul Kadier, M.T. Abstract — Salah satu kegunaan pengaturan posisi motor DC adalah untuk sistem penjejakan (tracking). Sistem ini dapat ditemui pada tracking satelit pada antena stasiun bumi. Dalam kondisi nyata, gangguan akan muncul pada sistem dan tidak dapat diprediksi. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan torsi dari luar oleh tekanan angin, struktur mekanik motor DC, maupun perubahan parameter akibat perubahan beban. Gangguan tersebut dapat dianggap sebagai ketidakpastian sistem dan dapat mengakibatkan performansi sistem menjadi menurun. Untuk itu, diperlukan metode kontrol yang tepat agar sistem tracking tidak terpengaruh oleh berbagai gangguan yang muncul. Kontroler Optimal Sliding Mode akan dirancang pada sistem tracking motor DC untuk menghasilkan sistem tracking dengan performansi yang baik. Index Terms — Kontroler Optimal Sliding Mode, motor DC, performansi, sistem tracking.
I. PENDAHULUAN OTOR
DC merupakan peralatan listrik yang mengubah
Menergi listrik menjadi energi mekanik. Dibandingkan jenis
motor lainnya, motor DC memiliki kemampuan akurasi yang baik dalam pengaturan posisi. Selain itu, motor DC memiliki karakteristik torsi yang tinggi. Pengaturan posisi motor DC banyak digunakan dalam sistem tracking (penjejakan). Salah satu aplikasi penggunaan motor DC adalah untuk sistem tracking satelit pada antena stasiun bumi. Keakuratan sistem tracking antena stasiun bumi terhadap satelit merepresentasikan performansi dari suatu sistem. Performansi sistem adalah penting, karena sistem dengan performansi tinggi akan menghasilkan kualitas yang tinggi pula. Performansi yang tinggi dalam pokok bahasan ini adalah error dan energi minimal serta kekokohan terhadap gangguan. Dalam kondisi nyata, desain sistem tracking antena pada stasiun bumi (ground station) diharuskan memiliki ketahanan terhadap gangguan torsi. Gangguan torsi tersebut dapat diakibatkan oleh tekanan angin dan struktur mekanik penyusun Ramadhani Kurniawan Subroto is with the Department of Electrical Engineering, Sepuluh Nopember Institute of Technology, Surabaya, 60111 Indonesia (e-mail: dhani97@ elect-eng.its.ac.id). Ir. Rusdhianto Effendi A.K, M.T. is with the Department of Electrical Engineering, Sepuluh Nopember Institute of Technology, Surabaya, 60111 Indonesia (e-mail: [email protected]).
antena, yang meliputi gangguan pada bearing dan friksi yang tidak dapat dimodelkan. Gangguan tersebut merupakan faktor ketidakpastian yang dapat terjadi dalam sistem dan tidak dapat diprediksi. Gangguan yang muncul pada sistem tidak dapat dihilangkan, namun dapat diminimalkan dengan menambahkan kontroler yang memiliki sifat kokoh terhadap gangguan. Kontroler Optimal Sliding Mode adalah pendekatan pengaturan kokoh yang efektif dalam mengatasi ketidakpastian sistem. Konsep dasar dari kontroler ini adalah kontrol optimal yang ditambahkan sifat kekokohan dari fungsi sliding mode control. Dengan merancang kontroler ini untuk pengaturan posisi motor DC, diharapkan performansi sistem tracking akan lebih baik. Makalah ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian selanjutnya akan membahas tentang fokus permasalahan yang akan diselesaikan, yaitu kontrol posisi motor DC. Bagian ketiga membahas tentang metode identifikasi dan desain kontroler Optimal Sliding Mode. Hasil dari sistem kontrol posisi motor DC tersebut ditampilkan dan dianalisis di bagian keempat. Selanjutnya, kesimpulan dibahas pada bagian kelima. II. MOTOR DC Motor DC merupakan suatu mesin listrik yang berfungsi sebagai motor listrik apabila terjadi proses konversi energi listrik menjadi energi mekanik di dalamnya. Motor DC memerlukan suplai tegangan searah pada kumparan jangkar dan kumparan medan untuk diubah menjadi energi mekanik. Rangkaian ekivalen dan diagram fisik dari motor DC ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Motor DC[4]
Model dinamika dari motor DC dapat dituliskan sebagai berikut : dI E a R a I a La a E b (1) dt
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
d 2 d B dt 2 dt T K TM I a TJ
(2) (3)
d (4) Eb K b dt Berdasarkan (1), (2), (3) dan (4) model matematika untuk motor DC [3] adalah K TM ( s) (5) E a ( s) sLa s Ra Js B K TM K b Pada umumnya, nilai induktansi pada kumparan jangkar sangat kecil, sehingga dapat diabaikan. Dengan demikian, (5) dapat disederhanakan menjadi K TM KM ( s) (6) E a ( s) sRa Js Ra B K TM K b s(TM s 1) Persamaan (6) membuktikan bahwa sistem pengaturan posisi motor DC bersifat marginally stable, karena terdapat poles yang bernilai nol. III. PERANCANGAN SISTEM Motor DC yang digunakan pada penelitian ini adalah modular servo motor DC tipe magnet permanen MS150 Feedback®. Perangkat lunak LabVIEW™ 8.5 digunakan untuk simulasi sistem pengaturan posisi motor DC. A. Identifikasi dan Permodelan Sistem Identifikasi sistem dilakukan untuk mendapatkan model matematika dari plant motor DC. Identifikasi dilakukan dengan mengumpankan sinyal masukan sebesar 1 volt. Identifikasi dilakukan dengan beban yang berbeda agar mengetahui perubahan parameter akibat perubahan beban. Hasil permodelan ditunjukkan pada Gambar 2.
Maksimal
164
VO ( s ) 11.5573 Vi ( s) 0.0465s 2 s
0.037417
B. Representasi State Space Sistem Dinamis Model matematika motor DC direpresentasikan dalam bentuk persamaan state untuk mendesain kontroler. x Ax Bu (7) y(t ) Cx(t ) Hasil permodelan melalui identifikasi dengan masukan step diubah ke dalam bentuk persamaan state berdasarkan (7) menjadi 1 0 0 1 0 A B C 0 18.1818 278.0154 0 0 Sinyal referensi dalam bentuk state space dimodelkan menjadi persamaan z (t ) Fz (t ) ~ (8) y (t ) Hz(t ) Jika sinyal referensi merupakan sinyal sinusoidal dengan frekuensi ω, maka persamaan state space sistem tersebut : 1 0 1 0 F H 2 0 0 0 Berdasarkan (7) dan (8) didapatkan augmented system dari plant menjadi (9) x (t ) Ax(t ) Bu(t ) Dimana : x(t ) x(t ) z (t )
A 0 A 0 F
B B 0
C. Desain Kontroler Optimal Sliding Mode Tujuan dari kontrol optimal adalah untuk meminimalkan indeks performansi. Indeks performansi yang minimal merepresentasikan sistem dengan performansi yang baik. Definisikan indeks performansi
J (x T Qx u T R u )dt
(10)
0
Dimana : C T Q C C T Q H Q RR T T H Q C H Q H Pada kasus ini dipilih nilai Q dan R masing – masing : 0.01 0 Q R 0.1 0 0 Gambar 2. Permodelan respon posisi motor DC
TABEL I HASIL PEMODELAN POSISI MOTOR DC
Tipe Beban Nominal Minimal
Model Matematika VO ( s) 15.290847 Vi ( s) 0.055s 2 s
VO ( s ) 22.295298 Vi ( s) 0.03275s 2 s
Bentuk Hamiltonian 1 H x T Qx u T R u λ T ( Ax Bu ) 2 Syarat perlu optimal : H 0 Ru B T λ u H x Ax Bu λ
RMSE 0.036049 0.022798
(11)
(12)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
H λ Qx A T λ x
Berdasarkan (12) didapatkan sinyal kendali yang optimal dan sistem Hamiltonian
u * (t ) R 1 Β Τ λ (t ) x A BR 1 B T x (13) A T λ λ Q Untuk mendapatkan solusi digunakan Persamaan Riccati (t ) A T P(t ) P(t )A P(t )BR 1 B T P(t ) Q (14) P Matriks P(t ) bernilai nol, karena digunakan penyelesaian suboptimal infinite horizon. Oleh karena matriks P (t ) bernilai nol, maka matriks P(t ) merupakan suatu matriks konstan. (15) u * (t ) kx(t ) Untuk memperkokoh sistem, digunakan permukaan luncur integral[1]. t
S (x) Gx(t ) x(0) G x d 0
(16)
0
Matriks baris G dipilih sedemikian rupa, sehingga GB memenuhi matriks nonsingular atau GB 0 . Dalam mendesain kontroler Optimal Sliding Mode terdapat dua buah sinyal kendali, yaitu sinyal kendali ekivalen dan natural. Sinyal kendali ekivalen Sinyal kendali ini adalah sinyal kendali yang memaksa state untuk menuju ke permukaan luncur. S ( x ) G(Ax Bu) G (A BR 1 B T P)x 0
1
T
IV. HASIL SIMULASI DAN ANALISIS Hasil simulasi kontroler Optimal Sliding Mode dan Linear Quadratic Tracking untuk sistem tracking motor DC dibagi ke dalam tiga kasus. Sinyal referensi diberikan dengan persamaan matematika r (t ) 60 sin(2 0.05)t . Gangguan diberikan pada sistem antara detik ke 7.5 sampai 12.5. Untuk kasus pertama, bentuk gangguan adalah sinyal acak dengan amplitudo sebesar 0.5 volt. Kasus kedua sinyal gangguan adalah sinusoidal dengan persamaan d (t ) 0.5 sin(2 0.5)t . Kasus ketiga, bentuk gangguan diberikan oleh sinyal pulsa dengan amplitudo sebesar 0.5 volt.
(17)
Dengan mensubstitusikan (17) ke (9) dinamika sliding mode menjadi 1 x Ax B GB GBR 1 B T Px ( A BR 1 B T P)x (18)
(21) u n q sign(S ) Untuk mengurangi fenomena chattering, fungsi switching signum diganti dengan fungsi saturasi (22) u n q sat (S , ) Dengan demikian, sinyal kendali total didapatkan (23) u u * (t ) u n kx(t ) q sat (S , ) Berdasarkan (13), (14), dan (15), diperoleh nilai k sebesar k 0.3162 0.0155 0.3145 0.0806 Penguatan penyaklaran q dan ε ditentukan nilainya masing – masing sebesar 5 dan 0.5.
u eq (GB) (GBR B Px) 1
165
Gambar 3a. Respon sistem kasus pertama
Mempertimbangkan (18) ke (13) maka sinyal kendali ekivalen pada (17) dan sinyal kendali yang optimal pada (15) adalah sebanding/sama. Dengan demikian, diperoleh u eq (t ) u * (t ) kx(t ) (19) Sinyal kendali natural Sinyal kendali ini adalah sinyal kendali yang mempertahankan state pada permukaan luncur. Untuk mendesain sinyal ini, diperlukan analisis kestabilan Lyapunov. Fungsi Lyapunov dipilih permukaan luncur S G Ax B u eq u n G A Bu eq x (20) Gu n u n*
Gambar 3b. Sinyal kontrol kasus pertama
Syarat kestabilan Lyapunov S S 0 S u n* 0 Dengan demikian, terjadi proses pensaklaran yang bertujuan mempertahankan trajektori state tetap di permukaan luncur dengan sinyal kendali natural dirumuskan dalam Gambar 3c. Sinyal kesalahan kasus pertama
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
166
Indeks performansi untuk masing – masing kasus disajikan dalam Tabel 2. Indeks performansi yang minimal, mengindikasikan bahwa sistem memiliki performansi yang lebih baik.
Gambar 5b. Sinyal kontrol kasus ketiga
Gambar 4a. Respon sistem kasus kedua
Gambar 5c. Sinyal kesalahan kasus ketiga
Gambar 4b. Sinyal kontrol kasus kedua
Dari hasil simulasi, ditunjukkan performansi yang baik oleh kontroler Optimal Sliding Mode, dimana kontroler ini mampu mengkokohkan sistem terhadap berbagai gangguan untuk ketiga kasus yang diberikan. Perbandingan respon sistem untuk setiap kasus, masing – masing ditunjukkan oleh Gambar 3a, 4a, dan 5a. Sinyal kontrol yang merepresentasikan energi pada sistem ditunjukkan oleh Gambar 3b, 4b, dan 5b. TABEL II PERBANDINGAN INDEKS PERFORMANSI SISTEM
Kasus 1 2 3
Gambar 4c. Sinyal kesalahan kasus kedua
Indeks Performansi Optimal Sliding Mode Linear Quadratic Tracking 7.877 804.77 114.2285 1109.888 21.84 3178.861
V. KESIMPULAN
Gambar 5a. Respon sistem kasus ketiga
Dari hasil simulasi pengaturan posisi motor DC untuk sistem tracking, performansi dengan kontroler Optimal Sliding Mode lebih baik dibandingkan kontroler Linear Quadratic Tracking dalam mengatasi berbagai gangguan yang diberikan. Selain itu, besar energi dan error lebih minimal dibandingkan menggunakan kontroler Linear Quadratic Tracking. Dengan demikian, performansi terbaik untuk sistem tracking didapatkan dengan menggunakan kontroler Optimal Sliding Mode. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
P. Hai-Ping and Y. Qing, “Optimal Sliding Mode Output Tracking Control for Linear Systems with Uncertainties,” in Proc.9th Int. Conf. Machine Learning and Cybernetics, Qingdao, July 11-14, 2010, pp. 942 – 946 Y. Gwo-Ruey, T. Ming-Hung, and L. Yuan-Kai, “Optimal Positioning Control of a DC Servo Motor Using Sliding Mode,” in Proc. 2004 IEEE,
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
[3]
Int. Conf. Control Applications, Taipei, September 2-4, 2004, pp. 272 – 277 O. Katsuhiko, Teknik Kontrol Automatik Jilid 1, Jakarta : Erlangga, 1996 (Alih bahasa : Edi Laksono)
[4] [5]
167
G. Nurlita, Handout Mata Kuliah Dasar Sistem Pengaturan Jurusan Teknik Elektro ITS, Surabaya A. Brian and M. John, Optimal Control Linear Quadratic Approach, Prentice – Hall International, 1989
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
168
PERANCANGAN SISTEM KENDALI POSISI, KESETIMBANGAN DAN NAVIGASI UNTUK PROTOTIPE SATELIT Andriyana Subhan 1), Agus Mulyana 2) Jurusan Teknik Komputer Universitas Komputer Indonesia, [email protected],[email protected] Abstrak Sebuah satelit memerlukan sistem pengendalian yang berguna untuk mengejar setpoint atau kesetimbangan yang diperlukan untuk mendapatkan informasi, sehingga dapat diimplementasikan pada prototipe satelit. Tujuan perancangan prototipe satelit yaitu untuk sistem kendali dalam perubahan arah target gerak, kesetimbangan dan kecepatan baik dalam ruangan maupun luar ruangan.Penggerak menggunakan brushless motor untuk mengejar setpoint dengan Electronic Speed Control sebagai pengendali tegangan dan arus motor, sensor kompas sebagai penentu arah dan sensor accelerometer sebagai mengejar kesetimbangan dalam prototipe satelit. Sedangkan sebagai pusat kendali, prototipe satelit menggunakan mikrokontroler basic stamp, yang diprogram menggunakan bahasa basic. Penerimaan data dilakukan melalui jalur udara (wireless) yang diterima komputer. Bentuk dari prototipe satelit seperti tabung dengan sayap atau tangan yang dapat dibentangkan untuk memulai kendali prototipe satelit. Dalam hal ini, untuk mengejar setpoint yang diinginkan maka prototipe satelit digantungkan agar melayang-layang. Penerimaan data sensor dari prototipe satelit dapat dilihat pada tampilan dikomputer termasuk perubahan nilai setpoint yang dikirim ke prototipe satelit. Pengontrolan dalam prototipe satelit menggunakan PID (proposional, integral dan derivatif). Kata kunci :
Basic stamp 2p40, Sensor kompas HM55B, Sensor accelerometer MMA3201, brushless motor, Radio frekuensi YS1020UB
1. PENDAHULUAN Teknologi satelit merupakan salah satu teknologi yang mendapatkan informasi di udara. Untuk mendapatkan informasi dibutuhkan teknologi kendali pada satelit agar titik koordinat dan orbit yang diinginkan tidak berubah-ubah, sehingga penentuan arah gerak atau kendali posisi sangat diperlukan dalam teknologi satelit agar mengarah kepada posisi atau titik koordinat dengan benar. Dalam menentukan arah gerak atau kendali posisi diudara sangat sulit, untuk mencapainya diperlukan kendali yang benar. Bahkan dalam mencapai kesetimbangan saja sangat sulit, karena beban dan gangguan dari luar seperti angin. Kesetimbangan merupakan keadaan dimana 2 proses yang berlawanan terjadi dengan laju yang sama, akibatnya tidak terjadi perubahan. Selain menentukan arah gerak dan kesetimbangan, dalam teknologi satelit sistem navigasi juga sangat penting, karena navigasi dalam satelit merupakan sistem yang menggunakan sinyal radio yang disalurkan kepenerima dipermukaan tanah untuk menentukan lokasi sebuah titik dipermukaan bumi. Sehingga penentuan arah gerak,
kesetimbangan, dan kecepatan sesuai dengan setpoint atau posisi yang dibutuhkan merupakan hal yang ingin dicapai. Untuk mencapai hal tersebut, dapat diimplementasikan pada sebuah prototipe satelit. Dengan tujuan agar arah gerak, kesetimbangan, dan kecepatan prototipe satelit dalam mencapai setpoint tepat dan cepat. Dalam hal ini, untuk mencapai setpoint yang diinginkan maka prototipe satelit dapat digantungkan agar melayang-layang. Bentuk dari prototipe satelit seperti tabung dengan sayap atau tangan yang dapat dibentangkan untuk memulai kendali dari prototipe satelit. Manfaat prototipe satelit dapat digunakan sebagai pengendalian posisi dari udara yang diperlukan oleh user seperti pada payload roket atau mikro satelit dengan. Sebagai pengendali atau kontrol dari prototipe satelit di gunakan kontrol PID. Pengontrolan PID merupakan perpaduan dari pengontrol proposional (untuk memepercepat respon), pengontrol integral (untuk menghilangkan error steady) dan pengontrol derivatif (untuk memperbaiki sekaligus mempercepat respon transien). Masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah merancang sistem kendali posisi,
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. kesetimbangan dan kecepatan baik dalam ruangan maupun luar ruangan pada prototipe satelit. 2. LANDASAN TEORI Sistem kontrol merupakan proses pengendalian error dengan cara memasukkan nilai error tersebut kedalam input yang akan dibandingkan dengan sistem pengendalian. Tujuan untuk mengurangi error tersebut dan menghasilkan output atau keluaran yang sesuai dengan setpoint yang dicapai. PID merupakan salah satu sistem kontrol, berikut gambar kontrol PID secara close loop : Set Point
ERROR
CO
MV
Penggerak
Kontrol PID
Proses
169
Pengiriman data dari prototipe satelit ke ground segment menggunakan komunikasi radio yaitu pengiriman data melaui udara. Radio komunikasi yang dipakai adalah YS-UB1020B yang memiliki jarak jangkauan 800 meter. Radio ini berkomunikasi secara Half duplex merupakan komunikasi dua arah, data dapat mengalir kedua arah secara bergantian, hanya satu arah saja pada suatu saat. Contoh pada Sistem Walkie-talkies. Tampilan pada untuk ground segment menggunakan visual basic 6.0. Visual basic 6.0 selain disebut sebagai bahasa pemograman, juga sering disebut sebagai sarana untuk menghasilkan program-program aplikasi berbasiskan windows.
Output
3. PERANCANGAN Diagram blok dari sistem yang akan dibuat dapat dilihat pada gambar 3.1
+
-
Sensor MOTOR BRUSHLESS 2
MODEM RADIO
Gambar 2.1 Kontrol PID secara close loop persamaan dalam kontrol PID sebagai berikut:
SENSOR KOMPAS
ADC EKSTERNAL
………2.1 Dari persamaan kontrol PID di atas dapat dijabarkan menjadi :
MIKROKONTROLER 1
MOTOR SERVO
SENSOR ACCELEROMETER
MIKROKONTROLER 2
………………………2.2
MOTOR BRUSHLESS 1
..2.3
(a)
….2.4 Sebagai acuan dari error pada gambar 2.1 menggunakan Sensor kompas hitachi HM55B. Sensor kompas HM55B merupakan salah satu kompas digital yang dikembangkan oleh parallax yang mempunyai keluaran digital sebayak 2 axis yaitu axis X dan axis Y. Pada saat program dijalankan kecepatan sensitivitas sensor kompas ini antara 30-40 ms. Aktuator merupakan hal terpenting dalam kontol PID karena sebagai peggerak dari sistem yang dikontrol jika terjadi error. Dalam prototipe satelit selain mengejar setpoint dengan menggunakan sensor kompas hitachi HM55B juga mengejar kesetimbangan. Dalam mengejar kesetimbangan digunakan sensor accelerometer MMA3201EG. Sensor ini merupakan salah satu sensor accelerometer yang mengeluarkan data analog. Sensor ini memiliki kisaran pengukuran (-40 hingga 40) g, dimana 1(satu) g = 9,8 m/s2. Dalam pengontrolan kedua sensor tersebut mengguanakan mikrokontroler basic stamp BS2P40.
MODEM RADIO
LEVEL CONVERTER
KOMPUTER
(b)
Gambar 3.1 Diagram blok prototipe satelit Berikut penjelasan blok-blok yang terdapat pada gambar di atas. 1. Mikrokontroler 1 Blok ini merupakan mikrokontroler Basic stamp bs2p40 yang berfungsi mengolah data dari yang diterima dari sensor kompas dan accelerometer. Blok ini mengatur komunikasi antara mikrokontroler 2 dan komunikasi dengan PC. 2. Mikrokontroler 2 Blok ini memuat mikrokontroler Basic stamp bs2p40 yang berfungsi merima data sensor
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. kompas dan mengolahnya untuk mengontrol actuator 1 sehingga dapat mengejar setpoint yang diinginkan. 3. Sensor Kompas Blok ini memuat sensor Hitachi HM55B yang berfungsi mengetahui arah gerak prototipe satelit dan datanya dikirimkan mikrokontroler 2 agar dapat diolah.
170
Bentuk dari prototipe satelit menyerupai tabung dengan spesifikasi sebagai berikut : 1. Diameter = 100mm 2. Panjang = 210mm 3. Berat = 1200 g 100mm
Brushless motor propeler
4. Sensor Accelerometer Blok ini memuat sensor MMA3201EG yang berfungsi untuk mengetahui kemiringan yang dialami oleh prototipe satelit dan datanya diubah oleh ADC eksternal lalu diolah oleh mikrokontroler 1.
Motor servo Board sensor Mikrokontroler 1
210mm
propeler Brushless motor
Mikrokontroler 2
5. ADC Eksternal Blok ini memuat IC ADC0832 yang berfungsi mengubah data analog dari sensor accelerometer manjadi data digital. 6. Modem Radio Blok ini memuat YS-1020UB yang berfungsi untuk mengirimkan data sensor yang diolah mikrokontroler 1 melaui sinyal radio. 7. Motor Brushless 1 Blok ini memuat motor brushless besar yang berfungsi sebagai penggerak dari prototipe satelit agar dapat mengejar dan mempertahankan setpoint, dengan data kompas yang diterima dari mikrokontroler 1. 8. Motor Brushless 2 Blok ini memuat motor brushless kecil yang berfungsi sebagai penggerak agar kesetimbangan pra prtotipe satelit tetap pada posisinya. 9. Motor Servo Blok ini memuat motor servo Hitec HS5245MG yang berfungsi menggerakkan dan mempertahankan sayap pada prototipe agar saat mengejar setpoint dapat berjalan. 10. Komputer Blok ini berfungsi menampilkan interface agar pengiriman dan penerimaan data dapat dilakukan dengan baik dan menyimpan data yang diterima dari prototipe satelit.
Gambar 3.2 Bentuk pra rptotipe satelit dalam 3D Perancangan algoritma sangat penting untuk setiap sistem kendali. Sehingga dibuat algoritma keseluruhan untuk sistem kendali prototipe satelit agar dapat berjalan sesuai dengan keinginan. Berikut adalah algoritma dalam bentuk diagram alir :
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. a
Mulai
b
Inisialisasi Program
1
c
Cek apakah command=”1e” ?
j Cek apakah nilai j=11?
ya f
r
Kirim data sensor kompas dan setpoint ke mikrokontroler 2 dengan command “1c”
s
Panggil Pembacaan prosedur ADC
t
Panggil Pembacaan kontrol 2
u
Kirim data hasil pembacaan sensor ke PC
Terima data dari PC untuk variabel j 3
e
Panggil Pembacaan sensor kompas
tidak
ya d
q
Panggil Pembacaan prosedur sensor kompas
tidak
a
Mulai
b
Inisialisasi Program
c
Cek apakah command=”1c” ?
tidak
ya k
Panggil Pembacaan prosedur ADC
l
Kirim data hasil pembacaan sensor ke PC
Status=1
2
171
d
Aktif motor besar
e
Terima data sensor kompas, setpoint dan nilai variabel j dari mikrokontroler satu dengan command “1c”
f
Panggil Pembacaan kontrol 1
2 g
Cek apakah command=”1e” ?
3
ya m h
Cek apakah nilai j=22?
tidak
i
1 tidak
ya
ya Kirim mati motor ke mikrokontroler 2 dengan command “1c”
Cek apakah status=1?
n
Status=2
4 o
Aktif motor kecil
p
Motor servo aktif
g
1
h
Cek apakah nilai j=22?
tidak
ya Terima data dari mikrokontroler satu untuk variabel j
Gambar 3.3 Diagram alir mikrokontroler satu Diagram alir gambar 3.3 merupakan algoritma pada mikrokontroler satu. Mikrokontroler satu menunggu command dari ground segment untuk mengaktifkan telemetri , mengaktifkan motor brushless kecil dan motor servo. Setelah command diterima oleh prototipe satelit maka akan membaca sensor kompas dan mengirimkan data sensor kompas ke mikrokontroler dua . Mikrokontroler satu juga mengirimkan semua data sensor ke ground segment . Mikrokontroler satu selain membaca sensor kompas juga membaca data yang dikeluarkan sensor accelerometer dan menjalankan program untuk mengejar kesetimbangan.
i
Cek apakah nilai j=11?
4 tidak
ya
Gambar 3.4 Diagram alir mikrokontroler dua Pada gambar 3.4 merupakan diagram alir mikrokontroler dua yang berfungsi untuk mengendalikan motor brushless besar untuk mengejar setpoint. Data sensor kompas akan diterima mikrokontroler dua yang dikirim dari mikrokontroler satu dan diolah datanya dengan sistem kontrol PID. Data setpoint baru juga akan ditetrima oleh mikrokontroler dua. Dalam Perancangan Interface untuk prototipe satelit menggunakan visual basic 6.0. Interface yang ditampilkan adalah sebagai berikut:
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. i
j
172
k
l m
a b c d f g h
n o p
Gambar 3.5 Interface pra protipe satelit Pra prototipe akan menunggu command dari ground segment yaitu membuka sayap, mengaktifkan motor. Data yang dikirim prototipe satelit akan di terima ground segment dan ditampilkan seperti gambar 3.5 . 4. Pengujian dan Analisa Pengujian berguna untuk mengukur kehandalan dari sistem atau alat yang dibuat mulai dari hardware sampai software. Sehingga hasil yang diharapkan bisa tercapai dengan baik. Pengujian dilakukan dengan beberapa tahap mulai dari pengukuran dari alat yang dipakai sampai dengan pengujian integrasi. 4.1 Pengujian hitachi HM55B dengan kompas Analog Pengujian ini berguna untuk mengetahui hitachi HM55B bekerja dengan baik atau tidak dan seberapa besar error yang dialami hitachi HM55B terhadap kompas analog.
Gambar 4.1 pengujian hitachi HM55B dengan kompas analog Dari hasil tabel 4.1 didapatkan hasil data sensor kompas hitachi HM55B dengan maksimal error 8 dan rata-rata error 7,2 terhadap kompas analog. Data sensor kompas HM55B berpengaruh terhadap keadaan sekitarnya yang akan mengganggu data sensor tersebut seperti medan magnet dan besi. 4.2 Pengujian Radio Komunikasi Pengujian ini berguna untuk seberapa jauh jarak didapat untuk melakukan komunikasi.
Tabel 4.1 pengujian hitachi HM55B dengan kompas analog Tabel 4.2 pengujian radio YS-1020UB
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
173
Berdasarkan hasil tabel 4.2 yang didapatkan dari pengujian modul YS1020UB jarak komunikasi adalah 300 meter namun maksimal jarak jangkauan dari modul YS1020UB hingga 800 meter. Dalam hal ini data yang diterima oleh ground segment dari prototipe satelit tidak mencapai 800 meter, itu dikarenakan kekuatan radio dalam berkomunikasi berkurang atau melemah yang disebabkan gangguan atau penghalang. 4.3 Pengujian Mengejar Posisi Terhadap Arah Gerak Prototipe satelit Pengujian ini dilakukan dengan menggantungkan prototipe satelit dengan tujuan dapat mengejar setpoint atau arah gerak berupa derajat kompas.
Gambar 4.1 Grafik pengujian mengejar setpoint 30⁰ pada percobaan ke 2
Tabel 4.3 Pengujian pencarian arah gerak dengan setpoint 30⁰ pertama
Gambar 4.2 Grafik pengujian mengejar setpoint 30⁰ pada percobaan ke 7
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
174
Gambar 4.3 Grafik pengujian mengejar setpoint 30⁰ pada percobaan ke 9 Berdasarkan pengujian saat mengejar setpoint 30⁰ pada tabel 4.3 diambil 30 data kompas dengan percobaan sebanyak 10 kali dengan penetapan waktu terbesar adalah 22,3 detik sedangkan untuk penetapan waktu terkecil adalah 13,3 detik. Dari 10 kali percobaan diambil 3 percobaan terbaik yang dapat dilihat pada gambar 4.1, 4.2 dan 4.3.
Tabel 4.4 Pengujian pencarian arah gerak dengan setpoint 30⁰ kedua dengan gangguan
Gambar 4.4 Grafik pengujian mengejar setpoint 30⁰ pada percobaan ke 4 dengan gangguan dari luar
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
175
(a)
Gambar 4.5 Grafik pengujian mengejar setpoint 30⁰ pada percobaan ke 7 dengan gangguan dari luar
(b) Gambar 4.7 (a) Grafik menggunakan satu mikrokontroler, (b) Garfik menggunakan dua mikrokontroler Untuk pemakaian satu mikrokontroler sedikit lama karena seluruh proses kerja pada prototipe satelit dibebankan hanya pada satu mikro kontroler sedangkan dengan memakai dua mikrokontroler proses kerja dapat dibagi menjadi dua yaitu, proses pembacaan semua sensor dan proses kerja aktuator dalam mengejar setpoint.
Gambar 4.6 Grafik pengujian mengejar setpoint 30⁰ pada percobaan ke 10 dengan gangguan dari luar Pengujian saat mengejar setpoint 30⁰ dengan gangguan dari luar pada tabel 4.4 diambil 40 data kompas dengan percobaan sebanyak 10 kali. Waktu penetapan setpoint terkecil adalah 21 detik, sedangkan waktu penetapan terbesar adalah 64 detik. Dari 10 kali percobaan diambil 3 percobaan terbaik yang dapat dilihat pada gambar 4.4, 4.5 dan 4.6. Posisi kompas selalu berubah-ubah itu dikarenakan nilai sensor kompas hitachi HM55B yang tidak konstan walaupun dalam keadaan diam. Dalam prototipe satelit dilakukan dengan memakai satu mikrokontroler dan dua mikrokontroler dalam pengujiannya. Grafik pemakaian mikrokontroler dapat dilihat pada gambar 4.5
Tabel 4.5 Pengujian kemiringan sensor accelerometer MMA3201EG (Xaxis)
Tabel 4.6 Pengujian kemiringan sensor accelerometer MMA3201EG (Yaxis)
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Tabel 4.7 Pengujian waktu mengejar kesetimbangan
176
dikarenakan pelemahan sinyal yang yang disebabkan gangguan atau penghalang. 2. Berdasarkan tabel 4.1 pengujian data sensor kompas hitachi HM55B dengan maksimal ratarata error 7,2 terhadap kompas analog. Pengujian tersebut penting karena sebagai acuan dari prototipe satelit. 3.
Berdasarkan tabel 4.7 dan tabel 4.8 pengujian mengejar setpoint atau pencarian arah gerak terhadap prototipe satelit berhasil dilakukan dengan tingkat keberhasilan 79,62% dari jumlah rata-rata keberhasilan dari tiap percobaan tanpa gangguan dari luar dengan rentang error yaitu 10⁰ dari setpoint. Jika terjadi gangguan dari luar tingkat keberhasilannya adalah 19,5% dari jumlah rata-rata keberhasilan dari tiap percobaan
4. Berdasarkan tabel 4.7 pengujian waktu mengejar kesetimbangan mendapatkan hasil rata-rata waktu dari sebelah kanan 7,11 detik sedangkan jika dari sebelah kiri 14,92. Pemakaian sensor accelerometer MMA3201EG kurang maksimal dalam mendeteksi kemiringan untuk mengejar kesetimbangan 5.2 Saran
Gambar 4.8 (a) Grafik waktu mengejar kesetimbangan Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan hasil ratarata waktu untuk mengejar kesetimbangan terhadap prototipe satelit jika dimiringkan dari sebelah kanan adalah 7,11 detik sedangkan jika dari sebelah kiri 14,92 detik itu dikarenakan putaran motor berbeda walaupun diberikan nilai pulsa yang sama. Dalam pengujian yang dilakukan untuk mengejar kesetimbangan dengan menggunakan sensor accelerometer MMA3201 ternyata dalam penggunaannya sensor tersebut kurang maksimal dalam mendeteksi kemiringan seperti yang terlihat pada tabel 4.5 dan 4.6. Hasil pada tabel 4.5 dan 4.6 dan nilai terdeteksi karena perubahan gravitasi.
Dari hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan terdapat beberapa saran yaitu sebagai berikut : 1. Merancang algoritma dalam mengejar setpoint dengan nilai error yang lebih rendah. 2. Mencari dan memaksimalkan sensor accelerometer yang cocok untuk mendeteksi kemiringan agar dapat mengejar kesetimbangan terhadap prototipe satelit. 3. Merancang bentuk prototipe satelit agar lebih kecil dengan fungsi yang lebih handal.
DAFTAR PUSTAKA [1]
Kurnia, Adi. (2004). Pemrograman Microsoft Visual Basic 6.0. Jakarta: Elex Media Komputindo.
[2]
LAPAN, (2010), Buku Panduan Perlombaan KORINDO 2010. Jakarta: Derektorat Jendral Pendidikan Tinggi.
[3]
Setiawan, Iwan. (2008). Kontrol PID Untuk Proses Industri. Jakarta: Elex Media Komputindo.
[4]
Varberg, Dale.,Purcell, Edwinj.,& Rigdon, Steven E. (2003). Kalkulus. Jakarta: Erlangga
[5]
Alldatasheet. ADC0831/ADC0832/ADC0834/ADC0830 8Bit Serial I/O A/D Converters with
5. Simpulan dan Saran 5.1 Simpulan Berdasarkan penelitian dan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa simpulan : 1. Berdasarkan tabel 4.2 modul radio YS1020UB yang digunakan hanya berkomunikasi dengan jarak sampai 300 meter, itu
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Multiplexer Options. Diakses 05 Juli 2011, dari http://pdf1.alldatasheet.com/datasheetpdf/view/158139/NSC/ADC0832/+04J2WA VlRwawGG-Dvv+/datasheet.pdf [6]
Alldatasheet. Surface Mount Micromachined Accelerometer. Diakses 05 Juli 2011,dari http://pdf1.alldatasheet.com/datasheetpdf/view/188044/FREESCALE/MMA3201E G/+07JQ57VDPE.T.EOIfTuIDDCDSu+/data sheet.pdf
[7]
177
Alldatasheet. Hitachi HM55B Compass Module (#29123). Diakses 05 Juli 2011, dari http://pdf1.alldatasheet.com/datasheetpdf/view/228104/ ETC2/HM55B/+Q2J227VwSw9bIPvzH+/dat asheet.pdf.
1stIndonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
178
PERANCANGAN DAN SIMULASI ATTITUDE CONTROL PADA NANOSATELLITE DENGAN MAGNETORQUER Bagus Adiwiluhung Riwanto, Widyawardana Adiprawita ST. MT., Dr. Ridanto Eko Poetro
Abstrak—Dalam paper ini, perancangan attitude control pada nanosatelit dilakukan dengan beberapa tahapan: penentuan dan perancangan sensor dan aktuator, simulasi performa aktuator, dan verifikasi desain aktuator tersebut. Aktuator yang digunakan adalah magnetorquer, yang dirancang dengan target torsi minimal yang dibutuhkan dan batas-batas yang didasari oleh budgeting satelit. Performa aktuator dalam melakukan tugas attitude control disimulasikan di 3 sumbu rotasi dengan model Simulink® di MATLAB™. Performa control law yang dianalisis adalah crossproduct control law (untuk mengontrol attitude satelit dari keadaan detumbled) dan B-dot control law (untuk detumbling satelit). Simulasi menunjukkan pengendali yang dirancang dapat melakukan tugasnya dengan batasan-batasan tertentu. Keterbatasan pengendalian ini terutama disebabkan oleh aktuator yang bergantung pada vektor medan magnet bumi untuk operasinya. Metode verfikasi desain aktuator adalah dengan menggantung magnetorquer untuk diverifikasi spesifikasinya dalam melakukan aktuasi dengan pengujian di satu sumbu rotasi. Hasil pengujian menunjukkan desain magnetorquer dan sistem pemodelan secara sederhana dapat memberikan hasil yang cukup akurat dan dapat dipercaya. Index Terms—attitude control, magnetorquer, simulasi MATLAB™, simulasi tiga sumbu rotasi, pengujian satu sumbu rotasi
I. PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan menghasilkan konsep operasi attitude control satelit dengan aktuator magnetorquer yang diperlihatkan lewat simulasi dan pengujian hardware magnetorquer. Untuk itu pembahasan dalam tugas akhir ini dibatasi pada pengujian aktuator, dimana sensor dianggap memberikan data yang akurat dan kontinyu. Konsep operasi dibangun di atas berbagai pertimbangan perancangan dari level desain hardware magnetorquer sampai algoritma kontrol yang digunakan. Ini berarti output dari penelitian tugas akhir ini bukan hanya spesifikasi teknis dari attitude control system, tapi juga dokumentasi dari engineering process yang dilalui untuk menentukan spesifikasi tersebut. Dengan dokumentasi yang jelas maka tahap development selanjutnya dalam perancangan satelit seluruhnya memiliki batas-batas yang jelas
dan dapat dipertanggungjawabkan. Performa dari konsep operasi tersebut direpresentasikan melalui simulasi berbasis software MATLAB®. Simulasi dirancang dalam bentuk yang modular sehingga perancangan simulasi untuk attitude control dapat diintegrasikan dengan simulasi yang dirancang oleh subsistem lainnya. Pengujian hardware dilakukan untuk memverifikasi desain yang telah disimulasikan dengan mengestimasi torsi yang dihasilkan oleh hardware magnetorquer. A. Sistem Kerangka Koordinat Attitude suatu benda tegar ditentukan dalam suatu kerangka koordinat ortonormal, yang didefinisikan sebagai koordinat kartesius 3 dimensi yaitu sumbu x, y, dan z yang saling ortonormal mengikuti kaidah tangan kanan. Kerangka koordinat yang umum digunakan [1] adalah ECI (Earth Centered Inertial Reference Frame), ECEF (Earth Centered Earth Fixed Reference Frame), ORF(Orbit Reference Frame), CRF(Controller Reference Frame ), dan SBRF (Satellite Body Reference Frame). B. Representasi Attitude Attitude benda tegar merupakan representasi dari arah suatu benda tegar yang didefinisikan dalam suatu kerangka koordinat terhadap kerangka koordinat yang menjadi referensinya. Secara sederhana, attitude benda tegar dapat dikatakan sebagai rotasi yang dialami benda dalam suatu kerangka referensi tertentu. Arah dan besar rotasi tersebut dapat direpresentasikan dalam beberapa bentuk. Yang umumnya dipakai adalah DCM (Direct Cosine Matrix), quaternion, dan sudut euler. DCM merupakan bentuk representasi yang dijamin nonsingular dan praktis dalam perhitungan, tetapi memiliki sembilan elemen yang enam diantaranya redundant. Quaternion merupakan bentuk lain yang juga dijamin nonsingular dan memiliki empat elemen saja sehingga hanya ada satu data redundant, tetapi bentuk ini tidak merepresentasikan secara langsung kondsi fisik benda. Sudut euler hanya memiliki tiga elemen yang merepresentasikan secara langsung kondisi sebenarnya dari benda, tetapi bentuk ini tidak terbebas dari singularitas apabila digunakan untuk perhitungan.
1stIndonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Karena kelebihan dan kekurangan masing-masing bentuk tersebut [3,4,5], maka didefinisikan persamaan yang menghubungkan bentuk-bentuk representasi tersebut. C. Attitude Determination and Control Determinasi dan kontrol attitude satelit dapat dilakukan apabila sistem memiliki informasi yang dibutuhkan dari sensor dan memiliki aktuator untuk melakukan kontrol. Pemilihan sensor dan aktuatordibatasi oleh banyak faktor: power budget, mass budget, dan volume budget yang didefinisikan lewat berbagai tingkatan design review selama perancangan satelit secara keseluruhan. Selain itu faktor-faktor seperti jenis dan protokol communication bus antar subsistem di dalam satelit, jenis dan jumlah payload, serta hal-hal teknis seperti platform peluncuran dan kebutuhan uplink/downlink data telemetri akan mempengaruhi kebutuhan akan jenis sensor dan aktuator yang digunakan. Sensor dan aktuator yang pernah digunakan oleh satelit-satelit berukuran kecil lainnya dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing seperti dijabarkan di [1,6] adalah sebagai berikut: Dimana aktuator yang dibahas dalam paper ini adalah magnetorquer sehingga mensyaratkan diperlukannya TABEL I CONTOH KONFIGURASI SENSOR PADA BEBERAPA SATELIT KECIL Satelit Sensor Tipe AAUSAT-II Three axis magnetometer HMC1023 Six sun sensors SLCD-61N8 (photodiodes) Six 1-axis rate gyroscopes ADXRS401 Ørsted Three axis magnetometer From DTU Three axis magnetometer From CNES Star camera From DTU Eight Sun sensors DTUsat Four axis magnetometer Sun sensors From DTU SSETI Three axis magnetometer HMR2300 Two 2-axis sun sensors From DTU NSO Three axis magnetometer Sun sensors Rate gyroscopes -
179
(magnetorquer) dan torsi gangguan. Torsi magnetorquer sendiri perhitungan berikut:
didefinisikan
𝑻𝒎𝒕𝒒 = 𝒎𝒎𝒕𝒒 × 𝑩𝒆𝒂𝒓𝒕𝒉 [𝑁𝑚]
dengan
(3)
Dengan mmtq didefiniskan sebagai: 𝑚𝑥 𝒎𝒎𝒕𝒒 = 𝑚𝑦 , dengan𝑚𝑖 = 𝑁𝑚𝑡𝑞 ,𝑖 𝑖𝑚𝑡𝑞 ,𝑖 𝐴𝑚𝑡𝑞 ,𝑖 𝑚𝑧
𝐽/𝑇 .
(4)
II. PERANCANGAN A. Mission Requirement Konsep misi yang diajukan sebagai awal pertimbangan perancangan subsistem-subsistem pada ITB-SAT terbagi menjadi misi utama dan misi sekunder. Misi utamanya adalah melakukan store & forward data dari dan ke GS(Ground Station)-ITB dan GS-ITS, atau broadcast data ke semua GS yang mungkin berpartisipasi, juga mengambil gambar wilayah tertentu dengan muatan kameranya. Misi sekunder adalah kepentingan penelitian untuk mengembangkan bidang keilmuan wahana antariksa khususnya bagi civitas akademika ITB. Dari deskripsi misi tersebut dapat disimpulkan misi utama dari subsistem ADCS (Attitude Determination and Control System) adalah melakukan pengendalian terhadap attitude satelit, khususnya pointing muatan kamera ke titik tertentu. Tetapi untuk melakukan operasi pointing diperlukan kondisi satelit dalam kondisi detumbled, yaitu kecepatan rotasi satelit di tiga sumbu mendekati nol.Visualisasi dari skema operasi subsistem ADCS dapat dilihat pada gambar berikut ini (citra bumi diambil dari Google Earth®):
magnetometer sebagai salah satu sensornya. D. Pemodelan Satelit Pemodelan satelit didasari oleh dinamika dan kinematika benda tegar dalam tiga sumbu rotasi. Persamaannya adalah sebagai berikut: 𝝎𝑪/𝑰 = 𝑰−1 𝑻𝒕𝒐𝒕 − 𝝎𝑪/𝑰 × 𝑰𝝎𝑪/𝑰
(1)
1
𝒒𝑪/𝑰 = 2 𝛀 𝝎 𝒒𝑪/𝑰 , dengan −𝜔𝑦 𝜔𝑥 𝜔𝑧 0 𝜔𝑥 𝜔𝑦 −𝜔𝑧 0 𝛀 𝝎 = 𝜔 0 𝜔𝑧 . −𝜔 𝑦 𝑥 −𝜔𝑥 −𝜔𝑦 −𝜔𝑧 0
(2)
I merupakan matriks inersia satelit yang perhitungannya dijabarkan di [1,2]. T adalah vektor torsi yang menjadi masukan bagi dinamika sistem, yang berasal dari torsi kontrol
Gambar 1. Skema Operasi ADCS pada Orbit
Berdasarkan pertimbangan dari penjabaran misi ITB-SAT [7], maka dikonsepkan beberapa poin yang menjadi requirement mendasar untuk desain ADCS pada ITB-SAT:
1stIndonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
1. ADCS mampu melakukan detumbling. 2. ADCS mampu melakukan operasi pointing. 3. ADCS dapat menghasilkan torsi minimum yang dapat mengeliminasi torsi gangguan. 4. ADCS memiliki jalur komunikasi yang kompatibel dengan subsistem lainnya. 5. Seluruh modul ADCS dirancang agar dapat dirangkai dalam satu mainboard yang memenuhi kriteria ukuran mainboard pada satelit, kecuali untuk sensor atau aktuator yang harus memiliki kompartemen atau penempatan khusus pada rangka satelit. 6. ADCS dapat mendeteksi dan mengkompensasi kegagalan fungsi sensor, aktuator, atau fungsi processing dan interfacing dari modul ADCS itu sendiri sampai batasbatas tertentu, sehingga menjamin reliability dan robustness dari sistem. 7. ADCS dapat dikendalikan secara otomatis maupun secara manual. Requirement di atas menjadi acuan dalam perancangan ADCS, tapi tidak mengikat secara permanen. Seiring dengan perkembangan perancangan tiap subsistem satelit, requirement tersebut dapat ditambah atau dikurangi sebagai bagian dari engineering process. Untuk memenuhi requirement tersebut, perancangan dibatasi oleh budget yang disediakan oleh satelit. Dari sisi subsistem ADCS, budget ITB-SAT yang menjadi batasan utama dalam perancangannya adalah volume budget, mass budget, dan power budget. Volume budget ITB-SAT didasari oleh dimensi rangka satelit itu sendiri, yang berbentuk kotak dengan ukuran 15x15x20 cm. Volume budget untuk subsistem ADCS mencakup mainboard kontrol untuk ADCS, yang besarnya tergantung cara penempatan mainboard ADCS, aktuator dan komponen driver-nya, serta sensor-sensor yang digunakan untuk ADCS. Mass budget ITB-SAT didasari oleh target massa total satelit yang direncanakan akan bernilai di bawah 20 kg. Budget massa tidak hanya dibatasi oleh massa total, tapi juga dari perancangan karakteristik inersia satelit yang diinginkan. Idealnya, massa satelit terdistribusi sedemikian rupa sehingga didapat karakteristik inersia yang memudahkan perancangan dari aspek-aspek tertentu, misalkan dari aspek controllability atau dari aspek integritas struktur satelit. Power budget ITB-SAT didasari oleh kemampuan subsistem EPS (Electrical Power System) menyuplai energi listrik yang digunakan oleh operasional satelit, baik dari daya yang dihasilkan oleh solar cell maupun dari baterai satelit. Daya tipikal yang dihasilkan solar cell berkisar antara 10 sampai 20 watt, untuk ukuran satelit 15x15x20 cm. Budget untuk subsistem ADCS dalam aspek daya ini berkisar di 1-3 watt. Dengan pertimbangan di atas dan referensi perbandingan dari [1,8,9] maka dipilih magnetorquer air-core sebagai aktuator di ITB-SAT.
180
B. Hardware Perancangan magnetorquer diawali dari batas-batas rancangan yang didasari oleh beberapa kondisi ideal yang diharapkan, diantaranya torsi minimum yang dibutuhkan dari aktuator, konsumsi daya, serta massa kumparan yang ditargetkan. Sebagai acuan digunakan disturbance model di [1], dimana total torsi gannguan untuk skenario terburuk adalah sebesar 51.88 [nNm]. Magnetorquer dirancang agar dapat menghasilkan torsi yang cukup untuk melawan efek disturbance torque sekaligus mengontrol attitude satelit. Prosedur perancangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Tentukan target disipasi daya magnetorquer. 2. Tentukan tegangan nominal yang digunakan dari EPS untuk drivermagnetroquer. 3. Dari poin 2 dan 3 dapat ditentukan arus nominal pada kumparan magnetorquer. 4. Tentukan nilai resistansi kumparan magnetorquer yang diinginkan dari nilai tegangan dan arus nominal. 5. Tentukan dimensi magnetorquer. 6. Cari jumlah lilitan pada kumparan magnetorquer agar menghasilkan resistansi yang sebelumnya ditentukan. 7. Iterasi antara jumlah lilitan, dimensi magnetorquer, torsi yang dihasilkan, massa kumparan, dan konsumsi daya magnetorquer. Dari proses tersebut didapat spesifikasi awal magnetorquer sebagai berikut: TABEL II CONTOH KONFIGURASI SENSOR PADA BEBERAPA SATELIT KECIL Satelit Sensor Tipe AAUSAT-II Three axis magnetometer HMC1023 Six sun sensors SLCD-61N8 (photodiodes) Six 1-axis rate gyroscopes ADXRS401 Ørsted Three axis magnetometer From DTU Three axis magnetometer From CNES Star camera From DTU Eight Sun sensors DTUsat Four axis magnetometer Sun sensors From DTU SSETI Three axis magnetometer HMR2300 Two 2-axis sun sensors From DTU NSO Three axis magnetometer Sun sensors Rate gyroscopes -
Spesifikasi kawat yang digunakan diambil dari standar di [10]. C. Software Perancangan simulasi dengan software dilakukan di simulation environment berbasis MATLAB Simulink®. Skenario untuk operasi pointing dimulai dari operasi paling sederhana untuk mengontrol attitude satelit sehingga nilai attitude kerangka SBRF terhadap ECI (yang digunakan dalam perhitungan kinematika satelit) menuju nilai tertentu. Kemudian dilakukan simulasi nadir pointing untuk menyimulasikan proses pengambilan citra bumi oleh muatan
1stIndonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Cross-Product Control Law Power Consumption vs Time 1.4 1.3 1.2 1.1 1
power (watt)
kamera. Operasi pointing lainnya adalah simulasi pointing manual, dengan melakukan kontrol pada rotasi satelit di sumbu yang diinginkan. Operasi detumbling disimulasikan dengan B-dot control law. Nilai inersia prinsipal satelit yang digunakan sementara untuk simulasi diambil dari karakteristik mekanik AAUSAT3[1], yaitu [0.0017 0.0022 0.0022] [kgm2] dengan total massa 957.82 [gr]. Dari keseluruhan operasi ditinjau kembali konsumsi daya dan settling time pengontrol sehingga didapat strategi kontrol yang feasible untuk kontrol ITB-SAT ke depannya. Output dari simulasi Simulink® ini adalah animasi sederhana attitude satelit saat berada di orbit.
181
0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0
25
50
75
100
125
150
175
200
225
250
275
300
325
350
375
400
time (sec)
Gambar 2. Grafik Simulasi Cross-Product Control Law untuk 3axisPointing Test
Simulasi kedua menyimulasikan operasi pointing dengan kontrol attitude di sumbu-z (yaw) diabaikan: Kp Kd αinit [rad] ωinit[rad/s] Settling Time [s] [3.5 3.5 0] [25 25 25] [π π/4 π/3] [0 0 0] 150 Tabel 2. Data Simulasi Operasi Pointing dengan Mengabaikan Kontrol Yaw Cross-Product Control Law (uncontrolled yaw) Attitude vs Time 150 Roll Pitch Yaw
125
attitude (B->I, deg)
100 75 50 25 0 -25 -50 -75 -100
0
25
50
75
100
125
150
175
200
225
250
275
300
325
350
375
400
300
325
350
375
400
time (sec)
Cross-Product Control Law (uncontrolled yaw) Power Consumption vs Time 1.4
Gambar 2. Cuplikan Animasi yang dihasilkan Simulink ® 1.2
A. Simulasi Pointing dengan Cross-Product Control Law Simulasi pertama menyimulasikan operasi pointing di tiga sumbu:
power (watt)
1
III. PENGUJIAN
0.8 0.6 0.4 0.2 0
Settling Time Kp Kd αinit[rad] ωinit[rad/s] [s] [3.5 3.5 3.5] [25 25 25] [π π/4 π/3] [0 0 0] 285 Tabel 1. Data Simulasi Operasi 3-axis Pointing Test Cross-Product Control Law Attitude vs Time 150 Roll Pitch Yaw
125 100
attitude (B->I, deg)
75 50
0
25
50
75
100
125
150
175
200
225
250
275
time (sec)
Gambar 3. Grafik Simulasi Cross-Product Control Law dengan Kontrol Yaw diabaikan
Ternyata dengan mengabaikan pengendalian rotasi di satu sumbu akan memberikan settling time yang lebih cepat dan konsumsi daya yang lebih hemat. Strategi ini dapat diaplikasikan untuk pointing muatan kamera karena prinsip kerjanya berdasarkan line of sight.
25 0
Simulasi ketiga menyimulasikan operasi nadir pointing:
-25 -50 -75 -100 -125 -150
0
25
50
75
100
125
150
175
200
225
250
275
300
325
350
375
Kp
Kd
αinit[rad]
ωinit[rad/s]
[3.5 3.5 0]
[25 25 25]
[π/3 -π/2 π/4]
[0 0 0]
400
time (sec)
Tabel 3. Data Simulasi Operasi Nadir Pointing
Settling Time [s] 400 (dengan koreksi berkala)
1stIndonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
182
attitude (O->B, deg)
Cross-Product Control Law for Nadir Pointing Attitude vs Time 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20 -30 -40 -50 -60 -70
Terlihat bahwa terjadi rotasi pada sumbu yang tidak dikehendaki. Diperlukan strategi lain untuk mengatasi masalah ini.
Roll Pitch Yaw
B. Simulasi Detumbling dengan B-dot Control Law Simulasi detumbling menggunakan ketentuan dan memberikan hasil berikut: 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
5500
6000
time (sec)
Cd
Cross-Product Control Law for Nadir Pointing Power Consumption vs Time
ωinit [rad/s]
αinit [rad]
1.4
[0 107 0]
1.2 1.1 1
power (watt)
Keterangan
B-dot control law bekerja sesuai teorinya. Konsumsi daya saat steadystate tetap tinggi. Tabel 5. Data Simulasi Operasi Detumbling dengan Pitch Magnetorquer
1.3
0.9 0.8
[π/16 π/16 π/16]
[π π π]
0.7 0.6 0.5 0.4
B-dot Control Law (Pitch Magnetorquer Only) Angular Rate vs Time
0.3 0.2 0.1 0
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
5500
6000
Gambar 4. Grafik Simulasi Cross-Product Control Law untuk Operasi Nadir Pointing
Dari simulasi nadir pointing terlihat bahwa pengendali akan menyesuaikan perubahan attitude yang terus terjadi sepanjang lintasan orbit satelit dengan konsumsi daya minimal.
angular rate (deg/s)
time (sec)
275 250 225 200 175 150 125 100 75 50 25 0 -25 -50 -75 -100 -125 -150 -175 -200 -225 -250 -275
x-axis y-axis z-axis
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
time (sec)
Simulasi berikutnya menyimulasikan operasi manual pointing dengan memanfaatkan cross-product control law sebagai angular rate control sebagai alternatif dari Y-Thomson control law[11].
B-dot Control Law (Pitch Magnetorquer Only - zoomed) Angular Rate vs Time 0.2 x-axis y-axis 0.15
Kd
[0 0 0]
[100 100 100]
ωinit [rad/s]
Keterangan
Settling time dan steady-state error kecepatan rotasi tergantung kepada [0 0 0] vektor medan magnet bumi. Terjadi nutation di sumbu lainnya. Tabel 4. Data Simulasi Operasi Manual Pointing [π/9 π/9 π/9]
angular rate (deg/s)
Cross-Product Control Law for Manual Pointing Angular Rate vs Time 1.3 1.2 1.1 1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1 -0.2 -0.3 -0.4 -0.5
0.05
0
-0.05
-0.1
-0.15
5000
6000
7000
8000
9000
10000
time (sec)
Gambar 6. Grafik Simulasi Operasi Detumbling dengan Pitch Magnetorquer pitch maneuver stop
0
50
100
Operasi detumbling berhasil dilakukan, tetapi diperlukan mekanisme switching dari pengendali B-dot control law ke cross-product control law saat sistem mencapai steady-state untuk mengurangi konsumsi daya.
x-axis y-axis z-axis
pitch maneuver start
150
200
250
300
350
400
450
500
550
600
650
700
time (sec) Cross-Product Control Law for Manual Pointing Magnetorquer Moment vs Time 0.4 0.35 0.3 0.25
magnetic moment (Am2)
angular rate (deg/s)
0.1
αinit [rad]
Kp
0.2 0.15 0.1 0.05 0 -0.05 -0.1 -0.15
C. Verifikasi Desain Magnetorquer Kumparan magnetorquer dibuat dari kawat single-build enameled dengan merk essex, agar spesifikasi yang tercantum di [10] dapat dijadikan standar yang akurat. Kawat yang dipilih berbahan copper dengan diameter kawat 0.2 [mm]. Ini setara dengan standar diameter kawat AWG 32 atau 33, tergantung tebal lapisan enamel sebenarnya. Spesifikasi selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:
-0.2 -0.25
x-axis y-axis z-axis
-0.3 -0.35 -0.4
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
600
650
time (sec)
Gambar 5. Grafik Simulasi Operasi Manual Pointing
Karakteristik 700
Diameter kawat
Nilai
Satuan
0.2 (copper, enamel warna hitam, merk Essex)
[mm]
1stIndonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Nmtq Rmtq Vsupply
400 106.1 8.1 (2s Li-ion 18650) Tabel 6. Spesifikasi Elektrik Prototipe Magnetorquer
Karakteristik Kumparan
dimensi massa dimensi
[turns] [Ω] [V]
Nilai
Satuan
10x10x1 (cincin kotak) 66 11.50x11.50x0.15 (kotak pejal)
[cm] [gr] [cm]
Frame Akrilik (per massa 30 lembar) Baut dimensi 3Øx12 (silinder pejal) Spacer massa 1 (satuan) Battery dimensi 65x36x18 (kotak pejal) pack massa 93 Inersia Prototipe Magnetorquer 5.115e-04 (sumbu putar di sumbu-z) Tabel 7. Spesifikasi Fisik Prototipe Magnetorquer
183
Tabel 8. Data Verifikasi Desain Prototipe Magnetorquer
Hasil pengujian menunjukkan proses desain magnetorquer akan menghasilkan magnetorquer yang sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Perbedaan nilai reaction time banyak disebabkan oleh pengaruh torsi puntiran kawat.
IV. KESIMPULAN [gr] [mm] [gr]
DAFTAR PUSTAKA
[mm] [gr]
[1] Kasper Fuglsang Jensen and Kasper Vinther, "Attitude Determination and Control System for AAUSAT3," Aalborg University, June 3, 2010. [2] Bryan Scott Gregory, "Attitude Control Design for ION, The Illinois Observing Nanosatellite," Marquette University, 2004. [3] Jack B. Kuipers, Quaternions and Rotation Sequence: A Primer with Applications to Orbits, Aerospace, and Virtual Reality. Princeton: Princeton University Press, 1921. [4] Kristian Svartveit, "Attitude Determination of The NCUBE Satellite," Norges Teknisk-Naturvitenskapelige Universitet, 2003. [5] Thomas Bak, "Spacecraft Attitude Determination - a Magnetometer Approach," Aalborg University, 1999. [6] Marcel J. Sidi, Spacecraft Dynamics and Control: A Practical Engineering Approach. Cambridge: Cambridge University Press, 1997. [7] ITB-SAT: memaparkan latar belakang dan perkembangan ITB-Sat. [Online]. http://itbsat.blogspot.com/ [8] Jan Hales, Martin Pedersen, and Klaus Krogsgaard, "Attitude Control and Determination System for DTUsat - a CubeSat contribution," Technical University of Denmark, March 22, 2002. [9] UKSEDS Students for the Exploration and Development of Space. [Online]. http://ukseds.org/opencubesat/?page_id=10 [10] Superior Essex Web site. [Online]. http://www.superioressex.com/magnetwire_support/defa ult.htm [11] Paul Vergez and Paul Tisa, "Performance Analysis of Control Algorithms for FalconSat-3," Department of Astronautics, USAF Academy, Tampa, 2006. [12] NOAA - National Oceanic and Atmosphere Administration. NOAA Web Site. [Online]. http://www.ngdc.noaa.gov/geomagmodels/IGRFWMM.j sp
[kgm2]
Magnetorquer diuji dengan metode sederhana, yaitu dengan mengukur waktu yang dibutuhkan magnetorquer untuk berputar sejauh 90 [deg] sampai bidang normal kumparan searah denngan kutub utara medan magnet bumi, yang didefinisikan sebagai reaction time magnetorquer. Nilai yang diharapkan diestimasi dengan kalkulasi di MATLAB™. Untuk mengestimasi torsi yang dihasilkan magnetorquer dalam perhitungan, digunakan kalkulator medan magnet bumi dari [12]. Test platform yang digunakan untuk mengukur performa magnetorquer dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 7. Test Platform untuk Verifikasi Desain Magnetorquer
Dari pengujian di atas didapat hasil pengukuran reaction time dibandingkan estimasinya menggunakan MATLAB™ sebagai berikut:
Reaction time [s] Estimasi Simulink® Hasil Test Platform 12.3 11.2
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
184
Analysis Of A Fiber Optic Gyroscope Based On Ring Resonator Y.A. Sahodo, A.Rubiyanto Departement of Physics, Institute of Technology Sepuluh November, Surabaya, Indonesian [email protected]
Optoelectronics based technology need developments to increased quality, velocity, and accuracy for optical sensing. Ring resonator fiber optics is useful to improve the performance of fiber optics sensors, such as gyroscope. Gyroscope fiber optic sensor works by take advantage light intensity changes resulting based on in position fiber optic rotation. Ring resonator composed of directional coupler and ring fiber optics. Ring resonators configuration consists of Basic Ring Resonator (BRR) and Single Ring Resonator (SRR). Beam sources configuration consists of single beam source, and double beam sources in ring resonator configuration. Transfer matrix method is used to analyzed ring resonator which combine with the coupled mode theory on directional couplers. The modeling has shown some improvements in the resonator performance, such as the increase of the transmission power and the reduction of the linewidth, when the interaction between the two beams is considered, with respect to the single beam ring resonator configuration.
II. THEORY 2.1 Basic Ring Configuration Configuration of basic ring resonator (BRR) consists of unidirectional coupling between a ring resonator with radius r and α loss coefficient of the ring waveguide, is described in Fig. 1. The various kinds of losses occurring the propagation of light in the ring resonator are incorporated in the attenuation constant, the interaction can be described by the matrix relation:
Key Words : Ring Resonator, Gyroscope, Transfer Matrix Method
I. INTRODUCTION
F
iber optic ring resonators has many applications in optical switching, photonic biosensor, laser resonators, add-drop filters, ring laser gyroscopes, and optical spectrum analyzers. The objective of this paper is to describe a gyroscope sensor using fiber optic ring resonators. The resonator fiber-optic gyroscope is used as recirculating ring resonator cavity, which is very similar to a Fabry-Perot cavity. Around the resonant frequency, output intensity changes greatly according to the phase delay per one turn[3]. Compared with traditional spinning mass gyros, fiber-optic gyros show significant advantages, lightweight, maintenance-free, reliable operation, wide dynamic range, low power, and low cost. Gyroscope have been used in a variety of fields, for example in aircraft navigation, oil drilling, rocket controlling, ship navigation, and etc[6]. Transfer matrix method is used to analysis propagating beams. This method has shown performance of ring resonators as a power transfer function, free spatial range (FSR), Full width at half maximum (FWHM), finesse (F), and quality factor (Q). Couple mode theory represented by constants in couplers parameters. The couplers constants parameters depend on the specific coupling mechanism are used[1].
Fig. 1 Model of a single ring resonator with one waveguide 𝐸𝑡1 𝑡 𝜅 𝐸𝑖1 = (1) 𝐸𝑡2 −𝜅 ∗ 𝑡 ∗ 𝐸𝑖2 The coupler parameters t and κ depend on the specific coupling mechanism used. The ∗ denotes the conjugated complex value of t and κ, respectively. The matrix is symmetric because the networks under consideration are reciprocal. Therefore 𝑡 2 + 𝜅2 = 1 In order to further simplify the model, E i1 is chosen to be equal to 1. Then the round trip in the ring is given by 𝐸𝑖2 = 𝛼. 𝑒 𝑗𝜃 𝐸𝑡2 From (1) and (3) we obtain −𝛼 +𝑡.𝑒 −𝑗𝜃
𝐸𝑡1 = −𝛼 𝑡 ∗ +𝑒 −𝑗𝜃
(4)
𝐸𝑖2 = −𝛼 𝑡 ∗ +𝑒 −𝑗𝜃
(5)
−𝛼𝜅 ∗
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. −𝜅 ∗
𝐸𝑡2 = 1−𝛼𝑡 ∗ 𝑒 𝑗𝜃 This leads to the transmission power 𝐸𝑡1 waveguide, which is 𝐸𝑡1
2
2
(6) in the output
𝛼 2 𝑡 2 −2𝛼𝑡cos (𝜃+𝜓 )
= 1+𝛼 2 𝑡 2 −2𝛼𝑡cos (𝜃+𝜓𝑡
(7)
𝑡)
2.2 Single Ring Resonator Configuration Configuration of single ring resonator (SRR), consisting of one input, one output waveguide and the ring resonator. The four ports of the ring resonator are referred to in the following as input port, throughput port, drop port and add port shown in fig 2.
Fig. 2. Model of Single Ring Resonator with add-drop port The various kinds of losses occurring the propagation of light in the ring resonator are incorporated in the attenuation constant, the interaction can be described by the matrix relation: 0 𝐸𝑡1 𝐸𝑖1 𝜅1 𝛼1/2 𝑒 𝑗 𝜃 1/2 𝑡1 0 𝑗 𝜃 1/2 𝜅 𝛼 𝑒 𝐸𝑡2 𝐸𝑖2 0 𝑡2 2 1/2 0 = (9) 𝑗 𝜃 1/2 ∗ −𝜅1∗ 0 𝐸𝑟1 0 𝐸 𝑟1 𝑡1 𝛼1/2 𝑒 ∗ ∗ 𝑗 𝜃 0 −𝜅2 𝑡2 𝛼1/2 𝑒 1/2 𝐸𝑟2 𝐸𝑟2 0 Ei1 and Ei2 is chosen to be equal to 1. Then 𝐸𝑟1 the field half round trip in the ring in right part ring resonator which clockwise propagation and 𝐸𝑟2 the field half round trip in the ring in left part ring resonator which counter clockwise propagation. From matrix transfer in (9) we obtain 𝐸𝑟1 = −
𝜅 1∗ +𝑡 1∗ 𝜅 2∗ 𝛼 1/2 𝑒
𝐸𝑡2 =
(12)
−
=
𝑡 2 −𝛼 1/2 𝑒
𝐷
Δ𝑓 = 𝑛𝜆 Ω (15) where, D, n, λ and Ω are the diameter of the fiber coil, the refractive index of fiber, the light wavelength and the angular rotation rate, respectively[6]. Very accurate and stable measurenment of rotation has been achieved using an interferometer based on the principle of having two counter-propagating beams, in this case using Sagnac effect on the ring resonator to be used gyroscope. Zero Sagnac phase shift can also be simulated by turning off the rotation signal from a gyroscope. In this principle Sagnac effect the frequency of the light is changed in a phasecontinuous, so that it changed resonant with the angular rotation of gyroscope. The modulation frequency and the amplitude of phase modulation 𝜔𝑚 = 2𝜋𝑓𝑚 and 𝜙𝑚 respectively changed the intensity of output port ring resonator gyroscope configuration. The detector is synchronized intensity of any variations in the output due to rotations[2]. 3. Sensor Design and Result Ring resonator has shown performance increase between the Basic Ring Configuration , and Singe Ring Configuration. Performance of ring resonator shown of power transfer, FSR, FWHM, finesse, and Q factor. Performance parameters has shown with r, λ dependence are the radius ring fiber optic and the wavelength, respectively. Transmisson power using equation (7) of basic ring resonator and equation (14) of single ring resonator is shown in fig. 4.
(13)
Equation above consist of equation simplfy of the model, that is 𝑡1 𝑡1∗ = 1 and 𝑡2 𝑡2∗ = 1 . In this calculation , 𝛼1/2 and 𝜃1/2 are used which are the half round trip loss and phase, 2 respectively. It is 𝛼 = 𝛼1/2 and 𝜃 = 2𝜃1/2 . At resonance, the output power from the drop port is given by 2
2.3 Principle of Operation Gyroscope A ring resonator in gyroscope is a key inertial sensing component in the ring fiber optic gyroscope . The gyroscope rotation consist of clockwise and counterclockwise resonances of the ring are separated by a frequency difference Δf
(10) (11)
𝐸𝑡2
Identical symmetrical couplers shown with t1 = t2 and 𝜅1 = 𝜅2 , is used to simplfy of the model [4].
𝑗𝜃 1/2
1−𝑡 1∗ 𝑡 2∗ 𝛼𝑒 𝑗𝜃 𝑗𝜃 ∗ 𝜅 2 +𝑡 1∗ 𝜅 2∗ 𝛼 1/2 𝑒 1/2 ∗ ∗ 𝑗𝜃 1−𝑡 1 𝑡 2 𝛼𝑒 𝑗𝜃 𝑗𝜃 𝑡 2 −𝛼 1/2 𝑒 1/2 𝜅 1∗ 𝜅 2∗ +2𝑡 1∗ 𝛼 1/2 𝑒 1/2 ∗ ∗ 1−𝑡 1 𝑡 2 𝛼𝑒 𝑗𝜃 𝑗𝜃 𝑡 2∗ 𝛼𝑒 𝑗𝜃 −𝜅 2∗ 𝜅 1 𝛼 1/2 𝑒 1/2 𝑡 1 −𝑡 1 𝑡 2∗ 𝛼 𝑒 𝑗𝜃 ∗ ∗ ∗ ∗ 𝑗𝜃 𝑗𝜃 1−𝑡 1 𝑡 2 𝛼𝑒 1−𝑡 1 𝑡 2 𝛼 𝑒
𝐸𝑟2 = −
𝐸𝑡1 =
185
𝑗𝜃 1/2
𝜅 1∗ 𝜅 2∗ +2𝑡 1∗ 𝛼 1/2 𝑒
1−𝑡 1∗ 𝑡 2∗ 𝛼𝑒 𝑗𝜃
𝑗𝜃 1/2
2
(14)
Fig 4. Transmision power of basic ring resonator and single ring resonator with r = 150 µm
In the output fiber optic, the light inteference of ring generate a resonant standing wave. Transfer matrix method is used to analysis propagating beams. In this case the travelling wave beams, intefere with counterpropagating beams in the ring,as generate a resonant standing wave. Performance of ring resonators as a power transfer function, free spatial range (FSR), Full width at half maximum (FWHM), finesse (F), and
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. quality factor (Q) has represented by r radius dependence. Figure 4 Shown performance of ring resonators with radius r = 150 µm consist of largest length peaks to peaks. To fabricated gyroscope with radius r = 150 µm will generate the highest accuracy, although nedded difficult procedure such as micro ring fabricated methods. Power transfer in the output fiber optic, determined by comparing the radius r of ring fiber optic. The difference of radius r corresponds of an accuracy and fabricated methods. The optimum corresponding from accuracy and fabricated methods is according to application gyroscope. Performance of basic ring resonator and single ring resonator consist of FSR, FWHM, finesse (F), and quality factor (Q). This parameters shown performance ring resonator, for gyroscope apllied. The mathematical relation between FSR and unit delay is given by 𝜆2
𝐹𝑆𝑅 = ∆𝜆 = 𝑛
(16)
𝑔𝐿
where ng is the group refractive index, L is the circumference of ring resonator. The next parameter of importance is the resonance width which is defined as the full width at half maximum (FWHM) or 2δλ of the resonance lineshape. The expression which assuming weak coupling and 𝜆 ≫ 𝛿𝜆 shown FWHM 𝜅 2𝜆2
𝐹𝑊𝐻𝑀 = 2𝛿𝜆 = 𝜋𝐿𝑛
(17)
𝑒𝑓𝑓
The finesse F of the ring resonators defined as the ratio of the FSR and the width of a resonance for a specific wavelength (FWHM). Finesse measure of the sharpness of the resonance 𝐹𝑆𝑅 𝐹 = 𝐹𝑊𝐻𝑀 (18)
186
Fig 6. Respone of frequency shifts of Single Ring Reconator Configuration with r = 150 µm
Frequency shift of Basic Ring Resonator and Single Ring Resonator has shown in figure 5 and figure 6 respectively. Frequency shift respone of Single Ring Resonator has shown free spatial range and largest length peaks to peaks have good performance than Basic Ring Resonator . Intensity dependence from Single Ring Resonator easily analysis using detector, because length from another frequency shift larger than Basic Ring Resonator. Intensity dependence performance has shown in figure 7 related of frequency shift respone.
𝜆
A parameters which related to the finesse is the quality factor Q of a resonator. It is defined as the ratio of the operation wavelength and the resonance width 𝑛 𝑒𝑓𝑓 𝐿
𝑄= 𝜆 𝐹 (19) The result of analysis consist of basic ring resonator and single ring resonator has shown in table 1. Table 1. Value of FSR, FWHM, F , Q respectively in BSR and SRR R Radius (r)
FSR (GHz) 1
150 µm
F FSR (λ)
FWHM
0.00166828 2
0.00013276
F 12.566
F Q (103) 11.675
208
Fig 5. Respone of frequency shifts of Basic Ring Reconator Configuration with r = 150 µm
Fig 6. Optical Intensity versus phase differences betwen resonant frequency of ring resonator
4. Conclusion Ring resonator fiber optics based on basic ring resonator and single ring resonator have anylized for gyroscope sensing. A gyroscope sensing consist of radius r = 150 µm have Frequency shift from Single Ring Resonator has shown largest Free Spatial Range ( FSR ) show and largest length peaks to peaks and highest accuracy to be applied. References [1] Cimeneli C. and Campenela C.E., Design of Passive Ring Resonators tobe Used For Sensing Applications,Europan Optical Society, vol 4, Italy, 2009. [2] Francis T.S. Yu and Y. Shizhuo, Fiber Optics Sensor, Pennsylvania State Univesity, Pennsylvania, 2008. [3] Mandal. S. and S. K. Ghosh etc, Modeling and Analysis of Fiber Optic Ring Resonator Performance as Temperature Sensor, vol 82, IFSA, Japan, 2007.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. [4] Rabus D. G., Integrated Ring Resonators The Compendium, spinger series, vol 127, New York, 2007. [5] Vali V. and Shorthill R. W., Fiber ring interferometer, Appl. Opt. ,New York, 1976. [6] Wang. Xijing, Digitalized Optical Ring Resonator Gyroscope Using Photonic Bandgap, University Of Tokyo, 6-10, 2008.
187
188
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
Desain On-Board Computer untuk Balloon Test ITB-Sat I.M Permata, S.R Fikri, dan Dr. W. Adiprawita Paper ini merupakan rencana desain dari OBC ITB-Sat, yang merupakan kerjasama antara Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) dan Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB. I.M Permata adalah mahasiswa Teknik Elektro STEI ITB (e-mail: [email protected]). S.R Fikri adalah mahasiswa Teknik Elektro STEI ITB (email: [email protected]). Dr.W.Adiprawita adalah Dosen Teknik Elektro STEI ITB (e-mail: [email protected]).
Abstrak—Arikel ini menjelaskan tentang desain On-Board Computer (OBC) untuk ITB-Sat pada tahap Balloon Test sehingga desain yang dibahas dalam artikel ini belum memasukkan parameter space grade. OBC yang didesain memiliki fungsi sebagai pengatur serta pengolah seluruh data dan perintah dalam ITB-Sat. OBC akan masuk ke dalam tiga mode, yaitu Telemetri Mode, SAFE Mode, dan Surveillance Mode. OBC yang didesain berbasis mikrokontroller ATMega128. Komunikasi antar subsistem dengan OBC menggunakan standar I2C dan Serial RS-232. Pada lapisan perangkat lunak, didesain khusus bootloader yang dapat mengantisipasi kerusakan data pada flash memory saat peluncuran dan memungkinkan update software saat mengorbit. Kata Kunci—ITB-Sat, On-Board Computer, Balloon Test, bootloader.
I. PENDAHULUAN TEKNOLOGI dirgantara kekinian menjadi salah satu tolok ukur dari kemajuan teknologi sebuah bangsa. Beberapa langkah inisiasi telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengembangkan teknologi dirgantara, seperti adanya Kompetisi Muatan Roket Indonesia dan proyek Iinusat (Indonesian inter University Satellite) yang mengolaborasikan berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk bekerja sama dalam mendesain dan mengimplementasikan satellite dengan misi tertentu. Salah satu harapan dari adanya proyek Iinusat ini adalah munculnya minat dan inisiatif dari civitas akademika di berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk megembangkan teknologi satelit. ITB sebagai salah satu perguruan tinggi yang ikut terlibat dalam proyek Iinusat ini ikut inisiatif dalam mengembangkan teknologi dan minat mahasiswa dalam perkembangan satelit dengan membuat proyek ITB-Sat. ITB-Sat memiliki misi untuk menerima dan meneruskan data dari Ground Station dan mengambil citra permukaan bumi di koordinat yang ditentukan. Koordinat bagian bumi yang ingin diambil gambarnya ditentukan dari Ground Station (GS). Misi ini memungkinkan kita bisa memantau bagian bumi yang ingin kita pantau karena bencana alam, dll. ITB-Sat memiliki dimensi 15x15x20 cm dengan berat 5kg.
Proses perancangan ITB-Sat melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah Ballon Test. Ballon Test ini memiliki fungsi sebagai uji fungsional dari desain satelit.Tahap berikutnya adalah Engineering Model. Dalam tahap ini parameterparameter khusus untuk kondisi temperature dan tekanan di luar angkasa sudah dipertimbangkan. Tahap ketiga adalah Flight Model. Pada tahap ini satelit yang dirancang telah lolos uji kondisi luar angkasa dan dinyatakan siap melalui proses peluncuran. Tujuan dari artikel ini adalah mendesain OBC untuk ITB-Sat dalam lingkup Ballon Test, sehingga dalam desain ini belum dimasukkan pertimbangan mengenai kondisi luar angkasa. OBC memiliki fungsi sebagai Command and Data Handling System (CDHS) dalam ITB-Sat yang mengatur dan mengemas data dari subsistem ke TTC (Tracking, Telemetry and Command) untuk dikirimkan ke GS dan sebaliknya. Subsistem yang terhubung pada OBC adalah Electric Power System (EPS), Payload (Camera Unit), dan ADCS (Attitude Determination and Control System). II. FUNGSI UTAMA OBC OBC yang didesain memiliki beberapa fungsi utama : A. Mengirimkan Data Telemetri OBC mengumpulkan data kondisi tiap subsistem satelit dan mengirimkan data tersebut ke GS agar GS dapat memonitor kesehatan satelit. Data yang dikumpulkan mencakup parameter berikut : 1) Tegangan setiap subsistem 2) Arus Setiap Subsistem 3) Tegangan baterai 4) Arus Baterai 5) Temperatur Setiap subsistem 6) Temperatur Baterai 7) Tegangan Solar Panel 8) Arus Solar Panel Data di atas dikumpulkan dengan melakukan pengecekan error dan dikemas untuk dikirimkan ke GS. B. Melakukan Decoding dan Mengeksekusi Telecommand Mengacu kepada misi yang telah ditentukan, yaitu SAFE (Store and Forward Experiment) mode dan Surveillance mode (mengambil citra bumi pada koordinat tertentu). Misi tersebut
189
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. akan dieksekusi oleh nanosatelit setelah GS mengirimkan telecommand berupa perintah masuk ke SAFE mode, Telemetry mode, atau ke Surveillance mode. Untuk Surveillance mode, OBC akan member perintah pada ACS untuk mengarahkan kamera pada koordinat tertentu, dan memerintahkan payload untuk mengambil gambar pada saat yang tepat. Selain itu, dari data telemetri yang diberikan, maka GS pun dapat memberikan perintah untuk mematikan subsistem tertentu. C. Surveillance Mode Pada mode ini OBC akan menerima pesan dari GS untuk masuk Surveillance mode dan mendapatkan koordinat yang diinginkan. Maka subsistem yang terkain langsung adalah ADS, ACS dan Payload Camera. Pada mode ini, OBC juga memiliki peran dalam Attitude Control, namun OBC tidak mengambil peran Attitude Control secara keseluruhan. Algoritma kendali untuk actuator akan dilakukan oleh subsistem ACS. Peran OBC di sini adalah memberikan data dari ADS ke ACS dan menentukan arah referensi yang harus dituju oleh ACS.
kita dengan mudah menambah subsistem baru tanpa merubah skematik rangkaian secara total. Hal ini dimungkinkan dalam ITB-Sat mengingat tahapan dari Balloon Test ke Flight Test masih cukup panjang dan masih dapat terpengaruh hasil dari nanosatelit Iinusat. Selain itu, standar tegangan kerja I2C adalah TTL sehingga bagus untuk satelit yang membutuhkan daya rendah. Komunikasi pada modul TTC seperti biasa menggunakan standar RS-232 karena menyesuaikan dengan modul TTC yang umu. Standar RS-232 juga digunakan pada subsistem ADS. Komunikasi subsistem ADS dipisahkan karena jika menggunakan standar I2C maka data dari ADS harus mengantri dengan subsistem atau menunggu diminta oleh OBC. Dengan adanya pemisahan, maka data dari ADS bisa terus menerus diakuisisi dengan jalur komunikasi sendiri. Data dari ADS yang diakuisisi oleh OBC akan diolah dan menentukan mode actuator dari ACS.
D. SAFE mode Dalam Store and Forward Experiment (SAFE) mode, OBC dapat menerima/mengirimkan pesan dari/ke GS. Data yang didapat dimasukkan ke dalam RAM dan digandakan ke MMC sebagai back-up. Dalam SAFE Mode ini ada beberapa perintah yang digunakan, yaitu STORE, menyimpan pesan dari GS. MESSAGE LIST, melihat ada berapa pesan yang disimpan dan mendapat indeksnya. DOWNLOAD, mengambil pesan dari OBC ke GS. DELETE, menghapus pesan yang tersimpan. Jika mode ini sudah sudah selesai maka OBC akan kembali ke mode Telemetri. Gambar 1 III. DESAIN OBC Desain yang akan dibahas terbagi menjadi dua bagian : desain perangkat keras dan desain perangkat lunak. A. Desain Perangkat Keras ITB-Sat memiliki beberapa subsistem : EPS, Payload, dan ADCS. Untuk Balloon Test, system ADCS dipisah menjadi ADS (Attitude Determination System) dan aktuator ACS (Attitude Control System). Blok diagram dari ITB-Sat dapat dilihat pada Gambar 1. Komunikasi antarmuka yang digunakan dalam arsitektur elektrikal ITB-Sat ini adalah Inter Integrated Circuit (I2C) dan RS-232. Komunikasi I2C digunakan untuk berkomunikasi dengan subsistem EPS, Payload, dan ACS karena masingmasing subsistem memiliki slave processor yang lebih fokus mengurusi subsistem tersebut dan mengemas data housekeeping untuk dikirim ke OBC. Antarmuka I2C dipilih karena antarmuka I2C dapat memudahkan komunikasi banyak subsistem dengan hanya dua jalur serial yaitu Serial Data Line (SDA) dan Serial Clock Line (SCL). Hal ini memungkinkan
Untuk Balloon Test ini, dipilih mikrokontroller ATMega128 sebagai prosesor utama. Direncanakan dalam Ballon Test ini akan diuji fungsionalitas system keseluruhan. Fitur I2C serta dua kanal RS-232 yang dimiliki ATMega128 mencukupi untuk menjawab kebutuhan diagram di atas. Secara umum, mikrokontroller ATMEGA128 memiliki spesifikasi berikut: Berdaya rendah 128 Kb Flash Program Memory 4Kb EEPROM 4Kb Internal SRAM Antarmuka I2C Dua kanal Serial RS-232 Antarmuka SPI Watchdog Timer Enam Sleep mode: Idle, ADC Noise Reduction, Power-Save, Power-Down, Standby, dan Extended Standby. Dengan dipilih ATMega128 sebagai prosesor utama, maka arsitektur OBC yang dirancang adalah sebagai
190
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. berikut.
Application Programming (IAP) dengan melakukan desain bootloader khusus. Terkait dengan poin sebelumnya, maka setiap OBC mulai menyala, bootloader akan melakukan pengecekan data flash memory terhadap data pada EEPROM. Berikut pada Gambar 3 adalah flow chart booting OBC ITB-Sat.
Gambar 2 Memory Storage yang digunakan adalah MMC dan bentuk komunikasi yang digunakan adalah SPI. Fitur Real Time Clock ditambahkan agar tersinkronisasi dengan waktu riil sehingga kejadian pentig dapat terekam dan didapatkan log-nya. Gambar 3 B. DesainPerangkat Lunak 1) Boot-up sequence Permasalahan yang sangat mungkin muncul adalah rusaknya data di flash memory prosesor saat satelit mengalami peluncuran. Hal ini bisa menyebabkan kerja satelit akan kacau karena firmware pada flash memory rusak. Untuk itu, diperlukan sebuah EEPROM (pada desain perangkat keras dipilih jenis MMC) yang sangat robust menghadapi kondisi peluncuran untuk menyimpan original firmware. Saat peluncuran telah selesai dan nanosatelit mulai mengorbit, maka OBC aktif dan akan melakukan pengecekan pada MMC. Kondisi awal, booting akan dilakukan ke EEPROM dan melakukan penulisan data firmware dari EEPROM ke flash memory. Akan didesain sebuah bootloader khusus yang dapat mendeteksi original firmware di EEPROM. 2) Uploading new software Setelah nanosatelit mengorbit, mungkin saja firmware yang telah terinstall baru diketahui terdapat „bug’, atau adanya penambahan/koreksi misi nanosatelit, atau dirasakan perlu untuk melakukan optimasi firmware sehingga OBC ITB-Sat didesain memiliki fitur update firmware setelah nanosatelit mengorbit. Untuk melakukan update firmware diperlukan strategi khusus karena dimungkinkan komunikasi tiba-tiba terputus, ataupun ukuran file firmware yang terlalu besar sehingga data tidak dapat dikirimkan dalam satu kali pengiriman. Untuk itu, metode yang digunakan dalam melakukan update firmware ini adalah melalui In-
Dalam melakukan update firmware, firmware yang diupload dari GS akan disimpan dalam EEPROM dengan penanda. Pengiriman data akan dibagi menjadi beberapa segmen, setiap segmen yang telah berhasil dikirim akan diberikan penanda sehingga jika terjadi putus komunikasi pada saat pengiriman data, maka pengiriman data akan dilanjutkan setelah segmen terakhir yang berhasil dikirimkan. Setelah semua segmen berhasil dikirimkan, maka akan diberikan pula sebuah penanda bahwa ada firmware baru yang siap diunduh ke flash memory. Maka OBC akan melakukan self-reset, lalu masuk ke dalam bootloader yang akan melakukan pengecekan penanda pada EEPROM, apakah ada firmware baru atau tidak. Jika ada, maka firmware yang diunduh ke flash memory adalah firmware baru, jika tidak ada, maka kembali ke original firmware. Original firmware tetap disimpan pada EEPROM agar bisa menjadi back-up jika firmware baru malah bermasalah. 3) Watchdog timer Masalah yang sangat mungkin terjadi setelah satelit mengorbit adalah OBC hang. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti adanya bug dalam firmware, radiasi dan suhu yang di luar batas, atau turunnya daya dari EPS. Saat OBC masuk ke dalam kondisi ini, maka semua fungsi nanosatelit akan terhenti, untuk itu diperlukan penanggulangan untuk kondisi ini. Dalam desain OBC ITB-Sat ini, digunakan watchdog timer yang berfungsi untuk melakukan reset di saat OBC hang. Ketika OBC reset, maka kembali booting dari awal, namun mode yang
191
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. dijalankan akan meneruskan mode sebelum reset sehingga jika reset dilakukan saat menjalani perintah dari ground station, OBC akan aktif melanjutkan perintah terakhir yang sedang dijalankan. Untuk itu, ketika OBC mendapatkan telecommand dari GS dan menjalankan mode tertentu, OBC akan menyimpan data state mode pada EEPROM. 4) Telemetri Mode Pada telemetri mode, OBC mengumpulkan data dari setiap subsistem dan melakukan packaging yang telah disepakati dengan aplikasi yang digunakan pada GS, lalu dikirim ke modul TTC untuk di-package dengan protokol AX.25 dan dikirimkan ke GS. Flow chart program dapat dilihat di Gambar 4.
Gambar 5
IV. KESIMPULAN
Gambar 4 5) SAFE Mode Pada SAFE Mode, OBC menunggu perintah dari GS dan langsung mengeksekusi perintah tersebut, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu STORE, MESSAGE LIST, DOWNLOAD, dan DELETE.
Desain OBC ITB-Sat telah dirancang untuk kondisi Balloon-Test, sehingga belum membahas lebih dalam mengenai pemilihan komponen space grade. Dipilih ATMega128 sebagai prosesor utama, dengan penggunaan Eksternal RAM, Real-Time Clock, dan MMC terintegrasi pada OBC. Komunikasi I2C dipilih sebagai komunikasi antar subsistem EPS, Payload, dan actuator attitude. Komunikasi Dengan ADS dan TTC menggunakan UART. Pada lapisan perangkat lunak, dirancang sistem bootloader yang mengantisipasi rusaknya data pada flash memory saat peluncuran dan memungkinkan update firmware saat mengorbit dengan segala keterbatasan komunikasi. Dirancang juga aplikasi pada Surveillance Mode, Telemetri Mode, dan SAFE Mode. REFERENSI [1]
[2]
6) Surveillance Mode Fungsi OBC pada Surveillance Mode adalah mendeteksi koordinat yang dilewati. Jika nanosatelit sudah mencapai koordinat yang dituju (dengan toleransi tertentu), maka OBC akan melakukan fungsi ADCS dan memerintahkan pada actuator untuk masuk tumbling mode, dan memberi perintah pada payload untuk mengambil gambar. Setelah gambar terambil, maka OBC akan menunggu komunikasi dengan GS, menunggu permintaan dari GS untuk mengirimkan gambar. Jika sudah terkoneksi, maka OBC memberikan perintah pada payload untuk mengirimkan data gambar dengan transmitter S-Band pada payload. Flow chart program dapat dilihat pada Gambar 5.
[3]
[4]
[5]
[6]
T.B Clausen,A Hedegaard,K.B Rasmussen, R.L Olsen, J Lundkvist, dan P.E Nielsen, “Designing On Board Computer and Payload for the AAU Cubesat”. M.N. Ayyaz, M.R. Suddle, S. Zahid, “Systems Design of an Economical and General PurposeOn-Board-Computer for Low-Earth-Orbit MicroSatellites”,Second Internatioanl Conference on Electrical Engineering, Pakistan,2008. M.Durna, H Urhan, O.turhan,O,Kozal, M.Gurun, “A New Generation On-Board Computer and Solid State Data Recordersuitable for Space Wire Platform”, recent Advance in Space Technologies, RAST 2007. G. Xu, S.Wang,J.Lin, Y.Liu, “A Novel Reconfigurable On-Board Computer Based on Soft Core CPU”, Proceedings of the 2009 IEEE International Conference on Mechatronics and Automation, Changchun, China. N.E Cornejo, “Fault Detection for the Delfi Nanosatellite Programme” Thesis on TU Delft, 2009. Application Note AVR 109 : Self Programming.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
192
Disain & Implementasi Command & Data Handling System (CDHS) Pada Satelit IiNUSAT-1 MS. Hendriyawan A.1, Thomas Sri Widodo2, Litasari3 1,2,3
1
Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No 2, Jogjakarta 55281
[email protected] [email protected] [email protected]
Abstraksi—Pada wahana satelit nano terjadi banyak proses dalam bentuk tugas yang harus diselesaikan agar misi utama bisa tercapai. Semakin banyak proses yang terjadi yang melibatkan komunikasi antar sub-sistem penyusun, maka membutuhkan pengendalian proses oleh sebuah unit yang disebut sebagai command & data handling system (CDHS). Subsistem CDHS berperan dalam mengatur lalu-lintas komunikasi data antar sub-sistem penyusun baik berupa informasi hasil akuisisi maupun perintah yang harus dikerjakan ke/dari stasiun bumi sesuai misi yang diemban. Dengan menggunakan mikroprosesor ARM 32-bit yang memiliki kemampuan komputasi yang cepat sangat menentukan kehandalan kinerja CDHS. Untuk mendukung operasi penanganan tugas yang kritis, dibutuhkan rancangan arsitektur perangkat keras meliputi jenis mikroprosesor utama, jalur komunikasi antar sub-sistem dan redundansi. Secara perangkat lunak, yaitu menerapkan RTOS (real time operating system) untuk mengelola tugas yang kritis secara realtime dengan waktu latensi seminimal mungkin dan menerapkan algoritma deteksi kesalahan (error detection) untuk memastikan komunikasi data berlangsung dengan benar. Kata kunci: Mikroprosesor ARM 32-bit, Redundansi, Real Time Operating System (RTOS), Error Detection.
I. PENDAHULUAN Satelit IiNUSAT-1 merupakan subyek penelitian bersama yang dijalankan oleh 6 institusi pendidikan yaitu: UGM, UI, ITB, ITS, PENS, ITT TELKOM, dan 1 institusi pemerintah yaitu: LAPAN, dan tergabung dalam bentuk konsorsium bernama INSPIRE (Indonesian Nano-Satellite Platform Initiative for Research and Education) [1]. Satelit IiNUSAT-1 tersusun dari beberapa sub-sistem yang saling terintegrasi, salah satunya adalah CDHS (command data handling system). CDHS berfungsi sebagai pengendali keseluruhan proses pada satelit dengan cara berkomunikasi dengan sub-sistem lain. Setiap sub-sistem yang terhubung dengan CDHS merepresentasikan tugas yang harus selesaikan secara realtime, untuk itu CDHS harus menyelesaikan tugas berdasarkan jadwal (scheduler) maupun pelayanan interupsi (interrupt driven) secepat mungkin tanpa ada kesalahan. Sehingga dibutuhkan rancangan baik perangkat lunak maupun perangkat keras dalam membangun sub-sistem CDHS. Ada 2 aspek yang dibutuhkan dalam merancang CDHS, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak. Pada rancangan perangkat keras terdapat beberapa pertimbangan dalam
merancang, pertama yaitu menentukan jenis mikroprosesor untuk pengendali utama [2] yang akan digunakan ditinjau dari jumlah tugas yang harus dilaksanakan secara realtime serta daya tahannya terhadap potensi gangguan radiasi angkasa [3] berdasarkan hasil pengujian maupun dari pengalaman yang sudah menggunakannya. Kedua yaitu metode komunikasi dengan sub-sistem yang lain (electronic power sub system [EPS], telemetry & telecommand [TTC], payload dan attitude determination & control system [ADCS]) apakah digunakan mode komunikasi bersama (shared bus) atau peer to peer [4]. Ketiga yaitu menyediakan pengendali cadangan jika pengendali utama gagal melakukan tugas, konsep redundansi ini bisa diterapkan dalam konfigurasi COLD Redundant maupun HOT redundant [4]. Pada perancangan perangkat lunak terdapat pertimbangan dalam merancang, pertama yaitu menerapkan sistem operasi pada pengendali utama yang bekerja secara real time dalam mengelola semua proses yang ada baik keluar maupun masuk untuk menyelesaikan tugas. Pemilihan jenis RTOS didasarkan pada kebutuhan sumber daya (resource) pada mikroprosesor yang digunakan, jenis preemptive maupun cooperative [5]. Kedua yaitu menerapkan algoritma deteksi kesalahan pada komunikasi data antara CDHS dengan sub-sistem yang lain. Deteksi kesalahan merupakan upaya untuk mencegah interpretasi yang salah oleh sebuah sistem dari data yang diterimanya, algoritma deteksi kesalahan yang umum digunakan adalah cyclic redundancy check (CRC) dengan menerapkan prinsip polynomial yang mudah diterapkan dan handal dalam mendeteksi kesalahan [6]. Dengan mengetahui adanya kesalahan pada paket data yang diterima, bisa dilakukan koordinasi 2 arah untuk mendapatkan kembali data yang benar, atau bahkan bisa dilakukan koreksi dengan algoritma yang lain. Pada paper ini, konsep CDHS menggunakan mikroprosesor jenis ARM 32-bit Cortex M3 sebagai pengendali utama yang harganya cukup murah jika dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki, baik dalam hal kecepatan maupun fasilitasnya. Dalam menyelesaikan semua tugas secara real time digunakan RTOS jenis preemptive untuk mengelola sumber daya/fasilitas dari mikroprosesor pengendali utama. Operasi yang dijalankan oleh RTOS pada dasarnya ada 2 hal yaitu polling berupa tugas-tugas yang sudah terjadwal seperti housekeeping, data logging dan heart beating, dan interrupt driven berupa permintaan layanan informasi kondisi satelit maupun kendali
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. sikap dari stasiun bumi. CDHS menggunakan 4 jalur komunikasi peer to peer jenis serial tak sinkron (UART) untuk berhubungan dengan 4 sub-sistem yang lain (EPS-TTCPAYLOAD-ADCS). Metode deteksi kesalahan CRC diterapkan pada setiap komunikasi data serial untuk menjamin tidak terjadinya eksekusi perintah yang salah atau interpretasi data akuisisi yang salah. Implementasi rancangan akan dibahas pada bagian 2. II. KONSEP RANCANGAN SISTEM Rancangan CDHS yang diajukan dapat dilihat pada gambar 1. Sistem tersusun dari beberapa bagian, yaitu satu pengendali utama berbasis mikrokontroler ARM 32-bit Cortex M3, driver komunikasi RS-232, sensor suhu, sensor arus, sensor tegangan dan external storage. A. Mikrokontroler pada CDHS Mikrokontroler yang digunakan adalah LPC1769 produksi NXP yang sudah melewati beberapa tahap pengujian standar militer sehingga sudah layak dijadikan sebagai pengendali utama CDHS pada satelit [7]. Terdapat banyak fasilitas yang bisa digunakan sesuai misi yang dijalankan, yaitu tersedia empat jalur komunikasi serial (USART) secara mandiri (bukan hasil multiplekser) yang mampu bekerja dengan kecepatan hingga 115200 bps, sehingga mampu melayani komunikasi data full duplex kecepatan tinggi dan akses empat jalur komunikasi bisa dilakukan secara real time tanpa terganggu adanya mutual exclusion (mutex) seperti pada jalur komunikasi bersama (I2C dan CAN) [8]. Selain itu, mikrokontroler tersebut juga menyediakan fasilitas ADC 12bit yang bisa digunakan untuk proses akuisisi data analog, seperti suhu, arus dan tegangan CDHS yang bisa digunakan untuk mengukur kondisi lingkungan dan kesehatan sistem.
193
penanganan komunikasi serial untuk setiap jalur komunikasi, hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya mutex pada jalur komunikasi serial, sehingga akan meningkatkan bandwith komunikasi antara CDHS dengan sub-sistem lain. Implementasi deteksi kesalahan berupa fungsi yang akan digunakan pada setiap proses komunikasi data serial untuk memeriksa kesalahan paket data yang masuk dan keluar. B. Real Time Operating System (RTOS) Skema kerja RTOS pada CDHS yang terjadwal secara garis besar dapat dilihat pada gambar 2. Terdapat beberapa tugas terjadwal yang dikerjakan oleh RTOS, setiap tugas memiliki waktu penyelesaian yang berbeda-beda tergantung pada banyaknya proses yang dikerjakan. Dapat dilihat bahwa tugas mengumpulkan data housekeeping dari sub-sistem selain CDHS (task2,3,4,5) bisa didapatkan tanpa saling menunggu karena bisa dilakukan secara serentak oleh RTOS. Untuk task6 dan task7 akan selesai jika task2,3,4,5 juga selesai. Untuk task8 berfungsi sebagai generator detak (heart beat) untuk mereset nilai watch dog timer (WDT) sebagai penanda untuk unit redundant bahwa kendali utama masih bekerja dengan baik.
Task-8 Heart Beating
Task-1 Housekeeping CDHS
Task-2 Housekeeping EPS
Task-7 Transmitting BEACON
RTOS
Task-3 Housekeeping TTC subsys.
Task-6 Housekeeping Data Logging
Task-5 Housekeeping ADCS
Task-4 Housekeeping Payload subsys.
Deteksi Error (CRC)
EPS
RS232
UART0
ADC0
Sensor V
TTC
RS232
UART1
ADC1
Sensor I
Gambar 2. Skema Kerja RTOS pada CDHS
RTOS PYL
ADCS
RS232
RS232
UART2
I2C
UART3
SPI
Sensor T
Storage
CDHS based on uC 32-bit ARM Cortex M3 LPC1769
Gambar 1. Skema Kerja CDHS
Seluruh proses yang dikerjakan oleh RTOS dijadwal dengan kecepatan yang ditentukan dari tick time yang digunakan [5]. Pada umumnya digunakan 10 mdetik untuk menjamin hasil eksekusi secara real time yang diperoleh dari timer internal mikrokontroler. Mikrokontroler berkomunikasi dengan subsistem lain menggunakan port serial UART secara terpisah. Sehingga dalam penerapan RTOS akan dibuat tugas
C. Konsep Redundansi CDHS memiliki fungsi yang sangat penting pada operasional satelit dan tidak boleh terjadi kegagalan sistem yang fatal, sehingga harus tersedia sistem cadangan yang bisa menggantikan pengendali utama dalam bekerja [9]. Pada gambar 3 dapat dilihat skema redundansi CDHS. sistem redundansinya menggunakan jenis COLD yang tidak menyediakan image memory dari proses yang berlangsung sebelumnya, dan ini merupakan kelemahan dari sistem ini. Namun dari sisi lain memiliki kemudahan implementasi pada satelit dengan misi sederhana. Sistem cadangan secara normal dalam kondisi sleep sehingga tidak menghabiskan daya yang besar dan akan terbangun jika sistem utama gagal melakukan prosedur standar. Kegagalan sistem utama dideteksi oleh
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
194
sistem cadangan dengan menggunakan output watch dog timer (WDT) yang nilainya selalu di reset oleh detak aktifitas (heart beat) dari sistem utama dengan periode konstan. Jika sistem utama berhenti mengeluarkan detak aktifitas maka WDT akan terpicu dan membangunkan sistem cadangan untuk menggantikan sistem utama.
Start
Initializing
Wakeup
Redundant Status: Inactive
Redundant Status: Active
UART0 UART1
UART
EPS
No
UART2 UART3
Heart Beat
WDT
Main Controller
UART
TTC
Sleep
Switch communication bus to redundant system
Heartbeat Detected ?
Running RTOS
Yes
Acknowledge
No
UART0
UART
PYL
UART
ADCS
Switch communication bus to main system
UART1
Heartbeat Detected ?
Yes
UART2 UART3
Redundant
Gambar 4. Diagram Alir Kerja Sistem Cadangan.
Comm. Line Ctrl
Gambar 3. Skema COLD Redundant pada CDHS
Alur kerja sistem cadangan bisa dilihat pada gambar 4. Secara normal, kondisi sistem cadangan adalah sleep dan akan terbangun jika mendapatkan signal wakeup dari WDT sebagai indikasi sistem utama yang gagal. Dalam konsep ini tidak ada image memory dari proses terakhir sistem utama yang digunakan oleh sistem cadangan karena memang tidak tersedia, hal ini akan mengakibatkan kehilangan informasi status proses terbaru maupun data terbaru yang diterima oleh sistem utama dan itu adalah kelemahan dari model ini. Namun kehilangan data dari proses yang belum selesai pada sistem utama karena gagal bekerja juga akan dialami oleh CDHS dengan sistem cadangan yang menggunakan image memory, dengan asumsi terjadi kegagalan yang fatal, misalkan terjadi shut down secara mendadak. Setelah bangun dari kondisi tidur, sistem cadangan akan mengeluarkan output bernilai HIGH pada pin acknowledge, hal ini bertujuan agar saat sistem utama kembali pulih akan menunggu sistem cadangan selesai mengerjakan semua tugas secara penuh dan bus komunikasi dikembalikan pada mode normal, hingga output acknowedge kembali bernilai LOW yang menandakan bahwa sistem utama sepenuhnya berhak mengendalikan operasi CDHS. Saat sistem cadangan aktif, seluruh komunikasi data serial dengan subsistem lain dialihkan menuju port komunikasi serial dari sistem cadangan menggunakan piranti saklar digital. Tidak ada perbedaan prosedur operasi komunikasi data antara sistem utama dengan sistem cadangan, akan tetapi identitas yang ditanam pada sistem yang akan membedakannya.
D. Deteksi Kesalahan Dengan kondisi ruang angkasa yang penuh dengan potensi gangguan berupa radiasi kosmis dan suhu, sangat mungkin mengganggu jalur komunikasi data serial antara CDHS dengan sub-sistem lain yang terhubung. Kerusakan data bisa menimbulkan interpretasi yang salah bagi unit yang menerimanya. Sehingga perlu rancangan perangkat lunak untuk mendeteksi adanya kerusakan data pada sebuah paket informasi. Pada penelitian ini menggunakan deteksi koresi dengan metode cyclic redundancy check (CRC) yang umumnya banyak digunakan pada komunikasi data karena sederhana dan handal [6]. CRC pada dasarnya menggunakan operasi pembagian polynomial dari byte data informasinya. Yang terpenting adalah antara dua sisi yang berkomunikasi memiliki kesepakatan penggunaan generator polynomial yang akan digunakan untuk mengetahui informasi aslinya agar diketahui apakah terjadi kerusakan data. Untuk menghitung polinomial dari bit data informasi ditunjukkan oleh rumus 1. Nilai pi adalah kosntanta berupa bit ke-i dari informasi [6].
ux i 0 pi x i n
(1)
Nilai polinomial u(x) yang diperoleh selanjutnya diproses bersama polinomial generator g(x) untuk menghasilkan nilai CRC dari informasi yang akan dikirimkan s(x), bisa dilihat pada rumus 2 [6].
sx ux .x nk vx
(2)
Pada rumus 2, nilai v(x) adalah sisa dari pembagian 5 4 2 ux .x nk oleh g(x), Dalam kasus ini nilai g(x) = x + x + x + 1 yang sebelumnya sudah disepakati oleh pengirim dan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. penerima [6]. Gambar 5 menunjukkan alur proses pengiriman paket informasi pada sisi pengirim yang disertai dengan CRC sebagai informasi pendukung untuk mendeteksi kesalahan oleh penerima. Start
Information Buffering
195 III. IMPLEMENTASI SISTEM
Eksperimen yang dilakukan fokus pada 2 hal, yaitu implementasi jalur komunikasi serial dengan format RS232 pada CDHS untuk berkomunikasi dua arah full duplex dengan sub-sistem yang lain (EPS-TTC-PAYLOAD-ADCS), dan implementasi RTOS dalam penanganan seluruh tugas yang harus diselesaikan oleh CDHS. A. Komunikasi Data Serial Gambar 7 menunjukkan purwarupa CDHS menggunakan mikrokontroler 32-bit ARM LPC1769 dengan clock sebesar 100MHz. Terdapat 4 jalur komunikasi serial yang bisa digunakan secara parallel. Dengan menggunakan konsep FIFO secara internal akan mecegah kehilangan data saat terjadi interupsi serial masuk pada beberapa port secara bersamaan. Dalam eksperimen ini kapasitas FIFO yang digunakan sebesar 16 karakter.
CRC Calculation
Information + CRC
Sending Information
End
Gambar 5. Diagram Alir Pengiriman Paket Informasi
Pada sisi penerima, dengan menggunakan polinimial generator yang sama seperti pada sisi pengirim, dilakukan kalkulasi CRC dari paket data yang diterima dan kemudian membandingkannya dengan nilai CRC yang disertakan pada paket data terima. Gambar 6 menunjukkan alur proses penerimaan paket data. Start
Receive Packet
Get Information from packet
Gambar 7. Purwarupa CDHS
Masing-masing port komunikasi serial menggunakan format komunikasi RS-232 tak sinkron dengan kecepatan hingga 115200 bps, 8-bit data, tidak menggunakan bit parity dan 1-bit stop. Tabel 1 menunjukkan hasil pengujian nilai error yang sudah dilakukan dengan beragam kecepatan dalam kondisi ideal tanpa ada gangguan lingkungan dengan mengirimkan data dengan lebar 100 karakter.
X = Get CRC value from Packet
Y = Calc. CRC value from information
TABEL I. UJI ERROR BAUDRATE X=Y?
no
Set defect status
yes Send Acknowledge Information handling
End
Gambar 6. Diagram Alir Penerimaan Paket Informasi
No 1 2 3 4 5 6 7
Kecepatan (bps) 1200 2400 4800 9600 19200 38400 115200
Error (%) 0 0 0 0 0 0 0
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. B. Implementasi RTOS Pada eksperimen dilakukan pengamatan terhadap foot print pada memory RAM internal mikrokontroler, yang menunjukkan pemakaian memory untuk operasional. RTOS yang digunakan pada percobaan adalah CoOS dari CooCox dengan jenis preemptive. Pada tabel 2 menunjukkan penggunaan segmen memori RAM untuk operasional RTOS berdasarkan jumlah task yang dikerjakan. Pada eksperimen, setiap task hanya berisi fungsi tunda sebesar 50 * tick_time dan nilai tick time yang digunakan adalah sebesar 10mdetik. TABEL II. UJI MEMORY FOOTPRINT PADA RTOS No.
n-Task
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Task 2 Task 3 Task 4 Task 5 Task 6 Task 7 Task 8 Task
Text Seg. (byte) 6400 6444 6488 6532 6576 6620 6664 6708
Data Seg. (byte) 12 12 12 12 12 12 12 12
BSS Seg. (byte) 2608 3120 3632 4144 4656 5168 5680 6192
TOTAL (byte) 9020 9576 10132 10688 11244 11800 12356 12912
Sesuai dengan tabel 2, setiap penambahan satu jumlah task nya mengakibatkan penambahan ruang RAM sebesar 556 byte. Jika dibandingkan dengan kapasitas RAM yang dimiliki oleh mikrokontroler LPC1769 sebesar 32Kbyte, nilai kenaikan tersebut masih sangat layak. Pada tabel 3 menunjukkan hubungan antara jumlah task yang dimiliki terhadap konsumsi daya yang dibutuhkan. Dan hasilnya menunjukkan bahwa kedua parameter tersebut tidak ada hubungan secara linier, artinya kenaikan jumlah task tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap konsumsi daya yang digunakan. Hal ini karena dengan menggunakan metode penjadwalan oleh scheduler berdasar pada periode tick time untuk melakukan pengirisan terhadap semua task yang dikerjakan. Sehingga dalam 1 tick hanya ada 1 task.
yang bersifat modular yang membutuhkan solusi komunikasi saat terdapat jarak yang terlalu panjang dan cukup beresiko tinggi menimbulkan kerusakan data jika digunakan jenis komunikasi serial lain, misal I2C. Probabilitas terjadi kerusakan data pada komunikasi serial pasti ada, terlebih di ruang angkasa, sehingga disetiap komunikasi data serial digunakan metode deteksi kesalahan yang populer digunakan yaitu cyclic redundancy check (CRC). Semakin panjang polinomial yang digunakan maka semakin baik dalam mendeteksi kesalahan. Dengan konsep CRC yang disepakati antara pengirim dan penerima, maka kesalahan bit akan mudah dideteksi dan juga bisa diterapkan koreksi kesalahan. Dari sisi perangkat lunak digunakan real time operating system (RTOS) untuk mengelola seluruh aplikasi yang dijalankan oleh CDHS. Salah satu alasan pemilihan RTOS didasarkan pada seberapa besar ruang memory RAM yang digunakan. Dengan menggunakan RTOS, seluruh tugas dikerjakan mendekati waktu nyata sehingga tidak ada tugas maupun even masukan yang terlewatkan. REFERENCES [1]
[2] [3]
[4]
[5]
[6]
TABEL III. JUMLAH TASK VS DAYA No. 1 2 3 4 5 6 7 8
n-Task 1 2 3 4 5 6 7 8
Daya (mwatt) 384.556 402.844 384.048 388.112 383.032 403.352 393.192 385.064
IV. KESIMPULAN Pada penelitian ini, implementasi CDHS dititik beratkan pada rancangan komunikasi serial menggunakan non shared bus, yaitu konsep komunikasi parallel antara CDHS dengan 4 sub-sistem lain pada jalur yang terpisah untuk meningkatkan kinerja dan kemudahan dalam membangun komunikasi data. Dari percobaan yang dilakukan sudah berhasil dilakukan komunikasi data pada 4 port serial dengan berbagai tingkat kecepatan dan memiliki nilai error 0%. Dengan menggunakan format RS-232 sangat cocok digunakan pada wahana satelit
196
[7]
[8]
[9]
INSPIRE (Indonesian Nano-Satellite Platform Initiative for Research & Education). Available at: www.inspire.or.id. Last visited: November, 2011. Gerard Aalbers, Georgi N. Gaydadijev, Rouzbeh Amini, ”CDHS Design for a University Nano-Satellite”, IAC-06-B5.7.05, 2005. Jake A. Schaffner, “The Electronic System Design, Analysis, Integration, and Construction of the Cal Poly State University CP1 CubeSat”, 16th AIAA/USU Conference on Small Satellites, 2002. S. de Jong, G.T. Aalbers, J. Bouwmeester, “Improved Command And Data Handling System”, 59th International Astronautical Congress, Glasgow, Scotland, UK, 29 September - 3 October, 2008. S. Ramanarayana Reddy, “Selection of RTOS for an Efficient Design of Embedded Systems”, IJCSNS International Journal of Computer Science and Network Security, VOL.6 No.6, June 2006. P. Koopman, T. Chakravarty, “Cyclic Redundancy Code (CRC) Polynomial Selection For Embedded Networks”, The International Conference on Dependable Systems and Networks, DSN-2004. NXP Product Brochure - High performance aerospace and defense solutions. Available at: www.nxp.com/documents/.../75017008.pdf. Last visited: November, 2011. NXP Semiconductors. UM10360 - LPC17xx user manual. Available: http://ics.nxp.com/support/documents/microcontrollers/pdf/user.manual. lpc17xx.pdf. Last visited: November, 2011. David D. Stott. et.al. “The NEAR Command and Data Handling System”, Johns Hopkins Apl Technical Digest, Volume 19, Number 2. 1998.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011.
197
Aplikasi Thermal Tape sebagai Thermal Control Subsystem pada Nano Satelite Iinusat - 02 T. Londong dan E. N. Amalina T. Londong dari Bidang Studi Telekomunikasi dan Multimedia, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (e-mail: [email protected]). E. N. Amalina dari Bidang Studi Telekomunikasi dan Multimedia, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (e-mail: [email protected]).
Abstrak— Subsistem kontrol termal adalah salah satu subsistem yang penting dalam pengamatan perubahan suhu yang terjadi pada satelit. Fungsi dari subsistem kontrol termal (TCS) adalah untuk memperpanjang masa pakai semua pesawat ruang angkasa dan komponen muatan dan subsistem dalam batas temperatur yang tertentu untuk setiap misi. Batas suhu meliputi suhu terdingin minimal dan suhu terpanas maksimal yang tidak boleh dilebihi. Kedua batas tersebut sering didefinisikan sebagai batas dimana komponen satelit harus tetap beroperasi dan batas ketahanan komponen sekalipun dalam kondisi tidak terdapat catu daya. Apabila terjadi suatu kondisi yang melampaui batas ketahanan temperatur maksimal dapat berakibat kerusakan permanen pada komponen. Pada study ini kami berusaha mengidentifikasi teknik Thermal Control dengan pendekatan – pendekatan dan komponen pada satelit remote sensing menggunakan Thermal Tape untuk diterapkan pada proyek Iinusat – 02 yang akan datang. Dimana dari studi yang telah dilakukan sebelumnya [1] didapatkan data bahwa teknik Passive Thermal control (PTC) lebih mungkin untuk digunakan pada satelit – satelit tersebut dibandingkan metode Active Thermal Control (ATC). Kata Kunci—Nano Satellite, Thermal Control, Thermal Tape.
Thermal
Control, Passive
I. PENDAHULUAN
S
ubsistem kontrol termal adalah salah satu subsistem yang penting dalam pengamatan perubahan suhu yang terjadi pada satelit, bahkan sebuah nanosatelit memiliki TCS [1]. Thermal Control pada satelit adalah proses manajemen energy dimana pemanasan lingkungan di sekitarnya memegang peranan penting. Bentuk dasar dari pemanasan oleh lingkungan pada orbit satelit adalah paparan sinar matahari secara langsung, sinar matahari yang dipantulkan oleh bumi (albedo), energi infrared (IR) yang dipancarkan oleh bumi. Selama peluncuran, kecuali pada satelit dengan orbit Low Earth Orbit (LEO), juga terdapat efek pemanasan molekul yang disebabkan oleh gesekan pada lapisan atas atmosfer bumi. Fungsi dari subsistem kontrol termal (TCS) adalah untuk
memperpanjang masa pakai semua pesawat ruang angkasa dan komponen muatan dan subsistem dalam batas temperatur yang tertentu untuk setiap misi. Secara umum, teknik TCS dibagi menjadi dua yaitu Passive Thermal Control (PTC) dan Active Thermal Control (ACT). PTC memanfaatkan sifat – sifat bahan, metode coating dan surface finished (seperti selimut atau lapisan cermin kedua) untuk mengatur batas temperatur. ATC, yang pada umumnya memiliki desain jauh lebih kompleks dan mahal, mengatur temperature dengan beberapa metode aktif seperti heater atau thermo-electric cooler. Pada umumnya, metode Thermal Control dengan biaya murah bekerja dengan menjaga agar pesawat luar angkasa beroperasi pada suhu terendah pada rentang suhu yang diijinkan. Pada studi ini kami berusaha mengidentifikasi teknik Thermal Control dengan pendekatan – pendekatan dan komponen pada satelit remote sensing menggunakan Thermal Tape pada nanosatelite dengan orbit LEO. Beberapa batasan mempengaruhi desain Thermal Control satelit. Lapisan terluar nanosatellite biasanya tertutup oleh Solar Cells untuk mendadapatkan daya sebesar mungkin. Solar Cell yang bersifat sebagai penyerap panas dan tersebar pada hampir seluruh permukaan satelit dan papan rangkaian yang menanggung heat load yang cukup tinggi sehingga sulit untuk menyerap panas yang dikeluarkan komponen seperti power amplifier. Solusi penggabungan biasanya berdampak pada pengurangan massa dan desain satelit yang semakin meninggalkan sedikit ruang untuk penempatan plate pendingin atau radiator. Dari studi yang telah dilakukan sebelumnya [2] didapatkan data bahwa teknik Passive Thermal control (PTC) lebih mungkin untuk digunakan pada satelit – satelit tersebut dibandingkan metode Active Thermal Control (ATC). Hal ini tentunya sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut terutama oleh para desainer dan user, karena PTC memiliki ketahanan yang tinggi serta membutuhkan catu daya yang lebih sedikit. Selain itu, teknik ini lebih murah dibanding ATC. II. TEORY PENUNJANG A. Satelit Nano Sejumlah kelompok peneliti di dunia kini melakukan penelitian pada desain dan pengembangan satelite dalam
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. ukuran kecil. Satelit ini ditujukan khususnya untuk para pelajar dan proyek satelit universitas dengan biaya yang terjangkau. Karena harga sebuah pesawat luar angkasa seperti satelit bergantung pada kompleksitas desain, sistem dan ukuran satelit itu sendiri. Sehingga dengan adanya satelit berukuran kecil ini memungkinkan mereka untuk turut berpartisipasi dalam bidang space engineering dan space science. Nano satelit adalah salah satu tipe satelit kecil yang berpotensi untuk terus berkembang dalam industri ini kedepannya. Nano satelit ditujukan pada satelit total massa 1 sampai 10 kilogram. B. Thermal Control pada Satelit Nano Satelit didesain untuk keperluan tertentu dan dikontrol pada jarak yang cukup jauh di bumi. Karena satelit berada jauh dari bumi, maka satelit akan mengalami suhu yang ekstrim sehingga diperlukan sebuah pengontrol termal agar satelit dapat bekerja dengan baik. Dengan permukaan luar yang lebih luas dibandingkan permukaan dalamnya, satelit berukuran kecil (mikro, nano dan piko) sangat rentan terhadap paparan panas radiasi matahari dan IR dari Bumi. Dikombinasikan dengan sistem terintegrasi yang dapat menghabiskan sejumlah besar daya tentunya membutuhkan desain yang khusus pada TCS satelit. Terlebih lagi, satelit berukuran kecil dengan orbit LEO mengakibatkan tigginya siklus thermal yang terjadi pada satelit saat berada di daerah dengan paparan langsung matahari dan pada daerah
198
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk penggunaan PTC lebih praktis dan tidak membutuhkan daya yang tinggi, namun tidak tahan terhadap lingkungan dengan suhu yang ekstrim. Sedangkan ATC cocok pada lingkungan dengan suhu ekstrim karena dengan pengontrol otomatis yang membuat satelit dapat mengubah gerak dan dapat menyesuaikan suhu di luar angkasa. Sebuah sistem PTC tidak melibatkan bagian yang bergerak dari cairan. Komponen satelit dipertahankan dengan suhu tetap pada kisaran yang diinginkan. Namun, dalam pembuatan desain dengan teknik PTC tidak bisa pada lingkungan yang ekstrem atau untuk mengakomodasi peralatan yang membutuhkan daya tinggi, sehingga teknik ATC mungkin lebih efisien. Dalam kasus tersebut, desain dapat dilakukan dengan menggunakan pemanas, louver, pipa panas, pendingin termoelektrik, pendingin kriogenik, dan dipompa loop cairan [3]. III. METODOLOGY Ada beberapa teknik Thermal control yang dapat diterapkan pada satelit nano. Namun, ada beberapa kriteria yng harus dipenuhi terlebih dahulu yaitu : • Metode tersebut harus dapat menyediakan properti transfer panas yang dibutuhkan seluruh area permukaan satelit. • Metode tersebut harus dibuat sesederhana mungkin untuk menghindari kompleksitas dalam desain TCS • Mass budget untuk TCS sangat terbatas sehingga metode yang dipilih harus dibuat seringan mungkin. • Metode tersebut harus mudah diadaptasi untuk konfigurasi material Thermal Conrol karena beberapa penyesuaian terhadap perangkat Thermal Control mungkin dibutuhkan selama proses pengembangan kedepannya. • Metode tersebut harus memungkinkan perbaharuan dan perbaikan perangkat tanpa kesulitan yang berarti. Penggunaan Thermal Tape adalah salah satu solusi yang memenuhi beberapa kondisi tersebut. Thermal Tape digunakan untuk memantulkan sebagian dari sinar matahari dan memancarkan panas. Thermal tape dapat dengan mudah diaplikasikan pada permukaan yang sudah bersih. Thermal
Gambar 1. Struktur IiNUSAT-01 menggunakan dek
bayang – bayang matahari. Penggunaaan komponen dengan typical temperatur pada rentang -40oC - +80oC atau kurang juga menjadi faktor penting adanya Thermal Control pada satelit jenis ini. Teknik kontrol termal pada satelit dibagi menjadi dua yaitu Passive Thermal Control (PTC) dan Active Thermal Control (ATC). PTC adalah kontrol panas dengan pertukaran panas internal dan menyeleksi sifat perpindahan panas dari bahan agar suhu dapat dipertahankan sesuai dengan yang ditetapkan dan diperbolehkan. Sedangkan ATC adalah kontrol panas dengan menyesuaikan kondisi termal secara otomatis sesuai dengan kondisi gerak aktual satelit. Kontrol termal pasif diimplementasikan menggunakan Thermal grease, thermal paint, multilayer insulation, thermal filler materials, Heat pipes, dll. Sedangkan ATC menggunakan pengontrol suhu otomatis seperti mikrokontroler RTX 2010. PTC maupun ATC
Gambar 2. Gambar Thermal Tape
Tapes dapat diaplikasikan pada saat integrasi sistem terakhir sehingga memperkecil kemungkinan rusak di permukaannya. Jika terjadi kerusakan atau kontaminasi, sangat mungkin untuk dilakukan penggantian tapes pada area yang rusak saja.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. Pada bagian eksterior, bagian antar muka terhadap adaptor guide rail tidak dapat ditutup oleh material thermal control dan bagian dalam tabung diasumsikan bebas dari pengaplikasian thermal tape kecuali dibutuhkan pada desain lanjutan guna meningkatkan atau mengurangi emissivity. Alasan untuk keputusan tersebut adalah kenyataan bahwa aterial yang digunakan sudah memiliki nilai memiliki nilai emisivitas tinggi (Alodyned aluminium).
199
Pertimbangan lain yang diambil dalam menentukan desain thermal adalah perilaku kontrol attitude yang mengatur perputaran satelit agar solar panel mendapat paparan sinar matahari yang cukup. Untuk mendapatkannya, diaplikasikan thermal tape dengan nilai absorbtivity yang berbeda beda pada setiap sisi yang akan mempengaruhi perputaran karena torsi yang tercipta oleh tekanan radiasi solar. Baseline Module Box and Battery Temperatures (deg C) 28
IV. HASIL ANALISA
26
Kalkulasi temperatur per node mengacu pada perhitungan serupa yang pernah dilakukan pada proyek FalconSat 02 [4] yang dijalankan pada software MatLab dengan beberapa asumsi. Pertama, diasumsikan bahwa pada percobaan pertama eksterior satelit adalah 6061-T6 aluminium tanpa aplikasi thermal tape. Percobaan ini akan memberikan data perilaku thermal satelit yang akan menjadi pertimbangan desain thermal tape yang tepat. Perhitungan temperatur per node menggunakan step 12-detik dan memroses 15 iterasi orbit dengan initial temperatur 20oC pada tiap node. Hasil simulasi thermal dasar dengan Qual Model dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 3 menunjukkan perilaku dari keempat solar panel. Dapat dilihat, terdapat variasi temperatur pada rentang -10oC sampai +70oC. Gambar 4 menunjukkan perilaku aspek struktural luar, yang bervariasi pada rentang -7oC sampai +55oC. Dan terakhir, Gambar 5 yang menampilkan perilaku modul box internal dan baterai, dengan variasi temperatur modul antara +15oC sampai +27oC, temperatur baterai bervariasi pada rentang +13oC sampai +25oC. Baseline Solar Panel Temperatures (deg C) 80 70 60 50 40
24 22 20 18
TX RX SIM MIB OBC PWR Batteries
16 14 12
0
10
20
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 5. Perilaku Modul Box dan Baterai tanpa Thermal tape
Setelah dilakukan pengambilan data dasar, selanjutnya adalah melakukan pengambilan data satelit dengan thermal tape. Digunakan tipe thermal tape yang mengkombinasikan aluminium dan Kapton. Secara specifik thermal tape yang digunakan adalah Sheldahl Second Surface Aluminum Polyimide Tape dengan 966 Acrylic Adhesive (Item # 146520) dan Sheldahl First Surface Aluminized Polyimide Tape dengan 966 Acrylic Adhesive (Item # 146385). Aluminium tape memiliki absorbtivity 0,14 dan emissivity sebesar 0,09, serta Kapton memiliki absorbtivity 0,39 dan eissivity 0,63. Kemudian dilakukan pengambilan data thermal dengan mengimplementasikan desain thermal tape pada struktur Qual Model. Pada Gambar 6 ditampilkan perilaku keempat solar panel, dapat dilihat bahwa perubahan perilaku yang terjadi tidak terlalu jauh dari perilaku dasar dengan variasi temperatur pada rentang -10oC sampai +73oC.
30
Solar Panel Temperatures (Deg C) 80
20
70
10
60 Side 1 (+Y) Side 2 (+X) Side 3 (-Y) Side 4 (-X)
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
50
100
Gambar 3. Perilaku Solar Panel tanpa Thermal tape
Temperature (deg C)
0
-20
30
40 30 20 10
Baseline Outer Facet Temperatures (deg C)
0
60
Side 1 (+Y) Side 2 (+X) Side 3 (-Y) Side 4 (-X)
-10 50
-20 40
10
20
30
40
50 60 Time (min)
70
80
90
100
Gambar 6. Prediksi Perilaku Solar Panel dengan Thermal tape
30
20
10
Side 1 (+Y) Side 2 (+X) Side 3 (-Y) Side 4 (-X) Side 5 (+Z) Side 6 (-Z)
0
-10
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 4. Perilaku Aspek Struktural Luar tanpa Thermal tape
Gambar 7 menampilkan data perilaku aspek struktural luar yang bervariasi pada rentang -5oC sampai +60oC. Gambar 8 menampilkan perilaku dari internal module boxes dan baterai, yang mengalami peningkatan temperatur dibanding model awal, tapi masih berkisar pada temperatur batas yaitu +5oC sampai +30oC. Modules mengalami variasi temperatur pada
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011. rentang +17oC sampai +30oC. Sedangkan komponen baterai mengalami variasi pada rentang +16oC sampai +28oC.
Outer Facet Temperatures (Deg C) 60
50
Temperature (deg C)
40
30
pada sisi payload tapi juga pada subsistem pendukungnya. Namun, pada thermal control satelite nano hanya terdapat sedikit pilihan metode yang bisa dikembangkan. Ukuran satelit yang kecil membatasi kebebasan para thermal engineer. Sebagai jalan keluar atas keterbatasan massa dan konsumsi daya maka teknik Passive Thermal Control dengan aplikasi Thermal Tape menjadi pilihan potensial yang bisa diterapkan. Dari hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa aplikasi thermal tape akan mengatur semua komponen satelit agar tetap berada pada batasan temperatur yang diinginkan.
20
REFERENSI
10
[1] Side 1 (+Y) Side 2 (+X) Side 3 (-Y) Side 4 (-X)
0
-10
0
10
20
30
40
50 60 Time (min)
70
80
90
[2] 100
Gambar 7. Prediksi Perilaku Aspek Struktural Luar dengan Thermal tape
[3] [4]
Module and Battery Temperatures (Deg C) 30
[5] 28
Temperature (deg C)
26
[6]
24
[7]
22 TX RX OBC SIM MIB PWR BATT
20
18
16
200
0
10
20
30
40
50 60 Time (min)
70
80
90
100
Gambar 8. Prediksi Perilaku Modul Box dan baterai dengan Thermal tape
V. KESIMPULAN Permasalahan satelite dengan ukuran nano terletak pada terbatasnya massa satelit yaitu maksimal 10 kilogram. Miniaturisasi dan peningkatan performansi komponen satelit dapat dilakukan dengan desain yang lebih kecil, bukan hanya
J. Rotteveel dan A.R. Bonnema. Thermal Control Issues for nano – and Picosatellites. 2006. J. Rotteveel, “Flexible Systems Engineering and Thermal Control Tools for Delfi-C3”, MSc Thesis Report, May 2006. Luo, Xiaoling, and Wang, Meijuan, “Latest Research Development of Spacecraft Thermal Control Technology”, IEEE, 2010. L. Richard, S. Jerry, and U. Craig. “Small Satellite Thermal Modeling and Design at USAFA: FalconSat-2 Applications.” in Aerospace Conference Proceedings IEEE, vol.7, pp. 7-3391 - 7-3399, 2002. Siegfried W. Janson, Henry Helvajian,Ernest. Y. Robinson, “The Concept of “Nanosatellite” for Revolutionary Low Cost Space Systems,” Proceedings of the 44th Congress of the International Astronautics Federation, Oct. 16-22, 1993. Gillmore, David G. “Satellite Thermal Control Handbook”. The Aerospace Corporation, 1994. Karam, Robert D. “Satellite thermal control for systems engineer”. American Institute of Aeronautics and Astronautics, Inc., 1998.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011
201
KONSEP PERANCANGAN STRUKTUR SATELIT IiNUSAT-1 Widodo Slamet *, Gunawan Setyo Prabowo e-mail: [email protected]
Abstrak Sebuah satelit harus memiliki struktur untuk mengikat dan melindungi muatan-muatan satelit. Konsep rancangan struktur satelit IiNUSAT-1 telah dibuat dengan mempertimbangkan berbagai persyaratan, antara lain misi satelit dan roket peluncurnya. Selain itu telah dirancang pula analisa,proses manufaktur dan proses pengujiannya. Hasil rancangan struktur adalah bentuk struktur, ukuran, dan material yang dugunakan. Bentuk tersebut adalah heksagonal, ukuran diameter kurang dari 300 mm dan tingginya kurang dari 350 mm. Sedangkan meterial yang dipilih adalah Al-7075-T6. Kata kunci: struktur, satelit, heksagonal, perancangan, manufaktur
Abstract A satellite must have a structure to bind and protect the satellite charges. Concept design IiNUSAT-1 satellite structure have been made by considering the various requirements, such as missions of satellites and rocket as launcher. In addition it has also designed the analysis, manufacturing process and testing process. This design of the structure is a form of structure, size and material to be used. Shape is hexagonal, a diameter less than 300 mm and height less than 350 mm. Meanwhile, the selected material is Al-7075-T6.
1. PENDAHULUAN IiNUSAT-1 adalah satelit yang dirancang oleh kolaborasi lima perguruan tinggi, yaitu UI, ITB, UGM, ITS, dan PENS (Politeknik Elektronika Negri Surabaya) dan LAPAN. Satelit ini diharapkan dapat memicu pengembangan teknologi antariksa dikalangan kampus di Indonesia. Tulisan ini merupakan bagian dari sistem satelit IiNUSAT-1 tersebut, yang mengungkapkan proses perancangan struktur satelit tersebut. Sebuah produk hasil teknologi selalu diawali dengan konsep perancangan untuk memudahkan analisa dan manufaktur. Konsep diawali dari pemikiran akan kebutuhan produk tersebut. Demikian pula dengan struktur satelit, apakah struktur satelit sungguh diperlukan atau hanya sekedar ada. Dari pengalaman banyak satelit struktur tidak bisa ditiadakan. Masalahnya adalah struktur satelit seperti apa yang dibutuhkan. Struktur adalah unik, yang mempunyai arti bahwa setiap satelit mempunyai strukturnya sendiri. Struktur satelit A dijamin tidak dapat digunakan untuk satelit B meskipun sateli A dan B mempunyai fungsi yang sama. Struktur tidak dapat dipesan pada sebuah pabrik satelit secara utuh. Pembuatan konsep merupakan awal dari pembuatan dan pengujian hingga peluncuran satelit. Tulisan ini akan menunjukkan sebuah konsep yang mengawali pembuatan struktur satelit IiNUSAT-1. Akan ditulis pula persyaratan-persyaratan (requirement) yang harus dipenuhi serta bagian-bagian struktur untuk menampung dan membawa muatan-muatan satelit tersebut. 2. METODA Dalam sebuah sistem satelit, struktur satelit tidak dapat berdiri sendiri. Struktur satelit harus mampu mendukung misi satelit. Selain itu struktur juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan roket peluncurnya. Setelah memenuhi kedua hal tersebut dibuat sebuah konsep rancangan, baik bentuk maupun massanya (mass properties). Berikutnya adalah analisa terhadap rancangan struktur. Analisa yang harus dilakukan adalah analisa dinamik dan statik, dan analisa thermal. Hasil akhir perancangan adalah sebuah blue print sebagai data engineering yang dilanjutkan ke proses selanjutnya, yaitu proses manufaktur. Alur rancangan selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1-1.
*
Peneliti Pusat Teknologi Satelit, LAPAN
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011
Persyaratan Roket
202
Misi satelit
Konfigurasi struktur
Sub sistem
Model Struktur Analisa statik, dinamik, dan thermal Data engineering Pemilihan material dan proses manufaktur Blue print struktur satelit
Gambar 1-1. Metoda perancangan satelit IiNUSAT-1
3. KONSEP PERANCANGAN STRUKTUR IiNUSAT-1 Untuk merancang sebuah struktur satelit diperlukan berbagai langkah yang terintegrasi dengan sub sistem yang lain. Selain itu diperlukan pula masukan dari roket peluncurnya. Biasanya roket peluncur satelit mengeluarkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh satelit, terutama struktur yang akan berhubungan langsung dengan roket. Yang tidak kalah pentingnya adalah mengakomodasi solar panel yang menjadi sumber energi bagi seluruh sub sistem yang memerlukan catu daya. Berikut ini akan diuraikan persyaratan, spesifikasi, rancangan, sistem pengujian dan rancangan integrasinya. 3. 1. Persyaratan Sub Sistem Struktur Sub sistem struktur harus memenuhi persyaratan tertentu, antara lain massa, dimensi, model, dan stiffnes. Persyaratan ini berhubungan dengan misi dan roket peluncurnya. 3. 1. 1 Massa Satelit IiNUSAT-1 merupakan satelit nano di mana dalam kelas satelit ini massa total berkisar antara 10 hingga 20 kg. 3. 1. 2 Dimensi, yang mampu menampung semua sub sistem Dimensi atau ukuran maksimum satelit tergantung pada ruangan yang disediakan oleh roket. Untuk roket PSLV, satelit tambahan (piggyback) disediakan ruangan dengan ukuran 600 mm (radial) x 700 mm (transversal) x 850 mm (tinggi). Ruangan yang disediakan ini termasuk antena dan pergerakannya. 3. 1. 3 Model Yang Dapat Mengakomodasi Semua Sub Sistem Berbagai jenis model bisa dipilih tergantung pada jumlah dan ukuran sub sistem, namun demikian, pertimbangan utama adalah luas solar panel yang dipasang secara permanen pada panel luar (skin) struktur, dengan kata lain dipasang secara bodymounting. Bentuk-bentuk satelit yang telah dibuat orang antara lain kubus, balok, silinder, dan heksagonal. Tabel 1 menunjukkan perbandingan dari sifat-sifat bentuk atau model dilihat dari sisi kebutuhan INASAT-1. Dari hasil perbadingan ini bentuk heksagonal merupakan model yang memiliki luasan paling besar untuk menampung solar panel.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011
203
Tabel 1. Berbagai bentuk satelit dengan berbagai kendalanya Bentuk (model) Kestabilan Luas permukaan Kemudahan manufaktur Kubus Tida stabil Kurang Mudah Balok Stabil Kurang Mudah Silinder Stabil Cukup Sulit Heksagonal Stabil Cukup Mudah
3. 1. 3 Stiffnes yang dapat diterima oleh roket peluncurnya Stiffnes atau kekakuan struktur diukur dengan parameter frekuensi natural. Nilai minimum frekuensi natural ditentukan oleh roket peluncurnya. Untuk roket PSLV nilai tersbut adalah: > 90 Hz untuk sumbu longitudinal, > 45 Hz untuk sumbu lateral 3. 2. Spesifikasi Spesifikasi menunjukkan sifat-sifat benda teknis yang tidak dapat dilihat secara fisik namun mempunyai peran yang sangat penting. Spesifikasi untuk struktur satelit meliputi material, prosentase dari massa total, dan model bahan panel (skin).
3. 2. 1 Material Salah satu persyaratan struktur satelit adalah kuat tetapi ringan. Oleh karena itu diperlukan material yang dapat memenuhi persyaratan tersebut. Material yang sudah terbukti mampu digunakan sebagai bahan struktur adalah aluminium. Kriteria umum yang digunakan sebagai pertimbangan untuk memilih material terbaik adalah: 1. Stiffness to Mass Ratio 2. Manufacturing Time 3. Kerataan (Uniformity) Permukaan 4. Durability (Daya tahan) Uji terhadap kriteria tersebut di atas dilakukan terhadap aluminium Al 7075-T6 dan Al 6061-T6 dengan ketebalan 2,54 cm. Hasil uji, dengan memberikan pembobotan, ditunjukkan oleh tabel 2. Dari tabel 2 tersebut, aluminium 7075-T6 memiliki sedikit kelebihan dari pada 6061-T6. Tabel 2. Pembobotan terhadap aluminium 7075-T6 dan 6061-T6 Kriteria
Bobot
Stiffness to Mass Ratio Manufacturing Time Kerataan (Uniformity) Permukaan Durability Total Prioritas
40 15 25
3. 2. 2
20
Al 7075-T6 Nilai Bobot nilai 10 400 10 150 10 250 10
200 1000 1
Al T6061-T6 Nilai Bobot nilai 9 360 10 150 10 250 10
Massa
200 960 2
Struktur Jka persyaratan massa satelit total adalah 10 – 20 kg maka massa struktur satelit adalah 4 kg. 3. 2. 3 Bahan panel berupa honeycomb/isogrid/lempengan Idealnya, bahan panel atau skin struktur satelit adalah honeycom. Bahan ini merupakan persyaratan wajib untuk struktur satelit besar dengan bobot di atas 500 kg. Namun untuk satelit nano, menggunakan lempengan sudah cukup memadai. Jika dimungkinkan, akan digunakan bahan isogrid, yaitu panel dengan ketebalan 5 mm yang diperkuat oleh rangka berbentuk segitiga. 3. 3. Rancangan
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011
204
Yang dimaksud rancangan adalah model atau bentuk dan ukuran, pemisahan berdasarkan funsinya yang berupa struktur primer dan struktur sekundair. Rancangan struktur harus dapat dibuat atau dilsakukan manufaktur. Rancangan yang tidak dapat dibuat adalah rancangan yang sia-sia belaka.
3. 3. 1 Model dan ukuran Sesuai dengan Tabel 1, maka model atau bentuk struktur IiNUSAT-1 berupa heksagonal atau segi enam. Pertimbangan utamanya adalah luas panel yang dapat menampung solar panel secara maksimum. Pertimbangan berikutnya adalah kemudahan dibuat. Secara visual, model struktur dapat ditunjukkan melalui gambar 3-1.
Gambar 3-1 Model awal struktur IiNUSAT-1 Dengan model yang diperlihatkan pada gambar 3-1 di atas dan persyaratan bobot yang hanya 4 kg maka ukurannya dapat diprediksi sangt kecil. Diameter kurang dari 300 mm, sedangkan tingginya kurang dari 350 mm. 3. 3. 2 Struktur Primer Dan Sekunder Untuk mempermudah manufaktur, struktur satelit ini harus dipisah-pisahkan sesuai dengan fungsinya. Yang pertama adalah kelompok struktur primer yang merupakan tulang punggung struktur satelit. Sedangkan yang kedua adalah struktur sekundair yang terdiri dari boks yang menampung rangkaian elektronik atau instrumen lain, misalnya sensor dan aktuator. Struktur tersier belum perlu dibicarakan mengingat tulisan ini membahas konsep rancangan. Namun sedikit informasi bahwa struktur tersier berupa konektor-konektor dan pengkabelan sub sistem-sub sistem. Tabel 3 berikut ini menunjukkan bagian atau komponen utama atau struktur primer. 3. 3. 3 Manufaktur dan Pabrikasi Pada intinya proses manufaktur adalah proses untuk mengubah bahan baku (raw material) menjadi suatu bentuk yang sesuai dengan keinginan dengan mempertimbangkan berbagai aspek, antara laian adalah kebutuhan, teknologi, dan ekonomi. Untuk sebuah struktur satelit aspek ekonomi dikesampingkan karena faktor jumlah yang terbatas, dan mengutamakan keamanan karena sekali dilucurkan tidak bisa diperbaiki lagi. Untuk memudahkan proses manufaktur perlu adanya guideline atau petunjuk yang perlu diperhatikan yaitu 1. Meminimalkan jumlah part, untuk menghemat biaya dan waktu, serta memudahkan proses integrasinya. 2. Meminimalkan variasi atau jenis part, untuk memudahkan standarisasi part. Misalnya penggunaan baut yang sama pada setiap penyambungan akan lebih meringankan pekerjaan perakitan. 3. Desain sesederhana mungkin, sehingga jika timbul masalah mudah mengatasinya. 4. Pilih proses manufaktur yang sudah terbukti untuk menghindari pembengkaan biaya jika prosesnya baru coba-coba.
Jenis Panel luar
Tabel 3. Komponen utama struktur IiNUSAT-1 Fungsi Material Meletakkan solar sel Al 7075 T6
Jumlah 6
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011
Rangka (frame) Kolom 2 Kolom 1
Panel dalam
Tutup bawah
Tutup atas
Tatakan antena
Melindungi boks muatan Penguat struktur Penyangga struktur Penyambung antar frame Penyangga struktur Penyambung antar frame Tempat melekatkan panel dalam Tempat menempelnya boks muatan Pelindung boks muatan Penyambung dengan interface roket Pelindung boks muatan Tempat meletakkan antena Memegang antena
205
Al 7075 T6 Al 7075 T6
6 4
Al 7075 T6
2
Al 7075 T6
2
Al 7075 T6
1
Al 7075 T6
1
Al 7075 T6
4
Hampir semua bagian struktur satelit terbuat dari logam dan didominasi oleh logam aluminium. Pada umumnya pengolahan logam terdiri dari machining, chemical milling, sheet metal forming, casting, forging, dan extruding. Machining: adalah proses pembentukan dari bahan baku menjadi sebuah bentuk sesuai dengan data engineeringnya. Proses ini dilakukan dengan menghilangkan sebagian material dengan pemotongan atau pekerokan menggunakan cutter Sheet metal forming: adalah pembentukan sebuah benda berupa lembaran menjadi benda yang mempunyai bentuk tertentu. Casting: adalah proses pembentukan sebuah benda dengan pencetakan dari lelehan logam. Forging: adalah proses pembentukan logam melalui tekanan menggunakan cetakan atau die. Extruding: adalah pembentukan logam dengan pemuluran yang menghasilkan penampang atau cross section yang seragam. Tabel 4 menunjukkan bagian-bagian struktur (parts) beserta pabrikasi yang dibutuhkan, sedangkan gambar 3-2 menunjukkan mesin CNC dan milling untuk proses pabrikasi struktur.
Komponen Struktur Primer
Struktur Sekunder
Struktur Tersier
Tabel 4. Berbagai jenis part dan pabrikasinya Part Pabrikasi Panel CNC, drilling, tab, coating Frame CNC, drilling, tab, coating Deck CNC, drilling, tab, coating Boks miling, drilling, tab, coating Antena, dudukan integrasi, bubut dan tab Solar panel integrasi Adapter integrasi Fasterner pabrikan Konektor pabrikan Pengkabelan integrasi
Gambar 3-2. Mesin CNC dan Milling untuk proses pabrikasi
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011
206
3. 4. Pengujian Pengujian dilakukan bertahap dari komponen, sub sistem hingga sistem satelit. Standar pengujian mengacu pada standar antariksa maupun militer yang sudah terbukti mampu bertahan terhadap kondisi linkungan antariksa. 3. 4. 1 Uji komponen Untuk komponen struktur, pengujian dilakukan secara statik, misalnya uji tarik, uji beban atau bending dan uji thermal. 3. 4. 2 Uji fungsional sub sistem Sub sistem struktur diuji menggunakan standar roket peluncurnya. Uji antara lain adalah uji statik, uji getar, uji shock atau kejut. Tabel 5 merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh struktur satelit pada saat dilakukan uji statik. Tabel 6 adalah standar uji getar moda sinus, Tabel 7 merupakan standar uji getar moda random yang harus dilalui oleh struktur satelit.
Fasa Terbang 1 2 3 Safety Factor
Frekuensi Natural
Tabel 5. Persyaratan uji ststik yang harus dipenuhi oleh struktur satelit Load Factor Longitudinal Load Factor Transversal (Sumbu z) (Sumbu x/y) Statik Dinamik Kombinasi Statik Dinamik Kombinasi -1,9 ±0,6 -2,5/-1,3 0,6 0,6 1,2 -5,2 ±0,6 -5,8/-4,6 0,4 0,6 1,0 -0,1 ±0,6 -3,1/+2,9 0,4 0,6 1,0 Yield : FSy ≥ 1,1 Ultimate : FSu ≥ 1,25 Arah transversal > 12 Hz Arah longitudinal > 30 Hz Torsional > 20 Hz Tabel 6. Kondisi yang harus dipenuhi saat uji getar moda sinus Uji Akseptan Uji Kualifikasi
Rentang frekuensi (Hz) 5-8
Amplitudo Getaran 2,33 mm (0 – p)
8 - 100
Uji Akseptan Uji Kualifikasi
0, 6 g
Rentang frekuensi (Hz) 20 - 100 100 - 600 600 - 2000 20 - 100
Rentang frekuensi (Hz) 5-8 8 - 100
Tabel 7. Kondisi uji getar moda random Power Spectral Grms Density +3dB/oct 7,13 g 0,04 g2/Hz -3dB/oct +3dB/oct 10,08 g
Amplitudo Getaran 3,49 mm (0 – p) 0, 9 g
Durasi 1 menit untuk masing-masing sumbu 2 menit untuk masing-masing sumbu
3. 4. 3 Uji Lingkungan Antariksa Untuk sub sistem struktur, uji terhadap kondisi antariksa tidak wajib dilakukan, namun jika memungkinkan bisa diuji radiasi dan simulasi matahari untuk memastikan bahwa struktur mampu melindungi muatan-muatan yang dibawanya. 3. 5. Sistem Integrasi Proses Integrasi sangat tergantung pada desain strukturnya. Untuk struktur IiNUSAT-1, sub sistem diuraikan menjadi komponen, komponen menjadi part. Oleh karena itu integrasi diawali dari penggabungan beberapa part menjadi komponen, beberapa komponen digabungkan menjadi susb sistem, dan terakhir susb
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011
207
sistem menjadi sistem satelit. Proses integrasi akan dipandu dengan petunjuk integrasi sehingga dapat dilakukan oleh teknisi, siapapun teknisinya. Selanjutnya dibuat rancangan jadwal atau schedul. Untuk memudahkan pembuatan jadwal pekerjaan perlu dibuat peta operasi yang sangat berguna dalam perancangan proses manufaktur. Peta operasi menggambarkan aliran proses dari berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan secara logis hingga menghasilkan suatu produk yang sesuai dengan apa yang diinginkan atau dikehendaki. Gambar 3-3 menunjukkan contoh aliran proses operasi.
A
B
C
Sub assy
D
F
H
E
G
I
Assy 1
Assy 2
Assy 3
Nama proses Perakitan/assembly
3. 5. 1 Body Mounting Salah satu proses perakitan adalah menempelkan suatu part ke part yang lain. Proses seperti ini dikenal sebagai body mounting. Contoh body mounting adalah penempatan solar panel pada panel luar (skin) struktur. 3. 5. 2 Adhesive Kadang-kadang ada bagian atau part struktur yang tidak dibolehkan diikat atau diskrup untuk itu diperlukan bahan adhesive atau lem yang mampu bertahan lama di lingkungan antariksa. 3. 5. 3 Fasterner Penyambungan paling banyak adalah menggunakan skrup atau mur dan baut, atau fasterner. Pada struktur satelit fasterner yang digunakan mengikuti stabdar teknik yang telah diakui secara internasional, baik sistem maupun ukurannya. 4. PASCA KONSEP Konsep ini akan diverifikasi oleh sistem engineer untuk dipadukan dengan sub sistem lain. Selanjutnya akan dilakukan perbaikan konsep untuk memastikan bahwa rancangan telah sesuai dengan misi satelit IiNUSAT-1. Jika perbaikan konsep telah dilakukan, selanjutnya adalah membuat rancangan detail pertama yang disebut prelimary design review (PDR) yang siap dijadikan data engineering untuk dimanufaktur. 5. KESIMPULAN Konsep rancangan struktur IiNUSAT-1 telah dilakukan dengan hasil sebagai berikut: 1. Model : heksagonal 2. Ukuran : Diameter < 300 mm, sedangkan tingginya < 350 mm 3. Material : aluminium Al-7075-T6 4. Massa : 4 kg 5. Perancangan proses manufaktur 6. Perancangan uji statik dan uji getar Tindak lanjut berikutnya adalah melakukan rancangan detail hingga memenuhi syarat untuk dijadikan data engineering untuk proses manufaktur.
DAFTAR PUSTAKA 1. Wijker, Jakob Job, Spacecraft Structure, Springer, Leiden, Netherlands, 2008. 2. Griffin, Michael, D., Space Vehicle Design 2nd, AIAA Educations Series, Virginia, 2004.
1st Indonesian Student Conference on Satellite, Surabaya, December 17, 2011 3. 4. 5. 6. 7.
208
Shingley, Joshep E., Mechanical Engineering Design 7th Edition, Mc-Graw Hill Book Co., Singapore, 2004. Ulrich, Karl T., Product Design and Development 2nd Edition , Mc-Graw Hill Book Co., Singapore, 2000. Kazanas, H. C., Basic Manufacturing Processes, Macmillan, New York, 1999. Sarafin, Thomas P., Spacecraft Structurees and Mechanisms, Microcosm Press, Torrance, California, 1997. Campbell, James S., Principles of Manufacturing and Processes, Mc-Graw Hill Book Co., New York, 1996.