Number 5
ISSN: 2085-6350
PROCEEDINGS OF CONFERENCE ON INFORMATION TECHNOLOGY AND ELECTRICAL ENGINEERING
SESI NASIONAL Keisyaratan dan Sistem Elektronis
DEPARTMENT OF ELECTRICAL ENGINEERING FACULTY OF ENGINEERING GADJAH MADA UNIVERSITY
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Organizer Steering Commitee • Adhi Susanto (UGM) • Hamzah Berahim (UGM) • Thomas Sri Widodo (UGM) • Dadang Gunawan (UI) • Heri Mauridi (ITS) • Yanuarsyah Harun (ITB) • Anto Satrio Nugroho (BPPT) • Son Kuswadi (PENS) Advisory Board • Tumiran (UGM) • Lukito Edi Nugroho (UGM) • Anto Satrio Nugroho (BPPT) • Son Kuswadi (PENS) General Chair • Bambang Sutopo Organizing Chairs • Risanuri Hidayat • Sri Suning Kusumawardhani • Ridi Ferdiana • Adha Imam Cahyadi • Budi Setiyanto Program Chairs • Prapto Nugroho • Agus Bejo • Cuk Supriyadi Ali Nandar (BPPT) • Yusuf Susilo Wijoyo Publication Chair • Enas Dhuhri K Finance Chairs • Eny Sukani Rahayu • Maun Budiyanto • Roni Irnawan Secretariats • Astria Nur Irfansyah • Lilik Suyanti
YOGYAKARTA, AUGUST 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE) 2009
FOREWORD First of all, praise to Almighty God, for blessing us with healthy and ability to come here, in the Conference of Information and Electrical Engineering 2009 (CITEE 2009). If there is some noticeable wisdoms and knowledge must come from Him. I would like to say thank you to all of the writers, who come here enthusiastically to share experiences and knowledge. Without your contribution, this conference will not has a meaning. I also would like to say thank you to Prof. Dadang Gunawan from Electrical Engineering, University of Indonesia (UI), Prof. Yanuarsyah Haroen from Electrical Engineering and Informatics School, Bandung Institute of Technology, ITB, Prof. Mauridhi Hery Purnomo from Electrical Engineering Department, Surabaya Institute of Technology (ITS). And also Prof. Takashi Hiyama from Kamamoto University, Japan, Thank you for your participation and contribution as keynote speakers in this conference. This conference is the first annual conference held by Electrical Engineering Department, Gadjah Mada University. We hope, in the future, it becomes a conference of academics and industries researchers in the field of Information Technology and Electrical Engineering around the world. We confine that if we can combine these two fields of sciences, it would make a greater impact on human life quality. According to our data, there are 140 writers gather here to present their papers. They will present 122 titles of papers. There are 47 papers in the field of Electrical Power Systems, 53 papers in the area of Systems, Signals and Circuits, and 22 papers in Information Technology. Most of these papers are from universities researchers. We hope, the result of the proceedings of this conference can be used as reference for the academic and practitioner researchers to gain At last, I would like to say thank you to all of the committee members, who worked hard to prepare this conference. Special thanks to Electrical Engineering Department, Gadjah Mada University, of supporting on facilities and funds. Thank you and enjoy the conference, CITEE 2009, and the city, Yogyakarta August, 4Th, 2009
Bambang Sutopo
Electrical Engineering Dept., Fac. of Engineering, GMU
Proceedings of CITEE 2009
Number 5
ISSN: 2085-6350
Table of Contents Organizer Foreword Table of Contents Schedule
ii iii v ix
KEYNOTE Teknologi Sistem Penggerak dalam WahanaTransportasi Elektrik Yanuarsyah Haroen (Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung)
1
SESI NASIONAL: Keisyaratan dan Sistem Elektronis Penerapan Touch Key dengan Mikrokontroler AT89S51 sebagai Pengendali Kecepatan Motor DC Agus Sofwan, Novizal
21
Penggunaan Algoritma Genetik Paralel Hibrid dalam Sistem Kontrol Lampu Lalu lintas Pintar Agus Priyono, Agus Sofwan, Mohd. Ridwan, Riza Atiq, Mohd. Alauddin
25
Sistem Monitoring Rumah Berbasis 3G Mobile Phone A. Sofwan dan M. Ibnu Sina
32
Pemanfaatan Mobile Wireless Controller pada Sistem Pengambilan Data Komputer Agus Sofwan , Tedi Margino
37
Sistem Kontrol Parkir Mobil Otomatis Menggunakan Mikrokontroler Thiang, Handry Khoswanto, Agus Afandi
42
Implementasi Metode Simulated Annealing pada Robot Mobil untuk Mencari Rute Terpendek Thiang, Dhany Indrawan
47
Analisa Penerapan ENUM dan Pengalamatan Terhadap Regulasi Gunawan Wibisono dan Nurmaladewi
52
Perancangan Automatic Gain Control Untuk Mobile WiMAX Pada Frekuensi 2,3 GHz Gunawan Wibisono, Purnomo Sidi Priambodo, dan Rangga Ugahari
68
Sudut Datang Optimum dengan Menggunakan Signal Cancellation Despreading pada Sistem Cdma Lucia Jambola
65
Perencanaan Quality Improvement Dengan Pendekatan Lean Six Sigma dan Valuasi Ekonomi dengan Pendekatan Willingness to Pay pada Pelayanan 08001Telkom Palti MT Sitorus
72
Perancangan Konveyor Dua Buah Motor DC dengan Menggunakan PLC OMRON CPM2A Siti Saodah, Teguh Afrianto
76
Mesin Pengering Jamur Kuping Berbasis AVR ATMega8 Hany Ferdinando, Ervan Hary Saputra
82
Gabungan Kontrol Kongesti, Routing, dan Konsumsi Daya untuk Utility-Power Tradeoff Kooperatif di Dalam Gedung Nyoman Gunantara, Farid Baskoro, Gamantyo Hendrantoro Pemodelan Vector AR Dengan Uji Kausalitas Terhadap Data Spasial Curah Hujan di Surabaya Sis Soesetijo, Achmad Mauludiyanto, Gamantyo Hendrantoro
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
pada Komunikasi
86
91
v
ISSN: 2085-6350
Number 5
Proceedings of CITEE 2009
Analisa Kinerja Adaptive Coded Modulation Pada Sistem OFDM Menggunakan Maximal Ratio Combining Di Bawah Pengaruh Hujan Tropis Suwadi, Gamantyo Hendrantoro, Boyong Baskoro
98
Penggunaan Maximal Ratio Combining (Mrc) untuk Mengurangi Pengaruh Redaman Hujan dan Interferensi Pada Sistem LMDS di Surabaya Syahfrizal Tahcfulloh, Suwadi, Gamantyo Hendrantoro
105
Estimasi Parameter Kanal dengan Algoritma SAGE pada Antena Array Kubus Yasdinul Huda, Puji Handayani, Gamantyo Hendrantoro
109
Pemodelan Curah Hujan Non Stasioner di Kota Surabaya Menggunakan Model ARIMA Wiwinta Sutrisno, Achmad Mauludiyanto, Gamantyo Hendrantoro
116
Selection Combining (SC) terhadap Kanal dengan Redaman Hujan pada Sistem LMDS di Surabaya Shinta Romadhona, Gamantyo Hendrantoro
120
Sistem Pengukuran Kanal Radio Pita Lebar Dua Arah 3 Dimensi di Dalam Ruang Puji Handayani, Gamantyo Hendrantoro
127
Ekstraksi Fitur Berdasar GLCM dan GLRLM untuk Pengenalan Citra Massa Kistik Hari Wibawanto, Adhi Susanto, Thomas Sri Widodo, S. Maesadji Tjokronegoro
132
Pemanfaatan Mikrokontroller Tipe 89S52 sebagai Pengendali Multilevel Inverter Leonardus. H. Pratomo, Hendyanto. H
137
Pemanfaatan Mikrokontroller Tipe 89S52 sebagai Pengendali Motor Induksi Tipe Volt/Hertz Leonardus. H. Pratomo
142
Akuisisi Suhu Menggunakan Thermopile Untuk Pemanas Gelombang Mikro di Industri Risa Farrid Christianti
146
Fuzzy Logic Temperature Control on Hyperthermia Therapy Using Delphi M Ary Heryanto
151
Perancangan dan Simulasi Pengendalian Beban Listrik Menggunakan Mikrokontroler AT89C2051Melalui Jaringan TCP/IP Edvin Priatna dan Sulaemanul Jamal
156
Studi Perbandingan Metode-metode Analisis Sinyal Sederhana Berbasis Wavelet Agfianto Eko Putra
163
Analisis Citra Medis Menggunakan Segmentasi Adaptif Indah Soesanti, Adhi Susanto, Thomas Sri Widodo, Maesadji Tjokronegoro
171
Perancangan Monitoring Proses Produksi Batik Berbasis WEB Indah Soesanti
175
Simulasi Estimasi Parameter Model Fungsi Alih Antara Gaya Tegang Keluaran Web Terhadap Masukan Gaya Putar Pada Bagian Rol Pengumpan Sistem Transportasi Web Dengan Menggunakan Metode RLS Berbasis Forgetting Factor Yaya Finayani, Samiadji Herdjunanto, Priyatmadi
179
Pemanfaatan Sistem Akuisisi Citra Stereo untuk Mengukur Parameter-Parameter Fisis Gelombang Laut Nyoman Jelun, Adhi Susanto, Radianta Triatmadja, Thomas Sri Widodo
186
Segmentasi Citra untuk Analisis Termogram Payudara Oky Dwi Nurhayati, Adhi Susanto, Thomas Sri Widodo
193
vi
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE 2009
Number 5
ISSN: 2085-6350
Implementasi 1-D DCT Algoritma Feig–Winograd di FPGA Spartan 3E Irma Yulia Basri 1), Bambang Sutopo, Jazi Eko Istiyanto
198
Analisa Sensor Rate Gyroscope Untuk Mendeteksi Gerak Rotasi Roket Priswanto, Romi Wiryadinata, Thomas Sri Widodo, Andreas P. Adi , Wahyu Widada
206
Desain dan Konsep Implementasi Sistem Peringatan Dini Kebocoran Gas LPG Berbasis Mikrokontroler ATMega8535 Arif Syamsul Iskandar, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari
211
Peningkatan Kinerja Radar dengan mengunakan Pendekatan Wavelet Ridwan Prasetyo, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari
215
Design and Testing of Six DOF IMU v2.1 Carried in Vehicle for INS Algorithm Romi Wiryadinata, Wahyu Widada, Thomas Sri Widodo, Sunarno
219
Analisis Citra Medis Menggunakan Citra Adaptif Indah Soesanti
224
Sistem Komunikasi Kooperatif Berbasis Modulasi Superposisi Sari Eka Pratiwi
229
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
vii
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
SCHEDULE Tuesday, August 4, 2009 07.30 – 08.00: 08.00 – 08.15:
Registration Opening 1. Welcome speech by conference chairman 2. Speech by GMU’s Rector 08.15 – 09.20: PLENARY SESSION Prof. Takashi Hiyama (Kumamoto University, Japan): Intelligent Systems Application to Power Systems Prof. Dr. Mauridhi Hery Purnomo (Electrical Engineering Department, ITS, Indonesia): Social Intelligent on Humanoid Robot: Understanding Indonesian Text Case Study Prof. Dr. Dadang Gunawan (Electrical Engineering Department, University of Indonesia): Signal Processing: Video Compression Techniques Prof. Dr. Yanuarsyah Haroen (Electrical Engineering and Informatics School, ITB, Indonesia): Teknologi Sistem Penggerak dalam WahanaTransportasi Elektrik 09.20 – 09.30: Break PARALLEL SESSION INTERNATIONAL SESSION (Room 1, 2) SESI NASIONAL (Room 3, 4, 5, 6, 7) Room: 3 Time 09.30 – 09.45 09.45 – 10.00 10.00 – 10.15 10.15 – 10.30 10.30 – 10.45 10.45 – 11.00 11.00 – 11.15 11.15 – 11.30 11.30 – 11.45 11.45 – 12.00 12.00 – 13.00 13.00 – 13.45 13.15 – 13.30 13.30 – 13.45 13.45 – 14.00 14.00 – 14.15 14.15 – 14.30 14.30 – 14.45 14.45 – 15.00 15.00 – 15.15 15.15 – 15.30
Group
Country/City
P P P P
Palembang Palembang Palembang Banten
Author(s) or Presenter(s) Bhakti Yudho Suprapto, Herdino Fadli Sariman Djulil Amri Hartono
Coffee Break P P P P P
Jakarta Jakarta Semarang Semarang Semarang
A.Sofwan, Sugianto, A.Multi A.SOFWAN, B.UTOMO Slamet Riyadi Felix Yustian Setiono dan Leonardus Heru Pratomo Supari, I Made Yulistya Negara, Mauridhi Hery P, Mochamad Ashari
P P P P
Surakarta Yogyakarta Yogyakarta Yogyakarta
Agus Supardi Arif Jaya, Hamzah Berahim, Rochmadi Arif Jaya, Hamzah Berahim, Tumiran Wiwik Purwati Widyaningsih, T.Haryono, Tumiran
P
Yogyakarta
Raihan Putri, T. Haryono, Suharyanto
Lunch Break
Coffee Break P P P
Yogyakarta Yogyakarta Yogyakarta
Sugeng Santoso, Sasongko Pramono Hadi, Suharyanto3) Anjar Sucahya, I Nengah Sumerti, Sarjiya.2 Ariesta Kusumawardana, Tiyono, Sarjiya
Notes: 1. P: Electrical Power Systems; S: Signals, Systems, and Circuits; I: Information Technology 2. Paper titles are listed in Table of Contents
Department of Electrical Engineering, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE) Room: 4 Time 09.30 – 09.45 09.45 – 10.00 10.00 – 10.15 10.15 – 10.30 10.30 – 10.45 10.45 – 11.00 11.00 – 11.15 11.15 – 11.30 11.30 – 11.45 11.45 – 12.00 12.00 – 13.00 13.00 – 13.45 13.15 – 13.30 13.30 – 13.45 13.45 – 14.00 14.00 – 14.15 14.15 – 14.30 14.30 – 14.45 14.45 – 15.00 15.00 – 15.15 15.15 – 15.30 Room: 5 Time 09.30 – 09.45 09.45 – 10.00 10.00 – 10.15 10.15 – 10.30 10.30 – 10.45 10.45 – 11.00 11.00 – 11.15 11.15 – 11.30 11.30 – 11.45 11.45 – 12.00 12.00 – 13.00 13.00 – 13.45 13.15 – 13.30 13.30 – 13.45 13.45 – 14.00 14.00 – 14.15 14.15 – 14.30 14.30 – 14.45 14.45 – 15.00 15.00 – 15.15 15.15 – 15.30
Group
Country/City
P P P P
Bali Bali Surabaya Surabaya
SUSIONO SUSIONO Muldi Yuhendri, Mochammad Ashari, Mauridhi Hery Purnomo Dedy Kurnia Setiawan, Mochamad Ashari, Mauridhi Hery Purnomo
Author(s) or Presenter(s)
P P P P P
Surabaya Surabaya Surabaya Semarang Semarang
Dian Retno Sawitri, Arif Muntasa, M. Ashari1, Mauridhi Hery Purnomo Soedibyo, Ali Musyafa, Mochamad Ashari , Imam Robandi Muhammad Yunus Hi Abbas, Mochammad Ashari, Mauridhi Hery Purnomo Wildan Mujahid, Abdul Syakur, Agung Warsito Abdul Syakur, Nurlailati, Sarjiya, H.Berahim, M.Afendi M. Piah
Coffee Break
Lunch Break P P P P
Semarang Semarang Semarang Yogyakarta
Nulailati, Abdul Syakur, Sarjiya Agung Warsito, Abdul Syakur, Fajar Arifin Alberth Z.N., Agung Warsito, Abdul Syakur
P
Yogyakarta
Lukman Subekti, Eko Haryono
M. Isnaeni B. Setyonegoro Coffee Break
P P P
Yogyakarta Yogyakarta Yogyakarta
Group
Country/City
S S S S
Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Suharyanto
Sasongko P.H., Husni Rois Ali, M.Isnaeni B.S. Tumiran, M.Isnaeni, Desi Ulfa Sukriani
Author(s) or Presenter(s) Agus sofwan, Novizal A. Sofwan dan M. Ibnu Sina Agus Sofwan, Tedi Margino Agus Priyono, Agus Sofwan, Mohd. Ridwan, Riza Atiq, Mohd. Alauddin
Coffee Break S S S S S
Jakarta Jakarta Bandung Bandung Bandung
Gunawan Wibisono dan Nurmaladewi Gunawan Wibisono, Purnomo Sidi Priambodo, dan 3Rangga Ugahari Lucia Jambola Palti MT Sitorus Siti Saodah, Teguh Afrianto
Lunch Break S S S S
Tasikmalaya Semarang Semarang Yogyakarta
Edvin Priatna dan Sulaemanul Jamal Leonardus. H. Pratomo, Hendyanto. H Leonardus. H. Pratomo Irma Yulia Basri, Bambang Sutopo, Jazi Eko Istiyanto
S
Yogyakarta
Yaya Finayani, Samiadji Herdjunanto, Priyatmadi
Coffee Break S S S
Yogyakarta Yogyakarta Yogyakarta
Indah Soesanti Indah Soesanti, Adhi Susanto, Thomas Sri Widodo, Maesadji Tjokronegoro Agfianto Eko Putra
Yogyakarta, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE) Room: 6 Time 09.30 – 09.45 09.45 – 10.00 10.00 – 10.15 10.15 – 10.30 10.30 – 10.45 10.45 – 11.00 11.00 – 11.15 11.15 – 11.30 11.30 – 11.45 11.45 – 12.00 12.00 – 13.00 13.00 – 13.45 13.15 – 13.30 13.30 – 13.45 13.45 – 14.00 14.00 – 14.15 14.15 – 14.30 14.30 – 14.45 14.45 – 15.00 15.00 – 15.15 15.15 – 15.30 Room: 7 Time 09.30 – 09.45 09.45 – 10.00 10.00 – 10.15 10.15 – 10.30 10.30 – 10.45 10.45 – 11.00 11.00 – 11.15 11.15 – 11.30 11.30 – 11.45 11.45 – 12.00 12.00 – 13.00 13.00 – 13.45 13.15 – 13.30 13.30 – 13.45 13.45 – 14.00 14.00 – 14.15 14.15 – 14.30 14.30 – 14.45 14.45 – 15.00 15.00 – 15.15 15.15 – 15.30
Group
Country/City
S S S S
Surabaya Surabaya Surabaya Surabaya
Nyoman Gunantara, Farid Baskoro, Gamantyo Hendrantoro Hany Ferdinando, Ervan Hary Saputra Sari Eka Pratiwi Sis Soesetijo, Achmad Mauludiyanto, Gamantyo Hendrantoro
Author(s) or Presenter(s)
S S S S S
Surabaya Surabaya Surabaya Surabaya Surabaya
Suwadi, Gamantyo Hendrantoro, Boyong Baskoro Syahfrizal Tahcfulloh, Suwadi, Gamantyo Hendrantoro Yasdinul Huda, Puji Handayani, Gamantyo Hendrantoro Wiwinta Sutrisno, Achmad Mauludiyanto, Gamantyo Hendrantoro Shinta Romadhona, Gamantyo Hendrantoro
Coffee Break
Lunch Break S S S S
Surabaya Surabaya Surabaya Semarang
Puji Handayani, Gamantyo Hendrantoro Thiang, Handry Khoswanto, Agus Afandi Thiang, Dhany Indrawan Hari Wibawanto, Adhi Susanto, Thomas Sri Widodo, S. Maesadji Tjokronegoro
S
Semarang
Risa Farrid Christianti
Coffee Break S S S
Semarang Yogyakarta Yogyakarta
Group
Country/City
I I I I
Jakarta Malang Surabaya Surabaya
M Ary Heryanto Ridwan Prasetyo, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari Romi Wiryadinata, Wahyu Widada, Thomas Sri Widodo, Sunarno
Author(s) or Presenter(s) Mera Kartika Delimayanti, Sigit Mulyono, Fajar Tri Waluyanti Mohamad Jamil Rully Soelaiman, Yudhi Puwananto Rully Soelaiman, Yudhi Puwananto
Coffee Break I I I I I
Surabaya Surabaya Surabaya Yogyakarta Yogyakarta
Iwan Handoyo Putro, Petrus Santoso, Efferata Wijaya Titiek Suryani, Gamantyo Hendrantoro Diana Purwitasari, Rully Sulaiman, Ario Menak Sanoyo Ermatita, Agus Harjoko Edi Winarko, Prabowo Murti Saputro
Lunch Break I I I I
Yogyakarta Yogyakarta Yogyakarta Yogyakarta
Erik Iman Heri Ujianto, Edi Winarko Mingsep Sampebua, Lukito Edi Nugroho, Jazi Eko Istiyanto Meiyanto Eko Sulistyo, Ahmad Ashari, Sujoko Sumaryono Mohamad Yudha Wirawan1, Sri Suning Kusumawardani2, Eni Sukani Rahayu
I
Yogyakarta
Malayusfi, Risanuri Hidayat, Sujoko Sumaryono
Coffee Break S S S S
Yogyakarta Yogyakarta Yogyakarta Yogyakarta
Nyoman Jelun, Adhi Susanto, Radianta Triatmadja, Thomas Sri Widodo Oky Dwi Nurhayati, Adhi Susanto, Thomas Sri Widodo Priswanto, Romi Wiryadinata, Thomas Sri Widodo, Andreas P. Adi , Wahyu Widada Arif Syamsul Iskandar, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari
Department of Electrical Engineering, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Keynote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
1
ISSN: 2085-6350
2
ISSN: 2085-6350
Keynote
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Keynote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
3
ISSN: 2085-6350
4
ISSN: 2085-6350
Keynote
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Keynote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
5
ISSN: 2085-6350
6
ISSN: 2085-6350
Keynote
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Keynote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
7
ISSN: 2085-6350
8
ISSN: 2085-6350
Keynote
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Keynote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
9
ISSN: 2085-6350
10
ISSN: 2085-6350
Keynote
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Keynote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
11
ISSN: 2085-6350
12
ISSN: 2085-6350
Keynote
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Keynote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
13
ISSN: 2085-6350
14
ISSN: 2085-6350
Keynote
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Keynote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
15
ISSN: 2085-6350
16
ISSN: 2085-6350
Keynote
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Keynote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
17
ISSN: 2085-6350
18
ISSN: 2085-6350
Keynote
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Keynote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
19
ISSN: 2085-6350
20
ISSN: 2085-6350
Keynote
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
21
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
PENERAPAN TOUCH KEY DENGAN MIKROKONTROLER AT89S51 SEBAGAI PENGENDALI KECEPATAN MOTOR DC Agus sofwan*) danNovizal **), Mahasiswa S-2 Teknik Elektro – ISTN, Jakarta *) Teknik Elektro – PPS ISTN. Jakarta,
[email protected] Jl. PLN Duren Tiga Pasar Minggu Jakarta Selatan **)
ABSTRAK Perkembangan teknologi yang semakin pesat memacu kreatifitas dalam merancang suatu produk, yang dalam penelitian ini didasarkan atas teknologi sentuh. Dengan memanfaatkan sensor kapasitansi dan mikrokontroller AT89S51 dapat dirancang dalam pembuatan alat kontrol yang berfungsi sebagai pengendali kecepatan motor DC dengan bantuan 7 segmen. Sensor kapasitor akan menditeksi perubahan muatan pada sebuah capasitor. Proses ini terjadi ketika jari tangan menyentuh plat sebagai media sentuh. Perubahan muatan yang terjadi diproses oleh driver touch dan outputnya dikirim ke mikrokontroller yang diditeksi sebagai tegangan input. Protokol yang digunakan untuk komunikasi data adalah 12C, dimana ia hanya memerlukan 2 jalur komunikasi yaitu 12C _data dan 12C_clk. Dimana cara kerja 12C adalah dengan cara mengambil data secara serial pada frekuensi 12MHz. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penerapan touch key sebagai pengontrol kecepatan motor DC berjalan dengan kecepatan tinggi pada saat di set up maksimum dan berkecepatan rendah kalu di set up minimum. Tiga parameter yang dapat dikendalikan pada penelitian ini adalah: proteksi motor dengan mengaktifkan atau mematikan, pengendalian kecepatan motor serta perubahan arah putaran motor.
berlokasi di panel, akan mengukur distorsi resultan (Gambar 2) dalam gelombang sinus daerah yang direferensi oleh sensor dan mengirim informasi ke mikrokontroler untuk diproses lebih lanjut secara matematik. Pada tubuh manusia juga terdapat arus listrik yang tersimpan di dalam elektron dan juga memiliki kapasitansi. Sensor kapasitif dapat disentuh dengan sesuatu yang konduktif seperti dengan jari manusia, tidak seperti resistif dan surface wave panels yang dapat disentuh menggunakan apapun seperti jari tangan atau stylus 3.1 Teknologi Sentuh Pada perancangan teknologi sentuh ini ada beberapa metoda yang digunakan diantaranya menggunakan resistif, surface wave, capasitif, infrared, strain gauge, optical imaging dan dispersives signal technology. Salah satu metode yang digunakan pada penelitian ini adalah prinsip kapasitif (kapasitansi). Saat sensor mengkapasitansi daerah yang tersentuh oleh jari manusia, sirkuit elektrik yang berlokasi di panel, akan mengukur distorsi resultan dalam gelombang sinus daerah yang direferensi oleh sensor dan mengirim informasi ke mikrokontroler untuk diproses secara matematik.
Kata kunci: Touch key, sentuh, komunikasi data, mikrokontroller, kecepatan 1.
Pendahuluan
Gambar 1.Rangkaian Dasar Kapasitif
Salah satu teknologi pada masa kini yang sedang berkembang dalam berbagai peralatan modern adalah teknologi “Touch” atau “sentuh”. Aplikasi dari teknik sentuh bisa bersifat multifungsi, karena mempunyai sifat yang sama seperti saklar. Prinsip dasar dari kapasitor digambarkan pada gambar 1. Pada pengendalian kecepatan putaran motor DC dapat dilakukan dengan mengendalikan tegangan dan frekuensi. Dengan menggunakan PWM, sangat praktis untuk diterapkan sebagai pengendalian kecepatan motor, inverter PWM mempunyai kelebihan yaitu mampu menggerakkan motor dengan putaran dan rentang yang lebar, dan untuk penganalisaan datanya dibantu dengan pemograman Matlab.
Besarnya nilai kapasitor ditentukan dengan rumus berikut:
2. Tinjauan Pustaka Teknologi sentuh yang berbasiskan dari jenis kapasitif ini mampu mendeteksi perubahan muatan arus listrik dari proses kapasitansi. Saat sensor mengkapasitansi daerah yang tersentuh oleh jari manusia, sirkuit elektrik yang
Gambar 2.
[1] ∈ = permitivitas bahan ( Farad/m) A = luas pelat ( m²) d = jarak antara pelat-pelat (m)
Garis-garis gaya distorsi
Ground yang berada pada PCB board menimbulkan medan listrik setelah setelah disentuh dengan jari . Hal ini akan menambah statis kapasitansi, dengan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
22
tanpa mengaktifkan switch dan akan mengurangi sensitivitas. Sensitivitas switch bisa ditingkatkan dari: • Menambah ketebalan PCB untuk meningkatkan jarak antara active switch dan parasit. • Meminimalisasikan jalur dibawah touch switch. • Penggunaan grounding sesuai kebutuhan dan mengurangi jalur ground yang tidak perlu. • Menambah jarak antara switch pads dengan bidang ground. • Menambah pad area. • Mengurangi ketebalan lapisan sentuh dengan switch pads. 2.2 Pengisian dan Pengosongan Kapasitor Dua hal yang perlu diperhatikan pada suatu kapasitor adalah saat pengisian dan pengosongan muatannya. Besarnya tegangan pada kapasitor C akan naik secara eksponensial. Hal tersebut dapat terjadi dan digambarkan pada Gambar 2.10. Prosesnya digambarkan apabila saklar S dihubungakan ke point 1 maka akan mengalir arus dari sumber melalui hambatan R ke kapasitor C sebagaimana dipaparkan pada gambar 3 berikut.
RTC
Gambar 4. Diagram Blok Aplikasi Touch Key dengan MCU AT89S51 Sebagai Pengendali Motor Diagram blok Sistem Pengaturan Lingkar Tertutup dari alat teknik sentuh sebagai pengatur motor digambarkan pada Gambar 5.
R
y(t) = Vi
C
Gam bar 5. Diagram Blok Sistem Pengaturan Lingkar Tertutup
x(t) = Vc
Gambar 3. Rangkaian RC Sedangkan besarnya tegangan dapat dihitung berdasarkan rumus 2 berikut:
Vc = tegangan pada kapasitor (V) Vs = tegangan pada sumber (V) t = waktu pengisian kapasitor (det) R = resistansi dari resisitor (Ω) C = kapasitansi dari kapasitor (F) 3. Metodologi Penelitian Metodologi yang digunakan dalamm penelitian ini secara berurutan sebagai berikut: Studi literatur, teori penunjang yang berhubungan dengan alat. Dilanjutkan dengan perancangan dan perealisasian alat, pembuatan blok dan skematic diagram alat. Untuk merealisasikan maka perlu realisasi alat dengan pembuatan rangkaian pada board dan tahapan berikutnya adalah Metode pengujian, meliputi tegangan, I/O MCU, interface, aplikasi alat dan analisisnya dan diakhiri dengan Touch Key Dengan Mikrocontroler AT89S51. Penggunaan teknik sentuh sebagai kontrol motor DC terdiri dari 4 bagian utama , yaitu Rangkaian kontrol (MCUAT89S51), Rangkaian teknik sentuh, Rangkaian penggerak motor, dan Rangkaian display . Diagram blok ” Sketsa Teknik sentuh dengan Mikrokontroller AT89S51 Sebagai Pengaturan Motor DC” Dapat dilihat pada Gambar 4.
ISSN: 2085-6350
1.
Hasil Implementasi Pada Sistem Touch Key
Panel sentuh merupakan tempat memberi inputan ke motor. Apabila jari tangan menyentuh panel, maka akan terjadi proses kapasitansi antara jari tangan dan plat PCB. Sehingga akan terjadi perubahan muatan. Dengan adanya sensor kapasitansi, perubahan itu dapat di deteksi sebagai satu inputan yang akan diteruskan ke mikrokontroler. Gambar 6 dibawah ini merupakan skematik diagram dari touch key .
Gambar 6 . Skematik Touch Key Dalam suatu sistem teknik sentuh cara kerja rangkaiannya mengandalkan driver teknik sentuh yang berupa IC. IC yang dipakai ialah IC jenis PsoC
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
23
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
(Programmable System on Chip) yang khusus dirancang untuk dapat mendeteksi adanya perubahan muatan dari proses kapasitansi. IC ini termasuk salah satu jenis IC PPI (Pheriperal Programmable Interface) yang artinya dapat diprogram sesuai keinginan atau tujuan pemakaiannya Setiap pin IO yang terkoneksi / yang digunakan, mempunyai tegangan referensi kapasitansi yang diatur terlebih dahulu oleh program. PSoC akan melakukan scanning terhadap Pin IO yang terkoneksi, ketika pad sentuh tersentuh oleh jari maka pin tersebutlah yang akan dideteksi sebagai inputan (tegangan).
1.
2.
3. 4.
6.1
Rangkaian Penggerak Motor Rangkaian penggerak motor pada alat ini merupakan suatu rangkaian pengendali motor DC yang dapat di kontrol dengan menggunakan mikrokontoler. Karena untuk menggerakkan motor membutuhkan pulsa PWM. Tingkat kecepatan motor diatur berdasarkan frekuensi pulsa. Jadi semakin tinggi frekuensinya semakin cepat pula putarannya. Pengendali yang dirancang adalah menggunakan mikrokontroler dan bekerja dalam ragam single chip operation (mode operasi keping tunggal) yang tidak memerlukan memori luar. Kristal yang digunakan untuk mengoperasikan mikrokontroler adalah 12 MHz. Penggunaan kristal 12 MHz menyebabkan detak dalam pada mikrokontroler menjadi 12 Mhz / 12 = 1 MHz, yang artinya setiap periode detak waktunya 1 mikrodetik, sehingga memudahkan untuk mengubah-ubah data pada penggunaan perwaktu karena periode detak perwaktuannya tidak ganjil. Frekuensi cycle dan periode cycle dari mikrokontroler dapat dihitung : fcycle = (1/12) x Xtal = (1/12) x 12 MHz = 1 MHz Tcycle = 1/fcycle = 1/1 MHz = 1 µSec Nilai duty cycle yang didapatkan harus diolah sehingga mampu membangkitkan sinyal PWM yang sesuai. Untuk dapat mengendalikan motor dc dengan variasi kecepatan dan arah putaran yang dapat diatur, maka diperlukan rangkaian penggerak yaitu H-Bridge yang
6.2
Bila X2-1 diberi input pulsa PWM dan X2-2 tidak, maka transistor yang ON adalah T1, T3, & T5. Sehingga X1-1 ON dan motor berputar ke arah kanan. Bila X2-2 diberi input pulsa PWM dan X2-1 tidak, maka transistor yang ON adalah T2, T4, & T6. Sehingga X1-2 ON dan motor berputar ke arah kiri. Bila X2-1 dan X2-2 diberi input pulsa PWM, maka semua transistor akan ON. Sehingga X1-1 dan X12 akan ON dan motor dalam keadaan brake. Bila X2-1 dan X2-2 tidak diberi inputan, maka semua transistor akan OFF. Sehingga X1-1 dan X1-2 akan OFF dan motor selalu dalam keadaan OFF. Hasil Penelitian Karakter Motor DC
Penelitian terhadap motor dc dilakukan dengan variasi nilai duty cycle sinyal PWM pada tegangan catu 6 V. Hasil percobaan menunjukkan bahwa motor berhenti pada nilai duty cycle 10%.
Gambar 8.Grafik perbandingan tegangan pada kecepatan mundur pengukuran (series 2) dengan referensi (series 1) 6.3.
Hasil analisa Rangkaian RC Pada Gambar 6 dibawah ini diperlihatkan tegangan yang dihasilkan pada saat pengisian kapasitor dengan waktu konstan dengan nilai R yang berbeda-beda yaitu grafik warna merah dengan nilai R = 0.1 k ohm, C = 1 µF. Grafik berwarna biru dengan nilai R = 1 k ohm, C = 1 µF, dan grafik berwarna hijau dengan nilai R = 10 k ohm , C = 1 µF.
berfungsi sebagai driver motor dc (hardware).
Gambar 7. Rangkaian H – Bridge 6 Transistor
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
24
Gambar 9. Tangapan kapasitor dengan waktu konstan dengan merubah nilai kapasitor. Pada program Matlab selanjutnya dilakukan juga pengujian dengan membuat rangkaian parallel kapasitor, dengan nilai R = 10 k ohm dan nilai kapasitor yang diparalel masing-masing bernilai C1 = C2 = C3 = 1µ F. Sehingga diperoleh waktu pengisian dari kapasitor tersebut lebih lama yaitu t = 0.08 detik seperti yang ditampilkan pada Ganbar 10.
Gambar 10. Grafik tegangan masing-masing kapasitor pada rangkaian pararalel. Kesimpulan Dari hasil perancangan, pembuatan, pengujian dan “’’ Penerapan Touch Key Dengan Mikrokontroler AT89S51 Sebagai Proteksi dan Pengendali Kecepatan Motor DC, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Alat ini dapat menunjukan perbedaan antara input sentuh dengan switch analog yaitu pada pengontrolan dan pengaplikasiannya. 2. Pengisian muatan pada kapasitor relatif cepat untuk pendeteksian kembali perubahan muatan akibat sentuhan jari. 3. Dengan komunikasi antarmuka I2C, proses pengambilan dan pengiriman data dari sensor kapasitansi dengan mikrokontroler dapat terjadi secara dua arah. Karena I2C terdiri dari 1 jalur data dan satu jalur clock. 4. Berdasarkan hasil pengujian, kecepatan dan arah putaran motor dapat dikendalikan dengan mudah menggunakan teknik sentuh. 5. Berdasarkan hasil pengujian, kecepatan putaran motor bergantung pada frekuensi sinyal PWM yang dirancang. Dalam hal ini adalah program. 6. Dari hasil pengujian, perangkat lunak untuk mengaplikasikan teknik sentuh sebagai pengendali motor DC sudah dapat berfungsi dengan baik.
Saran Karena keterbatasan waktu, maka diberi saran untuk keperluan pengembangan lebih lanjut, ada beberapa hal yang perlu ditambahkan dalam alat ini, diantaranya adalah: 1. Penggunaan LCD untuk display lebih cocok dan kombinatif untuk memvariasikan dari pada aplikasi teknik sentuh. 2. Pengendalian motor DC sebaiknya di gunakan untuk menggerakkan sesuatu seperti tape, kipas, dan lain sebagainya. DAFTAR PUSTAKA 1. Atmel. 1999. AVR Embedded RISC Microcontroller Core. Atmel Corporation. (www.atmel.com) 2. Atmel. 1999. AVR Embedded RISC Microcontroller Core Peripheral – Timer/Counter. Atmel Corporation (www.atmel.com) 3. Atmel. 2001. AT89S51 – 8-bit AVR Microcontroller with 4K Bytes In-System Programmable Flash Datasheet. Atmel Corporation. (www.atmel.com) 4. Malvino, Albert Paul, 1996. Prinsip-Prinsip Elektronika, Edisi ketiga, Alih bahasa: Hanapi Gunawan, Penerbit Erlangga, Jakarta 5. Rachmad Setiawan, 2006. Mikrokontroler MCS-51, Graha Ilmu, Yogyakarta. 6. San Jose. 2006. CY8C20234 Multy Signal Array. (www.cypress.com) 7. Sudjadi, 2005. “Teori & Aplikasi Mikrokontroler Aplikasi Pada Mikrokontroler AT89C51”, Graha Ilmu, Yogyakarta. 8. Haykin, Simon, “Comunication System” : Introduction (Canada :John willey & Son, Inc, third edition, 1994).pp. 1-2. 9. Phillips, Charless L, Nagle, H. Troy, Digital Control System Analysis and Design : Digital Controller Design (third edition, Printice Hall, Inc , New Jerset 07632) pp. 310-318. 10. Ogata, Katshiko, “Teknik kontrol Automatik”, alih bahasa, Laksono, (Edi, edisi ke enam, Penerbit Erlangga, 1994), pp 7. 11. Murphy, Gordon J, “Basic Automatic Control Theory”,D.Van Nostrand Company, Inc. Princeton, New Jersey London, 12. Richards, R.J, “Solving Problem in Control”, Logman Group UK Ltd 1993. 13. Kamen, Edward W, Heck,Bonnie S,”Fundamentals of Sinyal and Systems Using Matlab”, Prentice-Hall International, Inc (UK) limited, London ,1997.
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009 25
Penggunaan Algoritma Genetik Paralel Hibrid dalam Sistem Kontrol Lampu Lalu lintas Pintar Agus Priyono1, Agus Sofwan1, Mohd. Ridwan2, Riza Atiq2, Mohd. Alauddin2 1) Teknik Elektro PPS ISTN Jakarta
[email protected] 2) Universiti Kebangsaan Malaysia.
[email protected] Abstract_The genetic algorithm approach to solve traffic signal control and traffic assignment problem is used to tackle the optimization of signal timings, cycle and offset timings. Signal timing is defined by the common network cycle time, the green time for each signal stage, and the offsets between the junctions. The development of parallel evolutionary algorithms for multi-objective problems involves the analysis of different paradigms for parallel processing and their corresponding parameters. Thus, this is not a simple question and not many publications have appeared dealing with the topic. A parallel version of a new hybrid genetic algorithm for optimization of traffic light signal timings is presented. The route-directed hybrid genetic approach is based upon the simultaneous evolution of two populations of solutions focusing on separate objectives subject to temporal constraint relaxation. While the first population evolves individuals to minimize total traveled distance the second aims at minimizing temporal constraint violation to generate a feasible solution. Genetic operators have been designed to capture key concepts from successful routing techniques to further enhance search diversification and intensification. This paper presented the parallel hybrid genetic algorithm that combining of genetic algorithm and immune system to optimize the fuzzy logic inference on the intelligent traffic control system. Key words: Parallel Hybrid Genetics Algorithm, Immune System, Fuzzy logic inferens Optimization PENDAHULUAN Awal 1960-an, J.Holland [Michigan] telah meneliti algoritma genetik (AG) dengan hasilnya yang telah dipublikasikan pada 1975 dengan judul "Adaptation in Natural and Artificial System". Kaedah Holland berhasil karena dalam penggunaan algoritma genetik ini tidak hanya mempertimbangkan peran mutasi tetapi juga menggunakan penggabungan kembali genetik. Penggabungan genetik ini merupakan perkawinan separuh penyelesaian untuk memperbaiki kemampuan algoritma dan pada akhirnya menemukan penyelesaian yang optimum. Algoritma genetik biasanya digunakan untuk mencari penyelesaian masalah non deterministic polynomial. AG juga digunakan untuk menyelesaikan kerja-kerja pengoptimuman sistem yang rumit dan sukar diselesaikan oleh kaedah matematik biasa (Haupt 1998). Algoritma genetik bermula dengan menyediakan satu set penyelesaian yang dinamakan populasi dan sesuatu penyelesaian dalam populasi yang dinamakan kromosom. Penyelesaian dari satu populasi diambil dan digunakan untuk membentuk populasi
baru dan populasi tersebut akan memberikan penyelesaian yang lebih baik dari penyelesaian sebelumnya. Penyelesaian yang dipilih untuk membentuk penyelesaian yang baru dalam populasi baru disebut sebagai keturunan. Menurut Abitko (1998), keturunan dipilih berdasarkan kekuatannya. Kini algoritma genetik dikembangkan dalam berbagai penelitian. Algoritma sistem kekebalan tubuh (immune system algorithm) telah diteliti. Sistem ini berdasarkan sistem kekebalan dalam tubuh mahluk dimana mempunyai mekanisme yang mampu membuang bahan-bahan asing dari dalam tubuh yang dikenal sebagai antigen. Kemudian sistem kekebalan tubuh membentuk satu set antibodi untuk membuang antigen. Antibodi ini berinteraksi dengan antigen untuk mendapatkan hasil lain (Alisantoso 2003). Dalam pelaksanaannya, sistem ini dikembangkan untuk menangani persoalan pengoptimuman algoritma genetik yang terperangkap pada optimum lokal. Sistem ini sedang dikembangkan untuk menangani persoalan penjadwalan yang sulit ditemukan di dalam literatur (Coello et al. 2003). Secara ringkas, langkah-langkah algoritma genetik adalah (Agus et al. 2005a): 1. Pengkodean problem dalam bentuk deret biner. 2. Pembentukan pertambahan populasi secara acak, termasuk kromosom yang menggambarkan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian. 3. Pengujian nilai kekuatan setiap kromosom. 4. Pemilihan pasangan kromosom untuk dijadikan sebagai orang tua menurut kekuatannya. 5. Pempopulasian baru dengan cara berikut: a. Perkawinan: Kawinkan pasangan kromosom yang telah dipilih untuk mendapatkan keturunan, atau kromosom yang serupa boleh dijadikan sebagai keturunan. b. Mutasi: Beberapa kromosom keturunan dipilih dan salah satu bagiannya diganti dengan satu angka lain yang dibentuk secara acak. c. Selingan: Pilih secara acak beberapa kromosom dan lakukan mutasi pada orbit masing-masing. d. Penempatan kromosom keturunan dalam populasi baru. 6. Jika syarat akhir tidak dapat dipenuhi maka ulang kembali dari langkah ke-3. 1.1. Kromosom Kromosom adalah satu set penyelesaian yang dinamakan populasi dan satu penyelesaian dalam populasi. Kromosom seharusnya mengandung informasi mengenai penyelesaian dan berbentuk biner, angka atau huruf. Bentuk yang paling umum adalah menggunakan angka biner dan biasanya, jumlah kromosom dalam satu populasi antara 20~30. Untuk
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
26
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
menyelesaikan masalah yang rumit dan mempunyai berbagai dimensi, jumlah kromosom bisa mencapai 100. Kromosom 1
1101100100110011101
Kromosom 2
1001111100110001010
Atau Kromosom 1
21 20 45 34 21 50 67 35 49 25
Kromosom 2
13 62 24 36 20 55 16 29 31 19
Atau Kromosom 1 Kromosom 2
A B C D N R T H N V O Q M P S Z Y L
Gambar 1. Contoh bentuk-bentuk Kromosom 1.2.
Pengujian Kekuatan Kromosom
Dalam algoritma genetik, kemungkinan pembiakan secara langsung tergantung pada ujian kekuatan dari setiap populasi. Penggunaan kaedah ini ditentukan oleh dua masalah yaitu : 1. Sebuah kromosom kuat sering dipilih untuk menjaga keseluruhan populasi agar menuju ke genom. Perbedaan kekuatan kromosom kemudian dikurangi untuk mengikuti pergerakan algoritma genetik. 2. Selama pergerakan AG, perbedaan kekuatan antara kromosom dikurangi. Salah satu yang terbaik kemudian akan dipilih dari kromosom yang lain. Setelah dipilih, pergerakan algoritma genetik serta merta berhenti Untuk mengurangi permasalahan di atas, nilai kekuatan kromosom dapat diubah menggunakan kaedah berikut: 1 Dihilangkan: untuk setiap kromosom, kekuatannya dikurangi menggunakan kekuatan kromosom yang paling buruk. Dengan demikian, kromosom yang terkuat diberi jalan untuk memperolehi pembagian dasar nol. 2 Eksponen: mengandung punca pangkat dua ditambah satu yang digunakan untuk mengurangi pengaruh kromosom yang paling kuat. 3 Perubahan linier: gunakan sebuah parameter linier di setiap kekuatan, sebagai contoh: f' = af + b. Dengan demikian kromosom yang terkuat akan dikurangi kekuatannya sekali lagi. 4 Pemulihan linier: Kekuatan kromosom dibuat linier, sebagai contoh populasi di atas 10. Untuk pertama kali nilai 100 diambil, kemudian 90, 80, …, dan pada akhirnya, 10 diambil dengan menghindari penghitungan secara langsung. Sekiranya ada perbedaan di antara kromosom apakah sangat kuat atau lemah, serta perbedaan di antara kemungkinan pembiakan, hanya bergantung pada tingkat kekuatan kromosom 5. a. Perkawinan Setelah kromosom yang paling baik ditetapkan, langkah selanjutnya adalah melakukan persilangan atau perkawinan untuk melahirkan keturunan. Di antara kaedah yang paling mudah adalah dengan melakukan pemilihan titik perkawinan secara acak dan yang sebelum titik perkawinan
ISSN: 2085-6350
akan diturunkan dari kromosom pertama serta apa yang setelah titik perkawinan akan diturunkan dari kromosom kedua. Untuk kromosom yang panjang, titik perkawinan dapat lebih dari satu dan kedudukan perkawinan ini boleh ditentukan untuk menghindari kerosakan parameter yang sedang dioptimumkan (Ohmori & Kasai 1997). Selama proses perkawinan berlangsung, kemungkinan kromosom yang terbaik bisa hilang. Untuk mengatasi keadaan ini, kromosom yang terbaik dipilih atau beberapa kromosom yang baik dijadikan sebagai kromosom elit yang akan menjelma ke generasi seterusnya tanpa sebarang perubahan. Dengan adanya kromosom elit, maka proses pengoptimumam algoritma genetik akan bertambah cepat karena penyelesaian yang terbaik yang ditemui dalam setiap waktu putaran tidak akan hilang. Biasanya kadar perkawinan ditentukan dengan prosentase 80 % sehingga 95 %. Anggaplah salah satu kromosom adalah deret biner: 1101001100101101 dan kromosom yang lainnya adalah: yxyyxyxxyyyxyxxy dengan nilai 0 dan 1 diganti dengan x dan y. Dengan menggunakan satu perkawinan acak, hasilnya digambarkan dalam Gambar 2 yang dipisahkan dengan titik perkawinan. 11010 01100101101 yxxxy yxxyyyxyxxy Gambar 2: Persilangan dua kromosom dengan satu titik persilangan. Perkawinan ini akan menghasilkan dua kemungkinan yaitu: 11010yxxyyyxyxxy dan yxyyx01100101101.
1.4.
Mutasi
Setelah perkawinan, maka proses mutasi dapat dilakukan. Satu atau beberapa kromosom akan mengalami proses mutasi. Mutasi berguna untuk menghindari penyelesaian terperangkap pada optimum lokal yang disebabkan oleh dominasi kromosom yang sangat kuat pada suatu generasi. Mutasi dilakukan dengan cara memilih secara acak satu atau beberapa kromosom yang bukan elit dan kemudian mengubah kandungan kromosom tersebut. Untuk mutasi deret biner, mutasi dapat dilakukan dengan cara memilih secara acak angka-angka dalam kromosom tersebut dan menggantinya dengan angka yang lain seperti mengubah 0 menjadi 1 atau sebaliknya. Sedangkan untuk kromosom angka nyata, mutasi dilakukan dengan mengganti dua angka dengan dua angka yang lain seperti ditunjukkan dalam Gambar 3. Kadar mutasi yang terbaik adalah antara 0.5 % ~ 1 % dari jumlah kromosom dalam setiap populasi dengan ketentuan jika tingkat perkawinan tinggi, maka tingkat terjadinya mutasi harus rendah [Abitko]. Kromosom asal Krom tlh dimutasi atau Kromosom asal
1101100100110011101 1101000100110011101
21 20 45 34 21 50 67 35 49
21 20 29 34 21 50 67 35 49 Krom tlh dimutasi Gambar 3. Contoh mutasi dalam kromosom
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009 27
1.
Selingan
Selingan adalah proses penukaran dua bagian kromosom yang diambil secara acak dengan mengganti keduanya. Selingan semata-mata merupakan operator buatan untuk melahirkan satu generasi kromosom yang baru, dan berbeda dengan perkawinan atau mutasi, dimana mutasi atau perkawinan menukar bagian kromosom secara natural. Grefenstette (1986) menetapkan tingkat salingan yang merupakan kebarangkalian melakukan penukaran dalam setiap kromosom pada tiap generasi adalah antara 10% hingga 20 %. Dalam penggunaannya, AG telah membuktikan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena itu AG mempunyai kelebihan antara lain: • Sangat baik dalam pengoptimuman pemasalahan. • Mempunyai kemampuan menyelesaikan pekerjaan pengoptimuman sistem yang rumit dan sulit diselesaikan oleh kaedah matematik biasa (Haupt 1998). • Mempunyai kemampuan kaedah mencari (search method) yang menjamin untuk menyelesaikan permasalahan secara cepat. • Algoritma genetik mempunyai kemampuan menangani sistem penjodoh bilangan. Para peneliti menggabungkan algoritma genetik untuk merumuskan penjodohan baru. Namun algoritma genetik juga mempunyai kelemahan terutama dalam beberapa hal, antara lain: • Algoritma genetik tidak dapat digunakan untuk menggantikan pohon permainan minimum-maksimum (min-max games tree). • Tidak dapat digunakan untuk menggantikan bentuk pencarian lain dengan perubahan dari keadaan sebelum ke keadaan terkini yang harus terjadi dengan cepat. • Algoritma genetik dapat terjebak pada optimum lokal karena adanya kromosom yang paling kuat yang mendominasi suatu generasi. Dengan kelebihannya, algoritma genetik banyak digunakan dalam beberapa aplikasi antara lain: • Rancang bangun sistem adaptif (adaptive system design). • Kontrol adaptif (adaptive control). • Penentuan automaton terbatas. • Pengoptimuman suatu persoalan. Penentuan parameter untuk rangkaian neuron dan inferens berbasis logika fuzzy. 1.6.
Aplikasi Algoritma Genetik
Telah dikembangkan sistem kontrol lalu lintas berbasis AG untuk mengoptimumkan setiap lampu signal pada rangkaian lampu yang menggunakan banyak parameter[1992]. Proyek ini pada asalnya menggunakan dua kaedah pengoptimuman yaitu AG dan Quasi-Newton. Namun akhirnya kaedah
Quasi-Newton ditinggalkan karena tersangkut pada minimum lokal. Nakatsuji et al. (1994) telah mengembangkan sistem kontrol lampu signal persimpangan rangkaian. Digunakannya AG untuk mengoptimumkan 4 lampu signal yang tersusun empat persegi dengan setiap lampu tersebut adalah untuk kontrol dua fase. Telah dikembangkan sistem kontrol dengan penggabungan GA dengan mesin Counchy untuk mensupervisi jangka waktu isyarat stokastik dan melayani proses penyelesaian yang terjebak pada minimum lokal. Dalam sistem kontrol ini, AG digunakan untuk menentukan pembagian waktu hijau dan ofset. Abu Lebdeh (1998) telah mengembangkan GA mikro untuk mengoptimumkan satu rangkaian lampu signal. Untuk penelitiannya, telah dibuat untuk satu sistem yang kecil dengan GA. GA mikro digunakan untuk menentukan pembagian waktu hijau dan ofset optimum untuk setiap masa kitar. Diperlukan sampai 40,000 generasi untuk mencapai tingkat penyelesaian optimum. GA digunakan untuk mengoptimumkan kontrol persimpangan terpisah dengan meminimumkan perlambatan setiap kendaraan (Taale2000). Telah dilakukan penelitian dengan membandingkan kaedah pengoptimuman dengan kaedah kendaraan tergerak secara penyelakuan dan didapati bahawa penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang baik karena ada persimpangan yang menunjukkan kaedah pengoptimuman lebih baik dan ada yang kurang baik. Riza Atiq (2002) menggunakan AG untuk mengoptimumkan pembagian waktu hijau pada satu persimpangan. Dalam penelitiannya beliau telah membandingkan dengan berbagai kaedah kontrol seperti baris gilir, kendaraan tergerak dan pengoptimuman. Proses yang diusulkan adalah untuk mencari waktu hijau optimum yang akan meminimumkan perbedaan lengah pada jalanjalan tuju, yang berarti tidak ada perbedaan lengah rata-rata kendaraan yang datang dari salah satu jalan tuju dengan jalan tuju yang lain. Ceylan dan Bell (2004) telah mengembangkan sistem kontrol lalu lintas dengan menggabungkan algoritma genetik, TRANSYT dan peramal lintasan pengaliran kendaraan. Dalam kontrol lalu lintas, algoritma genetik digunakan untuk menyelesaikan kontrol isyarat dan permasalahan tugas lalu lintas. AG digunakan untuk menangani pengoptimuman jangka masa isyarat dengan rangkaian pengaliran keseimbangan pengguna stokastik. Julat waktu isyarat ditakrifkan dengan masa kitar rangkaian bersama, masa hijau untuk setiap tahap isyarat, dan ofset di antara persimpangan. Penunjuk keberhasilan sistem diartikan sebagai jumlah dari gabungan pemberat linier dari lengah dan bilangan kendaraan berhenti pada setiap unit masa untuk semua arus kendaraan yang dinilai oleh model lalu lintas TRANSYT. Tugas keseimbangan pengguna stokastik dirumuskan sebagai padanan untuk meminimumkan permasalahan dan diselesaikan menggunakan estimasi lintasan alir kendaraan (path flow estimator). Fungsi alamatnya diambil dari penunjuk keberkesanan rangkaian (performance index) dan kemudian pembalikan penunjuk keberkesanan rangkaian atau dinamakan sebagai fungsi kekuatan yang digunakan dalam AG.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
28
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
2. AG PARALEL HIBRID AG menggunakan kode penyelesaian berupa kromosom dalam mencari penyelesaian masalah. Bentuk kromosom ini bergantung permasalahan yang akan diselesaikan (Sena,2001). AG paralel hibrid digunakan untuk menentukan nilai ć yang berbentuk bilangan nyata dan karenanya kromosom yang digunakan dalam AG adalah kromosom angka nyata, bukan biner. Umumnya, AG digunakan untuk mengoptimumkan permasalahan adalah pengkodean biner (Oyama et al.2001). Dan biner juga digunakan untuk menghitung dan tidak memerlukan mengkodekan dan mentafsirkan kode. Karena secara teori tidak akan menimbulkan persoalan peleraian (Lin et al. 2004). Penggunaan nilai predikat angka nyata adalah untuk menemukan nilai ć yang lebih teliti dan ruang pencarian yang lebih luas dibandingkan kalau menggunakan biner. Disamping itu juga mampu menyelesaikan kelemahan dari pengkodean biner yaitu penyelesaian peleraian rendah. Untuk mengoptimumkan inferens logika fuzzy dalam penelitian ini, digunakan algoritma genetik paralel hibrid. Pemilihan penggunaan algoritma genetik paralel adalah untuk memastikan pencarian nilai inferens yang optimum dapat dilakukan secara serentak dan diperluas dalam memendekkan waktu pencarian. Penggunaan ini disusun secara hibrid dengan memanfaatkan kelebihan algoritma genetik dalam melakukan pencarian digabungkan dengan kelebihan algoritma klonal (sistem kekebalan tubuh) dalam menghindari pencarian terperangkap pada optimum lokal (Singh 03). Pengoptimuman inferens logika fuzzy dapat menggunakan AG paralel hibrid. 1.1. Kromosom Panjang kromosom yang akan digunakan tergantung pada batas atas, batas bawah dan tingkat ketelitian predikat-α serta jumlah gen yang diperlukan. Dalam penelitian ini, batas atas predikat-α ditetapkan 10 dan batas bawah adalah -10, sedangkan jumlah gen ditentukan berdasarkan pada jumlah perubah dalam satu peraturan dasar serta jumlah peraturan dasar yang digunakan, yaitu sejumlah 3R. Sebagai contoh, apabila hasil penggugusan subtraktif menghasilkan 5 gugusan data, maka panjang kromosom yang digunakan dalam algoritma genetik adalah ditentukan berdasarkan persamaan berikut: pk = Cnt * m (1) Cnt = pusat gugusan = 5 m = perubah = 5 Maka, panjang kromosom yang digunakan ialah: pk = 5 * 5 = 25. 1.2. Ruang Pensampelan Paralel Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat diketahui bawa jumlah parameter yang akan dicari oleh algoritma genetik tergantung kepada jumlah perubah dalam suatu peraturan serta banyaknya jumlah peraturan dasar yang digunakan. Apabila peraturan dasar yang digunakan semakin banyak, maka jumlah parameter yang akan dicari oleh algoritma genetik semakin banyak. Oleh karena itu, agar algoritma
ISSN: 2085-6350
genetik mempunyai kebarangkalian menemukan optimum global yang lebih besar, diperlukan suatu kaedah yang dapat memperluas ruang pencarian algoritma genetik. Salah satu kaedah yang dapat digunakan untuk memperluas ruang pencarian algoritma genetik serta untuk menghindari terperangkap pada optimum lokal, adalah dengan menggunakan ruang pensampelan paralel (Singh 2003; Park 2003). Untuk mewujudkan pensampelan paralel, ruang sampel algoritma genetik yang digunakan dalam penelitian ini akan dibai kedalam dua sub-ruang sampel dengan masing-masing ruang sampel mempunyai bentuk kromosom yang sama, namun, operator pensampelan yang digunakan berbeda. 2.3 Fungsi Kekuatan Kromosom Fungsi kekuatan setiap kromosom merupakan informasi yang digunakan oleh algoritma genetik untuk mengenal permasalahan yang akan diselesaikan (Osman 2004). Oleh karena itu, fungsi kekuatan kromosom semestinya ditentukan terlebih dahulu secara tepat. Untuk melaksanakan tugas demikian, fungsi tujuan yang digunakan adalah fungsi minimum. Sebaliknya, konsep algoritma genetik adalah mempertahankan kromosom yang kuat sehingga generasi akhir dan hal ini sama dengan fungsi maksimum. Karenanya, fungsi kekuatan kromosom yang digunakan oleh algoritma genetik dalam penelitian ini adalah bentuk terbalik dari fungsi tujuan yang akan dicapai, yaitu seperti berikut : Eval(vk)=
1 = MSE
1
=
n
∑(t − y ) ∑(t − y ) n
i=1
r 2
i
n
i=1
r 2
;∀r
(2)
i
n Dalam penelitian ini, gabungan algoritma genetik dan algoritma klonal (sistem kekebalan tubuh) digunakankan untuk mendapatkan penyelesaian yang lebih baik dan tepat serta tidak terperangkap pada optimum lokal. Tujuan pokok dalam penggunaan algoritma genetik adalah untuk menghasilkan bentuk algoritma yang kokoh (robust) dan memberikan kinerja yang baik dalam menyelesaikan berbagai jenis persoalan. Dalam bentuknya yang asli, algoritma genetik merupakan sistem yang buta tatacara dan hanya menggunakan kode dan nilai fungsi tujuan untuk menentukan jejak yang sesuai pada generasi selanjutnya. Algoritma genetik tidak menggunakan semua pengetahuan khusus mengenai masalah, meskipun boleh jadi sistem mempunyai pengaruh untuk meningkatkan kemampuan dalam mencari sesuatu secara cepat atau mampu memberikan penyelesaian yang lebih baik (Amjad 2004). Keadaan yang demikian menjadikan algoritma genetik menjadi tidak menguntungkan dibandingkan kaedah lain yang dibuat menggunakan informasi khusus mengenai masalah yang ada. Oleh karena itu diperlukan gabungan algoritma genetik dengan kaedah lain secara hibrid dengan menggunakan sudut pandang menyeluruh pada algoritma genetik dan fokus pada kaedah masalah-khusus. Dalam penelitian ini digunakan algoritma genetik dengan algoritma klonal yang digabungkan secara hibrid untuk menyelesaikan persoalan pengoptimuman kontrol lalu lintas.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009 29
Prinsip algoritma klonal dan proses menjadi masak persemendaan (affinity) dapat dipastikan mampu membentuk pembelajaran dan memelihara ingatan yang bermutu tinggi serta mampu untuk menyelesaikan persoalan yang rumit seperti persoalan modus dengan jumlah yang banyak dan pengoptimuman gabungan(d.Castro &V.Zuben 2000) Pada penentuan nilai kekuatan setiap kromosom, diperlukan suatu kaedah penskalaan untuk menghindarkan algoritma genetik terperangkap pada optimum lokal (Singh 2003; Gen 1997). Tujuan dari penskalaan ini adalah untuk meminimumkan perbedaan kekuatan antara kromosom yang kuat dengan yang lemah, dan agar kromosom yang kuat tidak mendominasi ruang pensampelan. Penskalaan nilai kekuatan setiap kromosom dilakukan berdasarkan pada konsep persemendaan yang ada pada algoritma (Orhan & Alper 2004). Model yang digunakan untuk melakukan penskalaan kekuatan kromosom yang didasarkan pada konsep tersebut yaitu:
⎛ ⎛ f (i ) ⎞ ⎞ f (*i ) = f (i ) − ⎜⎜ ⎜⎜ *φ ⎟⎟ * f (i ) ⎟⎟ ⎠ ⎝ ⎝ f max ⎠
(3)
dengan:
f (*i ) = kekuatan kromosom baru,
f (i ) = kekuatan
kromosom lama, f max =kekuatan kromosom maksimum, φ = perubah 2.4. Perkawinan Proses perkawinan digunakan untuk mendapatkan anakanak kromosom baru dari hasil perkawinan silang dari dua induk kromosom. Anak kromosom ini merupakan alternatif penyelesaian baru yang akan memperluas ruang pencarian penyelesaian algoritma genetik. Untuk mendapatkan penyelesaian yang baik maka perkawinan dilakukan pada kedua sub-ruang sampel algoritma genetik, namun dengan bentuk yang berbeda. Persoalan demikian dilakukan untuk mendapatkan proses perkawinan yang cepat dengan ruang yang lebih luas untuk mendapatkan anak-anak kromosom baru yang lebih baik. Subruang sampel pertama menggunakan operasi perkawinan satu titik potong (Gen & Cheng 1997), dan subruang sampel kedua menggunakan operasi perkawinan delta (Papadakis & Theocharis 2002). Cara kerja masing-masing perkawinan, dijelaskan pada Gambar 4. Dalam menentukan besarnya nilai anak kromosom pada perkawinan delta digunakan persamaan seperti berikut :
satu fase dan antrian pada fase selanjutnya sesuai urutan julat masa. Apabila strategi optimum tempatan telah ditetapkan, maka set logika fuzzy pertama akan memproses data masukan antrian pada fase Q1 dan Q2 untuk menentukan pembagian waktu hijau optimum yang diperlukan. Pada keadaan ini masa kitar hanya dapat diketahui setelah semua julat masa hijau semua fase telah
Anak kromosom-1
An = a n + (rand (0;1) * (bn − a n ))
(4)
Anak kromosom-2:
Bn = bn + (rand (0;1) * (bn − a n ))
(5)
dimana: An = Anak kromosom-1 ke n Bn = Anak kromosom-2 ke n an = Induk kromosom-1 ke n bn = Induk kromosom-2 ke n n = Jumlah kromosom (1, 2, 3, …… n)
2.5.
Mutasi
Proses mutasi digunakan untuk mendapatkan anak kromosom dari satu induk kromosom. Mutasi digunakan untuk menjaga keberbagaian kromosom dalam suatu generasi dengan cara mengubah susunan gen induk kromosom sehingga menghasilkan anak kromosom yang baru (Park et al. 2003). Proses ini dapat menghindari terjadinya algoritma genetik terperangkap pada optimum lokal. Dalam penelitian ini digunakan kaedah mutasi sambilewa (flip) untuk setiap subruang sampel pertama dan sub-ruang sampel kedua. Besarnya nilai C dan D pada anak kromosom baru dihitung menggunakan persamaan :
⎛ G C = x + (rand (0;1)* (Ba − x ) )* ⎜⎜ ⎝ Gnr
⎞ ⎟⎟ ⎠
c
)
(6)
⎛ G D = y + (rand (0;1)* (Ba − y ) )* ⎜⎜ ⎝ Gnr Dengan Ba = Batas atas , Bb=Batas Generasi, Gnr=Generasi,c=konstanta
⎞ ⎟⎟ ⎠
c
bawah,
) (7) G=Indeks
3. HASIL PENGUJIAN 3.1. Pangujian Pembagian waktu Hijau Strategi Pengoptimuman Lokal Komponen pangaturan terdiri dari dua set logika fuzzy yang disusun untuk menangani masing-masing hasil keluaran rangkaian neuron dua tahap. Disamping itu logika fuzzy juga menangani masukan secara langsung dari rangkaian neuron MLP sehingga dapat membaca panjang antrian di ke-empat jalan tuju pada setiap persimpangan (Agus 2005b). Seperti telah dijelaskan di atas, pembagian pembagian waktu hijau ditentukan berdasarkan keadaan antrian pada lengkap dilalui. Agar logika Fuzzy mampu mengetahui panjang antrian dan kemudian menentukan pembagian waktu hijau semua fase, logika fuzzy perlu dilatih terlebih dahulu melalui proses pembelajaran secara off line. Logika fuzzy disuapi dengan 75 data masukan(dengan 3 jenis data) untuk mendapatkan hasil julat masa yang mendekati kebutuhan sesuai permintaan lalu lintas.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
30
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gambar 4. (a) Persilangan satu titik potong, (b) Persilangan delta Data masukan tersebut kemudian diguguskan untuk mendapatkan jumlah Peraturan fuzzy yang sesuai. Hasil waktu hijau sebagai keluaran logika fuzzy dengan quash factor sebanyak 1.2, nisbah penerimaan (accept ratio) adalah 0.6, nisbah penolakan (reject ratio) adalah 0.12 dan jari-jari gugusan adalah 0.3. Didapatkan jumlah pusat gugusan (atau jumlah peraturan fuzzy) sebanyak 17 pusat gugusan. Vernieuwea et al. (2004) menentukan nilai faktor hempap yang sesuai adalah berkisar antara 0.5 – 2.0. Sedangkan nisbah penerimaan, nisbah penolakan dan jari-jari gugusan adalah berkisar antara 0.1 – 1.0 pada langkah 0.1. Demirli et al. (2003) mencadangkan besarnya nilai faktor hempap adalah berkisar 1.25 – 1.50 dan jari-jari gugusan adalah 0.15 – 0.30. Dari eksperiman yang dilakukan diketahui bahwa faktor hempap yang sesuai adalah berkisar 1.0 – 1.5, nisbah penerimaan dan nisbah penolakan adalah antara 0.1 – 1.5 dan besarnya jari-jari gugusan adalah 0.2 – 0.35. Semakin besar nilai nisbah penerimaan dan nisbah penolakan akan menyebabkan jumlah peraturan fuzzy menjadi sedikit. Sebaliknya, akan memperbanyak jumlah peraturan. Besarnya jari-jari gugusan akan menghasilkan peraturan fuzzy yang semakin sedikit, namun akan menyebabkan gradien peraturan menjadi semakin kasar. Sebaliknya, apabila jari-jari gugusan semakin besar, maka akan menyebabkan sistem menjadi diartikan lebih (overdefined) (Demirli et al. 2003). Untuk mengoptimumkan hasil keluaran logika fuzzy, maka inferens logika fuzzy dioptimumkan menggunakan algoritma genetik paralel hibrid. Proses ini adalah untuk mendapatkan konstanta ć1, ć2 dan ć3 yang optimum. Peraturan (rules) logika fuzzy optimum dapat dihasilkan untuk mendapatkan pembagian waktu hijau yang paling sesuai. Menggunakan ukuran populasi sebanyak 50 kali, tingkat persilangan 50 %, tingkat mutasi 30 %, jumlah generasi 100 dan nilai terbaik adalah 10, didapatkan 17 peraturan logika fuzzy optimum dengan MSE sebesar 0.204 (Agus et al. 2005a). Contoh hasil peraturan tersebut diperlihatkan pada Gambar 8. adalah sebagai berikut :
ISSN: 2085-6350
if x1 adalah tingkat 1and x2 adalah tingkat 1 then masa hijau adalah (1.970387 x1 + (-8.896005)-02 x2 + 2.350964) Hasil pembelajaran logika fuzzy menggunaan algoritma genetik paralel hibrid di atas menghasilkan keluaran pembagian waktu hijau optimum yang mendekati pembagian waktu hijau yang diperkirakan seperti diperlihatkan pada Gambar 5. Garis warna merah adalah keluaran pembagian waktu hijau optimum, garis warna biru adalah pembagian waktu hijau yang diperkirakan. Dalam realitasnya, proses pembelajaran pada logika fuzzy menggunakan algoritma genetik paralel hibrid tidaklah mudah diwujudkan. Perkara ini dikeranakan jumlah data masukan yang diproses adalah matrik 3 x 75 dan 5 x 75 data. Proses iterasi menjadi masalah yang besar kerana program yang dibangunkan untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak mampu melakukan iterasi dengan masa yang singkat. Oleh itu setelah beberapa kali tidak berjaya membangunkan program yang dikehendaki menggunakan perisian VB 6.0, maka penyelesaiannya adalah dengan menggabungkan kemudahan perisian VB 6.0 dengan kemampuan perisian MathLab® dalam menentukan konstanta-konstanta persamaan matriks untuk memperpendek masa iterasi. 3.2. Pangujian Pembagian waktu Hijau Strategi Pengoptimuman Keutamaan Apabila strategi optimum keutamaan ditetapkan, maka set logika fuzy kedua akan memproses data masukan antrian kendaraan pada fase Q1 dan Q2, lampu hijau persimpangan jiran mula menyala dT dan jarak antara dua persimpangan yang dikaji d. Data masukan tersebut dipergunakan untuk menentukan pembagian waktu hijau dan ofset optimum yang diperlukan. Pada strategi optimum keutamaan, masa kitar ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan permintaan lalu lintas pada satu-satu persimpangan. Apabila satu-satu persimpangan mengalami kesesakan sehingga pengawal memutuskan menggunakan strategi optimum keutamaan, maka persimpangan jiran yang lain akan menyesuaikan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009 31
masa kitar dengan merujuk kepada persimpangan yang mengalami kesesakan.
masa
kitar
Gambar 5, Hasil pembelajaran logika fuzzy untuk Optimum Lokal. Pada keadaan ini, logika fuzzy dilatih dengan diberi 75 data masukan (5 jenis data) untuk mendapatkan hasil hasil julat waktu yang mendekati keperluan sesuai permintaan lalu lintas. Data input tersebut kemudian diguguskan untuk mendapatkan jumlah rule fuzzy yang sesuai. Hasil waktu hijau sebagai keluaran logika fuzzy dengan quash factor sebanyak 1.2, nisbah penerimaan adalah 0.5, nisbah penolakan adalah 0.12 dan jari-jari gugusan adalah 0.3. Didapatkan jumlah pusat gugusan atau jumlah peraturan fuzzy sebanyak 41 (Agus 2006). Inferens logika fuzzy dioptimumkan menggunakan algoritma genetik paralel hibrid untuk mendapatkan konstanta ć1, ć2, ć3, ć4 dan ć5 yang optimum. Rules logika fuzzy yang sudah dioptimumkan guna mendapatkan pembagian waktu hijau dan offset yang paling sesuai dengan yang diperkirakan (Agus 2006). Penggunaan ukuran populasi sebanyak 50 kali, tingkat persilangan 50%, tingkat mutasi 30 %, jumlah generasi 100 dan diambil nilai terbaik adalah 10, didapatkan 41 rule logika fuzy optimum dengan MSE sebanyak 0.238. Contoh hasil peraturan : if x1 adalah tingkat 4 and x2 adalah tingkat 4 and x3 adalah tingkat 4 and x4 adalah tingkat 4 then Waktu hijau adalah (0 x1 + 0 x2 + (2.83998677080456)-03 x3 +
(5.89430487988617)-02 x4 + 0 )
Gambar 6. Hasil pembelajaran logika fuzzy untuk Strategi Optimum Keutamaan.
4. KESIMPULAN Hasil pembelajaran menghasilkan keluaran pembagian waktu hijau optimum dan ofset yang mendekati nilai yang diperkirakan. Garis keluaran pembagi waktu hijau optimum hampir berimpit dengan garis pembagi waktu hijau yang diperkirakan. Dengan demikian menunjukkan bahwa pendekatan dengan algoritma genetik dapat menyelesaikan permasalahan traffic signal control and traffic assignment guna mendapatkan optimisasi dari signal timings, putaran dan offset timings. 5. DAFTAR PUSTAKA [1] Abitko M., 1998 “Genetic Algorithms.” http://cs.felk.cvut.cz/~xobitko/ga/ (15 Januari 2000). [2]. Abu Lebdeh, G. dan Benekohal, R.F., 1998 “MicroGenetic Algorithms in Intelligent Traffic Signal Control.” Advanced Technologies in Transportation Engineering. Proceeding of the 5th International Conference. American Society of Civil Engineers, hlm. 288-295. [3]. A.Priyono, A.Jais Alias, R.Atiq O.K. Rahmat, A.Hassan, & M.Alauddin M.Ali, 2005a “Generating Fuzzy Rules using Subtractive Clustering Method.” Jurnal Teknologi Universiti Tek Malaysia No.43 Penerbit UTM, Skudai. [4].A.Priyono, M.Ridwan, A.Jais Alias, R. Atiq O.K. Rahmat, A.Hassan, & M.Alauddin Mohd. Ali, 2005b “Application of LVQ Neural Network for Real-Time Adaptive Traffic Control System.” Jurnal Teknologi Univ. Tek Malaysia No. 42 Penerbit UTM, Skudai. [5].A.Priyono, 2006 “Pembangunan Sistem Kawalan Teragih Pintar Bagi Lalu Lintas Bandar.” Tesis Doktor Falsafah (PhD), Jabatan Kejuruteraan Elektrik, Elektronik dan Sistem, Fakulti Kejuruteraan, Universiti Kebangsaan Malaysia. [6]. Amjad Mahmood, 2004 “A Hybrid Genetic Algorithm for Task Scheduling in Multiprocessor Real-Time Systems.” Department of Computer Science University of Bahrain, Bahrain.( 2004). [7]. Liu, Z., Liu, A., Wang, C. dan Niu, Z., 2004 “Evolving Neural Network Using Real Coded Genetic Algorithm (GA) for Multispectral Image Classification.” Future Generation Computer Systems 20: 1119-1129. [8]. Nakatsuji, T., Seki, S., Shibuya, S. dan Kaku, T., 1994 “Artificial Intelligence Approach for Optimizing Traffic Signal Timings on Urban Road Network.” Proceeding of Vehicle Navigation and Information Systems Conference, hlm. 199-202. [9]. Riza Atiq, 2002 “Sistem Pengawalan Lalu Lintas Pintar.” Tesis Doktor Falsafah, Jabatan Kejuruteraan Awam dan Struktur, Fakulti Kejuruteraan, Universit Kebangsaan Malaysia. [10]. Sena, G.A., Megherbi, D. dan Isern, G., 2001 “Implementation of Parallel Genetic Algorithm on a Cluster of Workstations: Traveling Salesman Problem, a Case Study.” Future Generation Computer Systems 17: 477-488. [11]. Sena, G.A., Megherbi, D. dan Isern, G., 2001 “Implementation of Parallel Genetic Algorithm on a Cluster of Workstations: Traveling Salesman Problem, a Case Study.” Future Generation Computer Systems 17: 477-488.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
32
Sistem Monitoring Rumah Berbasis 3G Mobile Phone 1)
A. Sofwan 1) dan M. Ibnu Sina 2) Jurusan Teknik Elektro ISTN-Jakarta
[email protected] , 2)
[email protected]
Abstrak Masyarakat Indonesia merupakan konsumen handphone terbesar di asia tenggara, termasuk Handphone 3G, sehingga berpotensi besar untuk dapat memanfaatkan fungsi handphone secara optimal. Oleh karenanya paper ini akan memaparkan pemanfaatan handphone untuk dapat dipergunakan sebagai alat pemantau dan pengaman rumah dari tindak pencurian maupun tindakan kriminal lain. Sistem diperlukan pada saat seseorang berada di luar rumah, terkadang merasa khawatir dengan keadaan rumahnya yang pada saat itu tidak ada seorang pun didalamnya. Design kerjanya adalah dekat rumah dipasang sensor yang terhubung langsung dengan mikrokontroller dan handphone. Saat sensor tersebut mendeteksi ada seseorang yang masuk ke dalam rumah, maka sensor akan memberikan input ke dalam mikronkontroller tersebut dan langsung mengaktifkan handphone untuk memberikan laporan kepada pemilik rumah berupa pesan singkat atau sms bahwa telah terdeteksi seseorang masuk ke rumah. Setelah itu pemilik rumah akan melakukan panggilan video (video call) ke 3Ghandphone yang telah diletakkan di salah satu sudut rumah. Lalu dengan software penjawab otomatis (auto answer), handphone yang dipanggil secara otomatis akan menerima panggilan tersebut dan mengaktifkan kamera pada handphone. Selanjutnya handphone yang melakukan panggilan tersebut akan menampilkan keadaan rumah sesuai dengan sudut pandang tetap yang ditampilkan atau dimonitor oleh handphone tersebut. Bila sisi ruang yang dipantau cukup luas, maka dapat digunakan lebih dari 1 buah handphone. Sebagai Feedbacknya jika terpantau di kamera seseorang yang tidak dikehendaki masuk ke rumah, maka dengan menggunakan speaker yang diperkuat pada handphone dapat mengeluarkan suara keras yang akan membuat orang tersebut merasa takut dan akhirnya meninggalkan rumah secepatnya. Kata kunci : 3G, video call, mikrokontoller, sensor cahaya dan auto answer I. PENDAHULUAN Jika dilihat secara umum, kondisi keamanan dan kenyamanan hidup di kota-kota besar Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah tingkat kriminalitas yang semakin meningkat setiap tahunnya. Hampir setiap hari pemberitaan tentang tindak kriminalitas ramai diberitakan baik di media cetak maupun elektronik, salah satunya tindak kriminalitas berupa pencurian. Tidak dipungkiri bahwa tindak pencurian ini sering terjadi di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makasar dan kota-kota lainnya, karena di kota besar inilah menjadi poros perekonomian masyarakat. Untuk mencegah tindak pencurian tersebut pada umumnya masyarakat Indonesia hanya mengandalkan gembok pintu atau hanya sekedar penguncian pintu rumah saja. Padahal ini cukup beresiko, karena bukan hanya yang mengandalkan penguncian pintu rumah saja, seseorang yang selama ini memakai jasa anjing penjaga maupun satpam pun tidak jarang menjadi korban tindak pencurian, baik di siang hari maupun malam hari. Faktor ekonomi yang mendesak menjadi penyebab pencuri sekarang ini lebih lincah dan profesional dalam menjalankan aksi kriminalnya. Dengan latar belakang masalah tersebut, maka perlu dirancang suatu sistem yang dapat menghindari dari tindak kriminal berupa pencurian. Oleh karena itu pada paper ini akan dibahas satu perancangan sistem pengaman dan
ISSN: 2085-6350
pemantau rumah yang lebih praktis dan modern. Dimana sistem akan bekerja saat terdeteksi seseorang masuk ke dalam rumah melalui sensor. Setelah terdeteksi mikrokontroller akan mengaktifkan handphone untuk memberikan laporan kepada pemilik rumah bahwa telah terdeteksi seseorang yang masuk ke dalam rumah. Lalu dengan melakukan panggilan video ke handphone 3G yang telah dipasang disalah satu sudut rumah, maka akan terlihat apakah benar seseorang yang tidak diundang masuk kedalam rumah. Jika ternyata benar seseorang yang terpantau di kamera adalah seseorang yang tidak diundang “pencuri”, maka untuk membuat seseorang tersebut keluar dari rumah cukup dengan mengeluarkan suara tertentu, dimana suara tersebut akan terdengar keras oleh pencuri tersebut karena telah terhubung oleh speaker aktif. Akhirnya “pencuri” tersebut kaget dan bergegas meninggalkan rumah. Untuk itulah integrasi antara alat pendeteksi berupa sensor dengan alat pemantau rumah berupa handphone 3G ini diharapkan menjadi salah satu solusi dalam menghindari dari tindak pencurian, khususnya ketika rumah sedang tidak dihuni oleh satu orang pun. 2.1 3G dan Video call Jaringan Telepon Telekomunikasi selular telah meningkat menuju penggunaan layanan 3G dari 1999 hingga 2010. Jepang adalah negara pertama yang memperkenalkan 3G secara nasional dan transisi menuju 3G di Jepang sudah dicapai pada tahun 2006. Setelah itu Korea menjadi
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
33
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
pengadopsi jaringan 3G pertama dan transisi telah dicapai pada awal tahun 2004, memimpin dunia dalam bidang telekomunikasi. Salah satu fasilitas yang didapatkan dari 3G yaitu video call. Video call merupakan salah satu komunikasi yang memungkinkan seseorang untuk dapat berkomunikasi secara bertatap muka langsung dari ponsel 3G. Video call melalui saluran 3G. Sekarang ini sedang ramai dibicarakan tentang generasi ketiga teknologi bergerak atau yang sering disebut 3G. Teknologi 3G didapatkan dari dua buah jalur teknologi telekomunikasi bergerak. Pertama adalah kelanjutan dari teknologi GSM/GPRS/EDGE dan yang kedua kelanjutan dari teknologi CDMA (IS-95 atau CDMAOne). UMTS (Universal Mobile Telecommunication Service) merupakan lanjutan teknologi dari GSM/GPRS/EDGE yang merupakan standard telekomunikasi generasi ketiga dimana salah satu tujuan utamanya adalah untuk memberikan kecepatan akses data yang lebih tinggi dibandingkan dengan GRPS dan EDGE. Kecepatan akses data yang bisa didapat dari UMTS adalah sebesar 384 kbps pada frekuensi 5KHz sedangkan kecepatan akses yang didapat dengan CDMA1x ED-DO Rel0 sebesar 2.4 Mbps pada frekuensi 1.25MHz dan CDMAx ED-DO relA sebesar 3.1Mbps pada frekuensi 1.25MHz yang merupakan kelanjutan dari teknologi CDMAOne. Berbeda dengan GPRS dan EDGE yang merupakan overlay terhadap GSM, maka 3G sedikit berbeda dengan GSM dan cenderung sama dengan CDMA. 3G yang oleh ETSI disebut dengan UMTS (Universal Mobile Telecommunication Services) memilih teknik modulasi WCDMA (Wideband CDMA). Pada WCDMA digunakan frekuensi Radio sebesar 5 Mhz pada band 1.900 Mhz (CdmaOne dan CDMA 2000 menggunakan spektrum frekuensi sebesar 1.25 MHz) dan menggunakan chip rate tiga kali lebih tinggi dari CDMA 2000 yaitu 3.84 Mcps (Mega Chip Per Second).
perkembangan teknologi baru adalah perkembangan teknologi semikonduktor yang memungkinkan pembuatan micro chip dengan kemampuan komputasi yang sangat cepat, bentuk yang semakin mungil dan harga yang semakin murah. Karena kemampuannya yang tinggi, bentuknya yang kecil, konsumsi dayanya yang rendah dan harga yang murah maka mikrokontroller begitu banyak digunakan di dunia. Mikrokontroller digunakan mulai dari mainan anak-anak, perangkat elektronik, rumah tangga, perangkat pendukng otomotif, peralatan industri, peralatan telekomunikasi, peralatan medis dan kedokteran sampai dengan pengendali robot dan persenjataan militer. Terdapat beberapa keunggulan dari alat-alat yang berbasis mikrokontroller, yaitu : a. Kehandalan tinggi b. Kemudahan integrasi dengan komponen lain c. Ukuran yang dapat diperkecil d. Penggunaan komponen yang semakin sedikit e. Mengurangi biaya produksi 2.2.1 Mikrokontroller AT89S52 AT89S52 adalah mikrokontroller yang dikeluarkan oleh Atmel, sebuah perusahaan yang bergerak dalam produksi semikonduktor. Mikroprosessor yang dirancang khusus untuk aplikasi kontrol, dan dilengkapi dengan ROM, RAM dan fasilitas I/O pada satu chip. AT89S52 adalah salah satu anggota dari keluarga MCS-51/52 yang dilengkapi dengan internal 8 Kbyte Flash PEROM (Programmable and Erasable Read Only Memory), yang memungkinkan memori program untuk dapat deprogram kembali. AT89S52 dirancang oleh Atmel sesuai dengan instruksi standar dan susunan pin 80C5. Mikrokontroler AT89S52 mempunyai 40 pin dengan catu daya tunggal 5 Volt. Ke-40 pin tersebut digambarkan sebagai berikut : Gambar 1. Konfigurasi Mikrokontroller AT89S52
Secara teknik dalam jaringan UMTS terjadi pemisahan antara circuit switch (cs) dan packet switch (ps) pada link yang menghubungkan mobile equipment (handphone) dengan BTS (RNC) sedangkan pada GPRS dan CDMA 2000 1x tidak terjadi pemisahan melainkan masih menggunakan resource yang sama di air interface (link antara Mobile Equipment dengan Base Station). HSDPA (High Speed Download Packet Access) merupakan kelanjutan dari UMTS dimana ini menggunakan frekuensi radio sebesar 5MHz dengan kecepatan mencapai 2Mbps 2.2 Mikrokontroller Mikrokontroller adalah single chip komputer yang memiliki kemampuan untuk diprogram dan digunakan untuk tugastugas yang berorientasi kontrol. Mikrokontroller datang dengan dua alasan utama, yang pertama adalah kebutuhan pasar dan kedua adalah perkembangan teknologi baru. Kebutuhan pasar adalah kebutuhan yang luas dari produkproduk elektronik akan perangkat cerdas sebagai pengontrol pemrosesan data. Sedangkan yang dimaksud dengan
¾ ¾ ¾
Mikrokontroler AT89S52 memiliki : ¾ Sebuah CPU ( Centra l Proces sing Unit ) 8 Bit 256 byte RAM ( Random Acces Memory ) internal Empat buah port I/O, yang masing masing terdiri dari 8 bit Osilator internal dan rangkaian pewaktu
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
34
¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾
Dua buah timer/counter 16 bit Lima buah jalur interupsi ( 2 buah interupsi eksternal dan 3 interupsi internal). Sebuah port serial dengan full duplex UART (Universal Asynchronous Receiver Transmitter) Mampu melaksanakan proses perkalian, pembagian, dan Boolean EPROM yang besarnya 8 KByte untuk memori program Kecepatan maksimum pelaksanaan instruksi per siklus adalah 0,5 µs pada frekuensi clock 24 MHz. Apabila frekuensi clock mikrokontroler yang digunakan adalah 12 MHz, maka kecepatan pelaksanaan instruksi adalah 1 µs
2.3 Infra Merah Cahaya infra merah merupakan cahaya yang tidak tampak secara kasat mata. Jika dilihat dengan spektroskop cahaya maka radiasi cahaya infra merah akan nampak pada spektrum elektromagnet dengan panjang gelombang cahaya infra merah. Dengan panjang gelombang ini maka cahaya infra merah tidak akan tampak oleh mata namun radiasi panas yang ditimbulkannya masih dapat terasa atau dideteksi. Pada dasarnya komponen yang menghasilkan panas juga menghasilkan radiasi yang memancarkan infra merah termasuk tubuh manusia maupun binatang. Cahaya infra merah walaupun mempunyai panjang gelombang yang sangat panjang tetapi tidak dapat menembus bahan-bahan yang tidak dapat melewatkan cahaya yang nampak, sehingga cahaya infra merah tetap mempunyai karakteristik seperti halnya cahaya yang nampak oleh mata secara kasat.
menggunakan gelombang radio. Cahaya dari lampu filament dan lampu flourecent intensitas tinggi serta sinar matahari yang ada di sekitar rangkaian dapat mempengaruhi kerja rangkaian pemancar-penerima inframerah. 2.4 Prinsip Kerja LED Infra Merah LED infra merah maupun dioda biasa mempunyai prinsip kerja yang sama, yaitu arus mengalir dari kutub anoda ke kutub katoda, yang apabila kutub anoda mempunyai tegangan lebih besar dari pada kutub katoda. Perbedaannya, dioda biasa apabila mendapatkan arus bias maju akan menimbulkan panas dan itu tidak boleh melebihi batas arus yang diberikankarena akan merusak dioda. Sedangkan LED infra merah apabila diberi bias maju akan mengeluarkan sinar infra merah. Blok pembangun fundamental pada LED infra merah didasarkan pada sambungan p-n (p-n junction). Sambungan tersebut dibentuk dengan menyambungkan secara fisis semikonduktor jenis p dan semikonduktor jenis n, seperti yang terlihat pada gambar 2 di bawah ini. Sambungan
P Jenis P
N Jenis N Gambar 2. Sambungan p-n
Jika cahaya berinteraksi dengan partikel, sejumlah energi dan momentum akan berubah selama proses interaksi. Perubahan yang terjadi tergantung pada energi dan momentum sistem. Perubahan energi atom dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi disebut absorpsi, karena di dalamnya terdapat proses penyerapan energi. Sebaliknya, jika atom jatuh dari tingkat energi yang lebih panas ke tingkat yang lebih rendah akan terjadi proses emisi yaitu pancaran cahaya. Prinsip ini dipergunakan pada piranti optoelektronika seperti LED, Photo Detector maupun Laser. Cahaya Inframerah sebagai gelombang datar mempunyai beberapa sifat seperti refleksi (pantulan) dan refraksi (pembiasan), seperti halnya cahaya tampak. Cahaya infra merah dapat memantul bila mengenai cermin dan dapat menembus bahan gelas (kaca). Akan tetapi dikarenakan infra merah beroperasi pada frekuensi tinggi maka di bututhkan kondisi line of sight (los) pada proses perambatannya, lurus tanpa halangan. Bila ada halangan maka sinyal yang dikirim tidak akan sampai kepada penerima. Ini merupakan salah satu sifat dari gelombang elektromagnetik frekuensi tinggi. Pada kenyatannya gelombang infra merah dapat mengalami gangguan-gangguan interferensi seperti halnya dengan
ISSN: 2085-6350
Gambar 3 berikut dibawah ini adalah gambar sebuah rangkaian sederhana pemancar infra merah terdiri atas catu daya, sebuah beban dan sebuah LED infra merah.
V
R IR LED
Gambar 3. Rangkaian Sederhana Pemancar Sinar Infra Merah Harga yang lewat arus LED adalah :
I =
Vcc
− Vdd R
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
35
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Secara garis besar, sistem monitoring rumah ini dirancang untuk dapat bekerja sebagai : Dengan : Vcc = Tegangan sumber Vdd = Tegangan penghalang LED R
= Resistor (beban)
Arus yang mengalir dari tegangan sumber melalui resistor akan membangkitkan sinar infra merah. 2.5 Photodioda Photodioda merupakan salah satu alat semikonduktor yang menerima sinar infra merah. Untuk simbol photodioda digambarkan pada gambar 4 dibawah ini.
Katoda
Anoda
Gambar 4. Simbol Photodioda
Rangkaian sederhana dari penerima sinar infra merah yang menggunakan photodioda ditunjukkan pada gambar 5 berikut. Gambar 5. inilah contoh sederhana dari rangkaian Penerima Infra Merah
1.
Sistem pendeteksi
2.
Sistem monitoring dan security
Kedua sistem tersebut masing-masing memiiki perancangan sistem yang berbeda dan cara kerja yang berbeda namun saling berhubungan. Konsep dasar dari alat yang dirancang ini adalah adanya hubungan antara sistem pendeteksi manusia dalam hal ini seseorang yang tidak di inginkan masuk kedalam rumah dan sistem monitoring rumah. Jika terdeteksi seseorang telah masuk ke dalam rumah maka sistem pendeteksi akan mengirimkan sms kepada si pemilik rumah. Kemudian si pemilik rumah langsung melakukan panggilan video (video call) ke sistem monitoring. Jika saat dilakukan video call terpantau seseorang yang tidak di undang telah masuk ke dalam rumah, maka si pemilik rumah dapat mengeluarkan suara yang akan membuat kaget orang tersebut. dibawah ini merupakan gambar ilustrasi dari perancangan sistem tersebut.
SMS
Sistem Pendeteksi
User
Sistem Monitoring
Video Call
Vcc Gambar 6. Diagram Blok Perancangan Sistem 3.1 Sistem Pendeteksi
R
Out
Sistem pendeteksi adalah sebuah sistem yang di rancang untuk memberitahukan pada si pemilik rumah bahwa telah terdeteksi seseorang telah masuk ke dalam rumah melalui sebuah pesan singkat (sms). Pada bagian ini akan dijelaskan rangkaian yang membentuk sistem pendeteksi. Berikut adalah gambar blok diagram sistem pendeteksi.
Gambar 5. Rangkaian Sederhana Penerima Infra Merah Pada saat photodiode mendapat sinar infra merah yang dipancarkan oleh LED infra merah, arus akan mengalir dari Vcc melalui resistor menuju ke ground, sehingga tegangan pada terminal keluaran akan sama dengan tegangan anodakatoda photodioda. Namun, jika sinar infra merah tidak mengenai Photodioda, maka tidak ada arus yang mengalir, sehingga tegangan pada terminal keluaran akan sama dengan tegangan Vcc. III. PERANCANGAN SISTEM
Sinar Infra
Sensor Photodio
Mikrokontroll er AT 89S52
HP
Gambar 7. Diagram Blok Sistem Pendeteksi Pada sistem ini dipergunakan 4 komponen penting yaitu, sensor infra merah, sensor photodioda, mikrokontroller
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
36
AT89S52 dan handphone. Handphone disini adalah handphone yang dapat bekerja saat mikrokontroller memberikan input berupa perintah untuk mengirimkan sms. Prinsip kerja dari sistem ini berawal dari sensor infra merah. Sensor infra merah berfungsi untuk mendeteksi seseorang masuk ke dalam rumah ketika pemilik rumah sedang meninggalkan rumah. Sebaiknya menggunakan lebih dari 1 sensor agar hasil deteksi yang diberikan lebih akurat. Ketika sinar infra terhalang oleh seseorang yang masuk ke dalam rumah, sinar infra merah tersebut akan jatuh mengenai photodioda. Photodioda akan memberikan input ke mikrokopntroller untuk segera mengirimkan sms melalui hp kepada si pemilik rumah sebagai peringatan dini bahwa seseorang telah terdeteksi masuk ke dalam rumah. Saat itu si pemilik rumah dapat langsung melapor atau menghubungi pihak yang berwajib dan melakukan pantauan ke sistem monitoring 3.2 Sistem Monitoring Sistem monitoring ini berfungsi untuk mengetahui apakah benar seseorang telah masuk ke dalam rumah melalui fasilitas video call. Berikut adalah gambar blok diagram sistem monitoring. HP 3G
Amplifier
Speaker
Gambar 8. Diagram Blok Sistem Monitoring Sistem monitoring ini digunakan setelah sistem pendeteksi mengirimkan pesan singkat berupa sms bahwa telah terdeteksi seseorang telah masuk ke dalam rumah yang selanjutnya dilakukan proses monitoring melalui sistem monitoring. Proses kerjanya yaitu si pemilik rumah dapat melakukan video call ke hp 3G yang telah dipasang di salah satu sudut rumah untuk melihat dan memonitor gerak gerik seseorang yang telah terdeteksi tersebut. Dengan software auto answer yang telah terpasang pada hp 3G maka secara otomatis hp
ISSN: 2085-6350
3G akan menerima video call dan si pemilik rumah dapat melihat pantauan rumah langsung dari ponselnya. Jika pada ponsel si pemilik rumah terpantau seseorang yang sedang menjalankan aksi kriminalnya maka untuk tindakan awal mencegah diri menjadi korban tindak pencurian, si pemilik rumah dapat mengeluarkan suara tertentu langsung dari ponselnya dan akan terdengar keras oleh orang tersebut karena hp 3G telah terhubung ke amplifier dan speaker. Akhirnya orang tersebut segera meninggalkan rumah karena aksi kriminalnya tersebut telah diketahui oleh si pemilik rumah. IV. KESIMPULAN Sebagai kesimpulan dari perancangan sistem monitoring rumah berbasis 3G mobile phone ini diantaranya : ¾ Terbangunnya sebuah sistem pendeteksi seseorang yang masuk ke dalam rumah saat pemilik rumah tidak berada dirumahnya dengan menggunakan sensor infra merah sebagai pendeteksi. ¾ Terbangunnya sistem monitoring rumah yang lebih cepat dan efisien. ¾ Sebagai salah satu solusi memberikan rasa aman dan nyaman saat meninggalkan rumah untuk keperluan tertentu Referensi 1.
Silaban Pantur., Dasar-Dasar Teknik Elektro, Erlangga, Jakarta : 1981. 2. Sutanto, Dasar-Dasar Elektronika, Cet 1, Univ. Indonesia, Jakarta : 1989. 3. Budiharto Widodo., Elektronika Digital dan Mikroprosessor, Yogyakarta : 2005 4. Saydam Gouzal., Sistem Telekomunikasi di Indonesia, Cet 1,Angkasa,Bandung: 86 5. Simajuntak Tiur., Dasar-Dasar Telekomunikasi, Alumni, Bandung: 1993 6. http://radarkotabumi.com/indosat/2008/11/evolusiteknologi-telekomunikasi-bergerak-1g-to-4g/.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
37
Pemanfaatan mobile wireless controller pada sistem pengambilan data komputer Agus Sofwan 1), Tedi Margino 2) Jurusan Teknik Elektro, Institut Sains dan Teknologi Nasional Jl. Moh. Kahfi II, Jagakarsa, Jakarta 12640, Indonesia E-mail : 1)
[email protected], 2)
[email protected]
ABSTRAK Kini sebagian besar pekerjaan dapat dilakukan dengan menggunakan komputer termasuk pembuatan dokumen, surat-surat dan data-data lainnya. Karena pengolahan data dengan Komputer mempunyai keunggulan selain lebih cepat pemrosesannya, juga mudah untuk editing, penyimpanan, pemindahan dokumen dan tentunya lebih efisien. Karena kesibukan dapat mengakibatkan terlupa membawa data yang diperlukan, dimana data tersebut tersimpan di komputer desktop yang tersambung dengan jaringan internet di rumah, walaupun dalam kondisi off. Pada penelitian ini diusahakan cara untuk mengambil data tersebut dari jarak jauh tanpa harus kembali ke rumah. Usaha ini adalah dengan memanfaatkan jaringan internet guna memindahkan data dari komputer di rumah langsung ke komputer di tempat kerja yang berada pada jarak yang cukup jauh. Pada penelitian ini, data dapat dipindahkan secara otomatis ke komputer tempat kerja tanpa bantuan orang lain. Sistem pemantauan terhadap komputer yang berada di rumah melalui komputer yang berada tempat sehingga untuk mengirimkannya. Sedangkan secara konvensional adalah dengan meminta bantuan orang yang berada di rumah untuk mengirimkan data tersebut ke tempat lain melalui E-mail. Pengertian ”remote” adalah sistem suatu komputer dapat dimasuki dengan menggunakan komputer lain dari jarak jauh, sehingga seolah-olah komputer tersebut dapat dibuka dan dikendalikan dari jarak jauh. Dengan demikian komputer tersebut dapat diakses untuk mengambil data-data yang disimpan di dalamnya, sehingga pemindahan data dapat dilakukan dengan mudah. Syarat yang harus dipenuhi agar suatu komputer dapat diremote dari jarak jauh secara konvensional umumnya masih memerlukan bantuan orang lain untuk menyalakan komputer dan menyambungkannya ke jaringan internet agar komputer tersebut dalam keadaan log on dan tersambung ke jaringan. Kata kunci : Data, Remote, Mobile wireless controller, Komputer Desktop, Internet. I.
PENDAHULUAN Pada era sekarang ini, dimana hampir semua pekerajaan dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan alat-alat elektronik termasuk pembuatan dokumen, suratsurat, maupun data-data penting lainnya. Sudah tentu, Pengolahan data dengan Komputer mempunyai keunggulan selain lebih cepat pemrosesannya, juga mudah untuk proses editing, penyimpanan dan pemindahan dokumen dan tentunya dapat lebih efisien. Namun timbul permasalahan
jika terlupa membawa data yang diperlukan, dimana data tersebut tersimpan di komputer desktop yang berada rumah. Dengan syarat komputer tersebut tersambung dengan jaringan internet, walaupun dalam kondisi off. Data tersebut dapat diambil dari jarak jauh tanpa harus kembali ke rumah. Dengan memanfaatkan jaringan internet dapat memindahkan data tersebut dari komputer di rumah langsung ke komputer yang berada pada jarak yang cukup jauh dan terhubung jaringan. Secara konvensional adalah dengan meminta bantuan orang yang berada di rumah untuk mengirimkan data tersebut ke tempat lain (kampus) melalui E-mail. Sedangkan pada penelitian ini adalah, dengan meremote komputer yang berada di rumah melalui komputer yang berada kampus sehingga data dapat dipindahkan secara otomatis ke komputer kampus tanpa bantuan orang lain untuk mengirimkannya. Pengertian ”remote” adalah sistem suatu komputer dapat dimasuki dengan menggunakan komputer lain dari jarak jauh, sehingga seolah-olah komputer tersebut dapat dibuka dan dikendalikan dari jarak jauh. Dengan demikian komputer tersebut dapat diakses untuk mengambil data-data yang disimpan di dalamnya, sehingga pemindahan data dapat dilakukan dengan mudah. Syarat yang harus dipenuhi agar suatu komputer dapat diremote dari jarak jauh secara konvensional umumnya masih memerlukan bantuan orang lain untuk menyalakan komputer dan menyambungkannya ke jaringan internet agar komputer tersebut dalam keadaan log on dan tersambung ke jaringan internet. Pada paper ini, alat tambahan perlu dibuat untuk menyalakan komputer, melakukan log on dan menyambungkannya ke jaringan internet secara otomatis. 2.1.
Internet Internet (inter-network) dapat diartikan jaringan komputer luas yang menghubungkan pemakai computer satu komputer dengan komputer lainnya dan dapat berhubungan dengan komputer dari suatu Negara ke Negara di seluruh dunia ,dimana didalamnya terdapat berbagai aneka ragam informasi Fasilitas layanan internet Browsing atau surfing Yaitu kegiatan “berselancar” di internet .kegiatan ini dapat di analogikan layaknya berjalan –jalan di mal sambil melihat –lihat ke toko-toko tanpa membeli apapun. Elektronik mail(E-mail) Fasilitas ini digunakan untuk berkirim surat, tanpa mengenal batas ,waktu,ruang bahkan birokrasi Searching Yaitu kegiatan mencari data atau informasi tertentu di internet Catting fasilitas ini digunakan untuk berkomunikasi secara langsung dengan orang lain di internet.pada umumnya fasilitas ini sering digunakan untuk bercakap-cakap di internet. dengan world wide web(WWW) ini dapat diambil, diformat dan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
38
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
ditampilkan informasi (termasuk teks ,audio, grafik dan video) dengan menggunakan hypertekxt links Mailing list Fasilitas ini digunakan untuk berdiskusi secara elektronik dengan menggunakan E-mail.mailing list ini digunakan untuk bertukar infomasi ,pendapat dan lain sebagainya . Newsgroup Fasilitas ini digunakan untuk berkoferensi jarak jauh ,sehingga anda dapatmenyampaikan pendapat dan tanggapan dalam internet . Download Adalah proses mengambil file dari komputer lain melalui internet. Upload Adalah proses meletakkan file dari komputer kita ke komputer lain melalui internet File transfer protocol (FTP) Fasilitas ini digunakan untuk melakukan pengambilan arsip atau file secara elektroniok atau transfer file dari satu komputer ke komputer lain di internet .beberapa di internet telah tersedia file atau dokumentyang siap[ untuk diduplikat oleh orang lain secara gratis . Telnet fasilitas ini digunakan untuk masuk ke system computer tertentu dan bekerja pada system komputer lain. Ghoper Fasilitas ini digunakan untuk menempatkan informasi yang di simpan pada internet servers dengan menggunakan hirarkhi dan anda dapat mengambil informasi tersebut Gambar 2.1 konfigurasi jaringan internet Teknologi Jaringan LAN
penghubung dengan jaringan adalah dengan menggunakan komputer sebagai server yang dihubungkan dengan penyedia jasa layanan internet melalui telpon baik kabel maupun non kabel.Sistem jaringan ini memiliki keuntungan bahwa biaya akses yang ditanggung akan lebih murah, karena biaya akses akan terbagi oleh banyaknya pemakai. 2.2
Sofware remote
LogMeIn adalah software yang menyediakan layanan akses ke komputer remote melalui Internet. profesional bantuan personil. LogMeIn remote akses menggunakan produk eksklusif remote desktop protokol yang ditularkan melalui SSL. SSL sertifikat yang dibuat untuk setiap remote desktop dan digunakan untuk komunikasi antara komputer ke komputer lain, dan mengakses komputer Users remote desktop menggunakan akses Internet berbasis web dan portal, opsional, LogMeIn merupakan aplikasi yang berdiri sendiri. Portal juga menyediakan informasi status untuk remote komputer dan, opsional, manajemen fungsi komputer. Operator menghubungkan remote desktop komputer lokal dan menggunakan SSL melalui TCP atau UDP dan memanfaatkan teknik NAT traversal untuk mencapai peer-to-peer konektivitas bila tersedia. Gambar 2.3 tampilan komputer yang di remote 2.3
Jaringan LAN ialah jaringan komputer dalam kelompok kecil dengan menggunakan kabel sehingga dalam satu perkantoran memungkinkan untuk bertukar data secara terbatas. Jaringan LAN dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dan kondisi antara lain beroperasi dalam ruang terbatas, mempunyai daya akses yang tinggi, koneksi secara full time, dan kendali secara lokal. Bentuk jaringan LAN digambarkan pada gambar 2.2 di bawah ini. Gambar 2.2 jaringan LAN Untuk menghubungk an komputer dengan jaringan yang besar dapat digunakan jaringan yang lebih kecil yaitu LAN.cara penghubung komputer dengan internet melalui jaringan biasa digunakan untuk melayani pemakaian dengan jumlah yang banyak.contoh :warnet, kampus, sekolah, perusahaan negeri maupun swasta dan lai-lain. Sistem ISSN: 2085-6350
Mi kro kon trol er Mik rokontroller tipe Atmel AT89S52 termasuk kedalam keluarga Mikrokontroller MCS51 merupakan suatu mikrokomputer CMOS 8-bit dengan daya rendah, kemampuan tinggi, memiliki 8K byte Flash Programable and Erasable Read Only Memory (PEROM). Kemudian memiliki system pemrograman kembali Flash Memori 4 Kbyte dengan daya tahan 1000 kali write/erase. Perangkat ini dibuat menggunakan teknologi memori nonvolatile (tidak kehilangan data bila kehilangan daya listrik). Set instruksi dan kaki keluaran AT89S52 sesuai dengan standar industri 80C51 dan 80C52. Atmel AT89S52 adalah mikrokomputer yang sangat bagus dan fleksibel dengan harga yang rendah untuk banyak aplikasi system kendali. Disamping itu terdapat RAM internal dengan kapasitas 128 x 8 bit. Dan frekuensi pengoprasian hingga 24 MHz. Mikrokontroller ini juga memiliki 32 port I/O yang terbagi menjadi 4 buah port dengan 8 jalur I/O, kemudian terdapat pula sebuah port serial dengan kontrol serial full duplex, dua timer/counter 16 bit dan sebuah asilator internal dan rangkaian pewaktu. Bentuk fisik dari mikrokontroller AT89S52 diperlihatkan pada gambar 2.12 di bawah ini:
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
39
elektronik, dimana saklar elektronik ini mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan saklar mekanik, seperti: a. Fisik relatif jauh lebih kecil. b. Tidak menimbulkan suara dan percikan api saat pengontakan. c. Lebih ekonomis. Prinsip saklar elektronik dengan transistor diperlihatkan seperti pada gambar di bawah ini, dimana dalam gambar tersebut diperlihatkan kondisi ON danOFF nya transistor.
Gambar 2.4 Bentuk Fisik Mikrokontroller AT89S52
j).
Fasilitas yang terdapat dalam AT89S52 antara lain: a). Sesuai dengan produk-produk MCS-51. b). Terdapat memori flash yang terintegrasi dalam sistem. Dapat ditulis ulang hingga 1000 kali. c). Beroperasi pada frekuensi 0~24MHz. d). Tiga tingkat kunci memori program. e). Memiliki 256 x 8 bit RAM internal. f). Terdapat 32 jalur masukan/ keluaran terprogram. g). Tiga pewaktu/pencacah 8-bit (untuk AT89S52) & dua pewaktu/pencacah 16-bit (untuk AT89S51). h). Delapan sumber interupsi (untuk AT89S52) & enam (untuk AT89S51). i). Kanal serial terprogram. Mode daya rendah dan mode daya mati. 2.4 Relay Driver Rangkaian relay driver adalah rangkaian elektrinik yang digunakan untuk menghubungkan (switch) tegangan dengan beban yang lebih besar dengan memanfaatkan relay sebagai saklarnya. Agar relay dapat terhubung dibutuhkan sinyal kontrol tegangan digital. Rangkaian relay driver ini mempunyai dua tipe yaitu NC (Normally Close) dan NO (Normally Open). Pada tipe NC (Normally Close) beban akan terhubung saat relay tidak aktif dan beban akan terputus saat relay aktif. Begitu pula sebaliknya, Pada tipe NO (Normally Open) beban akan terhubung saat relay aktif dan beban akan terputus saat relay tidak aktif.
Gambar 2.6a Transistor OFF Gambar 2.6b Transistor ON Kondisi OFF terjadi jika IC . RL = 0, dimana dalam kondisi ini tegangan VBE lebih kecil dari tegangan konduksi transistor. Sedangkan kondisi ON atau disebut juga kondisi saturasi akan terjadi jika IC . RL = VCC, dimana dalam kondisi ini VBE sudah mencapai tegangan konduksi transistor sehingga VCE = 0. Rangkaian relay driver ini dapat dipicu dengan tegangan sebesar 3-5 Volt. Tegangan TTL tersebut menggerakkan transistor yang dimanfaatkan sebagai saklar elektrik. Sinyal kontrol yang berasal dari mikrokontroler mengkondisikan transistor pada kondisi saturasi atau cutoff-nya. Bila sinyal kontrol bernilai tinggi (5 volt) maka nilai VBE > 0,7 volt. Sehingga transistor saturasi.
Gambar 2.5a Simbol relay
Gambar Bentuk fisik relay memanfaatkan sifat transistor yang tergantung dari tegangan antara elektroda basis dan emitter (VBE). Maka transistor ini dapat digunakan sebagai sebuah saklar 2.5b Dengan hantar
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
40
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
•
Gambar 2.7. Rangkaian relay driver 2.5 Modem ADSL ADSL (Asymmetric Digital Subscriber Line) merupakan metode transmisi data digital berkecepatan tinggi melalui kabel tembaga. ADSL mampu mengirimkan data dengan kecepatan bit yang tinggi, berkisar antara 1.5 Mbps – 8 Mbps untuk arah downstream (sentral – pelanggan), dan antara 16 Kbps – 640 Kbps untuk arah upstream (pelanggan – sentral). Kemampuan transmisi ADSL inilah yang mampu mengirimkan layanan interaktif multimedia melalui jaringan akses tembaga. ADSL sendiri merupakan salah satu anggota dari “DSL Family”. Teknologi x-DSL sendiri mempunyai berbagai macam variasi, yaitu: • Asymmetrical Digital Subscriber Line (ADSL) • Consumer Digital Subscriber Line (CDSL) • ISDN-Digital Subscriber Line (IDSL) • High bit rate Digital Subscriber Line (HDSL) • Single High Speed DSL (SHDSL) • Rate-adaptive Digital Subscriber Line (RADSL) • Very High bit-rate Digital Subscriber Line (VDSL) • Single or Symmetric Digital Subscriber Line (SDSL) ADSL merupakan anggota dari ”DSL Family” yang paling popular diantara variasi x-DSL yang ada. Atau lebih jelasnya, dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Istilah “Asymmetric” berasal dari adanya perbedaan antara kecepatan tranmsmisi (rate) dari arah downstream lebih besar daripada arah upstream. Adanya perbedaan kecepatan transmisi antara sisi downstream dan upstream dikarenakan kebutuhan koneksi internet lebih banyak digunakan untuk mengambil data (download) dari jaringan utama dibandingkan dengan pengiriman informasi (upload). Perbedaan penggunaan frekuensi unuk mengirimkan sinyal / data menjadikan perbedaan antara modem konvensional dengan modem ADSL, dimana frekuensi modem konvensional yang digunakan dibawah 4 Ghz, sedangkan modem ADSL digunakan frekuensi diatas 4 Ghz. ADSL membagi bandwith menjadi 2 bagian: • Band frekuensi rendah (0 ~ 4 kHz) untuk voice (POTS) atau fax. • Band frekuensi tinggi (26 kHz ~ 1.1 MHz) untuk data. • Antara 4kHz – 26kHz digunakan sebagai ‘guard band’. Dalam menyediakan layanan-layanan ADSL, diperlukan komponen-komponen penting, yaitu: • Transport System sebagai penyedia interface transmisi backbone untuk sistem DSLAM. • LAN (Local Area Network), menggunakan local carrier inter-CO network sebagai pondasi, seperti ATM yang paling efisien. • DSLAM (Multiservice Digital Subscriber Line Access Multiplexer) sebagai konsentrator trafik data dari berbagai loop DSL yang akan dikirimkan ke backbone network untuk dihubungkan lagi ke jaringan lainnya. ISSN: 2085-6350
•
DSL Transceiver Unit (ATU-R), biasanya berupa 10base-T, V.35, ATM-25 atau T1/E1, dapat juga digunakan untuk bridging, routing dan multiplexing. POTS splitter, memungkinkan loop digunakan untuk transmisi data kecepatan tinggi danjuga komunikasi telepon.
III. 3.1
PERANCANGAN ALAT Umum Beberapa syarat meremote komputer melalui jaringan internet adalah komputer tersebut harus aktif dan harus terhubung dengan jaringan internet. Pada penelitian ini diteliti bagaimana agar proses meremote dilakukan secara mandiri atau dapat dilakukan tanpa bantuan orang lain. Karena pada umumnya ketika seseorang ingin mengambil data dengan cara meremote komputer dan komputer yang ingin di remote sedang dalam keadaan tidak aktif atau off, peremote itu harus meminta bantuan untuk mengaktifkan komputer dan menghubungkan ke jaringan internet. Dengan demikian maka sistem diharapkan dapat bekerja secara otomatis tanpa bantuan orang lain. 3.2 Rancangan Alat Prinsip dasar dari rancangan alat dapat dibuatkan secara praktis dengan blok diagram seperti gambar 3.1.
HP
mi kr ok on tro lle r
keyboard Stabilizer
R e l a y
/ UPS komputer modem
Gambar 3.1 diagram blok sistem alat Alat ini dibuat untuk mengaktifkan menyambungkan jaringan internet pada komputer dan sebaliknya untuk mematikan komputer dari jarak melalui HP dan dibantu dengan peran aktif mikrokontroller.
dan juga jauh dari
Seperti yang sudah dijelaskan pada poin 3.1 alat ini di gunakan agar peroses Remote komputer atau penganmbilan data jarak jauh dilakukan secara madiri, hanya saja komputer target atau komputer yang akan di remote harus terpasang alat ini. IV.
PEMBAHASAN
Hand Phone Handphone pada alat ini berfungsi sebagai pengirim dan penerima yang sering di kenal Tx & Rx. Ketika peremote ingin mengaktifkan komputer yang ingin diremote peremote
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
hanya memberikan sinyal missedcall lalu HP.Hal tersebut akan dapat menginstruksikan mikrokontroller untuk menyalakan komputer dan mengaktifkan modem agar komputer yang ingin di remote terhubung pada jaringan internet. Mikrokontroller Mikrokontrolller berfungsi sebagai perespon sinyal – sinyal yang diberikan oleh HandPhone dan sebagai otak dari kerja sistem alat ini. Ia mampu menerima beberapa informasi dan dapat mengeluarkan beragam instruksi (Multi Input, Multi Output, MIMO) Internet Internet pada kajian ini berfungsi sebagai sarana media penghubung antara komputer satu dengan komponen sistem yang lain walau dengan jarak yang berjauhan dan wireless. Modem Modem merupakan alat penghubung komputer dengan jaringan internet. Hal ini dapat melalui jaringan kabel maupun wireless. Relay Relay berfungsi sebagai switch atau penghubung tegangan dengan beban yang lebih besar dengan memanfaatkan relay sebagai saklar.
41
berfungsi untuk mengetik username & pasword melalui SMS ke komputer. Sedangkan USB digunakan untuk menyambungkan modem dengan alat dan dari alat disambungkan dengan komputer yang berfungsi untuk pengaktifan modem yang di instruksikan oleh HandPhone. Stopkontak pada alat berfungsi sebagai sumber tegangan pada koputer karena proses penyalaan komputer secara otomatis melalui sopkontak pada alat. Maka alat harus selalu dalam keadaan tersabung dengan sumberlistrik walau alat dalam keadaan off. Karena yang akan mengaktifkan alat adalah HandPhone. V. KESIMPULAN Dari analisa konsep sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya: 1. proses mengaktifkan komputer jarak jauh hanya bisa dilakukan jika terpasang alat tambahan 2. meremote dengan menggunakan software lebih aman di bandingkan secara manual karena komputer yang ingin di remote dipastikan tidak menggunakan security sehingga semua orang dapat meremtotnya. 3. proses meremote tergantung pada kecepatan jaringan internet yang digunakan 4. alat tidak akan bekerja jika sedang terjadi padam listrik. DAFTAR PUSTAKA
Ganbar 4.1 Bentuk fisik alat. Bentuk fisik dari sistem tersebut dipaparkan secara sederhana pada gambar 4.1. Pada sistem tersebut terdapat 2 buah port com , 2 buah port USB dan 2 buah Stopkontak. Pada port Com digunakan untuk menghubungkan keyboard dengan alat dan dari alat dihubungkan ke komputer yang
1. Ibnu Malik, Nuh. Bereksperiment dengan Mikrokontroller 8031. Jakarta : Elex Media Komputindo. 1997 2. Roger L. Freeman, ”Telecomunication Transmission Handbook”, Wiley Series in Telecommunication, thirth Edition, 1991. 3. Stallings, W. 2002, Wireless Communications and Networks ,First edn, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. 4. www.logmein.com
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
42
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Sistem Kontrol Parkir Mobil Otomatis Menggunakan Mikrokontroler Thiang, Handry Khoswanto, Agus Afandi Jurusan Teknik Elektro, Universitas Kristen Petra Surabaya 60236, Indonesia e-mail:
[email protected] Abstract— Dewasa ini jumlah alat transportasi semakin bertambah. Hal ini membuat lahan parkir alat transportasi tersebut semakin sempit. Permasalahan ini menimbulkan kesulitan untuk penyediaan lahan yang luas terutama bagi tempat-tempat yang ramai akan pengunjung. Untuk menyelesaikan masalah itu , telah dirancang sebuah contoh model dalam bentuk miniatur tempat parkir mobil otomatis yang berada pada bawah tanah setinggi 3 tingkat dan dapat 24 mobil. Pembuatan sistem parkir mobil otomatis ini melibatkan berbagai jenis tipe penggerak mekanik seperti Motor Stepper, Motor DC, Solenoid, dan Limit Switch. Kontroler yang digunakan untuk menggerakkan semua hardware secara otomatis adalah Mikrokontroler bertipe AVR ATmega8. Setelah dilakukan pengujian dengan menjalankan sistem parkir mobil otomatis, sistem membutuhkan waktu tercepat untuk mengambil mobil sebesar 1 menit 28 detik, waktu tercepat untuk meletakan mobil sebesar 1 menit 27 detik. Dan waktu terlama untuk mengambil mobil sebesar 2 menit 40 detik, waktu terlama untuk meletakan mobil sebesar 2 menit 41 detik.
A. Model Miniatur Sistem Parkir Otomatis Model miniatur parkir mobil otomatis ini terbuat dari bahan dasar kayu dengan gambar model beserta ukurannya terlihat pada gambar 1, 2 dan 3.
Kata kunci—parkir mobil otomatis, mikrokontroler ATmega8, aktuator
I.
PENDAHULUAN
Gambar 1. Sketsa kerangka miniatur parkir mobil otomatis
Banyaknya jumlah alat transportasi dewasa ini membuat kebutuhan lahan sebagai sarana parkir alat transportasi tersebut semakin sempit. Kasus ini sering terjadi pada kota-kota yang sudah padat akan penduduknya serta tinggi kerapatan bangunannya. Kendaraan roda empat sebagai alat transportasi utama membutuhkan tempat yang lebih luas sebagai area parkir. Permasalahan di atas menimbulkan kesulitan pada penyediaan lahan yang luas terutama bagi tempat-tempat yang ramai akan pengunjung. Dengan bentuk lahan parkir yang meluas dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi pengunjung untuk mendapatkan tempat parkir bagi kendaraannya. Salah satu solusi alternatif untuk memecahkan masalah di atas adalah dengan pembuatan sistem parkir mobil otomatis yang terletak di bawah tanah. Di samping dapat menghemat tempat, sistem parkir mobil otomatis ini juga dapat mengurangi tingkat kemacetan yang terjadi tentunya sangat berpotensi besar dalam pembuatan sistem parkir otomatis ini. Karena itu, pada proyek penelitian ini, dirancang sebuah contoh model tempat parkir mobil otomatis yang berada di bawah tanah dan diharapkan hasilnya dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Contoh model yang dirancang berupa sebuah miniatur. Bentuk dan perancangannya akan dibahas pada bagian selanjutnya.
II. ISSN: 2085-6350
DESKRIPSI SISTEM
Gambar 2. Sketsa kerangka miniatur-tampak samping
Model miniatur parkir mobil otomatis dirancang berbentuk lingkaran yang terdiri atas 3 lantai dan masingmasing lantai terdapat 8 slot yang dapat menampung 8 mobil. Sehingga secara keseluruhan model miniatur ini dapat menampung 24 mobil. Untuk memudahkan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
pengambilan mobil pada slot-slotnya maka dibuatkan palet pada tiap slotnya. Palet mobil ini terbuat dari bahan dasar kayu juga. Bagian tengah model miniatur ini merupakan sebuah lift untuk mebawa mobil menuju slot yang dinginkan atau mengambil mobil dari slot yang diinginkan. Dalam proses peletakan atau pengambilan mobil, terdapat 3 gerakan utama yaitu proses naik turun lift menuju antai yang diinginkan, proses pemutaran lift untuk mengarahkan mobil pada slot yang diinginkan dan terakhir proses maju mundur untuk meletakkan mobil pada tempat parkir atau mengambil mobil dari tempat parkir.
43
plat penghantar terbuat dari tembaga sebagai pengganti kabel. Gambar 5 dan 6 menunjukkan gambar posisi penempatan motor stepper dan 7 plat penghantar tembaga.
Gambar 6. Posisi penempatan motor stepper
Gambar 7. Penghantar pada kerangka lift dan jalur tembaga Gambar 3. Slot tempat parkir
Mekanik penggerak lift naik dan turun terdiri atas motor DC, pulley dan seling. Seling dikaitkan pada lift dan dilewatkan pada pulley bagian atas lalu ditarik ke pulley bagian bawah. Dari pulley bagian bawah, seling dikaitkan pada sebuah motor DC lengkap dengan gearbox untuk menarik seling sehingga lift bisa bergerak naik dan turun. Gambar 4 menunjukkan sistem penarikan lift untuk gerakan naik dan turun.
Mekanik peletakkan dan pengambilan mobil terdiri atas sebuah motor DC sebagai penggerak, ulir untuk transformasi gerakan rotasi menjadi translasi dan solenoid untuk pengait palet. Gambar 8 menunjukkan gambar mekanik peletakan dan pengambilan mobil.
Gambar 8. Mekanik peletakkan dan pengambilan mobil
B. Perangkat Keras Miniatur Parkir Otomatis Gambar 4. Sistem penarikan lift untuk gerakan naik dan turun
Secara garis besar, perangkat keras dari miniatur parkir otomatis terlihat pada gambar 9.
Mekanik pemutar lift terdiri atas sebuah motor stepper dan 7 plat penghantar pengganti kabel. Sebagai penggerak untuk memutar lift, digunakan sebuah motor stepper. Agar lift dapat berputar dengan bebas dan tidak terganggu dengan sistem pengkabelan, maka digunakan 7
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
44
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
1. Mikrokontroler tipe AVR ATmega8 mengontrol gerakan semua mekanik.
yang
• Bagian output 1. Driver motor DC H-bridge, terdiri atas transistor NPN TIP 142 dan transistor PNP TIP 147 yang digunakan untuk menggerakkan motor DC. 2. Driver motor Stepper, yang terdiri dari IC L297 dan IC L298 yang digunakan untuk menggerakkan motor stepper. 3. Driver Solenoida, yang terdiri dari transistor TIP 41 dan optocoupler.
C. Perangkat Lunak Miniatur Parkir Otomatis Secara umum program untuk mengendalikan sistem miniatur parkir otomatis terdiri atas dua bagian utama. Program pertama adalah program yang dibuat menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic. Program ini berjalan di PC dan berfungsi sebagai interface untk pengaturan sistem database dari miniatur parkir otomatis dan juga memberi perintah kepada mikrokontroler untuk mengambil mobil dari slot tertentu atau meletakkan mobil pada slot tertentu. Gambar 9. Diagram blok perangkat keras miniatur parkir otomatis
Secara keseluruhan sistem parkir mobil otomatis ini dikontrol dengan menggunakan personal komputer (PC) dimana program dibangun dengan menggunakan platform bahasa pemograman Visual Basic. Program PC berfungsi untuk menginputkan data mobil dan memutuskan dimana mobil diletakkan atau darimana mobil akan diambil. PC akan berkomunikasi dengan mikrokontroler melalui protokol komunikasi RS232. Mikrokontroler yang digunakan dalam sistem ini adalah mikrokontroler AVR ATmega8, dimana mikrokontroler ini befungsi sebagai penggerak semua mekanik yang ada pada sistem.
START
PILIH SLOT
NO
ISI DATA
LETAKKAN MOBIL
AMBIL MOBIL
Input sistem ini berupa limit switch sebagai sensor untuk mendeteksi posisi lift apakah berada di lantai atas atau lantai 1 atau lantai 2 atau lantai 3. Demikian juga limit switch digunakan sebagai sensor untuk mendeteksi posisi mekanik peletakkan dan pengambilan mobil. Output sistem ini terdiri atas 2 buah driver motor DC, 1 buah driver motor stepper, dan 1 buah driver solenoida. Driver Motor DC berupa rangkaian H-bridge yang menggerakan motor wiper untuk menjalankan lift bergerak naik dan turun dan motor DC untuk menajalankan mekanik peletakkan dan pengambilan mobil. Sedangkan motor stepper berfungsi memutar piringan lift. Berikut ini adalah komponen utama yang dipilih untuk membangun sistem:
NO
YES
YES
PROSES PENGAMBILAN MOBIL
YES
PROSES PELETAKAN MOBIL
INPUT ENTRANCE MENYALA
NO
• Bagian input 1. Personal komputer, program input data dengan menggunakan bahasa pemograman Visual Basic. 2. Limit Switch, digunakan sebagai sensor posisi. • Bagian kontrol
ISSN: 2085-6350
MESSAGE HARAP TUNGGU
Gambar 10. Flowchart program secara keseluruhan
Program kedua adalah program mikrokontroler itu sendiri dimana program ini berfungsi mengontrol gerakan semua mekanik sesuai dengan perintah yang diberikan dari PC. Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Program ini dibuat dengan menggunakan bahasa rogram Bascom AVR Program yang dibuat untuk menggerakkan mekanik miniatur parkir otomatis dibagi atas dua proses yaitu proses pengambilan pallet dan proses peletakan pallet. Baik dalam proses pengambilan mobil maupun peletakan mobil tetap harus melewati kedua proses tersebut. Dalam proses pengambilan mobil, maka sistem akan mengambil pallet yang terisi mobil terlebih dahulu kemudian meletakkan kembali pallet yang sudah kosong tersebut pada tempat semula. Sedangkan pada proses peletakkan mobil, sistem akan mengambil pallet kosong terlebih dahulu kemudian meletakkan kembali pallet yang telah terisi mobil ke tempat semula. Flowchart program secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar 10.
III.
45
5
6
7
8
9
10
11
12
HASIL PENGUJIAN
Pengujian sistem telah dilakukan dengan cara mencoba untuk memarkir mobil dan mengambil mobil yang di parkir. Percobaan-percobaan ini dilakukan untuk melihat apakah sistem miniatur parkir mobil otomatis yang telah dirancang dapat berjalan dengan baik. Pengujian ini dilakukan dengan berulang-ulang dengan tujuan slot yang berbeda-beda mulai dari lantai 1 sampai lantai 3. Salah satu pengujian yang telah dilakukan adalah memarkir mobil ke slot 24 yang berada di lantai 3. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, proses memarkir mobil terdiri atas 2 bagian yaitu proses pengambilan pallet kosong kemudian yang kedua adalah proses peletakkan pallet yang telah terisi mobil. Hasil pengujian ditunjukkan dengan gambar yang diambil dari video hasil rekaman saat pengujian dilakukan. Gambar 11 menunjukkan potongan frame proses pengambilan pallet kosong dan gambar 12 menunjukkan potongan frame proses peletakkan pallet yang terisi mobil. Pada gambar 11 frame 1, terlihat adamobil yang akan diparkir. Pada program visual basic, mobil ditentukan untuk diparkir pada slot 24. Frame 2 memperlihatkan lift mulai turun untuk mengambil pallet dari slot 24. Frame 3 sampai 11 memperlihatkan prose lift menuju slot 24 dan kembali ke atas setelah mengambil pallet dari slot 24. Frame 12 memperlihatkan mobil telah berada diatas pallet. 1
2
3
4
Gambar 11. Hasil pengujian pengambilan pallet kosong dari slot 24
1
2
3
4
5
6
Pada gambar 12 frame 1 memperlihatkan mobil yang telah berada di atas pallet akan diparkir menuju slot 24. Frame 2 memperlihatkan lift yang membawa pallet berisi mobil mulai turun.Frame 3, 4 dan 5 memperlihatkan lift mulai berputar menuju slot yang diinginkan yaitu slot 24. Frame 6, 7, 8 dan 9 memperlihatkan proses peletakkan pallet pada slot 24 untuk memarkir mobil. Frame 10
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
46
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
sampai 12 memperlihatkan prose lift kembali ke posisi atas. 7
8
9
15
2 menit 4 detik
2 menit 3 detik
16
1 menit 52 detik
1 menit 52 detik
17
1 menit 54 detik
1 menit 54 detik
18
2 menit 6 detik
2 menit 6 detik
19
2 menit 17 detik
2 menit 16 detik
20
2 menit 29 detik
2 menit 28 detik
21
2 menit 40 detik
2 menit 41 detik
22
2 menit 29 detik
2 menit 29 detik
23
2 menit 17 detik
2 menit 17 detik
24
2 menit 5 detik
2 menit 4 detik
10
11
12
Gambar 12. Hasil pengujian peletakkan pallet yang telah terisi mobil ke slot 24
Selain pengujian yang telah dipaparkan di atas, pengujian waktu juga dilakukan untuk mengetahui kecepatan dari sistem miniatur parkir otomatis yang telah dirancang. Tabel 1 menunjukkan hasil pengujian waktu yang telah dilakukan.
Dari semua hasil pengujian, terlihat bahwa sistem miniatur parkir otomatis yang telah dirancang dapat berjalan dengan baik. Waktu tercepat untuk mengambil mobil sebesar 1 menit 28 detik, waktu tercepat untuk meletakan mobil sebesar 1 menit 27 detik. Dan waktu terlama untuk mengambil mobil sebesar 2 menit 40 detik, waktu terlama untuk meletakan mobil sebesar 2 menit 41 detik. Bila dilihat pada tabel 1, waktu untuk pengambilan maupun peletakkan pada slot di lantai 1, 2 dan 3 tidak terlalu beda jauh, hal ini disebabkan karena sistem mekanik peletakkan dan pengambilan pallet menggunakan ulir dan digerakkan oleh motor. Gerakkan translasi yang ditimbulkan mempunyai kecepatan rendah sehingga waktu sebagian besar habis untuk gerakan peletakkan dan pengambilan pallet.
Tabel 1. Hasil pengujian waktu
Slot
Waktu Pengambilan
Waktu Peletakan
1
1 menit 28 detik
1 menit 27 detik
2
1 menit 40 detik
1 menit 39 detik
3
1 menit 52 detik
1 menit 52 detik
4
2 menit 3 detik
2 menit 2 detik
5
2 menit 14 detik
2 menit 13 detik
6
2 menit 2 detik
2 menit
7
1 menit 52 detik
1 menit 51 detik
8
1 menit 39 detik
1 menit 40 detik
9
1 menit 41 detik
1 menit 41 detik
10
1 menit 53 detik
1 menit 53 detik
11
2 menit 5 detik
2 menit 4 detik
12
2 menit 16 detik
2 menit 15 detik
13
2 menit 27 detik
2 menit 27 detik
14
2 menit 16 detik
2 menit 17 detik
IV.
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa miniatur sistem kontrol parkir mobil otomatis dapat berjalan dengan baik. Mikrokontroler dapat mengontrol plant yang telah dirancang dengan baik. Sistem parkir ini mempunyai waktu tercepat pengambilan mobil sebesar 1 menit 28 detik, waktu tercepat peletakan mobil sebesar 1 menit 27 detik dan waktu terlama pengambilan mobil sebesar 2 menit 40 detik, waktu terlama peletakan mobil sebesar 2 menit 41 detik. Tentunya waktu ini hanya berlaku untuk miniatur yang telah dirancang.
REFERENSI [1] [2] [3]
ISSN: 2085-6350
KESIMPULAN
[4]
Trevipark Ltd. Automatic Car Parking System. 22 Mei 2007. < http://www.trevipark.co.uk/multimedia/brochure200406.pdf> 8-bit Microcontroller with 8K Bytes In-System Programmable Flash ATMega8. San Jose: Atmel Corporation, 2001. Boylestad, Robert. Electronic devices and circuit theory. Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1992. Kosow, Irving. Electric Machinery & Transformers. Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1991.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
47
Implementasi Metode Simulated Annealing pada Robot Mobil untuk Mencari Rute Terpendek Thiang, Dhany Indrawan Jurusan Teknik Elektro, Universitas Kristen Petra Surabaya 60236, Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstract— Makalah ini memaparkan tentang implementasi metode simulated annealing pada sebuah robot mobil mandiri untuk mencari rute terpendek. Karena robot mobil dikontrol dengan menggunakan mikrokontroler, maka metode simulated annealing juga diimplementasi pada mikrokontroler yang sama. Mikrokontroler yang digunakan dalam aplikasi ini adalah mikrokontroler AT89S51 yang merupakan salah satu mikrokontroler keluarga MCS51. Pada aplikasi ini, awalnya, robot diberitahu informasi peta, posisi start dan posisi tujuan. Dengan menggunakan metode simulated annealing, robot akan mencari rute terpendek dari posisi start sampai posisi tujuan, kemudian robot akan bergerak sesuai dengan rute yang telah didapat. Pengujian telah dilakukan dengan variasi posisi start dan posisi tujuan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa metode simulated annealing berhasil diimplementasi pada level mikrokontroler. Robot dapat mencari rute terpendek dengan metode simulated annealing dan robot dapat bergerak mengikuti rute yang telah didapatkan. Kata kunci—simulated mikrokontroler, AT89S51
I.
annealing,
robot
mobil,
PENDAHULUAN
Pada penelitian sebelumnya[1], telah berhasil diimplementasi metode hill climbing pada level mikrokontroler dengan aplikasi. Metode hill climbing diimplementasi pada sebuah robot mobil untuk mencari rute terpendek. Namun dari hasil penelitian tersebut, terdapat kelemahan yaitu tidak kepastian metode hill climbing dapat menemukan solusi yang diinginkan. Kadang metode hill climbing menghasilkan rute yang tidak dapat mencapai posisi tujuan. Karena itu, penelitian ini merupakan penelitian lanjutan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Metode yang dipilih utnuk menggantikan metode hill climbing adalah metode simulated annealing yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari metode hill climbing. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengimplementasikan metode-metode sistem cerdas pada platform mikrokontroler. Beberapa metode sistem cerdas yang telah berhasil diimplementasikan pada platform mikrokontroler antara lain fuzzy logic[2], algoritma genetika[3], termasuk hill climbing[1]. Dan kali ini metode yang akan diimplementasikan adalah simulated annealing. Selain itu, tentunya diharapkan metode simulated annealing dapat memberikan hasil yang lebih baik dari penelitian sebelumnya[1] yang menggunakan metode hill climbing. Dalam penelitian ini, mikrokontroler yang dipilih untuk implementasi metode simulated annealing adalah mikrokontroler keluarga MCS51 yaitu mikrokontroler AT89S52. Alasan pemilihan mikrokontroler ini adalah
karena mikrokontroler ini sangat populer dan tersedia banyak di Indonesia, serta harganya yang tidak terlalu mahal. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang positif untuk penelitianpenelitian selanjutnya dalam mengimplementasikan metodemetode kecerdasan buatan pada level mikrokontroler khususnya mikrokontroler keluarga MCS51. II.
METODE SIMULATED ANNELALING
Simulated annealing adalah salah satu algoritma untuk untuk optimisasi yang bersifat generik. Berbasiskan probabilitas dan mekanika statistik, algoritma ini dapat digunakan untuk mencari pendekatan terhadap solusi optimum global dari suatu permasalahan. Masalah yang membutuhkan pendekatan simulated annealing adalah masalah-masalah optimisasi kombinatorial,di mana ruang pencarian solusi yang ada terlalu besar, sehingga hampir tidak mungkin ditemukan solusi eksak terhadap permasalahan itu. Annealing adalah satu teknik yang dikenal dalam bidang metalurgi, digunakan dalam mempelajari proses pembentukan kristal dalam suatu materi. Agar dapat terbentuk susunan kristal yang sempurna, diperlukan pemanasan sampai suatu tingkat tertentu, kemudian dilanjutkan dengan pendinginan yang perlahan-lahan dan terkendali dari materi tersebut. Pemanasan materi di awal proses annealing, memberikan kesempatan pada atom-atom dalam materi itu untuk bergerak secara bebas, mengingat tingkat energi dalam kondisi panas ini cukup tinggi. Proses pendinginan yang perlahan-lahan memungkinkan atom-atom yang tadinya bergerak bebas itu, pada akhirnya menemukan tempat yang optimum, dimana energi internal yang dibutuhkan atom itu untuk mempertahankan posisinya adalah minimum. Simulated annealing berjalan berdasarkan analogi dengan proses annealing tersebut. Simulated annealing memanfaatkan analogi antara cara pendinginan dan pembekuan metal menjadi sebuah struktur crystal dengan energi yang minimal (proses penguatan) dan proses pencarian untuk tujuan minimal. Berikut adalah algoritma metode simulated annealing: 1. Evaluasi keadaan awal. Jika tujuan maka KELUAR (pencarian solusi selesai). Jika tidak lanjutkan dengan keadaan awal sebagai keadaan sekarang. 2. Inisialisasi BEST_SO_FAR untuk keadaan sekarang. 3. Inisialisasi suhu (T) sesuai dengan annealing schedule. 4. Kerjakan hingga solusi ditemukan atau sudah tidak ada operator baru lagi akan diaplikasikan kekondisi sekarang.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
48
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
a. Gunakan operator yang belum pernah digunakan untuk menghasilkan keadaan baru.
Sensor
b. Evaluasi kondisi baru dengan menghitung: ∆E = nilai sekarang – nilai keadaan baru i. Jika kondisi baru tujuan (pencarian solusi selesai).
maka
(1)
KELUAR
ii. Jika bukan tujuan, namun nilainya lebih baik dari sekarang, maka jadikan keadaan tersebut sebagai keadaaan sekarang.
Mikrocontroller AT89S51
iii. Jika nilai kondisi baru tidak lebih baik daripada keadaan sekarang, maka tetapkan kondisi baru sebagai keadaan sekarang dengan probabilitas:
Driver
p’ = e -∆E /T
(2)
dalam kondisi ini juga generate random number dengan range [ 0 , 1 ]. Jika random number lebih kecil dari p’ maka solusi diterima. Jika random number lebih besar dari p’ abaikan (solusi tidak diterima) c.
Perbaiki T sesuai dengan annealing schedule
5. BEST_SO_FAR adalah solusi yang dicari. Perbedaan antara metode simulated annealing dan metode simple hill climbing adalah: • • •
Komparator
Simulated annealing memilki annealing schedule Pada metode simulated annealing solusi yang jelek masih ada kemungkinan untuk diterima Nilai keadaan sekarang adalah nilai yang terbaik sepanjang proses berlangsung. Kemudian jika keadaan yang baru yang lebih jelek daripada keadaan sekarang (karena kurang beruntung dalam penerimaan solusi), keadaan yang baru tersebut masih bisa digunakan. III.
Motor Gambar 2. Diagram blok perangkat keras robot.
Sensor cahaya yang digunakan adalah sepasang LED dan LDR. Karena output dari sensor LDR berupa sinyal analog, maka untuk merubah menjadi digital digunakan rangkaian komparator. Output rangkaian ini hanya mempunyai 2 state yaitu low dan high yang menunjukkan warna hitam dan putih. berikut gambar 3 dan 4 menunjukkan gambar rangkaian sensor dan komparator.
DESKRIPSI SISTEM
A. Perangkat Keras dan Mekanik Robot Mobil Bentuk dasar robot terbuat dari kayu tebal 3mm dan berbentuk oval 14,5cm x 11cm. Robot dilengkapi dengan 2 buah roda dan sebagai penggerak digunakan 2 buah motor DC dengan masing-masing motor memiliki sebuah gear box. Gambar 1 menunjukkan gambar mekanik penggerak robot. Robot mobil dirancang untuk bergerak mengikuti garis. Karena itu robot mobil dilengkapi dengan sensor cahaya. Secara umum, diagram blok perangkat keras robot dpat dilihat pada gambar 2.
Gambar 3. Rangkaian sensor
Gambar 4. Rangkaian komparator
Gambar 1. Mekanik penggerak robot mobil.
ISSN: 2085-6350
Output sensor akan dibaca oleh mikrokontroler sebagi informasi untuk mengendalikan robot mobil bergerak mengikuti garis putih. Sebagai penggerak robot mobil, digunakan 2 buah motor DC, masing-masing roda digerakkan oleh satui motor DC. Rangkaian driver motor DC yang digunakan adalah rangkaian H-Bridge. Rangkaian
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
H-Bridge ini menggunakan transistor TIP 41 dan TIP 42. berikut gambar 5 menunjukkan gambar rangkaian driver motor DC.
49
B. Perangkat Lunak Secara umum cara kerja sistem robot mobil untuk mencari rute terpendek adalah seperti yang ditunjukkan pada gambar 7. Start
Tentukan Start dan tujuan
Mencari rute dengan simulated annealing Gambar 5. Rangkaian driver motor DC
Mikrokontroler yang digunakan sebagai pengendali dari robot mobil adalah mikrokontroler AT89S51. mikrokontroler ini termasuk mikrokontroler keluarga MCS51. rangkaian mikrokontroler ini dirancang sederhana yaitu berupa rangkaian single chip, tanpa ada memori eksternal. Berikut gambar 6 menunjukkan gambar rangkaian mikrokontroler yang digunakan dan tabel 1 menunjukkan tabel koneksi mikrokontroler dengan rangkaian sensor dan rangkaian driver.
Bergerak menuju tujuan sesuai rute dengan tracking garis
End Gambar 7. Diagram blok sistem kerja robot mobil
Gambar 6. Rangkaian single chip mikrokontroler Tabel 1. Tabel koneksi mikrokontroler dengan sensor dan driver motor Gambar 8. Peta area lintasan robot mobil
Pertama-tama posisi start dan tujuan robot ditentukan kemudian robot akan secara otomatis menentukan rute dari start sampai tujuan dengan metode simulated annealing. Setelah mendapatkan rute, robot akan berjalan secara tracking line menuju ke tujuan sesuai dengan rutenya. Area untuk peta telah didefinisikan terlebih dahulu. Gambar 8 menunjukkan area peta yang digunakan. Secara detail flowchart perangkat lunak yang telah dirancang dapat dilihat pada gambar 9.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
50
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
(0,2), posisi start (0,0) dan posisi tujuan (0,5), posisi start (2,0) dan posisi tujuan (4,5), posisi start (0,4) dan posisi tujuan (1,0), posisi start (1,0) dan posisi tujuan (4,0). Berikut gambar 10 sampai gambar 14 menunjukkan rute dari hasil pengujian yang didapatkan oleh robot mobil dengan menggunakan metode simulated annealing.
Gambar 10. Rute hasil pengujian dengan psosi start (0,5) dan posisi tujuan (0,2)
Gambar 9. flowchart perangkat lunak robot mobil
Pemetaan merupakan hal yang penting yang pertama kali dilakukan dalam alur program. Berhasil atau tidaknya pencarian benda ataupun penentuan jalur terpendek tidak lepas dari pemetaan ini. Dengan pemetaan ini maka seluruh area yang ada akan digambarkan. Hasil yang didapat dari pemetaan tersebut akan dijadikan acuan untuk menghitung kuadrat jarak lurus setiap titik yang ada pada area terhadap titik tujuan. Nilai hasil perhitungan jarak yang didapat tersebut akan disimpan di dalam alamat RAM mikrokontroler. Nilai tersebut kemudian akan dianalisa dengan menggunakan metode simulated annealing. Dengan metode ini maka akan didapatkan rute yang terpendek menuju titik tujuan. Namun, rute ini masih berupa alamat RAM bukan nilai ouput port yang sesungguhnya. Oleh karena itu perlu diubah menjadi output port. Barulah robot ttersebut dapat menelusuri jalur yang telah didapat. Jalur tersebut merupakan jalur terpendek menuju tujuan yang diinginkan. IV.
HASIL PENGUJIAN
Pengujian sistem telah dilakukan dengan variasi posisi start dan posisi tujuan untuk melihat performans sistem apakah dapat mencari rute terpendek. Beberapa pengujian yang dilakukan antara lain posisi start (0,5) dan posisi tujuan ISSN: 2085-6350
Gambar 11. Rute hasil pengujian dengan psosi start (0,0) dan posisi tujuan (0,5)
Gambar 12. Rute hasil pengujian dengan psosi start (0,2) dan posisi tujuan (4,5)
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
51
Bila melihat hasil pengujian yang telah dilakukan seperti yang ditunkukkan oleh gambar 10 sampai gambar 13, terlihat bahwa dengan menggunakan metode simulated annealing, robot mobil berhasil mencari rute terpendek. dan robot mobil juga dapat bergerak mengikuti rute yang telah didapatkan. Tetapi pada hasil pengujian yang ditunjukkan oleh gambar 14, metode simulated annealing terjebak pada rute yang sama sehingga robot hanya bergerak berputarputar saja pada area tertentu. V.
Gambar 13. Rute hasil pengujian dengan psosi start (0,4) dan posisi tujuan (1,0)
KESIMPULAN
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa metode simulated annealing berhasil di terapkan untuk pencarian rute terdekat pada robot mobil. Tetapi masih terdapat kemungkinan bahwa simulated annealing tidak dapat memberikan hasil yang terbaik seperti hasil pengujian yang ditunjukkan oleh gambar 14. Pada penelitian ini simulated annealing telah berhasil diimplementasikan pada level mikrokontroler.
REFERENSI [1]
[2]
[3]
Gambar 14. Rute hasil pengujian dengan psosi start (1,0) dan posisi tujuan (0,4)
[4] [5]
Thiang, Handry Khoswanto, Felix Pasila, Hendra Thelly, “Aplikasi Metode Hill Climbing pada Standalone Robot Mobil untuk Mencari Rute Terpendek”, Prosiding Seminar KOMMIT 2008, Depok, 2008. Thiang, Anies Hannawati, Resmana Lim, Hany Ferdinando, “PetraFuz: a Low Cost Embedded Controller Based Fuzzy Logic Development System”, Proceeding of The Fourth Asian Fuzzy Systems Symposium (AFSS 2000), Tsukuba Science City, Jepang, Juni 2000. Thiang, Ronald Kurniawan, Hany Ferdinando, “Implementation of Genetic Algorithm on MCS51 Microcontroller for Finding the Shortest Path”. Proceeding of Seminar of Intelligent Technology and Its Applications (SITIA 2001), ITS-Surabaya, May 2001 Rich, Elaine. Artificial Intelligence. New York: McGraw-Hill, 1991. AT89S51 Datasheet. San Jose, CA: Atmel Corporation, 1995.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
52
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Analisa Penerapan ENUM dan Pengalamatan Terhadap Regulasi Gunawan Wibisono dan Nurmaladewi Departemen Teknik Elektro Fakultas TeknikUniversitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424 INDONESIA E-mail:
[email protected] Abstrak— Saat ini infrastruktur di Indonesia terdiri dari jaringan yang berbasis switch sirkit dan switch paket. Sesuai dengan arah pertelekomunikasian yang mengacu pada konsep NGN, dimana semua panggilan berbasisi IP, maka solusi yang terbaik untuk saat ini adalah menggabungkan dua platform yang berbeda (jaringan IP dan jaringan PSTN) adalah dengan menggunakan Electronic Numbering Mapping (ENUM). Dengan implementasi ENUM maka semua penomoran akan berbasis ke IP. Mobile Number Portability adalah suatu layanan yang memungkinkan nomor telepon pelanggan asal tidak berubah walaupun pelanggan tersebut berpindah lokasi. Sistem penomoran yang berlaku di Indonesia saat ini mengacu kepada Keputusan Menteri Perhubungan No. 4 tahun 2001 tentang FTP Nasional tahun 2000 dimana dalam peraturan tersebut rencana penomoran belum berbasis IP. Dengan penerapan ENUM maka FTP Nasional tahun 2000 akan mengalami penambahan yaitu dengan menambahkan sistem pengalamatan berbasis IP, pemetaan nomor telepon yang berdasarkan pada Domain Name System (DNS), sistem yang digunakan dalam penerapan number portability dan bagaimana pengaturan pemberian blok nomor kepada penyelanggara sehingga tidak di dominasi oleh incumbent. Demikian pula dengan regulasi yang mendukungnya seperti PP 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi pasal (3), KM. No. 21 tahun 2001 tentang Penyelengaraan Jasa Telekomunikasi pasal (3) dan KM No. 23 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan Publik pasal (12). Kata Kunci—ENUM, Regulasi Penomoran
I.
PENDAHULUAN
Teknologi informasi dan komunikasi (infokom) saat ini berkembang makin pesat yang didorong oleh perkembangan internet protocol (IP) dengan berbagai aplikasi baru dan beragam layanan multimedia. Infrastruktur infokom saat ini terdiri dari switch sirkit (TDM) dan switch paket dengan TDM masih menjadi tulang punggung perkembangan telekomunikasi. Kondisi ini kurang menguntungkan karena TDM yang ada umumnya lebih menekankan pada layanan suara dan berpita sempit (narrow band). Untuk mempercepat penyediaan layanan pita lebar (broadband) pada jaringan eksisting tersebut maka switch sirkit dan switch paket harus segera "melebur" menjadi satu jaringan tunggal multilayanan yang disebut dengan jaringan telekomunikasi masa depan atau next generation network (NGN). NGN dirancang untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur infokom masa depan. Konsep NGN lebih dari sekedar internet yang digabungkan dengan PSTN dan ISDN. Perkembangan NGN didorong oleh kebutuhan konvergensi layanan dan optimalisasi jaringan.
ISSN: 2085-6350
Pengembangan layanan ini juga didorong oleh tingginya tingkat ekspansi trafik digital yang sangat cepat, seperti bertambahnya tuntutan mobilitas dan berbagai layanan multimedia baru. Terdapat tiga penggerak utama konvergensi telekomunikasi yaitu kemajuan teknologi, perubahan kebutuhan pelanggan, serta kebutuhan bisnis para penyelenggara layanan. Dengan kemajuan teknologi memungkinkan bermunculnya berbagai macam solusi yang inovatif dan bisa dilakukan dalam lingkungan IP, demikian juga dengan kebutuhan bisnis para penyelenggara dimana para operator berusaha memberikan layanan yang baru dengan menggunakan teknologi yang baru pula. Hal ini juga dapat mendorong kompetisi. Hingga akhir triwulan pertama 2007, Indonesia memiliki 8,7 juta sambungan telepon saluran tetap, 5,9 juta sambungan telepon tetap nirkabel (fixed wireless access) atau memiliki teledensitas sebesar 6,64%. Densitas telepon bergerak mencapai 28,64% dengan 63 juta nomor pengguna. Densitas gabungan antara telepon bergerak dengan telepon saluran tetap mencapai 35,28% [2]. Saat ini alokasi penomoran masih didominasi oleh incumbent serta belum tersedia sistem penomoran yang berbasis IP dan belum tersedia alokasi penomoran untuk internet. Di Indonesia sistem penomoran dan pengalamatan mengacu kepada Fundamental Technical Plan (FTP) Nasional 2000 Rencana Penomoran ini memberikan pokokpokok tentang pengaturan dan pengalokasian nomor bagi penyelenggaraan telekomunikasi lingkup nasional. Penyajiannya dititik-beratkan pada jasa teleponi dasar, baik melalui jaringan tetap maupun jaringan bergerak, serta pada jasa yang bersifat nasional dalam lingkungan multipenyelenggara yang kompetitif [3]. Kelompok penomoran berdasarkan FTP Nasional tahun 2000, meliputi PSTN / ISDN, Radio Trunking, Intelegent Network, Jaringan Bergerak Seluler / STBS, Jaringan Bergerak Satelit, Internet Network, Internet Telepony untuk Keperluan Publik (ITKP), ISP, dan Jaringan Tetap Lokak berbasisi PacketSwitched (JTL-PS). ITU-T E.164 digunakan sebagai standarisasi umum untuk identifikasi dan pengalamatan dalam jaringan PSTN. Sedangkan jaringan IP menggunakan Uniform Resource Identifiers (URI) sebagai standarisasi pengalamatan dan penamaan [4]. Sesuai dengan arah pertelekomunikasi saat ini yang menuju pada NGN, dimana semua panggilan akan berbasis IP, maka solusi yang terbaik saat ini untuk menggabungkan dua platform jaringan IP dan PSTN yang berbeda adalah
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
dengan menggunakan Electronic Numbering Mapping (ENUM). ENUM merupakan standar yang dikeluarkan Internet Engineering Task Force (IETF) (Request for Comments (RFC3761)) yang mengijinkan seorang pengguna untuk menggunakan sebuah nomor telepon dengan mengakses Domain Name System (DNS) sehingga mendapatkan akses terhadap record Uniform Resource Idenifier (URI) di dalam Naming Authority Pointer (NAPTR) resource record yang dimiliki oleh nomor tersebut [4]. Dengan ENUM, permintaan berbagai layanan telekomunikasi dengan seseorang dapat dilakukan dengan mengakses satu nomor saja. ENUM memetakan satu nomor E.164 kepada banyak layanan (alamat) yang tersimpan dalam database DNS. Konsep lain yang ditawarkan oleh ENUM adalah bagaimana seorang pengguna dari berbagai layanan telekomunikasi dapat tetap dihubungi melalui nomor yang sama walaupun berganti detail kontak nomor. Pemerintah (Ditjen Postel) telah melakukan kajian mengenai ‘Pekerjaan Implementasi Test Bed Electronic Numbering” pada tahun 2006. Kajian ini hanya membahas sebatas melakukan test bed dan persiapannya dengan hasil yang diharapkan adalah suatu rekomendasi hubungan komunikasi dua arah antara PSTN dan IP, rekomendasi pengaksesan layanan berbasis IP dengan memutar nomor E.164 dan rekomendasi pengaksesan layanan berbasis internet dengan 1 nomor E.164 [5]. Dalam kerangka regulasi dalam kajian ini hanya menjelaskan bagaimana model penyelenggaraan ENUM dan pentingnya pengaturan yang membahas tentang konvergensi antara penomoran yang berbasis teleponi dasar dan penomoran yang berbasis IP. Sedangkan bagaimana bentuk regulasi dan bagaimana implikasi regulasi ENUM jika diterapkan di Indonesia belum terlihat. Di Indonesia pengaturan mengenai penomoran berdasarkan kepada Keputusan Menteri Perhubungan No. 4 tahun 2001 tentang FTP Nasional tahun 2000 dimana dalam Bab dua menjelaskan bahwa rencana penomoran dititik beratkan pada jasa teleponi dasar, baik yang melalui jaringan tetap maupun yang melalui jaringan bergerak, dan pada jasa yang bersifat nasional dalam lingkungan multi – penyelenggara yang kompetitif. Demikian pula dengan kode SLJJ dan SLI semua diatur dalam FTP tersebut. Dengan penerapan ENUM maka FTP Nasional tahun 2000 akan mengalami penambahan yaitu dengan menambahkan sistem pengalamatan berbasis IP, pemetaan nomor telepon yang berdasarkan pada Domain Name System (DNS), sistem yang digunakan dalam penerapan number portability dan bagaimana pengaturan pemberian blok nomor kepada penyelanggara sehingga tidak di dominasi oleh incumbent. Demikian pula dengan regulasi yang mendukungnya seperti PP 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi pasal (3), KM. No. 21 tahun 2001 tentang Penyelengaraan Jasa Telekomunikasi pasal (3) dan KM No. 23 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Jasa ITKP. Beberapa negara telah mengimplementasikan ENUM seperti Austria, Singapura, Jerman dan Rumania dan negara-negara yang sedang melakukan uji coba adalah Australia, China, dan Jepang [6]. Jerman telah mengadakan
53
trial untuk ENUM sejak September 2002 dengan nomor domain 9.4.e.164.arpa dan kebijakan untuk ENUM telah diberlakukan sejak 26 Januari 2006. Domain ENUM mengambil nomor dari nomor telepon, beberapa aplikasi untuk domain ENUM haruslah sesuai dengan penggunaan nomor telepon yang telah ditetapkan. Konsep ENUM dapat membawa dampak positif bagi penyelenggara telekomunikasi yang ada seperti One Contact Point (Satu nomor ENUM dapat digunakan untuk beberapa pelayanan (seperti nomor telepon, alamat email, website address, dan lain-lain). ENUM secara potensial dapat memberikan kontak single point untuk pelanggan ENUM, Number Portability, Call Preference. Implementasi ENUM di Indonesia akan menimbulkan perubahan pembagian jenis layanan, yang semula terdapat minimal 2 macam jenis layanan yang diatur secara terpisah menjadi bergabung menjadi satu, yaitu layanan jasa teleponi dasar dan secara umum layanan berbasis IP. Ruang lingkup penelitian meliputi: a. Obyek penelitian adalah mempelajari dan menganalisa implikasi implementasi ENUM terhadap FTP Nasional tahun 2000. b. Pengkajian melalui benchmarking implementasi atau rencana implementasi ENUM di beberapa negara. c. Analisa terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perubahan perubahan yang akan dilakukan khususnya pemberian blok nomor, sistem pengalamatan yang berbasis IP, sistem penomoran yang menggunakan Domain Name System (DNS) dan penggunaan Mobile Number Portability (MNP). Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kemungkinan implementasi ENUM di Indonesia melalui pengkajian implikasi atas regulasi telekomunikasi eksisting khususnya penomoran dan tahapan-tahapan yang dilakukan pada implementasi ENUM. II.
KONDISI INDONESIA
Nomor adalah sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah (negara) sehingga pengalokasian blok-blok nomor kepada penyelenggara untuk keperluan jaringan dan pelayanan masing-masing dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi atas nama Pemerintah Indonesia. Di Indonesia, berdasarkan FTP Nasional 2000, prinsip penomoran mengacu kepada rekomendasi ITU-T E.164. Rencana penomoran ini memberikan pokok-pokok tentang pengaturan dan pengalokasin nomor untuk penyelenggaraan telekomunikasi yang berada dalam lingkup nasioanal. Penyajiannya dititik-beratkan pada jasa teleponi dasar, baik yang melalui jaringan tetap maupun yang melalui jaringan bergerak, dan pada jasa yang bersifat nasional, dalam lingkungan multi-penyelenggara yang kompetitif. Selain itu rekomendasi E.164 memberikan keterangan struktur nomor dan fungsi-fungsinya. Salah satu jenis penomoran E.164 adalah National Telephone Services. National Telepon Services merupakan sistem penomoran yang telah dikenal publik untuk pemanggilan langsung internasional. Jumlah digit maksimal 15 digit. Terdiri dari country code (cc) satu sampai tiga digit, kode
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
54
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
wilayah atau national destination code (ndc) ditambah nomor pelanggan dengan jumlah digit 10 sampai 12. PSTN menggunakan teknologi switch sirkit. Sumber daya jaringan (kanal) yang diduduki satu pelanggan tak dapat digunakan pelanggan lain sampai pendudukan selesai. Sirkuit Switch mensyaratkan dua hal untuk suksesnya hubungan antara dua titik layanan yaitu bebasnya terminalterminal yang berlawanan dan tersedianya kanal. Proses pemanggilan dimulai dengan pembangunan hubungan kanal (establishment), penyaluran informasi data (data transfer) dan pemutusan hubungan (termination). Jika fase pertama gagal, proses pemanggilan harus diulangi. Jika jalur komunikasi berhasil terbangun, kanal digenggam baik ada atau tidak ada data yang disalurkan. Cara seperti ini kurang efisien. Namun tingkat kegunaan (utilitas) tinggi. Sebagai kompensasinya tarif layanan PSTN relatif mahal. Saat ini pemakaian teknologi switch sirkit sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan dan dialihkan ke teknologi switch paket. Switch paket mampu memberi solusi terhadap masalah yang dimiliki switch sirkit. Internet merupakan jaringan switch paket yang popular saat ini. Protokol yang digunakan adalah Internet Protokol (IP). Dalam arsitektur Open System Interconnection (OSI), IP berada pada lapisan network. Fungsinya untuk memberikan pengalamatan lojik (logical addressing) terhadap jalur komunikasi antara dua terminal. Pengalamatan menggunakan fungsi hirarkis. Alamat IP terdiri dari alamat jaringan (network) dan alamat stasiun (host). Dalam IP V4, alamat IP terdiri dari 32 bit. Guna memudahkan pembacaan, 32 bit dipecah menjadi 4x8 bit atau 4 byte. Setiap byte dipisahkan dengan titik atau dot(.). Dengan melihat skala jaringan dan jumlah host, alamat IP terbagi ke dalam kelas A, kelas B dan kelas C. Istilah ini dikenal dengan classful addressing. Setiap kelas memiliki batas antara bagian jaringan (network prefix) dengan bagian terminal (host number). Rentang nilai desimal dari masingmasing kelas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 2.1. Pembagian alamat IP
Rentang notasi decimal Kelas
Awal
Akhir
A
1.xxx.xxx.xxx
126.xxx.xxx.xxx
B
128.0.xxx.xxx
191.255.xxx.xxx
C
192.0.0.xxx
223.255.255.xxx
III.
PENERAPAN ENUM DI INDONESIA
A. Implikasi ENUM Terhadap Regulasi Penomoran Penomoran yang digunakan saat ini adalah berdasarkan pada KM No.4 tahun 2001 yaitu Fundamental Technical Plan (FTP) Nasional 2000 dimana konsep penomoran tersebut adalah : 1. Format penomoran untuk pelanggan/terminal PSTN / ISDN terdiri dari : 1.1. Nomor (Signifikan) Nasional 1.2. Kode Wilayah
ISSN: 2085-6350
1.3. Nomor Pelanggan Telepon 1.4. Blok Nomor Pelanggan 1.5. Kode Penyelenggara 2. Penomoran dalam jaringan bergerak seluler terdiri dari : 2.1. Mobile Subscriber International ISDN Number (MSISDN) 2.1. Kode Tujuan Nasional (NDC) 2.2. Nomor Pelanggan 2.3. Penomoran internal dalam penyelenggaraan STBS 3. Format penomoran dalam jaringan bergerak satelit 4. Format penomoran dalam penyelenggaraan jasa radio trunking 5. Format penomoran dalam penyelenggaraan jasa Intelegent Network (IN) 6. Kode Akses ke Jaringan Komunikasi Data. B. Implikasi ENUM Terhadap Regulasi Perijinan Implementasian ENUM di Indonesia membawa perubahan terhadap regulasi yang ada seperti yang disebutkan pada sub bab 4.3. Berdasarkan benchmark dibeberapa negara ENUM dapat diterapkan di Indonesia dengan pertimbangan dapat menghemat nomor, meningkatkan kompetisi antar operator jaringan telekomunikasi dan dapat menjembatani antara PSTN dan IP telephone. Dengan diimplementasikannya ENUM di Indonesia maka akan terjadi beberapa perubahan terhadap regulasi eksisting yaitu : 1. PP 52 tahun 2000 pasal 3 yang menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi meliputi : a. Penyelenggara jaringan telekomunikasi b. Penyelenggara jasa telekomunikasi c. Penyelenggara telekomunikasi khusus 2. KM No. 21 tahun 2001 pasal 3 menyatakan bahwa penyelenggaraan jasa telekomunikasi terdiri dari : a. Penyelenggaraan jasa teleponi dasar; b. Penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi; c. Penyelenggaraan jasa multimedia. 3. KM No. 23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan internet teleponi untuk keperluan publik pasal 12 yaitu : (0) Kode akses untuk penyelenggaraan jasa internet teleponi ditetapkan sebagai berikut : a. Untuk metode single stage : 011, 017, 016, 018, dan 019; b. Untuk metode double stage : 170XX di mana X adalah angka 0 sampai dengan 9 C. Number Portability Penggunaan ENUM nantinya akan melahirkan mobile number portabilty (MNP). Number portability adalah layanan yang memungkinkan nomor telepon pelanggan asal tidak berubah walaupun pelanggan tersebut berpindah lokasi. Pelanggan yang mempertahankan nomor telepeonnya sewaktu pindah operator dikenal ported number. Penerapan MNP dalam jaringan seluler suatu negara akan meningkatkan kompetisi antar operator seluler dinegara tersebut, juga untuk penghematan dan efisiensi penggunaan teknologi komunikasi. Kerugian dari penerapan MNP adalah nomor seluler sudah tidak lagi mengindikasikan operator yang melayani pemilik nomor telepon tersebut.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Di Indonesia penerapan Mobile Number Portability sangat memungkinkan karena pelanggan Indonesia yang mudah berubah ke operator yang menawarkan layanan yang lebih bagus atau tarif yang lebih murah. Dalam pengimplementasian Mobile Number Portability persyaratan yang harus dipenuhi adalah : 1. Tidak mengurangi kualitas layanan, reliabilitas, dan kenyamanan bagi pelanggan. 2. Harus tidak terlihat nyata bagi pelanggan 3. Harus tidak ada halangan atau delay yang membuat pelanggan malas berpindah operator. 4. Cost effective, efficient dan stabil untuk solusi jangka panjang. Solusi juga harus mengantisipasi teknologi masa datang. 5. Mudah dieskalasi dan mampu memenuhi kebutuhan porting masa depan 6. Menggunakan penomoran yang efisien 7. Memudahkan new-entry operator 8. Ketergantungan pada jaringan donor untuk merouting panggilan ported harus dihilangkan sehingga mengurangi kelakuan yang antikompetitif. 9. Diperlukan suatu regulasi dalam pentarifan MNP D. Tahapan Implementasi ENUM di Indonesia Langkah-langkah yang dilakukan dalam implementasi ENUM di Indonesia adalah dengan mengubah PP 52 tahun 2000 dalam hal jenis penyelenggaraan telekomunikasi dimana penyelenggara hanya ada dua jenis yaitu penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi. Pada KM 21 tahun 2001 pasal 3 mengenai jenis-jenis penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dengan diimplementasikannya ENUM maka pembagian jenis – jenis penyelenggaraan jasa sudah tidak ada lagi. Demikian pula pada KM No.23 tahun 2002 pasal 12 tentang kode akses dapat dibatasi untuk setiap pelanggan. Sedangkan terhadap format penomoran yaitu 1. Format penomoran untuk pelanggan/terminal PSTN/ISDN 1.1. Nomor Siginifikan Nasional untuk pelanggan telepon pada jaringan tetap masih menggunakan format : (0) AB – DEFG - X1 X2 X3 X4 Atau
(0)ABC - DEF – X1 X2 X3 X4
Dimana AB atau ABC = kode wilayah dan DEFG-X1 X2 atau DEF-X1 X2 X3 X4 = nomor pelanggan 1.2. Kode Wilayah Kode wilayah menggunakan digit awal A = 2,3,4,5,6,7 dan 9. Sedangkan A = 1 dan A = 8 tidak digunakan karena sudah dialokasikan untuk keperluan lain. 1.3. Blok Nomor Pelanggan 1.3.1. Blok nomor dalam pengendalian Ditjen Postel, dan dialokasikan
55
kepada penyelenggara sesuai dengan kebutuhannya. Pemberian blok nomor diberikan dengan ketentuan blok nomor yang sebelumnya telah habis digunakan. Misalnya blok nomor 62 21 6XXX XXXX dibuka jika blok nomor 62 21 5XXX XXXX telah habis diberikan ke penyelenggara. 1.3.2. Adanya suatu ketentuan/batasan dari Pemerintah agar penyelenggara telekomunikasi menggunakan blok nomor yang telah diberikan, dan jika batas waktu yang diberikan blok nomor tersebut wajib dikembalikan ke Ditjen Postel 1.3.3. Setiap penyelenggara telekomunikasi yang mendapatkan blok nomor dari pemerintah wajib mengembalikan blok nomor yang tidak digunakan lagi kepemerintah (Ditjen Postel) dengan memberikan batas waktu pengembalian blok nomor dan sanksi jika tidak mengembalikan blok nomor tersebut. 1.4. Kode Penyelenggara 1.4.1. Empat digit (atau tiga digit untuk wilayah ABC) pertama dari nomor pelanggan, DEF(G) yang menjadi identitas dari blok nomor juga mempunyai fungsi administratif sebagai kode penyelenggara.Satu penyelenggara dapat mempunyai lebih dari satu kode penyelenggara. 1.4.2. Penomoran untuk Pelayanan Daurat dans Pelayanan Khusus Nomor untuk pelayanan darurat adalah: Polisi : 110 Panggilan darurat : 112 (khusus STBS) Pemadam Kebakaran: 113 SAR : 115 Ambulans : 118 Nomor-nomor tersebut harus juga dapat diakses secara langsung dari terminal STBS. 2. Penomoran dalam jaringan bergerak seluler Mobile Subscriber International ISDN Number (MSISDN) MSISDN adalah nomor internasional untuk terminal/pelanggan jaringan bergerak seluler, terdiri atas kode Negara diikuti oleh N(S)NMobile yang terdiri atas Kode Tujuan Negara (NDC) dan Nomor Pelanggan. Format untuk N(S)N-Mobil adalah sebagai berikut:
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ABC(D) – X1 X2 X3 X4 ………..
ISSN: 2085-6350
56
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Kode Tujuan Nasional (NDC) Untuk setiap penyelenggara STBS dialokasikan NDC sendiri, yang terdiri atas 3 digit (ABC) atau 4 digit (ABCD). Digit terakhir berfungsi sebagai identitas penyelenggara yang bersangkutan. NDC dengan 3 digit dialokasikan untuk penyelenggaraan yang berlingkup nasional, sedang NDC dengan 4 digit untuk penyelenggaraan yang berlingkup regional. NDC untuk jaringan bergerak seluler dialokasikan dari kelompok nomor A = 8. 3. Format penomoran dalam jaringan bergerak satelit Penyelenggaraan jaringan bergerak satelit menggunakan struktur penomoran yang sama dengan N(S)N-Mobil dalam jaringan bergerak seluler. Seperti halnya dengan jaringan bergerak seluler, hanya NDC yang dialokasikan oleh Ditjen POSTEL, sedang nomor pelanggan diatur sendiri oleh penyelenggara. 4. Format penomoran dalam penyelenggaraan jasa radio trunking Penyelenggaraan jasa radio trunking menggunakan struktur penomoran yang sama dengan N(S)N-Mobil dalam jaringan bergerak seluler. NDC dialokasikan oleh Ditjen Postel, sedangkan nomor pelanggan diatur sendiri oleh penyelenggara. 5. Format penomoran dalam penyelenggaraan jasa Intelegent Network (IN) terdiri dari : Nomor Nasional Pelayanan Nomor Nasional Pelayanan mempunyai format yang serupa dengan N(S)N, dan terdiri atas 3 digit Kode Akses Pelayanan dikombinasikan dengan 7 digit Nomor Pelanggan. Nomor Nasional Pelayanan mempunyai format sebagai berikut: ABC – D(E) – X1 X2 X3 X4 ………..
di mana ABC adalah kode akses pelayanan, sedang D (atau DE, menurut kebutuhannya) adalah kode penyelenggara yang mencirikan penyelenggara tertentu. Kode penyelenggara merupakan bagian dari nomor pelanggan. Kode Akses Pelayanan Kode akses pelayanan dialokasikan dari kelompok nomor dengan digit pertama A = 8. Kode Akses Pelayanan dialokasikan berdasarkan jenis pelayanannya, seperti Advanced Freephone, Premium Charging (Teleinfo), Credit Card Calling, Universal (Access) Number dan yang lain-lain. Setiap jenis pelayanan memperoleh satu kode akses pelayanan yang harus digunakan secara bersama (sharing) oleh semua penyelenggara yang menawarkan jenis pelayanan yang sama. 5.3. Nomor Pelanggan Pengalokasian kode penyelenggara (digit D) diatur oleh Ditjen POSTEL, atau dikoordinasikan antara para penyelenggara
ISSN: 2085-6350
6.
7.
melalui suatu forum yang beranggotakan semua penyelenggara jasa IN dan pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan. Dalam hal jumlah penyelenggara yang menyediakan jenis jasa IN tertentu diperkirakan melampaui jumlah kode yang tersedia, maka kode penyelenggara harus menggunakan kombinasi 2 digit (DE). Pengalamatan IP 6.1 Struktur IP Address (IPv4) 6.2 Alamat Khusus (alamat Jaringan, Broadcast Address dan Netmask) 6.3 Sintaks umum URL 6.4 Sintaks untuk skema protocol berbasis IP Kode Akses ke Jaringan Komunikasi Data. Akses ke jaringan komunikasi data dari jaringan telepon/ISDN atau STBS dilakukan dengan menggunakan kode akses. Kepada tiap jaringan komunikasi data dialokasikan kode aksesnya sendiri secara individual. Untuk satu kode akses dapat disediakan lebih dari satu titik akses agar supaya trafik aksesnya tidak terlalu terpusat. Untuk akses dari PSTN ke jaringan paket SKDP telah dialokasikan kode akses berikut: • Akses ke titik pelayanan asinkron (PAD)
Rek. X.28 : ‘08611’ • Akses ke titik pelayanan dengan moda paket Rek. X.32 : ‘08612’ 8.
Pemetaan Nomor Telepon Pemetaan berdasarkan Domain Name Server (DNS) 9. Number Portability Untuk penerapan Mobile Number Portability dapat menggunakan metode All Call Query oleh jaringan asal dan penggunaan database management dilakukan secara terpusat dengan menggunakan sistem konsorsium dari operator jaringan atau di outsource ke pihak ketiga. ENUM dan Mobile Number Portability dapat diterapkan di Indonesia pada tahun 2011 dimana semua jaringan sudah berbasis IP berdasarkan Draft Roadmap konvergensi TIK.
KESIMPULAN 1.
2.
3.
Implementasi ENUM memberikan dampak terhadap regulasi yang eksisting yaitu PP 52 tahun 2000 pasal (3), KM 21 tahun 2001 pasal (3), KM 23 tahun 2002. Untuk PP 52 tahun 2000 dalam hal jenis penyelenggaraan telekomunikasi yang semula dibagi dalam tiga macam jenis penyelenggara yaitu penyelenggara jaringan telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara telekomunikasi khusus menjadi hanya dua jenis saja yaitu penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi. Pada KM 21 tahun 2001 pasal 3 mengenai jenis-jenis penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dengan diimplementasikannya ENUM maka pembagian jenis – jenis penyelenggaraan jasa sudah tidak ada lagi.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
4. 5.
Pada KM No.23 tahun 2002 pasal 12 tentang kode akses dapat dibatasi untuk setiap pelanggan. Untuk format penomoran akan mengalami penambahan yaitu dengan menambahkan sistem pengalamatan berbasis IP, pemetaan nomor telepon yang berdasarkan pada DNS, sistem yang digunakan dalam penerapan number portability dan bagaimana pengaturan pemberian blok nomor kepada penyelanggara sehingga tidak di dominasi oleh incumbent. DAFTAR REFERENSI
[1] [2]
[3] [4]
[5]
Kuncoro Wastuwibowo, white paper, , Next Generation Network, Versi 8.0, Desember 2003 ‘______’, Ditjen Pos dan Telekomunikasi’, Draft Roadmap Konvergensi Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi, 2007 ‘______’, Departemen Perhubungan’, Keputusan Menteri No. 4 Tahun 2001 tentang FTP Nasional 2000, tahun 2001 ‘______’, Ditjen Pos dan Telekomunikasi’, Penyusunan Konsep Konvergensi Teknologi Telekomunikasi Menuju Next Generation Network, 2006 ‘___________’ Ditjen Pos dan Telekomunikasi, Pekerjaan Implementasi Test Bed ENUM, Tahun 2006
57 [6] [7] [8]
[9]
[10] [11] [12]
[13]
[14]
[15]
‘________‘ http://enumdata.org ‘________‘ Germany enum number’. http://enumdata.org Arif Fitrianto, “Softswitch, Kunci Menuju Next Generation Network (NGN) Dunia Telekomunikasi”, 18 September 2003. http://www.itcenter.or.id Firginio Santareli, “Analisis Solusi terhadap Kendala Implementasi ENUM sebagai Pengalamatan dalam Konsep NGN di Indonesia”, Tesis S2, Departemen Teknik Elektro, Kekhususan Manajemen Telekomunikasi, tahun 2006. Arief Hamdani Gunawan, “ENUM dan problematikanya”, PT. Telkom, 29 Oktober 2007. ITU-T Recommendation E.164 – Supplement 2, Number Portability, November, 1998. Official Gazette of the Regulatory Authority for Telecommunication and Post Order No.51, Rules for the allocation of national numbers, 2004. Electronic Communications Committee (ECC) within the European Conference of Postal and Telecommunications Adminisrations (CEPT), Implementation of Number Portability in CEPT, Maret 2003. Romania National Regulatory Authority for Communications and Information Technology, New National Numbering Plan in Romania, 2004. Romania National Regulatory Authority for Communications and Information Technology, Number Portability, 2008.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
58
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Perancangan Automatic Gain Control Untuk Mobile WiMAX Pada Frekuensi 2,3 GHz 1
Gunawan Wibisono, 2Purnomo Sidi Priambodo, dan 3Rangga Ugahari
Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424 INDONESIA E-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak— Seiring dengan perkembangan teknologi telekomunikasi, kebutuhan manusia terhadap komunikasi tidak hanya suara saja, tetapi juga manusia membutuhkan komunikasi data seperti gambar maupun video dengan menggunakan peralatan wireless sehingga memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi. Salah satu teknologi wireless yang saat ini sedang berkembang dan dapat memenuhi kriteria tersebut adalah mobile WiMax dengan standard IEEE 802.16e. Agar teknologi mobile WiMax ini dapat diaplikasikan dengan baik, maka kebutuhan akan selektifitas dan kendali yang baik terhadap tingkatan sinyal keluaran menjadi masalah yang sangat mendasar dalam perencanaan sistem komunikasi. Oleh karena itu, maka digunakan Automatic Gain Control (AGC) untuk mengurangi variasi amplitudo yang terjadi pada sinyal keluaran yang dapat menyebabkan hilangnya informasi atau juga penurunan performa sistem. Dalam penelitian ini, dilakukan perancangan rangkaian automatic gain control (AGC) yang terdiri dari beberapa bagian rangkaian yaitu variable gain amplifier (VGA) yang berfungsi sebagai rangkaian yang penguatannya akan dikendalikan, detector berfungsi sebagai pendeteksi dari sinyal keluaran yang kemudian akan dibandingkan dengan sinyal acuan (sinyal yang diharapkan), integrator yang berfungsi sebagai low pass filter dan juga sebagai pembanding sinyal dari detector dengan sinyal acuan yang keluarannya merupakan sinyal kendali yang akan mengendalikan gain pada VGA. Dari hasil simulasi didapat bahwa AGC yang dirancang memiliki intermediate frequency 100 MHz, jangkauan input -100 dBm sampai 35 dBm untuk output 5,217 dBm, impedansi input matching 50 ohm Kata Kunci—AGC, VGA, m-WiMAX
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sekarang ini, kebutuhan manusia terhadap komunikasi tidak hanya suara saja, tetapi juga manusia membutuhkan komunikasi data seperti gambar maupun video dengan menggunakan peralatan wireless. Salah satu teknologi wireless yang saat ini sedang berkembang dan dapat memenuhi kriteria tersebut adalah WiMax. Worldwide Interoperability for Microwave Access (WiMAX) adalah teknologi wireless broadband yang sangat cocok untuk melakukan komunikasi berupa data karena WiMax ini mempunyai bandwidth yang lebar dan bit rate yang besar. Standar WiMax ini diatur oleh standard IEEE 802.16. Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi telekomunikasi, maka kebutuhan akan selektifitas dan ISSN: 2085-6350
kendali yang baik terhadap tingkatan sinyal keluaran menjadi masalah yang sangat mendasar dalam perencanaan sistem komunikasi. Oleh karena itu, maka digunakan Automatic Gain Control (AGC) untuk mengurangi variasi amplitudo yang terjadi pada sinyal keluaran yang dapat menyebabkan hilangnya informasi atau juga penurunan performansi sistem [1]-[2]. B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat suatu rancangan rangkaian automatic gain control untuk mobile WiMax 2.3 GHz berdasarkan pada standar IEEE 802.16e.
II.
PERANCANGAN AUTOMATIC GAIN CONTROL
Pada sistem mobile wimax, rangkaian AGC terletak di bagian RF receiver setelah rangkaian mixer dan sebelum masuk rangkaian baseband. Rangkaian AGC yang akan dirancang akan diaplikasikan pada mobile wimax dengan menggunakan standard IEEE 802.16e dimana frekuensi tengah yang akan digunakan untuk mobile wimax dipilih 2,3 GHz dan tidak membutuhkan persyaratan line of sight untuk jangkauan area yang dapat dicapai. Berikut adalah spesifikasi rangkaian AGC yang akan dirancang : Intermediate Frequency (IF) = 100 MHz Daya input = -56 dBm sampai 4 dBm Daya Output = 5,217 dBm (IF output) Gain Maksimum = 61.217 dB Impedansi matching = 50 ohm Untuk mendapatkan nilai daya output yang diinginkan maka digunakan persamaan[7] : N = 10 log (k Tb) + NF
(1)
C = C/N + N
(2)
dimana, k = konstanta Boltzman = 8.62 x 10-5 ev/k Tb = 273 K NF = Noise Figure = 0.5 dB C/N = 21 dB Maka didapatkan daya output (C) = 5,217 dBm. Gambar 1. menunjukkan diagram blok AGC yang akan dirancang [3].
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gambar 1 Diagram blok AGC
Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa input akan masuk ke rangkaian variable gain amplifier (VGA), jadi rangkaian VGA adalah rangkaian inti dari penguatan yang akan dihasilkan. Pada rangkaian VGA tersebut, untuk melakukan penguatan digunakan transistor. Sementara diagram blok yang lainnya seperti detector dan integrator berfungsi sebagai proses untuk menghasilkan suatu sinyal kendali VC yang akan mengendalikan VGA. Dikarenakan kemampuan transistor untuk mengendalikan gain oleh rangkaian eksternal menaikkan dan menurunkan arus kolektor, maka ada dua metode untuk mengimplementasikan AGC, reverse dan forward AGC. Reverse AGC merupakan metode yang jauh lebih popular dibandingkan dengan forward AGC dan dapat ditemukan pada bagian Intermediate Frequency (IF) dari banyak radio. Sementara forward AGC kadang - kadang dirancang pada front-end RF amplifier, tetapi tidak diharapkan untuk aplikasi yang umum karena membutuhkan lebih banyak arus kolektor dibandingkan dengan reverse AGC, dan memiliki lebih banyak respon gain yang berangsur - angsur.
59
nilai gain maksimum yang diharapkan adalah sebesar 61.217 dB. Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan nilai gain maksimum 61.217 dB seperti yang diharapkan, maka dilakukan cascade 5 buah transistor seperti terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan perhitungan, dengan menggunakan cascade 4 buah transistor sudah cukup untuk menghasilkan nilai gain maksimum sesuai dengan kriteria yang diinginkan, tetapi untuk mengantisipasi adanya daya yang hilang ternyata sangat besar pada suatu kondisi yang tidak terduga, maka akan lebih aman dengan menggunakan cascade 5 buah transistor, sehingga gain maksimum yang dapat dihasilkan adalah sebesar 5 kali 20.46 dB sama dengan 102.3 dB. Detector Prinsip dasar untuk merancang AGC adalah bahwa sinyal output yang akan dikendalikan salah satu caranya adalah dengan mengubah gelombang sinyal output tersebut menjadi gelombang DC yang selanjutnya akan dibandingkan dengan tegangan acuan yang diinginkan sehingga dapat menghasilkan sinyal kendali yang akan mengatur besarnya gain dari transistor. Untuk dapat menghasilkan gelombang DC pada rangkaian bias, maka pada rancangan untuk simulasi digunakan AM demodulator yang akan membuat sinyal output IF yang memiliki frekuensi 100 MHz menjadi gelombang DC yang memiliki frekuensi 0 Hz. Adapun alasan penggunaan AM demodulator sebagai detector yang menghasilkan gelombang DC adalah agar hasil dari simulasi bersifat ideal dan sesuai dengan yang diharapkan. Gambar 3 menunjukkan diagram blok AM demodulator yang dirancang.
VGA Gambar 2 menunjukkan rangkaian VGA yang akan dirancang menggunakan 5 transistor. Penggunaan 5 transistor bertujuan untuk mencapai penguatan yang diharapkan.
Gambar 3. AM demodulator Integrator Gambar 4 menunjukkan rangkaian integrator hasil rancangan. Gambar 2. Rangkaian VGA dengan 5 transistor
Gambar 2. merupakan gambar rangkaian VGA hasil rancangan. Terlihat pada Gambar 2. bahwa setelah sinyal input terdapat kapasitor yang dirangkai seri yang berfungsi sebagai DC block. Kapasitor tersebut berguna untuk memastikan bahwa sinyal output yang masuk ke dalam rangkaian adalah murni gelombang AC. Sementara fungsi dari DC feed (induktor) seperti terlihat pada Gambar 2. yaitu sebagai DC short pada rangkaian bias, untuk memastikan bahwa pada rangkaian bias hanya dapat melewatkan gelombang DC. Setelah dilakukan simulasi, rangkaian VGA single stage dengan satu transistor hanya menghasilkan nilai gain maksimum sebesar 20.46 dB pada frekuensi IF 100 MHz, sementara
Gambar 4. Rangkaian integrator hasil rancangan
Pada integrator, tegangan output dari detector akan dibandingkan dengan tegangan acuan. Jika tegangan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
60
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
frekuensi 100 MHz, jika cascade 5 buah transistor, maka seharusnya gain maksimum yang dapat dihasilkan adalah sebesar 117.2 dB, ternyata data yang didapatkan berdasarkan hasil simulasi berbeda dengan data yang tertera pada datasheet. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan karena pada saat melakukan simulasi tidak diperhatikan parameter suhu, sedangkan pada datasheet parameter suhu ikut diperhitungkan yaitu pada saat temperatur 25oC. Namun demikian, hasil penguatan maksimum yang didapatkan berdasarkan simulasi yaitu 106.125 dB sudah memenuhi kriteria gain maksimum yang diinginkan yaiut sebesar 61.217 dB.
output dari detector lebih rendah dari tegangan acuan, atau dengan kata lain input sinyal rendah, maka output dari integrator akan mendekati 0 V menuju ke VGA. Jika tegangan output dari detector ternyata lebih besar dari tegangan acuan, maka tegangan negatif yang bernilai besar akan ditempatkan pada bias input pada bias VGA.
III.
HASIL SIMULASI DAN ANALISA
Rangkaian AGC Gambar 5. menunjukkan rangkaian lengkap AGC yang dirancang.
Tabel 1 menunjukkan hasil simulasi impedansi matching pada rangkaian AGC yang dirancang. V_DC SRC10 Vdc=8 V
Input
C21 C=1.0 uF
Port P1 Num=1
R R21 R=50 Ohm
R R26 R=50 Ohm
C22 C=1.0 uF C L C18 L15 C=20.66632 pF L=45.55143 nH
R R24 R=50 Ohm
C23 C=1.0 uF
BJT_NPN L17 L=1.0 uH BJT1 Model=AT-41533
R R22 R=50 Ohm
R R28 R=50 Ohm
C24 C=1.0 uF
R R29 R=50 Ohm
C25 C=1.0 uF
Tabel 1 Hasil Simulasi Impedance Matching C26 C=1.0 uF
BJT_NPN BJT3 Model=AT-41533 L18 L=1.0 uH
BJT_NPN BJT4 Model=AT-41533 L19 L=1.0 uH
BJT_NPN BJT5 Model=AT-41533 L20 L=1.0 uH
C BJT_NPN L C19 BJT2 L16 Model=AT-41533 L=30.30061 nH C=12.51996 pF L21 L=1.0 uH
R R25 R=50 Ohm
R R23 R=50 Ohm
R R27 R=50 Ohm
R R30 R=50 Ohm
Output Port P3 Num=3
t>0 t=0 ResetSwitch SWITCH2
C C20 C=1 pF R R31 R=1 Ohm OpAmp AMP2
R R20 R=1 Ohm
Var Eqn
VAR VAR2 PoutRef=5.217 _dBm Vref=sqrt(0.05*10**((PoutRef)/10))
AM_DemodTuned DEMOD1 Fnom=100 MHz Rout=50 Ohm
R R32 R=50 Ohm
V_DC SRC11 Vdc=Vref
Gambar 5. Rangkaian AGC hasil rancangan
Terlihat pada Gambar 5. rangkaian automatic gain control hasil rancangan yang disimulasikan. Adapun parameter – parameter yang digunakan untuk simulasi adalah sebagai berikut : Intermediate Frequency (IF) : 100 MHz, Daya input : -100 dBm sampai 30 dBm, dan Daya Output : 5,217 dBm (IF output) Hasil Simulasi Perancangan VGA Gambar 6 menunjukkan hasil maksimum dari AGC yang dirancang.
simulasi
gain
Hasil Simulasi Minimum dan Maksimum Input Gambar 7 menunjukkan hasil simulasi daya input dan output dengan input -56 dBm.
Gambar 7. Hasil simulasi daya input dan output dengan input -56 dBm
Gambar 6. Hasil simulasi gain maksimum
Terlihat pada Gambar 6 gain maksimum yang dihasilkan adalah sebesar 106.125 dB. Nilai gain tersebut didapat dengan melakukan cascade 5 buah transistor, tetapi berdasarkan datasheet, jenis transistor yang digunakan model AT-41533 dari Avago Technology dapat menghasilkan gain maksimum sebesar 23.44 dB pada
ISSN: 2085-6350
Berdasarkan data pada Tabel 1terlihat bahwa pada frekuensi 100 MHz didapatkan nilai impedance input matching sebesar 50.041 + j0.047 dan nilai impedance output matching sebesar 50.165 + j0.023. Dengan hasil simulasi tersebut, dapat dikatakan bahwa rangkaian matching yang digunakan pada rangkaian VGA sudah memenuhi kriteria yang diinginkan yaitu impedance matching sebesar 50 ohm.
Berdasarkan parameter yang diinginkan menggunakan daya input sebesar -56 dBm, seperti terlihat pada Gambar 7. menunjukkan nilai daya input sebesar -56 dBm. Daya output yang dihasilkan adalah 5,217 dBm sudah sesuai dengan parameter yang diharapkan seperti terlihat pada Gambar 7., yang berarti untuk daya input sebesar -56 dBm, rangkaian automatic gain control yang dirancang
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
sudah dapat menghasilkan tegangan kendali yang sesuai dan dapat mengendalikan gain dari rangkaian VGA dengan sangat baik. Adapun transient response untuk mencapai kondisi stabil pada angka 5,217 dBm adalah sebesar 290 ndetik. Gambar 8 menunjukkan hasil simulasi daya input dan output untuk input -100 dBm.
61
dBm sangatlah lama ketika dibandingkan dengan percobaan sebelumnya ketika nilai gain yang dihasilkan transistor positif. Variasi Input Gambar 10. menunjukkan hasil simulasi daya input dan output dengan input yang bervariasi.
Gambar 10. Hasil simulasi daya input dan output dengan input yang bervariasi Gambar 8. Hasil simulasi daya input dan output dengan input --100 dBm
Terlihat pada Gambar 8, ternyata dengan menggunakan daya input sebesar -100 dBm, rangkaian automatic gain control yang dirancang masih mampu untuk mengendalikan daya outputnya konstan dengan nilai 5,217 dBm. Tetapi jika dibandingkan dengan Gambar 7, nilai settling time untuk data pada gambar 3.4 sedikit lebih lambat yaitu sebesar 530 ndetik. Berarti semakin besar gain yang harus dihasilkan oleh transistor, maka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai suatu nilai output yang tetap. Gambar 9. menunjukkan hasil simulasi daya inputdan outputdengan input 35 dBm.
Pada Gambar 10, terlihat bahwa rangkaian AGC yang dirancang sudah dapat menanggapi perubahan input dengan cukup baik. Bahwa ketika ada perubahan nilai daya input, maka daya output yang dihasilkan naik sedikit lalu dengan cepat kembali lagi ke nilai output yang diharapkan. Tabel 2 menunjukkan waktu untuk menjadikan output menjadi stabil. Tabel 2 Waktu untuk Mencapai Keadaan Output Stabil
Perubahan 1 2 3 4
Perubahan Input Input awal -30 dBm -30 dBm ke -15 dBm -15 dBm ke -10 dBm -10 dBm ke -5 dBm
Settling Time 280 ndetik 200 ndetik 800 ndetik 1630 ndetik
Jika diperhatikan data pada Tabel 2, semakin daya input mendekati nilai daya output yang diinginkan, maka waktu settling time yang didapatkan akan semakin lambat. Hal ini berhubungan dengan nilai dari tegangan kendali yang dihasilkan oleh rangkaian integrator. Gambar 11 menunjukkan hasil simulasi tegangan kendali dengan input yang bervariasi.
Gambar 9. Hasil simulasi daya input dan output dengan input 35 dBm Ketika daya input yang masuk ke rangkaian AGC lebih besar dari daya output yang diinginkan seperti terlihat pada Gambar 9, berarti gain yang dihasilkan oleh transistor akan bernilai negatif. Daya input 35 dBm lebih besar dari daya output yang diinginkan sebesar 5,217 dBm. Maka yang terjadi adalah daya output yang diinginkan dapat tercapai sebesar 5,217 dBm, tetapi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai tetap 5,217
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
62
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gambar 11. Hasil simulasi tegangan kendali dengan input yang bervariasi
Pada daya input yang berubah – ubah dari -30 dBm sampai -5 dBm yang artinya daya input berubah – ubah dan terus mengalami kenaikan sedangkan output yang diingikan adalah tetap sebesat 5,217 dBm. Maka untuk dapat mengendalikan daya input yang berubah – ubah terus tersebut, dibutuhkan tegangan kendali yang dapat mengatur besarnya gain dari transistor. Pada Gambar 11, terlihat bahwa tegangan kendali yang dihasilkan terus mengalami penurunan seiring dengan daya input yang terus menaik. Hal tersebut berguna untuk menurunkan nilai gain dari transistor, karena tegangan kendali tersebut akan masuk ke dalam basis dari transistor, sementara nilai penguatan transistor sendiri berbanding lurus dengan nilai arus basis. Jadi, semakin kecil nilai tegangan kendali, maka arus basis transistor juga semakin kecil yang mengakibatkan nilai penguatan transistor juga semakin kecil. Tabel 3 menunjukkan penguatan yang diperoleh dengan variasi daya input. Tabel 3 Penguatan Untuk Variasi Input
Daya Input (dBm) -30 -15 -10 -5
Daya Output (dBm) 5,217 5,217 5,217 5,217
Penguatan 35,217 20,217 15,217 10,217
Berdasarkan teori dasar dari transistor sebagai penguat, berarti tegangan kendali yang dihasilkan cenderung menurun seperti terlihat pada Gambar 11 sudah sesuai dengan gain yang diinginkan, sehingga dapat menghasilkan tegangan output sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 4 menunjukkan penguatan dan tegangan kendali yang dihasilkan dari rangkaian AGC yang dirancang.
Gambar 12. Hasil simulasi tegangan output detector dan tegangan acuan
Pada Gambar 12, besarnya nilai output dari detector mengikuti tegangan acuan, hanya saja terdapat riak – riak kecil yang disebabkan karena daya input yang masuk ke rangkaian AGC berubah – ubah. Untuk menghasilkan daya output dari VGA semaksimal mungkin agar sesuai dengan yang diharapkan, dibutuhkan nilai yang sama antara kedua buah input dari rangkaian integrator yang merupakan output dari detector dan juga tegangan acuan. Jika dilihat pada Gambar 12, maka data tersebut sudah cukup sesuai dengan yang diharapkan untuk dapat menghasilkan tegangan kendali yang dapat mengatur besarnya gain transistor yang sesuai dengan daya output yang diinginkan. Gambar 13 menunjukkan hasil simulasi daya output, output detector dan tegangan kendali pada AGC yang dirancang.
Tabel 4. Penguatan dan Tegangan Kendali
Penguatan (dB) 35,217 20,217 15,217 10,217
Tegangan Kendali (V) 0,744 0,707 0,656 0,551
Untuk mendapatkan suatu tegangan kendali yang baik, maka dibutuhkan suatu detector yang ideal, tidak banyak daya yang hilang, dimana nilai input dan output dari detector tersebut sebisa mungkin haruslah bernilai sama, hanya saja frekuensinya yang berbeda. Gambar 12 menunjukkan hasil simulasi tegangan output detector dan tegangan acuan.
ISSN: 2085-6350
Gambar 13 Hasil simulasi daya output, output detector, dan tegangan kendali
Detector yang digunakan pada rangkaian AGC ini adalah AM_Demodulator, sehingga dapat menghasilkan simulasi detector yang ideal. Dikatakan ideal karena seperti terlihat pada Gambar 13 bahwa nilai daya output yang merupakan input dari detector dan juga nilai dari output detector benar – benar sama dan tidak ada daya yang hilang sedikit pun pada detector. Sementara hubungannya dengan tegangan kendali adalah tegangan kendali turun saat adanya perubahan nilai dari daya output. Ketika daya output mengalami kenaikan, maka pada saat itu juga tegangan kendali mengalami penururnan yang berakibat nilai gain juga turun dan dengan otomatis daya outputnya pun akan turun kembali menuju nilai daya output acuan.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
63
Hasil tersebut sesuai dengan rangkaian integrator yang digunakan. Tegangan keluaran integrator Vo diberikan oleh
Vo = Vr −
1 C
t
∫ (Vs − Vr )dt 0
(2)
Persamaan (3) didapatkan dengan melakukan analisa nodal pada rangkaian integrator pada Gambar 14.
input yaitu tegangan output dari detector dan tegangan referensi. Ketika tegangan output dari detector yang diterima bernilai lebih besar dari tegangan referensi, maka tegangan kendali yang dihasilkan akan bernilai terus menurun, sedangkan ketika tegangan output dari detector yang diterima lebih kecil dari tegangan referensi, maka tegangan kendali yang dihasilkan akan bernilai terus naik. Ketika tegangan output dari detector bernilai sama dengan tegangan referensi, maka tegangan kendali yang dihasilkan akan bernilai sama dengan tegangan referensi yang artinya output yang dihasilkan oleh rangkaian VGA sudah sesuai dengan output yang diharapkan. Analisa matematis tersebut ternyata sesuai dengan hasil simulasi yang didapatkan. Setelah dilakukan simulasi secara keseluruhan, maka dapat dihasilkan data seperti pada Tabel 5 yang berarti bahwa rangkaian AGC hasil rancangan telah dapat memenuhi target dari parameter – parameter yang telah ditetapkan sebelumnya. Tabel 5. Perbandingan Hasil Simulasi Dan Target
Parameter
Target
Hasil
Intermediate Frequency
100 MHz
100 MHz
Daya input minimum
-56 dBm
-100 dBm
Daya input maksimum
4 dBm
35 dBm
Daya output
5,217 dBm
5,217 dBm
Gain maksimum
61,217 dB
106.125 dB
Input matching
50 ohm
(50.041+j0.047) ohm
Output matching
50 ohm
(50.165+j0.023) ohm
Gambar 14. Rangkaian integrator
Dari Gambar 14, pada node positif :
V − Vr =0 1 V = Vr
Pada node negatif :
d (V − Vo ) V − Vs +C =0 1 dt d (Vr − Vo ) Vr − Vs +C =0 1 dt d (Vr − Vo ) Vr − Vs + C =0 dt d (Vr − Vo ) = Vs − Vr C dt d (Vr − Vo ) 1 = (Vs − Vr ) dt C t 1 Vr − Vo = ∫ (Vs − Vr )dt C0 t
−Vo = −Vr + Vo = Vr −
1 C
1 (Vs − Vr )dt C ∫0 t
∫ (Vs − Vr )dt 0
Dimana Vs = Tegangan output dari detector Vr = Tegangan referensi Vo = Tegangan kendali Berdasarkan persamaan (3), maka terlihat bahwa tegangan kendali yang dihasilkan untuk mengendalikan gain dari rangkaian VGA sangat bergantung dari nilai dua
kesimpulan Dari hasil perancangan dan simulasi AGC maka didapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Rangkaian AGC dapat berfungsi dengan baik pada intermediate frequency 100 MHz. 2. Jangkauan daya input yang masih dapat dikendalikan untuk menghasilkan output sebesar 5,217 dBm adalah dari -100 dBm sampai 35 dBm. 3. Gain maksimum yang dapat dihasilkan oleh rangkaian AGC hasil rancangan adalah sebesar 106.125 dB. 4. Impedance matching dirancang agar memiliki nilai 50 ohm dan dihasilkan nilai input matching (50,041+j0,047) ohm dan nilai output matching (50,165+j0,023) ohm. 5. Setelah dilakukan simulasi, maka didapatkan hasil bahwa rangkaian automatic gain control yang dirancangan sudah dapat memenuhi tujuan dari parameter – parameter yang akan dicapai. PERNYATAAN Penelitian ini didanai oleh Riset Unggulan Universitas Indonesia Tahun 2009 Bidang Unggulan Information and Communication Technology (ICT).
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
64
[1]
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
DAFTAR REFERENSI Pankaj Goyal, “Automatic gain control in burst communications systems”, RF design, February 2000.
[2]
[3]
ISSN: 2085-6350
C.Ling-yun, S.Wen-tao, L.Han-wen, “AGC and IF Amplifier Circuits Design”, Shanghai Jiao Tong University, F.Zhen-he, Shanghai University, China. Maas, Stephen A, “The RF and Microwave Circuit Design Cookbook”, Artech House Boston, London, 1998.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
65
SUDUT DATANG OPTIMUM DENGAN MENGGUNAKAN SIGNAL CANCELLATION DESPREADING PADA SISTEM CDMA Lucia Jambola Institut Teknologi Nasional Jln. PKH Hasan Mustapha No. 17 Bandung Email :
[email protected] Abstrak Beamforming untuk arah uplink pada sistem DS CDMA dengan array antena pada Base Station, menggunakan metode – metode yang tergantung pada matriks kovarian sinyal – sinyal sebelum mengalami proses despreading dan sinyal – sinyal yang diperoleh setelah proses despreading. Pada sistem yang sebenarnya ketelitian proses kuantisasi pada sinyal- sinyal sebelum proses despreading biasanya sangat rendah, sehingga jika digunakan untuk menghitung pembobot beamforming secara langsung bisa mengakibatkan kinerja yang buruk. Ketelitian dari proses kuantisasi akan bertambah baik setelah proses despreading sinyal yang diterima yaitu dengan menggunakan metodePenapisan Kode (Code Filtering), selain metode tersebut ada cara pendekatan lain dimana beamforming masih tergantung dari despreading sinyal oleh kode tapis (code filter), tetapi menggunakan matriks kovarian sinyal yang diperoleh dari proses despreading lain yang disebut Signal Cancellation. Pada penelitian ini akan dilihat sudut datang dengan beamforming menggunakan metoda Penapisan Kode, Signal Cancellation, tanpa menggunakan beamforming . Beamforming akan dilihat pada beberapa kondisi, yaitu berdasarkan jumlah keseluruhan pengguna dan berdasarkan perbandingan daya pengguna yang diinginkan dengan daya pengguna yang tidak diinginkan (daya pengganggu). Beamforming dipengaruhi oleh pembobot yang diberikan pada sinyal keluaran despreader, dalam perhitungan pembobot diperlukan inversi matriks kovarian sinyal pengganggu dan estimasi sudut datang yang diinginkan. Signal Cancellation memiliki ketelitian yang lebih baik dalam menghitung inversi matriks kovarian sinyal pengganggu dan estimasi sudut datang yang diinginkan dibandingkan metoda Penapisan Kode terutama untuk kondisi jumlah keseluruhan pengguna 3 dan perbandingan daya pengguna yang diinginkan dengan daya pengganggu 1:10. Kata kunci : beamforming, kinerja SINR, pembobot beamforming, sudut datang, diagram polar
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Generasi ke 3 mendukung kecepatan bit (bit rate) yang bervariasi. Kecepatan bit yang bervariasi akan mengakibatkan processing gain (PG) yang bervariasi. Untuk transmisi dengan kecepatan bit yang tinggi, processing gain akan rendah dan daya diperbesar untuk memperoleh kualitas transmisi yang baik, akan tetapi naiknya daya akan menyebabkan sumber interferensi yang besar bagi pengguna (user) lainnya, sehingga pemakaian kriteria Maximum Signal to Noise Ratio (MSNR) untuk pembentukan beamforming menjadi tidak tepat, maka digunakan Maximum Signal Interference Plus Noise Ratio (MSINR). Ada beberapa metoda pembentukan beamforming dengan kriteria MSINR diantaranya metode Penapisan Kode dan metode Signal Cancellation. Metode Penapisan Kode tergantung pada matriks kovarian sinyal – sinyal sebelum proses despreading dan sinyal – sinyal yang diperoleh setelah proses despreading, tetapi pemakaian sinyal sebelum despreading untuk menghitung pembobot beamforming secara langsung bisa mengakibatkan kinerja yang buruk. Pada metode Signal Cancellation matriks kovarian pada sinyal sebelum despreading tidak digunakan, sehingga akan didapatkan kinerja yang lebih baik.
1.2.Tujuan Penelitian 1. Membandingkan estimasi sudut datang metoda Signal Cancellation dengan metoda Penapisan Kode 2. Membandingkan Diagram Polar Array Respon Vector dari metoda Signal Cancellation dengan metoda Penapisan Kode null 1.3. Batasan Masalah 1. Processing gain yang digunakan tidak bervariasi (PG=128) 2. Simulasi dilakukan dengan tinjauan satu lintasan.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
66
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
3. Perhitungan vektor pembobot menggunakan inversi matriks langsung tanpa melakukan iterasi
dimana T = interval simbol, Aj = Amplitudo sinyal yang ditransmisikan MS ke-j, bj[n] = simbol ke-n, dan dj(t:n) = sinyal penebar (spreading) transmisi ke-j. Sinyal spreading bisa dituliskan sebagai: G −1 (2.2) d (t ; n) = c [ g ; n]ψ (t − gT ) j
II. TEORI DASAR 2.1. Konsep Dasar Beamforming Beamforming adalah proses pembentukan berkas (beam) ke arah pengguna yang diinginkan dan menekan sinyal dari pengguna lain yang tidak diinginkan sehingga beamforming dapat dikatakan sebagai spatial filtering. Pembentukan berkas ke arah pengguna yang diinginkan dapat dilakukan dengan memberikan pembobotan pada setiap elemen antena di sisi pengirim dan penerima.
∑
j
g =0
c
dimana Tc = interval chip, G = T/Tc adalah processing gain, cj[g;n] = elemen ke-g dari sekuen spreading simbol ke-n dari transmisi ke-j, ψ(t) = pulsa chip dalam unit energi. Jika dimisalkan terdapat array linear dengan jumlah antena = N dengan jarak antar elemen antena = ½ panjang gelombang (½λ). Maka sinyal yang keluar dari elemen antena ke-m bisa dituliskan sebagai berikut: J
Kj
x m (t ) = {( ∑∑ v j (t − τ j ,k ) j =1 k =1
exp[ j 2π ( f d cos ϕ j ,k t − f cτ j , k )]
(2.3)
exp[ −i (m − m0 )π sin θ j ,k ]) + n m (t )
Gambar 2.1 Beamforming pada sisi penerima Secara umum, untuk mendapatkan beamforming MSINR, diperlukan matriks kovarian dari sinyal yang diinginkan dan sinyal – sinyal pengganggu. Matriks – matriks ini diestimasi dari sinyal yang diterima. Jika sinyal yang diinginkan dan sinyal – sinyal pengganggu diterima secara bersamaan, matriks kovarian dari sinyal yang diinginkan dan sinyal – sinyal yang mengganggu tidak bisa didapat secara terpisah. Jika semua daya pengguna dan processing gain sama, sifat statistik sinyal – sinyal pengganggu setelah proses despreading mendekati Adaptive White Gaussian Noise (AWGN), maka MSINR beamfoming menjadi MSNR beamforming. 2.2. Model Sistem Jika ada sebuah kanal uplink dari sistem CDMA, sinyal-sinyal yang ditransmisikan dari sejumlah J unit bergerak (mobile-stations,MS) ke base station dengan beberapa antena penerima, maka baseband sinyal yang ditransmisikan oleh MS ke-j adalah: ∞ (2.1) v (t ) = A b [n]d (t − nT ; n) j
∑
n = −∞
j
j
ISSN: 2085-6350
j
dimana J = jumlah MS yang mentransmisikan sinyal, Kj = jumlah lintasan jamak untuk MS ke-j, fd = frekuensi Doppler maksimum, fc = frekuensi pembawa, φj,k = arah komponen lintasan jamak ke-k terhadap vektor kecepatan dari MS ke-j, d τj,k = delay propagasi, θj,k = sudut datang dari komponen lintasan jamak, m0 = elemen antena yang dijadikan sebagai referensi. Sehingga indeks pada persamaan (2.1)-(2.3) adalah sebagai berikut : indeks antena = m, indeks MS = j, indeks lintasan propagasi = k, indeks waktu chip = g, indeks waktu simbol = n. Jika delay propagasi dari setiap sinyal komponen lintasan jamak untuk MS ke-j, maka sinyal masukan (sinyal sebelum despreading) terhadap PN-Correlator (finger) ke-k pada elemen antena ke-m bisa dituliskan sebagai: (2.4)
x j ,k , m [ g ] = ∫ψ (τ ) x m (t − τ ) |t =τ j , k + gTc
Keluaran dari PN-Correlator ke-k, merupakan ekstrak dari sinyal MS ke-j pada elemen antena ke-m adalah: y j , k , m [ n] =
1
G −1
∑ c [ g ; n] x G g =0
j
j ,k ,m
(2.5)
[Gn + g ]
Dari persamaan (2.3) sampai (2.5), vektor sinyal sebelum despreading dan setelah despreading pada penerima bisa dituliskan berturut-turut sebagai berikut:
[
]
x j ,k [ g ] = x j ,k ,1 [ g ] x j ,k , 2 [ g ] ... x j ,k , N [ g ]
[
y j ,k [n] = y j ,k ,1 [n]
]
y j , k , 2 [n]... y j , k , N [n]
T
T
(2.6) (2.7)
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
67
E ⎡| w s[n] | 2 ⎤ ⎢ ⎥⎦ SINR = arg max ⎣ H 2 w E ⎡| w u[n] | ⎤ ⎢⎣ ⎥⎦ H
r x j , K j [ g]
m=1 x j , K j ,1[g]
H
= w [ Rss ]w[n]
y j ,1,1[n]
x j , K j ,2[ g]
y j , K j ,2[n] r y j , K j [n]
m=N
y j ,1,2[n]
x j , K j , N[ g]
y j , K j , N[n] y j ,1, N[n]
Gambar 2.2. Model Sistem Karena digunakan penggabung RAKE dua dimensi, vektor pembobot yang optimal untuk MS ke-j ditemukan untuk setiap lintasan propagasi, yaitu untuk k = 1, 2, ... , Kj, sehingga keluaran akhir array merupakan kombinasi sejumlah Kj keluaran-keluaran array. Maka satu vektor pembobot menghasilkan satu beam ke arah MS yang diinginkan untuk setiap komponen lintasan jamak. Setiap keluaran array merupakan perkalian skalar vektor pembobot dengan vektor sinyal setelah despreading, H yout j ,k [n] = w j ,k y j ,k [n] , sehingga keluaran akhir dari array yang merupakan representasi sinyal yang ditransmisikan oleh MS ke-j bisa dituliskan sebagai: K H (2.8) yout [n] = w j , k y [ n] j
∑ k =1
j ,k
2.3.
Metode Beamforming dengan SINR Maksimum Dari persamaan (2.7), vektor sinyal setelah despreading bisa dituliskan sebagai penjumlahan sinyal yang diinginkan s[n] dan sinyal pengganggu ditambah derau u[n] , (2.9) y[n] = s[n] + u[n] s[n] adalah vektor sinyal yang diterima tanpa interferensi dan derau, hasil transmisi oleh MS ke-j melalui lintasan ke-k, dengan simbol informasi bj[n]. Sehingga vektor sinyal s[n] adalah: (2.10) s[n] = PG A j a j , k [n] b j [n] disebut dengan array response vector (ARV). Vektor pembobot yang optimal dengan kriteria SINR bisa dituliskan sebagai: a j ,k [n]
karena H H E ⎡| w s[n] | 2 ⎤ = E ⎡w s[n] s[n] H w[n]⎤ ⎢⎣ ⎥⎦ ⎢⎣ ⎥⎦
y j , K j ,1[n]
m=2
j
(2.11)
maka persamaan (2.11) bisa dituliskan kembali sebagai: H
SINR = arg max
(2.12)
w Rss w H
w Ruu w
w
dimana Rss dan Ruu berturut-turut adalah matriks kovarian dari s[n] dan u[n] . Sehingga dari persamaan (2.12), vektor pembobot optimal w MSNIR adalah vektor eigen dominan yang diperoleh dari harga eigen maksimum dari persamaan generalized eigen system pasangan matriks (Rxx, Ruu): (2.13) R ss w MSNIR = λ max Ruu w MSNIR atau biasa ditulis dengan w MSNIR = d ( Rss , Ruu ) (2.14) SINRmax = PG.Pi aiH Ruu−1 a i 2.4. Beamforming berdasarkan w MSNIR = Ruu−1 a i Metode Penapisan Kode [3] Metode Penapisan Kode mengasumsikan deretan chip yang ditransmisikan oleh MS berbentuk pulsa kotak (square pulse) dan kanal mempunyai karakteristik low-pass filter yang ideal dengan lebar pita frekuensi (bandwidth) = 1/Tc, dalam kasus ini ξ = ζ = 1 . Jika pulsa yang diterima berbentuk segiempat (rectangular) maka ξ = 2/3. Karena s[n] dan u[n] tidak bisa diperoleh secara terpisah dari sinyal yang diterima, tidak mungkin diperoleh vektor pembobot optimal w MSNIR dengan memecahkan persamaan (2.13). Telah ditunjukkan pada metoda Penapisan Kode [3], matriks kovarian Rss dan Ruu dapat diestimasi dari vektor sinyal sebelum despreading persamaan (2.6) dan vektor sinyal setelah despreading persamaan (2.7), dengan mengeksploitasi karakteristik khusus dari sistem CDMA. Dengan mengambil keuntungan dari processing gain PG pada keluaran despreader, bisa ditunjukkan bahwa: J
H H R xx = E ⎡ x[l ] x [l ]⎤ = ∑ Pj a j a j + σ 2 I ⎥⎦ j =1 ⎢⎣
(2.15)
= Rss + Ruu R yy = E ⎡ y[n] y [n]⎤ = G . Pi a i a + ⎢⎣ ⎥⎦ H
H i
Ruu = ξ ∑ Pj a
H jaj
ξ ∑ Pj a j a Hj + ζσ 2 I j ≠i
(2.16)
= GRss + Ruu J
J
+ ζσ 2 I
(2.17)
j ≠i
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
68
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
dimana ξ (xi) dan ζ (zeta) adalah skalar, yang ditentukan oleh bentuk pulsa chip (Chip Pulse Waveform, CPW) yang diterima, Pj = daya sinyal yang diterima dari MS ke-j, aj adalah array response vector (ARV) dari MS yang bersangkutan, σ2 adalah variansi AWGN, indeks i menyatakan MS yang diinginkan . Berdasarkan persamaan (2.12) dan (2.16), perhitungan w MSNIR bisa menggunakan persamaan sebagai berikut [3] : (2.18)
w MSNIR = Ruu−1 a i
J
H H R zz = E ⎡⎢ z[n] z [n]⎤⎥ = ξ ∑ Pj a j a j + ζσ 2 I ⎣ ⎦ j ≠i
Dari persamaan (2.22) dan (2.23), terlihat bahwa (2.25)
R zz = Ruu
Dengan menggunakan persamaan (2.21) dan (2.25), persamaan SINR (2.12) menjadi, H
SINR = arg max
PG
Meskipun demikian, CPW yang berbeda akan menghasilkan ξ dan ζ yang berbeda sehingga Ruu, Penapisan Kode pada persamaan (2.19) merupakan aproksimasi harga Ruu yang sebenarnya (true) dari persamaan (2.17). Pada metoda Penapisan Kode dikatakan bahwa a i = d ( R yy , R xx ) , tetapi pada kenyataannya didapatkan hubungan : (2.20) a i = Rxx v dimana v = d ( R yy , R xx ) Maka, metode Penapisan Kode untuk perhitungan Array Response Vector (ARV), tidak akurat kecuali matriks Rxx merupakan matriks identitas I. 2.5. Beamforming berdasarkan eigen vektor dominan Metode Signal Cancellation Beamforming (SCB)[1] Matriks kovarian dari sinyal setelah despreading bisa dituliskan lagi sebagai berikut: (2.21) R yy = PGRss + Ruu dimana kontribusi dari sinyal yang diinginkan: H
(2.22) dan kontribusi dari sinyal pengganggu ditambah derau adalah J H (2.23) R = ξ P a j a j + ζσ 2 I PGRss = PG Pi ai ai
uu
∑ j ≠i
j
Signal Cancellation Despreading [1], menggunakan ide jika sinyal sebelum proses despreading dikorelasikan dengan deretan chip yang telah diubah polaritasnya pada setiap pulsa chip dari deretan chip yang asli untuk MS yang diinginkan, maka kontribusi dari MS ini hilang dan matriks kovarian Signal Cancellation dari vektor sinyal setelah proses despreading z[n] adalah
ISSN: 2085-6350
= arg max w
w
w Rss w H
w Ruu w
w
dimana ai = array respons vector (ARV) dari MS ke-i. Dari persamaan (2.15) dan (2.16) menunjukkan bahwa Ruu bisa dihitung dengan: 1 (2.19) Ruu = Rxx − R yy
(2.24)
H
[(R
yy
]
− R zz ) G w
(2.25)
H
w R zz w
Akan dimaksimalkan Metode Beamforming ini Cancellation Beamforming Vector (ARV) untuk SCB a i
dengan wMSINR = R zz−1 a i . disebut dengan Signal(SCB). Array Response = d ( R yy − R zz ) .
SCB tidak melibatkan vektor sinyal sebelum despreading ( x[l ] ) tetapi menggunakan vektor-vektor sinyal setelah despreading ( y[n] dan z[n] ) untuk menghitung pembobot beamforming sehingga didapat kinerja yang baik. III. SIMULASI DAN ANALISA Blok diagram untuk simulasi dapat digambarkan pada Gambar 3.1sampai Gambar 3.3 berikut Proses spreading Data Acak
Modulasi BPSK
s(n)
Vektor Kanal x(n)=q(n) + n(n) Kompleks X ARV
Generator PN Code c1[g;n]
Gambar 3.1 Blok Diagram Pengirim Untuk Metoda Penapisan Kode dan Metoda Signal Cancellation dimana : s(n) = sinyal baseband yang ditransmisikan oleh MS q(n) = sinyal s(n) yang sudah melewati kanal komunikasi
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009 m=1
Proses despreading y(n)
x(n)=q(n)+n(n)
x
x
c1 [ g ; n]
m=2
69
w1* w*y1
y(n)
x(n)=q(n)+n(n)
. . . m=5
x
x
c1 [ g ; n]
. . .
1. 2. 3. 4 5
+ w2*
y(n)
x(n)=q(n)+n(n)
x
x
Sedangkan Array Response Vector (ARV) untuk simulasi ini adalah:
w5*
c1 [ g ; n]
...
...
Penapisan Kode Ruu = R xx −
1 R yy G
. . .
a i = d ( Ryy , Rxx )
wMSNIR = Ruu−1 ai
ARV
Gambar 3.2. Blok Diagram Penerima untuk Metoda Penapisan Kode dimana : n(n) = derau putih (AWGN) Rxx = matriks kovarian x(n) Ryy = matriks kovarian y(n) Ruu = matriks kovarian u(n) c1[g;n] = deretan chip yang asli untuk MS yang diinginkan m=1
Proses despreading
x(n)=q(n)+n(n)
y(n)
x
x
c1[ g ; n] x m=2
p1 [ g ; n] x(n)=q(n)+n(n)
. . .
w1 *
x
p1[ g ; n] x(n)=q(n)+n(n)
w*y1
z(n) y(n)
x
+ w2 *
c1[ g ; n] x
m=5
1 ⎡ ⎢ − j 2 π d sin θ / λ e ⎢ ⎢ e − j 4 π d sin θ / λ ⎢ . = a (θ ) = ⎢ . ⎢ ⎢ . ⎢ e − j 2 ( M − 1 ) π d sin θ ⎣
/ λ
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦
dimana M = jumlah elemen antena Sedangkan asumsi dan kondisi untuk melakukan simulasi Secara umum adalah : 1. Perhitungan matriks kovarian dilakukan per bit, saat mencari pembobot 2. Simulasi dan analisa dilakukan pada baseband. 3. Modulasi yang dipergunakan adalah Binary Phasa Shift Keying (BPSK)
z(n) y(n)
x
128 5 λ/2 5000(bit) 45o
Processing Gain Jumlah Antena Jarak antar elemen antena Jumlah data Sudut dari pengguna yang diinginkan
HASIL SIMULASI 1. Simulasi dilakukan berdasarkan : Jumlah keseluruhan pengguna = 3 Perbandingan daya pengguna yang diinginkan dan daya pengganggu 1:1
x w5 *
c1[ g ; n] x
Estimasi Sudut Pengguna Yang Diinginkan 100 Tapis Kode
z(n)
80
p1 [ g ; n]
S.Cancel
60
Signal Cancellation a i = d ( R yy − R zz )
wMSINR = Rzz−1 a i
40
. . .
Su dut (de raj at)
20 0 -20
Gambar 3.3. Blok Diagram Penerima untuk Metoda Signal Cancellation
-40 -60 -80
Parameter pada simulasi ini adalah : Tabel 3.1. Parameter simulasi No Parameter Notasi dan Nilai
-100
0
500
1000
1500
2000 2500 3000 Bit informasi ke -
3500
4000
4500
5000
Gambar 3.4. Estimasi Sudut Pengguna yang Diinginkan Untuk Metoda Penapisan Kode dan Signal Cancellation
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
70
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
90
2 .5
120
60 2
90
1 .5 150
2.5 60
120
30 1
2
0 .5
1.5 30
150 180
0
1 0.5
210
330
240
180
0
300 270
210
330
Gambar 3.5. Diagram Polar Array Respon Vector untuk Metoda Signal Cancellation 90
300 270
2
120
Gambar 3.8. Diagram Polar Array Respon Vector untuk Metoda Signal Cancellation
60 1.5 1
150
240
30
0.5
180
0
90
2.5 60
120 2 330
210
1.5 30
150 1 240
300
0.5
270
180
Gambar 3.6. Diagram Polar Array Respon Vector untuk Metoda Penapisan Kode Dari ketiga gambar tersebut dapat dilihat bahwa : 1. Dengan sudut datang 45o, estimasi sudut datang (Direction of Arrival) metoda Signal Cancellation lebih konstan dibandingkan metoda Penapisan Kode (Gambar 3.4) 2. Diagram Polar Array Respon Vector dari metoda Penapisan Kode memiliki lobe sisi yang lebih banyak dibandingkan metoda Signal Cancellation (Gambar 3.5 dan Gambar 3.6) 2.
Simulasi dilakukan berdasarkan : Jumlah keseluruhan pengguna = 3 Perbandingan daya pengguna yang diinginkan dan daya pengganggu 1:10 Estimasi Sudut Pengguna Yang Diinginkan 50 Tapis Kode 40
S.Cancel
30 20 Su dut (de 10 raj at) 0
-20 -30
0
500
1000
1500
2000 2500 3000 Bit informasi ke -
3500
4000
4500
210
330
240
300 270
Gambar 3.9. Diagram Polar Array Respon Vector untuk Metoda Penapisan Kode Dari ketiga gambar tersebut dapat dilihat bahwa: 1. Estimasi sudut datang metoda Signal Cancellation tetap mengarah sudut pengguna yang diinginkan (45o) sedangkan metoda Penapisan Kode memiliki estimasi tidak sesuai dengan sudut datang yang diinginkan (Gambar 3.7) 2. Diagram Polar Array Respon Vector dari metoda Signal Cancellation memiliki lobe utama yang tetap mengarah pada sudut pengguna yang diinginkan (45o), sedangkan metoda Penapisan Kode null pada sudut 45o(Gambar 3.8 dan Gambar 3.9) 3. Simulasi dilakukan berdasarkan : Jumlah keseluruhan pengguna = 25 Perbandingan daya pengguna yang diinginkan dan daya pengganggu = 1:10
-10
-40
0
5000
Gambar 3.7. Estimasi Sudut Pengguna yang Diinginkan Untuk Metoda Penapisan Kode dan Signal Cancellation ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
71
Dari ketiga gambar tersebut dapat dilihat bahwa:
Estimasi Sudut Pengguna Yang Diinginkan 80 Tapis Kode S.Cancel 60
40 Su dut (de 20 raj at) 0
-20
-40
0
500
1000
1500
2000 2500 3000 Bit informasi ke -
3500
4000
4500
5000
Gambar 3.10. Estimasi Sudut Pengguna yang Diinginkan untuk Metoda Penapisan Kode dan Signal Cancellation
Gambar 3.11. Diagram Polar Array Respon Vector untuk Metoda Signal Cancellation
Gambar 3.12. Diagram Polar Array Respon Vector untuk Metoda Penapisan Kode
1. Estimasi sudut metoda Signal Cancellation lebih mengarah pada sudut datang 38o,dan metoda Penapisan Kode lebih bervariasi (Gambar 3.10). 2. Diagram Polar Array Respon Vector dari metoda Signal Cancellation memiliki lobe utama yang mengarah pada sudut 38o sedangkan metoda Penapisan Kode memiliki lobe utama yang mengarah pada pada sudut 45o tetapi memiliki lobe sisi yang cukup besar (Gambar 3.11 dan Gambar 3.12) IV. KESIMPULAN Estimasi sudut datang dan diagran polar ARV metoda Signal Cancellation lebih baik dibandingkan metoda Penapisan Kode, terutama pada kondisi jumlah pengguna yang sedikit dan perbandingan daya pengguna yang diinginkan dengan daya pengganggu 1:10. Sehingga metoda Signal Cancellation sangat tepat untuk diaplikasikan pada sistem CDMA generasi 3 yang memiliki kecepatan bit yang bervariasi.
Daftar Pustaka 1. T. Luo and S.D. Bolstein, “Using Signal Cancellation for Optimum Beamforming in Cellular CDMA system”, in Proc. IEEE International Conference on Acoustics, Speech and Signal Processing ICASSP’98, vol.4, May1998, pp 2493-2496S. 2. Choi, J.Choi, H.J. Im, and B.Choi, “A novel adaptive beamforming algorithm for antenna array CDMA systems with strong interferers,” IEEE Trans.Veh.Technol., vol.51, no.5, pp. 808-816, Sept.2002. 3. Naguib, “Adaptive Antennas for CDMA Wireless Networks”, Ph.D. dissertation, Stanford University, Stanford, CA, Aug.1996. 4. M. Kim, S. Ahn, S.Choi, T.K. Sarkar, “An adaptive beamforming algorithm for smart antenna system in practical CDMA systems”, IECIE Trans.Comm, vol.E86-B, no.3 March 2003.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
72
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE), August 4, 2009
PERENCANAAN QUALITY IMPROVEMENT DENGAN PENDEKATAN LEAN SIX SIGMA DAN VALUASI EKONOMI DENGAN PENDEKATAN WILLINGNESS TO PAY PADA PELAYANAN 08001TELKOM Author Palti MT Sitorus Institut Manajemen Telkom Bandung, West Java, 40152
[email protected] Abstract-- Along with information technology acceleration in telecomunication and media, followed with competition in Hign End Market (HEM) for telecommunication facilities, as a consequences is telecommunication provider be improving in pre sales service and after sales service. In pre sales service include information of product, in after sales include instalation delivery and fraud handling. This study is going to elaborate how to plan the quality improvement base on lean six sigma and willingness to pay. Object study is Telkom Indonesia, especially Divisi Enterprise. Objective of this study is what the primary waste in process service to customer. Finding of the study, the Internet Process for new customer and VPN-IP are critical process. As the willingness to pay of critical process arround in 45,2% - 60,3%. The level is high, the meaning for improving toInternet process and VPN –ID have significant to revenue growth. This study is important in order to know whether or not the critical process have relation ship to willingness to pay. Keywords: Quality, Lean Six Improvement, Waste, Willingness to Pay
II.
PERUMUSAN DAN BATASAN MASALAH
Masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana merumuskan dan memodelkan hubungan alternatif-alternatif quality improvement dengan pendekatan Lean Six Sigma mengenai kualitas pelayanan 08001TELKOM untuk mencapai kepuasan dan loyalitas customer. Adapun batasan-batasan masalah dalam penelitian ini antara lain:
Process
1.
Pengamatan dilakukan terhadap pelayanan call center 08001TELKOM yang meliputi : informasi penanganan gangguan, informasi progress provisioning dan pasang baru.
Continous Process Improvement merupakan metode perbaikan proses yang seringkali diterapkan di banyak perusahaan. Metode ini seringkali digunakan karena improvement bukanlah sebuah proyek yang memiliki awal dan akhir melainkan sebuah continous process. Improvement dapat diterapkan dalam segala hal, diantaranya peningkatan kualitas produk/layanan.
2.
Rencana process improvement berdasarkan pada variabel Critical to Quality (CTQ) pada proses pelayanan call center 08001TELKOM.
3.
Identifikasi waste berdasarkan pada konsep 7 waste dalam proses implementasi customer care untuk corporate customer.
I.
Sigma,
jasa dikenal konsep 7 waste. Sedikit berbeda dengan 7 waste dalam manufaktur, pada industri jasa 7 waste diantaranya terdiri dari Errors in Documents, Transport of Documents, Doing Work not Requested, Waiting do for the next step, Process Steps and Approvals, Unnecessary Motion dan Backlog of Work. Aktivitas-aktivitas semacam waste inilah yang perlu dikurangi untuk setiap proses jasa.
LATAR BELAKANG
Kualitas produk/layanan banyak dijelaskan dari apa dan bagaimana yang kita kerjakan untuk menghasilkan produk/layanan tersebut. Konsumen merasakan kualitas produk/layanan melalui variasi yang dihasilkan. Variasi ditimbulkan oleh proses yang dikerjakan, yang mana variasi akan semakin baik jika mendekati rata-rata spesifikasi yang diinginkan konsumen. Perusahaan akan mampu menjaga kepercayaan dan memuaskan konsumennya dengan memperhatikan spesifikasi tersebut. Proses yang diharapkan adalah proses yang efisien. Dalam mendefinisikan efficiency process seringkali terdapat istilah waste (pemborosan). Dalam industri manufaktur dan
ISSN: 2085-6350
III.
TUJUAN PENELITIAN
Beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini antara lain: 1.
Menganalisis implementasi customer care PT Telkom untuk corporate customer.
2.
Mengidentifikasi faktor – faktor yang menyebabkan waste dalam proses pelayanan 08001TELKOM.
3.
Memberikan alternatif terbaik dalam mengurangi jumlah waste yang terdapat dalam current process.
Proceedings of CITEE 2009
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
4.
Merancang suatu sistem implementasi customer care yang dapat meningkatkan kepuasan dan loyalitas customer. IV.
KERANGKA PEMIKIRAN
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., yang selanjutnya disebut TELKOM atau Perseroan, merupakan perusahaan informasi dan komunikasi (InfoCom) serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi secara lengkap (full service and network provider) yang terbesar di Indonesia Divisi Enterprise Service (DIVES) merupakan salah satu unit bisnis PT. TELKOM yang melayani dan mengelola segmen pelayanan terhadap Corporate Customer. Dalam mengelola pelayanannya, DIVES memiliki sebuah komitmen bersama yang dikenal dengan RADICAL IMPROVEMENT CUSTOMER CARE. Adapun komitmen ini berisi tentang tekad untuk memberikan pelayanan terbaik kepada Corporate Customer melalui konsistensi peran SLA PO-DC (Service Level Aggrement antara Product Owner dan Delivery Channel), aplikasi yang terintegrasi dan peningkatan kompetensi SDM serta pemenuhan peralatan kerja petugas. Ditengah era kompetisi yang semakin tajam sekarang ini, TELKOM dituntut mampu memenangkan persaingan di high end market (HEM). Keberadaan Customer Care yang excellent menjadi suatu fokus manajemen dalam menerapkan prinsip prinsip Customer Relationship Management (CRM). Corporate Customer Care Center (C4) adalah unit yang berada di Divisi Enterprise Service yang kehadirannya diharapkan mampu menjawab persaingan di HEM, dan supporting bagi Account Manager dalam mengelola pelanggan corporate secara personalize dan customized. C4 terlahir melalui evolusi yang cukup panjang dari pola konvensional ke mekanisme integrated yang didukung IT yang real time dan aplikasi yang handal (T3-online, CINTA, Network Monitoring System, TiCares, TeNoss). C4 beroperasi 7 hari 24 jam dalam seminggu , berada di 7 titik lokasi layanan.
73
bukanlah sebuah proyek yang memiliki awal dan akhir. Proses dikatakan lebih baik berdasarkan pada manfaat dan biaya yang dihasilkan lebih baik daripada proses sebelumnya. Terdapat berbagai macam metode perbaikan proses berdasarkan TIME Electronic Textbook. Salah satunya adalah The ”Mean and Lean” Approach. Metode ini berdasarkan pada identifikasi berkelanjutan terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan dan aktivitas-aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah terhadap produk yang dihasilkan. Biaya-biaya ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: 1.
Quality costs
2.
Cost of unnecessary activities
B. Konsep Kualitas Kualitas dapat diartikan sebagai kecocokan penggunaannya (Montgomery, 1995). Dalam hal ini peningkatan kualitas merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kecocokan penggunaan suatu barang/jasa dengan memperhatikan syarat-syarat dari penggunanya. C. Big Picture Mapping Big Picture Mapping merupakan sebuah tool yang diadopsi dari sistem produksi Toyota. Merupakan tool yang digunakan untuk menggambarkan sistem secara keseluruhan dan value stream yang ada di dalamnya. Dari tool ini, informasi tentang aliran informasi dan fisik dalam sistem dapat diperoleh. Simbol-simbol yang digunakan dalam Big Picture Mapping adalah sebagai berikut:
Dalam operasional C4 melalui single akses 0800-1TELKOM memiliki beberapa sasaran mutu kinerja yang merepresentasikan kepentingan customer yaitu :
•
MTTResponse ≤ 15 menit
•
MTTRecovery ≤ 4 jam
•
MTTI ≤ 10 HK
•
SLG ≥ 99%
Dengan sasaran mutu di atas maka, perbaikanperbaikan selalu dilakukan untuk mencapai target. Pendekatan Lean Six Sigma diharapkan mampu memberikan perbaikan proses yang lebih efisien dengan hasil yang lebih efektif dalam mencapai sasaran mutu yang diinginkan. V.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Process Improvement Process Improvement merupakan sebuah konsep perbaikan proses berkelanjutan sehingga konsep ini
Gambar 1 Simbol-simbol Big Picture Mapping (Sumber: Hines, 2000) D. Lean Six Sigma Lean Six Sigma merupakan sebuah metodologi yang memaksimumkan nilai shareholder dengan mencapai improvement rate tercepat dalam kepuasan pelanggan, biaya, kualitas, kecepatan proses dan modal yang diinvestasikan. (Sumber: Lean Six Sigma Combining Six Sigma Quality with Lean Production Speed, Michael L. George) Penggabungan antara Lean dan Six Sigma dibutuhkan sebab: 1.
Lean dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan sistemik dan sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah (non value adding activities) melalui
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
74
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
peningkatan terus-menerus secara radikal (radical continuous improvement) dengan cara menggunakan sistem tarik (pull system) dari pelanggan internal dan eksternal untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan. Lean tidak membawa sebuah proses dibawah kendali statistik 2.
Six sigma merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas. Six Sigma sendiri tidak secara dramatis memperbaiki kecepatan proses atau mengurangi modal investasi
Lima prinsip Lean-Six Sigma: 1.
Kepuasan total pelanggan (internal & eksternal) adalah SANGAT PENTING (Customer Value).
2.
Kualitas terbaik (Q), biaya minimum (C), best service/safety (S), penyerahan tepat waktu (D), dan semangat tinggi (M) adalah SALING TERKAIT, jika ingin mencapai kepuasan total pelanggan.
3.
Harus menghilangkan variasi (variation) dan Cacat/kesalahan (Defect/Errors), berfokus pada ALIRAN PROSES (Process Flow) untuk eliminasi waste (pemborosan), jika ingin mencapai peningkatan kinerja QCSDM.
4.
Data dan fakta adalah SANGAT PENTING untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan PENINGKATAN KINERJA QCSDM yang telah tercantum dalam Master Improvement Story perusahaan.
5.
Setiap orang HARUS BEKERJA SAMA untuk MELAKSANAKAN proyek-proyek Lean-Six Sigma yang diturunkan langsung atau berkaitan langsung dengan tujuan dan target kinerja yang tercantum dalam Master Improvement Story perusahaan.
E. Failure Modes and Effect Analysis (FMEA) FMEA merupakan pendekatan kualitatif dalam mereview sebuah sistem. Teknik FMEA mempertimbangkan bagaimana modus kegagalan (falure modes) pada masing-masing komponen sistem menyebabkan permasalahan dalam performansi sistem kemudian memastikan tindakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. FMEA sangat tepat digunakan dalam tahap desain untuk memastikan reliabilitas maksimum.
Gambar 2 FMEA (Sumber: http://www.fmeainfocentre.com/index.htm) G. Tahapan-Tahapan Penelitian Dalam penelitian ini dibuatkan sebuah kerangka penelitian yang memuat tahapan-tahapan sistematis yang ditempuh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Tahapan-tahapan terseburt adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Preparation Phase Define Phase Measure Phase Analyze Phase Improve Phase Verify Phase
Gambar 3 Gambaran Umum Lean Six Sigma dalam Penelitian H. Hasil dan Pembahasan Corporate Customer Care Center mempunyai beberapa proses sebagai berikut:Customer Handling, Network Monitoring, Fault Handling, Provisioning Handling, Product Consultancy, SLG Management, CPE.Management. Setiap proses di atas mempunyai sub proses yang lebih detail.
Dalam penelitian ini, penulis mengambil beberapa sub proses untuk diamati diantaranya informasi progress tracking instalasi pasang baru, mutasi, up-grade layanan F. Willingness to Pay data dan internet (ASTINET, INFONET, VPN-GOLD, VPN-DIAL, DINACCESS, VSAT-IP, Willingness to Pay (WTP) merupakan metode valuasi denganVPN-IP, Transactional Access). mengukur kesediaan seseorang atau suatu perusahaan untuk membayar sejumlah tertentu untuk suatu kondisi. Untuk Berdasarkan waste yang dialami oleh customer, memperoleh jumlah tersebut harus diketahui terlebih dahuludiidentifikasi bahwa proses internet pada VPN-IP mengenai variabel-variabel prediktor yang mempengaruhimemperoleh paling kritis, diikuti ATSINET, INFONET, besarnya nilai WTP seseorang atau suatu perusahaan terhadapdan VSAT-IP), dimana waste nya adalah mengenai suatu kegiatan / aktivitas. pengecekan interface pelanggan pada router TELKOM. Yang diharapkan terdapat bantuan dari pelanggan mengenai ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
nama pelanggan yang terdaftar di Telkom atau CID pelanggan.
75
Melalui Cause Effect Analysis dan Failure Modes and Effect Analysis (FMEA) diketahui bahwa penyebab utama dari waste ini adalah pada metoda yang digunakan dimana pelanggan tidak diedukasi untuk mengenal daftar nama di Telkom dalam CID pelanggan. Willingness to Pay pada variabel Proses Internet VPN – IP memperlihatkan bahwa kemampuan membayar yang ditujukkan oleh customer terhadap perubahan kualitas layanan yang diberikan sebesar antara 45,2% - 60,3% . angka ini tergolong tinggi. DAFTAR PUSTAKA 1) Anbari, T. Frank. (1997). Quantitative Methods for Project Management. New York: International Institute for Learning, Inc. 2) Clemen, T. Robert. (1988). Making Hard Decisions. Boston: PWS-KENT Publishing Company. 3) Eckes, George. (2003). Six Sigma For Everyone. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. 4) Gasperz, Vincent. (2002). Pedoman Implementasi Program Six Sigma Terintegrasi Dengan ISO 9001:2000, MBNQA, dan HACCP. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 5) Gasperz, Vincent. (2006). Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 6) Gasperz, Vincent. (2006). Continous Cost Reduction Through Lean-Sigma Approach. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 7) George L, Michael. (2002). Lean Six Sigma Combining Six Sigma Quality with Lean Production Speed. McGraw-Hill.
Gambar 4 Tahapan- Tahapan Penelitian
8) Liker K. Jeffrey and Tomas Lamb. Lean Manufacturing Principles Guide version 0.5 A Guide to Lean Shipbuilding. June 26th, 2000 9) Ozdemiroglu, Ece and Bullock, Craig. (2002). Environmental Protection Agency Final Report : Environmental Impacts and Parameters for Inclusion in the Economic Valuation of Road Schemes. Website : www.epa.ie 10) Park, Sung H. (2003). Six Sigma For Quality and Productivity Promotion. Asian Productivity Organization. 11) Perry, Randy. (2006). Monte Carlo Simulation In Design For Six Sigma. Proceeding of the 2006 Crystal Ball User Conference. 12) SINTEF. (1999). Process Improvement. TIME Electronic Textbook v.4. 13) Suparmoko, M. dan Maria R. Suparmoko. (2000). Ekonomika Lingkungan. Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE
Gambar 5 Troubleshooting VPN- IP
14) Sugiyono, Prof. Dr. (2008). Statistika Untuk Penelitian. Edisi Ketiga Belas. Bandung : CV. Alfabeta. 15) Wysocky, K. Robert. (2004). Project Management Process Improvement. London: Artech House, INC
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
76
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
PERANCANGAN KONVEYOR DUA BUAH MOTOR DC DENGAN MENGGUNAKAN PLC OMRON CPM2A Siti Saodah, Teguh Afrianto Staf Dosen Teknik Elektro Itenas Jl Phh. Mustopha 23 Bandung Email ;
[email protected] atau
[email protected] ABSTRAK Dalam era industri modern, sistem kontrol proses industri biasanya merujuk pada otomatisasi sistem kontrol yang digunakan. Sistem kontrol industri dimana peranan manusia masih sangat dominan telah banyak digeser dan digantikan oleh sistem kontrol otomatis. Sebabnya jelas mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas industri itu sendiri, misalnya faktor human error dan tingkat keunggulan yang ditawarkan sistem kontrol tersebut. Pada awalnya sistem kontrol untuk pengendali otomatis perangkat-perangkat mesin di industri berupa rangkaian relay. Namun sistem kontrol dengan rangkaian relay tersebut menjadi kurang efektif karena untuk memberikan perubahan sistem, memerlukan biaya yang besar serta tingkat kerumitan kerja yang tinggi. Akhirnya muncul sistem kontrol berbasis komputer yang disebut dengan PLC (Programmable Logic Controller) yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan tersebut. Pada penelitian ini, kita membuat perancangan konveyor dengan 2 motor DC 24 Volt, 10 amp,1800 rpm, 0.25 hp, dengan menggunakan PLC OMRON CPM2A. Sistem yang dibangun, berupa miniatur konveyor pengepakan barang. Kata Kunci : PLC, konveyor, relay.motor DC PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam era industri modern, sistem kontrol proses industri biasanya merujuk pada otomatisasi sistem kontrol yang digunakan. Sistem kontrol industri dimana peranan manusia masih sangat dominan ( misalnya dalam merespon besaran-besaran proses yang diukur oleh sistem kontrol tersebut dengan serangkaian langkah berupa pengaturan panel dan saklarsaklar yang relevan) telah banyak digeser dan digantikan oleh sistem kontrol otomatis. Sebabnya jelas mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas industri itu sendiri, misalnya faktor human error dan tingkat keunggulan yang ditawarkan sistem kontrol tersebut. Salah satu sistem kontrol yang amat luas pemakaiannya ialah Programmable Logic Controller(PLC). Penerapannya meliputi berbagai jenis industri mulai dari industri rokok, otomotif, petrokimia, kertas, bahkan sampai turbin gas dan industri tambang, misalnya pada pengendalian turbin gas dan unit industri lanjutan hasil tambang. Kemudahan transisi dari sistem kontrol sebelumnya (misalnya dari sistem kontrol berbasis relay mekanis) dan kemudahan trouble-shooting dalam konfigurasi sistem merupakan dua faktor utama yang mendorong populernya PLC ini Berdasarkan pada latar belakang diatas, penulis membuat Perancangan Konveyor Dua Motor DC dengan Menggunakan PLC OMRON CPM2A yang dapat diaplikasikan di industri. Sistem Kontrol Sistem kontrol merupakan sebuah sistem yang terdiri atas satu atau beberapa peralatan yang berfungsi untuk mengendalikan sistem lain yang berhubungan dengan ISSN: 2085-6350
sebuah proses. Dalam suatu industri, semua variabel proses seperti daya, temperatur dan laju alir harus dipantau setiap saat. Bila variabel proses tersebut berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka sistem kontrol dapat mengendalikan proses tersebut sehingga sistem dapat berjalan kembali sesuai dengan yang diharapkan. Sistem Kontrol, yang merupakan fokus pengkajian bidang Teknik Kontrol, pada umumnya digambarkan sebagai sistem apa saja (tidak terbatas hanya sistem-sistem yang terkait langsung dengan bidang kajian Teknik Elektro) yang dapat di-identifikasi minimal dua bagian utama, yaitu: 1. Bagian Proses atau yang dikontrolkan (Plant), yang bisa merupakan peralatan, perangkat, atau proses yang menghasilkan luaran (output, hasil, produk, isyarat luaran, output signal) karena dikendalikan oleh bagian pengendali. 2. Bagian Pengendali (Controller), yang juga bisa merupakan peralatan, perangkat, atau proses yang menghasilkan isyarat kendali (control signal) untuk mengendalikan kontrolan.
Gambar 1 Konfigurasi Dasar Sistem Kontrol Jenis Sistem Kontrol Secara garis besar, sistem kontrol dibagi dalam dua kategori besar : 1. Sistem Kontrol Loop Terbuka Merupakan sistem yang kelurannya tidak mempunyai pengaruh terhadap aksi pengontrolan. Keluaran
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
77
sistem tidak dapat digunakan sebagai perbandingan umpan balik dengan masukan. Gambar 2. menunjukan diagram sistem kontrol lup terbuka.
dalam memori lalu menghasilkan sinyal keluaran untuk mengendalikan aktuator atau peralatan lainnya. Selama proses tersebut PLC beroperasi secara kontinu dalam 4 langkah seperti terlihat pada Gambar 5
Gambar 2 Blok diagram sistem kontrol lup terbuka Sistem Kontrol Loop Tertutup Merupakan sistem yang memiliki umpan balik untuk mengurangi kesalahan atau beda antara masukan acuan dengan keluaran sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3
4. Output scan
1. Self Test
3. Solve logic
2. Input scan
2.
Gambar 5 Langkah-Langkah PLC PERANCANGAN Prinsip Kerja
Gambar 3 Diagram Blok Sistem Kontrol Lup Tertutup Programmable Logic Controllers (PLC) Programmable Logic Controllers (PLC) adalah komputer elektronik yang mudah digunakan (user friendly) yang memiliki fungsi kendali untuk berbagai tipe dan tingkat kesulitan yang beraneka ragam. PLC dapat dibayangkan sebagai sebuah kotak yang di dalamnya terdapat ratusan atau ribuan relay, counter, timer dan lokasi penyimpan data. Relay, timer dan counter tersebut tidak ada secara fisik, melainkan berupa rangkaian semikonduktor yang sedemikian rupa sehingga dapat diprogram dan difungsikan sebagai relay, timer maupun counter. Blok-blok penyusun PLC adalah CPU (Central Processor Unit), memori dan rangkaian yang sesuai untuk menerima data input/output. PLC tersusun atas beberapa komponen dasar sebagaimana terlihat pada Gambar 4, yaitu: Perangkat input Komputer, konsol, dll
Komunikasi
Ekstensi
Catu daya
Input
C
Memori
Output Perangkat output
Gambar 4 Komponen dasar PLC Pada dasarnya prinsip kerja sebuah PLC adalah menerima sinyal masukan proses yang dikendalikan lalu melakukan serangkaian instruksi logika terhadap sinyal masukan tersebut sesuai dengan program yang tersimpan
Gambar 6 Skema Percobaan Pada saat start awal lampu indikator stand by (kuning) akan menyala dan di ikuti oleh alarm pengingat kerja konveyor. Timer 1 bekerja maka lampu indikator kuning dan alarm mati berganti dengan lampu indikator konveyor 2 (merah) menyala, menandakan konveyor 2 (motor 2) bekerja. Motor 2 kerja nominal timer 2 akan bekerja. Setelah itu motor 2 mati dan motor 1 akan langsung bekerja dan benda-benda berjalan diatas ban konveyor 1. Ketika sensor menghitung 5 kali perlewatan benda (dalam setingan) maka konveyor 1 akan mati dan dilanjutkan dengan kerja konveyor 2. Setelah waktu seting timer 2 kerja maka konveyor 2 mati dan dilanjutkan dengan konveyor 1 dan sistem tersebut berulang seterusnya (looping). Perancangan Software PLC Omron CPM2A Pemrograman pada PLC dilakukan menggunakan Diagram Tangga (Ladder Diagram). Untuk membuat diagram tangga dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu, pertama menggunakan Console, suatu alat penyuntingan diagram tangga yang langsung terhubungkan dengan PLC dan kedua menggunakan program penyuntingan diagram tangga yang dijalankan melalui komputer dan komunikasi transfer programnya dilakukan melalui kanal serial. Pada
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
78
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
PLC Omron CPM2A komunikasi dengan komputer menggunakan port RS232 Flowchart dari program yang dimasukkan ke dalam PLC ditunjukkan pada gambar 7
Gambar 7 flowchart Ladder Diagram Diagram ladder adalah satu cara untuk menggambarkan proses kontrol sekuensial yang umum dijumpai di industri. Dagram ini merepresentasikan interkoneksi antara perangkat input dan perangkat output sistem kontrol. Gambar 8 merupakan ladder diagram dari perancangan konveyor ini. F
N
Motor DC Pada perancangan ini tidak memerlukan motor yang mempunyai daya yang besar karena kerja konveyor ini tidak digunakan secara maksimal, motor DC yang berdaya kecil sudah mampu digunakan untuk menjalankan konveyor tersebut. Motor DC yang digunakan pada perancangan ini ada 2 buah dimana kedua motor DC tersebut mempunyai data namepalat yang sama yaitu sebagai berikut : a. Tegangan = 24 volt b. Arus = 10 ampere c. Daya keluar = 0.25 HP d. Banyak putaran (n) = 1800 rpm Konveyor Dalam perancangan ini digunakan dua buah konveyor. Konveyor 1 berfungsi untuk pengisian sedangkan konveyor 2 berfungsi untuk pengepakan barang. Gambar 4.20 merupakan gambar casing konveyor 1 lengkap dengan ukurannya yaitu: a). Panjang sisi atas konveyor = 37.5 cm b). Panjang sisi bawah konveyor= 31.5 cm c). Tinggi konveyor = 11 cm d). Jarak antara poros roda= 8 cm
Gambar 9 Casing konveyor 1 Untuk casing konveyor 2 memiliki ukuran sebagai berikut : a). Panjang sisi atas dan bawah konveyor = 24 cm b). Tinggi konveyor = 5.5 cm c). Jarak antar poros roda= 5 cm
Push Button NC
NO
C1
NO. C 1
NO. C 1
T1 30 S
C2
Lampu Indicator Stand by
NO. T 1
C3
Indicator Alarm
NC. C 6
C4
NC. C 6
C5
NC. T 1
NO. C 1
NO. T 1
COUNTER
NO. C 5
Motor 2
Gambar 10 Casing konveyor 2 Gambar dan ukuran ring untuk konveyor 1 dan 2 adalah sama yaitu yang terdapat pada gambar 11
Lampu Indicator Merah
T2
1X 2S
NO. T 2
NO. C 6
NO. C 10
C6
NC. C 10
NC. C 10
C7
C8
COUNTER
NC. C 4
C 10 5X
Motor 1 Lampu Indicator Hijau
Gambar 11 Ring konveyor 1 Gambar 12 dan 13 merupakan gambar beserta ukuran dari as roda dan poros pada konveyor. Dimana ukuran dari as roda dan poros untuk konveyor 1 dan konveyor 2 adalah sama.
Gambar 8 Ladder Diagram Perancangan Hardware ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
79 VR = 10 kΩ
C3 = 33kpF 50V
C1 = 4.7 kpF 50V C4 = 10µpF16V C 2 = 10kpF 50V C5.6 = 100 µpF16V
Gambar 12 As roda
Gambar 13 Poros Gambar 15 Receiver Sensor Sensor berfungsi sebagai pendeteksi adanya barang/benda yang bergerak diatas konveyor. Sensor yang digunakan adalah diode laser dan phototransistor, dipilihnya komponen ini karena mudah didapat dan harganya terjangkau. Sepasang infrared sebagai sensor yang berfungsi sebagai penbangkit/pengendali saklar magnetik pada relay dihubungkan dengan input PLC. Transmitter selalu mengirimkan sinyal pada receiver sehingga mengakibatkan terjadinya hubungan antara keduanya. Proses penghitungannya dilakukan dengan mendeteksi adanya perpotongan pada jalur infrared yang dibangkitkan transmitter dan diterima oleh receiver. Setiap perpotongan akan memberikan perubahan kondisi logika dari 0 ke 1 selama selang waktu tertentu. Perubahan kondisi logika ini yang digunakan sebagai acuan perhitungan. Gambar 14 dan gambar 15 merupakan gambar rangkaian dalam sensor untuk transmitter dan receiver.
Hubungan antara Input PLC dengan Sensor Sepasang sensor yang digunakan sebagai infrared trasmitter menggunakan dioda laser dan infrared receiver menggunakan photo transistor. Dioda laser yang berfungsi sebagai transmitter selalau mengirimkan sinyal pada photo transistor dimana berfungsi sebagai receiver, sehingga terjadi hubungan antar keduanya. Kondisi ini terjadi saat tidak ada benda yang melewati atau memotong jalur infrared, maka saat tidak ada perpotongan jalur infrared receiver akan mengeluarkan tegangan dan ketika ada sebuah benda yang memotong jalur infrared, maka receiver tidak mengeluarkan tegangan. Perbedaan kondisi ini nantinya akan digunakan sebagai pengendali relay. Pada saat tidak ada perpotongan jalur infrared (logika 0), maka receiver akan mengeluarkan tegangan yang diterima oleh R (resistor) yang terhubung dengan transistor (basis), sehingga gerbang kolektor dan emitter terhubungan. Terhubungnya kolektor dan emitter mengkibatkan kumparan pada relay menjadi magnet dan mengakibatkan kaki 3 terhubung dengan kaki 4.
Gambar 16 Penguat relay input Gambar 14 Transmitter Nilai masing-masing komponen pada transmitter adalah : R1 = 220 kΩ
IC = MC1455
C1 = 1KpF 50V
D1 = LED
C 2 = 100 KpF 50V
D2.3 = Infrared
Nilai masing-masing komponen pada receiver adalah : R1 = 1 kΩ
R5.9.11 = 47 kΩ
R2 = 470 kΩ
R6 = 22 kΩ
R3 = 3.9 kΩ
R8 = 470 Ω
R4.7 = 180 kΩ
R10 = 1 kΩ
Pada kondisi seperti ini maka input PLC tidak terhubung dengan com PLC. Saat ada perpotongan jalur infrared (logika 1), receiver tidak mengeluarkan tegangan sehingga R (resistor) transistor (basis) tidak teraliri arus listrik, maka gerbang pada kolektor dan emitter tetap terbuka, sehingga kumparan pada relay tidak menjadi magnet dan kaki 3 tetap terhubung dengan kaki 5. Pada kondisi seperti ini maka input PLC terhubung dengan com pada PLC
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
80
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Hubungan antara Output PLC dengan Motor 2.
3.
Gambar 17 Pemasangan relay output Saat output PLC mengeluarkan tegangan yang merupakan perintah untuk menjalankan motor, dialih fungsikan untuk mengaktifkan relay karena keluaran pada output PLC kecil (24V 0.2amp), meskipun dengan daya yang kecil sudah mampu untuk menjalankan motor DC, namun untuk lebih aman dan membuat PLC awet dipasang relay sebagai jembatan untuk power suply dari luar PLC untuk menjalankan motor pada konveyor. Cara pemasangan relay dapat dilihat pada gambar 17. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat dibuat beberapa kesimpulan diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Alat-alat yang digunakan pada perancangan ini adalah PLC OMRON CPM2A, dua buah motor DC dengan data nameplat yaitu tegangan 24 V, arus 10 A, banyak putaran 1800 rpm, dan daya keluar 0.25 HP. Dua buah konveyor. Dua buah sensor dimana masing-masing sensor terdiri dari dua bagian yaitu transmitter dan receiver, sensor yang digunakan
ISSN: 2085-6350
sebagai infrared trasmitter menggunakan dioda laser dan infrared receiver menggunakan photo transistor. Pemrograman pada PLC dilakukan menggunakan Diagram Tangga (Ladder Diagram) dan Software yang digunakan pada PLC OMRON CPM2A adalah Syswin 3.4 Untuk faktor keamanan pada PLC maka dipasang relay DC 24V, SPDT sebagai jembatan untuk power suply dari luar PLC untuk menjalankan motor pada konveyor.
Daftar Pustaka [i] Achmad, Balza. 2007. Pemograman PLC menggunakan Simulator. Yogyakarta : ANDI. [ii] Bolton, William. 2003. Programmable Logic Controller (PLC) sebuah pengantar edisi ketiga. Jakarta : Erlangga. [iii] dwi.itssby.edu/PIKTI/MATRIKULASI/akhir/BAB%20 V%20Pengenalan%20Algoritma.doceprints.ums.ac.i d/39/1/Emitor_NGY_RancangBangunAplikasiPLC.p dflibrary.gunadarma.ac.id/index.php?appid=penulis an&sub=detail&npm=104035 29&jenis=s1fti [iv] Ogata, Katsuhiko. 1991. Teknik Kontrol Automatik (sistem Pengaturan0 jilid 1. Jakarta : Erlangga. [v] one.indoskripsi.com/click/2727/0 - 33k [vi] Rigwan, Argy. 2007. Laporan KP II (Programmable Logic Controller Dengan Menggunakan PLC Omron CPM2A). Bandung : Teknik Elektro ITENAS. [vii] Setiawan, Iwan. 2006. Programmable Logic Controller (PLC) dan Teknik Perancangan Sistem Kontrol. Yogyakarta : ANDI dan Deli Publishing. Suhendar. 2005. Programmable Logic Control (PLC). Yogyakarta : Graha Ilmu.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
81
ISSN: 2085-6350
82
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Mesin Pengering Jamur Kuping Berbasis AVR ATMega8 Hany Ferdinando, Ervan Hary Saputra dept. of Electrical Engineering, Petra Christian University Surabaya – 60236, Indonesia
[email protected]
Abstract— Proses pengeringan menjadi salah satu isu penting dalam budi daya jamur kuping. Selama ini, petani banyak mengandalkan panas matahari untuk proses tersebut. Hal ini mengakibatkan lama proses tidak dapat dikendalikan dan kualitas pengeringannya tidak sama. Makalah ini membahas pembuatan mesin pengering jamur kuping yang dikendalikan oleh AVR ATMega8 dan dilengkapi dengan SHT11, sensor kelembaban dan suhu yang terintegrasi menjadi satu. Pemanasan dilakukan dengan menggunakan elemen pemanas dan dikendalikan dengan teknik on-off. Proses pengerignan ada suhu 45oC memberikan hasil yang baik dengan rentang waktu 5-5,5 jam, tergantung tingkat kelembaban jamur yang dimasukkan. Pada suhu ini, jamur kuping yang dikeringkan tetap terjaga rasa dan kualitasnya pada saat dimasak. Pengeringan pada suhu yang lebih tinggi memang dapat mempercepat proses tetapi menghasilkan jamur kuping yang terlalu kering sehingga kualitasnya menurun. Keywords—jamur kuping, AVR ATMega8, SHT11
I. PENDAHULUAN Budi daya jamur kuping memerlukan proses pengeringan agar jamur tersebut dapat lebih tahan lama. Pengeringan konvensional biasanya menggunakan panas matahari sehingga petani jamur kuping agak kesulitan dalam menetapkan lama proses tersebut. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk membuat sebuah alat pengering jamur kuping yang dapat membantu petani dalam proses pengeringan tersebut. Alat ini dilengkapi dengan sebuah pengendali, yaitu AVR ATMega8 dari Atmel. Dalam proses pengeringan ini, sistem harus dapat mengetahui suhu dan kelembaban dalam ruangan pengeringan. Untuk keperluan ini dipergunakan SHT11, sebuah komponen dengan sensor kelembaban dan suhu. Pemanas pada sistem menggunakan elemen pemanas yang dikendalikan secara on-off. Sebagai perata panas, oven ini dilengkapi dengan kipas yang tidak dikendalikan, tetapi selalu bekerja. Makalah ini akan mengawali dengan pengenalan jamur kuping dan dilanjutkan dengan komponen penting yang dipergunakan dalam sistem. Proses perancangan sistem merupakan bagian berikutnya. Pengujian dan kesimpulan menjadi bagian yang mengakhiri makalah ini.
ISSN: 2085-6350
II. JAMUR KUPING Jamur kuping merupakan salah satu komoditi yang dibudidayakan oleh masyarakat. Jenis ini mengandung mineral
yang lebih tinggi dari daging dan tidak mengandung kolestrol [1]. Hal ini membuat budi daya jamur kuping semakin berkembang. Jamur kuping yang telah dipanen memiliki kandungan air 80%-90% [2] dan mudah rusak apabila tidak disimpan dengan baik. Oleh karena itu, jamur ini segera dikeringkan agar dapat bertahan lebih lama. Proses pengeringan ini bertujuan mengurangi kandungan air dalam jamur. Proses pengeringan yang mengandalkan alam tergolong rumit karena harus memperhatikan kondisi kelembaban di daerah tersebut. Hal ini membuat petani pemula menemui kesulitan untuk menentukan lama proses pengeringan. Selain itu, kestabilan panas dari matahari juga menjadi kendala tersendiri. III. AVR ATMEGA8 AVR ATMega8 adalah pengendali mikro buatan Atmel [3]. ATMega8 sudah dilengkapi dengan ADC internal sehingga pengguna tidak perlu menambahkan komponen lagi apabila memerlukan ADC. ATMega8 merupakan keluarga RISC (Reduced Instruction Set Computing) yang dilengkapi dengan 8KB in system programmable flash. Di dalamnya sudah terdapat berbagai macam peripheral yang sering dipergunakan sehingga dapat dipergunakan untuk hampir semua aplikasi. IV. SHT11 SHT11 merupakan komponen inti selain ATMega8. Komponen ini bertugas untuk memonitor suhu dan kelembaban dalam oven pengering jamur kuping. Komponen produksi Sensirion Corp. ini memiliki rentang pengukuran 0-100% RH dengan akurasi 3,5%. Pada pengukuran suhu, SHT11 memiliki rentang pengukuran -40 s/d 123.8oC dengan akurasi 0,5oC pada suhu 25oC [4]. Tiap SHTxx secara individual telah dikalibrasi pada suatu ruangan yang dinamakan precision humidity chamber dengan chilled mirror hygrometer sebagai referensinya. Koefisien hasil kalibrasi tersebut diprogramkan pada calibration memory. Koefisien ini digunakan secara internal
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
pada saat pengukuran untuk mengkalibrasi sinyal dari sensor.
83
menunjukkan aliran udara dalam oven yang dilengkapi dengan blower.
SHT11 telah dilengkapi dengan ADC 14-bit. Cara pembacaan datanya menggunakan 2-wire yang terhubung ke pengendali mikro melalui kompunikasi serial I2C. Gambar 1 menunjukkan diagram blok internal SHT11 dan Gambar 2 menunjukkan bagaimana menghubungkan sensor ini dengan pengendali mikro.
Gambar 4. Cara menghubungkan SHTxx dengan pengendali mikro
Gambar 1. Diagram blok pada SHT11
SHT11 dipergunakan untuk memonitor suhu dalam oven sesuai dengan keinginan. Informasi ini dipergunakan pengendali mikro untuk mengatur on-off pada elemen pemanas. Selain itu, SHT11 juga memberikan informasi kelembaban dalam ruangan. Hal ini dipergunakan oleh pengendali mikro untuk menghentikan kerja seluruh sistem dan membunyikan buzzer.
Gambar 2. Cara menghubungkan SHTxx dengan pengendali mikro
Pengendali mikro akan mengendalikan elemen pemanas, buzzer dan display LCD. Pada sistem juga dilengkapi dengan keypad untuk proses memasukkan beberapa parameter yang diperlukan.
Pada saat sistem perlu membaca data, pengendali mikro akan mengirimkan perintah melalui kabel DATA dan SCK. Data yang diminta akan diberikan melalui kabel yang sama.
Agar pengendali mikro aman dari gangguan tegangan yang lebih tinggi, rangkaian ini diisolasi dengan optocoupler pada saat mengendalikan buzzer dan elemen pemanas.
V. PERANCANGAN Sistem dirancang berdasarkan diagram blok gambar 3.
SHT11 dihubungkan ke pengendali mikro melalui 2 kabel yang diberi nama DATA dan SCK. Selain itu, SHT11 juga memerlukan tegangan suplai dan GND. Software dirancangan dengan bantuan BASCOM AVR 1.11.87 buatan MCS Electronics. Penulisan program menggunakan bahasa BASIC yang mudah dipahami sehingga program mudah dibaca. Pengendali on-off dipilih sebagai algoritma pengendalian sistem karena plant yang dikendalikan tergolong plant dengan respon yang lambat. Pengguaan algoritma ini dianggap sudah cukup karena sistem tidak terlalu memerlukan suhu yang benar-benar presisi.
Gambar 3. Diagram blok mesin pengering jamur kuping
Proses pengeringan jamur dilakukan dalam sebuah ruangan yang tertentu yang dilengkapi dengan blower. Ruangan ini berukuran 70x50x50 cm. Di dalam oven terdapat rak untuk menempatkan jamur yang akan dikeringkan. Oven ini dilengkapi dengan lubang sirkulasi yang berada tepat di atas oven dan terhubung dengan blower. Udara jenuh dalam ruangan akan keluar melalui lubang ini. Gambar 4
VI. PENGUJIAN SISTEM Oleh karena algoritma pengendalian yang dipergunakan adalah on-off, maka perlu dicari sebuah kurva histeresis untuk menentukan batas atas dan bawah suhu yang dikendalikan. Penentuan batas atas dan bawah ini dilakukan dari beberapa percobaan. Batas atas ditentukan sesuai dengan setting point yang diinginkan karena pada saat elemen pemanas dimatikan, masih ada sisa panas yang
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
84
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
akan terus membuat suhu naik. Batas bawah dipilih berdasarkan kecepatan respon sistem pada saat elemen pemanas dinyalakan. Gambar 5 menunjukkan salah satu hasil percobaan batas atas dan bawah ini.
Gambar 7. Percobaan pada setting point 50oC Gambar 5. Percobaan pada setting point 42oC
Elemen pemanas dimatikan pada saat suhu dalam oven 42oC (lihat panah hitam) dan dinyalakan pada suhu 41oC (lihat panah putih). Pada gambar 5 terlihat bahwa pada saat elemen pemanas dimatikan, suhu masih cenderung naik sedangkan pada saat elemen ini dinyalakan, suhu juga tidak segera naik karena respon elemen yang lambat. Apabila kurva tersebut dirata-rata, maka didapat nilai 42,3oC.
Pemanasan pada rentang 40-48oC peran blower untuk meratakan panas berjalan dengan baik. Hal ini tidak terjadi pada suhu di atasnya karena kepekaan SHT11 dalam membaca suhu ruangan. Berdasarkan grafik akurasi SHT11 gambar 8, diketahui bahwa akurasinya menurun seiring dengan naik/turunnya suhu dari kisaran 25oC.
Pengujian pada setting point 40-48oC menunjukkan bentuk sinyalnya seperti sinusoid. Namun pada suhu yang lebih tinggi bentuk sinyalnya sudah berubah. Gambar 6 dan 7 menunjukkan pengujian pada setting point 49oC dan 50oC.
Gambar 8. Grafik akurasi SHT11
Pengujian kelembaban dilakukan untuk mencapai setting point 20% RH pada suhu 45oC. Gambar 9 menunjukkan proses pengujian ini.
Gambar 6. Percobaan pada setting point 49oC
Pengujian pada suhu 49oC menunjukkan bahwa elemen pemanas dimatikan (panah hitam) pada titik suhu yang bervariasi. Pada setting point 42oC, titik suhu saat elemen pemanas dimatikan relatif tetap. Hal yang sama juga terjadi pada saat elemen pemanas dinyalakan kembali. Nilai ratarata suhu selama percobaan adalah 49,6oC. Hal yang menarik juga terjadi pada gambar 7. Elemen pemanas secara umum dimatikan pada saat suhu dalam oven mencapai 51oC dan dinyalakan kembali pada suhu 49oC. Apabila dihitung rata-rata suhu selama percobaan, maka diperoleh nilai 49,8oC.
ISSN: 2085-6350
Gambar 9. Grafik pengujian kelembaban pada suhu 45oC
Pada pembacaan kelembaban setiap 30 detik terlihat bahwa proses pengeringan selesai setelah 288,5 menit atau 4,8 jam kelembaban dalam oven mencapai setting point yang diinginkan.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
85
Pada pengujian ini tampak bahwa proses pengeringan secara bertahap menurunkan kelembaban udara di dalam oven. Pada saat udara panas mengenai jamur, kandungan air dalam jamur akan terlepas membuat udara dalam oven menjadi lembab. Hal ini dimonitor oleh ATMega8 melalui SHT11 untuk menentukan kapan proses pengeringan ini dihentikan.
ini dapat dikatakan buruk. Rasa jamur sudah berubah dan tingkat kekenyalan yang berbeda. Proses pengeringan yang dinilai tepat adalah 45oC. Pada suhu ini jamur yang dikeringkan dapat mempertahankan kekenyalannya. Selain itu rasanya juga masih sama dengan jamur yang masih segar.
Percobaan kemudian dilakukan untuk berbagai macam variasi kelembaban awal jamur kuping dengan variasi suhu. Satu hal yang dijaga tetap adalah kelembaban target yang diinginkan untuk menghentikan proses. Hasil percobaan tersebut ditampilkan pada tabel 1. TABLE I. o
Suhu ( C) 40 45 50
SUMMARY OF ALL EXPERIMENTS Lama Proses (jam) 6–7 5 – 5,5 4 – 4,5
Apabila hasil ini dibandingkan dengan proses pengeringan dengan panas matahari yang memerlukan waktu 8-10 jam, maka proses pengeringan ini memerlukan waktu yang lebih singkat. Selain itu, pengguna tidak perlu sering memeriksan kondisi jamur yang dikeringkan. Hal ini tentu saja mempermudah petani yang membudidayakan jamur kuping ini. o
Percobaan tidak dilakukan pada suhu di bawah 40 C karena penggunaan suhu di bawah itu akan membuat waktu pengeringan berlangsung lama bahkan mendekati pengeringan dengan panas matahari biasa dan ini tidaklah efisien. Proses pengeringan di atas 50oC akan membuat jamur menjadi sangat kering. Kualitas pengeringan pada suhu
References [1] [2] [3]
[4]
N. Marlinah, Budi Daya Jamur Kuping. Yogyakarta: Kanisius, 2001 A. Andoko & Parjimo. Budi Daya Jamur. Jakarta: PT.Agro Media Pustaka, 2007 Atmel Corporation. 8-bit AVR ATmega8. 22 January 2006.
, 12 Dec. 2007. Sensirion. SHT1x/SHT7x Humidity & Temperature Sensor. . 03 Dec. 2007
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
86
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gabungan Kontrol Kongesti, Routing, dan Konsumsi Daya untuk Utility-Power Tradeoff pada Komunikasi Kooperatif di Dalam Gedung Nyoman Gunantara#1, Farid Baskoro#2, Gamantyo Hendrantoro#3 #
Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo Surabaya Indonesia 1 [email protected] 2 [email protected] 3 [email protected]
Abstrak __ Komunikasi kooperatif merupakan suatu komunikasi yang dapat mengimbangi keunggulan dari sistem MIMO. Dalam paper ini diajukan komunikasi kooperatif di dalam gedung, dimana digunakan dua user sebagai sumber, satu user sebagai tujuan, dan enam user yang dibangkitkan secara acak sebagai relay. Dalam sistem ini akan ditentukan nilai optimum dari gabungan beberapa fungsi layer komunikasi yaitu kontrol kongesi, routing, trafik rate, dan konsumsi daya. Dari gabungan fungsi layer tersebut didapatkan nilai optimum yaitu satu user sebagai relay yang mempunyai nilai paling optimum.
dari sistem. Kelemahan dari makalah ini, tidak memperhitungkan posisi user jika berada di dalam gedung.
Kata Kunci __ optimasi gabungan, komunikasi kooperatif, kontrol kongesi, routing, trafik rate, konsumsi daya
Dimana propagasi sinyal akan dipengaruhi oleh kondisi di dalam gedung yaitu lantai dan tembok. Makalah [6] menjawab kondisi apabila sinyal berada di dalam gedung. Dalam makalah ini dijelaskan karakteristik sinyal yang dipengaruhi oleh adanya lantai dan tembok. Selanjutnya dalam paper ini, akan menjawab kelemahan dari makalah sebelumnya yaitu komunikasi kooperatif apabila user berada di dalam gedung. Dan menentukan nilai optimum dari penggabungan fungsi-fungsi layer komunikasi.
I. PENDAHULUAN
II. SISTEM MODEL
Dengan kemajuan teknologi telekomunikasi maka dikembangkan sistem komunikasi yaitu peralatan radio antena tunggal (user) yang dapat mengimbangi keunggulan dari sistem MIMO. Sistem komunikasi tersebut diberi nama komunikasi kooperatif. Dalam komunikasi kooperatif seperti pada [1], [2], setiap user dalam skenario multi user bekerja sama dan berkoordinasi membentuk virtual array seperti sistem MIMO untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik. Berbagai penelitian tentang komunikasi kooperatif telah dilakukan untuk mengetahui unjuk kerja dari sistem tersebut. Makalah [3] telah meneliti komunikasi kooperatif pada multiuser dengan alokasi daya yang optimum yang berbeda pada setiap user. Di [4], diteliti tentang pengaruh metode relay pada komunikasi kooperatif dengan menggunakan tiga user. Dalam penelitian ini digunakan 9 user dimana 3 user ditentukan posisinya dan 6 user yang lain dibangkitkan secara acak. Makalah [5] menjelaskan komunikasi kooperatif pada jaringan radio multihop dengan mengoptimasi fungsi layer komunikasi. Didapatkan konvergensi dari algoritma dan adanya penurunan konsumsi daya serta rate sumber akibat ISSN: 2085-6350
A. Konfigurasi Sistem Model yang digunakan dalam sistem komunikasi kooperatif multiuser di dalam gedung yaitu luas daerah yang digunakan adalah 200m x 200m dibagi menjadi tiga ruangan oleh dinding pada jarak 67m dan 133m. Luas daerah tersebut digunakan oleh 9 buah user dimana 2 user yang terletak pada titik (0,0) dan (0,200) sebagai user sumber, satu user yang terletak pada titik (200,200) sebagai user tujuan, dan enam user lainnya berada di dalam ruangan yang dibangkitkan secara acak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1. Jaringan multihop tersebut dijelaskan dalam sebuah Graph , dimana V adalah kumpulan user dan L adalah kumpulan hubungan. Hubungan dari user i ke user j ditulis i,j . Didefinisikan juga yaitu hubungan yang meninggalkan user i ditulis O i dan yang menuju user i ditulis I i .
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Source 2
87
Destination
User Random Configuration
200 Roam I
180
(4)
Roam III
Roam II
User 6
160 140
Selanjutnya source rate optimum dan trafik rate optimum dapat dihitung dengan persamaan berikut
User 2
m
120 100
User 5 User 4
(5)
80 60 40
(6)
User 3
20 User 1 0 0 20 Source 1
40
60
80
100 m
120
140
160
180
200
Gambar 1. Topologi Acak Komunikasi Kooperatif di Dalam Gedung. B. Kanal Di Dalam Gedung
adalah fungsi invers dari derivatif fungsi Dimana utilitas . Source rate dan trafik rate dipengaruhi oleh , yang merupakan nilai link dan nilai user. Nilai-nilai tersebut dapat dihitung melalui persamaan
Untuk komunikasi kooperatif pada jaringan multihop [5], propagasi lintasan langsung yang melewati dinding [6], dan pengaruh shadowing [7] maka gain kanal dalam sistem komunikasi kooperatif di dalam gedung dapat ditulis berikut
(1)
(7) (8) Dimana
, ditentukan dari persamaan
dimana 106, = koefisien transmisi dari dinding sebanyak dalam dB, adalah jarak dari user ke user dalam meter, dan x adalah shadowing dalam dB.
(9)
III. LANGKAH-LANGKAH OPTIMASI Setelah gain kanal diketahui maka ditentukan konsumsi daya. Dari Gambar 1 terlihat bahwa user sumber ke user tujuan dapat melalui trasmisi langsung dan transmisi kooperatif. Untuk transmisi langsung maka konsumsi daya optimal adalah
(2)
Dan untuk transmisi kooperatif yang melewati user k, maka konsumsi daya optimal adalah
sedangkan
(10)
Nilai optimum dari gabungan kontrol kongesi, trafik rate, dan konsumsi daya ditentukan dengan persamaan berikut
(11) Dalam menentukan nilai optimun tersebut dapat dijelaskan melalui diagram alir pada Gambar 2.
IV. HASIL SIMULASI
(3)
Dalam simulasi ditentukan beberapa nilai parameter diantaranya nilai user adalah 1, nilai transmisi adalah 0.5, koefisien dinding 8 dB, standar deviasi dari shadowing 3 dB, = bervariasi, = 1, k = 106, = 0.05, maka hasil yang diperoleh adalah berikut ini
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
88
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
A. Trafik Rate Dan Konsumsi Daya Sumber 1 Dengan sistem model pada Gambar 1, diperoleh trafik rate setiap user yang dilakukan iterasi sebanyak 80 kali seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Start
,
Sedangkan untuk daya total diperoleh nilai daya total untuk komunikasi non kooperatif dan kooperatif terhadap gamma1 (yang merupakan parameter kontrol dari tradeoff) untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat bahwa konsumsi daya untuk komunikasi non kooperatif lebih besar dibandingkan dengan yang kooperatif. Untuk komunikasi kooperatif user yang memiliki daya yang terkecil adalah user 5 pada ruang 3. Ini berarti user 5 paling baik digunakan sebagai relay dari sumber 1 ke tujuan.
Initialization , , ,
Comparison Total Power Source 1 and G1 9
Determine: Optimal Value , ,
7 Total Power (mW)
,
Non Cooperative Cooperative
8
Input
No
6 5 4 3
Converge
2
Yes 1 20
Results , , ,
40
60
80
100
120
140
160
180
200
G1
,
Gambar 4. Perbandingan Daya Total Sumber 1 dan G1.
End
B. Trafik Rate Dan Konsumsi Daya Sumber 2 Gambar 2. Proses Dalam Menentukan Nilai Optimum
Trafik rate dari user 2 ke tujuan yang dilakukan iterasi sebanyak 80 kali dapat dilihat pada Gambar 5.
Traffic Rate Source 1 12 TRS1 User1 TRS1 User2 TRS1 User3 TRS1 User4 TRS1 User5 TRS1 User6
11 10
8 7 6 5 4 3 2 1
TRS2 User1 TRS2 User2 TRS2 User3 TRS2 User4 TRS2 User5 TRS2 User6
20
T raffic R ate S ourc e 2
T raffic R ate (bps /H z )
9
Traffic Rate Source 2 25
15
10
5 2
4
6
8
10 12 Iteration
14
16
18
20
0
Gambar 3. Trafik Rate Sumber 1 Dari Gambar 3 terlihat bahwa trafik rate mencapai konvergen rata-rata pada iterasi ke-10 dan user yang memiliki trafik rate paling besar adalah user 2 pada ruang 1. Ini artinya bahwa user 2 untuk trafik rate adalah relay yang paling baik. ISSN: 2085-6350
0
2
4
6
8
10 12 Iteration
14
16
18
20
Gambar 5. Trafik Rate Sumber 2
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
89
Comparison Total Power Source 2 and G1
Source 2
Destination
User Random Configuration
200 Roam I
180
Roam III
Roam II
User 6
160 140
User 2
120 User 5
100
m
Dari Gambar 5 terlihat bahwa titik konvergen dari setiap user bervariasi dimana berkisar dari 10 – 20 kali iterasi. Dan user yang memiliki trafik rate paling besar adalah user 2 pada ruang 1. Ini artinya user 2 adalah user yang terbaik sebagai relay. Sedangkan untuk daya total dari sumber 2 diperoleh nilai daya total untuk komunikasi non kooperatif dan kooperatif terhadap gamma1 dapat dilihat pada Gambar 6. Dari Gambar 6 terlihat bahwa konsumsi daya untuk komunikasi non kooperatif lebih besar dibandingkan dengan yang kooperatif. Untuk komunikasi kooperatif user yang memiliki daya yang terkecil adalah user 2 pada ruang 1. Ini berarti user 2 paling baik digunakan sebagai relay dari sumber 2 ke tujuan. Apabila dibandingkan konsumsi daya untuk sumber 1 dan sumber 2 pada kooperatif maka konsumsi daya pada sumber 2 lebih kecil dibandingkan pada sumber 1. Ini disebabkan oleh jarak dari sumber 2 ke tujuan lebih dekat dibandingkan dengan sumber 1.
User 4 80 60 40 User 3
20 User 1 0 0 20 Source 1
40
60
80
100 m
120
140
160
180
200
Gambar 7. Relay Optimum Dari Optimasi Gabungan Untuk simulasi yang dilakukan sebanyak 100 kali maka didapatkan hasil pemilihan relay seperti terlihat pada Tabel 1.
8 Non Cooperative Cooperative
7
TABEL 1. Pemilihan Relay dengan Optimasi Gabungan
Total Power (mW)
6 5
Relay
4
I
3
Source 2, Roam :
2
II
Source 1, Roam : I II III 50 41 4 (36 su) 4 (3 su)
1
III 0 20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
G1
Gambar 6. Perbandingan Daya Total Sumber 2 dan G1.
1
-
Note: su singkatan dari same user Dari Tabel 1. terlihat bahwa dalam pemilihan relay pada sistem komunikasi kooperatif, user sumber memilih user terdekat darinya sebagai relay untuk berkooperatif dalam mengirimkan informasi ke tujuan.
C. Optimasi Gabungan Melihat hasil dari sumber 1 dan sumber 2 baik trafik rate maupun konsumsi daya terlihat perbedaan dalam hal pemilihan user sebagai relay dalam komunikasi kooperatif. Pada sumber 1, untuk trafik rate digunaka user 2 sebagai relay dan untuk konsumsi daya digunakan user 5 sebagai relay. Sedangkan pada sumber 2, untuk trafik rate digunaka user 2 sebagai relay dan untuk konsumsi daya digunakan user 2 sebagai relay. Untuk mengatasi hal tersebut maka digunakan optimasi gabungan dari persamaan (11). Pada persamaan (11) ditentukan nilai optimum dari kedua masalah tadi yaitu trafik rate dan konsumsi daya. Artinya dicari tradeoff (kompromi) dari kedua masalah tersebut. Dari hasi simulasi didapatkan hasil yaitu untuk sumber 1 dan sumber 2 sama-sama memilih user 2 pada ruang 1 sebagai relay terbaik dalam mengirimkan informasi ke tujuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.
-
V. KESIMPULAN Dengan optimasi gabungan maka terjadi pemilihan user sebagai relay yang terbaik dalam komunikasi kooperatif. Pemilihan tersebut merupakan kompromi dari trafik rate dan konsumsi daya. Hasil yang didapatkan adalah user sumber memilih user terdekat darinya sebagai relay untuk berkooperatif dalam mengirimkan informasi ke tujuan. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
A. Sendonaris, E. and B. Aazhang, “User cooperation diversity-part I: system description” and “User cooperation diversity part II: implementation aspects and performance analysis,” IEEE Trans. Commun., vol. 51, no. 11, Nov 2003. J. Laneman, D. Tse, and G Wornell, “Cooperative diversity in wireless networks: efficient protocols and outage behavior,” IEEE
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
90
[3]
[4]
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Trans. Inform. Theory, vol. 50, no. 12, pp. 3062-3080, Dec 2004. A. K. Sadek, Weifeng Su, K. J. Ray Liu, ”Multinode cooperative communications in wireless network,” IEEE Transc. On Signal Processing, vol. 55, No. 1, January 2007. A. Nosratinia, T. E. Hunter, and A. Hedayat, “Cooperative communication in wireless networks,” IEEE Commun Magazine, vol. 42, no. 10, pp. 74-80, Oct 2004.
[5]
[6]
[7]
ISSN: 2085-6350
L. Le and E. Hossain, “Cross layer optimization frameworks for multihop wireless network using cooperative diversity,” IEEE Trans. On Wireless Communication, vol. 7, no. 7, July 2008. W. Honcharenko, H. L. Bertoni, and J. Dailing, “Mechanisms governing propagation between different floors in buildings,” IEEE Transc. On Antennas and Propagation, vol. 41, no. 6, June 1993. N. Gunantara, “Analisis unjuk kerja teknik pengkodean STBC dan waterfilling pada sistem D-MIMO,” Majalah Ilmiah Teknologi Elektro, vol. 7, no. 2, 2008.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
91
Pemodelan Vector AR Dengan Uji Kausalitas Terhadap Data Spasial Curah Hujan di Surabaya Sis Soesetijo, Achmad Mauludiyanto, Gamantyo Hendrantoro Laboratorium Antena dan Propagasi Teknik Elektro Kampus ITS Surabaya 60111 [email protected]; {maulud, gamantyo}@ee.its.ac.id Abstract— Site Diversity is one of techniques to compensate rain attenuation in milimeter-wave. However, to implement appropriate site diversity techniques have to involve base knowledge about rainfall which have spacetime changes property and inhomogeneous. In this paper, Vector AR (VAR) is implemented to rainfall space-time model at 4 sites with causality test. Granger Causality test is used to check whether one rainfall-site “granger-cause” to another site and vice versa. And the result show that one site (site A) “granger-cause” to another site (site B, C and D) and so on.
Keywords—Vector AR, Granger-Causality, Site Diversity I. PENDAHULUAN Dalam sistem komunikasi gelombang milimeter, baik pada sistem komunikasi terestrial maupun satelit, pengaruh redaman yang diakibatkan oleh hujan memberikan kontribusi yang sangat buruk pada Quality Of Service (QoS) sistem. Penelitian [1] menjelaskan bahwa sistem komunikasi radio pada frekuensi 30 GHz yang melalui lintasan sepanjang 5 km di Surabaya mengalami redaman hujan mencapai 80 dB. Fade Mitigation Techniques (FMT), merupakan suatu teknik pada sistem komunikasi radio yang dapat melakukan kompensasi realtime pengaruh efek redaman akibat hujan. Tujuan FMT adalah dapat merancang sistem komunikasi yang dapat memaksimalkan penggunaan keseluruhan kanal komunikasi dengan memenuhi persyaratan QoS. Agar dapat mengendalikan faktor FMT secara tepat, membutuhkan pengetahuan yang tepat dan baik tentang karakteristik statistik dan dinamis dari curah dan redaman hujan, di mana hal ini merupakan sumber utama dari gangguan kanal di atas frekuensi 10 GHz. Karakteristik curah hujan yang dibutuhkan adalah karakteristik yang mampu mewakili sifat curah hujan secara komprehensif , yang melibatkan fungsi waktu dan lokasi (space-time model). Beberapa penelitian yang terkait dengan pemodelan curah hujan di Surabaya telah banyak dilakukan namun masih menggunakan model berbasis deret waktu univariate (univariate time series). Model curah hujan tersebut berbasis pada proses auto-regressive (AR) mengasumsikan kondisi hujan yang stasioner padahal hujan merupakan proses yang tidak stasioner [2][3]. Penelitian selanjutnya memodelkan curah hujan sebagai proses auto-regressive moving-average (ARMA) [4]. Pada model fuzzy ARMA [5], setiap event curah hujan dimodelkan sebagai variabel fuzzy. Bila variabel fuzzy ini diurutkan berdasarkan waktu, maka akan membentuk deret waktu dengan data fuzzy. Deret waktu
fuzzy dari curah hujan ini yang akan dimodelkan sebagai proses fuzzy ARMA. Jadi dengan model fuzzy ARMA dimungkinkan melakukan satu pemodelan untuk seluruh event curah hujan. Selain itu pada model fuzyy ARMA, curah hujan dapat diasumsikan sebagai proses yang stasioner atau tidak stasioner. Dari penelitian [2]-[5] di atas pemodelan curah hujan di Surabaya masih sebatas fungsi deret waktu univariate tanpa melibatkan fungsi spasial dari curah hujan dengan data curah hujan hanya diambil dari satu tempat saja. Pada penelitian ini dilakukan pemodelan multivariate time series terhadap data curah hujan yang diambil dari 4 lokasi pengukurun (lokasi rain gauge). Pemodelan multivariate time series yang tepat pada kasus demikian adalah model Vector AR atau Vector ARMA [6]. Untuk alasan empiris dan praktis maka digunakan pemodelan VAR [7]. Pada makalah ini digunakan data event curah hujan 2 hari yaitu 3 event curah hujan tanggal 13 Januari 2009 dan 3 event curah hujan tanggal 22 Januari 2009 pada masingmasing lokasi rain gauge. Event curah hujan mempunyai makna bahwa data curah hujan diambil dari awal mulai hujan dan sampai berakhirnya hujan tersebut. Untuk mengetahui hubungan variabel antar lokasi rain gauge maka digunakan uji Granger Causality. Uji ini untuk mencari hubungan timbal balik (interrelatioship) antara variabel pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Apakah masing-masing variabel di masa lampau berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variable di lokasi yang lain, atau hanya berpengaruh pada dirinya sendiri saja II. MODEL VAR DAN GRANGER CAUSALITY A. Spesifikasi , Asumsi dan Estimasi Model VAR Bentuk dasar dari VAR terdiri dari K variabel yt = (y1t, …,ykt, …..yKt) untuk k = 1….K. Proses VAR(p) didefinisikan sebagai : yt = A1yt-1 + … + Apyt-p + CDt + ut (2.1) di mana Ai adalah matrik koefisien ( K x K) untuk i = 1,…., p dan ut merupakan dimensi K dari proses white noise yang mempunyai matrik kovarian E(ut u’t) = ∑u . Matrik C adalah matrik koefisien yang berdimensi (K x M) dan Dt merupakan matrik (M x 1). Persamaan (2.1) dapat ditulis dalam bentuk polinomial lag A(L) = (IK – A1 - …- Ap) sebagai berikut : A(L) yt = CDt + ut (2.2) Salahsatu karakteristik dari proses VAR(p) adalah stabilitasnya. Artinya bahwa prosesnya
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
92
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
menghasilkan deret waktu yang stasioner dengan rata-rata yang yang tidak berubah pada fungsi waktu. Untuk mendapatkan parameter orde lag p dari VAR(p) dan koefisien A dari model, berikut langkahlangkah untuk identifikasi dan estimasinya, prosedur ini secara umum sama dengan model ARMA : a. Uji Stasioner yaitu uji untuk melihat apakah data yang akan diamati stasioner atau tidak. Apabila belum stasioner maka perlu dilakukan penurunan pertama (first differential) agar diperoleh stasioner pada orde pertama. Uji stasioner yang umum digunakan adalah Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test, dengan persamaan sebagai berikut :
timur. Kota Surabaya berada pada 07° 21' Lintang Selatan dan 112° 36' - 112° 54' Bujur Timur. Surabaya memiliki dua daerah yaitu dataran rendah dengan ketinggian 3-6 meter (dpl) dan dataran tinggi pada 25-50 meter (dpl). Lokasi yang diambil untuk penempatan rain gauge pada penelitian tampak pada gambar 1 berikut yaitu gedung PENS (D), gedung perpustakaan (C), gedung Elektro (B) dan gedung Medical Center (A). Data pengukuran curah hujan yang tercatat pada rain gauge adalah txt, berupa kumpulan tips dari bucket yang terisi air hujan. Untuk mendapatkan nilai curah hujan dalam mm/jam perlu dikonversikan dari data txt dengan periode sampling 60 detik.
p −1
∆y t = φy t −1 + ∑ A*j ∆y t − j + u t
(2.3)
j =1
*
dengan φ = -A(1) dan A j =-(Aj+1+…+Ap). Dengan model persamaan ini, hipotesis yang digunakan adalah H0:φ=0 versus H1:φ<0. Jika hipotesis nol, H0 tertolak maka dipastikan data yang diuji adalah stasioner. b. Proses Estimasi yaitu proses untuk menentukan koefisien model yang diamati. Penentuan koefisien VAR(p) yang paling efektif adalah dengan menggunakan least-squares yang diterapkan terpisah pada masing-masing persamaan. c. Akaike Information Criterion (AIC) dari masingmasing regresi untuk menjamin bahwa residual yang dihasilkan bersifat White Noise. Tes ini untuk menentukan lag mana yang paling relevan dipakai dalam model. B. Granger Causality Tujuan dari uji kausalitas menggunakan Granger Causality adalah mendeteksi ada tidaknya hubungan sebab-akibat (causalities) antara variabelnya. Variabel x dikatakan “granger-causes” variabel y, apabila variabel x membantu memprediksi variable y. Untuk melakukan kedua uji tersebut, vector dari variabel yt dibagi 2 subvektor y1t dan y2t dengan dimensi ( K1 x 1 ) dan ( K2 x 1 )dengan K = K1 + K2. Proses VAR (p) dapat dituliskan kembali : p α ⎡ 11,i ⎡ y1t ⎤ = ⎢ y ⎥ ∑ ⎢α ⎣ 2t ⎦ i =1 ⎣ 21,i
α 12,i ⎤ ⎡ y1,t −i ⎤ ⎡u ⎤ + CDt + ⎢ 1t ⎥ ⎥ ⎢ ⎥ α 22,i ⎦ ⎣ y 2,t −i ⎦ ⎣u 2t ⎦
(2.4) Subvektor y1t tidak “granger-cause” y2t apabila α21,t = 0 untuk i = 1,2,…,p dan sebaliknya Subvektor y1t “granger-cause” y2t apabila α21,t ≠ 0 untuk i = 1,2,…,p. Dengan demikian analisis Causality akan menguji apakah sebuah variabel dapat membantu memprediksi variabel yang lain. III. LOKASI RAIN GAUGES Pada penelitian ini menggunakan rain gauge dengan tipe 8’’ Tipping bucket model 260-2501. Lokasi pengukuran curah hujan adalah di kota Surabaya, Jawa
ISSN: 2085-6350
Gambar 1. Lokasi Rain Gauge di kampus ITS Surabaya IV. HASIL DAN ANALISIS Pada makalah ini hasil yang dibahas dan dianalisis adalah event curah hujan pada ke 4 lokasi rain gauges yang terjadi pada tanggal 13 Januari (3 event) dan 22 Januari 2009 (3 event). Analisis menggunakan software open source R v2.8.1 pada pada sistem operasi Mandriva Linux 2008. A. Event Curah Hujan Event curah hujan merupakan kejadian dimana awal hujan terjadi dan berakhir. Antar event hujan tidak saling terkait, karena antar event hujan terdapat periode tidak terjadi hujan(periode kering). Agar periode kering tidak mempengaruhi dalam pemodelan maka pemodelan dan analisis uji granger-causality hanya memasukkan periode dimana hanya terjadi hujan saja yang disebut event curah hujan. Pada satu hari bisa saja terjadi beberapa kali event hujan atau bahkan tidak terjadi hujan sama sekali. Pada gambar 2 berikut ini merupakan grafik deret waktu event-1 hujan pertama pada tanggal 13 Januari 2009.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gambar 2. Grafik Time Series Event-1 pada hujan13/01/09
93
Gambar 4. Scatter Plot Event-2 pada hujan 13/01/09
Untuk melihat hubungan antara 2 lokasi rain gauge pada event hujan yang sama, diperlukan analisis scatter plot. Pada gambar 3 merupakan grafik scatter plot untuk event hujan pertama pada hujan 13 Januari 2009. Dari gambar 3 nampak korelasi linier antara 2 lokasi, lokasi A-B dan lokasi B-C mempunyai korelasi negatif. Pada gambar 4 merupakan grafik scatter plot untuk event hujan ke-2 pada hujan 13 Januari 2009. Dari gambar 4 nampak korelasi linier antara 2 lokasi, lokasi A-D dan lokasi B-C mempunyai korelasi positif. Gambar 5. Scatter Plot Event-3 pada hujan 13/01/09
Gambar 3. Scatter Plot Event-1 pada hujan 13/01/09
Pada gambar 5 merupakan grafik scatter plot untuk event hujan ke-3 pada hujan 13 Januari 2009. Dari gambar 5 nampak korelasi linier antara 2 lokasi, lokasi A-D dan lokasi B-C mempunyai korelasi positif . Pada gambar 6 merupakan grafik scatter plot untuk event hujan pertama pada hujan 22 Januari 2009. Dari gambar 6 nampak korelasi linier antara 2 lokasi, hanya lokasi B-D dan A-B mempunyai korelasi positif. Pada gambar 7 merupakan grafik scatter plot untuk event hujan ke-2 pada hujan 22 Januari 2009. Dari gambar tersebut nampak korelasi linier antara 2 lokasi, semuanya mempunyai koefisien korelasi 1. Pada event-2 hujan 22 Januari 2009, nampak terjadi hujan merata pada semua lokasi yang berlangsung selama lebih dari 200 menit, fenomena hujan merata dapat terlihat pada grafik scatter plotnya dengan korelasi 1.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
94
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
gambar 6 nampak korelasi linier antara 2 lokasi, hanya lokasi B-D mempunyai korelasi positif. B. Uji Stasioner dan Model VAR(p) Untuk memperoleh model VAR(p) yang memiliki stabilitas yang baik, artinya bahwa proses pemodelannya menghasilkan deret waktu yang stasioner dengan rata-rata yang yang tidak berubah pada fungsi waktu. Oleh karena itu diperlukan uji stasioner terhadap data curah hujan pada masing-masing lokasi rain gauges. Uji stasioner menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Tabel 1. Uji ADF pada Event-1 Hujan 13 Januari 2009 Gambar 6. Scatter Plot Event-1 pada hujan 22/01/09
Lokasi
Test Value
A
Critical Value Keterangan
5%
10%
-3.4593
-3.43*
-3.13*
I(0)
B
-3.1929
-3.43
-3.13*
I(0)
C
-3.2309
-3.43
-3.13*
I(0)
D
-3.2057
-3.43
-3.13*
I(0)
Tabel 2. Uji ADF pada Event-2 Hujan 13 Januari 2009
Gambar 7. Scatter Plot Event-2 pada hujan 22/01/09
Gambar 8. Scatter Plot Event-3 pada hujan 22/01/09
Lokasi
Test Value
A
Critical Value 5%
10%
-1.6593
-3.43
-3.13
∆A
-11.5065
-2.88*
-2.57*
B
-1.8936
-3.43
-3.13
∆B
-10.9058
-2.88*
-2.57*
C
-2.3075
-3.43
-3.13
∆C
-9.5422
-2.88*
-2.57*
D
-3.4912
-3.43
-3.13
∆D
-9.6447
-2.88*
-2.57*
Keterangan
I(1) I(1) I(1) I(1)
Pada tabel 1 menunjukkan bahwa event-1 dengan uji ADF merupakan datanya stasioner I(0) dengan tingkat signifikansi 90% karena absolut test-value lebih besar dari absolut critical value 10% (ditandai * pada tabel 1). Sedangkan pada tabel 2 menunjukkan bahwa event-2 tidak stasioner pada data awalnya karena absolut test-value lebih kecil dari absolut critical value 5% dan 10% sehingga data harus dilakukan penurunan (differencing). Hasilnya data stasioner pada orde pertama penurunan I(1) karena nilai absolut test-valuenya dari turunan pertama lebih besar dari critical value 5% dan 10% (ditandai * pada tabel 2).
Pada gambar 8 merupakan grafik scatter plot untuk event hujan ke-3 pada hujan 22 Januari 2009. Dari
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
95
Tabel 3. Uji ADF pada Event-3 Hujan 13 Januari 2009 Lokasi
Test Value
A
Critical Value 5%
10%
-3.4496
-3.43
-3.13
∆A
-9.9561
-2.89*
-2.58*
B
-2.2678
-3.43
-3.13
∆B
-12.7959
-2.89*
-2.58*
C
-1.7922
-3.43
-3.13
∆C
-11.2268
-2.89*
-2.58*
D
-3.2083
-3.43
-3.13*
∆D
-12.2063
-2.89*
-2.58*
Keterangan
I(1) I(1) I(1) I(1)
Sedangkan pada tabel 3 menunjukkan bahwa event-3 tidak stasioner pada data awalnya karena absolut testvalue lebih kecil dari absolut critical value 5% dan 10% sehingga data harus dilakukan penurunan (differencing). Hasilnya data stasioner pada orde pertama penurunan I(1) karena nilai absolut test-valuenya dari turunan pertama lebih besar dari critical value 5% dan 10% (ditandai * pada tabel 3)
Tabel 6. Uji ADF pada Event-3 Hujan 22 Januari 2009 Lokasi
Test Value
A
Test Value
A
Critical Value Keterangan
5%
10%
-5.1149
-3.42*
-3.13*
I(0)
B
-6.2012
-3.42*
-3.13*
I(0)
C
-4.6095
-3.42*
-3.13*
I(0)
D
-4.9225
-3.42*
-3.13*
I(0)
Pada tabel 4 menunjukkan bahwa event-1 dengan uji ADF merupakan datanya stasioner I(0) dengan tingkat signifikansi 95% dan 90% karena absolut test-value lebih besar dari absolut critical value 5% dan 10% (ditandai * pada tabel 4). Tabel 5. Uji ADF pada Event-2 Hujan 22 Januari 2009 Lokasi
Test Value
A
Critical Value Keterangan
5%
10%
-4.3626
-3.43*
-3.13*
I(0)
B
-4.4762
-3.43*
-3.13*
I(0)
C
-4.3350
-3.43*
-3.13*
I(0)
D
-4.8842
-3.43*
-3.13*
I(0)
Keterangan
5%
10%
-3.5241
-3.43*
-3.13*
I(0)
B
-3.5241
-3.43*
-3.13*
I(0)
C
-3.5241
-3.43*
-3.13*
I(0)
D
-3.5241
-3.43*
-3.13*
I(0)
Pada tabel 6 menunjukkan bahwa event-2 dengan uji ADF merupakan datanya stasioner I(0) dengan tingkat signifikasni 95% dan 90% karena absolut test-value lebih besar dari absolut critical value 5% dan 10%. Bahkan dengan tingkat kepercayaan 99% karena absolut test-value lebih besar dari absolut criticalvaluenya 1% yaitu 3.99. Sedangkan pada tabel 6 menunjukkan bahwa event-3 stasioner pada I(0) karena nilai absolut test-valuenya lebih besar dari critical value 5%. Hal ini berarti tingkat signifikansinya mencapai 95%. Langkah berikutnya adalah menentukan orde p dengan menggunakan metode AIC. Tabel 7. Estimasi VAR(p) dengan AIC Orde VAR(p)
Tabel 4. Uji ADF pada Event-1 Hujan 22 Januari 2009 Lokasi
Critical Value
Estimasi lag p AIC
13/01/09
22/01/09
Event- Event- Event- Event- Event- Event1 2 3 1 2 3 1
1*
3*
4
1
1
Dari tabel 7 estimasi orde lag p menggunakan AIC diperoleh nilai p=1 untuk semua event hujan yang terjadi, kecuali event-3 hujan 13 Januari dan event-1 hujan 22 Januari 2009. Khusus untuk hasil estimasi untuk event-2 dan event-3 hujan 13 Januari 2009 menjadi model VAR(1) pada I(1) dan VAR(3) pada I(1), karena data stasioner setelah dilakukan differencing orde pertama. C. Uji Granger Causality Uji ini untuk mencari hubungan timbal balik (interrelatioship) antara variabel pada satu lokasi dengan lokasi rain gauges yang lain. Apakah masing-masing variabel di masa lampau berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variable di lokasi yang lain, atau hanya berpengaruh pada dirinya sendiri saja. Uji ini akan diterapkan pada masing-masing event hujan dengan menggunakan hasil orde lag p pada sub-bab sebelumnya.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
96
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Tabel 8. Uji Granger Causality Pada Hujan 13 Januari 2009 event-1 Causal ity F-test p-val
event-2
event-3
F-test
p-val
F-test
p-val
variabel lokasi B dipengaruhi oleh variabel bebas dari lokasi D namun tidak sebaliknya. Tabel 9. Uji Granger Causality Pada Hujan 22 Januari 2009
B→A
45.83 1.5E-10
0.94
0.33
0.48
0.69
C→A
3.14
0.07
0.89
0.34
0.46
0.71
D→A
0.35
0.55
1.76
0.18
4.16
8.20E-3
B→A
0.28
A→B
0.6
0.43
0.02
0.89
0.54
0.66
C→A
C→B
1.18
0.28
6.78
0.01
1.97
0.12
D→B
0.55
0.46
0.81
0.37
0.44
A→C
0.04
0.85
0.13
0.72
B→C
0.11
0.74
D→C
0.96
0.33
A→D
event-1 Causal ity F-test p-val
event-2
event-3
F-test
p-val
F-test
p-val
0.89
0
1
0.61
0.43
0.38
0.82
0
1
1.24
0.27
D→A
0.17
0.95
0
1
0.73
0.39
0.72
A→B
49.04
0
0
1
0.59
0.44
1.05
0.37
C→B
0.51
0.73
0
1
0.75
0.38
32.74 4.20E-8
12.7
5.20E-7
D→B
5.2
4.3E-4
0
1
2.15
0.14
0.43
0.5
0.44
0.72
A→C
0.66
0.62
0
1
0.55
0.46
10.99 1.09E-3
1.76
0.18
7
2.70E-4
B→C
0.02
0.99
0
1
0.23
0.63
B→D
32.67 4.08E-8
1.62
0.2
0.37
0.77
D→C
0.52
0.72
0
1
0.37
0.54
C→D
0.89
3.3
0.07
0.11
0.95
A→D
0.21
0.93
0
1
0.47
0.49
B→D
0.82
0.51
0
1
2.61
0.11
B→D
0.16
0.96
0
1
0.12
0.73
0.35
Pada uji tabel 8 di atas apabila nilai F-testnya lebih besar dari nilai maximal p-valuenya 0.1 (10%) maka terdapat granger-cause antara variabelnya. Seperti terlihat tabel 8 di atas ditunjukkan bahwa pada event-1 terjadi unidirectional granger cause pada B→A, C→A, A→D dan B→D. Variabel pada model lokasi A dipengaruhi dari variabel bebas model lokasi B (pada tabel 8 diberi arsir hitam). Variabel pada model lokasi A dipengaruhi dari variabel bebas model lokasi C. Variabel pada model lokasi D dipengaruhi dari variabel bebas model lokasi A. Variabel pada model lokasi D dipengaruhi dari variabel bebas model lokasi B. Pada event-2 tabel 8 terjadi bidirectional granger cause antara B↔C (pada tabel 8 diberi arsir hitam), terjadi hubungan timbal balik antara lokasi C dengan lokasi B. Variabel bebas pada model lokasi B dipengaruhi dan mempengaruhi dari variabel bebas model lokasi C. Sedangkan unidirectional granger cause terjadi pada C→D, di mana variabel lokasi D dipengaruhi oleh variabel bebas dari lokasi C namun tidak sebaliknya. Pada event-3 tabel 8 terjadi bidirectional granger cause antara A↔D (pada tabel 8 diberi arsir hitam), terjadi hubungan timbal balik antara lokasi A dengan lokasi D. Variabel bebas pada model lokasi A dipengaruhi dan mempengaruhi dari variabel bebas model lokasi D. Sedangkan unidirectional granger cause terjadi pada B→C, di mana variabel lokasi C dipengaruhi oleh variabel bebas dari lokasi B namun tidak sebaliknya. Seperti terlihat tabel 9 di atas pada event-1 ditunjukkan bahwa terdapat unidirectional granger cause terjadi pada A→B, di mana variabel lokasi B dipengaruhi oleh variabel bebas dari lokasi A namun tidak sebaliknya (diberi tanda arsir hitam pada tabel 9). Pun terdapat unidirectional granger cause terjadi pada D→B, di mana
ISSN: 2085-6350
Namun pada event-2 tabel 9, tidak terjadi granger cause sama sekali pada masing-masing lokasi. Hal ini dapat diartikan bahwa hujan pada lokasi A tidak berpengaruh pada pada lokasi lainnya dan sebaliknya. Demikian pada lokasi yang lainnya. Namun ini berbeda dengan kejadian pada event-3, pada event-2 terdapat koefisien korelasi 1 antar 2 lokasi untuk semua lokasi hujan seperti nampak pada gambar 7 scatter plotnya. Hal ini dapat juga dimaknai bahwa terjadi hujan merata pada semua lokasi. Sedangkan pada event-3 tabel 9, tidak terjadi granger cause sama sekali pada masing-masing lokasi. Hal ini dapat diartikan bahwa hujan pada lokasi A tidak berpengaruh pada pada lokasi lainnya dan sebaliknya. Demikian pada lokasi yang lainnya. V. KESIMPULAN Pada pembahasan dan analisis pemodelan VAR data 6 event curah hujan pada 4 lokasi rain gauge, masing-masing 3 event hujan pada tanggal 13 Januari dan 22 Januari 2009 diperoleh beberapa kesimpulan yaitu 1. Dari uji stasioner dengan ADF terhadap data curah hujan pada masing-masing event hujan diperoleh bahwa curah hujan dapat bersifat stasioner dan tidak stasioner. 2. Pada uji estimasi parameter orde lag p diperoleh model dengan orde lag p yang bervariasi pada semua event. Model yang didapatkan pada event hujan 22 Januari adalah VAR(1) pada I(0) kecuali pada event-1 hujan 22 Januari 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
3. 4.
5.
[1]
[2]
didapatkan VAR(4) dan data hujan pada eventevent ini bersifat stasioner. Sedangkan pada pada I(0), VAR(1) pada I(1) dan VAR(3) pada I(1) Pada uji granger cause pada ke-6 event hujan diperoleh bahwa pada masing-masing event hujan berbeda kasus granger cause-nya tergantung kondisi curah hujan pada setiap eventnya. Hal ini berarti bahwa hujan bersifat tidak homogen dan berubah sebagai fungsi waktu dan lokasi. Bahkan pada event-2 dan event-3 hujan 22 Januari 2009 tidak ada kasus granger cause-nya. Pada event-2 tersebut menunjukkan bahwa hujan mempunyai korelasi yang sama antar lokasinya, pada kasus ini terjadi hujan yang merata sama pada semua lokasi. Penerapan teknik site diversity untuk desain sistem komunikasi nirkabel gelombang milimeter direkomendasikan menggunakan pemodelan VAR dengan uji Granger Causality. References Salehudin, M., Hanantasena, B., Wijdeman, L. (1999) ”Ka Band Line-of-Sight Radio Propagation Experiment in Surabaya Indonesia”, 5th Ka-Band Utilization Conference, hal. 161-165, Taormina, Italy. Hendrantoro, G., Mauludiyanto, A., Handayani, P. (2004), ”An Autoregressive Model for Simulation of Time Varying Rain Rate”, 10Th International Symposium on Antenna Technology and Applied Electromagnetics and URSI Conference, Ottawa, Canada.
97
hujan 13 Januari 2009 diperoleh model VAR(1) [3]
[4] [5]
[6]
[7]
[8]
[9]
Hendrantoro, G., Indrabayu, Suryani, T., Mauludiyanto, A. (2006), “A Multivariate Autoregressive Model for Rain Attenuation on Multiple Short Radio Link”, IEEE Antennas and Wireless Propagation Letters, Vol 5, hal. 54-57. Yadnya, M. S. (2008), "Pemodelan ARMA Curah Hujan di Surabaya", Tesis Master, Telekomunikasi Multimedia, ITS-Surabaya M. Rusdi, G.Hendrantoro, A.Mauludiyanto(2009), “Modelling of Rain Rate in Surabaya using Fuzzy Autoregressive (Fuzzy AR)”, International Seminar on Science and Technology ISSTEC, UII, Yogyakarta. Suhartono (2004), “ Evaluasi Pembentukan Model VARIMA dan STAR untuk Peramalan Data Deret Waktu dan Lokasi “ Jurnal Matematika Alternatif Vol 3. No. 2 Agustinus Alonso-Rodriguez (2000), “VARMA Modeling of The Production Function”, International Advance in Economic Research, Vol. 6 No. 2 Bernhard Pfaff (2008),”VAR, SVAR and SVEC Models: Implementation Within R Package vars”, Journal of Statistical Software, Volume 27, Issue 4. Chang-hong Zhao, Jiahai Yuan, Jian-gang Kang (2008), “ Oil Consumption and Economic Growth in China: a Mulivariate Cointegration Analysis”, The International Conference on Risk Management & Engineering Management.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
98
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Analisa Kinerja Adaptive Coded Modulation Pada Sistem OFDM Menggunakan Maximal Ratio Combining Di Bawah Pengaruh Hujan Tropis Suwadi1), 2)Gamantyo Hendrantoro dan 3)Boyong Baskoro Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 Email : 1) [email protected]; 2)[email protected] dan 3)[email protected] dengan cepat pada bit rate 1,5 GBps saat downstream dan 200 MBps saat Abstract_ The propagation factor effecting the link availability and channel capacity of millimeter-wave fixed cellular system operating at 30 GHz frequencies is rain attenuation. Indonesia has very high rain rate that product very high rain attenuation. Rain attenuation can decrease performance of the system, i.e. link availability and channel capacity. Adaptive coded modulation (ACM) and cell-site diversity are methods to increase them for this system. In this paper, the evaluated system is OFDM system with ACM and maximalratio combining (MRC) diversity. Simulation results of the system performance show that it is guaranteed to have maximum BER 10-6 or 10-11. Performances of the system show that link availability is 99.99% in 2 km link length and 99.95% in 4 km link length. Additionally, the results also show that the channel capacities are 5.696 bps/Hz and 5.663 bps/Hz for maximum BER 10-6 and 10-11 in 4 km link length. Link availability of the system is as same as with 4 QAM and its channel capacity is better than 64 QAM. Abstrak_ Faktor propagasi yang mempengaruhi link availability dan kapasitas kanal sistem millimeter-wave fixed cellular yang bekerja pada frekuensi 30 GHz adalah redaman hujan. Indonesia mempunyai curah hujan sangat tinggi yang menimbulkan redaman hujan yang sangat tinggi. Redaman hujan dapat menurunkan kinerja sistem yaitu link availability dan kapasitas kanal. Adaptive coded modulation (ACM) dan cell-site diversity merupakan metode untuk meningkatkan link availability dan kapasitas kanal sistem tersebut. Pada makalah ini, sistem yang dievaluasi adalah sistem OFDM dengan ACM and maximal-ratio combining (MRC) diversity. Hasilhasil simulasi kinerja sistem menunjukkan bahwa dijamin mempunyai BER maksimal 10-6 atau 10-11. Kinerja dari system tersebut menunjukkan bahwa link availability 99.99% pada jarak 2 km dan 99.95 pada link 4 km. Sebagai tambahan, hasil simulasi juga menunjukkan bahwa kapasitas kanal sistem tersebut adalah 5.696 bps/Hz dan 5.663 bps/Hz untuk BER maksimal 10-6 and 10-11 pada link 4 km. Link availability sistem tersebut sama dengan 4 QAM dan kapasitasnya lebih baik dari pada 64 QAM. Kata Kunci: OFDM, Adaptive Coded Modulation, MaximalRatio Combining.
I.
PENDAHULUAN
Sistem LMDS beroperasi pada frekuensi antara 20– 40 GHz, dengan menggunakan sistem akses seluler untuk arsitektur jaringannya, namun dengan receiver dari terminal pelanggan yang tetap dan mempunyai beamwidth antena yang sempit dan gain yang besar serta bersifat line of sight (LOS). Sistem ini dapat mengirimkan sinyal
ISSN: 2085-6350
upstream serta sistem ini mendapati gangguan minimal. Pada sistem ini tidak ada multipath fading. Sistem komunikasi pada pita frekuensi tinggi seperti sistem LMDS sangat peka terhadap fade (pelemahan) yang disebabkan oleh hujan, sehingga bisa memberikan efek yang signifikan pada keandalan sistem komunikasi di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Oleh karena itu, penerapan sistem LMDS di Indonesia akan menjadi permasalahan yang rumit mengingat besarnya redaman hujan yang terjadi. Dimana, semakin tinggi curah hujan rata-rata maka semakin besar pula redaman hujan yang terjadi. Beberapa teknik mitigasi pengaruh fading hujan sudah diteliti dibeberapa negara non tropis, diantaranya teknik penggunaan kendali daya untuk kompensasi fading karena hujan pada system seluler LMDS/LMCS [2]. Sistem ini dirancang untuk bekerja pada daerah non-tropis dengan redaman hujan yang tidak terlalu besar. Akibatnya jika diterapkan di daerah tropis untuk system komunikasi nirkabel seluler pada gelombang milimeter akan terjadi nilai BER yang terlalu besar. Penelitian [1] hanya menerapkan kendali daya yang berbasis AGC (automatic gain control) untuk mengatasi efek redaman hujan. Sistem mereka membedakan pelanggan dekat dan jauh dengan tujuan untuk membagi rentang dinamis AGC ke dalam dua segmen yang lebih sempit. Sistem ini tidak memanfaatkan modulasi adaptif maupun pengodean adaptif sehingga tidak dapat mencapai penggunaan sumber daya yang efisien. Teknik cell-site diversity juga telah terbukti sangat efektif untuk melawan pengaruh redaman yang diakibatkan oleh hujan di daerah non tropis [7]. Sistem transmisi adaptif menggunakan variasi laju data dan variasi daya pada sistem M-QAM telah diterapkan untuk mengatasi Rayleigh fading untuk mendapatkan efisiensi spektrum serta unjuk kerja yang optimum [4]. Teknik modulasi MQAM adaptif pada kanal komunikasi gelombang milimeter telah digunakan untuk mengoptimalkan efisiensi spektrum atau kapasitas kanal dibawah pengaruh hujan di Indonesia [11]. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi teknik modulasi dan pengkodean adaptif dengan menggunakan kode rangkap Red Solomon dan Kode Konvolusional yang aplikasikan pada sistem komunikasi OFDM nirkabel pita lebar gelombang milimeter menggunakan teknik diversity MRC dibawah pengaruh redaman hujan di Indonesia, kususnya dilakukan pengukuran curah hujan di Surabaya.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
99
Pada makalah ini tersusun atas pendahuluan yang dituangkan pada bagian I, metodologi yang memuat model sistem dibahas pada bagian II, sedangkan pada bagian III
Kanal
Pemancar Data bit
diuraikan analisa hasil simulasi dan ditutup dengan kesimpulan dan saran.
Ak
Penerima bit
n[k ]
Sistem OFDM ACM
r[k ]
MRC Diversity
Demodulation dan Decoding
Estimasi kanal
Sistem OFDM ACM
Delay Gambar 1. Model Sistem ACM dengan MRC Diversity. Tabel 1 Parameter sistem LMDS (k=1,38.10-23 dan T0=298 K) Parameter Units Formula Transmit Power into Antenna dBW Ptx : transmit power per carrier Transmit Antenna Gain dBi Gt : Gant Frequency GHz f : Transmit frequency Path Length Km d : Hub to Subscriber Station Range Field Margin dB Lfm : Antenna Misalignment Free Space Loss dB FSL = -92.45-20*log(f)-20*log(d) Total Path Loss dB Ltot = FSL + Lfm Receiver Antenna Gain dBi Gr = Gant Effective Bandwidth MHz BRF = Receiver Noise Bandwidth Receiver Noise Figure dB NF : Effective Noise Figure Thermal Noise dBw/MHz 10*log(k*To*B) Systems Loss dB Lsys = Gt+Ltot+Gr Received Signal Level dBW RSL = Ptx+Lsys Thermal Noise Power Spectral Density dBW/MHz No = 10*log(k*To*B)+NF SNR Clear Sky dB C/N = RSL-No-10*log(BRF) II. METODOLOGI A.
Model Sistem
Model sistem transmisi adaptif yang digunakan disini adalah memvariasikan rate dari pengkodean rangkap (Reed Solomon Code dan Convolutional code) dan penggunaan modulasi M-QAM yang dikemas dalam suatu blok tertutup seperti pada gambar 1. Pertama, bit-bit informasi terlebih dahulu akan dikodekan melalui enkoder menggunakan pengkodean rangkap di setiap sub carrier. Setelah proses pengkodean rangkap, bit informasi dikenakan proses IFFT dan setelah itu digabungkan kembali menjadi satu deretan bit informasi melalui proses paralel to serial. Mekanisme guard band dilakukan ditiap N bit informasi untuk membentuk sebuah simbol OFDM. Selanjutnya bit-bit informasi yang telah dikodekan, memodulasi sub carrier yang dikirimkan melalui kanal rain-fading.
Value 0 15 30 1 -1 -121.992 -122.992 30 40 5 -143.85 -77.9924 -77.9924 -138.859 44.83757
Setelah melalui kanal dengan pengaruh redaman hujan A[k] dan noise AWGN n[k], sinyal informasi kemudian akan dikirimkan pada receiver dan masuk pada sistem MRC diversity, dimana output dari diversity ini adalah sinyal dengan penjumlahan SNR dari sejumlah kanal, yang kemudian akan diproses sebagai dasar estimasi kanal. Pada makalah ini, estimasi kanal diasumsikan ideal dan delay feedback sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Selanjutnya SNR output hasil estimasi dikirimkan kembali pada pemancar sebagai referensi untuk penentuan level modulasi dan pengkodean pada proses ACM selanjutnya. Parameter – parameter sistem LMDS yang digunakan untuk perhitungan harga SNR pada jarak L Km adalah dengan menggunakan perhitungan yang bersumber dari Chu Y.C seperti terlihat pada tabel 1. Dalam penelitiannya Chu menggunakan parameter LMDS yang diproduksi oleh New Bridge Corporation Canada [3]. B.
Synthetic Storm Technique (SST)
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
100
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Untuk menghitung redaman hujan dapat dilakukan melalui pengukuran curah hujan secara langsung dan penggunaan data cuaca serta pertimbangan arah dan kecepatan angin menggunakan metode statistik Synthetic Storm Technique (SST). Metode SST mendeskripsikan suatu intensitas curah hujan sebagai fungsi dari panjang lintasan/link (Km) dimana hujan tersebut bergerak sepanjang lintasan karena adanya pergerakan angin dengan kecepatan tertentu. Dari besarnya kecepatan angin dan arah Hub 2 (Utara)
Sistem modulasi dan laja kode adaptif menggunakan skenario bahwa level modulasi yang digunakan 4-QAM, 16-QAM, dan 64-QAM berturut-turut sesuai dengan harga SNR yang dipengaruhi redaman hujan saat itu. Apabila selama periode tertentu nilai redaman rendah, maka nilai SNR akan naik dan memungkinkan tingkat modulasi yang tinggi diterapkan dengan BER rendah. Sedangkan, apabila nilai redaman selama periode tertentu tinggi, maka nilai SNR akan menurun dan memaksa untuk menggunakan tingkat modulasi yang rendah agar BER terjaga. Perhitungan teoritis dari BER untuk masing-masing skema modulasi dilakukan menggunakan persamaan: [10] γ1
1 G1
γ
Hub 1 (Timur)
2
Co-phase dan penjumlahan
γ M
Gambar 2. Konfigurasi Sistem Dua Link identik dengan Sudut 900
n −1
(2)
j =0
Konfigurasi Sistem Komunikasi Dual Link
Skenario Adaptive Coded Modulation (ACM)
ISSN: 2085-6350
Output
m
Kontrol Adaptif
Gambar 3. Maximal Ratio Combining [9] Tabel 2 Skenario ACM BER 10-6 Modulasi Adaptif menjamin BER maksimal 10-6 Jenis Modulasi Interval SNR No Transmisi SNR< 1.179 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 1.179< SNR<11.45 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 11.45< SNR <21.623 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) SNR >21.623 Tabel 2 Skenario ACM BER 10-11 Modulasi Adaptif menjamin BER maksimal 10-11 Jenis Modulasi Interval SNR No Transmisi SNR< 1.796 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 1.796<SNR<12.623 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 12.623<SNR<23.538 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) SNR>23.538 m m ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎜ 1 2 ∑− 1 j⎜ 2m − 1⎟ Pe j ⎛⎜1 − Pe ⎞⎟2 − 1 − j ⎟ log M P ≈ ⎜ ⎟ 2 cc ⎠ B ⎜ m ⎟⎟ cc ⎝ 2 − 1 j = t + 1 ⎜⎝ j ⎠
⎝
Penelitian ini lebih memfokuskan pada permasalahan tentang pengaruh arah dan curah hujan terhadap posisi link yang terjadi. Pada penelitian ini akan dilakukan sistem komunikasi dua link dengan sudut apit 90o (link arah utara dan link arah timur) seperti yang digambarkan pada gambar 2. Konfigurasi sistem komunikasi dua link seperti gambar 2 mengakibatkan perbedaan waktu terjadinya redaman hujan antara link satu dengan yang lain. Dimana perbedaan tersebut bergantung pada arah kedatangan angin terhadap letak posisi link. D.
Detektor
Antena
dimana n = L / ∆ L dan koefisien a dan b bergantung dari frekuensi gelombang radio, polarisasi gelombang radio, dan canting angle (sudut jatuh) dari hujan. Koefisien tersebut berdasarkan pada ITU-R P.838-3 tahun 2005. Dalam penelitian ini frekuensi yang digunakan sebesar 30 GHz dengan polarisasi horizontal sehingga koefisien yang digunakan yaitu a= 0.2403 dan b = 0.9485. [12] C.
γM
Gm
angin maka diperoleh kecepatan angin dalam lintasan (vr). Alat ukur yang digunakan yaitu disdrometer optik dengan waktu sampling (T) 10 detik. Intensitas curah hujan (R) diukur menggunakan disdrometer dengan waktu sampling (T) sepanjang lintasan dengan jarak tertentu. Pembagi lintasan ∆L dapat diperoleh dengan rumusan sebagai berikut: ∆L = vr × T km (1) Total redaman A (dB) hujan dapat dihitung dengan rumus berikut:
Am = ∑ aR mb − j × ∆ L j
2
G2
(3)
⎠
diimana m, M dan Pecc secara berturut-turt adalah banyaknya bit dalam satu simbol, nilai dari orde modulasidan probabilitas simbol salah setelah koding konvolusional Perhitungan teoritis BER untuk masing-masing skema modulasi dilakukan menggunakan persamaan 3 maka didapatkan nilai operasi untuk BER 10-6 dan 10-11 seperti terlihat pada tabel 2 dan 3. E.
Maximal Ratio Combining
Metoda MRC pertama kali diusulkan oleh Kahn, gambar 3 menunjukkan blok diagram dari metode ini,
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
101
dimana ada M cabang yang masuk ke rangkaian dan setiap cabang memiliki gain tertentu. γM maksimum ketika Gi = ri / N, yang dirumuskan pada persamaan sbb : γ mrc =
∑ (r / N ) ∑ (r / N
1 2 N
i
2
i
2
2 2
)
=
1 2
M
∑ i =1
ri 2 = N
M
∑γ
(4)
i
i =1
(19) Dengan demikian SNR output pada diversity combiner adalah jumlah dari SNR pada tiap cabangnya. F.
Kapasitas Kanal
Kapasitas kanal merupakan laju transmisi informasi per Hz dari bandwidth yang digunakan, yang bertujuan untuk mengirimkan sinyal informasi yang maksimum 1
10
pengukuran
dan menunjukan bahwa probabilitas curah hujan 0,01% untuk curah hujan lebih dari 140,1 mm/jam. Hal ini menunjukkan curah hujan di Surabaya sangat tinggi. Setelah mengetahui data curah hujan, selanjutnya dilakukan perhitungan redaman. Hasil perhitungan redaman hujan menggunakan metode SST direpresentasikan dalam bentuk CCDF redaman hujan pertahun untuk semua event dalam interval rentang waktu 2 tahun. Pada gambar 5 kondisi link arah utara sering mengalami arah kedatangan angin tegak lurus yang menimbulkan redaman hujan paling besar. Selain itu juga dapat diketahui bahwa dengan arah link yang sama, semakin jauh jarak lintasan komunikasi maka semakin besar pula redaman hujan yang terjadi. Secara detail dapat dilihat bahwa terjadi redaman hujan di Surabaya (Indonesia) dengan probabilitas 0,01% untuk redaman lebih dari 102 dB pada panjang link 4 Km arah link utara selatan. 0
10
0
-1
10
-1
10
Prob.[Redaman > absis]%
Prob.[Curah Hujan> absis] %
10
-2
10
-3
10
SUDUT 90 LINK SUDUT 90 LINK SUDUT 90 LINK SUDUT 90 LINK
1 KM 2 KM 3 KM 4 KM
250
300
-2
10
-3
10
-4
10
-4
10
0
50
100
150 200 250 Curah Hujan (mm/jam)
300
350
400
Gambar 4 CCDF Curah Hujan pertahun di Surabaya Selama 2 tahun
0
2
i =0
i
B
1
UTARA UTARA UTARA UTARA
0
10
i
dimana, R , N , M i dan
P( M i )
merupakan kapasitas kanal
(bps/Hz), jumlah data, level modulasi kemungkinan masing-masing modulasi
dan
prob.
III. ANALISA HASIL SIMULASI Curah dan Redaman Hujan di Surabaya Pengukuran curah hujan dilakukan di lingkungan kampus ITS Surabaya menggunakan alat ukur disdrometer optik. Dari hasil pengukuran diperoleh data curah hujan selama 2 tahun dari tahun 2007 dan 2008 dengan waktu sampling T 10 detik. Metode synthetic storm technique (SST) [5][8] merupakan metode yang digunakan untuk mengestimasi redaman hujan berdasarkan kecepatan dan arah angin. Hasil pengukuran curah hujan di Surabaya dapat digambarkan dalam kurva CCDF (Complementary Cumulative Distribution Function) seperti pada gambar 4
150 200 Redaman (dB)
10
Prob.[SNR <= absis] %
∑
100
Gambar 5. Kurva CCDF Redaman Hujan Link Variasi Sudut 900 Panjang Lintasan 1-4 Km.
dengan bandwidth minimum. Satuan yang tepat untuk kapasitas kanal adalah bit/s/Hz. Pada sistem modulasi adaptif, kapasitas kanal dapat dinyatakan sebagai berikut [4]: R N (5) = log ( M ) P( M ) B
50
1 KM 2 KM 3 KM 4 KM
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
A.
-300
-250
-200
-150 -100 SNR [k] (dB)
-50
0
50
Gambar 6. CDF SNR Sesaat Link Arah Utara Dengan Panjang 1-4 Km. B.
Signal to Noise Ratio Sesaat
Setelah mendapatkan nilai redaman hujan Ak di tiap link, maka langkah selanjutnya adalah mendapatkan nilai
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
102
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
dari signal to noise ratio sesaat SNRk. Nilai SNR sesaat sebelum proses ACM dihitung untuk masing-masing panjang link 1 km, 2 km, 3 km dan 4 km dengan sudut 90°. Grafik SNRk yang diperoleh direpresentasikan dalam bentuk Cumulative Distribution Function (CDF) untuk semua event terjadinya hujan dalam interval rentang waktu 2 tahun seperti pada gambar 6. Berdasarkan gambar 6 di atas dapat diketahui bahwa semakin besar jarak lintasan komunikasi, semakin kecil nilai SNR sesaat. Secara detail dapat dilihat bahwa harga
SNR sesaat pada penerima mempunyai probabilitas 0,01% untuk SNR sesaat kurang dari - 12 dB pada panjang link 2 Km arah link utara selatan. C.
Kinerja Sistem Adaptive Coded Modulation Pengamatan terhadap kinerja sistem ACM dilakukan pada BER maksimal 10-6 dan 10-11. Tahap ini akan dimulai dengan menghitung nilai probabilitas error (Pb)k pada nilai SNR sesaat. Selanjutnya dibuat grafik CCDF sehingga didapatkan nilai prosentase probabilitas (Pb)k ≥ absis.
Tabel 4 Link availability (%) untuk panjang link bervariasi sistem ACM Panjang Link 1 km
Mode Transmisi Adaptive transmisión 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
2 km
3 km
4 km
10-6
10-11
10-6
10-11
10-6
10-11
10-6
10-11
99,9987 99,9987 99,9972 99,9858
99,99861 99,99861 99,99664 99,98118
99,973 99,973 99,958 99,941
99,97262 99,97262 99,95475 99,92848
99,936 99,936 99,916 99,915
99,93444 99,93444 99,91035 99,89518
99,903 99,903 99,876 99,887
99,90059 99,90059 99,86875 99,85690
Tabel 5 Kapasiatas kanal (bps/Hz) untuk panjang link bervariasi sistem ACM Panjang Link 1 km
Mode Transmisi ACM 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
10-6 5,9699 1,9981 3,9902 5,9302
2 km
10-11 5,9621 1,9980 3,9885 5,9097
10-6 5,7576 1,9611 3,8543 5,6081
Tabel 6. Hasil Perhitungan Diversity Gain MRC 2 Link Sudut 900 JARAK Prob.Outage 1% 0,1% 0,01% 0,001% 0,0001%
1 km 2,981 3,787 5,675 9,17 15,88
2 km 3 km dB 2,922 2,833 6,723 9,861 11,39 22,31 35,82 54,26 43,48 94,61
4 km 2,731 13,74 33,22 80,67 137,9
Berdasarkan hasil simulasi harga link availabity pada sistem ACM dengan kinerja BER maksimal 10-6 dan 10-11 ditunjukkan seperti pada tabel 4. Dari tabel 4 dapat disimpulkan bahwa nilai link availability sistem adaptif (ACM) akan selalu sama dengan nilai link availability pada sistem 4QAM non-adaptif. Pada sistem ACM nilai link availability 99,99% dapat dicapai untuk panjang lintasan 1 km. Selain itu, semakin jauh panjang lintasan link komunikasi maka semakin menurun nilai link availability . Dengan menggunakan persamaan (5) maka diperoleh nilai perbandingan kapasitas kanal untuk masingmasing panjang lintasan pada pengamatan BER maksimum 10-6 dan 10-11 yang ditampilkan pada tabel 5. Berdasarkan tabel di atas bahwa nilai kapasitas kanal adaptive coded modulation (ACM) tiap sub-carrier untuk
ISSN: 2085-6350
3 km 4 km 10-11 10-6 10-11 10-6 10-11 5,7332 5,5448 5,5067 5,3529 5,2976 1,9600 1,9083 1,9059 1,8631 1,8598 3,8446 3,7219 3,7050 3,5999 3,5797 5,5526 5,3267 5,2447 5,0696 4,9440 BER 10-6 pada link 2 km adalah 5,758 bps/Hz dan pada link 4 km 5,353 bps/Hz.
Kapasitas kanal tiap sub-carrier untuk BER 10-11 pada link 2 km adalah 5,733 bps/Hz dan pada link 4 km 5,298 bps/Hz. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem OFDM dengan ACM tiap sub-carrier mempunyai kapasitas kanal lebih besar daripada pada modulasi non-adaptif (4QAM, 16-QAM dan 64-QAM). D.
Analisa Diversity Gain
Adanya nilai redaman hujan yang besar ini akan mempengaruhi kinerja sistem komunikasi. Oleh karena itu teknik mitigasi diperlukan untuk mengatasi pengaruh redaman hujan tersebut. Pada penelitian ini menggunakan teknik maximal-ratio combining diversity (MRC). Sistem kerja dari MRC diversity adalah dengan menambahkan nilai SNR pada konfigurasi dua link. Perbedaan harga SNR tanpa pengaruh diversity dengan nilai SNR yang didapatkan hasil proses teknik diversity disebut diversity gain. Hasil simulasi harga diversity gain untuk 2 link dengan sudut 900 dapat dilihat pada tabel 6. Dengan adanya diversity gain dapat memberikan perbaikan kinerja dari sistem tersebut. Seperti pada tabel 6 pada panjang link dengan outage 0,01% menghasilkan diversity gain sebesar 5,675 dB.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
E.
103
Kinerja Sistem Adaptive Coded Modulation dan Maximal-Ratio Combining Diversity
Pada bagian ini akan dilakukan pengolahan data SNR hasil perhitungan teknik diversity ke dalam sistem Adaptive Coded Modulation pada jarak 1,2,3 dan 4 km. Analisa kinerja ini dilakukan pada pengamatan BER maksimum 10-6 dan 10-11 dengan sudut konfigurasi dua link 900. Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai link availability 99,99% pada sistem ACM yang dikombinasikan dengan MRC diversity telah dicapai hingga jarak 2 km. Pada panjang link 3 km link availability 99,97% dan link 4 km link availability 99,95%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa teknik MRC diversity dapat meningkatkan kinerja sistem transmisi adaptif dan mode transmisi adaptif (ACM+MRC) yang menghasilkan link availability maksimal seperti pada mode transmisi non adaptif yaitu 4 QAM dengan kode RS (63,31) dan kode konvolusional 1/3).
Sedangkan hasil perhitungan nilai kapasitas kanal sistem ACM dengan MRC diversity untuk link sudut 900 dengan panjang lintasan 1 - 4 km dapat dilihat pada tabel 8. Mode transmisi adaptif (ACM+MRC) pada jarak 2 km kondisi BER 10-6 menghasilkan kapasitas kanal 5,887 bps/Hz dan BER 10-11 mempunyai kapasitas kanal 5,872 bps/Hz. Dengan perbandingan hasil perhitungan kapasitas kanal pada tabel 5 dengan tabel 8, maka dapat diketahui sistem ACM yang menggunakan teknik MRC diversity memiliki nilai kapasitas kanal yang lebih besar dibandingkan dengan nilai kapasitas kanal pada sistem ACM tanpa diversity. Mode transmisi adaptif menggunakan MRC diversity menghasilkan kapasitas kanal yang paling besar dibandingkan dengan mode transmisi non adaptif lainnya.
Panjang Link Mode Transmisi ACM + MRC 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
1 km
2 km
3 km
4 km
10-6
10-11
10-6
10-11
10-6
10-11
10-6
10-11
99,999 99,999 99,999 99,995
99,999 99,999 99,999 99,992
99,988 99,988 99,980 99,965
99,987 99,987 99,978 99,956
99,970 99,970 99,956 99,936
99,969 99,969 99,952 99,921
99,953 99,953 99,876 99,887
99,951 99,951 99,928 99,891
Tabel 7 Link availability (%) untuk panjang link bervariasi sistem ACM dan MRC diversity
Panjang Link Mode Transmisi ACM + MRC 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
1 km
2 km
3 km
4 km
10-6
10-11
10-6
10-11
10-6
10-11
10-6
10-11
5,9890 1,9991 3,9967 5,9748
5,9857 1,9991 3,9963 5,9654
5,8866 1,9840 3,9360 5,8038
5,8724 1,9831 3,9310 5,7714
5,7844 1,9637 3,8771 5,6465
5,7584 1,9624 3,8662 5,5890
5,6958 1,9454 3,8232 5,5164
5,6629 1,9437 3,8108 5,4414
Tabel 8 Kapasiatas kanal (bps/Hz) untuk panjang link bervariasi sistem ACM dan MRC diversity
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
104
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
IV. KESIMPULAN A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain : • Kondisi curah hujan di Surabaya telah mengalami peningkatan, berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata curah hujan di kota Surabaya adalah 140,1 mm/h untuk peluang kemunculan 0.01% pertahun. • Penggunaan sistem Adaptive Coded Modulation dengan teknik MRC diversity, terbukti meningkatkan link availability sistem OFDM secara keseluruhan dibandingkan sistem transmisi non adaptif. • Pada konfigurasi link panjang sama dengan sudut 90o pada link 1 km, diversity gain untuk probabilitas outage 0.1%, 0.01%, 0.001% dan 0.0001% masingmasing bernilai 3.787 dB, 5.675 dB, 9.17 dB dan 15.88 dB. • Penerapan MRC diversity pada sistem Adaptive Coded Modulation juga berefek pada meningkatnya kapasitas kanal tiap sub-carrier sistem OFDM. B. Saran Adapun beberapa saran untuk meningkatkan hasil yang lebih baik pada penelitian selanjutnya adalah: • Memperbanyak data hasil pengukuran curah hujan, sehingga secara statistik hasil data curah hujan menjadi lebih akurat. • Dilakukan penelitian terhadap efek interferensi dari sinyal yang diterima pada teknik diversity. • Pemanfaatan sistem relay dapat digunakan untuk penelitian sistem komunikasi gelombang milimeter yang lebih luas. V. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2] [3]
[4]
[5]
Abbiati Fausto, Gaspare L., Santacesaria C, “Reception And Transmission Power Gains Control in a Point-to-Multipoint System”, EP 1427117A1, 1994. Boch,Yee, Ployer, “Power Control of LMDS/LMCS Base Station to Provide Rain Fade Compensation”, EP 0987832A2, 2000. Chu, C. Y., Chen, K. S. “Effects of Rain Fading on the Efficiency of the Ka-Band LMDS System in the Taiwan Area”, IEEE Transactions on Vehicular Technology, vol. 54, no. 1, Januari 2005. Goldsmith, A.J. dan Chua, S.G. “Variable-Rate Variable Power MQAM for fading Channels”, IEEE transactions of communication, vol. 45, no. 10, October 1997 Haniah Mahmudah, Achmad Mauludiyanto dan Gamantyo Hendrantoro “Prediksi Redaman Hujan
ISSN: 2085-6350
[6] [7]
[8]
[9] [10] [11]
[12]
Menggnakan Synthetic Storm Technique (SST)”, Tesis, Jurusan Teknik Elektro, ITS, Surabaya, 2006. Haykin, S. “Digital Communication System”, Jhon Wiley & Sons, 2004 Hendrantoro, G. R.J.C. Bultitude and D.D Falconer, “ Use of Cell-Site Diversity in Millimeter –Wave Fixed Cellular Systems to Combat the Effects of Rain Attenuation”, IEEE Journal on Selected Areas in Communications, Vol. 20, No. 3, Page 602, April 2002 Kanellopoulos, J. D. and P. Kafetzis, ”Comparison of the Synthetic Storm Technique with a Conventional Rain Attenuation Prediction Model”, IEEE transactions on Antennas and Propagation, Vol. AP-34, No. 5 hal: 714, May 1986. Rappaport, T.S., “Wireless Communications Principles and Practice”, Prentice Hall, hal 386, 2002 Sklar, B. “Digital Communication”, Prentice Hall, New Jersey, 1994 Suwadi, Hendrantoro, G. dan Kurniawati, T. “ Evaluasi Kinerja Modulasi Adaptif Untuk Mitigasi Pengaruh Redaman Hujan di Daerah Tropis Pada kanal komunikasi gelombang Milimeter” Seminar EECCIS, Unibraw-Malang, Juni 2008. ITU R P.838-3, “Specific attenuation model for rain for use in prediction methods”, 2005
Suwadi, dilahirkan di Gresik tanggal 18 Agustus 1968. Pada tahun 1992 menamatkan program sarjana di teknik elektro ITS dan Pebruari 1999 menamatkan program magisternya di Elektroteknik ITB. Penulis sejak 1993 sebagai staf pengajar di Jurusan Teknik Elektro ITS dan sedang studi program doktoral di jurusan teknik elektro ITS, serta sedang meneliti pengaruh hujan tropis maritim terhadap sistem komunikasi gelombang milimeter. Gamantyo Hendrantoro, dilahirkan di Jombang, 11 Nopember 1970. Pada tahun 1992 memperoleh gelar sarjana di teknik elektro ITS, dan memperoleh M.Eng dan Ph.D di electrical engineering, Carleton University Ottawa, Canada pada tahun 1997 dan 2001. Saat ini aktif sebagai guru besar di ITS dan interes pada bidang antena and propagation, wireless and mobile communication. Boyong Baskoro dilahirkan di Surabaya, 31 Desember 1986, sebagai mahasiswa tingkat akhir jurusan teknik elektro – ITS, bidang keahlian telekomunikasi multimedia dan aktif sebagai anggota penelitian bidang propagasi dan komunikasi gelombang milimeter.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
105
PENGGUNAAN MAXIMAL RATIO COMBINING (MRC) UNTUK MENGURANGI PENGARUH REDAMAN HUJAN DAN INTERFERENSI PADA SISTEM LMDS DI SURABAYA Syahfrizal Tahcfulloh1,2, Suwadi1, Gamantyo Hendrantoro1 1
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, INDONESIA 2 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Borneo Kampus Jl. Amal Lama No. 1 Tarakan, 77123, INDONESIA E-mail: [email protected]; {suwadi, gamantyo}@ee.its.ac.id
Abstrak— Local Multipoint Distribution Service (LMDS) merupakan teknologi yang digunakan pada komunikasi broadband dengan kapasitas dan bandwidth tinggi. Sistem ini menggunakan frekuensi gelombang milimeter yang permasalahan utamanya mempunyai redaman yang cukup besar terutama redaman akibat hujan apalagi di daerah tropis seperti Indonesia sehingga bisa menurunkan performansi sistem. Banyak cara yang dapat digunakan untuk mengatasi redaman hujan salah satunya teknik mitigasi Cell-Site Diversity (CSD) terutama MRC. Sel hujan bergerak yang melintasi daerah layanan sistem dapat melemahkan kinerja sistem pada sebagian daerah layanan tetapi bisa juga meningkatkannya bergantung pada kedudukan terminal station (TS), base station (BS) dan sel hujan bergerak. Redaman hujan pada beberapa lokasi LMDS telah ditentukan dari data pengukuran curah hujan di ITS Surabaya pada frekuensi kerja 30 GHz. Teknik CSD diterapkan berdasarkan rekomendasi ITU-R. Kinerja LMDS dinilai menurut besar carrier to interference (C/I) ketika sel hujan bergerak dengan dan tanpa CSD. Perbedaan ukuran sel LMDS juga turut dianalisa pengaruhnya. Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa teknik CSD memiliki kemampuan tinggi untuk meningkatkan kinerja sistem LMDS dalam mengatasi pengaruh redaman hujan dan interferensi antar sel. Kata Kunci— Cell-Site Diversity, MRC, sistem LMDS, redaman hujan, interferensi antar sel.
I. PENDAHULUAN Permintaan layanan teknologi komunikasi broadband seperti internet pesat data tinggi, video digital, broadcasting audio, konferensi video, telemedecine, teleeducation, ecommerce dan lain-lain dari suatu pemancar sentral ke user yang menggunakan teknologi LMDS semakin meningkat dengan cepat [1]. Hal ini didukung karena adanya efisien dalam biaya, instalasi jaringan mudah dan murah, dan mampu direkonfigurasi ulang. Sistem ini menggunakan frekuensi gelombang milimeter antara 20-40 GHz [2] dan berdasarkan arsitektur selular yaitu sinyal dikirim pada kanal yang tetap antara BS multi-directional ke TS yang tersebar di dalam sel [6]. Permasalahan pada sistem yang menggunakan frekuensi diatas 10 GHz adalah mempunyai redaman yang cukup besar terutama redaman hujan sehingga bisa menurunkan performansi dari sistem. Selain itu, besarnya redaman hujan sangat dipengaruhi oleh iklim dan letak geografik suatu wilayah. Indonesia merupakan daerah tropis dengan intensitas hujan yang tinggi akan mempunyai redaman hujan yang tinggi pula sehingga pengaruhnya harus dipikirkan sebagai parameter utama yang akan menentukan kondisi kanal pada penerapan sistem LMDS [4].
Sektorisasi sel pada sistem LMDS digunakan untuk meningkatkan kapasitas layanan jaringan dimana tiap-tiap sel mempunyai frekuensi dan polarisasi radiasi sama sehingga terjadi mekanisme frequency reuse yang merupakan penyebab utama terjadinya interferensi antar sel [2] dan interferensi ini meningkat dengan adanya trafik downlink yang lebih besar daripada uplink [3]. Sehingga dalam pembangunan sistem LMDS dibutuhkan metode perencanaan jaringan yang akurat untuk mempertimbangkan adanya C/I pada seluruh area layanan dan dibutuhkan sensitivitas tinggi untuk mengatasi fenomena meteorologi terutama redaman hujan. Beberapa teknik mitigasi telah dikembangkan untuk mengurangi redaman hujan seperti CSD, kontrol daya, dan modulasi adaptif. Diantara teknik mitigasi tersebut yang sangat efisien adalah CSD [7]. Menurut [5], dari beberapa teknik CSD maka MRC merupakan teknik yang memberikan diversity gain (DG) terbaik dan dianjurkan sebagai CSD pada gelombang milimeter. II. ASUMSI SISTEM LMDS Umumnya sistem LMDS menggunakan arsitektur seluler heksagonal, namun bentuk persegilah yang populer dijadikan pertimbangan dalam perancangan sistem komunikasi bergerak. Suatu sel terdiri atas satu BS dan beberapa TS. Satu sel tersektorisasi menjadi 4 sektor sebesar 90o. Gambar 1a memperlihatkan plan frekuensi untuk layanan LMDS. “A” dan “B” menyatakan polarisasi horizontal, sedangkan “a” dan “b” berarti polarisasi vertikal. Garis tebal menandakan batas sel. Pada satu sel, sektor yang bertetangga menggunakan polarisasi orthogonal untuk meminimalkan interferensi antar sel karena dapat menurunkan efisiensi bandwidth [7]. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1b yang mengacu Gambar 1a akan diperhitungkan C/I free space, TS1 dan TS2 secara berurutan berada pada sektor 1 di sumbu horizontal dan vertikal sedangkan TS3 berada pada sumbu diagonal dengan band frekuensi “a”. Antena BS adalah antena sektor yang berada di pusat sel dan beamwidth dari antena TS sangat sempit (3dB beamwidth = 8o degrees). Antena terminal pada TS1 searah dengan sumbu horizontal. TS1 menerima interferensi yang berasal dari sektor 2. Direktivitas antena yang tinggi pada antena terminal dapat menghilangkan interferensi yang berasal dari sektor lain. Sementara sektor 2 bertindak sebagai penginterferensi maka TS1 mengalami redaman jenis lain. Sehingga C/I dari TS1 untuk kondisi free space dapat dihitung dengan persamaan berikut [7]:
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
106
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
⎛r ⎞ C = 20 log ⎜⎜ 1 ⎟⎟ I ⎝ r2 ⎠
(1)
dimana r1 menyatakan jarak TS dari BS target, dan r2 menyatakan jarak TS dari BS penginterferensi.
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Plan frekuensi pada layanan LMDS, H = polarisasi horizontal, V = polarisasi vertikal, dan o = base station (BS); (b) Interferensi antar sel
Dengan perlakuan yang sama, TS2 dan TS3 secara berurutan menerima interferensi yang berasal dari sektor 4 dan sektor 3. Harga C/I pada TS2 dan TS3 dapat juga dihitung dengan persamaan (1). Harga C/I cenderung bertambah bila TS bergerak menuju BS target karena adanya daya sinyal target yang lebih besar dibandingkan daya sinyal penginterferensi dan redaman lain yang kecil. Sistem LMDS melayani user bersifat fixed dengan radius area tak melebihi 5 km dan komunikasi dari BS ke TS serta sebaliknya bersifat line-of-sight (LOS) dengan konfigurasi point to multipoint (PMP) untuk downlink dan point to point (P2P) untuk uplink. Arsitektur sistem selularnya dapat dilihat pada Gambar 2. Pada penelitian ini dibatasi untuk 9 sel atau konfigurasi 9 BS yang memiliki 4 frekuensi carrier (f1, f2, f2 and f4). Sistem LMDS memiliki ukuran sel 6 x 6 km2 sehingga ukuran tiap sektor selnya adalah 3 x 3 km2. Untuk mencapai tujuan penelitian ini maka hanya dibatasi untuk kejadian worst case yaitu TS berada pada salah satu sudut dari suatu sektor sel terjauh dari sistem LMDS yang diajukan untuk menunjukkan pengaruh redaman hujan yang berarti karena telah diketahui redaman semakin besar jika jarak layananya semakin jauh. Untuk memperhitungkan nilai C/I pada sistem LMDS maka parameter-parameter yang terdapat pada [8] akan diterapkan. Pada Gambar 2 juga memperlihatkan skenario bagaimana menghitung harga C/I untuk kondisi clear sky. TS berada pada posisi kiri bawah pada sektor suatu sel yang menerima sinyal tujuan C (ditunjukkan dengan panah berwarna putih) dari BS dan ada tiga interferensi dari BS1, BS2, dan BS3(ditunjukkan dengan anak panah berwarna hitam). Sinyal dari BS maupun dari BS1, BS2, dan BS3 memiliki frekuensi, polarisasi dan sektorisasi yang sama satu dengan yang lain. Redaman hujan dihitung menggunakan curah hujan ITU-R serta menurut [5] telah diperoleh curah hujan rerata sebesar 140.1 mm/h untuk wilayah Surabaya Indonesia pada frekuensi 30 GHz. Perhitungan panjang lintasan efektif menggunakan rekomendasi ITU-R P.530 [9].
ISSN: 2085-6350
Sel hujan bergerak menyebabkan redaman yang bervariasi sepanjang lintasan sehingga ada beberapa skenario diterapkan berdasarkan posisi hujan untuk dianalisa C/I-nya dan pengaruh kemampuan layanan pada daerah cakupan sistem LMDS serta ukuran selnya.
Gambar 2. Struktur dan skenario LMDS yang diajukan
III. CELL SITE DIVERSITY CSD merupakan salah satu teknik sederhana yang digunakan untuk mengatasi fading yang diakibatkan oleh pengaruh redaman hujan. Teknik ini memanfaatkan pengiriman data yang sama, melewati fading kanal dari BS yang berbeda-beda melalui beberapa lintasan yang saling bebas. TS memilih BS dengan sinyal yang paling baik dari ketiga BS atau mengkombinasi seluruh sinyal dari BS dalam kondisi pengaruh hujan [7] seperti pada Gambar 3. Suatu TS dilayani oleh tiga BS, dimana dalam hal ini BS1 (yang terdekat) menjadi hub referensi. Pada saat BS1 mengalami penurunan kinerjanya karena hujan, maka BS2 dan BS3 dapat menggantikan tugas BS1 dengan asumsi pada penerima terdapat teknologi untuk memonitor secara kontinyu dan simultan link penerima ke semua hub. Pada MRC, sinyal-sinyal sefase dari beberapa BS akan dijumlah sampai mencapai harga C/I threshold tertentu. Kinerja SD dinyatakan dalam DG yaitu selisih redaman dengan dan tanpa SD. Dari segi kinerja MRC memiliki kinerja yang lebih bagus dibandingkan dengan EGC maupun SC [7], walaupun memiliki konfigurasi yang lebih kompleks dan memerlukan biaya yang lebih besar dalam penerapannya. SD memberikan kemampuan TS untuk menggabungkan sinyal dari BS-BS untuk mencapai C/I terbaik. SD yang menggunakan teknik MRC akan menjumlah sinyal daya dari berbagai BS yang memiliki fase yang sama untuk mengurangi pengaruh redaman hujan dan interferensi agar diperoleh nilai C/I yang diperlukan. Pada Gambar 4 diperlihatkan skenario SD yang terjadi pada worst case bila BS target mengalami redaman hujan yang tinggi. Titik putih pojok kiri bawah menandakan sinyal yang diinginkan C datang dari dua BS sebagai SDBS yang menerapkan teknik MRC artinya dari kedua SDBS ini sinyal keduanya akan dijumlah untuk menerapkan SD. Perhitungan tanpa dan dengan SD akan dihitung dan diperbandingkan dalam fungsi C/I selama hujan dan interferensi terjadi.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
107
Gambar 3. Skenario CSD
IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN Dari Gambar 2, jarak antara BS target ke TS yang terletak pada sisi kiri bawah C adalah 4,2426 km, sedangkan jarak terhadap BS penginterferensi yaitu BS1, BS2, dan BS3 berturut-turut 21,2132 km, 15,2970 km, dan 15,2970 km. Jarak tersebut akan dinyatakan dalam jarak efektif dengan menggunakan formula yang terdapat pada [9]. Parameter polarisasi horizontal dan vertikal dari redaman hujan untuk frekuensi 30 GHz bisa ditentukan dengan [10]. Dengan parameter sistem LMDS pada [8], curah hujan hasil [5], maka akan diperoleh Gambar 5. Terlihat bahwa redaman hujan yang dihitung sepanjang lintasan efektif antara BS target dan TS untuk dua macam polarisasi menunjukkan bahwa redaman sangat tinggi terjadi pada polarisasi horizontal karena parameterparameter yang disebutkan pada [10] lebih besar nilainya daripada polarisasi vertikal. Dari grafik juga tampak bahwa untuk polarisasi horizontal redaman hujan tertinggi bernilai 71.73 dB sedangkan pada polarisasi vertikal sebesar 57.35 dB, dengan demikian pengukuran akan diwakilkan pada polarisasi horizontal. Pada Gambar 6 menunjukkan keadaan TS pada sel LMDS untuk kondisi dengan dan tanpa hujan. Nilai C/I terbesar diperoleh pada system LMDS dengan hujan daripada system LMDS tanpa hujan karena interferensi sinyal dari sel yang berdekatan terblok oleh hujan. C/I threshold sebesar 16.48 dB untuk jarak lintasan efektif 2,75 km. Selanjutkan akan diamati beberapa kejadian yang berkaitan dengan pergerakan sel hujan pada sistem LMDS, seperti: Case1: sinyal target (C) dan sinyal interferensi (I1) terlingkup hujan sementara I2 dan I3 tanpa terlingkupi hujan (worst case); Case2: C, I1 dan I2 terlingkupi hujan sementara I3 tidak; Case3: C dan I1 tanpa terlingkupi hujan sementara I2 dan I3 terlingkupi hujan; dan Case4: C, I1, dan I2 tanpa terlingkupi hujan sementara I3 terlingkupi hujan. Hasil simulasi dari Case1 sampai Case4 diperlihatkan pada Gambar 7. Case1 dan Case2, hujan berada pada posisi BS target dan TS sehingga sel hujan melingkupi lintasan pada C lebih tinggi begitu pula pada I1 sementara I2 dan I3 mengalami curah hujan dengan intensitas yang relatif lebih rendah sehingga C mengalami redaman hujan yang tinggi sementara penginterferensi rendah akibatnya harga C/I menurun secara cepat. Case3 dan Case4 menyatakan pada C tidak terlingkupi oleh hujan begitu pula dengan I1 sementara I2 dan I3 terlingkupi hujan yang sangat tinggi akibatnya harga C/I menjadi tinggi.
Gambar 4. Penerapan teknik side diversity pada BS
Gambar 5. Redaman hujan vs panjang lintasan pada frekuensi 30 GHz dan curah hujan rerata 140.1 mm/h
Menurut [7] harga threshold C/I yang diizinkan untuk sistem LMDS sekitar 11 dB yang dengan ukuran atau panjang lintasan tidak melebihi 2,82 km yang berarti Case1 atau worst case pada Gambar 7 selanjutnya yang diterapkan teknik SD untuk meningkatkan kinerjanya. Gambar 8 memperlihatkan pengaruh ukuran sel terhadap daerah cakupan sel untuk kondisi worst case. Jarak maksimum setiap sektor adalah 2 ukuran sektor jadi untuk ukuran sel 3x3 km2 maka panjang lintasan maksimumnya 3 2 setara dengan 4,2426 km dengan rerata C/I sebesar -8,673 dB, hal ini menandakan batas cakupan daerah layanan sistem. Sehingga jarak maksimum antara BS dan TS untuk curah hujan 140,1 mm/h mencapai sekitar 2 km. SD diterapkan untuk mengurangi pengaruh hujan dan interferensi pada worst case dengan menerapkan teknik MRC pada Gambar 4 maka nilai C/I bisa ditingkatkan dengan menjumlah sinyal dari dua SDBS untuk membantu kinerja pada kondisi worst case tersebut. Prosedur yang sama untuk menghitung panjang lintasan efektif akan diterapkan pada jarak TS ke SDBS yaitu 9,4868 km. Pada Gambar 9 diperlihatkan perbandingan antara LMDS dengan dan tanpa SD. Tampak dengan penerapan SD maka kinerja sistem LMDS terhadap hujan menjadi lebih baik dan stabil, hasilnya tertabulasi pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata C/I (dB) system LMDS untuk Worst Case
Curah Hujan (0.01 %) 140.1 mm/h
Rerata C/I (dB) system LMDS untuk Worst Case pada daerak sudut sel (d = 4.2456) Tanpa hujan Dg Hujan, Tanpa Hujan Perbaikan GD Tanpa SD & dengan SD 13.39 -8.673 48.82 57.493
Ukuran sel yang berbeda dengan penerapan SD diamati pengaruhnya, ternyata teknik SD akan tepat penggunaannya
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
108
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
untuk ukuran sel yang besar, karena untuk ukuran sel yang kecil maka sel hujan akan melingkupinya, hal ini ditunjukkan dengan nilai C/I pada Gambar 10. Untuk ukuran sel besar dengan menerapkan SD akan menghasilkan C/I yang besar. Dengan demikian terbukti SD adalah teknik yang tepat untuk mengurangi pengaruh hujan sekaligus interferensi yang bergantung pula dengan ukuran sel sistem LMDS. V. KESIMPULAN Dapat dinyatakan bahwa kinerja sistem LMDS dipengaruhi oleh curah hujan tinggi, frekuensi tinggi, polarisasi horizontal, dan panjang lintasan. Nilai C/I tertinggi diperoleh pada saat hujan karena hujan berkontribusi memblok interferensi antar sel. Cakupan daerah maksimum pada worts case dengan menggunakan SD lebib luas daripada tanpa SD. SD mampu memperbaiki kinerja sistem menjadi lebih baik dan stabil terutama pada daerah worst case.
Gambar 7. Pengaruh sel hujan bergerak pada sistem LMDS
REFERENSI [1]
Csaba Sinka, and Janos Bito, “Site-Diversity Against Rain Fading In LMDS Systems”, IEEE Microwave and Wireless Components Letters, Vol. 13, No. 8, Agustus 2003. [2] Fu-Tung Wang, and Mu-King Tsay, “Co-Channel Interference Assessment for LMDS Macroscopic Diversity Cellular Architecture”. [3] Hakegard, J. E., “Coding and Modulation for LMDS and Analysis of LMDS Channel”, J. Res. Natl. Inst. Stand. Tecnol., Vol. 105, pp. 721-754, 2002. [4] Kanellopoulos J.D, Koukolas S.G., “Outage Performance Analysis of Route Diversity Systems of Cellular Structure”, Radio science Vol.26, Number 4, pp. 891-899, 1991. [5] Mahmudah, H., “Prediksi Redaman Hujan Menggunakan Synthetic Storm Technique (SST)”, Thesis Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS, 2008. [6] Nordbotten, A., “LMDS System and Their Application”, IEEE Communication Magazine, Juni 2002. [7] Zaid Ahmad Shamsan Abdo, “Site-Diversity Against Rain Fading In LMDS Systems”, M. Eng Thesis University Technology Malaysia, 2007. [8] Chu, SY., Chen, KS., “The Effects of Rain Fading on the Efficiency of the Ka-Band LMDS Systems in Taiwan Area”, IEEE Transactions on Vehicular Technology Vol. 54, No. 1, 2005. [9] ITU-R P.530, “Propagation Data and Prediction Methods Required for Design of Terrestrial Line-Of-Sight Systems”, 2005. [10] ITU-R P.838-3, “Specific attenuation model for rain for use in prediction”, 2005.
Gambar 6. Rerata C/I pada frekuensi 30 GHz dan curah hujan rerata 140.1 mm/h
ISSN: 2085-6350
Gambar 8. Daerah cakupan maksimun vs ukuran sel untuk worst case
Gambar 9. Sistem LMDS dengan dan tanpa site diversity
Gambar 10. Ukuran sel sistem LMDS dengan site diversity
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
109
Estimasi Parameter Kanal dengan Algoritma SAGE pada Antena Array Kubus Yasdinul Huda1) 1) Jurusan teknik elektronika Univ. Negeri Padang/Mahasiswa S2 jurusan teknik elektro ITS Surabaya 60111, Indonesia [email protected]
Puji Handayani2), Gamantyo Hendrantoro3) 2) Jurusan teknik elektro ITS Surabaya, 60111, Indonesia [email protected] 3) Jurusan teknik elektro ITS Surabaya, 60111, Indonesia [email protected] Abstract— The Use of cube array antenna is one of solutions to improve the channel capacity of wireless communication. The purpose of this study is to investigate the channels estimation parameter of Delay, DoA (Direction of Arrival) in indoor area with SAGE (Space Alternating Generalized Expectation Maximization) algorithm at cubical array antenna based spherical. By using an array of spherical cubes with three-dimensional distribution will provide wider scan (angle Azimuth 360° (-π, π), and angle elevation 180° (0, π)), so that the performance of SAGE Algorithm as processing signals which have high resolution in separate incidence waves will be better. Keywords— Channel Estimation, Delay, DoA, SAGE Algorithm, Cubes Array
I. PENDAHULUAN
Peningkatan kapasitas kanal merupakan salah satu masalah utama dalam perancangan sistem komunikasi nirkabel, sehingga banyak penelitian ditujukan untuk menjawab tantangan ini, salah satu solusi adalah dengan penggunaan antena array kubus (hexahendral) berbasis spherical array, yaitu 8 elemen antena dipole sintetik ½λ yang disusun pada 8 titik sudut kubus sebagai antena penerima yang ditampilkan dalam Gambar 1. Penggunaan spherical array octahendral (6 elemen dipole ¼ λ) dalam [1] menyatakan bahwa dengan distribusi tiga dimensi penuh menyediakan pemenuhan scan lebih luas dengan level lobe yang rendah. Optimalisasi dari sistem komunikasi nirkabel memerlukan model realistis dari parameter kanal propagasi, dengan demikian karakter model yang diinginkan dari sifat masing-masing komponen lintasan jamak (Multipath Component, MPCs) seperti
amplitudo kompleks, time delay, sudut (elevasi dan azimuth) dari DoA (Direction of Arrival) perlu di estimasi. Berbagai metode untuk estimasi parameter kanal telah dilakukan, diantaranya adalah metode berdasarkan pendekatan ML (maximum likelihood) yaitu algoritma SAGE (SpaceAlternating Generalized ExpectationMaximization). Penggunaan algoritma SAGE sebagai estimasi parameter kanal diterapkan pertama kali oleh [2], sebagai algoritma yang memiliki resolusi tinggi dalam pemisahan sinyal lintasan jamak. Pada [1] telah diuji konvergensi, dan tingkat kesalahan bit (bir error rate) sebagai suatu fungsi dari SNR serta membuktikan Algoritma SAGE sukses sebagai teknik untuk mengekstraksi parameter beresolusi tinggi. Algoritma SAGE dalam makalah ini dilaksanakan dalam domain waktu berdasarkan training sequence dan digunakan untuk menggantikan prosedur optimisation tiga dimensional yang diperlukan untuk menghitung joint maximum likelihood estimation dari semua parameter dengan beberapa proses maksimalisasi secara terpisah, yang dapat dilakukan secara berurutan sehingga parameter DOA dapat ditentukan.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
110
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gambar 1. Lintasan propagasi sinyal multipath dari pengirim (Tx) ke penerima (Rx) [2]
=
II. MODEL PROPAGASI
Model lintasan diasumsikan seperti Gambar 1. menggambarkan lintasan sinyal propagasi dari pemancar Tx kepenerima Rx. Halangan yang berada dilingkungan propagasi menyebabkan refleksi, difraksi dan refraksi yang mengakibatkan sinyal akan melalui berberapa lintasan ( l = 1, 2,..., L ) berbeda (Multipath). Pengaruh dari perbedaan panjang lintasan sinyal akan mengakibatkan pergeseran relatif fasa antara komponen fasa utama yang bersuperposisi dengan komponen fasa lintasan lain, hal ini akan mengakibatkan penguatan atau redaman sinyal terima. Karakteristik kanal dalam sistem ini diwakili oleh dua gejala yaitu multipath dan adanya noise yang berdistribusi Gaussian, Additive White Gaussian Noise (AWGN) yang sifatnya menjumlahkan dengan sinyal informasi. Akibat dari penguatan dan redamann tersebut maka level sinyal terima global y(t) di antena penerima (2) akan mengalami fluktuasi sehingga sinyal pada lintasan akan terdelay, amplitudo diredam dan fase akan berubah. Untuk merekonstruksi sinyal asli, peristiwa sinyal-sinyal di atas harus downconverted dengan perkalian sinyal terima dengan sinyal dari osilator lokal. Setelah downconversion, sinyal itu difilter (lowpass filter) untuk mendapatkan sinyal baseband (1), model konversi sinyal diuraikan dalam ([1] pada gambar 2)
(
)
(
) (
)
(1) s t ; ζˆ = αˆ .c φˆ ,θˆ .u t − τˆ l′ l l l l dimana s( t ;ζˆl′ ) adalah signal individual untuk
lintasan
yang dominan dengan
1≤ l ≤ L,
l
αˆ l
adalah amplitudo kompleks, φˆl adalah sudut
azimut dan θˆl sudut elevasi dari sinyal datang pada masing-masing elemen array kubus dan τˆl
adalah time delay. Sinyal terima global di antena penerima adalah
ISSN: 2085-6350
y ( t ) = ⎡⎣ y1 ( t ) ,..., y M
( t ) ⎤⎦
T
(2) L No W (t ) + ∑ s t ; ζˆl ′ =1 l142 2 43 142 43 L K o m p o n n S in ya l A d d itive N o ise
(
)
dimana W(t) = [W1(t),..., WN(t)], n = 1, ..., M menyatakan noise process pada M elemen antena dan No adalah noise power spectral density, dengan nilai No = 2 berdasarkan [2]. Setelah diketahui training sequence [1] telah dikirim di sisi penerima dimungkinkan untuk mengkalkulasi korelasi antara sinyal yang diterima (yang berkorelasi selama penggunaannya) dan sinyal yang dihitung (tergantung pada parameter (DoA)). Dengan memaksimalkan fungsi korelasi dalam (5), kita dapat mengekstrak kembali parameter sinyal di atas dengan benar. III. ANTENA ARRAY KUBUS
Salahsatu solusi peningkatan kapasitas kanal adalah dengan mempertimbangkan jenis, posisi dan polarisasi dari antena (antena array) yang digunakan, dan termasuk didalamnya polaradiasi yang merupakan bagian dari steering vector dalam teknik DoA resolusi tinggi [3]. Steering vektor pada array kubus ini tidak hanya bergantung pada sudut azimuth φ , tetapi juga pada sudut elevasi θ . Steering vector dari array kubus diberikan sebagai berikut
(
)
c θ l , φ l =ˆ e
j 2π e θ l ,φl ,r λ
(
)
(3)
yang merupakan inner product dari vektor arah dan vektor lokasi serta perbedaan phasa yang datang di antena array, dimana e(θl ,φl ) adalah vektor arah
⎡sin (θl ) cos (φl )⎤ ⎢ ⎥ e (θ l , φl ) = ⎢sin (θ l ) sin (φl ) ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ cos (θl ) ⎥⎦ sedangkan r merupakan vektor lokasi dari 8 elemen dipole yang digunakan sebagaimana dalam Tabel 1. Konstruksi dari antena array kubus diberikan seperti dalam Gambar 2.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
111
TABEL 1. KOORDINAT ANTENA ARRAY KUBUS (HEXAHENDRAL) BERBASIS SPHERICAL ARRAY DENGAN RADIUS R = 0.1667 M ( FC= 900 MHZ, ANTENA DIPOLE
λ/2 )
Array Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8
x 0 0.1667 0.1667 0 0 0.1667 0.166 0
y 0 0 0.1667 0.1667 0 0 0.1667 0.1667
z 0 0 0 0 0.1667 0.1667 0.1667 0.1667
(
( ))
z τˆl , φˆl , θˆl , xˆl t , ζˆ = (4) H ⎡c φˆl , θˆl ⎤ ∫ u∗ t ′ − τˆl xˆl t ′, ζˆ dt ′ ⎣ ⎦
(
)
(
) ( )
dengan u∗( t ) merupakan complex conjugate dari sinyal yang diinginkan u( t ) (berdasarkan training sequence), dan diperbaiki dengan estimasi time delay τˆl . Operasi (.)H mewakili
θ
θ
φ
φ
θ
θ
operator Hermitean, yang merupakan complex conjugate transpose dari steering vector.
φ
Fungsi korelasi merupakan hasil perkalian antara hasil estimasi sinyal yang diterima (data lengkap) dari dekomposisi sinyal dengan Hermitean dari steering vector (dibentuk oleh sudut azimuth dari 00 sampai 3600 dan sudut elevasi dari 00 sampai 1800) yang merupakan cost function yang harus maksimal:
θ φ
Bagian terpenting dari algoritma SAGE adalah fungsi korelasi yang didefinisikan sebagai berikut
θ
θ
φ
φ
φ
Gambar 2. Antenna Array Volume 8 elemen dipole ½ λ
IV. ALGORITMA SAGE Algoritma SAGE [4] berdasarkan algoritma EM (Expectation - Maximization) [5] merupakan suatu metode kesatuan iterasi untuk memecahkan masalah MLE (maximum likelihood estimastion) dalam mengestimasi parameter komponen hidden dataset ζˆ .
Setiap step dari algoritma SAGE merupakan suatu estimasi untuk setiap subset komponen ζˆ , sekaligus mempertahan-kan estimasi parameter yang lain tetap. Karena algoritma SAGE merupakan pengembangan dari algoritma EM, maka algoritma SAGE ini juga melaksanakan tahapan Expectation dan Maximization, sehingga persamaan (6) dinyatakan sebagai Expectationstep (E-Step) dan persamaan (5) dikenal sebagaiMaximization-step (M-Step). Gabungan dari E-Step dan M-Step dikatakan step iterasi SAGE. Siklus iterasi SAGE terdiri dari L step iterasi SAGE, dimana subset data dari tiap gelombang di estimasi 1 kali. Dimulai dari suatu inisialisasi estimasi ζˆ = [0,0,...,0] suatu ∞
rentetan {ζˆ ( N )}n=0
estimasi dari
ζˆ
dapat
dihasilkan dengan melakukan siklus iterasi SAGE berturut-turut.
{ {( {( (
} )) } )) }
τˆl′′ = arg maxτ z τ , φˆl′ , θˆl′ , xˆl ( t ; ζˆ ) φˆ′′ = arg maxφ z τˆl′′ , φ , θˆl′ , xˆl ( t ; ζˆ θˆl′′ = arg maxθ αˆ l′′ =
1 N aTa
(
(
z τˆ′′, φˆl′′ , θ , xˆl t ; ζˆ
)
2
2
2
(5)
( ))
z τˆ′′, φˆ′′, θˆ′′, xˆl t ; ζˆ
dengan estimasi θˆ′′ merupakan MLE dari ζˆ yaitu θˆl′′ =(ζˆ ) ( xˆl ) , Na adalah jumlah elemen ML
array penerima kubus dan Ta adalah interval sampling pengamatan, dari (5) variabel yang terbaik merupakan nilai baru setelah iterasi. Setelah masing-masing step estimasi vektor ζˆ adalah di update dengan perhitungan sebelumnya. Sinyal terima xˆl ( t ,ζˆ ) dari satu lintasan sinyal (user/sumber) adalah dihitung berdasarkan pada sinyal terima global y(t) dan juga berdasarkan pada estimasi sinyal s( t ;ζˆl′ ) dari sumber interferensi yang lain (mungkin dikarenakan kanalnya sendiri, untuk kondisi Inter-symbol interference (ISI)):
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
112
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
( )
L
(
xˆl t , ζˆ = y ( t ) − ∑ s t ; ζˆl′ dengan
(
s t ;ζˆl′
)
l′=1 l′≠ l
)
(6)
adalah suatu signal individual
dan dapat juga dinyatakan sebagai complete data (data lengkap) dari l sinyal, dan ζˆ adalah hidden dataset dari sinyal individual. V. RANCANGAN SIMULASI
Parameter arah kedatangan sinyal (DoA) yang akan diestimasi, dapat dibatasi menjadi time delay τ l atau perbedaan panjang lintasan, sudut azimut φl dan sudut elevasi θl dari sinyal
datang pada masing-masing elemen array kubus dan amplitudo kompleks α l atau daya untuk setiap lintasan yang berarti/dominan. Semua parameter ini ditempatkan bersamaan dalam vektor ζˆl = ⎡⎣τˆl ,φˆl ,θˆl ,αˆl ⎤⎦ . Karena ada L (jumlah
lintasan) sinyal datang yang merupakan komponen lintasan jamak berbeda, maka semua vektor ini digabung dalam matrik
T
ζˆ = ⎡⎣ζˆ1,...,ζˆL ⎤⎦
.
Untuk menghitung korelasi antara sinyal yang diterima (yang berkorelasi selama penggunaan nya) dan sinyal yang dihitung (tergantung pada parameter (DOA)) kita memerlukan suatu inisialisasi yang sangat baik. Sinyal terima di array dikoreksi dengan mengurangi sinyal (interference) yang lain, bersamaan dengan inisialisasi yang sangat baik, model dari suatu sinyal juga harus diketahui. Konvergensi dari algoritma SAGE bergantung pada meningkatnya parameter inisialisasi dari ζˆ . Prosedur inisialisasi dimulai dari ζˆ = [0, 0, ..., 0] Dalam simulasi diasumsikan masing-masing user mengirim suatu training sequence yang diketahui berisi Nb bit. Sinyal pembawa dari BPSK (binary phase shift keying), dengan sinyal modulasi 900 MHz. Jumlah user Nu tersebar pada tiga dimensional, menghasilkan training sequence yang dipancarkan u(t) merupakan suatu kombinasi yang dikenali dari bit-bit ini. Simulasi pada tahap pertama diasumsikan tanpa penghalang (LOS, line-of-sight), dimana jumlah
ISSN: 2085-6350
dari user (sumber sinyal) Nu juga merupakan banyaknya lintasan L, parameter simulasi dalam tahap ini ditampilkan dalam Tabel 2. Dalam tahap ini analisis dilakukan dengan melihat hubungan nilai puncak/fungsi korelasi maksimum dari hasil estimasi algoritma SAGE. Disini algoritma SAGE dinyatakan akurat melakukan estimasi jika nilai parameter kanal yang dibangkitkan sama dengan nilai fungsi korelasi maksimum hasil estimasi (5). Pada tahap kedua kita mengevaluasi kinerja algoritma SAGE dari pengaruh SNR (signal to noise ratio) [0:10] dB dengan metode RMSE (root mean square error). Asumsi disini adanya sejumlah pengahalang (OLOS, obstructed lineof-sight) sehingga array penerima menerima sejumlah lintasan sinyal datang yang berasal dari satu sumber, Nu = 1 misal, L = 2, parameter simulasi dalam tahap ini ditampilkan dalam Tabel 3. Di bagian ini akan di analisa akurasi Algoritma SAGE terhadap perubahan SNR dalam melakukan estimasi paramater kanal pada array kubus, karena secara teori, semakin banyak sinyal yang diterima antena kubus maka noise yang diterima juga semakin besar, mengakibatkan sinyal yang dikirimkan (steering vector dan kanal rayleigh) dapat berubah dikarenakan noise, sehingga dapat mempengaruhi keakuratan algoritma FD SAGE dalam mengestimasi sudut kedatangan sinyal, delay, serta smplitudo kompleks. VI. HASIL DAN ANALISIS
Untuk mengevaluasi kinerja algoritma SAGE pada array kubus disini kita gunakan data sintetik, yang diimplementasikan dengan MATLAB. Untuk fungsi input u(t) sisi Tx digunakan u (t )= ∑i∞−∞ δ (t −iTa ) . Dalam makalah ini Algoritma SAGE kita gunakan untuk mengkalkulasi estimasi dari delay τˆl , sudut elevasi dan azimuth [φl ;θl ] dari gelombang datang dan amplitudo kompleks αˆ l dari lintasan yang berbeda. Berdasarkan Tabel 2. Kita akan mempertimbangkan suatu skenario dengan L = Nu = 3 mobile user, karena tidak ada reflections (pemantulan) diterapkan, banyaknya lintasan jamak L = 3. Array Kubus menerima sinyal di
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
113
delapan elemen Na = 8, dan jumlah sampling pengamatan, Ta = 20 sampling. Hasil simulasi pada Gambar 3 – 6 menampilkan estimasi 3 (user) lintasan sinyal berbeda Nu = 3, dengan masing-masing parameter estimasi kanal serta hasil estimasinya berdasarkan Tabel 2. terbukti bahwa nilai fungsi korelasi maksimum dari masing-masing parameter estimasi tersebut sama dengan hasil simulasi Algoritma SAGE yaitu fungsi korelasi maksimum delay estimasi (5) adalah pada nilai delay, dengan kata lain algoritma ini dapat melakukan estimasi dengan sangat akurat pada array kubus. Tingkat akurasi ini dapat dilihat bahwa nilai masing-masing parameter kanal yang dibangkitkan; τ delay, φ sudut azimuth dan θ sudut elevasi pada user 1-3 secara bertutut-turut sebesar [0ns; 1230; 430], [3ns; 600; 1110] [6ns; 2550; 1700], sama dengan hasil estimasinya yang berada pada fungsi korelasi maksimum (nilai puncak) (5) ; τˆ′′ delay estimasi, φˆ′′ sudut azimuth estimasi dan θˆ′′ sudut elevasi estimasi dari user 1 sebesar [0ns; 1230; 430], user 2 sebesar [3ns; 600; 1110] dan user 3 sebesar [6ns; 2550; 1700] dan kondisi ini juga diwakili oleh Tabel 2.
Gambar 4. Estimasi sudut azimuth dan elevasi [123; 43]° user 1, Ta = 20, Na = 8.
Gambar 5. Estimasi sudut azimuth dan elevasi [60;111]° user 2, Ta = 20, Na = 8. dB
TABEL 2. NILAI FUNGSI KORELASI UNTUK 3 MOBILE USER
Parameter Kanal
User 1
User 2
τ (ns) τˆ′′ (ns) φ (deg) φˆ′′ (deg)
l #1
0 0
l #2
User 3
3 3
6 6
123
60
255
123
60
255
θ (deg) θˆ′′ (deg)
43
111
170
43
111
170
l #3
Gambar 6. Estimasi sudut azimuth dan elevasi [255;170]° user 3, Ta = 20, Na = 8.
Gambar 3. Estimasi time delay user 1 – 3, [0; 3; 6] ns, Ta = 20, Na = 8.
Simulasi dalam Gambar 7. – 10. menampilkan estimasi error versus variasi nilai SNR dengan jumlah user, Nu = 1 yang mengalami 2 lintasan sinyal berbeda L = 2 sebagai akibat dari pantulan, datang pada array kubus. Nilai sudut azimuth, sudut elevasi dan delay sinyal pada lintasan sinyal 1 dan lintasan sinyal 2
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
114
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
ditampilkan pada Tabel 3. sedangkan nilai amplitudo kompleks yang merupakan random gaussian dengan daya total 1 mW dibangkitkan secara acak.
0 5
amplitudo 1 amplitudo 2
9 8 7 mean error (dB)
Grafik mean error time delay 1 0.8
Grafik mean error amplitudo kompleks 10
6 5 4 3
0.6 2 0.4 mean error (ns)
1 0.2 0 0
0
1
2
3
4 5 6 7 Signal to Noise Ratio (dB)
8
9
10
Gambar 10. Estimasi error amplitudo kompleks versus variasi SNR, Ta = 20, Na = 8, L = 2.
-0.2 -0.4 -0.6
TABEL 3. NILAI MEAN ERROR UNTUK 1 MOBILE USER PADA SNR 10 DB
-0.8 -1 0
1
2
3
4 5 6 7 Signal to Noise Ratio (dB)
8
9
Lintasan Sinyal
10
Gambar 7. Estimasi error time delay versus variasi SNR, Ta = 20, Na = 8, L = 2.
l #1
Elevasi (°)
Delay (ns) 0
37
22
mean error
0,5
0
0
l #2
77
58
5
0
0,1
0
mean error
Grafik mean error sudut azimuth
Azimuth (°)
9 37 77
8
mean error (derajat)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4 5 6 7 Signal to Noise Ratio (dB)
8
9
10
Gambar 8. Estimasi error sudut azimuth versus variasi SNR, Ta = 20, Na = 8, L = 2.
Grafik mean error sudut elevasi 4.5 22 58
4
mean error (derajat)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
1
2
3
4 5 6 7 Signal to Noise Ratio (dB)
8
9
10
Gambar 9. Estimasi error dari sudut elevasi versus variasi SNR, Ta = 20, Na = 8, L = 2.
ISSN: 2085-6350
Dari Gambar 7 terbukti bahwa Algoritma SAGE dapat mengestimasi time delay sinyal dengan sangat akurat (0 ns), atau nilai delay estimasi sama dengan nilai saat dibangkitkan [0;5] ns (artinya bahwa gangguan noise pada steering vektor untuk SNR sebesar 10 dB tidak mempengaruhi algoritma SAGE dalam melakukan dekomposisi sinyal), dengan kata lain estimasi delay sama sekali tidak terpengaruh oleh nilai level noise yang terjadi pada sinyal yang diterima. Sedangkan hasil pengamatan pada masingmasing grafik mean error dari lintasan sinyal 1 dan lintasan sinyal 2 untuk estimasi DoA (sudut azimuth dan elevasi) dan amplitudo kompleks pada Gambar 8. – 10. terlihat bahwa hasil estimasi algoritma SAGE akurat dengan mean error mencapai nilai 0° setelah nilai SNR yang relatif kecil yaitu 9 dB (artinya nilai SNR minimal yang dibutuhkan algoritma SAGE untuk dapat melakukan estimasi dengan baik adalah bernilai 9 dB), dan saat nilai SNR 1 dB sampai dengan 6 dB terjadi variasi mean error, namun pada saat nilai SNR di atas 6 dB nilai errornya kurang dari 1°. Semakin kecil nilai SNR, maka gangguan level noise yang terjadi pada sinyal akan semakin besar.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Lebih rincinya, untuk melihat tingkat akurasi algoritma SAGE untuk mengestimasi sudut kedatangan pada array kubus terlihat bahwa berdasarkan mean error yang terjadi sebesar; 0,5° pada lintasan 1 dan 0° lintasan 2 untuk estimasi error sudut azimuth saat SNR 10 dB (Gambar 7), 0° pada lintasan 1 dan 0,1° lintasan 2 untuk estimasi error sudut elevasi saat SNR 10 dB (Gambar 8). Sedangkan pada 0,1 dB pada lintasan 1 dan 0,6 dB pada lintasan 2 untuk estimasi error amplitudo kompleks saat SNR 10 dB pada kedua lintasan (Gambar 9)) pada estimasi amplitudo kompleks ini diketahui bahwa semakin besar nilai SNR maka hasil estimasi amplitudo kompleks juga akan semakin akurat. Error yang sangat kecil ini terjadi karena saat dekomposisi sinyal masih terdapat noise pada sinyal (proses dekomposisi sinyal tidak hanya untuk memisahkan data lengkap dari noise tetapi juga untuk memisahkan data lengkap antar sinyal), sehingga menyebabkan nilai sudut dan amplitudo yang dibangkitkan berbeda dengan hasil estimasi. VII. KESIMPULAN
Dalam makalah ini kami melakukan estimasi parameter kanal delay, DoA dan amplitudo komplek dari sinyal berbeda pada array kubus berbasis spherical array hexahendral dengan algoritma SAGE. Berdasarkan analisis dari tiga parameter (relative time delay, amplitudo kompleks dan 2 dimensional gelombang;
115
azimuth dan elevasi) dapat disimpulkan bahwa algoritma SAGE dengan array kubus dapat melakukan dekomposisi sinyal (dekomposisi data lengkap dari noise dan antar sinyal) dengan baik, sehingga dapat mengestimasi parameter kanal delay, DoA, dan amplitudo kompleks dengan tepat. Berdasarkan simulasi di atas terbukti bahwa estimasi yang baik pada nilai inisialisasi dapat mengurangi waktu proses perhitungan. Estimasi time delay dapat dilakukan dengan sangat akurat untuk nilai SNR dari 1 dB sampai 10 dB karena pada dasarnya time delay suatu sinyal pada domain waktu diestimasi berdasarkan pergeseran dari waktu sampling yang ada. REFERENCE [1] Verhaevert J., Lil E.V., Capelle A.V., “Direction of Arrival (DOA) parameter estimation with the SAGE Algorithm”, Elsevier Signal Processing, vol. 84, no. 3, pp. 619–629, Maret 2004. [2]
Fleury B. H., Tschudin M., Heddergott R., Dahlhaus D., and Pedersen K.I., “Channel parameter estimation in mobile radio environments using the SAGE algorithm”, IEEE Journal Select. Areas Commun.: wireless Communications Series, vol. 17, Mar. 1999. No. 3, pp. 34–449, Mar. 1999.
[3] Stutzman W.L. dan Thiele G.A., “Antenna Theory and Design”. John wiley and sons, pp. 108-109. 1981. [4] Fessler J.A. and Hero A.O. “Space-alternating generalized expectation maximization algorithm” IEEE Trans. Signal Processing, vol. 42, pp. 2664–2677, Oct. 1994. [5]
Dempster A. P., Laird N. M. and Rubin D. B., “Maximum likelihood from incomplete data via the EM algorithm” J. Royal Statist. Soc., Ser. B, vol. 39, no. 1, pp. 1–38, 1977.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
116
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Pemodelan Curah Hujan Non Stasioner di Kota Surabaya Menggunakan Model ARIMA Wiwinta Sutrisno, Achmad Mauludiyanto, Gamantyo Hendrantoro Laboratorium Antena dan Propagasi Teknik Elektro Kampus ITS Surabaya 60111 [email protected]; {maulud, gamantyo}@ee.its.ac.id
Abstrak— Attenuasi akibat curah hujan merupakan factor pembatas dalam propagasi gelombang millimeter. Sehingga untuk dapat memitigasi faktor ini kita harus memiliki pengetahuan dasar tentang distribusi curah hujan. Dalam penelitian ini, Auto Regressive Integrated Moving Average (ARIMA) diterapkan untuk memodelkan curah hujan univariate dengan melakukan differencing. Uji Augmented Dicky Fuller (ADF) digunakan untuk menguji apakah suatu event curah hujan adalah stasioner atau tidak. Jika event curah hujan non stasioner, akan mengalami differencing hingga stasioner dan selanjutnya kita dapat mengestimasi parameter ARIMA untuk event tersebut. Selanjutnya residual dari time series akan diuji apakah berdistribusi normal atau tidak. Dari hasil yang diperoleh ternyata ARIMA mampu memodelkan time series nonstasioner dan menghasilkan residual yang berdistribusi normal Keywords— Non-stanionary Rainfall, ARIMA, ADF test
I.
PENDAHULUAN
Curah hujan sebagai salah satu faktor pengganggu dalam sistem telekomuniikasi nirkabel khususnya dalam sistem komunikasi gelombang milimeter, memberikan efek redaman yang sangat besar, baik pada sistem komunikasi terestrial maupun pada system komunikasi satelit. Pengaruh redaman ini akan mengakibatkan turunnya kinerja sistem, hal ini dijelaskan oleh penelitian [1] dimana redaman akibat hujan mencapai 80 dB pada sistem komunikasi radio dengan frekuensi 30 GHz yang melalui lintasan sepanjang 5 km di Surabaya. Untuk dapat menganalisis redaman akibat hujan tersebut, maka kita harus dapat mengetahui sifat-sifat statistik dari curah hujan dengan pendekatan statistik yang tepat sehingga dihasilkan suatu model curah hujan yang akurat. Ada beberapa model regresi statistik yang telah dikembangkan untuk pemodelan curah hujan. Akan tetapi, semua model yang dikembangkan tersebut menggunakan asumsi bahwa curah hujan merupakan proses yang stasioner [2-5], padahal sebagian besar curah hujan merupakan proses yang tidak stasioner. Model ARIMA digunakan oleh untuk prediksi curah hujan di wilayah tropis Mexico[2]. Walaupun hasilnya cukup baik, akan tetapi kondisi curah hujan di Indonesia khususnya di wilayah tropis maritim seperti Surabaya berbeda dengan Mexico. Data yang digunakan juga merupakan data curah hujan setiap bulan selama 20 tahun, sehingga kelihatan trend nya adalah seasonal, sehingga lebih tepat jika menggunakan model SARIMA.
ISSN: 2085-6350
Penggunaan model Auto Regressive menghasilkan deviasi antara pengukuran dan simulasi yang semakin besar untuk curah hujan yang semakin tinggi[3]. Model ARMA yang digunakan juga mendapatkan hasil yang cukup berbeda untuk curah hujan stationer dan non stationer, dimana hasil simulasi menunjukkan hasil yang lebih baik untuk curah hujan yang stationer saja[4]. Selanjutnya, model Fuzzy-AR yang dikembangkan juga memberikan hasil yang lebih baik untuk curah hujan yang stationer saja [5] Curah hujan sebagai sebuah proses stokastik dapat memiliki sifat stationer atau non stationer. Sifat staioner ini dapat diuji dengan menggunakan Augmented Dicky-Fuller (ADF) Test. Bila curah hujan memiliki sifat yang non stationer, maka selanjutnya dilakukan differensiasi untuk mendapatkan deret yang “weakly staioner”. Proses selanjutnya dilakukan estimasi parameter AR dan MA. Untuk mendapatkan parameter terbaik untuk komponen autoregresi dan moving average nya, maka parameterparameter ini selanjutnya diuji dengan Akaike Information Criteria secara iteratif. Setelah parameter-parameter terbaik diperoleh, proses selanjutnya adalah membangkitkan data curah hujan yang baru sebagai data hujan hasil prediksi. Data ini selanjutnya dibandingkan dengan data curah hujan semula untuk melihat tingkat akurasi dari model yang dihasilkan. Untuk menguji model terbaik, model ARIMA ini selanjutnya dibandingkan dengan model regresi lainnya. Selanjutnya, model terbaik ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam teknik mitigasi curah hujan pada sistem telekomunikasi radio gelombang millimeter di Surabaya khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Tulisan ini dibagi atas beberapa bagian. Pendahuluan pada bagian pertama memberikan penjelasan singkat mengenai tulisan ini. Bagian kedua memberikan teori–teori yang digunakan. Informasi yang lebih detil mengenai metodologi pemodelan ARIMA diberikan pada bagian tiga. Contoh-contoh dan diskusi hasil pemodelan diberikan pada bagian empat. Pada bagian terakhir diberikan kesimpulan serta diskusi untuk penelitian lanjutan. II.
MODEL ARIMA
A. Differencing dan Model ARIMA Model ARIMA (Auto Regressive Integrated Moving Average) Auto Regressive Integrated Moving Average merupakan Varian Box-Jenkins dari model ARMA yang diperuntukkan untuk aplikasi time series nonstationer,
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
117
dimana time series yang non stationer diubah terlebih dahulu menjadi stasioner setelah dilakukan proses differencing. Differencing adalah sebuah operasi dimana time series yang baru dibangun dengan mengambil beda yang berurutan dari harga-harga yang berurutan, Yt – Yt-1 di sepanjang pola time-series non-stationer. Secara umum model ARIMA(p,d,q) terdiri dari tiga bagian, yaitu: komponen proses differencing sehingga time series non stanioner menjadi stationer setelah d proses differencing; komponen auto regressive AR(p) dan komponen moving average MA(q). Secara umum, persamaan untuk model ARIMA (p,d,q) dapat dilihat pada persamaan 1 dan 2 [6].
Dimana k dipilih sedemikian sehingga residualnya merupakan proses acak murni (white noise). III.
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian yang digunakan dapat dilihat pada gambar 1. Proses dalam metodologi penelitian ini dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan berikut.
A. Pengukuran Curah Hujan Pada penelitian ini, pengukuran curah hujan menggunakan disdrometer optik dengan software ASDO, dimana perioda pencuplikan tiap sepuluh detik. Lokasi pengukuran curah hujan adalah di kota Surabaya, tepatnya pada Laboratorium Antenna dan Propagasi Jurusan Teknik Elektro Kampus ITS, Surabaya. Konfigurasi pengukuran (1 - φ1 B − ... − φ p B p )(1 − B) d Yt = c + (1 − θ1 B − ... − θ q B q )et (1) dapat dilihat pada gambar 2.
dengan operator AR adalah φ p ( B ) = (1 − φ1 B − L − φ p B p ) dan operator MA adalah θ q ( B ) = (1 − θ 1 B − L − θ q B q ) .
Hasil pengukuran data curah hujan berbentuk file dengan format txt yang selanjutnya akan dirubah menjadi data time series pada tahapan berikutnya.
B. Pengolahan Data Curah Hujan Data hasil pengukuran selanjutnya diklasifikasi per event hujan. Event hujan merupakan peristiwa terjadinya hujan hingga hujan berakhir. Selanjutnya data event curah hujan ini dirubah menjadi data time series curah hujan dengan (2) melakukan pencuplikan data curah hujan untuk tiap sampel.
Menghasilkan persamaan ARIMA (p,d,q) yang lebih sederhana, yaitu:
φ p ( B )(1 − B ) d Yt = c + θ q ( B )et
Dimana, B adalah back shift operator atau operator tunda, p adalah orde AR, q adalah orde dari MA, dan d adalah orde differencing. Satu hal yang cukup menarik dalam model ARIMA ini adalah proses differencing. Proses ini membuat time series yang memiliki sifat non stasioner (memiliki trend) menjadi stasioner (trendnya hilang), sehingga dapat lebih mudah dianalisis.
C. Estimasi Parameter ARIMA Tahapan ini merupakan tahapan yang membutuhkan waktu dan langkah yang cukup banyak. Proses-proses pada tahapan ini dapat dijabarkan dalam langkah-langkah berikut.
B. Stasionaritas dan Augmented Dickey Fuller(ADF) Test Stasionaritas merupakan suatu sifat dimana time series berfluktuasi pada suatu mean yang konstan. Hal ini tentu saja cukup sulit dijumpai dalam kenyataan sehari-hari, dimana kebanyakan time series bersifat non stasioner. Sifat non stasioner ini mengandung arti bahwa mean dari suatu time series tidak konstan, atau dengan kata lain memiliki trend yang bisa bersifat deterministik atau juga dapat bersifat stokastik. Untuk itu kita harus dapat menguji sifat stasioner dari sebuah time series. Pada penelitian ini, sebuah uji Augmented Dickey Fuller digunakan untuk menguji sifat stasionaritas dari sebuah time series. Dalam ADF test, sebuah sistem hipotesa digunakan , dimana bila H0 lebih besar dari test value maka time series yang dimaksud bersifat non stasioner. Jika null hypotesis H0 kurang dari test value, maka time series bersifat stasioner. Persamaan umum dari uji ADF diberikan oleh persamaan 2 [7]. ∆Yt = α + β t + ( ρ − 1)Yt −1 + ... + θ 1 ∆Yt −1 + ... + θ k θ1 ∆Yt − k + u t
Gambar 1. Metodologi Penelitian
(2) Gambar 2. Konfigurasi pengukuran curah hujan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
118
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
D. Model ARIMA Dari model yang dipilih, selanjutnya akan diperoleh koefisien-koefisien dari parameter AR dan MA yang akan membentuk persamaan matematis dari model ARIMA. IV.
TABEL I.
HASIL UJI ADF UNTUK EVENT 11 DAN 14 H0
Testvalue
1%
5%
11
-2.3379
-3.96
-3.41
-3.12
Non stasioner
14
-3.24
-3.98
-3.98
-3.13
Non stasioner
Event
TABEL II. Event
Sifat
10%
HASIL IDENTIFIKASI MODEL UNTUK EVENT 11 DAN 14 Koefisien AR
Model
1
2
Koefisien MA c
1
2
11
(2,1,2)
-0.3157
-0.1961
-0.0079
-0.3112
-0.0559
14
(2,1,2)
-0.1694
-0.0902
-0.0001
-0.1636
-0.0442
Kurva Intensitas Curah Hujan event14.txt 90 80
Intensitas Curah Hujan (mm/h)
1) Uji Stasionaritas: Data time series curah hujan ini selanjutnya diuji stationaritasnya dengan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. 2) Differencing: Bila ternyata data time series curah hujan bersifat non stationer, maka harus dilakukan differencing terlebih dahulu untuk menghasilkan time series yang “weakly Stationer”. Proses ini dilakukan berulang (tapi dalam praktek tidak melebihi 2) hingga data menjadi weakly stationer. Jumlah proses differencing ini akan menentukan orde d dari model ARIMA (p,d,q) yang dihasilkan. 3) Estimasi parameter AR dan MA: Prosses estimasi orde AR dan MA ini dilakukan secara iteratif sehingga membentuk model ARIMA. Yang perlu menjadi perhatian adalah estimasi orde dari AR dan MA tidak boleh terlalu besar, karena hal ini akan menyebabkan kesalahan dalam penentuan model. Dalam banyak aplikasi, orde AR dan MA jarang sekali melebihi orde empat. 4) Diagnostic Check: Estimasi parameter memberikan beberapa model yang berbeda untuk satu data event curah hujan. Untuk memilih model terbaik maka dilakukan uji Akaike Information Criteria (AIC), dimana model dengan AIC terkecillah yang digunakan sebagai model terbaik.
70 60 50 40 30 20 10 0
0
100
200
300 400 Indeks Sampel
500
600
700
Gambar 4. Time series event hujan 14 tanggal 12 Desember 2008
HASIL DAN ANALISIS
Sebagai studi kasus, misal diambil dua event hujan 11 tanggal 10 Desember 2008 dan event 14 tanggal 12 Desember 2008. Dengan program Matlab, kedua event hujan ini dirubah menjadi time series seperti disajikan pada gambar 3 dan 4. Selanjutnya kedua time series tersebut diuji sifat stasionaritasnya dengan uji ADF, dimana kedua event hujan tersebut memiliki sifat non stasioner seperti dijabarkan dalam tabel 1. Dengan demikian, harus dilakukan differencing hingga menjadi “weakly stasioner”. Proses differencing 1 kali sudah membuat time series menjadi stasioner, sehingga orde d dari event 11 dan 14 menjadi 1.
Gambar 5. Histogram dan QQ Plot dari residual event hujan 11 tanggal 10 Desember 2008
Proses berikutnya adalah mengestimasi orde dan parameter-parameter AR dan MA seperti diperlihatkan dalam Tabel II. Dari Tabel II terlihat bahwa kedua event memiliki kesamaan model yaitu model ARIMA (2,1,2) tetapi dengan koefisien bobot yang berbeda. Kurva Intensitas Curah Hujan event11.txt 250
Intensitas Curah Hujan (mm/h)
200
150
100
50
0
0
50
100
150 200 250 Indeks Sampel
300
350
400
Gambar 6. Histogram dan QQ Plot dari residual event hujan 14 tanggal 12 Desember 2008
Gambar 3. Time series event hujan 11 tanggal 10 Desember 2008
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
119
TABEL III. HASIL UJI SHAPIRO-WILK UNTUK RESIDUAL EVENT 11 DAN 14 Value
Event
Model
11
(2,1,2)
0.7163
2.2e-16
14
(2,1,2)
0.6194
2.2e-16
w
p
Dari parameter-parameter yang ada dapat dibentuk persamaan matematis dari model ARIMA (p,d,q) untuk kedua event curah hujan. Event hujan 11 dengan model ARIMA (2,1,2) menghasilkan persamaan ARIMA: Yt = −0.079 − 0.3157Yt −1 - 0.1961Yt − 2 + et + 0.3112 et −1 + 0.0559 et − 2
2) Uji Augmented Dickey merupakan metode yang efektif dalam menguji sifat stasionaritas dari sebuah time series, dimana kita dapat mengatur daerah kepercayaannya, jika dibandingkan dengan uji visual melalui ACF dan PACF. 3) Residual dari model event curah hujan yang diuji memiliki distribusi normal. Atau dengan kata lain, residual dari model memiliki pola acak murni. Analisis mengenai residual ini juga dapat dilanjutkan dengan menggunakan Artificial Neural Network (ANN) sebagai penelitian lanjutan.
(3) DAFTAR PUSTAKA
Event hujan 14 dengan model ARIMA(2,1,2) juga menghasilkan persamaan ARIMA sebagai berikut: Yt = −0.0001 − -0.1694Yt −1 - 0.0902Yt − 2 + et + 0.1636et −1 + 0.0442et − 2 (4)
Dimana et adalah white noise. Untuk memeriksa apakah model yang dihasilkan memiliki residual yang berdistribusi normal, kita dapat menggunakan histogram dan QQ-plot dari residual, seperti disajikan dalam Gambar 5 dan 6. Dari Gambar 5 dan 6 terlihat bahwa kedua residual memiliki distribusi normal. Hal ini juga diperkuat dengan uji ShapiroWilk [8] pada Tabel III. Dari tabel tersebut, nilai w dari masing-masing event lebih besar dari p-valuenya. Hal ini membuktikan bahwa residual dari masing-masing event berdistribusi normal. Dari uji ini juga terlihat bahwa kedua event hujan tersebut memiliki trend yang deterministik dengan proses acak murni (white noise). V.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahsan dan analisis untuk event curah hujan 11 dan 14 yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan antara lain:
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7] [8]
Salehudin, M., Hanantasena, B., Wijdeman, L. (1999), ”Ka Band Line-of-Sight Radio Propagation Experiment in Surabaya Indonesia”, 5th Ka-Band Utilization Conference, hal. 161-165, Taormina, Italy. Sosa, Jorge., Sosa, Carlos., (2000), ”ARIMA Models In The Rain Attenuation Prediction In A Mexican Tropical Area”, IEEE Antennas and Propagation Society International Symposium, 2000., Volume 2, 16-21 July 2000 Page(s):546 – 549 Hendrantoro, G., Mauludiyanto, A., Handayani, P. (2004), ”An Autoregressive Model for Simulation of Time Varying Rain Rate”, 10Th International Symposium on Antenna Technology and Applied Electromagnetics and URSI Conference, Ottawa, Canada. Yadnya, M. S. (2008), "Pemodelan ARMA Curah Hujan di Surabaya", Tesis Master, Telekomunikasi Multimedia, ITSSurabaya. M. Rusdi, G.Hendrantoro, A.Mauludiyanto(2009), “Modelling of Rain Rate in Surabaya using Fuzzy Autoregressive (Fuzzy AR)”, International Seminar on Science and Technology ISSTEC, UII, Yogyakarta. Cryer, Jonathan D., Chan, Kung-Sik., (2008), “Time Series Analysis With Applications in R, Second Edition”, Springer Science+Business Media, LLC. Kirchgässner, Gebhard., Wolters, Jürgen., (2007), “Introduction to Modern Time Series Analysis”, Springer-Verlag Berlin Heidelberg Shapiro, S.S., Wilk, M. B. .,(2005), “An Analysis of Variance Test for Normality (Complete Samples)” , Biometrika, Vol. 52, No. 3/4. (Dec., 1965), pp. 591-611
1) Model ARIMA menghasilkan model yang cukup baik untuk curah hujan yang non stasioner melalui proses differencing.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
120
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
SELECTION COMBINING (SC) TERHADAP KANAL DENGAN REDAMAN HUJAN PADA SISTEM LMDS DI SURABAYA
Shinta Romadhona#1, Gamantyo Hendrantoro#2 Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Elektro Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, INDONESIA Email: [email protected]#1, [email protected]#2
Abstrak—Perkembangan teknologi layanan broadband yaitu high speed internet, digital video, audio broadcasting dan video conference dengan kapasitas besar dan bandwidth besar dari pemancar ke pengguna dengan menggunakan broadband wireless access (BWA) atau Local to Multipoint Distribution System (LMDS) yang beroperasi di frekuensi 20-40 GHz terus meningkat dengan cepat. Sedangkan sistem komunikasi millimeter di negara tropis seperti Indonesia, redaman hujan akan menjadi permasalahan yang penting mengingat daerah tropis mempunyai curah hujan tinggi dan efek redaman akan sangat terasa. Untuk mengurangi pengaruh ini, pada penelitian ini dilakukan analisa kinerja beberapa metode untuk mengoptimalkan kinerja sistem antara lain yaitu penggunaan modulasi adaptif, pengkodean rangkap (Convotional Code dan Reed Solomon) adaptif dan teknik diversiti. Analisa yang diperoleh akan sangat bermanfaat dalam evaluasi kinerja sistem komunikasi sehingga diperoleh sistem komunikasi yang handal dan tahan terhadap efek redaman hujan dan interferensi antar sel. Kata Kunci—Cell-Site Diversity, Sistem LMDS, redaman hujan, interferensi antar sel, Selection combining (SC).
I. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi layanan broadband yaitu high speed internet, digital video, audio broadcasting dan video conference dengan kapasitas besar dan bandwidth besar dari pemancar ke pengguna dengan menggunakan broadband wireless access (BWA) atau Local to Multipoint Distribution System (LMDS) yang beroperasi di frekuensi 20-40 GHz terus meningkat dengan cepat (Panagopoulos, 2002). Sistem LMDS menggunakan sistem selular untuk arsitektur jaringannya dengan sisi penerimanya tetap. Untuk bandwith LMDS dialokasikan untuk mengirimkan layanan broadband dengan konfigurasi. Sedangkan pada frekuensi diatas 10 GHz dipengaruhi oleh redaman hujan karena pengaruh dari link gelombang mikro (Fong, 2003). Sistem komunikasi millimeter di negara tropis seperti Indonesia, redaman hujan akan menjadi permasalahan yang penting mengingat daerah tropis mempunyai curah hujan tinggi dan efek redaman akan sangat terasa sekali (Timothy, 2001). Peristiwa ini sangat mempengaruhi penyampaian gelombang elektromagnetik karena dapat menyebabkan sinyal yang diterima terganggu point-to-point yang digunakan untuk pelanggan perumahan maupun komersial (Sinka, 2002). ISSN: 2085-6350
Sel hujan dapat menurunkan performa sistem pada bagian dari layanan area tapi hujan juga dapat memperbaiki kondisi ratio carrier to interference (C/I) di tempat lain tergantung pada lokasi Base Station, terminal station, dan sel hujan. Fluktuasi interferensi merupakan hal yang sangat penting pada prosedur perencanaan jaringan LMDS (Sinka, 2002). Interferensi antar sel yang berbeda dan noise dapat mengurangi efisiensi bandwidth yang diinginkan (Abdo, 2007). Dengan mempertimbangkan kondisi ini, C/I dari sinyal yang diterima dapat dihitung (Abdo, 2007). Salah satu teknik sederhana dan efisien untuk mengatasi efek yang diakibatkan redaman hujan adalah dengan menggunakan teknik diversity (Sinka, 2003). Pada metode selection combinig, penerima memilih sinyal yang paling baik. Dalam hal ini sinyal yang memiliki nilai SNR sesaat terbesar. Selection Combining menawarkan perbaikan performansi dari sistem komunikasi digital tanpa membutuhkan tambahan daya pada pengirim. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran di Surabaya khususnya di lingkungan ITS Surabaya. Pengukuran intensitas hujan di suatu lokasi pengukuran menggunakan disdrometer optik dengan memperhatikan pola pergerakan hujan, dengan menggunakan data cuaca berupa kecepatan dan arah angin yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Juanda digunakan untuk memprediksi redaman hujan SST. Hasil perhitungan redaman hujan SST Penelitian ini menggunakan data redaman hujan untuk lokasi Surabaya Indonesia yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan teknik Synthetic Storm Technique (SST) (Panagopoulos, 2002) sehingga bisa menunjukkan kinerja Site Diversity untuk meningkatkan C/I dengan pengaruh redaman hujan tropis terhadap sistem LMDS yang akhirnya bisa meningkatkan layanan menghasilkan statistik redaman hujan, yang akan digunakan untuk menerapkan teknik diversity khususnya Selection Combining, dari sini dapat di hitung C/I dalam keadaan clear sky dan hujan. II. PEMODELAN SISTEM Pada penelitian ini dilakukan pengukuran intensitas hujan dengan peralatan disdrometer. Pengambilan data curah hujan dilakukan periode Januari-Maret 2007 dan periode Nopember 2007- Februari 2008. Data tersebut kemudian digunakan untuk memprediksi redaman hujan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
yang terjadi di link yang lain atau multilink. Penggunaan metode adaptif yang memvariasikan rate pengkodean dan modulasi M-QAM merupakan dasar pemodelan sistem Transmisi Adaptif. Sinyal informasi yang telah melewati kanal yang dipengaruhi redaman hujan A[k], noise AWGN n[k], dan interferensi akan dilakukan pengolahan dengan teknik diversity. Hasil perhitungan probabilitas kesalahan simbol yang didapat dari single link akan dibandingkan dengan probabilitas kesalahan simbol yang didapat dari multilink, sehingga dapat dibandingkan link availability dan efisiensi bandwidth. Pada komunikasi multilink digunakan dengan teknik mitigasi yaitu Selection Combining (SC) dan Maximal-Ratio Combining Diversity (MRC), dimana Maximal-Ratio Combining Diversity (MRC) akan diteliti oleh rekan saya Bapak Syahfrizal Tahcfulloh yang dapat dilihat pada Gambar 1 dengan diagram alirnya berwarna putih Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi atas beberapa tahap seperti yang terlihat pada Gambar 1 diagram alir berikut:
121
dengan Februari 2008. Disdrometer ini mengukur titik hujan dengan cara tegangan di penerima akan berkurang bila ada titik hujan yang melewati laser beam (OTT, 2004) seperti pada Gambar 2. Disdrometer ini akan mendeteksi intensitas hujan dan waktu sampling yang digunakan adalah 10 detik. Hasil pengukuran akan ditampilkan dalam softwere ASDO yang disebut data parsivel, dan data intensitas hujan dalam bentuk file txt. Misalnya data yang diambil tanggal 06-112007, dapat dilihat pada Gambar 3 yang menunjukkan contoh kurva hasil pengukuran curah hujan hasil pengukuran menggunakan software ASDO dengan periode sampling 10 detik.
Gambar 2. Prinsip kerja sensor optik Disdrometer (OTT, 2004) Data yang diperoleh dari hasil pengukuran curah hujan harus diseleksi dan dikelompokkan terlebih dahulu. Langkah-langkah pemilihan data adalah sebagai berikut: 1. Mengelompokkan data sesuai dengan tanggal, bulan, tahun dan waktu terjadinya event hujan. 2. Mengelompokkan data sesuai event hujan. Yang dimaksudkan satu event hujan yaitu awal terjadinya hujan pada waktu tertentu dengan curah hujan mulai dari 0 mm/h berakhir sampai waktu tertentu dengan curah hujan 0 mm/h. Dalam satu hari kemungkinan terjadi beberapa kali event hujan, tergantung berapa kali hujan turun, berhenti dan turun lagi. Kurva Intensitas Hujan, 06Jan 071 70
Intensitas Hujan (mm/h)
60
50
40
30
20
10
0
Gambar 1. Diagram Alir Pemodelan Penelitian A.
Pengukuran Intensitas Hujan
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran intensitas hujan dengan alat disdrometer optik di lingkungan ITS Surabaya, alat ini diletakkan diatas atap gedung mesin dan analisa data dilakukan di Laboratorium Perambatan Gelombang Elektromagnetik dan Radiasi, Jurusan Teknik Elektro. Pengukuran berlangsung dari Januari 2007 sampai
0
50
100
150 Indeks Sampel
200
250
300
Gambar 3. Kurva intensitas hujan (mm/h) Menggunakan softwere ASDO B.
Metode Synthetic Storm
Data intensitas hujan yang diperoleh selanjutnya akan digunakan untuk memprediksi perhitungan redaman hujan sepanjang lintasan dengan orientasi link referensi di timur seperti pada Gambar 4. Dengan kata lain, arah kedatangan dan curah hujan tersebut dilakukan proyeksi terhadap
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
122
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
sepanjang lintasan komunikasi sehingga akan didapati hasil prediksi perhitungan redaman hujan untuk setiap link.
bagaimana pengaruh teknik diversity pada sistem komulikasi multilink seperti yang digambarkan pada Gambar 5. Hub 3 Hub 2
Hub 4 Hub 1
Gambar 4. Konfigurasi Multilink Langkah-langkah untuk menghitung redaman hujan SST multilink adalah sebagai berikut: 1. Mencari besarnya kecepatan angin pada link timur sebagai link referensi menggunakan persamaan 1. (1) v V r1 =
cos( 90 − θ )
dimana: V r 1 = kecepatan angin pada link 1
v θ
Sedangkan untuk kecepatan angin pada link ke-N dicari dengan persamaan 2. (2)
v cos( ψ − ( 90 − θ ))
dengan: V rN = kecepatan angin pada link ke-N (N=2,3,4,5) = sudut yang dibentuk antar link (kurang dari 900) Kecepatan angin yang didapatkan pada link akan digunakan untuk menghitung panjang segmen dari masing-masing link yaitu dengan mengalikan kecepatan angin pada link dengan waktu samplingnya (T). (3) ∆L = Vr × T
ψ
2.
3.
Redaman hujan pada masing-masing link dihitung dengan menggunakan persamaan 4. n −1 (4) A = aR b × ∆ L m
∑
j =0
m− j
j
dengan: A m = redaman hujan untuk m=1,2,..n ∆ L = panjang segmen R = intensitas curah hujan (mm/h)
a , b = parameter ITU-R untuk frekuensi 30 GHz Dimana nilai a dan b ini didapatkan dari Rec. ITU-R P.837-4 tahun 2005 yang sebesar a=0.2403 dan b=0.9485 untuk polarisasi Horisontal dan sebesar a=0.2291 dan b=0.9129 untuk polarisasi Vertikal.
C. Konfigurasi Sistem Multilink Penelitian ini menerapkan sistem terhadap pengaruh posisi link terhadap terjadinya arah dan curah hujan. Akhirnya dapat diketahui dan disimpulkan posisi link komunikasi yang terbaik. Selain itu akan diperhatikan ISSN: 2085-6350
Sistem komunikasi yang akan dikaji pada penelitian ini terletak pada variasi sudut kurang dari 90o. Dengan konfigurasi multi link tersebut, maka akan terjadi perbedaan waktu terjadinya redaman hujan antara link satu dengan yang lain. Dimana perbedaan tersebut bergantung pada arah angin datangnya curah hujan. D. Kecepatan Angin
= kecepatan angin = sudut kedatangan angin
V r1 =
Gambar 5. Konfigurasi Sistem Multilink
Pada metode SST, arah angin mempengaruhi pergerakan hujan dalam suatu lintasan, dimana dengan adanya pergerakan angin maka hujan tersebut bergerak sepanjang suatu lintasan (link). Pada synthetic storm technique angin bergerak dengan kecepatan terbatas (v) pada arah tertentu dan digunakan untuk merubah waktu sampling dari pengukuran intensitas curah hujan. Dari besarnya kecepatan angin pada arah tertentu maka dapat ditentukan kecepatan angin dalam lintasan (vr) pada link tertentu dan time sampling intensitas curah hujan sehingga dapat dilakukan suatu perhitungan untuk mendapatkan pembagi panjang lintasan (∆L) dari panjang lintasan efektif (L). Berikut merupakan data kecepatan angin yang diperoleh dari data Badan Meteorologi dan Geofisika Juanda Surabaya yang akan digunakan dalam perhitungan metode synthetic storm. E.
Parameter Sistem LMDS
Parameter – parameter yang digunakan untuk mendapatkan nilai S/N pada kondisi tanpa hujan (clear sky) adalah dengan menggunakan perhitungan yang bersumber dari (Chu, 2005). Dalam penelitiannya Chu menggunakan parameter LMDS yang diproduksi oleh New Bridge Corporation Canada. Nilai S/N yang didapat adalah nilai S/N clear sky (S/N)CS yang diperoleh dari hasil perhitungan link budget dikurangi dengan redaman hujan yang diperoleh dari simulasi. Diperoleh S/N clear-sky link budget. F.
Konfigurasi Jaringan LMDS
LMDS (Local Multipoint Distribution Service) adalah teknologi Broadband Wireless Access yang menggunakan sinyal microwave yang beroperasi antara 20 – 40 GHz, pada jarak yang dekat dengan kondisi line of sight (LOS). Sel yang terlingkupi pada umumnya berjarak sekitar 1-4 km (Sinka, 2002). Sistem ini menggunakan sistem selular untuk
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
arsitektur jaringannya dengan sisi penerimanya tetap. Untuk bandwith LMDS dialokasikan untuk mengirimkan layanan broadband dengan konfigurasi point-to-point yang digunakan untuk pelanggan perumahan maupun komersial. (Sinka,2002). Pada sel LMDS memiliki ukuran yang reguler dan tetap yang terdiri dari empat sektor, dimana empat sektor melingkupi satu Base Station dari 900 macam antena. Konfigurasi sistem terdiri dari 9 Base Station dengan empat sektor 900 per operasi sel yang terdiri dari dua frekuensi yang berbeda. Sel LMDS terdiri atas 4 sektor 90o yang semuanya dilayani oleh satu BS. Pada penelitian ini dibatasi untuk 9 sel atau konfigurasi 9 BS yang memiliki 2 frekuensi yang berbeda seperti yang diperlihatkan pada Gambar 6. Sistem LMDS atau BFWA memiliki ukuran sel 6 x 6 km2 sehingga ukuran tiap sector selnya adalah 3 x 3 km2 atau jika ada 9 sel berarti ukurannya 18 x 18 km2. Untuk kasus terburuk yaitu TS berada pada salah satu sudut dari suatu sektor sel terjauh dari sistem LMDS yang diajukan untuk menunjukkan pengaruh redaman hujan yang berarti karena telah diketahui redaman semakin besar jika jarak layananya semakin jauh. Pada Gambar 6 diperlihatkan skenario bagaimana menghitung harga C/I untuk kondisi tidak hujan. TS berada pada posis kiri bawah pada sektor suatu sel yang menerima sinyal tujuan C (ditunjukkan dengan panah berwarna hitam) dari BS dan ada tiga interferensi (ditunjukkan dengan anak panah berwarna hitam). Sinyal dari BS maupun dari BS1, BS2, dan BS3 memiliki frekuensi, polarisasi dan sektorisasi yang sama satu dengan yang lain.
123
Hasil perhitungan SNR tersebut digunakan untuk melakukan prediksi nilai SNR untuk waktu yang akan datang. Dalam penelitian ini channel coding yang digunakan adalah coding rangkap yaitu Convolutional Code dan RS-Code (Reed Salomon). Sistem pengkodean rangkap dan modulasi adaptif ini digunakan untuk dapat mentransmisikan data meskipun terdapat redaman hujan pada kanal. Kondisi lintasan juga berubah-ubah sehingga perlu adanya adaptasi pada proses pengiriman data. Untuk itu digunakan sistem transmisi adpatif yang bekerja sesuai dengan kondisi lintasan. Ketika kanal lintasan pada kondisi cuaca cerah, maka akan dikirim sistem dengan orde modulasi tinggi dan laju pengkodean yang tinggi dengan ketentuan BER tetap dijaga pada keadaan rendah, tetapi ketika kondisi lintasan buruk (nilai redaman hujan besar) maka sistem akan beradaptasi dengan menggunakan orde modulasi dan laju pengkodean yang rendah agar BER tetap pada kondisi rendah. Untuk mendapatkan kinerja dari sistem pengkodean rangkap dan modulasi adaptif ini, maka terlebih dahulu kita akan menentukan pasangan laju pengkodean rangkap dengan orde modulasi. Proses penentuan pasangan ini berdasarkan pada hasil simulasi yang telah dilakukan untuk tiap orde modulasi. H. Kapasitas Kanal Analisis kapasitas kanal digunakan untuk mengevaluasi efisiensi LMDS akibat redaman hujan, meliputi: 1. Analisis kapasitas kanal dengan kondisi clear sky tanpa pengaruh redaman hujan & interferensi. Kapasitas kanal Shannon: CCS= log2(1 + SNRCS) bps/Hz Dengan: (5) SNRCS = S Pt • Gt • G r ⎛ 4π ⎞ −2 − 2 N
Gambar 6. Skenario LMDS yang diajukan G. Sistem Pengkodean Rangkap Dan Modulasi Adaptif Untuk mengirimkan suatu informasi dari pengirim ke penerima, dilakukan beberapa proses terlebih dahulu terhadap informasi tersebut. Salah satunya adalah proses channel coding (pengkodean kanal). Channel coding berfungsi untuk menjaga informasi atau data digital dari error yang mungkin terjadi selama proses transmisi dengan cara menambahkan bit redundansi (tambahan) ke dalam data yang akan dikirimkan. Dalam proses coding, akan disesuaikan dengan kondisi kanal. Pada kondisi nilai SNR tinggi (kondisi cuaca cerah), digunakan teknik coding misalnya menggunakan kode konvolusional dengan laju paling tinggi sedangkan untuk kondisi kanal dengan nilai SNR yang lebih rendah digunakan pengkodean dengan laju kode yang lebih rendah yaitu penggunaan redundansi bit yang lebih banyak. Untuk menentukan laju pengkodean yang tepat, terlebih dahulu dilakukan pengukuran daya sinyal dan daya noise (SNR).
2.
=
kT
•⎜ ⎟ ⎝ λ ⎠
•L
Dimana: Pt = daya pada transmitter (W) Gt = gain antena pengirim Gr = gain antena penerima k = konstanta Boltzmann (J/°K) T = suhu noise sistem pada penerima (oK) λ = panjang gelombang (m) L = jarak antara TS ke BS target (m) Analisis kapasitas kanal dengan pengaruh redaman hujan tanpa adanya interferensi Kapasitas kanal Shannon : Crain= log2(1 + SNRrain) bps/Hz (6) Dengan: −A
(7) SNRrain = SNR 10 R 10 CS Dimana: AR = redaman hujan (dB) 3. Analisis kapasitas kanal pada kondisi clear sky dengan adanya interferensi. Kapasitas kanal Shannon : CInt= log2(1 + SINR) bps/Hz Dengan: SINR= S atau N +1
SINR-1 = SNR-1 + SIR-1 Dimana:
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
124
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
I
(8)
⎝ λ ⎠
kT
4. Untuk kondisi di bawah pengaruh hujan dan interferensi maka kapasitas kanal dinyatakan dengan : SIRrain = SIR 10 − Ai10 CS Dimana: AI = redaman hujan saat terjadi interferensi (dB). Kapasitas kanal diperoleh dari SINRrain -1 = SNRrain-1 + SIRrain-1 maka CRrainInt= log2(1 + SINRrain) bps/Hz I.
Menghitung Efisiensi Bandwidth Untuk menghitung efisiensi bandwidth pada sistem ACM dengan dan tanpa CSD menggunakan persamaan 9 yaitu R = N (9) ∑ log ( M ) P ( M ) i =0
B
i
2
i
Maka dapat dijabarkan menjadi : R B
B.
Redaman Hujan Multi Link
Curah hujan yang terjadi telah mengakibatkan redaman hujan yang akan terjadi pada sistem komunikasi. Penelitian ini menganalisa pengaruh redaman hujan pada sistem komunikasi multilink sesuai dengan konfigurasi multilink. Redaman hujan pada tiap link dari konfigurasi dengan jarak 4km ditunjukkan pada Gambar 8. Kurva CCDF A[k] pd link 4km,VERTIKAL
1
10
link TIMUR link TIMURLAUT 0
10 Prob.[Redaman > absis] %
−2 SIRCS = S = Pt • Gt • G r ⎛⎜ 4π ⎞⎟ • I − 2
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
= log 2 ( M 0 ) P ( M 0 ) + log 2 ( M 1 ) P ( M 1 ) +
(10)
log 2 ( M 2 ) P ( M 2 ) + log 2 ( M 3 ) P ( M 3 )
-5
10
0
20
40
= 0 + 2.P ( 4QAM ) + 4.P (16QAM ) + 6.P (64QAM )
dimana M0 menyatakan tidak terdapat transmisi (outage), M1 adalah modulasi 4QAM, M2 menyatakan modulasi 16QAM, dan M3 adalah modulasi 64QAM. III. ANALISA HASIL SIMULASI A.
Curah Hujan di Surabaya
Pengukuran intensitas curah hujan dilakukan khususnya di daerah Surabaya guna mengetahui kondisi intensitas curah hujan yang mempengaruhi redaman hujan, dimana hasil pengukuran tersebut ditunjukkan pada Gambar 7. Kurva CCDF Curah Hujan di Surabaya Hasil Pengukuran Disdrometer Data 7 bulan
1
10
100
120
140
Gambar 8. CCDF Redaman Hujan MultiLink Penelitian ini mendapati bahwa Link yang sejajar dengan arah kedatangan angin yaitu link Timur akan didapati redaman hujan paling kecil. Analisa tadi juga dilakukan pada link dengan jarak 4, 2426 km, dan 21,2132 km sehingga dapat disimpulkan bahwa panjang link komunikasi mempengaruhi secara langsung terhadap kinerja dari sistem. Dimana semakin jauh panjang link akan mengakibatkan redaman yang semakin besar. C. SNR Multi Link Setelah data redaman hujan Ak multilink telah diperoleh, selanjutnya akan diperoleh pula data (S/N)k multilink untuk panjang lintasan 4,2426 km dan 21,2132 km. Gambar 9 merupakan kurva (S/N)k untuk link pada jarak 4,2426 km.
0
Kurva CDF SNR[k] Link 4.2426 km,VERTIKAL
10
1
10 -1
link TIMUR link TIMURLAUT
10
X: 140.9 Y: 0.01001
-2
0
10
10
-3
10
-4
10
-5
10
0
50
100
150 200 250 300 Curah Hujan (mm/jam)
350
400
450
Gambar 7. Kurva CCDF Curah Hujan di Surabaya Penelitian ini mendapatkan nilai curah hujan yang cukup tinggi yaitu 140.1 mm/jam pada peluang kemunculan 0.01% dalam satu tahun.
Prob.[SNR > absis] %
Prob.[Curah Hujan > absis] %
60 80 Redaman (dB)
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
-5
10 -100
-80
-60
-40 -20 SNR [k] (dB)
0
20
Gambar 9. Kurva (S/N)k Multilink ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
40
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
125
Sehingga dapat disimpulkan semakin besar jarak dari link komunikasi maka semakin besar pula redaman yang terjadi sehingga mengakibatkan rendahnya (S/N)k yang diperoleh dan begitu pula sebaliknya. Data-data SNR tersebut akan dilakukan pengolahan lebih lanjut guna mengamati kinerja dari sistem komunikasi gelombang milimeter. D. Redaman Hujan Pada Saat Interferensi Pada kasus terburuk yaitu TS berada pada salah satu sudut dari suatu sektor sel terjauh dari sistem LMDS yang diajukan untuk menunjukkan pengaruh redaman hujan yang berarti karena telah diketahui redaman semakin besar jika jarak layananya semakin jauh. Dengan demikian jarak sangatlah mempengaruhi nilai redaman hujan, ini dapat dibuktikan melalui Gambar 10. Dimana Base Station yang bejarak 21.2132 km, bersudut 88.08980 dari referensi timur memiliki redaman yaitu 95,78 dB yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa interferensi dari base station lain. Pada Gambar 11 dapat dilihat dimana Base Station yang berada pada jarak 4,2426 km, bersudut 450 dari referensi timur memiliki redaman 9,383 dB. 100 link 88.0898 derajat 90 80
Redaman Hujan (dB)
70 60 50 40 30 20 10
0
10
20
30 40 Indeks Sampel
50
60
70
Gambar 10. Kurva redaman hujan dengan jarak 21,2132 km Kurva Redaman Hujan 130208, 4.2426 Km 12 link TIMUR LAUT
Redaman Hujan (dB)
10
8
6
4
2
0
0
20
40
60 Indeks Sampel
80
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Perubahan kondisi global telah menyebabkan meningkatnya intensitas hujan yang terjadi. Nilai intensitas hujan di Indonesia khususnya Surabaya sebesar 140,1 mm/jam dengan peluang kemunculan 0.01% dalam satu tahun. 2. Link yang sejajar dengan arah kedatangan angin yaitu link Timur akan didapati redaman hujan paling kecil. Sedangkan link yang berada tegak lurus terhadap araha kedatangan angin akan terkena redaman hujan yang paling besar. 3. Redaman hujan yang diakibatkan penggunaan polarisasi vertikal akan lebih kecil dibandingkan dengan Redaman hujan yang diakibatkan penggunaan polarisasi horisontal. 4. Nilai redaman semakin besar jika jarak layananya semakin jauh.
REFERENSI
Kurva Redaman Hujan dengan interferansi 130208, 21.2132 Km
0
IV. KESIMPULAN
100
120
Gambar 10. Kurva redaman hujan dengan jarak 4,2426 km
Timothy. K. I., dan Choo E. B. L., “Performance Of The Site Diversity Technique In Singapore: Preliminary Results,” IEEE Commun. Lett., vol. 5, No. 2, pp. 49-51 februari 2001. Panopoulos. A. D., dan Kanellopoulos. J. D., ”Cell – Site Diversity Performance of Milimeter – Wave Fixed Cellular System Operating at Frequencies Above 20 GHz,” IEEE Antennas and Wirelees Propagation. Lett, vol. 1, pp 183-185, 2002. Fong. B., Rapajic. P. B., Hong. G. Y., dan Fong. A. C. M, “The Effect of Rain Attenuation on Orthogonally Polarized LMDS System in Tropical Rain Regions,” IEEE Antennas and Wirelees Propagation. Lett, vol. 2, pp 66-67, 2003 Chu. Y. C., Chen. K. S., “Effect of Rain Fading on Efficiency of Ka-Band LMDS System in The Taiwan Area”, IEEE Trans. On Vehicular Technology, Vol. 54, Jan. 2005. Sinka. C., dan Bito. J., “The Effects of Moving Rain Cell Over LMDS System. ,” COST Action 280, PM3027, 1st International Workshop July 2002. Sinka. C., dan Bito. J., “Site Diversity Against Rain Fading In LMDS Systems,” IEEE Microwave and Wireless Components Lett, vol. 13, pp 317-319, Agustus 2003. Nordbotten, A., “LMDS System and Their Application”, IEEE Communication Magazine 2000. Konstantinos P. L., Panagopoulos. A. D., Panayotis G. C., dan Bhaskar D. Rao, “On the Applicability of MIMO Principle to 10-66GHz BFWA Networks: Capacity Enhancement through Spatial Multiplexing and Interference Reduction through Selection Diversity.” IEEE Transactions On Communications, vol. 57, no. 2, February 2009 T.S Rappaport., Wireless Communications Principles and Practice, Prentice Hal Second Edition, 2002
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
126
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Glover, I., dan Grant P, Digital Communications, Prentice Hall, 1998 Abdo. Z. A. S, “Site-Diversity Against Rain Fading In LMDS Systems”, M. Eng Thesis University Technology Malaysia, 2007 Proakis J.G., Salehi M. (1998), “Contemporary Communication Systems Using Matlab”, PSW Publishing Company, Hal. 281. Hakegard, J. E, “Coding and Modulation for LMDS and Analysis of LMDS Channel”, J. Res. Natl. Inst. Stand. Tecnol., Vol. 105, 721-754, 2000
ISSN: 2085-6350
Liolis, K.P., Panagopoulos, A.D., Cottis, P.G., and Rao, B.D, “On the Applicability of MIMO Principle to 10-66 GHz BFWA Networks: Capacity Enhancement through Spatial Multiplexing and Interference Reduction through Selection Diversity”, IEEE Transactions on Communication, Vol. 57, No. 2, 2009 OTT, “Operation Instructions Present Weather Sensor Parsivel”, 2004
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
127
Sistem Pengukuran Kanal Radio Pita Lebar Dua Arah 3 Dimensi di Dalam Ruang Puji Handayani, Gamantyo Hendrantoro Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 60111 e-mail : [email protected], [email protected]
Abstract — Pengembangan sistem komunikasi nirkabel untuk mencapai target pengiriman data laju tinggi dengan mengoptimalkan pemakaian badwidth yang terbatas, mendorong pemakaian antenna jamak pada sisi pemancar dan penerima. Teknik transmisi yang dikembangkan pada sistem multi antenna tersebut memerlukan informasi yang akurat mengenai karakteristik kanal nirkabel dengan antenna jamak. Makalah ini membahas set up sistem pengukuran kanal radio dua arah di dalam ruang. Sistem terdiri dari antenna larik tiga dimensi pada pemancar dan penerima, network analyzer dan komputer. Dari sistem pengukuran ini akan diperoleh respon frekuensi kanal. Parameter-parameter kanal radio dua arah diperoleh dengan mengolah data respon frekuensi menggunakan suatu teknik tertentu. Keywords— kanal radio dalam gedung, sistem pengukuran
I.
PENDAHULUAN
Permintaan akses data dengan laju tinggi dan ketersediaan bandwidth yang terbatas pada jaringan komunikasi nirkabel mendorong penerapan sistem nirkabel multi antenna. Karakteristik umum kanal nirkabel adalah fading. Pemanfaatan antenna jamak pada sisi penerima dengan menerapkan diversity spasial akan meningkatkan SNR rata-rata. Sistem ini akan mengatasi fading yang terjadi pada kanal sehingga transmisi data laju tinggi dapat dicapai untuk availability sistem tertentu yang ditetapkan [1]-[2]. Sistem multi antena pada sisi pemancar dan penerima memungkinkan transmisi data melalui kanal-kanal parallel dalam lingkungan yang kaya dengan penghambur sehingga diperoleh peningkatan kapasitas yang signifikan [3]. Jika karakteristik respon kanal diketahui, dapat dilakukan pemrosesan sinyal di pemancar dan penerima untuk mendapatkan kapasitas sistem yang maksimal [4]-[5], dan kualitas sistem yang lebih baik meskipun fading pada kanal bersifat frekuensi selektif [6]-[7]. Untuk mendukung pengembangan sistem multi antenna tersebut, perlu dilakukan karakterisasi kanal nirkabel multi antenna yang meninjau aspek spasial dan temporal baik di sisi pemancar maupun di sisi penerima [8], yang dinamakan kanal radio dua arah (double directional channel). Penelitian mengenai karakteristik kanal radio spasio-temporal telah banyak dilakukan dan hasil-hasil yang dipublikasikan telah diadopsi sebagai bagian dari standar, misalnya pada COST (Co-operation in Science and Technology) 259 [9]-[10] dan
COST 273 [11] yang memodelkan dispersi delay dan sudut kedatangan dua arah pada berbagai lingkungan radio. COST 273 adalah pengembangan dari COST 259 dengan menambahkan lingkungan radio baru dan parameter hasil pengukuran yang lebih baru. Tidak seperti pada COST 259, pada COST 273, dispersi sudut kedatangan dua arah telah dinyatakan dalam variable azimuth dan elevasi. Pengukuran untuk mendapatkan parameter sudut kedatangan azimuth dan elevasi dua arah dengan menggunakan antenna larik dua dimensi dari jenis cross dipole larik lingkaran (UCA, Uniform Circular Array) atau persegi (URA, Uniform Rectangular Array), dilaporkan dalam [5] dan [12]-[16]. Penggunaan antenna larik jenis ini mengakibatkan estimasi elevasi sudut kedatangan bersifat ambigu. Kelemahan ini tidak terjadi bila antena larik yang digunakan berbentuk volume atau tiga dimensi. Penggunaan antenna larik volume dilaporkan dalam [17] untuk karakterisasi kanal radio urban makrosel dan [18] untuk pengukuran dalam ruang. Pada [17] antenna larik bola digunakan di sisi terminal bergerak (MS, mobile station) dan antena planar sintetik pada BS (base station). Pada [18], dilakukan dua pengukuran pada frekuensi berbeda, yaitu 2,55 dan 5,25 GHz. Pada 2,55 GHz, pemancar menggunakan antena larik patch silinder dengan coverage penuh pada azimuth dan coverage -55º sampai 90º pada elevasi, sedang penerima menggunakan larik monopole UCA dengan coverage penuh pada azimuth dan coverage 0 sampai 60º pada elevasi. Pada 5,25 GHz, pemancar dan penerima keduanya menggunakan antena larik patch silinder dengan coverage seperti pada antena pertama. Kontribusi baru yang diberikan pada sistem pengukuran yang dibahas pada makalah ini adalah penggunaan antenna larik volume sintetik berbentuk kubus baik pada pemancar maupun penerima. Geometri ini mempunyai array factor isotropis, sehingga proses estimasi parameter sudut kedatangan dan keberangkatan sinyal pada semua variabel azimuth dan elevasi akan mempunyai gain sama [19]. Ada 3 keunggulan yang akan diperoleh, pertama, parameter elevasi tidak ambigu, kedua, semua nilai azimuth dan elevasi memiliki gain sama, dan ketiga, sudut kedatangan dan keberangkatan diperoleh dari geometri antena larik yang sama sehingga tidak ada perbedaan preferensi karakteristik keduanya yang akan menyebabkan perbedaan karakteristik sudut kedatangan dan keberangkatan yang disebabkan oleh perbedaan antena larik yang digunakan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
128
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
II.
SISTEM PENGUKURAN
Dalam literatur terdapat tiga metode pengukuran respon kanal, yaitu pengukuran menggunakan transmisi pulsa, pengukuran dengan teknik spread spectrum, dan pengukuran dengan teknik penyapuan frekuensi (swept frequency) [20]. Pada metode pertama, hasil pengukuran adalah kuadrat konvolusi antara pulsa dengan respon impuls kanal. Resolusi waktu respon impuls kanal tergantung pada durasi pulsa yang ditransmisikan. Pada teknik kedua, respon impuls kanal yang diperoleh setelah hasil proses despreading, yaitu envelope carrier, dikonvolusikan dengan pulsa chip yang digunakan. Resolusi waktu yang diperoleh adalah 2 kali durasi chip. Metode ketiga adalah metode yang didasarkan pada hubungan dualitas antara domain waktu dan frekuensi. Pengukuran dilakukan di domain frekuensi menggunakan vector network analyzer (VNA). Hasil pengukuran adalah representasi respon impuls kanal di domain frekuensi, sedangkan respon impuls kanal pada domain waktu diperoleh setelah men-transformasikannya ke domain waktu menggunakan IDFT (invers discrete Fourier transform). Teknik ini menghasilkan informasi magnitude dan fase, tetapi sistem pengukurannya memerlukan kalibrasi yang baik dan sinkronisasi antara pemancar dan penerima. A. Kanal Radio Dua Arah Gelombang radio yang diradiasikan oleh antena pemancar akan sampai di antena penerima melalui beberapa lintasan propagasi yang berbeda tergantung pada lingkungan di sekitar pemancar dan penerima. Respon impuls kanal adalah representasi komponen-komponen lintasan jamak pada propagasi gelombang radio tersebut, kanal radio yang dimodelkannya dinamakan kanal radio pita lebar. Respon impuls kanal radio yang tidak berubah terhadap waktu (time invariant) dinyatakan dengan
dengan τl dan αl adalah delay dan amplitudo kompleks komponen lintasan jamak ke l. L adalah jumlah komponen lintasan jamak, sedang δ adalah delta Kronecker. Pengukuran kanal radio dengan metode yang telah dijelaskan sebelumnya dengan menggunakan antena tunggal pada pemancar dan penerima akan menghasilkan respon impuls pada (1). Informasi mengenai parameter spasial kanal yang dinyatakan dalam sudut datang dan sudut keberangkatan diperoleh dengan melakukan pengukuran menggunakan antena larik di pemancar dan penerima. Respon impuls yang diperoleh adalah respon impuls kanal radio dua arah, dan dinyatakan dengan
dengan τl, φl,T, θl,T, φl,R, θl,R berturut-turut adalah delay, azimuth keberangkatan, elevasi keberangkatan, azimuth kedatangan dan elevasi kedatangan komponen lintasan jamak ke l. B. Set up Pengukuran Metode yang digunakan pada sistem pengukuran ini adalah dengan teknik penyapuan frekuensi menggunakan
ISSN: 2085-6350
VNA HP8714C. Pada gambar 1, Port 1 VNA adalah port pemancar dan dihubungkan dengan antena larik kubus sintetik (CSA, cubical synthetic array). Elemen larik ini adalah antena bicone. Port 2 adalah port penerima, menggunakan antena larik dari jenis yang sama dengan pemancar. Untuk memperbesar lingkup ruang yang dapat diukur dan mengatur dynamic range pengukuran digunakan low noise amplifier (LNA) pita lebar PE1519 dan variable attenuator pada Port 2. Besaran yang diukur adalah koefisien transmisi S21. Reciever CSA LNA
Transmitter
Attenuator
CSA
HP8714C Port 1
Gbr 1.
Port 2
Komputer + Lab view
Sistem Pengukuran
Komputer dengan program Labview digunakan untuk mengendalikan pengukuran, dengan GPIB/USB 82357B sebagai interface komputer dengan VNA. Parameter pengukuran yang diatur melalui komputer adalah lebar pita frekuensi, jumlah titik frekuensi, sweep time, daya dari Port 1, dan parameter scattering yang diukur. Hasil pengukuran disimpan pada komputer dan diproses secara offline untuk memperoleh parameter kanal spasio-temporal. Lebar pita frekuensi yang akan diukur ditentukan berdasarkan kebutuhan resolusi waktu tunda dari respon impuls kanal. Jumlah titik frekuensi yang diukur pada lebar pita yang sudah ditetapkan ditentukan berdasarkan panjang respon impuls kanal yang ingin diperoleh. Sweep time yang diperlukan oleh VNA untuk mengukur respon kanal pada lebar pita frekuensi tertentu tergantung pada jumlah titik frekuensi Semakin banyak jumlah titik frekuensi semakin panjang sweep time. Sweep time juga tergantung pada lebar pita filter IF VNA, lebih pendek untuk lebar pita yang lebih lebar. Jika jumlah titik frekuensi dan lebar pita IF telah ditetapkan, sweep time yang lebih pendek diperoleh dengan memilih mode pengukuran auto mode dan menghindari sweep yang melewati bandcrossing frequency dari VNA [21]. Penentuan sweep time yang paling pendek dari konfigurasi pengukuran yang sudah ditetapkan merupakan hal yang penting karena perubahan kondisi lingkungan pada link radio dalam satu interval sweep time akan menghasilkan data yang tidak akurat [22]. Daya dari pemancar di Port 1 diatur berdasarkan dynamic range pengukuran dan prediksi redaman dari link yang diukur. Dynamic range VNA adalah 100 dB. Pada bagian berikut ini diuraikan dua jenis pengukuran yang akan dilakukan, yaitu pengukuran pertama untuk menentukan batas resolusi
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
waktu tunda dari kanal uncorrelated scattering, dan pengukuran kedua untuk karakterisasi kanal. C. Pengukuran untuk penentuan kondisi kanal uncorrelated scattering Pengukuran pertama ini dilakukan dengan menggunakan antena tunggal pada Port 1 dan 2. Pita frekuensi diambil cukup lebar untuk mendapatkan resolusi waktu yang cukup sempit, dan selanjutnya dianalisa korelasi antar komponen lintasan jamak pada respon impuls yang dihasilkan. Jumlah titik frekuensi tergantung pada lingkungan propagasi yang diukur karena berkaitan dengan prediksi delay komponen lintasan jamak terjadi. Salah satu contoh pengukuran tahap awal ini dilakukan di dalam laboratorium Gambar 2, dengan parameter dan set up pengukuran pada Tabel 1. Dinding batas dan sekat ruang terbuat dari tembok batu bata tebal 12,5 cm. Tinggi langit-langit 3,5 m. Jika daya dari Port 1 ditetapkan 16 dBm, dengan parameter pada Tabel 1 diperoleh daya sinyal komponen LOS (line of sight) sebesar -6,7 dBm. Level ini adalah level tertinggi yang mungkin terdapat dalam path yang terukur dan terdapat dalam dynamic range VNA. Komponen hasil pantulan dan hamburan akan mempunyai level kurang dari -6,7 dBm, sehingga dynamic range pengukuran adalah 83,3 dB.
129
2m
6,5 m 6m Tx 10 m Gambar 2.Denah Pengukuran
Hasil pengukuran
IDFT / temporal MUSIC
Respon Impuls
Analisa korelasi temporal
Proses pengolahan data hasil pengukuran tahap pertama dilakukan sesuai dengan Gambar 3. TABLE I PARAMETER DAN SET UP PENGUKURAN I Parameter Nilai Frekuensi bandwidth (B) 2,5-3 GHz Resolusi waktu 2 ns Jumlah titik (N) 201 Panjang respon impuls 400 ns Lebar pita IF 3,7 kHz Sweep time 125 ms Tingggi antena Tx 1m Rx 1m Gain antena total Tx dan Rx 3 dB Kabel, RG8U Panjang total 30 m Redaman total 7 ,3 dB Amplifier LNA, Gain 40 dB Jarak Tx-Rx 6,5 m Redaman ruang bebas 57,5 dB Attenuator 0 dB Daya output VNA maksimum 16 dBm Dynamic range VNA 100 dB Noise floor -90 dBm Daya input penerima maksimum 10 dBm Level sinyal LOS -6,7 dBm Dynamic range pengukuran 83,3 dB
Resolusi waktu tunda yang diperoleh akan digunakan pada penentuan lebar pita frekuensi pada pengukuran tahap kedua, yaitu pengukuran untuk pemodelan kanal radio pita lebar dua arah 3 dimensi. Hal ini berkaitan dengan syarat yang harus dipenuhi pada proses pengolahan data untuk mengestimasi parameter-parameter kanal, yaitu yaitu bahwa komponen-komponen lintasan jamak pada respon impuls kanal harus tidak saling berkorelasi.
Rx
Syarat kondisi uncorrelated scattering Gambar 3. Pengolahan hasil pengukuran
D. Pengukuran untuk Karakterisasi Kanal Pengukuran kedua dilakukan untuk mendapatkan parameter-parameter kanal spasio-temporal dua arah. Port 1 dan 2 pada VNA dihubungkan dengan SCA, masing-masing dengan jumlah elemen 8 yang terletak pada titik-titik sudut kubus dengan panjang sisi λ/2 dimana λ adalah panjang gelombang. Dengan elemen antena omni vertikal, konfigurasi ini menghasilkan pola radiasi pada Gambar 4, dengan lebar beam 3 dB pada bidang elevasi sebesar 110º dan beam serbasama ke arah azimuth. Penggunaan SCA membatasi kemampuan sistem pengukuran dari segi waktu yang diperlukan untuk mendapatkan satu set data berdimensi 8x8xN dari satu lokasi pengukuran. Waktu yang diperlukan tersebut adalah (8x8xTs)+(63xTsw) dengan Ts adalah sweep time dan Tsw adalah waktu perpindahan (switch) antar elemen. Dalam interval waktu tersebut kondisi lingkungan harus tetap agar antena larik sintetik dapat mewakili antena larik yang sebenarny a. Parameter-parameter spasio-temporal kanal diperoleh dengan mengolah hasil pengukuran menggunakan algoritma estimasi parameter kanal tertentu yang terdapat dalam literatur, misalnya MUSIC, ESPRIT atau SAGE. Diagram alir proses pengolahan data untuk mendapatkan model kanal radio dua arah terdapat pada Gambar 5. Parameter-parameter spasio-temporal kanal diperoleh dengan mengolah hasil pengukuran menggunakan algoritma estimasi parameter kanal tertentu yang terdapat dalam literatur, misalnya MUSIC, ESPRIT atau SAGE. Diagram alir proses pengolahan data untuk mendapatkan model kanal radio dua arah terdapat pada Gambar 5.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
130
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Pergeseran fase yang disebabkan oleh panjang kabel dapat dikoreksi dengan menambahkan delay sepanjang TC pada set up ‘port extention’ di VNA baik untuk kabel antara port 1 dengan antena maupun port 2 dengan antena. Hasil pengukuran juga tidak valid jika terjadi frequency offset sebesar ∆f terhadap frekuensi tengah dari filter IF, ini terjadi jika ∆f lebih besar daripada lebar pita IF VNA. ∆f tergantung pada bandwidth pengukuran (B), waktu sweep (Ts), dan delay karena panjang kabel TC [22].
Gambar 4. Pola radiasi antena larik kubus dengan elemen antena omni vertikal
Dengan set up parameter VNA pada Tabel 1, maka TC maksimum adalah 925 ns, ekivalen dengan panjang kabel 238,5 m. III.
Hasil pengukuran
Makalah ini membahas set up pengukuran kanal radio dua arah di dalam ruang menggunakan VNA. Pengukuran dibagi menjadi dua, yaitu pengukuran untuk menentukan kondisi kanal uncorrelated scattering dan pengukuran untuk karakterisasi kanal. Pada kedua pengukuran tersebut perlu diperhatikan keterbatasan-keterbatasan sistem pengukuran menggunakan VNA, set up parameter, dan disain link budget yang memenuhi dynamic range VNA. Pada pengolahan data setelah pengukuran, respon frekuensi perangkat-perangkat di luar VNA harus dihilangkan. Penggunaan antena larik sintetik pada pengukuran kedua di pemancar dan penerima, mengharuskan pengukuran dilakukan pada kondisi tetap sama untuk setiap elemen larik sampai diperoleh satu set pengukuran yang mewakili antena larik sebenarnya.
Estimasi parameter
Analisa statistik
Model kanal Gambar 5.Pengolahan data hasil pengukuran II
E. Kalibrasi Pengukuran Penggunaan VNA untuk mengukur koefisien transmisi (S21) memerlukan kalibrasi ‘through’ menggunakan kabel standar VNA. Kalibrasi ini dilakukan untuk meminimumkan kesalahan hasil pengukuran yang disebabkan oleh VNA sendiri. Kalibrasi dilakukan setelah set up parameter pada VNA ditetapkan. Pada pengukuran kanal radio, perangkat di luar VNA, yaitu amplifier, attenuator dan antena, termasuk pada kanal yang diukur. Karena itu karakateristik S21 dari setiap perangkat akan digunakan sebagai factor untuk menghilangkan pengaruh perangkat-perangkat tersebut pada kanal radio pada saat pemrosesan data. Karena itu sebelum perangkat tersebut digunakan perlu diukur S21 dari masingmasing perangkat. Panjang kabel yang digunakan mempengaruhi panjang respon impuls yang diperoleh. Panjang respon impuls sesungguhnya, Tim adalah :
dengan TC adalah delay perambatan gelombang pada kabel. Pada Tabel 1, dengan panjang kabel 30 m dan velocity factor 66%, maka TC adalah 150 ns, sehingga Tim adalah 250 ns. Ini ekivalen dengan jarak 75 m. Jarak ini sesuai dengan lingkungan propagasi di dalam ruang dengan banyak penghambur sehingga terdapat banyak komponen lintasan jamak.
ISSN: 2085-6350
PENUTUP
REFERENCES [1]
Saunders, S. R., Antennas and Propagation for Wireless Communication Systems, John Wiley & Sons, 1999. [2] Winters, J. H., “On The capacity of Radio Communication Systems with Diversity in Rayleigh Fading Environment”, IEEE JSAC, Vol. 5, No. 5, June1987. [3] Telatar, I. E., “Capacity of Multi-antenna Gaussian Channels”,Tech. note, AT&T Bell Lab., 1996. [4] Andersen, J. B., “Array Gain and Capacity for Known Random Channels with Multi Element Arrays at Both Ends”, IEEE JSAC, Vol. 18, No. 11, November 2000. [5] Goldsmith, A. J., Chua, Soon-Ghee, “Variable-rate Variable-power MQAM for Fading Channels”, IEEE Trans. On Communication, Vol. 45, No. 10, October 1997, pp. 1218-1230. [6] Lozano, L., Papadias, C., “Layered Space–Time Receivers for Frequency-Selective Wireless Channels”, IEEE Trans. On Communication, Vol. 50, No. 1, January2002, pp. 65-73. [7] Zelst, A. v., Schenk, T. C. W., “Implementation of a MIMO OFDMBased Wireless LAN System”, IEEE Trans. On Signal Processing, Vol. 52, No. 2, February 2004, pp. 483-494. [8] Steinbauer, M., Molisch, A. F., Bonek, E, 2001,”The DoubleDirectional Radio Channel”, IEEE Antennas and Prop. Magazine, vol. 43, No. 4, Agustus 2001, pp. 51-63. [9] Molisch, A. F., Asplund, H., Heddergott, R., Steinbauer, M., Zwick, T., “The COST259 Directional Channel Model–Part I:Overview and Methodology”, IEEE Trans. On Wireless Communication, Vol. 5, No. 12, December 2006, pp. 3421-3433. [10] Asplund, H., Glazunov, A. A., Molisch, A. F., Pedersen, K. I., Steinbauer, M., “The COST259 Directional Channel Model–Part II: Macrocells”, IEEE Trans. On Wireless Communication, Vol. 5, No. 12, December 2006, pp. 3434-3450.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009 [11] Molisch, A. F., Hofstetter, et al, “The COST 273 Channel Model”, COST 273 Final Report, L. Correira, Ed., Springer, New York USA, 2006. [12] Richter, A., Hampicke, D., Sommerkorn, G., Thoma, R. S., “Joint Estimation of DoD, Time-Delay and DoA for High-Resolution Channel Sounding”, IEEE Veh. Tech. Conf., 2000. [13] Haneda, K., Takada, J., Kobayashi, T., “Double Directional Ultra Wideband Channel Characterization in a Line of Sight Home Envirement”, Euro COST 273 TD(04) 160 Report, Duisburg, Jerman, September 2004. [14] Haneda, K., Takada, J., Kobayashi, T., “High Resolution Estimation of NLOS Indoor MIMO Channel with Network Analyzer Based System”, Proc. Personal Indoor and Mobile Radio Communication (PIMRC) 2003, Vol. 1, pp. 675-679, Beijing, China, September 2003. [15] Fleury, B. H., Jourdan, P., Stucki, A., “High Resolution Channel Parameter Estimation for MIMO Application Using the SAGE Algorithm”, 2002 International Seminar on Broadband Communications:Access,Transmission,Networking, Zurich, Switzerland, February 2002.
131 [16] Czink, N., Yin, X., Ozcelik, H., Herdin, M., Bonek, E., Fleury, B. H., “Cluster Characteristics in a MIMO Indoor Propagation Environment”, IEEE Trans. On Wireless Communication, Vol. 6, No. 4, April 2007, pp. 1465-1475. [17] Kaliola, K., H. Laitinen, H., Vainikainen, P., Toelsch, M., Laurila, J., Bonek, E., “3-D Double Directional Radio Channel Characterization for Urban Macrocell Application”, IEEE Trans. On Antennas and Propagation, Vol. 51, No. 11, November 2003, pp. 3122-3132. [18] Bonek, E., Czink, N., Holappa, V., M., Alatossava, M., Hentila, L., Nuutinen, J. K., Pal, A., “Indoor MIMO Measurements at 2.55 and 5.25 GHz, A Comparison of Temporal and Angular Characteristics”, ----[19] Baysal,U., Moses, R. L., “On The Geometry of Isotropic Array”, IEEE Transactions on Signal Processing, Vol. 51, No. 6, June 2003. [20] Rappaport, T. S., Wireless Communications Principles and Practice, Prentice Hall, 1996. [21] HP8714C User Manual [22] Street, A. M., Lukama, L., Edwards, D. J., “Use of VNA for wideband propagation measurements”, IEE Proc. Communication, Vol. 148, No. 6, December 2001.
.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
132
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Ekstraksi Fitur Berdasar GLCM dan GLRLM untuk Pengenalan Citra Massa Kistik Hari Wibawanto Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang Semarang , Indonesia [email protected] Adhi Susanto, Thomas Sri Widodo Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Gadjahmada Yogyakarta, Indonesia
S. Maesadji Tjokronegoro Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada Yogyakarta, Indonesia Abstract— We studied the effectiveness of texture features derived from gray-level run-lengh matrix (GLRLM) and graylevel co-occurrence matrix (GLCM) for classification of cystic masses and non-cystic masses in ultrasonograms. Twentythree (23) region of interest (ROIs) containing cystic masses and fifty-five (55) non-cyctic masses were extracted from ultrasonogram for this study. For each ROI of 50x50 pixels, eleven texture features from GLRLM and five texture features from GLCM were calculated. The importance of each feature in distinguishing cystic masses from non-cyctic masses was determined by linear discriminant analysis with SPSS version 11.5 program. As a result of a study, it was found that all eleven (11) features based on GLRLM can distinguishing cystic masses from non-cystic masses with an accuracy about 78.2%. It was also found that 2 (two) features (RLN and RP) have only small contribution on discriminating between cystic and non-cystic masses. As a comparison, five (5) texture features derived from GLCM can distinguishing cystic masses from non-cystic masses with an accuracy of 91%. The result demonstrate the feasibility of using texture features based on GLRLM and GLCM for distinguishing cystic masses from non-cystic masses of ultrasonogram.. Keywords—Gray-level Co-Occurrence Matrix, Gray-level Run Length Matrix, Ultrasonografi, massa kistik, massa nonkistik, fitur tekstur, analisis tekstur, analisis diskriminan
I.
PENDAHULUAN
Ultrasonografi banyak digunakan pada tahap diagnosis untuk mendapatkan citra organ bagian dalam yang tidak dapat dijangkau penglihatan manusia. Hasil ultrasonografi, yang disebut ultrasonogram, berupa citra hitam putih yang merupakan gema (echo) dari getaran ultrasonik yang dipantulkan oleh lapisan kulit dan organ bagian dalam. Citra semacam itu hanya dapat dibaca dan dipahami oleh ahli yang secara khusus belajar untuk itu. Kekeliruan dalam memahami citra ultrasonografi bisa berakibat fatal, karena hasil interpretasi menjadi dasar untuk tindakan medis selanjutnya. Ketergantungan penuh kepada ahli perlu diatasi, terlebih karena disadari bahwa keterbatasan fisik manusia, misalnya kelelahan, dapat mempengaruhi hasil interpretasinya terhadap citra ultrasonografi. Hakikatnya, ada perbedaan antara citra abnormal karena adanya 'sesuatu' di dalam tubuh manusia, dengan citra normal. Dalam hal adanya massa, baik kistik maupun solid, perbedaan itu tercermin pada adanya beda intensitas ISSN: 2085-6350
kehitaman antara citra normal dengan citra abnormal. Adanya massa, misalnya, dapat diketahui dengan adanya bagian citra yang relatif lebih hitam dibandingkan dengan sekelilingnya. Teknik analisis citra berbantuan komputer berpotensi untuk dapat mendeteksi adanya massa abnormal dalam jaringan tubuh manusia atas dasar kemampuannya untuk membedakan pola variasi intensitas kehitaman bagian citra yang dihasilkan sistem ultrasonografi. Dalam wujud 2-D, variasi ini dikenal sebagai tekstur. II.
ANALISIS TEKSTUR
Tekstur adalah adalah sifat yang dimiliki oleh permukaan benda. Pada lingkungan alami, permukaan objek seperti potongan kayu, rerumputan, hamparan pasir pantai, tekstil, kulit, dan sebagainya memiliki tekstur. Citra juga dapat dipandang memiliki tekstur yang terbentuk akibat variasi dan atau gradasi keabuan pada citra digital. Tekstur adalah fitur yang bergantung konteks, maksudnya, tekstur tidak dapat didefinisikan hanya dari piksel saja tetapi harus dalam kaitannya dengan piksel lain dalam suatu wilayah citra [1]. Salah satu metode analisis tekstur yang banyak digunakan adalah analisis tekstur secara statistis. Dalam analisis tekstur secara statistis, fitur tekstur dihitung dari distribusi statistik atas kombinasi intensitas pada posisi tertentu relatif terhadap yang lain di dalam satu citra. Bergantung pada intensitas titik (piksel) dalam setiap kombinasi, metode statistika ini diklasifikasikan ke dalam statistika orde-pertama, statistika orde-kedua, dan statistika orde-lebih-tinggi [2]. Metode analisis tekstur citra keabuan telah banyak diteliti. Tekstur sebenarnya sulit didefinisikan meskipun secara intuitif manusia mampu membedakan dua atau lebih citra yang berbeda penampakannya. Berbagai metode analisis tekstur diajukan, umumnya berdasar pada pendekatan statistis. Fitur-fitur yang digunakan dalam analisis tekstur secara statistis umumnya diekstraksi berdasar pada gray level cooccurence matrices, gray level difference matrices, gray level run length matrices, spektra daya Fourier, fungsi autokorelasi, dan model random-field. Metode ekstraksi fitur untuk analisis tekstur secara statistik yang banyak digunakan adalah metode gray-level
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
run-length matrix dan metode gray-level co-occurrence matrix. A. Gray-level Run-length Matrix Metode gray-level run-length matrix (GLRLM) adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengekstraksi fitur untuk keperluan analisis tekstur. Tekstur dipahami sebagai pola intensitas keabuan pada arah tertentu dari piksel referensi. Run lengths adalah banyaknya piksel berdekatan yang memiliki intensitas keabuan sama pada arah tertentu. Gray-level run-length matrix adalah matriks dua dimensi di mana setiap elemen p (i, j | θ ) adalah
banyaknya elemen j pada intensitas i , pada arah θ . Sebagai contoh, Gambar 1 berikut ini menunjukkan sebuah matriks citra berukuran 4x4piksel dengan 4 tingkat keabuan. Gambar 2 adalah representasi matriks GLRL (gray level runo length) pada arah 0º [ P (i, j | θ = 0 ) ].
133
1 nr
LRE =
N
∑∑ i =1 j =1
M
N
p (i, j ) 1 = j2 nr
N
∑∑ p(i, j ). j
2
=
i =1 j =1
1 nr
∑ j =1
2
⎞ ⎛M 1 ⎜ ∑ p (i, j ) ⎟ = ∑ nr j =1 ⎝ i =1 ⎠
2
N
2
(2)
r
j =1
1 nr
RLN =
(1)
N
⎞ ⎛ N 1 ⎜ ∑ p (i, j ) ⎟ = ∑ ⎟ ⎜ nr i =1 ⎝ j =1 ⎠ M
pr ( j ) j2
∑ p ( j ). j
1 GLN = nr
RP =
Gambar 1. Matriks Citra 4X4
M
1 SRE = nr
M
∑p i =1
g
(i) 2
N
(3)
∑ p (i )
2
j =1
(4)
r
nr np
(5)
Untuk semua formula di atas: nr = jumlah runs
n p = jumlah piksel dalam citra Berdasarkan hasil pengamatan bahwa kebanyakan fitur hanya merupakan fungsi dari pr ( j ) , tanpa memperhatikan informasi level keabuan yang ada dalam
Gambar 2. Matriks GLRL
Selain arah 0º, matriks GLRL (Gray-level Run-length) juga bisa dibentuk dengan melihat jumlah yang piksel berintensitas sama pada arah lain, misalnya 45º, 90º, atau 135º.
pg (i ) , Chu [4]
menambahkan 2 fitur lagi yang diberi nama Low Gray Level Run Emphasis (LGRE) dan High Gray Level Run Emphasis (HGRE). Fitur ini menggunakan level keabuan dari sejumlah piksel berurutan dan dimaksudkan untuk membedakan tekstur yang memiliki kesamaan berdasar fitur SRE dan LRE tetapi memiliki perbedaan dalam distribusi level keabuan.
LGRE =
HGRE =
M
N
p (i, j ) 1 = i2 nr
1 nr
∑∑
1 nr
∑∑ p(i, j ) ⋅ i
i =1 j =1
M
N
2
i =1 j =1
=
1 nr
M
p g (i )
i =1
i2
∑
(6)
M
∑ p (i ) ⋅i i =1
g
2
(7)
Dasarathy dan Holder [3] menambahkan 4 fitur lagi yang diekstrak dari matriks GLRL, yakni: Short Run Low GrayLevel Emphasis (SRLGE), Short Run High Gray Level Emphasis (SRHGE), Long Run Low Gray Level Emphasis (LRLGE), dan Long Run High Gray Level Emphasis (LRHGE). Gambar 3. Arah Run
Sejumlah fitur tekstur dapat diekstrak dari matriks GLRL. Galloway [3] mengusulkan 5 buah fitur tekstur berdasar matriks GLRL ini, yakni: Shot Runs Emphasis (SRE), Long Runs Emphasis (LRE), Gray Level Nonuniformity (GLN), Run Length Non-uniformity (RLN), dan Run Percentage (RP).
SRLGE =
SRHGE =
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
1 nr
1 nr
M
N
p (i, j ) 2 ⋅ j2
(8)
p (i, j ) ⋅ i 2 j2
(9)
∑∑ i i =1 j =1
M
N
∑∑ i =1 j =1
ISSN: 2085-6350
134
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
LRLGE =
LRHGE =
1 nr 1 nr
M
N
∑∑ i =1 j =1
M
p(i, j ) ⋅ j 2 i2
N
∑∑ p(i, j ) ⋅ i
2
(10)
⋅ j2
(11)
i =1 j =1
B. Gray-level Co-occurence Matrix Pada analisis tekstur secara statistis, fitur tekstur dihitung berdasarkan distribusi statistika dari kombinasi intensitas piksel pada posisi tertentu relatif terhadap lainnya dalam suatu matriks citra. Bergantung pada jumlah piksel atau titik intensitas dalam masing-masing kombinasi, dibedakan adanya statistik orde-pertama, statistik orde-kedua dan statistik orde-lebih-tinggi (higher-order statistics). Metode gray-level co-occurrence matrix (GLCM) adalah salah satu cara mengekstrak fitur tekstur statistika orde-kedua [2]. GLCM (yang disebut juga gray tone spatial dependency matrix) adalah tabulasi mengenai frekuensi atau seberapa seringnya kombinasi nilai kecerahan piksel yang berbeda posisinya terjadi dalam suatu citra [5]. Berikut ini adalah gambaran pembentukan GLCM atas citra dengan 4 aras keabuan (gray level) pada jarak d=1 dan arah 0°.
Gambar 5 Beberapa arah pembentukan matriks GLCM. Dari piksel di tengah (⊗) piksel 1 menunjukkan arah = 0° dengan jarak d =1, piksel 2 arah = 45° dengan jarak d = 1, piksel 3 arah = 90° dengan jarak d = 1, dan piksel 4 arah = 135° dengan jarak d = 1
Haralick [6] mengekstrak 14 fitur dari matriks cooccurence tersebut, meskipun dalam banyak aplikasi hanya beberapa fitur yang banyak digunakan, antara lain: Energi, Entropi, Max Probability, Inverse Diff. Moment, Kontras, Homogenitas, Inertia, dan Korelasi.
∑ Pφ (a, b) 2 ,d
Energi =
(12)
a ,b
∑ Pφ (a, b) log
Entropi =
,d
2
Pφ ,d (a, b )
(13)
a ,b
Max Probablility =
max Pφ (a, b)
(14)
,d
a ,b
∑
Inverse Diff. Moment =
Pφ ,d (a, b ) a−b
a ,b ;a ≠b
∑ a−b
Kontras =
2
2
Pφ ,d (a, b )
(15)
(16)
a ,b
Gambar 4 a. Contoh citra dengan 4 aras keabuan b. GLCM pada jarak 1 arah 0°
Gambar 4.a. adalah contoh matriks yang dihasilkan oleh citra dengan 4 (empat) tingkat keabuan. Perhatikan level intensitas 0 dan level intensitas 1 yang ditandai dengan kotak tipis. Tanda kotak menggambarkan piksel berintensitas 0 yang bertetangga (pada arah horisontal atau arah 0º) dengan piksel berintensitas 1. Ada dua keberjadian (occurrence) piksel yang demikian. Oleh karena itu, pada matriks GLCM yang dibentuk (Gambar 4.b.) ditulis nilai 2 pada baris ke-0 kolom ke-1. Dengan cara yang sama, matriks GLCM baris ke-0 kolom ke-0 juga diberi nilai 2, karena ada dua keberjadian piksel 0 bertetangga pada arah horisontal dengan piksel 0. Demikian seterusnya, maka matriks citra pada Gambar 4.a. dapat ditransformasi ke dalam matriks GLCM arah 0º menjadi matriks seperti Gambar 4.b.
∑∑ 1 + (a − b)
Pφ ,d (a, b ) (17)
∑∑ (a − b) Pφ (a, b)
(18)
Homogenitas =
1
2
a
Inertia =
b
2
,d
a
b
∑ [(ab)Pφ (a, b)] − µ µ ,d
Korelasi =
a ,b
σ xσ y
x
y
(19)
dengan
Selain arah horisontal (0º), matriks GLCM juga dapat dibentuk untuk arah 45º, 90º, dan 135º seperti ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini.
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
135
µ x = ∑ a ∑ Pφ ,d (a, b)
TABLE I. HASIL KLASIFIKASI (BERDASAR NILAI RERATA FITUR PADA 4 ARAH MATRIKS)
µ y = ∑ b∑ Pφ .d (a, b )
Classification Resultsb,c
a
b
b
a
σ x = ∑ (a − µ x )
2
a
∑ Pφ (a, b) ,d
σ y = ∑ (b − µ y )2 ∑ Pφ ,d (a, b ) b
a
Matriks co-occurrence menangkap sifat tekstur tetapi tidak secara langsung dapat digunakan sebagai alat analisis, misalnya membandingkan dua tekstur. Data ini harus disarikan lagi agar didapatkan angka-angka yang bisa digunakan untuk mengklasifikasi tekstur. Haralick [6] mengusulkan 14 fitur, tetapi Connors dan Harlow pada tahun 1980-an mengkaji bahwa dari 14 fitur yang diusulkan Haralick tersebut, hanya 5 diantaranya yang biasanya digunakan. Kelima fitur itu adalah: energi, entropi, korelasi, homogenitas, dan inersia [7]. III.
Original
Count
b
CARA PENELITIAN
Penelitian dimulai dengan pengumpulan citra ultrasonografi yang didalamnya terdapat massa kistik dan massa nonkistik, dan telah terbukti kebenarannya berdasar evaluasi oleh dokter ahli yang melakukan diagnosis. Citra diambil langsung dari keluaran video ultrasonograf, disimpan dalam kaset video Hi-8, dan kemudian ditransfer ke dalam format digital dengan menggunakan perangkatlunak pengolah video Ulead Video Studio, dan diambil frame demi frame. Frame terbaik yang berisi citra yang akan dianalisis diubah menjadi format citra keabuan (grayscale) dengan tingkat keabuan 8-bit. Berdasarkan citra dengan tingkat keabuan 8-bit, dipilih daerah uji (ROI, region of interest). ROI inilah yang dianalisis dalam penelitian.
% Cross-validated a
Count %
KELAS 0 1 0 1 0 1 0 1
Predicted Group Membership 0 1 17 6 11 44 73,9 26,1 20,0 80,0 17 6 15 40 73,9 26,1 27,3 72,7
Total 23 55 100,0 100,0 23 55 100,0 100,0
a. Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case. b. 78,2% of original grouped cases correctly classified. c. 73,1% of cross-validated grouped cases correctly classified.
Berdasarkan analisis statistik terlihat bahwa 78,2% massa kistik dan massa non-kistik dapat dibedakan berdasarkan 11 fitur, yakni Shot Runs Emphasis (SRE), Long Runs Emphasis (LRE), Gray Level Non-uniformity (GLN), Run Length Non-uniformity (RLN), Run Percentage (RP), Low Gray Level Run Emphasis (LGRE), High Gray Level Run Emphasis (HGRE), Short Run Low Gray-Level Emphasis (SRLGE), Short Run High Gray-Level Emphasis (SRHGE), Long Run Low Gray-Level Emphasis (LRLGRE), dan Long Run High Gray-Level Emphasis (LRHGE) secara bersamasama. Koefisien fungsi diskriminan yang diperoleh dari hasil analisis ditunjukkan pada Tabel II berikut ini. TABLE II.
KOEFISIEN FUNGSI DISKRIMINAN (BERDASAR NILAI RERATA FITUR PADA 4 ARAH MATRIKS)
Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients
SRE LRE GLN RLN RP LGRE HGRE SRLGE SRHGE LRLGE LRHGE
Function 1 8,039 16,641 1,573 -,331 ,432 4,160 21,741 -5,681 -20,687 -15,483 -4,675
Gambar 6. Langkah Penelitian
IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Tekstur Berdasar GLRLM Dilakukan analisis terhadap 78 citra USG (23 citra massa kistik, 55 citra massa non-kistik) ukuran 50x50 piksel. Citra massa non kistik meliputi citra mioma (27 citra), dan citra tumor padat (28 citra). Ekstraksi fitur dilakukan terhadap matriks GLRL pada 4 arah (0°, 45°, 90°, 135°). Kemudian, dihitung nilai rerata masing-masing fitur pada empat arah matriks GLRL. Klasifikasi dilakukan dengan analisis diskriminan menggunakan paket program SPSS versi 11.5.0. Hasilnya adalah sebagai berikut.
Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat bahwa fitur LRE, HGRE, SRHGE, dan LRLGE memiliki pengaruh yang paling besar dalam menentukan fungsi diskriminasi (masingmasing 16,641, 21,741, -20,687, dan -15,483), sedangkan fitur RLN dan RP memiliki pengaruh yang paling kecil (masing-masing -0,331 dan 0,432). Selanjutnya analisis diskriminan dilakukan tanpa melibatkan fitur RLN dan RP. Hasilnya ditunjukkan pada Tabel III berikut ini.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
136
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
TABLE III.
HASIL KLASIFIKASI TANPA MENYERTAKAN FITUR RLN DAN RP
Original
Count %
Cross-validated a
Count %
KELAS 0 1 0 1 0 1 0 1
1. Fitur-fitur yang diekstrak berdasar matriks GLRL maupun GLCM dapat digunakan untuk membedakan antara massa kistik dan massa non-kistik pada citra ultrasonografi.
Total 23 55 100,0 100,0 23 55 100,0 100,0
2. Fitur-fitur yang diekstrak berdasar matriks GLCM memiliki kinerja lebih baik dalam membedakan citra massa kistik dan citra massa non kistik dibandingkan fitur-fitur berdasar matriks GLRL.
a. Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case.
3. Fitur-fitur penting untuk membedakan citra massa kistik dan massa nonkistik pada citra ultrasonografi adalah: inersia, entropi, homogenitas, kontras, invers, dan korelasi, yang diekstrak berdasar matriks GLCM.
b. 80,8% of original grouped cases correctly classified. c. 74,4% of cross-validated grouped cases correctly classified.
Berdasarkan data pada Tabel III, terlihat bahwa tanpa menyertakan fitur RLN dan RP dari analisis fungsi diskriminan, didapatkan kemampuan diskriminasi massa kistik dan massa non-kistik 80,8%. B. Analisis Tekstur Berdasar GLCM Dilakukan analisis terhadap 78 citra USG (23 citra massa kistik, 55 citra massa non-kistik) ukuran 50x50 piksel. Citra massa non kistik meliputi citra mioma (27 citra), dan citra tumor padat (28 citra). Ekstraksi fitur dilakukan dengan GLCM pada 4 arah (0°, 45°, 90°, 135°) dan jarak 1 piksel. Fitur yang diekstrak adalah energi, inersia, entropi, homogenitas, probabilitas maksimum, inverse difference moment, dan korelasi. Klasifikasi dilakukan dengan analisis diskriminan menggunakan paket program SPSS versi 11.5.0. Hasilnya adalah sebagai berikut: TABLE IV.
HASIL KLASIFIKASI (JARAK D=1, RERATA SEMUA ARAH)
B. Saran Penelitian menemukan:
Original
Count %
Cross-validated a
Count %
KELAS 0 1 0 1 0 1 0 1
[1]
[2]
[3] Total 23 55 100,0 100,0 23 55 100,0 100,0
a. Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case.
[4]
[5]
[6] [7]
b. 91,0% of original grouped cases correctly classified.
selanjutnya
perlu
dilakukan
untuk
1.
Berapa ukuran ROI yang optimum yang dapat digunakan analisis citra berdasar fitur GLCM?
2.
Berapa resolusi citra terendah yang dapat digunakan untuk membedakan citra massa kistik dan massa nonkistik pada analisis citra berdasar fitur GLCM? REFERENCES
Classification Resultsb,c Predicted Group Membership 0 1 17 6 1 54 73,9 26,1 1,8 98,2 17 6 1 54 73,9 26,1 1,8 98,2
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh simpulan bahwa:
Classification Resultsb,c Predicted Group Membership 0 1 18 5 10 45 78,3 21,7 18,2 81,8 17 6 14 41 73,9 26,1 25,5 74,5
V.
Hauta-Kasari, Markku, “Computational Techniques for Spectral Image Analysis”, Thesis, Lappeenranta University of Technology Finland, 1999, [Online], URL: ftp://ftp.cs.joensuu.fi/pub/ color/theses/dr_thesis_markku_hauta-kasari.pdf , (dowload tanggal 12 Februari 2008) Albregtsen, Fritz G., “Gray Level Cooccurence Matrices”. [Online]. URL: http:// www.ifi.uio.no/in384/info/glcm.ps. Diunduh 12 Mei 2007. Tang, Xiaoou “Texture Information in Run-Length Matrices. IEEE Transactions on Image Processing”, Vol. 7, No. 11, November 1998 Chu, A., C.M. Sehgal, dan J.F. Greenleaf. “Use of run lengths for texture analysis”. Pattern Recognition Letters, Vol. 11, pp. 415-420, 1990 Hall-Beyer, Myrka. “GLCM Tutorial”. [Online]. Download 1 November 2007. URL: http://www.fp.ucalgary.ca/mhallbey/ the_glcm.htm. Haralick RM, K. Shanmugam, I Dinstein, “Texture Features for Image Classification”, IEEE Trans 1973, SMC-3:610-621. Kulak, Eray, “Analysis Of Textural Image Features For Content Based Retrieval”, Thesis, Sabanci University, 2002, [Online]. Download 30 Mei 2009. URL: http:// digital.sabanciuniv.edu/tezler/ etezfulltext/kulakeray.pdf
c. 91,0% of cross-validated grouped cases correctly classified.
Berdasarkan Tabel IV dapat dinyatakan bahwa dengan jarak 1 (satu) piksel, fitur-fitur tekstur yang diekstrak berdasar matriks GLCM (yakni fitur: energi, inersia, entropi, homogenitas, probabilitas maksimum, inverse difference moment, dan korelasi) dapat membedakan citra massa kistik dari massa nonkistik dengan tingkat akurasi 91%.
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
137
Pemanfaatan Mikrokontroller Tipe 89S52 sebagai Pengendali Multilevel Inverter Leonardus. H. Pratomo dan Hendyanto. H Teknik Elektro Universitas Katolik Soegijapranana Semarang [email protected]
Abtrak : Suatu pemanfaatan Mikrokontroller 89S52 sebagai pengendali multilevel inverter tipe hybrid telah di teliti. Multilevel inverter dipercaya memilki banyak keuntungan, tetapi dalam pengendaliannya sangat sulit. Dalam tulisan ini akan dibahas suatu metode pengendalian multilevel inverter tipe hybrid dengan menggunakan mikrokontroller tipe 89S52, dimana sistem pengendali ini akan mengeluarkan sinyal kendali secara langsung untuk mengendalikan saklar-saklar elektronik. Dari hasil simulasi komputasi dan implementasi dilaboratorium sistem ini dapat bekerja secara baik dan menghasilkan level sebanyak sembilan buah. Keywords : Multilevel inverter, mikrokontroller.
I.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang dilalui garis katulistiwa, sehingga dapat menghasilkan energi matahari yang maksimal, sedangkan energi ini sebenarnya dapat dirubah ke dalam energi listrik dengan peralatan yang dinamakan photovoltaic, sehingga krisis energi yang terjadi di Indonesia dapat diatasi salah satunya dengan memanfaatkan sumber energi ini mengingat energi jenis ini memiliki banyak kelebihan antara lain tersedia dalam jumlah yang besar, bebas polusi dan di dapat dengan cara cuma-cuma. Kenyataanya photovoltaic mengeluarkan tegangan dalam besaran DC sedangkan yang dibutuhkan adalah AC. Inverter adalah suatu alat untuk merubah besaran tegangan DC menjadi AC. Multilevel inverter di percaya memiliki keunggulan-keunggulan tertentu, maka banyak orang mengembangkan sistem ini, sedangkan untuk mengendalikan banyak orang menerapkan dengan sistem analog dan digital seperti berbasis Digital Signal Processing (DSP). Dalam tulisan ini akan dibahas tentang multilevel tipe hybrid yang dikendalikan dengan mikrokontroller tipe 89S32. Suatu simulasi komputasi dengan software power simulator diterapkan untuk mendapatkan bit-bit digital sebagai data kendali multilevel. Data tersebut dimasukkan ke dalam memori dari mikrokontroller, sehingga dengan mengakses memori, memori akan mengeluarkan sinyal kendali yang langsung dapat digunakan untuk mengendalikan multilevel inverter hybrid tersebut.
II.
MULTILEVEL INVERTER
Suatu inverter terdiri dari beberapa saklar elektronik yang difungsikan sebagai sarana pengkonversi energi listrik DC menjadi energi listrik AC. Inverter konvensional memiliki empat buah saklar, kenyataanya saklar elektronik ini memiliki keterbatasan operasi dalam rating daya dan frekuensi pensaklaran, mengingat rating daya dan frekuensi yang bekerja dalam pengertian semakin tinggi semakin baik tetapi semakin mahal harganya. Inverter yang bekerja pada frekuensi tinggi akan semakin baik karena akan memberi pengaruh terhadap pemanfaatan tapis sisi keluaran. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya digunakan multilevel inverter yang dipercaya memiliki banyak keunggulan. Topologi multilevel inverter pada dasarnya ada tiga jenis yaitu dioda clamp, flying capasitor dan separated dc source. Berikut ini adalah multilevel inverter gabungan dari sistem dioda clamp dan separated dc source.
Gambar 1. Rangkaian daya multilevel hybrid
Dari gambar 1 dapat digambarkan rangkaian ekivalennya, sebagai berikut
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
138
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gambar 4. Mode operasi 2 Dari gambar 4, di dapat persamaan tegangan :
Vo = E / 2
(2)
E/2
LOAD
E/2
Gambar 2. Rangkaian ekivalen
Melihat gambar 2 dapat dibuat mode-mode operasi. Dari mode-mode operasi dapat diturunkan metode pengendaliannya dengan menggunakan sistem mikrokontroller, berikut ini adalah mode-mode yang terjadi.
Gambar 5. Mode operasi 3
Dari gambar 5, di dapat persamaan tegangan :
Vo = 0
(3)
Gambar 3. Mode operasi 1 Gambar 6. Mode operasi 4
Dari gambar 3, di dapat persamaan tegangan :
Vo = E
(1) Dari gambar 6, di dapat persamaan tegangan :
Vo = − E
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
(4)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
139
Gambar 7. Mode operasi 5
Dari gambar 7, di dapat persamaan tegangan :
Vo = − E / 2
(5) Gambar 9. Implementasi rangkaian daya
Suatu software power simulator digunakan untuk membuat simulasi secara komputasi. Pada dasarnya di software ini akan memuat suatu hasil simulasi dalam bentuk file .sch (rangkaian), .txt (data gasil simulasi), .cct (parameter simulasi). Sedangkan data yang diinginkan berjumlah 256 data, sehingga parameter simulasi perlu diperhatikan. Dari hasil simulasi file . txt dirubah ke file . xls dengan microsoft exel, di dalam file . xls akan memuat bit-bit logika pensaklaran yang akan diumpankan pada sistem rangkaian daya, berikut adalah metode yang dikalukan untuk mendapatkan kombinasi logika pensaklaran.
Gambar 8. Mode operasi 6
Dari gambar 8, di dapat persamaan tegangan :
Vo = 0
III.
Run (6)
Rangkaian Simulasi
Mikrokontroller File.cct Excel File.txt
IMPLEMENTASI
Dari gambar 1, sistem dimodifikasi dengan cara menambahkan satu bagian lagi dan di susun seri, sehingga di dapat rangkaian daya secara keseluruhan sebagai berikut
File.sch
File.xls
Gambar 10. Implementasi rangkaian daya
Sedangkan secara diagram blok, sistem yang diimplementasi seperti gambar 11. Suatu mikrokontroller tipe 89S52 digunakan untuk mengendalikan logika pensaklaran multilevel inverter dan push-pull dc-dc konverter. Sumber energi dari matahari dikonverikan menjadi energi listrik dengan photovoltaic module, sistem ini dilengkapi dengan sistem pengsisi baterai. Keluaran sistem ini masih dalam bentuk besaran dc maka untuk mendapatkan dalam besaran ac dikonversikan dengan multilevel inverter.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
140
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Mikrokontroller
Rangkaian driver
Rangkaian Inverter Beban Listrik Lampu
Rangkaian Penyearah Rangkaian Push-Pull
Photovoltaic modul
Baterai Rangkaian Charger
Gambar 11. Implementasi rangkaian daya
IV.
PEMBAHASAN
Berikut ini adalah hasil simulasi komputasi yang dilakukan dengan software power simulator
Gambar 13. Hasil simulasi komputasi
Suatu data yang tersimpan di memori suatu mikrokontrol yang merupakan hasil simulasi komputasi, jika dibuat dalam bentuk grafik akan terlihat seperti gambar 12. Data tersebut sebanyak 256 data yang akan mengalamati sebanyak 12 alamat saklar pada rangkaian daya. Untuk membuat verifikasi dilakukan pengecekan ulang pada setiap bit di data exel, hal ini dilakukan untuk mengecek data yang mungkin akan tumpang tindih sehingga akan menghasilkan komponen daya hubung pendek. Setelah data dipastikan maka pemrograman bersifat look up table diterapkan dengan mengakses sistem counter delapan bit di mikrokontrol yang mengalamati memori yang telah di look up table. Dengan demikian dihasilkan metode pengendalian yang sederhana dan hasilnya seperti gambar 13.
1.
2. Gambar 12. Hasil simulasi komputasi
Sedangkan dalam implementasi didapatkan hasil sebagai berikut
ISSN: 2085-6350
dan pengujian laboratorium
3.
4.
V. KESIMPULAN Dari hasil simulasi komputasi dan implementasi di laboratorium didapatkan hasil yang sama, maka dengan menggunakan software power simulator dapat dilakukan pengendalian dengan mengunakan kombinasi logika pensaklaran yang datanya dapat diambil di file . txt. Sistem yang dikendalikan langsung dengan logika pensaklaran ini besifat loop terbuka. Multilevel inverter yang digunakan terbukti dapat membentuk level-level sesuai dengan yang diinginkan. Dengan sistem ini maka komplesitas dapat ditekan dengan hanya menggunakan satu komponen kendali.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
141
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3.
A. Tahri, A. Drau, “A Comparative Modelling Study of PWM Control Techniques for Multilevel Cascaded Inverter “ Leonardo Journal of Sciences, 6, January-June 2005 Hart, Daniel W. “Introduction To Power Electronics”. 1997. Prentice Hall. J. Chiasson, L. M. Tolbert, K. McKenzie, and Z. Du, “Control of a multilevel converter using resultant theory,”
4.
5. 6.
IEEE Transactions on Control System Technology, vol. 11, no. 3, pp. 345–354, May 2003. L. M. Tolbert, F. Z. Peng, and T. G. Habetler, “Multilevel converters for large electric drives,” IEEE Transactions on Industry Applications, vol. 35, no. 1, pp. 36–44, Jan./Feb. 1999. Rashid, Muhammad H. “Power Electronics, Circuits, Devices, and Applications”. 2004. Prentice Hall. Skvarenina, Timolthy L. “The Power Electronic Handbook”. 2001. CRC PRESS
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
142
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Pemanfaatan Mikrokontroller Tipe 89S52 sebagai Pengendali Motor Induksi Tipe Volt/Hertz Leonardus. H. Pratomo Teknik Elektro Universitas Katolik Soegijapranana Semarang [email protected] Abtrak : Suatu pengendalian motor induksi dengan metode volt/hertz menggunakan mikrokontroller 89S52 akan dibahas dalam tulisan ini. Konversi tegangan ke frekuensi digunakan untuk membangkitkan sinyal sinusoidal terprogram dalam mikrokontrol tipe 89S52 yang diolah lebih lanjut menggunakan DAC. Indeks modulasi dari SPWM digunakan untuk mengatur tegangan dan frekuensi keluaran inverter yang merupakan perkalian antara sinyal sinusoidal dan tegangan referensi kemudian dibandingkan dengan sinyal segitiga. Dari hasil uji coba skala laboratorium teknik yang dipakai ini dapat mengendalikan motor induksi secara volt/hertz.
segitiga didapatkan modulasi lebar pulsa sinusoidal berbasis volt/hertz. II.
MOTOR INDUKSI
Suatu motor induksi terdiri dari beberapa belitan yaitu tiga buah di bagian stator dan tiga buah dibagian rotor, berikut ini gambar 1, penampang motor induksi
Keywords : Motor Induksi, volt/hertz, mikrokontroller.
I.
PENDAHULUAN
Dalam analisis pasar yang dilakukan terhadap pemanfaatan motor listrik di industri ternyata motor induksi paling banyak digunakan walaupun motor jenis ini memiliki teknik pengendalian yang lebih rumit dibandingkan motor dc, namun karena faktor keandalan, realibilitas, effiisiensi yang tinggi lebih dari 90%, mudah perawatannya dan dijual dengan harga yang sangat murah menyebabkan motor jenis ini paling banyak digunakan di industri maupun di rumah tangga. Pengendalian kecepatan putaran motor induksi ini dilakukan dengan beberapa macam cara diantaranya mengatur tegangan dan frekuensi inverter. Metoda paling efisien untuk mengatur tegangan dan atau frekuensi inverter adalah dengan menggunakan modulasi lebar pulsa sinusoidal ke dalam rangkaian daya inverter. Inverter ini mampu menggerakkan putaran motor induksi dengan putaran yang halus dan rentang yang sangat lebar. Keuntungan inverter dioperasikan dengan teknik modulasi lebar pulsa sinusoidal sebagai sarana konversi energi adalah rendahnya distorsi harmonik pada tegangan keluaran. Selain itu dengan teknik ini dianggap lebih praktis dan ekonomis untuk diterapkan karena semakin tersedianya komponen semikonduktor yang digunakan sebagai saklar daya yang mempunyai waktu pensaklaran yang sangat cepat . Pada tulisan ini akan diuraikan metoda pengendalian motor secara volt/hertz dengan menggunakan teknik perbandingan sinyal informasi yang berupa gelombang sinusoidal yang bisa diatur frekuensi dan amplitudonya dengan sinyal pembawa yaitu gelombang segitiga. Pembangkitan gelombang sinusoidal tiga fasa dilakukan dengan menggunakan mikrokontroller 89S52 yang diumpankan ke sistem DAC. Sehingga dengan mengatur tegangan akan mempengaruhi besarnya frekuensi dan amplitudo gelombang sinusoidal dan jika dibandingkan dengan gelombang pembawa dalam bentuk gelombang
Gambar 1. Penampang motor induksi
Rangkaian ekivalen digambarkan dengan resistans induktans dimana besarnya XL = 2 π f L besaranya dalam ohm (Ω ) , dimana L adalah induktansi dan f adalah frekuensi. 2 π f = ω adalah arus yang berubah per satuan unit waktu. Belitan di rotor dan stator akan saling berinteraksi setiap waktu sehingga akan menghasilkan induksi magnet yang akan mengakibatkan rugi-rugi besi dan hysterisis R FE serta rugi-rugi magnetik X H dan
R
I
X
1
1
X’
2
R ’ 2 /S
1
R
FE
X
H
Gambar 2. Rangkaian ekivalen satu fasa Ketika motor dibebani pada keadaan normal, maka frekuensi rotor akan berbeda dengan frekuensi yang dihasilkan oleh putaran rotor dan stator sehingga akan menghasilkan slip. Dengan perubahan ini maka rangkaian
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
143
ekivalen dapat ditambahkan R2 ' dengan faktor 1
Sehingga persamaan torka didapat
S
dimana S adalah slip R
I
X
1
X’
1
R ’2 /S
2
U TH R' 2 3 P S T= = * Ω 0 ⎛ R + R' 2 ⎞ + ( X + X ' ) Ω 0 ⎜ TH TH 2 S ⎟⎠ ⎝
(4)
Dimana Ω 0 adalah kecepatan angular I '2
1
R
X
FE
H
⎛1− S ⎞ R '2 ⎜ ⎟ ⎝ S ⎠
Gambar 3. Rangkaian ekivalen satu fasa dengan beban Pengaturan kecepatan dari motor induksi dapat dilakukan dengan tiga buah cara yaitu merubah slip, merubah pole atau frekuensi
n = no − n S =
f • 60 − nS p
P adalah daya Dengan topologi berdasarkan frekuensi dan tegangan yang masuk di motor induksi, maka metoda pengendalian motor induksi dapat dilakukan. Jika tegangan yang masuk di motor induksi dapat dirubah termasuk juga frekuensi kerjanya maka torka motor juga dapat dikendalikan, berikut persamaan torka berbasis pengendalian tegangan dan frekuensi
T=
(1)
Dimana no adalam putaran medan yang dihasilkan oleh stator n S adalah kecepatan slip
Z TH = (R1 + j X 1 ) ( j X H ) (RFE ) = RTH + j X TH (2)
R'2
X '2 I '2
U TH
⎛1− S ⎞ R'2 ⎜ ⎟ ⎝ S ⎠
Gambar 4. Rangkaian ekivalen arus motor dengan beban Sehingga persamaan arus didapat I '2 =
U TH RTH +
R' 2
S
IMPLEMENTASI
+ j ( X TH + X ' 2 )
(3)
Tegangan/Frekuensi 1 0,9 0,8 Indek Modulasi
Jika diinginkan merubah slip yang harus dilakukan adalah dengan cara merubah resistansi di rotor atau dengan cara mengurangi tegangan di stator. Jika pole dirubah, maka akan mengubah belitan motor dimana kopling antara fasa harus diperhatikan. Cara yang terakhir adalah dengan mengubah frekuensi yang masuk ke motor. Dengan demikian untuk merubah kecepatan motor dapat dilakukan secara effektif dengan cara membuat tegangan dan frekuensi rendah ke tegangan dan frekuensi tinggi maka motor dimungkinkan untuk dikendalikan putarannya. Berikut ini adalah rangkaian ekivalen arus motor induksi pada keadaan berbeban, gambar 4. dari gambar dapat diturunkan suatu persamaan
XTH
III.
(5)
Dari konsep pengendalian motor induksi diatas didapatkan suatu metode pengendalian ekivalen dengan mengunakan teknik indeks modulasi yang linier terhadap frekuensi yang digunakan seperti gambar 5
p adalah jumlah pole
RTH
P V =k* n f
0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0
20 Frekuensi 40
60
Gambar 5. Kurva pengendalian berbasis volt/hertz Dengan metode ini sinyal informasi akan selalu berbanding linier dengan frekuensi dan tegangan. Dalam implementasi suatu konversi tegangan ke frekuensi digunakan sebagai pembangkit gelombang kotak. Sinyal ini dipakai untuk pewaktu pencacah delapan bit yang digunakan sebagai alamat di sistem mikrokontroller 89S52 (port 1) untuk membuka data memori yang berisi gelombang sinusoidal diskrit. Pergeseran sudut fasa dilakukan dalam software mikrokontrol untuk mendapatkan gelombang sinusoidal disktrit tergeser 1200 di port 2, 3 dan 4. Gelombang ini di olah oleh DAC untuk mendapatkan gelombang sinusoidal tergerser 1200. Masing-masing gelombang sinuoidal dikalikan dengan besaran dc tertentu untuk membuat suatu sistem seperti gambar 5, sinyal ini merupakan sinyal informasi.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
144
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Imverter tiga fasa yang dikendalikan dengan menggunakan teknik SPWM ini diimplementasi dengan memperbandingkan gelombang sinuoidal tergeser 1200 (sinyal informasi) dengan gelombang pembawa berbentuk segitiga. Dengan mengabungkan teknik ini maka inverter dapat bekerja berbasis volt/hertz , berikut adalah diagram blok kendali yang dirancang.
V to F
Mikrokontroller
+ V 8 b it C o u n te r
-V
DAC
Penguat d a n o fs e t
DAC
Penguat d a n o fs et
DAC
Penguat d a n o fs e t
Keluaran sinyal pengali dibadingkan dengan sinyal segitiga yang di setting pada frekuensi 5000 hertz sehingga akan menghasilkan sinyal kontrol untuk mengerakan saklar di rangkaian daya, berikut adalah keluaran tegangan fasa - netral dan tegangan fasa – fasa.
X S1 S1'
D rive r
X
S2 S2'
D rive r
X
S3 S3'
D rive r
Gambar 9. Tegangan fasa-fasa frekuensi 30 Hz,
Gambar 6. Diagram blok rangkaian kendali
IM
Gambar 7. Rangkaian daya inverter
IV.
PEMBAHASAN
Gambar 10. Tegangan fasa - netral frekuensi 30Hz,
Dari hasil ujicoba yang dilakukan di laboratorium alat ini dapat bekerja dengan baik, yaitu dengan mengatur tegangan maka sisi keluaran pengali akan terjadi dua perubahan yaitu frekuensi dan amplitudo dari gelombang sinusoidal tiga fasa. Dari sistem inilah dimunculkan kendali dasar seperti gambar 5. Berikut ini adalah keluaran di setiap sistem pengali
Gambar 8. Sinusoidal tergeser 1200 dari sistem pengali frekuensi 30Hz
Gambar 11. Arus keluaran inverter frekuensi 30Hz, Gambar 11, menunjukkan keluaran arus dari inverter, dimana gelombang arus berbentuk sinusoidal sesuai dengan sinyal informasi, hal ini menunjukkan rendahnya distorsi pada sisi arus keluaran inverter. Suatu verifikasi pengujian dilakukan untuk mendapatkan kinerja alat yang dirancang, dari hasil uji coba didapatkan suatu kurva indeks modulasi terhadap frekuensi sebagai berikut :
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
145
DAFTAR PUSTAKA Indeks Modulasi Vs Frekuensi
1.
Indeks modulasi
1,2 1 0,8 0,6
Series1
0,4 0,2
49 ,4
42 ,7
35 ,2
30 ,8
24 ,5
20 ,2
15 ,8
10 ,6 6
8, 06
0 Frekuensi
Gambar 12. Kurva indeks modulasi terhadap frekuensi Sedangkan frekuensi terhadap kecepatan didapatkan kurva sebagai berikut : 1600
Kecepatan Vs Frekuensi
1400 Kecepatan
1200 1000 800 Pengukuran
600 400 200
49 ,4
42 ,7
35 ,2
30 ,8
24 ,5
20 ,2
15 ,8
8, 06 10 ,6 6
0 Frekuensi
Gambar 13. Kurva frekuensi terhadap kecepatan V.
KESIMPULAN
Dari hasil uji coba di laboratorium sistem ini dapat bekerja dengan baik yaitu motor memiliki range frekuensi kerja 8 – 50 Hz. Untuk mengendalikan sistem ini hanya dilakukan dengan memutar tombol potensiometer yang diintegrasikan dengan sistem konversi tegangan ke frekuensi.
Alfredo Munoz-Garcya, Thomas A. Lipo, 1998. A New Induction Motor V/f Control Method Capable of High-Performance Regulation at Low Speeds. IEEE Tracsactions on Industry Aplications, VOL..34, NO. 4, JULY/AUGUST 2. Ekstrom M. 2007, Induction Machine Speed Control, Tesis Computer Science Electronics, Malardalen University 3. Hendriawan, A, dkk. 2004, Implementasi FPGA Sebagai Pembangkit Pulsa Pada Inverter 3 Fasa 18 Step dengan Topologi Triple Chopper Triple Bridge Inverter, Industrial Elektronics Seminar (IES 2004), PENS ITS Surabaya. 4. Lazic, M and Skender M. 2000, Generating Driving Signal for Three Pahases Inverter by Digital timing Functions, Facta Univertitas (NIS) Series: Electronics and Energetics, Vol 13. Desember hal 353-364. 5. Pratomo. H. L dan Riyadi S. 2006. Implementasi Inverter Tiga Fasa dengan Teknik Modulasi Lebar Pulsa Berbasis Mikrokontroller Tipe AT89S52, SITIA, ITS-Surabaya. 6. Tole Sutikno, dkk. 2007. Pengendalian Kecepatan Putar Motor Induksi Tiga Fasa dengan Menggunakan Inverter Modulasi Lebar Pulsa Jamak Berbasis FPGA ACEX1K, Industrial Elektronics Seminar (IES 2007), PENS ITS Surabaya. 7. Tole Sutikno, dkk. 2007. Inverter Modulasi Lebar Pulsa Sinusoidal Pengendali Motor Induksi tiga Fasa Berbasis FPGA ACEX1K, Industrial Elektronics Seminar (IES 2007), PENS ITS Surabaya. 8. .1999. Constant Volts/Hertz Operation for Variable Speed Control of Induction Motors, Analog Devices Inc. 1999 Yusivar, F dan Kusuma, L. 2004, Pembentukan Sinyal PWM dengan Metode SPWM Menggunakan Matlab dan Sistem Waktu Nyata, Industrial Elektronics Seminar (IES 2004), PENS ITS Surabaya.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
146
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Akuisisi Suhu Menggunakan Thermopile Untuk Pemanas Gelombang Mikro di Industri Risa Farrid Christianti, Electrical Engineering Department, Soegijapranata Catholic University, Semarang 50234, Indonesia [email protected] Abstract— Saat ini, pemanas gelombang mikro yang diproduksi secara komersial adalah pemanas gelombang mikro yang pengendalian suhunya dilakukan secara openloop, tanpa sensor suhu, sehingga sulit mengendalikan dosis pemanasan (suhu x waktu pemanasan). Sedangkan pengukuran suhu untuk pemanas gelombang mikro harus secara non-kontak, salah satu caranya adalah dengan menggunakan sensor inframerah, untuk menghindarkan radiasi gelombang mikro pada sensor. Penggunaan sensor inframerah dengan thermopile memerlukan kompensasi sambungan dingin untuk mengatasi masalah hanyutan (drift) suhu akibat perubahan suhu lingkungan. Untuk itulah dirancang termometer inframerah yang memiliki rentang suhu yang diinginkan, dengan metodemetode yang dapat diterapkan dalam dunia industri. Tujuannya adalah untuk merealisasikan termometer inframerah yang sesuai untuk pemanas gelombang mikro, dan kompatibel dengan USB (Universal Serial Bus) sebagai antar muka data suhu ke komputer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa termometer inframerah yang dibangun, cukup baik digunakan untuk mendeteksi suhu pada pemanas gelombang mikro, karena cukup stabil dan handal, Kata-kata kunci — sensor thermopile, USB-1208LS, akuisisi data suhu, termometer inframerah, program Visual Basic.
I. PENDAHULUAN Saat ini, pemanas gelombang mikro yang diproduksi secara massal adalah pemanas gelombang mikro yang hanya dilengkapi dengan magnetron sebagai pembangkit gelombang mikro (microwave), panel kontrol, timer sebagai pembatas waktu proses, motor AC sebagai penggerak piring tempat obyek diletakkan dan sebuah ruang pemanas. Untuk itu, dirancang sebuah pemanas gelombang mikro baru yang telah dimodifikasi dan diharapkan dapat bekerja lebih efisien. Hal ini menuntut adanya penambahan komponen pendukung baru di dalamnya, seperti magnetron driver (penggerak magnetron), yaitu alat untuk menghidupkan/mematikan magnetron secara otomatis, termometer inframerah sebagai alat yang digunakan untuk akuisisi data suhu, ADC (Analog to Digital Converter) untuk mengubah keluaran termometer yang berupa data analog menjadi data digital sehingga dapat diproses oleh komputer, interface yang digunakan untuk antarmuka antara port paralel dengan ADC, dan komputer sebagai alat pengendali utama. Pengendalian ini
ISSN: 2085-6350
dilakukan dengan menggunakan Logika Fuzzy. [Hendry, J., 2007] Dalam aplikasinya di industri, penggunaan termometer kontak tidak praktis atau tidak mungkin. Dengan adanya sensor inframerah dapat mengukur suhu pada jarak tertentu dengan waktu tanggapan yang sangat kecil. Dalam penelitian ini, diperkenalkan suatu alat yang disebut USB (Universal Serial Bus), yang merupakan gabungan dari ADC dan antarmuka dari rangkaian termometer inframerah dan komputer. USB ini merupakan alat komunikasi data secara dua arah yang dapat mengakuisisi serta mengolah data suhu pada proses pemanasan gelombang mikro. Dari pernyataan-pernyataan di atas itulah, maka timbul ide mengenai proses otomasi industri dengan memanfaatkan sensor suhu berupa thermopile pada termometer inframerah berbasis USB, untuk mendeteksi, mengukur, serta mengolah data suhu pada proses pemanasan gelombang mikro (microwave), agar tercapai kondisi suhu yang diinginkan. II. KONSEP DASAR Akuisisi yang dimaksud di sini adalah suatu proses memperoleh data suhu dari produk yang dipanaskan sehingga data tersebut dapat dimonitor, diolah dan dikendalikan oleh operator melalui komputer. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan pada gambar 1 sebagai berikut : PEMBANGKIT TERMOMETER GEL. MIKRO
INFRAMERAH RUANG PEMANAS
KOMPUTER
Produk yang dipanaskan
MODUL USB
Gambar 1. Bagan sistem Akuisisi dan Pengolahan Data Suhu
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Cara mengakuisisi data suhu tersebut adalah dengan menggunakan sensor suhu yang disebut Thermopile yang terangkai dalam rangkaian termometer inframerah, yang dihubungkan dengan modul USB sebagai antar muka dan port I/O. Kinerja rangkaian ini dimulai dari proses masukan analog dari termometer inframerah yang diubah menjadi data-data digital dalam USB yang selanjutnya dapat diolah dan dikendalikan sesuai dengan keinginan penggunanya. Secara garis besar masing-masing perangkat keras piranti sistem akuisisi suhu berbasis USB dengan sensor thermopile pada proses pemanasan gelombang mikro, mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Pembangkit Gelombang Mikro (magnetron driver), merupakan suatu rangkaian yang digunakan untuk membangkitkan serta mengendalikan gelombang mikro dalam ruang pemanas. 2. Termometer Inframerah, piranti ini berfungsi untuk mendeteksi (mengenali) suhu, mengukur, dan memberikan informasi suhu dalam bentuk tegangan elektris keluaran. Komponen sensor suhu yang digunakan adalah Thermopile. 3. Modul USB, berfungsi sebagai antarmuka perangkat eksternal dengan komputer. USB berdasar DAQ module memiliki spesifikasi : 8 analog kanal masukan, resolusi 12-bit, 48 kilo sampel/detik, dua keluaran D/A and 16 bit DIO. 4. Komputer, piranti ini berfungsi sebagai alat penampil dan pengolah data serta mengendalikan semua aktivitas alat pemanas gelombang mikro. Berdasarkan tinjauan di atas, maka hipotesis yang akan diuji adalah “Adanya penggunaan sensor suhu thermopile dan USB-1208LS sebagai antarmuka, diharapkan dapat mengukur suhu berdasarkan radiasi inframerah, sehingga lebih mudah karena tidak menggunakan chopper mekanis, seperti pada sensor pyroelectric. Masalah drift suhu dapat diatasi dengan kompensasi sambungan dingin dengan menggunakan thermistor yang terpasang di dalam thermopile.” III. PERANCANGAN DAN ANALISA Memasang Kompensasi Sambngan Dingin pada Thermopile Pada tahap ini, nilai arus yang masuk pada terminal inverting penguat OA4 ditentukan dengan cara mengukur nilai tegangan keluaran pada OA1 pada saat suhu mencapai setengah dari rentang suhu yang diinginkan, dari rentang suhu 300C – 1500C, dan suhu tersebut dipertahankan dalam waktu tertentu. Dari hasil penelitian, diperoleh tegangan keluaran yang turun dari 0,82V ke 0,81V dalam waktu 1 menit. Perubahan tegangan pada OA1 digunakan sebagai acuan untuk mengatur tegangan keluaran OA6, sedemikian hingga ∆V = 0,01V. Dari hasil kompensasi suhu tersebut, diperoleh rangkaian termometer inframerah yang tidak dipengaruhi oleh suhu lingkungan, sehingga hasil pengukuran untuk suhu yang sama pada waktu yang berbeda, hasil pembacaan suhunya sama.
147
A B OA1 (Thermopile)
+V
C
+ -
+
OA3 OA2
+
-V
Thermistor
+V OA4
+
OA6
+ -
+ OA7
-V
OA5
Gambar 2. Rangkaian Termometer Inframerah dengan sensor Thermopile
Mengukur Tegangan Keluaran Penguat Termometer Inframerah Pada tahap ini, pengukuran tegangan keluaran pada setiap tahap penguat dimulai pada rentang suhu 500C – 1500C, sebagai sampel data pengukuran, dari rentang suhu 300C – 1500C, yaitu suhu yang mampu diukur oleh termometer inframerah degan sensor thermopile. Selain untuk menguji rangkaian termometer inframerah ini berfungsi dengan baik, juga bertujuan untuk mendapatkan nilai a dan b dari persamaan Regresi Linier. Grafik tegangan keluaran titik A, B, dan C terhadap suhu pemanas microwave dari Gambar 3 adalah sebagai berikut :
Gambar 3. Grafik tegangan keluaran titik A terhadap suhu microwave, dengan standar deviasi 2.76490C.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
148
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Multimeter pada skala Volt DC
Themopile dan Penguat
Pemanas elektrik
Konversi ADC melalui Program Visual Basic
Pengkalibrasi
Gambar 4. Grafik tegangan keluaran titik B terhadap suhu microwave, dengan standar deviasi 2.76490C.
Nilai Y
Nilai X
Regresi Linier
Gambar 6. Diagram blok pengujian alat untuk mencari Persamaan Regresi Linier
Sesuai dengan rumus yang ada, dapat dicari nilai a dan b dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
∑ X ∑ Y − ∑ X ∑ XY ………1) a= n∑ X − (∑ X ) 2
Gambar 5. Grafik tegangan keluaran titik C terhadap suhu microwave, dengan standar deviasi 3.31740C.
Mengambil sampel data suhu terhadap tegangan termometer Inframerah Pada tahap ini, diperoleh data nilai perubahan tegangan keluaran termometer inframerah terhadap setiap 10C kenaikan suhu, dari rentang suhu 300C – 1500C, dengan mengambil sampel data pada suhu 500C – 1500C. Selanjutnya nilai-nilai tegangan tersebut diubah ke dalam nilai ADC untuk dimasukkan ke dalam persamaan Regresi Linier sebagai uji linearitas, sehingga diperoleh nilai variabel a (0C) dan b (0C/bit). Kalibrator yang digunakan untuk mengukur perubahan suhu yang terjadi adalah termometer inframerah digital. Pengukuran dilakukan pada tegangan keluaran rangkaian termometer inframerah secara berulang, kemudian diambil nilai tegangan reratanya, dan selanjutnya diubah ke dalam nilai ADC melalui program Visual Basic dengan USB-1208LS sebagai antarmukanya.
2
b=
2
n∑ XY − ∑ X ∑ Y n∑ X 2 − (∑ X )
2
………2)
Dari hasil penelitian diperoleh persamaan : ∧
y i = −180,3255 + 0,1073x i ………3)
Menentukan nilai A dan b untuk mencari persamaan regresi linier
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
149
Gambar 7. Grafik nilai Regresi Linier IV.
MENENTUKAN BESARNYA STANDAR DEVIASI Standar Deviasi atau penyimpangan linier pada pengukuran ini, dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :
S=
1 n ⎛∧ ⎞ ⎜ yi − yi ⎟ ∑ n i =1 ⎝ ⎠
2
S = 3,3815 ………4) Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa akusisi data suhu menggunakan sensor suhu inframerah berbasis thermopile ini memiliki karakteristik : Daerah pengukuran Penyimpangan linier/Akurasi Resolusi Rentang tegangan rerata Nilai variabel a dan b 0,1073
: : : : :
START
300C – 1500C 3,3815 0C 0,0247 0C/bit 0V – 5,28V -180,3255 dan
Berdasarkan karakteristik tersebut, maka sensor thermopile dapat digunakan untuk mengakuisisi data suhu pada proses pemanasan dalam industri, khususnya dalam hal ini aplikasinya pada pemanas gelombang mikro. Termometer inframerah dengan sensor thermopile ini memiliki sifat : tanggap waktu yang cepat, detektivitas yang baik, serta linearitas yang baik. Rentang suhu yang diinginkan dapat diatur melalui pengaturan nilai bati (gain) pada penguat OA3.
V.
thermopile agar mendekati atau sama dengan suhu yang tampil pada komputer, dengan acuan suhu yang terbaca oleh kalibrator. Program kalibrasi suhu merupakan program yang digunakan untuk mengatur pengkalibrasian tampilan suhu yang terbaca oleh sensor thermopile. Program ini dibuat berdasarkan nilai a dan b yang diperoleh dari kalibrasi sensor. Persamaan tersebut harus mampu menampilkan nilai suhu yang terukur oleh kalibrator. Setelah melakukan percobaan beberapa kali, diperoleh kesimpulan bahwa suhu yang terbaca oleh kalibrator mendekati suhu yang terbaca oleh termometer inframerah dengan sensor thermopile, dengan syarat bahwa nilai variabel a dan b sudah dimasukkan ke dalam program Visual Basic.
INISIALISASI PORT USB KE KOMPUTER
KELUARKAN PERINTAH KALIBRASI
BELUM SUDAH
STOP
Gambar 9. Gaftar alir proses kalibrasi suhu
TAMPILAN DATA SUHU P ADA PROGRAM VISUAL BASIC
Gambar 8. Tampilan menunjukkan USB-1208LS mengkalibrasi suhu
TAMPILKAN NILAI SUHU
PROSES KALIBRASI
KESIMPULAN Sensor Thermopile terbukti dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengukur data suhu pada proses pemanasan gelombang mikro dalam industri, sesuai dengan karakteristiknya yang menggunakan tegangan DC, sehingga lebih signifikan dan lebih mudah, karena tidak menggunakan chopper mekanis, seperti pada sensor pyroelectric. Adanya kompensasi sambungan dingin dengan menggunakan thermistor yang terpasang di dalam thermopile, menghasilkan rangkaian termometer inframerah yang tidak dipengaruhi oleh kondisi kemasan sensor karena sambungan dingin (cold junction), sehingga untuk pengukuran suhu yang sama pada waktu yang berbeda, hasil pembacaan suhunya sama. Termometer inframerah dengan sensor thermopile ini memiliki sifat : tanggap waktu yang cepat, detektivitas serta linearitas yang baik.
Pada Gambar 8, komputer melakukan proses kalibrasi suhu, untuk menyesuaikan suhu yang terbaca oleh sensor Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
150
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
[4]
Saran 1.
2.
3.
4.
Program kalibrasi (software) yang ada masih harus diuji agar bisa menghasilkan keluaran seperti yang diinginkan. Sebelum diterapkan dalam industri, perlu diketahui informasi mengenai batasan/toleransi suhu yang diijinkan dalam proses pemanasan produknya, sehingga tidak terjadi kegagalan hasil produksi. Untuk menghindari terjadinya gangguan/interferensi gelombang elektromagnetik yang ditimbulkan oleh magnetron selama proses pemanasan berlangsung, maka gunakan kawat penghantar jenis koaksial pada keluaran rangkaian termometer inframerah. Untuk memperkecil nilai penyimpangan linier dapat dilakukan dengan cara memperbanyak frekuensi pengambilan data nilai X dan Y, sehingga diperoleh nilai a dan b yang lebih tepat. REFERENSI
[1] [2]
[3]
Anonim, 2006, USB-1208LS User’s Guide, Measurement Computing Corporation, Hungary Dixon, J., 1988, Instrument Science and Technology – Radiation Thermometry, UK, British Hendry, J., 2007, Akuisisi Dan Pengolah Data Suhu Dengan Sensor Pyroelectric Untuk Pengendalian Logika Fuzzy Pada Pemasakan Produk Massif, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ISSN: 2085-6350
http://ccrma.stanford.edu/CCRMA/Courses/252/ sensors/node12.html, How Infrared Motion Detector Components Work [5]http://ccrma.stanford.edu/CCRMA/Courses/252/sensor s/node17.html, Tim Stilson, Thu Oct 17 16:32:33 PDT 1996 [6] http://en.wikipedia.org/wiki/Calibration [7] http://en.wikipedia.org/wiki/Temperature_measurem ent [8] http://www.ir40.html, IRtek IR40 – No Touch Termal Solution, IRtek [9] http://www. perkinelmer.com/optoelectronics, TPS 333 - Thermopile Detector, Perkin Elmer [10] http://www.phys.ualberta.ca/~gingrich/phys395/note s/node153.html [11] Petruzella, Frank D., 1996, Elektronik Industri, Mc Graw Hill, Penerbit Andi, Yogyakarta [12] Putri, M.S.N., 2006, Akuisisi dan Pengolahan Data Suhu Dengan Sensor Pieroelektrik untuk Hipertermia Medis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta [13] Yoder, J., 2000, Taking the Mystery Out of Infrared Sensors-Control For The Process Industries, http://ccrma.stanford.edu/CCRMA/Courses/252/se nsors/node12.html [14] Jacob, J.M., 1989, Industrial Control Electronics, Prentice Hall Inc., New Jersey.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
151
Fuzzy Logic Temperature Control on Hyperthermia Therapy Using Delphi M Ary Heryanto Engineering Department, Dian Nuswantoro University Nakula I/5-11, Semarang, 50131, Indonesia [email protected] Abstract— The hyperthermia therapy required a control system that can maintain the temperature stay at 43oC for 45 minutes. Fuzzy logic controller applies a simpler mathematical approach than the conventional one. The aims of this research is to prove that by using fuzzy logic controller it can depress overshoot and tolerated oscillation. This research is conducted in three phases, they are: (1) Designing fuzzy logic control system for hyperthermia therapy; (2) developing a whole system of therapy; (3) Testing the system. The result of research shows that the temperature at 43oC can be kept constant for 45 minutes with the rise time of 8 minutes 55 seconds, the overshoot is under 1% and the level of oscillation is under 2% with duty cycle period is 12 seconds. Keywords— hyperthermia therapy, controller, , rise time, overshoot, oscillation.
fuzzy
Teknik Kendali Kendali dalam sistem kendali adalah cara manipulasi masukan pada sistem untuk mendapatkan perubahan sesuai dengan keinginan pada keluaran (Wikipedia). Sistem kendali secara umum dibagi menjadi dua, yaitu sistem kendali kalang terbuka dan sistem kendali kalang tertutup.
Gambar 1. Diagram blok kendali kalang terbuka
logic
Pendahuluan Satu masalah dalam terapi tumor adalah keberadaan sel tumor sangat sulit diidentifikasi. Pada beberapa kasus sel tumor bisa menyerupai sel normal, namun sel tumor ini lebih sensitive terhadap panas dari pada sel normal, (Bradova, 1998). Menurut Wijanarko (1990), terapi hipertermia adalah suatu terapi dengan cara pemanasan pada bagian tumor. Untuk manusia, suhu terapi ini adalah menaikkan suhu menjadi 410C sampai 44 0C. Perumusan masalah pada penelitian kali ini adalah: Apakah kendali fuzzi akan dapat mempertahankan suhu 430C dalam 45 menit pada penyembuhan kanker dengan hipertermia secara akurat? Sehingga tujuan penelitiannya adalah: Membangun suatu piranti kendali suhu untuk terapi hipertermia dengan logika fuzzy.
Tinjauan Pustaka Hipertermia Hipertemia adalah suatu proses penaikan temperatur beberapa derajat celcius di atas temperatur fisiologi normal. Untuk manusia hal ini berarti temperatur dari 410C sampai 440C. Tujuan terapi dengan Hipertermia adalah membangkitkan panas yang cukup untuk membunuh sel tumor tanpa merusak sel sehat.
Gambar 2. Diagram blok kendali kalang tertutup
Logika Konvensional Dalam himpunan konvensional (crisp) ada pernyataan dengan tegas apakah suatu elemen x merupakan anggota himpunan A atau tidak. Bila merupakan anggota diberi nilai 1 dan apabila bukan anggota diberi nilai 0. Bila nilainilai tersebut dikatakan sebagai derajat kenggotaan dari himpunan A, maka:
⎧1 ( x ∈ A) (1) ⎩0 ( x ∉ A) dengan µA(x) adalah derajat kenggotaan x dalam himpunan A. Misal himpunan semesta X adalah tinggi badan manusia. Tinggi badan manusia dapat dikategorikan menjadi dua hal, yaitu ”pendek” dan ”tinggi”.
µ A ( x) = ⎨
Logika Fuzzy Logika Fuzzy diperkenalkan oleh Lotfi Zadeh (1965) untuk formalisasi matematis proses penalaran atau pengambilan keputusan berdasarkan fakta fakta yang non-
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
152
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
eksak. Penalaran seperti itu disebut penalaran secara pendekatan (non-eksak), dengan unsur toleransi terhadap kekaburan, ketidak-tepatan (imprecision), ketidakpastian (uncertainty). Logika Fuzy bisa juga dikatakan sebagai logika kabur, pendekatan.
turun (ts) dan Overshoot maksimum(Mp) (Ogata,1996). Secara umum sistem diharapkan memiliki waktu naik yang singkat dengan Overshoot yang rendah.
Dalam sistem konvensional (non-fuzzy), penalaran atau pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan ketepatan dan kepastian, menggunakan logika tajam (logika “benar” atau “salah”). Dengan menggunakan logika fuzzy dimungkinkan pengambilan keputusan dengan cara pendekatan sehingga pada beberapa kasus yang sukar dimodelkan dalam sistem konvensional dapat dilakukan dengan logika fuzzy.
Kendali Logika Fuzzy Masalah utama dalam kendali adalah mendapatkan keluaran sebagai respon dari masukan. Dalam kendali dengan cara konvensional melibatkan formula-formula matematis yang cukup rumit. Berbeda dengan pendekatan logika fuzzi, konsep matematika yang mendasari logika fuzzi sangat sederhana. Kendali logika fuzzi (FLC) menyediakan piranti yang mampu mengubah strategi kontrol linguistik yang diturunkan dari cara berpikir seorang ahli menjadi strategi kendali otomatis. FLC merupakan model logika yang merepresentasikan proses berpikir seorang operator ahli ketika sedang memantau dan mengendalikan suatu proses. Pendekatan fuzzi melibatkan aturan-aturan yang dinyatakan dengan kata-kata dan tidak memerlukan presisi yang tinggi, serta ada toleransi. Dalam membuat aturan mengacu pada inferensi fuzzi yaitu peraturan IF-THEN, misal: 1. 2.
Gambar 4. Kurva tanggapan tangga satuan
Delphi Delphi 6 adalah sebuah bahasa pemrograman visual. Delphi 6 mempunyai kelebihan, yaitu: kemudahan dalam antar muka baik dengan serial, parallel ataupun dengan modul USB1208LS. Keunggulan lain adalah Delphi dapat berkomunikasi dengan basis data SQL Server.
Tahapan Penelitian
IF suhu kamar “panas” THEN putar kipas “cepat” IF suhu udara “panas” AND kelembaban tanah “kering” THEN waktu penyiraman “lama”
Logika Fuzzi telah banyak digunakan pada sistem yang komplek seperti aplikasi industri, bidang kimia, robotika, otomotif dan sebagainya. Sedangkan kendali logika fuzzi secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3. Diagram blok kendali fuzzy
Tanggapan Transien Tanggapan transien suatu sistem kendali secara praktek selalu menunjukkan osilasi teredam sebelum mencapai keadaan tunaknya. Pada tanggapan transien dikenal adanya: waktu naik (tr), waktu puncak (tp), waktu
ISSN: 2085-6350
Gambar 5. Diagram blok kendali suhu terapi hipertermia dengan logika fuzzy
Dari Gambar 5. dapat dijelaskan sebagai berikut: Sistem bekerja setelah mendapatkan setting suhu tertentu sesuai terapi hipertermi (41o – 44o C). Setelah sistem berjalan maka sensor, dalam hal ini thermopile akan mendeteksi suhu objek yang dipapar. Komputer akan mendapat masukan suhu sebenarnya melalui antar muka USB1208LS yang kemudian didapatkan error dan ∆error. Selanjutnya komputer akan melakukan perhitungan logika fuzzi yang hasilnya berupa persentase siklus kerja magnetron. Hasil persentase siklus kerja ini dikeluarkan juga melalui USB1208LS ke driver magnetron. Proses kendali ini bekerja sesuai dengan waktu yang diberikan untuk terapi.
Perancangan Kendali Logika Fuzzy: 1. Mendefinisikan model masukkan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
153
Dari Gambar 3 di atas dapat di lihat bahwa masukan dari kendali fuzzi adalah galat atau e. Galat ini biasanya dalam bentuk tegas (crisp) pada kendali konvensional, dengan
e(t ) = r − y (t )
(2)
e(t ) =
penyimpangan antara referensi dengan aktual terukur pada t.
r
referensi.
=
y (t ) = aktual terukur pada t.
Gambar 7. Fungsi keanggotaan keluaran siklus kerja
Perubahan galat, yaitu ∆e atau ∆eror antara dua sampling biasanya juga digunakan sebagai masukkan untuk kendali logika fuzzi. Pada saat t, maka ∆e adalah perbedaan antara e(t ) dengan e(t − 1) atau,
∆e(t ) = e(t ) − e(t − 1)
(3)
Pada perancangan kendali logika fuzzi ini digunakan error dan ∆error sebagai masukkan. 2. Mendefinisikan model keluaran Keluaran untuk logika fuzzi ini bisa saja langsung mengacu pada variable yang akan dimanipulasi. Perubahan keluaran atau ∆u sering digunakan untuk variable keluaran dalam kendali namun pada perancangan kendali fuzzi ini digunakan langsung mengacu pada variable keluaran yang akan dimanipulasi yaitu siklus pemicuan magnetron dengan semesta berupa rentang prosentase dari 0% hingga 100%.
Fungsi keanggotaan keluaran siklus kerja menggunakan tiga tipe yaitu singleton, segitiga dan trapesium. Diperlukan singleton untuk mendapatkan nilai 0 pada siklus kerja. 4. Pembuatan aturan-aturan fuzzy Pada perancangan ini aturan fuzzi dibuat agar dapat diubah dalam keadaan program berjalan. Dengan dua masukan dan masing-masing masukan memiliki tujuh fungsi keanggotaan maka aturan fuzzi yang dapat dibentuk sebanyak 49 aturan. Aturan fuzzy ini belum ditentukan pada awal pemrograman, namun aturan fuzzy diset pada saat dilakukan pengujian sehingga di dapat aturan yang paling baik.
3. Dekomposisi variable model menjadi himpunan fuzzy Sistem inferensi Fuzzy yang digunakan untuk mengendalikan temperatur menggunakan variabelvariabel linguistik dari variabel masukan, dimana dari variabel error(e) dan ∆error(d_e) dibentuk himpunanhimpunan Fuzzi NB (Negatif Big), NM ( Negatif Medium), NS (Negatif Small), ZE (Zero), PS (Positif Small), PM (Positif Medium), PB (Positif Big). Sedangkan untuk keluarannya menggunakan variabel linguistik VL (Very Low), LOW, MED (Medium), HIGH, VH (Very High) dengan rentang semesta 0%-100%. Fungsi keanggotaan dari masukan dan keluaran adalah sebagai berikut:
Gambar 8. Setting aturan fuzzy saat program berjalan
5. Penentuan metode inferensi Metode inferensi yang dipakai pada perancangan ini menggunakan inferensi min-max, yaitu adalah gabungan inferensi min untuk antecedent dan inferensi max untuk consequence. Karena pada perancangan ini tiap aturan di cek kebenarannya maka keluaran fuzzi juga harus di cari untuk tiap fungsi keanggotaan keluarannya. Jadi tiap bobot hasil consequence pada suatu fungsi keanggotaan dicari nilai maksimalnya. 6. Penentuan metode defuzzifikasi
Gambar 6. Fungsi keanggotaan masukkan error dan d_Error
Defuzifikasi merupakan proses untuk menentukan nilai crisp (tegas) yang secara tepat dapat merepresentasikan informasi yang ada dalam himpunan fuzzi keluaran. Masukan dari proses defuzifikasi adalah suatu himpunan fuzzi yang diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzi sedangkan keluarannya adalah suatu himpunan bilangan pada domain himpunan fuzzi tersebut.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
154
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Sehingga jika diberikan suatu himpunan fuzzi dalam rentang tertentu, maka harus dapat diambil nilai tegas tertentu sebagai keluaran. Sistem pengendalian temperature terapi hipertermia ini menggunakan metode Weighted Average sebagai metode defuzifikasi .
Pengujian. 1. Pengujian dengan paparan cahaya lampu 75Watt Pada uji kali ini menggunakan pemanas lampu 75 watt yang dipaparkan dari bawah kulit. Bidang kulit seluas 7.5cm x 8cm dengan ketebalan 1mm. Sensor ditempatkan pada jarak 15cm di atas kulit sedangkan lampu ditempatkan pada jarak 2cm di bawah kulit. Uji ini dilakukan untuk melihat kinerja kendali fuzzy sebelum dihubungkan dengan magnetron.
(a) Uji pertama
2. Pengujian dengan paparan magnetron Setelah pengujian beberapa kali menggunakan lampu 75watt dan setelah dilihat hasil dari uji tersebut telah memuaskan, selanjutnya uji dilakukan menggunakan magnetron.
(b) Uji kedua Gambar 10. Uji paparan gelombang mikro pada kulit di atas karet dengan periode 12 detik
Gambar 9. Kontruksi aplikator untuk paparan gelombang mikro pada kulit
Hasil Penelitian Gambar 10. adalah hasil uji paparan gelombang mikro ke kulit di atas karet. Sedangkan hasil distribusi paparan diambil dengan thermograph tampak pada Gambar 11.
(a) Uji pertama
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
155
menit dengan waktu bangkit 8 menit 55 detik, overshoot di bawah 1% dan tingkat osilasi di bawah 2% dengan periode siklus kerja 12 detik.
References [1]
[2] [3]
[4] (b) Uji kedua Gambar 11. Hasil distribusi panas di ambil dengan thermograph, paparan ke kulit di atas karet dengan periode 12 detik Tabel 1. Hasil Analisa Data Uji Beban Kulit Dipapar Gelombang Mikro Periode 12 detik
[5]
[6] [7]
Uji 1
Uji 2
td (detik)
88
110
tr (detik)
584
486
tp (detik)
730
608
ts (detik)
772
664
Maks. Overshoot (%)
0,35
0,26
Dari hasil pengujian ini dapat dilihat bahwa overshoot dengan siklus kerja 12 detik masih di bawah 1% dan dari grafik tampak bahwa osilasi yang terjadi masih dapat ditoleransi. Rata-rata waktu naik adalah 535 detik atau 8 menit 55 detik.
Kesimpulan Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukan bahwa suhu 43°C dapat dipertahankan konstan selama 45
[8]
[9]
[10]
[11]
[12] [13] [14] [15] [16]
Adhy Hidayanto , Rhodian, ”Aplikasi Logika Fuzzy untuk Pengendalian Temperatur Berbasis PC pada Sistem Hipertermia Medis”, Skripsi S-1, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2006. Carter, R. G., “Electromagnetic waves: microwave components and devices”, Penerbit: Chapman and Hall, London, UK, 1990. Farrid Christianti, Risa, “Akuisisi Suhu Berbasis USB Menggunakan Sensor Inframerah Thermopile untuk Pemanas Gelombang Mikro Industri”, Magister Teknik Instrumentasi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007. Herlina, Theresia, ”Penerapan logika Fuzzy untuk pengendalian temperatur pada Rice Cooker”, Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2004. Kurniawan Nugroho, Andi, “Pengendali Logika Fuzzy Suhu Hipertermia Berbasis Visual Basic dan Akusisi Berbasis USB”, Magister Teknik Instrumentasi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007. Kusumadewi, S., dkk., “Fuzzy Multi-Attribute Decision Making (Fuzzy MADM)”, Penerbit: GRAHA ILMU, Yogyakarta, 2006. Kusumadewi, Sri, ”Analisis dan desain sistem fuzzy menggunakan Toolbox Matlab”, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2002. Ping Liu, Carey M. Rappa,port, Yan-zhen Wei, and S. Sridhar, “Simulated Biological Materials At Microwave Frequencies For The Study Of Electromagnetic Hyperthermia”, Northeastern University, Boston. Sri Widodo, Thomas, ”Sistem neuro fuzzy : Untuk pengolahan informasi, pemodelan dan kendali”, Yogyakarta: Graha ilmu, 2005. Vera Bradova, “HYPERTHERMIA”, http://www.geocities.com/HotSprings/Villa/5443/alts/hytherm.htm l, 1998. Wijarnarko, Rudi B, ” Pengaturan Suhu Sistem Tersimulasi Hipertermia dalam Fisiolagi Anti kanker” , Fakultas teknik Jurusan Teknik Elektro UGM, Yogyakarta, 1990. Wildi, T., “Electrical Machines, Drives, and Power System”, Prentice Hell, New York, 2002. Yan, J., Michael R. dan James P., “Using Fuzzy Logic Towards Intelligent System”, PRENTICE HALL, New York, 1994. http://en.wikipedia.org/wiki/Emissivity http://en.wikipedia.org/wiki/Reflectivity http://en.wikipedia.org/wiki/Transmissivity
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
156
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Perancangan Dan Simulasi Pengendalian Beban Listrik Menggunakan Mikrokontroler AT89C2051Melalui Jaringan TCP/IP Edvin Priatna dan Sulaemanul Jamal Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Siliwangi Jl. Siliwangi 24 Tasikmalaya [email protected] Abstract— This paper presents design and simulation of controlling electric load of home electrical equipments of long distance application through internet. Electric load controlled consisted of lamp, electric socket, water pump, rolling door, and rolling clothes dryer. System designed consisted of hardware controller to apply microcontroller AT89C2051 and web server. Microcontroller stands as center control receiving command from sensor at automatic control, push button to govern manual, and web server to govern long distance. System works based on principle client server, when connection happened between client and server hence client sends command through HTTP GET and POST, while response server by sending command at microcontroller, takes information from microcontroller and sends it in the form of HTML. Experimental applies two computers functioning as client and server with configuration IP server 192.168.100.64 with URL ' http://192.68.100.64:3000/update_power_plant.dll'. Experimental results at browser is presented by tables in the form of information condition of equipments accompanied buttons to control it. By buttoning on web page hence manageable equipments in long distance. The manageable equipments in manual through push button and special for water pump and rolling clothes dryer can operate automatically. Keywords: Control system, electric load, computer network. Abstrak—Makalah ini membahas mengenai perancangan dan simulasi pengendalian beban listrik peralatan rumah jarak jauh yang diaplikasikan melalui jaringan internet. Beban listrik yang dikendalikan terdiri atas lampu, stop kontak, pompa air, rolling door, dan penarik jemuran pakaian. Sistem yang dirancang terdiri atas hardware pengendali menggunakan mikrokontroler AT89C2051 dan web server. Mikrokontroler berperan sebagai pusat kendali yang menerima perintah dari sensor pada pengendaliaan otomatis, push button untuk perintah manual, serta web server untuk perintah jarak jauh. Sistem bekerja berdasarkan prinsip client server, ketika koneksi terjadi antara client dan server maka client mengirimkan perintah melalui HTTP GET dan POST, sedangkan server merespon dengan mengirimkan perintah pada mikrokontroler, mengambil informasi dari mikrokontroler dan mengirimkannya dalam bentuk HTML. Pengujian menggunakan dua komputer yang berfungsi sebagai client dan server dengan konfigurasi IP server 192.168.100.64 dengan URL ‘http://192.68.100.64:3000/update_power_plant.dll’. Dari hasil pengujian pada browser ditampilkan tabel berupa informasi kondisi peralatan disertai tombol-tombol untuk mengendalikannya. Dengan menekan tombol pada halaman web tersebut maka peralatan dapat dikendalikan secara jarak jauh. Peralatan tersebut dapat dikendalikan secara manual melalui push button dan khusus untuk pompa air dan penarik jemuran pakaian dapat beroperasi secara otomatis. Kata kunci: Sistem kendali, beban listrik, jaringan komputer.
ISSN: 2085-6350
1. Pendahuluan Seperti diketahui bahwa didalam rumah terdapat sistem kelistrikan yang harus diaktifkan atau dinonkatifkan secara rutin atau sesuai keinginan, misalnya lampu penerangan yang harus dinyalakan menjelang sore, selain itu ada peralatan yang perlu diketahui kondisinya, misalnya pintu garasi sudah tertutup atau belum dan lain-lain. Terdorong akan kebutuhan tersebut maka diperlukan sistem yang mampu membantu agar dapat dilakukan otomatisasi jarak jauh untuk mengetahui dan mengendalikan beban listrikyang dimaksud. Pada penelitian ini dilakukan simulasi pengendalian beban listrik yang dimaksud dengan menggunakan jaringan komputer TCP/IP yang terdiri dari client dan server berbasis web. Mikrokontroler yang terhubung dengan server melalui port serial akan merespon perintah pengendalian dan pembacaan status sistem. Output dari mikrokontroler ini akan mengoperasikan plant melalui relay. 2. Identifikasi Masalah 1. Bagaimana perancangan pengendali untuk masing-masing sistem yang dikendalikan 2. Bagaimana mikrokontroler memberikan informasi kondisi beban listrik. 3. Bagaimana transmisi data antara pengendali lokal, server dan mikrokontroler. 4. Bagaimana antar muka web. 3. Batasan Masalah 1. Tidak membahas network bandwidth dan sistem keamanan jaringan. 2. Tidak membahas sistem jaringan IPv6 dan wireless. 3. Tidak membahas sistem konfigurasi jaringan lebih jauh. 4. Beban listrikberupa simulasi untuk kelistrikan rumah 4. Tujuan 1. Untuk mengimplementasikan mikrokontroler pada pengendalian beban listrik . 2. Untuk merancang sistem yang mampu memberikan informasi dan dapat mengendalikan beban listrikberupa sistem kelistrikan rumah yang terdiri dari lampu, stopkontak, pompa air, pintu / rolling door dan penarik jemuran yang dapat dijalankan melalui jaringan TCP/IP dengan antar muka web.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
157
Koneksi ke internet dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya melalui dial-up melalui line telepon dengan menggunakan modem dan komputer.
5. Landasan Teori 5.1 Komponen Dasar Sistem Teleoperasi OBJEK1 MEDIA TRANSMISI PENGENDALI LOKAL
PENGENDALI SISI JAUH
ANTAR MUKA
OBJEK2
OBJEK3
Gambar 1. Komponen Dasar Sistem Teleoperasi Pengendali lokal merupakan bagian yang menjadi tempat kerja dari operator dan umumnya diimplementasikan dalam bentuk sebuah komputer (PC) ataupun rangkaian terpadu yang tidak terhubung langsung dengan peralatan yang dikendalikan namun terhubung dengan media transmisi tertentu misalnya jaringan komputer. Bagian berikutnya adalah pengendali sisi jauh. Bagian inilah yang berhubungan langsung dengan objek atau peralatan yang akan dikendalikan. Pengendali dari jarak jauh bertugas untuk menerima masukan dari pengendali lokal lewat media transmisi yang terhubung dengannya dan selanjutnya mengolah data yang iterima tersebut. Umumnya diimplementasikan dalam bentuk sebuah komputer (PC) ataupun rangkaian terpadu. Media transmisi bisa menggunakan infra merah, frekuensi radio, kabel telepon, kabel listrik ataupun jaringan komputer. Antar muka adalah rangkaian penyelaras antara objek dan pengendali sisi jauh. Hal ini disebabkan karena perbedaan parameter misalnya kecepatan pengolahan data, tegangan, arus dan daya objek yang berbeda dengan pengendali sisi jauh. Sedangkan Objek di sini sangat beraneka ragam, mulai dari yang paling sederhana seperti lampu, sensor (cahaya, suhu, suara), relay, kamera ataupun motor stepper yang biasa digunakan sebagai aktuator pada robot. 5.2. Internet Internet adalah suatu sistem komunikasi global yang menghubungkan komputer-komputer dan jaringanjaringan komputer di seluruh dunia. Setiap komputer dan jaringan terhubung - secara langsung maupun tidak langsung - ke beberapa jalur utama yang disebut internet backbone dan dibedakan satu dengan yang lainnya menggunakan unique name yang biasa disebut dengan alamat IP 32 bit. Contoh: 202.155.4.230 . Komputer dan jaringan dengan berbagai platform yang mempunyai perbedaan dan ciri khas masing-masing (Unix, Linux, Windows, Mac, dll) bertukar informasi dengan sebuah protokol standar yang dikenal dengan nama TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). TCP/IP tersusun atas 4 layer (network access, internet, host-to-host transport, dan application) yang masingmasing memiliki protokolnya sendiri-sendiri.
5.3. Arsitektur Protokol TCP/IP TCP/IP adalah konsep dasar Internet dan kerangka untuk pengembangan standar komunikasi komputer. TCP/IP pada awalnya adalah sebuah proyek riset protokol jaringan yang dimulai oleh Department of Defense (DoD) tahun 1969. Proyek tersebut dinamakan ARPA (Advance Research Project Agency). ARPA memulai riset yang kemudian dikenal dengan teknologi packet switcing. Fokus dari riset tersebut adalah untuk memfasilitasi komunitas DoD. Jaringan tersebut kemudian dikenal dengan ARPANET yang berkembang menjadi jaringan internet. Lapisan pada protokol TCP/IP : a). Network Access Layer Lapisan paling bawah dari TCP/IP terdiri dari protokol dimana komputer menggunakannya untuk mengirim data kepada komputer lain dan peralatan yang terhubung dengan jaringan. Protokol ini merupakan lapisan fisik jaringan . Contoh protokol dari lapisan ini diantaranya adalah Ethernet. b). Internetwork Layer Pada lapisan ini terdapat Internet Protokol (IP). Seluruh data yang berasal dari protokol pada layer diatas IP harus dilewatkan, diolah oleh protokol IP, dan dipancarkan sebagai paket IP, agar sampai ke tujuan. Paket IP akan dibungkus dengan label berupa IP address yang terdiri dari 32 bit angka biasanya ditulis dalam desimal misalnya 202.165.32.14 c). Host to Host Transport Layer Salah satu protokol yang penting adalah Transmission Control Protocol (TCP). Hampir semua jenis aplikasi berjalan pada protokol ini. Protokol TCP menyediakan service yang dikenal sebagai connection oriented, reliable, byte stream service. Connection oriented berarti sebelum melakukan pertukaran data, dua aplikasi pengguna TCP harus melakukan pembentukan hubungan (handshake) terlebih dulu. Reliable berarti TCP menerapkan proses deteksi kesalahan paket dan retransmisi. Byte stream service berarti paket dikirimkan dan sampai ke tujuan secara berurutan. TCP menggunakan port sebagai pintu masuk data. d).Application Layer Lapisan ini merupakan lapisan aplikasi misalnya HTTP (web) dan lain-lain. Pada HTTP permintaan data dilakukan dengan mengirimkan request menggunakan metoda HTTP, misalnya GET atau POST. Untuk mengakses atau merequest halaman web, web client menggunakan Uniform Resource Locator (URL) yang sintaknya : “http://nama_host_server/path” atau “http://IP_address_server : TCP_Port_server/path”
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
158
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
5.4. Konsep Client Server Pada dasarnya, semua transaksi atau perpindahan data di jaringan komputer tidak terlepas dari konsep client-server. Perpindahan data ini berlangsung karena adanya permintaan (request) dari salah satu komputer ke komputer lain yang menyimpan data. Sebagai tanggapan permintaan data ini, maka komputer penyimpan data akan memberikan tanggapan (response). Tanggapan ini berupa pengiriman data yang ingin diakses oleh komputer yang melakukan permintaan data. Dalam konsep client-server, komputer peminta data dinamakan sebagai client dan komputer pemilik data dinamakan sebagai server. Datanya sendiri dapat berupa antara lain file, web, email dan lain-lain. Implementasi dari konsep client-server ini adalah program yang memiliki fungsi seperti dideskripsikan pada konsep tersebut. Contohnya pertukaran data dalam jaringan internet pada sebuah program web client, yang berfungsi mengajukan request melalui metoda HTTP GET atau POST, sementara program yang berfungsi sebagai web server berfungsi menunggu request dan mengirimkan data web kepada peminta data web.
d). Pengendalian Pintu / Rolling door (Titik beban H) Sistem ini menggunakan motor DC dan dua sensor yaitu batas penutupan dan batas pembukaan, penutupan dan pembukaan dilakukan dengan mengubah polaritas sumber tegangan motor DC. Sistem kendali jarak jauh akan membaca status sensor dan motor untuk mengetahui keadaan pintu.
Request
e). Pengendalian Penarik jemuran pakaian (Titik beban L’) Penarik jemuran ini menggunakan motor DC. Sistem ini secara normal akan dikendalikan berdasarkan sensor air hujan. Yaitu bila sensor mendeteksi hujan maka sistem pengendali akan menset arah motor dan menghidupkannya untuk menarik sampai batas penarikan tercapai. Selama sensor hujan tidak mendeteksi air, sistem dapat ditarik atau didorong dari jarak jauh maupun manual lokal sesuai keinginan. Agar keadaan sistem dapat diketahui maka pengendali jarak jauh akan membaca sensor hujan, sensor batas penarikan dan pendorongan serta status motor. Penarikan dan pendorongan dilakukan dengan mengubah polaritas sumber tegangan motor.
Response
Client
Server
Gambar 2. Konsep Client Server 6. Perancangan Sistem Sistem yang akan dikendalikan adalah sistem kelistrikan rumah. Dengan menyesuaikan pada kapasitas mikrokontroler maka sistem yang akan dikendalikan sebanyak 5 output yang terdiri dari : a). Pengendalian Lampu Titik beban (A, B, C, D, E, F, G, Y1, Y2, K’, N’, O’, P’) b). Pengendalian Stop Kontak (Titik beban O, U, J’) c). Pengendalian Pompa Air (Titik beban Z)
mekanik penggerak pintu pengendali motor sumber tegangan motor DC / penggerak
sensor maksimum pembukaan
sensor maksimum penutupan
Gambar 4. Ilustrasi sistem penggerak pintu
ruang tertutup
ruang terbuka
Sensor maksimum level
sensor hujan
tangki
Sensor minimum level
pusat kendali pengendali
sumber tegangan motor
ke Sumber tegangan motor
Pompa air listrik
sensor batas penarikan power
polaritas
tali motor DC
sensor batas pendorongan
pipa penyaluran air
sumur
Gambar 5. Ilustrasi penggerak penarik jemuran pakaian Gambar 3. Ilustrasi pompa air listrik
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
159
7. Model Sistem Pengendalian
Kontrol manual
sensor
Request antar muka RS232 (port serial)
Response
antar muka (rangkaian relay)
(mikrokontroler)
Power plant
Server
Client
(Web Browser)
(HTTP Server)
Gambar 6. Diagram Blok Model Sistem Kendali 8. Rangkaian Hardware 30pF 10 k 10uF
12 MHz
Vdc 5 V
XTAL2
XTAL1 RST
SENSOR HUJAN
MIKROKONTROLER
KE PORT SERIAL WEB SERVER 2 3
P1.7
P3.0
14
Vdc 5 v
P3.1
P1.6
P3.2
P1.5
P3.3
P1.4
13 15
5
MAX 232
10k
probe 10 k
9013 1k
P1.3
P3.4
P1.2
P3.5
P1.1
P3.7
P1.0
P1.7
Vdc 5 V
Vdc 12 V
KONTROL MANUAL POMPA AIR Vdc 5 V
OFF
OUTPUT LAMPU VAC 220
ON
10k
probe
10 k
10 k
P3.2
P1.6
Vdc (5V)
SENSOR MINIMUM LEVEL AIR
9013
9013
Vdc 5 v
10 k 9013
10k
1k
10k
probe
Vdc 12 V
P1.4
OUTPUT STOP KONTAK
9013 10 k
10 k
10 k
VAC 220
Relay 12 v
9013
SENSOR MAKSIMUM LEVEL AIR
1k
10 k
10 k
P1.5
Vdc 12 V
Vdc (5V)
VAC 220
10 k 10 k
10 k
DORONG P3.5
M
Relay 12 v
10 k
P1.1
9013
P3.7
OUTPUT MOTOR POMPA AIR
P1.0
10k
SENSOR MAKSIMUM DORONG
9013
9013
P1.7
TARIK SENSOR PENARIK JEMURAN
SENSOR MAKSIMUM TARIK
Relay 12 v
10 k
Vdc 5 v
P1.4
9013
9013
KONTROL MANUAL PENARIK JEMURAN
Vdc 12 V
OUTPUT MOTOR PINTU
Vdc 12 V
5
VDC IN 3
1
M
Relay 12 v
Relay 12 v
10 k
10 k
2
4 6
10 k
P1.2
Vdc (5V)
P3.3
TUTUP
10 k
10 k
10 k 9013
9013
9013
9013
P1.3 Vdc 12 V
10k
P1.3
9013 10 k
VDC IN
OUTPUT MOTOR PENARIK JEMURAN
Vdc 12 V
5 1
3
10 k
2
4
M
Relay 12 v
Relay 12 v
10 k
6
10 k
P1.0
KONTROL MANUAL PINTU Vdc (5V)
P3.4
BUKA
9013
9013
Gambar 8. Diagram alir server (HTTP server)
P1.1
P1.3
P1.6 Vdc (5V)
P1.2
OFF
SENSOR PINTU
ON
KONTROL MANUAL LAMPU
10k
P1.3 SENSOR MAKSIMUM BUKA
9013
9013
10k 9013 10 k
10 k
10 k
10 k
9013 10 k
P3.4 P3.3
P3.4
P1.5 SENSOR MAKSIMUM TUTUP
P3.3 Vdc (5V)
OFF
ON
10k
KONTROL MANUAL STOP KONTAK
9013
P1.1
10 k
P3.5
P3.7
10. Implementasi dan Pengujian - Hardware
VDC 12 V IN
LM7812
OUT
GND
220 VAC
15 VAC IN
VDC 5 V
LM7805 OUT
2200 uF / 25 V GND
Gambar 7. Rangkaian Hardware Pengendali 9. Server Server berfungsi untuk menangani request web, mengakses mikrokontroler, dan sebagai jembatan penghubung antara mikrokontroler dengan client. Sistem ini mengimplementasikan HTTP melalui protokol TCP. Data pengendalian diajukan melalui metoda HTTP POST sedangkan GET digunakan untuk meminta informasi kondisi sistem. Flowchart dari web server adalah sebagai berikut :
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Gambar 9. Hardware Pengendali Sistem
ISSN: 2085-6350
160
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Tabel 1. Keterangan hardware pengendali Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
Keterangan Tombol penarik jemuran Tombol pendorong jemuran Tombol penutup pintu Tombol pembuka pintu Tombol on pompa air Tombol off pompa air Tombol on stop kontak Tombol off stop kontak Tombol on lampu Tombol off lampu Mikrokontroler Led sensor penarikan (merah) Led sensor pendorongan (hijau) Konektor sensor penarikan dan pendorongan Konektor sensor pembukaan dan penutupan Led sensor penutupan Led sensor pembukaan Konektor ke sensor hujan Konektor ke sensor maksimum level air konektor ke sensor minimum level air RS232 Konektor port serial Led power lampu (output untuk lampu) Relay power lampu Led power stop kontak (output untuk stop kontak) Relay power stop kontak Led power pompa air (output untuk pompa air) Relay power pompa air Relay power motor pintu Led polaritas pembukaan /output arah membuka Led polaritas penutupan /output arah menutup Relay pembalik polaritas Relay power motor penarik jemuran Led Power penarikan jemuran /output arah menarik Led Power pendorongan jemuran /output arah mendorong Relay pembalik polaritas Konektor output power ke motor penggerak pintu Konektor output power ke motor penggerak penarik jemuran
Pengujian sistem keseluruhan telah dilakukan melalui jaringan lokal dengan konfigurasi : IP address server : 192.168.100.64 pada TCP port 3000 dengan URL adalah : http:// 192.168.100.64:3000/update_power_plant.DLL URL tersebut diakses melalui browser (internet explorer) pada komputer client. Hasilnya adalah sebagai berikut : 1. Login Pada browser pertama kali muncul adalah login yang meminta memasukan nama user dan password bila nama dan password serta koneksi dengan mikrokontroler berjalan baik maka akan tampil status sistem pada browser
Gambar 12. Login 2. Status sistem Status sistem yang ditampilkan adalah sesuai dengan keadaan pada masing-masing yang dikendalikan yaitu lampu, stop kontak, pompa air, pintu, dan penarik jemuran pakaian. Tampilan status sistem dapat dilihat seperti pada Gambar 14 berikut. Untuk mengendalikan sistem, pengguna cukup menekan tombol yang tersedia pada halaman web.
- Server
Gambar 13. Status Sistem Pada Browser Gambar 11. Antar Muka Server
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
161 OFF (27) Power motor ON (27)
11. Hasil dan Analisa Tabel 2. Hasil pengujian kondisi input dan output Peralatan
Kondisi
Penarik jemuran
Kering, dijemur
Ditarik
Pintu
Dijemur, hujan Tertutup
Terbuka
Pompa
Air kosong Air penuh
Air diantara level maksimu m dan minimum Stop kontak
Input Manual dan Sensor Tombol penarik (1) Sensor tarik (12) Tombol pendorong (2) Sensor dorong (13) Sensor hujan (18) Tombol buka (4) Sensor buka (17) Tombol Tutup (3) Sensor Tutup (16) Sensor minimum (20) Sensor maksimum(1 9) Tombol On (5) Tombol Off (6)
Tombol On (7) Tombol OFF (8) Tombol ON (9) Tombol OFF (10)
Lampu
Output
Power motor OFF (35) Power motor ON (34) Power motor ON (30) Power motor OFF (30) Power motor ON (31) Power motor OFF (31) Power motor ON (27) Power motor OFF (27) Power motor On (27) Power motor Off (27)
Power ON (25) Power OFF (25) Power ON (23) Power OFF (23)
Tabel 3. Hasil pengujian input, output dan respon web Peralatan Penarik jemuran
Input Web Tarik
Stop
dorong
Pintu
Buka
Stop
Tutup
Pompa
Nyalakan
Output Power motor ON (34) Power motor OFF (34,35) Power motor ON (35) Power motor OFF (35) Power motor ON (30) Power motor OFF (30,31) Power motor ON (31) Power motor
Matikan
Power motor ON (34) Power motor OFF (34) Power motor ON (35)
Respon web Tampil status ditarik
Tampil status motor padam
Pada keadaan kering Tampil status dijemur Pada keadaan hujan tampil status ditarik cuaca hujan Status terbuka
Motor padam
Status ditutup
Pada kondisi air penuh ditampilkan status air
Power motor OFF (27) Power motor ON (27)
Stop kontak
Nyalakan Matikan
Lampu
Nyalakan Matikan
Power ON (25) Power OFF (25) Power ON (23) Power OFF (23)
penuh dan motor padam Pada kondisi air tidak penuh ditampilkan status air tidak penuh dan motor menyala Pada kondisi air tidak penuh ditampilkan status air tidak penuh dan motor padam Pada kondisi air kosong ditampilkan status air tidak penuh dan motor menyala Tampil status menyala Tampil Status padam Tampil Status menyala Tampil Stastus padam
Analisa Dari hasil pengujian sistem pengendalian pada kontrol manual dan otomatis serta jarak jauh melalui jaringan berjalan baik. 1. Pengendalian Lampu • Lampu dapat dikontrol secara manual melalui tombol secara langsung • Perubahan keadaan lampu karena kontrol manual dapat diketahui dari browser. Hal ini berguna bila pengguna tidak berada dirumah dan ingin mengetahui keadaan lampu atau ingin mengendalikannya. 2. Pengendalian Stop kontak • Stop kontak dapat dikontrol secara manual melalui tombol secara langsung, hal ini berguna saat pengguna berada di rumah misalnya ingin menggunakan stop kontak tersebut. • Perubahan keadaan stop kontak karena kontrol manual dapat diketahui dari browser serta melalui browser, stop kontak tersebut dapat dikendalikan. Hal ini berguna bila pengguna tidak berada dirumah, misalnya pada waktu meninggalkan rumah strika masih tetap dinyalakan dan lupa untuk mematikannya. 3. Pengendalian Pompa Air • Pompa air berjalan pada mode otomatis yaitu bila air dibawah level minimum, pompa akan menyala sampai batas maksimum tercapai. Bila air turun, pompa tetap padam sampai batas level minimum tercapai lagi. • Status level maksimum air dan keadaan pompa dapat diketahui dari sistem jarak jauh. hal ini berguna jika pengguna tidak berada dirumah dan ingin mengetahui level air dan ingin menyalakan atau mematikannya. • Selama air diantara level minimum dan maksimum, pompa dapat dikendalikan oleh kontrol manual dan jarak jauh. • Selama air dibawah level minimum, kontrol manual dan jarak jauh tidak dapat mematikan pompa.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
162
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
•
4.
5.
Selama air penuh, kontrol manual dan kontrol jarak jauh tidak dapat menyalakan pompa. Hal ini tentunya berguna untuk mencegah air melebihi kapasitas tangki / penampungan air yang ditetapkan. Pengendalian Pintu / Rolling Door • Pintu dapat dikendalikan untuk dibuka atau ditutup. • Perubahan keadaan pintu oleh kontrol manual dapat diketahui dari sistem jarak jauh. Hal ini tentunya sangat berguna jika pengguna tidak berada dirumah dan lupa untuk menutup pintu atau karena sesuatu hal memang diperlukan untuk membuka pintu. Pengendalian Penarik Jemuran • Sistem dapat berjalan normal, yaitu bila sensor hujan mendeteksi adanya hujan (terkena air) maka sistem pada keadaan dijemur akan ditarik. • Pada keadaan hujan sistem tidak dapat didorong lagi oleh kontrol manual dan jarak jauh. • Hanya pada cuaca keadaan kering, sistem dapat dikontrol oleh sistem manual dan jarak jauh. • Perubahan status sistem akibat kontrol manual dan otomatis dapat diketahui dari sistem jarak jauh. hal ini tentunya sangat berguna jika pengguna ingin mengetahui keadaan sistem dan ingin mengendaliknnya sesuai keinginan. Misalnya ingin menarik jemuran pada sore hari atau karena lupa pada waktu meninggalkan rumah, cucian basah belum dijemur.
12. Kesimpulan 1. Aplikasi mikrokontroler AT89C2051 untuk mengendalikan beban listrikberupa kelistrikan rumah yang terdiri dari lampu, stop kontak, pompa air, pintu / rolling door sistem penarik jemuran pakaian berjalan baik dan dapat dikendalikan oleh satu chip IC mikrokontroler. Hal ini tentunya efisien untuk perancangan sistem kendali dengan biaya murah. 2. Sistem pengendali yang dibuat mengintegrasikan kontrol manual melalui tombol pada hardware, kontrol secara terpusat melalui aplikasi server, dilengkapi kontrol otomatis untuk pompa air dan
ISSN: 2085-6350
penarik jemuran serta kontrol jarak jauh sehingga aplikasi yang dibuat dapat membantu pengguna untuk mengendalikannya baik pada saat dirumah atau dari jarak yang jauh, hal ini dimungkinkan karena suatu perubahan sistem akibat kontrol manual dan otomatis pada pengendali (mikrokontroler) dapat diketahui dan plant dapat dikendalikan dari sistem jarak jauh yaitu melalui jaringan TCP/IP dengan mengimplementasikan HTTP sehingga status sistem dapat diketahui dengan menggunakan web browser.
Daftar pustaka 1. Gary, C. Kessler.,”An Overview of TCP/IP Protocols and the Internet”,Desember, 2004. http://www.garrykessler.net/library/tcpip.htm 2. Gettys, J., “RFC 2616: Hypertext Transfer Protocol – HTTP/1.1”, InterNetNetwork Working Group, Juni 1999 http://rfc.net/rfc2616.txt 3. Postel, J., “RFC 791: Internet Protocol”, Information Sciences Institute University of Southern California, September 1981. http://rfc.net/rfc791.txt 4. Postel, J., “RFC 793: Transmission Control Protocol”, Information Sciences Institute University of Southern California, September 1981.http://rfc.net/rfc793.txt 5. Rahmat Rafiudin, “Protokol – Protokol Esensial Internet”, Penerbit ANDI Offset Yogyakarta 6. Retna Prasetya, Catur Widodo, “Teori Dan Praktek Interfacing Port Paralel Dan Port Serial Komputer Dengan Visual Basic 6.0“, ANDI Offset,Yogyakarta, 2004. 7. Sandep Duta., “SDCC C Compiler User Guide”, USA, 2001 8. Suhata, “Aplikasi Mikrokontroler Sebagai Pengendali Peralatan Elektronik via Line Telepon”, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2005. 9. __, “AT89C2051 8-bit Microcontroller with 2K Bytes Flash”, Atmel Corporation, San Jose USA, 2005.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
163
Studi Perbandingan Metode-metode Analisis Sinyal Sederhana Berbasis Wavelet Agfianto Eko Putra Program Studi Elektronika & Instrumentasi, Jurusan Fisika, Fak. MIPA, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia - 55281 Email: [email protected] Abstrak - Telah dilakukan beberapa analisis sinyalsinyal sederhana berbasis Wavelet, yang kemudian masing-masing hasil analisis tersebut dibandingkan. Tujuan dari perbandingan analisis ini adalah untuk mengetahui kemampuan dari analisis berbasis Wavelet yang meliputi metode-mtode Transformasi Wavelet Kontinu, Transformasi Wavelet Diskret, Transformasi Paket Wavelet dan DekomposisiKorelasi berbasis Wavelet (atau Dekorlet). Sinyalsinyal sederhana yang digunakan dalam analisis ini berupa sinyal gabungan sinusoidal 3 (tiga) frekuensi, sinyal derau (noise), gabungan antara sinusoidal dan derau, sinyal yang mengandung loncatan frekuensi, sinyal blok dan sinyal bump.
Hasil perbandingan, yang dilakukan secara visual, memperlihatkan bahwa setiap metode analisis memiliki kemampuan dan keterbatasan dalam hal ekstraksi informasi, deteksi otomatis dan visualisasi pola-pola tertentu, juga berkaitan dengan jenis sinyal yang dianalisis. Namun secara umum Transformasi Paket Wavelet mampu melakukan ketiga kemampuan tersebut. Sedangkan pemilihan Mother Wavelet didasarkan pada jenis sinyal yang dianalisis, dan sifatsifat atau fitur-fitur dari Mother Wavelet yang bersangkutan. Mother Wavelet yang digunakan dalam analisis ini antara lain: Mexican Hat, Haar, Coiflet, Morlet, dan Daubechies. Kata Kunci—Wavelet, Dekorlet, Analisis Sinyal I. PENDAHULUAN Kebutuhan akan resolusi tinggi dalam analisis sinyal non-stasioner telah mengakibatkan perkembangan berbagai sarana (tools) yang ampuh untuk menganalisis data-data sinyal non-stasioner. Metode Transformasi berbasis Wavelet merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan untuk menganalisis (meneliti) sinyal-sinyal non-stasioner. Dalam beberapa tahun terakhir ini, metode ini telah dibuktikan kegunaannya dan sangat populer di berbagai bidang ilmu. Analisis Wavelet dapat digunakan untuk menunjukkan kelakukan sementara (temporal) pada suatu sinyal, misalya dalam bidang geofisika (sinyal seismik), medik dan lain sebagainya. Metode Transformasi Wavelet ini dapat digunakan untuk menapis data atau meningkatkan mutu kualitas data, dan untuk mendeteksi kejadian-kejadian tertentu serta untuk pemampatan data [1].
Selain itu Transformasi Wavelet juga dapat digunakan untuk analisis sinyal-sinyal non-stasioner (yaitu sinyal yang kandungan frekuensinya bervariasi terhadap waktu), karena berkaitan dengan kemampuannya untuk memisahmisahkan berbagai macam karakter pada berbagai skala [2]. Konsep Transformasi Wavelet telah dirumuskan sejak awal 1980-an oleh beberapa ilmuwan seperti Morlet, Grosmann, Daubechies dan lain-lain. Sejak itu Wavelet kemudian dikembangkan dalam beberapa area disiplin ilmu atau aplikasi seperti matematika, fisika, pemrosesan citra, analisis numerik, pengolahan data citra, dan data geofisika. Transformasi Wavelet merupakan transformasi yang terpadu menggunakan kernel terintegrasi yang dinamakan wavelet. Wavelet merupakan fungsi matematik yang membagibagi data menjadi beberapa komponen frekuensi yang berbeda-beda, kemudian analisis dilakukan pada masingmasing komponen menggunakan resolusi yang sesuai dengan skalanya [3]. Kepentingan penggunaan Transformasi Wavelet ini berdasarkan fakta bahwa dengan Transformasi Wavelet akan diperoleh resolusi waktu dan frekuensi yang jauh lebih baik daripada metode-metode lainnya seperti Transformasi Fourier maupun Transformasi Fourier Waktu Pendek (STFT=Short Time Fourier Transform), selain itu analisis data pada kawasan waktu dan frekuensi penting dan harus dilakukan dalam rangka mempelajari perilaku sinyalsinyal non-stasioner, dan juga dapat dilakukan analisis data pada kawasan waktu dan amplitudo serta kawasan frekuensi dan daya (spektrum). II. TRANSFORMASI W AVELET KONTINU Analisis hasil Transformasi Wavelet Kontinu berdasarkan pada program yang merupakan implementasi persamaan Transformasi Wavelet Kontinu. Parameterparameter yang digunakan dalam skrip ini antara lain: • Sinyal atau vektor sinyal dalam ranah waktu yang akan ditransformasikan; • Jenis wavelet; • Cara penggambaran atau lebih tepatnya metod pewarnaan grafik. Terdapat 4 (empat) macam cara, yaitu 1. Pewarnaan skala demi skala; 2. Pewarnaan secara global; 3. Pewarnaan skala demi skala secara nilai absolut; dan 4. Pewarnaan secara global dan nilai absolut.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
164
• •
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Jumlah skala; dan Judul grafik hasil Transformasi Wavelet kontinu.
Algoritmanya berdasarkan persamaan Transformasi Wavelet Kontinu yang digunakan untuk menghitung koefisien-koefisien s(t) pada skala a dan posisi b (1) Karena s(t) merupakan sinyal diskret, maka digunakan interpolasi potongan kecil yang konstan dari nilai-nilai s(k), dengan nilai k dari 1 hingga panjang s(k). Sehingga persamaan (1) dapat dituliskan kembali sebagai (2) Jika s(t) = s(k), untuk dapat dituliskan sebagai
Gambar 1. Langkah Pertama Proses TWD Panjang dari masing-masing tapis adalah 2N, jika n = panjang(s), maka panjang dari sinyal F dan G adalah n + 2N – 1 dan panjang dari koefisien CA1 dan CD1 masingmasing adalah
maka persamaan (2)
(3) Atau (4)
(5) Langkah berikutnya adalah memisahkan koefisien CA1 menjadi dua bagian menggunakan skema proses yang sama, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.3, yang kemudian menghasilkan koefisien CA2 dan CD2, demikian seterusnya, ilustrasinya ditunjukkan pada Gambar 2.
Dengan demikian, untuk sembarang skala a, koefisien Wavelet Ca,b untuk b = 1 hingga panjang s(k) dapat diperoleh dengan cara mengkonvolusi sinyal s dan bentuk integral berikut yang diurai dan ditranslasikan
III. TRANSFORMASI W AVELET DISKRIT Analisis hasil Transformasi Wavelet Diskret berdasarkan pada proses Dekomposisi Sinyal setengah penuh (half decomposition dalam penelitian ini melibatkan beberapa parameter yaitu: • • • • •
Sinyal atau vektor sinyal dalam ranah waktu yang akan ditransformasikan; Jenis wavelet; Jumlah tingkat dekomposisi; Frekuensi cuplik, untuk kepentingan grafik hasil dekomposisi; dan Judul grafik hasil Transformasi Wavelet Diskret.
Algoritmanya sebagai berikut, sinyal s dengan panjang N, TWD atau Transformasi Wavelet Diskret mengandung minimal log2N langkah. Langkah pertama menghasilkan dua kelompok koefisien (berasal dari sinyal s), yaitu koefisien aproksimasi CA1 dan koefisien detil CD1. Vektor-vektor koefisien ini diperoleh dengan cara mengkonvolusikan sinyal s dengan tapis low-pass (lolos bawah) untuk menghasilkan aproksimasi dan dengan tapis high-pass (lolos atas) untuk menghasilkan detil, diikuti dengan desimasi dyadik (dyadic decimation), sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
ISSN: 2085-6350
Gambar 2. Ilustrasi Langkah-langkah Dekomposisi Dengan demikian, Transformasi Wavelet Diskret sinyal s sebanyak j tingkat dekomposisi akan menghasilkan struktur: [CAj, CDj, …, CD1]. Pada Gambar 3 ditunjukkan struktur hasil Transformasi Wavelet atau dekomposisi setengah untuk j=3. IV. PAKET W AVELET Analisis Paket Wavelet Standar atau Paket Wavelet (PW) berdasarkan proses dekomposisi penuh, berbeda dengan proses TWD. Parameter-parameter yang digunakan yaitu • • •
Sinyal atau vektor sinyal dalam ranah waktu yang akan ditransformasikan; Jenis wavelet; Cara penggambaran atau lebih tepatnya metode pewarnaan grafik. Terdapat 4 (empat) macam cara, yaitu: 1. Pewarnaan skala demi skala; 2. Pewarnaan secara global; 3. Pewarnaan skala demi skala secara nilai absolut; dan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
4.
• • •
Pewarnaan secara global dan nilai absolut. Jumlah tingkat dekomposisi; Frekuensi cuplik, untuk kepentingan grafik hasil Paket Wavelet; dan Judul grafik hasil Paket Wavelet.
165
dengan kedalaman L. Hasilnya diketahui bahwa α ≤ 2N/2, karena nilai ini dapat sangat besar, maka perlu dicari hasil dekomposisi yang optimal berdasarkan kriteria yang sesuai serta dapat dihitung dengan algoritma yang efisien dan daam hal ini yang diperlukan adalah kriteria minimum. Menurut Coifman dan Wickerhauser [4], fungsi yang mendukung sifat tipe-kemenambahan (additivity-type) cocok untuk pencarian yang efisien dari struktur pohonbiner dan pemisahan. Kriteria klasik berbasis entropi sangat cocok untuk kondisi ini dan berkaitan dengan tingkat kepentingan informasi pada sinyal yang bersangkutan. Entropi merupakan konsep yang banyak digunakan dalam berbagai bidang ilmu, termasuk pemrosesan sinyal. Entropi E harus merupakan sebuah fungsi ongkos aditip sedemikian hingga E(0)=0 dan memenuhi persamaan
Gambar 3. Struktur proses dekomposisi 3 tingkat Algoritma yang digunakan sama seperti pada Transformasi Wavelet Diskret, hanya saja proses dekomposisi dilakukan secara penuh, setelah diperoleh hasil dekomposisi yang pertama, yaitu CA1 dan CD1, maka masing-masing dari hasil dekomposisi tersebut didekomposisi lagi sehingga menghasilkan 4 macam koefisien, yaitu CAA2, CAD2, CDA2 dan CDD2 yang masing-masing merupakan hasil aproksimasi dan detil dari CA1 serta hasil aproksimasi dan detil dari CD1. Contoh pohon dekomposisi 3 (tiga) tingkat ditunjukkan pada Gambar 4.
(6) Beberapa entropi yang dikenal sebagai berikut •
Entropi Shanon (7) sehingga (8)
•
Entropi Norm (9) sehingga (10)
•
Entropi Log Energi (11) sehingga (12)
Gambar 4. Contoh pohon dekomposisi 3 tingkat
V. PAKET W AVELET P OHON TERBAIK Analisis dengan Paket Wavelet Pohon Terbaik (PWPT) menggunakan parameter dan algoritma yang sama dengan Paket Wavelet yang telah dijelaskan sebelumnya, hanya saja pemilihan koefisien yang ditampilkan berdasarkan pohon terbaik atau best-tree. Pohon-terbaik merupakan metode analisis paket wavelet yang digunakan untuk mencari atau menemukan subpohon yang paling optimal berdasar kriteria tipe entropi. Hasil pohonnya bisa lebih kecil dibandingkan aslinya. Menurut Mallat (1999), sebuah sinyal dengan panjang N=2L dapat dikembangkan (expanded) dalam sejumlah α cara yang berbeda, dengan α merupakan jumlah subpohon biner dari sebuah pohon biner lengkap
Algoritma untuk mencari pohon terbaik sebagai berikut, sebuah titik N dipisah menjadi dua titik N1 dan N2 jika dan hanya jika jumlah entropi N1 dan N2 lebih kecil dibandingkan entropi N. Misalnya, pohon dekomposisi yang ditunjukkan pada Gambar 4 dapat ditemukan pohon terbaiknya. Misalnya, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5, titik (0,0) dipisah menjadi titik (1,0) dan (1,1). Titik (1,0) dipisah lagi menjadi titik (2,0) dan (2,1), sedangkan titik (1,1) tidak dipisah karena hasil penjumlahan entropi pemisahan titik (1,1) tidak lebih kecil dari titik aslinya, yaitu (1,1), demikian seterusnya. Diagram alir proses Paket Wavelet Pohon Terbaik ditunjukkan pada Gambar 3.12, sedangkan contoh hasil pemrosesan atau analisis paket wavelet dengan pohon terbaik ditunjukkan pada Gambar 3.13.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
166
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Secara umum, tujuan dari kebanyakan riset-riset wavelet modern adalah membuat suatu fungsi wavelet ibu atau mother wavelet yang akan memberikan deskripsi sinyal yang dianalisis lebih informatif, efisien dan berguna.
Gambar 5. Contoh hasil penemuan pohon dekomposisi optimal (terbaik) VI.
Wavelet paling sederhana, yaitu Wavelet Haar sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6, merupakan wavelet ortogonal yang memiliki sifat tapis (filter) analisis dan sintesis yang simetrik. Wavelet ini ideal untuk kondisi saat sumber-daya komputasi sangat terbatas serta cocok untuk pemrosesan citra maupun sinyal-sinyal yang dengan mengandung transien yang tegas atau kasar [6].
DEKORLET – DEKOMPOSISI KORELASI BERBASIS WAVELET
Dekorlet merupakan metode Dekomposisi Wavelet yang kemudian dilanjutkan dengan proses Korelasi terhadap sinyal asli untuk melihat hubungan atau relasi yang lebih detil. Parameter-parameter yang digunakan dalam metode ini juga sama seperti sebelumnya (sinyal yang dianalisis, jenis Wavelet, jumlah tingkat dekomposisi dan judul plot grafik). Proses Dekomposisi menggunakan algoritma seperti penjelasan sebelumnya sedangkan proses korelasi menggunakan proses kros-korelasi. Menurut Orfanidis [5], deret kros-korelasi yang sesungguhnya merupakan sebuah kuantitas statistik yang didefinisikan sebagai (13) dengan xn dan yn merupakan proses-proses acak stasioner untuk -∞ ≤ n ≤ ∞ dan E{.} merupakan operator nilai yang dikehendaki. Secara praktis, harus diestimasi deret ini, karena dimungkinkan untuk mengakses suatu segmen yang terbatas dari proses acak dengan panjang tak berhingga. Estimasi umum berdasarkan N cuplikan dari xn dan yn merupakan deret kros-korelasi deterministik yang dinyatakan sebagai
(14) dengan asumsi xn dan yn memiliki indeks 0 hingga N-1 dan untuk –(N-1) hingga N-1 [5].
VII. W AVELET YANG SEBAIKNYA DIGUNAKAN Teori Wavelet didasarkan pada analisis komponenkomponen sinyal menggunakan sekumpulan fungsifungsi basis (dasar). Salah satu karakter penting fungsifungsi basis wavelet tersebut adalah keterkaitan antara satu dengan yang lainnya dengan penskalaan dan translasi yang sederhana. Fungsi wavelet asli, biasa disebut sebagai “wavelet induk” atau mother wavelet, biasanya dirancang berdasar beberapa karakter yang berkaitan dengan fungsi tersebut, digunakan untuk menghasilkan semua fungsi basis.
ISSN: 2085-6350
Gambar 6. Fungsi penskalaan Haar (kiri) dan Wavelet induk Haar (kanan) [6] Wavelet-wavelet yang dikenal tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kelas dengan beberapa macam cara, misalnya, dapat digolongkan berdasarkan durasi atau support: wavelet dengan support tak-hingga (infinite support wavelet) dan wavelet dengan support berhingga (finite support wavelet). Ada beberapa wavelet dengan support tak-hingga yang populer seperti Wavelet Gaussian, Mexican Hat, Morlet dan Meyer. Secara praktis, wavelet dengan support berhingga dan kompak (compact) lebih popular karena berkaitan dengan hubungannya dengan suatu bank tapis multi-resolusi (multiresolution filter bank). Wavelet-wavelet ini memiliki watak sebagai tapis wavelet tanggapanan impuls berhingga (FIR – Finite Impulse Response). Di antara wavelet-wavelet ini masih bisa dikategorikan dalam dua kelas, yaitu sistem wavelet ortogonal dan biortogonal. Wavelet ortogonal akan mendekomposisi sinyal ke ruangruang sinyal ortogonal yang well-behaved. Sedangkan wavelet biortogonal lebih kompleks dan didefinisikan berdasar suatu pasangan fungsi wavelet dan penskalaan [6]. Sifat ortogonalitas merupakan sifat penting dalam operasi analisis sinyal, untuk sistem wavelet ortogonal, kondisi dalam persamaan-persamaan berikut harus dipenuhi (15) (16) (17) Keterangan:
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
ψ (t ) merupakan wavelet ibu (mother wavelet) ϕ (t ) merupakan fungsi penskalaan. Banyak fungsi yang memenuhi persyaratan ortogonalitas ini, beberapa dari fungsi tersebut sangatlah tidak beraturan (irregular) bahkan bisa dikatakan fraktal [6]. Wavelet Daubechies, memiliki sifat pemampatan (compression) yang baik untuk koefisien detil tetapi tidak untuk koefisien aproksimasi. Sedangkan Coifman merancang suatu wavelet, dengan sebutan Coiflet, yang memiliki sifat pemampatan yang sama baik untuk koefisien aproksimasi maupun detil. Untuk kebanyakan aplikasi, lebih dibutuhkan koefisien-koefisien tapis yang nyata (real), dalam hal ini, satu-satunya pilihan untuk kelas wavelet simetrik adalah wavelet biortogonal [6]. Untuk aplikasi, wavelet ortogonal sangat sukses dalam bidang analisis numerik untuk memecahkan persamaan diferensial parsial, pengkodean suara (speech coding) dan aplikasi lain yang sejenis, karena sifat simetri bukan persyaratan utama. Wavelet Daubechies sangat baik jika ditinjau dari penyajian kompak dari detil sinyal (tetapi tidak untuk aproksimasinya). Sedangkan Coiflet sama-sama efektif baik untuk aproksimasi dan detil sinyal [6]. VIII. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sinyal Sinusoidal 3 Frekuensi Hasil Transformasi Wavelet Kontinu menggunakan Wavelet Non-Ortogonal (Mexican Hat), yang ditunjukkan pada Gambar 7, dan ortogonal (Coiflet-5) masing-masing menunjukkan adanya pola-pola sinyal yang periodik. Secara keseluruhan, kedua hasil tersebut belum bisa menampilkan 3 (tiga) pola frekuensi yang terkandung pada sinyal yang bersangkutan yaitu 0,5 Hz, 0,05 Hz dan 0,005Hz (berdasarkan persamaan sinyal dan ω = 2πf), hal ini berkaitan dengan selisih yang terlalu besar antara 2 frekuensi yaitu 0,05 Hz dan 0,005 Hz (frekuensi rendah berkaitan dengan skala besar pada skalogram). Selanjutnya hasil Transformasi Wavelet Diskret menggunakan Wavelet Ortogonal menunjukkan bahwa pada dekomposisi yang pertama (menghasilkan A1 dan D1), sinyal 0,5 Hz (pada D1) dan kedua sinyal lain yang lebih rendah (pada A1) bisa terpisahkan. Selanjutnya A1 didekomposisi 3 kali sehingga menghasilkan A4 dan D4 yang sudah sanggup memisahkan antara komponen 0,05 Hz (pada D4) dan 0,005 Hz (pada A4). Hasil akhir berupa komponen A6 dan D6, dengan komponen A6 yang mengandung komponen frekuensi 0,005 Hz. Hasil analisis terakhir untuk dekomposisi penuh dan untuk perbandingan korelasi, dapat diidentifikasi secara otomatis ketiga frekuensi yang terkandung pada sinyal yang diproses., yaitu pada pita 0,00Hz, 0,003 hz dan 0,47 Hz. Rangkuman atau kesimpulan dari hasil analisis Sinyal Jumlahan Sinusoidal 3 frekuensi ditunjukkan pada Tabel 1.
167
Tabel 1. Rangkuman Hasil Analisis Sinyal Sinusoidal 3 Frekuensi Fitur Ekstraksi sinyal Deteksi otomatis Pola-pola tertentu
TWK
TWD
WPT
Dekorlet
-
Bisa
Bisa
Bisa
Bisa
-
Bisa
Bisa
Bisa
-
Bisa
-
B. Sinyal Derau Hasil Transformasi Kontinu menggunakan Wavelet Non-Ortogonal (yaitu Morlet, 64 tingkat) dan Wavelet Ortogonal (Coiflet-5, 64 tingkat) menunjukkan keunikan pola sinyal derau putih. Hasil Transformasi Wavelet Diskret menggunakan Wavelet Ortogonal Coiflet-3, 5 tingkat, yang ditunjukkan pada Gambar 8, karena derau putih memiliki distribusi sinyal yang bisa dikatakan merata, maka hasil dekomposisi yang pertama, yang menghasilkan A1 dan D1, memisahkan jangkauan frekuensi rendah dan tinggi secara seimbang. Hasil dekomposisi berikutnya (dari A1), yang menghasilkan A2 dan D2, juga sama, begitu seterusnya hingga hasil dekomposisi, yaitu A5 dan D5. Hasil Paket Wavelet masih menunjukkan pola yang sama dengan hasil Trasformasi Wavelet Diskret, semua jangkauan frekuensi mengandung nilai sebaran yang sama. Demikian juga dengan hasil Paket Wavelet Pohon terbaik menunjukkan pola yang sama juga, hanya beberapa koefisien dapat diringkas (tidak dilakukan dekomposisi lebih lanjut) karena entropi informasinya sudah mencukupi, yaitu 0,19 Hz dengan 0,25 Hz dan 0,44 Hz dan 0,50 Hz. Hasil Dekorlet untuk dekomposisi penuh dan korelasi menunjukkan pola yang mirip dengan hasil Transformasi Wavelet Diskret seperti sebelumnya. Sedangkan hasil korelasi dari dekomposisi penuh, menguatkan pola distribusi frekuensi yang merata pada sinyal derau putih. Pada Tabel 2 ditunjukkan rangkuman atau kesimpulan dari hasil analisis Sinyal Derau Putih (dengan sebaran atau distribusi frekuensi yang merata). Tabel 2. Rangkuman Hasil Analisis Sinyal Derau Fitur Ekstraksi sinyal Deteksi otomatis Pola-pola tertentu
TWK
TWD
WPT
Dekorlet
-
Bisa
Bisa
Bisa
Bisa
-
Bisa
Bisa
Bisa
-
Bisa
-
C. Sinyal Sinusoidal dan Derau Hasil Transformasi Wavelet Kontinu Sinyal Sinusoidal dan Derau dan hasil Transformasi Wavelet Kontinu menggunakan Wavelet Morlet, 96 tingkat, langsung menunjukkan adanya pola derau putih pada
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
168
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
sinyal, sedangkan kelihatan.
pola
periodiknya
tidak
terlalu
Sedangkan hasil Transformasi Wavelet Kontinu yang menggunakan Wavelet Coiflet-5, 96 tingkat, langsung memperlihatkan pola periodik dan pola sinyal serau putih. Dengan demikian, pemilihan Wavelet berpengaruh pada hasil TWK tersebut. Hasil Transformasi Wavelet Diskret menggunakan Wavelet Coiflet-3 sebanyak 5 tingkat, menunjukkan bahwa pada dekomposisi pertama TWD tersebut, yang menghasilkan A1 dan D1, sudah terjadi pemisahan awal antara sinyal sinusoidal dengan deraunya. Kemudian dilanjutkan dengan dekomposisi kedua dari A1, yang menghasilkan A2 dan D2, terjadi pemisahan antara sinyal dan derau lebih intensif, demikian berulang-ulang hingga dekomposisi kelima, yang menghasilkan A5 dan D5, terlihat jelas A5 sudah mengandung sinyal sinusoidal tanpa derau. Hasil Paket Wavelet menggunakan Wavelet Daubechies-8 sebanyak 4 tingkat (menghasilkan 16 pita frekuensi yang berbeda) dan hasil Paket Wavelet, menunjukkan adanya sebuah pita frekuensi, yaitu pita 0,03 Hz yang memiliki distribusi koefisien Paket Wavelet yang lebih intensif dibandingan ke-15 pita frekuensi lainnya, yang didominan dengan pola derau putih. Hal ini menunjukkan kemampuan dari Paket Wavelet untuk mengidentifikasi suatu frekuensi suatu sinyal yang sudah bercampur dengan derau. Hasil Dekorlet dekomposisi dan korelasi menggunakan Wavelet Coiflet-5 sebanya 4 tingkat terlihat adanya sinyal sinusoidal asli pada pita frekuensi 0 – 0,03 Hz, sedangkan pita frekuensi lainnya hanya mendapatkan distribusi merata dari derau putih yang terdapat di dalam sinyal yang bersangkutan. Hasil korelasi juga menguatkan temuan pada hasil dekomposisi penuh, yaitu hanya ada satu pita frekuensi yang dominan, yaitu pada pita 0 – 0,03 Hz. Rangkuman dari hasil analisis sinyal sinusoidal dengan derau putih ditunjukan pada Tabel 3. Tabel 3. Rangkuman Hasil Analisis Sinyal Sinusoidal dan Derau Fitur Ekstraksi sinyal Deteksi otomatis Pola-pola tertentu
TWK
TWD
WPT
Dekorlet
-
Bisa
Bisa
Bisa
Bisa
Bisa
Bisa
Bisa
Bisa
-
Bisa
-
D. Sinyal Loncatan Frekuensi Hasil Transformasi Kontinu menggunakan Wavelet Non-Ortogonal (yaitu Molet, 32 tingkat) dan Wavelet Ortogonal (Coiflet-5, 32 tingkat) sama sekali belum menunjukkan adanya dua frekuensi yang terkandung dalam sinyal sintetis yang dianalisis, tetapi kapan terjadinya perubahan frekuensi dapat dideteksi dengan
ISSN: 2085-6350
baik, yaitu pada saat t=10 (atau data ke-500), walaupun kedua hasil transformasi tersebut menunjukkan pola sinyal yang agak berbeda. Hasil Transformasi Wavelet Diskret menggunakan Wavelet Ortogonal Coiflet-5 sebanyak 5 tingkat, pada hasil dekomposisi pertama, yang menghasilkan A1 dan D1 sudah langsung dapat terdeteksi kapan terjadinya perubahan frekuensi, yaitu pada koomponen D1. Sedangkan pemisahan kedua sinyal dengan frekuensi yang berbeda tersebut terjadi pada dekomposisi keempat yang menghasilkan A4 dan D4. Hasil Paket Wavelet yang menggunakan Wavelet Haar sebanyak 3-tingkat, juga bisa menunjukkan kapan terjadinya perubahan frekuensi, walaupun tidak setajam atau sekontras hasil Transformasi Wavelet Kotinyu. Sedangkan hasil dekomposisi penuh dan dilanjutkan korelasi atau metode Dekorlet menggunakan Wavelet Coiflet-5 menunjukkan bahwa dua jangkauan frekuensi yang pertama sudah langsung menunjukkan pemisahan kedua frekuensi tersebut, yaitu titik (4,0) dan (4,1) serta hal ini diperkuat dengan hasil korelasi yang menegaskan adanya 2 (dua) frekuensi dominan. Rangkuman dari hasil analisis sinyal loncatan frekuensi ini ditunjukan pada Tabel 4. Tabel 4. Rangkuman Hasil Analisis Sinyal Loncatan Frekuensi Fitur Ekstraksi sinyal
TWK
TWD
WPT
Dekorlet
-
Bisa
Bisa
Bisa
Deteksi otomatis
Bisa & kontras
Bisa
Bisa, kurang kontras
Bisa
Pola-pola tertentu
Bisa
-
Bisa
-
E. Sinyal Blok dan Derau Sinyal blok mengandung transien-transien sangat tajam atau kasar (tidak landai). Hasil Transformasi Wavelet Kontinu menggunakan Wavelet Haar dan Morlet menunjukkan kapan terjadinya perubahan-perubahan atau transien-transien, hanya saja, hasil Transformasi Wavelet Kontinu menggunakan Morlet kurang begitu kontras. Namun disisi lain, hasil Transformasi Wavelet Kontinu menggunakan Wavelet Morlet mampu menunjukkan adanya pola derau (atau derau putih) dengan baik, sehingga bisa memberikan informasi yang lebih lengkap. Menarik untuk dicermati adalah hasil Transformasi Wavelet Diskret menggunakan Wavelet Haar sebanyak 6tingkat. Sejak dekomposisi pertama sudah dilakukan pemisahan antara sinyal dengan deraunya, hingga akhirnya pada dekomposisi yang kelima bisa diperoleh sinyal asli sebagaimana dalam kandungan komponen A5, jika hasil dekomposisi kelima ini masih dilakukan dekomposisi lagi, yang menghasilkan A6 dan D6, maka detil-detil yang dijumpai pada A5 akan hilang. Dengan demikian sebenarnya sudah cukup hanya dilakukan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
169
dekomposisi atau Transformasi Wavelet Diskret sebanyak 5-tingkat.
mempengaruhi hasil akhir dari Transformasi Wavelet Diskret ini.
Sedangkan hasil Paket Wavelet dan Paket Wavelet: Pohon terbaik yang menggunakan Wavelet Haar sebanyak 4 tingkat (menghasilkan 16 pita atau jangkauan frekuensi), tidak terlalu banyak memberikan informasi walaupun kapan terjadinya transien atau transisi juga bisa dideteksi, tetapi tidak terlalu jelas. Pada jenis sinyal ini tidak dilakukan proses Dekorlet, karena dirasa tidak atau kurang relevan dengan jenis atau pola sinyalnya itu sendiri. Rangkuman dari hasil analisis sinyal blok dengan derau ini ditunjukan pada Tabel 5.
Hasil Paket Wavelet menggunakan Wavelet Haar sebanyak 4 tingkat tidak terlalu memberikan harapan dapat dideteksi secara baik terjadinya transisi-transisi dalam sinyal bump karena hasilnya yang kabur. Pada jenis sinyal ini tidak dilakukan proses Dekorlet, karena dirasa tidak atau kurang relevan dengan jenis atau pola sinyalnya itu sendiri. Rangkuman dari hasil analisis sinyal bump dengan derau ini ditunjukan pada Tabel 6.
Tabel 5. Rangkuman Hasil Analisis Sinyal Blok & Derau Fitur Ekstraksi sinyal
TWK
TWD
WPT
Dekorlet
-
Bisa
Bisa
-
Deteksi otomatis
Bisa & kontras
Bisa
Bisa, kurang kontras
Pola-pola tertentu
Bisa
-
Bisa
SINYAL BUMP DAN DERAU Berbeda dengan sinyal blok, sinyal bump ini memiliki transisi-tansisi yang landai atau tidak kasar. Hasil Transformasi Wavelet Kontinu yang menggunakan Wavelet Haar dan Morlet sebanyak 32-tingkat, sebagaimana juga mirip dengan pembahasan sebelumnya, Transformasi Wavelet Kontinu yang menggunakan Wavelet Haar, dapat secara tajam dan kontras menunjukan kapan terjadinya transisi-transisi dibandingkan dengan yang menggunakan Wavelet Morlet. Namun di sisi lain memang dengan Morlet diperoleh informasi lengkap termasuk adanya pola derau. Hasil Transformasi Wavelet Diskret menggunakan Wavelet Coiflet-5 sebanyak 6 tingkat, sejak awal, yang menghasilkan A1 dan D1, sudah mulai dipisahkan antara komponen sinyal asli dengan deraunya. Kemudian dilanjutkan dengan proses dekomposisi berikutnya hingga akhirnya dekomposisi ketiga, detil sinyal asli sudah mulai kelihatan, jika kemudian dilakukan dekomposisi terus menerus, maka detil-detil tersebut akan hilang, sebagaimana ditunjukkan pada hasil dekomposisi keempat, kelima dan keenam, masing-masing menghasilkan A4 dan D4, A5 dan D5 serta A6 dan D6. Dengan demikian, kiranya cukup dilakukan Transformasi Wavelet Diskret sebanyak 3-tingkat saja untuk sinyal bump ini. Sedangkan hasil Transformasi Wavelet Diskret yang menggunakan Wavelet Haar sebanyak 6-tingkat, kurang berhasil mendapatkan sinyal asli, yang akhirnya bentuk sinyal bump menjadi kotak-kotak. Dengan demikian pemilihan Wavelet berdasar pola atau bentuknya
Tabel 6. Rangkuman Hasil Analisis Sinyal Bump & Derau Fitur Ekstraksi sinyal Deteksi otomatis Pola-pola tertentu
TWK
TWD
WPT
Dekorlet
-
Bisa
Bisa,kabur
-
Bisa & kontras
Bisa
-
-
Bisa
-
Bisa
-
KESIMPULAN Hasil perbandingan, yang dilakukan secara visual, memperlihatkan bahwa setiap metode analisis memiliki kemampuan dan keterbatasan dalam hal ekstraksi informasi, deteksi otomatis dan visualisasi pola-pola tertentu, juga berkaitan dengan jenis sinyal yang dianalisis. Namun secara umum Transformasi Paket Wavelet mampu melakukan ketiga kemampuan tersebut. Sedangkan pemilihan Mother Wavelet didasarkan pada jenis sinyal yang dianalisis, dan sifat-sifat atau fitur-fitur dari Mother Wavelet yang bersangkutan. Mother Wavelet yang digunakan dalam analisis ini antara lain: Mexican Hat, Haar, Coiflet, Morlet, dan Daubechies. [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
DAFTAR PUSTAKA Foster, D.J., Mosher, C.C. dan Hassanzadeh, S., 1994, Wavelet Transform Methods for Geophysical Applications, 64th Annual International Meeting, Soc. Expl. Geophys., Expanded Abstract, halaman 1465 – 1468. Anant, K.S. dan Dowla, F.U., 1997, Wavelet Transform Methods for Phase Identification in Three-Component Seismograms, Bulletin of Seismological Society of America, Vol. 87, No. 6, halaman 1598 – 1612. Graps, A., 1995, An Introduction to Wavelets, IEEE Computational Science and Engineering, vol.2, num.2, IEEE Computer Society, Loas Alamitos – CA, USA. Coifman, R.R. dan Wickerhauser, M.V., 1992, Entropy-based algorithms for best basis selection, IEEE Trans. on Inf. Theory, vol. 38, 2, pp. 713-718. Orfanidis, S.J., 1996, Optimum Signal Processing. An Introduction. 2nd Edition, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ. Reza, A. M., 1999, Wavelet Characteristics, What Wavelet Should I Use?, Xilinx Inc.,
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
170
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Data Jumlahan Sinus 3 Frekuensi dengan panjang 1000 2 1 0 -1 -2
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Waktu
Skala
Transformasi Wavelet Kontinyu (wavelet MEXH, pewarnaan ABSGLB) 96 91 86 81 76 71 66 61 56 51 46 41 36 31 26 21 16 11 6 1 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Waktu 20
40
60
80
100
120
Gambar 7. Hasil Transformasi Wavelet Kontinu (Mexican Hat, 96 tingkat) Sinyal Sinusoidal 3 frekuensi Data Noise Putih dengan panjang 1000
TWD Menggunakan wavelet: COIF3
0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
Jangkauan 0.00 - 0.25 Hz (A1) 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
Jangkauan 0.25 - 0.50 Hz (D1) 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
Jangkauan 0.00 - 0.13 Hz (A2) 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
Jangkauan 0.13 - 0.25 Hz (D2) 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
Jangkauan 0.00 - 0.06 Hz (A3) 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
Jangkauan 0.06 - 0.13 Hz (D3) 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
Jangkauan 0.00 - 0.03 Hz (A4) 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
Jangkauan 0.03 - 0.06 Hz (D4) 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
200
400
600
800
Jangkauan 0.00 - 0.02 Hz (A5)
200
400
600
800
Jangkauan 0.02 - 0.03 Hz (D5)
Gambar 8. Hasil Transformasi Wavelet Diskret (Coiflet-3, 5 tingkat) Sinyal Derau
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
171
ANALISIS CITRA MEDIS MENGGUNAKAN SEGMENTASI ADAPTIF Indah Soesanti*, Adhi Susanto**, Thomas Sri Widodo**, Maesadji Tjokronegoro*** *Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta email: [email protected] **Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ***Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
ABSTRACT Image segmentation is an important step in an image analysis system. The goal is to separate the image into regions that are meaningful for a given task. The successful of an image analysis system depends on the quality of segmentation. In medical imaging, this could involve the detection of organs or tissue types from MRI images. One way of performing segmentation is by classification, in which image pixels are classified into different classes according to their feature. In this research, the Fuzzy C-Means algorithm with spatial information is presented for doing MRI medical image segmentation. The FCM clustering utilizes the distance between pixels and cluster centers in the spectral domain to compute the membership function. The pixels on an image are highly correlated, and this spatial information is an important characteristic that can be used to aid their labeling. The FCM method was successfully classifies the normal brain MRI image and two brain MRI images with glioma into C clusters. Keywords: medical image, image segmentation, fuzzy c-means, magnetic resonance imaging.
PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini dalam bidang medis telah banyak dimanfaatkan teknologi digital, salah satunya pada diagnosis melalui pencitraan medis. Pencitraan medis dengan teknologi digital bersifat non-invasive, painless, serta dapat memberikan informasi bagian dalam tubuh manusia dalam bentuk potongan atau slice tertentu untuk keperluan diagnosis. Teknologi yang mampu memberikan informasi ini adalah pencitraan CT Scan (Computed Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). MRI memiliki keunggulan dibanding CT scan yakni tidak menggunakan radiasi pengion dan lebih unggul dalam mendeteksi kelainan pada jaringan lunak, misalnya pada otak. Guna mendapatkan hasil yang optimal, dibutuhkan pengolahan citra medis MRI, yang diharapkan dapat membantu dalam hal diagnosis yang objektif. Penelitianpenelitian terkait pengolahan citra telah banyak dilakukan di antaranya kompresi citra [1], pengurangan derau [2], deteksi tepi [3–6], hingga segmentasi citra [7–11]. Salah satu permasalahan penting dalam bidang pengolahan citra dan pengenalan pola adalah segmentasi citra ke dalam area homogen [12]. Ekstraksi ciri dan segmentasi citra merupakan langkah awal dalam analisis citra. Beberapa metode segmentasi citra telah diusulkan, di antaranya metode-metode berbasis thresholding histogram, clustering, ataupun region growing.
Segmentasi citra merupakan kegiatan yang sangat diperlukan dalam usaha memahami ciri citra secara lengkap. Segmentasi pada citra medis akan menghasilkan citra medis yang disertai informasi batasan objek yang merupakan ciri penting karena dapat menggali informasi untuk pengenalan pola guna keperluan analisis. Tujuan utama segmentasi adalah membagi citra ke dalam bagian-bagian yang mempunyai korelasi kuat dengan objek dalam citra. Citra medis yang tersegmentasi dengan baik akan didapatkan informasi batasan-batasan objek dengan jelas, misalnya untuk keperluan deteksi sel tumor pada pasien. Informasi ini sangat membantu tenaga medis secara objektif dan akurat untuk melakukan analisis, diagnosis, perencanaan pengobatan, dan tindakan medis yang diperlukan. Untuk itu dalam penelitian ini akan dilakukan segmentasi citra medis secara adaptif menggunakan metode fuzzy c-means (FCM) dengan informasi spasial yang berguna dalam segmentasi citra asli yang berderau. Beberapa peneliti telah mengembangkan metodemetode segmentasi citra [13–16]. Akan tetapi pada metodemetode tersebut tidak memanfaatkan informasi multispektral isyarat MRI. Pengklasteran fuzzy c-means (FCM) [13,17,18] merupakan teknik tak-terbimbing yang berhasil diterapkan untuk analisis ciri, pengklasteran, dan rancangan pengklasifikasi dalam bidang-bidang seperti astronomi, geologi, pencitraan medis, pengenalan sasaran, dan segmentasi citra. Suatu citra dapat direpresentasikan dalam berbagai ruang ciri, dan algoritma FCM mengklasifikasi citra dengan mengelompokkan titik-titik
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
172
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
data yang serupa dalam ruang ciri ke dalam klaster. Pengklasteran ini dicapai secara iteratif meminimisasi fungsi cost yang tergantung pada jarak piksel ke pusat klaster dalam domain ciri. Piksel-piksel pada suatu citra pada dasarnya mempunyai korelasi kuat, piksel yang dekat dengan tetangga mempunyai data ciri yang hampir sama. Oleh karenanya, relasi spasial dari piksel tetangga merupakan karakteristik penting yang sangat membantu dalam segmentasi citra. Teknik deteksi batas umum memanfaatkan kelebihan informasi spasial ini untuk segmentasi citra. Akan tetapi, algoritma FCM konvensional tidak sepenuhnya memanfaatkan informasi spasial ini. Pedrycz dan Waletzky [19] menggunakan informasi klasifikasi yang ada dan diterapkan sebagai bagian dari prosedur optimisasinya. Ahmed dkk. [20] memodifikasi fungsi objektif algoritma FCM standar untuk memberikan label pada tetanggal piksel untuk mempengaruhi pelabelannya. Algoritma FCM modifikasi itu memberikan hasil yang lebih baik dibanding metode FCM konvensional pada citra berderau. Akan tetapi, cara menggabungkan informasi piksel tetangganya terbatas untuk aplikasi masukan ciri-tunggal. Tujuan penelitian ini adalah melakukan segmentasi adaptif citra medis MRI menggunakan metode Fuzzy CMeans Clustering dengan informasi spasial. Dalam metode yang dikembangkan ini digabungkan informasi spasial, dan bobot keanggotaan setiap klaster diubah setelah memperhitungkan distribusi klaster pada tetangga. Skema ini bermaksud untu meminimalkan pengaruh derau. Dalam penelitian ini dilakukan segmentasi terhadap sebuah citra medis MRI otak normal dan dua buah citra medis MRI otak dengan glioma. METODE Fuzzy C-Means Clustering Algoritma FCM menetapkan piksel setiap kategori dengan menggunakan fungsi keanggotaan fuzzy. Misalkan X=(x1, x2,.,xN) menyatakan citra dengan N piksel yang dipartisi menjadi c klaster, dengan xi merepresentasikan data. Algoritma ini merupakan optimisasi iteratif yang meminimalkan fungsi cost yang didefinisikan sebagai berikut: N
c
J = ∑∑ u ijm || x j − vi || 2
(1)
j =1 i =1
dengan uji merepresentasikan keanggotaan piksel xj dalam klaster ke-i, vi adalah pusat klaster ke-i, dan m adalah konstanta. Parameter m mengendalikan fuzziness partisi hasil, dan and dalam studi ini digunakan m=2. Fungsi cost diminimalkan saat piksel dekat centroid klasternya yang ditandai dengan nilai keanggotaan tinggi, dan nilai keanggotaan rendah ditetapkan untuk piksel dengan data yang jauh dari centroid. Fungsi keanggotaan merepresentasikan probabilitas bahwa suatu piksel termasuk klaster khusus. Dalam algoritma FCM, probabilitas tersebut tergantung hanya pada ISSN: 2085-6350
jarak antara piksel dan masing-masing pusat klaster individu dalam domain ciri. Fungsi keanggotaan dan pusat klaster diperbarui menggunakan persamaan berikut:
u ij =
1 ⎛ || x j − vi ⎜ ∑ ⎜ k =1 ⎝ || x j − v k c
|| ⎞ ⎟ || ⎟⎠
2 /( m −1)
(2)
dan N
vi =
∑u j =1
m ij
xj (3)
N
∑u j =1
m ij
Dimulai dengan taksiran awal untuk setiap pusat klaster, FCM konvergen pada solusi untuk vi yang merepresentasikan minimum lokal fungsi cost. Konvergensi dapat dideteksi dengan membandingkan perubahan fungsi keanggotaan atau pusat klaster pada dua langkah iterasi berturut-turut. FCM Spasial Salah satu karakteristik penting dari suatu citra adalah bahwa piksel tetangga berkorelasi tinggi. Dengan kata lain, piksel tetangga tersebut memiliki nilai ciri yang sama, dan mempunyai probabilitas yang tinggi bahwa piksel-piksel tersebut termasuk dalam klaster yang sama. Hubungan spasial ini sangat penting dan pengklasteran, tetapi tidak digunakan dalam algoritma FCM standar. Untuk memanfaatkan informasi spasial, suatu fungsi spasial didefinisikan sebagai
hij =
∑u
ik k∈NB ( x j )
(4)
dengan NB(xj) merepresentasikan window yang terpusat pada piksel xj dalam domain spasial. Dalam penelitian ini digunakan window 3x3. Fungsi spasial hij merepresentasikan probabilitas bahwa piksel xj termasuk klaster ke-i. Fungsi spasial suatu piksel untuk sebuah klaster akan bernilai besar jika mayoritas tetangganya termasuk dalam klaster yang sama. Fungsi spasial tergabung dalam fungsi keanggotaan berikut:
u = ' ij
u ijp hijq
(5)
c
∑u k =1
p kj
q kj
h
dengan p dan q adalah parameter untuk mengendalikan kepentingan relatif kedua fungsi. Dalam daerah homogen, fungsi spasial benar-benar mengukuhkan keanggotaan asli, dan hasil pengklasteran tetap tak berubah. Akan tetapi, untuk piksel berderau, formula ini mengurangi bobot klaster berderau dengan label
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
piksel tetangganya. Hasilnya adalah bahwa piksel takterklasifikasi dari daerah berderau atau tumpukan palsu dapat dikoreksi dengan mudah. FCM spasial dengan parameter p dan q dinyatakan dengan sFCMp,q. Jadi, sFCM1,0 identik dengan FCM konvensional. Pengklasteran adalah proses dua-jalan (two-pass) pada setiap iterasi. Jalan pertama adalah sama dengan FCM standar untuk menghitung fungsi keanggotaan dalam domain spektral. Pada jalan kedua, informasi keanggotaan setiap piksel dipetakan ke domain spektral, dan fungsi spasial dihitung dari domain spektral tersebut. Iterasi FCM diproses dengan keanggotaan baru yang tergabung dengan fungsi spasial. Iterasi akan berhenti pada saat perbedaan maksimum antara dua pusat klaster pada dua iterasi berturut-turut lebih kecil dari ambang (=0,02). Setelah konvergen, defuzifikasi diterapkan untuk menentukan setiap piksel ke klaster spesifik agar keanggotaan maksimal. Glioma Glioma merupakan jenis tumor otak yang umum terjadi. Tumor ini disebut glioma karena berawal dari sel glial. Glioma dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat (grade), yakni Grade I (paling rendah), Grade II, Grade III, dan Grade IV (paling tinggi). Klasifikasi ini didasarkan pada beberapa hal, antara lain sebagai berikut: 1. Ukuran kecil atau besarnya tumor. 2. Pertumbuhan tumor lambat atau cepat. 3. Letak tumor terlokalisasi atau menyebar. 4. Crossing of the midline. 5. Belum atau telah menekan atau mengganggu dan mengakibatkan perubahan pada bagian-bagian di sekitarnya.
HASIL DAN ANALISIS Dalam penelitian ini dilakukan segmentasi terhadap sebuah citra medis MRI otak normal (Gambar 1) dan dua buah citra medis MRI otak dengan glioma (Gambar 2 dan 3). Masing-masing adalah citra greyscale dengan ukuran 256x256. Citra asli tersebut merupakan citra yang masih mengandung derau, dan dalam hal ini dalam uji metode yang dilakukan adalah tanpa melalui tahap penapisan derau. Hal ini untuk membuktikan bahwa dengan menggunakan FCM dengan informasi spasial akan mampu untuk melakukan segmentasi sesuai yang diinginkan.
(a) (b) Gambar 1. MRI otak normal (a) asli, (b) hasil segmentasi.
173
(a) (b) Gambar 2. MRI otak dengan glioma tingkat I-II (a) asli, (b) hasil segmentasi.
(a) (b) Gambar 3. MRI otak dengan glioma tingkat IV (a) asli, (b) hasil segmentasi. Gambar 1(a) menunjukkan citra medis MRI irisan aksial otak dari seorang pasien wanita berumur 50 tahun. Citra asli ini merupakan citra yang masih berderau. Pada Gambar 1(b) terlihat bahwa hasil segmentasi menggunakan metode FCM dengan informasi spasial berhasil menunjukkan bagian Grey Matter, White Matter, dan Cerebrospinal Fluid (CSF), serta tidak terlihat adanya kelainan (massa), sehingga dapat diidentifikasi bahwa otak normal. Pada Gambar 2 terlihat citra otak MRI untuk irisan aksial dari seorang pria berumur 47 tahun. Citra asli ini merupakan citra yang masih berderau dan mempunyai iluminasi yang tidak homogen. Dari hasil segmentasi menggunakan FCM dengan informasi spasial, didapat hasil citra MRI dapat tersegmen menjadi bagian-bagian yang diinginkan namun di sini juga dideteksi adanya kelainan (massa) pada bagian tertentu. Dalam kasus ini ditunjukkan bahwa tumor tidak mempengaruhi ataupun meluas ke midline structures dan tidak terhubung dengan bagian luas edema di sekitarnya. Di samping itu tumor juga terlihat berukuran kecil dan bersifat tidak kistik. Sehingga berdasar ciri-ciri yang dimiliki tersebut, tumor dapat diidentifikasi sebagai glioma tingkat III. Sedang pada Gambar 3 terlihat citra otak MRI untuk irisan aksial dan citra asli ini juga merupakan citra yang masih berderau. Di sini terlihat perbedaan yang sangat signifikan jika dibanding dengan hasil pada Gambar 2, yakni dari hasil segmentasi menggunakan FCM dengan informasi spasial, didapat kelainan yang telah meluas dan mempengaruhi jaringan di sekitarnya. Pengaruh dari perluasan massa dapat menekan dan menimbulkan perubahan ataupun gangguan pada area tertentu, termasuk ventrikel. Sebuah area kelainan juga terlihat pada sisi yang lain, yang mungkin dapat merupakan sebuah perluasan tumor ataupun metastatis. Berdasar ciriciri tersebut dapat diidentifikasi bahwa ini merupakan glioma tingkat IV atau merupakan glioblastoma.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
174
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
KESIMPULAN Berdasar hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa algoritma FCM dengan informasi spasial mampu untuk menghasilkan segmentasi dengan baik pada citra medis MRI normal dan MRI dengan glioma grade I-II dan grade IV yang semuanya merupakan citra asli yang masih berderau dan dimungkinkan mempunyai intensitas yang tidak homogen. Dengan demikian segmentasi menggunakan FCM dengan informasi spasial ini telah menghasilkan citra medis tersegmentasi yang sangat bermanfaat untuk keperluan analisis.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Soesanti, I, 2006, " Kompresi Citra Medis Menggunakan Alihragam Kosinus Diskret dan Sistem Logika Fuzzy Adaptif ", UGM Yogyakarta. [2] Soesanti, I, 2007, "Pengurangan Derau Citra Medis Menggunakan Tapis Adaptif", UGM Yogyakarta. [3] Hardie, R.C., dan Boncelet, C.G., 1995, “GradientBased Edge Detection Using Nonlinear Edge Enhancing Prefilters”, IEEE Trans. on Image Processing, Vol.4, No.11, 1572-1577 [4] Russo, F., 1998, “Edge Detection in Noisy Images Using Fuzzy Reasoning”, IEEE Tran. on Instrumentation and Measurement, Vol.47, No.5, Oct., 1102-1105 [5] Sharifi, M., Fathy, M., dan Mahmoudi, M.T., 2002, "A classified and comparative study of edge detection algorithms", International Conference on IT: Coding and Computing, Proceedings. [6] Maini, R., dan Sobel, J.S., 2006, "Performance Evaluation of Prewitt Edge Detector for Noisy Images", GVIP Journal, Vol. 6, Issue 3. [7] Sauvola, J., dan Pietikainen, M., 2000, “Adaptive document image binarization”, Pattern Recognition 33 (2000), 225-236. [8] Martinez, J.C., Sanchez, D., Su´arez, B.P., Perales, E.G., and Vila, M.A., 2003, “A Hierarchical Approach to Fuzzy Segmentation of Colour Images”, The IEEE International Conference on Fuzzy Systems, 966-971. [9] Wang, H., dan Suter, D., 2003, “Color Image Segmentation Using Global Information and Local Homogeneity”, Proc. VIIth Digital Image Computing:
ISSN: 2085-6350
Techniques and Applications, 10-12 Dec. 2003, Sydney. [10] Kande,G.B., Savithri,T.S., dan Subbaiah, P.V., 2007, “Segmentation of Vessels in Fundus Images using Spatially Weighted Fuzzy C-Means Clustering Algorithm”, IJCSNS International Journal of Computer Science and Network Security, Vol.7 No.12. [11] Rawashdeh, N.A., Love, S.T., dan Donohue, K.D., 2008, “Hierarchical Image Segmentation by Structural Content”, Journal of Software, Vol. 3, No. 2. [12] Schulze, M.A., dan Pearce, J.A., 1993, ”Linear Combinations of Morphological Operators: The Midrange, Pseudomedian, and LOCO Filters”, IEEE International Conference, Acoustics,Speech, and Signal Processing, Vol. V, pp. 57-60. [13] Bezdek, J., Hall, L., Clarke, L., 1993, “Review of MR image segmentation using pattern recognition”, Medical Physics; 20:1033–48. [14] Brandt, M.E., Bohan, T.P., Kramer, L.A., Fletcher, J.M., 1994, “Estimation of CSF, white matter and gray matter volumes in hydrocephalic children using fuzzy clustering of MR images”, Computer Medical Imaging Graph; 18:25–34. [15] Clark, M.C., Hall, L.O., Goldgof, D.B., Clarke, L.P., Velthuizen, R.P., Silbiger, M.S., 1994, “MRI segmentation using fuzzy clustering techniques”, IEEE Eng. Med. Biol.;13:730–42. [16] Pham, D.L., Prince, J.L., 1999, “Adaptive fuzzy segmentation of magnetic resonance images”, IEEE Trans. Med. Imaging;18:737–52. [17] Lyer, N.S., Kandel, A., Schneider, M., 2002, “Featurebased fuzzy classification for interpretation of mammograms”, Fuzzy Sets Syst.;114: 271–80. [18] Yang, M.S., Hu, Y.J., Lin, K.C.R., Lin, C.C.L., 2002, “Segmentation techniques for tissue differentiation in MRI of Ophthalmology using fuzzy clustering algorithms”, Magnetic Resonance Imaging; 20: 173–9. [19] Pedrycz, W., Waletzky, J., 1997 “Fuzzy clustering with partial supervision”, IEEE Trans. Syst. Man. Cybern. Part B Cybern.; 27: 787–95. [20] Ahmed, M.N., Yamany. S.M., Mohamed, N., Farag, A.A., Moriarty, T., 2002, “A modified fuzzy c-means algorithm for bias field estimation and segmentation of MRI data”, IEEE Trans. Med. Imaging;21:193–9.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
175
PERANCANGAN MONITORING PROSES PRODUKSI BATIK BERBASIS WEB Indah Soesanti Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2 Kampus UGM Yogyakarta 55281 E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Web-based services are commonly used in the trade of products and in sharing information. The Web application can be platform independent, portable, where system data can be shared, reused and accessed at much reduced cost. During the previous years a lot of research has been done for trying to develop web applications, which make it possible to supervise and control industrial processes. Experiments have proven that this technology has a great impact in the future. These problems concern architectures and requirement specifications. This paper will give a brief overview about the design methods and architectures developed so far for the web-based process monitoring systems of KRT Daud Wiryo Hadinagoro batiks. The results show that by using the design methods proposed it is possible to control field devices. Keywords: web-based monitoring, design methods, batik process. PENDAHULUAN Dewasa ini informasi dan komunikasi menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam berbagai bidang, terutama untuk menganalisis dan mengambil suatu kesimpulan atau keputusan terhadap suatu permasalahan. Oleh karena itu kemudahan dalam memperoleh informasi menjadi hal utama yang terus dikembangkan. Salah satu bentuk aplikasi teknologi informasi dan komunikasi adalah Internet. Perkembangan teknologi Internet saat ini sangat pesat baik menyangkut perangkat-lunak maupun perangkat-keras yang terkait dengannya (Mao dkk, 2001). Perkembangan ini memungkinkan suatu informasi yang dibutuhkan dapat diakses di manapun dan pada saat kapanpun. Dalam aplikasinya bidang industri banyak memanfaatkan teknologi Internet. Banyak industri baik industri kecil, menengah, hingga industri besar memanfaatkan media Internet dalam keperluan promosi, penjualan, komunikasi dengan relasi bisnis, monitoring produksi, dan lain-lain (Iannaccone, 2001). Dalam hal monitoring proses produksi, aplikasi teknologi berbasis web ini telah banyak dilakukan oleh industri terutama industri besar, karena kompleksitas proses produksi dan kebutuhan akan sistem monitoring yang andal (Cockburn dan McKenzie, 2001).
Aplikasi teknologi Internet untuk sistem monitoring proses produksi pada industri menengah dan kecil juga tidak kalah penting. Salah satu jenis industri yang membutuhkan aplikasi teknologi ini adalah industri batik. Batik merupakan salah satu industri asli pribumi yang telah ada sejak dahulu di bumi Indonesia dan harus dilestarikan keberadaannya. Guna memperkuat daya saing batik di pasaran nasional maupun internasional, maka industri batik perlu didukung dengan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam proses produksinya. Sebagaimana diketahui bahwa beberapa negara lain juga mempunyai minat yang besar untuk mengembangkan industri batik. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban bagi seluruh komponen bangsa Indonesia termasuk dari kalangan perguruan tinggi untuk menjaga dan melestarikan industri batik yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang dapat dibanggakan, dan merupakan produk unggulan yang mempunyai potensi daya saing yang tinggi di dunia internasional. Dalam rangka untuk memperkuat industri batik dan meningkatkan daya saingnya, maka dalam penelitian ini diusulkan monitoring proses produksi batik berbasis teknologi web. Produksi batik dengan kualitas tinggi merupakan hasil pekerjaan yang memerlukan tingkat ketekunan dan ketelitian yang tinggi juga. Guna mendapatkan hasil yang maksimal, dibutuhkan suatu sistem monitoring komprehensif. Selama ini monitoring yang dilakukan masih secara manual, yaitu dengan cara mengawasi langsung proses produksi yang dilakukan oleh seorang pengawas (supervisor). Sedang guna mendapatkan batik dengan kualitas tinggi diperlukan waktu berbulan-bulang hingga lebih dari setahun. Dengan aplikasi teknologi berbasis web, diharapkan menjadi solusi alternatif, sehingga monitoring dapat dilakukan dari mana saja dan pada saat kapan saja melalui Internet tanpa harus datang langsung pada proses produksi. Objek aplikasi teknologi berbasis web dalam penelitian ini adalah industri batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro sebagai mitra penelitian. Pemilihan mitra ini karena batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro merupakan industri batik khas Yogyakarta yang berlokasi di DIY dan masih menggunakan cara manual dalam monitoring proses produksinya. Batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro memiliki potensi yang tinggi untuk dapat bersaing di pasaran internasional, yang dibuktikan dengan hingga saat ini konsumennya telah merambah para pejabat, pengusaha, hingga tokoh-tokoh
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
176
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
internasional, dengan memberdayakan sumber daya manusia di DIY. Contoh produksi batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
a. Dipuji Sultan
b. Duka Aceh Duka Kita
METODOLOGI Metodologi dalam penelitian ini meliputi langkahlangkah dan rencana penelitian beserta jadwal dan indikator kinerjanya. Langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Studi Pustaka Hal ini dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai proses produksi batik dan sistem monitoring berbasis web. Studi pustaka ini dilakukan dengan sarana-sarana buku, jurnal, literatur, dan informasi lain. 2. Survey Lapangan Dalam hal ini dilakukan peninjauan ke lokasi rumah produksi batik yang akan dibangun model sistem monitoring proses produksi batik berbasis teknologi web. 3. Pembuatan Software Pembuatan software aplikasi web untuk monitoring dilakukan dalam perangkat-lunak aplikasi PHP dan MySQL. Perangkat-lunak ini dipilih karena kemampuannya yang baik dalam membuat aplikasi-aplikasi berbasis web. 4. Pemasangan jaringan dan perangkat-keras Dilakukan pemasangan instalasi jaringan komputer di rumah produksi batik dan pemasangan perangkat keras beserta servernya. 5. Pendaftaran domain dan web hosting Dilakukan pendaftaran domain dan web hosting di perusahaan domain dan web hosting terkait. 6. Aplikasi Dilakukan aplikasi model sistem monitoring proses produksi batik berbasis teknologi web. 7. Analisis Hasil Analisis hasil dilakukan setelah memperoleh hasil dengan memperhatikan kualitas hasil model sistem monitoring yang dibuat yang didasarkan atas teoriteori yang telah diperoleh.
HASIL Perancangan model sistem monitoring secara keseluruhan ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
c. Kharisma Mantan Presiden Gambar 1. Contoh produk batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Kain putihan
Desain Motif dan warna
177
Proses produksi batik
Kamera video
Pengolah data video
Tahap persiapan: Resep pewarnaan, peralatan
Basis-data video monitoring
Proses Pembatikan
Tahap finishing: Pencelupan, pengeringan
Web Server Proses produksi batik
Gambar 2. Proses produksi batik yang akan dimonitor Penyedia Layanan Aplikasi (ASP) Rancangan aplikasi berbasis web terdiri dari halaman untuk login dan halaman tapilan utama. Untuk halaman login, digunakan untuk memasuki halaman tampilan utama, dengan persyaratan harus mempunyai user name dan password. Setelah melalui proses login, pengunjung dapat mengakses menu-menu yang berada dalam sistem di antaranya: 1. Home Menu home merupakan halaman yang berisi panduan singkat mengenai isi website. Dalam halaman ini juga dapat diperoleh informasi sekilas mengenai rumah produksi batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro. 2. Process Menu process merupakan menu utama dari sistem ini. Dalam menu proses terdapat tampilan monitor untuk menampilkan process produksi batik yang sedangberlangsung. Pengunjung dapat mengamati proses pembuatan batik di rumah produksi batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro. 3. Administrator Menu administrator merupakan menu untuk mengatur pengunjung yang dapat mengakses halaman ini. Dala m menu ini dapat dilakukan penambahan pengunjung atau bahkan menghapus pengunjung 4. Logout Menu logout digunakan oleh pengunjung untuk keluar dari website.
Web browser
Aplikasi berbasis web
Gambar 3. Rancangan sistem monitoring proses produksi batik
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
178
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gambar 4. Tampilan web untuk monitoring proses produksi batik Pada Gambar 4 ditunjukkan tampilan utama web monitoring proses produksi batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro sehingga pengguna tertentu dapat mengakses sesuai dengan keperluan.
KESIMPULAN Dari hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa perancangan monitoring proses produksi batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro berbasis web ini dapat membantu untuk melakukan monitoring jarak jauh sehingga menjadi solusi bagi permasalahan yang ada di industri batik.
DAFTAR PUSTAKA
Distributed Generation Units Using a Web-based Application”, IEEE Papers. Caluya, S.S., and Bautista, R., 2005, “A Proposed WebBased Locator and Monitoring System for Tools and Equipment in Laboratory and Shop of TIP Arlegui”, Research,Reflections and Innovations in Integrating ICT in Education. Mao, Y., Chen, K., Wang, D., and Zheng, W., 2001, “Clusterbased online monitoring system of web traffic. In Proceedings of the Third International Workshop on Web Information and Data Management, pages 47–53. Iannaccone, G., Diot, C., Graham, I., and McKeown, N., 2001, “Monitoring very high speed links. In Proceedings of Internet Measurement Workshop 2001 (IMW’01), pages 267–271, San Francisco, November 2001. Kellar, M., 2008, “An Overview of Web-Based Monitoring: Future Directions and Challenges”, IEEE Papers. Cockburn, A. and McKenzie, B. (2001). What Do Web Users Do? An Empirical Analysis of Web Use. International Journal of Human-Computer Studies, 54(6): 903-922. Kellar, M., Watters, C. and Inkpen, K. M. (2007). An Exploration of Web-Based Monitoring: Implications for Design. In Proceedings of CHI 2007, San Jose, CA, 377 – 386. M. Mansouri-Samani and M. Sloman, “A configurable event service for distributed systems,” in Proceedings of the Third International Conference on Configurable Distributed Systems, pp. 210–217, ICCDS, 6–8 May 1996.
Antila, S., Kivikko, K., Trygg, P., Mäkinen A., and Järventausta, P., 2003, “Power Quality Monitoring of
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
179
Simulasi Estimasi Parameter Model Fungsi Alih Antara Gaya Tegang Keluaran Web Terhadap Masukan Gaya Putar Pada Bagian Rol Pengumpan Sistem Transportasi Web Dengan Menggunakan Metode RLS Berbasis Forgetting Factor Yaya Finayani Mahasiswa S2 Teknik Elektro, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia [email protected]
Samiadji Herdjunanto Teknik Elektro, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia
Priyatmadi Teknik Elektro, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia Abstract—Sistem transportasi web banyak dijumpai pada industri kertas dan plastik. Bagian utama sistem transportasi web adalah bagian rol pengumpan. Model dinamis rol pengumpan dijabarkan dari hukum Newton, hukum Hooke dan hukum konservasi massa. Model ini menyatakan hubungan antara gaya tegang keluaran web terhadap masukan gaya putar. Hubungan ini diberikan dalam bentuk fungsi alih yang ternyata mengandung parameter fisik plant yang berubah terhadap waktu yaitu radius rol pengumpan. Biasanya sebelum perancangan pengendalian diperlukan estimasi parameter model. Problem estimasi parameter model secara on-line ini diteliti dengan menggunakan metode RLS (recursive least square) berbasis faktor pembobot data yang dinamakan forgetting factor. Dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa forgetting factor sebesar 0.95 sudah menghasilkan estimasi parameter yang cukup baik seperti tampak pada hasil simulasi dengan MSE sebesar 2.59230e-005. Keywords—RLS, forgetting factor, time varying, unwind, recursive least square I.
PENDAHULUAN
Web adalah sebidang material yang diproses dan dihasilkan secara kontinu dalam suatu proses di industri kertas dan plastik. Penanganan web meliputi hubungan yang berkaitan dengan transportasi dan pengendalian material web. Contoh sistem transportasi web yaitu proses pelapisan aluminium foil pada plastik untuk pembungkus makanan, pada proses pengeringan pembuatan kertas diperlukan proses transportasi web. Model transportasi web dapat diilustrasikan seperti Gambar 1 yang memperlihatkan bentuk longitudinal web (Yi Hou, 2001), web harus melalui beberapa bagian pengolahan dari proses yang berkelanjutan secara kontinu , salah satu bagian itu adalah rol pengumpan. Rol pengumpan merupakan bagian awal dari system transportasi web dan berakhir pada bagian rol penggulung.
web Rol pengumpan
Rol penggulung
M1
M2
M0
M3
Gambar 1. Sistem Transportasi Web Sistem transportasi web terdiri dari rol yang digerakkan oleh rangkaian penggerak motor, ada bagian yang tidak digerakkan yang dinamakan rol idle, rangkaian penggerak menggunakan motor DC. Model matematika dari model dinamis longitudinal web diperoleh dari penjabaran hukum Newton, hukum Hooke dan hukum Konservasi Massa dari rentangan web diantara dua pasang rol yang berurutan, model yang diperoleh berupa model dinamis dalam bentuk fungsi alih. Fungsi alih mengandung parameter fisik yang berubah terhadap waktu (time- varying) yaitu radius rol. Untuk mendapatkan kualitas produksi sesuai yang diharapkan selama proses transportasi web, maka diperlukan teknik pengendalian lebih lanjut seperti teknik pengendalian ketegangan web dan kecepatan penggerak rol, sehingga diperlukan estimasi parameter model. Metode yang digunakan untuk memperoleh estimasi paremeter yang time varying menggunakan recursive least square (RLS) berbasis faktor pembobot data yang dinamakan forgetting factor bertujuan mendapatkan penafsiran parameter-parameter plant secara on-line dengan dasar pengukuran masukan dan keluaran dinyatakan dalam suatu model. II.
DASAR TEORI
A. Persamaan Dinamis Gaya Tegang Model matematis dari longitudinal web diperoleh dari persamaan gaya tegang web di antara dua pasang rol yang
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
180
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
berurutan, penjabaran persaman gaya tegang web menggunakan hukum Newton tentang gerak, dan prosedur tentang volume atur dalam hukum konservasi massa serta hukum Hooke mengenai elastisitas dari material web (Pagilla dkk, 2007). material
V2
B. Model Dinamis Sistem Transportasi Web Model sistem transportasi web terdiri dari 4 bagian (Pagilla dkk, 2007), yaitu bagian rol pengumpan (M0), bagian master speed (M1), bagian proses (M2) dan bagian rol penggulung (M3) diperlihatkan Gambar 3.
V1
L Y x1
x2
,sehingga (10) Dengan mensubtitusikan persamaan (10) ke (9): (11) (12) dengan adalah jarak antara dua rol yang berurutan ke-i, merupakan gaya tegang ke-i, menyatakan luas permukaan material web ke-i, adalah modulus elastisitas ke-i.
X
Gambar 2. Sepasang rol dari sistem transportasi web Hukum Konservasi Massa pada Gambar 2, akan diperoleh bentuk persamaan : = (1) (2) Indek 1 dan 2 dari persamaan (1) dan (2) menyatakan secara berurutan arah masuk dan keluar sesuai Gambar 2, dengan adalah densitas, V merupakan kecepatan aliran, dan A adalah luas penampang material (normal terhadap aliran). Sebuah benda yang dikenai stress, maka sebagai respon benda akan terdeformasi dan mengalami strain sebesar dinyatakan oleh Hukum Hooke, jika diaplikasikan dalam Gambar 2 maka material web akan mendapatkan stress dan akan terdeformasi dalam 3 arah yaitu arah panjang (x), lebar (w) dan arah tinggi (h) sebesar:
(3) Dengan mensubtitusikan persamaan (3) ke (4) diperoleh: (4)
(5) Diasumsikan strain pada web uniform (kecepatan aliran di , setiap web sama), sehingga dan menghasilkan persamaan : (6) (7) dengan asumsi nilai kecil, akan diperoleh: (8) (9) Hubungan antara gaya tegang (T) , strain ε, luas penampang web (A) dan modulus elastisitas materisl web (E) dari Hukum Hooke menyatakan:
ISSN: 2085-6350
LC
LC
controller
controller
LC
controller
controller
Gambar 3. Sistem Transportasi Web merupakan kecepatan linier tiap bagian rol, merupakan masukan gaya putar tiap bagian rol dari penggerak motor DC, T1,T2,T3 adalah keluaran gaya tegang. LC adalah load cell yang mengukur besarnya gaya tegang pada keluaran bagian gaya tegang, controller bagian yang mengendalikan sistem transportasi web. Dengan menggunakan persamaan gaya tegang (12) diperoleh: a. Bagian rol pengumpan, tempat awal sistem transportasi web, radius rol berubah terhadap waktu (time-varying parameter) mengalami pengurangan panjang radius. (13) dengan adalah keluaran gaya tegang antara rol pengumpan dan rol master speed, adalah jarak antara rol pengumpan dan master speed. merupakan gaya tegang awal akibat efek elastisitas sistem transmisi daya, pada penelitian ini diabaikan. b. Ba gian master speed , sebagai rol pengendali kecepatan dari sistem transportasi web dengan persamaan: (14) berurutan merupakan inersia, radius dan koefisien friksi dari rol master speed, adalah ratio gear. adalah keluaran gaya tegang antara master speed dan bagian proses. c. Ba gian proses, bagian ini berfungi untuk melakukan proses terhadap material web, dengan persamaan: (15) dengan jarak antara rol master speed dengan bagian proses. d. Bagian rol penggulung, tempat berakhirnya sistem transportasi web, radius rol berubah terhadap waktu
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
181
(time-varying) yaitu mengalami penambahan panjang radius, dengan persamaan: (16) dengan jarak antara rol bagian proses dengan rol penggulung.
(23)
C. Persamaan Fungsi Alih Bagian Rol Pengumpan Bagian rol pengumpan yang merupakan bagian awal dari sistem transportasi web terlihat pada Gambar 4, yang berfungsi sebagai tempat material web sebelum mengalami proses produksi. Radius rol pengumpan akan selalu berubah terhadap waktu yang semakin berkurang panjangnya selama proses transportasi web, sehingga bagian ini merupakan time-varying.
(24)
,
dengan, Gambar 4. Bagian Rol Pengumpan Fungsi alih bagian rol pengumpan diperoleh dari persamaan (13) sampai (16) serta dengan menggunakan hubungan statik untuk motor DC (Bonivento dkk, 2001) dan persamaan gerak melingkar diperoleh persamaan: (17) dengan , , masing-masing adalah kecepatan sudut, konstanta gaya putar, masukan gaya putar (torque input).. Persamaan gerak melingkar diperoleh: (18) dengan, , ,R berurutan kecepatan linear dan kecepatan sudut serta radius. Dengan melakukan subtitusi persamaan (17) dan (18) ke dalam persamaan (13) sampai (16) diperoleh persamaan state:
,
,
berurutan radius dari rol pengumpan, rol master speed, rol proses, rol penggulung, sedangkan adalah kecepatan sudut rol master speed. Fungsi alih bagian rol pengumpan dalam bidang s yang diperoleh dari penjabaran state space persamaan (20) sampai (24) merupakan fungsi alih orde 4 antara gaya tegang keluaran web terhadap masukan gaya putar adalah sebagai berikut:
(25) Persamaan (25) terdapat parameter yang berubah terhadap waktu (time varying) yaitu yang (3.3) radius rol pengumpan berkurang panjangnya selama proses transportasi web, data parameter yang digunakan sebagai berikut: Tabel 1. Data Parameter (Pagilla dkk, 2007)
(19)
Parameter
Jika diubah ke bentuk state space : (20) , (21)
Nilai
Parameter
20 ft
0.339 ft
33 ft 67 ft
0,67 ft 1
2
0,5 lbf-ft-s
2000 lbf
(tebal material)
1,25 ft
(22)
Nilai 0,339 ft
0,000656 ft 1
Data parameter dari Tabel 1 disubtitusikan ke persamaan (25) diperoleh bentuk fungsi alih dalam bidang s:
diperoleh: (26) Fungsi alih (26) bagian denumerator bentuk persamaan tetap selama proses transportasi web, sedangkan bagian numerator
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
182
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
berubah mengikuti perubahan , dengan ketebalan material (h) diasumsikan 0,000656 ft (Bastogne dkk, 2007) dengan radius awal rol pengumpan 1,25 fit diperoleh 884 putaran sehingga selama proses transportasi web fungsi alih bagian rol pengumpan memiliki 884 bentuk fungsi alih. Fungsi alih yang time-varying ini selanjutnya diasumsikan sebagai model yang mewakili plant sesungguhnya. D. Proses Estimasi Parameter Estimasi parameter bertujuan untuk menafsirkan parameter-parameter plant dengan dasar pengukuran masukan dan keluaran dinyatakan dalam suatu model. Plant diasumsikan dalam bentuk fungsi alih dari persamaan (26) antara gaya tegang keluaran web terhadap masukan gaya putar. Fungsi alih tersebut mengandung parameter fisik yang berubah terhadap waktu yaitu perubahan panjang radius rol pengumpan . Metode yang digunakan untuk memperoleh hasil estimasi parameter yang secara on-line bisa mengikuti perubahan bentuk plant yang time varying dengan menggunakan metode recursive least square (RLS) berbasis faktor pembobot data yang dinamakan forgetting factor. D.1 Konversi Fungsi Alih Plant dari Bidang
. Persamaan fungsi alih (26) dalam bidang s adalah:
Contoh saat putaran ke-1, fungsi alih bidang s adalah: (28) Menurut (Kuo, 1995) , (Herdjunanto, 2008) metode ZOH dari persamaan (27): (29) dengan adalah periode sampling, persamaan (28) dapat ditulis dalam bentuk lain: (30) Hasil fungsi alih dalam bidang z untuk persamaan (27) dengan periode sampling = 0,3 detik diperoleh:
ISSN: 2085-6350
Hubungan persamaan (27) dan (32) akan diperoleh nilai parameter fungsi alih plant = -3,494; = 4,571; = 2,653; = 0,5763 = -33,18; = 90,09; = -81,49; = 24,55 parameter adalah time-varying. Bentuk fungsi alih bidang z seperti persamaan (32) inilah yang digunakan sebagai fungsi alih yang mewakili plant sesungguhnya untuk proses estimasi, yang selalu berubah selama proses transportasi web sebanding dengan perubahan panjang radius rol pengumpan . D.2 Metode RLS Berbasis Forgetting Factor Metode recursive least square (RLS) dapat dijelaskan melalui diagram blok Gambar 5 di bawah ini: sistem
y(t)
x(t)
+ model
(t)
-
ke Bidang
Fungsi Alih plant yang digunakan untuk proses estimasi dalam bentuk bidang z (diskrit), sehingga persamaan (26) yang diasumsikan sebagai plant yang mewakili plant sesungguhnya perlu diubah ke bentuk bidang z dengan metode zero order hold (ZOH). Bentuk fungsi alih dalam bidang z diasumsikan berbentuk (27)
(31)
(32)
Gambar 5. Metode RLS Metode RLS Gambar 5 dapat dijelaskan sebagai berikut, yang sistem merupakan fungsi alih dalam bentuk mewakili plant sesungguhnya yaitu persamaan (26), fungsi alih ini berubah terhadap waktu karena perubahan . Bagian model Gambar 5 berfungsi untuk memprediksi parameter fungsi alih dari plant / sistem, bentuk model diasumsikan seperti persamaan (27). Proses estimasi dilakukan setiap periode sampling dengan menberikan masukan yang sama antara sistem/plant dan dan model estimasi, selisih keluaran sistem keluaran model menghasilkan faktor kesalahan yang akan digunakan untuk memperbaiki nilai penafsiran dengan menggunakan nilai penafsiran . Fungsi alih plant/ sistem dari Gambar 5 terdapat parameter fisik yang berubah terhadap waktu, sehingga akan selalu terjadi perubahan bentuk fungsi alih, untuk dapat mengikuti perubahan fungsi alih plant tersebut maka dalam metode RLS digunakan faktor pembobot data yang dinamakan forgetting factor . Menurut (Herdjunanto, 2007) , (Ashry dkk, 2005) metode RLS berbasis forgetting factor dapat dijabarkan sebagai berikut: Bentuk model diasumsikan (33) dengan dan seperti persamaan (27) bentuk keluaran sistem adalah: (34) dengan vektor parameter plant (35) vektor regresi terdiri pasangan masukan-keluaran: (36) sedangkan keluaran model: (37)
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
183
-3.49
-2.62 -2.64
0
500 putaran ke-
500 putaran ke-
1000
n ila ip a ra m e te r
60
40
0
-80
0
Parameter b2 saat lambda=0,995 100 plant model 80
0 500 1000 putaran keParameter b4 saat lambda=0,995 25 plant model 20
n ila ip a ra m e te r
n ila ip a ra m e te r n ila ip a ra m e te r
0.55
15
10
1000
0
500 putaran ke-
1000
0
500 1000 putaran keParameter a4 saat lambda=1
1
0 -1 -2
0
500 putaran ke-
4.54 4.53
500 1000 putaran keParameter a3 saat lambda=0,99
1000
0
500 1000 putaran keParameter a4 saat lambda=0,99 0.59
plant model
-2.6 -2.62 -2.64
60
plant model 0.58
0.57
0
500 putaran ke-
1000
1000
0
Parameter b1 saat lambda=0,99
plant model
20
-25 -30 -35
0
0
500 putaran ke-
1000
Gambar 6. Hasil Simulasi λ=1
plant model 80
60
40
0
500 1000 putaran keParameter b3 saat lambda=0,99
0
500 1000 putaran keParameter b4 saat lambda=0,99
25 plant model
-60
-80
-100
1000
Parameter b2 saat lambda=0,99
-40 -20
500 putaran ke-
100 plant model
-20
nilai parameter
500 1000 putaran keParameter b4 saat lambda=1
0
Metode RLS berbasis forgetting factor diawali dengan memberikan inisialisasi matrik kovarian , dengan adalah matrik identitas berdimensi 8x8, , inisialisasi vektor parameter dengan dimensi 8x1, dengan masukan menggunakan sinyal pseudorandom. detik dengan jumlah data . Periode sampling Jumlah total putaran 884 sehingga fungsi alih plant berubah sebanyak 884 fungsi alih, permasalah inilah sehingga dibutuhkan faktor pembobot data atau forgetting factor dalam proses estimasi parameter sehingga diharapkan proses estimasi dapat konvergen mengikuti perubahan fungsi alih plant. Hasil simulasi saat forgetting factor ( λ) = 1: 0,995: 0,99: 0,98: 0,97: 0,96: 0,95 diperlihatkan Gambar (6) sampai Gambar (12).
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
500 putaran ke-
1000
nilai parameter
-50
500 putaran ke-
-15 0
40 plant model
nilai parameter
0
0
80
40
500 1000 putaran keParameter b3 saat lambda=1
-2.66
nilai parameter
0
plant model
nilai parameter
-30
nilai parameter
-25
-100
4.55
0
-2.58
500 putaran ke-
4.56
-3.5
0
0
plant model
4.57
100 plant model
-20
-35
-3.49
0.5
Parameter b2 saat lambda=1
-15
-3.48
plant model
-0.5
1000
Parameter a2 saat lambda=0,99
nilai parameter
plant model
plant model
nilai parameter
2 1
500 1000 putaran keParameter a3 saat lambda=1
Parameter a1 saat lambda=0,99 -3.47
3
nilai parameter
0
nilai param eter
nilai param eter
500 1000 putaran keParameter b3 saat lambda=0,995 -40 plant model -60
plant model
4
Parameter b1 saat lambda=1
nilai parameter
0.56
Gambar 7. Hasil Simulasi λ=0,995
nilai parameter
nilai param eter
nilai param eter
-3
1
nilai parameter
-30
-100
0.57
1000
-25
-35
0 500 1000 putaran keParameter a4 saat lambda=0,995 0.59 plant model 0.58
5 plant model
-3
500 putaran ke-
Parameter b1 saat lambda=0,995 -15 plant model -20
Parameter a2 saat lambda=1
-2.5
-3.5
0
4.5
nilai param eter
0 500 1000 putaran keParameter a3 saat lambda=0,995 -2.58 plant model -2.6
-2.66
E. Hasil Simulasi Simulasi yang dilakukan dalam penelitian ini memperlihatkan beberapa nilai forgetting factor dari metode RLS untuk memperoleh hasil estimasi parameter , dari beberapa hasil simulasi tersebut akan terlihat nilai forgetting factor yang sesuai untuk mendapatkan hasil estimasi parameter yang konvergen. -2
4.55
-3.5
λ adalah faktor pembobot data (forgetting factor) dengan , I merupakan matrik identitas. harga
Parameter a1 saat lambda=1
Parameter a2 saat lambda=0,995 4.6 plant model
nilai param eter
nilai param eter
Parameter a1 saat lambda=0,995 -3.47 plant model -3.48
nilai param eter
Selisih antara keluaran sistem dan keluaran model : didapatkan faktor kesalahan (38) Faktor kesalahan digunakan untuk update estimasi parameter sebagai berikut: (39) dengan merupakan matrik kovarian didefinisikan: (40)
plant model
20
15
10
0
500 putaran ke-
1000
Gambar 8. Hasil Simulasi λ=0,99
ISSN: 2085-6350
184
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
0.572
500 1000 putaran keParameter b3 saat lambda=0,98
60
500 1000 putaran keParameter b4 saat lambda=0,98
0
500 putaran ke-
Parameter a1 saat lambda=0,97
Parameter a2 saat lambda=0,97
-3.495
-3.5
nilai param eter
500 1000 putaran keParameter a3 saat lambda=0,97 plant model
-2.64
-2.65
nilai param eter
nilai param eter
-2.63
-2.66 0
500 putaran ke-
-25 -30
500 1000 putaran keParameter a4 saat lambda=0,97 0.58 plant 0.578 model
500 1000 putaran keParameter b3 saat lambda=0,97
-60
-80
0
500 putaran ke-
1000
500 1000 putaran keParameter b4 saat lambda=0,96 plant model
nilai param eter
20
15
10 0 500 putaran keParameter a2 saat lambda=0,95
1000
plant model
1000
plant model
4.57 4.56 4.55 4.54 4.53
0
500 1000 putaran keParameter a3 saat lambda=0,95
0
500 1000 putaran keParameter a4 saat lambda=0,95 0.59
plant model -2.6
-2.65
-2.7
0
500 putaran ke-
0.574
plant model
0.58
0.57
1000
0
500 putaran ke-
1000
0.572
Parameter b1 saat lambda=0,95 0
500 putaran ke-
plant model
60
100 plant model
-20 -25 -30 -35
80
0
500 1000 putaran keParameter b4 saat lambda=0,97
500 1000 putaran keParameter b3 saat lambda=0,95
60
0
500 1000 putaran keParameter b4 saat lambda=0,95
25 plant model
-60
-80
-100
plant model 80
40
0
-40
plant model
0
500 putaran ke-
20
1000
plant model
20
15
10
0
500 putaran ke-
1000
Gambar 12. Hasil Simulasi λ=0,95
15
10
Parameter b2 saat lambda=0,95
-15
1000
25 plant model
nilai parameter
nilai parameter
-40
-100
0
0.576
40
0
0
Gambar 11. Hasil Simulasi λ=0,96
-2.55
Parameter b2 saat lambda=0,97
nilai parameter
nilai parameter
-20
40
25 plant model
-3.49
100 plant model
60
500 1000 putaran keParameter b3 saat lambda=0,96
-3.48
4.56
Parameter b1 saat lambda=0,97 -15
plant model 80
0
-80
4.57
0.57
1000
-30
-3.5
4.55
0
1000
Parameter b2 saat lambda=0,96
-25
-100
nilai param eter
nilai param eter
-3.49
plant model
4.58
500 putaran ke-
-3.47
4.59 plant model
0
100
0 500 putaran keParameter a1 saat lambda=0,95
Gambar 9. Hasil Simulasi λ=0,98 -3.485
0.55
1000
plant model
-60
1000
nilai param eter
10
1000
nilai param eter
15
nilai param eter
500 putaran ke-
0.56
-40
plant model 20
nilai parameter
0
nilai param eter
-80
500 putaran ke-
-20
-35
0
25 plant model
0
plant model
0.57
Parameter b1 saat lambda=0,96
80
500 1000 putaran keParameter a4 saat lambda=0,96
0.58
-15 plant model
40
0
-60
-35
-2.7
nilai param eter
-30
-40 nilai param eter
1000
0
0.59 plant model
-2.65
Parameter b2 saat lambda=0,98
nilai param eter
nilai param eter
-25
500 1000 putaran keParameter a3 saat lambda=0,96
-2.6
100 plant model
-20
-100
500 putaran ke-
4.5
0
nilai param eter
Parameter b1 saat lambda=0,98 -15
-35
nilai param eter
0.574
0
4.55
-2.55
0.576
0.57
1000
plant model
nilai param eter
500 putaran ke-
-3.5
0 500 1000 putaran keParameter a4 saat lambda=0,98 0.58 plant 0.578 model
nilai param eter
0
-3.49
nilai param eter
-2.66
-3.48
nilai parameter
-2.65
nilai param eter
nilai param eter
-2.63 plant model
4.56
4.6 plant model
nilai param eter
500 1000 putaran keParameter a3 saat lambda=0,98
-2.64
4.57
4.55
0
Parameter a2 saat lambda=0,96
-3.47 plant model
4.58
nilai param eter
-3.495
nilai param eter
nilai param eter
-3.49
-3.5
Parameter a1 saat lambda=0,96
Parameter a2 saat lambda=0,98 4.59
plant model
nilai param eter
Parameter a1 saat lambda=0,98 -3.485
0
500 putaran ke-
1000 Error tiap putaran saat lambda=1 50
Gambar 10. Hasil Simulasi λ=0,97
40
fa k to rk e s a la h a n(e rro r)
30
Tiap simulasi dari Gambar 6 sampai Gambar 12 dilakukan penghitungan MSE (mean square error) untuk mengetahui error setiap nilai forgetting factor. Rumus MSE yang digunakan adalah sebagai berikut (Ashry dkk, 2005): (41) (42) Sim ulasi untuk setiap nilai λ (forgetting sebagai berikut: diperlihatkan faktor kesalahan
20 10 0 -10 -20 -30
0
100
200
300
400 500 putaran ke-
600
700
800
900
Gambar 13. Faktor Kesalahan saat λ=1
factor)
Error tiap putaran saat lambda=0,995 0.8 0.6
fa k to rk e s a la h a n(e rro r)
0.4 0.2 0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
ISSN: 2085-6350
0
100
200
300
400 500 putaran ke-
600
700
800
900
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
185
Error tiap putaran saat lambda=0,99
nilai MSE = 2.59230e-005 sudah cukup baik untuk memperoleh hasil estimasi parameter yang konvergen terhadap parameter plant.
0.25 0.2
fa k to rk e s a la h a n(e rro r)
0.15 0.1 0.05 0 -0.05
Tabel 2. Nilai MSE (mean square error)
-0.1 -0.15
Forgetting factor (λ)
-0.2 -0.25 0
100
200
300
400 500 putaran ke-
600
700
800
1 0,995 0,99 0,98 0,97 0,96 0,95
900
Error tiap putaran saat lambda=0,98 0.15
fa k to rk e s a la h a n(e rro r)
0.1
0.05
0
Nilai MSE
4,346423211704258e+002 0.02695916358580 0.00817863464260 0.00668297898854 3.090791860474167e-004 5.941108989602176e-005 2.59230e-005
-0.05
-0.1
0
100
200
300
400 500 putaran ke-
600
700
800
900
Error tiap putaran saat lambda=0,97 0.15
fa k to rk e s a la h a n(e rro r)
0.1
0.05
F. Kesimpulan Telah berhasil diperoleh estimasi parameter model fungsi alih antara gaya tegang keluaran web terhadap masukan gaya putar pada bagian rol pengumpan sistem transportasi web dengan menggunakan metode RLS berbasis forgetting factor sebesar 0,95 dengan MSE = 2.59230e-005.
0
G. Daftar Pustaka
-0.05
-0.1
0
100
200
300
400 500 putaran ke-
600
700
800
900
Error tiap putaran saat lambda=0,96 0.15
fa k to rk e s a la h a n(e rro r)
0.1
0.05
0
-0.05
-0.1
0
100
200
300
400 500 putaran ke-
600
700
800
900
Error tiap putaran saat lambda=0,95 0.15
fa k to rk e s a la h a n(e rro r)
0.1
0.05
0
-0.05
-0.1
0
100
200
300
400 500 putaran ke-
600
700
800
900
Gambar 14. Faktor Kesalahan saat λ=0,995:0,99:0,98:0,97:0,96:0,95 Faktor kesalahan untuk beberapa kondisi nilai λ yang ditunjukkan Gambar 13 dan Gambar 14 dapat dihitung MSE untuk tiap-tiap nilai λ diperlihatkan Tabel 2 , untuk λ = 1 dapat dikatakan metode RLS tanpa forgetting factor memberikan MSE yang cukup besar hal ini juga dapat dilihat hasil simulasi Gambar 6 bahwa parameter model hasil estimasi tidak konvergen dengan parameter model. Jika nilai λ diperkecil nilainya sampai λ = 0,95 terlihat dari Tabel 2 nilai MSE semakin kecil, hal ini memperlihatkan dengan MSE yang kecil parameter model hasil estimasi akan konvergen terhadap parameter sistem/plant. Simulasi yang dilakukan menunjukkan dengan λ = 0,95 yang mendapatkan
[1]
Ashry, M., Abou-Zayed, U., Breikin,Tim., 2005, “Design and Implementation of a Time Varying Local Optimal Controller Based on RLS Algorithm for Multivariable System, Control Systems Centre, The University of Manchester, PO BOX 88, M60 IQD UK. [2] Bastogne, T., Thomassin, M., Masse, T.,2007, “Selection and Identification of Physical Parameters from Passive Observation. Application to a Winding Process”, Control Engineering Practice 15, 9 (2007) 1051-1081. [3] Bonivento, C., Paoli A., Marconi, L., 2001, “Direct Fault Tolerant Control Approach for a Winding Machine”, Department of Electronic, Sytems and Computer Science, University of Bologna. [4] Herdjunanto, S., 2008, “Digital Signal Processing”, Lecture Note, Electrical Engineering Gadjah Mada University. [5] Hou Yi, 2001,”Novel Control Approaches For Web Tension Regulation”, Cleveland State University, 2001. [6] Krnete, R., Antic, S., Stojanovic, D., “Recursive Least Squares Method in Parameters Identification of DC Motors Models”, Facta Universitatis (NIS) Ser.: Elec. Energ. Vol. 18, No. 3, December 2005, 467-478. [7] Kuo, B.C., 1975, “Automatic Control Systems”, Third Edition, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersy. [8] Kuo, B.C, 1995, “Automatic Control Systems”, Seventh Edition, ISBN 0-13-304759-8, Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River, NJ 07458. [9] Pagilla, P.R., Dreinhoefer. L.H., Garimella, S.S., 2000, “Robust Observer Based Control of an Aluminum Strip Processing Line”, IEEE Transactions on Industry Applications, Vol. 36, No.3, May/June 2000. [10] Pagilla, P.R., Garimella, S.S., Dreinhoefer, L.H., King, E.O., 2001, “Dynamic and Control of Accumulators ini Continuous Strip Processing Lines”, IEEE Transactions on Industry Applications, Vol. 37, No. 3, May/June 2001. [11] Pagilla, P.R., Dwivedula, R.V., Zhu, Y., Perera, L.P.,2003, “Periodic tension Disturbance Attenuation in Web Process Lines Using Active Dancers”, Journal of Dynamic System, Measurement, and Control. [12] Pagilla, P.R., Dwivedula, R.V., Siraskar, N.B., 2007, “A Decentralized Model Reference Adaptive Controller for Large Scale System”, IEEE/ASME Transactions on Mechatronics, Vol. 12, No. 2, April 2007.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
186
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
AKURASI SISTEM AKUISISI CITRA STEREO UNTUK MENGUKUR PARAMETERPARAMETER FISIS GELOMBANG LAUT Nyoman Jelun*, Adhi Susanto**, Radianta Triatmadja***, Thomas Sri Widodo** *Fakultas Teknik Universitas Sarjanawiyta Tamansiswa, Yogyakarta **Jurusan Teknik Elektro Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta *** Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Universitaas gadjah Mada, Yogyakarta Email: [email protected] ABSTRAC As an archipelago Indonesia’s coastal is the longest in the world. Hence it is of important to develop stereo image acquisition system to measure physical properties of sea wave. A simple equipment consisting of two VDR_250GC type camcorders made by Panasonic is developed to take stereo terrestrial photographic with the help of modified tripod. The tri tripod assures that the camcorder base, orientation, and angles may be adjusted easily. The system has been tested to capture linear model wave, and floating objects on the sea surface. The pictures were taken using video mode with maximum zoon to take best details. The sequence of the picture were then reconstructed to make three dimensional using a software ( PhotoModeller© ). It was faun that systematic error depend on parallax angles between the camcorder stereo and the object. It was also found that the stochastic error depends on camcorder resolution and distance of object. For the linear waves model test, stochastic error is 1.825%. Keyword : stereo image, camcorder, sea wave 1. PENDAHULUAN Pemanfaatan citra stereo yang diakuisisi dari jarak dekat untuk keperluan pemetaan, dan pengukuran termasuk lingkup fotogrammetri terrestrial (FT). Pada awalnya, FT dimanfaatkan untuk pemetaan situs-situs bangunan, daerah galian, terowongan, dan cadangan material. Didukung oleh perkembangan teknologi informasi, FT berkembang dan diterapkan pada berbagai bidang seperti: pertanian, konservasi, ekologi, kehutanan, arkeologi, antropologi, arsitektur, geologi, geografi, teknik, kriminologi, ISSN: 2085-6350
kedokteran, investigasi kecelakaan lalu lintas, dan oseanografi (Linder. W., 2006). Pemanfaatan citra stereo Argus Beach Monitoring Station, untuk meneliti peauruh gelombang laut terhadap dinamika pantai telah dilakukan oleh banyak peneliti (Jaysen, N., 2002), (Santel.,dkk, 2002), dan (Santel.,dkk, 2004). Di Indonesia, aplikasi citra untuk mengukur gelombang laut telah dilakukan oleh BPPT-INDONOR, 1997, namun informasinya sangat terbatas karena seluruh proses data dilakukan di Oslo. Sebagai neraga kepulauan yang pantainya terpanjang di dunia, Indonesia perlu mengembangkan sistem akuisisi citra stereo (SACS) untuk mendukung pengelolaan dan pelestarian kawasan pantainya. SACS adalah terapan teori sistem penginderaan binokular (human vision). Pada human vision, semakin jauh obyek nampak semakin kecil dan sebaliknya. Persepsi itu bergantung pada sudut paralak yakni sudut yang dibentuk oleh obyek dengan kedua mata (Wolf., R, 1974). Apilkasi SACS untuk obyek statis menunjukan bahwa akurasi hasil pengukuran bergantung pada; geometri akuisisi citra, kontras warna obyek dengan latar belakangnya, resolusi kamera, dan metode kalibrasi kamera (Jelun, N., dkk, 2009). 2. METODE PENELITIAN Telah dirancang-bangun sebuah prototipe SACS yang terdiri atas 2 kamera, dan 3 buah tripod yang dimodifikasi sehingga posisi dan orientasin kamera terhadap obyek dapat diatur sedemikian rupa seperti posisi dan orientasi kedua mata ketika melihat suatu obyek. Set-up eksperimen SACS ditunjukan oleh Gambar 1.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
187
OBYEK APUNG CAMCORDER
CAMCORDER
CITRA 2D
CITRA 2D
CITRA 3D
TIME SERIES GELOMBANG LAUT
KESALAHAN STOKASTIS & SISTEMATIS
Gambar 1 Diagram Blok SACS
2.1 Perangkat Keras dan Lunak Perangkat keras SACS pada penelitian ini adalah 2 buah camcorder Merk Panasonic tipe VDR_250GC, simulator gelombang linear, singkroniser, dan personal komputer. Simulator model gelombang menggunakan penggerak motor stepper yang diprogram dari komputer (Gambar ). Singkroniser dimodifikasi dari remote bawaan camcorder yang berfungsi untuk mengaktifkan dan atau menonaktikan kedua camcorder pada saat yang sama. Perangkat lunak yang digunakan adalah software Canopus untuk mengkonfersi format citra video menjadi citra diam (still image), dan Photo Modeller untuk merekonstrusi citra tiga dimensi (3D). Prinsip dasar rekonstrusi citra 3D adalah inversi transformasi sistem koordinat 3D menjadi sistem koordinat citra 2 dimensi (2D) seperti ditunjukan Gambar 2. Pada ortofoto (kamera tidak miring) cahaya dipantulkan oleh obyek P(Xp, YP, Zp) pada sistem koordinat kamera 3D menuju pusat proyeksi (pusat sistem koordinat kamera) melalui bidang citra, sehingga
terbentuk citra titik P’(up’, vp’) pada sistem koordinat citra 2D. Persamaan transformasi sistem koordinat 3D menjadi sistem koordinat citra 2D adalah sebagai berikut: ⎡X p ⎤ ⎡X p ⎤ ⎢Y ⎥ ⎡up' ⎤ ⎡ fXp +Zp X0 ⎤ ⎡ f 0 Xo 0⎤⎢Y ⎥ ⎢ p ⎥ ⇒⎢vp' ⎥ = ⎢ fYp +ZpY0 ⎥ = ⎢0 f Yo 0⎥⎢ p ⎥ (1) ⎥ ⎢ ⎥⎢Z ⎥ ⎢Zp ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣0 0 1 0⎥⎦⎢ p ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ Z Z ⎢ ⎥ ⎣ p⎦ ⎣ p ⎦ ⎣1⎦ ⎣1⎦
Dengan f adalah panjang fokus kamera, Xp , Yp, dan Zp, adalah koordinat titik P pada sistem koordinat kamera 3D. up’, dan vp’ adalah koordinat citra titik P yakni P’ pada sistem koordinat citra 2D, dan nilai w. semua titik pada bidang citra adalah 0. Matrik 3X4 pada persamaan (1) adalah elemen matrik orientasi interior kamera. Apabila citra diakuisisi dengan kamera miring, maka orientasi eksterior kamera, harus diperhitungkan sehingga persamaan (1) menjadi: ⎡X p ⎤ ⎡up' ⎤ ⎡ f 0 Xo 0⎤ ⎢ ⎥ R T (2) ⎡ ⎤ Y Zp ⎢⎢vp' ⎥⎥ = ⎢⎢0 f Yo 0⎥⎥⎢ T ⎥⎢ p ⎥ = M1M2 X = M X ⎢ ⎥ 0 1 Z ⎣3 ⎦ p ⎢ ⎥ ⎣⎢ 1 ⎦⎥ ⎣⎢0 0 1 0⎥⎦ ⎣1⎦
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
188
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Zp juga disebut kedalaman titik P dilihat dari sistem koordinat kamera. M adalah matrik proyeksi 3X4, M1 adalah elemen matrik orientasi
bidang citra
Y
X
C (pusat proyeksi)
interieor kamera, M2 adalah elemen matrik orientasi eksterior kamera. Pada persamaan (2), faktor skew, dan distorsi radial belum diikutkan
f
P(Xp,Yp., Zp)
P’(up’, vp’ )
Z
v u
Principal point w
Gambar 2 Transformasi Sistem Koordinat.
2.2 Prosedur Penelitian Citra stereo dalam format video dikonversi menjadi runtunan pasangan citra stereo format citra diam (still image). Selanjutnya, setiap pasangan citra diam direkonstruksi menjadi citra 3D. Dari setiap citra 3D dapat diekstrak tinggi obyek apung. Karena obyek apung bergerak, maka secara simultan ada perubahan tinggi (∆H) obyek apung antar citra 3D. Periode perubahannya dihitung dari kecepatan rekam camcorder perdetik ( t ). Penyajian ∆H dan t dalam bentuk grafik adalah time series gelombang laut. 2.3 Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yakni uji kenerja SACS di laboratorium, dan uji SACS in situ yang dilaksanakan di pelabuhan penangkap ikan (PPI) pantai Ngrenehan Gunung Kidul Yogyakarta. Pada setiap percobaan, camcorder diseting pada resolusi citra maksimum, dan zoom dinonaktipkan. Uji kinerja SACS di Laboratorium bertujuan untuk mengetahui akurasi sistem dengan menghitung kesalahan stokastis dan sistematis SACS. Pada uji laboratorium, SACS dipakai untuk mengakuisisi citra simulasi model gelombang linear yang frekuensi dan tingginya
ISSN: 2085-6350
dapat diatur memlalui program yang dibuat khusus dan diinstal pada komputer. Untuk meningkatkan kontras warna, maka simulator model gelombang diletakan di atas plastik warna putih, dan di sekitarnya ditaruh bola-bola pingpong warna gelap (Gambar 4). Pada tahap uji kinerja sistem in situ, sejumlah obyek apung (bola plastik warna putih) ditaruh di permukaan laut sebagai indikator fluktuasi permukaan air laut (Gambar 1). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Uji Laboratorium Geometri uji kinerja SACS yang menghasilkan citra setereo seperti Gambar 4 adalah sebagai berikut: basis kamera 140 cm, jarak obyek dinamis dengan kamera kiri 340 cm, dan variasi tinggi obyek dinamis 0 s.d 20 cm dan periode putarannya 3 dtk. Citra diakuisisi pada sore hari, cuaca terang. dan lensa camcorder membelakangi matahari. Penyertaan obyek statis (bola pingpong) adalah agar citra stereo dapat dierkonstruksi menjadi citra 3D, karena untuk merekonstruksi citra 3D dengan Photo Modeller memerlukan minimal 6 obyek titik yang menyebar. Pengukuran model gelombang dalam satu periode juga dilakukan secara manual.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
189
Gambar 5 adalah hasil pengukuran model gelombang dengan SACS dan secara manual. Ada perbedaan bentuk gelombang sinusoidal menurut teori dengan hasil pengukuran.
panjang tuas yang bergerak vertikal tidak tak terhingga. Tinggi gelombang hasil pengukuran dengan SACS adalah 23,56 cm, dan hasil pengukuran secara manual 20,1 cm. Ada perbedaan 3.46 cm. yang disebabkan oleh sudut paralak. Sudut paralak camcorder adalah 2 x arc tg(170/70) = 44.760, dan disebut kesalahan sistematis. Pada sudut paralak 150 tinggi obyek sama dengan yang terlihat oleh mata, dan jika lebih besar daripada 150 akan nampak lebih tinggi dan sebaliknya (Wolf, P., R, 1974). Jika Gambar 5 dicermati secara teliti nampak bahwa dara derau pada kurve time series hasil pengukuran. Derau itu tak lain adalah kesalahan ukur stokastis. Akurasi sistem ditentukan oleh kesalahan ukur stokastis yang dapat dianalisis dengan mengekstrak tinggi obyek statis pada setiap citra 3D. .
Synchronous moving objects Motor Stepper
Interface
Gambar 3 Simulator Gelombang Linear Bentuk gelombang hasil pengukuran agak knoidal. Bentuk knoidal itu akibat dari
obyek dinamis (f = 0.33Hz)
obyek statis yg dianalisis
Gambar 4 Citra Stereo Model Gelombang Linear dengan 1 Obyek Dinamis (1760X990piksel) 15
Tinggi (cm)
10 5 0 1
4
7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82 85 88 91 94
-5 -10 -15 t (X1/25dtk) ukur citra
teori
ukur_m anual
Gambar 5 Hasil Pengukuran 1 Periode Model Gelombang dengan 1 Obyek Dinamis
Hasil ekstaksi tinggi 3 obyek statis dalam lingkaran di kanan obyek dinamis pada Gambar 4 ditunjukan oleh Gambar 6.
Oleh karena semua obyek statis, maka hasil pengukuran seharusnya konstan tetapi
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
190
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gambar 6 menunjukan tidak konstan, namun polanya sama. Tabel 1 Deviasi tinggi (H) ukur obyek statis. Objek. dekat
obyek jauh
3.29
2.98
3.23
2.56
2.15
2.33
± 0.365
± 0.415
± 0.45
3.4
140
3.2
120
3
100 H (cm)
tinggi obyek (cm)
Hmak (cm) Hmin (cm) Devia (cm)
obyek tengah
Kesalahan ukur stokastis ditunjukan oleh nilai deviasi pada Table 1. Nilai deviasi menunjukan bahwa semakin jauh obyek kesalahan stokastisnya semakin besar, dan sebaliknya. Apabila model gelombang posisinya pada obyek 2, maka kesalahan stokastinya adalah 0,415: 20,1 X 100% = 1,825 % suatu suatu hasil yang cukup akurat. Kesalahan itu dapat diminimalisasi dengan meningkatkan resolusi kamera, oleh karena elemen citra (piksel) obyek dekat lebih banyak daripada obyek jauh. Kesalahan sistematis tidak dapat dianalisis kerena lantai tidak datar.
2.8
80 60
2.6 40
2.4
20
2.2
0 0
2
20
40
60
80
100
120
140
160
t ((1/30 dtk)
1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 no. urut bingkai Citra
obyek dekat
obyek tengah
obyek jauh
Gambar 6 Hasil Pengukuran Tinggi Obyek Statis Pada aplikasi sistem di laut jarak obyek dengan kamera relatif leibih jauh. Oleh karena itu juga dilakukan uji kenerja SACS di danau buatan kawasan wisata Agro Komplek TNI AU Adisucipto. Pada uji itu, sejumlah bola plastik diletakan di permukaan air danau dan sebuah bola lainnya digerakan naik turun 30 cm secara manual. Sebuah patok dipancang di tengah danau, dan pada ujungnya dipasang kait untuk menyangga tali pengikat bola yang bergerak naik turun (Gambar 7). Kamera ditempatkan di atas tebing yang tingginya sekitar 7,5 m di atas permukaan air. Basis kamera 8 m, dan jarak bola dinamis 26 m dari kamera kiri. Gambar 8 menunjukan bahwa asil pengukuran variasi ketinggian bola adalah 29.06 cm.
Gambar 7 Citra Stereo model Gelombang di atas Danau Buatan
ISSN: 2085-6350
Gambar 8 Hasil Pengukuran Tinggi Model Gelombang di Danau Buatan 3.2 Uji in situ Uji SACS in situ dilakukan pada 5 Juli 2009, pada sekitar pukul 16. 00 di PPI Ngrenehan. PII Ngrenehan adalah sebuah teluk di Kecamatan Kanigoro Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta. Gelombang di PPI Ngrenehan adalah gelombang laut selatan yang sudah pecah, sehingga tingginya relatif kecil dibandingkan dengan gelombang yang belum pecah. Pengambilan data dilakukan 3 hari menjelang bulan penuh (purnama), sehingga air laut surut. Air mulai pasang sekitar pukul 16.00. Ketika data diambil, cuaca berawan sehingga tidak ada sinar langsung. Basis kamera 10 m laut selatan, dan konvergen pada obyek apung. Jarak obyek dari kamera adalah 25 m. Akuisisi citra dilakukan selama 1 menit. Sebuah citra stereo dalam format still image hasil dari pengolahan runtunan citra stereo dalam format video ditunjukan oleh Gambar 9. Tinggi gelombang rerata hasil pengukuran berkisar 15 cm. Minimalisasi kesalahan stokastis dapat dilakukan dengan teknik moving avarage (kurva merah pada Gambar 10). Sesaat sebelum uji SACS in situ juga dilakukan pengukuran secara manual meakai mistar. Mistar dicelupkan kedalam air, kemudian permukaan air tertinggi dan terendah diamati
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
191
beberapa saat. Hasil pengamatan menunjukan bahwa tinggi gelombang berkisar 15 cm. Apabila tidak ada perubahan tinggi gelombang laut yang
cukup signifikan, maka akurasi SACS untuk aplikasi in situ cukup baik.
Gambar 9 Citra Stereo Gelombang Laut PPI Ngrenehan (1760X990piksel).
25
20
H (cm)
15
10
5
0 1
5
9
13
17 21 25
29 33
37 41 45
49 53
57 61 65
69 73
77 81 85
89 93 97 101 105 109 113 117 121 125 129 133 137 141 145 149 153
t x 1/15 (dtk) tengah
5 per. Mov. Avg. (tengah)
Gambar 10 Hasil Pengukuran Gelombang Laut di PPI Ngrenehan
4. KESIMPULAN 1. Ada dua tipe kesalahan yang mnentukatan akurasi SACS untuk megukur gelombang laut yaitu kesalahan sistematis dan kesalahan stokastis. 2. Akurasi SACS bergatung atas jarak obyek dari basis kamera, dan resolusi kamera, semakin jauh obyek, dan semakin rendah resolusi kamera maka akurasinya semakin jelek, dan sebaliknya semakin dekat obyek, dan besar resolusi kamera maka akurasinya semakin baik. 3. Akurasi SACS untuk uji model gelombang linear yang tinggi 20 cm dari jarak 340 cm sangat baik, kamera kesalahan stokastisnya hanya 1.825 %.
5. DAFTAR PUSTAKA Jaysen, N., 2002, Measurement of Validation of Waterline and Surface Current Using Surfzone Video Imaging, Submitted in
Fulfilment of The Academic Requirement Degrre of Master of Science in The School of Pure Applied Physics University of Natal. Jelun, N., dkk, Development of Stereo Image Acquition System to Measure Physical Propertiies of Water waves, International Seminar on Climat Change impacts on water resource and VCoastal management in Developing countries, Menado, Mei 1113 mei 2009. Linder, W., Digital Photogrammetry, Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2006 Santel, F., C. Heipke., S. Konneeke, H. Wegmann, 2002, Image Sequence Matching for The Determination of ThreeDimentional Wave Surface, Institut for Photgrametry and GeoInformation, Univercity of Hanover Nienburger Str, 1,30167 Hanover, Germany.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
192
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Santel, F., Wilfried Linder., Christian Heipke., “ Image Sequence Analisis Of Surf Zones: Methodology and First Results”, Institut Of Photgrametry and GeoInformation, University of Hanover, Germany, (santel, linder, heipke)@ipi.uni-hanover.de, diakses 2004. Wolf, P. R., Elements of Photogrametry, McGRAW-HILL KOGAKUSA, LTD, Tokyo, 1974.
Argus Vodeo Metric Sistems, NorthWest Research Associates, 14508 NE 20th St,Bellevue,tersediadi http://www.coastal.udel.edu/coastal/nearsh orereport/nrwreport.html BPPT-INDONOR, 1997, Baron Wave Power Proyect, Proyect Devinition Report
.
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
193
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Segmentasi Citra untuk Analisis Termogram Payudara Oky Dwi Nurhayati, Adhi Susanto, Thomas Sri Widodo Fakultas Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada Yogyakarta [email protected], [email protected], [email protected]
Abstract Image segmentation is an important research area in digital image processing with several applications in vision-guided autonomous robotics, product quality inspection, medical diagnosis, the analysis of remotely sensed images, etc. The aim of image segmentation can be defined as partitioning an image into homogeneous regions in terms of the features of pixels extracted from the image. Edge detection, thresholding and c-mean clustering are simple segmentation steps in typical thermogram images and were the focuses in our research. These methods were examined and tested especially on breast thermogram images. The image data chosen were normal breast thermogram images as well as those which have indication of cancer (tumor). Furthermore, the statistical features extracted from the objects were analysed. The results show a promising guide for further analysis steps toward more specific purposes. Key words: edge detection, thresholding, c-mean clustering, statistical features, breast thermogram
PENDAHULUAN Termografi merupakan metode yang non-invasif dan mempunyai kemampuan untuk mendeteksi perubahan fisiologi payudara yang disebabkan pertumbuhan kanker (Michal,1980). Termografi dapat mengidentifikasi perubahan fisiologi lokal dan aliran darah sebelum pemeriksaan klinis atau test screening dilakukan. Dibandingkan dengan X-ray, CT Scan, ultrasonografi dan Magnetic Resonance Imaging (MRI), pemeriksaan pencitraan termal digital menggunakan inframerah memiliki kemampuan khusus, yaitu menunjukkan perubahan fisiologi dan metabolisme. Disamping itu pencitraan termal digital menggunakan bidang inframerah juga cukup efektif dilakukan karena biaya yang dikeluarkan relatif rendah dibandingkan dengan peralatan diagnostik atau screening. Termografi memiliki keakuratan pengujian yang tidak dipengaruhi oleh kepadatan jaringan payudara pada wanita di bawah usia 50 tahun. Termografi dapat mendeteksi ketidaknormalan pola panas dengan kamera inframerah tertentu dan
menganalisis informasi menggunakan program komputer dengan pengawasan seorang dokter yang sudah ahli. Ketidaknormalan pola panas ini merupakan tanda paling awal diketahuinya bentuk kanker. Breast thermography (termografi payu-dara) mengukur perbedaan dari emisi bahang inframerah pada jaringan payudara normal dan adanya ketidaknormalan kanker payudara seperti penyakit fibrosistik, kista, infeksi dan tumor ganas atau kanker payudara. Hal ini dilakukan dengan menghasilkan keakuratan dan tingkat sensi-tivitas yang tinggi. Breast thermography adalah suatu sarana pemeriksaan non-invasif untuk fisiologi jaringan payudara. Teknologi ini tidak berarti menggantikan mamografi atau pemeriksaan diagnostik lain yang digunakan sebagai pemeriksaan klinis ketidaknormalan anatomi jaringan payudara. Saat ini telah dikembangkan infrared thermography yang diaplikasikan pada bidang kedokteran. Salah satunya adalah pada pemeriksaan jaringan payudara untuk mendeteksi adanya kanker payudara. Beberapa kamera infrared yang telah dikembangkan diantaranya adalah kamera infrared thermal imager jenis thermo-tracer TH 7700, kamera infrared IRIS 5000, maupun kamera infrared termal jenis Fluke. Masing-masing kamera dilengkapi dengan software yang dapat berinteraksi dengan manusia dengan menggunakan interface tertentu. Pengolahan citra didefinisikan sebagai proses pengolahan dan analisis citra menyangkut masalah persepsi visual. Proses pengolahan citra yang berkaitan dalam membentuk model objek adalah proses segmentasi dan representasi citra. Segmentasi merupakan langkah pertama yang biasanya digunakan sebelum proses analisis terhadap citra dilakukan.
LANDASAN TEORI Segmentasi citra bertujuan untuk membagi wilayah-wilayah yang masing-masing homogen. Segmentasi adalah salah satu metode penting yang digunakan untuk mengubah citra input ke citra output berdasarkan atribut yang diambil dari citra tersebut. Segmentasi membagi citra ke dalam daerah intensitasnya masing-masing sehingga bisa membedakan antara objek dan background-nya. Pembagian ini bergantung pada masalah yang akan diselesaikan. Segmentasi harus dihentikan apabila masing-masing objek telah terisolasi
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
194
atau terlihat dengan jelas. Tingkat akurasi hasil segmentasi bergantung pada tingkat keberhasilan prosedur analisis yang dilakukan, dan diharapkan proses segmentasi memiliki tingkat keakuratan yang tinggi. Algoritma proses segmentasi citra ada 2 macam sebagai beikut: 1. Diskontinuitas Pembagian citra berdasarkan perbedaan intensitasnya. Contohnya: titik, garis, dan edge (tepi). 2. Similaritas Pembagian citra berdasarkan kesamaan-kesamaan kriteria yang dimilikinya. Contohnya: thresholding, region growing, region splitting, dan region merging.
Pengambangan (Thresholding) Operasi pengambangan digunakan untuk mengubah citra dengan format skala keabuan, yang mempunyai kemungkinan nilai lebih dari 2, ke citra biner yang memiliki 2 nilai (yaitu 0 dan 1). Persamaan yang digunakan untuk menentukan pengambangan suatu citra: ⎧ putih, jika piksel ⎨ ⎩hitam, jika
level level
keabuan > T , keabuan ≤ T ,
Berikut langkah-langkahnya: (1)
Pengambangan merupakan salah satu cara segmentasi citra yang paling sederhana yang dilakukan untuk memisahkan latar belakang objek. Tepi (edge) adalah perubahan nilai intensitas derajat keabuan yang mendadak (besar) pada jarak yang singkat. Perbedaan intensitas inilah yang menampakkan rincian batas objek pada gambar. Bentangan tepi dapat diorientasikan dengan suatu arah, dan arah ini berbedabeda bergantung pada pola perubahan intensitasnya. Pada penelitian ini operator deteksi tepi yang digunakan adalah deteksi tepi operator gradien. Pada prakteknya, ketidaksempurnaan optis, sampling, dan proses pengambilan data citra, akan menghasilkan tepi-tepi yang kabur, dengan derajat kekaburan ditentukan oleh faktor-faktor seperti kualitas peralatan optika yang digunakan untuk mengambil data citra, rata-rata sampling, dan kondisi pencahayaan. Akibatnya, tepi lebih banyak dimodelkan seperti “ramp” (tanjakan). Ketebalan tepi ditentukan berdasar panjang ramp. Panjang ramp ditentukan berdasar kemiringan (slope), dan slope (lereng) ditentukan berdasar derajat kekaburan. Tepian yang kabur cenderung lebih tebal, dan tepian yang tajam cenderung lebih tipis. Secara analitis magnitude turunan pertama bisa digunakan untuk mendeteksi kebera-daan tepi di suatu titik dalam citra (misalnya, menentukan apakah suatu titik berada pada ramp atau tidak). Tanda pada turunan kedua bisa digunakan untuk menentukan apakah suatu piksel tepi terletak pada sisi gelap atau sisi terang tepi. Karakteristik zero-crossing (garis lurus imajiner yang menghubungkan nilai ekstrim positif dan negative turunan kedua akan melintasi nol di pertengahan tepi)
ISSN: 2085-6350
cukup berguna untuk menentukan pusat tepi yang tebal. Agar dapat diklasifikasikan sebagai titik tepi, transisi tingkat keabuan pada titik tersebut harus cukup kuat dibandingkan dengan latarbelakang di sekitarnya. Untuk menentukan apakah suatu nilai “cukup signifikan” atau tidak, bisa digunakan threshold. Jadi, suatu titik di dalam citra merupakan bagian edge, jika turunan pertama 2-D nya lebih besar dari threshold. Himpunan titik-titik yang terhubung menurut kriteria keterhubungan tertentu ditentukan sebagai tepi. Istilah segmen tepi digunakan jika ukuran tepi relatif pendek dibanding ukuran citra. Permasalahan dalam segmentasi adalah bagaimana cara merang-kai segmensegmen tepi ini menjadi satu tepi yang lebih panjang. Tepi juga bisa ditentukan menggunakan karakteristik zero crossing pada turunan kedua. Menurut Nalwan (1997), K-Mean Clustering adalah teknik segmentasi citra berdasarkan intensitas warna. Berasumsi bahwa objek-objek yang akan dipisahkan cenderung memiliki intensitas warna yang berbeda-beda dan masing-masing objek memiliki warna yang hampir seragam. Pada k-mean clustering dilakukan pembagian citra dengan membagi histogram citra.
1. Pertama-tama dicari intensitas maksimum dan minimum yang digunakan dalam citra.
2. Dari intensitas minimum ke maksimum dilakukan pembagian sejumlah N. N ini menentukan jumlah objek yang diharapkan ada pada gambar. 3. Setelah dilakukan pembagian, histogram akan terbagi menjadi bagian-bagian yang disebut cluster (kelompok). Kemudian pada citra dilakukan penelusuran untuk seluruh titik, setiap titik akan dikelompokkan ke cluster terdekat sehingga hasil akhir dari proses ini adalah jumlah warna pada gambar menjadi N. 4. Kemudian mencari hasil rata-rata/mean atas seluruh titik pada setiap cluster, kemudian mengganti warna seluruh titik di dalam cluster-cluster tersebut dengan rata-rata cluster masing-masing. MATERI DAN METODE Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data digital termogram payudara yang di akusisi menggunakan kamera termal Fluke Ti20 dengan software InsideIR 3.11. Data digital di download dari kamera termal Fluke Ti20 disimpan dengan format penyimpanan dengan ekstensi .jpg untuk selanjutnya digunakan sebagai input pada program simulasi. Jumlah data yang digunakan berjumlah 50 citra termogram payudara yang terbagi dalam 3 jenis objek, yaitu citra digital termogram normal, citra digital termogram dengan indikasi kanker payudara dini, dan citra digital termogram dengan indikasi kanker payudara lanjut. Agar dapat diolah oleh program aplikasi dengan tampilan yang wajar dan waktu pengolahan yang cukup cepat, ukuran citra yang dimasukkan adalah lebar 256 piksel dan tinggi 192 piksel.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
195
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Diagram alir langkah-langkah ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.
pengolahan
citra
Gambar 2. Hasil median filter (a) termogram normal, (b) termogram dengan kanker payudara dini, (c) termogram dengan kanker payudara lanjut
citra input
Median filter
Segmentasi
Ciri statistik
Setelah di filter dengan menggunakan median filter, masing-masing citra termogram digital disegmentasi dengan menggunakan beberapa metode segmentasi seperti deteksi tepi, pengambangan, dan clustering. Beberapa operator deteksi tepi yang digunakan dalam segmentasi ini antara lain deteksi tepi gradien dengan operator Robert, Sobel, serta Prewit. Hasil deteksi tepi dari masing-masing operator deteksi tepi untuk citra digital termogram normal ditunjukkan pada Gambar 3 berikut.
Gambar 1. Flowchart Proses Penelitian
HASIL ANALISIS Hasil simulasi peningkatan kualitas citra dengan menggunakan median filtering pada masing-masing citra digital termogram payudara normal, termogram dengan indikasi kanker payudara dini maupun kanker payudara lanjut ditunjukkan pada Gambar 2 berikut.
(a)
(b)
(a)
(b)
(c) Gambar 3. Hasil deteksi tepi termogram normal (a) operator Prewit, (b) operator Sobel, (c) operator Robert Sedangkan hasil deteksi tepi dari masing-masing operator deteksi untuk citra digital termogram dengan kanker payudara dini dan kanker payudara lanjut ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5 berikut.
(c)
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
196
(c)
(a)
Gambar 5. Hasil deteksi tepi termogram kanker payudara lanjut (a) operator Prewit, (b) operator Sobel, (c) operator Robert
Hasil simulasi dengan metode segmentasi pengambangan tunggal pada T>150 ditunjukkan oleh Gambar 6 berikut. (b)
(a)
(c) Gambar 4. Hasil deteksi tepi termogram kanker payudara dini (a) operator Prewit, (b) operator Sobel, (c) operator Robert
(b)
(a)
(c) (b)
ISSN: 2085-6350
Gambar 6. Hasil pengambangan tunggal dengan T>150 (a) termogram normal, (b) termogram kanker payudara dini, (c) termogram kanker payudara lanjut
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
197
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
a.
Hasil simulasi dengan metode k-mean clustering pada k=4 untuk ketiga jenis citra termogram ditunjukkan oleh Gambar 7 berikut.
(a)
b.
Nilai rata-rata termogram kanker payudara dini = 143 dengan nilai standar deviasi = 33 Nilai rata-rata termogram kanker payudara lanjut = 158 dengan nilai standar deviasi = 40
KESIMPULAN Dari pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Metode segmentasi kmean clustering merupakan metode segmentasi yang lebih tepat diterapkan pada citra digital termogram payudara, sedangkan metode segmentasi pengambangan dan metode deteksi tepi gradien kurang tepat diterapkan pada citra digital termogram payudara karena menghasilkan citra keluaran yang tidak begitu jelas, analisis statistik yang meliputi rata-rata dan standar deviasi yang diekstrak dari objek dapat menunjukkan termogram normal, termogram dengan indikasi kanker payudara dini maupun termogram dengan indikasi kanker payudara lanjut. Hasil analisis statistik dari fitur tekstur didapatkan bahwa citra digital termogram normal memiliki nilai rata-rata yang paling besar dan memiliki nilai standar deviasi paling kecil dibandingkan termogram yang tidak normal (yang terdeteksi adanya kanker payudara dini maupun lanjut)
(b) Daftar Pustaka 1.
2. (c) Gambar 7. Hasil segmentasi metode k-mean clustering citra termogram (a) normal, (b) kanker payudara dini, (c) kanker payudara lanjut
3.
Nilai statistik yang diekstrak dari masing-masing citra termogram payudara adalah nilai rata-rata dan standar deviasi dengan perbedaan sebagai berikut:
5.
4.
6. Nilai rata-rata termogram normal = 214 dengan nilai standar deviasi = 6
Hairong Qi, Phani Teja Kuruganti, Wesley E. Snyder, 1995, Detecting Breast Cancer From Thermal Infrared Images by Asymmetry analysis, http://www.google.com/asymmetry thermal image.pdf (diakses tanggal 2 April 2008). Jain, A.K.,1995, Fundamentals of Digital Image Processing, Prentice-Hall of India, New Delhi Liza Allen ,MD Thermal Image Medicine Systems , http://www.google.com/TIMS_A4.pdf (diakses tanggal 2 April 2008). Biran A., Breiner M., 1999, Matlab for Engineers, Addisson-Wesley, New York. Gros C., Gautherie M., 1980, Breast Thermography and Cancer Risk Prediction, Cancer, V 45, No. 1 : 51- 56. Schalkoff, R.J.,1799, Digital Image Processing and Computer Vision, John Wiley & Sons, Inc, Monticello.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
198
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Implementasi 1-D DCT Algoritma Feig–Winograd di FPGA Spartan 3E Irma Yulia Basri 1), Bambang Sutopo 2) 1) .Mahasiswa Teknik Elektro UGM 2) .Dosen Jurusan Teknik Elektro UGM Jurusan Teknik Elektro, Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected], [email protected] Jazi Eko Istiyanto 3) .Dosen Jurusan Fisika UGM Jurusan Teknik Elektro, Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected] 3)
Abstract— Pengurangan jumlah perkalian, merupakan satu cara untuk mengasilkan komputasi cepat Discrete Cosine Transform (DCT). Algoritma 1-D DCT Feig-Winograd merupakan modifikasi dari persamaan 1-D DCT yang mampu meminimumkan penggunaan operasi perkalian dari 64 pengali menjadi 13 pengali. Operasi perkalian dirancang dengan 2 metode yaitu pengali dari operator Xilinx dan pengali dengan metode Booth. Implementasi 1-D DCT Feig-Winograd pada FPGA menghasilkan, komputasi menggunakan pengali dari operator xilinx 53,99 kali lebih cepat dibandingkan dengan Booth, akan tetapi tingkat keakuratan, hasil perkalian dengan metode Booth masih unggul dibandingkan dengan operator Xilinx. Keywords: DCT, Booth, Winograd, FPGA, Xilinx
I.
PENDAHULUAN
Citra digital sebagai salah satu teknik penyampaian informasi sudah semakin pesat perkembangannya saat ini. Citra digital yang berkualitas tinggi, menunjukkan resolusi yang dimiliki sebuah citra tersebut juga tinggi. Pengolahan citra digital beresolusi tinggi membutuhkan komputasi yang cepat. Komputer biasa, tidak akan mampu melakukan proses tersebut. Sudah lama diciptakan algoritma-algoritma yang bisa melaksanakan komputasi secara cepat seperti, Discrete Fourier Transform (DFT), Fast Fourier Transform (FFT), Discrete Cosines Transform (DCT) dan lain-lain. DCT saat ini sudah banyak digunakan untuk pengolahan sinyal digital seperti mengkompresi sinyal suara, gambar dan video. Penggunaan DCT yang paling pupoler adalah untuk pengolahan file gambar JPEG. Komputasi menggunakan DCT, perlu dilakukan optimisasi data. Optimisasi bertujuan untuk mengurangi operasi aritmetika, tepatnya untuk mengurangi cacah operasi perkalian. Semakin sedikit operasi perkalian maka komputasi juga akan semakin cepat, begitupun apabila di implementasikan pada perangkat keras, cacah perkalian yang sedikit akan membutuhkan perangkat keras yang sedikit juga. Perancangan dengan FPGA (Field Programmable Gate Array) merupakan jawaban tepat untuk mempercepat proses ISSN: 2085-6350
perancangan perangkat keras digital, sehingga diperoleh rancangan yang ekonomis dan efisien [5]. Penelitian tentang DCT dan FPGA telah banyak diusulkan oleh para peneliti di berbagai jurnal ilmiah. Modifikasi algoritma DCT dalam bentuk scale DCT dapat mengurangi operasi perkalian. Pengurangan operasi perkalian akan mempercepat proses komputasi dan menjadikan DCT sebagai algoritma cepat. Untuk 2-D DCT dibutuhkan 54 kali perkalian dan 462 penjumlahan, hal ini memungkinkan komputasi hanya membutuhkan 16 fixed poin aritmetika dengan maksimum 8 input [1]. algoritma scale DCT yang dioperasikan pada IBM RS/6000, membutuhkan 32 floating poin dan 32 fixed poin register, dioperasikan secara paralel pada frekwensi 25Mhz dan menbutuhkan 60% waktu operasi aritmetika dari total operasi yang dilakukan [4]. Optimalisasi bentuk DCT klasik menjadi DCT dalam bentuk algoritma Winograd, dapat mengurangi jumlah perkalian dan instruksi perkalian tersebut dapat diganti dengan instruksi-instruksi penjumlahan dan pengurangan. Pengurangan instruksi perkalian dapat mempercepat tampilan output (proses komputasi) [2].
II.
DASAR TEORI
A. Algoritma Feig-Winograd DCT pertama kali dikenalkan oleh Ahmed T Natarajan dan K.R Rao pada tahun 1974. DCT terdiri atas dua tipe yaitu Discrete Cosine Transform 1 dimensi (1-D DCT) dan Discrete Cosine Transform 2 dimensi (2-D DCT). Persamaan 1-D DCT untuk delapan input secara matematik dapat dituliskan dalam bentuk: 7
S ( k ) = α n ∑ a(n) cos n =0
(2n + 1)kπ ; k = n = 0,1,2...8............(1) 16
α 0 = 18 ........dan.....α1, 2,3...7 = 2 8 .......(2) S (k ) = output pixel dan
a(n) = input pixel
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Persamaan (1) apabila dibuat dalam bentuk iterasi atau looping, cukup dengan 9 baris algoritma akan mengasilkan program yang mampu mengolah nilai input piksel menjadi koefisien output DCT. Algoritma ini untuk 1 koefisien output membutuhkan 8 kali perkalian, sehingga untuk 8 output yang akan dieksekusi dibutuhkan 64 kali perkalian. Feig (1992) dan Guidon (2002) mengungkapkan bahwa perkalian membutuhkan lebih banyak waktu untuk proses komputasi dibandingkan dengan operasi penjumlahan dan pengurangan. Perkalian pada algoritma persamaan (1) bisa diminimalkan dengan memodifikasi data flow diagram butterfly yang sudah dikembangkan oleh Winograd (Guidon, 2002). Modifikasi diagram alir butterfly akan ditansfer ke dalam bentuk algoritma atau kode-kode. Algoritma yang dirancang dari modifikasi data flow ini harus sesuai dengan persamaan 1-D DCT. Modifikasi yang ditawarkan oleh Kaiser (2003) bisa dijadikan acuan komputasi cepat DCT.
Gambar 1. Grafik Data Flow 1-D DCT Feig-Winograd (Kaiser, 2003)
Diagram data flow 1-D DCT Feig-Winograd, terdiri dari 9 step (a, b, c, d, e, f, g, h, i dan s). Delapan buah step digunakan untuk operasi penjumlahan dan pengurangan, keseluruhan step ini mempunyai 29 operasi penjumlahan/pengurangan. Operasi perkalian tersebar pada empat buah step yang terdiri atas 13 perkalian.
⎛π ⎞ ⎛ 3π ⎞ ⎛π ⎞ m1 = cos⎜ ⎟ ; m2 = cos⎜ ⎟ ; m3 = cos⎜ ⎟ ⎝4⎠ ⎝ 8 ⎠ ⎝8⎠ ⎛ 5π ⎞ ⎛π ⎞ ⎛ 3π ⎞ m4 = cos⎜ ⎟ ; m5 = cos⎜ ⎟ ; m6 = cos⎜ ⎟ dan ⎝ 16 ⎠ ⎝ 16 ⎠ ⎝ 16 ⎠ ⎛ 7π ⎞ m7 = cos⎜ ⎟ ⎝ 16 ⎠
199
Algoritma 1-D DCT Feig-Winograd terdiri atas 88 baris kode yang pendek, jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan algoritma persamaan (1), yang hanya sembilan baris. Meskipun jumlah baris algoritma 1-D DCT Feig-Winograd lebih banyak, tetapi algoritma ini hanya membutuhkan 13 kali perkalian. Jika dimisalkan, pada proses komputasi 1 perkalian membutuhkan waktu 1µdetik, dengan mengabaikan waktu untuk operasi penjumlahan dan pengurangan, maka algoritma 1-D DCT Feig-Winograd dengan 8 input akan membutuhkan waktu 13µdetik, sedangkan algoritma iterasi persamaan (1) akan membutuhkan waktu 64 µdetik. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa algoritma 1-D DCT Feig-Winograd 4,923 kali 64 = 4,923 lebih cepat dibandingkan dengan
(
13
)
algoritma iterasi pada persamaan (1). Rancangan algoritma 1-D DCT Feig-Winograd diimplementasikan ke dalam FPGA Xilinx Spartan 3E, diharapkan komputasinya lebih cepat serta pemakaian hardwarenya lebih sedikit jika dibandingkan diimplementasikan pada mikroprosessor, hal ini dikarenakan FPGA Xilinx Spartan 3E untuk 1 circle bisa memproses 8 input secara serempak, sedangkan mikroprosessor, 1 input dibutuhkan 1 circle. Jika dimisalkan, akan diproses data sebanyak 8 input dan 1 circle membutuhkan waktu 1 µdetik, maka untuk FPGA hanya akan dibutuhkan waktu 1 µdetik sedangkan pada mikrokontroler akan dibutuhkan waktu 8 µdetik, artinya implementasi rancangan algoritma 1-D DCT FeigWinograd pada FPGA proses komputasinya 8 kali lebih cepat jika dibandingkan dengan mikroprosessor. B. Booth Algorithm Operasi perkalian dengan Algoritma Booth dapat menghasilkan perkalian dengan perangkat keras yang lebih kecil dibandingkan proses perkalian digital secara umum. Hal ini cacah partial product pada Booth hanya setengah setengah dari operasi perkalian biasa. Implementasi dengan perangkat keras akan lebih menguntungan bila bilangan pengali berupa konstanta yang banyak mengandung kode 1 berurutan. Dari gambar 1 terlihat bahwa ada 13 pengali dengan bilangan yang tertentu dan tetap, oleh karena itu implementasi dengan algoritma Booth akan menguntungkan karena banyak menghemat perangkat keras. C.
FPGA Field Programmable Gate Array (FPGA) merupakan komponen elektronika dan semikonduktor yang mempunyai komponen gerbang terprogram dan sambungan terprogram. Komponen gerbang terprogram pada FPGA tediri dari gerbang dasar digital (AND, OR, XOR, NOT) maupun jenis fungsi matematis dan kombinasi rangkaian digital yang lebih komplek seperti decoder, adde, subtractor, multiplexer dan lain-lain. Blok-blok komponen di dalam FPGA bisa juga mengandung elemen memori (register) mulai dari flipflop sampai pada RAM (Random Access Memory). FPGA berbeda dari general-purpose mikroprosesor (misalnya Intel) dalam hal fleksibilitas logic-nya. Mikroprosesor mempunyai hardware yang tetap. Assembly programmer
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
200
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
memprogram suatu komputasi dengan keterbatasan pada register, siklus fetch-decode-execute, serta fungsi-fungsi ALU (Arithmetic And Logic Unit) dan pada banyaknya bit suatu register yang jumlahnya tetap. FPGA berbeda dari mikrokontroler (misalnya ATMEL), karena mikrokontroler pada prinsipnya adalah mikroprosesor yang diprogram dengan bahasa assembly dan dirancang sebagai pengendali bukan untuk komputasi. Mikroprosesor dan mikrokontroler mengimplementasikan suatu komputasi pada hardware yang tetap. Hardware pada FPGAs diserahkan sepenuhnya pada design engineer untuk memprogramnya. Sebelum diprogram, FPGA hanyalah tersusun atas blok-blok yang belum dikonfigurasikan dan interkoneksi yang belum disusun dan difungsikan. Oleh karena itu, istilah yang lebih tepat adalah merekonfigurasikan FPGA, bukan memprogramnya (Istiyanto: 2003). Chip FPGAs yang sama dikonfigurasikan dengan data yang berbeda akan mengimplementasikan hardware yang berbeda. Dalam pengertian lainnya terprogram (programmable) dalam FPGA adalah mirip dengan interkoneksi saklar dalam breadboard yang bisa diubah oleh pembuat desain. Interkoneksi FPGA bisa diprogram kembali oleh pengguna maupun pendesain di dalam lab atau lapangan (field). Oleh karena itu jajaran gerbang logika ini disebut field-programmable. Jenis gerbang logika yang bisa diprogram meliputi semua gerbang dasar untuk memenuhi kebutuhan yang manapun. FPGA mempunyai komponen dasar yaitu: (1) LUT (Look-Up Table) yang berfungsi untuk menginplementasikan rangkaian kombinasi, (2) register (flip-flop) untuk mengimplementasikan elemen penyimpan/rangkaian sekuensial, (3) carry logic untuk fungsi aritmatika, dan (5) expansion logic untuk mengimplementasikan fungsi yang tergantung pada lebih dari 4 input. Secara umum arsitektur internal IC FPGA terdiri atas tiga elemen utama yaitu Input/ Output Blok (IOB), Configurable Logic Block (CLB) dan Interkoneksi. Input/ Output Blok berfungsi sebagai interface antara external package dari device dan internal user logic. Configurable Logic Block berfungsi untuk implementasi rangkaian sekuensial dan menampilkan struktur dari tabel dasar. Serta interkoneksi terdiri dari wire dan switches yang bisa diprogram, interkoneksi berfungsi untuk menghubungkan Configurable Logic Block yang berbeda Input/ Output Blok. FPGA Xilinx Spartan 3E memiliki 4 buah swicth on/off dan switch rotary dengan 4 arah yang digunakan untuk menginputkan data. Tampilan output dari FPGA Spartan 3E selain ditampilkan melalui 8 buah LED juga bisa ditampilkan melalui 2 baris 16 karakter LCD Screen. Output 1-D DCT pada penelitian ini ditampilkan melalui LCD Screen. Pengaturan output menggunakan clock internal 50MHz melalui pin C9 pada FPGA.
III.
METODOLOGI PENELITIAN
Tahapan penelitian yang dilakukan adalah: 1. Pembuktian dan ujicoba komputasi data input persamaan (1) secara manual dan dibandingkan dengan hasil komputasi dengan Toolbox Matlab. Perbandingan ini diperlukan untuk menguji keakuratan komputasi yang dilakukan, dan untuk mengantisipasi kesalahan mungkin yang akan terjadi sebelum penelitian dikembangkan lebih jauh. 2. Uji coba algoritma 1-D DCT Winograd, dengan input yang sama diujicobakan pada langkah pertama. Algoritma 1-D DCT Feig-Winograd diperoleh dengan menerjemahkan diagram alir pada gambar 1. Hasil penerjemahan diagram alir gambar 1 terlihat pada tabel 1. a0 sampai a7 merupakan data input. Data input diperoleh dari contoh data yang sudah pernah dipublikasikan. Pada penelitian ini data input akan diambil dari slide yang dipublikasikan oleh Richard Kelly, yaitu: a =[198 202 194 179 180 184 196 168]; apabila diurutkan: a0 = 198; a1 = 202; a2 = 194; a3 = 179; a4 = 180; a5 = 184; a6 = 196 dan a7 = 168; Nilai-nilai input tersebut tidak diinputkan melalui port FPGA, tetapi dibuat dalam bentuk konstanta dan disimpan di dalam register. Hai ini bertujuan untuk menghemat pemakaian Input Output Blok (IOB). Pengolahan input (a0 sampai a7), menggunakan komputasi 1-D DCT Feig-Winograd seperti diagram alir gambar 1, terdiri atas 9 tahapan yaitu: 2.1 Komputasi untuk memperoleh nilai b0 sampai b7 2.2 Komputasi untuk memperoleh nilai c0 sampai c7 2.3 Komputasi untuk memperoleh nilai d0 sampai d8 2.4 Komputasi untuk memperoleh nilai e0 sampai e8 2.5 Komputasi untuk memperoleh nilai f0 sampai f7 2.6 Komputasi untuk memperoleh nilai g0 sampai g7 2.7 Komputasi untuk memperoleh nilai h0 sampai h7 2.8 Komputasi untuk memperoleh nilai i0 sampai i7 2.9 Komputasi untuk memperoleh nilai S0 sampai S7 Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Algoritma 1-D DCT Winograd Step 1 b0 = a0 + a7; b3 = a3 + a4; b1 = a1 + a6; b4 = a0 – a7; b2 = a2 + a5; b5 = a1 – a6; step 2 c0 = b0 + b3; c3 = b1 – b2; c1 = b1 + b2; c4 = b4; c2 = b0 – b3; c5 = b5; Step 3 d0 = c0 + c1; d3 = c2; d1 = c0 – c1; d4 = -c6; d2 = c3; d5 = c7; Step 4 e0 = d0; e4 = d4 – d7; e1 = d1; e5 = d5 + d7;
b6 = a2 – a5; b7 = a3 – a4;
c6 = b6; c7 = b7;
d6 = -c5; d7 = -c4;
e6 = d5 – d6; e7 = d2;
e2 = m1*(d3 – d2);
e3 = d4; ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009 Step 5 f0 = e0; f1 = e1; f2 = e2; Step 6 g0 = f0; g1 = f1; g2 = f2 + f7; Step 7 h0 = g0; h1 = g1; h2 = g2;
201
f3 = e3; f4 = m1 * e5; f5 = e4;
f6 = m1 * (-e4 + e6); f7 = e7;
g3 = f3 + f4; g4 = f4 – f3; g5 = f6 + f5;
g6 = f6 – f5; g7 = f2 – f7;
h3 = g3; h4 = g4;
h6 = (1/2)*(1/m3)*g6;
h5 = (1/2)*(1/m2)*g5
h7 = g7;
Step 8 i0 = h0; i1 = h1; i2 = h2; Step 9
i3 = h3 – h5; i4 = h4 + h6; i5 = -h3 – h5;
i6 = h6 – h4; i7 = h7;
s0 = (1/2)*m1*i0; s1 = -(1/4)*(1/m4)*(i3); s2 = (1/4)*(1/m2)*(i2);
s3 = -(1/4)*(1/m5)*(i4); s4 = (1/2)*m1*i1; s5 = -(1/4)*(1/m7)*(i6);
s6 = (1/4)*(1/m3)*(i7); s7 = (1/4)*(1/m6)*(i5);
3. Trasformasi algoritma 1-D DCT Winograd ke bahasa VHDL. Transfomasi ke VHDL, algoritma dirancang sesuai dengan kaedah VHDL. Algoritma ini dibuat dalam 2 versi yaitu pengali dari operator pengali xilinx dan pengali dengan algoritma Booth. Perancangan input dan output bit dari 1-D DCT Feig – Winograd adalah 12 bit, dengan 1 bit MSB digunakan sebagai tanda dari bit aritmatika tersebut. Pengali menggunakan operator Xilinx, sama halnya dengan operator pengali pada Matlab, hanya saja di FPGA digunakan bilangan bulat (integer). Karena pengali pada gambar 1 masih berupa bilangan berkoma, maka bilangan tersebut harus diubah ke bentuk bilangan integer dengan cara mengalikan dengan 2n. Hasil perkalian dibagi kembali dengan 2n ( digeser ke kanan sebesar – n kali). Perancangan pengali dengan metode Booth dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Pengali dengan bilangan berkoma dikalikan dengan 210. Hasil perkalian antara pengali dengan 210 , nilainya diambil dari hasil pembulatan. 2. Nilai hasil pembulatan dikonversikan ke bilangan biner dan ditambahkan 0 pada LSB digit biner tersebut. 3. Penyandian digit biner pada langkah-2, dimulai dari LSB dengan formasi: 0-2, 2-4, 4-6, 6-8, 8-10, 10-12, dst, sehingga dihasilkan sandi bilangan pengali berdasar table Booth. 4. Partial product yang terbentuk dijumlahkan dengan algoritma penjumlahan Carry Locked Ahead (CLA) dan Sum Locked Ahead (SLA). 5. Hasil output dipotong 10 bit yang dihitung dari LSB. 6. Contoh pengali dengan nilai m1 = cos(pi/4) = 0,707, dengan untuk membuat VHDL menggunakan metode Booth dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 6.1 Pengali, dalam hal ini m1 = cos(pi/4) = 0.707 dikalikan dengan 210, sehingga ⎛π ⎞ M _ 1 = cos⎜ ⎟ * 2 n = 724,07773439 (10 ) ⎝4⎠
M_1 = 0010 1101 0100(2) 6.3 konversi biner M_1 di tambah LSB-nya dengan 0, sehingga M_1 menjadi 0010110101000 6.4 M_1 dicuplik 3-3 sesuai dengan ketentuan kaedah Booth. Cuplikan 3-3 ini akan mengasilkan kode bit yang menggambarkan operasi Booth yang akan dilakukan. Tabel 2. Kode bit untuk pengali M_1 Kode Bit Keterangan 000 Tambahkan 0 pada partial product 010 Tambahkan j pada partial product 010 Tambahkan j pada partial product Tambahakan two’ s komplement j pada partial 110 product Tambahkan two’ s komplement j pada partial 101 product 001 Tambahkan j pada partial product *) j = bilangan yang akan dikalikan Operasi dari masing-masing partial product dari tabel 1, dapat dilihat pada lampiran 2. 6.5 Setelah tabel partial productnya diketahui, maka untuk mengasilkan 12 bit hasil perkalian antara M_1 dengan bilangan yang dikali j, dibuat algoritma menggunakan full adder, Carry Locked Ahead (CLA) dan Sum Locked Ahead (SLA), algoritma untuk operasai perkalian dengan M_1 dapat dilihat pada lampiran 1. IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan penelitian diperoleh dari langkahlangkah penelitian yang dijalankan: 1.
Menentukan nilai output 1-D DCT dengan tool box matlab. Untuk menentukan koefisien output 1-D DCT berdasarkan data pada langkah (1) hasil dan pembahasan, dapat dilakukan sebagai berikut: a = [198 202 194 179 180 184 196 168]; S = dct(a) S = [530,6836 19,8865 7,0604 7,2606 -18,0312 5,9509 -7,8994 5,9074]
2.
Menentukan nilai output 1-D DCT dengan menggunakan persamaan (1) dan (2). Berdasarkan perhitungan manual untuk persamaan 1-D DCT dengan input a = [198 202 194 179 180 184 196 168 S = [ 530,6836 19,8865 7,0604 7,2606 -18,0312 5,9509 -7,8994 5,9074]
3.
Menentukan output 1-D DCT menggunakan algoritma 1-D DCT Winograd pada tabel 1. Hasil output-nya adalah: a = [198 202 194 179 180 184 196 168]; S = [ 530,6836 19,8865 7,0604 7,2606 -18,0312 5,9509 -7,8994 5,9074]
6.2 M_1 dibulatkan menjadi 724(10) dan selanjutnya dikonversikan ke dalam biner menjadi:
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
202
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Tabel 3. Tabulasi perhitungan tol box matlab – manual algoritma 1-D DCT DCT Output Input Feig Toolbox Persamaan 1 Winograd Matlab 198 530,6836 530,6836 530,6836 202 19,8865 19,8865 19,8865 194 7,0604 7,0604 7,0604 179 7,2606 7,2606 7,2606 180 -18,0312 -18,0312 -18,0312 184 5.9,509 5.9,509 5.9,509 196 -7,8994 -7,8994 -7,8994 168 5,9074 5,9074 5,9074 Dari tabel 3, dapat disimpulkan, bahwa algoritma 1-D DCT Feig-Winograd dengan meminimisasi jumlah perkalian, dengan input yang sama akan tetap mengasilkan output yang sama dengan komputasi menggunakan persamaan (1) dan toolbox Matlab. 4. Perancangan Algoritma 1-D DCT Feig-Winograd ke ISE 10.1i. Pembuktian bahwa implementasi 1-D DCT FeigWinograd pada FPGA lebih cepat dan lebih efisien dari segi pemakaian hardware, masih akan dibuktikan melalui implementasi algoritma 1-D DCT Feig-Winograd ke VHDL mengunakan software ISE 10.1i. Algoritma yang sudah dirancang dalam VHDL, dilakukan sintesis untuk melihat apakah program yang dirancang sudah berhasil atau sebaliknya. Apabila program tersebut telah berhasil maka dilakukan pemetaan konfigurasi pin-pin input output yang digunakan sebagai sinyal masukan dan sinyal keluaran dari sistem yang dibuat. Konfigurasi IMPACT dari FPGA berfungsi untuk mengisi FPGA dengan program, atau mengkoneksikan antar gerbang digital yang dirancang. Setelah proses pengisian program berhasil maka tampilan output hasil penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini: Tabel
Input 198 202 194 179 180 184 196 168
Tabel
4. Perbandingan perhitungan manual dengan algoritma 1-D DCT pada FPGA dengan operator pengali dari Xilinx DCT Output Perhitungan Manual dengan Implementasi algoritma Feig FPGA Winograd 530,68 530 19,886 19 7,0604 6 7,2606 7 -18,031 -19 5,9509 6 -7,8994 -9 5,9074 6
Error Relatif
Error Mutlak
6,80% 8,86% 10,06% 2,60% 9,69% 0,41% 11,00% 0,93%
0,680 0,886 1,060 0,260 0,969 0,041 1,100 0,093
DCT Input
198 202 194 179 180 184 196 168
Output Perhitungan Manual dengan Implementa algoritma Feig si FPGA dan Winograd 530,68 530 19,886 20 7,0604 7 7,2606 8 -18,031 -19 5,9509 7 -7,8994 -8 5,9074 6
Error Relatif
Error Mutlak
6,80 % 1,14 % 0,60 % 7,39 % 9,69 % 10,49 % 1,01 % 0,93%
0,680 0,114 0,060 0,739 0,969 1,049 0,101 0,093
Rerata error relatif pada tabel 4 adalah 6,294% sedangkan pada tabel 5 adalah 4,756%. Perbandingan kedua hasil tersebut memberikan kesimpulan bahwa pengali dengan algoritma Booth menghasilkan kesalahan relatif lebih kecil 1,538% (6,294%-4,756%) dibandingkan dengan pengali menggunakan operator pengali dari xilinx. 5. Design Summary Setelah dilakukan sintesis akan terlihat laporan design summary seperti tabel 6 berikut ini: Tabel 6. Design Summary Design Sumary Operator Xilinx Slices 4% LUT 4% IOB 41% Multiplicant 65% Total logic 801% Delay simulasi 41,09 ns
Algoritma Booth 15% 14% 41% 2179 logic 76,03 ns
Data yang diperoleh dari tabel 5 menunjukkan bahwa pengali dengan operator xilinx lebih hemat 36,76% (dibandingkan dengan pengali menggunakan algoritma Booth. Kecepatan komputasi berdasarkan hasil simulasi pengali dengan menggunakan operator Xilinx 54,04% kali lebih cepat dibandingkan pengali menggunakan algoritma Booth.
V.
KESIMPULAN
1. Komputasi 1-D DCT Feig – Winograd menggunakan pengali algoritma Booth menghasilkan kesalahan 1,538% lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan operator pengali Xilinx. 2. Pemakaian logic menggunakan pengali dari operator Xilinx 36,76% lebih hemat dibandingkan dengan pengali menggunakan algoritma Booth. 3. Kecepatan komputasi hasil simulasi pengali dengan menggunakan Xilinx 54,04% kali lebih cepat dibandingkan pengali menggunakan algoritma Booth.
5. Perbandingan perhitungan manual dengan algoritma 1-D DCT pada FPGA dengan pengali menggunakan algoritma Booth
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
KEPUSTAKAAN [1].Feig, E., dan Winograd, S., (1992) “Fast Algorithm for Discrete Cosine Transform”, IEEE Transaction on Signal Processing Vol 40 No 9, New York. [2].Guidon, Y., (2002), “Optimised Winograd DCT for The F-CPU Core 0”, http://f-cpu.seul.org/whygee/ dct_fc0/ dct_fc0.html
203
[4]. Kaiser, A., (2003), “Transformationscordierung im Rahmen des Prominars Rund um JPEG” Eberhard Karls Universitat Tubingen. [5]. Sutopo, B., (2000), “ Implementasi FFT pada FPGA dengan Algoritma Winograd Kecil” Quality In Research Seminar (QIR-2000), Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
[3]. Istiyanto, J.E, (2003), “Field-Programmable Gate Arrays (FPGA) untuk Industri, Kendali dan Robotika” FMIPA UGM, Yogyakarta.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
204
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Lampiran 1. program VHDL algoritma Booth. entity pengali1 is Port ( j : in STD_LOGIC_VECTOR (11 downto 0); m_1 : out STD_LOGIC_VECTOR (11 downto 0)); end pengali1; architecture Behavioral of pengali1 is signal s_1,j_inv: std_logic_vector(11 downto 0); signal s_3,c_3: std_logic_vector(13 downto 0); signal s_2: std_logic_vector(13 downto 1); signal c_1: std_logic_vector(12 downto 0); signal c_2: std_logic_vector(14 downto 1); signal p,c_m: std_logic_vector(11 downto 0); signal g: std_logic_vector(10 downto 0); signal c_4: std_logic; begin j_inv <= not(j); ------ Sum Full Adder------s_1(7 downto 0) <= j(11 downto 4) xor j(9 downto 2) xor j_inv(7 downto 0); s_1(8) <= j(11) xor j(10) xor j_inv(8); s_1(9) <= j(11) xor j(11) xor j_inv(9); s_1(10) <= j(11) xor j(11) xor j_inv(10); s_1(11) <= j(11) xor '1'; ------ Carry Full Adder------c_1(0) <= (j(3) and j(1)) or ((j(2) and j(0)) and (j(3) xor j(1))); c_1(8 downto 1) <= (j(11 downto 4) and j(9 downto 2)) or (j_inv(7 downto 0) and (j(11 downto 4) xor j(9 downto 2))); c_1(9) <= (j(11) and j(10)) or (j_inv(8) and (j(11) xor j(10))); c_1(10) <= (j(11) and j(11)) or (j_inv(9) and (j(11) xor j(11))); c_1(11) <= (j(11) and j(11)) or (j_inv(10) and (j(11) xor j(11))); c_1(12) <= j(11); ------ Sum Full Adder------s_2(1) <= s_1(1) xor c_1(1); s_2(11 downto 2) <= s_1(11 downto 2) xor c_1(11 downto 2) xor j_inv(9 downto 0); s_2(12) <= s_1(11) xor c_1(12) xor j_inv(10); s_2(13) <= s_1(11) xor c_1(12) xor j_inv(11); ------ Carry Full Adder------c_2(1) <=( s_1(0) and c_1(0)) or (s_1(0) xor c_1(0)); c_2(2) <= s_1(1) and c_1(1);
ISSN: 2085-6350
c_2(12 downto 3) <= (s_1(11 downto 2) and c_1(11 downto 2)) or (j_inv(9 downto 0) and (s_1(11 downto 2) xor c_1(11 downto 2))); c_2(13) <= (s_1(11) and c_1(12)) or (j_inv(10) and (s_1(11) xor c_1(12))); c_2(14) <= (s_1(11) and c_1(12)) or (j_inv(11) and (s_1(11) xor c_1(12)));
------ Sum Full Adder------s_3(0) <= s_2(2) xor c_2(1) xor '1'; s_3(1) <= s_2(3) xor c_2(1); s_3(11 downto 2) <= s_2(13 downto 4) xor c_2(13 downto 4) xor j(9 downto 0); s_3(12) <= s_2(13) xor c_2(13) xor j(10); s_3(13) <= s_2(13) xor c_2(13) xor j(11); ------ Carry Full Adder------c_3(0) <= s_2(1) and c_2(1); c_3(1) <=(s_2(2) and c_2(2)) or (s_2(2) xor c_2(2)); c_3(2) <= s_2(3) and c_2(3); c_3(12 downto 3) <= (s_2(13 downto 4) and c_2(13 downto 4)) or (j(9 downto 0) and (s_2(13 downto 4) xor c_2(13 downto 4))); c_3(13) <= (s_2(13) and c_2(14)) or (j(10) and (s_2(13) xor c_2(14))); ------ Carry Locked Ahead (CLA)------c_4 <= (s_3(1) and c_3(1)) or ((s_3(1) xor c_3(1)) and (s_3(0) and c_3(0))); ------ Sum Locked Ahead (SLA)------p(11 downto 0) <= s_3(13 downto 2) xor c_3(13 downto 2); g(10 downto 0) <= s_3(12 downto 2) and c_3(12 downto 2); c_m(0) <= c_4; process(p,g,c_m,c_4) begin c_m(0) <= c_4; c_m(1) <= g(0) or (c_m(0) and p(0)); inst: for i in 1 to 10 loop c_m(i + 1) <= g(i) or (p(i) and c_m(i)); end loop; end process; ------ 12 bit hasil perkalian antara bilangan j dengan cos(µ/4)m_1(11 downto 0) <= p(11 downto 0) xor c_m(11 downto 0); end Behavioral;
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
205
Lampiran 2. Operasi Partial Product Pengali M_1 dengan Algoritma Booth 21 J11 1 0
20 J11 1 0
19 J11 1 0
18 J11 1 0
17 J11 1 0
16 J11 J11 J10’
15 J11 J11 J9’
14 J11 J10 J8’
13 J11 J9 J7’
12 J10 J8 J6’
11 J9 J7 J5’
10 J8 J6 J4’
9 J7 J5 J3’
8 J6 J4 J2’
7 J5 J3 J1’
6 J4 J2 J0’
5 4 3 2 1 0 J3 J2 J1 J0 J1 J0
S111 C112
S111 C112
S111 C112
S111 C112
S111 C111
S110 C110
S19 C19
S18 C18
S17 C17
S16 C16
S15 C15
S14 C14
S13 C13
S12 C12
S11 C11
S10 C10
J11’
J11’
J11’
J10’
J9’
J8’
J7’
J6’
J5’
J4’
J3’
J2’
J1’
J0’
0
1
S213 C214
S213 C214
S213 C213
S212 C212
S211 C211
S210 C210
S29 C29
S28 C28
S27 C27
S26 C26
S25 C25
S24 C24
S23 C23
S22 C22
S21 C21
S20
J11 J10 J9 J8 S313 S312 S311 S310
J7 S39
J6 S38
J5 J4 J3 J2 J1 S37 S36 S35 S34 S33
J0 S32
0 1 S31 S30
C313
C312
C311
C310
C39
C38
C37
C36
C35
C34
C33
C32
C31
C30
M11
M10
M9
M8
M7
M6
M5
M4
M3
M2
M1
C40 M0
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Keterangan warna tabel Full Adder
Sum Locked A head (S LA) Carry Locked A head (C LA)
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
206
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
`ANALISA SENSOR RATE GYROSCOPE UNTUK MENDETEKSI GERAK ROTASI ROKET Priswanto, Romi Wiryadinata, Thomas Sri Widodo Teknik Elektro, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia [email protected] Andreas P. Adi , Wahyu Widada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Serpong, Indonesia
ABSTRAK Gyroscope digunakan untuk mendeteksi gerak roket. Gerak rotasi roket dalam keadaan lambat maupun cepat, sehingga memerlukan pemrosesan yang disesuaikan terhadap gerak tersebut. Dalam tulisan ini dilakukan analisis sensor rate gyroscope yang dapat mengukur gerak rotasi roket tersebut dalam keadaan lambat maupun cepat. Prototype sensor ini telah dibuat untuk mengimplentasikan rangkaian dengan dua buah gain untuk rotasi lambat dan cepat. Prototpe ini terdiri dari sebuah sensor gyroscope, op amp, dan microcontroller. Diperoleh hasil gain yang sesuai untuk gerak lambat adalah 30, dan untuk gerak yang cepat menggunakan gain 4, sehingga dapat mengukur gerak rotasi roket secara akurat dalam segala kondisi.
dikemas dalam bentuk chip kecil (IC). Keluaran sensor gyroscope berupa sinyal kecepatan sudut. Sinyal kecepatan sudut ini memerlukan penguatan, dan filtering sehingga dapat diproses dan menghasilkan informasi perubahan sudut. Selama ini penguatan yang dilakukan pada sensor gyroscope menggunakan model unity gain (penguatan tunggal). Padahal pergerakan roket yang lambat dan cepat membutuhkan penguatan yang berbeda sehingga diperoleh informasi perubahan sudut yang lebih teliti. Dalam tulisan ini dibahas pengembangan sensor rate gyroscope multigain untuk mendeteksi gerak rotasi roket. Sistem yang dibangun menggunakan sensor rate gyroscope Tokin CG-16D0 dengan ketelitian 90o/detik, dengan penguatan low noise menggunakan 2 buah op-amp AD623BN dan sebuah mikrokontroler AVR ATmega8 dengan internal ADC 6 chanel 10 bit dan ISP (In system programming).
Kata kunci : rate gyroscope, rotasi roket, multi gain ABSTRACT Gyroscope is used to detect rotation of rocket. Its rotation due slow or fast, so need right processing. This paper conducted analysis of sensor rate gyroscope for measure rotation of rocket. Prototype sensor made to circuit implementation with two gain for slow or fast rotation. Prototype contains are sensor gyroscope, op amp, and microcontroller. For slow rotation movement result gain 30, and fast rotation movement result gain 4. The finally sensor rate gyroscope can measure rotation of rocket more accurate for all condition.
II. LANDASAN TEORI 2.1 Sensor gyroscope Gyroscope adalah sebuah sensor yang digunakan untuk mengukur rotasi benda. Benda dikatakan berotasi jika benda bergerak terhadap sumbunya. Parameter yang terdapat dalam gerak rotasi adalah kecepatan linear (v), kecepatan sudut (ω), dan perubahan sudut (θ), seperti ditunjukkan pada Gambar 1.,berikut : A ω
r v
θ B
Keyword : rate gyroscope, rocket rotation, multi gain I. PENDAHULUAN Roket merupakan wahana peluncur yang digerakkan dengan gaya dorong. Dalam pergerakannya, roket juga mengalami gaya gesekan dan gaya gravitasi. Karena gayagaya tersebut, pergerakan roket mengalami gerak rotasi. Gerak rotasi roket merupakan gerak random. Kecepatannya tak menentu, bisa cepat atau pun lambat. Untuk mendeteksi gerak rotasi roket sudah sejak lama digunakan sensor gyroscope. Saat ini telah dikembangkan sensor gyroscope menggunakan teknologi MEMS (Microelectromechanical systems) Dengan teknologi ini sensor gyroscope dapat ISSN: 2085-6350
r v Gambar 1. Rotasi benda Satu rotasi adalah gerakan benda dari titik A dan kembali ke A lagi. Jadi dalam satu rotasi, benda menempuh lintasan lingkaran dengan sudut θ= 360 derajat atau = 2π radian. Jika waktu yang diperlukan untuk satu rotasi adalah periode (T), maka besarnya kecepatan sudut (ω) adalah : ω=
2π = 2πf T
………………(1)
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
207
dengan ω =kecepatan sudut (rad/detik) T = periode (detik) f = frekuensi (Hz) Gyroscope sebagai sensor rotasi, biasa digunakan untuk mendeteksi perubahan sudut rotasi suatu benda. Secara mekanis struktur sebuah sensor gyroscope ditunjukkan pada gambar 2. Yaitu berupa gimbal vibrator yang terdiri dari sebuah frame tetap dengan sebuah proof mass tersuspensi didalamnya. Frame dan proof mass hanya bisa bergerak atau berputar pada sumbunya secara bolakbalik dan orthogonal. Tangkai pegas elastis digunakan untuk memberikan support mekanis dan gerakan bebas. Pada gambar 2., ditunjukkan struktur dual gimbal, terdiri dari 2 gimbal yang terhubung melalui sebuah pegas dan dipacu ke anti fase mode vibrasi tersebut. Mode balance vibrasi mempunyai kualitas faktor mekanikal yang lebih tinggi dan menghasilkan penolakan akselerasi linear yang baik. Drive
Sinyal tersebut kemudian perlu diberi penguatan dengan amplifier. Sinyal analog yang telah dikuatkan tersebut tersebut kemudian di konversikan menjadi sinyal tegangan digital sehingga bisa di proses dengan mikrokontroler. Keluaran dari mikrokontroler dapat ditampilkan pada penampil berupa informasi perubahan sudut maupun bentuk keluaran yang lain. 2.2 Model Matematis Gyroscope Berdasarkan penjelasan sebelumnya, secara mekanis gerak proff mass dari struktur rate gyroscope merupakan gerak harmonis, sedangkan secara elektrik keluarannya menghasilkan sinyal tegangan analog yang ekuivalen dengan kecepatan sudut. Sehingga bentuk sinyalnya mengikuti persamaan gelombang harmonis sinusoidal sebagai berikut : V(t) = A sin (2πft) ……………………(2) dengan
V(t) A f t
= sinyal kecepatan sudut = amplitudo = frekuensi = waktu
ω
Keluaran sinyal rate-gyroscope masih mengandung noise yang disebabkan karena perubahan temperature, impedansi elektromagnetis, dan sebagainya. Sehingga persamaan (3) dapat dituliskan menjadi :
sense
proff mass
V (t) = A sin (2πft) + n(t)+b(t)…………(3) dengan ;
sense
V(t) = sinyal kecepatan sudut yang akan kita ukur n(t) = random noise b(t) = dan noise karena perubahan temperatur
ω drive
Gambar 2. Struktur gimbal gyroscope Bahan-bahan yang digunakan untuk membentuk gyroscope biasanya adalah piezoelektrik. Jadi pada prinsipnya secara elektrik setiap gerakan mekanis tersebut akan menyebabkan perubahan nilai kapasitansi dan perubahan tegangan yang sebanding dengan perubahan sudut gerakan. Sinyal tegangan yang dihasilkan sangat kecil, sehingga diperlukan amplifier untuk memberi penguatan. Pada Gambar 3., ditunjukkan diagram blok proses pengolahan sinyal dari sensor sampai pemrosesan oleh prosesor.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, noisenoise tersebut harus dihilangkan atau diminimalkan. Noise yang biasa dikenal dengan random noise biasanya disebabkan karena pengaruh sistem elektronik yang mempunyai besaran relatif konstan. Noise tersebut mempunyai frekuensi yang lebih tinggi dari sinyal yang di ukur. Sehingga untuk mengatasinya biasa digunakan highpass filter. Sedangkan noise yang disebabkan karena perubahan temperatur atau biasa disebut dengan drift noise mempunyai frekuensi yang lebih rendah. Sehingga untuk mengurangi noise tersebut digunakan low-pass filter. Highpass filtering maupun low-pass filtering bisa dilakukan secara analog pada rangkaian maupun secara digital pada processor. Berdasarkan proses filtering diatas, maka persamaan (2) dapat ditulis kembali menjadi. V(t) = A sin (2πft) + [n(t) -n`(t)]+[b`(t)-(b`(t)]
Sensor
DC Out
AMP
A/D converter
Processing Circuit
Gambar 3. Diagram blok sensor rate-gyroscope. Berdasarkan diagram pada gambar 3., dapat dijelaskan bahwa keluaran sensor gyroscope adalah sinyal tegangan DC analog yang merepresentasikan kecepatan sudut putaran.
(4)
Dengan proses integral, perubahan sudut terhadap waktu dapat ditulis dengan persamaan. T2
θ(t)=
∫ A sin (2π f t ) + [n(t ) − n`(t )] + [b(t ) − (b`(t )] dt
T1
dengan
θ (t )
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
(5) adalah sinyal perubahan sudut.
ISSN: 2085-6350
208
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Persamaan diatas dapat ditulis kembali dengan sebuah parameter kalibrasi secara sederhana menjadi : T (6) θ (t ) = K θ&(t )dt
∫
0
Dengan K adalah parameter kalibrasi. 2.3 Op amp multigain Op-amp di dalamnya terdiri dari beberapa bagian, yang pertama adalah penguat diferensial, lalu ada tahap penguatan (gain), selanjutnya ada rangkaian penggeser level (level shifter) dan kemudian penguat akhir yang biasanya dibuat dengan penguat push-pull kelas B. Gambar 4(a) berikut menunjukkan diagram dari op-amp yang terdiri dari beberapa bagian tersebut. Gambar 4(b), skematik simbol op amp. Gambar 4. Model rancangan Hasil perancangan hardware rangkaian gyroscope dengan multi gain op amp mengunakan AD623AN secara lebih jelas ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 4 (a) : Diagram blok Op-Amp
Gambar 4 (b) : Diagram schematic simbol Op-Amp Op amp multigain pada prinsipnyadidasarkan pada tujuan bahwa satu inputan yang sama diharapkan menghasilkan keluaran yang memiliki penguatan (gain) yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan dengan cara :
Gambar 5. Sensor rate gyroscope multigain
1. Menggunakan beberapa buah op amp 2. Dengan 1 chip op amp terintegrasi multigain Dalam tulisan ini menggunakan op amp jenis AD623AN dengan penguatan tunggal, sehingga diperlukan 2 buah op amp, untuk membentuk multigain op amp.
3.2 Kalibrasi dan pengujian Untuk mendapatkan nilai gain yang tepat pada pengukuran kecepatan rotasi cepat dan lambat perlu dilakukan kalibrasi pada rangkaian sensor. Model kalibrasi digambarkan dalam skematik Gambar 6. Gyroscope CG-16D0
III. PERANCANGAN DAN PENGUJIAN
Axis
Piringan putar
3.1 Perancangan
ADC
Gambar 4., menunjukkan model rancangan rangkaian gyroscope dengan multi gain op-amp mengunakan AD623AN.
CCW
CW
Mikrokontroller ATMega8
Motor stepper DRIVER PC Mikrokontroller AT89S51
Gambar 6. Model skematik proses pengkalibrasian ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
209
Berdasarkan Gambar 6 tersebut dapat dijelaskan bahwa pengkalibrasian dilakukan dengan menguji rangkaian gyroscope multigain menggunakan pemutar motor stepper. Kecepatan putaran dan perubahan sudut motor stepper dapat dimonitor dari PC. Data ini dapat dijadikan sebagai acuan kalibrasi gyroscope. Gain opamp pada saat rotasi lambat maupun cepat dapat ditala sampai dihasilkan data yang sama antara gerak motor stepper dan gyroscope. Dengan metode tersebut dapat diperoleh gain yang akurat untuk setiap gerak rotasi gyroscope. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk sinyal keluaran sensor gyroscope ditunjukkan pada Gambar 7a,7b., dan 7c. Pada Gambar tersebut ditunjukkan representasi sinyal tegangan keluaran gyroscope multigain, gain tunggal pada kecepatan 10 deg/detik, dan gyroscope dengan multigain pada kecepatan 70 deg/detik. Pada pengujian gyroscope untuk rotasi rendah dengan multigain (7.a) menunjukkan penguatan yang lebih besar dibandingkan dengan penguatan pada gain tunggal (7.b). Gain pada kecepatan 10 deg/det di seting pada penguatan sebesar 30 kali, sedang gain pada penguatan tunggal tetap sebesar 4 kali baik pada kecepatan rotasi cepat maupun lambat.
Pada kecepatan rotasi rendah, mikrokontroller akan melakukan pembacaan pada ADC 1(Analog Digital Converter) dengan penguatan (gain) yang lebih besar. Ketika kecepatan rotasi cepat, maka mikrokontroler akan membaca ADC 2 yang telah ditala pada gain yang lebih rendah. Selanjutnya proses filtering dan pengintegralan dilakukan melalui PC (personal computer). Gambar 8 dan 9 menunjukkan contoh proses filtering dan pengintegralan menggunakan metode trapezoida.
Gambar 7.a. Representasi tegangan keluaran gyroscope dengan multigain pada kecepatan 10 deg/detik
Gambar 8. Filtering keluaran gyroscope dengan multigain pada kecepatan 10 deg/detik
Gambar 7.c. Representasi tegangan keluaran gyroscope dengan gain tunggal pada kecepatan 70 deg/detik
70 60
Sudut (deg)
50 40 30 20 10
Gambar 7.b. Representasi tegangan keluaran gyroscope dengan gain tunggal pada kecepatan 10 deg/detik
0 -10
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Waktu (detik)
Gambar 9. Hasil integral trapezoide pada sinyal kecepatan sudut gyroscope Perbedaan hasil kecepatan rotasi gyroscope dengan multigain dan gain tunggal dari 10 deg/detik sampai 90 deg/detik ditunjukkan pada Tabel 1. Tampak pada tabel Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
210
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
menunjukkan keakuratan pengukuran pada gyroscope dengan multigain (1 deg/detik), sedangkan gyroscope dengan gain tunggal pada kecepatan rotasi lambat menunjukkan error yang cukup besar.
roket Metode pemfilteran pada tulisan ini dilakukan secara analog menggunakan opamp dan digital menggunakan komputer. Dalam pengembangan ke depan akan dilakukan pemfilteran dan pengintegralan secara digital menggunakan mikrokontroler.
Tabel 1. Perbandingan kecepatan rotasi motor stepper, hasil dari gyroscope multigain dan gain tunggal Motor Stepper (deg/detik)
Gyroscope Multigain (deg/detik) 10 19 30 40 49 60 70 80 90
10 20 30 40 50 60 70 80 90
Gyroscope gain tunggal (deg/detik) 5 15 29 40 48 59 68 79 88
V. KESIMPULAN Telah dilakukan pembuatan dan pengujian sensor gyroscope multigain dengan tujuan untuk mengukur rotasi roket pada kecepatan rotasi lambat maupun cepat dengan lebih akurat. Diperoleh hasil gain untuk kecepatan 0 – 10o/detik adalah 30, dan gain untuk kecepatan 10 – 900/detik adalah 4. Dengan dasar metoda sensor gyroscope multigain satu axis dalam tulisan ini, diharapkan dapat berkembang menjadi pembuatan sensor rate gyroscope multigain untuk 3 axis, sehingga nantinya dapat digunakan dalam dunia penerbangan khususnya teknologi kendali
ISSN: 2085-6350
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3. 4. 5.
6.
7. 8.
Data Sheet 1-Axial Ceramic Gyroscope TOKIN, www.tokin.co.jp. Wahyu Widada, “Rancang-Bangun Sistem Sensor 3axis Rotasi (Roll-Pitch-Yaw) Berbasis RateGyroscope Dan Microcontroller Untuk Payload Roket”, JANAS 2005. "Measuring Vibration." 1982. Bruel & Kjaer. Wahyu Widada, “Rancang Bangun Sistem Kalibrasi Rotasi Rate-Gyroscope Untuk Sistem Pengukuran Inersia Payload Roket”, JANAS 2005. Wahyu Widada, “Rancangbangun Prototipe Sistem Heading Autopilot Berbasis Rate‐Gyroscope Dan Microcontroller”, JANAS 2005. John Wilson, "A Practical Approach to Vibration Detection and Measurement", http://www.sensorsmag.com/articles/0299/prac0299/in dex.htm. Forrest Hoffman, “An Introduction to Fourier Theory”, http://aurora.phys.utk.edu/~forrest/ papers/fourier/. W. Smith, “The Scientist and Engineer's Guide to Digital Signal Processing”, California Technical Publishing.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
211
Desain dan Konsep Implementasi Sistem Peringatan Dini Kebocoran Gas LPG Berbasis Mikrokontroler ATMega8535 Arif Syamsul Iskandar, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari Departemen Elektronika, Akademi Angkatan Udara Jl. Laksda Adisutjipto, Yogyakarta – 55002 [email protected], [email protected] Abstrak— Penggunaan energi gas semakin dibutuhkan dari waktu ke waktu. Hal tersebut memicu pengalihan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) dalam bentuk Liquified Petroleum Gas (LPG). Pengonversian ini dari satu sisi dapat menimbulkan beberapa permasalahan yang disebabkan baik karena kesalahan manusia maupun kerusakan alat sehingga dapat menimbulkan dampak dan kerugian yang tidak diinginkan diantaranya adalah kebocoran gas. Salah satu upaya untuk meminimalkan dampak tersebut diperlukan suatu sistem yang mampu melakukan deteksi dini kebocoran gas LPG yang disebut dengan Sistem Peringatan Dini Kebocoran Gas (SPDKG) LPG. SPDKG akan diimplementasikan menggunakan sensor gas TGS2610 dengan mikrokontroler ATMega8535 sebagai pusat pengendalian dengan keluaran berupa tingkat keamanan kondisi gas yang dipresentasikan melalui tampilan Liquid Crystal Display (LCD), buzzer, dan tampilan Light Emitting Diode (LED). SPDKG akan menampilkan informasi berupa tingkat konsentrasi gas di udara dengan cara mengubah hasil penginderaan sensor gas ke bentuk status kondisi aman, waspada, dan bahaya. Kata kunci— liquified petroleum gas, mikrokontroler ATMega8535, SPDKG
I.
PENDAHULUAN
Menipisnya bahan bakar berbasis fosil berimbas pada harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang fluktuatif di pasar global. Seiring dengan hal tersebut, dilakukan upaya-upaya untuk menghemat penggunaan BBM yang salah satu diantaranya adalah melakukan konversi ke Bahan Bakar Gas (BBG). Upaya ini selaras dengan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia di bidang konversi energi yang telah dimulai beberapa tahun lalu. Salah satu BBG yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah jenis Liquified Petroleum Gas (LPG). Proses konversi ke BBG bukanlah pekerjaan mudah dan telah banyak peristiwa yang menimbulkan korban jiwa dan materiil terjadi sebagai dampak dari proses tersebut baik karena kesalahan manusia (human error) maupun karena ketidaksempurnaan alat karena rusak atau cacat produksi. Salah satu penyebab dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah kebocoran gas yang terlambat untuk diantisipasi. Sebagai salah satu upaya pencegahan dini terhadap kegagalan perangkat BBG, dalam makalah ini akan disampaikan konsep desain dan implementasi Sistem Peringatan Dini Kebocoran Gas (SPDKG) LPG, disingkat
SPDKG-LPG. Sistem ini ditujukan untuk memberikan informasi keadaan perangkat BBG dengan mendeteksi kemunculan LPG di udara dan menampilkan informasi ke layar serta membunyikan tanda peringatan bila kadar LPG di udara menuju ke arah yang membahayakan. Terkait dengan hal tersebut, susunan makalah adalah sebagai berikut. Pada Bagian I disampaikan latar belakang masalah yang akan dibahas di dalam makalah dan diikuti oleh Bagian II dimana akan disampaikan beberapa hal dasar terkait sistem yang akan didesain dan diimplementasikan. Bagian III mencakup desain dan konsep implementasi SPDKG-LPG. Makalah ditutup dengan beberapa catatan penting pada Bagian IV. II.
PENGENALAN PADA LPG, SENSOR GAS DAN MIKROKONTROLER ATMEGA8535
Sebelum mendesain SPDKG-LPG, adalah penting untuk mengetahui terlebih dulu karakteristik dari LPG sebagai masukan utama sistem, prinsip kerja dari sensor gas yang dipilih dan pertimbangan-pertimbangan memiliki mikrokontroler ATMega8535 sebagai “otak” dari sistem. A. LPG LPG adalah gas hasil produksi dari kilang gas yang komponen utamanya adalah gas propana dan butana. LPG yang juga dikenal sebagai bahan bakar cair dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan pada komposisi gas propana dan butana yang menjadi penyusunnya sebagai berikut : •
LPG propana, dengan komposisi terbesar adalah C3.
•
LPG butana, dengan komposisi terbesar adalah C4.
•
LPG campuran (mixed), kombinasi C3 dan C4.
Secara umum, sifat-sifat LPG adalah sebagai berikut : •
Memiliki berat jenis lebih besar dari udara.
•
Tidak memiliki sifat pelumas terhadap metal.
•
Pelarut yang baik untuk karet.
•
Tidak berwarna.
•
Tidak berbau.
•
Tidak mengandung racun dalam batas tertentu.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
212
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
•
Bila menguap di udara bebas akan membentuk lapisan karena kondensasi.
•
1 kg LPG bentuk cair setara dengan kurang lebih 500 liter LPG bentuk gas.
B. Sensor Gas .TGS 2610 adalah sensor yang memiliki kepekaan terhadap LPG. Bentuk fisik dari TGS 2610 ditunjukkan pada Gambar 1.
III.
DESAIN SISTEM PERINGATAN DINI KEBOCORAN GAS LPG
Gambar blok diagram dari rangaian deteksi dini kebocoran gas LPG berbasis mikrokontroler ATMega 8535 dapat dilihat pada gambar 2. LPG Buzzer
ADC Sensor
ATMEGA 8535
LCD
aman waspada bahaya
LED
hijau kuning merah
Gambar 2. Diagram blok rangkaian
Gambar 1. TGS 2610[9]
C. Mikrokontroler ATMega8535 Mikrokontroler didefinisikan sebagai sebuah rangkaianterintegrasi (integrated-circuit atau chip) yang telah memiliki sebuah Central Processing Unit (CPU), ReadOnly Memory (ROM), atau Flash Memory, Random Access Memory (RAM), pewaktu (clock) dan bagian kendali masukan-keluaran (input-output control unit). Dengan memperhatikan kelengkapan perangkat tersebut, mikrokontroler disebut juga sebagai sebuah komputer pada sebuah rangkaian-terintegrasi [10]. Mikrokontroler ATMega8535 adalah sebuah mikrokontroler 8-bit yang dilengkapi dengan In-System SelfProgrammable (ISP) Flash 8 Kbyte. Mikrokontroler ini hanya memerlukan satu siklus waktu untuk mengeksekusi sebuah instruksi. Hal ini ditujukan untuk optimisasi pilihan antara konsumsi daya dan kecepatan pengolahan data. Komponen-komponen utamanya terdiri dari tiga buah pewaktu/penghitung, sebuah CPU 32-bit, sebuah Static RAM (SRAM) 512 byte, sebuah Electrically Erasable Programmable ROM (EEPROM) 512 byte dan sebuah Universal Synchronous Asynchronous Receiver Transmitter (USART) yang dapat deprogram untuk komunikasi serial. Spesifikasi detil dari mikrokontroler ATMega8535 dapat dilihat pada[10]. D. BASCOM AVR BASCOM AVR adalah kompiler berbasis bahasa BASIC seperti QBASIC yang biasa digunakan untuk pemrograman produk-produk AVR keluaran Atmel. Kompiler ini dapat dijalankan dengan komputer dengan sistem operasi windows 95/98/NT/2000 dan XP. BASCOM AVR menggunakan Integrated Development Environment (IDE) yang mendukung pemrogram untuk menulis dan mengedit program, mengetes hasilnya dengan simulator, dan terakhir mendownloadnya ke dalam mikrokontroler.
ISSN: 2085-6350
A. Blok Sensor Sensor mendapat rangsangan berupa paparan gas LPG kemudian mengubahnya menjadi nilai tegangan. Sensor gas TGS 2610 buatan Figaro ini memiliki tahanan dalam sensor (Rs) yang nilainya berubah seiring dengan perubahan rangsangan yang diberikan. Nilai tegangan ini akan menjadi masukan pada ADC yang terintegrasi dalam mikrokontroler AVR ATMega8535. Perubahan nilai tahanan dalam sensor (Rs) diperoleh melalui perhitungan yang melibatkan nilai tegangan keluaran sensor. Karena itu terlebih dahulu harus dilakukan pengukuran nilai tegangan keluaran sensor. Selanjutnya, mikrokontroler mengendalikan semua kerja alat dan mengolah hasil bacaan ADC menjadi tingkat kadar Gas LPG. Hasilnya akan ditampilkan pada LCD, nyala lampu (LED) dan suara sirine (buzzer) berdasarkan kondisi yang telah diprogramkan. Untuk sumber LPG menggunakan tabung yang biasa digunakan pada kompor mini. Sehingga pengaturan besar kecilnya kadar gas berdasarkan pada katup atau kepala lubang. Sensor dengan keadaan pada suhu udara kamar. Sensor diberi rangsang dangan jarak sumber gas yang bervariasi, dengan sedikit banyaknya rangsang berdasarkan penekanan pada kepala tabung tanpa ada takaran tertentu dan berada di depan kepala sensor. Sensitivitas sensor terhadap rangsang berubah seiring jarak, karena terpengaruh gas-gas lain yang ada disekitar sebelum diterima sensor. Semakin jauh jarak sumber gas, maka kenaikannya semakin kecil. Karena jarak yang semakin jauh maka gas yang terdeteksi sensor sedikit dan terpengaruh gas-gas lain selama perjalanan dari sumber gas ke sensor sehingga apabila terdeteksi harus diberikan penekanan yang ekstra agar paparan gas dari sumber dapat mencapai sensor. Dari data pada datasheet sensor, diperoleh nilai-nilai tegangan sensor pada konsentrasi gas LPG tertentu. Kadar gas LPG yang sudah terdeteksi nantinya ditampilkan pada LCD dan pada LED dan buzzer. Pada sistem ini dibuat 3 tingkat kadar gas LPG yang membagi kadar gas. Dengan tingkat pertama sebagai kondisi aman. tingkat kedua sebagai kondisi waspada, tingkat ketiga sebagai kondisi bahaya.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
213
B. Blok Pengolah Sistem ini menggunakan ADC internal dari mikrokontroler AVR ATMega8535. Tegangan keluaran sensor adalah tegangan sebagai masukan ADC mikrokontroler untuk mengetahui kesesuaian konversi tegangan analog menjadi sinyal digital oleh ADC internal. Konsentrasi gas yang telah ditangkap oleh sensor masih berupa nilai tahanan. Tahanan sensor akan berubah seiring perubahan konsentrasi gas LPG. Data berupa nilai tahanan tersebut kemudian data disimpan dalam dua buah register, yaitu ADCH dan ADCL. C. Blok Penampil LCD digunakan sebagai penampil level konsentrasi LPG. Dispay LPG menampilkan karakter-karakter menggunakan display LCD 16x2. Pada LCD dibuat 3 tingkat kadar gas LPG yang membagi kadar gas. Dengan tingkat pertama sebagai kondisi aman, tingkat kedua sebagai kondisi waspada, tingkat ketiga sebagai kondisi bahaya. Tingkatan ini akan ditampilkan setelah mendapatkan data dari mikrokontroler yang berupa data tampilan kondisi yang sebelumnya telah diprogram pada kondisi apa gas tersebut. Dengan melihat besarnya tegangan dari gas yang ditangkap oleh sensor TGS 2610. Mikrokontroler juga mengirimkan data ke buzzer. Apabila dalam keadaan aman buzzer tidak berbunyi. Apabila keadaan waspada dan bahaya buzzer akan berbunyi. Mulai
Inisialisasi Port, pin ATMega dan system ADC
Deklarasi Variabel
Baca ADC
Konversi bacaan ADC ke nilai tegangan
Subrutin pengolahan nilai tahanan sensor menjadi tingkat kadar gas
Gambar 4. Skematik rangkaian deteksi dini kebocoran gas LPG berbasis Mikrokontroler ATMega 8535
IV.
KESIMPULAN
Alat Pendeteksi Kebocoran Gas LPG dengan menggunakan Sensor TGS 2610 Berbasis Mikrokontroler ATMega8535 mengkategorikan kondisi menjadi tiga tingkat. Tingkatan tersebut antara lain: kondisi aman dengan konsentrasi 0 ppm, kondisi waspada dengan <500 ppm dan kondisi bahaya dengan konsentrasi >500 ppm[12]. Sesuai konsep dengan keadaan pada suhu udara kamar (27ºC) dan tidak ada hembusan angin, sensor diberi rangsang jarak sumber gas yang bervariasi. Sedikit banyaknya rangsang berdasarkan penekanan pada kepala tabung tanpa ada takaran tertentu yang berada di depan kepala sensor. Pada penelitian kali ini, peneliti hanya memusatkan masalah pada konsep dan implementasi SPDKG-LPG. Oleh karena itu, sasaran peneliti berikutnya adalah mengaplikasikan hasil dari penelitian kali ini dalam bentuk alat kerja berbasis mikrokontroler ATMEGA8535.
Tampilkan LCD, LED, Buzzer
REFERENSI Selesai
Gambar 3. Diagram Alir
LED hanya menampilkan berupa nyala lampu. Lampu yang akan dipakai adalah lampu sirine mirip sirine pada mobil polisi atau ambulance. Apabila ada suatu kondisi yang akan ditampilkan pada buzzer atau LCD maka LED juga akan ikut menampilkan. Sebelumnya telah diprogram terlebih dahulu dimikrokontroler untuk menampilkan hasil dari kondisi gas yang telah diindera. Dengan beberapa macam kondisi dan dengan beberapa macam tampilan pada tiap-tiap kondisi. Skematik dari rangkaian deteksi dini kebocoran gas LPG berbasis mikrokontroler ATMega8535 ditunjukkan pada gambar 4.
[1]
W.A. Kurniawan. 2007. “Fabrikasi Prototipe Sensor Gas yang Diuji dengan Gas Karbon Monoksida”. UGM, Yogyakarta. Didownload pada 16 Mei 2009. [2] W. Budiharjo. 2009. “Sistem Alarm Kebakaran dengan Sensor Suhu dan Asap Berbasis Mikrokontroler AVR 8535”. [3] D. Handoko dan Adisto, A.A. 2008. “Otomatisasi Sistem Penanganan Kebakaran Berbasis Mikrokontroler IC ATMega 8535”. Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II, UI, Jakarta. Didownload pada 3 Mei 2009. [4] R. Indrawati. 2009. “Rancang Bangun Alat Pendeteksi Pencemaran Udara Berbasis Mikrokontroler AVR ATMega 8535”. Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang. Didownload pada 13 Mei 2009. [5] T. Irfan. 2009. “Sistem Kebocoran pada Tabung Gas Berbasis Mikrokontroler”. UII, Jakarta. Didownload pada 3 Mei 2009. [6] E. Mustofa. 2005. “Pendeteksi Gas Alkohol dengan Menggunakan Sensor TGS 2620”. Universitas Komputer Indonesia, Jakarta. Didownload pada 16 Mei 2009.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
214
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
[7] N. Sriwihajriyah. 2009. Aplikasi Sensor Gas pada Alat Pendeteksi Pencemaran Udara Berbasis Mikrokontroler ATMega 8535”. Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang. Didownload pada 13 Mei 2009. [8] H. Widyanara. 2008. Sistem Pendeteksi Kebocoran dan Pengamanan Dini pada Kompor LPG Berbasis FPGA”. STIKOMP, Surabaya. Didownload pada 10 Mei 2009.
ISSN: 2085-6350
[9] Technical Information for Conbustible Gas Sensors. http://www.figaro.co.jp. Didownload pada 12 April 2009. [10] http://www.atmel.com [11] TGS 2610 : For The Detection of Combustible Gases. http://www.bsn.co.id. Didownload pada 12 April 2009. [12] Nilai Ambang Batas (NAB) Zat Kimia. http://www.migasIndonesia.com. Didownload pada 12 April 2009.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
215
Peningkatan Kinerja Radar dengan mengunakan Pendekatan Wavelet Ridwan Prasetyo, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari Departemen Elektronika, Akademi Angkatan Udara. Jl. Laksda Adisutjipto, Yogyakarta, 55002 [email protected], [email protected]
Abstract— Dalam perkembangan system radar, sejumlah metoda telah digunakan untuk mengembangkan pengolahan sinyal dan deteksi radar. Masalah utama dalam proses deteksi sasaran oleh radar adalah melokalisasi sinyal pantulan yang sangat lemah sehingga kemampuan deteksinya menjadi rendah. Kinerja radar dapat ditingkatkan dengan menaikkan Signal to Noise Ratio (SNR) pada penerima radar. Dalam makalah ini akan diuraikan algoritma untuk mengekstraksi dan melokalisasi pulsa Radio Frequency (RF) radar berbasis wavelet. Kinerja algoritma ditunjukkan kemampuannya ditinjau dari parameter SNR dan waktu komputasi dibandingkan dengan mengunakan matched filter.
transformasi wavelet pantulan sinyal radar dalam derau dapat terdeteksi dengan jelas. Dalam makalah ini, penulis mengusulkan metoda berbasis wavelet untuk meningkatkan SNR pada keluaran penerima dan mengujinya dengan mengunakan MATLAB dengan mengunakan model yang di sederhanakan. Metoda ini dapat meningkatkan SNR dengan hanya mengunakan 1 pulsa
II.
TRANSFORMASI WAVELET DAN INTEGRASI PULSA RADAR
Keywords—radar, wavelet, pengolahan sinyal.
I.
PENDAHULUAN
Radar (Radio Detection and Ranging) merupakan sistem elektromagnetik yang berfungsi untuk pendeteksian dan penjejakan suatu sasaran yang bergerak maupun diam dengan mengunakan pantulan gelombang elektromagnetik seperti pesawat, kapal, kendaraan, manusia dan lingkungan alam. Energi pantulan yang diterima dari sasaran akan diproses untuk memperoleh informasi berupa posisi, karakteristik, maupun kecepatan sasaran. Perbedaan Radar dengan system komunikasi umumnya terletak pada level margin penerima, Kekuatan pantulan sinyal yang diterima oleh radar bervariasi tergantung dari jarak radar kesasaran dan RCS (radar cross section) sasaran. Jarak deteksi maksimum dari radar tergantung dari SNR pada penerima radar sesuai dengan persamaan radar [4]. Masalah utama dalam sistem radar adalah proses deteksi sinyal yang sangat lemah. Penyelesaian dalam masalah ini akan meningkatkan kemungkinan deteksi dari sasaran yang lebih kecil dan jarak sasaran yang lebih jauh. Peningkatan SNR pada penerima umumnya mengunakan integrasi pulsa yang terdiri dari sejumlah PRI (pulse repetition interval) baik sebelum maupun sesudah detektor, sehingga untuk memperbaiki SNR pada penerima membutuhkan sejumlah pulsa. Pada radar dengan fitur fast scanning akan menghasilkan jumlah integrasi pulsa yang lebih sedikit. Dalam beberapa tahun terakhir, Transformasi wavelet telah digunakan dalam beberapa bidang keilmuan khususnya dalam pengolahan sinyal dan merupakan sebagai alat bantu yang baik dalam kawasan time frequency [1]. Transformasi wavelet mempunyai sensitivitas untuk sinyal transien dan tidak mempunyai komponen DC. Diharapkan dengan
A. Analisis Multiresolusi Konsep Analisis Multiresolusi (Multiresolution Analysis) mula-mula diperkenalkan oleh Malat dan Y Meyer. Analisis Multiresolusi secara mendasar adalah memisahkan data menjadi beberapa komponen frekuensi yang berbeda dan saling ortogonal. Pada frekuensi tinggi fungsi gelombangsingkat adalah sempit sedangkan pada frekuensi rendah fungsi gelombang-singkat adalah lebar yang disebut dengan fungsi penyekala (scaling function). Secara dasar Analisis Multiresolusi harus memenuhi persamaan sebagai berikut:
(i )V j ⊂ V j +1 , ∀ j ∈ Z (ii ) U V j = L2 (R ) j∈Z
(1)
(iii ) I V j = {0} j∈Z
(iv) f ∈ V j ⇔ f (2.) ∈ V j +1
(v){φ ( x − k )}k∈Z adalah basis ortonormal V0 jika didefinisikan Pj adalah proyeksi ortogonal kedalam Vj, maka didapatkan
lim j = ~ Pj f = f , ∀f ∈ L2 (R )
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
216
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Didefinisikan Wj adalah komplemen ortogonal Vj dalam Vj+1 atau Vj tegak-lurus Wj dan
V j +1 = V j ⊕ W j
(3)
jadi fungsi Vj adalah kombinasi linear fungsi dalam Vj0 dan Wj, j=j0, ,j0+1,....j-1, yang dapat dianalisis secara terpisah dalam berbagai skala. Qj adalah proyeksi ortogonal kedalam Wj, sedang Vj menjangkau basis Vj+1, Pjf dan Qjf berturutturut adalah skala kasar (coarse scale) dan skala baik (fine scale) dalam f ∈ V j +1 .
B. Integrasi pulsa radar Persamaan jangkauan maksimum deteksi radar Rmak di tentukan oleh persamaan radar sebagai berikut
4 Rmak =
Pt GAeσ T
(4π )2 kT0 BFn (S / N )min
θB f p 6ω m
(5)
(2)
Diberikan dua ruang Vj0 dan Vj, dengan j>j0, jika dimasukkan dalam rumus (2) didapat:
⎞ ⎛ ⎜ j −1 ⎟ V j = V j0 ⊕ ⎜ Wj ⎟ ⎟ ⎜⊕ ⎠ ⎝ j = j0
n=
(4)
dengan Pt adalah daya pancar, G adalah penguatan antenna, Ae adalah aperture efektif antena, σT adalah radar cross section sasaran, k adalah konstanta boltzman, T0 adalah temperature standar, Fn adalah derau figure,(S/N)min adalah SNR minimum pada keluaran penguat IF (Intermediate Frequency). Dalam persamaan (4) Pt, Gt dan Ae ditentukan oleh perangkat keras system radar. Untuk memperluas jangkauan dengan cara memperkecil SNR, cara yang digunakan biasanya dengan mengunakan integrasi pulsa. Integrasi pulsa radar adalah penjumlahan dari semua pantulan pulsa radar untuk perbaikan pendeteksian, integrasi bisa dilakukan sebelum detector (Penguat IF) yang diberi nama integrasi koheren. Integrasi koheren atau sesudah detector (Penguat video) yang diberi nama integrasi non koheren. Perbedaan integrasi koheren dan non koheren terletak pada hasi integrasinya. Jika pada integrasi koheren bila sebangyak n pulsa yang mempunyai fase dan SNR yang sama bila di integrasikan secara ideal akan menghasilkan n kali SNR tiap pulsa, sedang pada integrasi non koheren bila n pulsa dengan hanya memiliki SNR yang sama akan meng hasilkan kurang dari n kali SNR tiap pulsa. Perbedaan ini disebabkan oleh ketidaklinearan detector. Jumlah pulsa yang di kembalikan dari sasaran pada saat penyapuan radar adalah sebagai berikut:
Dengan θB adalah lebar berkas antenna ( derajat),fP adalah laju pengulangan pulsa (HZ) dan ωm adalah putaran antenna radar per menit (rpm). Sebagai contoh radar dengan lebar berkas antenna 1,50, laju pengulangan pulsa 340 Hz dan rotasi antenna 5 rpm akan didapatkan n=17 pulsa per scan. Dari persamaan (5) untuk radar dengan laju scanning yang tinggi seperti phased array radar akan di hasilkan jumlah pulsa integrasi yang rendah. C. Transformasi paket wavelet Transformasi paket wavelet mempunyai beberapa aplikasi, salah satunya melibatkan perhitungan basis yang terbaik. Basis yang terbaik digunakan untuk aplikasi pengurangan derau dan kompresi data. Langkah pertama dari transformasi wavelet adalah menghitung fungsi penyekala (low pass) dan fungsi wavelet (high pass). Fungsi penyekala menghasilkan versi yang lebih halus dari sinyal aslinya, sedang fungsi wavelet akan menghasilkan batas tepi dari sinyal aslinya. Diasumsikan sinyal yang diterima y(n) adalah
y(n)=x(n) + z(n)
(6)
dengan x(n) pulsa radar yang diterima, z(n) derau gaus putih dan n= 1,2,...,N. dengan mengunakan trasformasi wavelet paket yang menpunyai dua dimaensi yaitu waktu dan frekuensi di dapatkan hasil sebagai berikut: WPjy, s (i ) = WPjx, s + WPjz, s
Dengan
WPjy, s , WPjx, s
(7)
, WPjz,s berturut turut adalah koefisien
paket wavelet dalam sumbu y,x dan z, j=1,2,…,J dengan J adalah jumlah level dekomposisi dan s=1,2,…,2j adalah jumlah skala dan i=1,2,…,M dengan M=N/2j dan N adalah panjang dari sinyal.
III.
PENGURANGAN DERAU BERBASIS WAVELET
Konsep pengurangan derau dengan wavelet dan paket wavelet adalah sama. Ide ini didasarkan pada asumsi hanya koefisien wavelet yang besarlah yang mempunyai kontribusi pada sinyal dan mengestimasi dari nilai x yang mempunyai nilai lebih besar dari nilai batas ambang dengan nilai batas ambang λ. Dalam aplikasi pengurangan derau, pemilihan nilai λ merupakan hal yang kritis. Jika pemilihan terlalu besar akan mengakibatkan sinyal terlalu halus, bila nilainya terlalu kecil derau masih kelihatan. Dalam koefisien wavelet
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
217
mengandung sinyal dan bagian derau. Dalam pengolahan sinyal bertujuan menghilangkan bagian derau. Metoda batas ambang yang telah ada adalah metode soft thresholding dan hard thresholding, metode ini hanya memelihara koefisien yang besarnya melebihi nilai λ, sedangkan nilainya yang kurang dari λ, di ubah menjadi nol.
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
-0.2
-0.4
-0.6
Pada makalah ini di usulkan pemilihan koefisien λ dengan mengunakan metoda kurtosis, persamaan kurtosis adalah sebagai berikut:
-0.8
1
Gambar 1 Sinyal pulsa radar 2
k=
E(x − µ)4
σ4
(8)
1
0
Dengan σ adalah adalah deviasi standar dari x, µ adalah deviasi standar dari x dan E(t) adalah nilai expektasi dari nilai t.
-1 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
Gambar 2 Sinyal pulsa radar berderau dengan SNR =-10 dB
IV.
ALGORITMA DAN SIMULASI
Algoritma untuk pengurangan derau sinyal radar di bagi menjadi dua tahap untuk mengurangi kompleksitas perhitungan dan meningkatkan kecepatan proses. Langkah pertama adalah sebagai berikut: A. Langkah pertama. • Hitung koefisien paket wavelet dari sinyal yang di terima • Perkirakan nilai kurtosis dari koefisien paket wavelet • Terapkan test Gausian • Set koefisien Gausian ke nol • Hitung jumlah sisa dari non Gausian, jika jumlah skala non Gausian liber besar dari satu lanjutkan langkah kedua, jika tidak lanjutkan langkah berikut. • Rekontruksi sinyal dengan koefisien yang ada.
Gambar 3Sinyal radar hasil pengurangan derau langkah pertama
B. Langkah ke dua
Gambar 4 Sinyal radar hasil pengurangan derau langkah kedua
• Gunakan soft threshold untuk menghilangkan koefisien gausian yang masih ada. • Rekonstruksi sinyal dengan koefisien yang ada.
Pengurangan derau pada pulsa radar RF disimulasikan dengan penambahan derau Gaussian putih. Parameter yang digunakan adalah PRI (Pulse Repretition Interval) dan SNR, hasil simulasi seperti gambar dibawah ini.
V.
KESIMPULAN
Kinerja radar dapat ditingkatkan dengan cara memperkecil SNR, SNR diperkecil mengunakan pengolahan sinyal berbasis wavelet. Pengolahan sinyal pulsa radar bebasis wavelet telah berhasil di simulasikan pada sinyal radar dengan SNR= -10 dB
REFERENSI [1]
Burrus, C. S., Ramesh A. Gopinath, and Haitao Guo,“Introduction to Wavelet and Wavelet Transform”, Prentice Hall, New Jersey, 1998
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
218 [2] [3] [4]
Proceedings of CITEE, August 4, 2009 G. Wei and S. Wu, “Denoising Radar Signals Using Complex Wavelet” IEEE Trans. On Signal Processing pp. 340-348 2003 S. Mallat., “ A wavelet tour of signal processing”, Akademic Press, San Diego, CA,1998 M.L. Skolnik, “Introduction to Radar Systems, 3 rd edition, Mc Graw Hill, New York,2001
[5]
[6]
R. Munadi, R. Hayati,M. Irhamsyah dan F. Arnia, “ Performansi Filter Digital FIR dan IIR pada Pengolahan Sinyal Radar”, Jurnal rekayasa Elektrika, volume 3 no 1 Tahun 2004. O.A.M. Aly and A.S. Omar, “ Detection and Localization Of RF Radadar Pulses In Noise Environments Using Wavelet Packet Transform and Higher Order Statistics”, Progress In Electromagnetics Research, PIER 58, 301-317,2006
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
219
Design and Testing of Six DOF IMU v2.1 Carried in Vehicle for INS Algorithm Romi Wiryadinata Graduate Student of Electrical Engineering Dept., Gadjah Mada University, Jogjakarta Email: [email protected]
Wahyu Widada Guidance and Control Div., National Institute of Aeronautic and Space, Bogor Email: [email protected]
Thomas Sri Widodo Electrical Engineering Dept., Gadjah Mada University, Jogjakarta Email: thomas @mti.ugm.ac.id
Sunarno Physic Engineering Dept., Gadjah Mada University, Jogjakarta Email: [email protected]
Abstract— GPS precision is excellent in long distance measurement, while it is poor in short distance measurement. IMU (Inertial Measurement Unit) has a different properties, it is excellent in short distance measurement, while it is poor in long distance measurement. Hence, the advantages of both sensors are being integrated by INS (Inertial Navigation System) algorithm using high speed microprocessor. Before being tested in a rocket flying, IMU v2.1 is tested in vehicle. IMU v1.2 has been integrated and a laboratory and field testing with vehicle. The result of this prototype for a while has shown that HPF could result in output stabilization to zero g or in 2.5 volt. Small value of capacitor in second version give fast response to steady position and the characteristics of sensor and signal condition are acknowledged. From this research are identified the amount of noise in zero g state with value ranging from 5 to 47 bit. Keywords— accelerometer, gyroscope, 6 DOF IMU, INS algorithm
I.
INTRODUCTION
Navigasi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu baik secara alami yang terdapat pada binatang maupun manusia. Burung, lebah, ikan dan hampir semua jenis binatang memanfaatkan insting kehewanannya sebagai navigasi untuk mengetahui dan memberi petunjuk lokasi keberadaan makanan dan tempat tinggalnya, sedangkan manusia yang memiliki kecerdasan memanfaatkan matahari dan bintang sebagai navigasi alami untuk menentukan arah dan posisi [8]. Penelitian pada paper ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara hasil pengujian dengan menggunakan kendaraan yang bergerak lambat. Algoritma INS (Inertial Navigation System) yang dikembangkan nantinya akan digunakan untuk system navigasi roket, sehingga sebelum memasuki tahap uji coba pada sistem roket, algoritma ini dilakukan uji coba terlebih dahulu pada kendaraan. Ujicoba dilakukan menggunakan kendaraan dengan asusmsi bahwa kendaraan yang bergerak lambat pada permukaan bumi
yang memiliki matrik transformasi pada tata acuan koordinat benda yang kemudian akan dirubah ke tata acuan yang memperhitungkan terhadap perubahan altitude dan tata acuan koordinat bumi . Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa orang dengan objek and fokus penelitian yang berbeda. Walchko pada tahun 2002 menulis paper yang berjudul Low Cost Inertial Navigation: Learning to Integrate Noise and Find Your Way [1], penelitian tersebut memiliki kesalahan akurasi GPS mencapai 10-15 meter perdetik atau setara dengan 95% dalam setiap detiknya. Real-Time Navigation, Guidance, and Control of a UAV (Uninhibited Aerial Vehicle) using Low-cost Sensor [2], yang ditulis oleh Kim dkk pada tahun 2006 mengimplementasikan INS/GPS untuk sistem GNC (Guidance, Navigation and Control) pada UAV. Design and Error Analysis of Accelerometer-Based Inertial Navigation System [3], pada paper ini Tan and Park (2002) mendesain INS hanya dengan menggunakan accelerometer untuk mengetahui perubahan sudut dan komputasi linear pada body navigasi. Kumar 2004 menulis Integration of INS and GPS using Kalman Filter [4] dengan fokus peneltian pada pembuatan simulator, dimana hasil keluaran GPS diproses menggunakan FPGA (Field Programmable Gate Array) dan hasil dari integrasi IMU-GPS diproses dengan DSP (Digital Signal Processing), hal ini karena dibutuhkannya processor yang memiliki kecepatan komputasi yang tinggi. Simulasi pada roket AtlasIIAS juga menggunakan integrasi INS dan GPS seperti pada paper yang ditulis oleh Istanbulluoglu pada tahun 2002 [5]. Schumacher (2006) menulis tentang Integration of a GPS aided Strap down INS for land Vehicle, The estimation
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
220
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
accuracy and error statein of INS [6] yang dimodelkan dan dianalisa bedasarkan EKF (Extended Kalman Filter). Hjortsmarker (2005) menulis tentang Experimental System for Validating GPS/INS Integration Algotihms [7], yang bertujuan untuk mengkalibrasi INS dan GPS dengan menggunakan jet-coaster agar mudah digambarkan kedalam ruang tiga dimensi. Dari beberapa penelitian di atas, pada penelitian ini mencoba untuk memaparkan hasil perancangan IMU v2.1 yang dilengkapi GPS dan telah dilengkapi juga dengan algoritma INS yang nantinya akan di aplikasikan pada roket. Penelitian ini diharapkan dapat di implementasikan secara langsung pada objek roket yang sesungguhnya dengan kesalahan estimasi yang sekecil mungkin. Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi yang besar pada pengembangan roket kendali (LAPAN, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). II.
(3) (4) (5) Dimana nilai pada (pers. 2 sampai 4) harus bernilai satu seperti yang terdapat pada (pers. 6) (6)
(7)
INS ALGORITHM
INS atau ada juga yang menyebutnya dengan INU (Inertial Navigation Unit) terdiri dari beberapa komponen penting dalam navigasi, diantaranya adalah altimeter sebagai sensor ketinggian, GPS sebagai navigasi referensi, dan IMU (Inertial Measurement Unit) yang terdiri dari sensor gyroscope dan sensor accelerometer dan ditambah dengan satu komponen terpenting yaitu algoritma Inertial Navigation System (INS) yang berfungsi sebagai algortima untuk menggabungkan antara dua sistem navigasi sehingga kecepatan dan ketelitian dari data sistem navigasi dapat lebih akurat. Dua sistem navigasi yang digabungkan adalah GPS dan IMU yang keduanya serupa tapi tak sama dalam hal pencuplikan data. GPS merupakan alat untuk membaca sistem navigasi yang berbasis satelit, sedangkan IMU tidak berbasis satelit tetapi hanya berdasarkan koordinat sumbu benda dan koordinat navigasi. Pada penelitian ini altimeter tidak digunakan dengan asusmsi bahwa dengan menggunakan sensor accelerometer dan gyroscope tiga sumbu ketinggian akan diperoleh bedasarkan dua sensor tersebut [9]. (Pers. 1) adalah persamaan untuk merubah kecepatan sudut pada tata acuank koordinat body (p, q, r – deg/sec) menjadi sudut dalam tata acuan koordinat bumi ( – deg). Dimana c = cos, dan s untuk sin. (1)
Setelah nilai parameter tersebut diperoleh, maka roll, pitch, dan yaw dapat diselesaikan menggunakan (pers. 8 sampai 10). (8) (9) (10) Percepatan (ax, ay dan az) dalam m/s2 diperoleh dari keluaran sensor accelerometer dan kemudian akan diproses untuk memperoleh posisi (U, V, dan W) dalam m. Nilai gravitasi g tidak dapat diabaikan sehingga pada (pers. 11 sampai 13) nilai g berfungsi untuk memperoleh nilai kecepatan yang sudah tidak terpengaruh oleh efek gravitasi. (11) (12) (13) Nilai kecepatan sudut yang sebenarnya (dalam koordinat sumbu benda) diperoleh dari (pers. 16) dengan terlebih dahulu menyelesaikan (pers. 14 dan 15). (14)
Dari hasil integral pada (pers.1) akan dapat diperoleh sudut Euler dengan menggunakan nilai attitude dari inisialisasi awal. Hal ini akan bermasalah ketika sudut pitch ±90o, kesalahan akan terjadi karena nilai pitch menjadi tak terhingga. Permasalah tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan persamaan Quaternion (pers. 2 sampai 7), dimana empat parameter Quaternion yang ada dimasukan pada parameter Euler yang ada [4].
(15)
(16)
(2)
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
221
DCM (Direction Cosine Matrix) adalah matriks transformasi untuk merubah koordinat sumbu bumi ke koordinat navigasi sumbu benda. Matrik transformasi DCM dapat di lihat pada (pers. 17), sehingga posisi dalam koordinat sumbu navigasi (X, Y, dan Z) dapat diperoleh seperti yang terdapat pada (pers. 18)
v1.1 telah diuji dan telah dipublikasikan terlebih dahulu, lihat pada referensi [10].
(17)
(18)
Persamaan (19 sampai 21) adalah persamaan untuk mengetahui posisi dalam latitude, longitude, dan down. Hal ini diperlukan jika integrasi INS dan GPS ingin menyesuaikan keluaran dari IMU dan INS sama seperti pada GPS, tetapi tidak semua kebutuhan mengkorversi kedalam bentuk keluaran yang sama dengan GPS, bisa juga GPS yang di konversi kedalam bentuk X,Y dan Z dalam meter. (19) (20) (21)
III.
DESIGN OF SYSTEM
Dari pendahulan di atas dapat digambarkan diagram blok penelitian seperti terdapat pada (Gambar 1). Paper ini merupakan bagian kecil dari penelitian dan baru tahap awal untuk menguji algoritma dengan kendaraan sebelum masuk pada tahap berikutnya yaitu pengujian dengan jet-coaster, pesawat aeromodeling, dan dengan di implementasikan langsung pada roket kendali LAPAN. Pada penelitian ini seperti yang terdapat pada (Gambar 1) dibagi atas beberapa tahap diantaranya perancangan perangkat keras, perangkat lunak yang berupa perancangan algoritma, perancangan box, simulasi perangkat lunak dan user guide agar bisa mudah digunakan oleh umum.
Gambar 2. Rngkaian IMU v2.1 dilengkapi rangkaian sinyal pengkondisi
Untuk pengambilan data, microprocessor yang digunakan masih terpisah dengan sistem IMU karena masih dalam tahap percobaan dan harus mengganti processor yang digunakan. Jenis microprocessor yang digunakan adalah ATMega8 dan ATMega32, tergantung kebutuhan dan panjang dari algoritma yang dicoba, sedangkan untuk system roket harus menggunakan microprocessor yang lebih cepat seperti menggunakan ATMega32u dengan 32 bit Signal conditioning yang digunakan seperti yang terlihat pada (Gambar 2) terdiri dua filter yaitu LPF (Low-Pass Filter) dan HPF (High-Pass Filter) yang masing-masing telah disesuaikan untuk kebutuhan percobaan pada kecepatan lambat, sedangkan amplifier digunakan untuk mengutkan output dari sensor. Berikut ini (Gambar 4) adalah skematik dari rangkaian HPF.
Gambar 3. Microprocessor dan max232
Gambar 1. Diagram blok penelitian
Pada perancangan sistem hardware, IMU yang digunakan pada penelitian ini merupakan hardware IMU v2.1 yang dirancang khusus untuk percobaan dengan kecepatan yang lambat baik dengan berjalan kaki, sepeda, sepeda motor maupun mobil. Hardware versi sebelumnya
HPF berfungsi untuk mengembalikan posisi nilai ke keadaan 0 g yang pada sistem hardware ini berada pada 2.5 volt dan juga berfungsi untuk mengenali jenis perubahan yang terjadi pada sensor, apakah sensor bergerak berdasarkan keadaan real atau bergerak karena ada perubahan posisi sensor pada tata acuan koordinat bendannya. Sedangkan LPF berfungsi sebagai filter dari keluaran sensor. Keluaran dari sensor tidak murni nilai dari sensor tetapi ada noise, bias, dan drift dari sensor yang terbawa dan dikuatkan juga dan sampai pada output sistem.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
222
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gambar 4. Skematik rangkaian HPF
Noise, bias, dan drift akan dihilangkan atau di filter pada sistem software dengan menambahakan dan memberikan beberapa konstanta maupun parameter pada algoritma sehinga navigasi yang dikalkulasi tidak lagi mengandung efek-efek yang keluar dari sistem hardware. Berikut ini (Gambar 5) adalah skematik dari rangkaian LPF
Gambar 5. Skematik rangkaian LPF
IV.
Gambar 7. Percobaan dengan berjalan kaki
(Gambar 8) adalah percobaan yang dilakukan dengan sepeda. Percobaan dengan sepeda dilakukan dengan berjalan tetapi IMU dan GPS di letakan pada sepada dengan maksud agar menghindari goncangan (noise) dari hentakan kaki, selain itu kecepatan bisa lebih cepat dari berjalan kaki walaupun pengendara tidak megayuh sepedanya.
Gambar 8. Percobaan dengan sepeda
RESULT AND DISCUSS
Penelitian ini dilakukan di LAPAN rumpin pusat teknologi wahana dirgantara. Posisi pengambilan data dapat dilihat pada (Gambar 6) berikut. Titik satu dan titik dua adalah posisi awal dan akhir dari satu kali percobaan.
Berikutnya percobaan dilakukan dengan kendaraan bermotor, dengan posisi IMU dan GPS seperti terdapat pada (Gambar 9).
Gambar 9. Percobaan dengan kendaraan bermotor
Gambar 6. Lokasi pengambilan data
File data percobaan akan di simpan dengan nama yg berbeda untuk setiap percobaan dari titik 1 ke titik 2 atau sebalikny dengan posisi IMU dan GPS searah dengan salah satu sumbu koordinat yang akan diambil datanya. Berikut ini (Gambar 7) adalah gambar pengujian yang dilkukan dengan berjalan dan searah sumbu X.
ISSN: 2085-6350
Dalam keadaan diam, 6 DOF IMU memiliki range keluaran antara 5 sampai 47 bit. Hal ini berarti masih terdapat noise yang harus dihilangkan terlebih dahulu agar ketelitian dapat diperoleh. Nilai tegangan referensi diinisialisasi pada saat awal percobaan (lihat bagian 3 paragraf 5). Nilai keluaran 6 DOF IMU dalam keadaan diam dapat di lihat pada (Gambar 10) berikut ini
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Gambar 10. Keluaran 6 DOF IMU dalam keadaan diam
223
sepeda, dan kendaraan motor. Dari hasil percobaan dapat diketahui karakteristik masing-masing dan dapat diketahui perbedaan gain pada rangkaian amplifier untuk setiap cara pengambilan data tersebut. Penguatan untuk pejalan kaki lebih kecil dibanding dengan sepeda dan lebih besar dibanding dengan motor. Dari kesimpulan ini perlu dikaji ulang dengan mengubah parameter gain dari yang telah dilakukan pada penelitian ini dengan terlebih dahulu menghilangkan efek noise, drift, maupun bias dari output IMU. Nilai yang kecil pada kapasitor di IMU v2.1 ini memberikan respon yang cepat untuk kembali pada posisi diam, selain itu pada IMU v2.1 ini juga diketahui pada saat diam masih terdapat noise yang berkisar antara 5 sampai 47 bit. REFERENCES [1] K. J. Walchko, Low Cost Inertial Navigation: Learning to Integrate Noise and Find your Way, Master Thesis, University of Florida, 2002, USA. www.mil.ufl.edu/publications/thes_diss/Kevin_Walchko_thesi s.pdf [2] J. H. Kim, S. Wishart, and S. Sukkarieh, Real-Time Navigation, Guidance, and Control of UAV using Low-cost Sensors, The Australian National University, 2006, Australia. www.engnet.anu.edu.au/DEpeople/Jonghyuk.../FSR03NavGuidCtrl-Kim.pdf [3] C. W. Tan and S. Park, Design and Error Analysis of Accelerometer-Based Inertial Navigation System, Research Reports, University of California, 2002, USA.
Gambar 11. Posisi dalam koordinat sumbu bumi
http://repositories.cdlib.org/its/path/reports/UCB-ITS-PRR2002-21
Data yang keluar dari rangkaian pengkondisi sinyal masih terdapat noise yang berupa bias dan scaling lebih lengkap lihat referensi [8]. (Gambar 11 dan 12) adalah bentuk keluaran setelah diproses mejadi data posisi dalam koordinat sumbu bumi (North, East,dan Down) dan dan koordinat sumbu benda (X, Y dan Z).
[4] V. Kumar N., Integration of Inertial Navigation System and Global Positioning System Using Kalman Filtering, Master Thesis, Indian Institute of Technology, 2004, India. www.casde.iitb.ac.in/Publications/pdfdoc-2004/vikas-ddp.pdf [5] M. Istanbulluoglu, Performance Tradeoff Study of A GPSAided INS for A Rocket Trajectory, Master Thesis, Air Force Institute of Ohio, 2002, USA. www.stormingmedia.us/12/1293/A129324.pdf [6] A. Schumacher, Integration of GPS Aided Strapdown Inertial Navigation System for Land Vehicle, Master Thesis, Royal Institute of Technology, 2006, Sweden. www.ee.kth.se/php/modules/publications/.../XR-EESB_2006_006.pdf [7] N. Hjortsmarker, Experimental System for Validating GPS/INS Integration Algotihms, Master Thesis, Lulea University of Technology, 2005, Sweden. http://epubl.ltu.se/1402-1617/2005/307/index-en.html [8] R. Wiryadinata and W. Widada, Development of Inertial Navigation System for Guided Rocket Flight Test, SIPTEKGAN XI, 2007, Jakarta, Indonesia. [9] R. Wiryadinata and W. Widada, Simulasi Penggabungan Data pada Algoritma INS untuk Uji Peluncuran Roket Kendali, SITIA, 2008, Surabaya, Indonesia. [10] R. Wiryadinata and W. Widada, Prototype of A Low-Cost Inertial Measurement Unit for Guided Rocket Flight Test, SEMNAS UTY 4, 2008, Jogjakarta, Indonesia.
Gambar 12. Posisi dalam koordinat sumbu benda
V.
CONCLUSION
Telah berhasil dikembangkan IMU v2.1 dan telah diujicoba pada kecepatan rendah dengan tiga cara pengambilan data yang berbeda, yaitu dengan pejalan kaki,
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
224
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Analisis Citra Medis Menggunakan Segmentasi Adaptif Indah Soesanti*, Adhi Susanto*, Thomas Sri Widodo*, Maesadji Tjokronegoro** *Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta email: [email protected] **Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Abstract—Image segmentation is an important step in an image analysis system. The goal is to separate the image into regions that are meaningful for a given task. The successful of an image analysis system depends on the quality of segmentation. In medical imaging, this could involve the detection of organs or tissue types from MRI images. One way of performing segmentation is by classification, in which image pixels are classified into different classes according to their feature. In this research, the Fuzzy C-Means algorithm with spatial information is presented for doing MRI medical image segmentation. The FCM clustering utilizes the distance between pixels and cluster centers in the spectral domain to compute the membership function. The pixels on an image are highly correlated, and this spatial information is an important characteristic that can be used to aid their labeling. The FCM method was successfully classifies the normal brain MRI image and two brain MRI images with glioma into C cluster Keywords: medical image, image segmentation, fuzzy c-means, magnetic resonance imaging
I.
PENDAHULUAN
Dewasa ini dalam bidang medis telah banyak dimanfaatkan teknologi digital, salah satunya pada diagnosis melalui pencitraan medis. Pencitraan medis dengan teknologi digital bersifat non-invasive, painless, serta dapat memberikan informasi bagian dalam tubuh manusia dalam bentuk potongan atau slice tertentu untuk keperluan diagnosis. Teknologi yang mampu memberikan informasi ini adalah pencitraan CT Scan (Computed Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). MRI memiliki keunggulan dibanding CT scan yakni tidak menggunakan radiasi pengion dan lebih unggul dalam mendeteksi kelainan pada jaringan lunak, misalnya pada otak. Guna mendapatkan hasil yang optimal, dibutuhkan pengolahan citra medis MRI, yang diharapkan dapat membantu dalam hal diagnosis yang objektif. Penelitianpenelitian terkait pengolahan citra telah banyak dilakukan di antaranya kompresi citra [1], pengurangan derau [2,3], deteksi tepi [4–7], hingga segmentasi citra [8–12]. Salah satu permasalahan penting dalam bidang pengolahan citra dan pengenalan pola adalah segmentasi citra ke dalam area homogen [13]. Ekstraksi ciri dan segmentasi citra merupakan langkah awal dalam analisis citra. Beberapa metode segmentasi citra telah diusulkan, di antaranya metode-metode berbasis thresholding histogram, clustering, ataupun region growing.
ISSN: 2085-6350
Segmentasi citra merupakan kegiatan yang sangat diperlukan dalam usaha memahami ciri citra secara lengkap. Segmentasi citra merupakan salah satu proses dalam pengolahan citra yang paling sulit [14]. Keakuratan segmentasi menentukan keberhasilan dalam analisis suatu citra. Algoritma segmentasi citra grayscale (misalnya citra medis) umumnya berdasar pada dua sifat dasar nilai intensitas citra yaitu diskontinuitas dan kesamaan. Pada segmentasi citra berdasar diskontinuitas, pendekatan yang dilakukan adalah dengan melakukan partisi citra berdasar perubahan drastis intensitas citra, yang dikenal juga sebagai proses deteksi tepi. Sedang segmentasi citra berdasar kesamaan, pendekatan yang dilakukan adalah melakukan partisi citra ke dalam region-region yang sama berdasarkan himpunan kriteria yang telah didefinisikan di awal. Segmentasi pada citra medis akan menghasilkan citra medis yang disertai batasan objek yang merupakan ciri penting karena dapat menggali informasi untuk pengenalan pola guna keperluan analisis. Tujuan utama segmentasi adalah membagi citra ke dalam bagian-bagian yang mempunyai korelasi kuat dengan objek dalam citra. Citra medis yang tersegmentasi dengan baik akan didapatkan informasi batasan-batasan objek dengan jelas, misalnya untuk keperluan deteksi sel tumor pada pasien. Informasi ini sangat membantu tenaga medis secara objektif dan akurat untuk melakukan analisis, diagnosis, perencanaan pengobatan, dan tindakan medis yang diperlukan. Untuk itu dalam penelitian ini akan dilakukan segmentasi citra medis secara adaptif menggunakan metode fuzzy cmeans (FCM) dengan informasi spasial yang berguna dalam segmentasi citra asli yang berderau. Beberapa peneliti telah mengembangkan metode-metode segmentasi citra [15–18]. Akan tetapi pada metode-metode tersebut tidak memanfaatkan informasi multispektral isyarat MRI. Pengklasteran fuzzy c-means (FCM) [15,19,20] merupakan teknik tak-terbimbing yang berhasil diterapkan untuk analisis ciri, pengklasteran, dan rancangan pengklasifikasi dalam bidang-bidang seperti astronomi, geologi, pencitraan medis, pengenalan sasaran, dan segmentasi citra. Suatu citra dapat direpresentasikan dalam berbagai ruang ciri, dan algoritma FCM mengklasifikasi citra dengan mengelompokkan titik-titik data yang serupa dalam ruang ciri ke dalam klaster. Pengklasteran ini dicapai secara iteratif meminimisasi fungsi cost yang tergantung pada jarak piksel ke pusat klaster dalam domain ciri.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
225
Piksel-piksel pada suatu citra pada dasarnya mempunyai korelasi kuat, piksel yang dekat dengan tetangga mempunyai data ciri yang hampir sama. Oleh karenanya, relasi spasial dari piksel tetangga merupakan karakteristik penting yang sangat membantu dalam segmentasi citra. Teknik deteksi batas umum memanfaatkan kelebihan informasi spasial ini untuk segmentasi citra. Akan tetapi, algoritma FCM konvensional tidak sepenuhnya memanfaatkan informasi spasial ini. Pedrycz dan Waletzky [21] menggunakan informasi klasifikasi yang ada dan diterapkan sebagai bagian dari prosedur optimisasinya. Ahmed dkk. [22] memodifikasi fungsi objektif algoritma FCM standar untuk memberikan label pada tetangga piksel untuk mempengaruhi pelabelannya. Algoritma FCM modifikasi itu memberikan hasil yang lebih baik dibanding metode FCM konvensional pada citra berderau. Akan tetapi, cara menggabungkan informasi piksel tetangganya terbatas untuk aplikasi masukan ciritunggal. Tujuan penelitian ini adalah melakukan segmentasi adaptif citra medis MRI menggunakan metode Fuzzy CMeans Clustering dengan informasi spasial. Dalam metode yang dikembangkan ini digabungkan informasi spasial, dan bobot keanggotaan setiap klaster diubah setelah memperhitungkan distribusi klaster pada tetangga. Skema ini bermaksud untu meminimalkan pengaruh derau. Dalam penelitian ini dilakukan segmentasi terhadap sebuah citra medis MRI otak normal dan dua buah citra medis MRI otak dengan glioma. II.
METODOLOGI
A. Fuzzy C-Means Clustering Algoritma FCM menetapkan piksel setiap kategori dengan menggunakan fungsi keanggotaan fuzzy. Misalkan X=(x1, x2,.,xN) menyatakan citra dengan N piksel yang dipartisi menjadi c klaster, dengan xi merepresentasikan data. Algoritma ini merupakan optimisasi iteratif yang meminimalkan fungsi cost yang didefinisikan sebagai berikut: N
c
J = ∑∑ u ijm || x j − vi ||2
(1)
j=1 i=1
dengan uij merepresentasikan keanggotaan piksel xj dalam klaster ke-i, vi adalah pusat klaster ke-i, dan m adalah konstanta. Parameter m mengendalikan fuzziness partisi hasil, dan and dalam studi ini digunakan m=2. Fungsi cost diminimalkan saat piksel dekat centroid klasternya yang ditandai dengan nilai keanggotaan tinggi, dan nilai keanggotaan rendah ditetapkan untuk piksel dengan data yang jauh dari centroid. Fungsi keanggotaan merepresentasikan probabilitas bahwa suatu piksel termasuk klaster khusus. Dalam algoritma FCM, probabilitas tersebut tergantung hanya pada jarak antara piksel dan masing-masing pusat klaster individu dalam domain ciri. Fungsi keanggotaan dan pusat klaster diperbarui menggunakan persamaan berikut:
u ij =
1 ⎛ || x j − vi || ⎞ ⎜ ⎟ ∑ ⎜ ⎟ || x v || − k =1 ⎝ j k ⎠ c
2 / (m −1 )
(2)
dan N
∑ uijm x j vi=
j= 1 N
(3)
∑
um ij
j= 1
Dimulai dengan taksiran awal untuk setiap pusat klaster, FCM konvergen pada solusi untuk vi yang merepresentasikan minimum lokal fungsi cost. Konvergensi dapat dideteksi dengan membandingkan perubahan fungsi keanggotaan atau pusat klaster pada dua langkah iterasi berturut-turut. B. FCM Spasial Salah satu karakteristik penting dari suatu citra adalah bahwa piksel tetangga berkorelasi tinggi. Dengan kata lain, piksel tetangga tersebut memiliki nilai ciri yang sama, dan mempunyai probabilitas yang tinggi bahwa piksel-piksel tersebut termasuk dalam klaster yang sama. Hubungan spasial ini sangat penting dan pengklasteran, tetapi tidak digunakan dalam algoritma FCM standar. Untuk memanfaatkan informasi spasial, suatu fungsi spasial didefinisikan sebagai
∑u
hij =
k∈NB(x j
ik
(4)
)
dengan NB(xj) merepresentasikan window yang terpusat pada piksel xj dalam domain spasial. Dalam penelitian ini digunakan window 3x3. Fungsi spasial hij merepresentasikan probabilitas bahwa piksel xj termasuk klaster ke-i. Fungsi spasial suatu piksel untuk sebuah klaster akan bernilai besar jika mayoritas tetangganya termasuk dalam klaster yang sama. Fungsi spasial tergabung dalam fungsi keanggotaan berikut: p q
u'ij =
uij hij c
∑
ukjp hqkj
(5)
k= 1
dengan p dan q adalah parameter untuk mengendalikan kepentingan relatif kedua fungsi. Dalam daerah homogen, fungsi spasial benar-benar mengukuhkan keanggotaan asli, dan hasil pengklasteran tetap tak berubah. Akan tetapi, untuk piksel berderau, formula ini mengurangi bobot klaster berderau dengan label piksel tetangganya. Hasilnya adalah bahwa piksel takterklasifikasi dari daerah berderau atau tumpukan palsu dapat dikoreksi dengan mudah. FCM spasial dengan
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
226
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
parameter p dan q dinyatakan dengan sFCMp,q. Jadi, sFCM1,0 identik dengan FCM konvensional. Pengklasteran adalah proses dua-jalan (two-pass) pada setiap iterasi. Jalan pertama adalah sama dengan FCM standar untuk menghitung fungsi keanggotaan dalam domain spektral. Pada jalan kedua, informasi keanggotaan setiap piksel dipetakan ke domain spektral, dan fungsi spasial dihitung dari domain spektral tersebut. Iterasi FCM diproses dengan keanggotaan baru yang tergabung dengan fungsi spasial. Iterasi akan berhenti pada saat perbedaan maksimum antara dua pusat klaster pada dua iterasi berturut-turut lebih kecil dari ambang (ε=0,02). Setelah konvergen, defuzifikasi diterapkan untuk menentukan setiap piksel ke klaster spesifik agar keanggotaan maksimal.
Mulai
C. Glioma Glioma merupakan jenis tumor otak yang umum terjadi. Tumor ini disebut glioma karena berawal dari sel glial. Glioma dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat (grade), yakni Grade I (paling rendah), Grade II, Grade III, dan Grade IV (paling tinggi). Klasifikasi ini didasarkan pada beberapa hal, antara lain sebagai berikut: 1. Ukuran kecil atau besarnya tumor. 2. Pertumbuhan tumor lambat atau cepat. 3. Letak tumor terlokalisasi atau menyebar. 4. Crossing of the midline. 5. Belum atau telah menekan atau mengganggu dan mengakibatkan perubahan III.
Data x, centroid v, jumlah data N, jumlah kelas c, ambang ε, Parameter m, Iterasi n,Parameter p, q
Menghitung fungsi keanggotaan uij
Menghitung fungsi spasial hij
n=n+1 Menghitung fungsi keanggotaan u’ij
Menghitung Centroid vij
Uji kondisi berhenti
Tidak Ya
LANGKAH PENELITIAN Selesai
Langkah-langkah dalam penelitian ini secara umum ditunjukkan sesuai diagram alir pada Gambar 1. Objek dalam penelitian ini adalah citra medis MRI otak normal dan dua buah citra medis MRI otak dengan glioma. Pada setiap citra medis MRI tersebut dilakukan segmentasi sesuai dengan tahapan pada Gambar 1. IV.
HASIL DAN ANALISIS
Dalam penelitian ini dilakukan segmentasi terhadap sebuah citra medis MRI otak normal (Gambar 1) dan dua buah citra medis MRI otak dengan glioma (Gambar 2 dan Gambar 3). Masing-masing adalah citra greyscale dengan ukuran 256x256. Citra asli tersebut merupakan citra yang masih mengandung derau, dan dalam hal ini dalam uji metode yang dilakukan adalah tanpa melalui tahap penapisan derau. Hal ini untuk membuktikan bahwa dengan menggunakan FCM dengan informasi spasial akan mampu untuk melakukan segmentasi sesuai yang diinginkan. Gambar 2(a) menunjukkan citra medis MRI irisan aksial otak dari seorang pasien wanita berumur 50 tahun. Citra asli ini merupakan citra yang masih berderau. Pada Gambar 2(b) terlihat bahwa hasil segmentasi menggunakan metode FCM dengan informasi spasial berhasil menunjukkan bagian Grey Matter, White Matter, dan Cerebrospinal Fluid (CSF), serta tidak terlihat adanya kelainan (massa), sehingga dapat diidentifikasi bahwa otak normal.
ISSN: 2085-6350
Gambar 1. Diagram alir langkah penelitian
(a) (b) Gambar 2. MRI otak normal (a) asli, (b) hasil segmentasi.
(a) (b) Gambar 3. MRI otak dengan glioma tingkat I-II (a) asli, (b) hasil segmentasi.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
227
Hasil perhitungan ini terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Vpc dan Vpe Citra MRI
(a) (b) Gambar 4. MRI otak dengan glioma tingkat IV (a) asli, (b) hasil segmentasi. Pada Gambar 3 terlihat citra otak MRI untuk irisan aksial dari seorang pria berumur 47 tahun. Citra asli ini merupakan citra yang masih berderau dan mempunyai iluminasi yang tidak homogen. Dari hasil segmentasi menggunakan FCM dengan informasi spasial, didapat hasil citra MRI dapat tersegmen menjadi bagian-bagian yang diinginkan namun di sini juga dideteksi adanya kelainan (massa) pada bagian tertentu. Dalam kasus ini ditunjukkan bahwa tumor tidak mempengaruhi ataupun meluas ke midline structures dan tidak terhubung dengan bagian luas edema di sekitarnya. Di samping itu tumor juga terlihat berukuran kecil dan bersifat tidak kistik. Sehingga berdasar ciri-ciri yang dimiliki tersebut, tumor dapat diidentifikasi sebagai glioma tingkat I-II. Sedang pada Gambar 4 terlihat citra otak MRI untuk irisan aksial dan citra asli ini juga merupakan citra yang masih berderau. Di sini terlihat perbedaan yang sangat signifikan jika dibanding dengan hasil pada Gambar 3, yakni dari hasil segmentasi menggunakan FCM dengan informasi spasial, didapat kelainan yang telah meluas dan mempengaruhi jaringan di sekitarnya. Pengaruh dari perluasan massa dapat menekan dan menimbulkan perubahan ataupun gangguan pada area tertentu, termasuk ventrikel. Sebuah area kelainan juga terlihat pada sisi yang lain, yang mungkin dapat merupakan sebuah perluasan tumor ataupun metastatis. Berdasar ciriciri tersebut dapat diidentifikasi bahwa ini merupakan glioma tingkat IV atau merupakan glioblastoma. Analisis juga dilakukan dengan menghitung fungsi validitas yaitu partisi fuzzy dan struktur ciri. Fungsi validitas tersebut digunakan untuk mengevaluasi unjukkerja pengklasteran. Gagasan fungsi validitas tersebut adalah bahwa partisi dengan fuzziness yang kurang, berarti menunjukkan unjukkerjanya lebih baik. Hasilnya adalah bahwa pengklasteran terbaik dicapai pada saat nilai Vpc maksimal atau saat nilai Vpe minimal. Fungsi representasi untuk partisi fuzzy adalah koefisien partisi Vpc dan entropi partisi Vpe yang didefinisikan sebagai N
V pc =
j
[2] [3]
j
i
[5]
− ∑ ∑ uij log uij V pe =
N
0,032
Glioma Grade I-II
0,924
0,117
Glioma Grade IV
0,920
0,122
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA [1]
[4]
c
0,959
Berdasar hasil-hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa algoritma FCM dengan informasi spasial mampu untuk menghasilkan segmentasi dengan baik pada citra medis MRI normal dan MRI dengan glioma grade I-II dan grade IV yang semuanya merupakan citra asli yang masih berderau dan dimungkinkan mempunyai intensitas yang tidak homogen. Dengan demikian segmentasi menggunakan FCM dengan informasi spasial ini telah menghasilkan citra medis tersegmentasi yang sangat bermanfaat untuk keperluan analisis.
dan N
Normal
V.
i
N
Vpe
Dari Tabel 1 terlihat bahwa untuk nilai Vpc didapatkan terbesar untuk citra MRI normal, kemudian untuk citra MRI glioma Grade I-II lebih kecil dan untuk citra MRI Glioma Grade IV paling kecil. Hal ini disebabkan karena citra MRI normal paling sederhana untuk dilakukan segmentasi sehingga fungsi validitas Vpc lebih mendekati 1. Namun secara keseluruhan untuk nilai Vpc di atas 0,9 semua, hal ini menunjukkan bahwa fungsi validitas untuk citra MRI Glioma Grade I dan citra MRI Glioma Grade IV sudah tinggi. Sementara untuk fungsi Vpe maka hasil akan lebih baik untuk nilai minimum. Untuk citra normal terlihat nilainya paling kecil, kemudian untuk citra MRI Glioma Grade I –II lebih besar, dan citra Glioma Grade IV paling besar, namun demikian secara keseluruhan nilai Vpe relatif kecil yaitu kurang dari 0,15. Sehingga berdasar nilai Vpc dan Vpe yang diperoleh dapat dikatakan bahwa hasil segmentasi untuk ketiga citra tersebut telah mempunyai unjukkerja yang baik.
c
∑ ∑ uij2
Vpc
Soesanti, I, 2008, " Kompresi Citra Medis Menggunakan Alihragam Kosinus Diskret dan Sistem Logika Fuzzy Adaptif ", Semesta Teknika (Fakultas Teknik UMY) Vol.11, No.1, Mei 2008, hal. 1 – 7. Soesanti, I, 2008, "Aplikasi Tapis Adaptif untuk Pengurangan Derau pada Citra Satelit", Forum Teknik (Fakultas Teknik UGM) Vol. 32, No. 1, Januari 2008, hal. 39 – 45. Soesanti, I, 2008, "Pengurangan Derau Citra Medis Menggunakan Tapis Adaptif", Media Teknik (Fakultas Teknik UGM) No. 2 Th. XXX, Mei 2008, hal. 167 – 174. Hardie, R.C., dan Boncelet, C.G., 1995, “Gradient-Based Edge Detection Using Nonlinear Edge Enhancing Prefilters”, IEEE Trans. on Image Processing, Vol.4, No.11, 1572-1577
Russo, F., 1998, “Edge Detection in Noisy Images Using Fuzzy Reasoning”, IEEE Tran. on Instrumentation and Measurement, Vol.47, No.5, Oct., 1102-1105
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
228
[6]
[7]
[8] [9]
[10]
[11]
[12] [13]
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Sharifi, M., Fathy, M., dan Mahmoudi, M.T., 2002, "A classified and comparative study of edge detection algorithms", Proc. of International Conference on IT: Coding and Computing, Proceedings. Maini, R., dan Sobel, J.S., 2006, "Performance Evaluation of Prewitt Edge Detector for Noisy Images", GVIP Journal, Vol. 6, Issue 3. Sauvola, J., dan Pietikainen, M., 2000, “Adaptive document image binarization”, Journal of Pattern Recognition 33 (2000), 225-236. Martinez, J.C., Sanchez, D., Su´arez, B.P., Perales, E.G., and Vila, M.A., 2003, “A Hierarchical Approach to Fuzzy Segmentation of Colour Images”, The IEEE International Conference on Fuzzy Systems, 966-971. Wang, H., dan Suter, D., 2003, “Color Image Segmentation Using Global Information and Local Homogeneity”, Proc. VIIth Digital Image Computing: Techniques and Applications, 10-12 Dec. 2003, Sydney. Kande,G.B., Savithri,T.S., dan Subbaiah, P.V., 2007, “Segmentation of Vessels in Fundus Images using Spatially Weighted Fuzzy C-Means Clustering Algorithm”, IJCSNS International Journal of Computer Science and Network Security, Vol.7 No.12. Rawashdeh, N.A., Love, S.T., dan Donohue, K.D., 2008, “Hierarchical Image Segmentation by Structural Content”, Journal of Software, Vol. 3, No. 2. Schulze, M.A., dan Pearce, J.A., 1993, ”Linear Combinations of Morphological Operators: The Midrange, Pseudomedian, and LOCO Filters”, IEEE International Conference, Acoustics,Speech, and Signal Processing, Vol. V, pp. 57-60.
ISSN: 2085-6350
[14] [15] [16]
[17]
[18] [19] [20]
[21] [22]
Gonzales, R.C., Woods, R.E., and Eddins, S.L., 2004, “Digital Image Processing using Maltab”, Pearson Prentice Hall, Inc., New Jersey. Bezdek, J., Hall, L., Clarke, L., 1993, “Review of MR image segmentation using pattern recognition”, Journal of Medical Physics; 20:1033–48. Brandt, M.E., Bohan, T.P., Kramer, L.A., Fletcher, J.M., 1994, “Estimation of CSF, white matter, and gray matter volumes in hydrocephalic children using fuzzy clustering of MR images”, Journal of Computer Medical Imaging Graph; 18:25–34. Clark, M.C., Hall, L.O., Goldgof, D.B., Clarke, L.P., Velthuizen, R.P., Silbiger, M.S., 1994, “MRI segmentation using fuzzy clustering techniques”, IEEE Engineering Medical Biology; 13: 730–42. Pham, D.L., Prince, J.L., 1999, “Adaptive fuzzy segmentation of magnetic resonance images”, IEEE Trans. Med. Imaging;18:737– 52. Lyer, N.S., Kandel, A., and Schneider, M., 2002, “Feature-based fuzzy classification for interpretation of mammograms”, Journal of Fuzzy Sets Systems.;114: 271–80. Yang, M.S., Hu, Y.J., Lin, K.C.R., Lin, C.C.L., 2002, “Segmentation Techniques for Tissue Differentiation in MRI of Ophthalmology Using Fuzzy Clustering Algorithms”, Magnetic Resonance Imaging Journal; 20: 173–9. Pedrycz, W., Waletzky, J., 1997 “Fuzzy clustering with partial supervision”, IEEE Transaction on System of Management Cybernets Part B Cybernets; 27: 787–95. Ahmed, M.N., Yamany. S.M., Mohamed, N., Farag, A.A., Moriarty, T., 2002, “A modified fuzzy c-means algorithm for bias field estimation and segmentation of MRI data”, IEEE Transaction on Medical Imaging; 21:193–9.
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
229
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
230
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
231
ISSN: 2085-6350
232
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
ISSN: 2085-6350
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
Proceedings of CITEE, August 4, 2009
233
Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE)
ISSN: 2085-6350