Al-Mizan ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256 Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 Halaman 163-180 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
PROBLEMATIKA ADZAN DI KOTA GORONTALO (Menelusuri Paradigma Masyarakat tentang Adzan dan Iqamat Magrib Tanpa Jeda) Dulsukmi Kasim Fakultas Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo Email:
[email protected] Abstract Athan and Iqama are including one tawqifi issues in Islamic jurisprudence, but its application in the middle of the race still leaves the problem, particularly in the Gorontalo city. This study discusses the paradigm of Gorontalo City community about Athan and Iqama on Magrib (sunset) without pause. This research is a qualitative descriptive study with using philosophical and sociology approachs. The research data were collected through observation, interviews and documentation, then there are analyzed descriptively qualitative. The results showed that historically, the emergence of the call to prayer (Athan) and Iqama on Magrib (sunset) without a break in Gorontalo are inseparable: the history of the mosques first in Gorontalo and the presence of three figures charismatic clerics in Gorontalo city and they serves as a role model race, so that has implications for understanding Athan and Iqama on Magrib (sunset) without pause. When this phenomenon in terms of a philosophical religion, then its not found any of the arguments of the Quran and Hadis to confirms it. Keywords: People, Athan, Iqama, Maghrib Prayer, Without a Pause
A. Pendahuluan Adzan merupakan salah satu bentuk ritual yang sangat vital dalam nuansa keberagamaan umat Islam. Eksistensinya begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari setiap muslim. Selain disebut sebagai seruan ketuhanan, ia sering pula diidentikkan sebagai bentuk syi’ar atau dakwah. Makanya ia tidak hanya difahami sekedar panggilan (seruan) biasa, namun merupakan suatu ibadah yang telah ditentukan tatacara pelaksanaannya oleh syara' dan menjadi terikat dengan ibadah-ibadah lain, seperti: shalat, puasa, iqamat, shalat nawafil, shalawat, doa, bahkan sampai pengurusan jenazah. 163
Dulsukmi Kasim
Persoalan adzan dan iqamat dinilai semakin penting tatkala menjadi ajang perbincangan dan kajian para fuqaha, baik salaf maupun khalaf dalam kitab-kitab fiqh mereka. Sebagai contoh, Imam al-Jaziri dalam kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba'ah mencantumkan pembahasan khusus tentang persoalan adzan dengan tema “mabahits al-adzan” yang sekaligus mensandingkannya dengan pembahasan mengenai iqamat. Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqh al-Sunnah memberi tema “al-adzan” yang menyisipkan satu bagian pembahasan di dalamnya mengenai “al-fashlu baina al-adzan wa al-iqamah” atau pemisahan waktu adzan dan iqamat. Serta masih banyak lagi kitab-kitab fiqh lainnya yang juga turut membicarakan mengenai adzan dan iqamat. Bila perhatian para ulama di atas coba dipertemukan dengan fenomena keberagamaan umat Islam dewasa ini, sepertinya kehadiran dan pelaksanaan adzan dan iqamat saat ini sudah tidak banyak dipersoalkan dan diperbincangkan lagi. Baik oleh kalangan cendekiawan Islam ataupun umat Islam pada umumnya. Boleh jadi hal ini disebabkan karena mayoritas masyarakat sudah paham tentang cara pelaksanaannya, atau karena tugas mengumandangkannya umumnya telah diserahkan kepada petugas rutin di tiap masjid yang biasa disebut dengan bilal atau muazzin tetap. Akibatnya, lambat laun muncul beberapa persoalan pelik di dalamnya. Misalnya: 1) ditemukannya pembacaan lafaz adzan yang tidak fasih, bahkan cenderung keliru penyebutan lafaznya; 2) adanya lafaz zikir, ayat, doa tambahan sebelum pelantunan lafaz adzan dan iqamah; 3) pelaksaanaan adzan dan iqamat yang tergesa-gesa dan tanpa jeda; 4) serta tidak diindahkannya adab dan etika dalam melantunkan adzan dan iqamah; dan lain sebagainya. Kesemuanya itu sepertinya dianggap bukan suatu persoalan yang penting untuk dibicarakan atau bahkan justeru diacuhkan. Padahal, persoalan adzan dan iqamat ini merupakan bagian dari masalah ibadah mahdhah yang telah mempunyai contoh dan patokan tata cara yang diperoleh dari nash serta penjelasan ulama salaf.1 Olehnya itu tidak salah jika dikatakan bahwa persoalan iqamat dan adzan adalah persoalan tawqifi karena eksistensinya telah ditetapkan oleh syara’ sehingga memiliki aturan main tersendiri. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa penerapannya di lapangan atau dalam keseharian umat Islam telah 1
Menurut Quraish Shihab, istilah ibadah mahdhah tidak dikenal pada awal Islam. Istilah itu baru diperkenalkan oleh ulama fiqh ketika mereka mensistematisasi dan memilah-milah materi pembahasan terkait aktifitas manusia dalam masalah hukum Islam, khususnya masalah ibadah dan muamalah. Ibadah mahdhah sendiri bermakna amalan yang bersifat tawqifi, yakni telah ditetapkan cara, bentuk, kadar dan waktunya berdasarkan petunjuk Allah dan/atau Rasul-Nya, sehingga ia harus diterima dan dilaksanakan sebagaimana adanya. Lihat M. Quraish Shihab, Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Cet. 12; Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 9.
164
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Problematika Adzan di Kota Gorontalo
berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh nash dan tuntunan para fuqaha dalam kitab-kitab fiqh. Bahkan, tak jarang dijumpai sekarang ini beberapa persoalan seputar pelaksanaan adzan dan iqamat tersebut telah berkembang dan membuat model atau cara tersendiri di kalangan komunitas umat Islam tertentu, termasuk di Kota Gorontalo. Sebagai contoh, beberapa masjid di Kota Gorontalo dijumpai melaksanakan adzan pada waktu Ashar secara tetap, yaitu tepat jam 16.00 setiap harinya, seperti pada Masjid Raya Baiturrahim Kota Gorontalo dan Masjid anNur kompleks Pasar Tua Gorontalo. Ini berarti pelaksanaan adzan-nya tidak mengikut kepada jadwal waktu shalat yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Dijumpai pula di beberapa masjid sebelum lantunan adzan dikumandangkan, muazzinnya membaca ayat-ayat tertentu serta zikir dan untaian shalawat dengan suara yang dikeraskan melalui mikrofon masjid sehingga terkesan tersambung dengan lafaz adzan. Praktek ini umumnya dijumpai pada hari Jumat,2 dan yang cukup santer terjadi adalah maraknya masjid-masjid di Kota Gorontalo yang pelaksanaan adzannya bersambung dengan pelaksanaan iqamat tanpa ada jeda atau selang waktu beberapa saat antara keduanya. Apalagi, pelaksanaan adzan magrib dan iqamah tanpa jeda seperti di atas umumnya berlaku dan dijalankan di masjid-masjid besar kecamatan yang ada di Kota Gorontalo. Misalnya, Masjid Besar al-Muchlisin Kecamatan Sipatana, Masjid Besar al-Jariyah Kecamatan Dungingi, Masjid Besar Sabilil Huda Kecamatan Kota Timur, Masjid Besar al-Ikhlas Kecamatan Hulontalangi, bahkan Masjid Agung Baiturrahim Kota Gorontalo yang boleh dikata menjadi icon (contoh) semua masjid di Gorontalo. Itu berarti, tidak ada selang waktu yang diberikan kepada jama’ah yang ada di sekitarnya untuk bisa tiba di masjid sebelum iqamat, atau tidak ada peluang bagi jamaah yang sudah hadir di masjid untuk menjalankan ibadahibadah nawafil atau thathawwu’ lainnya. Seperti: shalat sunnah qabliyah, tahiyatul masjid, berdoa, atau berzikir yang merupakan ibadah-ibadah yang dianjurkan untuk dijaga dan diamalkan di antara adzan dan iqamat atau tiap masuk masjid seperti yang dijumpai riwayatnya dalam beberapa hadis.3
2
Contoh bacaan yang dilantunkan secara jahar setiap mengawali lantunan adzan: سبحان ﷲ.... ومن احسن قوال ممن دعا الى ﷲ ورسوله.أعوذ با من الشيطان الرجيم بسم ﷲ الرحمن الرحيم والحمد وال اله اال ﷲ ﷲ أكبر وال حول وال قوة اال با العلي العظيم اللھم صل على محمد وعلى آل محمد يا .كريم 3 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1 (Cet. 2; Kairo: Dar al-Fath li al-I'lam alAraby, 1999), h. 296. Adapun sabda Rasulullah mengenai disunnahkannya melaksanakan shalat sunnah tahiyatul masjid setiap masuk masjid: عن ابي قتادة أن النبي .صلى ﷲ عليه وسلم قال اذا دخل احدكم المسجد فليركع ركعتين قبل ان يجلس
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
165
Dulsukmi Kasim
Oleh sebab itu, persoalan ini menarik untuk diteliti dan ditelusuri kemunculannya secara historis, berikut penelusuran dari sisi landasan hukum (dalil) yang mendasarinya, atau berbagai aspek-aspek lain yang menjadi bahan pertimbangan atau rujukan masyarakat muslim Kota Gorontalo dalam menjalankan model pelaksanaan adzan dan iqamah Magrib tanpa jeda tersebut. B.
Kondisi Umum Pelaksanaan Adzan dan Iqamat Magrib di MasjidMasjid Kota Gorontalo
Kota Gorontalo yang memiliki luas wilayah kurang lebih 79,03 km2 dan terdiri dari 9 kecamatan dan 50 kelurahan, menjadi salah satu ikon wilayah yang memegang teguh suasana kehidupan religius pada masyarakatnya.4 Selain karena mayoritas penduduknya yang berkisar 199.594 jiwa adalah beragama Islam, atau sekitar 90 persen total penduduk Kota Gorontalo, juga dapat ditandai dengan banyaknya masjid yang menjadi tempat ibadah umat Islam yang bertebaran di sudut-sudut Kota Gorontalo. Sesuai data yang diperoleh dari Bagian Tata Pemerintahan pada Sekretariat Daerah Kota Gorontalo, pada tahun 2013 tercatat kurang lebih 270 buah masjid yang telah beroperasi dan telah terdaftar.5 Selain jumlah masjid yang terbilang banyak, aktifitas dan suasana keagamaan yang berlangsung di dalamnya terbilang aktif. Misalnya, di beberapa masjid melazimkan pelaksanaan tadarrus al-Qur’an setiap malam selepas shalat Magrib sampai menjelang masuknya waktu shalat Isya yang umumnya pesertanya adalah ibu-ibu,6 dan khusus pada malam Jumat dilakukan Artinya: Dari Abi Qatadah bahwasanya Nabi saw telah bersabda apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid maka hendaklah melakukan ruku' (shalat) dua rakaat sebelum duduk. Lihat, al-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy (Cet. 3; Kairo: Dar al-Hadits, 1998), h. 243. (Hadis No. 69/714 Juz 3, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Tahiyatul Masjid). 4 Tidak diketahui secara pasti kapan Gorontalo berhubungan atau kontak dengan Islam. Diduga, sebagaimana daerah lainnya, kontak dengan Islam diawali ketika para pedagang Muslim berlabuh di wilayah Gorontalo. Masuknya Islam ke Gorontalo secara sosial kemungkinan melalui dua jalur, yaitu jalur Utara dan jalur Selatan (Teluk Tomini). Sebab pada abad XIII M. Jalur Utara Nusantara sudah mulai ramai didatangi para pedagang termasuk para pedagang Muslim. Lihat, Tim Penyusun, Profil IAIN Sultan Amai Gorontalo Tahun 2010-2011 (Gorontalo: IAIN Sultan Amai Press, 2010), h. 11. 5 Data diambil dari Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Gorontalo pada tanggal, 31 Oktober dan 7 Nopember 2013. 6 Masjid-masjid yang sempat terdata, misalnya: Masjid Agung Baiturrahim Kota Gorontalo, Masjid Besar ar-Rahmah Siendeng Kecamatan Hulontalangi, Masjid
166
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Problematika Adzan di Kota Gorontalo
pembacaan Natsar al-Barzanji.7 Bahkan kegiatan tadarrusan tersebut secara umum akan lebih marak lagi dilakukan di bulan Ramadhan selepas ibadah shalat tarawih, serta melibatkan orang yang lebih banyak dari hari biasanya. Suasana tersebut menggambarkan bahwa syiar agama di masyarakat kota Gorontalo sangatlah tinggi. Apalagi rata-rata kegiatan tersebut diperdengarkan ke lingkungan sekitar masjid lewat pembesar suara (speaker/TOA). Demikian pula, pembacaan dikili atau zikir berbahasa Gorontalo pada malam hari dalam rangka menyambut hari-hari besar umat Islam yang umumnya dibacakan sepanjang malam hingga Shubuh hari. Misalnya, pada momen peringatan maulid Nabi saw., isra’ mi’raj, serta tahun baru Hijriyah. Kesemuanya mengindikasikan bahwa predikat kota religi sangat layak untuk disandang oleh Kota Gorontalo. Itulah sebabnya pemerintah kota Gorontalo menetapkan beberapa slogan bagi daerahnya, misalnya: Kota Madrasah, Kota Religi, Serambi Madinah, serta sebuah falsafah hidup yang mereka warisi dari zaman kerajaan Gorontalo dahulu, yaitu adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah. Penamaan itu ditunjang oleh alasan historis, di mana sejak dahulu Gorontalo telah dikenal sebagai salah satu pusat penyebaran Islam dan tempat pendidikan yang merupakan perluasan dari Kerajaan Ternate. Dengan begitu, citra kota Gorontalo sangat strategis untuk dijadikan sebagai daerah yang spesifik yang bisa memberikan nuansa budaya yang Islami dan memperkenalkan dirinya dalam skala nasional maupun internasional sebagai kota wisata keagamaan di Indonesia bagian Timur. Bila kondisi di atas coba lebih dispesifikkan lagi pada persoalan pelaksanaan ibadah ritual yang dijalankan di masjid-masjid Kota Gorontalo, khususnya persoalan pelaksanaan adzan dan iqamat pada waktu Magrib, maka kondisi pelaksanaannya dapat digambarkan sebagaimana berikut: 1. Pelaksanaan adzan Magrib di masjid-masjid Kota Gorontalo pada umumnya dilantunkan oleh seorang muadzzin yang telah ditugaskan oleh Badan Takmir Masjid secara tetap, dan bila orangnya berhalangan atau terlambat, maka digantikan oleh jamaah lain yang datang ke masjid lebih dahulu. Jami’ al-Mubaraq Kelurahan Wumialo Kota Tengah, Masjid al-Mu’awanah Kelurahan Huangobotu Dungingi, Masjid Besar Sabilil Huda KotaTimur, Masjid Hunto Kelurahan Biau, dan Masjid al-Jauhar Kelurahan Bugis. 7 Sebuah karya tulis seni sastra yang memuat riwayat kehidupan Nabi Muhammad saw. dari lahir hingga wafatnya. Kitab ini ditulis oleh Syekh Ja’far alBarzanji bin Husin bin Abdul Karim yang lahir di Madinah tahun 1690 (w. 1766). Nama al-Barzanji dinisbahkan kepada asal keturunan penulisnya yang berasal dari daerah Barzinj (Kurdistan). Ia marak dibaca dalam berbagai upacara keagamaan di dunia Islam, termasuk di Indonesia (misalnya Gorontalo). Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (Cet. 9; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), h. 241.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
167
Dulsukmi Kasim
2.
3.
4.
5.
6.
Sebelum mengumandangkan adzan Magrib, para muadzzin umumnya memutar siaran radio yang dipancarkan melalui RRI Stasiun Gorontalo untuk mengikuti Risalah Magrib dengan tujuan menunggu masuknya waktu Magrib sambil menselaraskan waktu kumandang adzan Magrib antara jam yang ditunjuk oleh jadwal waktu shalat yang ada tertempel di tiap masjid, dengan kumandang adzan Magrib yang dipancarkan oleh RRI sesudah berakhirnya Risalah Magrib.8 Saat akan melantunkan adzan, amalan yang dilakukan para muadzin bervariasi secara teknis. Ada yang membaca Basmalah terlebih dahulu secara jahar lewat mikrofon lalu mengumandankan adzan.9 Ada pula yang membaca Basmalah plus zikir dan shalawat lalu melantunkan adzan.10 Ada pula yang membaca Basmalah lalu dilanjutkan dengan membaca ayat-ayat tertentu secara jahar lalu membaca lafad zikir dan diakhiri dengan shalawat barulah melantunkan adzan,11 dan ada pula yang langsung melantunkan adzan tanpa Basmalah dan zikir atau bacaan ayat dan shalawat.12 Semua muadzzin mengumandangkan adzan dengan memakai lafaz berjumlah 15 kalimat, yaitu takbir 4 kali di awal, syahadatain masingmasing 2 kali, hayya’alatain masing-masing 2 kali, takbir 2 kali, dan tahlil 1 kali. Setelah selesai adzan, dalam keadaan berdiri muadzzin membaca doa setelah selesai adzan. Ada yang men-jahar-kan lewat mikrofon dan ada yang tidak. Namun pada umumnya tidak men-jahar-kan. Kebanyakan masjid setelah selesai adzan Magrib langsung mengumandangkan iqamat tanpa memberi jeda atau selang waktu lagi untuk menunggu-nunggu jamaah atau memberi kesempatan kepada jamaah yang sudah ada untuk melaksanakan shalat sunnah (tahiyatul masjid atau qabliyah).13 Walaupun ada juga beberapa masjid yang tetap memberi jeda 8
Sebagaimana dijumpai di Masjid ar-Rahmah Siendeng Kecamatan Hulontalangi. 9 Sebagaimana dijumpai di Masjid al-Arif Kelurahan Wumialo Kota Tengah. 10 Sebagaimana dijumpai di Masjid al-Adna Kelurahan Pulubala Kota Tengah. 11 Sebagaimana dijumpai di Masjid Nurul Haq Kelurahan Heledulaa Selatan Kota Timur. 12 Sebagaimana dijumpai di Masjid al-Irsyad Kelurahan Limba U I, Masjid Darul Islam Kelurahan Kota Selatan, dan Masjid as-Shahabah Kelurahan Huangobotu Dungingi. 13 Sebagaimana dijalankan oleh Masjid Besar al-Jariyah Dungingi, Masjid alMuawanah Huangobotu Dungingi, Masjid al-Ikhlas Tamulabutao Dungingi, Masjid alAdna Pulubala Kota Tengah, Masjid Uswatun Hasanah Huangobotu Dungingi, Masjid Besar al-Ikhlas Dumbo Raya, Masjid Besar al-Ikhlas Tapa Sipatana, Masjid at-Tilawah
168
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Problematika Adzan di Kota Gorontalo
dengan limit waktu yang bervariasi. Ada yang telah menetapkan limit waktu jeda antara adzan dan iqamat dan ada pula yang tidak menetapkan batasan limit waktu jeda.14 7. Bagi masjid yang punya jeda antara adzan dan iqamatnya, kegiatan jamaahnya bervariasi pula. Ada yang melaksanakan shalat sunnah (sedikit), ada pula yang berdoa saja (sedikit), dan ada pula yang hanya berdiri dan diam saja sambil menunggu waktu iqamat (banyak), serta ada pula yang hanya berbincang-bincang sambil duduk atau berdiri (banyak). 8. Pelaksanaan iqamat di seluruh masjid Kota Gorontalo dilaksanakan dengan redaksi yang sama, yaitu memakai 11 kalimat, yaitu terdiri dari takbir 2 kali, syahadatain masing-masing 1 kali, hayya’alatain masing-masing 1 kali, lafaz iqamah dua kali, kemudian takbir 2 kali, dan tahlil 1 kali. 9. Aktifitas muadzzin pada waktu selesai melantunkan adzan terdiri dari: a) Bagi masjid yang tidak memberi jeda dengan pelaksanaan iqamah, muadzzinnya cuma berdiri kemudian menoleh ke belakang atau sisi kiri dan kanan dalam masjid secara sepintas kemudian langsung iqamat. b) Bagi masjid yang memberi jeda antara adzan dan iqamah, muadzzinnya ada yang duduk sejenak, ada yang hanya mundur ke bagian saf pertama masjid, ada pula yang berjalan-jalan sejenak sambil menunggu berakhirnya limit waktu atau memastikan telah hadirnya imam, dan ada pula yang melakukan shalat sunnah. Tapi umumnya hanya berdiri sambil menunggu habisnya limit waktu menunggu/jeda. 10. Pelaksanaan iqamah dilakukan dengan bervariasi pula. Ada yang mengumandangkannya lewat pembesar suara, ada pula yang tidak lagi mengumandangkan lewat pembesar suara. C. Asal-Usul Munculnya Fenomena Adzan dan Iqamat Magrib Tanpa Jeda Di Kota Gorontalo Berdasarkan informasi yang telah diperoleh melalui para narasumber, baik jamaah, pengurus masjid, ustadz/da’i, dan ulama, tidak ada yang bisa Tapa Sipatana, Masjid al-Husna Tapa Sipatana, Darul Jihad Dembe Jaya Kota Utara, Masjid Besar Nurul Jannah Tanggikiki Kota Utara, Masjid Jami’ al-Magfirah Dembe I Kota Barat, Masjid Jami’ Istiqamah Lekobalo Kota Barat, Masjid Darussalam Molosifat W Kota Barat, Masjid Jami’ at-Taqwa Molosifat W Kota Barat, Masjid Nurul Taqwa Buladu Kota Barat, Masjid Masjid Besar Sabilil Huda Tamalate Kota Timur, Masjid alJauhar Bugis Kota Timur, dan Masjid Agung Baiturrahim Limba B Kota Selatan. 14 Sebagaimana dijalankan di Masjid as-Shahabah Huangobotu Dungingi, Masjid al-Muhajirin Pulubala Kota Tengah, Masjid Darul Islam Limba U I Kota Selatan, Masjid al-Irsyad Limba U II Kota Selatan, Masjid Darul Arqam Limba B Kota Selatan, Masjid at-Taqwa Moodu Kota Timur, Masjid Darussalam Dembe Jaya Kota Utara, Masjid al-Arif Wumialo Kota Tengah.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
169
Dulsukmi Kasim
memberi informasi secara pasti mengenai kapan fenomena ini mulai muncul di Kota Gorontalo. Menurut keterangan Abdurrahman Abu Bakar Bachmid, salah seorang da’i sekaligus Sekretaris Umum MUI Provinsi Gorontalo bahwa sejak beliau lahir, fenomena adzan Magrib tanpa jeda sudah berlangsung di Gorontalo. Beliau memprediksi kebiasaan itu telah berlangsung lama sejak ratusan tahun yang lalu.15 Demikian pula yang disampaikan oleh Kasmat Tahir bahwa sejak awal berdirinya masjid tersebut pada tahun 1495 M. pelaksanaan adzan Magrib tanpa jeda dengan iqamah telah berlangsung, sehingga kebiasaan tersebut telah terkristalisasi di tengah masyarakat sekitar sampai sekarang, dan tidak pernah diubah modelnya.16 Abdul Samad Danial juga menyampaikan bahwa kebiasaan model adzan dan iqamah Magrib tanpa jeda di masjid tersebut sudah berlangsung lama, yaitu sejak dibangunnya masjid tersebut tahun 1525 M. dan tidak pernah berubah sampai sekarang.17 Masjid Agung Baiturrahim18 menurut Fakhruddin, kaitannya dengan fenomena adzan Magrib tanpa jeda ini telah beliau jumpai sejak pertama kali hijrah ke Gorontalo dan memeluk agama Islam pada tahun 1968 M. Sepengetahuan beliau, selama Masjid Agung berdiri tidak pernah diberlakukan jeda antara adzan dan iqamah khusus pada waktu Magrib.19 Ditambah lagi, kiyai-kiyai seperti almarhum Adam Zakariya, Abbas Rauf dan para Habaib lainnya tidak pernah melakukan hal itu di masjid ini, sehingga itulah yang telah dicontoh oleh umumnya masyarakat Islam di Kota Gorontalo.20 15
Abu Bakar Bachmid, Sekretaris Umum MUI Propinsi Gorontalo, Wawancara, tanggal 10 Nopember 2013. 16
Kasmat Tahir, Imam Masjid Hunto (Sultan Amai), Wawancara, tanggal 23 Oktober 2013. 17 Abdul Samad Danial, Imam Rawatib Masjid Besar Sabilil Huda Tamalate, Wawancara, tanggal 21 Oktober 2013. 18 Masjid Baiturrahim Kota Gorontalo didirikan bertalian erat dengan pembangunan Kota Gorontalo yang baru dipindahkan dari Dungingi ke Kota Gorontalo, tepatnya tanggal 6 Sya’ban 1140 H 18 Maret 1728 M oleh Paduka Raja Botutihe, Kepala Pemerintahan Batato Lo Hulondalo (Kerajaan Gorontalo) pada waktu itu. Sesuai dengan data yang ada, masjid tersebut didirikan di pusat pemerintahan Kerajaan Gorontalo saat itu. http://kemenag.go.id/ index.php?a=artikel&id2= baiturrahim, diakses tanggal 12 Juni 2013.) 19 Fakhruddin, Penjaga Masjid Agung Baiturrahim Kota Gorontalo, Wawancara, tanggal 22 Oktober 2013. 20 Fakhruddin, Penjaga Masjid Agung Baiturrahim Kota Gorontalo, Wawancara, tanggal 22 Oktober 2013, dan Lukman Katili, Anggota Majelis Fatwa MUI Provinsi Gorontalo, Wawancara, tanggal 10 Nopember 2013.
170
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Problematika Adzan di Kota Gorontalo
Dari data-data tersebut di atas, menunjukkan bahwa asal usul fenomena pelaksanaan adzan magrib tanpa jeda dengan iqamahnya merupakan produk budaya lokal atau tradisi yang sudah berlangsung lama secara turun temurun. Bahkan dapat disimpulkan bahwa fenomena tersebut telah seumur dengan masuknya Islam ke Gorontalo. Sebagaimana ditegaskan lewat data masingmasing dua masjid tertua di Gorontalo yakni Masjid Hunto Biau dan Masjid Sabilil Huda Tamalate. Tradisi tersebut menjadi semakin terkristalisasi di masyarakat setelah para kiyai dan ulama Gorontalo tidak membiasakan diri melakukan qabliyah atau tahiyatul masjid di masjid-masjid yang biasa ia datangi untuk shalat berjamaah. Sehingga dari situlah penilaian masyarakat berlanjut menjadi budaya dan dari budaya menjadi faham yang terus ditiru sehingga menjadi langgeng secara turun temurun sampai saat ini hingga sulit untuk diubah. D. Paradigma Masyarakat Kota Gorontalo tentang Adzan dan Iqamat Magrib Tanpa Jeda Beragam alasan yang diungkapkan oleh masyarakat tentang yang menjalankan adzan dan iqamah Magrib tanpa jeda di masjid di Kota Gorontalo, baik itu diungkapkan pengurus masjid (takmir), imam masjid, maupun jama’ah dan ahli agama (ustadz dan kiyai). Sedikitnya ada tujuh opini umum masyarakat kota Gorontalo mengenai alasan atau sebab yang melatarbelakangi dijalankannya adzan dan iqamah Magrib tanpa ada jeda, yaitu: a. Karena waktu shalat Magrib sempit. b. Karena hal itu telah menjadi kebiasaan yang dijalankan dari dulu secara turun temurun. c. Karena mencontoh/mengikuti teknis pelaksanaan adzan yang dijalankan di Masjid Agung Baiturrahim Kota Gorontalo d. Merupakan ketentuan adat/kebiasaan di Gorontalo. e. Merupakan instruksi langsung dari Imam atau Ketua Takmir di masingmasing masjid. f. Merujuk kepada pemahaman ulama yang diperoleh dari kitab tertentu. g. Tanpa alasan. Dengan 37 orang narasumber, maka 19 orang di antaranya memilih alasan waktu Magrib sempit berada pada pilihan tertinggi umumnya masyarakat.. Selanjutnya dapat dilihat dari tabel berikut:
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
171
Dulsukmi Kasim
Tabel 1 Pemilih Alasan Waktu Magrib Sempit Nama Jabatan Mardjun Ahmad Imam H.Yuliman Jamaah Surtinoyo Drs. H. Karim, T. Ketua BTM Laiya H.Dudin Mozin Ketua BTM
Nama Masjid Istiqamah Istiqamah
Alamat Lekobalo Kota Barat Lekobalo Kota Barat
Istiqamah
Lekobalo Kota Barat
Darussalam
Raimon Saleh
Darussalam
Molosifat W Kota Barat Molosifat W Kota Barat Molosifat W Kota Barat Molosifat W Kota Barat Buladu Kota Barat Buladu Kota Barat Buladu Kota Barat
Penjaga Masjid Ridwan Ahmad Wakil Sekretaris Abdul Rahman Wakil Ketua Haras Amrin Idris Muadzin Usman Umar Seksi Ri’ayah Abdul Karim Saleh Ketua Remamuda Ibrahim Anggota
Darussalam Darussalam Nuruttaqwa Nuruttaqwa Nuruttaqwa Al-Jariyah
Kamil Gani
Imam
Mansur Podungge
Imam
Uswatun Hasanah Al-Ikhlas
Fachruddin
Penjaga
Baiturrahim
Syamsuddin Laderi Mansur Sabaya
Al-Jauhar Al-Jauhar
Sahmin Kidam
Imam Sekretaris BTM Imam
Hasyim Usman
Imam
Arrahmah
Abdul Mooduto
172
Muin Ketua MUI
Al-Jama’ah
-
Huangobotu Dungingi Huangobotu Dungingi Talumolo Dumbo Raya Limba B Kota Selatan Bugis Kota Timur Bugis Kota Timur Limba U II Kota Selatan Siendeng Hulontalangi Ponpes al-Khairat Kota Gorontalo
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Problematika Adzan di Kota Gorontalo
Selanjutnya, yang menyatakan alasan poin kedua, yaitu kebiasaan yang sudah berlangsung dari dulu secara turun temurun terdapat 6 orang informan dari wawancara dan tidak ada satupun data dari informan yang melalui kuisioner. Masing-masing adalah: Tabel 2 Pemilih Alasan Kebiasaan Yang Sudah Turun Temurun Nama Tamrin Salim Jafar Nopo Abdul Samad Danial Kasmat Tahir Sahmin Kidam
Jabatan Jama’ah Penjaga Imam
Nama Masjid Al-Adna Al-Ikhlas Sabilil Huda
Alamat Pulubala Kota Tengah Tamulabutao Dungingi Tamalate Kota Timur
Riayah Imam
Hunto Al-Jama’ah
Mansur Podungge
Imam
Al-Ikhlas
Biau Kota Selatan Limba U II Kota Selatan Talumolo Dumbo Raya
Sementara yang memilih alasan ketiga, yaitu mencontoh atau mengikuti Masjid Agung Baiturrahim ada dua informan melalui wawancara, yaitu: Kamil Gani dari Masjid Uswatun Hasanah Huangobotu, dan Sahmin Kidam dari Masjid Besar al-Jama’ah Limba U II Kota Selatan. Kemudian informan yang menyatakan bahwa hal itu merupakan ketentuan adat di Gorontalo terdapat 4 orang responden lewat kuisioner. Kesemuanya berasal dari satu masjid, yaitu Masjid Besar Nurul Jannah Dulomo Selatan Kota Utara. Mereka itu adalah: 1) Ismail Djafar, sebagai Bendahara; 2) Abas Alimun, anggota BTM; 3) Kaimuddin, Jamaah; 4) Adnan Didipu, sebagai Imam Masjid. Narasumber yang memilih alasan kelima yaitu merupakan instruksi dari ketua takmir masjid berjumlah 3 orang. Masing-masing adalah: 1) Hasyim Usman, Imam Masjid Besar ar-Rahmah Siendeng; 2) Syamsuddin Laderi, Imam Masjid Jami’ al-Jauhar Kelurahan Bugis; 3) Ridwan Podungge, Ketua Takmir Masjid Jami’ al-Mubaraq Wumialo. Selain itu, dari para narasumber dalam wawancara terdapat pula 1 orang informan yang memilih abstain atau tanpa alasan sama sekali, yaitu Harun Talib, Imam Masjid Nurut Taqwa Buladu Kota Barat. Adapun informan yang beralasan adanya dalil atau informasi yang diperoleh dari dalam literatur tertentu berjumlah 3 orang, yaitu: 1) Muhammad Laiya, jamaah Masjid Jami’ Istiqamah Lekobalo Kota Barat; 2) Marzuki Pakaya, Ketua BTM Masjid Jami’ at-Taqwa Molosifat W Kota Barat. Namun keduanya tidak dapat menunjukkan ayat atau hadis yang dimaksud serta buku
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
173
Dulsukmi Kasim
yang dijadikan rujukan; 3) Lukman Katili, dai, dosen, sekaligus anggota komisi fatwa MUI Provinsi Gorontalo. Menurut Lukman Katili, ada beberapa argumen yang dijadikan landasan atau pijakan berfikir oleh ulama Gorontalo mengenai tidak adanya pemberian jeda antara pelaksanaan adzan dan iqamah pada waktu Magrib, antara lain: 1. Berdasarkan pemahaman yang dijumpai dalam kitab Matan Abi Syuja’ alMusamma bi al-Gayah wa al-Taqrib karya Ahmad bin al-Husain bin Ahmad Abu Syuja’, bahwa waktu Magrib hanya ada dua, yaitu waktu fadilah dan waktu idhthirar. Waktu fadilah adalah awal waktu masuknya Magrib, sedangkan waktu idhthirar, yaitu setelah lewat awal waktu tersebut. Olehnya itu, untuk menghindari waktu idhthirar, maka shalat Magrib musti dipercepat dengan tidak lagi memberi jeda setelah kumandang adzan. 2. Paham tersebut di atas, dulunya disosialisasikan oleh tiga ulama karismatik di Kota Gorontalo, yaitu almarhum Kiyai Abas Rauf (w.1982) mantan qadi Kota Gorontalo dan almarhum Kiyai Adam Zakaria, serta seorang habib bernama Ahmad al-Masyhur. Secara praktik ketiga ulama tersebut tidak pernah menjalankan shalat qabliyah magrib di masjid. Alasannya karena hukum shalat sunnah sebelum Magrib hukumnya hanya gairu muakkad, dan menjalankan shalat magrib pada awal waktu adalah fadhilah atau suatu keutamaan, maka mengejar keutamaan adalah lebih baik. 3. Tolok ukur dan patokan pelaksanaan praktik ibadah di Gorontalo berkiblat kepada Masjid Agung Baiturrahim dan Masjid an-Nur di kompleks Pasar Tua. Keduanya merupakan basis akselerasi para Kiyai dan Habaib yang ada di Kota Gorontalo sejak dulu, sehingga masjid-masjid lain yang berdiri di Kota Gorontalo umumnya mencontoh model pelaksanaan ibadah yang dijalankan di kedua masjid tersebut, termasuk pelaksanaan adzan dan iqamah pada waktu Magrib. Dengan demikian, berdasarkan berbagai alasan yang dijumpai di atas, menunjukkan bahwa persoalan tidak adanya jeda antara adzan dan iqamah pada waktu Magrib yang selama ini berjalan di masjid-masjid Kota Gorontalo tidaklah dilandasi oleh suatu dalil sama sekali dari dalam nash. Melainkan lebih banyak dipicu oleh sikap membeo pada apa yang mereka dapatkan dan lihat dalam fenomena umum pelaksanaan ritual khususnya yang mereka dapatkan di Masjid Agung Baiturrahim dan Masjid an-Nur. Ditambah lagi dengan adanya upaya memahami persoalan ini berdasarkan pertimbangan akal semata yang kemudian disosialisasikan oleh pihak tertentu lewat kendaraan jabatan strategis di dalam institusi masjid. Kondisi itulah kemudian yang terus berlanjut selama bertahun-tahun hingga terkristalisasi di masyarakat dan dipahami sebagai sebuah produk adat yang hidup di Gorontalo, bahkan berujung pada lahirnya sikap fanatik dari segelintir masyarakat kota.
174
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Problematika Adzan di Kota Gorontalo
Akibatnya, dalam beberapa data ditemukan bahwa ada kesan di tengah masyarakat kota Gorontalo bila ada yang melaksanakan shalat sunnah qabliyah magrib atau tahiyatul masjid setelah adzan dianggap sebagai perbuatan yang janggal/aneh. Lebih dari itu bila ada masjid yang memberlakukan jeda agak lama sesudah adzan Magrib bisa dianggap aliran sesat.21 Namun demikian, terdapat pula beberapa masjid yang sangat terbuka untuk menerima masukan dan siap melakukan perubahan, seperti Masjid alAdna Pulubala, dan Masjid al-Mukhlisin Sipatana. Di mana pada kedua masjid tersebut sudah ada masukan kepada pihak takmir masjid agar memberlakukan jeda sesudah adzan Magrib tapi hal tersebut belum dipraktekkan hingga sekarang, meski telah diberi masukan oleh seorang ustad/dai. Namun, ada pula beberapa masjid yang baru saja mulai merubah kebiasaan tersebut dan sudah memberlakukan jeda di masjidnya, seperti Masjid Besar al-Muhajirin Pulubala dan Masjid Darul Islam Limba U I Kota Selatan. E.
Analisis Pelaksanaan Adzan dan Iqamat Magrib Tanpa Jeda di Masjid-Masjid Kota Gorontalo
Mencermati dari sudut pandang hukum Islam tentang fenomena pelaksanaan adzan dan iqamah tanpa jeda di masjid-masjid Kota Gorontalo, maka dapat dikemukakan beberapa analisis sebagai berikut: 1. Secara redaksional, lafaz adzan yang dikumandangkan dari masjid-masjid Kota Gorontalo mengikuti model lafaz adzan Bilal yang jumlah lafaznya 15 kalimat, yaitu: (4 kali); (2 kali);
(2 kali); (2 kali); (2 kali); (2 kali); (1 kali). Model ini berdasarkan
2.
riwayat yang diperoleh dari Abdullah bin Zaid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara redakasional telah sesuai dengan yang telah diperoleh ketetapannya dari dalam nash. Adapun lafad iqamahnya mengacu kepada pendapat madzhab Syafiiyah dan Hanabilah, yaitu 11 kalimat yang berdasar kepada hadis dari Abdullah bin Umar yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’iy, dan Abu Daud. Pada tataran teknis pelaksanaannya atau mengumandangkannya, dijumpai masih banyak masjid yang memberi tambahan-tambahan lafaz lain sebelum lafaz adzan dikumandangkan yang juga dijaharkan lewat pembesar suara, seperti: lafad basmalah, zikir (tasbih, tahmid, tahlil, dan 21
Ridwan Podungge, Ketua Takmir Masjid Jami’ al-Mubaraq Wumialo Kota Tengah , Wawancara, tanggal 12 Nopember 2013, dan Abdul Samad Danial, Imam Masjid Besar Sabilil Huda Tamalate Kota Timur, Wawancara, tanggal 21 Oktober 2013.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
175
Dulsukmi Kasim
3.
hauqalah) serta shalawat. Bahkan ada yang menambah dengan membaca ayat-ayat tertentu sebelumnya. Demikian pula bacaan basmalah yang dijaharkan lewat pembesar suara sebelum kumandang iqamah. Melihat kedua fenomena tersebut, maka tambahan-tambahan ini tidak dijumpai ketentuan dan sandarannya dari dalam nash, baik riwayat dari Abdullah bin Zaid, atau riwayat dari Abdullah bin Umar, atau riwayat Abi Mahdzurah, maupun riwayat Anas bin Malik. Dari tujuh alasan yang dikemukakan oleh para responden dan narasumber terkait pelaksanaan adzan dan iqamah Magrib tanpa jeda di masjid-masjid kota Gorontalo, tidak ada satupun alasan yang dilandasi dengan dalil dari dalam nash. Adapun alasan bahwa waktu Magrib sempit atau singkat, maka hal ini tidak beralasan sama sekali, sebab waktu Magrib sama dengan waktu shalat yang lain yaitu punya awal dan akhir waktu.22 Bila diestimasi durasi waktu Magrib sampai masuknya waktu Isya sekarang, maka ratarata waktu Magrib berkisar 1 jam lebih, dan ini sangat memadai untuk bisa tetap memberi jeda antara adzan dan iqamah tanpa perlu khawatir berakhirnya waktu magrib. Pandangan ini juga didukung oleh Abdurrahman Abu Bakar Bachmid. Beliau juga menyebutkan bahwa hal ini merupakan perkara sunnah yang masih ditinggalkan oleh umumnya masyarakat di kota Gorontalo.23 Terkait alasan bahwa ini adalah ketentuan adat Gorontalo, maka sesuai konfirmasi dari Ishak Bumulo bahwa fenomena tidak adanya jeda antara adzan dan iqamah pada waktu magrib di masjid-masjid kota Gorontalo bukanlah merupakan aturan atau instruksi adat. Hal itu tidak berada dalam domain adat. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan adat di Gorontalo, boleh jadi yang dimaksud hanya kebiasaan yang umumnya dijumpai di Gorontalo secara turun temurun.24 Adapun alasan dengan merujuk kepada ketentuan waktu Magrib yang terdapat dalam buku Matan Abi Syuja’ al-Musamma bi alGayah wa al-Taqrib karya Ahmad bin al-Husain bin Ahmad Abu Syuja’, 22
Sebagaimana hadis dari Buraidah: ص ﱢل َ » :ُ فَقَا َل لَه،ت الص َﱠال ِة َ َع ِن النﱠبِ ﱢي، ع َْن أَبِي ِه،َع َْن ُسلَ ْي َمانَ ْب ِن بُ َر ْي َدة ِ أَ ﱠن َرج ًُال َسأَلَهُ ع َْن َو ْق،صلﱠى ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم ْ َ َ ﱡ َ َ ﱠ َ َ ُ ُ ُ فَأقَا َم ال َعصْ َر َوال ﱠش ْمس،ُ ث ﱠم أ َم َره، فَأقَا َم الظ ْھ َر،ُ ث ﱠم أ َم َره، َت ال ﱠش ْمسُ أ َم َر بِ َال ًال فَأذن ِ َ فَلَ ﱠما َزال- يَ ْعنِي ْاليَوْ َم ْي ِن- َم َعنَا ھَ َذ ْي ِن ْ َ َ َ َ ُ ُ ﱠ ﱠ ث ﱠم أ َم َرهُ فَأقَا َم،َُاب الشفَق َ ث ﱠم أ َم َرهُ فَأقَا َم ال ِع َشا َء ِحينَ غ، ُت الش ْمس َ ثُ ﱠم أَ َم َرهُ فَأَقَا َم ْال َم ْغ ِر،ٌضا ُء نَقِيﱠة َ ُمرْ تَفِ َعةٌ بَ ْي ِ َب ِحينَ غَاب ْ ﱠ َ َ َ َ ﱠ ْ َ ْ َ ﱡ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ ْ صلى ال َعصْ َر َ َو، فأن َع َم أن يُب ِْر َد بِھَا، فأ ْب َر َد بِھَا، فل ﱠما أن َكانَ اليَوْ ُم الثانِي أ َم َرهُ فأ ْب َر َد بِالظھ ِْر،ْالفَجْ َر ِحينَ طل َع الفجْ َر ُ َُب ثُل ،ث اللﱠ ْي ِل َ َْوال ﱠش ْمسُ ُمرْ تَفِ َعةٌ أَ ﱠخ َرھَا فَو َ صلﱠى ْال ِعشَا َء بَ ْع َد َما َذھ َ َو،ُيب ال ﱠشفَق َ ب قَ ْب َل أَ ْن يَ ِغ َ صلﱠى ْال َم ْغ ِر َ َو، َق الﱠ ِذي َكان َ َ ْ ُ ُ » َو ْق:ال َ َ َ َ َ ْ ﱠ ت ق ، ﷲ ل ُو س ر ا ي ، َا ن أ : ل ج ر ال ل ا ق ف « ؟ ة ﱠال ص ال ت ق و َن ع ل ئ ﱠا س ال ي أ » : ل ا ق م ث ُ ُ ُ َْن َ َ َ ﱠ،«صلﱠى ْالفَجْ َر فَأَ ْسفَ َر بِھَا َ َو ِ َ َ َ ِ ِ َ ِ «ص َالتِ ُك ْم بَيْنَ َما َرأَ ْيتُ ْم َ 23 Abdurrahman Abu Bakar Bachmid, Sekretaris Umum MUI Provinsi Gorontalo, Wawancara, tanggal 7 Nopember 2013. 24 Ishak Bumulo, Wakil Ketua (Wu’u) Pemangku Adat Kota Gorontalo, Wawancara, tanggal 13 Nopember 2013.
176
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Problematika Adzan di Kota Gorontalo
bahwa waktu Magrib hanya ada dua, yaitu waktu fadilah dan waktu idhthirar. Setelah dicek, redaksi yang djumpai adalah:
Artinya: Dan waktu magrib hanya satu (tidak ada awal dan akhir waktu), yaitu terbenamnya matahari dengan estimasi kumandang adzan, lalu berwudhu (dengan sempurna), menutup aurat, kemudian iqamah dan shalat sejumlah 5 rakaat.
4.
Redaksi di atas tidak dilengkapi dengan kutipan dalil dari nas. Kemudian di dalamnya tidak dijumpai pula keterangan bahwa waktu Magrib terbagi kepada waktu fadhilah dan waktu idhthirar. Bahkan, bila dipahami redaksi tersebut dengan seksama sebenarnya menunjukkan bahwa Abi Syuja’ pun masih memahami perlunya jeda sesudah adzan, di mana ia menyebut rangkaian kegiatan yang dilakukan secara berurut di waktu Magrib, yaitu adzan Magrib - berwudhu - menutup aurat - iqamah - shalat fardhu Magrib 3 rakaat - dan shalat ba’diyah Magrib 2 rakaat. Menjalankan shalat sunnah sebelum Magrib (qabliyah) adalah disyariatkan dan memiliki dalil (lihat hadis Anas bin Malik dan Hadis Abdullah bin Mugaffal al-Muzany). Walaupun hukumnya gairu muakkadah tapi bukan berarti Nabi saw. tidak pernah melakukannya atau Nabi saw. tidak mensunnahkan untuk dijalankan. Hanya saja dianjurkan agar durasinya dipersingkat dan tidak dijalankan secara rutin tiap hari. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany, Muhammad bin Shalih alUtsaimin, Sayyid Sabiq dan M. Quraish Shihab. Bahkan, Imam Nawawy dalam kitab Syarah Shahih Muslim sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar al-Asqalany, menyebutkan bahwa pendapat atau anggapan yang mengatakan shalat qabliyah Magrib dapat berakibat mengulur-ulur waktu pelaksanaan shalat magrib dari awal waktunya merupakan asumsi yang tidak logis dan menyalahi sunnah.26 Bahkan di tempat lain ia mengatakan:
25
Ahmad bin al-Husain bin Ahmad Abu Syuja’ Syihab al-Din Abu al-Thayyib al-Ashfahany, Matan Abi Syuja’ al-Musamma bi al-Gayah wa al-Taqrib (Kairo: Alam al-Kitab, t.th.), h. 8. 26 Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary bi Syarh Shahih al-Bukhary, Juz 2 (Cet. 1; Kairo: Dar al-Hadits, 1998), h. 135.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
177
Dulsukmi Kasim
Artinya: Para muhaqqiq madzhab Syafii memilih menguatkan pendapat yang membolehkan mengakhirkan waktu Magrib dari awal waktunya selama belum hilang rona merah di bagian barat, sehingga boleh saja memulai shalat magrib kapan saja selama masih dalam waktu Magrib dan tidak mengapa mengakhirkannya dari awal waktu. Inilah pendapat yang sah atau tepat. Ini berarti bahwa asumsi segelintir masyarakat mengenai model adzan dan iqamah tanpa jeda merupakan ciri khas paham NU yang umumnya Syafi’iyyah dengan sendirinya terbantahkan berdasarkan fakta di atas. Dengan demikian, pelaksanaan adzan dan iqamah Magrib tanpa jeda secara hukum Islam tidak memiliki dasar dan pijakan dalil nash serta sangat kontradiktif dengan himbauan ulama madzhab dan ulama kontemporer Islam lewat karya-karya mereka. Demikian pula kontradiktif dengan kenyataan yang berlaku di Masjidil Haram Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah yang keduanya tetap memberi waktu jeda setelah adzan Magrib masing-masing kurang lebih 8 sampai 10 menit. Olehnya itu, ungkapan Imam al-Shan’any di atas, rasanya tepat dijadikan pertimbangan dan nasehat berharga, yaitu jika tidak ada jeda setelah adzan niscaya sia-sialah adzan dikumandangkan lewat pembesar suara masjid sebab ia disyariatkan untuk memanggil umat Islam yang ada di sekitar masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah di masjid. F.
Kesimpulan
Kondisi umum pelaksanaan adzan dan iqamah pada waktu Magrib di masjid-masjid Kota Gorontalo dapat diklasifikasi menjadi dua model, yaitu masjid-masjid yang memberi jeda setelah adzan Magrib dan masjid-masjid yang tidak memberi jeda setelah adzan Magrib. Model yang tidak ada jeda setelah adzan mayoritas dijumpai, sementara yang ada jeda hanya sebahagian kecil. Redaksi adzan yang dipakai mengikuti adzan Bilal (15 kalimat), dan Iqamah Abi Mahdzurah (11 kalimat). Secara historis fenomena adzan dan iqamah Magrib tanpa jeda tidak dapat dipisahkan dari dua hal: Pertama: sejarah berdirinya masjid-masjid pertama di Gorontalo, yaitu Masjid Sultan Amay 27
Al-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy, Juz 2, h. 123.
178
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Problematika Adzan di Kota Gorontalo
(Hunto), Masjid Sabilil Huda Tamalate, serta Masjid Agung Baiturrahim Gorontalo. Ketiga masjid tersebut menjadi patokan pelaksanaan ritual keagamaan di Kota Gorontalo, khususnya Masjid Agung Baiturrahim; Kedua: kehadiran sosok ulama atau qadhi karismatik yang dulu sangat berpengaruh di Kota Gorontalo dan dijadikan sebagai panutan umat, masing-masing mereka adalah Abas Rauf, Adam Zakariya, dan Habib Ahmad al-Masyhur. Landasan berpikir atau alasan yang melatarbelakangi masyarakat menjalankan model adzan dan iqamah Magrib tanpa jeda di masjid-masjid Kota Gorontalo hanya bersumber dari alasan logika dan tidak didukung oleh dalil nash. Umumnya berdalih waktu Magrib sempit dan singkat, atau karena menjalankan instruksi imam atau takmir, atau kebiasaan yang mereka temui sejak dulu, atau pemahaman ulama yang disarikan dari suatu kitab, serta ketentuan adat Gorontalo. Perspektif hukum Islam, kesemua dalih tersebut bersebelahan dengan konfirmasi nash dan pandangan ulama Islam yang secara tegas menunjukkan disunnahkannya memberi jeda antara adzan dan iqamah tidak terkecuali pada waktu Magrib. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah diperlukan sosialiasasi intensif melalui media dakwah (baik lisan maupun elektronik dan cetak) disertai dengan upaya dialogis yang persuasif secara kontinyu agar budaya ini tidak coba ditarik-tarik menjadi suatu faham keagamaan tersendiri yang diwarisi dari para ulama madzhab, atau coba untuk dialamatkan oleh segelintir orang menjadi ciri khas dari model ritual keagamaan organisasi dakwah tertentu. Sebab pada dasarnya prinsip dasar dalam menjalankan ibadah adalah ittiba’ kepada Nabi saw. dan Salafusshalih, dan hukum asal beribadah adalah haram kecuali ada dalil. Di samping itu, temuan ini sekaligus menjadi media evaluasi serta masukan berharga bagi pihak-pihak terkait, khususnya MUI Kota dan Provinsi Gorontalo, kantor wilayah kementerian agama, serta lembaga dakwah dan ormas Islam yang ada di Kota Gorontalo untuk bahu membahu dan bersinergi meningkatkan kualitas pemahaman keagamaan umat Islam di Kota Gorontalo melalui optimalisasi peran dan fungsi mereka dalam rangka menggalakkan kegiatan taklim atau kajian pengetahuan Islam rutin khususnya kajian fiqh agar animo beribadah masyarakat di Kota Gorontalo bisa ditingkatkan dari mengutamakan seremonial menjadi mengutamakan isi dan pendalaman.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
179
Dulsukmi Kasim
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashfahany, Ahmad bin al-Husain bin Ahmad Abu Syuja’ Syihab al-Din Abu al-Thayyib. Matan Abi Syuja’ al-Musamma bi al-Gayah wa al-Taqrib. Kairo: Alam al-Kitab. Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibnu Hajar. 1998. Fath al-Bary bi Syarh Shahih alBukhary, Juz 2. Cet. 1; Kairo: Dar al-Hadits. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2001. Cet. 9; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Al-Nawawy. 1998. Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy. Juz 2 dan 3. Cet. 3; Kairo: Dar al-Hadits. Sabiq, Sayyid. 1999. Fiqh al-Sunnah, Juz 1. Cet. 2; Kairo: Dar al-Fath li alI'lam al-Araby Shihab, M. Quraish. 2012. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui. Cet. 12; Jakarta: Lentera Hati. Tim Penyusun. 2010. Profil IAIN Sultan Amai Gorontalo Tahun 2010-2011. Gorontalo: IAIN Sultan Amai Press. http://kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2= baiturrahim
180
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am