Fatawa Puasa: Hukum Makan Sahur di Saat Muadzin Sedang Adzan Shubuh Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Semoga Allah selalu menjaga beliau ditanya tentang hukum makan dan minum di saat muadzin sedang mengumandangkan adzan. Beliau menjawab, “Apalabila muadzin mengumandangkan adzannya ketika fajar telah terbit maka tidak boleh makan dan minum sejak awal adzan. Adapun jika muadzin mempercepat adzan sebelum fajar, maka tidak mengapa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bahwasanya Bilal adzan di waktu malam, maka makan dan minumlah hingga adzannya Ibnu Ummi Maktum.” Dan Ibnu Maktum dahulu tidak mengumandangkan adzan hingga ada yang berkata kepadanya, telah masuk waktu shubuh. Karena beliau adalah seorang yang buta sehingga tidak beradzan hingga ada yang berkata kepada beliau ashbahta yakni telah masuk waktu shubuh. Sumber: Website Asy-Syaikh Al-Fauzan
Membeli Televisi Agar Anak Tidak Nonton di Luar Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya, “Wahai Syaikh Kami Semoga Allah memberkahi anda, aku adalah bapak dari seorang pemuda. Dan aku tidak memiliki televisi di rumahku. Tetapi sekarang terkhusus adanya piala dunia, anakanak selalu pergi ke kafe (untuk menonton bola,pen), dan di kafe tersebut tentu saja banyak musibah dan musykilah. Apakah aku boleh memasukkan televisi di rumahku agar aku dapat mengontrol anak-anakku? Asy-Syaikh menjawab, “Tidak boleh, bersihkan rumahmu dari perkara-perkara ini. Dan berusahalah untuk meyakinkan anak-anakmu agar mereka tidak pergi,
dan sibukkanlah mereka dengan sesuatu yang bermanfaat. Jagalah hal ini dan bersabarlah. Semoga Allah membantu kami dan anda dalam urusan ini. Download suara syaikh di sini: [wpdm_file id=6 title=”true” template=”bluebox drop-shadow lifted” ]
FATAWA PUASA IBNU BAAZ (22): MEMANDANG WANITA BUKAN MAHRAM MEMBATALKAN PUASA? Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya tentang seseorang yang sedang berpuasa dengan sengaja memandang wanita ajnabiyah (bukan mahrom) dikarenakan kecantikannya, pakainnya, atau tubuhnya. Apakah perbuatan tersebut membatalkan puasa atau tidak? Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjawab, “Diharamkan atasnya memandang kepada wanita (yang bukan mahrom). Apabila pandangan tersebut disertai syahwat maka keharamannya bertambah dahsyat, (hal ini) berdasarkan firman Allah Ta’ala, {ﻢﻬوﺟﻔَﻈُﻮا ﻓُﺮﺤﻳ وﻢﺎرِﻫﺼﺑ اﻦﻮا ﻣﻐُﻀ ﻳﻴﻦﻨﻣﻮﻠْﻤ ﻟ}ﻗُﻞ “Katakanlah kepada kaum mukminin agar menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan-kemaluan mereka.” (QS. An-Nuur: 30) Dan juga karena mengumbar pandangan merupakan sebab terjadinya perbuatan keji. Maka yang wajib adalah menundukkan pandangan dan terus waspada terhadap sebab-sebab fitnah. Akan tetapi tidak perlu membatalkan puasanya jika tidak sampai mengeluarkan mani. Adapun jika sampai mengeluarkan
mani maka puasanya batal dan wajib atasnya mengganti jika puasanya merupakan puasa wajib. MAJMU’ FATAWA IBNU BAAZ 15/269
FATAWA PUASA IBNU BAAZ (21): Sikap Seorang Wanita Haid yang Suci di Siang Ramadhan
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya tentang seorang wanita haid yang suci di siang hari bulan Ramadhan, apa yang harus dia lakukan? Beliau menjawab: Wajib baginya menahan diri (dari pembatal puasa) menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama. Disebabkan telah hilangnya udzur syar’i (untuk melakukan pembatal puasa). Dan wajib baginya mengganti puasa hari tersebut. Kasusnya sama dengan ketetapan rukyah ramadhan yang baru diketahui di siang hari, maka kaum muslimin wajib menahan diri (dari pembatal puasa) di hari tersebut, dan wajib mengganti hari tersebut menurut mayoritas ahlul ilmi. Seperti juga seorang musafir yang tiba di kampungnya pada siang hari ramadhan, maka wajib baginya menahan diri menurut pendapat yang kuat dari dua pendapat
ulama’, karena udzur safar telah hilang darinya. Dan mengganti puasa hari tersebut (di hari yang lain). Wallau waliyyut Taufiq. MAJMU’ FATAWA IBNU BAAZ 15/193
FATAWA PUASA IBNU BAAZ (20): Tentang Kelakuan Sebagian Orang yang Tidur Sepanjang Hari dan Begadang di Malam Hari Hingga Waktu Shubuh
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya tentang orang yang begadang di malam hari hingga masuk waktu shubuh, kemudian mereka tidur hingga masuk waktu zhuhur, setelah menunaikan shalat zhuhur mereka kembali tidur hingga ashar, dan setelah ashar tidur kembali hingga mendekati waktu berbuka. Pertanyaannya: apa hukum Islam tentang perbuatan semacam ini? Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjawab, “Tidak ada dosa untuk tidur di siang hari atau di malam hari apabila tidak ada kewajiban yang dilalaikan atau
keharaman yang dilanggar. Hanyasaja perkara yang disyari’atkan bagi seorang muslim baik yang sedang berpuasa atau yang tidak berpuasa adalah tidak begadang di malam hari dan hendaknya segera tidur setelah Allah mudahkan ia melakukan Qiyamul Lail. Setelah itu dia bangun untuk makan sahur jika bertepatan dengan bulan ramadhan. Karena makan sahur hukumnya sunnah muakkadah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, « اﻟﺴﺤﻮر ﺑﺮﻛﺔ»ﺗﺴﺤﺮوا ﻓﺈن ﻓ “Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur terdapat berkah.” Hadits ini telah disepakati keshahihannya. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam, «ﺘﺎب أﻛﻠﺔ اﻟﺴﺤﺮ»ﻓﺼﻞ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺻﻴﺎﻣﻨﺎ وﺻﻴﺎم أﻫﻞ اﻟ “Pembeda antara puasa kita (kaum muslimin) dan puasanya ahli kitab adalah dengan makan sahur.” Diriwayatkan Muslim di dalam Shahihnya. Sebagaimana pula diwajibkan bagi orang yang sedang berpuasa dan orang yang tidak berpuasa untuk selalu menjaga shalat lima waktu secara berjama’ah, dan waspada dari melalaikannya baik dengan tidur atau selainnya. Sebagaiman pula diwajibkan bagi orang yang sedang berpuasa atau yang tidak berpuasa melakukan seluruh amalan yang wajib dilakukan pada waktu-waktunya baik itu pekerjaan dinas atau selainnya dan tidak melalaikannya dengan tidur atau selainnya. Demikian pula wajib baginya berupaya mencari rejeki halal yang dibutukan olehnya dan keluarganya, dan tidak melalaikannya dengan tidur atau selainnya. Ringkasnya, wasiatku teruntuk semua orang baik laki-laki atau wanita, yang berpuasa atau yang tidak berpuasa untuk selalu bertakwa kepada Allah Jalla wa ‘Ala dalam setiak keadaan. Dan selalu berusaha mengerjakan kewajiban pada waktunya sesuai dengan yang Allah syari’atkan. Dan hendaknya waspada penuh dari sikap melalaikan kewajiban tersebut baik dengan tidur atau selainnya dari perkara mubah atau selainnya. Apabila kelalaian itu disebabkan suatu maksiat maka dosanya akan bertambah besar, dan kejahatannya semakin agung. Semoga Allah selalu memperbaiki keadaan kaum muslimin, dan memahamkan
mereka tentang urusan agama mereka, dan mengokohkan mereka di atas kebenaran, dan semoga Allah memperbaiki pemimpin mereka. Sesungguh Dia Maha Dermawan dan Maha Mulia. MAJMU’ FATAWA IBNU BAAZ 15/319
FATAWA PUASA BIN BAAZ (19): Wanita Berpuasa Ketika Haid Karena Tidak Tahu Hukum, Apakah Sah Atau Harus Mengganti?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya tentang keadaan seorang wanita yang haid untuk kali pertamanya pada usia 13 tahun. Seperti biasanya dia pun tetap shalat dan puasa dan tidak mengganti puasanya di hari lain karena tidak mengetahui larangan shalat dan puasa ketika haid, dan tidak mengetahui kewajiban mengganti. Hal ini berlangsung sekian tahun lamanya. Pertanyaanya: apakah wajib bagi wanita tersebut mengganti puasanya yang telah lewat selama bertahun-tahun? Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjawab,
Pertama, wanita haid tidak boleh berpuasa dan shalat ditengah-tengah haidnya. Sedangkan apa yang dilakukan oleh wanita yang dikisahkan tadi yaitu berpuasa dan shalat ketika haid merupakan sebuah kesalahan. Wajib baginya bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan. Maka dia tidak mendapatkan keringan karena sebab tidak mengetahui hukum dalam perkara seperti ini, karena sebenarnya dia bisa bertanya. Kedua, wajib atasnya mengganti semua hari yang telah dia lalui ketika haid pada saat ramadhan. Baik itu hanya pada satu bulan ramadhan atau telah berlalu beberapa bulan ramadhan. Tidak sah puasa ketika sedang haid haid. Oleh karena itu dia harus memberi makan setiap harinya satu orang miskin senilai satu setengah kilo makanan negerinya dan sekaligus mengganti puasanya*. *. Maksud dari ucapan Syaikh bin Baaz tersebut adalah, karena wanita itu telah melalaikan mengganti puasa ramadhan di tahun yang sama hingga berganti tahun, maka kewajibannya selain mengganti juga memberi makan satu orang miskin sesuai jumlah hari terjadinya haid. Ini adalah salah satu dari sekian pendapat ulama. (Pen) MAJMU’ FATAWA IBNU BAAZ 15/190
FATAWA PUASA BIN BAAZ (18): Golongan Yang Tidak Wajib Berpuasa
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah ditanya tentang golongan orang-orang yang tidak diwajibkan berpuasa. Maka beliau menjawab: (orang yang tidak wajib berpuasa) adalah orang gila, orang yang hilang akalnya, anak kecil laki-laki dan perempuan yang belum baligh. Adapun wanita haid dan nifas sebenarnya wajib berpuasa, hanyasaja tidak diperbolehkan baginya melakukan puasa di bulan ramadhan dan bulan lainnya ketika sedang haid atau nifas. Wajib bagi keduanya mengganti ketika berbuka pada hari-hari ramadhan. Sedangkan orang yang sakit dan musafir (sedang dalam perjalanan), dibolehkan bagi keduanya berpuasa atau berbuka pada bulan ramadhan, dan berbuka itu lebih afdhal. Dan wajib bagi keduanya mengganti puasa jika berbuka di bulan ramadhan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, {ﺧَﺮ اﺎمﻳ اﻦﺪﱠةٌ ﻣﻔَﺮٍ ﻓَﻌ ﺳَﻠ ﻋوﺎ اﺮِﻳﻀﺎنَ ﻣ ﻛﻦﻣ}و “Dan barangsiapa sedang sakit atau dalam perjalanan maka hitungannya di harihari yang lainnya.” (QS. Albaqarah: 185) Akan tetapi apabila orang yang sakit tersebut sudah tidak ada harapan sembuh dengan pernyataan dari para dokter yang terpecaya maka tidak ada baginya kewajiban berpuasa dan mengganti. Cukup baginya memberi makan setiap hari satu orang miskin, takarannya setengah sho’ nabawi berupa makanan pokok daerahnya sendiri. Kurang lebih satu kilo setengah. Demikian pula kakek tua dan nenek jompo yang sudah tidak sanggup lagi berpuasa. Maka bagi keduanya memberi makan setiap hari satu setengah kilo makanan pokok daerahnya. Tidak ada kewajiban puasa atas keduanya dan tidak ada pula kewajiban mengganti. Diperbolehkan membayar kaffaroh (fidayah) sekaligus dalam satu bulan baik diawal bulan atau di akhir bulan, atau dipertengahan bulan untuk satu orang fakir atau lebih. Demikian pula keadaannya wanita yang hamil dan menyusui, jika berpuasa memberatkan mereka maka boleh untuk berbuka dan wajib mengganti seperti halnya orang yang sakit. MAJMU’ FATAWA IBNU BAAZ 15/176
9 Perkara yang Harus Diperhatikan Oleh Orang yang Berpuasa
Yuk pelajari sembilan perkara yang harus diketahui oleh seorang yang berpuasa… Pertama: Makan sahur. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Makan sahurlah kalian, karena padanya ada berkah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Makan sahur bisa terlaksana dengan jumlah yang banyak dan sedikit, bahkan dengan tegukan air sekalipun. Waktu sahur sejak pertengahan malam hingga terbitnya fajar. Kedua: Mengakhirkan Sahur. Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit Radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kemudian kami melakukan shalat.” Aku (perawi dari Zaid,pen) bertanya, berapakah jarak antara keduanya? “sekitar bacaan lima puluh ayat.” Jawabnya. Ketiga: Menyegerakan berbuka. Ketika telah dipastikan matahari tenggelam disunnahkan seorang yang berpuasa agar segera berbuka. Dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Senantiasa manusia akan berada di dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Keempat: Berbuka dengan beberapa butir ruthob (kurma yang matang sebelum jadi tamar). Jika tidak ada bisa dengan tamar, jika tidak ada bisa dengan tegukan air. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebelum shalat berbuka dengan beberapa butir ruthob, bila beliau tidak memiliki ruthob maka dengan tamar, bila tidak ada tamar dengan beberapa tegukan air.” (HR. Abu Daud) apabila seorang yang berpuasa tidak memiliki apa pun untuk berbuka, maka cukup meniatkan dengan hatinya bahwa dia berbuka.
Kelima: Berdo’a ketika berbuka dan ketika sedang puasa. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Tiga golongan yang tidak akan ditolak do’a mereka, yaitu seorang yang berpuasa hingga berbuka, seorang imam yang adil, dan orang yang terzhalimi.” (HR. Tirmidzi) Keenam: Perbanyak sedekah, membaca alqur’an, memberi bukaan (takjil) orang yang berpuasa, dan amalan-amalan kebaikan lainnya. Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “”Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dalam masalah kebaikan (harta benda), dan sifat dermawan beliau memuncak pada bulan Ramadhan di saat berjumpa dengan Malaikat Jibril. Dahulu Malaikat Jibril senantiasa menjumpai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada setiap malam di bulan Ramadhan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membaca Al Qur’an di hadapannya. Dan beliau bila telah berjumpa dengan Malaikat Jibril, beliau terasa begitu dermawan dalam masalah kebaikan (harta benda) dibanding angin yang berhembus.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ketujuh: Bersungguh dan bersemangat mengerjakan shalat malam, terkhusus pada 10 malam terakhir. Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila memasuki sepuluh malam terakhir, beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan isterinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Hal ini juga masuk dalam keumuman sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Siapa saja menghidupkan malam bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan, akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Muslim)
Kedelapan: Umroh. Hal ini berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Melakukan umrah di bulan ramadhan (pahalanya) setara dengan haji.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Kesembilan: mengucapkan “Aku sedang puasa” bagi orang yang mengejeknya. Hal ini berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “dan apabila pada hari kalian berpuasa janganlah berkata-kata kotor dan jangan berteriak-teriak. Jika ada yang mengejeknya atau mengajak berkelahi, maka jawablah, “sesungguhnya aku sedang puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dari Kitab Al-Fiqhu Al-Muyassar fi Dhau’ Al-Kitab wa As Sunnah, hal 159)
Kenalilah 7 Pembatal Puasa (Syaikh Muhammad bin Shalih AlUtsaimin)
Para pembaca rahimakumullah, pada kesempatan kali ini, marilah kita mengenali tujuh pembatal puasa yang telah dijabarkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam tulisan beliau berjudul Majalis Syahri Ramadhan. Pada pertemuan keempat, Syaikh Al-Utsaimin menjelaskan secara gamblang apa saja perkara-perkara yang dapat membatalkan puasa dan juga konsekuensi yang didapat oleh pelakunya. Berikut penjelasan beliau: Saudaraku fillah, Allah Ta’ala berfirman,
ﻢ اﻟﺨﻴﻂ اﻷﺑﻴﺾ ﻣﻦ اﻟﺨﻴﻂ ﻳﺘﺒﻴﻦ ﻟﻢ وﻛﻠﻮا واﺷﺮﺑﻮا ﺣﺘﻪ ﻟ}ﻓﺎﻵن ﺑﺎﺷﺮوﻫﻦ واﺑﺘﻐﻮا ﻣﺎ ﻛﺘﺐ اﻟ { اﻟﻠﻴﻞاﻷﺳﻮد ﻣﻦ اﻟﻔﺠﺮ ﺛﻢ أﺗﻤﻮا اﻟﺼﻴﺎم إﻟ Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al Baqarah:187) Allah menyebutkan dalam ayat ini pokok-pokok pembatal puasa, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyempurnakan penjelasannya dalam hadits-hadits beliau. Dan pembatal puasa ada tujuh macam: Pertama: Jima’, yaitu masuknya dzakar ke dalam farji. Ini adalah pembatal yang dosanya paling besar. Kapan saja seorang yang berpuasa melakukan hubungan dengan isterinya maka puasanya batal, baik itu puasa wajib atau puasa sunnah. Jika hal itu dilakukan di siang hari ramadhan dan puasanya adalah puasa wajib, maka harus diganti dan membayar kaffaroh mugholazhoh; yaitu membebaskan budak, jika tidak menemukan budak bisa dengan puasa dua bulan berturut-turut, tidak boleh bolong walaupun satu hari selama dua bulan tersebut kecuali ada udzur syar’i seperti bertepatan dengan hari ‘Iedul Fithri, I’edul Adha, dan hari tasyriq yang ada larangan berpuasa. Atau karena udzur hissi, seperti jatuh sakit atau safar yang tidak dibuat-buat hanya untuk berbuka. Tetapi bila dia berbuka tanpa udzur walaupun satu hari saja maka harus mengulang dari awal lagi. Apabila tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut maka dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Setiap orang miskin mendapat jatah setengah kilo sepuluh gram gandum yang baik. Boleh juga dengan beras tapi harus disesuaikan timbangannya, jika beras jenis barangnya lebih berat dari gandum maka ditambahkan takarannya sesuai dengan gandum, jika lebih ringan maka dikurangi takarannya. Dalam sebuah hadits, bahwasanya ada seorang shahabat yang telah melakukan hubungan dengan isterinya di (siang) ramadhan. Lalu dia meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka beliau berkata, “Apakah kamu mendapati budak (untuk dibebaskan)?” orang tadi menjawab, tidak ada. Beliau melanjutkan, “apakah kamu mampu berpuasa dua bulan (berturut-turut)?” orang tadi menjawab, tidak mampu. Kemudian beliau
berkata, “kalau begitu berilah makan enam puluh orang miskin.” (HR. Muslim) Kedua: Keluar mani dengan kehendaknya, baik disebabkan ciuman, sentuhan, masturbasi, atau yang lainnya. Karena semua itu adalah syahwat yang mana puasa tidak akan teranggap kecuali dengan menjauhinya. Hal ini Sebagaimana dalam hadits qudsi, “Dia meninggalkan makannya, minumnya, dan syahwatnya hanya karena Aku.” (HR. Al-Bukhari) adapun ciuman dan sentuhan yang tidak sampai mengeluarkan mani maka tidak membatalkan puasa, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium (isterinya) ketika berpuasa dan mencumbu ketika berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling bisa menahan syahwatnya.” (Muttafaqun ‘alaihi) Dan dari Umar bin Abi Salamah bahwasanya beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Apakah seorang yang berpuasa boleh mencium (isterinya)? Beliau menjawab, “Tanya kepada orang ini” maksud beliau adalah Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah mengkhabarkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melakukan hal itu. Lantas pria tadi berkata, Wahai Rasulullah! Sungguh Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Maka beliau menjawab, “Adapun Demi Allah. Aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian semua.” (HR. Muslim) Apabila seorang yang berpuasa khawatir atas dirinya jika melakukan hal itu akan mengeluarkan mani (Inzal), atau bisa menjerumuskannya kepada perbuatan jima’ disebabkan tidak ada kemampuan mengekang syahwatnya, maka mencium atau yang sejenisnya adalah haram dalam rangka menutup cela terjadinya hal itu dan menjaga puasanya dari kerusakan. Yang semisal dengan ini adalah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bagi seorang yang berwudhu’ agar bersungguh-sungguh dalam melakukan istinsyaq (memasukan air ke dalam hidung) kecuali jika dalam keadaan berpuasa karena dikhawatirkan air bisa masuk ke tenggorokannya. Adapun Inzal (keluar mani) karena bermimpi atau berfikir tanpa ada aktivitas maka tidak membatalkan puasa. Karena bermimpi bukan kehendak orang tersebut, sedangkan berfikir adalah sesuatu yang dimaafkan. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku apa yang terbetik di dalam hatinya, selama hal itu belum direalisasikan dalam bentuk amalan atau perbuatan.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Ketiga: Makan dan minum, yaitu sampainya makanan dan minuman ke tenggorokan melalui mulut dan hidung, dalam bentuk apapun makanan dan minuman itu. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, { اﻟﻠﻴﻞﻢ اﻟﺨﻴﻂ اﻷﺑﻴﺾ ﻣﻦ اﻟﺨﻴﻂ اﻷﺳﻮد ﻣﻦ اﻟﻔﺠﺮ ﺛﻢ أﺗﻤﻮا اﻟﺼﻴﺎم إﻟ ﻳﺘﺒﻴﻦ ﻟ}وﻛﻠﻮا واﺷﺮﺑﻮا ﺣﺘ “Dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al-Baqarah: 187) Dan sa’uth (obat yang dimasukkan ke hidung) masuk dalam kategori makan dan minum, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits Laqith bin Sabirah, “Dan bersungguhlah engkau dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali bila dalam keadaan puasa.” (Diriwayatkan oleh yang lima dan dishahihkan At-Tirmidzi) Adapun mencium aroma-aroma tidak membatalkan puasa. Keempat: Sesuatu yang bermakna makan dan minum, yaitu ada dua: 1. Transfusi darah. Seperti seorang yang berpuasa mengalami perdarahan hebat sehingga membutuhkan transfusi darah. Yang seperti ini membatalkan puasa, karena darah adalah energi puncak dari makan dan minum. (Syaikh Al-Utsaimin berkata, ini adalah pendapat yang dahulu aku pegang. Kemudian tampak bagiku bahwa transfusi darah tidak membatalkan puasa, karena tidak masuk dalam kategori makan minum dan yang semakna dengannya. Hukum asal adalah tetapnya puasa hingga jelas ada sesuatu yang merusaknya.) 2. Suntik infus. Seorang yang diinfus tidak akan butuh kepada makan dan minum. Ini juga membatalkan puasa. Karena walaupun infus tidak disebut makan dan minum, tetapi ia masuk dalam kategori keduanya, sehingga hukumnya juga sama. Adapun suntik biasa tidak membatalkan puasa, baik disuntik melalui otot atau uratnya. Walaupun didapati ada rasa panas ditenggorokannya tetap tidak membatalkan puasa. Karena hal itu tidak disebut makan dan minum atau
semakna dengan keduanya, sehingga hukumnya berbeda. Dan tidak menjadi masalah dengan didapatinya rasa di tenggorokan dari selain makan dan minum. Oleh karena itu para fuqoha’ kita berkata, “Seandainya dia melumuri telapak kakinya dengan buah hanzhol (sejenis labu yang pahit rasanya) dan dia mendapati rasanya di tenggorokan, tidak membatalkan puasa.” Kelima: Keluar darah dengan bekam. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Telah batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam.” (HR. Ahmad) ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad dan kebanyakan fuqoha’ belakangan. Dan semakna dengan bekam ini adalah donor darah dan sejenisnya yang memiliki pengaruh terhadap tubuh seperti halnya bekam. Oleh karenanya, tidak boleh bagi seorang yang berpuasa dengan puasa wajib mengeluarkan darahnya untuk didonor dengan jumlah yang banyak yang berpengaruh terhadap tubuhnya, kecuali dalam keadaan darurat yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan mengambil darahnya dan tidak memudharatkan orang yang berpuasa, maka diperbolehkan karena darurat, dan puasanya batal dan diganti di hari yang lain. Adapun keluarnya darah disebabkan mimisan, batuk, penyakit bawasir, cabut gigi, luka, untuk tes laboratorium, tusukan suntik, dan yang sejenisnya maka tidak membatalkan puasa, karena semua itu bukan termasuk bekam yang dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang. Keenam: Muntah dengan sengaja, yaitu mengeluarkan apa yang ada di lambung berupa makanan atau minuman dari mulut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, «ء ﻓﻠﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﻀﺎء وﻣﻦ اﺳﺘﻘﺎء ﻋﻤﺪا ﻓﻠﻴﻘﺾ»ﻣﻦ ذرﻋﻪ اﻟﻘ “Barangsiapa terkalahkan oleh muntah (muntah tanpa sengaja) maka tidak ada qadha’ atasnya. Dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja hendaknya dia mengqadha’.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima) Muntah yang disengaja membatalkan puasa, biasanya dilakukan dengan mengurut perutnya, merogoh tenggorokannya, mencium aroma tertentu atau melihat sesuatu yang dapat membuatnya muntah, maka semua itu membatalkan puasa. Sedangkan muntah yang terjadi tanpa sebab maka tidak membatalkan puasa. Seandainya dia merasakan ada yang tidak beres dengan lambungnya sehingga akan muntah, maka jangan ditahan. Karena seandainya dia muntah
tidak akan membatalkan puasanya, dengan catatan harus dibiarkan, jangan dimuntahkan dan jangan ditahan. Ketujuh: Keluar darah haid dan darah nifas. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Bukankah wanita apabila sedang haid tidak shalat dan tidak puasa?” kapan saja seorang wanita melihat darah haid atau darah nifas, maka puasanya batal, baik hal itu terjadi di siang hari atau di sore hari, bahkan walaupun beberapa saat sebelum maghrib. Jika seorang wanita merasakan ada darah yang akan keluar dan baru terlihat setelah masuknya waktu maghrib maka puasanya sah dan tidak perlu menqadha. Haram bagi seorang yang berpuasa wajib seperti ramadhan, kaffaroh, dan nadzar melakukan pembatal-pembatal yang telah disebutkan di atas kecuali bila ada udzur yang syar’i seperti sedang safar, sedang sakit, atau udzur lainnya. Karena seorang yang sedang melakukan sesuatu yang wajib harus disempurnakan hingga selesai kecuali bila ada udzur yang dibenarkan. Apabila pembatal-pembatal tersebut dilakukan di siang hari ramadhan tanpa udzur yang dibenarkan, maka wajib baginya untuk menahan diri dari melakukan pembatal puasa di hari tersebut. Jika berbukanya karena udzur yang dibenarkan, maka tidak diharuskan menahan diri. Adapun bila puasanya adalah puasa sunnah, dibolehkan baginya berbuka walaupun tanpa udzur, namun yang lebih utama adalah menyempurnakannya. Diterjemahkan secara bebas dan ringkas.
10 Golongan Manusia Terkait Dengan Puasa Ramadhan. Dari
golongan manakah anda? Pertama: Seorang muslim yang baligh, berakal (tidak gila atau pingsan,pen), mukim (bukan musafir,pen), mampu, dan tidak ada penghalang-penghalang (seperti musafir,pen). Maka wajib bagi golongan pertama ini untuk berpuasa tepat pada waktunya. Berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Allah berfirman, ﺮ اﻟﺸﱠﻬﻢْﻨ ﺷَﻬِﺪَ ﻣﻦﻗَﺎنِ ﻓَﻤاﻟْﻔُﺮﺪَى و اﻟْﻬﻦِﻨَﺎتٍ ﻣﻴﺑﻠﻨﱠﺎسِ وﺪًى ﻟآنُ ﻫ اﻟْﻘُﺮﻴﻪ ﻓﻧْﺰِلﺎنَ اﻟﱠﺬِي اﻀﻣ رﺮ}ﺷَﻬ {ﻪﻤﺼﻓَﻠْﻴ “Bulan Ramadhan yang telah diturunkan padanya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan-penjelasan petunjuk dan pembeda. Maka barangsiapa di antara kalian melihat bulan (hilal,pen) maka hendaknya dia berpuasa.” Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, «»إذا رأﻳﺘﻢ اﻟﻬﻼل ﻓﺼﻮﻣﻮا “Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah.” Dan kaum muslimin telah bersepakat atas wajibnya berpuasa tepat pada waktunya bagi orang yang telah disifatkan di atas. Orang kafir tidak diwajibkan atas mereka berpuasa. Seandainya mereka berpuasa maka tidak akan diterima puasanya tersebut. Apabila seseorang masuk Islam di pertengahan bulan ramadhan, maka tidak diharuskan mengqadha’ puasa pada hari-hari sebelumnya, berdasarkan firman Allah, “Katakanlah kepada orang-orang kafir, jika mereka mau berhenti (dari kekafiarannya) maka niscaya akan diampuni apa yang telah lalu.” Apabila seseorang masuk Islam di siang hari ramadhan, maka dia harus menahan diri dari pembatal-pembatal puasa sampai waktu berbuka. Karena ketika itu dia telah menjadi seorang muslim yang wajib menahan diri dari pembatal-pembatal puasa. Tetapi tidak wajib mengqadha’ puasa hari tersebut, karena dia termasuk yang tidak diwajibkan ketika puasa di mulai (yakni ketika fajar)
Kedua: Anak kecil. Tidak wajib bagi anak kecil berpuasa hingga mencapai usia baligh, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Diangkat pena (beban kewajiban,pen) dari tiga jenis manusia; dari seorang yang tidur hingga terbangun, dari anak kecil hingga dewasa (baligh), dari orang yang gila hingga tersadar.” (HR. Ahmad) Orang tua diharapkan melatih mereka berpuasa dari usia dini agar mereka terbiasa berpuasa ketika telah masuk usia baligh. Dan ini merupakan bentuk kasih sayang orang tua kepada anaknya. Tiga tanda yang dengannya seorang anak laki-laki telah memasuki usia baligh, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Keluarnya mani dengan mimpi atau selainnya. Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan. Mencapai usia lima belas tahun. Ditambah bagi wanita dengan haid. Kapan saja seorang wanita haid, maka dia telah baligh walaupun belum berusia lima belas tahun. Anak kecil yang masuk usia baligh di siang hari ramadhan, apabila sebelumnya dia berpuasa maka hendaknya menyempurnakan puasanya tersebut. Dan apabila dia tidak berpuasa, maka hendaknya menahan diri dari pembatal-pembatal puasa, karena ketika itu dia sudah masuk ke dalam golongan orang yang diwajibkan berpuasa. Akan tetapi tidak diwajibkan mengqadha’ karena ketika fajar mereka belum baligh.
Ketiga: Orang gila, yaitu orang yang hilang akalnya. Tidak diwajibkan atas mereka berpuasa, berdasarkan sabda Nabi, bahwa pena diangkat dari tiga golongan manusia, di antaranya, “dari seorang yang gila hingga tersadar.” Seseorang yang terkadang gila dan terkadang sadar, maka wajib mengqadha’ puasa ketika tersadar. Seseorang yang hilang akalny di siang hari ramadhan, maka puasanya tidak batal jika hal tersebut berlangsung beberapa saat saja. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa puasanya batal. Maka atas dasar ini, tidak ada kewajiban mengqadha’ puasa di hari tersebut. Apabila seseorang baru tersadar di siang hari ramadhan, maka dia diharuskan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa. Karena dia telah menjadi orang yang wajib berpuasa. Dan tidak diharuskan mengqadha’ puasa, karena keadaannya seperti seorang yang masuk Islam di siang hari
ramadhan dan anak kecil yang baligh di siang ramadhan. Keempat: Orang tua yang sering berbicara sendiri seperti anak kecil, yang sudah tidak bisa lagi membedakan. Maka tidak wajib baginya berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah. Karena telah gugur beban darinya disebabkan hilangnya sifat tamyiiz pada dirinya seperti anak kecil. Namun jika terkadang dia memiliki sifat tamyiiz dan terkadang tidak, maka wajib baginya berpuasa ketika ada sifat tamyiiz. Kelima: Seorang yang tidak sanggup berpuasa karena lemah yang berkelanjutan, yang tidak ada harapan sembuh. Seperti orang yang lanjut usia atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, seperti sakit kanker dan sejenisnya. Maka tidak wajib baginya berpuasa, karena sudah tidak mampu. Allah berfirman, “Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.”, Allah juga berfirman, “Tidaklah Dia membebani seseorang kecuali dalam perkara yang dimampui.” Tetapi wajib baginya membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti dari puasa. Boleh memilih antara memberi makan setiap hari satu orang miskin atau sekaligus dalam satu hari. Keenam: Seorang musafir yang tidak menjadikan safarnya sebagai alasan untuk berbuka. Apabila dia meniatkan hal itu (yakni bersafar hanya untuk berbuka), maka berbuka ketika itu haram baginya, dan dia harus tetap berpuasa. Tetapi jika dia tidak memaksudkan hal tersebut, boleh baginya memilih antara berbuka atau tetap berpuasa. Hal ini berlaku baik safarnya karena tiba-tiba untuk kebutuhan tertentu atau safar yang berkelanjutan seperti seorang pilot atau sopir mobil rentalan. Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “maka hendaklah dia berpuasa. Dan barangsiapa yang sakit atau sedang dalam perjalanan, maka diganti di hari-hari yang lain. Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan Dia tidak menginginkan kesulitan bagi kalian”. Dan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, “Kami dahulu bersafar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak ada orang yang berpuasa mengejek orang yang berbuka, dan tidakpula orang yang berbuka mengejek orang yang berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Apabila sopir mobil rentalan merasakan beban yang berat jika berpuasa karena cuaca panas, boleh baginya menunggu musim dingin untuk mengqadha’ puasanya. Yang lebih afdhal bagi seorang musafir adalah melakukan sesuatu yang lebih mudah baginya, berpuasa ataukah berbuka. Jika antara berbuka dan berpuasa sama saja baginya, maka hendaknya dia berpuasa. Karena hal tersebut lebih cepat menyelesaikan kewajiban dan dia akan lebih bersemangat ketika berpuasa bersama dengan kaum muslimin, dan ini merupakan perbuatan Rasulullah. Dalam hadits Abu Darda’ beliau berkata, “Kami keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika Ramadhan pada cuaca yang sangat panas, sampai-sampai ada di antara kami yang meletakkan tangannya di atas kepala karena saking panasnya. Dan tidak ada di antara kami ketika itu yang berpuasa kecuali Rasullah dan Abdullah bin Rawahah.” (HR. Muslim) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah berbuka ketika terdengar kabar bahwa berpuasa memberatkan para shahabat. Dari Jabir Radhiallahu ‘anhu, “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pergi ke Makkah pada Fathu Makkah, dan beliau berpuasa hingga tiba di Kuro’ Ghamim. Saat itu para shahabat juga berpuasa. Lalu ada yang menyampaikan kepada beliau, bahwasanya puasa memberatkan para shahabat, dan mereka masih menunggu apa yang akan engkau perbuat. Maka setelah ashar, beliau meminta satu gayung berisi air, lalu beliau minum dan para shahabat ikut minum. (HR. Muslim) Seorang musafir yang tidak mampu berpuasa hendaknya dia berbuka. Jangan memaksakan untuk berpuasa karena itu bukan kebaikan baginya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk kebaikan yaitu berpuasa ketika safar.” Ini beliau ucapkan ketika ada shahabat yang pingsan disebabkan puasa ketika safar. Apabila seseorang bersafar di siang hari ramadhan, ternyata dia merasakan berat meneruskan puasanya, maka boleh dia berbuka apabila telah keluar dari daerahnya. Apabila seorang musafir tiba di kampungnya pada siang hari Ramadhan dalam keadaan tidak berpuasa, maka tidak diharuskan dia menahan diri dari pembatal-pembatal puasa. Karena tidak ada fungsiny dia menahan diri sedangkan dia diwajibkan mengqadha’. Ini pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal. Namun hendaknya dia tidak makan atau minum di hadapan orang-orang agar
tidak timbul prasangka buruk disebabkan ketidak tahuan mereka. Ketujuh: Orang sakit yang masih ada harapan sembuh. Ini ada tiga keadaan: 1. Tidak merasa keberatan untuk berpuasa dan tidak membahayakannya. Maka berpuasa wajib baginya karena dia tidak termasuk orang yang boleh berbuka. 2. Merasa berat untuk berpuasa dan puasa tidak membahayakannya. Maka hendaknya dia berbuka, berdasarkan firman Allah, “Maka siapa saja di antara kalian sakit atau sedang dalam perjalanan maka hendaknya diganti di hari-hari yang lain.” Dan berpuasa ketika itu adalah makruh baginya, karena hal itu berarti dia tidak melaksanakan keringanan yang Allah berikan, padahal Allah menyukai jika keringanan-Nya dilaksanakan, dan juga ada unsur menyiksa diri. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya Allah menyukai dilaksanakan rukhsah (keringanan)-Nya, sebagaimana dia membenci dilaksanakan kemaksiatan kepada-Nya.” 3. Puasa menimbulkan mudharat. Maka wajib baginya berbuka. Allah berfirman, “dan janganlah kalian membinasakan diri-diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyanyang kepada kalian.” Apabila seorang yang berpuasa jatuh sakit di siang hari ramadhan, dan tidak sanggup melanjutkan puasanya, maka diperbolehkan berbuka. Apabila seorang sembuh dari sakitnya di siang hari ramadhan, maka tidak diharuskan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa. Dan wajib mengqadha’ hari tersebut. Apabila ada keterangan dari dokter bahwa berpuasa dapat memperparah sakitnya atau menunda kesembuhan maka boleh berbuka dalam rangka menjaga kesehatan dan menghindarkan diri dari penyakit. Kedelapan: Wanita haid. Puasa adalah haram bagi mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bukankah jika wanita haid tidak shalat dan tidak puasa? Itulah bentuk kekurangan agamanya.” (Muttafaqun ‘alaihi) Apabila seorang wanita selesai dari haidnya di siang hari ramadhan, maka wajib mengqadha’ puasa di hari tersebut, dan tidak diharuskan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa. Apabila seorang wanita selesai dari haidnya beberapa saat sebelum masuk waktu shubuh, wajib baginya berpuasa. Dan puasanya sah walaupun belum mandi besar.
Hukum wanita nifas sama dengan wanita haid. Wajib bagi keduanya (wanita haid dan nifas) mengqadha’ sesuai dengan jumlah hari yang dia berbuka padanya. Aisyah Radhiallanu ‘anha pernah ditanya, “apa sebab wanita haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat? Beliau menjawab, kami dahulu tertimpa hal itu, dan kami diperintahkan mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi) Kesembilan: Wanita menyusui atau wanita hamil, yang khawatir atas dirinya atau atas anaknya jika berpuasa, maka hendaknya dia berbuka. Berdasarkan hadits Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Allah meletakkan beban separuh shalat bagi seorang musafir, dan (meletakkan beban) puasa bagi seorang musafir, wanita hamil, dan wanita menyusui.” (Dikeluarkan oleh Imam yang lima) Wajib bagi wanita haid dan wanita nifas untuk mengqadha’ puasa sesuai dengan jumlah hari yang dia berbuka padanya. Kesepuluh: Seorang yang membutuhkan makan atau minum untuk menolong orang lain. Seperti menolong orang yang akan tenggelam, dalam kobaran api, tertimbun longsor, atau yang lainnya. Seandainya tidak mungkin menolongnya melainkan dengan berbuka agar tenaga kuat, maka dibolehkan berbuka. Bahkan wajib berbuka, karena menyelamatkan jiwa yang dilindungi dari kebinasaan adalah wajib. Sesuatu yang wajib jika tidak dapat direalisasikan kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib untuk ditempuh. Wajib baginya mengqadha’ hari yang dia berbuka padanya. Seperti itu juga jika seorang membutuhkan kekuatan untuk berjihad melawan musuh, maka diperbolehkan berbuka, baik peperangan tersebut berlangsung di luar daerahnya (musafir) atau di daerahnya sendiri. Karena pada peperangan tersebut ada upaya membelah kaum muslimin dan meninggikan kalimat Allah di muka bumi. Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu, “Kami bersafar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ke kota Makkah dalam keadaan kami berpuasa. Kemudian beliau berhenti di sebuah tempat dan berkata, ‘sesungguhnya kalian telah dekat dengan musuh-musuh kalian, dan berbuka lebih menguatkan kalian.’ Seruan pertama ini masih berbentuk rukhsoh sehingga di antara kami masih ada
yang berpuasa dan ada yang berbuka. Kemudian kami berhenti di tempat berikutnya dan beliau berkata, ‘Sesungguhnya kalian akan mendatangi musuhmusuh kalian dan berbuka lebih menguatkan kalian, maka berbukalah.’ Ini adalah keharusan dan kami pun berbuka.” (HR. Muslim) Diringkas dari Majalis Syahri Ramadhan Syaikh Shalih Al-Utsaimin pertemuan yang keenam. Semoga bermanfaat