Fatawa Puasa Bin Baaz (17): Hukum Menyiasati Agar Tidak Terkena Kaffaroh
Pertanyaan dari Dammam: Suatu hari kami mengadakan majelis bersama beberapa teman, pembicaraan kami ketika itu seputar puasa dan pembatalpembatal puasa. Ada seorang teman menyampaikan, bahwasanya dia mendengar temannya berkata, sesungguhnya seseorang yang berpuasa kalau sudah terpaksa ingin melakukan hubungan dengan isterinya di siang hari ramadhan, lalu dia berbuka terlebih dahulu dengan makan atau minum, maka dia tidak terkena kaffaroh yang diwajibkan bagi orang yang melakukan hubungan di siang hari ramadhan. Apakah yang diucapkan oleh orang ini benar? Narju al-ifadah Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz menjawab: Ini adalah ucapan yang batil, ucapan yang tidak benar. Kewajiban seorang muslim adalah mewaspadai perbuatan jimak pada siang hari ramadhan jika dia seorang yang mukim dan sehat. Demikian pula seorang wanita apabila dia sedang mukim dan sehat. Adapun seorang musafir, maka tidak mengapa dia melakukan hubungan dengan isterinya yang musafir juga. Demikian pula seorang yang sakit dengan isteri yang sakit jika keduanya kesulitan melakukan puasa. Wallahu waliyyu at-taufiq
Fatawa Puasa Bin Baaz (16): Hukum Menjimak Isteri Yang Sedang Puasa Qadha’ (Mengganti Puasa Ramadhan)
Pertanyaan dari Mesir: Ada seseorang baru pulang dari safar yang panjang, dan dia mendapati isterinya sedang berpuasa qadha’. Akan tetapi lelaki tersebut tidak mampu mengekang hawa nafsunya, sehingga dia pun melakukan hubungan dengan isterinya tanpa keridhaan isterinya tersebut. Denda apakah yang didapat oleh keduanya? Berilah kami fatwa semoga Allah membalas anda dengan sebaikbaik balasan. Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz menjawab: Wajib bagi si suami bertaubat kepada Allah Subhanahu, yaitu dengan menyesali apa yang telah dia perbuat dan bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan itu dalam rangka mengagungkan Allah Subhanahu, dan (dalam rangka) mewaspadai ancaman-Nya. Adapun wanita tersebut, apabila karena terpaksa maka tidak ada denda apa pun atasnya dan puasanya sah. Sedangkan jika ada unsur bermudah-mudahan (melakukan hal tersebut) bersamanya, maka wajib baginya mengqadha’ hari tersebut dan bertaubat. Namun tidak ada kaffaroh atasnya. Wallahu waliyyu attaufiq
Fatawa Puasa Bin Baaz (15): Hukum Seorang Musafir Menjimak Isterinya Di Siang Ramadhan
Pertanyaan: Apa hukum berjimak pada siang hari ramadhan bagi seorang yang berpuasa? Dan apakah boleh bagi seorang musafir yang berbuka menjimak isterinya? Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz menjawab: Wajib bagi orang yang berjimak di siang hari ramadhan dalam keadaan dia berpuasa wajib untuk membayar kaffaroh, yang saya maksudkan adalah kaffaroh zhihar, dan juga menqadha’ hari tersebut, serta bertaubat kepada Allah Subhanahu dari apa yang telah dia perbuat. Adapun seorang musafir atau orang yang sedang sakit dengan bentuk sakit yang membolehkan dia berbuka maka tidak ada kaffaroh dan tidak ada dosa atasnya. Dan wajib atasnya mengqadha’ hari yang dia melakukan jimak padanya. Karena seorang yang sakit dan musafir boleh berbuka dengan jimak atau selainnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu, {ﺧَﺮ اﺎمﻳ اﻦﺪﱠةٌ ﻣﻔَﺮٍ ﻓَﻌ ﺳَﻠ ﻋوﺎ اﺮِﻳﻀ ﻣﻢْﻨﺎنَ ﻣ ﻛﻦ}ﻓَﻤ “Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan maka hendaknya mengganti di hari-hari yang lain.”
Dan hukum bagi wanita dalam hal ini sama seperti hukum bagi laki-laki. Jika puasanya adalah puasa wajib, maka wajib membayar kaffaroh dan mengqadha’. Tetapi jika dia sedang safar atau sakit yang sulit baginya berpuasa, maka tidak ada kaffaroh atasnya.
Fatawa Puasa Bin Baaz (14): Menjimak Isteri Berulang Kali Di Siang Hari Ramadhan Karena Tidak Mengetahui Hukum
Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, kepada saudara yang mulia …… Waffaqahullah li kulli khairin, amin. Telah sampai tulisan anda dan semoga Allah menyampaikan anda kepada petunjuk-Nya, yang berisikan pertanyaan tentang sebuah kasus yang menimpah anda dalam keadaan anda tidak mengetahui hukumnya. Yaitu anda telah menjimak isteri anda di siang hari ramadhan ketika sedang berpuasa, dan hal itu terjadi beberapa kali. Kemudian setelah itu anda mendengar bahwasanya tidak
boleh berjimak ketika sedang puasa. Dan keinginan anda terhadap fatwa adalah sesuatu yang maklum. Jawab: Tidak diragukan lagi bahwasanya Allah mengharamkan atas hamba-Nya di siang hari ramadhan untuk makan, minum, jimak, dan melakukan semua yang dapat membatalkan puasa seseorang. Dan Allah mewajibkan bagi seorang yang berjimak di siang hari ramadhan, dalam keadaan dia seorang mukallaf, sehat, mukim, tidak sedang sakit dan tidak sedang bersafar, untuk membayar kaffaroh; yaitu membebaskan budak, bila tidak mendapati budak maka dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, bila tidak mampu maka dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Setiap orang miskin mendapat jatah setengah sha’ (kurang lebih satu setengah kilogram) dari makanan pokok negerinya. Adapun orang yang berjimak di siang hari ramadhan, dan dia termasuk orang yang diwajibkan berpuasa karena sudah baligh, sehat, mukim, tetapi dalam keadaan jahl (tidak mengerti hukum) seperti yang terjadi pada anda, maka dalam hal ini terjadi silang pendapat di antara ulama’. Sebagian mereka berpendapat, wajib membayar kaffaroh karena ada sikap menganggap remeh yaitu dengan tidak bertanya dan tidak mendalami agama. Sedangkan sebagian yang lain menyatakan, tidak ada kaffaroh atasnya dikarenakan dia jahil (tidak tau hukum). Dengan pemaparan ini dapat anda ketahui bahwa yang lebih selamat adalah anda membayar kaffaroh, dikarenakan sikap meremehkan dari anda dan tidak mau bertanya tentang perkara-perkara yang diharamkan sebelum anda melakukan apa yang telah anda lakukan. Apabila anda tidak mampu memerdekakan budak dan berpuasa, maka cukup memberi makan enam puluh orang miskin dari setiap hari yang anda berjimak padanya. Jika anda berjimak selama dua hari maka anda membayar dua kaffaroh, jika anda berjimak selama tiga hari maka anda membayar tiga kaffaroh, dan demikian seterusnya, setiap jimak dalam satu hari membayar satu kaffaroh. Adapun beberapa kali jimak dalam satu hari maka cukup di bayar satu kali kaffaroh. Ini lah sikap yang lebih baik dan lebih berhati-hati bagi anda, dalam rangka terbebaskan dari kewajiban, keluar dari khilaf ulama, dan menambal puasa anda. Apabila anda tidak ingat berapa hari anda melakukan jimak, maka lakukanlah bilangan yang lebih berhati-hati yaitu mengambil yang lebih banyak. Bila anda ragu apakah tiga hari atau empat hari, maka ambillah yang empat hari dan demikian seterusnya. Tetapi tidaklah anda memilih kecuali yang memang anda
yakini dengan pasti. .ﻪ وﺑﺮﻛﺎﺗﻪﻢ ورﺣﻤﺔ اﻟ واﻟﺴﻼم ﻋﻠﻴ. وﺑﺮاءة اﻟﺬﻣﺔ،ﻪ وإﻳﺎك ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ رﺿﺎهوﻓﻘﻨﺎ اﻟ
Fatawa Puasa Bin Baaz (13): Seorang Isteri Dipaksa Berjimak Oleh Suami, Apakah Wajib Membayar Kaffaroh?
Pertanyaan: Seorang suami menyetubuhi isterinya pada siang Ramadhan, dan dia telah membayar kaffaroh dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Apakah wajib bagi isterinya membayar kaffaroh atau tidak? Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjawab, “Bismillah walhamdulillah, bagi isteri sama seperti suaminya, jika (dia melakukan hal itu) karena tidak ada paksaan. Apabila dia tidak mampu (berpuasa dua bulan berturut-turut) maka memberi makan enam puluh orang miskin. Takarannya adalah setiap orang miskin setengah sho’ (satu setengah kilo gram). Adapun jika karena suami memaksanya dengan kekuatan, atau pukulan keras, maka tidak ada kaffaroh atasnya. Hanyalah suami yang menanggung dosanya. Tetapi jika ada unsur bermudah-mudahan dari seorang isteri, maka wajib atasnya membayar kaffaroh seperti suami, sama persis.
Fatawa Puasa Bin Baaz (12): Hukum Berjimak (Melakukan Hubungan Suami Isteri) Ketika Puasa
Pertanyaan: Seorang suami berjima’ dengan isterinya di mulai sebelum terbitnya fajar. Dan keduanya terus melakukannya sampai fajar terbit. Denda apa yang dikenakan atas keduanya? Jazakumullahu Khairan Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjawab, “Wajib bagi keduanya bertaubat dan membayar kaffaroh; yaitu membebaskan budak, bila keduanya tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, bila keduanya tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin. Setiap orang miskin separuh sho’ (2 cakupan tangan) dari makanan pokok daerahnya, kurang lebih satu setengah kilo gram. Dan atas keduanya selain kaffaroh yang disebutkan adalah mengqadha’ hari yang disitu terjadi jima’. Semoga Allah memperbaiki keadaan keduanya.
Fatawa Puasa Bin Baaz (11): Hukum Mencium dan Mencumbu Isteri Ketika Puasa
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata, apa yang telah anda sebutkan bahwasanya telah terjadi percumbuan antara anda dan isteri anda pada siang Ramadhan. Hal itu berlangsung hingga anda sudah mengambil posisi di antara empat bagian tubuhnya (kedua tangan dan kedua paha,pen), memeluknya dan menciumnya, sampai mengeluarkan madzi karena hal itu. Hanya saja anda tidak sampai memasukkannya (memasukkan timba ke dalam sumur;jima’, pen). Dan bahwasanya hal itu berlangsung sampai enam hari atau tujuh hari. Yang anda tanyakan adalah tentang keabsahan puasa anda? Beliau menjawab, Dalam permasalahan ini ada silang pendapat di antara para ulama’. Sebagian mereka berpendapat batal puasanya disebabkan keluar madzi, sebagian yang lain berpendapat puasanya sah. Yang benar insya Allah bahwa puasanya tetap sah, dan anda berdua tidak perlu mengqadha’nya. Akan tetapi seorang mukmin hendaknya menjaga diri dari hal-hal yang dapat mengeluarkan madzi; baik dengan mencium, memeluk, atau yang sejenisnya. Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “Bahwasanya beliau mencium dan mencumbu ketika puasa.” Aisyah berkata, “Akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa mengekang syahwatnya.” Dan diriwayatkan pula dari beliau bahwa ada dua orang yang bertanya tentang mencium (isteri,pen) ketika puasa. Maka beliau melarang kepada salah satunya,
dan mengijinkan kepada yang satunya. Perawi berkata, “Kami perhatikan, ternyata orang yang diijinkan tersebut adalah seorang yang telah berumur, sedangkan yang dilarang masih berusia muda.” Maka dari riwayat ini para ulama’ mengambil kesimpulan bahwasanya mencium dan mencumbu hukumnya makruh bagi pemuda dan yang semisal dengan mereka dari orang-orang yang mudah terbakar syahwatnya disebabkan perbuatan tersebut. Dikhawatirkan atasnya terjatuh kepada perbuatan haram. Adapun orang yang tidak dikhawatirkan hal tersebut (seperti orang tua yang telah meredup syahwatnya,pen) maka tidak makruh. Wallahul muwaffiq ***
Fatawa Puasa Bin Baaz (10): Hukum Berjabat Tangan Kepada Wanita Yang Bukan Mahrom Ketika Puasa
Pertanyaan: Apa hukum seseorang yang berjabat tangan dengan seorang wanita yang bukan mahrom atau berbicara dengannya di siang hari ketika sedang berpuasa dan wanita tersebut juga berpuasa. Apakah perbuatan ini membatalkan puasa atau hanya mengurangi pahala saja? Kami mengharap kan bimbingan. Dan apakah dia terkena kaffaroh?
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjawab: Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” Dan Aisyah berkata, “Demi Allah, sama sekali tidak pernah tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita lain . Tidaklah beliau membai’at mereka melainkan dengan ucapan saja.” Yang dimaksud ‘Aisyah adalah wanita yang bukan mahram. Adapun wanita yang mahram seperti saudara wanita dan bibi maka tidak mengapa berjabatan dengannya. Adapun berbicara dengan wanita selain mahram, maka tidak mengapa jika pembicaraannya sebatas perkarah mubah, tidak ada unsur tuduhan dan kecurigaan. Seperti dia bertanya tentang anak-anaknya, bapaknya, atau bertanya tentang kebutuhannya sebagai seorang tetangga atau kerabat, yang seperti ini tidak mengapa. Adapun jika pembicaraannya menjurus kepada sesuatu yang rusak, zina, janji zina, tentang syahwat, atau meminta untuk dibuka sedikit dari pakaiannya agar dia bisa melihat salah satu bagian tubuhnya maka semua ini tidak boleh. Jika percakapan tersebut disertai penghalang dan hijab, dan jauh dari perkara yang mencurigakan, dan dari syahwat maka tidak mengapa. Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah berbicara dengan kaum wanita, dan kaum wanita berbicara dengan beliau. seperti ini tidak mengapa dan puasanya tetap sah. Berjabatan tangan tidak mempengaruhi keabsahannya. Demkian pula berbincang tidak mempengaruhi keabsahannya, jika tidak keluar sesuatu darinya (mani,pen) dengan sebab itu. Apabila keluar sesuatu (mani,pen) maka wajib mandi dan puasanya batal. Wajib baginya mengqadha jika itu puasa wajib. Kewajiban seorang mukmin adalah waspada terhadap perkara yang telah Allah haramkan kepadanya. Tidak berjabat tangan dengan wanita yang tidak halal baginya, dan tidak berbincang dengannya disertai syahwat atau melihat kepada tubuhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, {َﻮنﻨَﻌﺼﺎ ﻳ ﺑِﻤ ﺧَﺒِﻴﺮﻪنﱠ اﻟ اﻢ ﻟَﻬزْﻛﻚَ ا ذَﻟﻢﻬوﺟﻔَﻈُﻮا ﻓُﺮﺤﻳ وﻢﺎرِﻫﺼﺑ اﻦﻮا ﻣﻐُﻀ ﻳﻴﻦﻨﻣﻮﻠْﻤ ﻟ}ﻗُﻞ “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman agar menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Hal itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengawasi apa yang mereka lakukan.” Maka menjaga diri dari berbagai sebab kejelekan adalah wajib bagi seorang
mukmin di mana pun dia berada. ﻪ ﻟﻨﺎ وﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ اﻟﺴﻼﻣﺔ واﻟﻌﺎﻓﻴﺔ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺳﻮءﻧﺴﺄل اﻟ MAJMU’ FATA IBNU BAAZ 15/271
Fatawa Puasa Bin Baaz (9): Hukum Onani dan Keluar Madzi Ketika Puasa
Hukum Onani Ketika Puasa Pertanyaan: Ada seorang pemuda yang berpuasa melakukan onai pada siang hari, apa yang harus dia lakukan? Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjawab: Melakukan onani di siang hari puasa membatalkan puasa apabila dia secara sengaja melakukannya dan mengeluarkan mani. Wajib baginya mengganti puasa jika itu puasa wajib, dan wajib baginya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena onani tidak boleh dilakukan ketika sedang puasa dan ketika tidak puasa. Perbuatan itu biasa disebut oleh manusia dengan adat sirriyah (kebiasaan tersembunyi, pen). MAJMU’ FATAWA IBNU BAAZ 15/267 =========================
Keluar Madzi Dengan Syahwat * Madzi adalah cairan lendir berwarna bening yang keluar dari kemaluan ketika membayangkan atau melihat sesuatu yang merangsang syahwatnya, dan keluarnya tidak disertai kenikmatan. Pertanyaan: Apabila seseorang mencium ketika sedang berpuasa, atau menyaksikan film-film porno kemudian keluar madzi, apakah wajib baginya mengqadha’ puasanya? Dan apabila hal itu terjadi di beberapa waktu yang berbeda (tidak setiap hari,pen) apakah menggantinya harus berturut setiap hari atau selang seling? Jazakumullahu khairan ‘an ummatil islam khairal jaza’. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjawab, “Keluarnya madzi tidak membatalkan puasa menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat ulama’, baik keluarnya disebabkan mencium isteri atau menyaksikan film-film, atau perkara lainnya yang dapat membangkitkan syahwat seseorang. Akan tetapi tidak boleh bagi seorang muslim melihat film-film porno, dan tidak boleh mendengar lagu-lagu dan musik yang telah Allah haramkan. Adapun keluarnya mani dengan syahwat, maka membatalkan puasa baik karena bercumbu, mencium, memandang, atau sebab-sebab lainnya yang dapat membangkitkan syahwat seperti onani dan sejenisnya. Adapun karena mimpi atau berpikir maka tidak membatalkan puasa, walaupun mani itu keluar karena sebab keduanya. Dan mengqadha’ puasa ramadhan tidak diharuskan berurutan. Bahkan boleh dipisah-pisah, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, {ﺧَﺮ اﺎمﻳ اﻦﺪﱠةٌ ﻣﻔَﺮٍ ﻓَﻌ ﺳَﻠ ﻋوﺎ اﺮِﻳﻀ ﻣﻢْﻨﺎنَ ﻣ ﻛﻦ}ﻓَﻤ “Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan maka hendaknya diganti di hari-hari yang lain.” MAJMU’ FATAWA IBNU BAAZ 15/269
Fatawa Puasa Bin Baaz (8): Hukum Gosok Gigi dan Tetes Telinga, Hidung, dan Mata Pada Saat Puasa
Pertanyaan: Apa hukum penggunaan pasta gigi, tetes telinga, tetes hidung, dan tetes mata bagi orang yang berpuasa? Dan apabila seseorang yang berpuasa mendapati rasanya di tenggorokannya apa yang harus dia lakukan? Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz menjawab: Membersihkan gigi dengan pasta gigi tidak membatalkan puasa seperti halnya siwak, tapi harus berhati-hati agar tidak ada yang masuk ke tenggorokannya, apabila ternyata ada yang masuk tanpa sengaja dan dia tidak kuasa menahannya, maka tidak perlu mengqadha’. Demikian pula obat tetes mata dan telinga tidak membatalkan puasa menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama’. Seandainya orang tersebut mendapati rasa di tenggorokannya, maka mengganti puasa lebih bagus akan tetapi tidak wajib. Karena keduanya (mata dan telinga, pen) bukan tempat yang dipakai untuk makan dan minum. Adapun obat tetes hidung ini tidak boleh, karena hidung termasuk tempat untuk menyalurkan makanan, oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Dan bersungguh-sungguhlah di dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke hidung ketika berwudhu’, pen) kecuali jika engkau sedang berpuasa.” Oleh karenanya, wajib bagi orang yang melakukan hal ini mengganti puasanya berdasarkan hadits tadi. Dan yang serupa dengannya jika dia mendapati suatu rasa di tenggorokannya. اﻟﺘﻮﻓﻴﻖﻪ وﻟواﻟ
Diterjemahkan sebisanya dari MAJMU’ FATAWA IBNU BAAZ 15/261 ==================================== Pertanyaan: Apakah dibolehkan bagi seseorang menggosok gigi pada saat puasa? Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz menjawab: Tidak mengapa, hanyasaja perlu dijaga agar tidak ada yang tertelan, sebagaimana halnya disyariatkan bersiwak bagi seorang yang berpuasa di pagi hari sampai sore hari. Sebagian ulama’ berpandangan makruh bersiwak setelah zawal (dimulai masuknya waktu zhuhur, pen) tapi ini pendapat yang marjuh (lemah/tertolak,pen), pendapat yang kuat adalah tidak makruh, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Siwak sebagi pembersih mulut dan dicintai oleh Allah.” Diriwayatkan oleh An-nasa’i dengan sanad yang shahih dari Aisyah Radhiallahu ‘anha. Dan berdasarkan sabda beliau, “Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku, niscaya aku akan perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan shalat.” Muttafaqun ‘alaihi. (Shalat dalam hadits ini) mencakup shalat zhuhur dan ashar, dan keduanya dilakukan setelah zawal. اﻟﺘﻮﻓﻴﻖﻪ وﻟواﻟ Diterjemahkan sebisanya dari MAJMU’ FATAWA IBNU BAAZ 15/262