1
Persepsi Masyarakat Non Muslim Terhadap Kumandang Adzan Shubuh (Suatu Penelitian di Kelurahan Malendeng Kecamatan Tikala Kota Manado)
Rosdalina dan Mutmainah ABSTRAK Dalam penelitian ini permasalahan yang diangkat adalah bagaimanakah persepsi masyarakat non muslim terhadap kumandang adzan shubuh di kelurahan Malendeng kecamatan Tikala kota Manado. Tujuannya untuk mengetahui persepsi masyarakat non muslim terhadap kumandang adzan shubuh di kelurahan malendeng kecamatan tikala kota manado. Populasi yang diambil adalah seluruh masyarakat non muslim di wilayah Kecamatan Tikala, dimana sampel yang diambil adalah masyarakat non muslim di wilayah Kel. Malendeng. Instrumen yang digunakan untuk menjaring data adalah berupa angket tertutup yang berisi pertanyaan-pertanyaan berjumlah 30 item. Selanjutnya data yang dijaring melalui angket tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dengan persentase. Berdasarkan hasil analisis data, maka diperoleh persepsi masyarakat non muslim terhadap kumandang adzan shubuh di kelurahan malendeng kecamatan tikala kota manado berdasarkan indikator persepsi pada umumnya menyatakan setuju, sesuai, dan senang. Jadi dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat non muslim memiliki persepsi yang baik terhadap pelaksanaan kumandang adzan shubuh. Terkait dengan hal tersebut, disarankan kepada masyarakat non muslim agar meningkatkan persepsinya kearah yang lebih baik terhadap pelaksanaan kumandang adzan shubuh sebagai salah satu pertanda pelaksanaan ibadah bagi umat islam, sehingga tercipta kerukunan beragama antara masyarakat muslim dan non muslim. Kata Kunci
: Persepsi, Kumandang adzan shubuh
A. Pendahuluan Manado merupakan salah kota di Provinsi Sulawesi Utara sekaligus merupakan ibu kota Propinsi. Daerah ini memiliki masyarakat yang sangat heterogen.
2
Berbagai etnis masyarakat di kota ini diantaranya Minahasa, Sanger, Papua, Jawa, Makassar, Bugis, Batak Minang, Ternate, Ambon dan China. Kaenekaragaman etnis tersebut tentunya membutuhkan aturan hukum yang mengatur setiap individu. Hubungan individu ini ketika berinteraksi satu sama lainnya berakibat pada berbagai aspek diantaranya adalah pada hubungan beragama. Hubungan beragama sangat perlu dijaga yang sering diistilahkan dengan toleransi ummat beragama. Sehingga jika hubungan tersebut dijaga dengan sebaik-baiknya akan berdampak pada kehidupan masyarakat yang aman, tentram, sejahtera dan damai. Salah satu hal yang terpenting perlu dijaga dalam hubungan beragama adalah tentang ajaran yang terkandung pada masing-masing agama. Diantaranya adalah konsep ajaran Islam tentang Shalat, dimana sebelum ummat Islam menjalankan ibadah shalat lima waktu itu terlebih dahulu dikumandangkan adzan pada setiap waktu shalat. Kumandang adzan tersebut merupakan tanda bagi kaum muslimin bahwa telah masuk waktu shalat. Shalat tersebut bisa saja dilaksanakan di rumah masing-masing secara berjamaah ataukah di tempat ibadah yaitu masjid. Islam merupakan salah satu agama yang berada di Kota Manado. Kata Islam berasal dari kata aslama artinya berserah diri. Agama yang benar menurut Allah adalah Islam. Ia tidak hanya berarti kedamaian, keselamatan, berserah diri kepada Allah, tetapi juga berarti berbuat kebajikan. Sedangkan orang-orang yang mengakui agama Islam disebut muslimin.1 Dalam Islam dikenal adanya prinsip amal lahiriah yang salah satu diantaranya adalah Shalat. Allah Swt berfirman: Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Dan juga sabda Nabi SAW. 11
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Cet IV, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 3
3
Shalat adalah tiang agama. Ketahuilah bahwa ketika engkau shalat, engkau sedang bermunajat kepada Tuhanmu. Oleh karena itu, perhatikanlah bagaimana engkau shalat. Peliharalah tiga hal supaya engkau termasuk orang-orang yang menjaga dan mendirikan shalat. Karena sesungguhnya Allah menyuruh untuk mendirikannya.2 Islam hanya mengenal dua jenis masyarakat yaitu masyarakat Islami dan masyarakat Jahiliyah. Masyarakat Islami adalah masyarakat yang menerapkan Islam dari segi akidah, ibadah, syariat, sistem, etika dan perilaku, dan masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang tidak menerapkan Islam, tidak diatur oleh akidah dan visi Islam, nilai, sistem, syariat, etika, dan perilakunya.3 Masyarakat
Islami
yang dikemukakan
di
atas,
hendaknya
mampu
menjalankan syariat dan konsep Islam secara sempurna. Menjalankan ajaran agama yang dimaksud sangat terkait erat dengan hubungan sosial kemasyarakatan. Sebab manusia sebagai makhluk sosial pasti berinteraksi satu sama lain. Hubungan kemasyarakatan ini pula terkait dengan hubungan beragama. Masyarakat muslim Manado hidup berdampingan dengan beranekaragam suku, agama, dan budaya. Tentunya dalam melakukan hubungan sosial dan berinteraksi satu sama lain memerlukan sebuah sikap saling menghormati, menghargai, dan mengamalkan masing-masing ajaran yang mereka anut. Sebab, semua agama pasti menghendaki perdamaian, ketertiban, toleransi dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. Dalam ajaran Islam, hubungan beribadah itu terbagi dua yaitu hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Hubungan vertikal merupakan sebuah hubungan antara hamba dengan sang Khalik. Sedangkan hubungan horizontal itu adalah hubungan manusia dengan sesama manusia (hubungan sosial). Salah satu bentuk atau bagian dari hubungan vertikal itu adalah bentuk ibadah Shalat. Dalam Islam diatur
2 3
Imam Al-Ghazali, 40 Prinsip Agama, Cet. I, (Bandung: Pustaka Hidayah), h. 33 Ali Syu’aibi, Gils ibil, Meluruskan Radialisme Islam, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Azhary), h. 28
4
bahwa tanda masuknya shalat bagi kaum muslimin adalah adzan. Adapun waktu adzan itu pada setiap masuknya shalat yaitu shalat Shubuh, Dhuhur, Ashar, Magrib, dan Isya. Kumandang adzan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat muslim yang mengingatkan bahwa segala aktivitas hendaknya dihentikan sejenak dan dilanjutkan dengan shalat. Akan tetapi dengan keberagaman keberagamaan di kota Manado, kumandang adzan khususnya adzan shubuh dinilai positif dan juga mungkin dinilai negatif bagi masyarakat yang non muslim. Dalam syariat Islam bahwa kumandang adzan harus dilakukan pada tiap waktu shalat fardhu. Salah satu waktu shalat yang menjadi objek penelitian adalah shalat shubuh. Waktu adzan shubuh itu bisa dikumandangkan sebelum waktu shalat tiba. Sebagaimana diketahui bahwa ketika muadzin mengumandangkan adzan masyarakat sekitar masjid (baik muslim ataupun non muslim) masih terlelap tidur. Hal ini tentunya bisa mengganggu waktu istirahat mereka. Apalagi ditambah dengan suara muadzin yang keras. Sebab, memang dalam ajaran Islam dianjurkan kepada muadzin untuk mengeraskan suaranya ketika adzan. Hal ini bertujuan untuk membangunkan jamaah muslimin yang masih tidur. Akan tetapi tentunya dampak dari adzan shubuh tersebut menimbulkan persepsi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang Persepsi Masyarakat Non Muslim Terhadap Kumandang Adzan Shubuh (Suatu Penelitian di Kelurahan Malendeng Kecamatan Tikala Kota Manado).
B. Rumusan masalah Berdasarkan paparan di atas maka dapat dirumuskan masalah yaitu Bagaimana Persepsi Masyarakat Non Muslim Terhadap Kumandang Adzan Shubuh Di Kelurahan Malendeng Kecamatan Tikala Kota Manado.
C. Landasan Teori 1.
Pengertian Persepsi Secara etimologis, kata persepsi berasal dari unsur kata serapan bahasa Inggris
5
percepation. Kata percepation diterjemahkan sebagai pandangan, perasaan, pengetahuan, kesadaran, pengamatan, dan penglihatan. Kata persepsi mengandung 2 pengertian, yaitu : 1) Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu serapan; 2) Persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya4. Istilah persepsi ini diartikan bermacam-macam oleh para ahli. seorang ahli Alfian5 mengatakan bahwa persepsi adalah penghayatan langsung oleh seorang pribadi atau proses yang menghasilkan penghayatan langsung. Pendapat ini menjelaskan bahwa masing-masing pribadi memiliki persepsi terhadap sesuatu karena merasakan sesuatu itu secara langsung. Pendapat ini didukung pula oleh Basri 6 yang mengemukakan," Persepsi (perception) sebagai kemampuan individu untuk mengamati atau mengenal perangsang (stimulus) sesuatu, hingga berkesan menjadi pemahaman, pengetahuan, sikap, dan tanggapan-tanggapan ". Jadi, dari definisi ini dapat dilihat bahwa persepsi berkaitan dengan stimulus yang diterima oleh setiap individu, dimana kemampuan setiap individu dalam menerima stimulus ini pasti berbeda. Oleh karena itu, persepsi antara individu yang satu dengan individu yang lain bisa berbeda, walaupun stimulus yang diterima oleh kedua individu tersebut sama. Berdasarkan definisi di atas, terlihat bahwa persepsi setiap individu tidak hanya berkaitan dengan stimulus, tetapi ikut dipengaruhi pula oleh faktor internal dari individu tersebut dalam menerima stimulus, seperti latar belakang, pengetahuan, kepercayaan, dan pengalaman.
Persepsi merupakan kemampuan seorang individu untuk menginterpretasikan informasi yang diperolehnya berupa pandangan, tanggapan, perasaan, suatu individu atas penglihatan sesuatu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. 4
Dalam kamus bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka 1998, hal.675 Alfian, Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 206 6 Japri Basri, Persepsi Guru terhadap Implementasi Program Pendidikan Sistim Ganda di Kotamadya Banjarmasin, 2004,Tersedia di http://www.depdiknas.go.id/Jumal/DjapriBasri.htm 5
6
(1)
Pandangan Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1998:643), "Pandangan diartikan
sebagai pendapat, pengetahuan atau hasil dari suatu perbuatan memandang". Dari definisi ini, dapat dikatakan bahwa pandangan berkenaan dengan pendapat setiap individu berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya terhadap hasil pengamatan suatu obyek. (2)
Tanggapan Bigot (dalam Mahmud, 1989:38) mengemukakan, "Tanggapan didefinisikan
sebagai bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah melakukan pengamatan". Dari definisi ini, dapat dikatakan bahwa tanggapan merupakan respons berupa kesan yang diberikan oleh setiap individu berdasarkan hasil pengamatan terhadap suatu obyek. (3) Perasaan Perasaan ialah suatu hal yang sering berhubungan dengan keadaan jasmaniah. Sifat enak tak enak dari hal yang diamati atau dialami yang sangat berhubungan dengan diri. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Mahmud (1989:68), "Perasaan biasanya didefinisikan sebagai gejala psikis yang bersifat subyektif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenal, dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf'. Berangkat dari teori-teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat adalah kemampuan seorang individu untuk menginterpretasikan informasi yang diperolehnya. Persepsi masyarakat non muslim terhadap kumandang adzan shubuh ini dapat diukur melalui indikator pandangan, tanggapan, perasaan, setiap individu atas penglihatan sesuatu.
2. Pengertian Adzan
7
Adzan secara lughawi (etimologi) adalah menginformasikan semata-mata. Sedangkan secara istilah (terminologi) adalah menginformasikan (memberitahukan) tentang waktu-waktu shalat dengan kata-kata tertentu.7 Menurut H. Sulaiman Rasjid yang dimaksud dengan adzan adalah memberitahukan bahwa waktu Shalat telah tiba dengan lafaz yang ditentukan oleh syara’.8 Lafaz adzan tersebut mengandung beberapa makna yaitu sebagai akidah, seperti adanya Allah Mahabesar bersifat Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, serta menerangkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang cerdik dan bijaksana untuk menerima wahyu dari Allah. Sesudah kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad utusan-Nya, kita diajak menaati perintah-Nya, yakni mengerjakan shalat. kemudian diajaknya pula pada kemenangan dunia dan akhirat, dan akhirnya diakhiri dengan kalimat tauhid.9 Adzan telah diperintahkan sejak pada tahun pertama dari Hijrah Nabi ke Madinah. Sedangkan diperintahkan (disyariatkan) menurut Syi’ah adalah bahwa malaikat Jibril yang membawa turun dari Allah kepada Rasulullah yang mulia. Sedangkan menurut Sunni adalah Abdullah bin Zaid bermimpi ada orang yang mengajarinya, kemudian diceritakan hasil mimpinya itu kepada Rasulullah, lalu Rasulullah memastikannya untuk dipergunakan.10 3. Syarat-syarat dan Waktu Adzan Adzan disyariatkan pada tahun pertama hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah. Siapa yang menentang pensyariatannya maka dia telah kafir.11 Semua ulama sepakat bahwa syarat sahnya adzan adalah kata-katanya harus berurutandan tertib antara tiap-tiap bagiannya, dan orang yang adzan itu harus lakilaki, muslim dan berakal, anak kecilyang sudah mumayyiz (bisa membedakan antara
7
Muhammad Jawad Mughniyah, 2004, Fiqih Lima Mazhab, Cet Kesebelas, Lentera, Jakarta, hlm. 96 H. Sulaiman Rasjid, 2006, Fiqh Islam, Cet.39, PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung, hlm. 53 9 Ibid 10 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 96 11 H. Kahar Masyhur, 1995, Shalat Wajib menurut Mazhab yang Empat, Cet. Pertama, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 182 8
8
yang bersih dan yang tidak). Menurut Hanafi dan Syafi’I sah adzan tanpa niat. Mazhab lainnya berpendapat bahwa adzan harus dengan niat. Sedangkan Hambali adzan itu boleh dengan bahasa selain bahasa arab secara mutlak. Maliki, Hanafi, dan Syafi’I berpendapat bahwa bagi orang Arab tidak boleh adzan selain dengan bahasa Arab, dan bagi orang selain orang Arab boleh adzan dengan bahasanya sendiri untuk dirinya dan untuk para jamaahnya.12 Menurut Hanafiyah bahwa syarat seorang muadzin adalah : 1. 2.
3. 4.
Bila siapa yang menjadi muadzin telah ditentukan maka orang lain tidak boleh adzan, kecuali dengan izin orang tersebut Harus ada masa tenang antara dua kalimat adzan, jangan bertalian saja, sehingga tidak ada berhentinya. Tapi bila waktu tidak mengizinkan demikian maka boleh dirangkaikan saja. Jangan jadi muadzin orang yang bacaannya tidak baik, sehingga huruf adzan dibaca dengan baik dan tidak mengubah pengertiannya Meninggikan atau mengeraskan bacaan adzan disyaratkan, kecuali jika jamaahnya terbatas.13 Tentang waktu adzan, semua fukaha telah sepakat bahwa adzan tidak boleh
diucapkan sebelum waktu shalat masuk, kecuali shalat shubuh yang masih diperselisihkan oleh fukaha. Menurut imam Malik dan Imam Syafii adzan untuk shalat shubuh bisa diucapkan sebelum fajar. Akan tetapi menurut imam Abu Hanifah hal tersebut tidak boleh.14 Fukaha lain berpendapat bahwa untuk shalat shubuh apabila ada adzan sebelum fajar terbit, maka harus ada adzan lagi sesudah terbit fajar karena yang wajib adalah adzan sesudah fajar. Menurut Abu Muhammad bin Hazm, untuk shalat shubuh harus ada adzan sesudah masuk waktu. Kalau adzan diucapkan sebelum masuk waktu boleh juga,
12
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit.,Hlm. 97 H. Kahar Masyhur, op. cit., hlm. 187 14 Ibnu Rusyd alih bahasa Ahmad Hanafi, 1990, Bidayatul Mujtahid, Buku Pertama, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 207 13
9
apabila antara kedua adzan tersebut hanya terdapat masa yang sedikit sekali sekedar untuk turunnya muazzin pertama dan naiknya muazzin kedua.15 Pendapat mereka dalam hal ini disebabkan adanya dua hadis yang saling berlawanan yaitu: Bahwa Bilal mengucapkan seruan (adzan) pada waktu malam. Maka makanlah kamu dan minumlah, sehingga Ibnu Ummi Maktum mengucapkan seruannya (adzan)
Bahwa Bilal adzan sebelum terbit fajar, maka disuruhnya dia oleh Nabi untuk kembali lagi, kemudian ia mengucapkan “ingatlah bahwa hamba (Tuhan) telah tidur. Dalam menghadapi kedua hadits tersebut di atas para fukaha terbagi menjadi dua yaitu ada yang memilih jalan kompromi dan ada yang memilih jalan tarjih. Golongan yang memilih jalan kompromi yaitu fukaha Kufah (Imam Abu Hanifah), beliau mengatakan bahwa ada kemungkinan bahwa panggilan (adzan) Bilal diucapkan pada waktu dia masih meragukan tentang terbitnya fajar, karena penglihatannya agak lemah, sedang adzan dari Ibnu Ummi Maktum diucapkan pada waktu dia sudah yakin akan terbitnya fajar. Sedangkan golongan yang memilih jalan tarjih yaitu fukaha Hijaz, mengatakan bahwa hadis tentang peristiwa Bilal (hadis pertama) lebih kuat dan memakainya juga wajib. Waktu shalat shubuh itu bila fajar telah terbit dan bintang-bintang masih bertaburan di kegelapan malam (shalat shubuh pada awal waktunya) dan panjangkan bacaanya.16 4. Agama dan Masyarakat Religion in welcher Form sie auftriit bleibt das ideale Bedurfnis der Menschheit.
15
Ibid Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, 1999, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab – Ensiklopedi berbagai Persoalan Fiqih, Risalah Gusti, Surabaya, hlm. 52 1616
10
Anselm von Feuerbach, yang ucapannya dikutip di atas, adalah ahli hukum yang terkenal. Agama dalam bentuk apapun dia muncul, begitu katanya, tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia. Menurut Feuerbach peranan agama menentukan dalam setiap bidang kehidupan. Manusia tanpa agama tidak dapat hidup sempurna.17 Seseorang sering berbincang tentang agama, dan berakhir dengan perbedaanperbedaan. Hal ini karena masing-masing memandang agama pada dimensi-dimensi yang berbeda. Satu pihak memandang bahwa kesadaran agama sedang bangkit karena melihat pengunjung masjid yang banya dan peringatan keagamaan yang meriah. Pihak yang lain menunjukkan mundurnya perasaan beragama dengan meningkatnya tindakan kriminal, perilaku anti sosial, dan kemerosotan moral. Kedua pihak tidak akan bertemu sebelum dirunjukkan kepada mereka bahwa agama yang mereka bicarakan adalah tidak sama. Pihak pertama membicarakan agama dalam dimensi ritual dan pihak kedua membicarakan agama dalam dimensi sosial. Setiap agama paling tidak memiliki lima dimensi yaitu : ritual, mistikal, ideological, intelektual, dan sosial.18 Dimensi ritual berkenaan dengan upacaraupacara keagamaan, ritus-ritus religious seperti shalat, misa dan kebaktian. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman keagamaan yang meliputi concern, cognition, trust, dan fear. Dimensi ideological mengacu pada serangkaian kepercayaan yang menjelaskan eksistensi manusia. Pada dimensi inilah orang Islam memandang manusia sebagai khalifatullah fil ardh. Dan orang Islam dipandang mengemban tugas luhur untuk mewujudkan perintah Allah di bumi. Dimensi intelektual menunjukkan tingkat pemahaman orang terhadap doktrindoktrin keagamaan. Sedangkan dimensi sosial adalah manifestasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Ini meliputi seluruh perilaku yang didefinisikan oleh agama. 17
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung:PT.Mizan Pustaka, 2004), h. 36 18 Ibid., h. 38
11
Peran agama dalam kehidupan masyarakat adalah menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan ketertiban hidup bermasyarakat. Islam memandang bahwa peran agama dalam masyarakat adalah bahwa Islam memandang bahwa kehadiran agama di dunia ini dimaksudkan untuk melakukan perubahan dari berbagai kegelapan kepada cahaya, istilah Islam untuk pembangunan adalah taghyir, Islam memandang perubahan sosial harus dimulai dari perubahan individu kemudian secara berangsurangsur perubahan individu ini harus disusun dengan perubahan institusional. Islam memandang bahwa perubahan individual harus bermula dari peningkatan dimensi intelektual, kemudian dimensi ideological (berpegang pada kalimat tauhid). Islam memandang bahwa kemunduran umat Islam bukan hanya terletak pada kejahilan tentang syariat Islam, tetapi juga pada ketimpangan struktur ekonomi dan sosial. Dalam dimensi kehidupan beragama di atas dapat dipahami bahwa doktrindoktrin keagamaan dan ritual beragama itu akan dapat terlaksana dengan baik apabila penganut umat bergama masing-masing menyadari bahwa tujuan hidup beragama dalam struktur sosial kemasyarakatan adalah mewujudkan kedamaian, kenyamanan, keamanan, dan ketertiban hidup.
D. METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh gambaran bagaimana persepsi masyarakat non muslim terhadap kumandang adzan shubuh. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan angket untuk menjaring data persepsi masyarakat non muslim terhadap kumandang adzan shubuh dengan sumber data adalah masyarakat non muslim yang ada di wilayah Kecamatan Tikala Kota Manado.
12
Untuk menjaring data persepsi masyarakat non muslim tersebut, maka angket yang dibuat berupa angket/kuisioner tertutup dengan empat kategori pilihan jawaban yaitu sangat setuju dengan skor 4, setuju dengan skor 3, kurang setuju dengan skor 2, dan tidak setuju dengan skor 1. Teknik Analisis Data Mengacu pada metode penelitian yang digunakan, maka teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dengan persentase untuk menggambarkan status persepsi masyarakat non muslim terhadap kumandang adzan shubuh.
E. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, ternyata persepsi masyarakat non muslim terhadap kumanadang adzan shubuh bervariasi. Berikut dapat diuraikan bahasan tentang masyarakat non muslim terhadap kumanadang adzan shubuh, dalam setiap indikator persepsi. Persepsi Masyarakat Non Muslim Terhadap Kumanadang Adzan Shubuh Persepsi masyarakat non muslim terhadap kumanadang adzan shubuh, dalam indikator persepsi, yaitu pandangan, tanggapan, dan perasaan dapat dijabarkan sebagai berikut. 1) Pandangan Pandangan merupakan pendapat masyarakat non muslim berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya terhadap pelaksanaan kumandang adzan shubuh. Pelaksanaan kumandang adzan shubuh biasanya dilakukan melalui mesjid, karena mesjid sesungguhnya merupakan tempat ibadah masyarakat muslim. Keberadaan mesjid itu sendiri selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga merupakan tempat dilaksanakannya kegiatan-kegiatan keagamaan bagi umat islam, maka keberadaan
13
atau lokasi mesjid hendaknya memperhatikan komunitas masyarakat muslim apalagi di daerah manado, khususnya wilayah malendeng yang penduduknya multi etnis. Berdasarkan hasil analisis, pada umumnya masyarakat non muslim menyatakan setuju dan memandang jika pengurus mesjid hendaknya memperhatikan lokasi pembangunan mesjid berdasarkan komunitas masyarakat muslim. Hal ini penting agar tidak menimbulkan konflik dikalangan masyarakat muslim itu sendiri maupun masyarakat non muslim. Selanjutnya, adanya pengetahuan yang baik dikalangan masyarakat non muslim tentang pelaksanaan kumandang adzan shubuh sebagai pertanda pelaksanaan sholat bagi umat islam, maka secara tidak langsung pandangan masyarakat non muslim terhadap pelaksanaan kumandang adzan shubuh akan baik. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa dari jumlah masyarakat non muslim yang ada menyatakan setuju terhadap pelaksanaan kumandang adzan shubuh. Hal ini mengindikasikan, secara umum masyarakat non muslim memandang pelaksanaan kumandang adzan shubuh memang merupakan salah satu bentuk ibadah umat islam. Namun disisi lain, ada juga sebagian kecil masyarakat non muslim yang menyatakan kurang setuju jika pelaksanaan kumandang adzan shubuh sebagai salah satu bentuk ibadah umat islam. Hal ini dapat dimaklumi karena dari masyarakat non muslim yang tinggal di sekitar mesjid ada pula yang memiliki pengetahuan agama yang masih relatif kurang, sehingga pandangan mereka pada pelaksanaan kumandang adzan shubuh sebagai pertanda waktu shalat bagi umat islam menjadi kurang baik. Sebagaimana yang diketahui dalam setiap agama paling tidak memiliki lima dimensi, salah satu diantaranya adalah dimensi ritual yang berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan, ritus-ritus religious seperti shalat, misa dan kebaktian. Bagi umat islam itu sendiri dikenal dimensi ritus religi seperti shalat. Shalat merupakan salah satu kewajiban dalam islam dan suatu bentuk ibadah penghubung antara hamba dan Tuhannya. Dalam agama islam pelaksanaan shalat terdiri atas lima waktu dan salah satu diantaranya adalah shalat shubuh.
14
Shalat shubuh pada hakekatnya adalah shalat fajar, yang shalat fardhu ini dimulai pelaksanaannya setelah terbitnya fajar dan berakhir dengan terbitnya matahari. Terkait dengan hal itu, maka dalam melaksanakan shalat shubuh terlebih dahulu diawali dengan mengumandangkan adzan, karena adzan merupakan panggilan shalat kepada ummat Islam, yang terus bergema di seluruh dunia lima kali sehari. Tentunya dalam pelaksanaannya berbeda setiap waktu dan memerlukan media/alat agar kumandang adzan ini bisa di dengar oleh masyarakat muslim yang berada di sekitar mesjid untuk segera menunaikan shalat sebagai salah bentuk ibadah kepada Allah SWT. Berdasarkan hasil analisis, menurut pandangan masyarakat non muslim yang berada di sekitar mesjid pada umumnya menyatakan setuju jika pelaksanaan kumandang adzan shubuh di mesjid disesuaikan dengan waktu pelaksanaan shalat yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Dalam pandangan masyarakat non muslim hal ini sebaiknya dilakukan agar terjadi keseragaman waktu dalam pelaksanaan kumandang adzan dan tidak terkesan semena-mena sesuai dengan keinginan/kemauan masyarakat muslim saja, sehingga nantinya kelak akan menimbulkan masalah dikalangan masyarakat muslim dan yang non muslim. Adzan adalah memberitahukan bahwa waktu shalat telah tiba dengan lafadz yang ditentukan oleh syara. Salah satu persyaratan dalam mengumandangkan adzan adalah dengan meninggikan atau mengeraskan bacaan adzan, kecuali jika jamaahnya terbatas maka tidak dipersyaratkan meninggikan atau mengeraskan bacaan. Berkenaan dengan hal ini, maka pada umumnya dikalangan umat islam dalam mengumandangkan adzan di mesjid sebagai pertanda datangnya waktu shalat adalah dengan menggunakan alat bantu pengeras suara berupa toa. Terkait dengan penggunaan alat pengeras suara ini berdasarkan hasil analisis, masyarakat non muslim pada umumnya menyatakan setuju dan memandang jika memang diperlukan penggunaan pengeras suara untuk mengumandangkan adzan shubuh sebagai panggilan bagi umat islam agar segera menunaikan shalat, karena
15
dalam agama mereka pun untuk mengajak umatnya beribadah di gereja biasanya memakai alat bantu berupa toa dan lonceng besar. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis pula masyarakat non muslim pada umumnya menyatakan setuju dan memandang jika penempatan arah pengeras suara harus mempertimbangkan komunitas masyarakat muslim dan pihak pengelola mesjidpun hendaknya mengatur pengeras suara muadzin, termasuk muadzin itu sendiri hendaknya mengatur volume suaranya saat mengumandangkan adzan shubuh. Menurut pandangan masyarakat non muslim hal ini perlu diperhatikan oleh masyarakat muslim, jangan sampai mengganggu ketenangan masyarakat di sekitar mesjid yang bukan muslim, karena mengingat waktu pelaksanaan shalat shubuh sebelum fazar dan pada umumnya pada saat orang lagi istirahat tidur. 2) Tanggapan Tanggapan merupakan respon yang diberikan oleh masyarakat non muslim terhadap
pelaksanaan kumandang adzan shubuh. Berdasarkan hasil analisis dari
sejumlah masyarakat non muslim yang ada sebagian menyatakan setuju dengan pelaksanaan kumandang adzan shubuh ini, baik dilihat dari pemilihan lokasi mesjid, waktu pelaksanaan kumandang adzan, volume pengeras suara (toa), dan suara muadzin itu sendiri pada saat mengumandangkan adzan. Dilihat dari pemilihan lokasi mesjid berdasarkan hasil analisis pada umumnya masyarakat non muslim memberikan tanggapan positif bahwa lokasi penempatan mesjid sudah sesuai dengan komunitas masyarakat muslim. Pada umumnya keberadaan mesjid yang ada di kelurahan malendeng dibangun karena masyarakat di sekitar mesjid tersebut mayoritas beragama islam. Hal ini mengindikasikan pembangunan mesjid tersebut bukan karena tanpa adanya kepentingan dan kemauan segelintir masyarakat muslim saja untuk menyaingi tempat ibadah masyarakat non muslim yang jumlahnya lebih banyak dari tempat ibadah orang muslim itu sendiri. Selanjutnya, dalam hal waktu pelaksanaan kumandang adzan shubuh berdasarkan hasil analisis dari sejumlah masyarakat non muslim yang ada terdapat sebagian yang memberikan tanggapan negatif, sebagian dari mereka menyatakan
16
bahwa waktu pelaksanaan adzan shubuh terlalu cepat, sehingga bagi mereka pelaksanaan adzan shubuh itu tidak memberikan manfaat tetapi mengganggu aktivitas istirahat tidur mereka. Hal ini biasanya terjadi dikalangan anak muda masyarakat non muslim yang memiliki kebiasaan bergadang. Namun disisi lain, ada pula sebagian kecil masyarakat non muslim yang memberikan tanggapan positif terhadap pelaksanaan kumandang adzan shubuh. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa adzan shubuh memberikan manfaat bagi mereka salah satunya sebagai salah satu pertanda cepat bangun untuk beraktifitas. Hal ini tentunya sejalan dengan hukum dari pelaksanaan kumandang adzan itu sendiri yang boleh adzan sebelum waktu shubuh, karena membangunkan orang tidur, khususnya bagi yang muslim dan secara tidak langsung manfaatnya dirasakan pula oleh segelintir masyarakat non muslim, karena sesungguhnya islam itu adalah rahmatan lil alamin. Selanjutnya dalam hal volume pengeras suara (toa), dan suara muadzin itu sendiri pada saat mengumandangkan adzan. Berdasarkan hasil analisis, dari sejumlah masyarakat non muslim sebagian memberikan tanggapan positif dan menyatakan bahwa arah penempatan pengeras suara (toa) sudah sesuai posisinya dan suara muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) tidak terlalu keras sehingga tidak mengganggu aktivitas tidur mereka. Tetapi di satu sisi, ada pula sebagian kecil masyarakat non muslim yang memberikan tanggapan negatif dan menyatakan bahwa arah penempatan pengeras suara (toa) belum sesuai posisinya dan suara muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) terlalu keras sehingga mengganggu aktivitas tidur mereka dan secara tidak langsung memberikan imbas pula ada yang menyoroti dan memberikan tanggapan bahwa lokasi penempatan mesjid belum sesuai dengan komunitas masyarakat muslim.
17
3) Perasaan Perasaan merupakan suasana hati masyarakat non muslim terhadap pelaksanaan kumandang adzan shubuh. Perasaan mempunyai mempunyai hubungan dengan motivasi dan perasaan itu sendiri lebih dekat pada gejala pengalaman. Dalam indikator ini, sebagian besar masyarakat non muslim merasa senang, tidak keberatan dan terganggu, serta merasa nyaman dengan pelaksanaan kumandang adzan shubuh baik dilihat dari segi pemilihan lokasi mesjid, waktu pelaksanaan kumandang adzan, volume pengeras suara (toa), dan suara muadzin itu sendiri pada saat mengumandangkan adzan. Hal ini menunjukkan masyarakat non muslim menyadari bahwa dalam kehidupan beragama masing-masing pemeluk agama yang berbeda hendaknya saling menghormati apalagi di kota manado, khususnya di kelurahan malendeng yang terdiri atas beragam suku dan agama sehingga tercipta kerukunan beragama. Rasa saling menghormati ini salah satunya ditunjukkan oleh masyarakat non muslim di kelurahan malendeng dengan menghargai pelaksanaan kumandang adzan shubuh sebagai salah satu bentuk ibadah umat islam. Dalam dimensi kehidupan beragama doktrin-doktrin keagamaan dan ritual beragama akan dapat terlaksana dengan baik apabila penganut umat beragama masing-masing menyadari bahwa tujuan hidup beragama dalam struktur sosial kemasyarakatan adalah mewujudkan kedamaian, kenyamanan, keamanan, dan ketertiban hidup. Kerukunan dan budaya rasa saling hormat menghormati yang terbina dengan baik diantara umat beragama akan membawa kesan positif bagi masing-masing pemeluk agama, khususnya masyarakat non muslim. Berdasarkan hasil analisis dari sejumlah masyarakat non muslim pada umumnya menyatakan merasa senang dan tidak keberatan dengan adanya mesjid sebagai tempat ibadah umat islam di lokasi tempat tinggal mereka. Selanjutnya mengenai waktu pelaksanaan kumandang adzan shubuh, pada umumnya masyarakat non muslim yang berada di sekitar mesjid menyatakan kurang keberatan dengan waktu pelaksanaan kumandang adzan shubuh, karena menurut
18
mereka masing-masing agama sudah memiliki aturan-aturan tertentu dalam waktu pelaksanaan ibadah mereka termasuk umat islam sendiri dalam melaksanakan ibadahnya berupa shalat. Terkait dengan pelaksanaan kumandang adzan shubuh ini pula, dari persepsi yang diberikan oleh masyarakat non muslim, sebagian besar masyarakat non muslim yang tinggal di sekitar mesjid menyatakan merasa tidak terusik dengan adanya suara adzan shubuh, karena bagi masyarakat non muslim mereka selain mendengar suara adzan shubuh sudah terbiasa pula mendengar bunyi lonceng gereja sebagai panggilan bagi umat nasrani untuk melaksanakan ibadah di gereja. Malah sebagian dari masyarakat non muslim yang tinggal di sekitar mesjid ada yang menyatakan merasa tenang dengan adanya kumandang adzan shubuh. Dalam pelaksanaan kumandang adzan shubuh ini, pada umumnya masyarakat non muslim menyatakan mereka merasa tidak keberatan dengan suara muadzin yang keras pada saat mengumandangkan adzan shubuh, walaupun menurut masyarakat non muslim mereka menyatakan senang jika seorang muadzin mengatur volume suaranya pada saat mengumandangkan adzan shubuh. Hal ini menggambarkan masyarakat non muslim bisa menerima dengan baik pelaksanaan kumandang adzan shubuh sebagai salah satu bentuk ibadah umat islam, karena menurut mereka dalam agama lain pun misalnya agama kristen biasanya seorang pastur dalam membacakan khutbahnya dalam ibadah shubuh di gereja secara lantang dan nyaring. Berikutnya,
dalam
penempatan
arah
pengeras
suara
(toa)
untuk
mengumandangkan adzan, sebagian masyarakat non muslim yang berada di sekitar mesjid menyatakan nyaman dengan penempatan toa yang mengarah ke rumah, mereka merasa tidak terganggu/tersentak dari tidur pada saat adzan shubuh dikumandangkan. Hal ini menggambarkan masyarakat non muslim bisa menerima dengan baik dan sudah familiar dengan kumandang adzan shubuh. Namun demikian, di sisi lain, ada pula sebagian kecil dari masyarakat non muslim yang berada di sekitar mesjid yang menyatakan tidak senang dengan adanya pelaksanaan kumandang adzan shubuh, mereka merasa terganggu/tersentak dari tidur pada saat adzan shubuh
19
dikumandangkan, apalagi dengan penggunaan pengeras suara (toa) yang secara kebetulan mengarah ke lokasi/ rumah tempat tinggal, mereka menyatakan merasa kurang nyaman. Hal ini pada umumnya dirasakan dan terjadi pada kalangan anak muda dan kurang memiliki pengetahuan agama yang cukup memadai. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, secara umum dapat dilihat pelaksanaan kumandang adzan shubuh mendapat sambutan positif dari masyarakat non muslim. Hal ini dapat dilihat dengan adanya persepsi masyarakat non muslim terhadap pelaksanaan kumandang adzan shubuh pada umumnya baik dan adanya kesan yang baik dari masyarakat non muslim yang tinggal di sekitar mesjid terhadap pelaksanaan kumandang adzan shubuh, sebagai salah satu bentuk tanda panggilan bagi umat islam dalam menjalankan perintah Allah SWT untuk menunaikan shalat. Hal ini diharapkan nantinya akan berdampak pada tingkatan ukhuwah di kalangan umat beragama yang berbeda semakin baik khususnya bagi umat islam itu sendiri hablun minnannasnya atau hubungannya dengan sesama manusia, khususnya masyarakat non muslim menjadi semakin baik pula. F. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapatlah disimpulkan, bahwa secara umum dilihat dari indikator persepsi, yaitu pandangan, tanggapan, dan perasaan, persepsi masyarakat non muslim terhadap pelaksanaan kumandang adzan shubuh adalah baik. Ini menunjukkan bahwa rasa saling hormat menghormati, rasa kekeluargaan, solidaritas dan kerukunan antar umat beragama yang memiliki keyakinan dan ritual keagamaan berbeda-beda, khususnya masyarakat muslim dan non muslim sudah tercipta dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Alfian, 1985, Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. Ali Syu’aibi, 2004, Meluruskan Radikalisme Islam. Ciputat: Pustaka Azhary Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
20
Donald Ary, 1982, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan–Terjemahan Arief Furchan. Surabaya: Usaha Nasional H.Roihan A. Rasyid, 1998, Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Imam Al-Ghazali, 2002, 40 Prinsip Agama. Bandung: Pustaka Hidayah. Jalaluddin Rahmat, 2004, Islam Alternatif – Ceramah-ceramah di Kampus. Bandung: PT Mizan Pustaka. Japri Basri, 2004, Persepsi Guru terhadap Implementasi Program Pendidikan Sistim Ganda di Kotamadya Banjarmasin. Tersedia di http://www.depdiknas.go.id/Jumal/DjapriBasri.htm Mulyadhi Kartanegara, 2003, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung:Mizan. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002). Syed Mahmudunnasir, 2005, Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Suharsimi Arikunto, 1991, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana, 1992, Metode Statistik. Bandung: Tarsito.