PRINSIP-PRINSIP UJI TOKSIKOLOGI PERKEMBANGAN
1. Pengantar
SALOMO HUTAHEAN Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Laboratorium Struktur Hewan Jurusan Biologi Universitas Sumatera Utara
Toksikologi perkembangan adalah bagian dari toksikologi, yaitu ilmu yang mempelajari seluk-beluk racun, terutama pengaruhnya terhadap makhluk hidup. Sesuai dengan namanya toksikologi perkembangan menitikberatkan kajian pada pengaruh agensia toksis terhadap makhluk hidup yang sedang dalam stadium perkembangan. Istilah agensia toksis digunakan di sini karena kata racun lebih menghunjuk pada senyawa kimiawi, padahal di dalam kenyataannya toksikologi perkembangan tidak membatasi diri pada kajian efek senyawa kimiawi saja tetapi juga mengkaji pengaruh agensia lain seperti gelombang elektromagnetik, bunyi, cahaya, mikroorganisma terhadap perkembangan embrio. Sebagai sebuah ilmu, toksikologi perkembangan melakukan kajian teoritis tentang mekanisme kerja agensia toksik, respon tubuh organisme terhadap agensia toksik tadi pada berbagai tingkatan (subseluler, seluler, organ, maupun individu), modulasi efek oleh berbagai faktor seperti tingkat perkembangan, dosis, organ sasaran dan sebagainya. Seiring dengan itu toksikologi perkembangan juga memiliki aspek praktis karena dengan berkembangnya ilmu ini telah terbuka cara-cara untuk menguji status keteratogenikan suatu agensia. Pengujian keteratogenikan suatu agensia melalui uji toksikologi perkembangan semakin penting saat ini ketika lingkungan hidup kita sehari-hari dimasuki oleh agensia-agensia baru berpotensi toksis yang jumlah dan macamnya terus melimpah. Agensia baru itu dapat berupa obat-obatan, bahan-bahan aditif untuk makanan, bahan pencemar di lingkungan industri, pestisida, logam-logam berat, pelarutpelarut organik, gelombang elektromagnetik, bunyi, temperatur ekstrim, dan lainlain. Apabila embrio yang sedang berkembang terpajan pada agensia tadi ada peluang proses perkembangannya menjadi tergganggu. Perkembangan adalah proses yang dinamis. Ciri pokok perkembangan justeru terletak pada gejala perubahan yang terus-menerus dialaminya. Pada hewan mamalia misalnya, perkembangan dimulai dari sel tunggal zigot hasil fertilisasi yang terus membelah menghasilkan struktur berupa bola berongga multiseluler yang disebut blastula. Setelah blastula terbentuk terjadi dinamika perpindahan sel sedemikan sehingga terbentuk embrio dengan 3 lapis benih (ektoderm, mesoderm dan endoderm). Pada tingkat sel saat itu telah terjadi diferensiasi. Sel-sel yang memiliki potensi genetis sama, karena berasal dari mitosis sel zigot yang sama, membuat komitmen untuk secara spesifik hanya mengekspresikan gen tertentu saja. Pola bentuk tubuh juga pada saat ini telah tegas ditentukan (pattern formation) antara kiri-kanan, depan-belakang, dan craial-caudal. Dari ketiga lapis benih itu kemudian berkembang organ-organ tubuh (melalui proses morfogenesis). Proses perubahan ini sungguh menakjubkan, karena dari satu sel saja dapat berkembang satu individu dengan presisi yang sangat akurat. Tiap sel hasil pembelahan zigot itu mengambil tempat dan waktu yang tepat (presisi spatiotemporal) untuk mengekspresikan DNA tertentu dan bekerja bersama-sama dengan sel lain menuju terwujudnya individu. Tetapi justeru karena itulah embrio yang sedang berkembang adalah entitas yang sangat rentan terhadap gangguan. Gangguan kecil yang tidak dapat ditoleransi pada salah satu tahapan perkembangan dapat menjelma menjadi kecacatan / malformasi saat kelahiran.
2002 digitized by USU digital library
1
Perkembangan embrio mamalia dapat dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu tahap praimplantasi, tahap organogenesis dan tahap fetogenesis. Dari segi toksikologi perkembagan ketiganya memiliki kepekaan yang berbeda-beda. Tahap praimplantasi dimulai dari fertilisasi, pembelahan awal (cleavage), blastulasi hingga gastrulasi awal. Karena pada tahap ini diferensiasi sel belum lanjut, jika satu atau sekelompok sel rusak oleh gangguan agensia toksis masih memungkinkan bagi sel-sel sehat di sekitarnya membelah dan menggantikan posisi dan peran sel rusak tadi. Dengan demikian embrio pulih dan perkembangan dapat berlanjut tanpa ada efek gangguan yang menetap. Sebaliknya jika embrio tidak dapat mentoleransi kerusakan itu maka embrio tidak dapat melanjutkan perkembangannya dan mati. Oleh karena itu efek gangguan agensia toksis pada embrio pada tahap praimplantasi tidak menyebabkan kelainan perkembangan. Berdeda dengan itu, jika efek suatu agensia toksis menimpa embrio pada tahap organogenesis, yaitu ketika pembentukan organ-organ sedang giat-giatnya berlangsung, maka perkembangan organ dapat terganggu dan mungkin terwujud menjadi kecacatan yang dapat teramati saat lahir. Selanjutnya apabila efek agensia toksis menimpa embrio ketika sebagian besar organ-organ telah terbentuk (pada tahap ini embrio disebut fetus) dan fetus tinggal melanjutkan pertumbuhan organ-organ itu, maka manifestasi gangguan seperti ini jarang terwujud menjadi kecacatan melainkan berupa hambatan pertubuhan dan gangguan fungsi. Dengan demikian terdapat 4 kelompok wujud gangguan perkembangan embrio, yaitu kematian, kecacatan, hambatan pertumbuhan dan gangguan fungsi. 2. Prosedur Uji Toksikologi Perkembangan Terdapat beberapa macam protokol uji toksikologi perkembangan yang dikembangkan oleh beberapa lembaga pemerintahan dan badan-badan internasional. Sepanjang yang penulis ketahui hingga saat ini belum ada prosedur pengujan toksikologi perkembangan yang baku di Indonesia. Yang ada adalah prosedurprosedur pengujian yang dimiliki dan dikembangkan oleh laboratorium di beberapa universitas. Tulisan ini memuat prinsip-prinsip dasar yang berlaku umum dalam melakukan pengujian toksikologi perkembangan. Prosedur pengujian dapat dibagi menjadi 4 tahapan kegiatan, yaitu pemilihan hewan uji, pemberian perlakuan, pengamatan dan pelaporan. Pada bagian ini hanya akan diuraikan 3 tahapan kegiatan yang pertama. A. Pemilihan Hewan Uji. Terdapat paling tidak 5 hal yang harus diperhatikan dalam memilih hewan uji, yaitu species dan strain hewan yang akan digunakan, usia, jenis kelamin dan jumlahnya. Species mamalia yang umum digunakan adalah tikus, mencit dan kelinci. Untuk unggas digunakan embrio ayam (percobaan in ovo). Kemajuan teknik laboratorium yang ada sekarang dan reaksi dari pemerhati hak binatang telah membuka kemungkinan penggunaan hanya organ, jaringan atau sel saja menggantikan hewan uji (kultur organ atau kultur sel melalui percobaan in vitro). Teknik ini sangat penting terutama dalam upaya mengungkap mekanisme teratogenesis suatu agensia. Di Indonesa hewan uji yang populer digunakan adalah mencit dan tikus, karena itu tulisan ini selanjutnya akan membicarakan pengujian dengan menggunakan hewan uji tersebut. Hewan betina yang digunaan adalah betina dara sedangkan untuk jantan dipilih pejantan yang sudah terbukti baik fertilitasnya. Hewan dikawinkan di malam hari dengan cara mencampur 1 jantan dengan 3 betina dalam satu kandang.
2002 digitized by USU digital library
2
Jika keesokan harinya ditemukan adanya sumbat vagina (vaginal plug) atau adanya sperma di vagina yang dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis apusan vagina, maka itu pertanda perkawinan sudah berlangsung dan hari tersebut dtentukan sebagai hari ke nol kebuntingan. Jumlah hewan uji yang digunakan palig tidak sebanyak 20 ekor betina bunting untuk tiap kelompok perlakuan. Karena kelompok perlakuan biasanya terdiri atas paling tidak 3 taraf dan 1 kelompok kontrol, maka jumlah hewan bunting yang dibutuhkan adalah 80 ekor. B. Pemberian Perlakuan. Untuk agensia berupa senyawa kimia, dosis tertinggi perlakuan sebaiknya tidak melampaui 1000 mg/kg berat badan per hari dengan pemberian per oral atau subkutan, sedangkan untuk agensia lain disesuaikan dengan besaran paparan yang mungkin diterima dari lingkungan. Dosis tertinggi sebaiknya lebih kecil dari angka LD-50 dan 2 kelompok dosis berikutnya ditata dengan interval sama di bawah dosis tertinggi tadi (misalnya LD-50, 2/3 LD-50, 1/3 LD-50, dan kontrol). Kelompok kontrol disesuaikan dengan percobaan. Aturan yang umum digunakan adalah apabila agensia dilarutkan dengan suatu pelarut maka kepada kelompok kontrol diberikan pelarut saja dengan cara pemberian yang persis sama dengan cara pemberian pada kelompok perlakuan. Untuk kontrol positif dapat dipilih agensia-agensia yang sudah dikenali memiliki efek teratogenik. Penggunaan kontrol positip adalah untuk menilai kepekaan strain yang digunakan. Cara pemberian perlakuan yang paling umum adalah permberian per oral (pencekokan). Cara lain dapat dipilih dengan pertimbangan khusus, seperti inhalasi, subkutan, intrapertoneal atau intramuskuler. Pertimbangan utama dalam pemilihan cara-cara itu adalah kemiripannya dengan cara masuk agensia toksis tadi ke dalam tubuh. Durasi perlakuan disesuaikan degan tujuan pengujian. Untuk pengujian toksisitas perkembangan umum perlakuan dapat diberikan selama masa kebuntingan.Dapat juga diberikan perlakuan tunggal 1 kali saja pada titik waktu spesifik jika yang akan diamati adalah efek suatu agensia terhadap perkembangan organ tertentu. Yang paling umum dilakukan adalah pemberian perlakuan dalam beberapa hari saja, yaitu selama masa organogenesis (hari ke 6 hingga hari ke 15). C. Pengamatan. Meskipun pengujian ini disebut uj tokskologi perkembangan ruang lingkup pengamatan tidaklah terbatas pada embrio yang sedang berkembang itu saja melainkan juga mencakup beberapa bagian pengamatan terhadap induk. Induk hewan coba diamati kondisi kesehatannya setiap hari dan hal-hal khusus seperti adanya gejala keracunan atau kematian dicatat. Berat badan ditimbang paling tidak sekali 3 hari. Data berat badan selain sebagai petunjuk efek toksik terhadap induk juga digunakan untuk menentukan jumlah pemberian perlakuan (mg/kg berat badan). Hewan coba dipelihara dengan baik selama kebuntingan dan selanjutnya dikurbankan 1 hari sebelum melahirkan (tikus hari ke20/21; mencit hari ke-19). Betina tidak dibiarkan sampai melahirkan karena jika itu terjadi ia akan memakan anak-anaknya yang cacat. Hewan uji dibedah caesar dengan membuat irisan di garis tengah ventral tubuh mulai dari area bukaan genitalia hingga ke leher. Rongga perut dan rongga dada dibuka dan organ dalam tubuh diamati. Uterus diangkat dan ditimbang bersama-sama dengan embrio di dalamnya. Selanjutnya uterus ditempatkan di dalam cairan fisiologis, lalu dibelah dan embrionya dilepas. Pada saat ini juga status implantasi dipastikan: fetus yang
2002 digitized by USU digital library
3
berkembang penuh dan merespon sentuhan dikategorikan fetus hidup; fetus yang berkembang penuh dan tidak ada tanda-tanda autolisis tetapi tidak merespon sentuhan dikategorikan fetus mati; implantasi yang menunjukkan adanya ciri-ciri fetus tetapi mengalami autolisis digolongkan sebagai fetus yang diresorpsi pada tingkat lanjut (late resorption); implantasi yang tidak menunjukkan adanya karakteristik fetus digolongkan pada fetus yang mengalami resorpsi dini (early resorption). Selanjutnya ovarium diamati dan jumlah corpora lutea dihitung. Jumlah corpora lutea umumnya bersesuaian dengan jumlah implantasi karena corpora lutea adalah petunjuk folikel yang berovulasi dan berubah menjadi badan hormonal yang berperan dalam mempertahankan kebuntingan. Kehilangan sebelum implantasi dapat dihitung berdasarkan selisih antara jumlah corpora lutea dengan jumlah implantasi. Tanda-tanda keracunan induk diamati pada organ-organ visceral. Kelenjar timus diamati ukuran, warna dan adanya tanda-tanda hemoragi. Pulmo diamati ukuran, warna dan jumlah lobusnya, demikian juga hepar diamati ukuran, warna, tekstur dan jumlah lobusnya. Lambung dibuka dengan sayatan sepanjang curvatura besar dan permukaan mukosalnya diamati. Ginjal diamati bentuk, ukuran, warna dan kelainan yang mungkin terlihat dari luar, dan selanjutnya dibelah untuk mengamati struktur internalnya. Tiap-tiap kelainan dicatat dan sedapat mungkin didokumentasikan dengan fotografi dan jaringan yang mengalami kelainan tersebut difiksasi dengan formalin atau larutan Bouin dan diproses melalui metode parafin untuk pembuatan sediaan bagi pengamatan histologis. Pengamatan fetus dimulai dengan penimbangan berat badan. Penimbangan hendaknya dilakukan ketika fetus masih segar (segera setelah uterus dibuka, sebelum fetus difiksasi). Pengamatan malformasi dimulai dari daerah kepala. Pertama-tama diperhatikan bentuk dan ukuran kepala serta adanya tanda-tanda gangguan penutupan (closure defect). Di kepala harus terdapat 2 tonjolan mata (masih tertutup), 2 nares, 5 papila fascialis,dan 2 pinnae. Mulut dan bibir diamati ukuran, betuk dan adanya gangguan perkembangan. Mulut dibuka untuk mengamati dan memastikan ada tidaknya celah di langit-langit mulut (cleft palate). Kemudian aspek ventral dan dorsal tubuh diamati apakah ada closure defect, dan dilanjutkan dengan pengamatan tungkai. Pada tungkai diamati ukuran, kelengkapan ruas dan arah rotasi / fleksi bahu, siku, telapak dan jemari. Jumlah jemari (masing-masing 5 depan dan 5 belakang) dihitung dan adanya kelainan pada jumlah ukuran, fusi atau adanya selaput dicatat. Ekor juga diamati keberadaan, ukuran dan pembengkokannya. Ekor selanjutnya diangkat dan jarak antara bukaan anus dengan genitalia diperkirakan untuk penentuan jenis kelamin (jarak tersebut sangat dekat pada betina dan jauh pada jantan). Selanjutnya kira-kira setengah bagian dari jumlah fetus yang diperoleh difiksasi dengan alkohol 95 % dan setelah beberapa hari dieviserasi dan dikuliti. Fiksasi dipertahankan hingga 2 mnggu, kemudian fetus diwarnai dengan Alcian blue dan Alizarin Red S dan selanjutnya dibuat transparan dalam gliserin. Dengan teknik ini dapat diamati secara langsung komponen tulang (merah) dan kartilago (biru) fetus dan kelainannya. Pengamatan rangka meliputi adanya hambatan atau percepatan penulangan, kelainan bentuk dan jumlah komponen rangka. Rangka diamati mulai dari cranium, sternum, columna vertebralis, os pectoralis, os pelvis, tulang-tulang tungkai dan terutama jemari. Jumlah komponen tulang telapak dan jemari yang telah mengalami penulangan dihitung. Kelainan struktur komponen rangka yang sering teramati adalah hambatan osifikasi, penambahan atau pengurangan jumlah costae, centrum vertebra berbentuk kupu-kupu, costae menggelombang, fusi rusuk, fusi vertebra, tungkai pekuk dan lain-lain.
2002 digitized by USU digital library
4
Pustaka Ngatidjan. 1991. Petunjuk Laboratorium. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. UGM Yogyakarta Tuchmann-Duplessis. 1975. Drug Effects on Fetus. ADIS Press, New York. U.S. Envronmental Protection Agency. 1982. Guideline 83-3: Teratogenicity Study. Pesticides Assesment Guidelines, Subdivision F. Hazard Evaluation: Human and Domestic Animals. Office of Pesticides and Toxic Substances, Washington, DC. U.S. Envronmental Protection Agency. 1991. Guideline for Developmental Toxicity Risk Assesment. Federal Register 56:63798-63826.
.
2002 digitized by USU digital library
5