Wujud toksikologi Thalidomide Thalidomide sebenarnya merupakan obat yang berperan dalam mempengaruhi kondisi sistem kekebalan tubuh. Thalidomide mencegah terjadinya inflamasi dalam tubuh. Disamping itu Thalidomide dapat digunakan untuk mengobati dan mencegah luka pada kulit yang disebabkan oleh Erythema Nodosum Leprosum (ENL), dimana ENL merupakan bentuk komplikasi inflamasi lepra. Selain itu, Thalidomide dapat digunakan bersama obat lain yakni Dexamethazone untuk mengobati ‘multiple myeloma’ (kanker sumsum tulang). Namun, penggunaan Thalidomide ini perlu diperhatikan, apalagi jika dalam tubuh pasien terdapat beberapa penyakit lain seperti penyakit liver, ginjal, stroke,jantung, HIV atau AIDS, epilepsi, sistem kekebalan tubuh yang lemah, atau gangguan pada sel syaraf. Hal ini dilakukan karena jika digunakan penggunaan 2 obat atau lebih di dalam tubuh dikhawatirkan akan terjadi interaksi antar obat yang berakibat terjadi komplikasi dalam tubuh. Sehingga yang seharusnya obat dapat menimbulkan efek teraupetik, justru sebaliknya berefek toksik. Oleh karena itu, sebelum menggunakan Thalidomide sebaiknya berkonsultasi dahulu dengan dokter. Ketika Thalidomide digunakan oleh wanita hamil, menyebabkan
ratusan
kelahiran bayi yang cacat. Pada tahun 1961, ilmuwan menemukan pengobatan pada pertumbuhan lengan dan kaki janin. Berdasarkan fakta pada suatu pemberian dosis thalidomide, dari awal kehamilan dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan janin. Selain itu dapat menyebabkan resiko kerusakan pada janin termasuk kerusakan mata, telinga, dan beberapa kerusakan organ bagian dalam seperti jantung, organ kelamin, ginjal, saluran pencernaan dan sistem syaraf. Efek Thalidomide yang paling utama adalah menimbulkan efek teratogenik pada ibu hamil. Secara universal, efek samping dari Thalidomide antara lain sedatif dan konstipasi. Beberapa pasien lebih sensitif terhadap efek ini daripada efek yang lain. Kelenjar endokrin secara abnormal juga menimbulkan efek hipoglikemik dan peningkatan ACTH serta prolaktin. Selain itu juga menimbulkan efek samping neutropenia. Efek yang lainnya secara klinis mencakup alergi, penurunan libido, reaksi eritrodermik, perubahan mood, edema pada wajah, abnormalitas menstruasi, muntah, pusing. Namun secara umum efek penggunaan Thalidomide pada myeloma antara lain rasa kantuk atau kelelahan, konstipasi, rasa pusing, kulit kering atau kudis,
penurunan jumlah sel darah putih, dan peripheral neuropatic (gangguan pada syaraf atau penurunan sensitifitas). Efek samping Thalidomide sangat berhubungan dengan dosis yang diberikan. Efek samping yang terjadi tergantung besarnya dosis yang digunakan. Pada dosis Thalidomide di atas 400 mg, dosis tersebut jastru dapat mengurangi efek samping, namun sangat jarang digunakan. Efek Samping
Persentase penderita/pasien
Sedasi (kantuk)
6%-77%
Kelelahan
25%-67%
Konstipasi
18%-86%
Pusing
4%-28%
Kulit kering (kudis)
3%-35%
Penurunan sel darah putih
2%-26%
Peripheral Neuropathic
9%-24%
Mengantuk Thalidomide sering menyebabkan mengantuk. Pasien harus dianjurkan untuk menghindari situasi, dimana mengantuk dapat menyebabkan masalah dan tidak menggunakan obat lain yang dapat juga menyebabkan tanpa anjuran medis yang cukup. Pasien harus diperingatkan pada kemungkinan kerusakan mental, mengurangi kewaspadaan dan kemampuan berpikir jernih serta kemampuan fisik yang diperlukan pada kegiatan seperti menyetir kendaraan dan mengoperasikan mesin. Sebaiknya jika timbul efek ini dilakukan pencegahan minum minuman beralkohol atau mengkonsumsi obat tidur. Efek mengantuk ini dapat dikurangi dengan pemberian terapi selama beberapa minggu atau dapat pula dilakukan penjadwalan pemberian Thalidomide yakni antara jam 7 dan 10 malam dan pengaturan dosis yakni 2x sehari . Jika bertambah parah sebaiknya dilakukan pengobatan dengan menghentikan pemakaian Thalidomide. Neuropathy Peripheral Thalidomide
diketahui
dapat
menyebabkan
kerusakan
syaraf
yang
kemungkinan permanen (irreversibel). Neuropathic peripheral adalah kerusakan syaraf yang umum terjadi berpotensi akut, efek samping dari terapi Thalidomide kemungkinan irreversibel. Tanda-tanda kerusakan syaraf ini meliputi mati rasa dan
cacat tubuh pada bagian lengan, tangan, kaki atau jari-jari kaki. Bila terjadi penyakit kudis pada kulit dengan atau tanpa gejala panas, detak jantung kencang atau tekanan darah rendah, sebaiknya pemakaian Thalidomide dihentikan. Pada anak-anak timbul kerusakan pada bagian otak. Namun, pada anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik, untungnya dapat menutupi keterbatasan mereka dangan menunjukkan intelegensi secara normal. Neuropathic peripheral pada umumnya timbul pada penggunaan kronis selama periode berbulan-bulan. Namun, pada penggunaan jangka pendek juga dilaporkan timbul efek serupa. Korelasi dengan dosis kumulatif tidak jelas. Gejala dapat timbul beberapa waktu setelah terapi Thalidomide dihentikan, dan dapat sembuh secara perlahan atau tidak sama sekali. Beberapa laporan mengenai neurophati telah meningkat pada terapi ENL (Erythema Nodosum Leprosum) akibat terapi Thalidomide jangka panjang. Namun, ketidakmampuan secara klinis untuk membedakan Neuropathic Thalidomide dari Neuropathic sering terjadi pada Hanson’s disease, menjadikannya sulit untuk menentukan secara akurat insidensi dari Neuropathy yang berhubungan Thalidomide pada pasien ENL yang diterapi menggunakan Thalidomide. Pasien harus diperiksa setiap bulannya pada tiga bulan awal terapi Thalidomide agar dokter dapat mendeteksi tanda-tanda awal neurophaty yang termasuk kekakuan dan rasa sakit pada tangan dan kaki. Pasien harus dievaluasi secara periodik selama terapi. Pasien harus secara teratur mendapat konseling dan dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala dari neuropathy perifer. Penegakan diagnosis penyakit harus dilakukan melalui uji elektrofisiologi termasuk penetapan amplitudo potensial aksi saraf sensori pada awal penggunaan dan setelah 6 bulan penggunaan sebagai usaha untuk mendeteksi Neurophatic asimtomatis. Jika gejala dari neurophaty yang diakibatkan oleh penggunaan obat terjadi, Thalidomide harus duhentikan segera untuk menghindari kerusakan lebih lanjut jika secara klinis diperlukan. Biasanya terapi dengan Thalidomide dapat dilanjutkan jika neropathic kembali pada status awal. Pengobatan yang diketahui dapat menyebabkan neuropathic harus digunakan dengan memberikan peringatan pada pasien yang menggunakan Thalidomide Konstipasi Untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan minum yang cukup guna menggantikan cairan tubuh yang hilang, mengkonsumsi banyak makanan berserat, dan sebaiknya juga menggunakan laxantive.
Pusing (dizziness) Sebelum
menggunakan
Thalidomide,
pasien
diberi
peringatan
karena
Thalidomide dapat menyebabkan pusing dan hipotensi ortostatik. Oleh karena itu, sebelum bangun sebaiknya duduk tegak terlebih dahulu. Kulit kering /berkudis Kulit kering merupakan bentuk kudis ringan. Pencegahannya bisa dilakukan dengan melakukan pemakaian lotion pada kulit bersisik yang ringan. Namun, bisa juga bertambah parah dan jika dilakukan penghentian terapi dapat menimbulkan perasaan lega dengan cepat. Gatal-gatal pada kulit dapat diatasi dengan pemberian obat antihistamin atau steroid secara topikal. Setelah dilakukan evaluasi secara klinis, penggunaan Thalidomide kembali dapat dilakukan dengan dosis yang rendah dan dan mengontrol pemakaiannya. Gangguan kelahiran Dapat menyebabkan gangguan kelahiran akut pada manusia. Pasien harus dianjurkan untuk menggunakan Thalidomide hanya sesuai resep dan tidak berbagi Thalidomide mereka dengan orang lain, karena Thalidomide ada dalam cairan sperma pasien yang menggunakan obat. Laki-laki yang menggunakan Thalidomide harus selalu menggunakan kondom lateks selama melakukan hubungan seksual apapun dengan wanita yang berpotensi melahirkan. Resiko bayi dari sperma pasien laki-laki tidak diketahui. Sementara pada pasien wanita, jika sedang hamil sebaiknya tidak menggunakan Thalidomide. Selain itu, sebaiknya dilakukan tes darah atau urin pada wanita hamil. Tes tersebut dilakukan berulang setiap bulan jika pasien tetap menggunakan Thalidomide, atau jika pemakaian Thalidomide dihentikan tes dilakukan 4 minggu setelahnya. Jika terjadi periode menstruasi yang tidak teratur, pendarahan pada vagina atau tidak mengalami menstruasi, maka makin sering tes kehamilan yang dilakukan , tidak melakukan hubungan seksual atau menggunakan program pengontrolan kelahiran dengan 2 alat yang memiliki efektivitas tinggi secara bersamaan untuk satu bulan sebelum pemakaian Thalidomide. Metode ini dilanjutkan hingga 1 bulan setelah penggunaan dosis Thalidomide terakhir Trombotik Kegunaan Thalidomide pada multiple myeloma menyebabkan peningkatan resiko terjadinya tromboembolic vena seperti trombosis vena dalam dan embolus paru-paru.Resiko ini meningkat secara sigifikan ketika Thalidomide digunakan
bersamaan dengan agen kemoterapi standar termasuk Dexamethazone. Pada suatu percobaan terkontrol kecepatan tromboembolik vena mencapai 22,5% pada pasien yang menggunakan Thalidomide bersamaan dengan Dexamethazone. Sedangkan pada pasien yang menggunakan Dexamethazone saja hanya mencapai 4,9% (p= 0,002%). Pasien
dan
dokter
dianjurkan
untuk
mengamati
tanda-tanda
dan
gejala
tromboembolisme, pasien dianjurkan untuk melakukan perawatan medis jika mereka merasakan gejala nafas pendek sakit pada dada, pembengkakan lengan dan tangan. Pasien yang beresiko tromboembolik dapat diringankan dengan menggunakan antikoagulan profilaksis atau terapi aspirin. Neutrophenia Penurunan sel darah putih termasuk neutrophenia telah dilaporkan berkaitan dengan menggunakan Thalidomide secara klinis. Pengobatan tidak boleh diinisiasi dengan jumlah neutrofil absolut kurang dari 750/ mm3. Jumlah sel darah putih harus diawasi selama penggunaan khususnya pada pasien yang lebih beresiko netrophenia Seperti pasien yang HIV sero positif. Jika jumlah neutrofil absolut menurun hingga dibawah dibawah 750/mm3 selama pengobatan, pengaturan obat pada pasien harus dievaluasi dan jka neutrophenia timbul pertimbangan harus diberikan untuk menghentikan penggunaan Thalidomide jika secara klinis diperlukan. Peningkatan kadar virus HIV Pada percobaan random yang dikontrol placebo dari Thalidomide, pada populasi pasien HIV sero positif kadar plasma HIV RNA diketahui meningkat. Kejadian serupa diamati pada studi kedua, tidak dipublikasikan yang dilakukan pada pasien HIV sero positif. Pasien HIV sero positif signifikansi klinis dari peningkatan ini tidak diketahui. Kedua studi dilakukan utamanya pada keberadaan antri retroviral yang memiliki aktivitas tinggi hingga signifikansi klinis dan pada penemuan ini diketahui, pada pasien HIV sero positif, jumlah virus harus ditentukan setelah bulan 1 dan ke-3 dari terapi dan tiap 3 bulan setelahnya. Banyak kondisi yang baik karena faktor genetik ataupun dipengaruhi oleh faktor lain dapat menimbulkan gangguan kelahiran. Berdasarkan fakta yang ada, Phocomelia merupakan salah satu gangguan malformasi yang sering terjadi ketika ibu hamil menggunakan Thalidomide sebagai obat Thalidomide dapat menyebabkan beberapa sindrom diantaranya :
1.
Robert- SC Phocomelia (Pseudothalidomide Syndrome) Terjadi gangguan pelepasan autosom dimana terjadi pengurangan bentuk
anggota tubuh. Pada kondisi abnormal, sindrom ini memiliki gejala yang tak terbatas pada : perubahan bentuk tellinga dengan hypopolastik lobules, pengurangan berbagai anggota tubuh, pengurangan jumlah dari jari tangan. 2. Holt-Oram Syndrome (Heart Hand Syndrome) Merupakan gangguan dominan autosom yang dapat mempengaruhi bentuk tangan dan sikut secara simetrik dan biasanya dihubungkan pada penyakit jantung congenital yang diakibatkankaren ganggauan atrium septal. Pada kondisi abnormal, sindrom ini memiliki gejala yang tak terbatas : Phocomelia, gangguan pada anggota abdan bagian atas dan bahu, kehilangan ibu jari, hypoplastic, triphalangeal. 3. TAR Syndrome (Thrombocytopenia-Absent Radius) Yakni berupa gangguan pelepasan autosom dimana Thrombocytopenia berkembang secara tidak nyata setelah kelahiran. Pada sindrom ini hampir terdapat 50% kasus abnormal pada kaki. 4. Cornelia de Lange Syndrome Sindrom yang terjadi akibat gangguan anggota tubuh yang tidak simetrik. Pda kondisi abnormal, sindrom ini memiliki gejala yang tidak terbatas pada: Phocomelia dan Olygodactyly, kenaikan testis, depresi saluran pernapasan. 5.
Fanconi’s Panmyelopathi Sindrom ini memiliki tanda berupa aplasia secara radial, namun diagnosanya
diketahui
melalui
perubahan darah.
Pada kondisi abnormal,
sindrom ini
memilikigejala yang tak terbatas pada: tubuh yang pendek, hypoplasia menjadi aplasia pada ibu jari, penis dan testis yang mengecil. 6. LADD Syndrome (Lacrimo Auriculo Dento Digital Syndrome) Pada sindronm ini terjadi gangguan telinga bagian luar seperti tuli, gangguan pada mata, jantung, dan gigi. Pada kondisi abnormal, sindrom ini memiliki gejala yang tidak terbatas pada gangguan ibu jari (95%), pemendekan tulang radius dan ulna, tulang radius dan ibu jari tidak ada. 7. Poland Anomaly (Poland Sequence) Sindrom yang disebabkan gangguan pada tamgan yakni terjadi agenesis pada bagian otot terutama otot bagian pectoralis. Kemungkinan terjadi defisiensi homolateral pada bagian badan dan rusuk. Diperkirakan sekitar 10% pasien syndactyly pada tangan memiliki sequence Poland, dan 75% pada tangan kanan.
8. FFU Syndrome (Femur Febula Ulna) Sindrom dimana mempengaruhi tulang dan bersifat antagonis dengan Thalidomide. Dimana pengaruhnya terhadap radius dan humerus sebelum ulna, dan tibia sebelum fibula. Gangguan ini menyebabkan asimetrik. 9. Mobius Syndrom (Moebius Sequence) Gangguan ini berupa wajah yang pucat dan biasanya jarang terjadi pada keluarga normal. 10. Wildervanck Syndrome (Cervico Oculo Acoustic Syndrome) Sindrom ini lebih didominasi pada wanita dengan ciri-ciri perubahan bentuk telinga, tuli, dan gangguan pada saluran servik, namun Thalidomide jarang mempengaruhi gangguan pada saluran servik. Sindrom ini diketahui dari bentuk abnormal celah palate.