PRAKSIS ISLAM D ALA M M E R E T A S K E A D A BA N IN D O N E S IA M U L T IK U L T U R A L
A chm ad F auzi Pengadilan A gam a K otabaru, K alim antan Selatan, Em ail:
[email protected]
A bstract This paper discusses the historicity o j Islam and state relations, diversity o f views among Muslim traditionalists and modernists on the relation o f Islam and the state, and ideal configuration of the relation o fIslam and the state, By mapping anatysis o f contemporary-crucial cases, it isfound the need to reposition o f the state as a facilitator o f religious life by taking part religion in all aspects o f civic life. ' 14r7 Mj a 4 ^ 3
ilx le j
a ij/ia (JaJtx x x tj .4 x x * j J j L
i
j«j
i—x x jc jj
4j> 3
fjji
|QxSbej
y
(J
9jUU»3tJI 4 xx«Llx<JI
.(^ x u ja J L I
(Ja~.ll aJUil
4 j U ^- oj 4 x ji 51>. 1 a
11 I j j .4_xjla3 eJI 4 xxoLx*mJ I
^ J l 4jua^lx«V l 4xX .jxxJI 4 x a 5 ^ bS&
SbJ
-JyaLscll
^Jc■
.j»lxxj-J?tj
* 4 j l x i l l £>JuS
(jjJUl j»L*JI jOxSbtJ
bjfijs y L c ^ b j j a
(_jlt
4x1aV l
4x36x1,1 4JL «11 (_jlc. 4 j UL»3cJI 4xxaljl.rtl tl
Keywords. K eadaban, M ultikultural, K onflik SARA, Pluralism e A . P e n d a h u lu a n Jag a t kebudayaan yang m enjadi p en o p an g bangunan keadaban Indonesia sejatinya telah lam a m engakar sebagai khasanah keunikan bangsa. B etapapun
332 Millah Vol. X I, No. 2, Februari 2012
dalamnya menggali Indonesia, di lapisan dasar tersim pan benih unggul yang kelak
m enum buhkan
identitas
kultural
bangsa.
B enih
yang
disemai
keterpanggilan batin kom unitas warga untuk m erajut labirin kesadaran dalam w adah kebangsaan. Itulah kem ilau khazanah suku, agama, ras dan antargolongan. Sem esta interpretasi jati diri Indonesia secara alamiah tidak bisa dipisahkan dari karakter m ajem uk dalam aspek suku, ras, agam a d an antar-goiongan. Sebaliknya pem bicaraan tentang SARA dalam konteks kekinian selalu tetkait dengan pendekatan m etodologis dan rum usan-tum usan yang m enggam barkan m asa depan pluralism e di Indonesia. SARA dan m asa depan Indonesia serupa bayi dalam rahim . Tatkala esensi SARA dihakim i dan dipersepsikan sebagai benalu kebangsaan, m aka pada saat itulah kita akan m enem ukan gam baran tentang induk ayam yang m engeram i telur busuknya. SARA sebagai yang melahirkan Indonesia tidak akan m am pu m enetaskan spirit individu barn yang m em baw a kehidupan bangsa Indonesia m enjadi lebih baik. K ebanggaan negeri dengan d ta rasa masyarakat yang m ajem uk kini mulai terdegradasi. Nilai-nilai m uldkulturalism e yang pada m ulanya m erekatkan berbagai lapisan m asyarakat dalam ikatan kebinekaan terlepas dari sendisendinya. K onflik antarsuku, antargolongan m aupun kelom pok politik, serta kekerasan
agam a
yang
terjadi belakangan ini
telah m eruntuhkan
nilai
pem aham an atas jatidiri SARA. K em ajem ukan yang idealnya m enjadi energi sentripetal, m enjelm a m enjadi kekuatan sentrifugal yang m em ecah-belah persatuan. D a p at dikatakan bahw a bangunan keadaban Indonesia tengah berada di tubir jurang kehancuran. Penggam baran tentang keutuhan dan im unitas m asyarakat kita saat ini tak ubahnya daun kering di padang tandus. Ia m udah dikum pulkan tetapi susah d iik a t D i sam ping gam pang disulut, sum bunya juga pendek sehingga m udah m eledak dan terham bur.1 N egara yang diharapkan m enjadi rum ah yang teduh bagi keberlangsungan hidup segenap anak bangsa, justrn m enggiring warganya
1 Achmad Fauzi, “Robohnya Keadaban Kita”, Haiian K om pas, 17 September 2011.haL6.
Praksis Islam dalam M entos Keadaban
... 333
dalam jebakan api pertikaian. Padahal pluralism e adalah cikal bakal berdirinya Indonesia. Pluralism e seperti “rahim ” yang telah m elahirkan Indonesia. Islam sebagai agama yang m enjunjung tinggi kepelbagaian ditan tang untuk m enjaw ab persoalan kebangsaan itu.
K onsep tasamuh (toleran), tawa^un
(seimbang), tawasutb (m oderat), dan tasyanwr (dialog) m erupakan a jar an pokok Islam dalam m em bangun kontak kultural yang tidak hanya m enetaskan toleransi d an
pengakuan
eksistensi kebudayaan
yang
bercorak
plural,
tapi
juga
m enum buhkan saling pengaruh dan m em perkaya gagasan m ultikulturalism e. G agasan m ultikulturalism e itu akan m em pertem ukan segenap kenyataan bahw a sejatinya hakikat seseorang, kom unitas kebudayaan m a u p u n agam a terbangun dari unsur kebudayaan yang beraneka ragam. Sehingga dalam d in kita hidup asa orang lain dan dalam diri orang lain tersim pan harapan kita. B ahw a kita dan orang lain tidak p em ah berserak, seperti rub dalam wadag. K arena itu jika orang lain m enjadi korban kebiadaban dan kebengisan m anusia, batin kita turu t m erasakan penderitaan im. A jaran p o k o k im tentunya dapat diterapkan dengan bertitik tum pu pada kesadaran u n tu k m engatur kehidupan sepadan dengan kenyataan tentang pluralism e peradaban, budaya, dan agama. Bagaim ana bisa dikem bangkan sebuah kehidupan yang pen u h respek antara satu dengan yang lain, sehingga kepelbagaian benar-benar m enjadi berkah bagi sem ua orang d an bukan m enjadi laknat dan petaka bagi kehidupan. B . K e(b i)ad ab an U m a t B eragam a Kini T iang penyangga keadaban Indonesia saat ini m engalam i pengeroposan dalam banyak sisL Situasi batin u m at beragam a berada dalam kondisi labiL K onflik silang sengkam t berdasarkan sentim en agam a kerap m enghantui kita. Jika para to k o h agam a m engklaim kom unikasi antar-pem im pin agam a telah m em baik, itu tidak keliru. T api jejaring soliditas antaragam a pada tataran akar ru m p u t harus diakui m asih rapuh karena intensitas perjum paan m inim . D ialog lintas agam a hanya berlangsung di tdngkat elite, sedangkan basis gerakan m asyarakat baw ah dalam m enciptakan kerukunan nihil. W ajar jika hubungan antaragam a di akar ru m p u t m asih berjalan term tup dan sarat prasangka.
334 Millah VoL X I, No. 2, Februari 2012
B enih prasangka dan kebencian antar-um at beragam a terus mengalam i kristalisasi sehingga m em andang orang lain sebagai “liyan” . Relasi divergen sosial-keagamaan
tidak berkem bang dengan baik. Sem ua itu berm uara pada
klaim keagam aan yang eksklusif. Selama ini ham batan prim ordial untuk m encintai sesam a adalah egoism e keagamaan. K epentingan diri m em b u at orang m em beri tanpa ketulusan. K epentingan d id m em buat kita m elihat sesam a anak bangsa sebagai m usuh yang ham s diperangi. Cinta kasih m ustahil tum buh dalam lingkungan keserbalainan.
Acapkali kita m elihat ironi. D engan dalih
m em bela kebenaran, m enegakkan keadilan, m em bangun dem okrasi, menjaga H A M atau m encintai agama, kebencian bem saha m endorong dndak kekerasan yang seolah m endapat pem benaran, tetapi berakibat am at mem ilukan. A ncam an
nyata proses
m elestatikan keadaban yang toleran
adalah
m engakam ya fundam entalism e agama. K ekerasan dengan berbagai vatiabelnya belakangan ini susul-m enyusul tak ubahnya petasan m enjelang lebaran. Sialnya, negara tidak berdaya m em otong
sum bu kekerasan yang percikannya bisa
m em antik kekerasan b am yang lebih d ah sy a t A khim ya m asyarakat mengalam i “latah” d an m enjadikan kekerasan sebagai tren b a m dalam m em pertahankan klaim kebenaran. Sebut saja nalar kekerasan berbentuk bom di G ereja B ethel Injil Sepenuh, K epunton, Jebres, Surakarta, Jaw a T engah (2 5 /9 /2 0 1 1 ). Rasa kem anusiaan kita dirobek oleh b o m b u n u h diri yang pelakunya diduga laki-laki berum ur 30 tahun, m em akai baju putih, celana panjang w arna hitam , dan m emakai sepam kets. K utukan dan kecam an datang m engalir dari berbagai tokoh Untas agama, pem erintah, dan m asyarakat yang m asih m enjunjung tinggi nilai keindonesiaan. Tindakan im dikutuk karena tidak ada ruang yang layak bagi m asyarakat Indonesia yang selam a ini dikenal ram ah, religius dan toleran. D alam kitab suci m anapun tidak ada legitimasi yang m em benarkan tindakan biadab im. Bagaimana m ungkin ada jalan terang m enuju surga yang ditem puh dengan cara keji dan biadab. Siapa yang m enciptakan “neraka” bagi sesamanya selama di dunia, kelak akan m erasakan kejam nya neraka yang sesungguhnya. B om b u n u h diri di dalam gereja di Solo yang m elanggar etika kem anusiaan m erupakan ekstemalisasi dari sikap kebencian d an egoisme.
K ebencian
Praksis Islam dalam Meretas Keadaban ... 335
m engelim inasi cinta kasih terhadap sesam a anak bangsa. K ebencian m enjadikan Indonesia sebagai tem pat yang gersang bagi bedangsungnya kepelbagaian dalam ikatan kebinekaan. K ebencian m em buat orang yang berlainan ideology halal darahnya, sehingga sah untuk diperangi. K ebencian m em b u at relasi antarm anusia dipenuhi kecurigaan atau prasangka. B om b u n u h d in terhadap kelom pok lain dengan m engatasnam akan agam a setingkali m enim bulkan perm usuhan yang sangat keras, ribuan kali lebih keras. D em i pem belaan terhadap agama, seseorang m elupakan sifat kemanusiaannya. A lm arhum A bdurrahm an W ahid (G usdur) m enulis bahw a banyak sekali orang m enganggap agam a sam a dengan T uhan, padahal agam a bukan T uhan. O rang m enganggap m em bela agam a sam a halnya dengan m em bela T uhan. Padahal, T u h a n tidak perlu dibela, sebaliknya T u h a n m em bela m anusia yang diciptakan.2 , M asalah terorism e erat kaitannya dengan pendangkalan pem aham an agama. Paradigm a jihad dalam agama selalu final di genangan darah kekerasan. O rang dianggap
halal u ntuk dibunuh
m anakala merniliki pem aham an berbeda.
Pem aknaan yang simplistis ini jika tidak dicerahkan akan m elahirkan kekerasan dalam
agama. D i sinilah tugas tokoh agam a Islam
untuk m em berikan
pem aham an yang benar tentang pesan profetis agama. Tugas p o k o k tokoh agam a Islam adalah m ew artakan kepada pem eluknya agar pem aham an jihad dalam agam a tidak dibajak oleh arogansi kelom pok teroris. P esantren sebagai basis pendidikan agam a selayaknya m enjadi pelopor lahim ya teologi inklusif. B ukan sebagai tem p at bersem ainya radikalisme, eksklusivisme yang m enafsir jihad dalam kacam ata kfekerasan belaka dan m enutup diri dari budaya luar. M em aknai jihad akbar sesungguhnya berakar pada kem am puan diri untuk m enahan am arah dan m elaw an haw a nafsu yang di dalam nya m engandung kebencian. A ncam an berikutnya yang tu ru t m en d o ro n g robohnya keadaban kita adalah konflik horizontal berm uatan sentim en agama.
Sepanjang tahun 2011
ditayangkan secara gam blang betapa p o tre t kebebasan beragam a berw ajah kelam. Berbagai aksi kekerasan dan praktik intoleransi di sepanjang ta h u n ini sem akin m enguat. K onflik berdasarkan sentim en agam a, pem berangusan 2 Abdurrahman Wahid, T uh an T id a k P erlu D ib ela , (Yogyakarta: LKiS, 1999), hal.20.
336 Millah Vol. X I, No. 2, Februari 2012
tem pat ibadah dan penyerangan kelom pok yang dianggap sesat adalah deret persoalan yang m em b u at peta pluralism e sem akin buram . D i akhir tah u n 2011
T h e W ahid Institute merilis laporan tentang
kebebasan beragam a dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia. B erdasarkan deret angka pelanggaran KBB dan intoleransi yang didata, terjadi kenaikan 18 % dari yang sebelum nya 64 kasus (tahun 2010) m enjadi 92 kasus (tahun 2011). D ari 92 kasus pelanggaran K BB, Jem a a t A hm adiyah sebagai yang terbanyak m enjadi korban, disusul jem aat G K I Yasm in, B ogor.3 Sejatinya upaya penyegelan, pem bubaran dan pem berangusan A hm adiyah inkonstitusional,
karena
negara
telah
m engingkari
kewajibannya
dalam
m elindungi, m enghorm ati, m em ajukan dan m enegakkan hak asasi warga negaranya, sebagaim ana diam anatkan oleh pasal 71 dan 72 U U N o. 39 tahun 1999 tentang H ak Asasi M anusia. D o ro n g an pem bubaran tidak bersandar pada kesadaran
bahw a
dalam
m enjalankan
im annya,
m anusia
tidak
bisa
diseragam kan. Pasal 28 E ayat (1) dan (2) U U D 1945 dengan jelas m em berikan ruang kebebasan bagi setiap orang u n tu k m em eluk agam a dan berhak atas kebebasan m eyakini kepercayaan. A gam a adalah h ak fundam ental manusia. M enganut atau tidak suatu agam a, meyakini atau tidak suatu kepercayaan adalah hak seseorang secara pribadi yang m elekat pada harkat dan m artabatnya sebagai m anusia. Jika pem bubaran itu
tetap
dilakukan, berarti pem erintah ikut
m e n d o ro n g m asyarakat u n tu k m em ilih agam a yang bertentangan dengan keyakinan nurani. Sejarah panjang penghakim an terhadap perbedaan agam a dan keyakinan yang kerap diw arnai dengan pertu m p ah an darah m em ang tak m engenal kata tam at. E sta fe t kekerasan d an invasi im an terus direproduksi dan diamini kelom pok di setiap era sebagai pilihan pragm atis m eneguhkan dom inasi.4 Jika 3L a p o ra n K ebebasan B eragam a 2011 T he W a h id In stitu te, dikutip dari http://www.wahidinstitute.org/Dokum en/Detail/?id=184/hl=id/Laporan_Kebebasan_Berag ama_201 l_The_Wahid_Institute. Diakses 11 Januari 2012.
4 Contoh paling menarik ihwal penghakiman iman seperti dalam sejarah Syekh Siti Jenar yang dipcnggal mati usai shalat Jum’at di hadapan para wali dan pembesar istana lantaran dianggap melawan kekuasaan para ulama yang mengunggulkan ortodoksi. Cerita dari Baghdad pada abad X mengatakan bahwa darah Jenar muncrat membentuk 84 tetes dan menulis kata "Allah”. Sepotong kepala yang lepas dari tubuhnya itu, lantas tertawa sembari berseru agar
Praksis Islam dalam Meretas Keadaban ... 337
dem ikian
tidak
keliru
m anusia
dipersepsikan
sosok
yang
am bisius
m em perebutkan wilayah dom inasi, term asuk dom inasi keagam aan. Peristiwa m utakhir terkait invasi im an dan pem berangusan atas nam a agam a datang dari K abupaten Sam pang, M adura. Sebagai m asyarakat yang dikenal santri, tentu penyerangan
dan
pem bakaran
rum ah
m aupun
pondok
pesantren
milik
kelom pok Syiah di K ecam atan O m ben, Sam pang, M adura m enjadi ironi dan tanda tanya banyak orang. Pasalnya, ketika alm arhum A bdurrahm an W ahid (G usdur) m asih hidup, M adura m enjadi basis N ahdatul U lam a dengan tingkat penghargaan dan toleransi yang tinggi terhadap isu keragam an. G us D u r tidak saja berhasil m enanam kan kultur dam ai terhadap sesam a dan inklusif dalam berteologi, tetapi juga tegas m elindungi kaum m inoritas dengan m engerahkan pengikutnya u ntuk m elakukan penghadangan bagi kelom pok radikal yang akan m elakukan penyerangan.5 K eyakinan kepada T uhan Y ang M aha E sa secara intuitif tidak bisa dipaksakan, terlebih ditundukkan oleh kekuasaan.
Im an m erupakan hasil
pencarian, tidak sekadar melalui ketajam an logika yang bisa dijawab dengan hitung-hitungan rum us atau dijabarkan dalam kaidah hukum . Tatkala keyakinan dipaksa hom ogen m engikuti mainstream melalui pem aksaan struktural maka agam a akan kehilangan sem angat profetisnya, sebagai yang m em bebaskan dari keterkungkungan d an bentuk penindasan lainnya. O le h karena itu, kasus kekerasan terhadap kelom pok yang dianggap sesat yang terjadi secara berulangulang hendaknya tidak dikaji dari satu perspektif saja. K arena dam pak pem batasan kebebasan beragam a itu secara linear akan m em icu sim pati kelom pok radikal untuk m em orakporandakan stabilitas kesatuan d an persatuan kita. D im ensi-dim ensi lain seperti kegagalan pem erintah m engelola m odem isasi dan globalisasi harus ditanggapi secara dem okratis dengan m em beri kesem patan u n tu k hidup bagi kelom pok-kelom pok kecil d a n lem ah. Proses dem okratisasi harus dim ulai dengan dialog yang terbuka dan fair an tar k o m p o n e n pluralism e. darahnya segera kembali ke tubuh, sehingga bercak darah tidak tampak lagi. Peristiwa itu menjadi pertanda bahwa barangsiapa yang menghukum mati seseorang karena iman dan pendirian akan mendengar sepotong kepala yang tertawa. 5 hal.A ll.
Achmad Fauzi, “Syiah Sampang Versus Syiar Kebencian”. Koran T em po, 6 Januari 2012,
338 Millah V ol X I, No. 2, Februari 2012
Selama ini bangunan keharm onisan antarum at beragam a berjaian rum it karena tereduksi oleh pengaturan
form al negara. N egara, sebagai yang
m enguasai wilayah dom inasi, terlalu gegabah m elakukan kebijakan kontrol yang sangat ketat, sehingga m inoritas suka atau ridak suka harus n m duk kepada kepentingan penguasa. T idak ada pendew asaan {maturation) dan pem berdayaan (empowerment) individu dalam cara beragam a karena politik survailence oleh negara telah m elum puhkan peluang agama untuk m engem bangkan landasan etik bagi dirinya. Sekat-sekat aturan yang sangat teknis itu, juga m em batasi ruang nafas bagi m asyarakat sipil untuk terlibat aktif dalam m engatur, utam anya m engenai interaksi um at beragam a, sehingga m ereka kehilangan kapasitas yang dalam jangka panjang m elem ahkan tingkat keberdayaannya. L ihat saja kesan yang m uncul, misalnya,
pasca diterbitkannya Surat
K eputusan G u b e m u r di beberapa daerah tentang pelarangan aktivitas Jem aat Ahm adiyah. T o k o h dan pem uka agama di m ata m asyarakat terkesan ridak berdaya dalam m engelola bidang tugasnya, sehingga perlu m em injam
tangan
pem erintah. D i sam ping itu, um at beragam a terkesan terkotak-kotak lantaran adanya batasan-batasan peraturan yang parsial. Pengaturan persoalan A hm adiyah idealnya m enjadi wilayah agam a dengan lebih
m enekankan
ikatan
kultural daripada
regulasi
formal.
Sedangkan
pem erintah lebih baik berupaya m enciptakan penegakan hukum yang serius terhadap pelaku kekerasan berbasis agama. Selama ini penilaian kinerja aparatur hukum m enunjukkan ketidakpuasan terhadap kinerja aparat peradilan dalam m enangani kasus kekerasan berbasis agama. K etidakpuasan itu tercerm in, misalnya, dari vonis bebas m aupun hukum an ringan yang dijatuhkan kepada pelaku kekerasan terhadap A hm adiyah di Cikeusik. Alih-alih m em berikan efek jera, kondisi suprem asi hukum yang rapuh itu justru dim anfaatkan kelom pok tertentu u n tu k m erusak suasana kebatinan berbangsa dem i m erebut wilayah dominasi. P o k o k penting lainnya terkait sem akin rapuhnya keadaban m asyarakat kita lantaran negara m andul dan kebijakan yang digulirkan banyak m encederai kelom pok m inoritas. Keridakberdayaan peran negara itu ditandai oleh beberapa indikator, misalnya, ketidakhadiran peran negara saat m inoritas m enjadi bulan-
Praksis Islam dalam Mentos Keadaban ... 339
bulanan dalam p usaran koaflik horizontal, kegagalan negara dalam m engelola m odem isasi d an globalisasi yang berdam pak p a d a m inim nya kesem patan untuk hidup bagi kelom pok-kelom pok k e d l d an lem ah, serta pengabaian hak-hak konstitusional m inoritas sebagai kelom pok yang tidak diuntungkan dalam struktur sosial, yang kesem uanya m enjadi w ujud d a n peran negara yang inkonstitusionaL M endam bakan kedam aian di Indonesia tanpa m em berikan jam inan konstitusional terhadap setiap w arga adalah sesuatu yang keliru. Seharusnya, jam inan itu m enjadi hak setiap w arga tan p a m em beda-bedakan. K adangkala
m inoritas
dianaktirikan
karena
dianggap
tidak
m am pu
m elanggengkan kekuasaan. A lih-alih negara m elakukan definisi ulang ten tan g fungsi d an perannya dalam
m enciptakan m asyarakat berkeadaban, m asyarakat justru
disuguhi
petilaku kaum elit yang tunam alu. Setiap hari m asyarakat disuguhkan oleh lakon elit politik yang tanpa m alu m elakukan korupsi, m enjarah uang rakyat, m em b u n u h rakyat dengan data, m elakukan politik pencitraan d an m engabaikan keselam atan bangsa. K eadaan ini sem akin m em b u at kohesi sosial antarm asyarakat terurai dari sendi-sendinya. P ersepsi keragam an b erb e n tu k suku, agam a, ras d a n antargolongan kini m asih p ejo ra tif d a n belum absen dari kultur politik kolonial yang segregatif. “E er gevoeV adalah term p o p u le r dalam sejarah kolonial yang berm akna agam a atau suku yang satu lebih unggul d an m ulia dari yang lain. Bekerjanya kendali politik rezim atas kem ajem ukan m em b u at keberdayaan kom unitas w arga dalam m ew ujudkan kehulupan dem okratis, setara d a n k o o p e ra tif lem ah diganSkan peran negara dalam setiap sektor kehidupan. T erns terang m asyarakat m ulai kesulitan m encari sosok negaraw an yang bisa m engayom i kepentingan sem ua suku, agam a, ras d a n a n ta r golongan (SARA.) dalam ru m ah bersam a bernam a Indonesia. K epentingan rakyat terabaikan, sehingga im unitas m asyarakat atas hasutan pem angku kepentingan sem akin terkikis d a n gam pang tetlecut. O ra n g gam pang m arah d a n tersinggung. Isu SA R A m enjadi um p an kerusuhan paling m ujarab. Sensitivitas yang m enim bulkan persinggungan m asyarakat sipil seperti di A m b o n , sipil versus a p arat d i M esuji d a n Bim a, m erupakan puncak gun u n g es dari kefrustasian
340 Millah Vo1 X I, No. 2, Februari 2012
m asyarakat terhadap elit politik yang tidak becus m engurus negara. Itu sem acam tam paran yang dialamatkan kepada elit negara supaya m enyadari betapa rapuhnya rasa kebangsaan m asyarakat Indonesia saat ini. K aum elit juga bisa m elihat bahw a jad d in bangsa berw ujud SARA, sehingga m em benturkan SARA untuk kepentingan politik pragm atis sebagai hal yang keliru. M endiang Th. Sum artana m enyebut bahw a suku, agama, ras dan antar gologan (SARA) adalah “ibu” yang m elahirkan Indonesia.
Soekam o,
M oham ad H atta, Tjipto M angunkusum o, K w ee T hiam H ong, H aji Agus Salim, R aden Sutom o, dan lain-lain adalah putera-puteri terbaik d a d “ibu” SARA. M ereka m erupakan tokoh yang memiliki karakter m ajem uk dan tidak pernah m em benturkan SARA untuk kepentingan politik.6 Intrusi di atas sem akin diperparah oleh grafik distribusi ekonom i dan keadilan sosial di setiap daerah yang terjun bebas. K om parasi jam inan kesejahteraan w arga dengan takaran upeti untuk negara tim pang, sehingga nasionalisme suku kerap berbenturan dengan kebijakan nasionalism e yang berpusat di Jakarta. Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya seharusnya dikelola untuk kem akm uran bersam a, nam un nyatanya dieksploitasi asing. Fakta terkini m enunjukkan bahw a kedaulatan ekonom i Indonesia 51 % dikuasai oleh asing. Ini ditandai dengan penguasaan sektor strategis seperti keuangan, energi dan sum ber daya m ineral,
telekomunikasi, sehinga N egara
Indonesia tersandera dalam m engelola kekayaannya. O leh karena itu, negara harus m enata ulang strategi pem bangunan ekonom i agar hasilnya lebih m erata dirasakan rakyat. M enangkal potensi disintegrasi akibat gesekan perbedaan suku, ras, dan pem aham an agam a yang berbeda, terlebih dahulu dimulai dengan m elupakan m em ori pengalam an m anusiawi yang pen u h traum atik.7 M em ori itu sejatinya sulit u n tu k dilupakan karena tersandera oleh praktik bem egara yang m enindas dan nirkeadilan. K arena itu negara
harus m ereform asi dua peran
fundam ental, yakni m em berikan jam inan konstitusional warga dan m eninjau ulang distribusi keadilan dalam segala aspek.
6 Th. Sumartana, dkic, P lu ralism e, K ottfU k dan P en didikan A g a m a d i Indonesia, ( Yogyakarta: Institute DIA N/Interfidei, 2001), haL91. 7 lb id.JaaL 95.
Praksis Islam dalam Meretas Keadaban ... 341
Persoalan
lain
m engenai
kualitas
pelaksanaan
o to n o m i
daerah,
desentralisasi serta dem okrarisasi tidak berjalan maksimal. K eadaan ini tu ru t m enstim ulus m unculnya radikalism e kedaerahan. Pergolakan Papua adalah am sal yang p e d u dikaji berkait kem ungkinan itu. Tatkala terjadi penyem pitan kesadaran m enghayati diri secara inklusif sebagai entitas bangsa, kem ungkinan b e sa t
suku-suku di Indonesia terancam bercerai-berai d an m engurus dirinya
sendiri secara m erdeka. In i berbahaya. K arena itu, peningkatan kesejahteraan m asyarakat di daerah raw an konflik atau separatism e m elalui perbaikan akses m asyarakat lokal terhadap sum ber daya ekonom i dan pem erataan pem bangunan antardaerah p e n d n g dilakukan. K ita punya p ed o m an Pancasila yang p a rip u m a dalam bem egara, tapi tunapengam alan. Sila Persatuan Indonesia dirum uskan bertujuan m engangkat m artab at d a n kehidupan suku-suku di Indonesia. D an , w aw asan nasional yang sehat m eniscayakan sikap m enjunjung tinggi kem ajem ukan d a n m em perhatikan kepentingan suku yang selam a ini terabaikan.
B egitupula sila keadilan sosial
m ew asiatkan pem erataan pem bangunan tanpa unsur m onopoli dari oligarki politik. Itu lah yang seharusnya m enjadi p ed o m an nilai bagi kita agar tidak terlam pau tergelincir dari rel kesejahteraan yang dicita-citakan. C. P a n c a sila d a n P ersa in g a n S e m e sta I d e o lo g i Sebagian m asyarakat kita m em andang persoalan kebangsaan saat in i sebagai ganjaran keputusan pendiri negara
yang tidak m enganut negara Islam
sebagaim ana diserukan para penganjum ya. A kibatnya Pancasila b u k an saja terancam dalam konteks sebagai dasar, tapi juga m engalam i reduksi secara ideologis. D i zam an O rd e B aru agam a dijadikan in stru m en proses legitimasi negara. N a m u n kini berlaku sebaliknya, negara justru m enjadi gelanggang yang diperebutkan oleh sem esta politik, ideologi m au p u n agam a. O ra n g mulai gam ang m elihat Pancasila sebagai dasar m au p u n ideologi, m eskipun secara filosofis substansi yang terkandung dalam sila Pancasila m am p u m ew adahi berbagai kepentingan agam a, budaya d a n sem esta politik yang ada. F akta ini berk o n trib u si besar bagi terciptanya politik form alis yang bersentral pada
342 Millah Vol. X I, No. 2, Februari 2012
negara. Setiap kekuatan politik-ideologis m aupun agama, m elihat agenda m erebut negara dan m enentukan staatside negara sebagai sesuatu yang mutlak. A kibatnya m asyarakat terpecah belah dalam kongsi kepentingan dan bendera yang berbeda. Jika m elihat tarik ulur hubungan antara agama dan negara di Indonesia selama ini, setidaknya ada dua simbiosa yang m enonjol. Pertama, intervensi negara
terhadap
agama
dalam
bentuk
kebijakan-kebijakan
politis
yang
m em ungkinkan agama berada di baw ah bayang-bayang kekuasaan, seperti penyingkiran pelbagai aliran im an yang seharasnya dijam in dan diakui sebagai agama oleh negara. Kedua, keinginan agama u ntuk m em pengaruhi negara sebagaimana euforia para nasionalis Islam saat ini yang “n g o to t” m elakukan formalisasi syariat Islam dem i tercapainya cita-cita pem bentukan negara Islam. Padahal m enurut hem at penulis, upaya penegakan syariat Islam adalah w ujud ketidak berdayaan um at Islam terhadap masalah yang m enghim pit mereka. U m at Islam m enganggap sem ua masalah akan selesai m anakala syariat Islam dalam penafsirannya yang tekstual dan kolot diterapkan di Indonesia. Relasi antara agama dan negara ini sebenam ya berakar pada suatu political interest, yakni suatu usaha untuk m engontrol dan m engarahkan jalannya kekuasaan berdasarkan jamaknya kepentingan yang ingin diw ujudkan lew at jalur politik. K edua bentuk hubungan itu senyatanya tidak sesuai dengan konstitusi bangsa Indonesia, karena negara m enjam in adanya suatu kehidupan keagam aan bagi m asyarakat yang bebas dari m onopoli negara, sehingga segala bentuk intervensi
negara
terhadap
kehidupan
beragam a
m erupakan
bentuk
pengkhianatan terhadap Pancasila dan isi U U D 1945. D i lain pihak, agam a yang berupaya m em aksakan suatu norm a apalagi m encoba m engagam akan negara juga m erupakan bentuk perlaw anan
terhadap konstitusi, karena In d o n e sia ------
bukanlah m erupakan negara agam a (baca seribu kali). Pengagam aan negara ddak serta m erta m enyelesaikan perm asalahan seperti yang sering diklaim oleh para penganjum ya. T etapi justru m em icu persoalan barn yang sem akin pelik pem ecahannya. Pertama, apabila salah sam golongan atau agam a m em aksakan n orm a agam a atau ideologinya dalam kehidupan bem egara, m aka golongan atau agam a yang lain akan m enjadi m asyarakat kelas kedua, sehingga m ereka m erasa
Praksis Islam dalam Mentos Keadaban
... 343
tidak a t home di negaranya senditi. K alaupun N ab i M uham m ad pernah m en orehkan tinta em as dalam proyeknya m em bangun M adinah m enjadi negara yang civilised di atas corak m asyarakat yang heterogen (plural agam a, ideologi, suku, d an kepentingan), itu m erupakan hasil negosiasi antara nilai-nilai Islam yang universal dengan kondisi lokal m asyarakat M adinah. Sehingga m eneladani N a b i bukan dari segi harfiahnya, tetapi m engam bil sem angat dari apa yang telah diupayakannya. Pancasila, kata Soekam o, m erupakan filsafat, bim bingan pikiran d an hasrat yang sedalam -dalam nya, yang di atasnya didirikan negara b em am a Indonesia yang m erdeka, kekal d an abadi. Pancasila adalah visi bersam a yang m endahului berdirinya Indonesia. Jika butir-butir pada setiap sila Pancasila dihayati dan diam alkan dalam
tata kehidupan bem egara, bukan tidak m ungkin Indonesia
jauh lebih m aju dibandingkan negara-negara yang m engaku sebagai pelopor N egara Islam. M engatasi persoalan kebangsaan yang rum it sebenarnya kita tak perlu terjebak pada paradigm a formalistik. Jika u m at Islam ingin berkontribusi dalam m em bangun keadaban publik tak perlu terlebih dahulu m engganti Pancasila dengan ideologi Islam . A m ien Rais m enulis .* “Islam ic state atau N egara Islam tidak ada dalam al-Q u’an m aupun dalam al-Sunnah. T idak ada perintah dalam Islam u n tu k m enegakkan negara Islam. Y ang lebih pen tin g adalah selam a suatu negara m enjalankan etos Islam , kem udian m enegakkan keadilan sosial, dan m enciptakan suatu m asyarakat yang egalitarian yang jauh dari eksploitasi m anusia atas m anusia m aupun eksploitasi golongan atas golongan lain, berarti m e n u ru t Islam sudah dipandang sebagai negara yang baik. A palah artinya suatu negara kalau hanya form alitas yang kosong.” 8 Pancasila m em ang bukan agama. T api sebagai vision o f state yang di dalam nya m engandung ide, nilai dan visi, Pancasila tidak alergi terhadap agama. Sebagai c o n to h pada sila pertam a disebutkan secara eksplisit bahw a Pancasila m engandung visi K etuhanan Y ang M aha Esa. T afsir atas sila terseb u t bertitik
8 Amin Raies, dkk, T id a k A d a N eg a ra Islam (S u ra t-su ra t P o litik N u rch oksh M a d jid — M . P oem ), (Jakarta: Djambatan, 1997), hal. xxiii.
344 Millab Vol. XL, No. 2, Febmari 2012
tum pu pada nilai kesadaran bahw a Indonesia sebagai negara yang religius, sehingga wajib hukum nya negara melindungi, m enghorm ati dan m em berikan kebebasan kepada setiap w arga untuk m em eluk dan m enjalankan ibadah sesuai keyakinan agama dan kepercayaannya. Persoalannya banyak sekali sikap keberagam aan yang justru am bivalen dengan sila ketuhanan, bahkan kontraprodukrif dengan sila kem anusiaan yang notabene m enjadi m uara
kebertuhanan. Acapkali butir
Pancasila dihayati
secara parsial dengan m engagungkan sila ketuhanan, tapi menginjak-injak m artabat kemanusiaan. Atas nam a T uhan, m anusia dan kem anusiaan m enjadi tum bal oleh akal yang pendek, am arah dan egoism e. Ikatan sebangsa apalah artinya bagi m ereka jika tidak se-ideologi, se-agama. O leh karena itu, m engukur tingkat penghayatan terhadap sila ketuhanan bukan berdasar atribut form al, taat beribadah, rajin m em erangi kelom pok yang dianggap kafir atau
m em uja T u h an setinggi langit. Tapi sejauh m ana rasa
keterpanggilan diri untuk terlibat langsung dalam proyek kebajikan yang m em ihak pada tegaknya pilar kebangsaan dan keijianusiaan di m uka bumi. Itulah hakikat terdalam dari nilai ketuhanan d an kem anusiaan pada sila Pancasila. D . Isla m seb a g a i T ata N ila i d an Gerakan A rnold T oynbee (sarjana non-M uslim ) m engatakan bahw a Islam sebagai agama yang m enjunjung tinggi perbedaan (ras, etnik, agama, budaya, dan peradaban). K esadaran penghapusan dikotom i ras, budaya dan agam a adalah salah satu pencapaian prestasi m oral yang ditunjukkan oleh Islam .9 D alam dunia kontem porer sering m uncul sem acam tangis kebutuhan akan kebajikan nilainilai Islam yang toleran. K ekuatan toleransi antar-ras sekarang sedang berjuang habis-habisan dalam suatu pertarungan spiritual yang punya m akna penting bagi kemanusiaan. K ekuatan-keuatan itu kem ungkinan m asih tetap berada di papan atas.
9 Arnold Toynbee , C ivilisa tio n on T ria l, (Oxford: Oxford University Press, 1948), haL205206
.
Praksis Islam dalam Meretas Keadaban ... 345
P em yataan A rnold T oynbee te n tu bukan o m o n g kosong. Islam sebagai tata nilai m au p u n sebagai gcrakan keagam aan m emiliki m akna pen tin g dalam m engejaw antahkan konsep toleransi, inklusivism e, d an dialog, khususnya dalam bingkai keindonesiaan. T api Islam sebagai tata nilai ten tu tidak cukup cepat dalam m engatasi persoalan kritis kebangsaan yang tuna-adab. D ib u tu h k an praksis Islam dalam b en tu k gerakan sebagai kosakata bergegas. Persoalan keadaban adalah m asalah w atak pada tingkat individu dan budaya p ad a tataran publik. K arena itu m em bangun m asyarakat Indonesia yang berperadaban m ultikultural dibutuhkan kanal pendidikan sebagai proses panjang m em bangun karakter. O rientasi pendidikan karakter itu m engakom odir nilai-nilai adab seperti
inklusivism e,
kasih
sayang,
teposeliro,
toleransi,
d an
sem angat
m enghargai. P ad a sekolah m ajem uk pendidikan karakter m eniscayakan interaksi pergaulan yang m elam paui kelom pok pardkulam ya.
Siswa m uslim yang
cenderung m em ilih p a rtn e r interaksi yang se-kelas, se-agam a, se-etnis, sesekolah dibiasakan bergaul d an m em perlakukan siapa saja secara setara. Supaya berjalan efek tif sem ua gu ru harus siap m enjadi penghayat nilai dengan m em berikan teladan baik bagi anak didiknya.
Banyak kasus m urid “kencing
berlari” karena perilaku guru yang m em berikan teladan “ kencing berdiri” . Im plem entasi pendidikan karakter bu k an sekadar hafalan kaidah-kaidah atau teori, tapi m erelevansikan nilai-nilai n o rm a tif yang abstrak dalam agam a dengan kondisi sosiaL, sehingga peserta didik m am pu m enerjem ahkan d id dalam kehidupan m asyarakat yang kom pleks secara fleksibel tan p a ada ketegangan. Peserta didik dari berbagai kelom pok, suku, budaya, agam a d a n kelas sosial dilatih m em baur. U nsur-unsur perekat yang m enyatukan b atin m ereka m enjadi katarsis dalam m em p d ajari prinsip-prinsip h idup bersam a di sekolah m aupun m asyarakat Pendesem inasian kesadaran toleransi d an m enghargai perb ed aan m elalui jalur pendidikan di pesantren m a u p u n sekolah um um m em iliki p ro sp e k terang karena pem aham an itu m em berikan dasar-dasar karakter k u at sebagai p en o p an g lahim ya m anusia inklusif d a n dem okratis.
N a m u n k onsep toleransi yang
diajatkan p e d u didasarkan kepada kontekstualitas Indonesia sebagai negara yang m em iliki corak kehidupan heterogen.
346 Millab VoL X I, No. 2, Febmari2012
Sebagai peralihan dari keluarga kepada masyarakat, kini pesantren m aupun sekolah pada um um nya ditantang untuk m engem bangkan praktik pendidikan toleransi itu. A nak didik dapat diajak m em aham i hakikat perbedaan agam a yang kadangkala m enjadi ham batan teologis dalam m em bangun pergaulan. D alam konteks ini, pendidikan bukan sekadar m cm berikan pem aham an bahw a perbedaan itu sebagai realitas yang niscaya.
Perlu ada sem angat koeksistensi
tethadap agam a di luar agam a kita. Salah satu penerapannya, misalnya tradisi saling m engunjungi dan m engucapkan selamat kepada tem an berbeda agama yang m erayakan iebaran. Selama ini orang beranggapan m engucapkan selamat sam a halnya m em benarkan im an mereka. Padahal kosakata selam at Iebaran sebagai ungkapan pertem anan, ikatan ketetanggaan dan kem anusiaan. Ini sebentuk peneguhan keim anan bahw a perjuangan dalam m enghayati agama bukan sekadar orang punya agama {to have religion), m elainkan bagaim ana orang m enjadi saleh d an peduli terhadap sesama (being religious). D alam rangka m enghidupkan kembali tradisi terpuji itu, peranan pendidikan agama Islam yang toleran di sekolah sangat dibutuhkan. Bagaim ana sekolah dengan berbagai m acam
atribut keagam aannya mempertdmbangkan bersam a nilai-nilai m ana
yang dapat ditanam kan kepada anak didik sehingga sejak dini m ereka terbiasa m engem bangkan hidup bersam a. B etapa seringnya kita m enyaksikan penerapan konsep toleransi di sekolah m aupun di m asyarakat yang cenderung artifisial. A nak didik hanya dituntut u n tu k toleransi antara yang satu dengan yang lain
tanpa dibarengi dengan
kesadaran u n tu k m engerti dan m em pelajari agam a lain. M enurut alm arhum A bdurrahm an W ahid pada pidatonya di Surabaya tanggal 18 Ju n i 1996, kondisi sem acam ini m asih raw an konflik, karena tuntutannya hanyalah toleransi, bukan saling m engerti. Sehingga, ketdka unsur yang m endam aikan hilang m aka konflik yang lebih besar tidak dapat dihindarkan. H al serupa juga dilakukan oleh lem baga-lem baga keagam aan yang sering m enyelenggarakan dialog dengan m engusung tem a toleransi dan tenggang rasa. N am u n yang terjadi bukan dialog, tapi m onolog. M asing-m asing kelom pok m em buat standar ganda. Standar n o rm atif untuk agam anya sendiri dan standar historis u n tu k m enjustifikasi agam a lain. D engan begitu dialog hanya berkutat
Praksis Islam dalam Mentos Keadaban ... 347
pada persoalan konsep yang bersifat n o rm a rif d an tekstual saja. Belum m enyentuh pada persoalan praksis sehari-hati. K etika praksis Islam m elalui jalur pendidikan telah m em perlihatkan hasilnya yakni terbentuknya m anusia beradab, m aka yang dipikirkan berikutnya soal jalinan
kerjasam a d an persaudaraan
antaragam a
sebagai kom unitas
m asyarakat berbangsa. Persaudaraan diperlukan u n tu k m engubah perbedaan m enjadi pangkal sikap hidup positif, seperti keterpanggilan d id u n tu k b ed o m b a beram al
kebajikan.10 Itu
p en tin g
karena
persaudaraan
d an
perjum paan
antaragam a sem akin m endesak digalakkan tatkala m asyarakat m enghadapi persoalan kebangsaan yang sam a yang m elibatkan sem ua w arga m asyarakat tanpa m em beda-bedakan b en d era agam a. K aren a itu sem ua agam a harus bersinergi
m enjalankan
fungsi
transform atifhya.
In i
sebuah
kew ajiban
m engingat agam a adalah realitas yang im anen d a n isu kem anusiaan apapun bentuknya m enjadi problem yang harus dijawab oleh agam a. Persoalannya proses m em bangun
sinergi antaragam a saat ini kerap
m enghadapi kendala. M eski kam us teologi agam a-agam a banyak m em beri ruang kosakata bagi tum buhnya sim pul persam aan sebagai titik tem u (common platform ), nam un jejaring soliditas antaragam a m asih rap u h karena intensitas perjum paan hanya m elibatkan para to k o h agama. B erbekal nilai keadaban yang dibentuk oleh Islam
m elalui in stru m en pendidikan, m aka p erju m p aan d an relasi
antaragam a selayaknya tidak lagi bersifat elitis. G erakan itu tidak akan mem iliki daya d o b rak karena di tingkat elite kharism a to k o h agam a m engalam i reduksi legitimasi di m ata pem erintah. M asih segar dalam ingatan ketika p ara to k o h agam a bersikap kritis m em beberkan
sejum lah
k e b o h o n g an yang dilakukan pem erintah. A lih-alih
m erespons kritik itu dengan bijak, p em erin tah justru re a k tif d a n m enuding to k o h agam a laksana b u ru n g gagak hitam pem akan bangkai. Segala hal yang berbau kritik, seruan m oral d a n som asi dari to k o h agam a cenderung dipaham i sebagai gerakan politik u n tu k m enggulingkan kekuasaan.
10 Nurcholish Madjid, Masyarakat PeSffus; Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kebidupan Masyarakat, (Jakarta; Paramadina^004)JiaL41.
348 Millab Vol. X I, No. 2, Februari 2012
K arena itu, m em perkuat basis Islam dalam perjuangan m eretas keadabai Indonesia yang m ultikultural ham s ada ketedibatan koeksistensial agama-agam; d a d akar ru m p u t sehingga m enjaga m artabat kem anusiaan bukan hanya tugai elit agama, tapi m enjadi keham san bersam a um at beragam a. E . P enu tup M eretas keadaban m asyarakat Indonesia m ultikultural tidak bisa dilepaskai d a d kontribusi Islam sebagai agama yang dipeluk m ayoritas masyarakat Berbagai persoalan kebangsaan yang m endera kita saat ini sedikit banyal dipengaruhi nilai keadaban um at Islam yang m ulai luntur. K arena itu untul m engasah kem bali nilai kesucian itu dipedukan rum usan dan langkah konkri sehingga ajaran universal Islam tidak hanya m emiliki pesona di tataran kajiai ilnaiah, tetapi juga memiliki m akna penting p'ada ranah praksis sosial. Pendidikan adalah kanal yang tepat untuk m enanam kan nilai Islam yanj toleran dan beradab. D alam pendidikan keadaban bisa dibangun melalu kom unitas kecil hingga akhim ya m enjadi karakter dan budaya m asyarakat kita K etika pendidikan m enghasilkan tipe m anusia inklusif dan toleran, pokol berikutnya adalah menjalin kerjasama antaragam a dalam bingkai kebangsaan. Iti penting karena m asyarakat m enghadapi persoalan kebangsaan yang sam a tanp: m em beda-bedakan bendera agama. Sehingga m em andang krisis keadabat sebagai m asalah bersam a yang ham s disikapi secara bersam a-sam a.
D A F T A R P U ST A K A Fauzi, A chm ad.2011. Fobohnya Keadaban K ita, H arian K om pas, 17 Septem ber. Fauzi, A chm ad.2012. “ Syiah Sam pang V ersus Syiar K ebencian”, K orar Tempo, 6 Januari. M adjid, N urcholish. 2004. M asyarakat ReHgius; M embumikan N ila i-N ila i Islan dalam Kehidupan M asyarakat, Jakarta: Paramadina.
Praksis Islam dalam Meretas Keadaban ... 349
Rais, A m ien, dkk.1997. Tidak A d a Negara Islam (Surat-surat P olitik Nurcholish M adjid—M . Poem), Jakarta; D jam batan. Sum artana, T h . dkk. 2001. Pluralisme, K onjlik dan Perdamaian, Yogyakarta: Interfidei. T h e W ahid Institute.2011. Taporan Kebebasan Beragama 2011 The W ahid Institute,
dalam
http://w w w .w ahidinstitute._B eragam a_2011_.T he_
W ahid_Institute. T oynbee, A rnold. 1948. C ivilisation on Trial’ O xford: O x fo rd U niversity Press. W ahid, A bdurrahm an .1999. Tuhan Tidak Perlu Dibela, Y ogyakarta : LKiS.
350 Millah VoL X I, No. 2, Februari 2012