32
BAB II KEPATUHAN NOTARIS/PPAT BANDA ACEH TERHADAP KEWAJIBAN MEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 TERHADAP KARYAWAN A. Pajak Penghasilan dan PPh Pasal 21 Pemerintah menjalankan fungsinya dalam mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Untuk
menjalankan fungsinya tersebut pemerintah
memerlukan dana atau modal. Modal yang diperlukan itu salah satunya bersumber dari pungutan berupa pajak dari rakyatnya. Pajak adalah kewajiban rakyat sebagai warga negara yang baik, tetapi tidak sedikit yang menyetujui bahwa pajak merupakan beban yang harus dipikul rakyat suatu negara. Pada negara-negara yang menganut demokrasi, pajak yang dibayar oleh penduduknya harus berdasarkan atas persetujuan rakyat melalui Lembaga Perwakilan
Rakyat.
Dengan persetujuan dari
rakyat
melalui
perwakilannya maka disahkan suatu peraturan perundang-undangan perpajakan, sebagai dasar hukum kewajiban perpajakan. Ketentuan tentang subjek pajak, objek pajak, tarif pajak dan prosedur perpajakan merupakan ketentuan yang harus mendapat persetujuan rakyat karena itu harus diatur dalam undang-undang. Pajak tersebut kemudian akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah, fasilitas publik dan membiayai pembangunan guna usaha mensejahterakan rakyat. Pajak dapat dibedakan menurut sifat dan cirinya. Pembagian menurut sifat akan menghasilkan jenis-jenis pajak sebagai berikut seperti pajak atas kekayaan dan pendapatan, pajak atas lalu lintas hukum, kekayaan dan barang, pajak atas kebendaan dan pajak atas pemakaian. Sedangkan menurut cirinya, Pajak dapat 32
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
dibedakan menjadi pajak subjektif52 dan pajak objektif53, pajak langsung dan tidak langsung, pajak pusat dan pajak daerah.54 Salah satu pengenaan pajak yang diterapkan di
Indonesia adalah Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dibebankan atas penghasilan perorangan, perusahaan atau Badan Hukum lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, pada tahun 1925 dibuat aturan terpisah pemajakan perusahaan menjadi Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925. Dalam tahun 1933 diperkenalkan Ordonansi Pajak Kupon (Bunga) yang mengenakan pajak atas penghasilan bunga. Selanjutnya, dalam tahun 1935 dikeluarkan Ordonansi Pajak Upah untuk memungut pajak dari para karyawan yang pada tahun 1944 diintegrasikan dengan Ordonansi Pajak Pendapatan. Selanjutnya dengan pasang surutnya pelaksanaan kedua ordonansi tersebut, dalam tahun 1983 keduanya menyatu dalam satu ketentuan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pembaruan sistem perpajakan di Indonesia ini diusahakan tersusun sistem perpajakan yang sederhana, adanya kepastian hukum, dan bertujuan untuk memberikan pemerataan perekonomian. Kesederhanaan diperlukan agar mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh wajib pajak ataupun fiskus. Sistem perpajakan yang baru tidak memungut pajak atas masyarakat yang masih berpenghasilan 52
Pajak Subjektif merupakan pajak yang erat hubungannya dengan subjek yang dikenakan pajak, dan besarnya sangat dipengaruhi keadaan subjek pajak. Memberi perhatian pada keadaan pribadi wajib pajak. Seperti status kawin, tidak kawin, dan kawin dengan tanggungan. Hal tersebut menjadikannya sebagai beban yang harus dipikul (dragkracht) sebagai pengurang dari penghasilan. Contohnya, pajak penghasilan, Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Op. Cit., hal 44 53 Pajak Objektif merupakan pajak yang erat hubungannya dengan objek pajak, sehingga besarnya jumlah pajak hanya tergantung kepada keadaan objek itu, dan sama sekali tidak menghiraukan serta tidak dipengaruhi oleh keadaan subjek pajak. Pajak objektif ini dalam literature disebut juga pajak yang bersifat kebendaan (Zakelijk). Contohnya, bea masuk, cukai, pajak pertambahan nilai, bea materai. Ibid., hal. 45 54 Soemarso S.R, Op.Cit, hal.14.
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
rendah, tetapi memungut pajak atas individu-individu berpenghasilan tinggi dan perusahaan-perusahaan besar, dengan harapan akan mendapat sumbangan besar bagi peningkatan perekonomian golongan menengah ke bawah, di sini proses pemerataan perekonomian diharapkan terwujud. Bagi instansi pajak juga menekankan pada peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, agar dapat mendorong kepatuhan wajib pajak yang akhirnya akan memengaruhi peningkatan penerimaan pajak.55 Pajak Penghasilan termasuk jenis pajak yang dipungut pada tingkat nasional sehingga dapat dikategorikan dalam kelompok pajak pusat. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi dan kehidupan sosial serta kecerdasan masyarakat dan perkembangan hukum Undang-Undang Pajak Penghasilan telah mengalami empat kali perubahan yaitu, dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000 dan terakhir Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Objek Pajak dalam perpajakan adalah apa yang dikenakan pajak. UndangUndang Perpajakan selalu dengan tegas dan jelas menyebutkan apa yang menjadi objek setiap jenis pajak. Sesuai dengan namanya, Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan. Untuk itu, Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Pajak Penghasilan ini telah memberikan penegasan mengenai Objek Pajak yaitu “penghasilan”. Pajak penghasilan orang pribadi merupakan pajak personal dalam arti bahwa pengenaannya sedapat mungkin diupayakan untuk diselaraskan dengan keadaan penanggung pajak . Objek pajak dari personal ini 55
Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Op.Cit., hal. 78
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
dapat berupa penghasilan (inflow resources) atau pengeluaran (outflow resources). Pajak personal dengan objek penghasilan disebut Pajak Penghasilan (income tax).56 Berdasarkan ilmu Akuntansi, penghasilan (income) berarti suatu penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Sedangkan menurut undang-undang perpajakan, penghasilan adalah setiap tambahan yang diterima atau diperoleh Wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dan dalam bentuk apapun.57 Penghasilan menurut Akuntansi meliputi semua sumber ekonomi yang diterima oleh perusahaan baik itu dari transaksi penjualan barang, penyerahan jasa kepada pihak lain atau pengguna aktiva perusahaan oleh pihak lain. Penghasilan diukur dengan kenaikan bruto dari aktiva atau berkurangnya hutang selain dari transaksi penanaman modal. Sedangkan Undang-Undang pajak menganut prinsip pemajakan atau penghasilan dalam pengertian luas yaitu pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dipergunakan untuk konsumsi maupun menambah kekayaan.58 Salah satu indikator keadilan dalam pajak adalah pengenaan berdasar kemampuan membayar (ability to pay). Salah satu petunjuk kemampuan membayar adalah adanya penghasilan (income). Oleh karena itu, sudah
56
Ibid., hal. 45 Sunarto, Perpajakan 1, Amus, Yogyakarta, 2004, hal. 90 58 Ibid, hal. 90 57
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
selayaknya kalau pajak personal dikenakan atas penghasilan. Karena dikenakan atas penghasilan, defenisi istilah tersebut menjadi penting untuk memberikan kepastian hukum. Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, subjek Pajak Penghasilan secara umum terdiri atas: 1. a. orang pribadi b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak 2. Badan59 3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)60 Pasal 3 ayat (1) UU Pajak Penghasilan, orang atau badan yang tidak termasuk sebagai subjek pajak adalah : 1. Kantor perwakilan negara asing 59
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Ibid, hal. 12 60 Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan, proyek konstruksi, instalasi atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia. Ibid., hal. 12
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 3. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota 4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional. Penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :61 a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara dan sebagainya; b. Penghasilan dari usaha dalam kegiatan; c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tidak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak/dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya; Beberapa negara maju, misalnya Amerika Serikat, Pajak Penghasilan sangat didominasi oleh orang pribadi. Penerimaan pajak yang dikenakan atas semua penghasilan selama bertahun-tahun dari seluruh sumber dengan keluarga sebagai unit pemajakan dan tarif progresif, telah secara langsung berpengaruh 61
Ibid., hal. 46
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
mendalam ke seluruh lapisan masyarakat dan rakyat. Hal ini berbeda dengan perpajakan di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Penerima pajak pada umumnya masih didominasi oleh Pajak Penghasilan badan. Suatu institusi formal terdaftar, badan lebih mudah teridentifikasi, terpantau kehadirannya, terdeteksi kegiatannya dan transparan objek pajaknya. Pemungutan pajak atas badan jauh lebih optimal daripada orang pribadi. Kesulitan praktik pemantauan dan pendektesian Penghasilan Kena Pajak orang pribadi terutama karena institusi financial dan system perekonomian secara efektif belum berkembang sehingga kehidupan sosial ekonominya masih bersifat “cash society”. Realisasi pemasukan pajak dari Pajak Penghasilan ke Kas Negara selain dilakukan dengan cara penyetoran sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan ke Kas Negara, Bank Persepsi atau Kantor Pos, yang mana cara ini disebut dengan Self Assesment System, dapat juga dilakukan dengan cara melakukan pemotongan dan pemungutan. Pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan oleh pihak yang ditunjuk oleh pemerintah terhadap penerima penghasilan berdasarkan ketentuan perpajakan. Sistem pengumpulan pajak dengan menggunakan pola pemotongan dan pemungutan semacam ini dikenal dengan Withholding System, yaitu sistem pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pihak yang ditunjuk tersebut berkewajiban untuk menghitung, memotong atau memungut,
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
menyetor dan melaporkan pajak yang dipungut atau dipotongnya sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan.62 Withholding tax merupakan cara pembayaran pajak yang dilakukan melalui pemberi kerja, yakni Pemberi kerja memotong sejumlah nilai tertentu dari gaji yang dibayarkan untuk disetorkan kepada pemerintah dalam bentuk pajak. Salah satu Pajak Penghasilan yang pemungutannya menggunakan system pemotongan oleh orang ketiga (dalam hal ini pemotong) adalah Pajak Penghasilan Pasal 21, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21. Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri. Subjek pajak adalah pihak yang dituju untuk membayar pajak penghasilan. Apabila subjek pajak adalah menerima atau memperoleh penghasilan sebagai objek pajak, maka subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak dan wajib untuk membayar pajak penghasilan. Namun apabila tidak termasuk subjek pajak, maka tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan meskipun menerima atau memperoleh penghasilan yang menjadi objek pajak.63 Subjek pajak yang ditetapkan menjadi wajib pajak penghasilan Pasal 21, adalah:
64
1. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berdasarkan 62
Atep Adya Barata & Jajat Djuhadiat, Pemotongan Pemungutan Pajak Penghasilan Dan Kredit Pajak Luar Negeri., Jakarta, Elex Media Computindo, 2004, hal. 1 63 Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Op. Cit., hal.11 64 Didik Budi Waluyo, Op. Cit., hal 5
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah. 65 Pegawai terdiri dari: a. Pegawai tetap, adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam juklah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.66 b. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.67 2. Penerima Pensiun, adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.68 Yang termasuk penerima pensiun adalah penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya. 65
Pasal 1 angka 9, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi 66 Pasal 1 angka 10, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi 67 Pasal 1 angka 11, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi 68 Pasal 3 huruf b, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
3. Bukan Pegawai, yang termasuk bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi: a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang
iklan,
sutradara,
kru
film,
foto
model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya; c. Olahragawan; d. Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; e. Pengarang, peneliti dan penerjemah; f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik computer dan system aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan social serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; g. Agen iklan; h. Pengawas dan pengelola proyek; i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; j. Petugas penjaja barang dagangan; k. Petugas dinas luar asuransi; l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. 4. Peserta Kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, siding, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.69 Peserta kegiatan yang menerima penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi :
69
Pasal 1 angka 13, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya; b. Peserta rapat, konferensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja; c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; d. Peserta pendidikan, pelatihan dan magang; e. Peserta kegiatan lainnya
B. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak penghasilan Pasal 21
menganut sistem pemungutan pajak
withholding system dengan menggunakan orang ketiga sebagai pemotong. Ketentuan PPh Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku saat ini mengatur bahwa pemberi penghasilan wajib memotong, menyetorkan, dan melaporkan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, karena pemberi penghasilan melakukan pemotongan pajak terhadap penghasilan yang dibayarkan kepada orang pribadi dalam negeri maka istilah yang sering muncul dikenal dengan “Pemotong pajak”. Pemotong pajak adalah Wajib pajak pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21: a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
b. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan; c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun; d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. Pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai dan bukan pegawai.70 Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas kepada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.71 70
Pasal 2 ayat (1) huruf a, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi 71 Pasal 2 ayat (1) huruf b, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
Dana pensiun adalah badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja juga termasuk badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.72 Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk badan usaha tetap.73 Penyelenggara kegiatan adalah wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.74 Yang termasuk penyelenggara kegiatan adalah badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk
72
Pasal 2 ayat (1) huruf c, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi 73 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan 74 Pasal 2 ayat (1) huruf e, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03 /2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.75 Hubungan kerja antara pegawai dengan pemotong sebagai pemberi kerja, pada dasarnya, adalah hubungan transaksional yang membawa konsekuensi terhadap pemberi kerja, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Membayar imbalan yang disepakati dengan pegawai atau buruh. 2. Menanggung iuran-iuran yang ditetapkan Pemerintah sebagai akibat adanya hubungan kerja. 3. Mematuhi ketentuan pemerintah tentang jam kerja. 4. Memotong dari penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai atau buruh, pajak penghasilan yang terutang dan menyetorkannya ke kas Negara. Kewajiban Pemotong Pajak adalah :76 1. Kewajiban mendaftarkan diri a. Setiap pemotong pajak, termasuk organisasi internasional yang tidak dikecualikan sebagai pemotong wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak dan Pengamatan Potensi Perpajakan setempat. b. Pemotong Pajak mengambil sendiri fomulir-fomulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya kepada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak dan Pengamatan Potensi Perpajakan setempat. 2. Kewajiban menghitung, memotong, dan menyetorkan : 75
Pasal 2 ayat (1) huruf e, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03 /2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi 76 Didik Budi Waluyo, Op. Cit., hal. 16
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
a. Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim. b. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank BUMN atau BUMD atau bank lain yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Anggaran, atau PT Posindo, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya. c. Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak dan Pengamatan Potensi Perpajakan setempat, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan takwim berikutnya. d. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang dalam bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan. e. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima jaminan hari tua, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun. f. Pemotong wajib pajak menerima bukti pemotongan PPh Pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiunan bulanan, dengan menggunakan fomulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir. Namun apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti pemotongan tersebut diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 1
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
(satu) bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun. Hak-hak Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah:77 - Mengkompensasikan kelebihan penyetoran apabila dalam suatu
bulan
terjadi kelebihan penyetoran pajak atas Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan 21 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21. Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 menyebutkan bahwa pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, dilakukan oleh beberapa pihak dimana salah satunya adalah pemberi kerja. Salah satu yang termasuk dalam kategori pemberi kerja adalah Notaris/PPAT. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau yang oleh berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.78 Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
77 78
Ibid., G.H.S Lumban Tobing, Op. Cit., hal. 31
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas rumah susun. Sebagai pemotong, Notaris/PPAT harus menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajak penghasilan para pegawainya ke Kantor Pos atau Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah masa pajak berakhir.79 Notaris/PPAT mempunyai beberapa pegawai baik yang tetap maupun tidak tetap untuk membantu kelancaran pekerjaan dari Notaris/PPAT tersebut. Untuk itu para pegawai tersebut berhak untuk memperoleh penghasilan atas hasil kerja mereka setiap bulannya. Atas penghasilan tersebut, para pegawai tersebut menjadi wajib pajak atas pajak penghasilan yang mereka dapatkan, yang mana pemungutan atas PPh
Pasal 21 tersebut akan dilakukan oleh pemotong.
Notaris/PPAT sebagai pemberi kerja akan bertindak sebagai pemotong atas pajak penghasilan para pegawainya. Ia wajib menghitung pajak para pegawainya, apabila penghasilan para pegawainya tersebut memenuhi PTKP sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan,
maka
Notaris/PPAT tersebut harus melakukan pemotongan dan kemudian selanjutnya ditindak lanjuti dengan penyetoran dan pelaporan. Itulah tugas Notaris/PPAT sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan para pegawainya. Notaris/PPAT sebagai pemberi kerja berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 telah ditunjuk dan diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 dari gaji yang dibayarkannya pada pegawai tetap notaris tersebut. Untuk itu terlebih dahulu, para Notaris/PPAT harus 79
Pasal 24 ayat (3), PER-31/PJ/2009
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
mengetahui dan memahami Undang-Undang tersebut diatas dengan baik. Namun demikian berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pengetahuan Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh mengenai kewajiban sebagai pemotong pajak penghasilan terhadap pegawainya dapat dilihat pada tabel II.1 di bawah ini : Tabel II.1 Notaris/PPAT di Banda Aceh yang Mengetahui sebagai Pemotong No Keterangan Jumlah % 1 10 47,61 Notaris/PPAT yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong PPh Pasal 21 2
Notaris/PPAT yang tidak mengetahui kewajibannya sebagai pemotong PPh Pasal 21 Total
11
52,39
21
100
Sumber: Hasil wawancara dengan para Notaris/PPAT Banda Aceh pada tanggal 21 Juli 2011
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 21 (dua puluh satu) orang Notaris/PPAT di Banda Aceh yaitu hanya 10 (sepuluh) orang atau 47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) Notaris/PPAT yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong sedangkan sisanya sebanyak 11 (sebelas) orang atau 52,39 % ( lima puluh dua koma tiga puluh sembilan persen) Notaris/PPAT tidak mengetahui kewajibannya sebagai pemotong atas gaji pegawai tetapnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar Notaris/PPAT di kota tersebut tidak mengetahui mengenai kewajiban dan hak-hak sebagai pemotong. Karena mereka tidak mengetahui, maka mereka tidak melakukan kewajiban sebagai pemotong pajak. Padahal sebagai pemotong pajak sekaligus sebagai wajib pajak seharusnya Notaris/PPAT itu mengetahui kewajibannya tersebut. Hal ini berkaitan dengan Teori kewajiban Pajak Mutlak atau sering disebut juga sebagai teori Bhakti. Teori tersebut didasarkan pada organ theory dari Otto von Gierke, yang menyatakan bahwa Negara merupakan suatu kesatuan dimana di dalamnya setiap warga Negara terikat. Tanpa ada “organ” atau lembaga
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
tersebut individu tidak mungkin dapat hidup. Lembaga tersebut, oleh karena memberi
hidup
kepada
warganya,
dapat
membebani
setiap
anggota
masyarakatnya dengan kewajiban-kewajiban, antara lain kewajiban membayar pajak.80 Terdapat beberapa faktor penyebab para Notaris/PPAT tersebut tidak mengetahui hak dan kewajiban mereka sebagai pemotong. Sebanyak 7 (tujuh) orang atau 63,63 % (enam puluh tiga koma enam puluh tiga persen) Notaris/PPAT tidak mengetahui kewajibannya sebagai pemotong karena tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari Kantor Pelayanan Pajak setempat. Hal ini menyebabkan mereka sama sekali tidak mengetahui akan kewajiban perpajakan sebagai pemotong. Sedangkan 4 (empat) orang atau 36,37 % (tiga puluh enam koma tiga puluh tujuh persen) lainnya karena kurang memahami Undang-Undang Pajak Penghasilan terutama yang menyangkut ketentuan tentang Pasal 21 . Mereka beranggapan ketentuan ini sangat rumit untuk dipahami. Faktor-faktor tersebut diatas mengakibatkan mereka tidak melakukan kewajiban perpajakannya tersebut bukan karena faktor kesengajaan, akan tetapi karena faktor kurang memahami dengan baik tentang Undang-Undang Pajak Penghasilan, khususnya tentang kewajiban sebagai pemotong. Hal ini tentunya tidak terlepas dari belum maksimalnya sosialisasi tentang PPh Pasal 21 dari Kantor Pelayanan Pajak setempat kepada pemberi kerja, khususnya Notaris/PPAT selama ini dan kurangngya kesadaran dan kemauan dari para Notaris/PPAT itu sendiri untuk lebih mencari tahu tentang kewajiban perpajakannya secara lebih mendalam.
80
Y. Sri Pudyatmoko, Hukum Pajak, Yogyakarta, Andi, 2004, hal. 24
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
C. Penghitungan dan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap¸ menggunakan pengurangan yang berupa biaya jabatan dan pensiun. Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Besarnya biaya jabatan atau biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pegawai tetap atau pensiunan. 81 Menurut Pasal 1 ayat (1), 250/PMK.03/2008 besarnya biaya jabatan adalah sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan. Sedangkan besarnya biaya pensiun sebesar dari penghasilan bruto, setinggitingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.82 Sebelum menghitung berapa besarnya Pajak Penghasilan yang harus dihitung atas Penghasilan Kena Pajak, khusus untuk wajib pajak prang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (personal exemption).83 Ketentuan mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar: 81
Didik Budi Waluyo, Op. Cit., hal. 10 Pasal 1 ayat (2), Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.03/2008 Tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan 83 Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005., hal. 288 82
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
a. Rp. 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; b. Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang Kawin; c. Rp. 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan d. Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak perbulan adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun dibagi 12 (dua belas), sebesar: a. Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak orang pribadi; b. Rp. 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; c. Rp. 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Tarif pajak merupakan angka atau persentase yang digunakan untuk menghitung jumlah pajak yang terhutang. Tujuan pembentukan tarif pajak untuk mencapai keadilan. Bentuk tarif pajak dipengaruhi oleh :
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
1. Bagaimana bebannya dapat dibagi secara adil, kadang-kadang dicari tarif sesuai dengan daya pikul kemudian timbul tarif progressive. 2. Bagaimana progresif itu dibentuk, kadang-kadang diciptakan tarif dasar kepentingan, kalau sampai pada teori kepentingan maka batas antara retribusi dan pajak menjadi kabur. Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah : Tabel II.2 Tarif Pajak Penghasilan Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 Di atas Rp. 50.000.000,00 sampai Rp. 250.000.000,00
Tarif Pajak 5% 15%
Di atas Rp. 250.000.000,00 sampai Rp. 500.000.000,00
25%
Di atas Rp. 500.000.000,00
30%
Sumber: Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Apabila seorang pegawai tetap memperoleh gaji secara bulanan, maka dalam menghitung PPh Pasal 21 adalah:84 a. Ditentukan penghasilan bruto secara bulanan yang terdiri dari gaji tetap ditambah dengan tunjangan lainnya. b. Setelah diperoleh penghasilan bruto, maka untuk menghitung penghasilan neto, penghasilan neto tersebut dikurangkan dengan potongan-potongan yang diperkenankan. c. Setelah diperoleh penghasilan neto sebulan, maka untuk memperoleh penghasilan neto setahun penghasilan neto sebulan dikalikan dengan jumlah bulan satu tahun takwim atau jumlah bulan dalam bagian tahun pajak. d. Setelah diperoleh penghasilan neto setahun maka dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sehingga diperoleh Penghasilan Kena Pajak (PKP).
84
Sunarto, Op. Cit., hal. 153
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
e. Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17 menghasilkan pajak terutang satu tahun. f. Pajak Penghasilan Pasal 21 sebulan diperoleh dengan membagi pajak terutang satu tahun dengan jumlah bulan dalam satu tahun. Salah satu contoh penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut : Ahmad Zakaria pada tahun 2009 bekerja di kantor Notaris X dengan memperoleh gaji sebulan Rp. 2.500.000,00. Ahmad sudah menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai berikut : Gaji sebulan Rp. 2.500.000,00 Pengurangan: 1. Biaya Jabatan : 5% x Rp. 2.500.000,00
Rp. 125.000,00
Penghasilan neto sebulan
Rp. 125.000,00 Rp. 2.375.000,00
Penghasilan neto setahun : 12 x Rp. 2.375.000,00
Rp. 28.500.000,00
PTKP setahun - Untuk WP sendiri - Tambahan WP Kawin
Rp. 15.840.000,00 Rp. 1.320.000,00 Rp. 17.160.000,00
Rp. 17.160.000,00 Rp. 11.340.000,00
Penghasilan Kena Pajak Setahun PPh Pasal 21 terutang 5 % x Rp. 11.340.000,00 =
Rp.
567.000,00
PPh Pasal 21 sebulan Rp. 567.000,00 : 12
Rp.
47.250,00
=
Setelah dilakukan penghitungan, tahap selanjutnya adalah melakukan pemotongan. Pemotongan PPh Pasal 21, dilakukan terhadap subjek Pajak orang pribadi dalam negeri yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan lainnya. Pemotongan pajak atas penghasilan adalah pelaksanaan pemotongan oleh pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atas suatu
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
penghasilan yang dibayarkan kepada (diterima oleh) penerima penghasilan selaku Subjek Pajak orang pribadi atau badan.85 Ada dua kriteria utama untuk menentukan berlakunya pemotongan PPh Pasal 21, yaitu : 1. Wajib pajak yang terkena pemotongan adalah wajib pajak orang pribadi dalam negeri 2. Penghasilan yang dipotong berasal dari pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan lainnya. Penghasilan yang dipotong adalah sebagai berikut :86 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap berupa penghasilan yang bersifat teratur dan penghasilan yang bersifat tidak teratur. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap yang bersifat teratur berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur. Sedangkan penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap yang bersifat tidak teratur hanya diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun. 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya. 3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang 85 86
Ibid., hal. 4 Didik Budi Waluyo, Op.Cit, hal 8
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis. 4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu. 5. Imbalan kepada bukan pegawai antara lain berupa honorarium, komisi, fee dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan dan imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:87 a. Bukan Wajib Pajak; b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;
87
Ibid, hal. 8
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
c. Wajib Pajak yang dikenakan pajak penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit) Bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan adalah penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008. Batas penghasilan bruto yang dimaksud sampai dengan jumlah Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari tidak dikenakan pajak penghasilan. Apabila penghasilan bruto jumlahnya melebihi Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) sebulan atau dalam hal penghasilan dibayar secara bulanan. Ketentuan ini tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi. Gambaran tentang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan Penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya dapat dilihat pada Tabel II.3 dibawah ini : Tabel II.3 Penghitungan PPh Pasal 21 oleh Notaris/PPAT Banda Aceh No
Keterangan
Jumlah
%
1
Notaris/PPAT yang melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya Notaris/PPAT yang tidak melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya Total
10
47,61
11
52,39
21
100
2
Sumber : Hasil wawancara dengan para Notaris/PPAT Banda Aceh pada tanggal 21 Juli 2011
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa ada 10 (sepuluh) orang atau 47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) Notaris/PPAT yang melakukan penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya. Sedangkan 11 (sebelas) orang atau 52,39 % (lima puluh dua koma tiga puluh sembilan persen) lainnya tidak melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetapnya. Kesebelas Notaris/PPAT yang tidak melakukan penghitungan tersebut karena memang tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong. Dikaitkan dengan Tabel II.1 di atas, dari 10 (sepuluh) orang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong, semuanya ternyata melakukan penghitungan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya. Jadi kesepuluh Notaris/PPAT tersebut telah melaksanakan kewajiban menghitung PPh Pasal 21 atas pegawai tetapnya dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai pemotong pajak walaupun belum penuh. Berikutnya adalah gambaran Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas gaji pegawainya yang dapat dilihat pada Tabel II.4 dibawah ini : Tabel II.4 Pemotongan PPh Pasal 21 oleh Notaris/PPAT Banda Aceh No 1 2
Keterangan Notaris/PPAT yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya Notaris/PPAT yang tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya Total
Jumlah 2
% 9,52
19
90,48
21
100
Sumber : Hasil wawancara dengan para Notaris/PPAT Banda Aceh pada tanggal 21 Juli 2011
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui jumlah Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan pemotongan PPh sesuai dengan Pasal 21 terhadap pegawai
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
tetapnya hanya 2 (dua) orang atau 9,52 % (sembilan koma lima puluh dua persen) sedangkan 19 (sembilan belas) orang atau 90, 48 % (sembilan puluh koma empat puluh delapan persen) lainnya tidak melakukan pemotongan atas PPh Pasal 21. Jumlah Notaris/PPAT yang tidak melakukan pemotongan sebanyak 19 (sembilan belas) atau 90,48 % (sembilan puluh koma empat puluh delapan persen) terdiri dari
8 (delapan) orang
yang mengetahui kewajiban sebagai
pemotong dan telah melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan pegawai tetapnya, tetapi tidak melakukan pemotongan dan 11 (sebelas) orang lainnya karena tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong. Notaris/PPAT yang telah melakukan pemotongan atas gaji pegawai tetapnya, harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 terhadap gaji pegawai tetapnya. Hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (8) 252/PMK.03/2008 yang menyatakan bahwa pemotong PPh Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap secara berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.88 Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.89 Apabila dikaitkan dengan tabel II.4, bahwa dari 2 (dua) orang Notaris/PPAT yang melakukan pemotongan, keduanya memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 pada pegawai tetapnya seperti ketentuan yang telah ditetapkan.
88 89
Didik Budi Waluyo, Op. Cit, hal. 41 Ibid
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
Berdasarkan Tabel II.4 yang telah disebutkan di atas, diketahui bahwa ada beberapa Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan penghitungan tetapi tidak melakukan pemotongan, yaitu sebanyak 8 (delapan) orang. Faktor-faktor yang menyebabkan
kedelapan
Notaris/PPAT tersebut tidak melakukan
pemotongan adalah sebagai berikut : 90 1. Hasil penghitungan PPh Pasal 21 nihil. Hal ini terdapat pada 7 (tujuh) orang atau 87,5 % (delapan puluh tujuh koma lima persen) Notaris/PPAT yang melakukan penghitungan atas gaji pegawai tetapnya dan setelah dilakukan penghitungan, ternyata pajak penghasilannya nihil. Faktor ini dikarenakan Penghasilan pegawai tetapnya belum memenuhi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sebagian pegawai tetap Notaris/PPAT yang ada di Banda Aceh memiliki penghasilan yang tidak memenuhi PTKP yaitu masih dibawah Rp. 1.320.000,- (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) /bulan atau kurang dari Rp. 15.840.000,- (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) /tahun. Penghasilan dibawah PTKP ini karena kurangnya jumlah pemasukan yang diperoleh dari pembuatan berbagai macam akta di kantor Notaris/PPAT tersebut sehingga tidak memungkinkan mereka untuk membayar gaji para pegawai tetap diatas jumlah PTKP. 2. Keberatan dari Pegawai Notaris/PPAT. Terdapat 1 (satu) orang Notaris/PPAT di Banda Aceh atau 12,5 % (dua belas koma lima persen) yang tidak melakukan pemotongan karena alasan keberatan dari pegawai tetapnya sendiri untuk dilakukan pemotongan atas penghasilan mereka setiap bulannya. Para pegawai ini beranggapan bahwa pemotongan ini akan mempengaruhi jumlah 90
Hasil kuisioner.
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
gaji yang mereka terima setiap bulannya. Faktor ini disebabkan karena adanya ketidak pahaman dari pegawai tetap Notaris/PPAT itu sendiri mengenai PPh Pasal 21 dan Notaris/PPAT itu sendiri tentang kewajiban PPh Pasal 21. Kedua faktor diatas menjelaskan mengapa tidak semua dari 10 (sepuluh) orang atau 47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) Notaris/PPAT yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong dan telah melakukan penghitungan, tetapi tidak melanjutkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetapnya. D. Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahapan setelah Notaris/PPAT melakukan penghitungan dan pemotongan adalah ia harus melakukan penyetoran. Penyetoran PPh Pasal 21 dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).91 Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara. Pembayaran Surat setoran pajak dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : 1. SSP Standar adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan atau berfungsi untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Penerima Pembayaran dan digunakan sebagai bukti pembayaran. 2. SSP Khusus adalah bukti pembayaran dan penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi dan/atau alat lainnya, yang isinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam keputusan Dirjen Pajak dan mempunyai fungsi yang sama dengan SPP Standar dalam administrasi perpajakan. 91
Early Suandy, Hukum Pajak, Jakarta, Salemba Empat,, 2008, hal. 147
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 92 Penyetoran PPh Pasal 21 ini dilakukan mulai dari tanggal 1 sampai tanggal 10 setiap bulannya. Apabila pemotong tidak melakukan penyetoran pada jangka waktu tersebut maka akan diberi waktu paling lama 10 (sepuluh) hari setelah masa pajak berakhir. Penyetoran PPh Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya, dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,.93 Gambaran tentang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan Penyetoran atas PPh Pasal 21 dapat di lihat pada Tabel II.5 di bawah ini:
No 1 2 3
Tabel II.5 Penyetoran PPh Pasal 21 oleh Notaris/PPAT Banda Aceh Keterangan Jumlah Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran PPh 1 Pasal 21 terhadap pegawainya tepat waktu 1 Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran PPh Pasal 21 terhadap pegawainya tetapi terlambat Notaris/PPAT yang tidak melakukan penyetoran PPh Pasal 21 terhadap pegawainya Total
% 4,76 4,76
19
90,48
21
100
Sumber : Hasil wawancara dengan para Notaris/PPAT Banda Aceh pada tanggal 21 Juli 2011
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa hanya 2 (dua) orang atau 9,52 % (sembilan koma lima puluh dua persen) dari 21 (dua puluh satu) orang Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran. Keduanya melakukan kewajiban penyetoran hanya saja ada yang melakukan dengan tepat waktu dan ada yang tidak. Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran PPh Pasal 21 secara tepat waktu 92 93
Didik Budi Waluyo, Op. Cit., hal. 16 Pasal 24 ayat (3), PER-31/PJ/2009
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
hanya 1 (satu) orang atau
4,76 % (empat koma tujuh puluh enam persen) atau
50 % (lima puluh persen) dari 2 (dua) orang Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran. Dan Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran tidak tepat waktu, yaitu terlambat beberapa hari setelah tanggal yang ditentukan, juga 1 (satu) orang atau
4,76 %
(empat koma tujuh puluh enam persen). Seharusnya menurut
ketentuan Undang-Undang, pemotong yang melakukan penyetoran tidak tepat waktu dapat dikenakan sanksi yaitu sanksi administrasi. Sebanyak 19 (sembilan belas) orang atau 90,48 % (sembilan puluh koma empat puluh delapan persen) Notaris/PPAT lainnya yang tidak melakukan pemotongan, terdiri dari 8 (delapan) orang atau yang mengetahui kewajiban sebagai pemotong dan melakukan penghitungan PPh Pasal 21
terhadap
penghasilan pegawai tetapnya, tetapi tidak melakukan pemotongan, karena penghasilan pegawai di bawah PTKP dan adanya keberatan dari pegawai tetapnya sendiri serta tidak melakukan penyetoran dan 11 (sebelas) orang lainnya karena tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong PPh Pasal 21. Apabila pembayaran atau penyetoran Pajak Penghasilan dilakukan setelah tanggal jatuh tempo maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.94 Selanjutnya untuk tahap akhir, Notaris/PPAT harus menyampaikan pelaporan atas penghitungan, pemotongan dan penyetoran yang telah ia lakukan terhadap PPh Pasal 21 atas para pegawainya. Pemotong wajib melaporkan 94
Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 ini untuk setiap masa pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong PPh Pasal 21 terdaftar. Jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa ini dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.95 Surat Pemberitahuan (SPT) adalah dokumen yang memuat data-data dalam menetapkan secara tepat jumlah pajak yang terutang berupa surat atau fomulir atau sarana yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.96 Dalam memahami Surat Pemberitahuan, ada beberapa pengertian, yaitu : 1. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2. Pajak terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, tahun pajak atau bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 3. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. 4. Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak. Pengertian SPT dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan dijelaskan bahwa, “Surat Pemberitahuan adalah surat yang 95 96
Pasal 24 ayat 2 PER-31/PJ/2009 Billy Ivan Tansuria, Op.Cit., hal. 101
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak
yang
terutang
menurut
ketentuan
peraturan
peundang-undangan
perpajakan.” Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT, baik dalam bentuk formulir kertas atau elektronik dengan benar, lengkap, dan jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.97 Pada dasarnya SPT adalah surat yang yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menyampaikan laporan perhitungan dan pembayaran pajaknya ke Direktorat Jenderal Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar menurut peraturan peundang-undangan perpajakan yang berlaku yang telah diatur di dalam Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Keputusan Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak. Fungsi SPT dapat dikategorikan ke dalam tiga hal yaitu bagi wajib pajak penghasilan, bagi pengusaha kena pajak, dan bagi pemotong atau pemungut pajak, sebagai berikut :98 1. Bagi wajib pajak penghasilan. Fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
97 98
Ibid., hal. 101 Ibid., hal. 102
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak c. Harta dan kewajiban. d. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 Masa Pajak sesuai dengan ketentuan UU perpajakan. 2. Bagi Pengusaha Kena Pajak. Fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN & PPnBM) yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 3. Bagi pemotong dan pemungut pajak. Fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. SPT pada dasarnya ada 2 (dua) macam yaitu SPT Masa dan SPT Tahunan. Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk memberitahukan pajak yang terutang dalam suatu masa pajak atau pada suatu saat. Surat Pemberitahuan Masa terdiri dari 2 (dua) macam yaitu SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh) dan SPT Masa PPN. Untuk kelengkapan dokumen yang harus
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
dilampirkan pada SPT Masa PPh berupa Surat Setoran Pajak (SSP), daftar Bukti Pemotongan, dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 26. Lampiran yang harus disertakan pada SPT Masa PPN adalah SSP Bukti Pembayaran / pelunasan dan Faktur Pajak Masukan.99 Dalam pengisian SPT Pajak Penghasilan, ada hal-hal yang harus diperhatikan yaitu :100 1. Benar. Benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, meliputi seluruh objek pajak yang dimiliki, benar dalam perhitungan maupun pengisian kolom pada setiap lampiran formulir surat pemberitahuan, dalam penerapan tarif pajak maupun pengkreditan pajak yang telah dibayar melalui pihak lain. 2. Jelas. Dalam arti tidak menimbulkan penafsiran lain bagi fiskus. Jelas dalam melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT. 3. Lengkap. Seluruh lampiran yang telah ditentukan maupun yang diperlukan harus dilampirkan yang memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT. SPT Masa PPh Pasal 21 yang disampaikan setelah jangka waktu yang ditetapkan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 100.000,00.- (seratus ribu rupiah).101
99
Sunarto, Op. Cit., hal. 52-53 Billy Ivan Tansuria, Op.Cit., hal. 101 101 Didik Budi Waluyo, Op.Cit, hal. 27 100
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
Tata cara penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 ini dapat dilakukan oleh pemotong PPh Pasal 21 dengan cara penyampaian secara langsung ataupun secara elektronik. Penyampaian secara langsung dilakukan dengan menyampaikan SPT dalam bentuk fisik langsung ke Kantor Pelayanan Pajak atau dikirim melalui pos. Sedangkan penyampaian SPT melalui elektronik adalah suatu cara penyampaian SPT yang dilakukan dengan sistem on-line melalui media internet, hal ini melalui beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi yang ditunjuk oleh Direktur jenderal Pajak.102 Berikut adalah tabel tentang batas akhir penyampaian SPT Masa : Tabel II.6 Batas Akhir Penyampaian SPT Masa Jenis SPT Masa Batas Waktu Penyampaian PPh Pasal 21 PPh Pasal 22-Bendaharawan PPh Pasal 22-Bea Cukai PPh Pasal 22-Badan Tertentu PPh Pasal 23/26 PPh Pasal 25 PPN/PPn.BM PKP PPN/PPn.BM Bendaharawan PPN/PPn.BM Yang dipungut Bea Cukai
SPT Terakhir Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir 14 (Empat belas) hari setelah akhir masa pajak Tujuh hari setelah pembayaran Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir 14 (Empat belas) hari setelah akhir masa pajak Tujuh hari setelah pembayaran
102
Djoko Mulyono, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lengkap dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007), Yogyakarta, ANDI, 2008, hal 15-71.
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
Gambaran tentang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang memberikan Pelaporan atas Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat di lihat pada Tabel II.7 di bawah ini:
No 1 2 3
Tabel II.7 Notaris/PPAT Banda Aceh yang menyampaikan pelaporan PPh Pasal 21 Keterangan Jumlah % Notaris/PPAT yang menyampaikan pelaporan 1 4,76 Pasal 21 terhadap pegawainya tepat waktu Notaris/PPAT yang menyampaikan pelaporan 1 4,76 Pasal 21 tetapi tidak tepat waktu Notaris/PPAT yang tidak pernah menyampaikan 19 90,48 pelaporan Pasal 21 Total 21 100
Sumber : Hasil wawancara dengan para Notaris/PPAT Banda Aceh pada tanggal 21 Juli 2011 Berdasarkan tabel di atas, Notaris/PPAT yang menyampaikan pelaporan PPh Pasal 21 secara tepat waktu hanya 1 (satu) orang dari 21 (dua puluh satu) responden atau 4,76 % (empat koma tujuh puluh enam persen). Sedangkan Notaris/PPAT yang menyampaikan pelaporan tidak tepat waktu, yaitu terlambat beberapa hari dari waktu yang telah ditentukan, juga 1 (satu) orang dari 21 (dua puluh satu) responden atau 4,76 % (empat koma tujuh puluh enam persen). Sebanyak 19 (sembilan belas) orang dari 21 (dua puluh satu) responden atau 90,48 % (sembilan puluh koma empat puluh delapan persen) Notaris/PPAT lainnya yang tidak menyampaikan pelaporan, terdiri dari 8 (delapan) orang yang mengetahui kewajiban sebagai pemotong dan melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan pegawai tetapnya, tetapi tidak melakukan kewajiban perpajakannya hingga tuntas yaitu memotong, menyetor hingga melaporkan dan 11 (sebelas) orang lainnya karena tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong PPh Pasal 21.
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
Tata cara penyampaian SPT Masa dengan menggunakan jasa pos dan dengan surat elektronik dapat diterima yang mana hal ini telah diatur dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal ini mengatakan bahwa penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.103 Diperlukan cara lain bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, misalnya penyampaian secara elektronik. Pasal 6 ayat (3) menambahkan bahwa tanda bukti dan tanggal penerimaan surat untuk penyampaian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatas dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap. 104 Kedua Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh menyampaikan pelaporan menggunakan sarana SPT Masa Pasal 21. Hanya saja yang menyampaikan SPT Masa secara tepat waktu pada setiap bulan sampai tanggal 20 bulan berikutnya hanya 1 (satu) orang. Sedangkan 1 (satu) orang lainnya tidak menyampaikan SPT Masa secara tepat waktu. Dan keduanya menyampaikan langsung SPT Masa ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.
103
Casavera, Seri Perpajakan Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ; Perubahan dan Peraturan Terkini, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009, hal. 67 . 104 Ibid, hal. 68.
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
E. Kepatuhan Notaris/PPAT Banda Aceh Terhadap Memungut Pajak Penghasilan Pelaksanaan pemungutan pajak memerlukan suatu system yang telah disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan perwakilan, dengan menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar
pelaksanaan perpajakan bagi fiskus maupun bagi wajib pajak. Salah satu jenis pajak yang diberlakukan di Indonesia adalah Pajak Penghasilan. Dalam Pajak Penghasilan ini , ditemui Pajak Penghasilan pasal 21 berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008. Sistem Pemungutan atas pajak jenis ini adalah dengan melibatkan orang ketiga sebagai pemungut pajak dengan menggunakan sistem pemotongan. Pemberi kerja merupakan satu diantara beberapa orang atau badan yang termasuk dalam katagori sebagai pemotong, sedangkan penerima penghasilan atau gaji masuk dalam katagori orang yang penghasilannya kena pajak dan dipotong oleh pemotong tersebut. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam hal perpajakan di Indonesia, dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi, wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.105 Terdapat 2 (dua) macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material, yakni ; 105
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1995, hal. 1013
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang perpajakan. 2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Misalnya
ketentuan
tentang
batas
waktu
penyampaian
Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dari tanggal 1 sampai tanggal 10 setiap bulannya. Apabila pemotong telah melakukan Surat Pemberitahuan Masa tersebut sebelum atau pada tanggal 10 setiap bulannya pemotong telah memilih ketentuan formal namun isinya belum tentu memenuhi ketentuan material. Pemotong yang memenuhi kepatuhan material adalah pemotong yang mengisi dengan jujur, lengkap dan benar Surat Pemberitahuan Masa tersebut sesuai dengan ketentuan dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu berakhir. Notaris /PPAT sebagai salah satu dari pemberi kerja berdasarkan UndangUndang Pajak Penghasilan ditunjuk dan diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 dari gaji yang dibayarkannya pada pegawai tetapnya tersebut. Dari hasil penelitian yang didapat diketahui bahwa tidak semua dari jumlah keseluruhan responden yaitu 21 (dua puluh satu) Notaris/PPAT di Banda Aceh yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong atas gaji dari pegawai tetapnya tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa jumlah Notaris/PPAT yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong hanya 10 (sepuluh) orang atau 47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) . Sedangkan 11 (sebelas) orang atau 52,39 % (lima puluh dua koma tiga puluh sembilan persen)
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
Notaris/PPAT yang lainnya tidak mengetahui kewajibannya sebagai pemotong. Dari sebelas orang tersebut diatas, 7 (tujuh) orang atau 63,63 % (enam puluh tiga koma enam puluh tiga persen) tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong karena tidak pernah mendapat sosialisasi dari Kantor Pelayanan Pajak setempat sementara 4 (empat) orang atau 36,37 % (tiga puluh enam koma tiga puluh tujuh persen) karena kurang memahami PPh Pasal 21 terutama tentang ketentuan serta hak dan kewajiban sebagai pemotong bagi para pemberi kerja, yang mana salah satunya adalah Notaris/PPAT. Kesepuluh orang atau 47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen)
Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh yang mengetahui kewajibannya
sebagai pemotong, semuanya melakukan penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya, sesuai dengan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 . Langkah selanjutnya setelah penghitungan adalah melakukan pemotongan. Dari 10 (sepuluh) orang Notaris/PPAT itu yang menghitung Pajak Penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya, yang melakukan pemotongan atas pajak tersebut diatas terhadap pegawai tetapnya hanya 2 (dua) orang Notaris/PPAT. Sementara 8 (delapan) Notaris/PPAT lainnya yang
sebelumnya melakukan
penghitungan tidak melakukan pemotongan karena faktor hasil penghitungan yang nihil yaitu sebesar 7 (tujuh) orang atau 87,5 % (delapan puluh tujuh koma lima persen) dan juga faktor keberatan dari pegawai tetapnya itu sendiri yaitu sebesar 1 (satu) orang atau 12,5 % (dua belas koma lima persen). Demikian halnya tentang bukti pemotongan, 2 (dua) orang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang telah melakukan pemotongan, keduanya memberikan bukti
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
pemotongan PPh Pasal 21 kepada pegawai tetapnya. Pada tahap penyetoran dan pelaporan. Notaris/PPAT harus menyampaikan penyetoran atas pemotongan yang telah ia lakukan. Dari 2 (dua) orang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya, keduanya menindaklanjuti tindakannya dengan melakukan penyetoran pajak tersebut diatas. Akan tetapi keduanya tidak melakukan penyetoran pada waktu yang bersamaan. Hanya 1 (satu) orang Notaris/PPAT melakukan penyetoran sesuai dengan waktu yang ditentukan yaitu dari tanggal 1 (satu) sampai dengan tanggal 10 (sepuluh) setiap bulannya sementara 1 (satu) orang lainnya melakukannya setelah tanggal jatuh tempo. Pada tahap pelaporan, kedua Notaris/PPAT di atas juga menyampaikan pelaporan atas pemotongan PPh Pasal 21 yang telah mereka lakukan atas gaji pegawainya. Pelaporan ini juga tidak dilakukan dengan bersamaan. 1 (satu) orang Notaris/PPAT melakukan sesuai dengan waktu yang dijadwalkan setiap bulannya sedangkan 1 (satu) terlambat dalam menyampaikan pelaporan. Keduanya menyampaikan laporan dengan menggunakan SPT Masa, yang disampaikan setiap bulannya ke Kantor Pelayanan Pajak setempat. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap Notaris/PPAT di Banda Aceh, dapat diketahui bahwa dari 21 (dua puluh satu) responden hanya 2 (dua) orang Notaris/PPAT atau 9,52 % (sembilan koma lima puluh dua persen) yang benar-benar melakukan kewajibannya dalam menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008.
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
Dengan demikian dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa sebahagian kecil dari 21 (dua puluh satu) responden yang diteliti, yaitu 9,52 % atau 2 (dua) orang yang telah mematuhi secara formal ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan, yakni mematuhi kewajiban sebagai pemotong. Akan tetapi masih terdapat Notaris/PPAT yang tidak mematuhi ketentuan formal tersebut yaitu 90,47 % (sembilan puluh koma empat puluh tujuh persen) atau 19 (sembilan belas) orang, walaupun sebahagian di antara mereka yaitu 8 (delapan) orang, sudah mengetahui kewajiban sebagai pemotong dan telah melakukan kewajiban perpajakannya walaupun tidak penuh, namun mereka tidak menyampaikan SPT Masa seperti yang telah digariskan dalam Peraturan Perundang-undangan yang menyangkut ketentuan tentang Pajak Penghasilan, yaitu Undang Nomor 36 Tahun 2008. Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berkaitan dengan PPh Pasal 21 yang mengharuskan setiap pemotong menyampaikan pelaporan dalam bentuk SPT Masa untuk setiap pemotongan yang telah ia lakukan, meskipun hasil pemotongan atas gaji pegawai tetap tersebut adalah nihil. SPT Masa merupakan bukti bahwa Notaris/PPAT sebagai pemotong telah menjalankan kewajiban sebagai pemotong PPh Pasal 21 dengan baik dan utuh. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat dikatakan tingkat kepatuhan Notaris/PPAT di Banda Aceh dalam memenuhi kewajibannya seperti tersebut diatas masih rendah.
www.nitropdf.com
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA