Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
POTENSI TERNAK KAMBING DALAM MENUNJANG EKONOMI KELUARGA PETERNAK DI LAHAN KERING (The Potential of Goat to Increase the Economic of Farmers’ Family in the Dry Land Area) I G.M. BUDIARSANA, I-K. SUTAMA dan SUPRIYATI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT This paper on analyzed the strengths and the weaknesses of the goat in supporting the economics of the farmers’ family in the dry land area. This research was funded by The Project of the Poor Farmers’ Income Improvement Through Innovation Project (PFI3P), held in Sukaraja village, sub district of Jerowaru, district of eastern Lombok, Province of West Nusa Tenggara Indonesia. The research is divided into two steps. Firstly was a study of the potential feed resources and the factors that supports the development of the animal production done based on the technique of the Participatory Rural Appraisal. The second study was the introducing of 60 head goats consisting of 48 dams and 12 bucks, selected by staff from the Indonesian Research Institute of Animal Production Bogor West Java Indonesia. The animals were distributed to the 13 of selected cooperator farmers, who were members of the farmer organization in that area. Every cooperator farmer were made to adopt technologies that introduced, such as reproduction management, breeding, and management of feed technologies. One staff assigned to monitor the daily farmer activities. Parameter measured were birth rate, litter size, birth weight and mortality of the dams and the kids. The economic analisys was measures by input and output analisys. The data tabulated and presented descriptively. The result showed that in one cycle of goat breeding, the goats population increased to almost 100%. The everage of the litter size was 1,65 ranging 1 – 3 with the everage birth weight of 1.25kg/head. The mortality of the kid and dam was 31 and 6% respectively. It can be concluded that goats is potential to increase the economic of the farmer’s families. Key Words: Goats, Litter Size, Economic ABSTRAK Makalah ini menganalisis kekuatan dan kelemahan ternak kambing dalam menunjang ekonomi keluarga peternak di lahan kering. Kegiatan penelitian ini merupakan kegiatan proyek Poor Farmers’ Income Improvement Through Innovation Project (PFI3P) yang dilakukan di Desa Sukaraja, Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Kegiatan dilakukan melalui 2 tahap yaitu; Kegiatan tahap pertama inventarisasi potensi ternak dan sumberdaya pakan serta faktor-faktor pendukung lainnya yang terkait dengan pengembangan peternakan di lokasi penelitian, melalui survei dengan teknik PRA (Participatory Rural Appraisal). Kegiatan tahap kedua yaitu introduksi 60 ekor ternak kambing hasil seleksi Balai Penelitian Ternak, Bogor, yang terdiri dari 48 ekor betina dan 12 ekor pejantan, dibagikan kepada 13 orang peternak kooperator terpilih pada satu kelompok peternak. Petani diharuskan untuk menerapkan teknologi yang dianjurkan, seperti manajemen reproduksi dan pemuliaan, budidaya tanaman pakan ternak. Seorang petugas khusus ditugaskan setiap hari melakukan pembinaan dan monitoring terhadap kegiatan petani. Parameter yang diamati yaitu tingkat kelahiran, tipe kelahiran, bobot lahir anak dan tingkat kematian induk dan anak. Analisis usahatani dilakukan dengan analisis input dan output. Data yang diperoleh disajikan secara tabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama satu siklus reproduksi ternak kambing, populasi telah meningkat sebesar 100%, yang terjadi karena kelahiran anak. Jumlah anak sekelahiran bervariasi 1-3 ekor/induk (rataan = 1.65), dengan rataan bobot lahir anak 1,25 kg/ekor. Tingkat kematian induk dan anak yaitu masing-masing 6 dan 31%. Dapat disimpulkan bahwa ternak kambing berpotensi untuk meningkatkan tingkat ekonomi keluarga petani. Kata Kunci: Kambing, Litter Size, Usahatani, Ekonomi
580
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PENDAHULUAN Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu daerah kering di Propinsi Nusa Tenggara Barat, dengan curah hujan 669 mm/tahun pada daerah beriklim tipe E dan 1289 – 1640 mm/tahun pada daerah beriklim tipe D. Sebagian besar lahan di Lombok Timur adalah lahan kering (48,1%), sedangkan lahan sawah dan tegalan masing-masing 28.4% dan 16,1% (PFI3P, 2003). Kabupaten Lombok Timur identik dengan kekeringan dan kemiskinan. Musim penghujan yang singkat (3 – 4 bulan) dan kemarau panjang (8 bulan) (BPS Propinsi Nusa Tenggara Barat, 2002), maka masalah air untuk usahatani pertanian tanaman pangan dan hortikultura menjadi masalah serius. Pembangunan embung-embung air yang cukup banyak di daerah ini belum mampu menyediakan air sepanjang tahun, kondisi ini jelas tidak mendukung usahatani tanaman pangan secara maksimal. Di sisi lain pada daerah-daerah kering tersebut akan potensial untuk pengembangan peternakan (LIEM et al., 1997). Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka salah satu jawabannya adalah pemanfaatan teknologi spesifik lokasi. Pada daerah marginal dimana umumnya petani hidup dari usahatani lahan kering yang kondisi lahannya relatif kurang subur, maka integrasi ternak ke dalam sistem usahatani tersebut merupakan keharusan. Namun melihat kondisi iklim yang mengakibatkan kegiatan bercocok tanam sangat terbatas (4 – 6 bulan), maka diperlukan suatu komoditas yang dapat memberikan income (pendapatan cash) yang reguler sepanjang tahun. Ternak ruminansia kecil (kambing) telah dikenal mempunyai daya adaptasi baik pada kondisi lahan marginal, siklus produksinya cepat, dan sering dipergunakan sebagai tabungan untuk menyelamatkan petani dari kebutuhan yang sifatnya mendesak. Disamping itu pengembangan ternak kambing memerlukan modal yang relatif kecil, pemeliharaannya mudah, dan dapat dilakukan pada lahan sempit seperti lahan pekarangan (SUWARDIH et al., 1993) sehingga sangat cocok untuk petani di lahan marginal. Namun dalam pengembangannya diperlukan suatu kelembagaan formal/non-formal yang dapat mendukung proses produksi dan pemasaran
produk yang dihasilkan petani. Pada sisi lain intergrasi ternak dalam sistem usahatani tanaman pangan dapat meningkatkan produksi 20 – 30% dengan memanfaatan pupuk organik (RAHARJO et al., 2003), yang dihasilkan petani, dan ini juga berarti mengurangi pemakaian pupuk anorganik. Lemahnya modal usaha dan teknologi yang dimiliki petani menjadikan ketidak berdayaan mereka dalam memperbaiki kondisi yang ada saat ini. Untuk mengatasi permasalahan ini maka pengembangan kelembagaan seperti kelembagaan kelompok tani, kelembagaan keuangan dan pemasaran juga penting dilakukan. Pengembangan kelembagaan ini akan memudahkan transfer teknologi produksi dan informasi kepada petani sehingga pemberdayaan petani dari berbagai aspek dapat dilakukan lebih mudah, yang pada akhirnya akan tercipta pelaku-pelaku agribisnis di pedesaan yang kaya akan pengetahuan dan keterampilan berproduksi dan pemasaran. Atas dasar pertimbangan dan kondisi tersebut maka proyek PFI3P melakukan kegiatan integrasi ternak kambing pada usaha tani di lahan kering yang ditujukan untuk mengetahui tingkat produksi dan reproduksinya sekaligus untuk meningkatkan pendapatan para petani. Hasil kegiatan ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pembuatan kebijakan oleh PFI3P atau instansi terkait lainnya di Lombok Timur. MATERI DAN METODE Kegiatan (PFI3P) ini dilakukan di desa Sukaraja, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Kegiatan dilakukan di lahan petani (on farm research) dalam semua aspek kegiatan (KNIPSCHEER dan HARDWOOD, 1989). Kegiatan diawali dengan inventarisasi potensi ternak dan sumber daya pakan serta faktor-faktor pendukung terkait lainnya yang berhubungan dengan pengembangan peternakan. Kegiatan ini dilakukan melalui cara survey dengan menggunakan teknik PRA (Partisipatory Rural Appraisal). Dari kegiatan PRA terpilih komoditas ternak yang akan diintegrasikan kedalam usaha taninya. Ternak terpilih yaitu ternak kambing. Setelah kegiatan PRA dilanjutkan dengan kegiatan verifikasi hasil PRA. Kegiatan
581
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Verifikasi PRA ini dilakukan beberapa minggu setelah kegiatan PRA. Melalui kegiatan verifikasi PRA ini, terkumpul data baseline. Data baseline ini menggambarkan kondisi terkini dari usaha petani dilokasi pengkajian. Selanjutnya dari hasil kajian pasca verifikasi PRA ini, terpilih peternak kooperator. Guna menggali permasalahan lebih mendalam dan dalam upaya memecahkan masalah yang ada maka dilakukan pertemuan-pertemuan yang melibatkan para peternak kooperator. Hasilhasil pertemuan dihasilkan beberapa kesepakatan yang disadari sangat penting untuk dipatuhi oleh petani. Beberapa kesepakatan yang disadari penting dipatuhi yaitu: 1.
Para peternak koperator harus tergabung dalam satu organisasi kelompok peternak.
2. Petani yang terpilih menjadi peternak kooperator yaitu para petani yang sedang memelihara ternak kambing dan telah berpengalaman beternak kambing paling sedikit selama 2 tahun. 3. Masing-masing peternak kooperator harus melaksanakan teknologi yang dianjurkan, diantaranya penggunaan feed additif, penanaman hijauan pakan ternak berupa rumput dan legum hasil seleksi Balai Penelitian Ternak Bogor, manajemen reproduksi dan pemuliaan ternak. 4.
Setiap peternak kooperator berkewajiban mengembalikan anak kambing umur 8-10 bulan sebanyak 50% (bagi hasil) dari anak kambing yang lahir selama 6 kali beranak atau selama 4 tahun sejak diterimanya ternak oleh para peternak. Apabila jumlah kewajiban tersebut telah terpenuhi maka ternak awal yang diterima oleh para peternak akan menjadi milik para peternak itu sendiri. Ternak-ternak yang dikembalikan oleh para peternak kooperator yang merupakan hasil dari sistem bagi hasil ini, selanjutnya disebarkan kembali kepada peternak
lainnya diareal pengkajian maupun di desa sekitar araeal pengkajian. 5.
Jumlah ternak yang didistribusikan dan jumlah peternak kooperator seperti pada (Tabel 1). Pengawasan kesehatan dan manajemen pemeliharaan ternak dilakukan oleh staf dari BPTP setempat.
6.
Untuk mendukung persyaratan yang harus dipenuhi oleh para peternak kooperator maka setiap peternak kooperator memperoleh bantuan berupa perlengkapan kandang (bambu, ember, cangkul dan lainlain).
Data yang dikumpulkan pada kegiatan ini yaitu data input-output usaha, produksi tanaman pangan. Sementara itu, untuk biologis ternak parameter yang diukur yaitu perkembangan populasi, mortalitas, jenis dan jumlah pemberian pakan. Informasi lainnya yang juga diamati yaitu pemasaran hasil dan jalur pemasaran yang digunakan. Analisis data dilakukan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Inventarisasi potensi ternak dan sumber daya Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari 6 Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Barat, dengan posisi geografis terletak pada 116 – 117 Bujur Timur dan 8 - 6 lintang Selatan. Dari luas wilayah Kabupaten Lombok timur 160.55 ha, sebanyak 45.336 ha diantaranya adalah lahan persawahan dan 115.219 ha adalah lahan kering. Tingkat pendidikan peternak kooperator Tingkat pendidikan para peternak kooperator yaitu sangat bervariasi yaitu dengan status tidak pernah sekolah sampai menyandang gelar sarjana. Usia para peternak
Tabel 1. Jumlah peternak kooperator dan jumlah ternak yang diterima pada petani Uraian Ternak kambing (ekor) Rumput/legum (stek)
582
Petani kooperator 13
Jumlah ternak atau HPT 4–5 1500
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
kooperator secara umum masih pada kisaran usia produktif yaitu dengan kisaran umur 30– 55 Tahun, dengan pekerjaan utama yang bervariasi, yaitu sebanyak 11 orang peternak (85%) sebagai petani dan 2 orang (15%) berprofesi sebagai guru. (Tabel 2). Tabel 2. Tingkat pendidikan peternak kooperator Parameter Umur peternak (tahun)
Rataan (Kisaran)
%
42 (30 – 55)
Tingkat pendidikan Tidak sekolah
5
38
SD
5
38
SLTP
-
-
SLTA
2
15
Sarjana
1
8
Tani
11
85
Pegawai
2
15
Pekerjaan utama
Pengalaman beternak (tahun)
7(2 – 30)
Semua peternak kooperator memberikan jawaban bahwa beternak merupakan kegiatan sampingan yang diharapkan sebagai sumber penghasilan tambahan dengan pengalaman beternak kambing berkisar dari 1 – 30 tahun. Mata pencarian peternak kooperator adalah sebagian besar petani. Jenis tanaman yang umum ditanam yaitu tanaman pangan (padi/palawija). Tingkat ekonomi keluarga
menggunakan minyak tanah (dusun ini belum masuk listrik). Pada saat wawancara terungkap bahwa beberapa peternak menjawab bahwa penerangan dengan menggunakan listrik. Sebenarnya sumber penerangan listrik yang digunakan oleh para peternak tersebut adalah listrik yang diperoleh dengan cara mencantol dari rumah warga dari desa lainnya. Pemenuhan sarana hiburan, informasi dan pendidikan para peternak kooperator masih sangat langka. Hanya sebagian kecil keluarga peternak memiliki radio. Dari 50 kepala keluarga (KK) didusun Tuping ini hanya terdapat 1 unit pesawat TV dan 2 unit Radio transistor. Secara umum pengetahuan akan peranan pentingnya air bersih bagi kehidupan mereka terutama untuk mandi cuci dapat dikatakan cukup baik dan telah membudaya, akan tetapi membudayakan penduduk akan pentingnya jamban masih perlu ditingkatkan. Hampir seluruh petani didusun ini menggunakan kebon atau sungai untuk kegiatan buang air besar. Tabel 3. Kondisi perumahan peternak kooperator Parameter
Jumlah
Prosentase
Permanen
6
55
Semi permanen
4
36
Tidak permanen
1
9
Kondisi perumahan
Penerangan Listrik
8
73
Minyak tanah
3
27
Tidak punya
8
73
TV
2
9
Radio
1
18
Sumur
11
100
Sungai
-
-
Jamban
3
27
Sungai
2
18
Kebon
6
55
Media Penerangan
Indikator ekonomi keluarga dapat digambarkan melalui tipe rumah para peternak kooperator. Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa sebanyak 46% rumah peternak dengan katagori permanen akan tetapi lantai rumah secara umum masih belum menggunakan tegel/keramik. Kondisi perumahan dengan katagori semi permanen (bagian tertentu dari dinding rumah menggunakan anyaman bambu) sebanyak 39, dan 15% rumah petani dikatagorikan sebagai rumah tidak permanen (Table 3). Sumber penerangan dapat dikatakan masih dengan
Sumber air
MCK
583
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Populasi ternak Ternak merupakan sub-sistem usahatani petani masih merupakan usaha sambilan. Populasi ternak di Lombok Timur dan di kecamatan Jerowaru dimana lokasi penelitian pengembangan ini dilakukan ditunjukkan pada Tabel 3. Populasi ternak kambing dan domba di beberapa kecamatan di Lombok Timur ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Populasi ternak kambing dan domba di beberapa kecamatan di lombok Timur tahun 2000 – 2002 Kecamatan
Populasi Kambing
Domba
Labuhan Haji
2.964
-
Keruak
5.648
456
Suka Mulya
1.359
49
Suralaga
1.225
-
Wanasaba
1.592
335
Pringgasela
375
-
Sakra
2.543
-
75
-
Sambelia
3.017
748
Sembalun
1.758
-
Jerowaru
7.403
2.776
Sakra Barat
5.156
-
Sakra Timur
3.461
42
519
-
Montng Gading
Terara Sikur
1.088
-
Masbagik
1.701
128
999
-
Pringgabaya
4.093
4.143
Suela
2.041
-
Aik Mel
1.335
29
2002
48.392
8.706
2001
45.747
8.626
2000
43.685
7.315
Selong
Total populasi tahun
Dari 20 kecamatan hanya 4 kecamatan yang mempunyai populasi ternak kambing relatif sedikit yaitu Kecamatan Pringgasela (375 ekor), Monting Gading (75 ekor), Terara
584
(519 ekor) dan Selong (999 ekor), sedangkan di kecamatan yang lain populasi kambing cukup tinggi (> 1000 ekor) dan Kecamatan Jerowaru (lokasi kegiatan) mempunyai populasi ternak kambing tertinggi (7403 ekor). Selama kurun waktu 3 tahun (2000 – 2002) populasi ternak kambing meningkat cukup tajam dari 43.685 ekor menjadi 48.392 ekor atau meningkat 10,77% per 2 tahun atau 5,38% per tahun suatu pertumbuhan yang cukup tinggi. Terjadinya peningkatan populasi ternak kambing menunjukkan tingginya daya dukung sumberdaya alam dalam menyediakan pakan bagi ternak kambing, dan tingginya produktivitas ternak tersebut. Kondisi musim kering yang panjang merupakan hikmah tersendiri bagi ternak kambing yang secara biologis sangat adaptif dengan kondisi daerah kering. Ternak ini mampu memanfaatan sisasisa hijauan (rumput, legume dan tanaman lain) yang sudah mengering. Disamping itu keadaan perkembangan populasi yang positif ini juga menunjukan keseriusan petani dalam memelihara ternaknya sebaik mungkin karena peran ternak kambing ini cukup berarti bagi kehidupan petani di pedesaan. Pada musim kemarau dimana petani sudah tidak dapat lagi melakukan kegiatan usahatani tanaman pangan atau yang lainnya, maka tersedia ruang (lahan) yang cukup luas bagi ternak kambing untuk menggembala. Pada periode musim kering seperti itu tidak jarang kita jumpai kondisi ternak justru menjadi lebih baik. Pada musim penghujan walaupun singkat (2 – 5 bulan) ternak lebih lama ada di kandang. Pengamatan secara kualitatif menunjukkan bahwa pada musim penghujan kondisi ternak kambing cenderung terlihat agak menurun namun masih dikatagorikan dalam kondisi baik. Hal ini mungkin disebabkan adanya substitusi pakan yang cukup baik. Jenis pakan yang umum diberikan oleh petani pada musim hujan yaitu berupa daun turi, rumput dan daun lamtoro. Kondisi tersebut diatas menunjukkan bahwa pola pemeliharaan ternak kambing di lokasi pengamatan tampaknya selalu disesuaikan dengan keadaan musim. Pada musim kering ternak cenderung digembalakan biasanya dilakukan disaat musim kemarau dan musim panen. Ternak dilepas pada pukul 08.00 pagi untuk kemudian dibawa kembali ke kandang pada pukul 12.00 siang. Sementara itu, pada
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
musin hujan pemeliharaan dialihkan menjadi pola dikandangkan dengan pemberian pakan dengan cara diaritkan. Skala pemilikan ternak kambing per peternak bervariasi 3 – 20 ekor disesuaikan dengan ketersediaan tenaga kerja. Penjualan ternak tidak dilakukan secara periodik dan terprogram, namun penjualan ternak dilakukan bila ada kebutuhan dana untuk keperluan sekolah, pembelian bibit tanaman pangan maupun pupuk. Daya dukung wilayah terhadap ternak kambing Dari hasil wawancara, terungkap bahwa permasalaan yang dihadapi dalam budidaya baik pertanian maupun peternakan sangatlah beragam (Tabel 5). Musim panas yang cukup panjang (7 – 10 bulan) di Lombok Timur
menjadikan daerah ini potensial sebagai daerah rawan pangan, dan ternak mempunyai andil besar dalam membantu petani mengatasi krisis selama musim kemarau tersebut. Kendala yang dihadapi petani di daerah ini yang juga merupakan problema serius di Pulau Lombok adalah rawannya keamanan beternak. Tingginya angka pencurian ternak potensial menghambat pengembangan ternak di daerah ini. Juga terungkap, bahwa untuk mengatasi masalah yang ada petani menganggap pola usaha berkelompok sangat penting dilakukan, didukung dengan sistem informasi pertanian dan lembaga keuangan yang memadai. Kehadiran tenaga penyuluh dilapangan sangat didambakan petani. Selanjutnya untuk mengamankan kegiatan usahanya para petani membentuk Pam Swakarsa.
Tabel 5. Jenis komoditas dan permasalaan yang dihadapi petani dalam budidaya di Desa Sukaraja, Lombok Timur Komoditas yang dibudidayakan
Permasalahan yang dihadapi (*)
Padi
Hama penyakit Harga gabah rendah Harga saprodi tinggi Kekurangan modal Modal Harga berfluktuasi (dipermainkan) Pemasaran Penyakit dan hama Hama dan penyakit Harga berfluktuasi Harga saprodi tinggi Teknik budidaya Hama dan penyakit Penyakit kudis Keamanan Teknik budidaya Sifat usaha masih sambilan Informasi teknologi kurang Modal kurang Kekurangan modal Bibit langka Teknologi budidaya Penyakit
Tembakau
Cabe
Kedele Kambing
Itik
(*) Nomer urut sesuai dengan tingkat permasalahaan yang dihadapi
585
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Introduksi ternak dan teknologi pakan pada usahatani peternak Seperti telah disebutkan sebelumnya, peternak kooperator dalam pengamatan ini adalah petani yang sudah berpengalaman memelihara ternak kambing dan yang juga bercocok tanam. Jenis tanaman yang dominan diusahakan oleh para petani yaitu tanaman pangan dan tembakau, namun karena musim tanam yang sangat terbatas menyebabkan usaha pemeliharaan ternak menjadi cukup dominan. Kinerja ternak kambing introduksi Rataan berat badan kambing yang diberikan kepada petani kooperator adalah 34.8 kg untuk kambing jantan dan 28,8 kg untuk kambing betina, dan ini sekitar 10,6% dan 8,7% lebih tinggi daripada rataan berat badan kambing populasi kontrol milik petani (Tabel 6). Setelah 9 bulan pengamatan terlihat bahwa rataan perkembangan bobot badan ternak betina meningkat menjadi 31,8 kg/ekor. Diharapkan ternak yang didistribusikan ini akan dapat memperbaiki kualitas ternak kambing yang ada dipetani. Menurut SAKUL et al. (1994) bahwa pola pemuliaan dapat dilaksanakan melalui tiga cara yakni: (1). seleksi antar dan dalam genotipe lokal, (2) introduksi exotic germ plasm dan (3) ekploitasi heterosis. Melalui cara seleksi dalam bangsa (within breed) walaupun peningkatan mutu genetiknya relatif kecil (2 – 4% per tahun), akan tetapi dengan peningkatan yang tetap setiap tahun, dalam waktu tertentu (lima tahun) akan memberikan peningkatan yang nyata yakni 10 – 20%.
Selama kurun waktu 9 bulan terlihat bahwa dari 60 ekor induk (12 ekor jantan dan 48 ekor betina) yang dibagikan kepada petani pada awal kegiatan telah lahir anak kambing sebanyak 69 ekor (Tabel 7), namun 22 ekor (31,9%) anak tersebut mati pada umur prasapih (< 3 bulan). Sementara itu, jumlah ternak induk yang mati adalah 3 ekor (6,25%), sehingga populasinya menjadi 104 ekor. Terjadinya kematian induk pada kegiatan ini dikarenakan oleh berbagai sebab, diantaranya kembung, dan lemah tidak mau makan. Sementara itu, kematian anak kebanyakan karena berat lahir anak yang sangat rendah. Dari ternak induk yang masih ada maka (41 ekor) induk diantaranya sudah beranak dengan jumlah anak sekelahiran (Litter Size = LS) bervariasi 1 – 3 ekor (rataan LS = 1,65). Persentase induk beranak kembar dua dan kembar tiga relatif tinggi yaitu masing-masing 40; 11,11 dan 40% lagi beranak tunggal (Tabel 6). Hasil ini menunjukkan mendukung hasil penelitian sebelumnya bahwa kambing lokal Indonesia cukup prolifik dengan LS 1,3 – 1,76 (OBST et al., 1980; SUBANDRIYO, 1993; SUTAMA et al., 2001), dan dengan bertambahnya umur maka jumlah anak yang lahir sekelahiran (LS) akan meningkat. Perbandingan anak jantan dan betina adalah 53,6 : 46,4%. Tingginya tingkat kematian anak (31,9%) merupakan salah satu masalah yang dihadapi dan ini merupakan kerugian yang cukup besar. Dari berbagai laporan diketahui tingkat kematian anak pra-sapih pada kambing di Indonesia bervariasi 30 – 43% (ADIATI et al., 1999; BUDIARSANA et al., 2003), bahkan hingga mencapai angka 33 – 53% (SUTAMA et al., 1996).
Tabel 6. Perkembangan bobot badan dan tinggi pundak kambing PE (PFI3P) setelah 9 bulan pengamatan Populasi kontrol Jumlah ternak (ekor) Umur (jumlah gigi tetap)
Ternak PFI3P (kooperator)
Jantan
Betina
Jantan
30
90
12
Betina 48
0–2
0–6
0-2
0-4
31,50 ± 4,37
26,54 ± 2,83
34,83 ± 4,15
28,85 ± 2,25
Berat badan (kg) Awal Setelah 9 bulan pengamatan Tinggi pundak (cm)
586
-
-
-
31,89 ± 4,55
71,90 ± 1,80
63,63 ± 2,23
73,58 ± 2,31
64,71 ± 2,95
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 7. Kinerja produksi kambing di petani kooperator selama 9 bulan pengamatan Parameter Jumlah ternak awal (ekor) Jumlah induk mati (ekor)
N (%) 48 3 (6,25)
Jumlah induk belum beranak (ekor) Jumlah induk beranak tunggal (ekor)
4 (8,89) 18 (40,00)
Jumlah induk beranak kembar dua (ekor)
18 (40,00)
Jumlah induk beranak kembar tiga (ekor)
5 (11,11)
Jumlah anak sekelahiran (LS) Jumlah anak lahir (ekor) Rasio anak jantan : betina Motalitas
Perkembangan populasi ternak proyek pada kegaitan ini di setiap petani kooperator ditunjukkan pada Tabel 8. Dari 13 petani kooperator yang terlibat, hanya 2 orang petani yang menunjukkan kinerja pemeliharaan ternak yang kurang menggembirakan. Sedangkan pada petani kooperator lainnya (11 orang) populasi ternak telah meningkat menjadi 7 – 12 ekor (peningkatan 40 – 140%) dalam waktu yang relatif singkat (9 bulan). Walaupun demikian secara umum pemeliharaan kambing pada petani kooperator pada kegiatan ini adalah cukup baik. Berkumpulnya petani dalam wadah kelompok tani ”MULE GIRANG” yang dibentuk saat kegiatan dimulai sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usahatani ternak ini. Bimbingan yang diberikan oleh petugas lapang dari BPTP Mataram serta petugas kesehatan dari pemda setempat memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan dan keberhasilan kegiatan ini. Hal yang lebih penting lagi adalah komitmen petani untuk maju bersama yang terus dipupuk oleh semua anggota Kelompok Tani ”MULE GIRANG” tersebut. Skala pemilikan ternak kambing petani kooperator pada kegiatan ini adalah 8 induk betina dan 1 ekor jantan (sistem 8 : 1) dimana 4 – 5 ekor berasal dari ternak proyek. Dalam sistem 8 : 1 ini diharapkan petani setiap bulan akan dapat menjual 1 – 2 ekor ternak umur 8 – 10 bulan, sehingga usaha agribinis kambing ini akan menjadi sumber penghasilan yang cukup nyata bagi petani.
1,65 69 (53,62 : 46,38) 22 (31,88)
Analisis prospek pemeliharaan ternak kambing Dari hasil survei lapang serta perhitungan input-output yang dilakukan diawal kegiatan ini dapat diketahui bahwa dengan pola pemeliharan tradisional skala usaha kecil (2 – 5 ekor kambing/KK) petani hanya memperoleh penghasilan sekitar (Rp. 200.000 – 300.000 per 6 bulan) dari penjualan satu ekor kambing umur 10 – 12 bulan), atau Rp 69.000175.000/bulan. Dengan teknologi yang akan diintroduksikan yaitu sistem pemeliharan kambing sebanyak 9 ekor (sitem 8 betina : 1 jantan) dan perbaikan breed kambing yang dipelihara dan teknologi budidaya, maka petani secara teoritis akan mampu menjual satu ekor ternak kambing umur 10 – 12 bulan dengan nilai Rp. 300.000 – 400.000/ekor. Dari hasil PRA di desa lokasi kegiatan ini (Desa Sukaraja) petani mampu memelihara ternak hingga 18 ekor induk atau sekitar 30 ekor total populasi) tanpa mengganggu aktivitas usahataninya. Ini berarti potensi untuk perbaikan pendapatan petani dari usaha pemeliharaan ternak masih cukup besar, belum lagi dari peningkatan hasil usahatani tanaman pangan (20 – 30%) dengan mengintroduksi pemanfaatan pupuk organik (RAHARJO et al., 2003), yang dihasilkan sendiri petani, yang berarti juga mengurangi pemakaian pupuk anorganik.
587
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 8. Perkembangan populasi ternak kambing PE (PFI3P) di setiap petani kooperator selama 9 bulan pengamatan
Peternak Ron Jumeni Sampurne Israul Purname Surni Abdul Wahid Keni Mustike Mohirin Ida Nurmin Ruwiyan Total % Rataan STD
Jumlah ternak awal (ekor)
Anak lahir (ekor)
Betina
Jantan
LS
Betina
Jantan
Mortalitas
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 12
4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 3 3 48
2,25 1,33 2,00 1,25 1,50 1,50 1,67 1,75 1,67 1,33 2,50 1,33 1,33
4 3 5 2 4 1 4 4 3 0 1 3 3 37 53,62
5 1 3 3 2 2 1 3 2 4 4 1 1 32 46,38
2 3 4 1 0 3 1 4 1 0 2 1 0 22 31,88
1,65 0,39
Rataan penghasilan per bulan pada saat wawancara dilakukan tercatat bervariasi yaitu Rp. 250.000 – 1.000.000. Dengan jumlah tanggungan keluarga yaitu bervariasi dari 2 – 7 anggota keluarga. Relatif rendahnya penghasilan keluarga para petani membuat para peternak harus menyesuaikan konsumsi. Walaupun secara umum setiap hari mereka masih dapat mengkonsumsi nasi, namun konsumsi daging dan telor masih sangat rendah. Konsumsi telor per orang berkisar 12 – 21 butir/bulan, sedangkan konsumsi daging umumnya sangat rendah, yaitu hanya mengkonsumsi daging pada saat hari Raya dan atau pada saat adanya hajatan keluarga atau yang diadakan oleh tetangga. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan dan pengkajian selama 9 bulan kegiatan proyek Poor Farmers’ Income Improvement Through Innovation Project (PFI3P) yang dilakukan di Desa Sukaraja, Kecamatan Jerowaru Kabupaten
588
Tambahan (ekor) 7 1 4 4 6 0 4 3 4 4 3 3 4 47
Induk mati (ekor) 1 1
1
3 6,25
Jumlah akhir (ekor) 12 5 9 8 11 5 8 8 8 9 7 7 7 104
3,62 1,80
Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dapat disimpulkan bahwa: 1. Lokasi kegiatan merupakan lahan kering dengan curah hujan yang sangat rendah, yaitu nmIntroduksi ternak kambing pada daerah lahan kering, dengan musim penghujan yang singkat (3 – 4 bulan) dan musim kemarau yang panjang (8 bulan). 2. Sangat singkatnya musim hujan, secara tidak langsung membatasi waktu bercocok tanam, disatu sisi memberi peluang para petani mencurahkan seluruh tenaga kerja pada usaha peternakan 3. Dari daya dukung wilayah yang ada maka skala pemeliharaan ternak kambing dengan skala 1:8 yang diintegrasikan dengan usaha taninya sangat memungkinkan untuk dilakukan oleh petani dan prospektif dalam meningkatkan ekonomi peternak. 4. Tingkat produktivitas ternak kambing menunjukkan angka yang relatif bagus yaitu dengan laju perkembangan anak sebesar 140% dan litter size 1,65.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
DAFTAR PUSTAKA ADIATI, U., HASTONO, R.S.G. SIANTURI, T.D. CHANIAGO dan I-K. SUTAMA. 1997. Sinkronisasi secara biologis dan hormonal pada kambing Perankan Etawah. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. BPS PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT. 2002. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Barat 2002. BUDIARSANA, I G.M., I-K. SUTAMA, M. MARTAWIDJAJA dan TATAN KOSTAMAN. 2003 Produktivitas Kambing Peranakan Etawah (PE) pada Agroekosistem yang berbeda. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 150 – 156. KNIPSCHEER, H.C. and R.R. HARDWOOD. 1989. On station versus on-farm research: Allocationof resources. Proc International Workshop AARD, Jakarta. LIEM,C., A. POHAN, D. KANAHAU, J. NULIK dan A. BAMUALIM. 1997. Perbaikan padang penggembalaan alam di pulau Timor melalui industri tanaman leguminosa herbaceous. Pros. Seminar Regional Hasil-Hasil Penelitian Pertanian Berbasis Perikanan, Peternakan dan Sistem Usahatani Kawasan Timur Indonesia. Kupang Nusa Tenggara Timur. hlm. 571 – 576. OBST, J. M., T. BOYES and T.D. CHANIAGO. 1980. Reproductive performance of Indonesiansheep and goats. BASUKI, P, W. HARDJOSUBROTO, KUSTONO dan N. NGADIYONO. 1982. Performas produksi dan reproduksi kambing Peranakan Etawah (PE) dan Bligon. Pros. Seminar Penelitian Peternakan, Cisarua 8 – 11 Februari 1982. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 13. hlm. 104 – 108.
PFI3P. 2003. Panduan perencanaan penelitian dan pengkajian pengembangan Inovasi pertanian di lahan marjinal PFI3P. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. RAHARJO, Y.C., SAJIMIN, NURHAYATI dan LUGIYO. 2003. Integrasi Sistem Usaha Ternak – Sayuran Berbasis Kelinci di Sentra Produksi Sayuran Dataran Tinggi: Pengayaan Kompos Kelinci dan Pemanfaatannya dalam Produksi Sayuran Organik. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Ternak, 2003. SAKUL, H., G.E. BRADFORD and SUBANDRIYO. 1994. Prospects for genetic improvement of small ruminants in Asia. Proc. of Symposium, Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and Pasific. SR-CRSP Univ. of Calif. Davis. SUBANDRIYO. 1993. Potensi dan produktivitas ternak kambing di Indonesia. Pros. Lokakarya Potensi dan Pengembangan Ternak Kambing di Wilayah Indonesia Bagian Timur. Surabaya 28 – 29 Juli 1992. hlm. 139 – 155. SUTAMA, I-K., B. SETIADI dan I-W. MATHIUS. 1996. Pemurnian Bibit Kambing Peranakan Etawah untuk Produksi Anak dan Susu. Balai Penelitian Ternak, Puslitbang Peternakan, Bogor. SUTAMA, I-K., I-W. SUBHAGIANA, R. DHARSANA, SUPRIYATI, BUDIARSANA, T. KOSTAMAN, Y. SAEFUDIN, M.S. HIDAYAT, R. SUKMANA dan BACHTIAR. 2001. Hubungan Konsentrasi Hormone Mammogenik Selama Kebuntingan dengan Jumlah dan Bobot Lahir Anak Kambing Peranakan Etawah. Laporan Tahunan 2000. Balai Penelitian Ternak. SUWARDIH, J. BOBIHOE dan C.J.S. MOMUAT. 1995. Peranan ternak kambing dalam usahatani pola pekarangan zona alluvial Naibonat. Proyek P3NT, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
589