Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
POTENSI PENGEMBANGAN KOMODITAS SPESIFIK BERSKALA EKONOMI DI LAHAN MARGINAL Q. Dadang Ernawanto dan D. Harnowo BPTP Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km 4. P.O. Box 188 Malang. Telp. 0341494052 email :
[email protected]
ABSTRACT Destruction of land resources in drylands of East Java is mainly caused by erosion, and lack of proper management. Further process of deterioration of land resources by soil erosion is mendangkalnya, so its function as a medium to grow plants is limited and marginal. Opportunities specific commodity-scale economic development which includes livestock, crops, and horticulture in marginal land is large enough. Contribution to the income of farm crops in dry land is relatively large at around 44 persen. Forage production from fresh grass planted on the lip and tampingan of 2000 m2/ha terrace slopes ranging from 40-60 tons per year, while from the tree legume plants ranged from 15-30 tons. One unit of land area of 0.25 ha are planted with a mixture of crops (0.16 ha) and feed crops (0.09 ha) can accommodate 2 adult cows or goats tails as much as 12 tails. Plant layout in conservation farming systems in marginal lands are designed and geared to optimize the management of land resources, based on slope, depth of solum, soil erodibilitas, the prospect of commodity to be exploited. Keywords: marginal land, commodity-site specific PENDAHULUAN Sistem usahatani di lahan-lahan marginal selama ini belum dikelola secara benar. Praktek usahatani masih kurang memperhatikan kaidah konservasi, sehingga terjadi kemorosotan kesuburan lahan yang disebabkan oleh proses erosi. Berdasarkan hal itu, pengembangan usahatani yang berwawasan lingkungan dan berskala ekonomi sangat diperlukan, agar kondisi lahan kering marginal tidak semakin memburuk dan meningkatkan pendapatan petani. Dilihat dari sumberdaya yang ada, adaptabilitas dan potensinya, peluang pengembangan komoditas spesifik berskala ekonomi yang meliputi ternak dan tanaman hortikultura di lahan marginal cukup besar; namun demikian, pengembangan tanaman pangan juga masih diperlukan. Hal ini mengingat konstribusi tanaman pangan terhadap pendapatan usahatani di lahan kering relatif besar yaitu sekitar 44 persen, sedangkan dari tanaman tahunan sebesar 26 persen (Al Sri Bagyo, 1987). Sementara dari komponen peternakan, Sabrani et al. (1989), melaporkan bahwa konstribusi ternak terhadap total pendapatan petani di lahan kering berkisar antara 20-37 persen. Oleh karena itu, penerapan usahatani terpadu yang melibatkan tanaman pangan, tanaman tahunan, tanaman pakan, dan ternak di lahan kering juga diharapkan akan lebih meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani.
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Penanaman hijauan unggul pada lahan berteras dapat meningkatkan daya tampung ternak. Hariyati et al. (1991) melaporkan bahwa produksi hijauan segar yang berasal dari rumput yang ditanam pada bibir dan tampingan teras seluas 2000 m2/ha lahan miring berkisar antara 40-60 ton per tahun, sedangkan dari tanaman leguminosa pohon berkisar antara 15-30 ton. Apabila produksi hijauan tersebut ditambah dengan hijauan dari limbah tanaman pangan, dapat mencukupi kebutuhan pakan untuk 3-4 unit ternak selama setahun. Nitis et al. (1988) melaporkan bahwa dari satu unit lahan seluas 0.25 ha yang ditanami campuran tanaman palawija (0,16 ha) dan tanaman pakan (0,09 ha) dapat menampung ternak sapi dewasa 2 ekor atau kambing sebanyak 12 ekor. Dengan rata-rata 3 orang anggota keluarga yang aktif bekerja di usahatani, tersedia potensi tenaga kerja sekitar 750 HOK per tahun. Alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan untuk kegiatan usahatani konservasi seluruhnya (tanaman pangan, tahunan dan ternak) hanya sebanyak 520 HOK per tahun, maka masih tersisa potensi tenaga kerja sebanyak 230 HOK per tahun yang belum termanfaatkan. Potensi tenaga kerja yang tersisa ini merupakan peluang untuk mengintensifkan usahatani di lahan kering (Sembiring, 1991). Dalam rangka mendukung peningkatan perencanaan pembangunan pertanian tersebut perlu dikembangkan suatu model usahatani yang berwawasan lingkungan dengan komoditas unggulan yang layak secara biofisik maupun ekonomi. Perhatian untuk melakukan penelitian dan pengembangan teknologi di lahan marginal mulai dirintis setelah diketahui bahwa meninggalkan lahan marginal dan daerah berpengairan terbatas, menimbulkan kekurangan pangan dan ketidakstabilan produksi pada tingkat nasional (Ernawanto et al, 1995). Alternatif bentuk pola tanam dengan berbagai macam komoditas tanaman yang menguntungkan semakin mempunyai nilai strategis di masa mendatang. Beberapa masalah yang saling berkaitan timbul dengan semakin diperlukannya tingkat produktivitas lahan yang tinggi dalam satuan luas dan waktu di satu pihak, serta semakin menyempitnya luas pemilikan garapan tanah di lain pihak. Disamping itu timbul tuntutan kemajuan bagi suatu pola usahatani yang semakin layak, baik ditinjau dari aspek agronomi, sosial-ekonomi, maupun dari aspek lingkungan. KERAGAAN LAHAN MARGINAL Lahan marginal secara umum dapat dibedakan dalam agroekosistem lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Kendala pada lahan kering beriklim basah umumnya tingkat produktivitasnya rendah, peka terhadap erosi. Salah satu masalah pengelolaan lahan kering beriklim basah adalah produktivitasnya yang cepat menurun, terlebih apabila semua limbah pertanian dan bahan hijauan diangkut keluar atau dibakar. Secara umum lahan kering beriklim kering mempunyai tingkat kesuburan yang lebih baik daripada lahan kering beriklim basah. Kendala utama lahan kering beriklim kering umumnya berupa kendala fisik lingkungan yang sulit diatasi, yaitu iklim dan topografi. Keadaan iklim kering dengan bulan basah 3-4 bulan dan bulan kering 6-9 bulan serta fluktuasi curah hujan yang tinggi dan tidak menentu merupakan kendala yang dapat menggagalkan panen karena kesulitan waktu tanam. Apabila air tersedia
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
cukup dan pengelolaan tanah dan tanaman cukup baik, maka produktivitas lahan pada agroekosistem ini termasuk baik. Wilayah lahan kering Jawa Timur meliputi 6 kabupaten di bagian selatan Jawa Timur yang didampingi oleh kegiatan P2LK (Proyek Pengembangan Lahan Kering) Jawa Timur dengan zone agroekologinya didominasi batuan kapur, bukit lipatan, dan hanya sebagian vulkanik, tersebar pada daerah dataran rendah sampai tinggi dengan dominasi tipe iklim kering. Karakteristik lahan tersebut memiliki topografi bergelombang sampai bergunung, serta terbuka (vegetasi penutup tanah sedikit), dengan curah hujan berkisar 1.800 - 2.600 mm per tahun. Kondisi demikian berakibat terjadinya aliran permukaan (run off) dan erosi tinggi, sehingga solum dangkal, dan kesuburan tanah rendah yang ditandai dengan kahat hara N, P, K, Fe, Zn, serta bahan organik rendah (Ernawanto et al, 1995). Menurut Doolote dan Margareth (1988), kerugian yang diakibatkan erosi di Jawa Timur diperkirakan mencapai US$ 144,5 - 162,1. Kendala lahan marginal di berbagai agroekosistem sangat beragam, baik dari segi kondisi tanahnya maupun segi fisik lingkungan seperti topografi, iklim, dan tata air, sehingga penanggulangan kendala-kendala tersebut untuk masing-masing agroekosistem perlu penanganan khusus. Oleh sebab itu karakterisasi kondisi agroekosistem dengan berbagai kendalanya merupakan prioritas utama yang harus dilakukan sebelum dilakukan pengembangan sistem usahatani. Kerusakan sumberdaya lahan di Kawasan P2LK di Jawa Timur terutama disebabkan oleh erosi, karena pengelolaan yang kurang tepat. Hal ini terjadi karena tingginya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan hidup, sehingga lahan dipacu untuk berproduksi secara maksimum tanpa memperhatikan kaidah konservasi. Kondisi demikian menimbulkan kemerosotan fungsi sumberdaya lahan baik sebagai unsur produksi maupun pengatur siklus air. Indikasi kerusakan lahan tersebut ditandai dengan semakin tipisnya lapisan tanah. Proses lanjut dari kemunduran sumberdaya lahan oleh erosi adalah mendangkalnya lapisan tanah, sehingga fungsinya sebagai media tumbuh tanaman menjadi terbatas dan marjinal. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan pendekatan pengelolaan terintegrasi yang melibatkan berbagai aktivitas yang terjadi dalam sistem pertanian lahan marginal serta kendala yang ada. Pendekatan terintegrasi tersebut diperlukan untuk mengkoordinasikan pemanfaatan sumberdaya, dana, dan tenaga yang terbatas, memobilisasi potensi pedesaan untuk kepentingan pembangunan dan mencapai produktivitas sumberdaya alam yang dikehendaki disamping menjaga kelestariannya (Eren, 1977). Usahatani konservasi merupakan salah satu konsep yang dapat diterapkan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut. Sukmana et al. (1990), menyatakan bahwa usahatani konservasi merupakan suatu bentuk pengusahaan pertanian yang mengkombinasikan teknik konservasi, baik mekanik maupun vegetatif dengan tujuan memaksimumkan tujuan rumah tangga petani dan kelestarian sumberdaya lahannya. Disamping untuk keberlanjutan produksi.
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
HASIL-HASIL PENELITIAN SISTEM USAHATANI KONSERVASI DI LAHAN KERING Penelitian-penelitian untuk mendapatkan teknologi yang sesuai untuk meningkatkan produktivitas lahan kering dalam menunjang diversifikasi pangan telah dilakukan melalui pendekatan sistem usahatani konservasi di beberapa agroekosistem. Usahatani sebagai suatu sistem ditujukan untuk memenuhi kriteria produktivitas, stabilitas, ekuibilitas, dan sustainabilitas (Conway, 1984). Sukses Revolusi Hijau yang menekankan pada suplai input (pupuk, pestisida, dan lain-lain) untuk meningkatkan produksi, melalui pendekatan ekoregional perlu memperhatikan aspek konservasi dan optimasi pemanfaatan sumberdaya lahan agar tercipta suatu produksi yang berkelanjutan. Sistem usahatani yang diharapkan haruslah secara teknis dapat dilaksanakan oleh para petani, secara ekonomis menguntungkan, secara sosial dapat diterima masyarakat dan tidak merusak lingkungan. Sistem Usahatani Konservasi Sistem usahatani konservasi merupakan upaya penataan usahatani yang stabil berdasarkan daya dukung lahan yang didasarkan atas tanggapannya terhadap faktorfaktor fisik, biologis, dan sosial ekonomi serta berlandaskan sasaran dari tujuan rumah tangga petani dengan mempertimbangkan sumberdaya yang tersedia. Dalam sistem usahatani ini terdapat komponen-komponen tanah, iklim, tanaman, ternak, gulma, hama dan penyakit serta subsistem lainnya yang saling mempengaruhinya. Konservasi merupakan upaya untuk melestarikan sumberdaya alam dan menyelematkannya dari kerusakannya. Sistem usahatani konservasi merupakan sistem usahatani yang dilakukan melalui pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian. Komponen utama dalam sistem usahatani konservasi (UACP-FSR, 1990): 1. Komponen pembuatan teras bangku dan gulud : - Teras bangku (datar, miring ke dalam, miring ke luar). Teras ini sangat sesuai untuk lahan dengan kemiringan 10-30 persen, solum dalam, dan tidak mudah longsor. - Teras Gulud, adalah barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran pembuangan air, memotong lereng dengan jarak tertentu. Teras ini sesuai untuk lahan dengan kemiringan lereng < 15 persen, solum dangkal maupun dalam. 2. Pengelolaan bahan organik. Produktivitas lahan dapat dipertahankan dengan mempertahankan kandungan bahan organik yang cukup dalam tanah. Sisa-sisa tanaman dapat dibenamkan atau dihamparkan sebagai mulsa. 3. Tanaman lorong (Alley cropping). Sistem pertanaman lorong memanfaatkan jenis tanaman leguminosa, seperti Flemingia congesta, Gliricidia sepium, Teprosia candida, dan Caliandra untuk menghasilkan bahan organik penyubur tanah. Diantara tanaman, lorong dapat ditanami tanaman pangan dengan pola tumpangsari atau rotasi. Sisa tanaman dikembalikan ke tanah agar memperkaya kandungan bahan organik tanah.
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
4.
5.
Juni, 2012
Rehabilitasi lahan. Degradasi lahan mudah terjadi di lahan kering. Lahan kering yang telah terdegradasi dapat direhabilitasi dengan tanaman penutup tanah (seperti Centrosema pubescen, Pueraria phaseoloides, Crotalaria juncea Sesbania aculata) atau menggunakan Mucuna yang bijinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Penggunaan pupuk hijau dapat menyumbangkan 40 kg N/ha, dan setiap ton pupuk hijau dapat meningkatkan produksi padi rataan 40 kg/ha. Dalam sistem usahatni konservasi, komoditas tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan ternak (ruminansia dan unggas) dapat dipadukan dalam suatu sistem crop animal system). Dalam hal ini juga dimasukkan hijauan pakan ternak berupa rumput-rumputan yang ditanam pada bibir teras, tampingan teras sehingga dapat berperan pula sebagai pencegah terjadinya erosi.
Tata Ruang pada Sistem Usahatani Konservasi Penentuan tata ruang tanaman pada sistem usaahatani konservasi dirancang dan diarahkan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya lahan. Kriteria yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penataan wilayah meliputi kemiringan lahan, kedalaman solum, erodibilitas tanah, prospek komoditas yang akan diusahakan. Pengaturan komposisi tanaman dilakukan berdasarkan kemiringan lahan (< 15 persen, 15-30 persen, 30-45 persen dan > 45 persen), solum, dan erodibilitas tanah, selengkapnya disajikan pada Tabel l. Tabel 1. Penataan Ruang Pada Sistem Usahatani Konservasi Di Lahan Kering
Keterangan : B =
teras bangku dengan tampingan ditanami rumput + 75 persen tanaman semusim + 25 tanaman tahunan + ternak C = teras gulud ditanami ditanami dengan rumput dan leguminosa pohon (LTC) + 25 persen tanaman semusim + 75 persen tanaman tahunan + ternak D = Alley Cropping dengan tanaman LTC + leguminosa penutup tanah (LCC) + 100 persen tanaman tahunan + ternak
Pada lahan dengan kemiringan < 15 persen, proporsi tanaman semusim lebih besar daripada tanaman tahunan. Pada kemiringan lahan 15-30 persen perbandingan tanaman semusim dan tahunan relatif berimbang, kemiringan lahan 30-45 persen proporsi tanaman tahunan lebih besar daripada tanaman semusim, serta pada kemiringan lahan > 45 persen seluruh bidang olah ditanami tanaman tahunan
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
dikombinasikan dengan tanaman leguminosa (LTC dan LCC) untuk melindungi tanah dari erosi. Pengaturan tanaman tahunan (hortikultura, perkebunan, kayu-kayuan), ditanam sejajar kontur dengan jarak lubang tanam dengan bibir teras + 1 meter, dengan jenis tanaman sama pada baris kontur, sedangkan pada pada baris kontur lainnya ditanam jenis tanaman tahunan yang lain. Letak tanaman pada baris satu dengan baris lainnya harus mempertimbangkan lebar kanopi tanaman sehingga tidak menutupi lahan dibawahnya, khususnya pada teras dengan bidang olah yang sempit. Pengaturan jarak tanam untuk tanaman semusim sangat tergantung dari tingkat kemiringan bidang olah yang tersedia. Pengaturan baris tanaman dapat dimulai dari pangkal teras atau + 50 cm dari bibir teras. Tanaman penguat teras seperti rumput dan leguminosa penutup tanah yang berfungsi ganda sebagai tanaman konservasi dan juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau kayu bakar. Rumput-rumputan ditanam pada tampingan teras + 20 cm dari bibir teras, sedangkan tanaman leguminosa pohon ditanam pada bagian tampingan teras di bawah larikan rumput. Hasil pengkajian penerapan sistem usahatani konservasi di lahan kering yang dilakukan di desa Sumberkembar, Blitar yang dilakukan selama 5 tahun (Tabel 2). Nampak bahwa penerapan sistem usahatani konservasi mampu menekan erosi dan meningkatkan pendapatan petani. Pendapatan petani cenderung meningkat setelah beberapa tahun, karena adanya kontribusi panenan dari tanaman tahunan dan ternak. Tabel 2. Laju Erosi Dan Pendapatan Bersih Dari Penerapan Setiap Model Usahatani Dalam Sistem Usahatani Konservasi
PEMILIHAN KOMODITAS SPESIFIK Kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan komoditi spesifik yang sesuai untuk dikembangkan di wilayah PIDRA Jawa Timur, yaitu: mempunyai resiko kecil, teknologi budidayanya relatif mudah dan memerlukan input rendah, berpeluang baik untuk dipasarkan, cocok ditumpangsarikan dengan tanaman pangan, produk dihasilkan tahan lama agar dapat memberikan jangka waktu pemasaran yang panjang, serta cepat berproduksi.
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
Pemilihan tingkat kesesuaian komoditi secara agroekologi memerlukan 4 macam masukan, yaitu : karakteristik tanah, topografi, iklim, dan syarat tumbuh tanaman. Berdasarkan karakteristik wilayah PIDRA, maka seperti disebutkan di awal tulisan, bahwa komoditi yang sesuai dikembangkan adalah buah-buahan, perkebunan, kayua-kayuan, disamping tanaman pangan sebagai tanaman tumpangsari. Berbagai spesies tanaman tahunan (mangga, pete, mlinjo, nangka, durian, apokad, pisang, kopi, cengkeh, kelapa, jambu mente, sengon) dijumpai di beberapa desa wilayah PIDRA. Beberapa jenis komoditas tersebut penyebarannya kadang-kadang spesifik pada wilayah tertentu. Berdasarkan analisis biofik lahan, maka wilayah PIDRA dikelompokkan ke dalam 8 zone agrokelogi yaitu : (1) zone rendah kering kapur – RKK, (2) zone rendah kering volkan - RKV, (3) zone rendah basah kapur – RBK, (4) zone rendah basah volkan – RBV, (5) zone tinggi kering kapur – TKK, (6) zone tinggi kering volkan – TKV, (7) zone tinggi basah kapur – TBK, dan (8) zone tinggi basah volkan – TBV. Zone agroekologi rendah basah kapur (RBK) mendominasi di lokasi PIDRA Jawa Timur atau 33,79 persen dari total areal wilayah PIDRA Jawa Timur, sedangkan terendah adalah zone tinggi kering kapur (TKK) atau 1, 43 persen dari total luas areal lokasi PIDRA Jawa Timur. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan di wilayah PIDRA Jawa Timur, komoditi yang layak dikembangkan seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komoditas Yang Layak Dikembangkan Di Wilayah PIDRA Jawa Timur
Penentuan urutan kelayakan ekonomi usahatani dari masing-masing komoditas di wilayah P2LK Jawa Timur didasarkan oleh besarnya nilai Net B/C ratio, luas minimum usahatani, Beaya Sumberdaya Domestik, tingkat pengembalian Internal (IRR), manfaat neto dan beaya produksi. Di masing-masing zone agroekologi wilayah P2LK Jawa Timur, urutan kelayakan usahatani komoditas spesifik tertera pada Tabel 4.
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Tabel 4. Urutan Kelayakan Usahatani Komoditas Spesifik Di Zone Agroekologi Rendah Kering Kapur-RKK di Wilayah PIDRA
DAFTAR PUSTAKA Baharsyah, S. 1992. Pengembangan dan pemanfaatan teknologi bagi pedesaan dalam rangka pengembangan agroindustri. Pengembangan agribisnis dan agroindustri di Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. Conway, G.R. 1984. Applying ecological concepts to the study of the intensification of the use of Indonesia's. A report of two workshops of the research group on agro-ecosystem. Kelompok Peneliti Agroekosistem (KEPAS). Jakarta. Eren, T. 1977. The integrated watershed approach for development project formulation. In Guidelines for Watershed Management. FAO Conservation Guide No. 1. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Q.D. Ernawanto, Kasijadi, F., S.R. Soemarsono, B. Radjit, Soenardi, Parwoto, dan G. Kartono. 1995. Penyusunan Peta Komoditi Berdasarkan Agroekologi dan Pengembangan Skala Ekonomi di wilayah P2LK Jawa Timur. Laporan Kerjasama P2LK Jawa Timur dengan Sub Balithorti Malang. Sembiring, H., G. Kartono, R. Hardianto, A. Adimihardja, dan S. Sukmana. 1991. Pengaruh pola usahatani konservasi terhadap laju erosi dan pendapatan petani. P3HTA, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Soegito, J. S. Siemonsma, Sutrisno and H. Kuntyastuti, 1996. Soybean on-farm yield trials in Pasuruan. Penelitian Palawija Vol. I (1): 16-25. Sudaryono, 1994. Rakitan teknologi budidaya jagung pada lahan kering di Jawa Timur. Dalam Risalah Lokakarya. Balittan Malang Edisi Khusus. No.1, hal. 58-77. Sukmana, S., Mahyudin Syam dan A. Adimihardja. 1990. Petunjuk Teknis Usahatani Konservasi Daerah Aliran Sungai. Proyek Penelitian Penyelematan Hutan Tanah dan Air. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Sumarno dan Wigati Astuti, 1996. Rakitan Teknologi Budidaya Jagung Spesifik Lokasi di Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso, 1996.
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
Suwardjo, H. 1991. Hasil rumusan lokakarya Hasil Penelitian P3HTA UACP-FSR. Dalam: Adimihardja dkk. (Eds.). Risalah Lokakarya Hasil Penelitian P3HTA/UACP-FSR. Bandungan 25-26 Januari 1991. Team Teknis Bimas, 1996. Rakitan Teknologi Mendukung Program Peningkatan Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura di Propinsi Jawa Timur. SATPEM BIMAS, Propinsi Jawa Timur.