Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
KAJIAN SOSIAL EKONOMI PENGEMBANGAN AYAM LOKAL DI LAHAN MARGINAL HERMAN SUPRIADI1, DESMAYATI ZAINUDDIN2 dan PIUS P. KETAREN2 1
Pusat Penelitian dan dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor 2 Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002
ABSTRAK Potensi lahan marginal untuk usaha pertanian di Indonesia sangat luas meliputi lahan kering Podsolik Merah Kuning (PMK) seluas 51 juta hektar dan lahan rawa pasang surut seluas 9,5 juta hektar. Pemanfaatan lahan marginal dikaitkan dengan program transmigrasi. Setiap keluarga transmigran memelihara ayam lokal dengan rata-rata pemilikan berkisar 5 – 10 ekor per rumah tangga. Produktivitas ayam lokal sangat rendah disebabkan terutama oleh penggunaan input yang rendah, mortalitas tinggi, dan sifat genetiknya. Berbagai program aksi pengembangan ayam lokal telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui: 1) Program CLS (Crops Livestock Systems) di Batumarta (Sumatera Selatan), Lampung dan Bengkulu tahun 1985 – 1993; 2) Program REL (Research Extension Linkage) di Sulawesi Tenggara tahun 1991 – 1993 dan 3) Proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut) di Kalimantan Tengah tahun 1997 – 2000. Pengembangan ayam lokal sistem integrasi dan modal bergulir dikembangkan oleh CLS, model pengembangan semi intensif dikembangkan oleh PLG, sedang model pengembangan dengan Gelar Teknologi dan temu lapang dikembangkan oleh program REL. Dapat disimpulkan bahwa semua model yang diterapkan dapat meningkatkan pendapatan petani, tetapi untuk pengembangan lebih lanjut masih ada permasalahan sosial ekonomi yang perlu diperhatikan. Kata kunci: Ayam lokal, kajian sosial–ekonomi, lahan marginal
PENDAHULUAN Lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang rapuh, mudah rusak kelestariannya kalau pengelolaannya tidak tepat. Ciri-ciri utama lahan marginal adalah: 1) tingkat kesuburannya rendah, 2) erositas tinggi, 3) sering mengalami kekeringan atau kebanjiran, 4) tingkat kemasaman tanah tinggi dan 5) tingkat keracunan tinggi pada kondisi tertentu. Lahan marginal yang cukup luas di Indonesia adalah lahan kering Podsolik Merah Kuning (PMK) dan lahan rawa pasang surut. Lahan PMK sangat luas mencapai sekitar 51 juta hektar yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Irian Jaya dan Jawa (SOEPRAPTOHARDJO, 1991 dan RIFIN et al. 1989). Total luas lahan rawa di Indonesia meliputi 33,4 juta hektar, dimana sekitar 9,5 juta hektar potensial untuk pertanian maupun peternakan (RACHIM et al., 2000) Pemanfaatan lahan marginal dikaitkan dengan program transmigrasi. Setiap keluarga transmigram disamping bercocok tanam juga rata-rata memiliki ternak ayam berkisar 5-10 ekor per keluarga. Populasi ayam lokal di Indonesia berdasarkan data statistik peternakan
sebanyak 259,3 juta ekor pada tahun 2000 dan tahun 2003 mencapai 277,4 juta ekor (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2004). Produktivitas ayam lokal masih rendah karena biasanya dipelihara secara tradisional dengan penggunaan input rendah (ISKANDAR et. al., 1989). Ayam lokal pada umumnya (80%) dipelihara secara ektensif sebagai usaha sampingan dengan sistem umbaran (mencari makan sendiri) dan sisanya (20%) dipelihara secara semi intensif dan intensif (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 1997). Walaupun begitu ayam lokal memiliki peranan strategis dipedesaan sebagai sumber pendapatan tambahan dan tabungan hidup tak terurus yang sewaktu-waktu bisa dijual bila diperlukan (DARMINTO dan BAKRI. 1993). Karakteristik yang dimiliki oleh ternak ayam lokal dimana cara pemeliharaannya mudah dengan input rendah dan dapat menambah pendapatan atau sebagai tabungan jangka pendek, maka ternak ini sangat sesuai dikembangkan di agro-ekosistem lahan marginal untuk program peningkatan pendapatan petani miskin. Berbagai program aksi penelitian dan pengembangan ayam lokal telah dilakukan
217
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
pemerintah di lahan marginal antara lain : 1) Program CLS (Crops Livestock Systems) di Batumarta (Sumatera Selatan), Lampung dan Bengkulu dalam periode 1985–1993, 2) Program REL (Research Extension Linkage) di Sulawesi Tenggara tahun 1991–1993 dan 3) Proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut) sejuta hektar di Kalimantan Tengah tahun 1997 – 2000. Hasil pengembangan menunjukkan bahwa secara teknis budidaya ayam lokal mudah dilaksanakan oleh masyarakat di wilayah lahan marginal tetapi masih banyak permasalahan sosial ekonomi yang belum teratasi dan perlu perhatian lebih serius dari pemerintah, pihak terkait dan masyarakat peternak. Makalah ini mencoba mengkaji modelmodel pengembangan ayam lokal yang telah dilakukan pemerintah dan mencari solusi permasalahan sosial ekonomi untuk pengembangan lebih lanjut. PERMASALAHAN UMUM Masalah utama dalam pengembangan ayam lokal adalah rendahnya produktivitas yang disebabkan terutama oleh penggunaan input rendah, mortalitas tinggi dan memang sifat genetiknya. Berdasarkan hasil studi identifikasi masalah di beberapa wilayah pengembangan ayam lokal didapatkan suatu bentuk pohon masalah seperti pada Gambar 1. Penggunaan input rendah untuk ayam lokal, seperti pakan, obat dan vaksin serta perkandangan, disebabkan karena hanya sebagai usaha sambilan, modal terbatas, memanfaatkan limbah dapur dan pakan alami, serta penguasaan teknologi yang masih terbatas. Ayam lokal merupakan jenis yang belum dimuliakan, jadi masih memiliki sifat genetik aslinya yang memang produktivitasnya relatif rendah dibanding ayam ras hasil pemuliaan. Mortalitas ayam lokal termasuk tinggi bisa mencapai 100% bila terkena penyakit seperti Tetelo (New Castle Diseases) pada setiap pergantian musim. Tingginya mortalitas juga ditunjang oleh daya tahan tubuh ayam, dimana pada ayam lokal dengan sistem umbaran, pakannya kurang terjamin dari segi kuantitas dan kualitas. Dengan demikian vaksinasi untuk
218
tetelo dan pakan bergizi merupakan faktor penentu dalam upaya menekan mortalitas. PROGRAM AKSI PENGEMBANGAN Pemerintah melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melakukan pengembangan ayam lokal di lahan marginal untuk tujuan peningkatan pendapatan petani. Berbagai model dan pendekatan diterapkan dalam bentuk program aksi pengembangan, tetapi dalam makalah ini dicoba untuk membahas tiga model pengembangan ayam lokal yaitu: 1) Model CLS (Crops Livestock Systems) di Batumarta, Lampung dan Bengkulu dalam periode tahun 1985 – 1991, 2) Model REL (Research Extension Linkage) di Sulawesi Tenggara dalam periode 1991 – 1993 dan 3) Model PLG (Pengembangan Lahan Gambut) di Kalimantan Tengah dalam periode 1997 – 2000. Model CLS (Crops Livestock System) Model usahatani tanaman–ternak ini dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian bekerjasama dengan IDRC (International Development Research Centre) Model usahatani integrasi tanaman–ternak yang dianggap paling layak dikembangkan meliputi usaha tanaman pangan (+ 1 ha) dan rumput pakan pada sistim terasering, tanaman karet (+ 1 ha), tanaman pekarangan dan ternak (sapi 1 – 2 ekor, kambing 3 ekor dan ayam 11 ekor). Sistem modal bergulir dikembangkan agar integrasi bisa berjalan seperti yang dikehendaki. Setiap keluarga petani mendapatkan bantuan modal berupa sarana produksi (pupuk, benih dan pestisida), bibit kambing 3 ekor, bibit ayam 11 ekor. Petani tidak mendapatkan bantuan karet dan sapi karena sudah ada dari program transmigrasi (di Batumarta Sumatera Selatan). Pada sistem modal bergulir berlaku aturan pengembalian modal sarana produksi, kambing dan ayam yang dikelola oleh kelompok tani dibawah pengawasan aparat setempat (Gambar 2). Dalam sistem modal bergulir pihak pengelola program CLS, memberikan teknologi siap pakai, modal awal usahatani dan pemberdayaan kelompok. Sebaliknya kelompok tani memberikan umpan balik. Pengelola program CLS bekerjasama dengan
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
pemerintah daerah dan penyuluhan dengan jalan memberikan masukan kebijakan usahatani, sedang Pemda memberikan dukungan terhadap program. Pemda juga melakukan pembinaan langsung kepada kelompok tani untuk kelancaran program dan juga monitoring kepada lembaga pendukung. Kelompok tani bermitra dengan kelembagaan pendukung dalam penyediaan saprodi dan menjual hasil kelompok. Kelompok tani berfungsi sebagai pengelola modal bergulir mendistribusikan modal hasil pengumpulan kepada anggota kelompok yang belum menerima paket modal. Selanjutnya anggota berkewajiban mengembalikan modal yang diterima dengan aturan 1 ekor ayam mengembalikan 2 ekor siap telur, untuk kambing pengembaliannya 1 ekor dan sarana produksi dikembalikan dalam bentuk uang senilai yang diterima pada saat pengembalian. Kelompok tani mendapatkan insentif dari pengembalian ayam, yaitu tiap menerima 2 ekor dari anggota didistribusikan 1 ekor dan 1 ekor lagi untuk kas kelompok. Teknologi yang diintroduksikan meliputi peningkatan bobot ayam lokal melalui persilangan dengan ayam Pelung dari Cianjur, peningkatan produksi telur melalui persilangan dengan ayam Kedu, ransum pakan dari bahan lokal yang tersedia, vaksinasi dan pengobatan secara generik, sistem perkandangan, teknik penetasan dan kotak indukan untuk pertumbuhan anak ayam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem modal bergulir untuk ternak (kambing dan ayam) jauh lebih mudah penanganannya daripada untuk sarana produksi. Perkembangan populasi ternak kambing dan ayam cukup pesat dengan sistem modal bergulir (Tabel 1). Populasi ayam di Batumarta berkembang dari 330 ekor (300 betina + 30 pejantan) pada tahun 1989 menjadi 4435 ekor (13 kali populasi
awal) dan 7344 ekor tahun 1991 (1,7 kali dari populasi tahun 1990). Tetapi di Blambangan Umpu dari 55 ekor (50 betina + 5 pejantan) menjadi 170 ekor (hanya 3 kali populasi awal), kemudian tahun 1991 menjadi 667 ekor (3,9 kali populasi tahun 1990). Berdasarkan data perkembangan populasi ayam lokal tersebut dapat dianalisis bahwa pada lokasi Batumarta untuk setiap KK (11 ekor ayam = 10 betina +1 pejantan) dapat menghasilkan rata-rata sebanyak 143 ekor dalam setahun atau setiap induk berkembang menjadi 14,8 ekor, sedangkan di Blambangan Umpu hanya 3,4 ekor/induk/tahun. Dapat disimpulkan bahwa kemampuan petani transmigran memelihara ternak dengan sistem integrasi adalah 2 ekor sapi, 5 ekor kambing dan 70 ekor ayam lokal. Lebih dari itu petani mengurangi populasi ternaknya dengan menjual atau mengkonsumsi. Terdapat interaksi komplementer antara pengusahaan tanaman dan ternak. Tanaman pangan menghasilkan sisa tanaman (biomas) yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan disamping rumput dan hijauan makanan ternak (HMT) yang sengaja ditanam di pekarangan, sementara ternak memberikan tenaga dan kotoran yang dapat dijadikan pupuk. Dalam setahun pupuk kandang yang dapat dikumpulkan adalah sebanyak 2,4 ton yang berasal dari sapi 1,5 ton, 0,6 ton dari tiga ekor kambing dan 0,3 ton dari 11 ekor ayam. Secara umum skala usahatani petani meningkat dengan mengadopsi model usahatani CLS, kondisi ini membawa konsekuensi kepada jumlah pendapatan dan pengeluaran keluarga. Rata-rata keuntungan keluarga dari model introduksi (binaan) dan model petani (non binaan) dapat dilihat pada Tabel 2.
219
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL RENDAH
Input rendah
Mortalitas tinggi
Sifat genetik
Belum dimuliakan Usaha sambilan
Modal terbatas
Penguasaan teknologi terbatas
Sistem tradisional (umbaran) pencegahan penyakit dan keamanan kurang
Kuantitas dan kualitas pakan rendah
Modal terbatas
Tenaga kerja terbatas
Jumlah pemilikan rendah
Serangan penyakit tetelo tinggi
Vaksinasi tidak atau kurang dilakukan
Modal terbatas Memanfaatkan limbah dapur dan pakan alami yang ada
Waktu terbatas
Pendapatan terbatas
Adaptasi luas
Tabungan kecil
Akses kredit terbatas
Minat belajar kurang
Penyuluhan dan pelatihan kurang
Budaya tradisional
Gambar 1: Hubungan sebab akibat permasalahan umum rendahnya produktivitas ayam lokal (hasil identifikasi masalah di beberapa wilayah pengembangan di Indonesia)
220
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Masukan kebijakan Program Pengembangan CLS
– Pemerintah Daerah – Penyuluh
Dukungan
¾ Monitoring * Modal
¾ Dukungan
* Teknologi * Umpan balik * Pembinaan
Kelompok tani
Pembinaan Penyediaan
– Penyedia sarana
Kemitraan
– Produksi
Menjual
– Lembaga Pemasaran
Petani
Pasar bebas
Gambar 2. Sistem pengelolaan begulir dalam model CLS
Tabel 1. Perkembangan jumlah ayam dan kambing di Batumarta dan Blambangan Umpu (1989 – 1991) Jenis ternak Ayam Kambing
1989
Batumarta (ekor) 1990
330 90
4435 (13 x) 289
1991
1989
7344 (1,7 x) 514
55 15
Blambangan Umpu (ekor) 1990 1991 170 (3 x) 15
667 (3,9 x) 36
Sumber: SYAM et al. (1996) Tabel 2. Rataan keuntungan (Rp 000/tahun) yang diperoleh petani koperator (K) dan non koperator (NK) dari usahatani tanaman – ternak di tiga lokasi Lokasi Batumarta Tulang Bawang A. Manganyau
Karet K 2350 900 1250
NK 2000 875 1000
Tanaman pangan K NK 200 75 1000 460 550 100
Ternak K 450 (15%) 650 (25,5%) 450 (37,5%)
NK 50 (24%) 115 (7,9%) 100 (8,3%)
Total Keuntungan K NK 3000 2125 2550 1450 2250 1200
Keterangan: *) angka dalam kurung menyatakan persen dari total keuntungan Sumber SYAM et al. (1996)
Pendapatan keluarga dari karet masih dominan baik pada petani kooperator maupun yang non koperator. Kontribusi pendapatan dari tanaman pangan lebih besar di Tulang Bawang Tengah dan Air Manganyau dibandingkan dengan Batumarta. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa pendapatan petani pengadopsi Model CLS lebih banyak
mendapatkan keuntungan dibandingkan dengan non koperator. Kontribusi ternak untuk pendapatan keluarga cukup besar peningkatannya dari 2,4 menjadi 15% di Batumarta, sedang di Air Manganyau dari 8,3% menjadi 37,5%. Kontribusi ternak ayam sendiri berkisar 17% dari keuntungan total ternak (termasuk sapi dan kambing).
221
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
MODEL REL (Research Extension Linkage) Model pengembangan ayam lokal dengan memfungsikan keterkaitan penelitian dan penyuluhan (REL) diprakasai oleh Badan Litbang Pertanian sejak tahun 1991 sampai 1993 di Sulawesi Tenggara melalui kegiatan Gelar Teknologi dan Temu Lapang. Tujuan dari gelar teknologi adalah meningkatkan keterkaitan penelitian, penyuluhan dan peternak, mempercepat arus teknologi dari sumbernya ke pengguna, mempercepat arus informasi umpan balik dan meningkatkan produksi dan pendapatan peternak melalui perbaikan teknologi budidaya ayam lokal. Lokasi gelar terletak di Kecamatan Lainea, Kabupaten Kendari, pesertanya meliputi dua kelompok tani di dua desa dengan ketentuan antara lain telah memiliki induk ayam sebanyak minimal 5 ekor, berpengalaman beternak, membangun kandang sendiri dan bersedia mengembalikan modal ayam yang diterima. Organisasi gelar teknologi terdiri dari peneliti, penyuluh, kepala desa dan kontak tani. Paket teknologi yang dianjurkan adalah penggunaan bahan pakan lokal untuk perbaikan mutu pakan, introduksi pejantan, perlengkapan kandang, vaksinasi penyakit tetelo (ND), dan introduksi kotak indukan ayam (brooder box). Pelaksanaan gelar teknologi dimulai dari pelatihan oleh peneliti dan penyuluh, perbaikan kandang distribusi ayam, pembuatan pakan konsentrat, pengadaan indukan, penyuluhan dan monitoring evaluasi.
Temu lapang sebagai kelanjutan gelar teknologi dilakukan setahun setelah pelaksanaan gelar di wilayah yang sama. Pada saat penyelenggaraan temu lapang ini peserta melihat sekaligus mendiskusikan teknologi yang diintroduksikan seperti pemilihan bibit, cara pemeliharaan, menyusun formula ransum pakan dengan berbagai alternatif pakan lokal, vaksinasi dan pengobatan, bahan dan peralatan kandang. Komunikasi teknologi dalam forum temu lapang seperti ini ditujukan agar teknologi introduksi dapat dikembangkan lebih luas dan cepat kepada pengguna lain sekaligus mendapatkan umpan balik untuk penelitian pengembangan. Pelaksanaan temu lapang pada bulan Februari 1993 dihadiri oleh peneliti, penyuluh, para penentu kebijakan daerah (gubernur, bupati, kepala-kepala dinas dan kanwil), aparat daerah, tokoh dan anggota masyarakat setempat. Dialog terbuka antara peternak peserta gelar teknologi dengan pejabat pemerintah dan peserta temu lapang lainnya dilakukan dengan topik berkisar pada teknologi ayam buras dan keuntungan yang diperoleh. Setelah dialog dilanjutkan dengan kunjungan ke lokasi kandang ayam. Sambutan dari pejabat-pejabat pemerintah juga disampaikan untuk melihat ke depan kebijakan yang akan ditempuh oleh daerah, presentasi makalah dan panel diskusi juga dilakukan dulu temu lapang, yang dipresentasikan oleh ketua kelompok tani, penyuluh lapang dan penyuluh koordinator propinsi.
Tabel 3. Perkembangan produktivitas ayam lokal sebelum dan sesudah gelar teknologi di Sulawesi Tenggara tahun 1992 Uraian Jumlah telur, butir/periode/ekor Frekuensi bertelur meningkat (%) Daya hidup, % Daya tetas, % Dikonsumsi/dijual, %
222
Sebelum gelar
Sesudah gelar
8 - 15 82 8
10 - 17 52,9 80,5 92,4 14,5
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Hasil yang diperoleh dari gelar teknologi dan temu lapang adalah: 1) tersedianya kandang terpisah dari rumah, 2) peningkatan frekuensi bertelur dari 3,4 kali/tahun menjadi 5,2 kali/tahun, 3) peningkatan jumlah telur rata-rata dari 10.5 butir/periode bertelur/ekor menjadi 12,6 butir/periode bertelur/ekor, 4) peningkatan jumlah telur dikonsumsi/dijual, daya tetas dan daya hidup, 5) tambahan penghasilan sebesar Rp. 1000/ekor/tahun, serta 6) bentuk keterkaitan antara penelitian penyuluhan dan masyarakat petani yang senantiasa berkesinambungan.
MODEL PLG (Pengembangan Lahan Gambut) Penelitian pengembangan ayam buras telah dilakukan di tiga Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) wilayah PLG yaitu Palingkau, Dadahup dan Lamunti Kabupaten Kapuas sejak tahun 1997 sampai 2000. Petani pengembangan dibagi dalam tiga kelompok skala usaha yaitu: 1) skala ekonomi (pemeliharaan 50 ekor/KK), 2) skala rumah tangga (11 ekor/KK) dan 3) skala umum petani sekitar sebagai kontrol. Petani kelompok 1 dan
Tabel 4. Analisis biaya produksi dan pendapatan budidaya ayam kampung pada tiga macam skala usaha pada model PLG di Kalimantan Tengah
No
Uraian
1 2
Skala pemilikan awal (ekor) Nilai produksi (Rp/th) Ayam (jual + konsumsi) Telur (jual + konsumsi) Replacement betina Replacement jantan
3
4
Jumlah Biaya produksi (Rp/th) Bibit induk Bibit pejantan Pakan induk anak Obat + vaksin Kandang + peralatan Tenaga kerja Jumlah Penerimaan (Rp/th) B/C rasio
Sistem pemeliharaan Semi intensif Kelompok 1 Kelompok 2
Intensif Kelompok 3
50
11
4
1000 ekor 15 000 000 1000 btr 700 000 43 ekor 860 000 7 ekor 350 000 16 910 000
200 ekor 3 000 000 150 btr 105 000 12 ekor 240 000 2 ekor 50 000 3 395 000
25 ekor 375 000 24 btr 16 800 6 ekor 120 000 1 ekor 25 000 536 800
860 000 350 000
240 000 50 000
120 000 25 000
912 000 83 400 525 000 500 000 45,6 HOK 456 000 11 943 500 4 966 500 1,42
200 750 16 200 107 500 300 000 22,8 HOK 228 000 2 746 250 648 750 1 24
36 500 4 450 6 450 25 000 7,6 HOK 76 000 433 400 103 400 1,14
Keterangan: Perhitungan berdasarkan data tahun 1999/2000; Harga jual ayam Rp 15 000/ekor ; Telur Rp 700/butir Harga Pakan : Sarter (doc – 1 bulan) Rp 1500/kg Grower (1 – 4 bulan) Rp 1000/kg Layer (induk ayam) Rp 1000/kg Tenaga kerja Rp10000/HOK
223
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
2 mendapat modal awal berupa bibit, pakan terbatas, vaksin dan obat-obatan hanya pada tahun pertama pembinaan. Petani kelompok 3 hanya diberi bantuan vaksin. Skala pemilihan petani umur berkisar 2 – 10 ekor/KK. Usulan pengembangan ayam buras dilakukan dengan pembinaan teknis budidaya secara rutin dan pemberdayaan kelompok dalam pengelolaan modal. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setelah 6 buku pembinaan, jumlah anggota tiap-tiap kelompok (terutama kelompok 1 dan 3) mengalami penurunan. Beberapa faktor yang menjadi penyebab penurunan jumlah anggota antara lain; kegagalan panen karena kemarau panjang yang menyebabkan banyak transmigran lokal pulang kampung, sedang petani lain mencari kerja luar pertanian (buruh). Kondisi petani kelompok 2 agak baik karena faktor budaya dan etnis yang relatif sama (sebagian besar dari Jawa) juga lokasi yang cukup strategis. Walaupun begitu terjadi peningkatan jumlah penguasaan dan produktivitas ayam buras di tiga kelompok. Pada kelompok binaan produksi telur mencapai 55-60 butir/induk/ tahun. Produktivitas induk mencapai 25-26 ekor/tahun pada kelompok binaan sedangkan kelompok non binaan hanya 14 ekor/tahun. TANTANGAN DAN PELUANG Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan terbukti bahwa ada peningkatan produktivitas dan pendapatan pada tiga model pengembangan ayam buras dibandingkan dengan model peternak non binaan. Keberhasilan tersebut nampak pada saat berakhirnya program aksi, tetapi setelah itu ada penurunan jumlah adopter, skala usaha, produktivitas dan kontribusi ternak ayam buras terhadap pendapatan keluarga. Dengan kata lain masih banyak tantangan yang perlu dihadapi dalam pengembangan ayam buras di lahan marginal seperti lahan kering dan pasang surut. MODEL PENGEMBANGAN CLS (Crops Livestock System) Model CLS yang dikembangkan di lahan kering podsolik merah kuning beriklim basah selain menghadapi tantangan lingkungan
224
biofisik juga aspek sosial kelembagaan. Kesuburan tanah yang relatif rendah menyebabkan banyak masalah dalam produksi bahan pakan seperti jagung, kedelai dan juga padi apalagi komoditas utama di Batumarta adalah karet yang mempunyai nilai tunai harian (cash income) cukup tinggi. Dapat dimengerti kalau petani lebih mementingkan kegiatan pada penyadapan karet daripada mengurus ternak. Hal ini dilihat dari kontribusi karet yang dominan yaitu lebih besar 50% dari total pendapatan keluarga. Kondisi seperti ini yang menyebabkan ternak ayam buras hanya sebagai usaha sampingan yang memanfaatkan limbah dapur, hasil panen dan pakan alam di pekarangan. Program vaksinasi Tetelo menjadi tidak efektif karena tidak ada jaminan fasilitas bahan, listrik dan kelembagaan penyedia vaksin. MODEL PENGEMBANGAN PLG (Pengembangan Lahan Gambut) Wilayah pengembangan PLG yang cukup terisolir dan lalu lintas air cukup mahal merupakan tantangan tersendiri dalam pengembangan ayam buras. Produksi padi dan palawija sebagai bahan pakan lokal mungkin lebih baik ketersediaannya dibandingkan dengan Batumarta sebagai sentra produksi karet. Akan tetapi masalah penyediaan vaksin, obat-obatan, dan pasar sangat terbatas karena wilayah cukup terisolir. Selain itu pengaruh budaya setempat sangat berpengaruh terhadap aktivitas usahatani intensif. Sebagian besar dari peserta pengembangan yang berstatus transmigran lokal mempunyai karakteristik pertanian ladang berpindah dan petani pengumpul hasil hutan/alam (rotan, kayu, sagu, ikan, hewan buruan). Petani semacam ini lebih cenderung memanfaatkan segala jenis bantuan (termasuk jatah hidup) dan sarana produksi daripada hidup menetap sebagai petani transmigran. Selain itu wilayah PLG sangat dipengaruhi pasang surutnya air, yang kadang-kadang tidak terkendali (bisa banjir atau kekeringan). Hal ini sangat berpengaruh terhadap kontinuitas produksi tanaman maupun ternak. Akhir-akhir ini juga terjadi konflik internal antara transmigran lokal dan transmigran asal Jawa karena dipicu oleh rasa cemburu atas keberhasilan transmigran Jawa.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
MODEL REL (Research Extension Linkage) Pada mulanya keterkaitan antara penelitian dan penyuluhan sudah mulai nampak dengan program REL, tetapi dengan semaraknya otonomi daerah ternyata membawa dampak negatif terhadap perkembangan penyuluhan di Indonesia. Nasib penyuluh tergantung pemerintah daerah, dimana banyak kebijakan daerah yang tidak memfungsikan penyuluh secara optimal, bahkan mencabut fungsi penyuluh menjadi staf pemerintah daerah (non penyuluhan). Hal ini tentunya membawa dampak terhadap program-program penyuluhan dan keterkaitan dengan penelitian seperti halnya program pengembangan ayam lokal model REL. Gagasan mengumpulkan penyuluh dan peneliti dalam satu payung, yang realitanya menjadi institusi BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) di setiap propinsi, belum dapat mengoptimalkan program penyuluhan karena penyuluh yang ada di BPTP jadi bias ke penelitian. Selain itu tidak ada lagi kaderisasi penyuluh, sehingga suatu saat penyuluh akan punah. PELUANG PENGEMBANGAN AYAM LOKAL DI LAHAN MARGINAL Model CLS Pelayanan terpadu kesehatan ternak di tingkat desa dapat menekan serangan penyakit tetelo mendekati nol persen. Dengan demikian skala usaha dan daya jual ayam lokal di tingkat rumah tangga dapat meningkat. Pemberdayaan kelompok tani wanita dalam hal budidaya dan pengelolaan ayam lokal akan berpengaruh terhadap perkembangan ayam buras karena selama ini yang berperan aktif adalah ibu-ibu. Ketersediaan lahan yang luas di wilayah transmigrasi Batumarta (5 ha/KK) sangat memungkinkan untuk pengembangan ayam lokal semi intensif (ada kandang dan halaman umbaran). Sistem pemeliharaan ini dapat menghemat penggunaan pakan, karena ayam dapat mencari makan tambahan sendiri berupa cacing, serangga, rumput muda dan lainnya di halaman umbaran. Pengembangan modal bergulir dapat diarahkan menjadi lembaga keuangan mikro
yang menunjang keberlanjutan pengembangan ayam lokal. Model REL Peningkatan peran dan fungsi penyuluh oleh pemerintah daerah akan meningkatkan adopsi teknologi dan pengembangan program/ pembangunan pertanian wilayah. Pelayanan terpadu kesehatan ternak di wilayah pengembangan akan dapat meningkatkan populasi ternak dan pendapatan rumah tangga. Pemanfaatan limbah perikanan dan perkebunan (kelapa, kopi dan coklat) serta pemeliharaan semi intensif dapat mengembangkan usaha ayam lokal serta kemampuan petani. Model PLG Pelayanan terpadu kesehatan ternak ditingkat desa dapat menekan mortalitas dan meningkatkan populasi ayam lokal. Dengan membuka keterisolasian wilayah PLG maka transpotasi dan perkembangan perekonomian desa meningkat termasuk pasar input dan output usaha ayam lokal. Bahan pakan lokal yang tersedia seperti jagung, dedak, kedelai, ubi kayu, tepung ikan, ikan kering dan lainnya di wilayah PLG dapat dimanfaatkan untuk campuran ransum ayam lokal dengan pengelola kelompok. Pemerintah bertanggung jawab untuk mengatasi konflik internal, mencari solusi dengan memperkecil jurang pemisah dan kecemburuan antara transmigran lokal dan pendatang. Dengan terciptanya keharmonisan dan keamanan lingkungan maka peluang usaha akan meningkat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan • Model pengembangan ayam buras yang diujicobakan di tiga agroekosistem lahan marginal dapat meningkatkan produktivitas ternak dan pendapatan keluarga petani. • Ayam lokal memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pendapatan keluarga selain sebagai tabungan, tetapi sejauh ini masih sebagai usaha sampingan.
225
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
• Peranan wanita lebih besar daripada pria dalam praktek budidaya ayam lokal. • Model pengembangan yang terintegrasi seperti di Batumarta lebih berkelanjutan (sustainable) dibandingkan di wilayah lain yang kurang terintegrasi usahataninya. • Peran kelompok peternak, penyuluh dan Dinas Peternakan belum optimal dalam pengembangan ayam lokal khususnya di lahan marginal. • Keterkaitan peneliti-penyuluh dan masyarakat sangat diperlukan untuk memacu pengembangan ayam lokal. Saran • Pengembangan ayam lokal hendaknya berintegrasi dengan usahatani tanaman pangan (sebagai sumber bahan pakan) dan usahatani yang bernilai ekonomi tinggi (sebagai penghasil uang tunai/cash crops yang dapat menunjang permodalan). • Pemberdayaan kelompok peternak (termasuk wanita) sangat diperlukan dalam hal mengatasi permasalahan penyakit utama (Tetelo), penyediaan sapronak (bahan pakan lokal, vaksin dan obat-obatan), pengeloaan modal kelompok (seperti modal bergulir), kemitraan dengan lembaga terkait dan pemasaran. • Dinas peternakan agar lebih pro-aktif dalam sosialisasi, diseminasi teknologi, umpan balik teknologi dan pelayanan kesehatan dan informasi kepada masyarakat perdesaan. • Hal yang terbaik adalah membentuk unitunit pelayanan kesehatan dan informasi peternakan yang berbasis masyarakat (partisipatif) di setiap desa. DAFTAR PUSTAKA DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 1997. Statistik Peternakan Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. DIREKTORAT BINA PRODUKSI PETERNAKAN. 2004. Statistik Peternakan Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta ISKANDAR S., B. WIBOWO, E. JUARINI, A. SINURAT dan P. SITORUS. 1989. Budidaya ayam buras di pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
226
KETAREN. P.P., M. RANGKUTI dan A. ROESYAT. 1992. Gelar teknologi budidaya ayam Buras di Kecamatan Lainea, kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Dalam: Prosiding Gelar Teknologi Program Keterkaitan Pendidikan Penyluhan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Kantor Wilayah Dep. Pertanian – Sulawesi Tenggara. KETAREN. P.P. dan M. RANGKUTI. 1993. Temu lapang teknologi budidaya ayam Buras di Desa Lamong Jaya, Kecamatan Lainea, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Dalam: Prosiding Gelar Teknologi Program Keterkaitan Penelitian – Penyuluhan 1992 – 1993 Sulawesi Tenggara. RACHIM A, R. SITUMORANG dan A. HARTONO. Konsep pengembangan pertanian berkelanjutan di lahan rawa untuk mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa, Cipayung, 25-27 Juli 2000. Badan Litbang Pertanian. Hal: 53 63 RIFIN A., H. SUPRIADI, dan T. SUTRIADI. 1990. Kendala produksi tanaman pangan di lahan podsolik merah kuning Batumarta. Dalam: Risalah Seminar Sistem Usahatani Tanaman – Ternak di Lahan Kering. Badan Litbang Pertanian dan Internasional Development Research Centre (IDRC) SUPRAPTOHARJO. M 1961. Jenis-jenis tanah di Indonesia. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. SUPRIADI.H., D. ZAINUDDIN dan M. JANUWATI. 2000. Paket teknologi usahatani untuk pengembangan lahan gambut (PLG) Kalimantan Tengah. Dalam: Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Rawa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian D eptan. Hal: 205 -222. SUPRIADI. H., 1999. Petunjuk teknis pengembangan model kelompok tani upaya mempercepat sdopsi teknologi sistem usahatani lahan pasang surut. Proyek Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu – ISDP. Badan Litbang Pertanian. Bogor. SYAM M., A. WIJONO, HERMANTO, INU G ISMAIL, H. ANWARHAN dan M. SABRANI. 1996. Usahatani tanaman–ternak. Meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan – Badan Litbang Pertanian. 38 hal.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
ZAINUDDIN. D., dan H. SUPRIADI. 2000. Program aksi pengembangan ayam Buras di Kawasan Lahan Gambut, Kalimantan Tengah. Dalam: Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi dan Optimasi
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Rawa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Deptan. Hal 205 – 222.
227