II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Deskripsi Ayam Sentul Ayam lokal Indonesia merupakan hasil domestikasi ayam hutan merah
(Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Ayam lokal yang ada di Indonesia merupakan hasil domestikasi ayam hutan merah (Gallus gallus) oleh penduduk setempat (Sulandari dkk., 2007). Ayam-ayam buras yang sekarang ini telah tersebar di berbagai wilayah Indonesia telah menjadi ayam-ayam buras dengan morfologi yang beraneka ragam (Mansjoer 1985).
Darwana (2003)
berpendapat bahwa ayam-ayam piara berasal dari kebih satu species ayam hutan, tetapi ayam hutan merah merupakan moyang sebagian besar ayam piara yang ada sekarang. Selanjutnya Cahyono (1995) menyatakan bahwa moyang ayam adalah ayam hutan (genus Gallus) yang terdiri dari Gallus gallus atau Gallus bankiva, Gallus sonnerati, Gallus lafayeti dan Gallus varius. Pendapat lain menjelaskan bahwa ayam lokal merupakan ayam hasil domestikasi dari Ayam Hutan Merah (Gallus gallus) yang ada di Asia Tenggara dan telah mengalami periode domestikasi yang lama (Kingston dan Creswell, 1982 ; Hardjosubroto dan Atmojo, 1977). Taksonomi ayam lokal menurut Sarwono (1991), yaitu : Kingdom Filum Subfilum Kelas Subkelas Superordo Ordo Famili Genus Species
: Animalia : Chordata : Vertebrata : Aves : Neonithes : Superordo : Galiformes : Phasianidae : Gallus : Gallus domesticus
9
Ayam Sentul merupakan salah satu dari 32 rumpun ayam lokal yang sudah teridentifikasi di Indonesia (Nataamijaya, 2000). Habitat asli ayam Sentul berasal dari wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Nataamijaya dkk., 1995). Ayam Sentul termasuk salah satu dari 8 rumpun ayam lokal yang diidentifikasi asli dari wilayah Jawa Barat. Delapan rumpun ayam lokal tersebut yaitu; ayam Banten (Banten), ayam Burgo (Cirebon), ayam Ciparage (Karawang), ayam Wereng (Indramayu), ayam Pelung (Cianjur dan Sukabumi), ayam Sentul (Ciamis), ayam Lamba (Garut), dan ayam Jantur (Pamanukan-Subang) (Soeparna dkk., 2005). Kata Sentul itu sendiri menurut keterangan berasal dari Bahasa Jawa yang artinya “Kekuning-kuningan atau Kuning Keabu-abuan” (Alam, 2006).
Menurut
sejarahnya ayam Sentul ini adalah ternak ayam peninggalan satria Ciung Wanara yang dipelihara sebagai ayam aduan (Dinas Peternakan Ciamis, 1992). Nataamijaya (2005) menyatakan bahwa populasi ayam Sentul di Kabupaten Ciamis tidak lebih dari 1000 ekor dan tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Ciamis, dengan jumlah kepemilikan per kepala keluarga relatif kecil (Iskandar dkk., 2005). Ayam Sentul dipelihara secara semi intensif dan dijadikan komoditas untuk meningkatkan pendapatan masyarakat Ciamis (Iskandar dkk., 2004). Ayam Sentul merupakan ayam lokal yang cukup baik tingkat produksinya dimana pertumbuhannya relatif lebih cepat dan produksi telur tinggi. Perbandingan ayam lokal lain dengan ayam Sentul dapat dikatakan lebih unggul dalam memproduksi telur dan daging, sehingga ayam Sentul dapat dikategorikan termasuk tipe dwiguna (Iskandar dkk., 2004). Performans produksi ayam Sentul cukup baik, dalam setahun ayam Sentul mampu menghasilkan lebih dari 100 butir telur, lebih tinggi dibandingkan dengan ayam kampung (70 butir/tahun),
10 pertumbuhannya juga baik, pada umur 10 minggu bisa mencapai bobot sekitar satu kilogram, 100-200 g lebih besar dibandingkan dengan ayam kampung (Trobos, 2010). Ayam Sentul dewasa memiliki bobot badan berkisar 1,3-3,5 kg untuk jantan dan 0,8-2,2 untuk betina (Sulandari dkk., 2007). Ayam Sentul secara umum memiliki warna bulu abu-abu/kelabu sebagai warna dasar yang dihiasi warna lain (Nataamijaya dkk., 2003). Ayam Sentul dewasa umumnya (72%) memiliki bulu berwarna abu-abu dengan dihiasi warna merah dan jingga di daerah leher, punggung, pinggang, dan sayap; jengger pada jantan umumnya single comb (jengger tunggal); sisik kaki betina berwarna putih dan abu-abu, sedangkan pada jantan berwarna hotam abu-abu (Nataamijaya, 2005). Pada bagian dada, bulu tersusun secara rapih seperti sisik naga, dengan warna sisik kaki berwarna kelabu, putih dan kuning (Widjastuti, 1996). Hal ini sama dengan apa yang disampaikan Nataamijaya dkk, (2003) bahwa ayam Sentul secara umum memiliki warna bulu abu-abu/kelabu sebagai warna dasar yang dihiasi warna lain. Ayam Sentul mempunyai beberapa galur berdasarkan warna bulu pada tubuhnya antara lain: Sentul Abu atau Kulawu yang bulunya berwarna abu agak tua, Sentul Debu berwarna seperti debu, Sentul Emas berwarna abu kunir atau abu keemasan, Sentul Geni berwarna abu kemerah-merahan, dan yang terakhir Sentul Batu yang bulunya berwarna abu keputihan (Alam, 2006).
Pemeliharaan Manajemen pemeliharaan merupakan suatu usaha tata laksana yang
dilakukan oleh manusia untuk memberikan kesempatan pada ternak mengeluarkan potensi produktivitasnya secara optimal (Wardono dkk., 2014).
Berat badan
merupakan salah satu sifat kuantitatif yang sangat diperhatikan dalam pemeliharaan ternak. Ukuran berat badan merupakan sifat yang diwariskan, akan
11 tetapiperformannya
sangat
dipengaruhi
oleh
lingkungan.
Manajemen
pemeliharaan terdiri dari manajemen perkandangan, pakan, dan pengendalian penyakit. 1.
Perkandangan Kandang sangat diperlukan dalam usaha beternak ayam buras. Fungsi
kandang adalah sebagai tempat berlindung, berkembang biak, dan memudahkan penanganan ternak dalam proses produksi, pengawasan kesehatan dan vaksinasi, serta mencegah gangguan binatang pengganggu dan binatang buas. Sistem perkandangan yang baik dengan memperhatikan sanitasi, kepadatan dan ventilasi yang baik, pakan dan air minum cukup, dapat meningkatkan produktivitas ayam. Sinurat dkk. (1992) melaporkan pemeliharaan ayam lokal cara intensif menghasilkan produktivitas lebih baik dibandingkan dengan cara semi intensif dan tradisional. Alas kandang disemen dan ditaburi dengan sekam atau serbuk gergaji setebal 6cm, dilengkapi dengan sangkar bertelur. Apabila dipelihara dengan sistem pemeliharaan intensif, ayam Sentul mampu bertelur dengan tingkat presentase hen day mencapai 57,14% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ayam Kampung (17% hen day) (Gunawan dkk., 2004). Menurut Rukmana (2003) pembuatan kandang ayam buras perlu memperhatikan persyaratan sebagai berikut : a. Cukup mendapat sinar matahari, b. Mempunyai ventilasi yang baik, c. Letak kandang di tanah lebih baik dengan sistem drainase yang baik, d. Penempatan kandang tidak terletak pada jalur lalu lalang orang. 2.
Pakan
12 Peningkatan produktivitas ayam lokal dapat dilakukan dengan melalui perbaikan kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan dengan sistem pemeliharaan i ntensif. Pakan yang diberikan pada ayam dengan pemeliharaan secara intensif yaitu sebanyak 100 gram per ekor per hari (Pramudyati, 2009). Pakan ayam periode bertelur selama 120 hari yang mengandung protein 16% dan energy metabolis 2700 kkal.kg menghasilkan produksi telur 20 butir per ekor per 120 hari dan konversi pakan 10,3. Produksi telur dapat ditingkatkan 48,7% dan memperbaiki konversi 33,9% dengan pakan yang mengandung imbangan protein 18% dan energi metabolis 2700 kkal/kg, serta penambahan egg stimulant (Yunus, 2013). Tabel 1. Kebutuhan Zat Makanan pada berbagai Fase Pertumbuhan atau Produksi Ayam Buras Zat Makanan Protein (%) Serat Kasar (%) Lemak Kasar (%) Kalsium (%) Phospor (%) ME (kkal/kg)
Fase Pertumbuhan/Produksi Grower Layer
Starter 18-21
15-17
15-17
3-4
4-5
5-6
3-5
3-5
3-7
1,0 0,6
0,9 0,5
2-4 0,6
2800-3000
2500-2800
2500-2700
Sumber : Surisdiarto (2003) 3.
Pengendalian Penyakit Penyakit
merupakan
kendala
utama
dalam
setiap
pemeliharaan.
Pengendalian dan pencegahan penyakit perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan karena penyakit merupakan penyebab utama tinggi kematian pada ternak khususnya anak ayam. Ada beberapa penyakit yang dapat menyerang
13 ternak ayam, namun sering dan dangat berbahaya adalah penyakit Tetelo atau ND (New Castle Disease). Penyakit ini disebabkan oleh virus ND dan paling banyak menyebabkan kematian pada ayam karena penularannya sangat cepat serta belum ditemukan pengobatannya. Penyakit ini dapat mengakibatkan produksi telur turun atau berhenti sama sekali. Menurut Susilawati, (2009) pencegahan yang dapat dilakukan adalah : Menjaga kebersihan kandang, tempat pakan dan tempat minum, Melakukan vaksinasi secara teratur, Usahakan sinar matahari pagi dapat masuk ke dalam kandang, Ayam yang sudah ada gejala tetelo harus dipisahkan agar tidak menular, pada ayam lain, sedangkan yang mati harus dimusnahkan, Jangan menetaskan telur yang berasal dari induk yang terkena tetelo. 2.2
Total Protein Biomolekul protein merupakan senyawa organic yang sangat penting.
Beberapa fungsi protein antara lain sebagai biokatalisator (enzim), alat transportasi dan penyimpanan, penyebab gerakan, pendukung system kekebalan tubuh, pembentuk dan transmisi sistem impuls syaraf, pengontrol pertumbuhan dan dan diferensiasi dan sebagainya. Pendapat lain menjelaskan bahwa protein adalah nitrogen tinggi-molekul yang mengandung senyawa organik yang bertanggung jawab untuk transportasi membran, membentuk tekanan osmotik koloid, memelihara pH darah, berpartisipasi dalam pembekuan darah dan memiliki peran terstruktur (Griminger & Scanes, 1986; Saier, 1996). Protein plasma merupakan bagian plasma darah yang terdiri dari campuran yang sangat
14 kompleks yaitu protein sederhana dan protein konjugasi seperti glikoprotein dan berbagai bentuk lipoprotein (Girinda, 1989). Jumlah protein plasma adalah parameter umum digunakan untuk memperkirakan kondisi tubuh unggas. Secara umum diketahui bahwa protein plasma darah memiliki peran kunci dalam pemeliharaan tekanan osmotik, sebagai pengganti asam amino bila diperlukan, menghasilkan glukosa melalui proses glukoneogenesis, dalam transportasi dari mineral dan hormon, membentuk enzim dan sistem kekebalan tubuh dalam organisme. Oleh karena itu, protein plasma darah memiliki signifikansi luar biasa dalam pemeliharaan homeostasis. Selain itu, albumin, salah satu serum utama protein, berfungsi sebagai sumber yang paling menguntungkan asam amino untuk sintesis protein jaringan di periode pertumbuhan somatik cepat unggas, terutama dalam kondisi pakan terbatas (Yaman dkk. 2000; Filipovic dkk. 2007). R. D. Frandson, (1992) mengemukakan bahwa Fungsi protein plasma ada empat yaitu; Fungsi angkutan. Banyak zat-zat plasma yang tidak larut dalam air, tetapi apabila terikat dalam protein plasma menjadi terlarut dan karenanya mudah untuk diangkut di dalam plasma. Sebagai contoh, zat besi, tiroksin, dan kortisol. Fungsi angkutan ini juga berperan sebagai pool penampungan sementara bagi beberapa zat di dalam plasma, yang kemudian dapat menggantikan zat tersebut yang ada di dalam bentuk bebas di dalam plasma, apabila konsentrasi bentuk bebas itu menurun. Fungsi imunitas.
Fraksi damma globulin dari protein plasma terkait
dengan imunitas dan resistensi terhadap penyakit. Fraksi ini menyajikan respon kekebalan misalnya antibody yang bereaksi terhadap antigen, ataupun
15 memecahkannya. Gammaglobulin yang ada di dalam darah karenanya meningkat setelah vaksinasi dan selama penyembuhan penyakit. Fungsi buffer. Protein plasma membantu mencegah terjadinya perubahanperubahan besar dalam pH (derajat keasaman atau kebasaan) darah. Fungsi buffer ini dapat berlangsung karena protein mempunyai gugus amida dan karboksil yang mengion, yang dapat menerima kelebihan ion hydrogen di dalam plasma atau memberikan ion hydrogen ke dalam plasma. Akan tetapi, buffer darah yang lebih penting lainnya adalah bikarbonat, sulfat, fosfat, dan hemoglobin. Mempertahankan tekanan osmotic. Tekanan osmotic total dari plasma pada suhu badan yang normal kira-kira adalah sebesar 290 mOsm/liter. Protein dengan berat molekul yang besar (koloid) menyumbang hanya sebesar 1 atau 2 mOsm/liter; sisanya berasal dari protein-protein dengan berat molekul yang rendah, meskipun konsentrasi maupun massanya rendah. Konsentrasi protein plasma yang normal pada unggas umumnya berkisar 2,5-4,5 g/dL. Pendapat lain mengatakan bahwa kadar protein total yang normal berkisar antara 4,0-5,2 g/dL (Swenson, 1984). Albumin yang mewakili 40-50% dari total protein plasma pada unggas diproduksi di hati. Protein plasma lainnya juga diproduksi di hati termasuk untuk protein transport, protein koagulasi, fibrinogen, enzim, dan hormon. Imunoglobulin yang dihasilkan oleh limfosit B dan sel plasma merupakan komponen penting dari konsentrasi protein total plasma. Konsentrasi protein plasma normal penting untuk pemeliharaan tekanan osmotik, yang mempertahankan volume darah normal dan pH.
Ayam
menunjukkan peningkatan yang ditandai dalam konsentrasi total protein plasma sebelum produksi telur. Martini dkk., (1992) menyatakan bahwa hati mensintesis dan melepaskan lebih dari 90% protein plasma. Menurut Kaneko dkk., (1997)
16 terdapat tiga fraksi utama protein dalam darah, yaitu albumin, globulin, dan fibrinogen. Albumin fibrinogen, dan globulin (50-80% globulin) disintesis di organ hati, sedangkan sisa globulin lainnya dibentuk di jaringan limfoid. Secara fisiologis, konsentrasi protein serum dipengaruhi oleh umur, pertumbuhan, hormonal, jenis kelamin, kebuntingan, laktasi, nutrisi, stress dan kehilangan cairan (Kaneko, 1997).
2.3
Kerapuhan Sel Darah Merah Sel darah merah/eritrosit mempunyai membran sel yang bersifat semi
permiabel terhadap lingkungan sekelilingnya yang berada diluar eritrosit, dan mempunyai batas-batas fisiologi terhadap tekanan dari luar eritrosit. Tekanan membran eritrosit dikenal dengan tonisitas yang berhubungan dengan tekanan osmosis membran itu sendiri. Kekuatan maksimum membran eritrosit menahan tekanan dari luar sampai terjadinya hemolisis dikenal dengan kerapuhan atau fragilitas (Swenson, 2005). Eritrosit merupakan suatu komponen utama darah setelah leukosit, trombosit dan plasma (Oliveira & Saldanha, 2009). Sel darah tersebut dihasilkan melalui proses hematopoiesis dalam sumsum tulang.
Retikulosit, yang
merupakan bentuk prematur dari eritrosit, akan mengalami maturasi dan membentuk sel darah merah berdiameter 8 μm yang berbentuk diskus bikonkaf dengan usia sel 120 hari (Pasini, Kirkegaard, Mortensen, Lutz, Thomas, & Mann, 2006). Membran plasma eritrosit bersifat permeable terhadap molekul air (H2O). Sel darah merah yang dimasukkan dalam larutan hipertonis akan mengalami krenasi (pengerutan) sel karena lebih banyak air yang keluar sel daripada yang
17 masuk. Demikian sebaliknya, apabila eritrosit berada dalam lingkungan yang hipotonis, maka osmosis akan terjadi dari luar ke dalam sel yang akan menyebabkan sel akan menggembung. Apabila membran plasma tidak dapat menahan tekanan tinggi intrasel tersebut oleh sebab tercapainya critical volume, maka sel akan pecah dan hemoglobin akan dilepaskan (Paleari & Mosca, 2008). Eritrosit yang bersirkulasi mempunyai masa paruh sekitar 120 hari. Karena ia tak berinti, ia merupakan sel yang mati di keseluruhan masa tersebut dengan komposisi yang selalu berubah. Eritrosit mengandung sekitar 65% air dan 33% hemoglobin. Komposisi elektrolit rata-rata adalah Na+ 8 mmol/l volume sel total, K+ 90 mmol/l, Cl- 55 mmol/l, pH 7,2 dan perbedaan utama dalam komposisi ion dari sel-sel otot adalah tingginya konsentrasi Klorida. Karena kandungan air eritrosit relatif rendah maka konsentrasi total zat-zat yang bisa berdifusi seperti glukosa dan urea lebih rendah daripada plasma (Baron, 1990). Uji fragilitas osmotik eritrosit (juga disebut resistensi osmotik eritrosit) dilakukan untuk mengukur kemampuan eritrosit menahan terjadinya hemolisis (destruksi eritrosit) dalam larutan yang hipotonis.
Caranya adalah dengan
melarutkan eritrosit ke dalam dalam larutan salin dengan berbagai konsentrasi. Jika terjadi hemolisis pada larutan salin yang sedikit hipotonis, keadaan ini dinamakan peningkatan fragilitas eritrosit (atau sama dengan penurunan resistensi/daya tahan eritrosit), dan apabila hemolisis terjadi pada larutan salin yang sangat hipotonis, keadaan ini mengindikasikan penurunan fragilitas osmotik (atau sama dengan peningkatan resistensi eritrosit). Pada keadaan peningkatan fragilitas, eritrosit biasanya berbentuk sferis. Sedangkan pada penurunan fragilitas, eritrosit berbentuk tipis dan rata (Kee, 2007).
18 2.4
Pengaruh Tingkat Energi Protein Terhadap Total Protein dan
Kerapuhan Sel Darah Merah Ransum adalah makanan dengan campuran beberapa bahan pakan yang disediakan bagi hewan untuk memenuhi kebutuhan akan nutrien yang seimbang dan tepat selama 24 jam meliputi lemak, protein, karbohidrat, vitamin dan mineral (Anggorodi, 1995; Rasyaf, 1997). Fungsi ransum yang diberikan kepada ayam pada prinsipnya untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan membentuk sel jaringan tubuh. Selain itu, ransum dapat menggantikan bagian-bagian zat nutrisi yang menjadi kebutuhan ayam seperti karbohidrat, lemak dan protein yang selanjutnya menghasilkan energi selama proses penguraiannya (Sudaryani dan Santoso, 1995). Ransum yang efisien bagi ayam adalah ransum yang seimbang antara tingkat energi dan kandungan protein, vitamin, mineral, serta zat-zat makanan lain yang diperlukan untuk pertumbuhan ayam (Siregar dan Sabrani. 1980). Rasio energi dan protein harus seimbang agar potensi genetik ayam dapat tercapai secara maksimal (Widyani dkk., 2001), oleh karena itu kedua senyawa molekul ini diperlukan dalam menunjang fungsi organ secara sinergis. Nutrisi yang dihasilkan dari perombakan zat-zat makanan diangkut oleh darah dan disalurkan ke hati sebelum diedarkan ke seluruh tubuh, peranan darah sangat
penting dalam
mengedarkan
hasil
metabolisme
sehingga
perlu
diperhatikan. Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu bagian cair dan bagian padat. Bagian cair disebut plasma sedangkan bagian padat disebut sel darah. Sel darah merah atau eritrosit adalah sel darah yang mengandung hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru (Guyton, 1986). Struktur
19 eritrosit terdiri atas pembungkus luar atau stroma yang berisi masa hemoglobin. Eritrosit memerlukan protein karena strukturnya terbentuk dari asam amino dan juga zat besi untuk eritropoiesis. Eritrosit merupakan suatu sel yang kompleks, membrannya terdiri dari lipid dan protein, sedangkan bagian dalam sel merupakan mekanisme yang mempertahankan sel selama 120 hari masa hidupnya serta menjaga fungsi hemoglobin selama masa hidup sel tersebut (Palmer & Williams, 2007). Pentingnya peran protein untuk berbagai proses di dalam sel darah maka pemberian protein di dalam ransum perlu diperhatikan. Pemberian protein harus selaras dengan pemberian energi dimana konsumsi energi akan mempengaruhi konsumsi protein sehingga diperlukan tingkat energi protein yang seimbang. Pemberian tingkat energi protein yang seimbang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tubuh ternak untuk hidup pokok dan produksi dimana salah satunya adalah keadaan fisiologis yang merupakan cikal bakal dari seluruh proses yang ada di dalam tubuh. Energi digunakan untuk menunjang aktifitas baik kerja aktif, bergerak bebas, dan juga untuk keadaan fisiologis.
Protein digunakan untuk pertumbuhan, pengelolaan, memperbaiki
jaringan, pertumbuhan jaringan, dan untuk proses eritropoiesis. Pemberian ransum dengan kandungan energi protein yang tepat diharapkan dapat menunjang produktifitas ternak khususnya pada keadaan fisiologis dimana protein dibutuhkan sebagai pembangun sel darah merah dan juga penyusun hemoglobin, sedangkan energi dibutuhkan untuk membantu keberlangsungan proses eritropoiesis dan juga untuk aktifitas sel darah yang lainnya.