BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Pedaging Klasifikasi biologis ayam (Gallus gallus) berdasarkan Rasyaf (2003) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordate
Kelas
: Aves
Ordo
: Galliformes
Family
: Phasianidae
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus gallus Ayam broiler merupakan galur ayam hasil rekayasa teknologi yang
memiliki keunggulan dalam hal pertumbuhan bobot badan yang cepat sebagai penghasil daging, konversi ransum rendah, dapat dipotong pada umur muda, menghasilkan kualitas daging yang berserat lunak, dan harga yang relatif terjangkau (Bell, 2002). Pertumbuhan ayam broiler dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya makanan (ransum), temperatur lingkungan dan sistem pemeliharaannya (Rasyaf, 1992). Ayam broiler yang berumur enam minggu sudah sama dengan ayam kampung dewasa delapan bulan, dengan bobot mencapai 2 kg. Ayam broiler dipasarkan di Indonesia pada bobot 1,3-1,6 kg
pada umur 5-6 minggu
(Rasyaf, 2003). Ciri dari ayam pedaging ini memiliki ukuran badan relatif besar, padat, kompak, dan berdaging penuh. Jumlah telur sedikit, bergerak lambat, tenang, dan lebih lambat mengalami dewasa kelamin. Adapun jenis ayam pedaging yang biasa dipelihara antara lain Brahma Putra, Cochin China, Cornish, dan Sussex (Sudaryani dan Santosa, 2002). Cuaca yang selalu berubah-ubah akan membuat ayam mudah terserang penyakit, oleh karena itu disamping pakan yang baik, ayam broiler perlu diberi vitamin, antibiotika, dan vaksin agar hidup sehat sampai usia panen (Suharsono, 2002). 3
2.2 Darah Darah adalah cairan yang beredar dalam pembuluh darah, yang merupakan jaringan penghubung yang paling penting. Darah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu cairan dan padatan. Cairan terdiri dari serum atau plasma dan padatan terdiri dari butir darah merah (eritrosit), butir darah putih (leukosit), kepingan darah (trombosit atau platelet) (Harper, 1997). Volume darah dalam tubuh bervariasi jumlahnya tergantung pada ukuran tubuh, umur, derajat aktivitas tubuh, keadaan kesehatan, makanan, laktasi, dan lingkungan (Swenson, 1977). Menurut Colville dan Basert (2002), darah memiliki tiga fungsi penting yaitu sebagai sistem transportasi, regulasi, dan sistem pertahanan. Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Darah membawa cairan dari dan ke jaringan, hal tersebut untuk memelihara keseimbangan cairan dalam tubuh dengan pH darah rata-rata adalah 7,4. Darah juga membawa nutrisi atau suplai makanan dari sistem pencernaan ke sel atau jaringan tubuh dan mengangkut produk yang terbuang melalui ginjal dan usus besar untuk ekskresi dan mencegah terjadinya akumulasi. Darah sebagai sistem regulasi juga berperan dalam membantu menjaga suhu tubuh dengan cara membawa hormon dari glandula endokrin ke organ target, hal itu berfungsi untuk membawa kelebihan panas dari bagian dalam tubuh ke permukaan lapisan kulit, dimana panas akan menghilang di udara. Fungsi yang terakhir adalah menjaga keseimbangan asam basa dalam tubuh. Darah sebagai sistem pertahanan berperan dalam fagositosis dan memberikan respon imunitas. Darah memenuhi sekitar 12% dari bobot badan anak ayam yang baru menetas dan sekitar 68% pada ayam dewasa (Bell, 2002). 2.3 Leukosit Leukosit atau sel darah putih (yunani: leuco = putih; cyte = sel) sangat berbeda dari eritrosit karena adanya inti dan memiliki kemampuan bergerak bebas dan memiliki bentuk yang khas. Leukosit pada keadaan tertentu inti, sitoplasma, dan organelnya mampu bergerak (Guyton, 1996). Jika eritrosit bersifat pasif dan
4
melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah, leukosit mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melakukan fungsinya. Masa hidup leukosit sangat bervariasi, mulai dari beberapa jam untuk granulosit, sampai bulanan untuk monosit, dan bahkan tahunan untuk limfosit (Dharmawan, 2002). Pertahanan melawan infeksi adalah peranan utama leukosit, peningkatan leukosit merupakan respon fisiologi untuk melindungi tubuh terhadap serangan mikroorganisme (Baldy, 1984). Fluktuasi jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu, seperti stress, aktivitas fisiologis, gizi, dan umur. Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik penting dalam mengevaluasi proses penyakit (Dharmawan et al., 2006). Manfaat sesungguhnya leukosit adalah menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap bahan infeksius yang mungkin ada (Guyton, 1996). Fungsi lain dari leukosit untuk proses fagositosis yaitu memakan benda-benda asing yang masuk ke dalam aliran darah dengan gerakan amoeboid dan dapat berenang di antara sel-sel jaringan (Tizard, 1982). Pemeriksaan leukosit dapat menjadi dasar dalam menentukan diagnosa dan terapi, jumlah leukosit dalam sirkulasi dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor fisiologis dan faktor patologis (Choles,1980). Peningkatan jumlah leukosit atau leukositosis yang bersifat fisiologis disebabkan oleh : kepayahan/kejenuhan, radiasi, anastesi, dan stress sedangkan leukosistosis yang bersifat patologis dapat disebabkan oleh infeksi akut oleh bakteri, parasit, virus, infeksi lokal seperti abses dan
infeksi
umum
seperti
reumatik
akut,
diptera,
dan
peritonitis
(Benjamin, 1987; Baldy, 1984; Choles, 1980). Jumlah seluruh leukosit lebih sedikit jika di banding dengan jumlah eritrosit. Dellman dan Brown (1987) mengatakan bahwa variasi jumlah leukosit pada setiap individu cukup besar pada kondisi tertentu misalnya pada kondisi tertentu misalnya pada kondisi stress, aktivitas fisiologis, gizi, umur dan lain-lain. Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik penting untuk evaluasi proses penyakit. Menurut Sturkie (1976), perubahan jumlah leukosit juga dapat disebabkan berbagai kondisi seperti stres, hormon estrogen, penyakit dan penggunaan obat-obatan.
5
Perbandingan jumlah leukosit normal ayam dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini : Tabel 1 Perbandingan Jumah Leukosit Berdasarkan Umur Ayam Umur 0 hari 3 hari 8 hari 10 hari
Perbandingan (%) Basofil 1,1 0,67 0 0,64
1 minggu 0 2 minggu 1,9 6 minggu 1 10 minggu 1 (Sumber : Hodges, 1977).
Eosinofil 2,5 1,6 0,25 1,7
Heterofil 72,4 52,7 50,0 26,7
Limfosit 15,9 38,7 48,3 68,6
Monosit 8,1 6,4 1,5 2,3
0 3,1 0 0
24,0 20,6 26,0 33,0
75 66 69 61
1 8,1 3 1
Tabel 2 Perbandingan Jumlah Leukosit Berdasarkan Jenis Kelamin Ayam Basofil 1,7
Betina Dewasa Jantan 1,7 Dewasa Betina 2,4 White Leghorn Jantan 2,4 White Leghorn (Sumber : Sturkie, 2000).
Perbandingan (%) Eosinofil Heterofil Limfosit 1,9 20,9 59,1
Monosit 10,2
1,9
22,8
64,4
8,9
1,4
25,8
64,4
6,4
2,5
13,1
76,1
5,7
2.3.1 Jenis-Jenis Leukosit a. Heterofil Heterofil adalah bentuk netrofil pada unggas yang merupakan pertahanan pertama melawan agen patogen yang menyerang (Fudge, 2005). Heterofil merupakan jenis leukosit di dalam sirkulasi darah dengan jumlah terbanyak
6
dibandingkan dengan granulosit lainnya. Sel ini dicirikan dengan bentuk yang cenderung bulat dengan sitoplasma berwarna lebih muda yaitu eosinofilik. Inti kasar, tidak teratur, biasanya memiliki dua sampai tiga lobus. Lobus pada beberapa sel terlihat tidak tersambung karena inti tertutup granul. Granul sitoplasma pada heterofil berbentuk batang atau jarum (Clark et al., 2009). Heterofil merupakan salah satu basis pertahanan tubuh dari serangan penyakit yang dapat mengakibatkan infeksi atau peradangan. Sel ini bekerja dengan cara fagositosis yaitu dengan mengurung mikroorganisme asing di dalam sitoplasma yang mengandung enzim proteolitik, setelah melakukan fagositosis, heterofil menjadi tidak aktif dan mati bersama dengan mikroorganisme asing dan akan menghasilkan nanah (Tizard, 1988).
Gambar
1
Sel heterofil dengan granul (Mitchell dan Johns, 2008)
sitoplasma
berbentuk
batang
b. Eosinofil Eosinofil merupakan salah satu granulosit asidofilik yang dapat ditemukan pada darah unggas. Sel eosinofil berbentuk bulat dengan inti berlobus yang berisi kromatin berwarna basofilik, lebih gelap dibandingkan dengan kromatin pada heterofil. Inti pada umumya memiliki dua lobus dengan sitoplasma berwarna pucat hingga basofilik dan berisi granul eosinofilik. Granul sitoplasma pada eosinofil terlihat berwarna jingga atau merah yang lebih cerah dan mencolok dibandingkan dengan granul sitoplasma pada heterofil (Clark et al., 2009). Sel ini sangat penting dalam respon terhadap penyakit parasitik dan alergi (Hoffbrand, 2006). Eosinofil juga berperan dalam perbaikan jaringan, kekebalan
7
bawaan, dapatan dan adaptif (Schalm, 2010). Fungsi utama eosinofil adalah detoksifikasi, baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru ataupun saluran cerna, maupun racun yang dihasilkan oleh bakteri dan parasit (Frandson et al., 2009). Eosinofil sangat motil dan sedikit memiliki kemampuan memfagosit kompleks antigen-antibodi (Melvin dan William, 1993). Eosinofil tidak dapat memfagosit agen infeksi yang berukuran besar seperti cacing. Sel ini menempel pada tubuh larva cacing, melepaskan toksin dan enzim hidrolitik yang merusak kulit kemudian masuk ke dalam kulit larva cacing (Schalm, 2010).
Gambar
2.
Sel eosinofil dengan granul (Mitchell dan Johns, 2008)
sitoplasma
eosinofil
terang
c. Basofil Basofil merupakan granulosit yang paling jarang ditemukan dalam sirkulasi darah mamalia, namun lebih sering dijumpai pada sirkulasi darah unggas (Latimer, 2011; Schalm, 2010). Basofil adalah leukosit yang jumlahnya paling rendah sekitar 0,5-1,5% dari seluruh leukosit dalam aliran darah. Diameter basofil adalah 10-12 µm (Dharmawan, 2002). Basofil memiliki inti yang kecil dan bulat, terletak di tengah atau di tepi (Fudge, 2005). Inti terdiri dari satu lobus atau tidak berlobus dengan granul sitoplasma yang berwarna basofilik gelap dengan densitas tinggi sehingga tampak menyatu. Inti berwarna lebih pucat dan sebagian terlihat gelap karena tertutup oleh granul sitoplasma (Clark et al., 2009). Basofil diproduksi dalam sumsum tulang (Tizard, 1988). Basofil mempunyai fungsi untuk membangkitkan proses peradangan akut pada tempat deposisi antigen (Tizard, 1988). Granul basofil berisi beberapa senyawa seperti 8
heparin untuk mencegah pembekuan darah serta histamin yang berfungsi dalam meregangkan otot polos pembuluh darah dan konstriksi otot polos saluran pernafasan (Frandson et al., 2009).
Gambar 3. Sel basofil dengan granul basofil padat (Mitchell dan Johns 2008). d. Limfosit Limfosit adalah jenis leukosit dengan jumlah paling banyak dalam darah ayam (Bacha dan Bacha, 2000). Secara histologis, limfosit memiliki inti sel heterokromatik berbentuk lonjong hingga bulat, sitoplasma yang bersifat basofilik dan tidak bergranul (Clark et al., 2009). Limfosit dihasilkan dari stem cell di folikel limfatik dari limfonodus, tonsil, limpa, timus, dan jaringan limforetikuler (Peyer patches) di usus. Limfosit adalah sel motil dan secara umum dapat bergerak seperti neutrofil. Limfosit menuju jaringan melalui mekanisme diapedesis dan dapat kembali lagi ke dalam sirkulasi darah melalui kelenjar limfe (Melvin dan William 1993). Limfosit berperan dalam membentuk antibodi (kekebalan humoral) dan kekebalan seluler. Limfosit dalam sirkulasi mampu memproduksi imunoglobulin (IgG, IgM dan IgA) (Frandson et al., 2009). Limfosit T menghasilkan tanggap kebal seluler berperantara sel dan menghasilkan limfokin yang mencegah perpindahan makrofag sebagai media kekebalan (Tizard, 1988). Limfosit B berperan dalam respon imun humoral, beberapa diantaranya tumbuh menjadi sel plasma (sel pembentuk antibodi) (Dellman dan Brown 1989).
9
Gambar 4. Sel limfosit dengan inti berbentuk bulat (Mitchell dan Johns 2008) e. Monosit Monosit adalah leukosit pleomorfik dengan ukuran paling besar diantara jenis leukosit lainnya. Sel ini memiliki inti berbentuk lonjong, berlekuk seperti tapal kuda dan tersusun dari kromatin-kromatin yang halus dengan jumlah sitoplasma yang banyak berwarna abu-abu hingga basofilik, dan memiliki vakuola berukuran kecil yang kadang terlihat jelas pada beberapa sel (Clark et al., 2009). Monosit memiliki kemampuan memfagosit dan berkembang menjadi makrofag ketika keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan. Seperti neutrofil, monosit ditarik oleh faktor-faktor kemotaktik menuju jaringan rusak atau jaringan yang mengalami invasi mikroba. Makrofag berfungsi dalam fagositosis serta inisiasi dan pengaturan dalam peradangan dan respon kekebalan. Makrofag melepaskan sejumlah sinyal kimia yang mengkoordinasikan berbagai fungsi sel-sel lainnya dalam merespon kerusakan jaringan dan invasi mikroba. Makrofag juga berfungsi dalam memproses antigen yang merupakan tahap awal dalam inisiasi respon kekebalan (Frandson et al., 2009). Monosit diproduksi dalam sumsum tulang dengan persentase 5% dari jumlah total leukosit. Monosit meningkat bila diperlukan untuk menelan benda asing. Masa hidup monosit singkat di dalam darah namun bisa bertahan lama bahkan bertahun-tahun tergantung pada sifat bahan yang difagosit (Tizard, 1982).
10
Gambar 5. Sel Monosit dengan Lobus Inti Berbentuk Lonjong (Mitchell dan Johns, 2008) 2.3.2 Abnormalitas Leukosit a. Leukositosis Leukositosis adalah suatu gambaran darah berupa peningkatan jumlah absolut dari sel-sel leukosit (heterofil, eusinofil, basofil, monosit, dan limfosit) diatas jumlah normal. Secara berurutan gambaran darah yang demikian itu dikenal sebagai leukositosis, leukositosis neutrofil, leukositosis eusinofil, leukositosis basofil, monositosis dan limfositosis (Swenson, 1996). b. Leukopenia Istilah leukopenia dan neutropenia digunakan untuk menggambarkan adanya penurunan jumlah leukosit dan hitung jenis neutrofilnya, sampai mencapai nilai yang berada di bawah batas normal. Lebih lanjut, istilah limfositopenia atau limfopenia digunakan bila hitung jenis limfosit lebih rendah dari pada nilai normal (Swenson, 1996).
2.4 Paracetamol Paracetamol merupakan kelompok obat para amino fenol yang berfungsi sebagi analgesik dan antipiretik. Paracetamol merupakan senyawa turunan fenasetin. Paracetamol mempunyai nama generik lain yaitu N-hidroksi asetanilida, N-asetil-p-aminofenol, dan asetaminofen (Sumioka et al., 2004). Paracetamol adalah analgesik sintetik non-opiat yang berbentuk kristal putih dengan rasa pahit. Selain memiliki kemampuan sebagai analgesik, paracetamol juga berfungsi sebagai antipiretik dengan mekanisme yang mirip seperti asam salisilat, yaitu
11
menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (COX). Namun, tidak seperti asam salisilat, paracetamol tidak memiliki efek antiinflamasi (Plumb, 1999). Paracetamol sering digunakan oleh masyarakat untuk menurunkan panas badan dan menghilangkan gejala nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang. Paracetamol cepat diserap secara sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Keberadaan paracetamol dalam plasma 25% yang terikat oleh protein plasma (Cooper, 2010). 2.4.1 Farmakodinamik Paracetamol telah lama diketahui mempunyai mekanisme yang sama dengan aspirin karena memiliki persamaan struktur kedua zat tersebut. Paracetamol bekerja menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga dapat mengurangi produksi prostaglandin, yang terlibat di dalam proses demam dan sakit tetapi obat ini tidak dapat bertindak sebagai antiinflamasi. Paracetamol secara tidak langsung menghambat enzim COX sehingga menjadi tidak efektif terhadap peroksida. Hal ini menyebabkan paracetamol menjadi efektif bekerja pada susunan saraf pusat dan sel endotel, tetapi bukan pada platelet dan sel imun yang mempunyai tingkat peroksida tinggi (Cooper, 2010). 1.4.2 Farmakokinetik Paracetamol di dalam saluran pencernaan dengan cepat diserap dan dalam waktu 30 menit akan mencapai konsentrasi puncak dalam plasma. Dosis yang menyebabkan toksisitas akut, ikatan paracetamol terhadap protein plasma bervariasi dari 20-50%. Dosis normal dari penggunaan paracetamol sebanyak 90100% dari senyawa obat ini mungkin akan dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran senyawa obat ini terjadi setelah melewati fase konjugasi dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam sulfat (35 %), dan sistein (3 %) serta sejumlah kecil metabolit dalam bentuk terhidroksilasi dan terdeasetilasi. Paracetamol yang teroksidasi berubah menjadi N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif (Susana, 1987).
12
2.5 Kerangka Konsep Dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan ternak ayam, sering kali peternak menggunakan obat-obatan untuk mengobati penyakit ataupun sebagai imbuhan pakan (feed additive). Menurut Ardana (2009), di lapangan banyak ditemukan kasus peternak yang menggunakan obat paracetamol untuk mengobati unggasnya dan menggunakan paracetamol untuk meningkatkan berat badan dalam jangka waktu tertentu. Paracetamol merupakan obat antipiretik dan analgesik yang digunakan pada manusia dan hewan. Pada ayam, telah lama paracetamol digunakan selain sebagai antipiretik juga sebagai pemacu pertumbuhan yang diberikan setiap hari dicampur dalam pakan (Dikstein, 1965). Penggunaan paracetamol dalam jangka waktu tertentu diduga berdampak pada total leukosit dan diferensial leukosit unggas. Paracetamol dapat menghambat fungsi sel leukosit polimorfonuklear baik pada uji in vitro (shalabi, 1992), maupun in vivo (Nielsen dan Webster, 1987). Selain penurunan fungsi, paracetamol juga menghambat produksi leukosit pada sumsum tulang dengan cara menginduksi pembentukan senyawa oksigen reaktif pada sel leukosit (Agarwal dan Said, 2005). Variabel Kendali
Suhu Jenis ayam Jenis kelamin Pakan Umur Jumlah pakan Jenis pakan
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
3 Paracetamol
Total leukosit Diferensial Leukosit
Variabel Rambang
Jumlah ayam Genetik
Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian
13
Ayam Sehat
2.6 Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 1. Pemberian paracetamol berpengaruh terhadap total leukosit ayam pedaging. 2. Pemberian paracetamol berpengaruh terhadap diferensial leukosit ayam pedaging.
14