STUDI MORFOLOGI USUS PADA AYAM KETAWA (Gallus gallus domesticus)
FILIKA AMALIA ISMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Morfologi Usus pada Ayam Ketawa (Gallus gallus domesticus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2016 Filika Amalia Isman NIM B04110129
ABSTRAK FILIKA AMALIA ISMAN. Studi Morfologi Usus pada Ayam Ketawa (Gallus gallus domesticus). Dibimbing oleh I KETUT MUDITE ADNYANE dan SAVITRI NOVELINA. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari morfologi usus ayam ketawa. Penelitian ini menggunakan awetan organ usus dari seekor ayam ketawa jantan dan betina yang diamati secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis dilakukan dengan melihat bentuk dan melakukan pengukuran panjang tiap segmen usus. Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat histologi dan diwarnai dengan zat pewarna hematoksilin eosin (HE), alcian blue (AB) pH 2.5, dan periodic acid Schiff (PAS). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa usus ayam ketawa secara makroskopis memiliki duodenum yang membentuk lekukan seperti huruf U mengelilingi pankreas serta sepasang sekum dengan tipe intestinal. Pengukuran panjang segmen usus pada ayam ketawa betina yaitu 17.2 cm pada duodenum, 79.8 cm pada jejunum dan ileum, 13.1 cm pada sekum, serta 8.2 cm pada kolon. Pengukuran panjang segmen usus pada ayam ketawa jantan yaitu 15.1 cm pada duodenum, 73.7 cm pada jejunum dan ileum, 12.9 cm pada sekum, serta 6.4 cm pada kolon. Dinding usus ayam ketawa secara mikroskopis terbagi menjadi lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa. Mukosa sekum memiliki struktur bernama caecal tonsil yang mengandung banyak jaringan limfatik. Lapisan submukosa hanya berupa jaringan ikat longgar yang sangat tipis, serta tidak ditemukan kelenjar Brunner pada submukosa duodenum yang biasa ditemukan pada duodenum mamalia. Karbohidrat yang terdapat pada usus ayam ketawa yaitu karbohidrat asam dan netral. Karbohidrat tersebut ditemukan pada sel goblet dan sel kelenjar di kripta Lieberkuhn. Intensitas karbohidrat semakin kuat pada segmen usus daerah kaudal. Kata kunci: karbohidrat, ayam ketawa, usus, makroskopis, mikroskopis.
ABSTRACT FILIKA AMALIA ISMAN. Morphological Study of the Intestine of Gaga Chicken (Gallus gallus domesticus). Supervised by I KETUT MUDITE ADNYANE and SAVITRI NOVELINA. The purpose of this research is to study the morphology of Gaga chicken’s intestine. This research used the preserved intestine from a male and a female Gaga chicken which observed in macroscopic and microscopic. The obsevation in macroscopic was focused on morphological as the shape and measuring the length of the intestine. The observation in microscopic was done by preparing histological slides and staining with hematoxylin eosin (HE), alcian blue (AB) pH 2.5, and periodic acid Schiff (PAS). The results in macroscopic showed that Gaga chicken’s intestines have duodenum that formed U-loop which surrounded pancreas and a pair of intestinal type caecum. The length measurement of intestine’s segments in female Gaga chicken were 17.2 cm in duodenum, 79.8 cm in yeyunum and ileum, 13.1 cm in caecum, and 8.2 cm in colon. The length measurement of intestine’s segments in male Gaga chicken were 15.1 cm in duodenum, 73.7 cm in yeyunum and ileum, 12.9 cm in caecum, and 6.4 cm in colon. The wall of Gaga chicken’s intestines in microscopic consist of mucosa, submucosa, muscularis externa, and serosa. The mucosa of caecum has a structure called caecal tonsil where lymphatic tissue was particulary abundant. The submucosa was a very thin connective tissue and didn’t have Brunner’s gland in the duodenum segment which usually found in mammals’ duodenum. The carbohydrate in Gaga chicken’s intestines namely acid and neutral carbohydrates were found in goblet cell and glandular cell in the crypt of Lieberkuhn. The intensity of carbohydrates were stronger in the caudal segment. Keywords: carbohydrate, Gaga chicken, intestine, macroscopic, microscopic.
STUDI MORFOLOGI USUS PADA AYAM KETAWA (Gallus gallus domesticus)
FILIKA AMALIA ISMAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni sampai November 2015 serta penulisan skripsi yang berjudul “Studi Morfologi Usus Ayam Ketawa (Gallus gallus domesticus). Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Drh I Ketut Mudite Adnyane, MSi, PhD, PAVet dan Dr Drh Savitri Novelina, MSi, PAVet selaku dosen Pembimbing atas segala bimbingan, masukan, nasihat, dan dukungannya selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Ibu (Isnaini), Ayah (Usman), Kakak (Fikratuz Auliyah Adima Isman), dan Adik (Firda Hanum Isman) atas semua dukungan, baik moral maupun materi, yang telah diberikan selama ini kepada penulis. 3. Prof Drh Tutik Wresdiyati, PhD, PAVet dan Drh Adi Winarto, PhD, PAVet atas semua bantuan yang diberikan kepada penulis pada saat penelitian. 4. Teknisi Laboratorium Histologi: Pak Maman dan Pak Iwan atas bantuan dan saran yang diberikan kepada penulis selama penelitian. 5. Rekan satu bimbingan (Ulfah, Irene, Rifky, dan Dhenok) serta rekan satu laboratorium (Ajeng, Mimi, Tyas, Andi, Alam, Rifa) atas semangat, dukungan, dan bantuannya selama penelitian. 6. Sahabat-sahabat Fausta dan An-Nahl atas kekeluargaan, kebersamaan, nasihat, semangat, dukungan, dan bantuan yang diberikan kepada penulis. 7. Rekan Ganglion 48 dan semua pihak yang turut serta membantu penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, adanya kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri.
Bogor, Mei 2016 Filika Amalia Isman
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Ayam Ketawa
2
Saluran Pencernaan Ayam
3
Pewarnaan Hemaktosilin Eosin (HE)
4
Pewarnaan alcian blue (AB) dan periodic acid Schiff (PAS)
4
METODE
4
Tempat dan Waktu Penelitian
4
Alat dan Bahan
4
Metode Penelitian
5
Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan SIMPULAN DAN SARAN
6 6 11 14
Simpulan
14
Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
15
LAMPIRAN
19
RIWAYAT HIDUP
22
DAFTAR TABEL 1 Panjang (cm) tiap segmen usus ayam ketawa 2 Intensitas karbohidrat hasil pewarnaan AB dan PAS pada usus ayam ketawa
7 9
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Ayam ketawa jantan (A) dan betina (B) Saluran pencernaan ayam secara umum dan pH tiap organ Pengamatan saluran pencernaan ayam ketawa secara makroskopis Fotomikrograf dinding tiap segmen usus ayam ketawa dengan pewarnaan HE 5 Fotomikrograf vili pada dinding usus ayam ketawa dengan pewarnaan HE 6 Fotomikrograf caecal tonsil pada sekum dengan pewarnaan HE. 7 Fotomikrograf intensitas karbohidrat asam dengan pewarnaan AB pH 2.5 (A1-E1) dan karbohidrat netral dengan pewarnaan PAS (A2-E2) pada usus ayam ketawa
2 3 6 7 8 8 10
DAFTAR LAMPIRAN 1 Pewarnaan hemaktosilin eosin (HE) 2 Pewarnaan alcian blue (AB) pH 2.5 3 Pewarnaan periodic acid Schiff (PAS)
19 20 21
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki banyak keragaman sumber daya fauna, salah satunya adalah keragaman ayam lokal, baik ayam lokal asli Indonesia maupun hasil adaptasi ayam dari luar negeri. Ayam lokal di Indonesia merupakan hasil domestikasi ayam hutan merah (Gallus gallus) (Sulandari et al. 2007). Nataamijaya (2000) melaporkan bahwa terdapat 32 jenis ayam lokal dengan karakteristik dan keunggulannya masing-masing. Ayam lokal yang tidak memiliki karakteristik khusus disebut sebagai ayam kampung yang juga dikenal sebagai ayam buras (bukan ras) (Suharno 2002). Ayam lokal dapat dikelompokkan menjadi tipe pedaging, petelur, dwiguna, serta sebagai ayam hias atau kegemaran (Nataamijaya 2010). Ayam ketawa merupakan salah satu ayam lokal asli Indonesia yang berasal dari Sulawesi Selatan (Kementan 2011; Bugiwati et al. 2013). Ayam ketawa merupakan ayam tipe penyanyi (Sartika & Iskandar 2008; Rusfidra & Arlina 2014) serta biasa dipelihara untuk dinikmati suara kokoknya yang khas seperti suara tawa manusia (Sudiro 2002). Keunikan kokok ayam ketawa mulai menarik perhatian penggemar ayam hias serta diikuti dengan semakin sering diadakannya kontes ayam ketawa. Ayam ketawa memiliki nilai jual tinggi dan dapat mencapai puluhan juta rupiah terutama ayam ketawa yang sering memenangkan kontes. Pengetahuan mengenai ayam ketawa masih sangat terbatas sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui lebih banyak potensi ayam ketawa. Penelitian yang pernah dilaporkan yaitu mengenai bentuk tubuh ayam ketawa yang dibandingkan dengan ayam kampung (Bugiwati el al. 2013; Kuswardani 2012; Fastasqi 2012) dan ayam pelung (Kuswardani 2012; Fastasqi 2012). Penelitian lainnya pada ayam ketawa diantaranya mengenai kajian bioakustik tipe suara (Junaedi 2012), analisis suara kokok (Bugiwati & Ashari 2013; Rusfidra & Arlina 2014), struktur anatomi syrinx (Prawira 2014), morfologi kelenjar mandibularis dan lingualis (Ali 2015), serta histologi proventrikulus (Gusni 2015). Perumusan Masalah Informasi mengenai organ pencernaan ayam ketawa yaitu usus belum pernah diketahui sebelumnya, terutama mengenai morfologi usus ayam ketawa baik usus halus maupun usus besar secara makroskopis dan mikroskopis serta kandungan karbohidrat di sepanjang usus sebagai salah satu komponen dalam proses pencernaan di usus. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari morfologi usus (usus halus dan usus besar) ayam ketawa secara makroskopis dan mikroskopis serta mengetahui kandungan karbohidrat di sepanjang usus ayam ketawa.
2 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi data dasar mengenai saluran pencernaan terutama organ usus pada ayam ketawa sehingga dapat dijadikan sebagai pustaka rujukan.
TINJAUAN PUSTAKA Ayam Ketawa Ayam ketawa merupakan salah satu ayam lokal asli Indonesia yang berasal dari Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan (Bugiwati et al. 2013). Dahulunya, ayam ketawa merupakan peliharaan dari bangsawan bugis pada daerah tersebut. Ayam ketawa dikenal masyarakat Sulawesi Selatan dengan sebutan manu’ gaga’ yang berarti tergagap-gagap. Ayam ketawa memiliki nama lain yaitu ayam Gaga dan telah diresmikan sebagai ayam lokal asli Indonesia sejak tahun 2011 melalui Keputusan Menteri Pertanian nomor 2920/Kpts/OT.140/6/2011 tentang Penetapan Rumpun Ayam Gaga (Kementan 2011). Ayam ketawa termasuk dalam kelompok ayam penyanyi seperti ayam pelung, ayam kokok balenggek, dan ayam bekisar (Sartika & Iskandar 2008; Rusfidra & Arlina 2014) serta memiliki keistimewaan pada suara kokok yang mirip seperti suara tawa manusia (Sudiro 2002). Ayam ketawa memiliki penampilan fisik mirip dengan ayam kampung (Kuswardani 2012; Fastasqi 2012; Bugiwati et al. 2013) sehingga penamaan taksonomi ayam ketawa mengikuti ayam kampung (Gallus gallus domesticus) yang merupakan hasil domestikasi dari ayam hutan merah (Gallus gallus) (Sulandari et al. 2007). Pemeliharaan ayam ketawa umumnya dilakukan seperti ayam kampung, yaitu dengan dilepaskan secara bebas di lingkungan sekitar kandang sehingga ayam dapat mencari makanannya sendiri (Kuswardani 2012). Reproduksi ayam ketawa juga sama dengan ayam kampung yang kawin secara alami (Kementan 2011). Ayam ketawa dapat berukuran sedang bahkan kecil, tetapi lebih besar dari ayam kate (Sartika & Iskandar 2008). Penampilan fisik ayam ketawa dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Ayam ketawa jantan (A) dan betina (B) (Fastasqi 2012)
3 Saluran Pencernaan Ayam Saluran pencernaan ayam terdiri atas mulut, esofagus, tembolok, proventrikulus (lambung kelenjar), gizzard/ventrikulus (lambung otot), usus halus (duodenum, yeyunum, dan ileum), usus besar (sepasang sekum, colon dan rektum), dan kloaka (Bacha & Bacha 2012) serta organ asessoris pencernaan yaitu kelenjar air liur, pankreas, hati, dan kantung empedu (Denbow 2000). Saluran pencernaan ayam memilki pH lingkungan yang berbeda pada masing-masing organnya yaitu, tembolok dengan pH 5.5, proventrikulus 2.5–3.5, gizzard/ventrikulus 2.5–3.5, duodenum 5–6, jejenum 6.5–7, ileum 7.0–7.5, sekum (jamak: seka) 6–7, dan kolon 7–8 (Gauthier 2002) seperti diperlihatkan pada Gambar 2. Sekilas tampak bahwa saluran pencernaan unggas mempunyai lambung jamak sehingga sering dikatakan bahwa unggas adalah hewan pseudopolygastric (Soeharsono 2010).
Gambar 2 Saluran pencernaan ayam secara umum dan pH tiap organ (Gauthier 2002) Usus merupakan organ pencernaan yang berfungsi dalam penyerapan nutrisi pada proses pencernaan (Soeharsono 2010). Usus merupakan organ terpanjang pada saluran pencernaan yang dibedakan menjadi usus halus dan usus besar. Proses absorbsi nutrisi terutama terjadi di dalam usus halus yang terdiri dari duodenum, yeyunum, dan ileum, sedangkan pada usus besar terjadi penyerapan air, fermentasi sisa ingesta, serta pembentukan feses (Jacob et al. 2011). Organ pada saluran pencernaan, termasuk usus memiliki struktur anatomi (makroanatomi maupun mikroanatomi) yang dirancang sesuai fungsi masingmasing dalam proses pencernaan. Struktur mikroanatomi dari dinding saluran pencernaan secara umum tersusun dari lapisan luar serosa (adventisia), muskularis eksterna, submukosa, dan mukosa. Mukosa terdiri atas lapisan endothelium, lamina propria, dan muskularis mukosa (Dellmann & Eurell 2006). Jaringan mukosa sepanjang usus memiliki struktur menonjol seperti jari berupa vili dengan dilengkapi mikrovili yang berfungsi untuk memperluas permukaan dalam proses absorbsi nutrisi (Ross & Pawlina 2011). Mikrovili
4 merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellmann & Eurell 2006). Menurut Bacha & Bacha (2012) vili pada usus ayam selain terdapat pada usus halus, juga terdapat pada sekum dengan ukuran yang semakin pendek dan rata ke arah ujung sekum yang buntu. Bagian kripta Lieberkuhn pada mukosa usus halus merupakan tempat sel-sel kelenjar yang menghasilkan enzim pencernaan (Dellmann & Eurell 2006). Struktur dari kripta Lieberkuhn pada ayam pendek dan terbuka diantara vili seperti halnya pada mamalia (Aughey & Fyre 2001). Struktur lain pada dinding usus ayam mirip dengan dinding usus mamalia, namun memiliki perbedaan utama yaitu tidak adanya kelenjar Brunner pada duodenum serta jaringan submukosa yang sangat tipis (Bacha & Bacha 2012). Pewarnaan Hemaktosilin Eosin (HE) Pewarnaan hematoksilin eosin adalah pewarnaan yang paling umum digunakan dalam pengamatan jaringan secara mikroanatomi (Dellmann & Eurell 2006) dan bisa digunakan untuk mengamati struktur umum dari suatu jaringan. Prinsip pewarnaan ini berupa ikatan asam basa. Pewarna hematoksilin yang bersifat basa akan mewarnai inti sel yang bersifat asam dan menimbulkan warna biru. Sebaliknya pewarna eosin yang bersifat asam akan mewarnai sitoplasma serta jaringan ikat lainnya yang bersifat basa dan menimbulkan variasi warna merah muda hingga merah pada sitoplasma (Gamble 2008). Pewarnaan alcian blue (AB) dan periodic acid Schiff (PAS) Pewarnaan alcian blue (AB) dan periodic acid Schiff (PAS) termasuk dalam jenis pewarnaan histokimia yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kandungan karbohidrat pada suatu jaringan (Myers et al. 2008). Pewarnaan AB digunakan untuk mendeteksi karbohidrat asam dan menimbulkan warna biru pada jaringan yang bereaksi positif. Pewarnaan PAS digunakan untuk mendeteksi karbohidrat netral dan menimbulkan warna merah-magenta pada jaringan yang bereaksi positif (Adnyane et al. 2007).
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada mulai bulan Juni sampai November 2015 di Laboratorium Histologi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah perlengkapan bedah minor, penggaris, benang, botol, tissue cassette, basket, tissue embedding console,
5 cetakan parafin, blok kayu kecil, mikrotom, pisau mikrotom, gelas objek, gelas penutup, water bath, hot plate, kertas label, kotak preparat, mikroskop cahaya, dan peralatan fotografi. Bahan yang digunakan antara lain adalah sampel usus ayam ketawa, larutan pengawet formalin 10%, alkohol bertingkat dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%, xylol, parafin, akuades, air keran, zat pewarna hematoksilin eosin (HE), alcian blue (AB) pH 2.5, dan periodic acid Schiff (PAS), serta perekat entellan®. Sampel yang digunakan dalam penelitian berupa awetan organ usus dalam larutan formalin 10% dari seekor ayam ketawa jantan dan seekor ayam ketawa betina. Sampel merupakan koleksi milik Dr Drh Dwi Kesuma Sari, Program Studi Kedokteran Hewan, Universitas Hasanuddin yang dikirimkan ke Laboratorium Histologi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Metode Penelitian Penelitian dilakukan melalui pengamatan terhadap sampel berupa awetan organ usus ayam ketawa secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis dilakukan dengan melihat bentuk dan ciri khas masing-masing segmen usus. Dilakukan juga pengukuran terhadap panjang tiap segmen usus. Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan pembuatan preparat histologi yang diwarnai menggunakan pewarna hematoksilin eosin (HE) untuk mengamati struktur umum jaringan, alcian blue (AB) pH 2.5 untuk mendeteksi karbohidrat asam dan periodic acid Schiff (PAS) untuk mendeteksi karbohidrat netral. Pembuatan preparat histologi diawali dengan pemotongan awetan organ dengan ukuran 1 cm pada masing-masing segmen usus yang terdiri dari daerah duodenum, yeyunum, ileum, sekum, dan kolon. Sampel usus yang telah dipotong dimasukkan dalam tissue cassette dan dipindahkan dalam larutan alkohol 70% sebagai tahap stopping point sampai dilakukan proses dehidrasi. Proses dehidrasi dilakukan dengan dimasukkannya sampel dalam alkohol konsentrasi bertingkat (alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, dan alkohol 100%) serta penjernihan (clearing) dengan xylol. Proses selanjutnya adalah penanaman (embedding) sampel di dalam parafin. Setelah parafin mengeras, sampel kemudian dipotong membentuk kotak dan ditempelkan pada blok kayu (blocking). Blok sampel dipotong (sectioning) menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5μm. Hasil potongan diletakkan pada gelas objek dan diinkubasi dalam inkubator selama minimal semalam sebelum dilanjutkan ke proses pewarnaan. Pewarnaan preparat sampel diawali dengan deparafinisasi menggunakan xylol dan rehidrasi menggunakan alkohol bertingkat (alkohol 100%, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%, dan alkohol 70%). Pewarnaan dilakukan menggunakan pewarna HE, AB pH 2.5, dan PAS. Setelah proses pewarnaan selesai dilakukan dehidrasi dengan alkohol bertingkat, clearing dengan xylol, dan ditutup dengan gelas penutup menggukan entellan® sebagai perekat (proses mounting). Setelah preparat mengering, dapat dilakukan pengamatan mikroskopis
6 menggunakan mikroskop cahaya dan pengambilan gambar fotomikrograf dengan peralatan fotografi. Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif, kemudian dilakukan perbandingan dengan data hewan lain yang berkerabat dekat dengan ayam ketawa maupun literatur lain yang berhubungan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Makroskopis Hasil pengamatan makroskopis ditemukan beberapa hal sebagai berikut. Usus halus ayam ketawa yang diamati terbagi menjadi segmen duodenum, yeyunum, dan ileum, sedangkan usus besar terbagi menjadi sekum dan kolon. Duodenum dimulai dari perbatasan dengan lambung otot (ventrikulus) dan membentuk lekukan seperti huruf U yang mengelilingi pankreas. Segmen yeyunum dicirikan dengan banyaknya lipatan-lipatan usus yang kemudian dilanjutkan menjadi ileum walapun batas pasti antara yeyunum dan ileum tidak teramati dengan jelas. Letak segmen ileum diapit oleh sepasang sekum dan diakhiri dengan adanya ileocaecal junction, kemudian dilanjutkan menjadi kolon. Ayam ketawa memiliki kolon yang pendek dan sederhana. Pengamatan makroskopis saluran pencernaan ayam ketawa ditunjukkan pada Gambar 3. Pengukuran terhadap panjang usus juga dilakukan dan didapatkan hasil seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Gambar 3
Pengamatan saluran pencernaan ayam ketawa secara makroskopis, A. potongan proventrikulus hingga duodenum, B. potongan jejunum hingga kloaka, a. proventrikulus (lambung kelenjar), b. ventrikulus/gizzard (lambung otot), c. duodenum, d. pankreas, e. hati, f. yeyunum, g. ileum, h. sepasang sekum, i. ileocaecal junction, j. kolon. Bar = 1 cm.
7 Tabel 1 Panjang (cm) tiap segmen usus ayam ketawa Duodenum Yeyunum dan Sampel Sekum (Lekukan U) Ileum Betina 17.2 79.8 13.1 Jantan 15.1 73.7 12.9 Rata-rata 16.2 76.8 13
Kolon 8.2 6.4 7.3
Panjang Usus Total 118.3 108.1 113.2
Mikroskopis Pengamatan mikroskopis dilakukan pada dinding usus ayam ketawa dengan pewarnaan HE. Dinding usus ayam ketawa terdiri atas lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa (Gambar 4). Dinding usus membentuk struktur lipatan berupa vili yang berbentuk memanjang seperti jari. Bentuk vili pada sekum semakin menipis di bagian ujungnya, sedangkan pada kolon vili berukuran lebih pendek dipandingkan vili pada usus halus.
Gambar 4
Fotomikrograf dinding tiap segmen usus ayam ketawa dengan pewarnaan HE, A. duodenum, B. yeyunum, C. ileum, D. sekum, E. kolon, M. mukosa, MM. muskularis mukosa SM. submukosa, ME. Muskularis eksterna, S. serosa, L. limfonodulus, Bar = 200 μm.
Vili dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris yang dilengkapi mikrovili dan ditemukan sel goblet di antara sel-sel epitel (Gambar 5). Di bawah vili terdapat kripta Lieberkuhn yang mengandung sel kelenjar intestinal. Ditemukan jaringan limfatik yang bersifat menyebar atau diffuse maupun membentuk limfonodulus pada lamina propia. Ditemukan caecal tonsil yang banyak mengandung jaringan
8 limfatik pada sekum (Gambar 6). Di bawah kripta Lieberkuhn terdapat muskularis mukosa berupa selapis otot longitudinal. Submukosa sangat tipis dan hanya teramati sebagai jaringan ikat yang memisahkan muskularis mukosa dan muskularis eksterna. Kelenjar Brunner tidak ditemukan pada submukosa duodenum ayam ketawa. Muskularis eksterna terdiri atas lapisan otot sirkuler pada bagian dalam serta lapisan otot longitudinal pada bagian luar. Serosa berupa jaringan ikat pada bagian terluar dinding usus.
Gambar 5 Fotomikrograf vili pada dinding usus ayam ketawa dengan pewarnaan HE, Mv. Mikrovili G. Sel goblet, Ld. Jaringan limfatik diffuse, Lb. kripta Lieberkuhn, MM. muskularis mukosa, Bar = (A) 100 μm, (B) 20 μm .
Gambar 6 Fotomikrograf caecal tonsil pada sekum dengan pewarnaan HE, L. limfonodulus, Bar = 200 μm.
9 Karbohidrat Kompleks pada Usus Pengamatan terhadap kandungan karbohidrat kompleks yaitu karbohidrat asam dengan pewarnaan AB pH 2.5 dan karbohidrat netral dengan pewarnaan PAS pada usus ayam ketawa memperlihatkan hasil berupa warna biru (pewarnaan AB) dan merah magenta (pewarnaan PAS) dengan intensitas berbeda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Karbohidrat asam pada duodenum ditemukan pada sel goblet epitel mukosa dan sel kelenjar Lieberkuhn dengan intensitas lemah (Gambar 7-A1). Karbohidrat netral pada duodenum ditemukan pada sel goblet pada epitel mukosa dan sel kelenjar Lieberkuhn dengan intensitas sedang (Gambar 7-A2). Karbohidrat asam pada yeyunum ditemukan pada sel goblet epitel mukosa dengan intensitas kuat dan pada sel kelenjar Lieberkuhn dengan intensitas sedang (Gambar 7-B1). Karbohidrat netral pada yeyunum ditemukan pada sel goblet epitel mukosa dengan intensitas kuat dan pada sel kelenjar Lieberkuhn dengan intensitas sedang (Gambar 7-B2). Karbohidrat asam pada ileum ditemukan pada sel goblet epitel mukosa dengan intensitas kuat dan pada sel kelenjar Lieberkuhn dengan intensitas sedang (Gambar 7-C1). Karbohidrat netral pada ileum ditemukan pada sel goblet epitel mukosa dengan intensitas kuat dan pada sel kelenjar Lieberkuhn dengan intensitas sedang (Gambar 7-C2). Karbohidrat asam pada sekum ditemukan pada sel goblet epitel mukosa dan sel kelenjar Lieberkuhn dengan intensitas kuat (Gambar 7-D1). Karbohidrat netral pada sekum ditemukan pada sel goblet epitel mukosa dan sel kelenjar Lieberkuhn dengan intensitas sedang (Gambar 7-D2). Karbohidrat asam pada kolon ditemukan pada sel goblet epitel mukosa dan sel kelenjar Lieberkuhn dengan intensitas kuat (Gambar 7-E1). Karbohidrat netral pada kolon ditemukan pada sel goblet epitel mukosa dan sel kelenjar Lieberkuhn dengan intensitas kuat (Gambar 7-E2). Tabel 2 Intensitas karbohidrat hasil pewarnaan AB dan PAS pada usus ayam ketawa Pewarnaan No. Nama Organ AB PAS 1. Duodenum - Sel goblet pada epitel mukosa + ++ - Sel kelenjar Lieberkuhn + ++ 2. Yeyunum - Sel goblet pada epitel mukosa +++ +++ - Sel kelenjar Lieberkuhn ++ ++ 3. Ileum - Sel goblet pada epitel mukosa +++ +++ - Sel kelenjar Lieberkuhn ++ ++ 4. Sekum - Sel goblet pada epitel mukosa +++ ++ - Sel kelenjar Lieberkuhn +++ ++ 5. Kolon - Sel goblet pada epitel mukosa +++ +++ - Sel kelenjar Lieberkuhn +++ +++ Keterangan: (+) = lemah, (++) = sedang, (+++) = kuat
10
Gambar 7
Fotomikrograf intensitas karbohidrat asam dengan pewarnaan AB pH 2.5 (A1-E1) dan karbohidrat netral dengan pewarnaan PAS (A2-E2) pada usus ayam ketawa, A. duodenum, B. yeyunum, C. ileum, D. sekum, E. kolon, Bar = 200 μm.
11 Pembahasan Usus pada ayam ketawa terbagi menjadi usus halus dan usus besar. Usus halus terdiri atas duodenum, yeyunum, dan ileum, sedangkan usus besar terdiri atas sepasang sekum, kolon, dan berakhir di kloaka. Kloaka merupakan saluran yang berfungsi sebagai jalan untuk pengeluaran dari tiga saluran yaitu digesti, reproduksi dan eksretori (Denbow 2000). Berdasarkan pengamatan usus ayam ketawa secara makroskopis, batas pasti antara duodenum, yeyunum, dan ileum tidak dapat teramati dengan jelas karena tidak ada perbedaan yang signifikan pada bentuk maupun diameter usus. Akan tetapi tiap bagian usus tersebut dapat dibedakan berdasarkan posisi yang mencirikan tiap bagian usus. Duodenum ayam ketawa membentuk lekukan seperti huruf U yang mengelilingi pankreas. Bentuk yang sama juga ditemukan pada duodenum gagak afrika (Igwebuike & Eze 2010), elang tikus (Hamdi et al. 2013), serta ayam lokal Nigeria (Mahmud et al. 2015). Yeyunum teramati sebagai bagian usus yang disatukan oleh mesenterium dengan banyak pembuluh darah. Ileum merupakan kelanjutan dari yeyunum ke arah distal yang posisinya terletak diantara sepasang sekum dan berakhir pada ileocaecal junction, yang kemudian dilanjutkan menjadi kolon. Organ kolon pada ayam dapat disebut sebagai kolorektum, rektum, atau hanya sebagai usus besar karena tidak terdapat pembagian usus besar menjadi kolon dan rektum seperti pada mamalia (Denbow 2000). Sekum pada spesies aves terbagi menjadi lima tipe berdasarkan morfologinya yaitu tipe intestinal, glandular, limfoid, vestigial, dan absen atau tidak memiliki sekum (Clench & Mathias 1995). Sekum ayam ketawa yang berukuran cukup panjang dan memiliki lumen yang semakin melebar pada bagian apeks dikategorikan sebagai tipe intestinal karena berbentuk seperti usus pada umumnya. Hal ini berbeda dengan sekum pada merpati dan kenari dengan tipe vistigial (McLelland 1990), elang tikus dengan tipe limfoid (Hamdi et al. 2013), serta walet Linchi (Evalina 2007) dan budgerigar (McLelland 1990) yang tidak memiliki sekum. Usus merupakan organ terpanjang dalam sistem pencernaan yang ukurannya dapat dipengaruhi oleh kebiasaan makan (eating habits) (Soeharsono 2010). Panjang usus pada ayam juga memiliki korelasi positif dengan berat badan (Ibrahim 2008). Menurut Fadilah (2004), usus ayam broiler umumnya memiliki panjang sekitar 150 cm. Hasil pengukuran panjang usus ayam ketawa lebih pendek dibandingkan panjang usus ayam broiler pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mabelebele et al. (2014) bahwa panjang usus ayam lokal lebih pendek jika dibandingkan ayam broiler serta didukung hasil pengukuran panjang usus ayam kampung oleh Sarwono et al. (2012) dengan rataan 95-107 cm. Pengamatan secara mikroskopis pada usus ayam ketawa dengan pewarnaan HE menunjukkan dinding usus ayam ketawa memiliki empat lapisan seperti struktur umum pada saluran pencernaan. Empat lapisan tersebut yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa (Ross & Pawlina 2011; Bacha & Bacha 2012). Dinding usus ayam ketawa membentuk struktur lipatan berupa vili dengan bentuk memanjang seperti jari dan ujung yang agak meruncing pada usus halus baik pada duodenum, yeyunum, maupun ileum. Bentuk vili yang sama ditemukan pada ayam hutan merah (Kadhim et al. 2010), ayam broiler (Nasrin et al. 2012) dan ayam kampung malaysia (Kadhim et al. 2014) yang memiliki
12 kekerabatan dekat dengan ayam ketawa. Bentuk vili pada sekum semakin memendek pada bagian ujungnya seperti yang ditemukan pada sekum broiler (Majeed et al. 2009), sedangkan pada kolon ditemukan vili seperti halnya di usus halus dengan ukuran yang lebih pendek dibandingkan vili usus halus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bacha & Bacha (2012) yang menyatakan bahwa struktur vili pada usus ayam dapat ditemukan di sepanjang dinding usus baik usus halus maupun usus besar. Struktur vili usus ayam ketawa dilapisi oleh sel-sel epitel silindris sebaris yang dilengkapi mikrovili serta ditemukan sel goblet diantara sel-sel epitel. Vili dan mikrovili pada usus berfungsi untuk memperluas permukaan usus saat terjadi proses penyerapan nutrisi (Aughey & Fyre 2001; Ross & Pawlina 2011). Jumlah sel goblet semakin meningkat dari duodenum ke arah kolon seperti yang ditemukan juga pada berbagai spesies lain diantaranya burung unta (Bezuidenhout & Van Aswegen 1990), burung walet linchi (Evalina 2007), burung makaw birukuning (Rodrigues et al. 2012), dan burung puyuh (Zaher et al. 2012). Di bawah struktur vili ditemukan kripta Lieberkuhn. Kripta Lieberkuhn mengandung sel-sel kelenjar intestinal yang berfungsi menghasilkan mukus yang mengandung berbagai enzim pencernaan serta menghasilkan sel epitel baru untuk menggantikan sel epitel rusak yang melapisi vili usus (Dellmann & Eurell 2006). Lamina propia dari mukosa usus ayam ketawa mengandung jaringan limfatik yang tersebar di sepanjang usus, baik pada usus halus maupun usus besar. Jaringan limfatik yang teramati dapat bersifat diffuse maupun yang berkumpul membentuk limfonodulus atau nodul limfatik. Jaringan limfatik tersebut merupakan komponen sistem imun yang termasuk ke dalam mucosa associated lymphatic tissue (MALT) (Rahman et al. 2003). Ditemukan caecal tonsil pada bagian pangkal sekum ayam ketawa yang memiliki banyak jaringan limfatik. Majeed et al. (2009) menyatakan bahwa caecal tonsil memiliki jumlah limfosit intraepitel paling banyak pada usus. Caecal tonsil juga ditemukan pada ayam lokal nigeria di bagian proksimal sekum sekitar 3 cm dari ileo-caecal junction (Mahmud et al. 2015), sedangkan pada elang tikus dengan sekum tipe limfoid, jaringan limfatik ditemukan di seluruh bagian sekum (Hamdi et al. 2013). Struktur caecal tonsil berbeda dengan daun peyer pada mamalia yang biasanya terletak pada submukosa ileum, namun memiliki fungsi yang serupa (Cunningham & Klein 2007). Lamina propia juga memiliki lapisan muskularis mukosa. Muskularis mukosa juga ditemukan pada usus ayam broiler yang teramati sebagai selapis otot longitudinal dan terletak di bawah kripta Lieberkuhn serta membatasi mukosa dan submukosa (Nasrin et al. 2012). Hal ini berbeda pada burung unta yang memiliki dua lapis otot yaitu otot longitudinal dan sirkuler sebagai muskularis mukosa (Bezuidenhout & Van Aswegen 1990). Submukosa pada usus ayam ketawa hanya teramati sebagai jaringan ikat yang sangat tipis bahkan terkadang sulit untuk terlihat. Hal yang sama juga ditemukan baik pada usus ayam broiler (Nasrin et al. 2012) maupun ayam lokal (Rahman et al. 2003; Mahmud et al. 2015). Kelenjar Brunner tidak ditemukan pada submukosa duodenum ayam ketawa yang umumnya dapat ditemukan pada duodenum mamalia (Dellmann & Eurell 2006). Submukosa yang tipis dan hanya berupa jaringan ikat longgar merupakan ciri khas dari histologi usus pada unggas yang membedakannya dengan mamalia (Bacha & Bacha 2012).
13 Muskularis eksterna pada usus ayam ketawa terdiri atas dua lapis otot yaitu otot sirkuler dan otot longitudinal. Hal ini sama dengan pernyataan Nasrin et al. (2012), Zaher et al. (2012), Igwebuike & Eze (2010), serta Rodrigues et al. (2012) yang melaporkan bahwa muskularis eksterna terdiri atas dua lapisan otot, yaitu lapisan tebal otot sirkuler pada bagian dalam dan lapisan tipis otot longitudinal pada bagian luar. Hal ini berbeda dengan Aughey & Fyre (2001) yang menyatakan bahwa dapat ditemukan lapisan otot sirkuler yang ketiga pada muskularis eksterna usus, seperti yang ditemukan pada muskularis eskterna dari segmen ileum burung makaw biru-kuning (Rodrigues et al. 2012). Lapisan serosa usus ayam ketawa terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung pembuluh darah. Serosa merupakan lapisan terluar dari struktur dinding usus yang berhubungan dengan mesenterium dimana terdapat pembuluh darah dan limfe serta syaraf untuk mencapai dinding usus (Ross & Pawlina 2011). Karbohidrat pada organisme merupakan makromolekul yang berperan sebagai unsur struktural dan penyangga misalnya menjadi komponen penyusun jaringan ikat, membran sel, maupun matrik ekstra sel (Nelson & Cox 2005). Organ usus memiliki lapisan mukus yang yang berfungsi melumasi dan melindungi mukosa (Montagne et al. 2004), serta mengandung karbohidrat kompleks, terutama dalam bentuk glikoprotein, garam anorganik (Keskin et al. 2012), proteoglikan, dan glikolipid (Kiernan 1990). Deteksi substansi karbohidat secara umum dapat dilakukan dengan metode histokimia dengan pewarnaan alcian blue (AB) dan periodic acid Schiff (PAS) (Adnyane et al. 2007; Myers et al. 2008). Pengamatan terhadap kandungan karbohidrat pada usus ayam ketawa menggunakan pewarnaan AB pH 2.5 untuk mendeteksi karbohidrat yang bersifat asam dan pewarnaan PAS untuk mendeteksi karbohidrat yang bersifat netral. Hasil positif terhadap kandungan karbohidrat asam maupun karbohidrat netral ditemukan pada sel-sel goblet epitel mukosa dan sel-sel kelenjar kripta Lieberkuhn yang merupakan sel penghasil mukus pada usus dengan intensitas yang berbeda-beda pada tiap segmen usus. Hasil positif terhadap kandungan karbohidrat asam dan netral pada sel goblet dan sel kelenjar kripta Lieberkuhn juga ditemukan pada burung walet Linchi (Evalina 2007), burung puyuh (Zaher et al. 2012) dan elang tikus (Hamdi et al. 2013). Wali & Khadim (2014) menyatakan sebagian besar sel penghasil mukus memiliki kombinasi kandungan karbohidrat asam dan netral, sedangkan beberapa sel mukus lainnya hanya mengandung karbohidrat asam. Kandungan karbohidrat pada mukus (mukopolisakarida) dibedakan menjadi karbohidrat asam dan karbohidrat netral. Karbohidrat asam contohnya asam hialuronat, khondroitin sulfat, hialuronosulfat, mukoitin sulfat, heparin, serta sialomusin. Karbohidrat netral contohnya glikogen, lipofuksin, glikoprotein, serta glikolipid (Kiernan 1990). Salah satu perbedaan antara mukopolisakarida asam dan netral terletak pada ada tidaknya gugus asam seperti karboksil dan sulfat yang dimiliki mukopolisakarida asam (Myers et al. 2008). Mukopolisakarida asam dan netral yang terdeteksi pada usus ayam ketawa dengan pewarnaan AB dan PAS tidak dapat diketahui secara spesifik, namun terdapat metode lain yang dapat diaplikasikan seperti histokimia lektin yang lebih spesifik dalam mengikat residu gula dan glikokonjugat pada jaringan (Boonsoongnern et al. 2007).
14 Mukopolisakarida netral berfungsi untuk menetralisasi dan melindungi mukosa saluran cerna dari asam lambung (Novelina 2003), sedangkan mukopolisakarida asam diduga berfungsi dalam perlawanan terhadap patogen (Montagne et al. 2004). Menurut Ito (1964), mukopolisakarida ikut berperan dalam membantu proses hidrolisis untuk mencerna disakarida, sedangkan glikoprotein berfungsi menginisiasi proses penyerapan nutrisi (Chikilian & De Speroni 1996). Hasil pengamatan juga menunjukkan intensitas karbohidrat yang dihasilkan sel goblet lebih banyak ditemukan pada usus di bagian kaudal, terutama pada kolon. Hal tersebut diduga berkaitan dengan fungsi sel goblet yang menghasilkan mukus untuk memudahkan proses defekasi (Ahmed et al. 2009).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Usus ayam ketawa secara makroskopis memiliki duodenum yang membentuk lekukan seperti huruf U mengelilingi pankreas serta sepasang sekum dengan tipe intestinal. Dinding usus ayam ketawa secara mikroskopis terbagi menjadi lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa. Lapisan mukosa pada sekum memiliki caecal tonsil yang mengandung banyak jaringan limfatik. Lapisan submukosa hanya berupa jaringan ikat longgar yang sangat tipis, serta tidak ditemukan kelenjar Brunner pada submukosa duodenum yang biasa ditemukan pada duodenum mamalia. Karbohidrat yang terdapat pada usus ayam ketawa yaitu karbohidrat asam dan netral. Karbohidrat tersebut ditemukan pada sel goblet dan sel kelenjar di kripta Lieberkuhn setiap segmen usus. Intensitas karbohidrat semakin kuat pada daerah kaudal, terutama pada kolon. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tidak ditemukan perbedaan pada struktur organ usus ayam ketawa dengan uggas pada umumnya baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Saran Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap organ usus ayam ketawa misalnya penelitian mengenai perkembangan vili untuk mengetahui tingkat efektifitas pencernaan maupun deteksi terhadap kandungan karbohidrat spesifik pada usus ayam ketawa menggunakan teknik histokimia lektin.
15
DAFTAR PUSTAKA Adnyane IKM, Agungpriyono S, Ermansyah L. 2007. Morfologi kelenjar mandibularis dan lingualis ayam (Gallus sp) dan burung puyuh (Coturnix coturnix): dengan tinjauan khusus pada distribusi dan kandungan karbohidrat. MKH. 23:132-205. Ahmed YA, El-Hafez EAA, Zayed EA. 2009. Histological and histochemical studies on the esophagus, stomach and small intestines of Varanus niloticus. J Vet Anat. 2:35-48. Ali MSH. 2015. Morfologi kelenjar mandibularis dan lingualis ayam ketawa dan ayam kampung (Gallus gallus domesticus) dengan tinjauan khusus pada distribusi dan kandungan karbohidrat [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical Correlates. London (GB): Manson Publishing. Bacha WJ, Bacha LM. 2012. Color Atlas of Veterinary Histology, Third Edition. West Sussex (GB): John Wiley and Sons. Bezuidenhout AJ, Van Aswegen G. 1990. A light microscopic and immunocytochemical study of the gastrointestinal tract of the ostrich (Struthio camelus L.). Onderstepoort J Vet Res. 57:37-48. Boonsoongnern P, Saengprapaitip K, Srisai D, Suprasert A. 2007. Glycoconjugates characterization in jejunal goblet cell of the chicken by means of lectin histochemistry. Kasetsart Vet. 17:73-79. Bugiwati SRA, Ashari F. 2013. Crowing sound analysis of Gaga’ chicken: local chicken from South Sulawesi Indonesia. IJPAES. 3:163-168. Bugiwati SRA, Harada H, Dagong MIA, Rahim L, Prahesti KI. 2013. Study of body dimension of Gaga’ chicken, germ plasm of local chicken from South Sulawesi Indonesia. IJPAES. 3:204-209. Chikilian M, De Speroni NB. 1996. Comparative study of the digestive system of three species of Tinamou. I. Crypturellus tataupa, Nothoprocta cinerascens and Nothura maculosa (Aves: Tinamidae). J Morphol. 228:77-88. Clench MH, Mathias JR. 1995. The avian caecum: a review. Wilson Bull. 107:93121. Cunningham JG, Klein BG. 2007. Textbook of Veterinary Physiology, Fourth Edition. Missouri (US): Saunders Elsevier. Dellmann HD, Eurell J. 2006. Textbook of Veterinary Histology, Sixth Edition. London (GB): Blackwell Publishing. Denbow DM. 2000. Gastrointestinal anatomy and physiology. Di dalam: Whittow GC, editor. Strukie’s Avian Physiology, Fifth Edition. London (GB): Academic Pr. Evalina. 2007. Kajian morfologi saluran pencernaan burung walet linchi (Collocalia linchi) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fadilah R. 2004. Panduan Mengelola Peternakan Ayam Broiler Komersial. Depok (ID): Agromedia Pustaka.
16 Fastasqi. 2012. Perbedaan morfometrik ukuran tubuh ayam ketawa, pelung dan kampung melalui analisis diskriminan Fisher, Wald-Anderson, dan jarak minimum mahalanobis [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gamble M. 2008. The hematoxylins and eosin. Di dalam: Bancroft JD, Gamble M, editor. Theory and Practice of Histological Techniques, Sixth Edition. London(GB): Churchill Livingstone, Elsevier. Gauthier R. 2002. Intestinal health, the key to productivity (The case of organic acid). XXVII Convencion ANECA-WPDC; 2002 Apr 30; Puerto Vallarata, Cacada. Puerto Vallarata (CA): Jefo Nutrition. Gusni UA. 2015. Gambaran histologi proventrikulus ayam ketawa dengan tinjauan khusus pada kandungan karbohidrat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hamdi H, El-Ghareeb AW, Zaher M, AbuAmod F. 2013. Anatomical, histological and histochemical adaptations of the avian alimentary canal to their food habits: II- Elanus caeruleus. Int J Sci Engineer Res. 4:1355-1364. Ibrahim S. 2008. Hubungan ukuran-ukuran usus halus dengan berat badan broiler. Agripet. 8:42-46. Igwebuike UM, Eze UU. 2010. Morphological characteristics of the small intestine of the african pied crow (Corvus albus). ARI. 7:1116-1120. Ito S. 1964. The surface coating of enteric microvilli. Anat Rec. 148:249-159. Jacob J, Pescatore T, Cantor A. 2011. Avian digestive system. Lexington (US): Cooperative Extention Service, University of Kentucky. Junaedi. 2012. Kajian bioakustik tipe suara ayam Gaga’ [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Kadhim KK, Zuki ABZ, Noordin MM, Babjee SMA, Khamas W. 2010. Light and sanning electron microscopy of the intestine of young red jungle fowl (Gallus gallus). J Anim Vet Adv. 9:2729-2737. Kadhim KK, Zuki ABZ, Noordin MM, Babjee SMA, Saad MZ. 2014. Light and scanning electron microscopy of the small intestine of young malaysian village chicken and commercial broiler. Pertanika J Trop Agric Sci. 37:51-64. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2011. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2920/Kpts/OT.140/6/2011 tentang Penetapan Rumpun Ayam Gaga. Jakarta (ID): Kementan. Keskin N, Ili P, Sahin B. 2012. Histochemical demonstration of mucosubstance in the mouse gastrointestinal tract treated with Organum hypericifolium O Schwartz and PH Davis extract. Afr J Biotechnol. 11: 2436-2444. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. New York (US): Pergamon Press. Kuswardani WFA. 2012. Studi ukuran dan bentuk tubuh ayam ketawa, ayam pelung dan ayam kampung melalui analisis komponen utama [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mabelebele M, Alabi OJ, Ng’ambi JW, Norris D, Ginindza MM. 2014. Comparison of gastrointestinal tracts and pH values of digestive organs of ross 308 broiler and indigenous venda chickens fed the same diet. AJAVA. 9:71-76.
17 Mahmud MA, Shaba P, Shehu SA, Danmaigoro A, Gana J, Abdussalam W. 2015. Gross morphological and morphometric studies on digestive tracts of three nigerian indigenous genotypes of chicken with special reference to sexual dimorphism. J World's Poult Res. 5:32-41. Majeed MF, Al-Asadi FS, Al Nassir AN, Rahi EH. 2009. The morphological and histological study of the caecum in broiler chicken. Bas J Vet Res. 8:19-25. McLelland J. 1990. A Colour Atlas of Avian Anatomy. London (GB): Wolfe Publishing. Montagne L, Piel C, Lalles JP. 2004. Effect of diet on mucin kinetic and composition: nutrition and health implications. Nutr Rev. 62:105-114. Myers RB, Fredenburgh JL, Grizzle WE. 2008. Carbohydrates. Di dalam: Bancroft JD, Gamble M, editor. Theory and Practice of Histological Techniques, Sixth Edition. London(GB): Churchill Livingstone, Elsevier. Nasrin M, Siddiqi MNH, Masum MA, Wares MA. 2012. Gross and histological studies of digestive tract of broilers during postnatal growth and development. J Bangladesh Agril Univ. 10:69-77. Nataamijaya AG. 2000. The native chickens of Indonesia. Bul Plasma Nutfah. 6:1-6. Nataamijaya AG. 2010. Pengembangan potensi ayam lokal untuk menunjang peningkatan kesejahteraan petani. J Litbang Per. 29:131-138. Nelson DL, Cox MM. 2005. Lehninger Principles of Biochemistry, Fourth Edition. NewYork (US): Freeman and Company. Novelina S. 2003. Studi morfologi saluran pencernaan burung walet sarang putih (Collocalia fuciphaga) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Prawira AY. 2014. Struktur anatomi syrinx pada ayam ketawa [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Rahman ML, Islam MR, Masuduzzaman M, Khan MZI. 2003. Lymphoid tissues in the digestive tract of deshi chicken (Gallus domesticus) in Bangladesh. Pak J Biol Sci. 6:1145-1150. Rodrigues MN, Abreu JAP, Tivane1 C, Wagner PG, Campos DB, Guerra RR, Rici REG, Miglino MA. 2012. Microscopical study of the digestive tract of blue and yellow macaws. Di dalam: Méndez-Vilas A, editor. Current Microscopy Contributions to Advances in Science and Technology. Badajoz (ES): Formatex Research Center. Ross MH, Pawlina W. 2011. Histology A Text and Atlas: with Correlated Cell and Molecular Biology. Ed ke-6. Philadelphia (US): Lippincott William and Wilkins. Rusfidra, Arlina F. 2014. A review of “long crower chickens” as poultry genetic resources in Indonesia. Int J Poult Sci. 13:665-669. Sartika T, Iskandar S. 2008. Mengenal Plasma Nutfah Ayam Indonesia dan Pemanfaatannya. Sukabumi (ID): Kepraks. Sarwono SR, Yudiarti T, Suprijatna E. 2012. Pengaruh pemberian probiotik terhadap trigliserida darah, lemak abdominal, bobot dan panjang saluran pencernaan ayam kampung. Animal Agriculture J. 1:157-167.
18 Soeharsono. 2010. Fisiologi Ternak. Bandung (ID): Widya Padjadjaran. Sudiro F. 2002. Aneka Ayam Hias dan Piaraan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Suharno B. 2002. Agribisnis Ayam Buras. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Sulandari S, Zein MSA, Paryanti S, Sartika T. 2007. Taksonomi dan asal-usul ayam domestikasi. Di dalam: Dwiyanto K, Prijono SN, editor. Keanekaragaman Sumber Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi. Bogor (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Wali ON, Kadhim KK. 2014. Histomorphological comparison of proventriculus and small intestine of heavy and light line pre- and at hatching. Int J Anim Vet Adv. 6:40-47. Zaher M, El-Ghareeb AW, Hamdi H, Amod FA. 2012. Anatomical, histological and histochemical adaptations of the avian alimentary canal to their food habits: I-Coturnix coturnix. Life Sci J. 9:253-275.
19 Lampiran 1 Pewarnaan hematoksilin eosin (HE) Pewarnaan hematoksilin eosin merupakan pewarnaan standar untuk mengetahui struktur umum sel maupun jaringan dalam suatu organ. Tahapan pewarnaan hematoksilin eosin adalah sebagai berikut: 1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi 100% (III, II, dan I), 95%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3-5 menit. 3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian dibersihkan dengan cara direndam dalam akuades selama 5 menit. 4. Preparat diwarnai dengan hematoksilin selama 3-5 menit kemudian direndam di dalam air keran selama beberapa saat. 5. Warna yang dihasilkan dikrontrol di bawah mikroskop. Jika warna ungu yang dihasilkan kurang kontras, maka preparat dicelupkan kembali ke dalam pewarna hematoksilin selama 3-5 detik. Namun jika warnanya terlalu ungu maka preparat dapat dicelupkan dalam pemucat hematoksilin (0.5% HCl dalam 70% alkohol) 1-2 kali. 6. Preparat kembali direndam di dalam air keran selama 10 menit lalu direndam di dalam akuades selama 5 menit. 7. Preparat diwarnai dengan eosin selama 1-2 menit. 8. Dehidrasi preparat dengan alkohol bertingkat dimulai dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, dan 100% (I, II, dan III) masing-masing 3-5 kali celup. 9. Preparat dijernihkan (clearing) dengan larutan xylol I, II, dan III masingmasing selama 3-5 menit. 10. Penutupan preparat dengan cover glass menggunakan entellan® sebagai perekat (proses mounting). Hasil pengamatan histologis: inti berwarna biru hingga ungu, sitoplasma, kolagen, keratin dan eritrosit berwarna merah. Sumber: Laboratorium Histologi FKH IPB 2000
20 Lampiran 2 Pewarnaan alcian blue (AB) pH 2.5 Pewarnaan AB bertujuan untuk mendeteksi karbohidrat asam pada jaringan. Pewarna AB dengan pH 2.5 dapat mewarnai mukosubstan sulfat dan karboksilat. Prosedur pewarnaan AB adalah sebagai berikut: 1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi 100% (III, II, dan I), 95%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3-5 menit. 3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian dibersihkan dengan cara direndam dalam akuades selama 5 menit. 4. Penurunan pH dengan merendamkan preparat ke dalam larutan asam asetat 3% pada suhu kamar selama 5 menit. 5. Preparat diwarnai dengan alcian blue (AB) pH 2.5 selama 30 menit. 6. Preparat dicuci dengan asam asetat 3% selama 3×@ 5 menit, lalu dibilas dengan akuades selama 3×@ 5 menit. 7. Preparat dicelupkan dalam counterstain (nuclear fast red). Intensitas warna dikontrol di bawah mikroskop. 8. Preparat dicuci dengan akuades selama 5 menit. 9. Dehidrasi preparat dengan alkohol bertingkat (3-5 kali celup) dan clearing dengan xylol (2-3 menit) pada rak khusus pewarnaan AB-PAS. 10. Penutupan preparat dengan cover glass menggunakan entellan® sebagai perekat (proses mounting). Hasil positif AB: mukopolisakarida asam berwarna biru Sumber : Laboratorium Histologi FKH IPB 2000
21 Lampiran 3 Pewarnaan periodic acid Schiff (PAS) Pewarnaan PAS digunakan untuk mendeteksi karbohidrat netral. Prosedur pewarnaan PAS adalah sebagai berikut: 1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi 100% (III, II, dan I), 95%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3-5 menit. 3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian dibersihkan dengan cara direndam dalam akuades selama 5 menit. 4. Preparat dioksidasi di dalam larutan 0.5% periodic acid selama 5 menit pada suhu kamar. Kemudian dibilas dengan akuades selama 3×@ 5 menit. 5. Preparat direndam di dalam Schiff’s reagen selama 15-20 menit. 6. Preparat direndam dalam air sulfit selama 3×@ 5 menit dan kemudian dibilas dengan akuades selama 3×@ 5 menit. 7. Preparat dicelupkan dalam counterstain (mayer hematoksilin). Intensitas warna dikontrol di bawah mikroskop. 8. Preparat dicuci dengan air keran selama 10 menit lalu dibilas dengan akuades selama 2×@ 5 menit. 9. Dehidrasi preparat dengan alkohol bertingkat (3-5 kali celup) dan clearing dengan xylol (2-3 menit) pada rak khusus pewarnaan AB-PAS. 10. Penutupan preparat dengan cover glass menggunakan entellan® sebagai perekat (proses mounting). Hasil positif PAS: mukopolisakarida netral berwarna merah magenta Sumber: Laboratorium Histologi FKH IPB 2000
22
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bengkulu, 06 Mei 1995 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Usman (ayah) dan Isnaini (ibu). Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 73 Kota Bengkulu pada tahun 2001-2007, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Kota Bengkulu pada tahun 20072009, serta pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Kota Bengkulu pada tahun 2009-2011. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor setelah diterima melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Jalur Tertulis sejak tahun 2011. Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti organisasi dalam kampus diantaranya Dewan Keluarga Mushola (DKM) An-Nahl FKH IPB dan Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Ruminansia FKH IPB. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada matakuliah Anatomi Veteriner II dan Anatomi Topografi Kuda (T.A 2013–2014) serta mengikuti magang kerja liburan di Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang dan Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan. Selama kuliah penulis pernah menerima beasiswa PPA pada tahun 2014 dan 2015 serta menjadi mahasiswa berprestasi FKH peringkat ke 5 tahun 2015.