POTENSI METODE KLASIFIKASI LINIER SEBAGAI PENGUKUR PRODUKTIVITAS SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG
RICCO SYAH PUTRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Metode Klasifikasi Linear sebagai Pengukur Produktivitas Sapi Perah di Kecamatan Lembang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013 Ricco Syah Putra NIM B04080120
ABSTRAK RICCO SYAH PUTRA. Potensi Metode Klasifikasi Linear sebagai Pengukur Produktivitas Sapi Perah di Kecamatan Lembang. Dibimbing oleh RP AGUS LELANA. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan potensi metode linear klasifikasi dalam pengukuran produksi susu pada sapi perah. Sebanyak 99 sapi perah di Lembang digunakan dalam penelitian ini. Pengukuran klasifikasi linear hanya dilakukan terhadap 7 ciri-ciri yaitu panjang puting, pertautan ambing depan, letak puting depan, kedalaman ambing, tinggi ambing belakang, ligamentum tengah, dan letak puting belakang. Penilaian setiap ciri dikategorikan dalam 3 skala. Selain itu, dicatat jumlah produksi susu dan masa laktasi. Data dianalisis secara deskriptif dan dikorelasikan terhadap 7 ciri dan jumlah produksi susu. Hasil menunjukkan bahwa klasifikasi linear paling banyak terdapat pada kategori sedang. Korelasi yang signifikan (p<0.05) antara klasifikasi linear dan produksi susu hanya ditemukan pada pertautan ambing depan (r=-0.269), kedalaman ambing (r=-0.283), dan ligamentum tengah (r=0.234). Penelitian ini menunjukkan bahwa klasifikasi linear berpotensi sebagai pengukur produktivitas sapi perah, namun perlu penelitian dengan pengamatan pada hewan yang sama sepanjang masa laktasi untuk memperkuat hipotesis ini. Kata kunci: klasifikasi linear, produksi susu
ABSTRACT RICCO SYAH PUTRA. Potency of Linear Classification Method as Measurement of Dairy Cattle Productivity in Lembang. Supervised by RP AGUS LELANA. The aim of this study is to determine the potency of linear classification method for predicting measurement level of milk production in dairy cattle. Total of 98 dairy cows in Lembang was involved in this research. The measurement on linear classification include 7 traits, i.e., teat length, fore udder attachment, front teat placement, udder depth, rear udder height, central ligament, and rear teat position. The results were categorized in 3 scales. To explore the potency of linear classification method as predictor of milk production, the sampling were conducted on milk production yielded level lactation period. The data was analysed descriptively and the correlation between the 7 traits and milk production was calculated. The result showed that most of linear classification was categorized as middle scales. The significant correlation (p<0.05) between linear classification and milk production was only found in fore udder attachment (r=0.269), udder depth (r=-0.283), and central ligament (r=0.234). This study shows
that classification of linear potential as a measure of the productivity of dairy cows, but need to study with observations on the same animal during lactation to reinforce this hypothesis.Key words: linear classification, milk production.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhkarya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
POTENSI METODE KLASIFIKASI LINIER SEBAGAI PENGUKUR PRODUKTIVITAS SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG
RICCO SYAH PUTRA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama NRP
: Potensi Metode Klasifikasi Linear sebagai Produktivitas Sapi Perah di Kecamatan Lembang : Ricco Syah Putra : B04080120
Disetujui oleh
Dr Drh R P Agus Lelana, SpMP, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Drh Agus Setiyono MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
Pengukur
Judul Skripsi Nama NRP
Potensi Metode Klasifikasi Linear sebagai Produktivitas Sapi Perah di Kecamatan Lembang Ricco Syah Putra B04080]20
Disetujui oleh
Dr Drh R P Agus Lelana, SpMP, MS
Pembimbing
APVet
Tanggal Lulus:
n9 SEP
LO \~
Pengukur
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli 2012 ini ialah produktivitas sapi perah, dengan judul Potensi Metode Klasifikasi Linear sebagai Pengukur Produktivitas Sapi Perah di Kecamatan Lembang. Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP, MS selaku pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.med.vet. Drh Ahmad Arif Amin selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Pammusureng atas bantuan dan arahannya selama penelitian. Kepada Bapak Dr.med.vet. drh Denny Widaya Lukman, MSi diucapkan terima kasih atas saran dan dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, serta sahabat-sahabat sepenelitian dan Angkatan 45 dan 46 atas semangat yang terus diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Agustus 2013 Ricco Syah Putra
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
1
Manfaat
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Karakteristik Sapi Friesian Holstein
2
Produksi Susu Sapi Perah
2
Klasifikasi Linear
3
METODE
3
Lokasi dan Waktu
3
Alat dan Bahan
3
Metode Penelitian
4
Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Panjang Puting
5
Letak Puting Depan
6
Pertautan Ambing Depan
6
Kedalaman Ambing
7
Tinggi Ambing Belakang
8
Ligamentum Tengah
8
Letak Puting Belakang
9
Produksi Susu
9
Hubungan Antara Klasifikasi Linear dan Produksi susu
10
SIMPULAN DAN SARAN
11
DAFTAR PUSTAKA
12
LAMPIRAN
14
RIWAYAT HIDUP
16
DAFTAR TABEL 1 Jumlah sapi perah di Desa Sukajaya
4
2 Skala panjang puting berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang
5
3 Skala letak puting depan berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang
6
4 Skala pertautan ambing depan berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang
7
5 Skala kedalaman ambing berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang
7
6 Skala tinggi ambing belakang berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang
8
7 Skala ligamentum tengah berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang
8
8 Skala letak puting belakang berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang
9
9 Rata-rata produksi susu di Desa Sukjaya 10 Hubungan antara komponen klasifikasi linear dan produksi susu di Lembang
10 11
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner untuk peternak sapi perah
15
PENDAHULUAN Latar Belakang Susu merupakan salah satu komoditas peternakan yang mempunyai kandungan protein hewani yang berkualitas. Pada dasarnya, antara persediaan dan permintan susu di Indonesia terjadi kesenjangan yang cukup besar. Kebutuhan akan susu lebih besar daripada ketersediaan produksi susu dalam negeri. Kebutuhan akan susu di Indonesia sebesar 5 kg/kapita/tahun, tetapi baru terpenuhi dari dalam negeri sekitar 32% dan sisanya 68% diimpor dari luar negeri. Untuk memenuhi kebutuhan susu dari dalam negeri, perlu dilakukan upaya peningkatan produksi susu dengan cara peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah. Produktivitas sapi perah dipengaruhi oleh mutu genetik, faktor lingkungan, dan interaksi antara keduanya. Faktor lingkungan berperan besar, yaitu sekitar 70% dibandingkan dengan faktor genetik. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu terdiri dari faktor lingkungan ekstenal dan internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berpengaruh dari luar tubuh ternak diantaranya iklim, pakan, dan manajemen, sedangkan faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam tubuh sapi atau termasuk dalam aspek biologis dari sapi tersebut diantaranya masa laktasi, masa kering kandang, masa kosong, dan selang beranak. World Holstein Friesian Federation (WHFF) telah menetapkan sistem penilaian standar peringkat sapi perah Friesian-Holstein (FH) berdasarkan 16 parameter yang dinilai secara objektif (WHFF 2005). Penilaian ini bermanfaat untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas sapi perah. Lembang merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah di Jawa Barat. Populasi sapi perah di Lembang pada tahun 2011 mencapai 20 789 ekor dengan produksi susu sebanyak 98 500 liter per hari (KPSBU 2011). Potensi populasi dan produksi sapi perah yang besar menjadikan Lembang sebagai sentra produksi susu dan prospektif dalam pengembangan peternakan sapi perah. Peternakan sapi perah di Lembang merupakan peternakan rakyat yang tergabung dalam wadah Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Bandung.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi metode klasifikasi linear terhadap pengukuran produksi susu pada sapi perah.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan usaha ternak sapi perah dan peningkatan produksi susu.
2
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Sapi Friesian Holstein Bangsa sapi perah FH adalah bangsa sapi perah yang sangat menonjol di Amerika Serikat yang jumlahnya cukup banyak. Sapi FH berasal dari Negeri Belanda yaitu Provinsi Holand Utara dan Friesland Barat (Blakely dan Bade 1994). Sapi FH murni memiliki warna rambut hitam dan putih (black and white) atau merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas (Sudono 1999). Sapi FH memiliki karakteristik warna rambut putih pada dahi yang berbentuk segitiga, kaki bagian bawah, dan ekor; bertanduk pendek yang menjulur ke depan; bersifat tenang dan jinak; tidak tahan panas, namun cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sapi ini termasuk bangsa sapi yang besar, berat dewasa mencapai 800-900 kg untuk jantan dan 550-650 kg untuk betina (Ginting dan Sitepu 1989). Bobot anak sapi yang baru dilahirkan mencapai 43 kg. Betina beranak pertama kali pada umur 28-32 bulan, kemudian dapat melahirkan kembali setiap 13-14 bulan. Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, akan tetapi mengandung kadar lemak susu yang rendah. Produksi susu sapi FH di Amerika Serikat rata-rata 7 245 kg /laktasi dengan kadar lemak 3.65%, sementara rataan produksi susu di Indonesia sekitar 3 050 kg/laktasi (Sudono 1999).
Produksi Susu Sapi Perah Sapi perah dipelihara untuk menghasilkan susu, sehingga produktivitas sapi perah ditentukan oleh jumlah susu yang dihasilkan. Susu merupakan suatu bahan makanan alami yang mendekati sempurna dengan kandungan protein, mineral, dan vitamin yang tinggi, sehingga susu merupakan sumber makanan yang esensial (Blakely dan Bade 1994). Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah 6 minggu masa laktasi sampai mencapai produksi maksimum, setelah itu terjadi penurunan produksi secara bertahap sampai akhir masa laktasi. Penurunan produksi susu terjadi setelah mencapai puncak laktasi, kira-kira 6% setiap bulannya (Blakely dan Bade 1994). Produksi puncak tergantung pada kondisi tubuh induk pada saat melahirkan, genetik, metabolisme, infeksi penyakit, dan kualitas pakan (Schmidt et al. 1988). Induk yang mengalami penurunan produksi setelah puncak produksi berarti mempunyai persistensi yang rendah. Persistensi produksi adalah kemampuan sapi induk untuk mempertahankan produksi tinggi selama masa laktasi, yang dipengaruhi antara lain oleh umur, kondisi saat beranak, lama masa kering kandang sebelumnya, serta kualitas dan kuantitas pakan (Blakely dan Bade 1994). Produksi susu total setiap laktasi bervariasi, namum umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun atau pada laktasi ke-3 dan ke-4. Umur sapi yang semakin bertambah menyebabkan penurunan produksi secara perlahan. Produksi susu pada laktasi pertama sekitar 70%, laktasi kedua 80%, laktasi ketiga
3 90%, laktasi keempat 95% dari total produksi susu dengan selang beranak 12 bulan dan beranak pertama pada umur 2 tahun (Ensminger 1971).
Klasifikasi Linear Pada tahun 1986 The European Holstein-Friesian Federation (EHFF) membentuk kelompok kerja untuk menguji harmonisasi sistem klasifikasi jenis, dengan tujuan mempersiapkan rekomendiasi untuk harmonisasi klasifikasi jenis termasuk definisi ciri-ciri, klasifikasi sistem, publikasi dan evaluasi. Ciri-ciri jenis linear (linear type traits) merupakan dasar dari semua sistem klasifikasi jenis yang modern dan dasar semua sistem yang mendeskripsikan sapi perah. Klasifikasi linear didasari pada pengukuran ciri-ciri jenis individu sapi dari pada pendapat penilai. Kelebihan penilaian linear ini adalah (1) ciri-ciri dinilai (skor) secara individu, (2) skor mencakup rentang biologis, (3) variasi dalam ciri dapat diidentifikasi, dan (4) peringkat (degree) yang dinilai/dicatat (WHFF 2005). Menurut WHFF (2005) ciri-ciri standar yang diukur berdasarkan ciri-ciri standar internasional meliputi (1) tinggi badan (stature), (2) lebar dada (chest width), (3) kedalaman tubuh (body depth), (4) angularity, (5) sudut pinggul (rump angle), (6) lebar pinggul (rump width), (7) kaki belakang dilihat dari belakang (rear legs rear view), (8) bentuk kaki belakang (rear legs set), (9) sudut kuku (foot angle), (10) pertautan ambing depan (fore udder attachment), (11) letak puting depan (front teat placement), (12) panjang puting (teat length), (13) kedalaman ambing (udder depth), (14) tinggi ambing belakang (rear udder height), (15) ligamentum tengah (central ligament), dan (16) posisi puting belakang (rear teat position).
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Sukajaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Penelitian berlangsung selama 3 minggu pada bulan Juli 2012.
Alat dan Bahan Sapi Perah Penelitian ini menggunakan sapi perah FH betina sebanyak 99 ekor, yang sedang laktasi, milik peternak rakyat di Desa Sukajaya yang tergabung dalam anggota KPSBU Lembang, Bandung. Jumlah dan komposisi sapi perah di Desa Sukajaya KPSBU Lembang terdapat pada Tabel 1.
4 Tabel 1 Jumlah sapi perah di Desa Sukajaya KPSBU Lembang Status fisologis sapi perah
Jumlah (ekor)
Sapi Induk -
Kosong
196
-
Bunting 2-6 bulan
146
-
Bunting 7-9 bulan
50
Sapi Dara -
Kosong
119
-
Bunting 2-6 bulan
15
-
Bunting 7-9 bulan
5
-
Jantan
47
-
Betina
73
Jantan dewasa
21
Pedet
Jumlah
672
Sumber KPSBU (2011)
Peralatan Peralatan yang digunakan adalah alat tulis dan pita ukur dengan satuan terkecil 0.1 cm.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan data primer yang didapatkan dengan cara pengamatan, pengukuran dan wawancara secara langsung dengan peternak. Data primer yang diambil adalah data sapi perah. Pengambilan data meliputi nama peternak, nomor sapi, masa laktasi (bulan laktasi), jumlah konsentrat (kg/hari), jumlah hijauan (kg/hari), dan jumlah produksi susu (liter/hari). Data primer lain yang diambil adalah ciri klasifikasi linear yang diperoleh dengan melakukan pengamatan secara visual dan melakukuan pengukuran langsung dengan pita ukur pada tiap individu sapi perah. Penilaian terhadap ciriciri klasifikasi linear dikategorikan dalam 3 skala, yaitu kurang baik dengan skala 1-3, normal dengan skala 4-6, dan sempurna dengan skala 7-9. Ciri klasifikasi linear yang diukur pada penelitian ini ada 7 sifat luar yaitu pertautan ambing belakang, tinggi ambing belakang, posisi putting belakang, ligamentum tengah, kedalaman ambing, letak putting depan,dan panjang puting. Pertautan ambing depan ditentukan berdasarkan pengamatan ambing dari samping dan menilai kekuatan ligamen bagian luar. Evaluasi ini sangat penting, karena akan menilai kekuatan perlekatan ambing dan kemudahan diperah. Tinggi ambing belakang, penilaian dilakukan dari belakang sapi. Perlekatan ambing menentukan tingi rendahnya ambing. Sifat ini menunjukkan kapasitas ambing.
5 Posisi puting belakang, sifat ini menunjukkan kapasitas ambing dan kemampuan ambing dalam memproduksi susu. Ligamentum tengah, penilaian dilakukan terhadap ambing bagian bawah, dilakukan dari belakang sapi, yang meliputi kedalaman dari ligamen yang menyangga ambing yang memanjang dari depan ke belakang yang terletak di tengah-tengah ambing. Kedalaman ambing digambarkan sebagai posisi relatif dan dasar ambing terhadap sendi tumit dan terhadap garis horisontal. Letak puting depan dinilai berdasarkan kedudukan putting sapi dari belakang sapi. Puting susu yang baik memudahkan proses pemerahan. Panjang puting ditujukan untuk mengevaluasi panjang putting sapi perah. Jika panjang puting setiap kuartir tidak sama, maka panjang puting yang diukur adalah puting yang terpanjang.
Analisis Data Data hasil pengukuran klasifikasi linear dan produksi susu dianalisis secara deskriptif, serta korelasi antara klasifikasi linear dan produksi susu menggunakan program SPSS 16 dan Microsoft Excel 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN Panjang Puting Hampir semua (99%; n=98) panjang puting sapi perah di Lembang termasuk pada skala sedang (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, panjang puting dengan skala sedang paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (30.3%; n=30) dan diikuti laktasi ke-3 (18.2%; n=18), laktasi ke-1 (15.2%; n=15), laktasi ke-4 dan 5.(11.1%; n=11). Panjang puting lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2
Skala panjang puting berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang Laktasi ke1 (n=15)
2 (n=30)
3 (n=18)
4 (n=11)
5 (n=12)
6 (n=7)
7 (n=4)
8 (n=1)
9 (n=1)
Total (n=99)
1-3 (pendek)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
4-6 (sedang)
15 (15.2%)
30 (30.3%)
18 (18.2%)
11 (11.1%)
11 (11.1%)
7 (4.0%)
4 (4.0%)
1 (1.0%)
1 (1.0%)
98 (99.0%)
7-9 (panjang)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
Skala
Panjang puting dipengaruhi oleh genetik dan cara pemerahan. Cara pemerahan manual dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu metode whole hand dan metode strip. Rata-rata peternak di Lembang menggunakan metode strip (pemerahan dengan dua jari sambil menarik puting), yang dapat menyebabkan puting menjadi lebih panjang. Zwertvaegher et al. (2012) menyatakan bahwa panjang puting bergantung pada jenis sapi, yang mana diameter puting pada sapi
6 Furstenberg Rosette 1 cm lebih tidak berbeda nyata dengan sapi Holstein, Brown Swiss, Simmental dan persilangannya. Puting susu belakang biasanya lebih pendek dibandingkan dengan puting susu depan. Puting susu yang pendek lebih menguntungkan dibanding dengan yang panjang, karena dalam pengguaan mesin milk-flow rate-nya lebih cepat, dengan kata lain sapi dengan puting panjang diperah lebih lama dari pada puting pendek (Bath et al. 1985). Letak Puting Depan Umumnya (83.8%; n=83) letak puting depan sapi perah di Lembang termasuk dalam puting yang terletak di tengah kuartir (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, panjang puting yang terletak ditengah kuartir paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (25.3%; n=25) dan diikuti laktasi ke-3 (16.2%; n=16), laktasi ke-1 (13.1%; n=13), dan laktasi ke-5 (9.1%; n=9). Skala letak puting lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3. Letak puting merupakan sifat fisik terpenting kedua dalam karakteristik ambing. Puting yang terletak di tengah kuartir akan lebih mudah untuk diperah (Stamschror et al. 2000). Letak puting dipengaruhi pula oleh cara pemerahan manual. Hampir semua pemerahan di Lembang dilakukan secara manual, dengan posisi wadah penampung susu dan pemerah berada di lateral sapi, sehingga puting diperah ke arah lateral. Selain itu, pada saat laktasi adanya penarikan puting oleh anak sapi ke arah lateral.
Tabel 3 Skala letak puting depan berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang Laktasi ke1 (n=15)
2 (n=30)
3 (n=18)
4 (n=11)
5 (n=12)
6 (n=7)
7 (n=4)
8 (n=1)
9 (n=1)
Total (n=99)
1-3 (di luar kuartir)
2 (2.0%)
4 (4.0%)
2 (2.0%)
2 (2.0%)
2 (2.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
13 (13.1%)
4-6 (di tengah kuartir)
13 (13.1%)
25 (25.3%)
16 (16.2%)
8 (8.1%)
9 (9.1%)
7 (7.1%)
3 (3.0%)
1 (1.0%)
1 (1.0%)
83 (83.8%)
7-9 (di dalam kuartir)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
3 (3.1%)
skala
Pertautan Ambing Depan Sebagian besar (60.6%; n=60) pertautan ambing depan sapi perah di Lembang termasuk dalam pertautan ambing depan dengan skala sedang (skala 46). Berdasarkan periode laktasi, pertautan ambing depan dengan skala sedang paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (19.2%; n=19) dan diikuti laktasi ke-1 dan 3 (12.1%; n=12). Informasi lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4.
7 Tabel 4
Skala pertautan ambing depan berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang Laktasi ke1 (n=15)
2 (n=30)
3 (n=18)
4 (n=11)
5 (n=12)
6 (n=7)
7 (n=4)
8 (n=1)
9 (n=1)
Total (n=99)
1-3 (lemah)
1 (1.0%)
9 (9.1%)
5 (5.1%)
4 (4.0%)
5 (5.1%)
3 (3.0%)
4 (4.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
31 (31.3%)
4-6 (sedang)
12 (12.1%)
19 (19.2%)
12 (12.1%)
5 (5.1%)
6 (6.1%)
4 (4.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
60 (60.6%)
7-9 (kuat)
2 (2.0%)
2 (2.0%)
1 (1.0%)
2 (2.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
8 (8.1%)
Skala
Pertautan ambing depan adalah salah satu evaluasi kekuatan ambing bagian depan dengan bagian tubuh yang diikat oleh ligamentum lateral. Ini adalah sifat fisik terpenting ketiga dalam penilaian ambing, dengan jumlah tonjolan pembuluh darah yang banyak pada ambing diharapkan dapat menghasilkan jumlah produksi yang tinggi (Stamschror et al. 2000). Pertautan pada bagian belakang sebaiknya tinggi dan lebar, dan tiap kuartir sebaiknya simetris, gambaran eksternal ini memberi arti produktivitas dari sapi tersebut (Bath et al. 1985). Kedalaman Ambing Umumnya (74.7%; n=74) kedalaman ambing sapi perah di Lembang termasuk skala sedang, yang mana ambingnya memiliki posisi sejajar dengan hock (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, kedalaman ambing dengan skala sedang paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (21.2%; n=21) dan diikuti laktasi ke-3 (14.1%; n=14), laktasi ke-5 (11.1%; n=11), laktasi ke-4 (10.1%; n=10). Skala kedalaman ambing lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Skala kedalaman ambing berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang Laktasi ke1 (n=15)
2 (n=30)
3 (n=18)
4 (n=11)
5 (n=12)
6 (n=7)
7 (n=4)
8 (n=1)
9 (n=1)
Total (n=99)
1-3 (di bawah hock)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
1 (14.3%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
3 (3.1%)
4-6 (sama dengan hock)
7 (7.1%)
21 (21.2%)
14 (14.1%)
10 (10.1%)
11 (11.1%)
6 (6.1%)
3 (3.0%)
1 (1.0%)
1 (1.0%)
74 (74.7%)
7-9 (di atas hock)
8 (8.1%)
9 (9.1%)
4 (4.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
22 (22.2%)
Skala
Kedalaman ambing merupakan sifat fisik yang paling penting pada penilaian ambing. Tinggi ambing mempunyai pengaruh terhadap rendahnya mastitis, berkurangnya perlukaan ambing, dan umur yang lebih baik. Ketika mengukur kedalaman ambing, umur sapi perlu diperhatikan dalam penilaian (Stamschror et al. 2000).
8 Tinggi Ambing Belakang Hampir semua (95%; n=94) tinggi ambing belakang di Lembang termasuk pada skala sedang (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, tinggi ambing belakang skala sedang paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (26.3%; n=26) dan diikuti laktasi ke-3 (17.2%; n=17), laktasi ke-1 (15.2%; n=15), laktasi ke-4 dan ke-5 (12.1%; n=12). Informasi lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 6. Tinggi ambing belakang menentukan kapasitas ambing, jadi semakin lebar jarak antara vulva dan bagian atas ambing semakin banyak jumlah susu yang dihasilkan (Stamschror et al. 2000). Tabel 6 Skala tinggi ambing belakang berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang Laktasi ke1 (n=15)
2 (n=30)
3 (n=18)
4 (n=11)
5 (n=12)
6 (n=7)
7 (n=4)
8 (n=1)
9 (n=1)
Total (n=99)
1-3 (rendah)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
4-6 (sedang)
15 (15.2%)
26 (26.3%)
17 (17.2%)
12 (12.1%)
12 (12.1%)
7 (7.0%)
4 (4.0%)
1 (1.0%)
1 (1.0%)
94 (95.0%)
7-9 (tinggi)
0 (0.0%)
4 (4.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
4 (4.0%)
Skala
Ligamentum Tengah Umumnya (75.8%; n=75) ligamentum tengah sapi perah di Lembang termasuk tipe sedikit dalam (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, ligamentum tengah dengan tipe sedikit dalam paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (n=21; 21.2%) dan diikuti laktasi ke-3 (15.2%; n=15), laktasi ke-1 (13.1%; n=13), laktasi ke-5 (10.1%; n=10). Informasi lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Skala ligamentum tengah berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang Laktasi ke1 (n=15)
2 (n=30)
3 (n=18)
4 (n=11)
5 (n=12)
6 (n=7)
7 (n=4)
8 (n=1)
9 (n=1)
Total (n=99)
1-3 (cekung)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
3 (3.0%)
4-6 (dalam)
13 (13.1%)
21 (21.2%)
15 (15.2%)
7 (7.1%)
10 (10.1%)
6 (6.1%)
2 (2.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
75 (75.8%)
7-9 (sangat dalam)
1 (1.0%)
9 (9.1%)
3 (3.0%)
3 (3.0%)
2 (2.0%)
1 (1.0%)
1 (1.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
21 (21.2%)
Skala
Kedalaman ligamentum tengah merupakan indikator dari kekuatan ligamentum suspensorium median. Jaringan ikat ini juga merupakan jaringan penunjang utama ambing. Jaringan disusun dari jaringan lentur (elastik) yang timbul dari tengah dinding perut dan membesar di tengah ambing yang menyatukan ligamen suspensori lateral di dasar ambing. Kelenturan ligamen
9 suspensori median berguna agar ambing dapat membesar bila berisi susu (Bath et al. 1985).
Letak Puting Belakang Umumnya (81.8%; n=81) letak puting belakang sapi perah di Lembang termasuk dalam puting yang terletak di tengah kuartir (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, letak puting belakang yang terletak ditengah kuartir paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (25.3%; n=25) dan diikuti laktasi ke-3 dan ke-5 (12.1%; n=12), serta laktasi ke-1 dan ke-4 (10.1%; n=10). Informasi lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 8. Letak puting merupakan sifat fisik terpenting kedua dalam karakteristik ambing Puting yang terletak di tengah kuartir akan lebih mudah untuk diperah, tapi ada sebagian peternak yang salah dalam melakukan pemerahan (Stamschror et al. 2000). Letak puting dipengaruhi pula oleh cara pemerahan manual. Hampir semua pemerahan di Lembang dilakukan secara manual, dengan posisi wadah penampung susu dan pemerah berada di lateral sapi, sehingga puting diperah ke arah lateral. Selain itu, pada saat laktasi adanya penarikan puting oleh anak sapi ke arah lateral. Tabel 8 Skala letak puting belakang berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang Laktasi ke1 (n=15)
2 (n=30)
3 (n=18)
4 (n=11)
5 (n=12)
6 (n=7)
7 (n=4)
8 (n=1)
9 (n=1)
Total (n=99)
1-3 (di luar kuartir)
1 (1.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
1 (1.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0( 0.0%)
3 (3.0%)
4-6 (di tengah kuartir)
10 (10.1%)
25 (25.3%)
12 (12.1%)
10 (10.1%)
12 (12.1%)
6 (6.1%)
4 (4.0%)
1 (1.0%)
1 (1.0%)
81 (81.8%)
7-9 (di dalam kuartir)
4 (4.0%)
4 (4.0%)
6 (6.1%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
1 (1.1%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
0 (0.0%)
15 (15.2)
Skala
Produksi Susu Rata-rata produksi susu sapi perah di lokasi penelitian (Desa Sukajaya) sebesar 15.9 liter/ekor/hari, berdasarkan periode laktasi produksi susu tertinggi ditemukan pada laktasi ke-8, diikuti oleh laktasi ke-6, laktasi ke-3, dan laktasi ke7 (Tabel 9). Produksi susu, termasuk komposisi, struktur, dan kandungannya, dipengaruhi oleh genetik. Variasi antar bangsa sapi dan individu dapat terjadi (Walstra et al. 2006). Selanjutnya jumlah produksi susu sapi dipengaruhi oleh pakan, kesehatan sapi, dan masa laktasi (Sudono 1999).
10 Tabel 9 Rata-rata produksi susu di Desa Sukjaya Laktasi ke-
Produksi susu (liter per hari) Rata-rata
Maksimum
Minimum
Simpangan baku
1
13.0
20.0
4.0
5.1
2
16.0
28.0
8.0
4.7
3
17.3
30.0
3.0
7.2
4
14.9
20.0
10.0
3.4
5
15.4
20.0
8.0
3.2
6
19.3
37.0
10.0
8.4
7
16.5
22.0
12.0
4.4
8
20.0
20.0
-
-
9
12.0
12.0
-
-
Total
15.9
37.0
3.0
5.43
Jumlah sel pembentuk susu adalah faktor utama yang membatasi tingkat produksi susu. Tingkat awal kebuntingan relatif sedikit berpengaruh terhadap produksi susu atau jumlah sel ambing (Bath et al. 1985). Secara alami, kehilangan sel sekretori, baik secara fisiologis maupun secara patologis, dapat menyebabkan penurunan jumlah produksi susu. Oleh karena itu, pemeliharaan jumlah maksimal sel sekretori sangat dianjurkan, terutama bagi sapi dengan produksi tinggi, karena jika sel sekretori tidak ada maka susu tidak terbentuk (Bath et al. 1985). Menurut Bath et al. (1985) produksi susu pada sapi perah mulai menurun kira-kira pada umur 8 tahun, tetapi itu bergantung pada bangsa sapi. Sapi yang telah melahirkan lebih dari 2 kali menghasilkan susu 25% lebih banyak daripada sapi yang baru melahirkan 1 anak. Peningkatan berat tubuh menaikkan hasil susu sebanyak 5%, sedangkan sisanya yang 20% karena perkembangan ambing selama kebuntingan. Rata-rata produksi yang dihasilkan pada laktasi ke-6 dan ke-7 dalam penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Bath et al. (1985). Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh genetik sapi, serta kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan oleh peternak.
Hubungan Antara Klasifikasi Linear dan Produksi Susu Komponen klasifikasi linear yang memiliki korelasi yang nyata adalah pertautan ambing depan (r = -0.269; p<0.05) mempunyai kekuatan korelasi yang cukup kuat, kedalaman ambing (r = -0.283; p<0.05)mempunyai kekuatan korelasi yang cukup kuat, dan ligamentum tengah (r= 0.234; p<0.05) korelasi nya sangat lemah (Tabel 10).
11 Tabel 10 Hubungan antara komponen klasifikasi linear dan produksi susu di Lembang Korelasi (r)
Produksi susu
PP
LPD
PAD
KA
TAB
LT
LPB
0.019
0.007
-0.269*
-0.283*
0.195
0.234*
0.007
PP = panjang puting; LPD = lerak puting depan ; PAD = pertautan ambing depan; KA = kedalaman ambing; TAB = tinggi ambing belakang; LT = ligamentum tengah; LPB = letak puting belakang * nyata pada p <0.05
Beberapa studi melaporkan hubungan antara produksi susu dan linear type traits (Thompson et al. 1981; Foster et al. 1989; Short dan Lawlor 1992). Korelasi negatif yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Foster et al. (1989) dan Short dan Lawler (1992), kecuali korelasi ligamentum tengah dengan produksi susu dalam penelitian ini menunjukkan positif. Selanjutnya korelasi positif yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Foster et al. (1989) dan Short dan Lawler (1992). Sebagai analisis penelitian tersebut diatas dapat digambarkan bahwa ada terdapat hubungan antara klasifikasi linear dengan prokduksi susu, terdapat 3 ciri yang memiliki korelasi yang nyata yaitu pertautan ambing depan (r= -0.269), korelasi pertautan ambing depan bernilai negatif berarti semakin lemah pertautan ambing maka semakin tinggi produksi susu nya. Selanjutnya, kedalaman ambing (r= -0.283), korelasi kedalaman ambing bernilai negatif berarti apabila letak ambing di bawah hock maka semakin tinggi produksi susu nya. Selanjutnya, ligamentum tengah (r= 0.234), korelasi ligamentum tengah bernilai positif berarti semakin bentuknya mengarah kedalam maka produksi susu semakin tinggi. Selain itu, berdasarkan tujuh kategori penilaian klasifikasi linear yaitu panjang puting, letak puting depan, pertautan ambing depan, kedalaman ambing, tinggi ambing belakang, ligamentum tengah, dan letak puting belakang, skala yang umum didapat adalah skala menengah (skala 4-6), dan berdasarkan periode laktasi maka laktasi kedua adalah laktasi yang paling umum ditemukan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Metode Klasifikasi Linear dapat digunakan sebagai cara praktis untuk menduga produktivitas sapi perah dengan tingkat kekuatan hubungan yang lemah (r=0,2-0,3) Saran Dari penelitian ini dapat disarankan bahwa diperlukan pengamatan pada hewan yang sama dan pengamatan sepanjang masa laktasi sapi tersebut.
12
DAFTAR PUSTAKA Bath DL, Dickinson FN, Tucker HA. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. Ed ke-3. Philladelphia (US): Lea & Febiger. Blakely J, Bade DH. 1994. Ilmu Peternakan. Ed ke-4. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr. Ensminger ME. 1971. Dairy Cattle Science. Animal Agriculture Series. Ed ke1. Davile, Illinois (US): The Interstate. Foster WW, Freeman AE, Berger PJ, Kuck A. 1989. Association of type traits scored linearly with production and herdlife of Holsteins. J Dairy Sci. 72:2651–2664. Ginting N, Sitepu P. 1989. Teknik Beternak Sapi Perah di Indonesia. Bogor (ID): Rekan Anda Setiawan. [KPSBU] Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara. 2011. Data produksi susu tahun 2011. Lembang (ID): KPSBU. Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutjens MF. 1988. Principles of Dairy Science. Ed ke-2. New Jersey (US): Prentice-Hall. Short TH, Lawler TJ. 1992. Genetic parameters of conformation traits, milk yield, and herdlife in Holsteins. J Dairy Sci.75:1987–1998. Stamschror J, Seykora T, Hansen L. 2000. Judging dairy cattle. Minnesota (US): Univ. Minnesota. [Internet]. [diunduh 2012 Nov 25]; Tersedia pada http://www.aphis.usda.gov/animal_health/emergingissues/compensation/do wnloads/judgingdairycattle.pdf Sudono A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Bogor (ID): Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Thompson JR, Freeman AE, Wilson DJ, Chapin CA, Berger PJ, Kuck A. 1981. Evaluation of a linear type program in Holsteins. J Dairy Sci. 64:1610– 1617. Walstra P, Wouters, JTM, Geurts TJ. 2006. Dairy Science and Technology. Ed ke-2. Boca Raton, Florida (US): CRC Pr. [WHFF] World Holstein Friesian Federation. 2005. International type evaluation of dairy cattle [Internet]. [diunduh 2012 Des 26]. Tersedia pada http://www.whff.info/info/typetraits/type_en_2005-2.pdf. Zwertvaegher I, Van Weyenberg S, Piepers S, Baert J, De Vliegher S. 2012. Variance components of teat dimensions in dairy cows and associated factors. J Dairy Sci. 9:4978–4988.
LAMPIRAN
15
Lampiran 1 Kuesioner untuk peternak sapi perah No/nama peternak Laktasi ke
Desa Tgl melahirkan terakhir HMT (kg/hari)
Konsentrat (kg/hari) Kapasitas kandang
Kandang khusus pedet Tidak ada Ada Menyatu Terpisah Becek/basah kering
Terisi
Tempat air minum Tidak ada Ada Satu-satu Berdua Otomatis Tidak otomatis Ada libitum Tidak ada libitum Tempat makan tinggi (kayu/tembok) rendah bersih tidak bersih
Nama/no sapi Jumlah susu (liter hari) Bentang kandang
Sumber air sumur Timba pompa Air mengalir Saluran pipa Irigasi Got
Kandang melahirkan
Jenis lantai
Tidak ada Ada Menyatu Terpisah Becek/basah kering
tembok /semen kayu karpet sebagian karpet
Mutu air
Ventilasi
Dipakai air minum peternak Tidak dipakai air minum peternak Bening Keruh Sangat keruh
Baik Kurang baik buruk
(Banyak/Cukup/Kuran g)
Klasifikasi linear Panjang puting Letak puting depan Pertautan ambing depan Kedalaman ambing Tinggi ambing belakang Ligamentum tengah Letak puting belakang
Kotoran sapi pakai biogas diolah jadi kompos langsung ke Got ditumpuk dekat kandang
Kebersihan tidak bersih kurang bersih bersih
Kenyamanan sapi tidak nyaman kurang nyaman nyaman
Skala L1
L2
R1
R3
16
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Maret 1991. Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Artiansyah dan Ibu Yanni. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Trisula Tanjungpandan pada tahun 1996 dan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 9 Tanjungpandan pada tahun 2002. Pendidikan tingkat menengah di SMP Negeri 1 Tanjungpandan diselesaikan pada tahun 2005. Pendidikan tingkat atas dapat diselesaikan pada tahun 2008 di SMA Negeri 1 Tanjungpandan. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama mengikuti pendidikan, penulis juga pernah aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH IPB pada tahun 2009. Penulis juga anggota dari Himpunan Organisasi Ruminansia pada tahun 2010. Selain itu, penulis aktif sebagai anggota Ikatan Keluarga Pelajar Belitung (IKPB) Bogor sejak tahun 2008 sampai sekarang dan tahun 2010-2011 penulis mendapat amanah menjadi Ketua Asrama Tanjungtinggi, Dramaga Bogor.