ANALISIS EFISIENSI TEKNIS, KETERAMPILAN TEKNIS BETERNAK DAN PENDAPATAN PADA USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN LEMBANG
ANGGRAENI EFRIKA CAHYAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Efisiensi Teknis, Keterampilan Teknis Beternak dan Pendapatan pada Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Lembang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Anggraeni Efrika Cahyawati NIM D151120201
RINGKASAN ANGGRAENI EFRIKA CAHYAWATI. Analisis Efisiensi Teknis, Keterampilan Teknis Beternak dan Pendapatan pada Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Lembang. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO dan SURYAHADI. Pengembangan usaha peternakan sapi perah merupakan salah satu alternatif dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat terutama yang berasal dari protein hewani, saat ini susu segar dalam negeri (SSDN) baru mencapai 30% kebutuhan nasional sedangkan 70% dipenuhi melalui impor sehingga terjadi ketimpangan antara produksi susu yang dihasilkan dengan permintaan susu. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan pembangunan dan pengembangan sapi perah guna menunjang peningkatan produksi susu nasional dengan peningkatan produktivitas sapi perah melalui efisiensi teknis. Tingkat efisiensi teknis yang dicapai akan mempengaruhi besar kecilnya pendapatan yang diterima peternak. Pencapaian produktivitas yang tinggi dari usaha sapi perah ditentukan oleh kemampuan peternak dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi serta penerapan aspek teknis dalam usaha peternakannya. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengevaluasi efisiensi teknis produksi susu di Kecamatan Lembang dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis tersebut, 2) menganalisis keterampilan dan pengetahuan teknis peternak sapi perah rakyat serta 3) menganalisis tingkat pendapatan usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Lembang. Data yang dikumpulkan berasal dari 60 orang peternak yang diseleksi menggunakan metode proportionate stratatified judgemental sampling. Responden dikategorikan ke dalam 2 kelompok berdasarkan jumlah kepemilikan sapi betina laktasi, yaitu kategori 1 dengan jumlah kepemilikan betina laktasi 1-5 ekor dan kategori 2 dengan jumlah kepemilikan betina laktasi 6-10 ekor. Tiap-tiap kategori masing-masing sebanyak 30 responden. Analisa data menggunakan analisis deskripsi dan analisis produksi stochastic frontier. Hasil analisis untuk kategori 2 menunjukkan adanya keberadaan inefisiensi teknis yang mempunyai efek terhadap produksi susu dengan estimasi yang signifikan pada koefisien gamma, the likelihood ratio test dan prediksi efisiensi teknik peternak. Estimasi parameter gamma (γ) pada model fungsi produksi adalah 0.99, menunjukkan bahwa 99 persen variasi hasil yang disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa usaha peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Lembang telah efisien dengan rata-rata efisiensi sebesar 91 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi produksi adalah umur peternak, pengalaman usaha, dan status kepemilikan ternak. Faktor-faktor penentu teknis beternak yang mempengaruhi produktivitas ternak seperti pembibitan dan reproduksi, makanan ternak, manajemen pengelolaan, kandang dan peralatan serta kesehatan hewan telah terpenuhi dengan cukup baik kecuali sub aspek makanan ternak pada kategori 2. Hal ini menunjukkan bahwa peternak di Kecamatan Lembang memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis yang cukup bagus. Analisis pendapatan usahatani dan R/C rasio menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi perah rakyat pada kedua kategori di Kecamatan Lembang
memberikan keuntungan dan layak untuk dijalankan. Hasil analisis pendapatan usaha peternakan sapi perah kategori 1 menunjukkan pendapatan atas biaya tunai adalah sebesar Rp34 091 630, sedangkan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp16 789 814. Sementara R/C atas biaya tunai adalah sebesar 1.36 dan R/C atas biaya total adalah sebesar 1.15. Sedangkan hasil analisis usaha peternakan sapi perah kategori 2 menunjukkan pendapatan atas biaya tunai adalah sebesar Rp102 679 867, sedangkan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp73 747 821. Sementara R/C atas biaya tunai adalah sebesar 1.45 dan R/C atas biaya total adalah sebesar 1.29. Kata kunci : peternakan sapi perah, efisiensi teknis, analisis stochastic frontier, keterampilan teknis beternak, pendapatan
SUMMARY ANGGRAENI EFRIKA CAHYAWATI. Analyze of Technical Efficiency, Technical Aspect of Farming and Revenue Smallholder Dairy Farm at Lembang. Supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO dan SURYAHADI. The development of smallholder dairy farming is one alternative in order to fullfill people’s nutrient from animal protein, until now, national fresh milk production only achieved 30% and the rest 70% came from abroad country or import. The way to solve these problems are to build and develop dairy cow in order to enhance national production by technical efficency. Its achievement will affect revenue of dairy farmers. The higher productivity of dairy farming will be determined by skill of them related to alocate production factors and imply the best technic. This study was done 1) to evaluate technical efficiency of milk production at Lembang and also to analyze that efeciency determinant factors, 2) to analyze technical aspect farming, 3) to analyze dairy farmers’ revenue at Lembang. Data were collected from 60 farmer’s selected by using proportionate stratatified judgemental sampling. The respondents were categorized into two groups according to their lactating cow number i.e. category 1 = 1-5 lactating cows and category 2 = 6-10 lactating cows. Each category consists of 30 respondents. Data were analyzed by descriptive statistics and stochastic frontier production models. The result of the analysis for category 2 indicated that presence of technical inefficiency had effects in milk production by the significant estimated gamma coefficient, the likelihood ratio test and the predicted technical within the farmers. The estimated gamma parameter (γ) of model for production function was 0.99, indicated that about 99 percent of variation in output milk among farmers was due to differences in their technical efficiencies. The results indicated that smallholder dairy farming in Lembang was efficient with an average of technical efficiency of 91 percent. Factors influencing production efficiency were farmer’s ages, farming experience, and livestock ownership. Impact point factor of dairy farming that influencing livestock productivity such as breeding and reproduction, forage, management, housing and equipment and animal health have fullfilled, except sub aspect forage in catagory 2 indicated that farmer’s in Lembang have a good technical aspect farming. Revenue analysis of dairy farming and ratio R/C shown that smalholder dairy farming at Lembang has given profit and acceptable to hold this farming, Revenue analysis of catagory 1 of dairy farmers shown that total revenue on variable cost was Rp34 091 630, while total revenue on total cost was Rp16 789 814 and R/C on variable cost was 1.35, R/C on total cost was 1.15. Meanville, revenue analysis of catagory 2 of dairy farmers was shown that total revenue on variable cost was Rp102 679 867, while total revenue on total cost was Rp 73 747 821 and R/C on variable cost was 1.45, R/C on total cost was 1.29. Keyword : dairy farms, technical efficiency, stochastic frontier analysis, technical aspect farming, revenue
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS EFISIENSI TEKNIS, KETERAMPILAN TEKNIS BETERNAK DAN PENDAPATAN PADA USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN LEMBANG
ANGGRAENI EFRIKA CAHYAWATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Alla Asmara, SPt MSi
PRAKATA
Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Juni 2014 adalah “Analisis Efisiensi Teknis, Keterampilan Teknis Beternak dan Pendapatan pada Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Lembang”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister pada program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa proses penelitian dan penulisan dari tesis ini tidak akan berjalan lancar tanpa adanya dukungan dari banyak pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih. Kepada yang terhormat Bapak Dr Bagus Priyo Purwanto, M.Agr dan Bapak Dr Ir Suryahadi, DEA selaku komisi pembimbing, penulis mengucapkan terimakasih atas curahan waktu, arahan, bimbingan, dan dorongan semangat mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis Kepada Dr Ir Salundik MSi selaku Ketua Program Studi ITP serta jajarannya (Ibu Ade dan Mba Okta) di sekretariat Pasca ITP, penulis mengucapkan terimakasih atas pelayanan prima selama penulis menempuh studi. Kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi ITP angkatan 2012 terimakasih atas kebersamaannya dalam diskusi-diskusi selama ini dan semoga persahabatan serta kerjasama ini tetap terjalin pada waktu mendatang. Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu penulis juga mengucapkan terima kasih. Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk bisa melanjutkan studi ke jenjang S2 di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda tercinta (Sri Kuswanti), suami tercinta (Taufik Hidayat) dan buah hatiku tercinta (Athala Midyan Hidayat dan Ayska Khairina Hidayat) atas doa, dukungan, kasih sayang, kesabaran serta motivasi yang selalu diberikan pada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015 Anggraeni Efrika Cahyawati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 1 3 3
2 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Fungsi Produksi Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier Konsep Efisiensi dan Inefisiensi
3 3 3 5 7
3 METODOLOGI Metode Lokasi dan Waktu Materi Desain Penelitian Data dan Instrumentasi Analisis Data Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Analisis Keterampilan dan Pengetahuan Teknis Beternak Analisis Pendapatan Peternak
9 9 9 9 10 10 10 10 13 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Variabel Usaha Peternakan Sapi Perah Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Keterampilan dan Pengetahuan Teknis Beternak Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Sapi Perah
15 15 20 31 43
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
51 51 52
DAFTAR PUSTAKA
52
LAMPIRAN
55
RIWAYAT HIDUP
67
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Statistik deskriptif variabel usaha peternakan sapi perah Jumlah kepemilikan ternak Tingkat umur peternak Pengalaman peternak dalam kegiatan budidaya sapi perah Tingkat pendidikan formal peternak Pendugaan model fungsi produksi pada usaha peternakan sapi perah kategori 1 dan kategori 2 dengan menggunakan metode MLE Sebaran efisiensi teknis Pendugaan parameter maximum-likelihood model inefisiensi teknis usaha peternakan sapi perah kategori 1 dan kategori 2 Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan aspek teknis beternak Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek pemuliaan ternak dan reproduksi Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek makanan ternak (HMT) Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek makanan ternak (konsentrat) Kebutuhan pakan Konsumsi pakan Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek pengelolaan Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek kandang dan peralatan Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek kesehatan ternak Penerimaan usaha peternakan sapi perah kategori 1 tahun 2014 Penerimaan usaha peternakan sapi perah kategori 2 tahun 2014 Biaya usaha peternakan sapi perah kategori 1 Biaya usaha peternakan sapi perah kategori 2 Perhitungan pendapatan dan rasio penerimaan terhadap biaya (R/C) usaha peternakan sapi perah kategori 1 tahun 2014 Perhitungan pendapatan dan rasio penerimaan terhadap biaya (R/C) usaha peternakan sapi perah kategori 2 tahun 2014 Pendapatan per ekor pada usaha peternakan sapi perah kategori 1 dan kategori 2
16 18 19 19 20 21
29 31 32 33 35 35 38 38 39 42 43 44 45 46 47 49 49 50
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Kurva fungsi produksi Fungsi produksi Stochastic Frontier Ukuran efisiensi
5 7 8
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Hasil Output Minitab Model Produksi Usaha Peternakan Sapi Perah Kategori 1 Output Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usaha Peternakan Sapi Perah Kategori 1 Hasil Output Minitab Model Produksi Usaha Peternakan Sapi Perah Kategori 2 Output Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usaha Peternakan Sapi Perah Kategori 2 Faktor-faktor Penentu Aspek Teknis Beternak Sapi Perah (Direktorat Jenderal Peternakan, 1983)
55 57 60 62 66
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan usaha peternakan sapi perah merupakan salah satu alternatif dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat terutama yang berasal dari protein hewani. Industri Pengolahan Susu (IPS) memprediksi bahwa konsumsi susu masyarakat pada tahun 2020 adalah sebesar 6 milyar liter setara susu segar atau 16.5 juta liter per hari. Hal ini menunjukkan bahwa dibutuhkan minimal 1.33 juta ekor sapi laktasi (dengan rataan produksi 4 600 liter per laktasi) atau populasi sapi perah sebesar 2.6 juta ekor. Untuk mendukung produksi agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibutuhkan 2.2 juta ton pakan konsentrat dan 33.6 juta ton pakan sumber serat (setara produksi rumput Raja seluas 111 ribu ha) atau bahan kering 5.4 juta ton (Ma’sum 2012). Populasi sapi perah di Indonesia menurut Statistik Peternakan Tahun 2013 tercatat 611 939 ekor. Secara geografis penyebaran sapi perah tidak merata di seluruh tanah air, sebagian besar sapi perah atau 97% dari populasi terkonsentrasi di Pulau Jawa. Rataan produksi susu sapi perah per ekor baru sekitar 11-12 liter/hari. Rendahnya produktivitas sapi perah di Indonesia salah satu penyebabnya adalah bahwa 95% sapi perah dikelola oleh peternak kecil dengan kondisi kualitas sumberdaya manusia peternak masih rendah, kepemilikan lahan dan sarana prasarana yang sangat terbatas, kondisi sosial ekonominya sulit, skala usahanya masih rendah yaitu sekitar 3-4 ekor sedangkan orientasi usaha masih bersifat sampingan. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui adanya ketimpangan antara produksi susu yang dihasilkan dengan permintaan susu. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan pengembangan sapi perah untuk menunjang peningkatan produksi susu dalam negeri. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari impor susu yang berlebihan. Selama ini, pemerintah Indonesia mengatasi kekurangan pasokan susu dalam negeri dengan melakukan impor susu dari Australia dan New Zealand. Pada tahun 2010-2013 berturut-turut pemerintah mengimpor susu sebanyak 186.2 ribu ton, 207.4 ribu ton, 209.9 ribu ton dan 156.5 ribu ton (September 2013). Impor ini belum termasuk produk hasil olahan susu seperti mentega, keju dan yogurt. Menurut data Kementerian Perdagangan jumlah yang harus dibayarkan untuk impor susu dan produk olahannya sebesar 602.6 juta US $ (sampai dengan September 2013), impor ini mengakibatkan devisa Indonesia terkuras ke luar negeri.Saat ini susu segar dalam negeri (SSDN) baru mencapai 30% kebutuhan nasional, sedangkan 70% dipenuhi melalui impor. Oleh karena itu perlu pembangunan dan pengembangan sapi perah yang didasari pada hasil analisa kondisi sapi perah saat ini. Perumusan Masalah Pertumbuhan penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi mengakibatkan negara harus mampu memenuhi permintaan konsumsi susu. Kondisi ini merupakan peluang pasar yang harus dimanfaatkan oleh peternak untuk mengembangkan usahanya sehingga memperoleh keuntungan yang
2
maksimal. Jawa Barat memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan dan pengolahan susu sapi karena mampu memproduksi susu 281.4 ribu ton atau 29.3% dari produksi nasional (Statistik Peternakan Tahun 2013). Salah satu daerah penghasil susu sapi terbesar di Jawa Barat yang membantu dalam pemenuhan kebutuhan permintaan susu nasional adalah Kabupaten Bandung Barat. Salah satu sentra produksi susu di Kabupaten Bandung Barat adalah Kecamatan Lembang, hal ini didukung oleh sumberdaya alam, iklim, pakan, sarana dan prasarana di daerah tersebut. Berdasarkan data Sensus Pertanian Tahun 2013 populasi sapi perah di Kabupaten Bandung Barat ini sebanyak 32 907 ekor dengan jumlah peternak mencapai 9 ribu orang dan mampu memproduksi susu sebanyak 150 ribu liter/hari atau 54 750 ribu liter/tahun serta dapat memberikan kontribusi susu terhadap produksi susu provinsi Jawa Barat sebesar 32%. Kecamatan Lembang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung Barat yang mempunyai populasi sapi perah terbesar. Berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 2013, populasi sapi perah di Kecamatan Lembang sebanyak 15 087 ekor dengan jumlah peternak 5 399 orang dan produksi susu rata-rata 12 liter/hari. Dari data diketahui setiap peternak ratarata hanya memiliki 2-3 ekor sapi dewasa yang dinilai masih rendah. Nilai produktivitas sapi FH di Indonesia ini tentu sangat jauh bila dibandingkan dengan produktivitas sapi FH sesungguhnya, berdasarkan data USDA pada tahun 2002, produksi susu sapi FH mencapai 11 000 liter per laktasi (Tyler dan Ensminger 2006). Dalam pelaksanaan usaha ternak, setiap peternak selalu mengharapkan keberhasilan dalam usahanya, salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengukur keberhasilan suatu usaha adalah tingkat keuntungan yang diperoleh dengan cara pemanfaatan faktor-faktor produksi secara efisien. Kemampuan manajerial peternak akan menentukan rasionalitas peternak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pengalokasian faktor-faktor produksi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh. Keterampilan teknis beternak yang diterapkan juga akan mempengaruhi tingkat efisiensi teknis usaha ternaknya. Peternak yang mampu mengelola penggunaan sumberdaya (input) yang ada untuk mencapai produksi (output) maksimum atau meminimumkan penggunaan input untuk mencapai output dalam jumlah yang sama, maka dapat dikatakan peternak tersebut telah mencapai efisiensi. Tingkat efisiensi teknis yang dicapai akan mempengaruhi besar kecilnya pendapatan yang diterima peternak. Berdasarkan uraian di atas, peningkatan produktivitas melalui efisiensi teknis menjadi penting untuk diperhatikan. Persoalan yang perlu dianalisis adalah apakah masih ada peluang untuk meningkatkan produksi susu di Kecamatan Lembang dengan upaya meningkatkan efisiensi teknis dan teknologi? Bagaimana juga dengan keterampilan dan pengetahuan teknis yang dimiliki peternak di Kecamatan Lembang?serta bagaimana tingkat pendapatan usaha peternakan di Kecamatan Lembang?
3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengevaluasi efisiensi teknis produksi susu di Kecamatan Lembang dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis tersebut. 2. Menganalisis keterampilan dan pengetahuan teknis peternak sapi perah rakyat di Kecamatan Lembang 3. Menganalisis tingkat pendapatan usaha peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Lembang Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini antara lain : 1. Memberikan masukan bagi peternak dalam meningkatkan produktivitas dan pengembangan usaha sapi perah. 2. Informasi bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam menentukan arah dan kebijakan sub sektor peternakan pada usaha peternakan sapi perah rakyat pada masa yang akan datang.
2 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Fungsi Produksi Produksi adalah suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output. Menurut Beattie dan Taylor (1985) produksi adalah proses mengkombinasikan dan mengkoordinasikan material dan kekuatan (input dan sumberdaya) untuk menghasilkan barang dan jasa. Output dalam suatu proses dapat menjadi input untuk proses produksi lainnya atau menjadi barang konsumsi. Produsen dapat menambah hasil produksi dengan berbagai alternatif, yaitu menambah semua input produksi atau menambah satu atau beberapa input produksi. Penambahan input produksi mengikuti hukum The law of diminishing marginal returns yang merupakan dasar dalam ekonomi produksi. The law of diminishing marginal returns terjadi jika jumlah input variabel ditambah penggunaannya, maka output yang dihasilkan meningkat, tapi setelah mencapai satu titik tertentu penambahan output semakin lama semakin berkurang. Secara umum produksi dalam usahatani ditentukan oleh faktor-faktor produksi dan hubungan teknis antara input dan output dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi produksi. Fungsi produksi menerangkan hubungan teknis yang menstransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau komoditas (Debertin 1986). Menurut Beattie dan Taylor (1985) secara matematik hubungan teknis antara input variabel dan output direpresentasikan oleh fungsi produksi sebagai berikut : y = f (x1 | x2 ) dimana y adalah output, x1 merupakan input variabel dan x2 input tetap. Untuk menyederhanakan notasi, diasumsikan output dihasilkan hanya dengan satu input variabel, yang direpresentasikan oleh fungsi produksi berikut : y = f (x)
4
x adalah input variabel dan y adalah output yang bisa disebut juga Total Physical Product (TPP). Dari persamaan (2) dapat diperoleh Average Physical Product (APP) sebagai berikut : y f ( x) APP = = x x Konsep yang juga penting adalah Marginal Physical Product (MPP), yang didefinisikan sebagai berikut : d (TPP) dy df ( x ) MPP = = = = f”(x) dx dx x Konsep lain yang penting dalam ekonomi produksi adalah elastisitas produksi. Menurut Debertin (1986) elastisitas produksi menunjukkan rasio antara persentase perubahan jumlah output dengan persentase perubahan jumlah input. Formulasi Elastisitas Produksi (Ep) adalah sebagai berikut : Ep = ( Δy/y ) / (Δx/x ) Δy/Δx = MPP x/y = 1/APP Ep = MPP/APP Pada saat MP > AP diperoleh Elastisitas Produksi > 1. Hal ini berarti jika input dinaikkan satu persen maka output akan naik lebih besar dari satu persen. Sebaliknya, jika MP < AP maka Elastisitas Produksi < 1, yang berarti jika input ditambah satu persen maka output naik kurang dari satu persen. Saat MP = AP, Elastisitas Produksi = 1, dimana pada saat ini APP maksimum. Jika MP = 0, berarti Elastisitas Produksi = 0 Petani yang maju dalam melakukan usahatani akan selalu berfikir bagaimana mengalokasikan input atau faktor produksi seefisien mungkin untuk memperoleh produksi yang maksimum. Hubungan antara tingkat produksi dengan jumlah input variabel yang digunakan dapat dibedakan dalam tiga tahap daerah produksi seperti yang ditunjukkan Gambar 1. Secara singkat dapat digambarkan ciri-ciri tiga tahapan produksi sebagai berikut: 1. Tahap I, di mana MP > AP; pada daerah ini penambahan input sebesar 1 persen akan menyebabkan penambahan produk yang selalu lebih besar dari 1 persen, sehingga merupakan tahap yang tidak rasional (increasing returns, dimana nilai EP > 1 ). 2. Tahap II, dimana MP = AP; produk total menaik tetapi produk rata-rata menurun dan produk marginal juga menurun sampai nol. Pada daerah ini penambahan input sebesar 1 persen akan menyebabkan penambahan komoditas paling tinggi sama dengan 1 persen dan paling rendah 0 persen (0 < EP < 1), merupakan daerah rasional (decreasing returns). 3. Tahap III, dimana MP < AP; produk total dan produk rata-rata sama-sama menurun sedang produk marginal nilainya negatif. Pada daerah ini, penambahan pemakaian input akan menyebabkan penurunan produksi total (negative decreasing returns, dimana EP < 1). Efisiensi diartikan sebagai perbandingan antara nilai output terhadap input. Suatu kegiatan produksi dikatakan lebih efisien dari kegiatan produksi lainnya bila kegiatan produksi tersebut menghasilkan output yang lebih besar nilainya untuk tingkat korbanan yang sama. Dengan kata lain suatu kegiatan produksi lebih
5
efisien dari yang lainnya bila untuk nilai output yang sama, kegiatan produksi tersebut memerlukan korbanan yang lebih kecil.
Gambar 1. Kurva fungsi produksi Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier Dalam upaya mempelajari fungsi produksi, pada prakteknya tidak selalu menghasilkan fungsi produksi yang ideal sesuai dengan definisi tersebut. Pendugaan fungsi produksi yang menggunakan metode OLS (Ordinary Least Squares) tentunya tidak mungkin menghasilkan fungsi produksi yang ideal tersebut. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk mempelajari efisiensi produksi dengan metode OLS tidak akan memperoleh hasil yang maksimal dan untuk mengukur efisiensi produksi perlu diketahui patokan tingkat produksi maksimum pada tingkat teknologi tertentu. Untuk mengatasi persoalan di atas, maka perlu dicari metode yang dapat menduga fungsi produksi yang mendekati fungsi produksi ideal sesuai dengan teori, yaitu menduga fungsi produksi frontier. Fungsi produksi frontier, dengan demikian, bukan konsep fungsi produksi baru tetapi merupakan penyempurnaan metode pendugaan fungsi produksi. Coelli et al. (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap tingkat penggunaan input. Apabila suatu usahatani berada pada titik di fungsi produksi frontier artinya usahatani tersebut efisiensi secara teknis. Jika fungsi produksi frontier diketahui maka dapat diestimasi inefisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap frontiernya. Penelitian ini menggunakan fungsi produksi frontier dalam analisis dengan tujuan untuk melihat tingkat produksi maksimum yang mungkin dicapai dan membandingkannya dengan kondisi aktual yang ada. Di samping itu model
6
produksi frontir yang digunakan adalah stochastic frontier, dimana menurut Mahadevan (2002) fungsi stochastic frontier memungkinkan : (1) pergeseran nonneutral yang disebabkan oleh perubahan marginal rate substitution faktor produksi. Kondisi ini memungkinkan seorang produsen memperoleh hasil produksi yang berbeda meskipun dengan penggunaan input yang sama sebagai akibat penggunaan metode produksi yang berbeda, dan (2) adanya variasi proses produksi yang akan berimplikasi terhadap variasi efisiensi teknis produsen, menyebabkan tidak perlu adanya asumsi distribusi normal kondisi efisiensi teknis antar produsen atau perusahaan. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya efisiensi teknis dalam produksi. Penentuan sumber inefisiensi teknis ini tidak hanya memberikan informasi tentang sumber potensial dari inefisiensi, tetapi juga saran bagi kebijakan yang harus diterapkan atau dihilangkan untuk mencapai tingkat efisiensi total. Fungsi produksi frontir memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dengan fungsi produksi dan umumnya banyak digunakan saat menjelaskan konsep pengukuran efisiensi. Konsep fungsi produksi frontir menggambarkan output maksimal yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi frontir merupakan fungsi produksi yang paling praktis atau menggambarkan produksi maksimal yang dapat diperoleh dari variasi kombinasi faktor produksi pada tingkat pengetahuan dan teknologi tertentu (Doll dan Orazem 1984). Aigner et al. (1977); Meeusen & van den Broeck (1977), diacu dalam Coelli et al. (2005) menjelaskan bahwa fungsi produksi stochastic frontier merupakan fungsi produksi yang dispesifikasi untuk data silang (cross-sectional data) yang memiliki dua komponen error term, yaitu random effects (vi) dan inefisiensi teknis (ui). Secara matematis, fungsi produksi stochastic frontier dapat ditulis dalam persamaan berikut: ln yi = xi + (vi - ui); i = 1,2,3,...,N di mana: yi = produksi yang dihasilkan pada waktu ke-i xi = vektor input yang digunakan pada waktu ke-i = vektor parameter yang akan diestimasi vi = variabel acak yang bebas dan secara identik terdistribusi normal (independent-identically distributed, iid.) N (0, v2), berkaitan dengan faktor eksternal (iklim, hama) ui = variabel acak non negatif yang diasumsikan iid., yang menggambarkan inefisiensi teknis dalam produksi, dengan sebaran bersifat setengah normal N (0, u2) Model yang dinyatakan dalam persamaan di atas disebut sebagai fungsi produksi stochastic frontier karena nilai output dibatasi oleh variabel acak (stochastic), yaitu nilai harapan dari xiβ + vi atau exp(xiβ + vi). Random error (vi) dapat bernilai positif dan negatif dan begitu juga output stochastic frontier bervariasi sekitar bagian tertentu dari model frontier, exp(xiβ). Struktur dasar dari model stochastic frontier dapat dilihat pada Gambar 2. Sumbu x mewakili input dan sumbu y mewakili output. Komponen dari model frontier yaitu f(xβ), digambarkan sesuai asumsi diminishing return to scale, di mana jika variabel faktor produksi dengan jumlah tertentu ditambahkan secara terus-menerus dengan jumlah yang tetap maka akhirnya akan tercapai suatu kondisi dimana setiap penambahan satu unit faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi
7
yang semakin menurun. Gambar 2 menjelaskan aktivitas produksi dari dua petani yang diwakili simbol i dan j. Petani i menggunakan input sebesar xi dan menghasilkan output sebesar yi, sedangkan petani j menggunakan input sebesar xj dan menghasilkan output sebesar yj. Berdasarkan output batas, terlihat bahwa output frontier petani i melampaui fungsi produksi f(xβ) sedangkan nilai output frontier petani j berada di bawah fungsi produksi f(xβ). Hal tersebut dapat terjadi karena aktivitas produksi petani i dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan dimana variabel vi bernilai positif. Sebaliknya, aktivitas produksi petani j dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan dimana variabel vj bernilai negatif. Output frontier i dan j tidak dapat diamati atau diukur karena random error dari keduanya tidak teramati.
Gambar 2. Fungsi produksi Stochastic Frontier Output frontier yang tak teramati tersebut dapat berada di atas atau di bawah bagian deterministik dari model stochastic frontier, sedangkan output yang teramati hanya dapat berada di bawah bagian deterministik dari model stochastic frontier. Output yang teramati dapat berada di atas fungsi deterministik frontiernya apabila random error bernilai positif dan lebih besar dari efek inefisiensinya (misalnya yi > exp(xiβ) jika vi > ui) (Coelli et al. 2005). Konsep Efisiensi dan Inefisiensi Farrel (1957), diacu dalam Coelli et al. (2005) mengungkapkan bahwa efisiensi terdiri atas dua komponen, yaitu efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efisiensi teknis memperlihatkan kemampuan usahatani atau perusahaan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari penggunaan sejumlah faktor produksi tertentu. Sementara efisiensi alokatif memperlihatkan kemampuan usahatani atau perusahaan dalam menggunakan faktor produksi secara proporsional pada tingkat harga dan teknologi tertentu. Penggabungan efisiensi teknis dan efisiensi alokatif akan menghasilkan efisiensi ekonomiEfisiensi teknis dianggap sebagai kemampuan untuk berproduksi pada isoquant batas, sedangkan alokatif mengacu pada kemampuan untuk berproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan rasio input pada biaya minimum. Sebaliknya, inefisiensi teknis mengacu pada penyimpangan dari rasio input pada biaya minimum. Efisiensi
8
dapat diukur dengan pendekatan pengukuran dengan orientasi input dan pengukuran orientasi output. Pendekatan input misalkan perusahaan menggunakan dua input X1 dan X2 untuk memproduksi output Y. Pada Gambar 3, kurva isoquant frontier SS menunjukkan kombinasi penggunaan input per output (xi / y dan x2 / y) yang efisien secara teknis untuk menghasilkan output Y0 = 1. Titik P dan Q menggambarkan dua kondisi suatu perusahaan dalam berproduksi menggunakan kombinasi input dengan proporsi xi / y dan x2 / y yang sama. Keduanya berada pada garis yang sama dari titik 0 untuk memproduksi satu unit Y0. Titik P berada diatas kurva isoquant, sedangkan titik Q menunjukkan perusahaan beroperasi pada kondisi secara teknis efisien (karena beroperasi pada kurva isoquant frontier). Titik Q mengimplikasikan bahwa perusahaan memproduksi sejumlah output yang sama dengan perusahaan di titik P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Jadi rasio 0Q/0P menunjukkan efisiensi teknis (TE) perusahaan P, yang menunjukkan proporsi dimana kombinasi input pada P dapat diturunkan, rasio input per output (xi / y dan x2 / y) konstan, sedangkan output tetap. Jika harga input tersedia, efisiensi alokatif (AE) dapat ditentukan. Garis Isocost (AA) digambarkan menyinggung Isoquant SS’ di titik Q’ dan memotong garis 0P di titik R. Titik R menunjukkan rasio input-output optimal yang meminimukan biaya produksi pada tingkat output tertentu karena slope isoquant sama dengan slope garis isocost. Titik Q secara teknis efisien tetapi secara alokatif inefisien karena perusahaan pada titik Q berproduksi pada tingkat biaya yang lebih tinggi dari pada di titik Q’. Jarak 0R-0Q menunjukkan penurunan biaya produksi jika produksi terjadi di titik Q’ (secara alokatif dan teknis efisien). Sehingga efisiensi alokatif (AE) untuk perusahaan yang beroperasi di titik P adalah rasio 0R/0Q.
Gambar 3. Ukuran efisiensi Berdasarkan definisi di atas, efisiensi teknis dapat diukur dengan pendekatan dari sisi output dan sisi input. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi output merupakan rasio antara output observasi terhadap output batas. Indeks efisiensi ini digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur efisiensi teknis di dalam analisis stochastic frontier. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi input merupakan rasio dari input atau biaya batas (frontier) terhadap input atau biaya observasi. Bentuk umum dari ukuran efisiensi teknis yang dicapai oleh observasi ke-i pada waktu ke-t didefinisikan sebagai berikut (Coelli et al. 1998) :
9
yi exp( xi i) = = exp(-ui) Exp(xi ) exp( xi ) dimana nilai TEi antara 0 dan 1 atau 0 ≤ TEi ≤ 1. Penggunaan faktor produksi yang tidak efisien dapat menyebabkan senjang produktivitas antara produktivitas yang seharusnya dan produktivitas riil yang dihasilkan petani. dalam menangani masalah tersebut diperlukan penelitian untuk mengetahui sumber-sumber inefisiensi tersebut (Soekartawi 2002). Ada dua pendekatan alternatif untuk menguji faktor-faktor determinan (sumber-sumber) efisiensi teknis dan sekaligus inefisiensi teknis (Daryanto 2000). Pertama adalah prosedur dua tahap. Tahap pertama adalah estimasi fungsi produksi frontier. Tahap kedua adalah estimasi model regresi dimana nilai efisiensi (inefisiensi) diekspresikan sebagai suatu fungsi dari variabel-variabel sosial ekonomi yang diasumsikan mempengaruhi inefisiensi. Metode kedua adalah prosedur satu tahap (simultan) dimana efek-efek inefisiensi di dalam stokastik frontier dimodelkan di dalam variabel-variabel yang relevan di dalam menjelaskan inefisiensi produksi. Model inefisiensi yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada model Coelli et al. (2005). Dalam mengukur inefisiensi teknis digunakan variabel ui yang diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N (μ, σ2). Nilai parameter distribusi (µ) efek inefisiensi teknis dapat diperoleh melalui perhitungan sebagai berikut : μ = δ0 + Zitδ + wit dimana Zit pada perhitungan tersebut adalah variabel penjelas, δ adalah parameter skalar yang dicari, dan wit adalah variabel acak.
TEi =
3 METODOLOGI Metode Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April-Juni 2014 di wilayah kerja Koperasi Peternak Sapi Perah Jawa Barat (KPSBU) di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah penyumbang susu sapi perah terbesar di Kabupaten Bandung Barat.
Materi Pengambilan sampel dilakukan dengan metode proportionate stratatified judgemental sampling yang dibagi berdasarkan jumlah kepemilikan sapi betina laktasi (Binci T et al; 2006). Sampel dibagi menjadi dua kategori, kategori 1 yaitu skala usaha dengan kepemilikan betina laktasi 1-5 ekor sebanyak 30 orang dan kategori 2 yaitu skala usaha dengan kepemilikan betina laktasi 6-10 ekor sebanyak 30 responden, sehingga total sampel adalah 60 peternak sapi perah. Jumlah sampel ditetapkan secara kuota, mengacu pada pengambilan sampel dengan asumsi populasi menyebar normal, dimana menurut Cooper dan Emory
10
(1996) untuk ukuran sampel yang cukup besar (n ≥ 30) rata-rata sampel akan terdistribusi di sekitar rata-rata populasi yang mendekati distribusi normal. Peralatan yang digunakan yaitu pita ukur merk Rondho untuk mengukur lingkar dada sapi, timbangan gantung kapasitas 100 kilogram untuk rumput dan konsentrat, gelas ukur, alat tulis, daftar pertanyaan (kuesioner) dan peralatan lain yang diperlukan. Desain Penelitian Penelitian ini didesain dengan metode survei yang bersifat deskriptif kualitatif dan kuantitatif berdasarkan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian. Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan dan menguraikan fenomena yang diamati, sehingga mensyaratkan adanya hipotesis penelitian yang selanjutnya dibuktikan melalui penelitian. Penelitian dilakukan dengan mengambil informasi atau data dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi dan menggunakan data pertanyaan (kuesioner) sebagai alat pengumpulan data yang pokok.
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari observasi langsung di lapangan dan melalui wawancara dengan responden menggunakan kuesioner, observasi/pengamatan langsung ke lapangan terhadap kegiatan peternak khususnya yang berkaitan dengan kegiatan budidaya ternak dan manajemen usaha beternak serta melakukan pengukuran langsung. Data sekunder digunakan sebagai data pendukung dalam penelitian ini yang diperoleh dari berbagai sumber seperti laporan-laporan Dinas Peternakan Kabupaten Bandung, Kecamatan Lembang, Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU), dan instansi lain yang terkait, serta literatur yang relevan dengan penelitian ini. Analisis Data 1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Data dianalisis menggunakan alat analisis fungsi produksi stochastic frontier. Analisis fungsi produksi stochastic frontier digunakan untuk mengukur efisiensi teknis usaha peternakan sapi perah dari sisi output dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis. Dalam penelitian ini, fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas. Disamping itu fungsi stochastic frontier mewakili kombinasi input-output secara teknis paling efisien dan terdapat dua jenis error term yaitu disamping kesalahan pengganggu yang terkait dengan faktor-faktor internal (ui) juga memuat kesalahan pengganggu faktor-faktor eksternal (vi). Model matematis fungsi produksi frontier Cobb-Douglas dari usaha peternakan sapi perah dalam penelitian ini dapat ditulis sebagai berikut:
11
lnY = β0 + β1 ln X1 + β2 ln X2+ β3 ln X3 + β4 ln X4 + β5 ln X5 + β6 ln X6 + β7 ln X7 + β8 ln X8 + β9 ln X9 + β10 ln X10 + ... + β20 ln X20 + (vi - ui) Dimana : Y = Produksi susu (liter/ekor/hari) β0 = Intersep βi = Koefisien parameter penduga, di mana i = 1,2,3,...20 X1 = Jumlah Rumput Gajah/Pennisetum purpureum (kg BK/ekor/hari) X2 = Jumlah Rumput Lapang jenis A/Cynodon plectostachyus (kg BK/ekor/hari) X3 = Jumlah Rumput Lapang jenis B/Lantana camara (kg BK/ekor/hari) X4 = Jumlah Rumput Lapang jenis C/Pseudechinolaena polystachya (kg BK/ekor/hari) X5 = Jumlah Rumput Lapang jenis D/Digitaria sp (kg BK/ekor/hari) X6 = Jumlah Kaliandra (kg BK/ekor/hari) X7 = Jumlah Daun Pisang (kg BK/ekor/hari) X8 = Jumlah Pohon Pisang (kg BK/ekor/hari) X9 = Jumlah Konsentrat jenis B (kg BK/ekor//hari) X10 = Jumlah Ampas Singkong (kg BK/ekor/hari) X11 = Jumlah Ampas Tahu (kg BK/ekor/hari) X12 = Jumlah Konsentrat jenis A (kg BK/ekor/hari) X13 = Jumlah Polar (kg BK/ekor/hari) X14 = Jumlah Mineral (g BK/ekor/hari) X15 = Tenaga Kerja (HOK/ST) X16 = Jumlah Sapi Perah Laktasi (ST) X17 = Jumlah Konsentrat jenis C (kg BK/ekor/hari) X18 = Jumlah Dedak Padi (kg BK/ekor/hari) X19 = Jumlah Ampas Bir (kg BK/ekor/hari) X20 = Jumlah Jerami (kg BK/ekor/hari) vi - ui = Error term (ui = efek inefisiensi teknis dalam model dan vi = efek faktor eksternal yang tidak dimodelkan) Nilai koefisien yang diharapkan 1, 2, 3 .... 20 > 0. Nilai koefisien positif memiliki arti dengan meningkatnya jumlah input yang digunakan dalam produksi maka akan meningkatkan jumlah produksi susu sapi perah. Dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, jumlah elastisitas dari masing-masing faktor produksi yang diduga merupakan pendugaan skala usaha (return to scale). Analisis Efisiensi Teknis dan Inefisiensi Teknis Analisis efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut: TEi = exp (-E[ui|εi]) i = 1,...,N Dimana TEi adalah efisiensi teknis petani ke-i, exp(-E[ui|εi]) adalah harapan (mean) dari ui dengan syarat εi, jadi 0 ≤ TEi ≤ 1. Nilai efisiensi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu (cross section data). Pada penelitian ini, model efek inefisiensi yang digunakan mengacu pada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Coelli et al. (2005).
12
Parameter distribusi ( i) efek inefisiensi teknis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: = δ0 + δ1Z1 + δ2Z2 + δ3Z3 + δ4Z4 + wit i dimana faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis peternak sapi perah adalah: = efek inefisiensi teknis i Z1 = umur peternak (tahun) Z2 = pengalaman usaha beternak sapi perah (tahun) Z3 = pendidikan formal peternak (tahun) Z4 = dummy status kepemilikan ternak (Z41=1, jika ternak milik sendiri dan Z41=1 jika sistem bagi hasil) wit = error term Nilai koefisien parameter yang diharapkan δ1 > 0 dan δ2, δ3, δ4 < 0. Adapun hipotesis yang diajukan untuk model inefisiensi teknis adalah sebagai berikut: 1. Semakin tua umur peternak diduga akan berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis karena dengan semakin bertambahnya umur, kondisi fisik akan semakin melemah. 2. Semakin lama pengalaman peternak dalam menjalani usaha beternak sapi perah diduga akan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis karena pengalaman akan memberikan pembelajaran bagi para peternak dalam melakukan usaha beternaknya. 3. Semakin lama pendidikan formal petani diduga akan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis karena peternak dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diduga akan lebih mudah dalam mengadopsi teknologi dan menyerap informasi tentang input-input produksi. 4. dummy status kepemilikan ternak diduga akan berpengaruh terhadap inefisiensi teknis karena akan mempengaruhi keseriusan dan ketekunan peternak dalam menjalankan usaha ternaknya. Nilai satu untuk peternak dengan ternak miliki sendiri dan nol untuk peternak dengan sistem bagi hasil. Pengujian inefisiensi teknis dapat dilakukan dengan metode statistik. Hasil pengujian Frontier 4.1 akan memberikan nilai perkiraan varians dari parameter dalam bentuk sebagai berikut: 2 2 2 2 2 s = v + u dan = u / s dimana s2 adalah varians dari distribusi normal, v2 adalah varians dari vi, dan 2 u adalah varians dari ui. Nilai parameter ( ) merupakan kontribusi dari efisiensi teknis di dalam residual error ( ) yang nilainya berkisar antara nol dan satu. Uji Hipotesis Pengujian parameter fungsi produksi stochastic frontier dan efek inefisiensi teknis model dilakukan dengan dua tahap. Tahap yang pertama dilakukan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menduga parameter input-input produksi ( i). Tahap kedua dilakukan menggunakan metode Maximum Likelihood Estimated (MLE) untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi ( i), intersep ( 0), serta varians dari kedua komponen error ( v2 dan u2) pada taraf nyata sebesar .
13
Hipotesis pertama : H0 : = δ0 = δ1 = δ2 = δ3 = δ4 = 0 H1 : = δ0 = δ1 = δ2 = δ3 = δ4 > 0 Hipotesis nol berarti efek inefisiensi teknis tidak ada dalam model. Jika hipotesis ini diterima maka model fungsi produksi rata-rata sudah cukup mewakili data empiris. Uji yang digunakan adalah uji chi-square, dengan persamaan : LR = -2 {ln[L(H0)/L(H1)]} Dimana L(H0) dan L(H1) masing-masing adalah nilai fungsi likelihood dari hipotesis nol dan hipotesis alternatif. Kriteria uji : LR galat satu sisi > 2restriksi (table Kodde dan Palm) maka tolak H0 LR galat satu sisi < 2restriksi (table Kodde dan Palm) maka terima H0 Hipotesis Kedua : H0 : δ1 = 0 H1 : δ1 ≠ 0 ; i = 1,2,3,...,n Hipotesis nol berarti koefisien dari masing-masing variabel di dalam model efek inefisiensi sama dengan nol. Jika hipotesis ini diterima maka masingmasing variabel penjelas dalam model efek inefisiensi tidak memiliki pengaruh terhadap inefisiensi di dalam proses produksi. Uji Statistik yang digunakan : 0 t-rasio = i S i t-tabel = t(α, n-k-1) Kriteria uji : | t-rasio| > t-tabel t(α, n-k-1) : tolak H0 | t-rasio| < t-tabel t(α, n-k-1) : terima H0 = jumlah variabel bebas dimana: k n = jumlah pengamatan (responden) S (δi) = simpangan baku koefisien efek inefisiensi 2. Analisis Keterampilan dan Pengetahuan Teknis Beternak Keterampilan teknis beternak akan dinilai dengan menggunakan uji chisquare untuk membandingkan nilai hasil pengamatan dengan nilai harapan faktor penentu ternak sapi perah menurut Direktorat Jenderal Peternakan (1983). Nilai impact point diuji dengan uji chi-square untuk membandingkan nilai hasil pengamatan dengan nilai idealnya. Uji chi-square yaitu uji yang menyangkut keselarasan goodness of fit atau uji kebebasan tentang distribusi empiris ataupun teoritis. Wibisono (2009) menyatakan uji ini berdasarkan pada seberapa baik keselarasan antara frekuensi pengamatan dengan frekuensi yang diharapkan dari distribusi teoritis yang diharapkan. Bentuk persamaan uji ini yaitu: n
X2 = i 1
(oi
ei ) 2 ei
Keterangan: oi = nilai pengamatan ke i
14
ei = nilai harapan ke i i = 1, 2, ..., n Peubah yang diamati, yaitu : 1. Pembibitan dan Reproduksi Peubah yang akan diamati meliputi bangsa sapi yang dipelihara, cara seleksi, cara kawin, pengetahuan berahi, umur beranak pertama, saat dikawinkan setelah beranak dan selang beranak (calving interval). 2. Makanan Ternak Peubah yang akan diamati meliputi cara pemberian HMT dan konsentrar, jumlah pemberian HMT dan konsentrat, frekuensi pemberian pakan, kualitas HMT dan konsentrat, serta pemberian air minum. 3. Pengelolaan Peubah yang akan diamati meliputi kebersihan ternak, kebersihan kandang, cara pemerahan oleh peternak, penanganan pasca panen, pemeliharaan pedet dan dara, pengeringan sapi laktasi dan pencatatan usaha. 4. Kandang dan Peralatan Peubah yang akan diamati meliputi tata letak, konstruksi, drainase, tempat kotoran, peralatan kandang dan peralatan susu. 5. Kesehatan Hewan Peubah yang akan diamati meliputi pengetahuan peternak tentang penyakit, cara pencegahan dan pengobatan penyakit. 3. Analisis Pendapatan Peternak Pendapatan peternak adalah selisih antara penerimaan dan biaya yang telah dikeluarkan. Pendapatan peternak dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai yaitu pendapatan yang diperoleh atas biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani, sedangkan pendapatan atas biaya total yaitu pendapatan yang memperhitungkan semua input milik keluarga yang juga dianggap sebagai biaya (Soekartawi 2002). Tingkat penerimaan total, biaya dan pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut : TR = Py x Y TC = TFC + TVC π tunai = TR total – TC tunai π total = TR total – (TC tunai + Bd) dimana : TR total = Total penerimaan peternak (Rupiah) TC tunai = Total biaya tunai peternak (Rupiah) π = Pendapatan (Rupiah) Bd = Biaya yang diperhitungkan (Rupiah) Py = Harga output (Rupiah) Y = Jumlah output (Kg) TVC = Total biaya variabel (Rupiah) TFC = Total biaya tetap (Rupiah) Penerimaan juga dibagi menjadi dua, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan total. Penerimaan tunai merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk usaha ternak, yaitu jumlah produk yang dijual kemudian
15
dikalikan dengan harga jual produk tersebut. Berbeda halnya dengan penerimaan total yang merupakan keseluruhan produksi usaha ternak baik yang dijual, dikonsumsi, maupun yang dijadikan persediaan. Selanjutnya, dalam pendapatan usaha ternak dikenal komponen biaya. Biaya juga terbagi menjadi dua yakni biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai mengandung arti sejumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa untuk kepentingan usaha ternak. Biaya total merupakan seluruh nilai yang dikeluarkan untuk usaha ternak, baik yang bersifat tunai maupun tidak tunai. Analisis R/C digunakan untuk menganalisis pendapatan usaha peternakan sapi perah yaitu dengan membandingkan penerimaan dengan pengeluaran usaha ternaknya. Perhitungan R/C dapat dirumuskan sebagai berikut: Total Penerimaan TR R/C atas Biaya Tunai = = Total Biaya Tunai TC tunai R/C atas Biaya Total
=
Total Penerimaan TR = Total Biaya TC tunai Bd
Analisis R/C digunakan untuk mengetahui besarnya penerimaan yang diterima peternak dari setiap rupiah yang dikeluarkan pada suatu usaha ternaknya. Apabila R/C > 1, berarti usaha ternak dapat dikatakan menguntungkan. Sebaliknya, jika R/C < 1, berarti usaha ternaktersebut tidak menguntungkan dan tidak efisien.
4 1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Variabel Usaha Peternakan Sapi Perah
Statistik deskripsi berguna untuk mengetahui karakter dari sampel yang diteliti dalam penelitian. Dari statistik deskripsi tersebut dapat diketahui nilai ratarata, nilai minimum, nilai maksimum dan standar deviasi masing-masing variabel dari sampel yang diteliti. Tabel 1 menyajikan statistik deskripsi untuk semua variabel yang digunakan dalam estimasi fungsi produksi stochastic frontier. Produksi susu Tingkat produksi susu adalah banyaknya susu yang dihasilkan per ekor sapi perah per hari. Rata-rata produksi susu pada usaha peternakan kategori 1 sebesar 14.5 liter/ekor/hari dengan nilai minimum 7 liter/ekor/hari dan nilai maksimum 20.8 liter/ekor/hari. Nilai produksi susu kategori 1 ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata produksi susu pada usaha peternakan kategori 2 yaitu 16.7 liter/ekor/hari dengan nilai minimum 10.3 liter/ekor/hari dan nilai maksimum 23.9 liter/ekor/hari. Nilai standar deviasi lebih kecil dari rata-rata yaitu 3.3, hal ini menunjukkan bahwa data terkumpul dan terdistribusi normal. Konsistensi peternak dalam menjalankan proses manajemen pemeliharaan sangat berpengaruh terhadap produksi susu, seperti pengaturan pelaksanaan perkawinan dan optimasi dalam pemberian pakan. Keberdayaan peternak sebagai pemelihara yang pada umumnya telah memiliki kemampuan yang baik seperti
16
mengetahui tampilan eksterior sapi yang bagus, mengetahui secara tepat tandatanda sapi berahi, mengetahui umur sapi yang layak untuk dikawinkan dan waktu untuk dikawinkan kembali setelah beranak. Penundaan waktu perkawinan yang sering dilakukan oleh peternak untuk memperpanjang masa laktasi akan memperlambat proses kebuntingan yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi susu. Perbedaan imbangan hijauan dan konsentrat antara kedua kategori usaha peternakan mengakibatkan perbedaan pada produksi susu yang dihasilkan. Komposisi pakan sangat mempengaruhi produksi dan kualitas susu yang dihasilkan. Sapi perah laktasi yang mengkonsumsi hijauan atau serat kasar tinggi akan menghasilkan susu dengan kandungan lemak yang tinggi, sedangkan bila diberi konsentrat dengan imbangan yang lebih tinggi akan menghasilkan produksi susu yang tinggi dengan kadar lemak rendah. Hal ini berkaitan dengan rasio antara energi dan protein yang mempengaruhi aktivitas mikroba rumen dan total VFA yang dihasilkan yaitu asetat, propionat dan butirat yang merupakan komponen untuk sintesis kadar lemak, protein dan SNF, sedangkan protein dan SNF merupakan komponen susu yang digunakan untuk indikasi produksi susu (Cole dan Heresign 1988). Tabel 1 Statistik deskriptif variabel usaha peternakan sapi perah Kategori 1 Kategori 2 Variabel Rata-rata Standar Rata-rata Standar Deviasi Deviasi Produksi susu (liter/ekor/hari) Jumlah Pemberian Hijauan (kg BK/ekor/hari) Jumlah Pemberian Konsentrat (kg BK/ekor/hari) Jumlah Pemberian Mineral (g BK/ekor/hari) Herd Size (ST) Jumlah Kepemilikan Betina Laktasi (ST) Tenaga Kerja (HOK/ST) Umur Peternak (tahun) Pengalaman Beternak (tahun) Pendidikan Formal (tahun) Status Kepemilikan Ternak Milik Sendiri (%)
14.5 (7.0-28.0) 13.8 (4.0-31.2)
3.3 6.4
16.7 (10.3-23.9) 8.8 (2.7-24.4)
4.5 9.7 (5.0-23.4) 22.9 (3.4-44.4) 3.9 (2.0-6.5) 3.1 (1.0-5.0) 0.3 (0.2-0.6) 44.5 (20.0-85.0) 23.3 (8.0-64.0) 7.1 (2.0-15.0) 90.0
12.4 1.2 1.1 0.11 15.3 13.0 3.1
2.9 4.3 1.8
9.9 (6.6-13.8) 17.8 (5.6-30.0) 8.9 (6.2-13.0) 7.1 (6.0-10.0) 0.3 (0.2-0.5) 46.5 (31.0-63.0) 28.1 (2.0-44.0) 8.1 (5.0-16.0) 86.7
Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan nilai maksimum dan nilai minimum
6.9 1.9 1.3 0.1 8.3 9.7 2.9
17
Jumlah pemberian hijauan Jenis hijauan yang diberikan pada ternak di Kecamatan Lembang antara lain rumput gajah/Pennisetum purpureum, rumput lapang jenis A/Cynodon plectostachyus, rumput lapang jenis B/Lantana camara, rumput lapang jenis C/Pseudechinolaena polystachya, rumput lapang jenis D/Digitaria sp, kaliandra, daun pisang, jerami dan pohon pisang. Jumlah pemberian hijauan pada usaha peternakan kategori 1 lebih tinggi bila dibandingkan dengan kategori 2, yaitu ratarata 13.2 kgBK/ekor/hari dengan nilai minimum 4.0 kgBK/ekor/hari dan nilai maksimum 31.2 kgBK/ekor/hari, sedangkam pada usaha peternakan kategori 2 nilai rata-ratanya yaitu 8.8 kgBK/ekor/hari dengan nilai minimum 2.7 kgBK/ekor/hari dan nilai maksimum 24.4 kgBK/ekor/hari. Perbedaan jumlah pemberian hijauan pada kedua kategori ini dikarenakan lokasi usaha peternakan yang berbeda, pada usaha peternakan sapi perah pada kategori 1 untuk ketersediaan lahan penanaman HMT masih memungkinkan. Rata-rata kepemilikan lahan untuk penanaman HMT yang dimiliki oleh peternak adalah 0.53 ha dan juga adanya dukungan dari Perhutani dalam rangka sharing penggunaan lahan untuk keperluan penanaman HMT. Dengan rata-rata jumlah kepemilikan ternak (herd size) sebanyak 3.94 ST, peternak pada usaha kategori ini masih dapat memenuhi kebutuhan pakan hijauan dan bahkan ada yang memberikan dalam jumlah yang berlebihan. Jumlah pemberian konsentrat Jenis konsentrat yang diberikan antara lain konsentrat jenis A, konsentrat jenis B. konsentrat C, ampas tahu, ampas singkong, polar, dedak padi dan ampas bir. Jumlah pemberian konsentrat pada usaha peternakan kategori 1 lebih rendah apabila dibandingkan pada usaha peternakan sapi perah kategori 2, yaitu rata-rata 9.7 kgBK/ekor/hari, sedangkan pada kategori 2 nilai rata-rata pemberian konsentrat yaitu 9.9 kgBK/ekor/hari. Pada usaha peternakan pada kategori 2 ini, dalam memenuhi kebutuhan pakan ternak dengan kondisi minimnya hijauan dikarenakan lokasi usaha peternakan kategori 2 merupakan daerah semi urban di mana ketersediaan lahan penanaman HMT sangat terbatas serta tidak ada dukungan dari Perhutani sehingga peternak cenderung memperbanyak penggunaan konsentrat. Jumlah pemberian mineral Rata-rata pemberian mineral pada usaha peternakan kategori 1 sebesar 22.9 gram BK/ekor/hari, sedangkan pada usaha peternakan kategori 2 rata-rata 17.8 gram BK/ekor/hari. Tidak semua peternak menggunakan mineral sebagai pakan pelengkap dikarenakan untuk mengurangi pengeluaran yang berasal dari biaya pakan, selain itu dikarenakan dalam konsentrat yang mereka gunakan sudah terkandung mineral. Herd Size Persentase jumlah dan komposisi sapi perah peternak responden pada masing-masing kelompok ternak terdapat pada Tabel 2. Tabel ini menunjukkan komposisi kepemilikan ternak berdasarkan kelompok umur sapi yang terbagi atas kelompok pedet berumur kurang dari 6 bulan, sapi dara/muda yang berumur 6 bulan sampai dikawinkan pertama kali dan sapi dewasa. Sapi dewasa
18
dikelompokkan menjadi sapi betina laktasi, kering dan sapi pejantan muda Ratarata herd size pada usaha peternakan kategori 1 adalah 3.9 ST, sedangkan pada usaha peternakan kategori 2 rata-rata herd size sebanyak 8.9 ST. Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kedua kategori usaha peternakan ratarata jumlah kepemilikan sapi perah laktasi lebih banyak dibandingkan dengan sapi yang kering kandang dengan rasio 9.7% : 90.3% pada ketegori 1 dan 7.8% : 92.2% pada kategori 2. Kondisi ini sudah mencapai ideal karena menurut Bath et al. (1978) imbangan yang baik adalah jumlah sapi laktasi sebesar 85%. Adanya pengembangan dalam pemeliharaan sapi dara dan pedet yang baik dapat digunakan sebagai penambah dan pengganti sapi laktasi. Persentase pedet betina dan dara pada kategori 1 sebesar 10.2% sedangkan pada kategori 2 sebesar 8.6% kondisi ini belum mencapai ideal karena menurut Tyler dan Ensminger (2006) menyatakan bahwa untuk menjaga kesinambungan usaha sapi perah, maka imbangan yang baik sebagai ternak cadangan adalah sebesar 20-25%. Tabel 2 Jumlah kepemilikan ternak Kategori 1 Kategori 2 Kelas Sapi Perah persentase persentase ekor ST (%) ekor ST (%) Pedet - jantan 11 2.8 2.3 22 5.5 2.1 - betina 26 6.5 5.5 55 13.8 5.2 Dara 11 5.5 4.7 18 9.0 3.4 Jantan - dewasa 4 4.0 1.5 - muda 1 0.5 0.4 5 2.5 0.9 Betina kering kandang 10 10.0 8.5 18 18.0 6.7 Betina laktasi 93 93.0 78.6 214 214.0 80.2 Jumlah total 152 118.2 100.0 336 266.8 100.0 Jumlah kepemilikan betina laktasi Rata-rata jumlah kepemilikan betina laktasi pada usaha peternakan kategori 1 adalah 3.1 ST dengan nilai minimum 1 ST dan nilai maksimum 5 ST, sedangkan pada usaha peternakan kategori 2 rata-rata jumlah kepemilikan betina laktasi sebanyak 7.1 ST dengan nilai minimum 6 dan nilai maksimum 10 ST. Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan peternak pada kedua kategori terdiri dari tenaga kerja keluarga. tenaga kerja sewa atau tenaga kerja luar keluarga. Input tenaga kerja keluarga yang dimaksud adalah curahan tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga sendiri dalam usaha peternakan sapi perah. Tenaga kerja sewa atau luar keluarga adalah penggunaan tenaga kerja di luar anggota keluarga yang digunakan dalam usaha peternakan sapi perah. Tenaga kerja luar keluarga ini digunakan hanya pada usaha peternakan ketegori 2. Rata-rata tenaga kerja pada usaha peternakan kategori 1 yaitu 0.3 HOK/ST sedangkan pada usaha peternakan
19
kategori 2 adalah 0.3 HOK/ST. Rata-rata curahan tenaga kerja pada usaha ketegori 1 lebih tinggi dibandingkan pada kategori 2 karena dengan jumlah kepemilikan sapi perah yang relatif sedikit dan juga menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri maka peternak pada kategori ini cenderung meluangkan waktunya lebih lama dalam mengurus ternaknya. Umur Peternak Umur merupakan salah satu komponen yang menggambarkan karakteristik peternak. Tingkat umur peternak usaha peternakan kategori 1 dan 2 disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa sebagian besar 86.7% pada kategori 1 dan 93.3% pada kategori 2 umur peternak berkisar antara 15-60 tahun, sedangkan sisanya di bawah 15 tahun atau di atas 60 tahun, artinya sebagian besar peternak termasuk dalam usia produktif. Rata-rata umur peternak pada usaha peternakan kategori 1 adalah 44.5 tahun atau berkisar antara 26-60 tahun. Ratarata umur kategori 1 ini lebih rendah dari umur peternak pada usaha ketegori 2 yaitu rata-rata 46.5 tahun atau berkisar antara 41-60 tahun. hal ini mennjukkan bahwa usaha peternakan sapi perah pada kategori 2 mayoritas dilakukan oleh generasi tua.
Umur (tahun) 15-25 26-40 41-60 >60
Tabel 3 Tingkat umur peternak Kategori 1 Kategori 2 Jumlah Persentase (%) Jumlah Peternak Persentase (%) Peternak 2 6.7 12 40.0 9 30.0 12 40.0 19 63.3 4 13.3 2 6.7
Pengalaman Ternak Tingkat pengalaman responden menunjukkan lamanya peternak melaksanakan usahanya. Pengalaman dapat mempengaruhi hasil produksi ternak. Empiris lapangan menunjukkan terdapat variasi pengalaman dalam usaha peternakan sapi perah. Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar 50.0% pada usaha kategori 1 dan 76.7 % pada usaha kategori 2 peternak mempunyai pengalaman lebih dari 21 tahun. Tabel 4 Pengalaman peternak dalam kegiatan budidaya sapi perah Kategori 1 Kategori 2 Pengalaman Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) (tahun) Peternak Peternak 1-5 1 3.3 6-10 2 6.8 11-20 13 43.3 6 20.0 >21 15 50.0 23 76.7
20
Pendidikan Formal Tingkat pendidikan peternak responden merupakan faktor yang cukup penting dalam usaha ternak karena usaha peternakan sapi perah membutuhkan kecakapan. pengalaman serta pengetahuan atau wawasan tertentu terutama dalam hal mengadopsi teknologi dan keterampilan. Oleh karena itu tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengembangan usaha. Tabel 5 memperlihatkan bahwa sebagian besar 66.7% pada usaha ketegori 1 dan 56.7% pada usaha kategori 2 tingkat pendidikan formal peternak di Kecamatan Lembang adalah lulusan SD.
Tingkat Pendidikan
Tabel 5 Tingkat pendidikan formal peternak Kategori 1 Kategori 2 Jumlah Persentase (%) Jumlah Peternak Persentase (%) Peternak
SD SMP SMA Diploma
20 5 4 1
2
66.7 16.7 13.3 3.3
17 6 6 1
56.7 20.0 20.0 3.3
Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Produksi susu ditentukan oleh penggunaan input-inputnya baik pakan hijauan. konsentrat. jumlah sapi perah laktasi dan tenaga kerja. Analisis fungsi produksi menggambarkan hubungan produksi dengan input-inputnya di mana dalam penelitian ini menggunakan fungsi produksi model stochastic frontier Cobb Douglas. Analisis fungsi produksi dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu di lokasi penelitian. Analisis OLS dilakukan terlebih dahulu untuk menguji apakah terdapat pelanggaran asumsi atau tidak menunjukkan adanya masalah multikolinearitas dan autokorelasi. Hasil pendugaan tahap kedua yaitu pendugaan model fungsi produksi dengan menggunakan metode MLE dijelaskan oleh Tabel 6. Hasil pendugaan tersebut tersebut menggambarkan kinerja terbaik dari petenak responden pada tingkat teknologi yang ada. Pada tabel disajikan parameter dugaan fungsi produksi stochastic frontier dengan metode MLE dan nilai signifikansinya. Untuk kategori 1 menunjukkan nilai sigma-squared (σ2) bernilai 0.0261 serta nyata pada taraf kepercayaan 95 persen. Sedangkan gamma (γ) bernilai 0.4217 yang mengindikasikan keberadaan efisiensi teknis dalam proses produksi atau variasi hasil yang disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis adalah sebesar 42.17 persen. Nilai LR galat satu sisi dari model dugaan stochastic frontier adalah sebesar 6.2274 yang lebih kecil dari χ2 (5%.6) yaitu 17.791 pada Tabel Kodde dan Palm (1986). Ini berarti model fungsi produksi stochastic frontier yang diperoleh tidak dapat menunjukkan adanya keberadaan inefisiensi teknis pada model. Hasil pendugaan model fungsi produksi dengan menggunakan metode MLE untuk kategori 2 menunjukkan nilai sigma-squared (σ2) bernilai 0.0123 serta nyata pada α=0.5%. Nilai gamma (γ) yang mendekati 1 yaitu 0.999 menunjukkan bahwa error term hanya berasal dari akibat inefisiensi (µi) dan bukan berasal dari noise (vi). Gamma bernilai 0.9999 mengindikasikan keberadaan efisiensi teknis
21
dalam proses produksi atau variasi hasil yang disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis adalah sebesar 99.99 persen. Nilai LR galat satu sisi dari model dugaan stochastic frontier adalah sebesar 26.5360 yang lebih besar dari χ2 (5%.6) pada Tabel Kodde dan Palm (1986) pada α= 0.5% (17.791). Ini berarti model fungsi produksi stochastic frontier yang diperoleh dapat menunjukkan adanya keberadaan inefisiensi teknis pada model. Berdasarkan dari hasil pendugaan model fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan bahwa pengaruh penggunaan input-input produksi memberikan pengaruh yang berbeda pada kedua kategori usaha peternakan sapi perah rakyat. Hal ini dikarenakan pengalokasian input-input produksi berupa Tabel 6 Pendugaan model fungsi produksi pada usaha peternakan sapi perah kategori 1 dan kategori 2 dengan menggunakan metode MLE Kategori I Kategori II Variabel Input Parameter t-rasio Parameter t-rasio Dugaan Dugaan Intersep (β0) 3.3499 5.7962 3.2545 8.0542 b a Rumput Gajah (β 1) 2.4537 5.4742 0.1081 0.0720 Rumput Lapang A (β 2) -0.0055 -0.2847 0.0004 0.3227 b a Rumput Lapang B (β 3) -1.9143 3.8164 -0.0525 0.0601 a Rumput Lapang C (β 4) 3.2057 0.0941 c Rumput Lapang D (β 5) -1.5189 -0.0160 -1.1980 -0.0339 a Kaliandra (β 6) 0.0505 1.3110 -3.8493 -0.1423 a Daun Pisang (β 7) -0.0232 -0.7542 -3.8751 -0.1110 c a Pohon Pisang (β 8) 1.6629 5.4119 0.0481 0.0961 a Konsentrat B (β 9) 0.0220 1.2354 9.4173 0.0161 c Ampas Singkong (β 10) 0.0224 0.5226 1.7322 0.0176 b a Ampas Tahu (β 11) 2.5083 7.9627 0.1237 0.0384 b Konsentrat A (β 12) 2.7819 -0.0026 -0.3916 0.0594 a Polar (β 13) -0.0274 -0.6953 3.2675 0.0547 b b Mineral (β 14) 2.4244 -2.1047 0.0276 -0.0173 c Tenaga Kerja (β 15) -0.1482 -0.6588 1.5804 0.0078 b Sapi Perah Laktasi (β 16) -0.0820 -0.5403 -2.4355 -0.3630 Konsentrat C (β 17) 0.0043 0.2048 Dedak Padi (β 18) -0.0270 -1.1500 b Ampas Bir (β 19) 2.8657 0.0435 a Jerami (β 20) 5.4329 0.0237 2 b a Sigma-squared (σ ) 2.8642 5.1559 0.0261 0.0123 c a Gamma(γ) 1.3983 0.4217 0.9999 14299.60 Log-likehood MLE 14.4782 45.5857 LR test of one side error 6.2274 26.5360 Keterangan:
a)
nyata pada α = 0.5%;
b)
nyata pada α = 5%;
c)
nyata pada α = 10%
22
hijauan,konsentrat, mineral, besaran tenaga kerja dan jumlah kepemilikan sapi betina yang dilakukan oleh peternak pada masing-masing kategori berbeda sehingga memberikan efek yang berbeda terhadap produksi susu. Parameter dugaan pada fungsi stochastic frontier menunjukkan nilai elastisitas produksi frontier dari input-input yang digunakan. Elastisitas produksi frontier kategori 1 dari variabel rumput lapang Pseudechinolaena polystachya ditemukan berpengaruh nyata pada taraf α=0.5% dengan nilai elastisitas produksi sebesar 0.0941. Rumput gajah, ampas tahu, konsentrat A, dan mineral berpengaruh nyata pada taraf α=5% dengan nilai elastisitas produksi masing-masing 0.1081, 0.1237, 0.0594 dan 0.0276. Sedangkan pohon pisang ditemukan berpengaruh nyata pada taraf α=10% dengan elastisitas produksi 0.0481. Angka-angka ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah rumput lapang Pseudechinolaena polystachya, rumput gajah, ampas tahu, konsentrat A, mineral dan pohon pisang masing-masing sebesar 1 persen (dengan asumsi input lain tetap). masih dapat meningkatkan produksi susu rata-rata per ekor per hari dengan penambahan produksi 0.0941, 0.1081, 0.1237, 0.0594, 0.0276 dan 0.0481. Elastisitas pada kategori 1 yang bertanda positif namun belum memberikan pengaruh antara lain kaliandra, konsentrat B dan ampas singkong dengan nilai elastisitas produksi masing-masing 0.0505, 0.0220 dan 0.0224. Hal ini menunjukkan bahwa peternak masih dapat meningkatkan penggunan kaliandra, konsentrat B dan ampas singkong dalam pakan untuk meningkatkan produksi susu. Elastisitas produksi frontier kategori 2 dari variabel rumput gajah. rumput lapang B/Lantana camara, pohon pisang, konsentrat B, ampas tahu, polar dan jerami ditemukan berpengaruh nyata pada taraf α=0.5% dengan nilai elastisitas produksi masing-masing sebesar 0.0720 untuk rumput gajah, 0.0601 untuk rumput lapang B/ Lantana camara , 0.0961 untuk pohon pisang, 0.0161 untuk konsentrat B, 0.0384 untuk ampas tahu, 0.0547 untuk polar dan 0.0237 untuk jerami. Angkaangka ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah rumput gajah, rumput lapang B, pohon pisang, konsentrat B, ampas tahu, polar dan jerami masing-masing sebesar 1 persen (dengan asumsi input lain tetap) masih dapat meningkatkan produksi susu rata-rata per ekor per hari dengan penambahan produksi 0.0720, 0.0601, 0.0961, 0.0161, 0.0384, 0.0547 dan 0.0237 persen. Untuk ampas bir berpengaruh nyata pada taraf α=5% dengan nilai elastisitas produksi 0.0435, sedangkan ampas singkong dan tenaga kerja berpengaruh nyata pada taraf α=10% dengan nilai elastisitas produksi masing-masing sebesar 0.0176 dan 0.0078. Elastisitas pada kategori 2 yang bertanda positif namun belum memberikan pengaruh antara lain rumput lapang Cynodon plectostachyus dan konsentrat C dengan nilai elastisitas masing-masing 0.0720 dan 0.0043. Hal ini berarti rumput lapang Cynodon plectostachyus dan konsentrat C masih dapat ditingkatkan penggunaannya dalam pakan untuk meningkatkan produksi susu. Model fungsi produksi stochastic frontier pada kategori 1 ditemukan elastisitas produksi yang bertanda negatif yaitu rumput lapang B/ Lantana camara yang berpengaruh nyata pada α=5% dengan elastisitas produksi (-0.0525), rumput lapang D/ Digitaria sp yang berpengaruh nyata pada α=10% dengan elastisitas produksi (-0.0339). rumput lapang A/Cynodon plectostachyus yang bertanda
23
negatif dan elastisitas (-0.0055), daun pisang bertanda negatif dengan elastisitas (0.0232), polar bertanda negatif dengan elastisitas (-0.0274), tenaga kerja bertanda negatif dengan elastisitas (-0.1482) dan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi yang bertanda negatif dengan nilai elastisitas (-0.0820). Model fungsi produksi stochastic frontier pada kategori 2 juga ditemukan elastisitas produksi yang bertanda negatif yaitu kaliandra dan daun pisang yang berpengaruh nyata pada α=0.5% dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar (-0.1423) dan (-0.1110). Demikian juga dengan mineral dan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi yang berpengaruh negatif dan nyata pada taraf α=5% dengan nilai elastisitas mineral dan betina laktasi masing-masing sebesar (-0.0173) dan (-0.3630). Elastisitas jumlah pemberian rumput lapang Digitaria sp, konsentrat A dan dedak padi yang bertanda negatif dan tidak nyata dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar (-0.0160), (-0.0026) dan (-0.0270). Pengaruh variabel-variabel input produksi pada kedua kategori : Rumput gajah/ Pennisetum purpureum Variabel rumput gajah /Pennisetum purpureum mempunyai nilai elastisitas produksi bertanda positif pada kedua kategori peternak, hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan rumput gajah dalam pakan dapat meningkatkan produksi susu. hal ini karena rumput gajah merupakan pakan hijuan utama pada sapi perah dan kebutuhan ternak terhadap rumput gajah cukup besar. Rata-rata jumlah konsumsi rumput gajah pada peternak kategori 1 yaitu 7.71 kgBK/ekor/hari atau dengan kata lain kontribusi pemberian rumput gajah terhadap total pemberian pakan hijauan sebesar 55.95%. Sedangkan pada peternak kategori 2 rata-rata jumlah konsumsi rumput gajah sebanyak 3.96 kgBK/ekor/hari atau sebesar 44.92% dari total konsumsi hijauan. Rumput lapang A/Cynodon plectostachyus Rumput lapang A/Cynodon plectostachyus dalam model produksi stochastic frontier pada kedua kategori mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap produksi susu. Pada usaha peternakan kategori 1 mempunyai nilai elastisitas produksi bertanda negatif sedangkan pada kategori 2 mempunyai elastisitas bertanda positif namun belum menunjukkan pengaruh terhadap peningkatan produksi susu. Rata-rata konsumsi rumput lapang Cynodon plectostachyus pada kategori 1 sebanyak 3.00 kgBK/ekor/hari atau 21.77% dari total konsumsi hijauan sedangkan pada kategori 2 rata-rata konsumsi rumput ini sebanyak 1.10 kgBK/ekor/hari atau 12.48% dari total konsumsi hijauan. Penambahan rumput lapang Cynodon plectostachyus pada kondisi kategori 1 di mana rumput gajah yang merupakan hijauan utama yang diberikan telah mencukupi kebutuhan ternak (konsumsi rata-rata =7.71 kgBK/ekor/hari), maka penambahan rumput lapang Cynodon plectostachyus justru akan menurunkan produksi susu. Hal ini berbeda kondisi pada usaha peternakan kategori 2, di mana konsumsi rumput gajah rata-rata hanya sebanyak 3.96 kgBK/ekor/hari, sehingga penggunaan rumput lapang Cynodon plectostachyus masih dapat ditingkatkan pemberiannya untuk meningkatkan produksi susu.
24
Rumput lapang B/Lantana camara Rumput lapang B/Lantana camara dalam model produksi stochastic frontier pada kedua kategori mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap produksi susu. Pada usaha peternakan kategori 1 mempunyai nilai elastisitas produksi bertanda negatif dan berpengaruh nyata pada α = 5%, sedangkan pada kategori 2 mempunyai elastisitas bertanda positif dan berpengaruh nyata pada α = 0.5% terhadap peningkatan produksi susu. Rata-rata konsumsi rumput lapang Lantana camara pada kategori 1 sebanyak 0.75 kgBK/ekor/hari atau 5.44% dari total konsumsi hijauan sedangkan pada kategori 2 rata-rata konsumsi rumput ini sebanyak 0.41 kgBK/ekor/hari atau 4.65% dari total konsumsi hijauan. Penambahan rumput lapang Lantana camara pada kondisi kategori 1 di mana rumput gajah yang merupakan hijauan utama yang diberikan telah mencukupi kebutuhan ternak (konsumsi rata-rata =7.71 kgBK/ekor/hari), maka penambahan rumput lapang Lantana camara justru akan menurunkan produksi susu. Hal ini berbeda kondisi pada usaha peternakan kategori 2, di mana konsumsi rumput gajah rata-rata hanya sebanyak 3.96 kgBK/ekor/hari. sehingga penggunaan rumput lapang Lantana camara memberikan respon pada peningkatan produksi susu. Rumput lapang C/Pseudechinolaena polystachya Rumput lapang C/Pseudechinolaena polystachya dalam model produksi stochastic frontier pada kategori1 mempunyai elastisitas bertanda positif dan berpengaruh nyata pada α = 0.5% terhadap peningkatan produksi susu. Rata-rata konsumsi rumput lapang Pseudechinolaena polystachya sebanyak 1.53 kgBK/ekor/hari atau 11.10% dari total konsumsi hijauan. Penggunaan rumput lapang Pseudechinolaena polystachya ini ternyata keberadaannya dalam pakan mampu mensubsitusi rumput gajah dan mempengaruhi peningkatan produksi susu. Pada usaha peternakan kategori 2 tidak ada penggunaan rumput lapang Pseudechinolaena polystachya dalam pakan. Rumput lapang D/ Digitaria sp Rumput lapang D/ Digitaria sp ditemukan memiliki elastisitas bertanda negatif pada pada kedua kategori. Pada kategori 1. rumput Digitaria sp ini berpengaruh nyata pada α = 10% terhadap penurunan produksi susu. Konsumsi rata-rata rumput Digitaria sp pada kategori 1 adalah 3.81 kgBK/ekor/hari atau 27.65% total konsumsi pakan hijauan. Sedangkan konsumsi rata-rata rumput Digitaria sp pada kategori 2 sebanyak 1.53 kgBK/ekor/hari atau 17.35% dari total konsumsi hijauan. Penggunaan rumput Digitaria sp yang cukup tinggi dalam pakan pada kedua kategori namun tidak memberikan respon terhadap peningkatan produksi susu dikarenakan penggunaan rumput ini sudah berada pada titik jenuh sehingga walaupun penggunaannya ditingkatkan tidak akan meningkatkan pada produksi susu. Kaliandra Kaliandra ditemukan mempunyai elastisitas produksi bertanda positif pada usaha peternakan kategori 1 dan mempunyai elastisitas negatif serta berpengaruh nyata pada α=0.5%. Rata-rata konsumsi kaliandra pada usaha ketegori 1 adalah 8.87 kgBK/ekor/hari atau 64.37% dari total produksi hijauan. sedangkan pada
25
usaha kategori 2 adalah 0.18 kgBK/ekor/hari atau 2.04% dari total konsumsi hijauan. Penambahan kaliandra sebagai pakan subsitusi konsentrat mempunyai pengaruh yang berbeda pada kedua kondisi/kategori peternakan. Usaha peternakan kategori 1 di mana sebagian besar peternak menggunakan konsentrat jenis A sebagai konsentrat. ternyata penggunaan kaliandra sebagai sumber protein mampu melengkapi kekurangan gizi dalam konsentrat A sehingga berpengaruh positif pada produksi susu dan peningkatan pengggunaan kaliandra masih dapat ditingkatkan lagi dalam rangka meningkatkan produksi susu. Hal ini berbeda pada kondisi usaha peternakan kategori 2, di mana sebagian besar peternak telah menggunakan konsentrat B yang kandungan nutrisinya lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat jenis A, sehingga penggunaan kaliandra dalam pakan justru berpengaruh negatif terhadap peningkatan produksi susu. Daun pisang Variabel daun pisang ditemukan memiliki elastisitas bertanda negatif pada usaha peternakan kategori 1 dan bertanda negatif serta berpengaruh nyata pada α=0.5% pada usaha peternakan kategori 2. Rata-rata konsumsi daun pisang pada usaha kategori 1 adalah 0.55 kgBK/ekor/hari atau 3.99% dari total konsumsi hijuan. sedangkan rata-rata konsumsi daun pisang pada usaha kategori 2 yaitu 0.58 kgBK/ekor /hari atau 6.58% dari total konsumsi hijauan. Rendahnya kandungan nutrisi daun pisang dan sedikitnya penggunaannya dalam pakan penggunaan daun pisang menyebabkan penurunan pada produksi susu. Pohon pisang Variabel pohon pisang ditemukan bertanda positif dan berpengaruh nyata pada kedua kategori(α=10% pada kategori 1 dan α=0.5% pada kategori 2). Konsumsi rata-rata pohon pisang pada usaha peternakan kategori 1 adalah 6.24 kgBK/ekor/hari atau 45.25% dari total konsumsi hijauan, sedangkan rata-rata konsumsi pohon pisang pada kategori 1 sebanyak 2.71 kgBK/ekor/hari atau 30.74% dari total konsumsi hijauan. Pohon pisang sebagai pakan subsitusi pada kedua kategori mampu meningkatkan produksi susu. Konsentrat B Variabel konsentrat B ditemukan memiliki elastisitas bertanda positif pada usaha peternakan kategori 1 dan bertanda positif serta berpengaruh nyata pada α=0.5% pada usaha peternakan kategori 2. Kandungan nutrisi konsentrat B yang tinggi karena merupakan pakan pelengkap nilai gizi pada bahan pakan lain (hijauan) dengan kandungan PK= 18.61%, BK=87.68% dan TDN=53.12% serta penggunaannya yang relatif tinggi pada usaha kategori 2 yaitu dengan konsumsi rata-rata 2.98 kgBK/ekor/hari atau 30.04% dari total konsumsi konsentrat menyebabkan konsentrat ini berpengaruh terhadap peningkatan produksi susu. Sedangkan penggunaan konsentrat B pada usaha peternakan kategori 1 hanya dilakukan oleh sebagian kecil peternak (26.67%) dengan rata-rata konsumsi 5.74 kgBK/ekor/hari. Jumlah ini masih bisa ditingkatkan lagi untuk meningkatkan produksi susu.
26
Ampas Singkong Variabel ampas singkong mempunyai nilai elastisitas produksi bertanda positif pada usaha peternakan kategori 1 dan bertanda positif dan berpengaruh nyata pada α=0.10%. Rata-rata konsumsi ampas singkong pada kategori 1 sebanyak 3.07 kg BK/ekor/hari atau 30.84% dari total konsentrat. Penggunaan ampas singkong pada usaha kategori 1 masih bisa ditingkatkan lagi untuk meningkatkan produksi susu. Sedangkan konsumsi rata-rata ampas singkong pada kategori 2 adalah 2.75kg BK/ekor/hari atau 27.72% dari total konsumsi konsentrat. Ampas tahu Variabel ampas tahu mempunyai nilai elastisitas produksi bertanda positif dan berpengaruh nyata (α=0.10% pada kategori1 dan α=0.5%). Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan ampat tahu dapat meningkatkan produksi susu. Ampas tahu merupakan salah satu jenis konsentrat yang hampir digunakan pada peternakan sapi perah karena di samping harganya relatif murah Rp. 700800.-/kg dan ketersediaannya selalu ada. Ampas tahu merupakan pakan pelengkap nilai gizi pada bahan pakan lain (hijauan). Rata-rata konsumsi ampas tahu pada peternak kategori 1 adalah 3.01 kgBK/ekor/hari atau 30.24% dari total konsumsi konsentrat dan kategori 2 adalah 3.40kg BK/ekor/hari atau 34.27% dari total konsumsi konsentrat. Konsentrat A Variabel konsentrat A mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap masing-masing kategori usaha peternakan sapi perah. Pada kategori 1 konsentrat A mempunyai elastisitas bertanda positif dan berpengaruh nyata pada α=0.10%. Rata-rata konsumsi konsentrat A pada kategori 1 adalah 6.06 kgBK/ekor/hari atau 60.88% dari total konsumsi konsentrat serta mampu memberikan respon terhadap peningkatan produksi susu. Hal ini berbeda pada kondisi usaha peternakan kategori 2, di mana penggunaan konsentrat A justru bertanda negatif yang mengindikasikan bahwa penggunaan konsentrat A akan menurunkan produksi susu, hal ini dikarenakan sebagian besar peternak pada kategori 2 mayoritas telah menggunakan konsentrat B yang kandungan nutrisinya lebih tinggi dari konsentrat A. sehingga penggunaan konsentrat A akan menyebabkan kondisi berada pada titik jenuh sehingga tidak memberikan respon pada peningkatan produksi susu. Polar Variabel polar merupakan salah satu pakan konsentrat yang mempunyai kandungan protein tinggi merupakan pakan pelengkap nilai gizi pada bahan pakan lain (hijauan). Penggunaan polar memberikan pengaruh yang berbeda pada kedua kategori usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Lembang. Rata-rata konsumsi polar pada usaha kategori 1 adalah 1.72 kgBK/ekor/hari atau 17.32% dari total konsumsi konsentrat. Pada usaha kategori 1 ini, peternak yang menggunakan polar dalam komposisi pakannya hanya 2 orang (6.67%) sehingga tidak memberikan respon terhadap peningkatan produksi susu. Hal ini berbeda dengan kondisi pada usaha peternakan kategori 2 di mana kondisi penggunaan konsentrat sudah cukup baik secara kualitas sehingga penggunaan polar dengan rata-rata
27
jumlah konsumsi sebesar 1.04 kgBK/ekor/hari mampu meningkatkan produksi susu. Mineral Penggunaan mineral memberikan pengaruh yang berbeda pada kedua kategori usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Lembang. Penggunaan mineral pada kondisi usaha peternakan kategori 1 di mana usaha peternakan ini masih kurang dalam hal kualitas pemberian konsentrat konsumsi rata-rata mineral 22.92 g BK/ekor/hari mampu meningkatkan produksi susu yang ditunjukkan dengan elastisitas bertanda positif dan berpengaruh nyata pada α=5%. Hal ini berbeda dengan penggunaan mineral pada usaha peternakan kategori 2 di mana kondisi penggunaan konsentrat sudah cukup baik secara kualitas, menyebabkan penggunaan mineral menjadi tidak efisien dan berlebih dikarenakan dalam kandungan konsentrat B sudah terdapat mineral dan apabila dilakukan penambahan mineral lagi tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi susu. Tenaga kerja Variabel tenaga kerja memberikan pengaruh yang berbeda pada kedua kategori usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Lembang. Pada usaha peternakan kategori 1 ditemukan elastisitas bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi usaha peternakan kategori 1 dengan rata-rata herd size 3.94 ST tidak membutuhkan curahan waktu yang lama dalam pemeliharaan ternak. Peningkatan waktu jam kerja menyebabkan usaha menjadi tidak efisien. Hal ini berbeda dengan kondisi usaha peternakan kategori 2 di mana rata-rata herd size 8.89 ST. Penambahan waktu dan tenaga kerja akan mempengaruhi peningkatan produksi susu (α=5%). Peningkatan waktu jam kerja dalam pengelolaan sapi perah terutama curahan waktu untuk perawatan ternak, seperti sanitasi kandang, penyiapan pakan dan memandikan sapi akan meningkatkan kesehatan ternak yang berdampak pada peningkatan produksi susu. Jumlah kepemilikan sapi perah laktasi Variabel jumlah kepemilikan sapi perah laktasi ditemukan bertanda negatif pada usaha peternakan kategori 1 demikian juga pada usaha peternakan kategori 2 ditemukan bertanda negatif serta juga berpengaruh nyata pada (α=5%). Hal ini menunjukka bahwa peningkatan kepemilikan sapi perah laktasi pada kedua kategori sudah tidak efisien lagi. hal ini dikarenakan penambahan jumlah kepemilikan ternak berkaitan erat dengan ketersediaan lahan peternakan sebagai lokasi usaha dan juga ketersediaan pakan terutama hijauan serta tambahan tenaga kerja dalam pengelolaannya. Kondisi saat ini. untuk memenuhi kebutuhan pakan pada musim kemarau para peternak mencari hijauan sampai ke daerah Subang dengan beban pengeluaran untuk biaya bensin yang cukup tinggi. Sedangkan kondisi lahan peternakan untuk usaha sapi perah di Kecamatan Lembang saat ini makin terdesak seiring tumbuhnya kawasan wisata dan pemukiman. Menurut Hadiana, 2007 beberapa daerah yang dewasa ini menjadi konsentrasi populasi sapi perah, pada umumnya merupakan daerah dataran tinggi yang subur. Beberapa di antaranya memiliki aksesibilitas tinggi terhadap pusat-pusat perekonomian, sebagian telah tumbuh menjadi kawasan wisata dan pemukiman, seperti di
28
sejumlah kecamatan di wilayah Utara Kabupaten Bandung Barat. Indikasi bahwa bidang usaha ini makin terdesak dapat dilihat dari perkembangan populasinya. Berdasarkan laporan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat selama periode Tahun 1995 dan 2004, populasi sapi perah di wilayah Kabupaten Bandung menurun -5.9% atau ekivalen dengan penurunan 3,740 ekor per tahun dan penurunan produksi -4.4% atau 5.314 ribu liter per tahun, penurunan populasi dan produksi ini terjadi hampir di semua wilayah kecamatan yang terdapat sapi perah. Konsentrat C Variabel konsentrat C ditemukan memiliki nilai elastisitas bertanda positif terhadap usaha peternakan kategori 2. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan konsentrat C pada kategori ini masih bisa ditingkatkan lagi dalam rangka peningkatan produksi susu. Rata-rata konsumsi konsentrat C yaitu 2.43 kgBK/ekor/hari atau 24.49% dari total konsumsi konsentrat. Dedak padi Dedak padi ditemukan mempunyai elastisitas bertanda negatif pada usaha peternakan kategori 2. Dedak padi bersifat sebagai pakan tambahan yang pemberiannya dalam jumlah relatif sedikit yaitu rata-rata 1.76 kgBK/ekor/hari atau 17.74 dari total konsumsi konsentrat dan hanya 3.33% peternak yang menggunakannya. Ampas bir Variabel ampas bir ditemukan memiliki elastisitas bertanda positif dan berpengaruh nyata pada α=5% pada usaha peternakan kategori 2. Konsumsi ratarata ampas bir sebanyak 0.58 kgBK/ekor/hari atau 5.85% dari total konsumsi konsentrat. Ampas bir merupakan pakan konsentrat yang bersifat sebagai pelengkap nilai gizi pada bahan pakan lain (hijauan). Penggunaannya pada usaha peternakan kategori ini dapat meningkatkan produksi susu. Jerami Variabel jerami ditemukan memiliki elastisitas bertanda positif dan berpengaruh nyata pada α=0.5% pada usaha peternakan kategori 2. Rata-rata konsumsi jerami pada sapi perah kategori 2 ini adalah 4.52 kgBK/ekor/hari atau sebesar 51.27% dari total konsumsi hijauan. Jerami sebagai sumber hijauan pada usaha peternakan kategori 2 berpengaruh terhadap peningkatan produksi susu. Variabel-variabel input produksi pada usaha peternakan kategori 1 yang memiliki koefisien atau elastisitas produksi paling besar antara lain rumput lapang Pseudechinolaena polystachya, rumput gajah, ampas tahu, konsentrat A, mineral dan pohon pisang. Sedangkan elastisitas pada kategori 1 yang bertanda positif namun belum memberikan pengaruh antara lain kaliandra, konsentrat B dan ampas singkong. Elastisitas produksi yang bertanda negatif yaitu rumput lapang B/ Lantana camara, rumput lapang D/ Digitaria sp, rumput lapang A/ Cynodon plectostachyus, daun pisang, polar, tenaga kerja dan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi. Variabel-variabel input produksi pada usaha peternakan kategori 2 yang memiliki koefisien atau elastisitas produksi paling besar antara lain variabel rumput gajah, rumput lapang B/Lantana camara, pohon pisang, konsentrat B,
29
ampas tahu, polar, jerami, ampas bir, ampas singkong dan tenaga kerja. Elastisitas pada kategori 2 yang bertanda positif namun belum memberikan pengaruh antara lain rumput lapang Cynodon plectostachyus dan konsentrat C. Elastisitas produksi yang bertanda negatif yaitu kaliandra, daun pisang, mineral dan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi. Elastisitas jumlah pemberian rumput lapang Digitaria sp, konsentrat A dan dedak padi bertanda negatif dan tidak nyata. Arah Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Berdasarkan model fungsi produksi stochastic frontier didapatkan hasil yang berbeda dalam hal arah pengembangan dan penanganan usaha peternakan sapi perah kategori 1 dan 2. Apabila usaha peternakan kategori 1 ini akan bergerak ke usaha peternakan kategori 2, maka arah pengembangannya dititikberatkan pada aspek pakan, terutama perbaikan kualitas pakan konsentrat melalui teknologi pakan. Sedangkan apabila usaha peternakan kategori 2 dipertahankan, maka aspek yang perlu dibenahi adalah perbaikan kualitas hijauan antara lain melalui pengadaan pakan hijauan yang berkualitas untuk mengatasi keterbatasan ketersediaan hijauan di wilayah tersebut sehingga kebutuhan hijauan ternak tercukupi. Perlunya pengaturan dalam hal pemberian pakan karena masih dijumpai peternak memberikan pakan dalam jumlah yang berlebihan sehingga tidak efisien dan terjadi pemborosan, selain itu juga perlunya pendampingan dan penyuluhan yang dilakukan secara kontinyu baik dari pihak dinas setempat maupun koperasi, sehingga dapat merubah dan memperbaiki pola kebiasaan peternak dalam pemberian pakan agar manajemen pemberian pakan menjadi lebih baik. Sebaran Efisiensi Teknis Efisiensi teknis dianalisis secara simultan dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Sebaran efisiensi teknis dari usaha peternakan sapi perah rakyat di daerah penelitian ditampilkan pada Tabel 7.
Kelompok Efisiensi Teknis TE ≤ 0.5 0.5 < TE ≤ 0.6 0.6 < TE ≤ 0.7 0.7 < TE ≤ 0.8 0.8 < TE ≤ 0.9 TE > 0.9 Total Rata-rata TE Minimum TE Maksimum TE
Tabel 7 Sebaran efisiensi teknis Kategori 1 Kategori 2 Jumlah Persentase Jumlah Persentase Peternak (%) Peternak (%) 1 3.33 4 13.33 1 3.33 9 30.00 4 13.33 7 23.33 7 23.33 9 30.00 18 60.00 30 100.00 30 100.00 0.83 0.91 0.60 0.63 0.99 0.99
Dilihat dari sebaran efisiensi teknisnya. peternak responden katogori 1 memiliki tingkat efisiensi teknis yang berada pada range 0.60 sampai 0.99, sedangkan untuk kategori 2 tingkat efisiensi teknis yang berada pada range 0.63
30
sampai 0.99. Dari hasil yang diperoleh. untuk peternak kategori 1 sebanyak 25 peternak responden atau 83.33 persen peternak responden memiliki tingkat efisiensi teknis di atas 0.7. Sementara 16.67 persen peternak responden masih memiliki tingkat efisiensi di bawah 0.7 atau belum efisien secara teknis. Sedangkan untuk peternak kategori 2 sebanyak 29 peternak responden atau 96.67 persen peternak responden memiliki tingkat efisiensi teknis di atas 0.7. Sementara 3.33 persen peternak responden masih memiliki tingkat efisiensi di bawah 0.7 atau belum efisien secara teknis. Nilai indeks efisiensi teknis untuk usaha peternakan kategori 1 dan 2 dikategorikan efisien karena menghasilkan nilai yang lebih dari 0.70 sebagai batas efisien (Coelli. 1998). Hal ini dikarenakan Kecamatan Lembang tersebut merupakan sentra pengembangan usaha peternakan sapi perah. Tingkat efisiensi teknis dapat diinterpretasikan dari dua sisi. Pada satu sisi. tingkat efisiensi teknis yang tinggi mencerminkan prestasi peternak sapi perah dalam keterampilan manajerial usaha peternakan sapi perah adalah cukup tinggi. Penguasaan informasi dan pengambilan keputusan dalam mengelola faktor-faktor penting yang mempengaruhi kinerja produktivitas usaha peternakan sapi perah dapat dinilai berada dalam level yang memuaskan. Sementara di sisi lain, tingkat efisiensi teknis yang tinggi juga merefleksikan bahwa peluang yang kecil untuk meningkatkan produktivitas yang cukup tinggi karena kesenjangan antara tingkat produktivitas yang telah dicapainya dengan tingkat produktivitas maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan terbaik (the best practice) cukup sempit. Dengan kata lain, agar dapat meningkatkan produktivitas secara nyata maka dibutuhkan inovasi teknologi yang lebih maju. Sebaliknya tingkat efisensi teknis yang rendah menunjukkan bahwa masih terdapat peluang yang besar untuk meningkatkan produktivitas hingga dicapainya produktivitas maksimum. Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Tingkat efisiensi teknis yang dicapai oleh peternak sapi perah di lokasi penelitian selain terkait dengan penggunaan input-input produksi juga sangat terkait dengan sumber-sumber inefisiensi teknis seperti umur peternak, pengalaman usaha ternak, pendidikan formal dan status kepemilikan ternak (dummy). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pendidikan peternak, tingkat pengalaman dan umur merupakan variabel yang sangat penting dalam meningkatkan efisiensi teknik dan mempunyai efek terhadap produksi susu (Nganga et al. 2010; Sajjad dan Khan. 2010). Namun berdasarkan analisis secara statistik menggunakan metode MLE, model fungsi produksi stochastic frontier yang diperoleh pada usaha peternakan sapi perah kategori 1 tidak dapat menunjukkan adanya keberadaan inefisiensi teknis pada model. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis diuraikan pada Tabel 8. Variabel umur berpengaruh nyata (taraf α=0.5%) pada usaha sapi perah kategori 2 dengan koefisien yang bertanda positif (0.0126) menyatakan bahwa semakin tua umur petani, maka inefisiensi akan semakin meningkat atau dengan kata lain bahwa peternak yang berusia lebih muda memiliki produktivitas yang tinggi bila dibandingkan dengan dengan peternak yang lebih tua. Untuk itu perlu ke depan adanya renegenasi dari orang tua peternak ke anaknya. Variabel pengalaman usaha bertanda negatif dan signifikan berpengaruh nyata (taraf α=5%) terhadap inefisiensi pada usaha sapi perah kategori 2. Hal ini
31
menunjukkan bahwa seiring dengan semakin lamanya pengalaman yang dimiliki peternak, maka akan semakin banyak pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan budidaya sebelumnya. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi di masa mendatang dapat lebih mudah diatasi dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Tabel 8 Pendugaan parameter maximum-likelihood model inefisiensi teknis usaha peternakan sapi perah kategori 1 dan kategori 2 Kategori 1 Kategori 2 Variabel Koefisien t-asio Koefisien t-rasio Intersep (δ0) 0.6323 1.5554 -0.0685 -0.7565 a Umur peternak (δ1) 0.0013 0.2136 4.7167 0.0126 b b Pengalaman usaha (δ2) -2.3765 -0.0240 -0.0076 -1.8276 Pendidikan formal (δ3) 0.0052 0.1895 -0.0004 -0.0311 a Status kepemilikan -0.0804 -0.4282 -0.3890 -4.1408 ternak (δ4) Keterangan:
a)
nyata pada α = 0.5%;
b)
nyata pada α = 5%
Variabel pendidikan formal tidak berpengaruh nyata pada kategori 2. karena empiris di lapangan tingkat pendidikan peternak relatif merata, dimana sebagian besar (50 persen) peternak berada pada level pendidikan Sekolah Dasar (SD). Menurut Kebede (2001) pendidikan meningkatkan kemampuan petani untuk mencari, memperoleh dan menginterpretasikan informasi yang berguna tentang input-input produksi. Hal ini didukung oleh hasil estimasi, dimana pendidikan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis produksi. Peluang untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan melalui peningkatan potensi teknologi dan peningkatan manajemen peternak. Namun pendidikan formal sebaiknya juga didukung dengan pendidikan non formal yang ditempuh di luar sekolah seperti pelatihan, lokakarya dan penyuluhan yang juga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak dalam mengelola usahanya. Dummy status kepemilikan ternak pada kategori 2 bertanda negatif dan signifikan mempunyai pengaruh nyata pada taraf α=0.5%. Tanda negatif mengindikasikan bahwa penguasaan peternak terhadap ternak yaitu milik sendiri atau bagi hasil akan mempengaruhi peternak dalam mengelola usahanya. Peternak yang usahanya milik sendiri akan lebih efisien dibandingkan dengan peternak dengan sistem gaduh (bagi hasil). Peternak yang usahanya milik sendiri akan lebih giat dan dengan cepat mengantisipasi resiko kegagalan yang mungkin muncul. karena peternak tidak ingin menderita kerugian dalam usahanya tersebut. 3
Keterampilan dan Pengetahuan Teknis Beternak
Faktor-faktor penentu teknis (Impact Point) peternakan merupakan indikator untuk melihat pengetahuan teknis beternak sapi perah dari para peternak. Pengetahuan terhadap aspek teknis beternak meliputi enam aspek penilaian yang sesuai dengan standar penilaian dari Direktorat Jenderal Peternakan (1983) yaitu sub aspek pemuliaan ternak dan reproduksi, sub aspek makanan ternak, sub aspek manajemen pengelolaan, sub aspek kandang dan peralatan serta sub aspek
32
kesehatan hewan dengan nilai harapan masing-masing sebesar 240, 260, 200, 100 dan 200. Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan terhadap pengetahuan keterampilan peternak pada aspek teknis peternakan dapat dilihat pada Tabel 9. Penerapan teknis beternak pada kedua kategori secara keseluruhan menunjukkan hasil yang sama untuk masing-masing sub aspek yang diamati. Namun untuk total nilai keseluruhan aspek teknis peternak kategori 1 lebih tinggi dibandingkan kategori 2. Hal yang membedakan penilaian ini terdapat pada sub aspek makanan ternak. Untuk sub aspek pemuliaan ternak dan reproduksi, makanan ternak, manajemen pemeliharaan dan kandang serta peralatan pada kedua kategori menunjukkan hasil yang berbeda dengan nilai harapan, sedangkan sub aspek kesehatan hewan menunjukkan nilai yang sama dengan nilai harapan. Tabel 9 Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan aspek teknis beternak Aspek Teknis Beternak Pemuliaan ternak dan reproduksi Makanan ternak Manajemen pemeliharaan Kandang dan peralatan Kesehatan hewan Total Ketera
Kategori 1
Kategori 2
189.90 ± 22.03 (79.13%)* 203.67±11.29 (78.33%)* 167.17±6.39 (83.59%)* 80.90±7.84 (80.90%)* 193.67±6.69 (96.84%)tn 835.30
189.50±17.97 (78.96%)* 192.50±13.69 (74.04%)* 170.00±7.77 (85.00%)* 81.43±6.30 (82.43%)* 197.00±4.66 (98.50%)tn 830.43
Nilai Harapan 240.00 260.00 200.00 100.00 200.00 1000.00
Keterangan : (*) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan nilai harapan; tn (tidak nyata)
Adanya akses kesehatan, pelayanan tenaga medis hewan dari koperasi telah memberikan kemudahan bagi peternak. sehingga memberikan nilai yang sama dengan nilai harapan. Secara keseluruhan nilai aspek teknis beternak pada masing-masing kategori telah mencapai angka di atas 75%. kecuali sub aspek makanan ternak pada kategori 2. Hal ini menunjukkan bahwa peternak di Kecamatan Lembang memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis yang cukup bagus. Persentase pencapaian aspek teknis yang lain akan dijabarkan pada uraian di bawah ini : Sub Aspek Pemuliaan dan Reproduksi Ternak Pengamatan sub aspek pemuliaan ternak dan reproduksi meliputi : 1) bangsa sapi yang dipelihara, 2) cara seleksi, 3) cara kawin, 4) pengetahuan berahi, 5) umur beranak pertama, 6) saat kawin setelah beranak dan 7) selang kawin (calving interval) dengan nilai harapan masing-masing sebesar 30, 40, 40, 40, 40, 40 dan 10. Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan terhadap pengetahuan keterampilan peternak pada sub aspek pemuliaan ternak dan reproduksi dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil persentase pencapaian nilai harapan menunjukkan bahwa penerapan teknis aspek teknologi pemuliaan dan reproduksi ternak yang telah baik adalah bangsa sapi, cara kawin dan pengetahuan berahi untuk kedua kategori serta umur saat beranak pertama pada peternak kategori 1. Sub aspek yang masih kurang
33
penerapannya adalah cara seleksi, saat dikawinkan setelah beranak dan calving interval. Tabel 10 Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek pemuliaan ternak dan reproduksi Sub Aspek Pemuliaan Kategori 1 Kategori 2 Nilai Ternak dan Reproduksi Harapan Bangsa sapi 26.00±4.98 27.33±4.50 30.00 (86.67%)tn (91.10%)tn Cara seleksi 12.23±7.28 14.00.6±10.37 40.00 (30.58%)* (35.00%)* Cara kawin 40.00±0.00 40.0±0.0 40.00 (100.00%)tn (100.00%) tn Pengetahuan peternak 39.33±3.65 40.00±0.00 40.00 terhadap berahi (98.33%)tn (100.00%) tn Umur saat beranak pertama 38.00±6.10 36.33±8.50 40.00 tn (95.00%) (90.82%)* Saat dikawinkan setelah 28.33±12.34 25.67±11.65 40.00 beranak (70.83%)* (64.18%)* Calving interval 6.07±3.05 6.17±2.15 10.00 (60.70%)* (61.70%)* Total Nilai 189.96 189.50 240.00 Keterangan : (*) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan nilai harapan; tn (tidak nyata)
Sapi yang dipelihara oleh peternak kategori 1 60% merupakan sapi Fries Holland atau biasa disebut sapi FH sedangkan 40% adalah sapi peranakan FH. Sedangkan pada peternak kategori 2 sebanyak 73.33% merupakan sapi FH sedangkan sisanya 26.67% adalah sapi peranakan FH. Sapi FH dikenal oleh para peternak karena jumlah susu yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan sapi lain. namun kadar lemaknya lebih rendah. Sapi ini mempunyai ciri warna bulu yang hitam putih atau hitam bercak-bercak putih. Warna ekor harus putih dan yang terpenting mulai dari lutut ke bawah harus berwarna putih. Warna hitam atau putih seluruhnya menggambarkan ketidakmurnian sapi ini (Judkins dan Keener 1960). Peternak baik kategori 1 maupun 2 mengawinkan ternaknya dengan cara Inseminasi Buatan (IB). Pelayanan inseminasi buatan disediakan oleh KPSBU dengan bantuan straw pejantan dari Balai Inseminasi Buatan Lembang. Perkawinan dengan cara IB dilakukan untuk menghemat pengeluaran daripada harus memelihara pejantan. Rendahnya nilai pengamatan sub aspek cara seleksi sehingga berbeda dengan nilai harapan karena peternak lebih banyak memilih cara seleksi dengan melihat bentuk luar tubuh ternak dalam proses seleksi karena masih minimnya catatan silsilah ternak pada keturunan sebelumnya. Peningkatan pengetahuan peternak terhadap cara seleksi yang tepat sangat diperlukan karena sebagian besar peternak masih belum paham bagaimana cara seleksi yang benar karena pengetahuan yang berkembang pada peternak. semakin baik bentuk luar ternak maka semakin bagus produksi susunya. Peternak di Kecamatan Lembang pada umumnya telah memiliki pengetahuan berahi pada ternak yang cukup bagus. hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan yang mendekati nilai harapan. Pengetahuan berahi ini didukung oleh
34
faktor pengalaman dan juga adanya pelatihan dan penyuluhan yang diberikan oleh koperasi serta dinas peternakan setempat. Rata-rata pengalaman peternak untuk kategori 1 adalah 23.33 tahun dan untuk kategori 2 adalah 28.10 tahun. Umur pertama beranak pada peternak kategori 1 adalah 2.5 tahun =90% dan 3 tahun =10%. sedangkan pada kategori 2 umur 2.5 tahun = 83.33%. umur 3 tahun = 13.33% dan umur lebih dari 3 tahun = 3.33%. Berahi pertama pada sapi di Kecamatan Lembang rata-rata berumur 18 bulan, sehingga rata-rata umur beranak pertama 2.5-3 tahun. Menurut Tyler dan Ensminger (2006) sapi dara dengan asupan nutrisi yang tinggi akan berahi pertama pada umur 9-11 bulan, jika asupan nutrisinya kurang baik maka berahi pertama pada umur 18-20 bulan. Sub aspek saat dikawinkan setelah beranak berbeda nyata dengan nilai harapan dikarenakan peternak cenderung menunda mengawinkan kembali ternaknya dengan pertimbangan masa pemulihan performa ternak pasca melahirkan. Waktu kawin setelah beranak dengan lama 60 hari pada usaha peternakan kategori 1 sebanyak 50%, sedangkan pada kategori 2 sebanyak 36.67%. Waktu kawin setelah beranak dengan lama 60-90 hari hari pada usaha peternakan kategori 1 sebanyak 33.3%, sedangkan pada kategori 2 sebanyak 46.67% dan waktu kawin setelah beranak dengan lama lebih dari 90 hari pada usaha peternakan kategori 1 sebanyak 16.67%, sedangkan pada kategori 2 sebanyak 16.67%. Lamanya masa pemulihan pasca melahirkan disebabkan karena manajemen pemberian pakan pada masa kebuntingan yang kurang baik. Pemberian pakan pada sapi bunting cenderung baik secara kualitas dan kuantitas lebih rendah dibandingkan pada sapi laktasi, hal ini dilakukan peternak untuk mengurangi biaya pakan. Mereka berpikiran bahwa sapi yang sedang bunting tidak berproduksi (menghasilkan susu) sehingga untuk penghematan biaya pakan peternak melakukan pengurangan pakan pada sapi bunting. Menurut Hernandez et al. (2005) manajemen pakan pada sapi perah sangat penting untuk diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap produksi susu dan performa reproduksi. Ditambahkan bahwa sapi perah dengan konsumsi bahan kering yang kurang mencukupi akan mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang berdampak pada rendahnya produksi susu dan lebih lamanya waktu kawin setelah beranak dan calving interval yang lebih panjang. Hal ini dapat dilihat pada kedua kategori bahwa dari hasil pengamatan sub aspek calving interval yang nilainya berbeda nyata dengan nilai harapan. Hasil dari pengamatan sub aspek calving interval pada kategori 1, didapatkan bahwa peternak dengan calving interval 1 tahun ditemukan sebanyak 33.33%, calving interval 1-1.5 tahun sebanyak 46.67% dan calving interval lebih dari 1.5 tahun sebanyak 20%. Sedangkan pada kategori 2 didapatkan bahwa peternak dengan calving interval 1 tahun ditemukan sebanyak 23.33%. calving interval 1-1.5 tahun sebanyak 76.67%. Sub Aspek Makanan Ternak Sub aspek makanan ternak yang diamati meliputi: 1) cara pemberian pakan HMT, 2) jumlah pemberian HMT, 3) kualitas HMT, 4) frekuensi pemberian HMT dan 1) cara pemberian konsentrat, 2) jumlah pemberian konsentrat, 3) kualitas konsentrat, 4) frekuensi pemberian serta 5) air minum, dengan nilai harapan masing-masing sebesar 25, 40, 45, 20, 15, 35, 35, 15 dan 30. Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan pengetahuan dan keterampilan peternak pada sub aspek makanan ternak dapat dilihat pada Tabel 11 dan 12.
35
Tabel 11 Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek makanan ternak (HMT) Sub Aspek Makanan Kategori 1 Kategori 2 Nilai Ternak Harapan Waktu pemberian 23.33±3.79 24.36±2.50 25.00 (93.32%)tn (97.44%)tn Jumlah pemberian 33.17±7.71 27.42±9.56 40.00 (82.93%)* (68.55%)* Kualitas HMT 34.33±2.54 34.36±3.59 45.00 (76.29%)* (76.36%)* Frekuensi pemberian 20.00±0.00 20.00±0.00 20.00 (100.00%)tn (100.00%) tn Total Nilai 110.83 106.14 130.00 Keterangan : (*) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan nilai harapan; tn (tidak nyata)
Tabel 12 Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek makanan ternak (konsentrat) Sub Aspek Makanan Kategori 1 Kategori 2 Nilai Ternak Harapan Waktu pemberian 11.50±4.76 11.33±4.90 15.00 (76.67%)* (75.53%)* Jumlah pemberian 31.67±2.40 30.50±1.53 35.00 tn tn (90.49%) (87.14%) Kualitas konsentrat 18.67±3.46 14.00±4.98 35.00 (53.34%)* (40.00%)* Frekuensi pemberian 15.00±0.00 15.00±0.00 15.00 tn tn (100.00%) (100.00%) Pemberian air minum 16.00±6.21 16.33±7.18 30.00 (52.77%)* (54.43%)* Total Nilai 94.03 87.16 130.00 Keterangan : (*) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan nilai harapan; tn (tidak nyata)
Pengamatan sub aspek makanan ternak menunjukkan hasil yang sama pada kedua kategori. Hasil persentase pencapaian nilai harapan menunjukkan bahwa sub aspek yang telah baik penerapannya adalah waktu pemberian HMT, frekuensi pemberian HMT, jumlah pemberian konsentrat dan frekuensi pemberian konsentrat. Sedangkan sub aspek yang masih kurang penerapannya adalah jumlah pemberian HMT, kualitas HMT, waktu pemberian konsentrat, kualitas konsentrat dan pemberian air minum. Waktu pemberian HMT oleh sebagian besar peternak (83.33%) pada usaha peternakan sapi perah kategori 1 dilakukan setelah pemerahan. sedangkan untuk usaha peternakan pada kategori 2 sebagian besar (93.33%) peternak memberikan HMT setelah pemerahan. Hijauan makanan ternak yang diberikan pada ternak di Kecamatan Lembang antara lain rumput gajah/Pennisetum purpureum, rumput lapang jenis
36
A/Cynodon plectostachyus, rumput lapang jenis B/Lantana camara. rumput lapang jenis C/Pseudechinolaena polystachya, rumput lapang jenis D/Digitaria sp, kaliandra, daun pisang, jerami dan pohon pisang. Sebagian besar (93.33%) peternak kategori 1 memberikan hijauan dengan kualitas campuran dan sebanyak 6.67% dengan kualitas rumput lapang, sedangkan pada kategori 2 sebanyak 90% peternak memberikan hijauan dengan kualitas campuran dan 10% dengan kualitas rumput lapang. Semua peternak (100%) pada kedua kategori memberikan hijauan dua sampai tiga kali sehari. Pada usaha peternakan kategori 1 sebanyak 33.33% peternak memberikan hijauan dalam jumlah yang cukup, 43.33% memberikan hijauan dalam jumlah yang berlebihan dan 23.33% peternak masih kurang dalam pemberian hijauan. Pada usaha peternakan kategori 2 sebanyak 30% peternak memberikan hijauan dalam jumlah yang cukup, 6.67% peternak memberikan hijauan dalam jumlah yang berlebihan dan 63.33% peternak masih kurang dalam pemberian pakan hijauan. Perbedaan jumlah pemberian hijauan pada kedua kategori ini dikarenakan lokasi usaha peternakan yang berbeda. pada usaha peternakan sapi perah pada kategori 1 untuk ketersediaan lahan penanaman HMT masih memungkinkan. Rata-rata kepemilikan lahan untuk penanaman HMT yang dimiliki oleh peternak adalah 0.53 ha dan juga adanya dukungan dari Perhutani dalam rangka sharing penggunaan lahan untuk keperluan penanaman HMT. Dengan rata-rata jumlah kepemilikan ternak (herd size) sebanyak 3.94 ST. peternak pada usaha kategori ini masih dapat memenuhi kebutuhan pakan hijauan dan bahkan ada yang memberikan dalam jumlah yang berlebihan. Lokasi usaha peternakan kategori 2 merupakan daerah semi urban di mana ketersediaan lahan penanaman HMT sangat terbatas serta tidak ada dukungan dari Perhutani. Rata-rata kepemilikan lahan untuk penanaman HMT yang dimiliki oleh peternak adalah 0.51 ha. Dengan rata-rata jumlah kepemilikan ternak (herd size) sebanyak 8.89 ST maka untuk memenuhi kebutuhan pakan hijauan biasanya peternak 2 hari sekali harus mencari rumput lapang hingga ke daerah Subang atau mengganti rumput gajah dengan jerami. Waktu pemberian konsentrat oleh sebagian besar peternak (63.33%) pada usaha peternakan sapi perah kategori 1 dan 2 dilakukan sebelum pemerahan. Menurut Sudono (1999), pakan penguat sebaiknya diberikan sebelum pemerahan agar sapi yang diperah menjadi tenang selama pemerahan. Konsentrat pada umumnya diberikan dalam bentuk basah dan seluruh peternak pada kedua kategori (100%) memberikan konsentrat dua sampai tiga kali sehari. Pemberian konsentrat dalam bentuk basah dapat mengurangi debu dan pakan yang terbuang, namun dapat menurunkan kecernaan bahan kering konsentrat dalam rumen. Menurut Alim dan Hidaka (2002), jika konsentrat diberikan secara kering maka derajat keasaman (pH) di dalam rumen stabil sehingga berpengaruh positif terhadap jumlah dan kualitas susu yang diproduksi. Konsentrat yang diberikan pada ternak di Kecamatan Lembang antara lain konsentrat jenis A, konsentrat jenis B, konsentrat C, ampas tahu, ampas singkong, polar, dedak padi dan ampas bir. Pada usaha peternakan kategori 1 sebanyak 33.33% peternak memberikan konsentrat dalam jumlah yang cukup dan 66.67% lainnya memberikan konsentrat dalam jumlah yang berlebihan. Peternak pada ketegori ini sebanyak 86.67% peternak telah memberikan pada ternaknya pakan
37
konsentrat dengan kualitas yang baik namun masih kurang dalam pemberian mineralnya dan 13.33% masih kurang baik dalam pemberian pakannya. Persentase imbangan hijauan dengan konsentrat pada peternakan katogori ini adalah 76 : 24. Pada usaha peternakan kategori 2 sebanyak 10% peternak memberikan konsentrat dalam jumlah yang cukup dan sebagian besar peternak pada kategori ini (90%) memberikan konsentrat dalam jumlah yang berlebihan. Sebanyak 40% peternak memberikan konsentrat dengan kualitas yang baik namun masih kurang dalam pemberian mineral dan 60% masih kurang baik dalam pemberian pakannya. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dengan kondisi minimnya hijauan yang ada maka peternak cenderung memperbanyak penggunaan konsentrat. Persentase imbangan hijauan dengan konsentrat pada peternakan katogori ini adalah 54 : 46. Adanya perbedaan imbangan hijauan dan konsentrat antara kedua kategori usaha peternakan mengakibatkan perbedaan pada produksi susu yang dihasilkan karena komposisi pakan sangat mempengaruhi produksi dan kualitas susu yang dihasilkan. Rata-rata produksi susu pada kategori 1 yaitu 14.52 liter/ekor/hari cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata produksi susu pada kategori 2 yaitu 16.66 liter/ekor/hari. Peternak pada kategori 1 memberikan hijauan yang lebih banyak dibandingkan dengan konsentrat, rata-rata konsumsi hijauan pada kategori 1 yaitu 13.78 kgBK/ekor/hari dan konsentrat 9.95 kgBK/ekor/hari, sedangkan pemberian hijauan pada usaha peternakan kategori 2 lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah pemberian konsentrat. Rata-rata konsumsi hijauan pada kategori 2 sebanyak 8.82 kgBK/ekor/hari dan rata-rata konsumsi konsentrat 9.92 kgBK/ekor/hari. Mineral digunakan oleh peternak sebagai pakan penguat sapi yang sedang bunting. Mineral dicampurkan dengan pakan penguat sebanyak 22.92 gBK/ekor/hari untuk usaha peternakan kategori 1 dan 17.79 gBK/ekor/hari untuk peternak kategori 2. Namun, tidak semua peternak menggunakan mineral. hal ini disebabkan dengan penggunaan mineral berarti menambah biaya pakan. Selain itu peternak mengungkapkan bahwa di dalam konsentrat sudah terkandung sejumlah mineral. Faktor lainnya yang sangat penting adalah pemberian air minum. Sebagian peternak pada kategori 1 memberikan air minum dua kali sehari (46.67%) dan juga sebagian lagi memberikan air minum secara tidak teratur, sedangkan pemberian air minum secara ad libitum hanya dilakukan oleh 6.67% saja. Sedangkan pada peternak kategori 2 sebagian besar (50%) peternak memberikan air minum secara tidak teratur, 36.67% peternak memberikan air minum dua kali sehari dan hanya 13.33% peternak yang memberikan secara air ad libitum. Peternak beranggapan bahwa sebagian kebutuhan air sudah didapat dari konsentrat basah. Seperti diketahui bahwa untuk mendapatkan 1 liter susu, seekor sapi perah membutuhkan 3.5-4 liter air minum.
38
Tabel 13 Kebutuhan pakan Jumlah Konsumsi Pakan Kategori 1 Bobot Badan Rata-rata (kg) 422.77 Kebutuhan Pakan *) 42.30 Hijauan (kg BS/hari) 8.37 Konsentrat (kg BS/hari) Kebutuhan Nutrisi Ternak *) 9.52 BK (kg/hari) 5.40 TDN (kg/hari) 1.05 PK (kg/hari) Mineral (g BK/hari) 38.09 Ca 20.36 P
Kategori 2 421.47 42.15 7.33
9.51 5.41 1.04 38.00 20.31
Ket : *) Berdasarkan bobot badan ternak (NRC, 2001)
Tabel 14 Konsumsi pakan Jumlah Konsumsi Pakan Kategori 1 Hijauan (kg/ekor/hari) BS (Bahan Segar) 61.20 BK (Bahan Kering) 13.78 TDN (Total Digestible Nutrient) 9.64 PK (Protein Kasar) 0.68 Konsentrat (kg/ekor/hari) BS (Bahan Segar) 19.06 BK (Bahan Kering) 9.95 TDN (Total Digestible Nutrient) 6.89 PK (Protein Kasar) 1.07 Total (kg/ekor/hari) BS (Bahan Segar) 79.41 BK (Bahan Kering) 23.73 TDN (Total Digestible Nutrient) 16.52 PK (Protein Kasar) 1.75 Mineral (g BK/hari) Ca 0.65 P 0,11
Kategori 2 37.08 8.82 8.12 0.34 30.07 9.92 20.73 0.74 67.15 18.74 28.85 1.08 0.74 0.12
Sub Aspek Pengelolaan Sub aspek pengelolaan yang dinilai yaitu : 1) membersihkan sapi. 2) membersihkan kandang, 3) cara pemerahan, 4) penanganan pasca panen, 5) pemeliharaan anak sapi dan dara, 6) pengeringan sapi laktasi dan 7) pencatatan usaha dengan nilai harapan masing-masing sebesar 20, 20, 40, 35, 35, 30 dan 20. Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan terhadap pengetahuan keterampilan peternak pada sub aspek pengelolaan dapat dilihat pada Tabel 15.
39
Tabel 15 Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek pengelolaan Sub Aspek Pengelolaan Kategori 1 Kategori 2 Nilai Harapan Frekuensi membersihkan sapi 20.00±0.00 20.00±0.00 20.00 tn tn (100.00%) (100.00%) Frekuensi membersihkan kandang 20.00±0.00 19.67±1.83 20.00 tn tn (100.00%) (98.35%) Cara pemerahan 34.19±5.02 39.00±3.05 40.00 tn (85.48%)* (97.50%) Penanganan pasca panen 35.00±0.00 35.00±0.00 35.00 tn tn (100.00%) (100.00%) Pemeliharaan pedet dan dara 25.00±0.00 5.00±0.00 35.00 (71.43%)* (71.43%)* Pengeringan sapi laktasi 28.00±4.07 26.33±6.15 30.00 (93.33%)tn (87.77%)* Pencatatan usaha 5.17±0.91 5.00±0.00 20.00 (25.83%)* (25.00%)* Total Nilai 167.17 170.00 200.00 Keterangan : (*) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan nilai harapan; tn (tidak nyata)
Berdasarkan pada Tabel 15, sub aspek yang telah baik penerapannya pada kedua kategori adalah membersihkan sapi, membersihkan kandang, penanganan pasca panen, cara pemerahan (kategori 2) dan pengeringan sapi laktasi (kategori 1). Sub aspek yang kurang penerapannya adalah cara pemerahan (kategori 1), pemeliharaan pedet dan dara, pengeringan sapi laktasi (kategori 2) dan pencatatan usaha. Berdasarkan hasil pengamatan. semua peternak pada kedua kategori membersihkan sapi dua kali setiap hari sebelum dilakukan pemerahan. Bagian yang dibersihkan adalah bagian lipatan paha, bagian belakang dan ambing. Pembersihan ambing dicuci dengan air hangat menggunakan kain lap. Hal ini bertujuan untuk merangsang pengeluaran hormon oksitosin. Menurut Tyler dan Ensminger (2006) bahwa kelenjar hipofisa di bagian posterior akan terangsang untuk mengeluarkan hormon oksitosin. Hormon ini secara cepat masuk ke dalam aliran darah dan menuju ambing untuk merangsang otot ambing (mioepitel) yang melingkari alveoli dan kemudian berkontraksi. Semua peternak pada ketegori 1 (100%) dan hampir sebagian besar (98.35%) peternak pada kategori 2 membersihkan kandang dua kali sehari. Hal ini menunjukkan bahwa peternak di Kecamatan Lembang sudah memiliki pengetahuan akan pentingnya kebersihan ternak dan kandangnya dalam rangka menjaga kualitas susu. Cara pemerahan yang dilakukan semua peternak pada kedua kategori menggunakan tangan. Pengetahuan dan keterampilan teknis memerah pada peternak kategori 1 perlu ditingkatkan. karena masih dijumpai peternak yang menarik puting pada saat pemerahan. Semua peternak pada kedua kategori menggunakan vaselin sebelum pemerahan namun mereka belum ada yang melakukan tes mastitis dengan menggunakan strip cup terlebih dahulu sebelum pemerahan dan juga tidak melakukan pencelupan puting (teat dipping) dengan desinfektan setelah pemerahan.
40
Penanganan pasca panen peternak pada kedua kategori dilakukan hanya dengan menyaring susu dari ember perah ke milk can dengan kain saring. Segera setelah pemerahan selesai susu langsung dibawa ke tempat pengumpulan susu, hal ini dilakukan untuk menghindari kerusakan susu. Selanjutnya di tempat penampungan, dilakukan uji alkohol, uji berat jenis dan penyaringan yang dilakukan oleh petugas KPSBU. Susu-susu yang diproduksi akan disetorkan kepada koperasi. yang selanjutnya oleh koperasi akan dipasarkan kepada Industi Pengolahan Susu (IPS) yang sudah melakukan perjanjian sebelumnya yaitu PT. Frisian Flag Indonesia (FFI). Harga yang akan dibayar oleh PT. FFI adalah sesuai dengan kualitas susu yang disetorkan yaitu Total Solid 11.97 persen, Kadar lemak 3.5 persen, SNF 7-8 persen. Setiap kenaikan TS, KPSBU akan mendapatkan bonus sesuai dengan kadar kenaikannya. SNI yang berlaku saat ini untuk susu segar adalah SNI 01 3141 1998. Harga susu yang dijual kepada koperasi tidak sama setiap peternak tergantung pada kualitas dari susu sapinya. harganya berkisar antara Rp4 000-4 200/liter. Kualitas susu sapi ditentukan oleh kadar Total Solid (TS), jumlah kuman, dan keadaan titik beku yang terdapat dalam susu. Batasan Total Solid yang masih dapat ditolerir adalah 11.97. Jika TS pada susu yang dihasilkan kurang dari 11.97 maka peternak akan mendapatkan denda, sebaliknya jika TS berada pada diatas 11.97 peternak akan mendapatkan bonus yang berbeda-beda sesuai kadar TS yang dihasilkan. Dilihat dari jumlah kuman koperasi membaginya dalam 4 kelompok yaitu kelompok B1, B2, M dan P. Jika peternak pada kelompok B1 atau B2 peternak akan mendapatkan bonus karena kelompok tersebut adalah kelompok susu dengan jumlah kuman yang sedikit, sedangkan jika peternak berada pada kelompok M atau P, maka peternak akan mendapatkan denda sekaligus surat peringatan. Titik beku susu yang disyaratkan adalah -0.5200C s.d. -0.5600C di luar angka tersebut maka akan dikenakan denda Rp100/liter dan diberikan surat peringatan. Pemeliharaan pedet dan dara pada kedua kategori peternak masih kurang baik. Peternak beranggapan bahwa pedet dan dara tidak menghasilkan keuntungan tetapi hanya mengeluarkan biaya yang tinggi untuk pemeliharaannya sehingga tidak semua peternak memelihara pedet dan dara. Pedet biasanya diberikan susu 6 liter/hari selama tiga bulan, setelah itu pemberian susu dikurangi sampai umur 4 bulan. Pakan yang diberikan pada sapi dara lebih sedikit dari sapi laktasi yaitu setengahnya. Hal tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat dan terlambat masak kelamin. Menurut Tyler dan Ensminger (2006) sapi dara dengan asupan nutrisi yang tinggi akan berahi pertama pada umur 9-11 bulan, jika asupan nutrisinya kurang baik maka berahi pertama pada umur 18-20 bulan pubertas sapi dara tercapai ketika bobot badan sekitar 35% dari bobot dewasa tubuh (sekitar umur 7-9 bulan). Lama berahi tergantung umur, sapi dara pada umumnya mempunyai masa berahi lebih pendek dibandingkan sapi dewasa. Siklus berahi berkisar antara 18-24 hari (± 21 hari). Lama kering kandang pada peternak kategori 1 sebagian besar (80%) adalah dua bulan dan sisanya 20% dengan lama kering kandang 1.5 bulan sebelum beranak. Pada peternak kategori 2 sebanyak 70% dengan lama pengeringan dua bulan; 23% dengan lama pengeringan 1.5 bulan dan 6.67% dengan lama pengeringan kurang dari satu bulan. Pengeringan yang singkat pada peternak kategori 2 karena peternak beranggapan bahwa sapi masih dapat
41
menghasilkan susu. Gallo L et al. (2007) melaporkan bahwa masa kering kandang yang kurang dari 35 hari akan menurunkan produksi susu pada periode laktasi berikutnya sebesar 5%, masa kering kandang 35-55 hari akan menurunkan produksi susu sebesar 5% dan masa kering kandang lebih dari 80 hari dapat meningkatkan produksi susu sebesar 1%. Menurut Capuco et al. (1997) dan Annen et al. (2004) sapi perah membutuhkan masa kering kandang sebelum melahirkan untuk memberikan istirahat pada sel-sel kelenjar ambing sehingga menjamin produksi susu yang tinggi pada laktasi yang akan datang. Peternak pada kedua kategori pada umumnya belum memperhatikan catatan usaha karena aktivitas mereka sudah disibukkan oleh pekerjaan mengurus sapi dan mencari rumput padahal pencatatan yang tertib dan teratur akan dapat membantu dalam menilai berhasil tidaknya usaha peternakan sapi perah. Pada peternak kategori 1 hanya 3.33% peternak yang melakukan pencatatan itupun belum dilakukan secara baik dan benar. Sedangkan pada peternak kategori 2 semua peternak (100%) belum melakukan pencatatan. Kurangnya pencatatan ini kemungkinan disebabkan karena kurang disadarinya manfaat recording pada masing-masing individu sapi perah. Sub Aspek Kandang dan Peralatan Pengamatan kandang dan peralatan meliputi 1) tata letak kandang, 2) konstruksi kandang, 3) drainase kandang, 4) tempat kotoran, 5) peralatan kandang dan 6) peralatan susu. Pada Tabel 16 terlihat bahwa hasil pengamatan kandang dan peralatan menunjukkan perbedaan yang nyata di antara peternak terhadap nilai harapannya. Berdasarkan pada Tabel 16, sub aspek yang telah baik penerapannya pada kedua kategori adalah tata letak kandang, konstruksi kandang, drainase kandang dan peralatan kandang lengkap. Sub aspek yang kurang penerapannya adalah tersedianya tempat kotoran dan peralatan susu sesuai persyaratan. Lokasi perkandangan pada peternak kategori 1 hampir seluruhnya (96.67%) dan keseluruhan peternak pada kategori 2 (100%) memiliki tata letak yang terpisah dari tempat tinggal. namun jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya dengan alasan keamanan dan memudahkan dalam pengelolaan. Berdasarkan Pedoman Budidaya Sapi Perah yang Baik (2013), letak dan ketinggian lokasi peternakan sapi perah harus memperhatikan topografi dan fungsi lingkungan dari wilayah sekitarnya sehingga kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan serta tidak ditemukan penyakit hewan menular strategis terutama yang berhubungan dengan reproduksi dan produksi ternak serta membahayakan manusia dan ternak yang dibudidayakan. Tata letak kandang harus memperhatikan : sirkulasi udara baik dan cukup sinar matahari pagi; tempat kering dan tidak tergenang saat hujan; mudah memperoleh sumber air; tidak mengganggu lingkungan hidup; dan mudah akses transportasi.
42
Tabel 16 Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek kandang dan peralatan Sub Aspek Kandang dan Kategori 1 Kategori 2 Nilai Peralatan Harapan Tata letak kandang 9.83±0.91 10.00±0.00 10.00 (98.30%)tn (100.00%)tn Konstruksi kandang 23.33±3.79 24.00±3.05 25.00 (93.32%)tn (96.00%)tn Drainase kandang 13.33±3.03 13.83±2.15 15.00 (88.87%)tn (92.22%)tn Tersedianya tempat kotoran 4.70±5.10 3.60±3.26 10.00 (47.00%)* (24.00%)* Peralatan kandang lengkap 14.67±1.27 15.00±0.00 15.00 (97.80%)tn (100.00%)tn Peralatan susu sesuai syarat 15.00±0.00 15.00±0.00 25.00 (60.00%)* (60.00%)* Total Nilai 80.87 81.43 100.00 Keterangan : (*) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan nilai harapan; tn (tidak nyata)
Konstruksi kandang untuk kedua kategori peternak sebagian besar (83.33%) untuk kategori 1 dan 90% untuk kategori 2 sudah memenuhi persyaratan. Bangunan kandang yang digunakan merupakan bangunan permanen sederhana yang berbahan perpaduan kayu dan semen. Ukuran kandang untuk satu ekor sapi perah dewasa rata-rata 1.25 m x 1.5 m dengan tinggi antara 2.5-3 m, sedangkan untuk pedet luas kandangnya adalah setengah kali ukuran sapi dewasa dengan ketinggian yang sama. Bahan atap yang digunakan bermacam-macam antara lain genteng, seng, asbes, gabungan antara genteng dan seng serta gabungan antara genteng dan asbes. Lantai kandang hampir seluruhnya terbuat dari semen dan menggunakan alas/matras. Berdasarkan Pedoman Budidaya Sapi Perah yang Baik (2013), kandang harus didesign dengan memperhitungkan temparatur dan kelembaban di dalam kandang tidak melebihi Temperature Humidity Index (THI) 72. Sapi perah dewasa dan laktasi khususnya sapi yang berproduksi tinggi rentan terhadap heat stress yang berakibat terhadap penurunan produksi susu. Drainase kandang untuk kedua kategori peternak sebagian besar (70% untuk kategori 1 dan 76.67%) sudah baik. Namun dalam jumlah kecil masih dijumpai kandang yang masih tergenang. Menurut Pedoman Budidaya Sapi Perah yang Baik (2013). konstruksi kandang harus memenuhi kesejahteraan hewan, antara lain : konstruksi harus kuat; drainase saluran pembuangan limbah baik serta mudah dibersihkan; lantai dengan kemiringan 2-5 derajat, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injakan serta menggunakan alas kandang/karpet/matras. Untuk tempat kotoran ternak belum menjadi perhatian dari kedua kategori peternak. hal ini ditunjukkan hampir sebagian besar (76.67% untuk kategori 1 dan 80% untuk kategori 2) tidak memiliki tempat pembuangan kotoran yang baik. Biasanya peternak langsung membuang kotoran ke selokan dan juga dialirkan menuju kebun rumput. Ada pula peternak yang memiliki instalasi biogas, sehingga kotoran ternak dapat dimanfaatkan menjadi biogas. Hampir keseluruhan
43
peternak di lokasi penelitian telah memiliki peralatan kandang yang lengkap karena pihak KPSBU ikut berperan dalam penyediaan peralatan kandang. Namun untuk peralatan susu masih belum memenuhi persyaratan dikarenakan harga peralatan susu yang relatif mahal. Sub Aspek Kesehatan Hewan Sub aspek kesehatan hewan meliputi: 1) pengetahuan penyakit sapi perah, 2) pencegahan penyakit dan 3) pengobatan dengan nilai harapan masing-masing sebesar 40, 100 dan 60. Tabel 17 Rerata dan simpangan baku hasil pengamatan sub aspek kesehatan ternak Sub Aspek Kesehatan Kategori 1 Kategori 2 Nilai Ternak Harapan 37.10±4.61 40.00 Pengetahuan penyakit 33.67±6.69 tn (84.18%)* (92.75%) 100.0±0.00 100.00 Pencegahan penyakit 100.00±0.00 tn tn (100.00%) (100.00%) 60.00±0.00 60.00 Pengobatan penyakit 60.00±0.00 tn (100.00%)tn (100.00%) 197.10 200.00 Total Nilai 193.67 Keterangan : (*) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan nilai harapan; tn (tidak nyata)
Berdasarkan Tabel 17, secara keseluruhan penerapan keterampilan teknis beternak untuk aspek kesehatan hewan menunjukkan tidak berbeda dengan nilai harapan. Hanya pada sub aspek pengetahuan penyakit pada peternak pada kategori 1 yang menunjukkan berbeda dengan nilai harapannya. Sub aspek yang telah baik penerapannya adalah pencegahan penyakit dan pengobatan penyakit. Walaupun capaian untuk aspek kesehatan hewan sudah baik penerapannya karena adanya bantuan tenaga keswan yang disediakan oleh KPSBU, namun peningkatan pengetahuan tentang penyakit dan gejala-gejalanya mungkin dapat membantu peternak untuk mendeteksi penyakit lebih dini sehingga kerugian dapat diminimalisir, terutama pada peternak kategori 1 karena hanya 43.33% yang memiliki pengetahuan penyakit yang baik. Jenis penyakit yang pernah menyerang sapi perah di Kecamatan Lembang antara lain mastitis, brucellosis, milk fever/hypocalsemia, displasia abomasum, distokia, radang sendi dan abortus. Penyakit displasia abomasum dijumpai cukup besar, hal ini sering terjadi pada sapi 0-30 hari postpartus penyebabnya adalah pemberian pakan konsentrat yang tidak berimbang dengan pemberian hijauan. (KPSBU, 2013).
4 Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Sapi Perah Analisis pendapatan usaha peternakan sapi perah meliputi analisis penerimaan, analisis biaya, analisis pendapatan dan analisis R/C Rasio. Perhitungan usaha peternakan sapi perah dalam penelitian ini dilakukan per
44
peternak per satu tahun produksi. Analisis pendapatan usaha ternak dilakukan untuk mengetahui tingkat pendapatan yang diterima oleh peternak sapi perah di daerah penelitian dan untuk melihat gambaran apakah usaha ternak tersebut layak dilakukan. Penerimaan Usaha Peternakan Sapi Perah Analisis terhadap penerimaan usaha peternakan sapi perah terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Penerimaan tunai merupakan penerimaan yang langsung diperoleh dalam bentuk uang tunai dari hasil penjualan susu, penjualan ternak, penjualan kotoran dan penjualan karung. Penerimaan non tunai merupakan nilai dari produksi susu yang tidak dijual (dikonsumsi). Penerimaan non tunai dalam hal ini yaitu konsumsi susu peternak dan konsumsi susu pedet. Rincian penerimaan dari usaha peternakan sapi perah ketegori 1 dan 2 dapat dilihat pada tabel 18 dan 19. Penerimaan usaha peternakan sapi perah pada Tabel 18 dan 19 merupakan penerimaan rata-rata dari 30 peternak responden dalam satu tahun produksi. Berdasarkan Tabel 18, penerimaan pada usaha peternakan sapi perah kategori 1 sebesar Rp128 664 035 lebih rendah hampir sebanyak tiga kali lipat dari penerimaan usaha peternakan sapi perah kategori 2 yaitu sebesar Rp330 716 741. Lebih rendahnya penerimaan pada usaha peternakan sapi perah kategori 1 salah satu faktor penyebabnya adalah produksi dan harga susu. Untuk kategori 1 hanya menghasilkan susu lebih dari 15.14 ribu liter/tahun sedangkan kategori 2 dapat menghasilkan susu lebih dari 40.21 ribu liter/tahun atau lebih unggul 165.46%. Adanya selisih harga dari koperasi terhadap kedua kategori ini juga mempengaruhi besarnya penerimaan yang diterima. Harga rata-rata susu pada kategori 1 sebesar Rp4 208 dan harga rata-rata susu pada peternak kategori 2 sebesar Rp4 313 penentuan harga oleh koperasi Total Solid didasarkan pada Penjualan susu merupakan penyumbang terbesar penerimaan usaha peternakan sapi perah masing-masing kategori. kategori 1 mendapatkan Rp63 740 949 atau 49.54% dari total penerimaan sedangkan kategori 2 Rp173 428 395 atau 52.44% dari total penerimaan. Penyumbang penerimaan terbesar kedua berasal dari penjualan induk, kategori 1 mendapatkan Rp24.6 juta dan kategori 2 mendapatkan Rp59 juta. Tabel 18 Penerimaan usaha peternakan sapi perah kategori 1 tahun 2014 Penerimaan Satuan Jumlah Harga Satuan Nilai (Rp) Penerimaan Tunai Penjualan susu liter 15 145.9 4 208 53 262 981 Penjualan pedet jantan ekor 1.3 4 323 308 5 750 000 Penjualan induk afkir ekor 1 10 644 444 10 644 444 Penjualan induk ekor 1 14 000 000 14 000 000 Penjualan dara ekor 1 7 800 000 7 800 000 Penjualan sapi jantan dewasa ekor 1 14 000 000 14 000 000 Penjualan pedet betina ekor 1.3 4 603 641 6 030 769 Penjualan kotoran 906 667
45
Tabel 18 Penerimaan usaha peternakan sapi perah kategori 1 tahun 2014 (lanjutan) Penerimaan Satuan Jumlah Harga Satuan Nilai (Rp) Penjualan karung buah 249.3 869 216 511 Total Penerimaan Tunai 123 089 341 Penerimaan Non Tunai Konsumsi Peternak liter 97.5 4.208 410,493 Konsumsi Pedet liter 1227.1 4.208 5 164 201 Total Penerimaan Non Tunai 5 574 694 Jumlah Total Penerimaan 128 664 035 Tabel 19 Penerimaan usaha peternakan sapi perah kategori 2 tahun 2014 Penerimaan Satuan Jumlah Harga Satuan Nilai (Rp.) Penjualan susu liter 40 206.3 4 313 173 428 395 Penjualan pedet jantan ekor 3.2 4 553 333 14 525 133 Penjualan pedet betina ekor 3.1 4 268 148 13 060 533 Penjualan induk afkir ekor 2.0 12 731 250 25 462 500 Penjualan induk ekor 2.0 17 000 000 34 000 000 Penjualan dara ekor 3.0 6 212 500 18 637 500 Penjualan dara bunting ekor 1.0 15 700 000 15 700 000 Penjualan sapi jantan muda ekor 1.0 5 000 000 5 000 000 Penjualan sapi jantan dewasa ekor 1.0 18 000 000 18 000 000 Penjualan kotoran 255 000 Penjualan karung buah 268.5 1 147 307 917 Total Penerimaan Tunai 318 377 054 Penerimaan Non Tunai Konsumsi Peternak liter 127.1 4,313 548 284 Konsumsi Pedet liter 2 733.6 4,313 11 791 404 Total Penerimaan Non 12 339 688 Tunai Jumlah Total Penerimaan 330 716 741 Biaya Usaha Peternakan Sapi Perah Biaya usaha peternakan sapi perah terdiri dari dua bagian. yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai yang dikeluarkan oleh peternak meliputi sewa lahan, biaya pakan, biaya mineral, biaya obat-obatan, upah tenaga kerja luar keluarga (TKLK), biaya peremajaan induk, biaya air, biaya perlengkapan, biaya transportasi, biaya perawatan kandang, biaya vaselin, biaya listrik, biaya telepon, biaya pupuk, jasa IB dan pajak. Sedangkan biaya yang diperhitungkan adalah biaya yang dikeluarkan secara tidak langsung tapi harus diperhitungkan sebagai pengeluaran peternak untuk kegiatan usaha ternaknya. Biaya yang diperhitungkan oleh peternak meliputi biaya tenaga kerja dalam
46
Tabel 20 Biaya usaha peternakan sapi perah kategori 1 Uraian
Satuan
Biaya Tunai Sewa lahan m2 Pakan hijauan Jerami kg Konsentrat a. Konsentrat jadi A kg b. Konsentrat jadi B kg b. Ampas tahu kg c. Ampas singkong kg d. Polar kg Mineral kg Obat-obatan Upah tenaga kerja HOK/ST TKLK Peremajaan induk a. Pembelian sapi betina dewasa ekor b. Pembelian sapi dara ekor c. Pembelian pedet ekor d. Pembelian sapi ekor jantan Biaya air Biaya perlengkapan Biaya transportasi Biaya perawatan kandang Biaya vaselin kg Biaya listrik Biaya telepon Biaya pupuk kg Biaya IB Pajak Total Biaya Tunai Biaya Diperhitungkan TKDK HOK/ST HOK/ST Penyusutan kandang Penyusutan peralatan Total Biaya Diperhitungkan Jumlah Total Biaya
Jumlah
Harga Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Persentase (%)
4 996.5
141
704 507
0.6
18 250
257
4 690 250
4.2
9 636.1 4 608.9 1 973.3 14 346.6 1 359.8 42.3
2 000 3 000 889 667 2 800 7 333 130 000
19 272 140 13 826 790 1 754 002 9 569 149 3 807 538 310 332 130 000
17.2 12.4 1.6 8.6 3.4 0.3 0.1
1.0 1.0 1.0 1.0
14 035 714 9 750 000 4 500 000 5 000 000
14 035 714 9 750 000 4 500 000 5 000 000
12.5 8.7 4.0 4.5
223 357 541 668 2 703 462 2 000 000
0.2 0.5 2.4 1.8
167 484 329 500 145 500 714 812 200 000 196 200 94 572 405
0.1 0.3 0.1 0.6 0.2 0.2 84.5
14 210 000 2 496 600 372 009 223 207 17 301 816
12.7 2.2 0.3 0.2 15.5
6.1
27 322
330.3
2 164
406.0 124.8
35 000 20 000
111 874 221
100.0
47
Tabel 21 Biaya usaha peternakan sapi perah kategori 2 Uraian Biaya Tunai Sewa lahan Pakan hijauan a. Rumput gajah b. Jerami Konsentrat a. Konsentrat A b. Konsentrat B b. Ampas tahu c. Ampas singkong d. Polar e. Ampas Bir Mineral Obat-obatan Upah tenaga kerja TKLK (HOK)
Satuan
Jumlah
Harga Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Persentase (%)
m2
8 299.3
222
1 845 762
0.7
kg kg
28 000.0 33 486.0
114 380
3 200 400 12 728 010
1.2 5.0
kg kg kg kg kg kg kg
10 327.0 11 045.7 49 751.7 28 960.3 3 210.3 8 481.8 62.1
2 000 3,000 720 690 2 987 1 246 5 675
HKP/ST
441.7
35 000
20 653 900 33 136 950 35 821 246 19 971 009 9 590 450 10 564 132 352 159 160 000 15 457 750
8.0 12.9 13.9 7.8 3.7 4.1 0.1 0.1 6.0
HKW/ST
565.8
20 000
11 315 000
4.4
1.3
15 214 286
20 235 000
7.9
1.3
10 400 000
13 000 000
5.1
1.0
7 000 000
7 000 000
2.7
1.0 360.0
4 250 000 1 000
4 250 000 360 000 197 727
1.7 0.1 0.1
53 732 4 831 410
0.02 1.9 0.4
Peremajaan induk a. pembelian sapi betina dewasa ekor b. pembelian sapi dara ekor c. pembelian pedet jantan ekor d. pembelian pedet betina ekor Pembelian karung buah Biaya air Biaya perlengkapan Biaya transportasi Biaya perawatan kandang Biaya vaselin kg Biaya listrik Biaya telepon Biaya pupuk kg Biaya IB Pajak Total Biaya Tunai Biaya Diperhitungkan TKDK HKP/ST
10.0
27 450
487.8
2 003
570.8
35 000
1 000 000 273 677 589 000 145 500 976 999 200 000 127 063 28 036 875
0.1 0.2 0.1 0.4 0.1 0.05 88.7
19 976 950
7.8
48
Tabel 21 Biaya usaha peternakan sapi perah kategori 2 (lanjutan) Uraian Satuan Jumlah Harga Nilai Persentase Satuan (Rp) (%) (Rp) TKDK HKW/ST 396.6 20 000 7 932 679 3.1 Penyusutan kandang 742 411 0.3 Penyusutan peralatan 280 005 0.1 Total Biaya Diperhitungkan 28 932 046 11.3 Jumlah Total Biaya 256 968 920 100.0
keluarga (TKDK) dan biaya penyusutan. Gambaran biaya usaha peternakan sapi perah kategori 1 dan 2 disajikan pada Tabel 20 dan 21. Biaya terbesar yang dikeluarkan oleh peternak pada kategori 1 adalah biaya pembelian pakan konsentrat jenis A yaitu sebesar Rp19 272 140 atau 17.2% dari biaya total. Konsentrat jenis A merupakan jenis konsentrat yang paling banyak digunakan pada peternak kategori 1 dikarenakan harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan konsentrat jenis B. Rata-rata jumlah konsumsi pakan konsentrat jenis A yaitu 6.10 kgBK/ekor/hari atau 6.97 kgBS/ekor/hari. Konsentrat jenis A dijual oleh KPSBU dengan harga Rp2 000/kg. Komponen biaya terbesar kedua yaitu biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) yaitu sebesar Rp16 706 600 atau 14.9% dari biaya total, jenis pekerjaan yang dilakukan TKDK dalam usaha peternakan sapi perah meliputi seluruh kegiatan sapi perah mulai dari mencari rumput, memberikan pakan, memberi air minum, membersihkan kandang, memandikan sapi, pemerahan dan mengangkut susu ke penampungan. Pada usaha peternakan kategori ini peternak cenderung tidak memperkerjakan orang lain untuk mengurus usahanya dikarenakan beban pekerjaan dengan jumlah skala kepemilikan sapi perah laktasi 1-5 ekor tidak terlalu berat dan masih bisa dilakukan sendiri dengan melibatkan seluruh anggota keluarga selain itu juga untuk mengurangi pengeluaran. Komponen terbesar ketiga adalah pembelian sapi perah betina dewasa, yaitu sebesar Rp14 035 714 atau 12.5% dari biaya total. Peternak pada kategori ini melakukan peremajaan induk satu ekor di setiap tahunnya untuk mengganti induk yang produksinya sudah menurun atau induk yang terkena penyakit. Biaya terbesar yang dikeluarkan pada usaha peternakan kategori 2 adalah biaya pembelian ampas tahu yaitu sebesar Rp35 821 246 atau 13.9% dari biaya total. Peternak kategori ini menggunakan ampas tahu sebagai pakan konsentrat tambahan karena harganya yang relatif murah yaitu Rp720/kg. Rata-rata jumlah konsumsi ampas tahu pada kategori ini sebanyak 3.40 kgBK/ekor/hari. Komponen biaya terbesar kedua adalah pembelian pakan konsentrat B yaitu sebesar Rp33 136 950 atau 12.9% dari biaya total. Rata-rata konsumsi pakan konsentrat jenis B pada kategori ini adalah 2.98 kgBK/ekor/hari. Konsentrat jenis B secara kandungan nutrisi lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrat jenis A yaitu dengan kandungan PK= 18.61%. BK=87.68% dan TDN=53.12% selain itu juga harganya relatif lebih mahal yaitu Rp3 000/kg. Kedua komponen biaya pakan ini
49
memiliki persentase terbesar dari biaya total dibandingkan komponen biaya lainnya. Total biaya yang dibutuhkan untuk usaha peternakan dengan skala kepemilikan sapi perah laktasi sebanyak 1-5 ekor selama satu tahun adalah sebesar Rp111 874 211 sedangkan pada usaha dengan skala kepemilikan sapi perah laktasi sebanyak 6-10 ekor adalah sebesar Rp256 968 920. Besarnya biaya total skala usaha kategori 2 kurang lebih dua kali biaya total skala usaha kategori 1. Proporsi biaya tunai terhadap biaya total usaha peternakan kategori 1 sebesar 84.5%, sedangkan pada usaha peternakan kategori 2 sebesar 88.7%. Proporsi biaya diperhitungkan terhadap biaya total adalah sebesar 15.5% pada kategori 1 dan 11.3% pada kategori 2. Proporsi biaya diperhitungkan relatif kecil dibandingkan dengan biaya tunai. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar input yang digunakan dalah usaha peternakan sapi perah dibayar tunai. Pendapatan Usaha Peternakan Sapi Perah Pendapatan usaha peternakan sapi perah merupakan selisih antara penerimaan usaha ternak dengan pengeluaran usaha ternak. Komponen pendapatan usaha ternak ini terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Tabel 22 Perhitungan pendapatan dan rasio penerimaan terhadap biaya (R/C) usaha peternakan sapi perah kategori 1 tahun 2014 Komponen Nilai (Rp) A. Penerimaan Tunai B. Penerimaan Non Tunai C. Total Penerimaan (A+B) D. Biaya Tunai E. Biaya Diperhitungkan F. Total Biaya Pendapatan atas Biaya Tunai (C-D) Pendapatan atas Biaya Total (C-F) R/C atas Biaya Tunai R/C atas Biaya Total
123 089 341 5 574 694 128 664 035 94 572 405 17 301 816 111 874 221 34 091 630 16 789 814 1.36 1.15
Tabel 23 Perhitungan pendapatan dan rasio penerimaan terhadap biaya (R/C) usaha peternakan sapi perah kategori 2 tahun 2014 Komponen Nilai (Rp) A. Penerimaan Tunai B. Penerimaan Non Tunai C. Total Penerimaan (A+B) D. Biaya Tunai E. Biaya Diperhitungkan F. Total Biaya Pendapatan atas Biaya Tunai (C-D) Pendapatan atas Biaya Total (C-F) R/C atas Biaya Tunai R/C atas Biaya Total
318 377 054 12 339 688 330 716 741 256 968 920 28 932 046 256 968 920 102 679 867 73 747 821 1.45 1.29
50
Analisis R/C rasio digunakan untuk menunjukkan perbandingan antara nilai output terhadap nilai inputnya sehingga diketahui kelayakan usaha ternak yang diusahakan oleh peternak di Kecamatan Lembang. Suatu usaha peternakan dikatakan layak apabila memiliki R/C rasio lebih dari satu. Nilai R/C usaha peternakan atas biaya tunai yang diperoleh responden pada kategori 1 adalah sebesar 1.36. Nilai R/C 1.36 menunjukkan bahwa setiap Rp1 000 biaya tunai yang dikeluarkan petani dalam kegiatan usaha peternakannya akan memperoleh keuntungan sebesar Rp1 360. Sedangkan nilai R/C rasio atas biaya total sebesar 1.15. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp1 000 biaya total yang dikeluarkan peternak dalam usaha budidayanya akan memperoleh penerimaan sebesar Rp1 150. Berdasarkan hasil analisis R/C rasio maka kegiatan usaha peternakan sapi perah kategori 1 ini layak dan menguntungkan untuk diusahakan karena nilai R/C atas biaya tunai maupun atas biaya total bernilai lebih dari 1. Nilai R/C usaha peternakan atas biaya tunai yang diperoleh responden pada kategori 2 adalah sebesar 1.45. Nilai R/C 1.45 menunjukkan bahwa setiap Rp1 000 biaya tunai yang dikeluarkan petani dalam kegiatan usaha peternakannya akan memperoleh keuntungan sebesar Rp1 450. Sedangkan nilai R/C rasio atas biaya total sebesar 1.29. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp1 000 biaya total yang dikeluarkan peternak dalam usaha budidayanya akan memperoleh penerimaan sebesar Rp1 290. Berdasarkan hasil analisis R/C rasio maka kegiatan usaha peternakan sapi perah kategori 2 ini layak dan menguntungkan untuk diusahakan karena nilai R/C atas biaya tunai maupun atas biaya total bernilai lebih dari 1. Nilai R/C rasio baik R/C atas biaya tunai maupun R/C atas biaya total pada usaha peternakan kategori 2 lebih tinggi daripada usaha peternakan kategori 1, sehingga usaha peternakan sapi perah dengan skala kepemilikan betina laktasi 6-10 ekor memberikan keuntungan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan usaha peternakan sapi perah dengan skala kepemilikan betina laktasi 1-5 ekor. Tabel 24 Pendapatan per ekor usaha peternakan kategori 1 dan kategori 2 Jenis Pendapatan Kategori 1 (Rp) Kategori 2 (Rp) Pendapatan per ekor/bulan 662 771 546 809 Pendapan per ekor/hari 22 092 18 227 Berdasarkan Tabel 24 menunjukkan bahwa analisis pendapatan per ekor per ekor per hari pada usaha peternakan sapi perah kategori 1 memberikan keuntungan yang lebih besar yaitu sebesar Rp22 092 dibandingkan pada usaha kategori 2 yaitu sebesar Rp18 227, hal ini dikarenakan peternak pada kategori ini mampu menekan biaya pakan. Kondisi di wilayah usaha peternakan sapi perah kategori 1 masih tersedia hijauan untuk kebutuhan ternaknya, sedangkan pada usaha peternakan kategori 2 karena keterbatasan ketersediaan hijauan, maka peternak cenderung memberikan konsentrat secara berlebihan. Penggunaan konsentrat yang berlebihan ini dari sisi ekonomi kurang efisien dan merupakan suatu pemborosan. Aspek teknis makanan ternak merupakan titik kritis dalam pengembangan usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Lembang. Pengalokasian input produksi pakan hijauan dan konsentrat akan berpengaruh terhadap produktivitas sapi perah dan tingkat efisiensi teknis. Berdasarkan fungsi produksi stochastic
51
frontier pada usaha peternakan sapi perah kategori 2, penambahan jumlah pakan rumput gajah, rumput lapang B/Lantana camara, pohon pisang, konsentrat B, ampas tahu, polar, jerami, ampas bir, ampas singkong, rumput lapang Cynodon plectostachyus dan konsentrat C dapat meningkatkan produksi susu. Keterampilan teknis peternak dalam manajemen pemberian pakan menjadi faktor penting dalam peningkatan produktivitas ternak yang secara langsung akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diterimanya. Sehingga untuk mendapatkan output produksi yang maksimal maka peternak harus dapat menggunakan input produksi (pakan hijauan dan konsentrat) seefisien mungkin. Penggunaan pakan konsentrat yang berlebihan pada usaha kategori 2 merupakan suatu pemborosan (pembengkakan biaya produksi) yang menyebabkan pendapatan per ekor yang diterima peternak pada kategori 2 menjadi lebih kecil bila dibandingkan peternak pada usaha peternakan ketegori 1.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
4.
Variabel input produksi pada usaha peternakan dengan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi 1-5 ekor yang efisien dan perlu ditingkatkan penggunaannya adalah rumput lapang Pseudechinolaena polystachya, rumput gajah, ampas tahu, konsentrat A, mineral, pohon pisang, kaliandra, konsentrat B dan ampas singkong. Sedangkan variabel input produksi yang tidak efisien antara lain rumput lapang B/ Lantana camara, rumput lapang D/ Digitaria sp, rumput lapang A/ Cynodon plectostachyus, daun pisang, polar, tenaga kerja dan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi. Variabel input produksi pada usaha peternakan dengan skala kepemilikan sapi perah laktasi 6-10 ekor yang efisien dan perlu ditingkatkan adalah rumput gajah, rumput lapang B/Lantana camara, pohon pisang, konsentrat B, ampas tahu, polar, jerami, ampas bir, ampas singkong, tenaga kerja, rumput lapang Cynodon plectostachyus dan konsentrat C. Sedangkan variabel input produksi yang tidak efisien yaitu kaliandra, daun pisang, mineral, jumlah kepemilikan sapi perah laktasi, rumput lapang Digitaria sp, konsentrat A dan dedak padi. Berdasarkan model fungsi produksi stochastic frontier didapatkan hasil yang berbeda dalam hal arah pengembangan antara usaha peternakan sapi perah dengan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi 1-5 ekor (kategori 1) dan usaha peternakan sapi perah dengan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi 6-10 ekor (kategori 2). Arah pengembangan untuk usaha peternakan kategori 1 adalah dengan perbaikan teknologi pakan sedangkan kategori 2 dengan penyuluhan. Usaha peternakan sapi perah dengan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi 610 ekor (kategori 2) telah efisien secara teknis dengan rata-rata efisiensi teknis sebesar 91 persen. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Lembang adalah umur peternak, pengalaman usaha, dan status kepemilikan ternak. Sedangkan
52
5.
6.
untuk usaha peternakan sapi perah dengan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi 1-5 ekor (kategori 1) tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Peternak di Kecamatan Lembang memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis yang cukup bagus dengan capaian angka terhadap nilai harapan di atas 75% (kecuali sub aspek makanan ternak pada usaha dengan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi 6-10 ekor) Hasil analisis pendapatan usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Lembang menunjukkan nilai R/C atas biaya tunai maupun atas biaya total lebih besar dari satu sehingga usaha peternakan sapi perah ini layak untuk diusahakan. baik pada usaha dengan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi 15 ekor (kategori 1) maupun 6-10 ekor (kategori 2). Saran
1.
2.
3. 4.
Apabila usaha peternakan sapi perah dengan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi 1-5 ekor ini akan dikembangkan ke usaha peternakan dengan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi 6-10 ekor, maka arah pengembangannya dititikberatkan pada aspek pakan, terutama perbaikan kualitas pakan konsentrat melalui teknologi pakan. Apabila usaha peternakan dengan jumlah kepemilikan sapi perah laktasi 6-10 ekor dipertahankan, maka aspek yang perlu dibenahi adalah perbaikan kualitas hijauan. antara lain melalui : a. pengadaan pakan hijauan yang berkualitas untuk mengatasi keterbatasan ketersediaan hijauan di wilayah tersebut sehingga kebutuhan hijauan ternak tercukupi b. perlunya pengaturan dalam hal pemberian pakan karena masih dijumpai peternak yang memberikan pakan dalam jumlah yang berlebihan sehingga tidak efisien dan terjadi pemborosan c. perlunya pendampingan dan penyuluhan yang dilakukan secara kontinyu baik dari pihak dinas setempat maupun koperasi, sehingga dapat merubah dan memperbaiki pola kebiasaan peternak dalam pemberian pakan agar manajemen pemberian pakan menjadi lebih baik. Perlunya regenerasi peternak sapi perah, hal ini dikarenakan usaha peternakan sapi perah sebagian besar dilakukan oleh generasi tua. Penelitian ini belum membahas mengenai pengaruh peran kelembagaan koperasi terhadap efisiensi teknis usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Lembang, sehingga bagi penelitian lanjutan disarankan untuk memasukkan peran kelembagaan koperasi dalam variabel sosial ekonomi peternak (faktor inefisiensi teknis).
DAFTAR PUSTAKA Aigner DJ, CAK Lovell, P Schmidt. 1977. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Function Model. Journal of Econometrics 6 (1) : 21-37
53
Annen EL, Collier RJ, McGuire MA, Vicini JL. 2004. Effects of dry period length on milk yield and mammary epithelial cells. J. Dairy Sci. 87(Suppl. E):66-76. Beattie BR, CR Taylor. 1985. The Economics of Production. John Wiley and Sons, New York Binci T, Demircan V, Zulauf CR. 2006. Assessing Production Efficiency of Dairy Farms in Burdur Province, Turkey. Journal of Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics Vol 107, No. 1 : 1-10. University of Kassel, Faculty of Organic Agricultural Sciences, Witzenhausen. Capuco AV, Akers RM, Smith JJ. 1997. Mammary growth in Holstein cows during the dry period: quantification of nucleic acids and histology. J. Dairy Sci. 80:477-487 Coelli TJ, DSP Rao, GE Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publishers, London. Coelli TJ, Rao DSP, O’Donnel CJ, Battese GE. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Second Edition. New York : Springer Science and Business Media. Inc Cole HH, Heresign. 1988. Introduction to Livestock Production Including Dairy and Poultry. San Francisco and London: WH Freeman and Company. Cooper RD, Emory CW. 1995. Metode Penelitian Bisnis. Edisi 5/jilid 2; alih bahasa oleh Widyono Soetjipto dan Uka Wikarya. Penerbit Erlangga : Jakarta. Daryanto HKS. 2000. Analysis of The Technical Efficiencies of Rice Production in West Java Province, Indonesia : A Stochastic Frontier Production Function Approach PhD Thesis. University of New England, Armidale. Debertin DL. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company, New York. Direktorat Jenderal Peternakan. 1983. Laporan Pertemuan Pelaksanaan Uji Coba Faktor-faktor Penentu dan Perencanaan Tata Penyuluhan Subsektor Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta (ID) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Doll JP, F Orazem. 1984. Production Economics: Theory with Applications. John Wiley and Son, New York. Gallo L, Contiero B, Marchi MD, Carnier P, Cassandro M, Bittante G. 2008. Restrospective analysis of dry period length in Italian Holstein Cows. Ital J. Anim Sci 7: 65-76. Hadiana. MH. 2007. Dampak Faktor Eksternal Kawasan terhadap Efisiensi Usaha Ternak Sapi Perah (Analisis berdasarkan Fungsi Biaya Frontier). Jurnal Ilmu Ternak Vol 7 No. 1 32-38. Judkins HF, Keener HA. 1960. Milk Production and Processing. New York: John Wiley and Sons. Inc. p. 63-65. Kebede TA. 2001. Farm Household Technical Efficiency : A Stochastic Frontier Analysis. A studi of Rice Producers in Mardi Watershed in the Western Development Region of Nepal. http ://www.ub.no.elpub/Norad/2001/NLH/Thesis01.pdf.
54
Kodde DA, Palm FC. Notes and Comments. Wald Criteria for Jointly Testing Equality and Inequality Restrictions. Econometrica. Vol. 54 No. 5 (September. 1986). 1243-1248. Ma’sum M. 2012. Antisipasi ketersediaan pakan menyongsong swasembada susu 2020. Makalah Disampaikan pada acara Workshop Pengembangan Sapi Perah Indonesia, Menyongsong Swasembada Susu Tahun 2020. Mahadevan R. 2002. A Frontier Approach to Measuring Total Factor Productivity Growth in Singapore Service’s Sector. Journal of Economic Studies, 29 : 48-58. Nganga SK, Kungu J, Ridder N, Herrero M. 2010. Profit efficiency among Kenyan smallholders milk producers : A case study of Meru-South district, Kenya. African J Agric Res 5:332-337. Sajjad M, Khan M. 2010. Economic efficiency of milk production in District Peshawer : A stochastic frontier approach. J Agric 26(4) : 655-663. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. Cet ke4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tyler Howard D, Ensminger ME. 2006. Dairy Cattle Science. 4th Ed. Upper Saddle River. New Jersey, Columbus, Ohio: Pearson Prentice Hall. Wibisono Y. 2009. Metode Statistika. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
55
Lampiran 1 Hasil Output Minitab Model Produksi Usaha Peternakan Sapi Perah Kategori 1 Regression Analysis: Ln Prod Susu versus Ln RG; Ln RLA; ... The regression equation is Ln Prod Susu = 3.04 + 0.0934 Ln RG + 0.0062 Ln RLA - 0.0616 Ln RLB + 0.0861 Ln RLC - 0.0237 Ln RLD + 0.0410 Ln KL + 0.0194 Ln DP + 0.0072 Ln PP + 0.0079 Ln KB + 0.0652 Ln AS + 0.135 Ln AT + 0.0338 Ln KA - 0.0236 Ln P + 0.0312 Ln M - 0.121 Ln TK + 0.039 Ln HZ Predictor Constant Ln RG Ln RLA Ln RLB Ln RLC Ln RLD Ln KL Ln DP Ln PP Ln KB Ln AS Ln AT Ln KA Ln P Ln M Ln TK Ln HZ
Coef 3.0402 0.09340 0.00616 -0.06157 0.08612 -0.02365 0.04105 0.01941 0.00723 0.00788 0.06519 0.13521 0.03384 -0.02359 0.03116 -0.1210 0.0388
SE Coef 0.7539 0.05340 0.02699 0.04102 0.03806 0.02935 0.05149 0.03922 0.03039 0.02791 0.03626 0.05957 0.03447 0.05770 0.01920 0.2738 0.1912
T 4.03 1.75 0.23 -1.50 2.26 -0.81 0.80 0.49 0.24 0.28 1.80 2.27 0.98 -0.41 1.62 -0.44 0.20
P 0.001 0.104 0.823 0.157 0.041 0.435 0.440 0.629 0.816 0.782 0.095 0.041 0.344 0.689 0.129 0.666 0.842
VIF 3.8 2.0 2.9 3.1 3.1 3.4 1.8 1.9 2.7 2.0 4.9 3.2 2.6 2.2 3.7 2.9
S = 0.251672 R-Sq = 53.5% R-Sq(adj) = 0.0% PRESS = 5.13018 R-Sq(pred) = 0.00% Analysis of Variance Source DF Regression 16 Residual Error 13 Total 29
SS 0.94704 0.82340 1.77044
Source Ln RG Ln RLA Ln RLB Ln RLC Ln RLD Ln KL
Seq SS 0.01355 0.13959 0.01206 0.06277 0.05249 0.02728
DF 1 1 1 1 1 1
MS 0.05919 0.06334
F 0.93
P 0.557
56
Ln DP Ln PP Ln KB Ln AS Ln AT Ln KA Ln P Ln M Ln TK Ln HZ
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Unusual Observations Obs Ln RG
9
1.72
Ln Prod Susu 2.9069
0.03513 0.01982 0.08135 0.06984 0.18789 0.05134 0.00031 0.17833 0.01266 0.00261
Fit
2.4556
SE Fit
0.1257
Residual
St Resid
0.4513
2.07R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 2.26439
57
Lampiran 2 Output Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usaha Peternakan Sapi Perah Kategori 1 output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = DATC1.txt Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error beta 0 0.30401873E+01 0.75385519E+00 0.93397011E-01 0.53395761E-01 beta 1 0.61551276E-02 0.26994537E-01 beta 2 -0.61569279E-01 0.41019187E-01 beta 3 0.86117375E-01 0.38055493E-01 beta 4 -0.23652925E-01 0.29352223E-01 beta 5 0.41048563E-01 0.51492631E-01 beta 6 0.19408526E-01 0.39217370E-01 beta 7 0.72302464E-02 0.30386952E-01 beta 8 0.78847936E-02 0.27913927E-01 beta 9 0.65185936E-01 0.36260263E-01 beta 10 0.13521232E+00 0.59570184E-01 beta 11 0.33838346E-01 0.34467903E-01 beta 12 -0.23587949E-01 0.57695394E-01 beta 13 0.31157981E-01 0.19203903E-01 beta 14 -0.12102637E+00 0.27376817E+00 beta 15 0.38797134E-01 0.19115920E+00 beta 16 0.63338573E-01 sigma-squared log likelihood function = 0.11364477E+02 the estimates after the grid search were : beta 0 0.30702269E+01 0.93397011E-01 beta 1 0.61551276E-02 beta 2 -0.61569279E-01 beta 3 0.86117375E-01 beta 4 -0.23652925E-01 beta 5 0.41048563E-01 beta 6 0.19408526E-01 beta 7 0.72302464E-02 beta 8
t-ratio 0.40328532E+01 0.17491466E+01 0.22801383E+00 -0.15009873E+01 0.22629420E+01 -0.80583079E+00 0.79717354E+00 0.49489616E+00 0.23793918E+00 0.28246809E+00 0.17977237E+01 0.22697986E+01 0.98173497E+00 -0.40883592E+00 0.16224817E+01 -0.44207614E+00 0.20295719E+00
58
beta 9 beta 10 beta 11 beta 12 beta 13 beta 14 beta 15 beta 16 delta 0 delta 1 delta 2 delta 3 delta 4 sigma-squared gamma
0.78847936E-02 0.65185936E-01 0.13521232E+00 0.33838346E-01 -0.23587949E-01 0.31157981E-01 -0.12102637E+00 0.38797134E-01 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.28349095E-01 0.50000000E-01
the final mle estimates are : coefficient beta 0 0.33498826E+01 0.10809868E+00 beta 1 -0.54795730E-02 beta 2 -0.52488244E-01 beta 3 0.94114680E-01 beta 4 -0.33937125E-01 beta 5 0.50537960E-01 beta 6 -0.23190212E-01 beta 7 0.48084213E-01 beta 8 0.22042146E-01 beta 9 0.22370336E-01 beta 10 0.12372577E+00 beta 11 0.59392837E-01 beta 12 -0.27379500E-01 beta 13 0.27652282E-01 beta 14 -0.14822720E+00 beta 15 -0.81993066E-01 beta 16 0.63233290E+00 delta 0 0.13167271E-02 delta 1 -0.24015541E-01 delta 2 0.51734683E-02 delta 3 -0.80446662E-01 delta 4 0.26113979E-01 sigma-squared 0.42172300E+00 gamma
standard-error 0.57794341E+00 0.44054831E-01 0.19249106E-01 0.27418578E-01 0.29358124E-01 0.22343697E-01 0.38549598E-01 0.30746365E-01 0.28915639E-01 0.17842302E-01 0.42802676E-01 0.49327316E-01 0.21349941E-01 0.39377916E-01 0.11406059E-01 0.22499860E+00 0.15174918E+00 0.40652649E+00 0.61650237E-02 0.10105316E-01 0.27305662E-01 0.18785819E+00 0.91174713E-02 0.30159500E+00
t-ratio 0.57962121E+01 0.24537304E+01 -0.28466636E+00 -0.19143314E+01 0.32057457E+01 -0.15188680E+01 0.13109854E+01 -0.75424240E+00 0.16629137E+01 0.12353869E+01 0.52263872E+00 0.25082608E+01 0.27818735E+01 -0.69530088E+00 0.24243502E+01 -0.65879166E+00 -0.54031968E+00 0.15554531E+01 0.21358021E+00 -0.23765255E+01 0.18946504E+00 -0.42823079E+00 0.28641690E+01 0.13983090E+01
59
log likelihood function = 0.14478159E+02 LR test of the one-sided error = 0.62273654E+01 with number of restrictions = 6 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 34 (maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 30 number of time periods = 1 total number of observations = 30 thus there are: 0 obsns not in the panel technical efficiency estimates : firm year eff.-est. 1 1 0.87449438E+00 2 1 0.78245636E+00 3 1 0.63885957E+00 4 1 0.74276367E+00 5 1 0.87649608E+00 6 1 0.89180770E+00 7 1 0.68143365E+00 8 1 0.76412787E+00 9 1 0.97039410E+00 10 1 0.64438123E+00 11 1 0.72378153E+00 12 1 0.71467377E+00 13 1 0.92301736E+00 14 1 0.97686202E+00 15 1 0.97963465E+00 16 1 0.68807544E+00 17 1 0.98604743E+00 18 1 0.73093016E+00 19 1 0.96733411E+00 20 1 0.76028984E+00 21 1 0.73102914E+00 22 1 0.89713445E+00 23 1 0.74733040E+00 24 1 0.97260850E+00 25 1 0.90466464E+00 26 1 0.60377645E+00 27 1 0.87264592E+00 28 1 0.93861250E+00 29 1 0.87146609E+00 30 1 0.97192717E+00 mean efficiency = 0.82763521E+00
60
Lampiran 3 Hasil Output Minitab Model Produksi Usaha Peternakan Sapi Perah Kategori 2 Regression Analysis: Ln Prod Susu versus LnRG; LnRLA; ... The regression equation is Ln Prod Susu = 3.81 + 0.0652 LnRG - 0.0224 LnRLA + 0.0194 LnRLB - 0.0064 LnRL - 0.105 LnKL - 0.165 LnDP + 0.140 LnPP + 0.0197 LnKB - 0.0428 LnAS + 0.0492 LnAT + 0.0023 LnKA + 0.0597 LnP - 0.0129 LnM + 0.092 LnTK - 0.541 LnHZ + 0.0035 LnKC 0.0189 LnDPd + 0.0636 LnAB + 0.0158 LnJ Predictor Constant Ln RG Ln RLA Ln RLB Ln RLD Ln KL Ln DP Ln PP Ln KB Ln AS Ln AT Ln KA Ln P Ln M Ln TK Ln HZ LnKC LnDPd LnAB LnJ
Coef 3.8087 0.06521 -0.02236 0.01939 -0.00643 -0.10457 -0.16459 0.14000 0.01968 -0.04278 0.04919 0.00229 0.05974 -0.01293 0.0925 -0.5412 0.00350 -0.01889 0.06363 0.01576
SE Coef 0.6594 0.03646 0.02428 0.03338 0.02280 0.07391 0.07978 0.04372 0.01627 0.03527 0.02150 0.01924 0.03550 0.01430 0.1280 0.2939 0.03871 0.04107 0.03498 0.01477
T 5.78 1.79 -0.92 0.58 -0.28 -1.41 -2.06 3.20 1.21 -1.21 2.29 0.12 1.68 -0.90 0.72 -1.84 0.09 -0.46 1.82 1.07
P 0.000 0.104 0.379 0.574 0.784 0.187 0.066 0.009 0.254 0.253 0.045 0.907 0.123 0.387 0.487 0.095 0.930 0.655 0.099 0.311
VIF 6.6 3.1 4.9 4.3 4.0 8.8 7.8 3.0 2.1 2.7 4.3 3.6 3.5 3.4 3.7 4.1 2.1 3.3 2.8
S = 0.142718 R-Sq = 77.9% R-Sq(adj) = 36.1% PRESS = * R-Sq(pred) = *%
Analysis of Variance Source DF Regression 19 Residual Error 10 Total 29
SS 0.72005 0.20368 0.92373
Source Ln RG Ln RLA Ln RLB Ln RLD Ln KL
Seq SS 0.02608 0.13445 0.00216 0.00691 0.00321
DF 1 1 1 1 1
MS 0.03790 0.02037
F 1.86
P 0.157
61
Ln DP Ln PP Ln KB Ln AS Ln AT Ln KA Ln P Ln M Ln TK Ln HZ LnKC LnDPd LnAB LnJ
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.01519 0.15532 0.04756 0.04487 0.10392 0.00228 0.02840 0.00024 0.01159 0.04344 0.00435 0.00585 0.06106 0.02319
Unusual Observations Obs
Ln RG
15 21 27
0.63 0.46 1.97
Ln Prod Susu 2.6462 2.8449 2.9791
Fit
SE Fit
2.7326 2.8449 3.0702
0.1365 0.1427 0.1366
Residual
-0.0864 -0.0000 -0.0912
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 2.26358
St Resid
-2.07R *X -2.21R
62
Lampiran 4 Output Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usaha Peternakan Sapi Perah Kategori 2 Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = DATC.txt Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error beta 0 0.38086685E+01 0.65937426E+00 0.65207649E-01 0.36462025E-01 beta 1 -0.22364340E-01 0.24279592E-01 beta 2 0.19388785E-01 0.33382432E-01 beta 3 -0.64259813E-02 0.22797728E-01 beta 4 -0.10457016E+00 0.73905735E-01 beta 5 -0.16459333E+00 0.79780538E-01 beta 6 0.13999886E+00 0.43723648E-01 beta 7 0.19680672E-01 0.16269846E-01 beta 8 -0.42782749E-01 0.35271696E-01 beta 9 0.49194580E-01 0.21501667E-01 beta 10 0.22945741E-02 0.19239097E-01 beta 11 0.59735961E-01 0.35500572E-01 beta 12 -0.12926580E-01 0.14303368E-01 beta 13 0.92474088E-01 0.12802698E+00 beta 14 -0.54115664E+00 0.29387007E+00 beta 15 0.34982719E-02 0.38706668E-01 beta 16 -0.18889431E-01 0.41072346E-01 beta 17 0.63627434E-01 0.34984132E-01 beta 18 0.15760875E-01 0.14772207E-01 beta 19 0.20368298E-01 sigma-squared log likelihood function = 0.32317663E+02 the estimates after the grid search were : beta 0 0.38236091E+01 0.65207649E-01 beta 1 -0.22364340E-01 beta 2 0.19388785E-01 beta 3 -0.64259813E-02 beta 4 -0.10457016E+00 beta 5
t-ratio 0.57761862E+01 0.17883716E+01 -0.92111677E+00 0.58080804E+00 -0.28186937E+00 -0.14149126E+01 -0.20630762E+01 0.32019026E+01 0.12096409E+01 -0.12129484E+01 0.22879426E+01 0.11926621E+00 0.16826760E+01 -0.90374379E+00 0.72230155E+00 -0.18414827E+01 0.90379051E-01 -0.45990631E+00 0.18187513E+01 0.10669276E+01
63
beta 6 beta 7 beta 8 beta 9 beta 10 beta 11 beta 12 beta 13 beta 14 beta 15 beta 16 beta 17 beta 18 beta 19 delta 0 delta 1 delta 2 delta 3 delta 4 sigma-squared gamma
-0.16459333E+00 0.13999886E+00 0.19680672E-01 -0.42782749E-01 0.49194580E-01 0.22945741E-02 0.59735961E-01 -0.12926580E-01 0.92474088E-01 -0.54115664E+00 0.34982719E-02 -0.18889431E-01 0.63627434E-01 0.15760875E-01 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.70126522E-02 0.50000000E-01
the final mle estimates are : coefficient beta 0 0.32544936E+01 0.71981385E-01 beta 1 0.43940236E-03 beta 2 0.60093864E-01 beta 3 -0.16035564E-01 beta 4 -0.14229333E+00 beta 5 -0.11099316E+00 beta 6 0.96139653E-01 beta 7 0.16100928E-01 beta 8 0.17551011E-01 beta 9 0.38382486E-01 beta 10 -0.26328019E-02 beta 11 0.54732931E-01 beta 12 -0.17289960E-01 beta 13 0.77862916E-02 beta 14 -0.36297960E+00 beta 15 0.42665416E-02 beta 16 -0.26987701E-01 beta 17
standard-error 0.40407334E+00 0.13149130E-01 0.13617686E-02 0.15746203E-01 0.13385485E-01 0.36966149E-01 0.28642674E-01 0.17764465E-01 0.17097123E-02 0.10131882E-01 0.48202907E-02 0.67232036E-02 0.16750617E-01 0.82150500E-02 0.49268985E-01 0.14903606E+00 0.20834934E-01 0.23472751E-01
t-ratio 0.80542150E+01 0.54742319E+01 0.32267035E+00 0.38164034E+01 -0.11979815E+01 -0.38492875E+01 -0.38750978E+01 0.54119081E+01 0.94173320E+01 0.17322557E+01 0.79626912E+01 -0.39159931E+00 0.32675174E+01 -0.21046689E+01 0.15803637E+00 -0.24355153E+01 0.20477826E+00 -0.11497460E+01
64
beta 18 beta 19 delta 0 delta 1 delta 2 delta 3 delta 4 sigma-squared gamma
0.43461524E-01 0.23729288E-01 -0.68500111E-01 0.12609340E-01 -0.76157384E-02 -0.38161110E-03 -0.38900851E+00 0.12292366E-01 0.99992624E+00
0.15166107E-01 0.43676825E-02 0.90546129E-01 0.26733602E-02 0.41670775E-02 0.12251700E-01 0.93945498E-01 0.23841258E-02 0.69926875E-04
log likelihood function = 0.45585683E+02 LR test of the one-sided error = 0.26536038E+02 with number of restrictions = 6 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 56 (maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 30 number of time periods = 1 total number of observations = 30 thus there are: 0 obsns not in the panel technical efficiency estimates : firm year 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 1 10 1 11 1 12 1 13 1 14 1 15 1 16 1 17 1 18 1 19 1 20 1 21 1 22 1 23 1 24 1
eff.-est. 0.99525263E+00 0.98013032E+00 0.77051955E+00 0.82010025E+00 0.75806218E+00 0.99033692E+00 0.92945636E+00 0.85572334E+00 0.99434992E+00 0.99876594E+00 0.81689354E+00 0.99513940E+00 0.85338065E+00 0.99905910E+00 0.63253919E+00 0.87700703E+00 0.83065069E+00 0.99748066E+00 0.77527730E+00 0.97703677E+00 0.89631614E+00 0.99863642E+00 0.99520034E+00 0.99495183E+00
0.28657008E+01 0.54329242E+01 -0.75652169E+00 0.47166634E+01 -0.18275970E+01 -0.31147604E-01 -0.41407893E+01 0.51559216E+01 0.14299599E+05
65
25 26 27 28 29 30 mean efficiency =
1 0.99640722E+00 1 0.98024827E+00 1 0.96064640E+00 1 0.99828756E+00 1 0.78967766E+00 1 0.93368373E+00 0.91304058E+00
66
Lampiran 5 Faktor-faktor Penentu Aspek Teknis Beternak Sapi Perah (Direktorat Jenderal Peternakan, 1983) No. 1.
2.
3.
4.
5.
Faktor Penentu Pembibitan dan Reproduksi (240) Bangsa sapi (30) Cara seleksi (40) Cara kawin (40) Pengetahuan berahi (40) Umur beranak pertama (40) Saat dikawinkan setelah beranak (40) Calving interval (10) Makanan Ternak (260) Cara pemberian HMT (25) Jumlah pemberian HMT (40) Kualitas HMT (45) Frekuensi pemberian HMT (20) Cara pemberian konsentrat (15) Jumlah pemberian konsentrat (35) Kualitas konsentrat dan mineral (35) Frekuensi pemberian konsentrat (15) Ketersediaan air minum (30) Pengelolaan (200) Memandikan sapi (20) Membersihkan kandang (20) Cara pemerahan (40) Penanganan pasca panen (35) Pemeliharaan anak sapi dan dara (35) Pengeringan sapi laktasi (30) Pencatatan/recording (20) Kandang dan Peralatan (100) Letak kandang (10) Konstruksi kandang (25) Drainase kandang (15) Tempat kotoran (10) Peralatan kandang (15) Peralatan susu (25) Kesehatan Hewan (200) Pengetahuan penyakit (40) Pencegahan penyakit (100) Pengobatan penyakit (60)
67
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Semarang pada tanggal 24 bulan April tahun 1981. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara pasangan Ibu Sri Kuswanti dan Alm. Wiyanto. Tahun 1999 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Ternak. Universitas Diponegoro dan lulus pada tahun 2003. Beasiswa dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan diterima penulis pada tahun 2012 dalam jenjang Magister dengan Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Penulis dari tahun 2006 sampai sekarang bekerja sebagai staf pada Direktorat Budidaya Ternak. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.