POTENSI INTEGRASI TERNAK SAPI DENGAN JERUK KEPROK SOE DI DESA TOBU, KECAMATAN MOLLO UTARA KABUPATEN TTS Didiek Agung Budianto dan Sophia Ratnawaty Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur ABSTRAK Tanaman jeruk Keprok SoE (JKS) merupakan komoditas unggulan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Tobu. Hal ini karena JKS memiliki nilai ekonomi tinggi. Pada sekitar tahun 1990 Desa Tobu menjadi salah satu sentra penghasil utama JKS. Namun pada tahun 1995 populasi JKS berkurang karena serangan penyakit dan sebagian besar umurnya sudah tua. Dari hasil survai diperoleh jumlah tanaman JKS yang berproduksi kurang dari 5.000 pohon dengan rata-rata produksi ± 6 kg/pohon sehingga secara umum belum mampu meningkatkan pendapatan petani secara nyata. Ternak, khususnya ternak besar merupakan bagian integral dari sistem pertanian di Desa Tobu. Populasi ternak besar di Desa Tobu, didominasi oleh ternak sapi, sedangkan ternak kerbau dan kuda relatif tidak ada, populasi ternak kecil didominasi oleh ternak babi dan unggas (ayam). Populasi ternak sapi adalah sebesar 434 ekor (26,03%); ternak kuda 4 ekor (0,24%); ternak babi 559 ekor (33,53%); ternak kambing 27 ekor (1,62%) dan ternak ayam 643 ekor (38,57%). Integrasi ternak sapi dengan JKS berpotensi dikembangkan di Desa Tobu karena sistem ini saling melengkapi karena ternak sapi selain memanfaatkan tanaman pakan dan limbah tanaman pangan, juga dapat menyediakan pupuk kandang bagi tanaman JKS dan tanaman lainnya. Kata Kunci: integrasi, ternak sapi, jeruk keprok soE. PENDAHULUAN Desa Tobu, kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dicirikan sebagai kawasan dengan agroekosistem lahan kering dataran tinggi iklim kering (LKDTIK). Lahan pertanian didominasi dengan lahan bergelombang sampai berbukit-bukit, curah hujan cukup panjang dibanding daerah lain dengan jumlah hari hujan 171 hari dan jumlah hari hujan antara 3-26 hari per bulan (Puslittanak, 2007), sedangkan ketersediaan air tanah tidak ada, sehingga penggunaan lahan pertanan masih terdapat pola ladang berpindah dan sebagian sudah menetap dekat pemukiman. Komoditas utama yang diusahakan adalah jagung (bahan makan), jeruk keprok, sayuran dan ternak sapi sebagai tabungan hidup. Jagung ditanam pada saat musim hujan yang ditanam pada lahan menetap dan lahan berpindah, teknologi yang diterapkan masih teknologi eksisting dan hasil yang diperoleh sangat rendah (0,5 t/ha). Ternak sapi khususnya sapi Bali sudah merupakan bagian budaya masyarakat Timor Barat karena merupakan komoditas andalan yang cepat menghasilkan uang cukup banyak kapan saja diperlukan dan pada saat-saat petani sangat membutuhkan, sehingga petani biasa memelihara sampai jual kebanyakan 2-3 tahun. Di Tobu sapi bali cukup banyak walau tidak semua petani memiliki sapi, pemeliharaannya masih sistem ikat pindah di mana saja sehingga proses penambahan berat badan ideal memerlukan waktu cukup lama yang berpengaruh pada harga jual sapi. Jeruk Keprok SoE (JKS) telah dibudidayakan sejak lama oleh para pendahulu, sehingga telah memiliki daya adaptasi yang kuat dengan lingkungan bahkan dengan kondisi sosial masyarakat di daerah tersebut namun sudah banyak yang punah karena kurang intensifnya petani dalam pemeliharaan dan penerapan teknologi yang menyebabkan berkembangnya penyakit jeruk sehingga produksi yang dihasilkan tidak maksimal. Padahal JKS ini merupakan komoditas unggulan spesifik lokasi. Keunggulan yang dimiliki komoditas ini tidak dimiliki oleh jeruk keprok yang sama di daerah lain di Indonesia, maka dapat dikatakan sebagai komoditas unggulan spesifik daerah. Oleh karena itu maka sistem usahatani yang perlu dikembangkan adalah berorientasi pada usahatani konservasi yang saling menunjang dimana JKS sebagai komoditi utama, tanaman rumput disamping sebagai pakan ternak berfungsi sebagai penguat teras yang mengurangi resiko erosi tanah, sedangkan pohon legum yang ditanam dalam bentuk pagar hidup dan berbaris, dapat menyediakan kekurangan pakan di musim kemarau juga berfungsi sebagai pupuk hijau. Petani lokasi pengembangan jeruk di Kabupaten TTS dan TTU pada umumnya memiliki ternak sapi sebagai salah satu sumber
pendapatan serta dapat menyediakan pupuk kandang yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman jeruk. USAHATANI EXISTING Tanaman semusim yang biasa ditanam adalah jagung, kacang merah, ubi kayu, ubi jalar dan sedikit sayur-sayuran untuk pasar lokal dan kebutuhan rumah tangga. Jagung yang ditanam adalah varietas lokal dan merupakan porsi terbesar pemanfaatan lahan, kemudian kacang merah yang disisipkan diantara barisan jagung. Petani sudah menanam jagung dengan cara baris namun jarak tanam tidak beraturan dan bahkan searah kemiringan lahan dengan alasan angin. Demikian halnya dengan ubi kayu ditanam tidak beraturan, sedangkan ubi jalar hanya sekali tanam dan tumbuh dari umbi yang tertinggal saat panen sebelumnya. Ubi jalar dibiarkan tumbuh menutupi permukaan tanah, tidak ada pengelolaan khusus seperti pembuatan bedengan atau pembumbunan tanaman. Secara umum pengelolaan lahan masih bersifat campuran dengan menanam berbagai tanaman dalam satu bidang lahan baik di pekarangan maupun kebun. Tanaman tahunan termasuk jeruk, tanaman pangan dan ternak merupakan komponen yang saling mendukung dalam pola sistem usahatani yang ada. Petani memiliki ternak sapi dan babi sekitar 2-3 ekor, ayam 10-15 ekor (Tabel 1). Babi dan ayam umumnya milik sendiri sedangkan sapi milik sendiri 1-2 ekor selebihnya milik orang lain yang dipelihara dengan sistem bagi hasil. Pola pemeliharaan sapi adalah paronisasi/penggemukan secara semi intensif yaitu siang diikat di padang dan malam diikat dekat rumah. Ternak babi dikandangkan sedangkan ayam dilepas. USAHA TERNAK SAPI EXISTING Ternak sapi di Desa Tobu merupakan komponen penting dalam sistem usahatani karena kehidupan petani tidak dapat dipisahkan dengan ternak, meskipun kebutuhan pokok keluarga tani diperoleh dari hasil tanaman pangan. Dalam Tabel 1 berikut disajikan rata-rata kepemilikan ternak yang dipelihara petani di Desa Tobu. Tabel 1. Populasi Ternak Di Desa Tobu, Kecamatan Mollo Utara Tahun 2006. No Jenis Ternak Sex Jumlah (ekor) Jantan Betina 1. Sapi 192 242 434 2. Kuda 4 4 3. Babi 191 348 559 4. Kambing 12 15 27 5. Unggas/ayam 139 484 643 Jumlah 1.667 Sumber: Monografi Desa Tobu (2006)
Pola pemeliharaan ternak di Desa Tobu adalah, pola lepas, pola ikat dan pindah, dan pola ikat dan dikandangkan. Kebiasaan petani melepas ternaknya di padang penggembalaan untuk mencari rumput sendiri adalah cara yang umum bagi masyarakat setempat. Namun demikian tidak semua petani dapat melakukan hal itu, karena pola ini hanya dapat diterapkan oleh pemilik ternak yang banyak ternak piaraannya. Pemeliharaan ternak di Desa Tobu, hampir seluruhnya mengandalkan hijauan makanan ternak yang tersedia di alam (padang penggembalaan), walaupun ada upaya untuk penanaman hijauan makanan ternak, namun dalam jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan ternak. Pola ikat dan pindah (semi intensif) berlaku bagi ternak sapi dengan cara siang hari ternak dilepas atau diikat di padang penggembalaan atau di lahan terbuka dan selanjutnya menjelang malam hari ternak akan dikembalikan di kandang atau diikat di bawah pohon dekat rumah. Sumber pakan tidak semata berasal dari padang penggembalaan, namun pemilik ternak biasanya juga menyiapkan pakan yang diambil dari hutan sekitarnya. Pakan yang biasa diberikan adalah king grass, kaliandra, turi, batang pisang dan HMT lainnya. HMT tersebut dapat dicampur dengan rumput alam dengan jumlah dan jenis disesuaikan dengan ketersediaan pada musim tertentu. Masalah utama dalam menyiapkan jenis dan jumlah HMT yang baik adalah pada musim kemarau.
INTEGRASI TERNAK SAPI DENGAN JERUK KEPROK Tanaman pangan dan peternakan saling berhubungan erat dalam sistem usahatani yang berada di Indonesia khususnya di pulau Timor (Bamualim, 1995). Pada dasarnya ternak menyediakan tenaga kerja dan pupuk organik untuk lahan pertanian, sebaliknya sisa hasil pertanian merupakan sumber pakan yang penting terutama bagi ternak ruminansia. Penampungan dan penggunaan kotoran ternak sapi selama ini belum ditangani dengan baik. Oleh karena itu manfaat kotoran ternak sebagai sumber pupuk kandang bagi usahatani tanaman pangan dan hortikultura lainnya belum dirasakan. Hasil penelitian Wirdahayati et al (1999) menyatakan bahwa rata-rata produksi pupuk kandang selama 4 bulan penggemukan, seekor sapi Bali dapat menghasilkan pupuk kandang sebanyak 600 kg/ekor. Bila sapi dipelihara dalam kandang secara berkelompok, maka kotorannya dengan mudah dikumpulkan dan diolah menjadi kompos. Rata-rata seekor sapi dewasa dapat menghasilkan kotoran basah 4-5 ton/ekor/ tahun yang dapat diolah menjadi 2 ton kompos. Hasil penelitian Puslitbang Peternakan (2000), menunjukkan bahwa pemberian kompos sebanyak 1,5-2 to/ha pada sawah ternyata dapat memberi dampak positif terhadap hasil panen. Petani dapat menggunakan pupuk yang berasal dari kotoran ternak yang menjadi kompos yang bermutu, dan memanfaatkan limbah pertanian yang tersedia sebagai sumber pakannya. Pemeliharaan ternak sapi pada petani JKS rata-rata memiliki 2 ekor/petani (Bora, et al, 2001). Hal ini memberikan peluang dalam penyediaan pupuk kandang untuk pengembangan tanaman JKS dan akan dapat meningkatkan produksi jeruk keprok Berdasarkan data tersebut di atas maka dapat diperhitungkan produksi pupuk kandang dalam usahatani berbasis JKS setahun mencapai 1.800 kg/ekor/tahun. Dengan pemilikan sapi rata-rata sebesar 2 ekor, berarti bahwa seorang petani dapat menyediakan pupuk kandang untuk tanaman pangan yang berbasis jeruk sebanyak 3.600 kg/tahun. Endrizal (1999) menganjurkan bahwa pemupukan jeruk dengan pupuk kandang dianjurkan 15 kg/ pohon pada jarak tanam jeruk 8 x 5 meter (250 pohon jeruk per ha). Oleh karena itu pupuk kandang yang dibutuhkan sebesar 3.750 kg/ha/tahun. Dengan demikian petani yang memilki dua ekor ternak sapi penggemukan akan mampu melayani kebutuhan pupuk kandang untuk 1 ha lahan yang ditanami JKS. Sapi sebagai ternak yang umum dipelihara oleh petani sebagai sumber pendapatan (tabungan) mempunyai kontribusi bahan organik yang dibutuhkan oleh tanaman jeruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 ekor sapi Bali dewasa dapat menghasilkan kotoran sebagai pupuk organik sebesar 3-4 kg/hari atau dengan kata lain 540 – 720 kg pupuk organik per satu periode penggemukan (6 bulan) atau 1080 – 1440 kg/tahun. Dengan demikian untuk kebutuhan pupuk organik 20 kg/ pohon tanaman baru, perbaikan pola penggemukan sapi memberikan kontribusi untuk memupuk jeruk sebanyak 54 – 72 pohon/ekor/tahun. Tanaman pakan ternak dapat diintegrasikan dalam pola sistem usahatani (SUT) berbasis jeruk dengan tujuan pemenuhan kebutuhan pakan ternak penggemukan dan fungsi konservasi. Selain itu limbah tanaman sela (tanaman pangan) juga merupakan sumber pakan ternak. Oleh sebab itu dalam pengembangan tanaman JKS harus memperhatikan komponen lainnya sebagai satu sistem yang terpadu dan sinergis. Penggunaan pupuk organic akhir-akhir ini mulai dikembangkan dengan tujuan untuk mendaur ulang hasil sampingan pertanian (kotoran sapi, ayam dan biomas tanaman). Selain harga pupuk anorganik semakin mahal juga ada pertimbangan sebagai konservasi lingkungan. Beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa pupuk kandang selain berfungsi sebagai sumber hara, juga dapat untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Malherbe 1994; Sanchez, 1976). Hasil penelitian Lund and Doss (1980) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik yang tinggi dapat meningkatkan pH tanah, kandungan Na, K dan P serta kapasitas nilai tukar kation. Pupuk organik diperlukan untuk memperbaiki struktur fisik dan biologis tanah. Pupuk kandang (kotoran sapi) dengan dosis 20 kg/pohon memberikan dampak terhadap pertumbuhan tinggi tanaman dan lingkar batang pada tanaman jeruk umur 3 tahun (Tabel 8). Pupuk kandang selain mudah diaplikasikan juga tersedia hampir di semua rumah tangga petani karena sebagian besar petani memelihara ternak sapi. Sapi sebagai ternak yang umum dipelihara oleh petani sebagai sumber pendapatan (tabungan) mempunyai kontribusi bahan organik yang dibutuhkan oleh tanaman jeruk. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 1 ekor sapi Bali dewasa dapat menghasilkan kotoran sebagai pupuk organik sebesar 3-4 kg/hari atau dengan kata lain 540 – 720 kg pupuk organik per satu periode penggemukan (6 bulan) atau 1080 – 1440 kg/tahun. Dengan demikian untuk kebutuhan pupuk organik 20 kg/ pohon tanaman baru, perbaikan pola penggemukan sapi memberikan kontribusi untuk memupuk jeruk sebanyak 54 – 72 pohon/ekor/tahun. Tanaman pakan ternak dapat diintegrasikan dalam pola sistem usahatani (SUT) berbasis jeruk dengan tujuan pemenuhan kebutuhan pakan ternak penggemukan dan fungsi konservasi. Selain itu limbah tanaman sela (tanaman pangan) juga merupakan sumber pakan ternak. Oleh sebab itu dalam pengembangan tanaman JKS harus memperhatikan komponen lainnya sebagai satu sistem yang terpadu dan sinergis.
Tabel 2. Rerata tinggi tanaman dan lingkar batang JKS pada beberapa level pemberian pupuk kandang pada umur 3 tahun Perlakuan pupuk Tinggi tanaman Lingkar batang No kandang (kg/pohon) (cm) (cm) 1 10 90,9 a 5,3 a 2 15 102,5 ab 5,6 a 3 20 113,5 b 6,7 b b 4 25 104,7 6,3 b b 5 30 105,6 6,1 b CV (%) 7,5 15 Sumber : Endrizal et al. (2000)
Pupuk anorganik dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan unsur hara. Pemberian pupuk anorganik diberikan baik untuk tanaman belum berproduksi maupun tanaman yang sudah berproduksi. Jumlah dosis pemupukan per pohon disesuaikan dengan umur tanaman. Makin tinggi umur tanaman maka dosis pupuk yang dibutuhkan semakin besar, (Tabel 3). Tabel 3. Dosis pemupukan tanaman jeruk sebelum produksi Umur (tahun)
Urea 0–1 40 1–2 65 2–3 150 3–4 225 Sumber : Lolittan Jehortis-Tlekung
Gram/pohon SP 36 25 50 75 100
Pupuk kandang (blek/pohon) 1 2 3 4
KCl 10 45 90 275
Pemupukan tanaman yang sudah berproduksi disesuaikan dengan hasil buah per pohon. Semakin besar hasil buah per pohon maka semakin besar kebutuhan pupuk (Tabel 4) baik pupuk organik maupun anorganik. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar hasil buah, semakin tinggi penggunaan energi oleh tanaman yang diperoleh dari tanah sehingga diperlukan penambahan dari luar. Tabel 4. Dosis tanaman jeruk produktif Produksi buah (kg)
Jenis Pupuk Urea (g/ph)
SP 36 (g/ph)
20 400 200 40 800 400 60 1200 600 80 1500 800 100 2000 1000 Sumber : Lolittan Jehortis-Tlekung (2003)
KCl (g/ph) 300 600 1000 1200 1600
Pemberian Setiap 6 bulan (awal & akhir musim hujan)
Pupuk kandang (blek/pohon) 10 10 20 20 20
KESIMPULAN 1. Integrasi ternak sapi dan jeruk keprok di Desa Tobu memberikan dampak yang nyata dan sesuai dikembangkan terutama pada agroekosistem lahan kering seperti NTT yang memiliki musim kering panjang dan sebaliknya musim hujan yang relatif pendek 2. Integrasi pemeliharaan ternak sapi dan jeruk mempunyai potensi untuk dikembangkan, karena kontribusi ternak sapi berupa cirit sebesar 5-6 kg/ekor/hari, dapat dimanfaatkan oleh tanaman jeruk sebagai pupuk organik. 3. Penggunaan pupuk organik mulai dikembangkan dengan tujuan selain mengurangi beban petani juga sebagai konservasi lingkungan karena pupuk organik dapat memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologi tanah. DAFTAR PUSTAKA Bamualim, A. 1995. Interaksi Peternakan dalam Sistem Pertanian di Pulau Timor, NTT. Prosiding. Seminar Komunikasi dan Aplikasi Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Sub Balitnak Lili – Kupang. Tanggal 17 – 18 Nopember 1994 Bora, Ch. Y., B. Murdolelono dan C.Liem. 2001. Pengkajian Teknologi Sistem Usahatani JKS di Pulau Timor, NTT. Laporan hasil Penelitian BPTP Nusa Tenggara Timur. Tahun Anggaran 2000. Endrizal., S. Bahri dan H. Marawali,. 2000.Pengkajian Sistem Usahatani Jeruk Keprok SoE di NTT. Laporan Hasil Penelitian BPTP Naibonat. Tahun Anggaran 1999/2000. Endrizal, S. Bahri, N. Kario, H. da Silva, Yusuf, C. Liem, Made Retnada dan H. Marawali, 2000. Pengkajian Sistem Usahatani dan Studi Pemasaran JKS di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil Penelitian Lund, F.Z. and B.D. Doss. 1980. Residual Effect of Dairy Cattle Manure on Plant Growth and Soil Properties. Agron. J. 72: 123 -130. Malherbe I., 1964. Soil fertility, 5 th Edition Oxford Unior. Press.New York. 295 p. Puslitbang Peternakan, 2000. Proposal Inti Program Pengkajian Sistem Usahatani Tanaman Hewan (Crop-Animal Production System) Sanchez, P.A.1976. Properties and management of soil in the tropics. John Wiley and Sons. New York.618p. Wirdahayati. R.B., H.H. Marawali, A. Ila dan A. Bamualim. 1999. Pengakajian Usaha Pertanian Sapi Potong Menunjang Usahatani Terpadu Di Pulau Timor. Prosiding Lokakarya Regional Penerapan Teknologi Indegenous Dan Teknologi Maju Menunjang Pembangunan Pertanian Di Nusa Tenggara. Kerja sama Kantor Wilayah Deptan Provinsi NTT dan BPTP Naibonat dengan Department of Primary Industry and Fisheries Darwin, Northern Territory, Australia, tanggal 1-2 Maret 1999, Kupang-NTT.