Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
POTENSI INFEKSI VIRUS ROTA SEBAGAI PENYAKIT ZOONOSIS PENYEBAB DIARE PADA ANAK-ANAK MUHARAM SAEPULLOH Balai Penelitian Veteriner Jl. RE. Martadinata No. 30, PO Box 151, Bogor
ABSTRAK Virus rota termasuk kedalam famili reoviridae merupakan penyebab utama penyakit diare akut yang dapat menimbulkan kematian baik pada manusia maupun hewan. Pada manusia, penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota telah tersebar di dunia dan menyebabkan kematian pada anak-anak dibawah umur 5 tahun hingga mencapai 600.000 orang per tahun. Sementara itu, tingkat kematian pada ternak sapi dan kerbau yang disebabkan infeksi virus rota di dunia mencapai 8,7 hingga 64%. Pada umumnya, virus rota yang tergolong kedalam group A merupakan golongan virus yang sering menimbulkan diare hingga kematian baik pada manusia maupun hewan. Oleh karena itu, perlu adanya kewaspadaan terhadap virus rota asal hewan yang memiliki potensi untuk menular ke manusia. Kata kunci: Virus rota, tingkat kematian, virus rota group A, diare, reviridae
PENDAHULUAN Virus rota merupakan agen penyakit yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan baik hewan maupun manusia. Virus ini termasuk kedalam famili Reoviridae telah tersebar di dunia dan pada umumnya menginfeksi kelompok hewan/manusia yang baru lahir. Virus rota pada hewan pertama kali diisolasi pada tahun 1969 (MEBUS et al., 1971), sementara itu pada manusia baru dapat diisolasi pada tahun 1973 (BISHOP et al., 1973). Infeksi virus rota yang berhubungan dengan radang usus dan diare telah banyak dilaporkan terjadi pada beberapa jenis hewan termasuk pada manusia (bayi dan anak-anak), anak sapi, anak babi, anak biri-biri, anak kuda, kelinci, tikus, anak rusa, antelop, dan kalkun (FLEWETT dan WOOD, 1978; MCNULTY et al., 1978a; JONES et al., 1979; dan SNOGRASS et al., 1990). Secara pemeriksaan serologis telah dibuktikan pula bahwa infeksi rota virus juga terjadi pada anjing, kucing, hamster, marmot dan unggas domestik (TAKAHASHI et al., 1979). TZIPORI (1980) melaporkan bahwa gejala klinis pada hewan terjadi setelah masa inkubasi 1- 4 hari yang ditandai dengan depresi yang diikuti oleh diare ganas, muntah (pada babi), dehidrasi, kekurusan dan kadang-kadang menyebabkan kematian. Infeksi virus rota akan mengikat lapisan sel epitel dewasa pada usus
86
halus yang mengandung enzim pencernaan yang sangat penting. Perusakan sel ini mengakibatkan struktur dan fungsi vili pada usus diubah sehingga terjadi diare. Spesifik antibodi secara normal akan terbentuk antara 47 hari setelah timbul gejala klinis. Di Indonesia, kejadian penyakit diare maupun kematian pada hewan yang disebabkan oleh virus rota belum pernah dilaporkan. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu: 1) kasus diare pada hewan misalkan pada sapi sering dikelirukan dengan penyakit diare ganas yang disebabkan oleh Bovine Viral Diarrhoea (BVD), sehingga lebih cenderung untuk memfokuskan diagnosa penyakit ke arah BVD dari pada ke virus rota; 2) Untuk mengasingkan (isolasi) virus rota seringkali mengalami kegagalan, selain itu diperlukan suatu keahlian khusus dan perlakuan sampel yang khusus pula; 3) Keberadaan virus rota sebagai penyebab diare pada hewan tidak begitu populer bila dibandingkan dengan kasus diare oleh virus BVD, sehingga para peneliti lebih tertarik untuk meneliti virus BVD dan hal ini merupakan tantangan bagi peneliti; 4) Vaksin virus rota untuk hewan belum tersedia secara komersial di Indonesia, sehingga untuk membuat perangkat diagnostik yang menggunakan antigen yang berasal dari vaksin belum dapat dilakukan, dan 5) Perangkat uji yang selalu harus diimpor dan harganya relatif
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
mahal. Oleh karena itu, penelitian ke arah pengumpulan data (database) tentang penyebab kematian pada ternak (sapi dan kerbau) di Indonesia sangatlah penting dilakukan untuk memperoleh informasi keberadaan penyakit diare yang disebabkan oleh infeksi virus rota pada hewan. Penelitian ke arah itu telah dilakukan di beberapa negara seperti: Argentina (BARRANDEGUY et al., 1988), Italia (CASTRUCI et al., 1988), Irak (HASSO et al., 1983), India (KAUSHIK et al., 1983), Finlandia (NEUVONEN et al., 1982), Perancis (SCHWERS et al., 1983), Jepang (SATO et al., 1981), Amerika Serikat (SCHLARFER and SCOOT, 1979), Mesir (SHALABY et al., 1981), German (SCHULZ, 1983), Bulgaria (SIMEONOV et al., 1982), Inggris (WOODE, 1979), Libya (GUSBI and HIRD, 1983), United Kingdom (PETERS, 1986), Nigeria (UMOH, 1982), Pakistan (AFZAL et al., 1983) dan Tunisia (ZRELLI et al., 1988). Sementara itu, virus rota pada manusia memiliki peranan sangat penting karena dapat berakibat fatal bagi kesehatan manusia. Hal ini disebabkan virus rota dapat menyebabkan penyakit diare ganas yang seringkali diakhiri dengan kematian, dan telah tersebar luas baik di negara maju maupun negara berkembang. Virus ini seringkali menginfeksi bayi yang baru lahir serta anak-anak di usia dibawah lima tahun. COOKEY (2000) melaporkan kejadian di Amerika bahwa virus ini telah menyebabkan 50.000 orang dirawat dirumah sakit dan sebanyak 500.000 orang berobat ke rumah sakit setiap tahunnya. Selanjutnya RAMSAY (1999) melaporkan bahwa kematian akibat virus ini di negara berkembang dapat mencapai lebih dari 800.000 anak per tahun. Sementara itu kasus dehidrasi yang ditimbulkan oleh penyakit virus rota pada anak-anak hanya mencapai 4% dari total jumlah pasien sebanyak 1 milyar, akan tetapi 40%-nya meninggal dunia akibat diare oleh virus rota (BARNES, 2000). Di Indonesia, penelitian virus rota sebagai penyebab penyakit diare pada manusia sudah mengalami kemajuan dibandingkan dengan penelitian virus rota pada hewan. Kasus penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota pada manusia telah dilaporkan oleh SOENARTO
dkk (1981) yang menyatakan bahwa selama bulan Juni 1978 sampai Juni 1979 telah teridentifikasi virus rota dari kasus diare pada anak-anak yang berobat ke Rumah Sakit di Yogyakarta sebanyak 38%. Sementara itu, ALBERT et al., (1982) juga melaporkan bahwa di Rumah Sakit Yogyakarta, sebanyak 85 orang anak yang menderita diare positip mengandung virus rota, dan dari jumlah tersebut ternyata 80% (68/85) tergolong kedalam human rotavirus subgroup-2 dan 20% (17/85) termasuk kedalam human rotavirus subgroup-1. Walaupun tidak dilaporkan terdapat kematian seperti kejadian di luar negeri, akan tetapi bila dibiarkan dan tidak ditangani secara serius maka kemungkinan akan terjadi jatuh korban akibat virus rota ini. Pada makalah ini akan diuraikan penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota baik pada hewan terutama sapi dan kerbau maupun pada manusia; hubungan kekerabatan antara virus rota pada hewan dengan virus rota pada manusia sehingga kemungkinan virus rota asal hewan berpotensi sebagai penyebab diare pada manusia; dan pencegahan serta pengendalian infeksi virus rota baik pada manusia maupun pada hewan. Makalah ini diharapkan dapat menjadi pemicu bagi para peneliti untuk mengungkap lebih jauh penyakit diare yang disebabkan oleh infeksi virus rota baik pada manusia maupun hewan di Indonesia. STRUKTUR DAN KARAKTERISTIK VIRUS ROTA Virus rota termasuk kedalam genus rotavirus dari famili reoviridae. Virus ini memiliki ukuran diameter virion 65 nm – 75 nm, berbentuk ikosahedral, tidak memiliki envelop, dan terdiri dari 3 lapisan protein yaitu protein kapsid bagian luar (VP4 dan VP7), kapsid bagian dalam (VP6) dan core (VP2). Berdasarkan susunan proteinnya, virus ini memiliki 11 segmen RNA utas ganda (dsRNA) terdiri dari VP1, VP2, VP3, VP4, NS53, VP6, NS34, NS35, VP7, NS28 dan NS26 (Tabel 1) (LUDER et al., 1986).
87
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
Tabel 1. Susunan protein virus rota beserta fungsinya Segmen
Protein
Berat molekul
Fungsi
1
VP1
125 kD
2
VP2
94 kD
3
VP3
91 kD
4
VP4
84 kD
5 6 7 8 9 10
NS53 (NSP1) VP6 NS34 (NSP3) NS35 (NSP2) VP7 NS28 (NSP4)
53 kD 41 kD 34 kD 35 kD 37 kD 28 kD
11
NS26 (NSP5)
26 kD
RNA Polymerase: merupakan bagian dari aktifitas transkripsi dan replikasi. Untuk mengikat RNA: merupakan bagian dari aktifitas transkripsi dan replikasi. merupakan bagian dari aktifitas enzim transkriptase dan replikase. Hemaglutinin, neutralisasi antigen, meningkatkan aktifitas enzime protease Zinc finger, untuk pengikatan RNA Merupakan Group dan subgroup antigen Untuk mengikat 3’ mRNA Untuk mengikat RNA Glikoprotein, neutralisasi antigen Glikoprotein, sebagai reseptor partikel dalam RE, enterotoksin virus Untuk mengikat RNA
Sumber: LUDER et al., (1986)
Virus rota memiliki 3 sifat antigenik yang spesifik, yaitu group, sub-group, dan serotipe. Group dan sub-group, keduanya diperantarai dengan VP6 yang merupakan bagian dalam kapsid protein yang utama. Hingga saat ini telah terdapat 7 group virus rota yaitu A, B, C, D, E, F, dan G, dan telah diketahui tedapat pada manusia, mamalia dan burung (ALEXANDRE and BRESEE, 2000). Dari ketujuh group virus rota, maka hanya group A yang merupakan galur virus rota yang memiliki arti penting secara epidemiologi karena dapat menimbulkan penyakit diare akut ganas pada bayi (HOSHINO and KAPIKIAN, 1994) serta pada hewan. Selanjutnya, virus rota group A dibagi kedalam 4 subgroup, yaitu I, II, I dan II, serta tidak termasuk I dan II. Sementara itu, serotipe virus dikelompokkan berdasarkan kapsid protein bagian luar yaitu VP7 dan PV4. VP7 merupakan serotipe yang spesifik dinamakan G (Glycoprotein), sedangkan VP4 diberi nama P (protein yang sensitif terhadap enzim protease). Sejauh ini telah ditemukan sebanyak 15 serotipe G dan 22 serotipe P (ESTES, 2001). Selain serotipe, juga dikenal genotipe virus rota yaitu untuk genotipe G merupakan gabungan antara serotipe dan genotipe, sedangkan untuk genotipe P terdapat 20 genotipe . Penulisan genotipe biasanya ditulis angka dalam kurung kotak setelah
88
penulisan hurup P, misal human rotavirus Wa strain akan ditulis menjadi P1A[8]G1. Walaupun telah teridentifikasi 15 serotipe G, serotipe G1 sampai G4 dinyatakan paling sering ditemukan (BLACKLOW and GREENBERG, 1991). Akan tetapi, serotipe G6 dan G10 merupakan serotipe virus rota yang telah tersebar di dunia dan ditemukan pada sapi umur 1-3 minggu yang menderita penyakit diare (CHANG et al., 1996 dan FALCON et al., 1999). Sedangkan virus rota serotipe G8 (galur 69 M) pertama kali diisolasi dari anak-anak usia dibawah lima tahun yang menderita gastroenteritis akut di Indonesia (MATSUNO et al., 1985). Semenjak itu, serotipe G8 telah banyak terdeteksi pada anak-anak yang menderita diare di Italia, Australia, Afrika Selatan, dan United Kingdom (PALOMBO et al., 2000). Sedangkan kasus diare pada hewan yang disebabkan oleh infeksi virus rota di Indonesia hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Dengan terdeteksinya virus rota pada ternak domestik maka secara epidemiologi akan menjadi masalah besar. Hal ini dikarenakan virus rota pada ternak akan menyebar dan menginfeksi manusia sehingga akan semakin meningkatnya penyakit diare pada manusia. Selain itu, kombinasi dari hewan perantara dan gen rotavirus yang bergabung akan menjadikan potensi yang besar untuk
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
terbentuknya mutasi gen yang baru (seperti halnya virus influenza) yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan sifat menjadi virus yang ganas (NAKAGOMI, et al., 1991). Kekhawatiran virus rota pada hewan akan menular ke manusia juga diungkapkan oleh CAVALLIER et al., (2000) yang telah dibuktikan dengan terdeteksinya virus rota
human strain dan virus rota animal strain pada air minum yang dikonsumsi oleh anak-anak penderita diare (Tabel 2). Dari temuan tersebut membuktikan pula bahwa penyebaran penyakit diare yang disebakan oleh virus rota selain melaui faeses dan oral, air minum pun sangat berpotensi dalam penyebaran penyakit tersebut.
Tabel 2. Sekuen asam amino virus rota group A serotipe VP7 (digaris bawahi) yang terdeteksi dari air minum yang dikonsumsi oleh anak penderita diare dan dari faeses penderita diare Tempat sampel Jenis sampel Sekuen
Karakteristik
Voiron area Nantouin La Cote Saint -Andre Rives
Human strain, G serotipe 4 Human strain, G serotipe 1 Porcain strain, Human strain, G serotipe 4 Bovine strain Human strain, G serotipe 1 Bovine strain Human strain, G serotipe 1
Air minum faeses Air minum faeses Air minum Faeses Saint-Marcellin Air minum Faese
LCLYYP SEAP TQIS DNEW KDT LS LCLYYP TEAS TQIN DGEW KDS LS LCLYYP NEAA TEIA DDKW TDT LS LCLYYP SEAP TQIS DNEW KDT LS LCLYYP VEAS NEIA DTEW KDT LS LCLYYP TEAS TQIN DGEW KDS LS LCLYYP VAAS NKYA DTEW KDT LS LCLYYP TEAI TQIN DGEW KDS LS
Sumber: CAVALLIER et al., (2000) Tabel 3. Kasus kematian anak sapi dan kerbau umur kurang dari 1 tahun yang disebabkan oleh infeksi virus rota Pustaka
Negara
Kejadian (%)
Umur (minggu)
Kerbau/sapi
FREESE and GRAVERT (1982) FINK, (1980)
German German
JENY et al., (1981) GUSBI and HIRD (1983) VERMA et al., (1980) PETERS (1986) BRAUN and TENNANT (1983) BHULLAR and TIWANA (1985) UMOH (1982) GUSBI and HIRD (1983) AFZAL et al., (1983)
USA Libya India UK USA India Nigeria Libya Pakistan
ZRELLI et al., (1988) MCGUIRE et al., (1976)
Tunisia USA
50 30,8 56,4 19,1 12,5 – 26 12,5 3,96 18,9 34 8,7 18,8 39,8 14,3 18,8 64
Setelah lahir 1 2 4 4 4 5 5 12 12 13 Sebelum 1 tahun Sebelum 1 tahun ---
Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Kerbau Sapi Sapi Kerbau Sapi Sapi Kerbau Sapi Sapi Sapi
Sumber: KHAN and KHAN (1991)
89
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
INFEKSI VIRUS ROTA PADA HEWAN Etiologi Virus rota pada hewan pertama kali diisolasi dari faeses anak sapi yang baru lahir yang menderita diare pada tahun 1968 oleh CHARLES MEBUS di Nebraska Agricultural Experiment Station (Virus rota dikeluarkan dalam jumlah besar dari feses manusia/hewan yang terinfeksi hingga mencapai 1011 partikel virus per gram). Agen virus ini semula disebut sebagai Nebraska Calf Scours virus atau reolike virus (MEBUS et al., 1971), akhirnya nama virus ini berubah menjadi Bovine rotavirus. Virus rota group A memegang peranan yang sangat penting sebagai penyebab gangguan pencernaan dan diare pada berbagai jenis hewan. Infeksi rota virus pada berbagai jenis hewan telah banyak dilaporkan yaitu terjadi pada anak sapi, anak domba, babi, mencit, kelinci, rusa, antelope, kucing, ayam dan kalkun (FLEWETT and WOODE, 1978; MCNULTY, 1978; MCNULTY et al., 1978a; JONES et al., 1979 dan SNOGRASS et al., 1979). Secara pemeriksaan serologik, infeksi virus rota dapat terdeteksi pada anjing, kucing, kambing, tikus, marmot, hamster dan kelompok unggas domestik (MCNULTY et al., 1978b; TAKAHASHI et al., 1979). Selain group A, pada sapi dan babi pun pernah terdeteksi virus rota group B dan C (ADAH et al., 2003). Sementara itu, infeksi rota virus dapat menyebabkan kematian pada anak sapi umur satu bulan dapat mencapai 83% dan kematian tertinggi terjadi pada saat anak sapi berumur 3 minggu (JENNY et al., 1981). Pada kasus lain, kematian pada anak sapi yang baru dilahirkan dapat mencapai 50% (FREESE and GRAVERT, 1982). Sedangkan kasus kematian anak kerbau oleh virus ini telah dilaporkan terjadi di India (VARMA et al., 1988; BHULLAR and TIWANA, 1985) dan di Pakistan (AFZAL et al., 1983). Kematian yang disebabkan oleh virus rota pada anak sapi dan kerbau dari berbagai umur ditampilkan pada Tabel 3. Diare pada anak sapi merupakan suatu sindroma yang sangat komplek dan biasanya diakhiri dengan kematian. Kematian tersebut banyak kaitannya dengan berbagai faktor misalnya keadaan lingkungan, nutrisi, psikologi dan managemen. Agen penyakit yang
90
dapat menyebabkan penyakit diare pada anak sapi sangatlah banyak, diantaranya yaitu disebabkan oleh virus rota, virus corona, Enteropathogenik E. coli, salmonella, dan cryptospiridium (SNOGRASS et al., 1986; FINK, 1980; TAOUDI et al., 1983; WHITE and ANDREWS, 1986; FEDIDA et al., 1985). Diantara agen penyakit tersebut, maka virus rota dan E.coli lah yang merupakan agen penyakit infeksi penyebab diare yang paling banyak ditemukan (MORIN et al., 1976). Menurut SNOGRASS et al., (1986) pada beberapa kasus kematian pada hewan yang disebabkan oleh virus rota, juga sering kali ditemukan adanya infestasi mikroorganisma lain, yaitu diantaranya adanya infeksi oleh virus corona, E. coli, salmonella, dan cryptospiridium. Selain itu, ada pula faktor lain yang dapat menyebabkan kematian hewan khususnya pada sapi yaitu faktor cuaca yang buruk (FINK, 1980), kesulitan pada saat melahirkan (TAOUDI et al., 1983), immunodefisiensi (WHITE and ANDREWS, 1986), dan manajemen yang kurang baik (FEDIDA et al., 1985). Selanjutnya AL-MASHAT and TYLOR (1980) melaporkan pula bahwa campylobacter sangat berpotensi sebagai penyebab peradangan pada saluran pencernaan sapi, walaupun SNOGRASS et al., (1986) berpendapat bahwa campylobacter secara alami merupakan penghuni saluran pencernaan pada ruminansia. Virus rota dapat ditemukan pada faeses anak sapi baru lahir yang menderita diare. Keberadaan virus ini sudah tidak dapat diragukan lagi memiliki kontribusi yang sangat significan dalam proses berjangkitnya penyakit hingga terjadinya infeksi sampai dengan timbulnya gejala klinis pada anak sapi. Gejala klinis akibat infeksi virus rota sering kali tidak menunjukkan klinis yang parah, dan tidak berakibat fatalnya terhadap anak sapi yang baru lahir, selama hewan tersebut tidak mengalami immunodefisiensi dan atau adanya infeksi sekunder oleh berbagai macam bakteri yang patogen seperti E. coli (MOON, et al., 1978). Virus rota seringkali sangat sulit untuk diasingkan melalui cara menumbuhkan pada jaringan sel, karena virus tersebut sering kali menunjukkan effek sitopatik yang tidak konsisten. Hal itu terutama bila pengasingan virus baru pertama kali dilakukan, juga
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
seringkali menimbulkan sitotoksik alami yang berasal dari faeses dan filtrat faeses. Oleh karena itu, diperlukan teknologi yang khusus dalam mendeteksi adanya virus rota seperti teknik immunofluorescense dan immunoelectron microscopy sering digunakan untuk tujuan tersebut. Dengan sulitnya agen virus rota untuk diasingkan sehingga kemungkinan besar kasus diare pada sapi yang disebabkan oleh virus rota jarang sekali dilaporkan. Akan tetapi apabila virus rota pada sapi sudah beradaptasi secara in vitro dan telah menimbulkan efek sitopatik (CPE), maka selanjutnya virus tersebut akan mudah untuk dipelihara pada berbagai jaringan sel yang spesisif misalnya sel ginjal embrio kera (MA104), sel Madin Darby Bovine Kidney (MDBK), sel ginjal kera hijau (Vero cells) dan lain sebagainya (FERNELIUS, et al., 1972). Gejala klinis Virus rota merupakan penghuni tetap pada vili sel epitel di usus kecil, terutama pada bagian jejunum dan ileum. Replikasi virus terjadi di enterosit yang berakibat rusaknya bagian tersebut. Partikel virus keluar dan menginfeksi sel lain atau keluar melalui faeses. Virus yang dikeluarkan melalui faeses akan menyebarkan virus ini ke hewan lainnya. Terjadinya infeksi pada usus kecil sangat singkat, yaitu bagian usus kecil mengalami atropi, kemudian bagian yang berfungsi untuk penyerapan zat makanan akan mengecil, hal tersebut akan menghambat proses penghancuran laktose dan transportasi nutrisi dan garam-garam mineral sehingga mengakibatkan penyakit diare. Infeksi virus rota pada hewan seringkali menimbulkan gejala klinis yang tidak tampak (asymptomatic). Gejala klinis pada hewan sangatlah bervariasi tergantung kepada cara penanganan hewan, tingkat kekebalan individu hewan tersebut, dan adanya infeksi sekunder yang disebabkan oleh kelompok bakteri, misalnya E.coli. Gejala klinis yang berkaitan dengan infeksi virus rota pada anak sapi yang baru lahir sangatlah bervariasi dari mulai tidak adanya gejala klinis (inaparent infections), diare yang
ringan hingga diare ganas, dicirikan dengan faeses sangat encer berwarna kekuningkuningan dan penderita/hewan mengalami dehidarsi yang hebat (MEBUS et al., 1971). Kadang-kadang, sapi yang terinfeksi mati sebelum menampakkan gejala klinis (HIBBS, 1974). Akan tetapi berdasarkan pengamatan terhadap berbagai kasus diare oleh virus rota, maka suhu tubuh hewan penderita tampak normal. Hidung tampak kemerahan dan terdapat saliva yang berlebihan keluar dari hidung. Selain itu, seringkali hewan tampak stress yang berlebihan dan nafsu makan berkurang. Dari beberapa kasus penyakit diare, ternyata kematian dapat mencapai 50% akibat dari faktor ketidak seimbangan elektrolit dalam tubuh sehingga terjadi dehidrasi (MEBUS et al., 1971). Timbulnya gejala klinis yang berupa diare sering terjadi sekitar 3-10 hari atau lebih cepat (ACRES and BABIUK 1978) dan pada umumnya selalu antara 10 hari setelah dilahirkan (SCHLARFER and SCOTT, 1979), akan tetapi seringkali pertumbuhan lesi belum bisa dibedakan pada sapi tersebut. Gejala klinis lainnya akibat infeksi virus rota pada hewan ditandai dengan anorexia, depresi, muntah yang diikuti dengan diare yang bervariasi mulai dari bentuk seperti susu sampai faeses seperti air (Watery diarrhea), seringkali mengandung susu yang belum dapat dicerna. Akibat dari diare ini, maka hewan akan menderita dehidrasi dan bobot badan turun. Kematian sering kali terjadi antara 3-7 hari sejak diare. EPIDEMIOLOGI Walaupun secara menyeluruh epidemiologi virus rota pada sapi masih menjadi bahan spekulasi. Akan tetapi beberapa peneliti telah berusaha melakukan pengamatan dari berbagai kasus yang ada diantaranya, ACRES dan BABIUK (1978) melaporkan bahwa prevalensi titer antibodi tertinggi terjadi diantara sapi dewasa dan mulai terjadinya penyakit yaitu pada saat anak sapi berumur antara 5 sampai 10 hari yang diperkirakan mulai terjadinya penularan virus, pembawaan virus (carrier state), dan menyerang berbagai tingkatan umur.
91
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
Masa inkubasi penyakit
Jenis kelamin dan keturunan
Masa inkubasi dapat diukur dalam hitungan jam dan sangat bervariasi tergantung dari banyaknya penyakit yang masuk diantara sapi. MEBUS (1972) melaporkan bahwa masa inkubasi penyakit berkisar anatara 13-14 jam setelah dilakukan infeksi buatan melalui oral pada hewan piaraan.
Tidak ada indikasi bahwa jenis kelamin dan faktor keturunan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menentukan kejadian dan infeksi penyakit virus rota pada sapi.
Hewan perantara dan sumber infeksi lainnya Populasi sapi dewasa dari berbagai wilayah memiliki prevalensi antibodi mencapai 100% (SCHLARFER and SCOTT, 1979). Walaupun mekanisme secara lengkap belum jelas, akan tetapi disinyalir bahwa sapi bukan saja merupakan hewan perantara dalam penyebaran penyakit dan juga sekaligus sebagai sumber penularan penyakit antar jenis melalui faeses yang dicemari oleh virus rota atau kemungkinan juga dapat terjadi melalui transplasenta (MCNULTY et al., 1976). Hal tersebut tidak dapat dibantah lagi kemungkinan bahwa sapi yang telah terinfeksi oleh virus rota akan menjadi sumber penyakit terhadap sapi lainnya yang dapat terjadi melalui transmisi baik faeses maupun oral. Hal tersebut cukup beralasan karena virus rota dikeluarkan dalam jumlah besar dari feses manusia/hewan yang terinfeksi hingga mencapai 1011 partikel virus per gram. Tingkat umur Kebanyakan kasus diare oleh infeksi virus rota, secara klinis terjadi antara umur 1 hingga 10 hari. Pada tahapan ini, terjadi paparan pada tahap awal. Pada tahap ini, produksi steroid endogen oleh fetus terjadi pada saat proses melahirkan dan menyebabkan depresi sementara pada sistem imunitas sel perantara (Cell-mediated immunity), sehingga menyebabkan terjadinya infeksi awal lebih berbahaya dari pada infeksi yang terjadi berikutnya (TENNANT et al., 1978). Selanjutnya, terjadinya penurunan titer antibodi yang terdapat pada kolostrum dalam saluran lumen pada umur 4-6 hari, kemungkinan besar memiliki peranan penting dalam menentukan infeksi penyakit berdasarkan sebaran umur.
92
Pengobatan Jika telah dilakukan pemeriksaan yang spesifik terhadap infeksi virus rota dan ternyata ditemukan ada beberapa hewan yang terinfeksi, maka harus segera melakukan beberapa program yaitu: menjaga kebersihan pada saat proses melahirkan, melakukan pemilihan terhadap kolostrum, menjaga sanitasi lingkungan secara ketat, dan melakukan vaksinasi untuk semua anak sapi yang baru lahir juga terhadap induk sapi yang bunting. Pemberian antibiotik juga seringkali dilakukan baik secara oral maupun injeksi terhadap anak sapi yang menderita penyakit diare. Selain itu, untuk kasus penderita diare yang menyebabkan dehidrasi, maka menyeimbangkan garam elektrolit yang terdapat dalam tubuh dapat dilakukan tranfusi larutan elektrolit secara intravena (TENNANT et al., 1978). Selain itu terdapat pengobatan secara tradisional untuk mengatasi dehidrasi, yaitu dengan pemberian larutan garam-kanji, mengencerkan air susu dan pemberian larutan gula. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT Pencegahan terhadap semua penyakit diare pada anak sapi hanyalah akan menjadi impian belaka dan mungkin tidak akan terealisasi manakala tatalaksana dan sanitasi tidak diperhatikan secara seksama. Anak sapi akan hidup sehat apabila dipelihara dalam kondisi tempat yang bersih, bagian vulva dan udder sapi dibersihkan dan diberi desinfektan, dan kolostrum diberikan sesegera mungkin terhadap anak. Jika dengan cara tersebut, penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota masih juga ada pada kelompok ternak tersebut, maka jalan satu-satunya yaitu dengan melakukan vaksinasi oral ke semua anak sapi
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
INFEKSI VIRUS ROTA PADA MANUSIA
nyata terjadi pada anak dibawah lima tahun di India (PARASHAR et al., 1998). Di dunia hampir mencapai 600.000 per tahun terjadi kasus kematian akibat infeksi virus rota (WHO, 1999), sementara itu, di India mencapai 150.000 anak per tahun dan sekitar 20% hingga 30% terjadi kasus diare di rumah sakit yang diakibatkan oleh infeksi virus rota ini (KELKAR et al., 1999). Sedangkan di negara ASEAN (termasuk Indonesia), setelah dilakukan pemerikasaan dari bulan agustus 2001 hingga Juli 2002 terhadap 11.498 anak-anak dibawah usia lima tahun yang menderita diare, ternyata teridentifikasi 5.124 (45%) pasien terinfeksi oleh virus rota (BRESEE et al., 2004). Sementara itu kejadian di Yogyakarta telah diungkapkan oleh SOENARTO et al., (1981) bahwa selama kurun waktu 1 tahun (Juni 1978 sampai Juni 1979) telah teridentifikasi sebanyak 38% anak-anak penderita diare terinfeksi oleh virus rota. Selanjutnya pada tahun 2001 kasus diare pada anak-anak akibat infeksi virus rota di Yogyakarta meningkat menjadi 52% (BRESEE et al., 2004) (Tabel 4). Walaupun dalam laporan tersebut tidak disebutkan telah terjadi kematian akibat infeksi virus rota. Akan tetapi, penyakit diare tersebut bila tidak segera ditindaklanjuti, maka akan menyebabkan kematian seperti yang terjadi di negara Amerika Serikat.
Etiologi
Gejala klinis
Berdasarkan sifat antigeniknya, virus rota dikelompokkan kedalam beberapa tingkatan mulai dari Group, subgroup dan serotipe. Pada umumnya sifat antigenik virus rota pada manusia dan hewan memiliki group antigen yang sama.Virus rota pada manusia tergolong group A, walaupun ada yang termasuk kedalam group B dan C yang telah terdeteksi dan dapat menyebabkan gangguan pencernaan pula pada manusia. Group A selain dapat menginfeksi hewan, juga dapat menginfeksi manusia khususnya terjadi pada anak-anak dibawah umur lima tahun. Virus group A ini dapat menimbulkan penyakit diare akut ganas dan telah tersebar di seluruh dunia dengan tingkat penyebaran dan kematian yang sangat
Infeksi virus rota biasanya terjadi 1 hari sebelum timbul gejala klinis, akhirnya akan menetap pada penderita hingga 8 sampai 10 hari. Gejala klinis akan timbul setelah 3 hari terpapar oleh virus rota yang ditandai dengan demam, sakit perut, dan muntah-muntah selama 1 – 3 hari yang diikuti dengan diare yang berbau sangat tidak sedap selama 5-8 hari. Biasanya gejala klinis akan berakhir antara 3 – 5 hari. Anak-anak yang menderita diare akan cepat kehilangan cairan tubuh dan cairan elektrolit. Keadaan ini sangat berbahaya terutama bagi anak-anak usia dibawah 2 tahun. Oleh karena itu diperlukan penambahan cairan elektrolit (rehydration) sebagai penyeimbang dalam tubuh penderita.
yang baru lahir dengan menggunakan vaksin komersial bivalen rotavirus-coronavirus Modified Live Vaccine. Vaksinasi harus diberikan sesegera mungkin setelah anak sapi lahir agar diperoleh hasil immunitas yang baik. MEBUS et al., (1972) melaporkan bahwa dengan melakukan vaksinasi (MLV vaccine) secara oral terhadap anak sapi sesegera mungkin setelah lahir, telah berhasil menurunkan mortalitas dan morbiditas penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota. Akan tetapi sangat disayangkan di Indonesia belum beredar vaksin terhadap virus rota. Hal tersebut kemungkinan bahwa di Indonesia belum pernah dilaporkan adanya penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota. Ironisnya, bahwa kasus diare pada anak sapi perah telah banyak ditemukan dan bahkan menimbulkan kematian (hasil komunikasi pribadi dengan peternak sapi perah di Pengalengan, 31 Agustus 2005). Untuk pengendalian penyakit, maka penanganan ternak perlu diperhatikan seperti meningkatkan sanitasi lingkungan dan menjaga kesehatan ternak. Untuk hewan yang telah sembuh, maka direkomendasikan untuk diberi larutan elektrolit agar tidak kekurangan cairan tubuh, dan juga harus diberi antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
93
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
Tabel 4. Kasus diare akut pada anak-anak yang disebabkan oleh infeksi virus rota di beberapa negara ASEAN selama bulan Agustus 2001 sampai Juli 2002 Negara China Taiwan Hongkong Vietnam Myanmara Thailand Malaysia Indonesia TOTAL
Tanggal dan Jumlah sampel faeses Persentase (jumlah) Range % sampel positif virus tahun survey anak yang diuji positif virus rota rota antara rumah sakit Agustus 2001 2.079 44 (910) 24 - 65 April 2001 1.532 49 (744) 43 - 53 Desember 2000 2.986 28 (829) 18 - 35 Februari 2001 1.570 59 (921) 47 - 67 Desember 2001 388 53 (204) 53b Februari 2001 992 44 (436) 38 - 49 Februari 2001 1.374 57 (778) 52 - 59 Agustus 2001 577 52 (302) 47 - 57 11.498 45 (5.124) 18 - 67
a
hanya data separuh tahun Hanya satu rumah sakit yang berpartisipasi Sumber: BREESE
b
Immunitas infeksi ulang tidak sebaik ketika terjadi infeksi yang pertama kali oleh virus rota, akan tetapi infeksi ulang cenderung kurang berbahaya bila dibandingkan pada saat pertama kali terinfeksi virus. Epidemiologi Virus rota dikenal sebagai agen penyebab utama timbulnya penyakit diare pada bayi dan anak-anak dibawah lima tahun di seluruh dunia. Secara umum semua anak-anak pada usia dibawah lima tahun sangat rentan terinfeksi jenis virus ini. Tingkat kematian oleh infeksi virus rota di negara berkembang dapat mencapai hingga 82% (PARASHAR et al., 2003). Infeksi virus rota pada anak-anak umur kurang dari 3 bulan tidak sebanyak kejadian pada anak diatas umur tersebut hingga 5 tahun, hal tersebut dikarenakan kemungkinan adanya pengaruh maternal antibodi (PARASHAR et al., 1998). GIANINO et al., (2002) melaporkan penelitian terhadap anak-anak yang diberi air susu ibu dibandingkan dengan yang tidak menunjukkan bahwa infeksi virus rota pada anak-anak yang diberi air susu ibu dapat mencapai 10,6%, sementara itu 32,4% anakanak yang tidak diberi air susu ibu terinfeksi virus rota. Walaupun infeksi virus rota yang berdampak pada gangguan pencernaan frekuensinya tidak banyak menyerang orang dewasa, akan tetapi di China ternyata pernah terjadi wabah penyakit gannguan pencernaan yang ganas diakibatkan oleh virus rota group
94
B. Cuaca sangat berperanan dalam memperparah keadaan penyakit diare, hal tersebut dibuktikan hampir 50% penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota terjadi pada musim dingin. Walaupun mekanisme hubungan antara penyakit diare dengan cuaca dingin belum dapat diketahui. PENYEBARAN PENYAKIT Virus rota dapat berpindah dari hewan satu ke lainnya melalui kontaminasi faeses, melalui mulut dan melalui air minum. Penyebaran penyakit melalui tangan yang terkontaminasi merupakan suatu hal yang paling sering terjadi, terutama bagi anak-anak dibawah umur lima tahun. Selain itu dapat pula penyebaran penyakit ini melalui bahan makanan yang tidak ditangani dengan baik, misalnya sayuran dan buah-buahan. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT Immunisasi pasif dan probiotik Beberapa peneliti telah mencoba melalukan percobaan pengobatan penyakit diare yang disebakan oleh virus rota dengan memberikan antibodi terhadap virus rota secara oral. DAVIDSON et al., (1989) dan HILPERT et al., (1987) melaporkan bahwa pemberian susu sapi yang memiliki titer antibodi yang tinggi terhadap virus rota memberikan hasil yang cukup significan dapat menurunkan durasi pengeluaran virus rota dari anak-anak
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
penderita diare akibat virus rota. Pada anakanak yang menderita imunodefisiensi pengobatan dengan immunisasi pasif ini dapat pula menurunkan penyakit diare kronis (OFFIT and CLARK, 1995). Selain itu, terdapat juga alternatif lain dalam pengobatan penyakit diare yang disebabkan oleh infeksi virus rota yaitu dengan memanfaatkan bakteri Lactobacillus GG yang tidak patogen, menunjukkan hasil yang cukup baik yaitu dapat menurunkan frekuensi dan durasi pengeluaran virus rota dari anak-anak yang menderita diare (ARVOLLA et al., 1999). Vaksin Penggunaan vaksin ditujukan apabila terjadi wabah penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota dan telah menimbulkan kematian yang cukup tinggi. Badan kesehatan dunia (WHO) telah memberikan prioritas utama untuk pengembangan vaksin viru rota yang aman dan efektif (WHO, 1999). Terdapat beberapa jenis vaksin virus rota untuk manusia yang telah tersedia secara komersial di dunia. Vaksin tersebut dikembangkan bukan saja berasal dari isolat virus asal manusia, akan tetapi terdapat beberapa jenis vaksin untuk manusia yang menggunakan isolat virus berasal dari sapi atau biasa dikenal sebagai Reassortant vaccine yaitu dengan mengabungkan bovine strain dan human strain atau human strain dan porcine strain (VARGHESE et al., 2004). Vaksin virus rota yang pertama kali mendapatkan ijin yaitu vaksin hidup rhesushuman reassortant rotavirus tetravalent (RRVTV dikenal sebagai RotaShield) yang telah beredar di Amerika Serikat tahun 1998. Vaksin RotaShield ini sebenarnya semula berasal dari isolat virus rota asal sapi (Bovine-based). Akan tetapi dikarenakan hanya mampu memberikan proteksi terhadap serotipe 1 saja, sehingga kemudian dimodifikasi menggunakan rhesushuman reassortant rotavirus (CLEMENS, et al., 1999). RRV-TV merupakan vaksin oral yang dapat memberikan proteksi terhadap virus rota pada manusia dari serotipe G1, G2, G3 dan G4. Vaksin in telah berhasil mencegah penyakit diare ganas pada anak anak hingga 91% (PEREZ et al., 2002). Selain itu, telah dikembangkan pula vaksin yang berasal dari hasil gabungan (reassortant)
virus rota asal manusia dan hewan (bovine) yang diberi nama pentavalent bovine (WC-3) yang dapat memberikan proteksi terhadap virus rota serotipe G1-G4 dan P8 (CLARK et al., 1996). Selanjutnya, The National Institute of Health, USA telah mengembangkan pula vaksin virus rota untuk manusia yang berasal dari isolat asal sapi (Bovine, UK) yang dapat memberikan proteksi terhadap infeksi virus rota serotipe G1-G4, G5, G8, G9 dan G10 (HOSHINO et al., 2003). Dengan adanya vaksin virus rota untuk manusia yang berasal dari isolat asal sapi, menunjukkan bahwa virus rota asal sapi dapat membentuk antibodi pada tubuh manusia dan mampu memberikan proteksi terhadap infeksi virus rota. Selain itu, virus asal sapi juga dapat beradaptasi dengan baik pada saluran pencernaan manusia sehingga yang dibuktikan dengan terbentuknya respon antibodi terhadap virus rota (vaksin yang diberikan) pada manusia. Oleh karena itu, kemungkinan besar bahwa virus asal hewan sangat berpotensi sekali dapat menginfeksi manusia. HUBUNGAN ANTARA VIRUS ROTA PADA HEWAN DENGAN VIRUS ROTA PADA MANUSIA Virus rota group A merupakan agen penyakit yang sering menimbulkan diare akut pada bayi serta anak-anak, mamalia, dan kelompok unggas di dunia (KAPIKIAN et al., 2001). Virus rota memiliki genome yang terdiri dari 11 segmen asam inti ribonukleat utas ganda (dsRNA), mempunyai dua protein neutralisasi yaitu VP4 dan VP7 pada bagian luar kapsidnya. Kedua jenis protein tersebut seringkali disebut sebagai tipe P (VP4) dan tipe G (VP7). Sejauh ini virus rota telah diklasifikasikan kedalam 15 G dan 22 P (ESTES, 2001). Virus rota pada sapi (Bovine rotavirus) merupakan penyebab utama gangguan penyakit saluran pencernaan pada anak sapi umur 1 sampai 3 minggu (LUCCHELLI et al., 1992). Virus rota dapat menginfeksi sapi biasanya virus dari group A serotipe G (G1, G6, G8 dan G10) dan serotipe P (P1, P5 dan P11) (SNOGRASS et al., 1990 ). Akan tetapi serotipe G6 dan G10 merupakan serotipe yang paling banyak ditemukan pada anak sapi di dunia,
95
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
sementara itu serotipe G8 paling sedikit. Lebih lanjut bahwa serotipe G8 pun seringkali ditemukan pada babi dan kuda (CHANG et al., 1996; FALCON et al., 1999; SATO et al., 1997; TANIGUCHI et al., 1991; GOUVEA et al., 1994; dan ISA et al., 1996). Sementara itu, pada manusia, virus rota Group A serotipe G8 (galur 69 M) merupakan serotipe yang pertama kali berhasil diisolasi dari anak-anak penderita diare di Indonesia (MATSUNO, et al., 1985). Sejak ditemukannya serotipe G8 di Indonesia, maka kemudian serotipe G8 pun terdeteksi pula pada anak-anak penderita diare di Finlandia, Italy, Australia, Afrika Selatan, Brazil, Malawi, Iran, Amerika, dan United Kingdom (GERNA et al.,1990; PALOMBO, et al., 2000; dan STEELE, et al., 1999). Serotipe G8 pun telah banyak terdeteksi dari anak sapi di dunia seperti halnya di Skotlandia, Thailand dan Jepang (SNOGRASS et al., 1990; TANIGUCHI and URASAWA, 1995; dan TANIGUCHI et al., 1993). Keberadaan virus rota pada hewan domestik secara epidemiologi dapat menimbulkan suatu permasalahan yang sangat besar bagi kesehatan manusia karena telah terbukti semakin banyaknya anak-anak penderita diare terdeteksi virus rota yang berasal dari serotipe hewan. Kekhawatiran tersebut bukannya tanpa alasan, hal ini telah dibuktikan oleh ADAH et al, (2001) dan ARMAH et al., (2001) bahwa serotipe G8 asal sapi telah terdeteksi pada anak-anak penderita diare di Afrika. Terdapatnya hubungan yang erat antara rotavirus serotipe G dan serotipe P (VP4 Genotipe) pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa telah terjadi gabungan genome virus rota sebagai infeksi campuran baik antara spesies itu sendiri (intraspecies) maupun dengan spesies lain (interspecies) (TANIGUCHI et al., 1995), dan itu kemungkinan telah terjadi transmisi antar spesies seperti halnya terjadi di Nigeria. Lebih lanjut ADAH et al., (2003) mengungkapkan bahwa ternyata struktur primer gen VP7 yang berasal dari serotipe G8 galur NGRBg8 (bovine strain) di Nigeria memiliki kesamaan serta hubungan yang sangat erat sekali dengan galur lain G1 hingga G15 asal hewan dan manusia. Kedekatan hubungan antara gen VP7 asal galur G8 sapi dengan galur G8 asal manusia (HMG035) mencapai 99,9% (Gambar 1).
96
Selanjutnya, ternyata gabungan kedua virus tersebut di atas lebih sering terdeteksi di negara-negara berkembang dibandingkan di negara maju dan kejadian infeksi gabungan itu lebih tinggi di negara berkembang. Sebagai contoh, di negara Bangladesh, setelah terjadi bencana banjir, maka kasus infeksi oleh virus gabungan tersebut semakin meningkat. Selain itu, bila dibandingkan dengan negara yang telah maju, maka di negara berkembang kontak antara manusia dan hewan (ternak piaraan) seringkali terjadi dan bahkan di Indonesia (pedesaan), masih banyak kandang kerbau/sapi yang bersatu atau satu atap dengan rumah peternak. Walupun hal tersebut tentunya memiliki tujuan yang baik yaitu untuk menghindari kejahatan pencurian kerbau/sapi yang seringkali terjadi di daerah tersebut. Mengingat virus rota dapat ditularkan melalui faeses, air minum, makanan/sayuran mentah dan udara, serta dapat tahan hidup lama di lingkungan oleh sebab itu air buangan mengandung banyak virus rota (CAVALLIER et al., 2000; dan HUSSEIN et al., 1996) maka untuk menghindari terjadinya infeksi virus rota sebagai penyebab diare pada anak-anak, perlu ditingkatkan kewaspadaan terhadap sumbersumber penyebab penyakit itu sendiri, diantaranya menjaga lingkungan yang bersih, menjauhkan tempat tinggal dari kandang hewan piaraan, membersihkan kandang secara rutin dan selalu menggunakan desinfektan, membersihkan diri bila telah melalukan aktifitas di kandang, serta tidak melakukan makan dan minum di kandang. DIAGNOSIS PENYAKIT Dalam mendiagnosis penyakit baik rota virus pada hewan maupun manusia pada prinsipnya memiliki persamaan metoda diagnostik. Menurut HUSSEIN et al., (1996) untuk mendeteksi virus maka dapat digunakan teknik Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE), Immuno-electron-microscopy (IEM), Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), Agar gel immunodiffusion (AGID), dan Latex agglutination test. Sedangkan untuk mengasingkan virus rota (isolation) maka dapat dilakukan secara in vitro yaitu dengan menumbuhkan pada sel Madin Durby Bovine Kidney (MDBK), Bovine Kidney (BK), sel
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
Gambar 1. Phylogenetic tree sekuen nukleotida serotipe gen VP7 pada G8 Human rotavirus dan Bovine rotavirus Sumber: ADAH et al., (2003)
ginjal kera hijau (Vero cells), dan embryonic rhesus monkey kidney cells (MA-104) (FERNELIUS et al., 1972). Sementara itu, untuk karakterisasi group, subgroup dan serotipe virus rota maka dapat
digunakan teknik ELISA dengan menggunakan antibodi monoklonal. Sedangkan untuk menentukan genotipe virus rota dapat digunakan teknik Reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR) (CHANG et al. 1996).
97
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarakan pada uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa: 1. Virus rota Group A dapat menginfeksi baik pada hewan maupun manusia dan mengakibatkan gejala klinis yang sama yaitu diare, gangguan pencernaan, muntah, dehidrasi, anoreksia dan akhirnya diikuti dengan kematian. 2. Faktor umur sangatlah menentukan dan pada umumnya virus rota menyerang kelompok umur muda yaitu pada bayi hingga anak umur dibawah 5 tahun (manusia) dan hewan yang baru lahir hingga umur 1 tahun (Hewan). 3. Dengan terdeteksi virus rota group A serotipe G8 asal sapi dari manusia maka virus rota asal hewan (sapi) sangat berpotensi dapat menular ke manusia, selain itu kemungkinan besar virus rota asal hewan dapat pula berubah menjadi ganas apabila terjadi mutasi gen yang baru (seperti halnya virus influenza). 4. Mengingat data-data kejadian diare atau kematian pada ternak yang disebabkan oleh infeksi virus rota belum pernah dilaporkan di Indonesia, maka untuk mengungkap sejauhmana keberadaan virus rota pada ternak perlu dilakukan penelitian secara seksama yang diawali dengan pengumpulan data-data mengenai penyebab diare/ kematian pada ternak oleh virus rota serta seroepidemiologi. DAFTAR PUSTAKA ACRES, S.D., and BABIUK, L.A. 1978. Studies on retroviral antibody in bovine serum and lacteal secretions using radioimmunoassay. J. Am Vet Med Assoc., 173: 555-559 ADAH, M., S. NAGASHIMA, M. WAKUDA, and K. TANIGUCHI, 2003. Close relationship between G8-serotype bovine and human rotavirus isolated in Nigeria. J. Clin. Microbiol. 41(8): 3945-3950. ADAH, M.I., A. WADE, and K. TANIGUCHI. 2001. Molecular epidemiology of rotavirus in Nigeria: detection of unusual strains with G2P[6] and G8P[1] specificiries. J. Clin. Microbiol, 39:3969-3975.
electrophoresis of genome RNA. J. Clin. Microbiol., 16(4): 731-733. ALEXANDRE, C.L., and J.S. BRESEE, 2000. Rotavirus vaccine and vaccination in Latin America. Pan Am J. Public Health 8(5):305-331 AL-MASHAT, R.R and TAYLOR, D.J. 1980. Campylobacter spp. In enteric lesions of cattle. Vet Record, 107:31-34 ARMAH, G.E., C.T. PAGER, R.H. ASMA, F.R. ANTO, A.B. ODURO, F. BINKA, and D. STEELE. 2001. Prevalence of unusual human rotavirus strains in Ghanaian children. J. Med. Virol. 63:67-71. ARVOLLA, T., LAIHO, K., TORKKELI, S., MYKKANEN, H., SALMINEN, S., and MAUNULA, L., 1999. Prophylactic lactobacillus GG reduces antibiotic-associated diarrhea in children with respiratory infections: A randomized study. Pediatrics, 104: 64 BARRANDEGUY, M.E., CORANAGLIA, E.M., GOTTASCHALK, M.M., FITJMAN, N., PASINI, M.I., YAFAL, A.G., PARRAND, J.R., and SCHUDEL, AA., 1988. Rotavirus, enterotoxigenic Escherichia coli, and other agents in the faeses of dairy calves with and without diarrhea. Rev Lat Am Microbiol, 30:239-245. BARNES, G. 2000. Rotavirus vaccine. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. Vol 30. pp. 12-17. BHULLAR, M.S and TIWANA, M.S. 1985. Factors affecting mortality among buffalo calves. Indian J. Anim Sci, 55: 599-601. BLACKLOW, NR and GREENBERG, H.B. 1991. Viral gastroenteritis. N Engl J. Med. 325:252-264. BRAUN, R.K., and TENNANT, B.C., 1983. The relationship of serum globulin levels of assembled neonatal calves to mortality caused by enteric diseases. Agri Practice, 4: 14-15. BRESEE, J., Z.Y. FANG, B. WANG, E.A.S. NELSON, J. TAM, Y. SONARTO, S.A. WILOPO, P. KILGORE, J.S. KIM, et al.,. 2004. First report from the Asian rotavirus surveillance network. Emerg Infect Dis., 10(4): 1-10. CASTRUCCI, G., FRIGERI, F.M., FERRARI,M., CILLI, V., GAULANDI, G.L., and ALDROVANDI, V., 1988. Neonatal calf diarrhea induced by rotavirus. Comp. Immun. Microbiol. Infect. Dis., 11: 71-84.
AFZAL, M., JAVED M.H., and ANJUM A.D., 1983. Calf mortality: Seosonal pattern, age distribution and causes of mortality. Pakistan vet. J., 3: 30-33.
CAVALLIER, B.G., O. GENOULAZ, K. BRENGELPESCE, H. SOULE, P. INNOCENTI-FRANCILLARD, M. BOST, L. GOFTI, D. ZMIROU and J.M. SEIGNEURIN. 2000. Detection of human and animal rotavirus sequences in drinking water. App Envir Microbiol, 66(6):2690-2692
ALBERT, M.J., Y. SOENARTO, and R.F. BISHOP. 1982. Epidemiology of rotavirus diarrhea in Yogyakarta, Indonesia as revealed by
CHANG, K.O., A.V. PARWANI, and L.J. SAIF. 1996. The characterization of VP7 (G type) and VP4 (P type) genes of bovine group A rotaviruses
98
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
from field samples using RT-PCR and RFLP analysis. Arch. Virol. 141: 1727-1739. CLARK, H.F., OFFIT, P.A., ELLIS, R.W., EIDEN, J.J., KRAH, D., and SHAW, E.R., 1996. The development of multivalent bovine rotavirus (strain WC3) reassortant vaccine for infants (review). J Infect Dis., 174: S73-S80 CLEMENS, J., KECKICH, N., and NAFICY, A., 1999. “Public Health Considerations for the Introduction of New Rotavirus Vaccines for Infants: A case study of tetravalent rhesus rotavirus-based reassortant vaccine. Epid Rev., 21(1).pp.24-42 COOKEY, C. 2000. CDC says postpone rotavirus vaccine for infants. A WHONN Lifelines. Vol. 3(5). Pp. 24-42. DAVIDSON, G.P., WHYTE, P.B., DANIELS, E., FRANKLIN, K., NUNAN, H., and MCCLOUD, P.I., 1989. Passive immunisation of children with bovine colostrum containing antibodies to human rotavirus. Lancet, 2:709-712 ESTES, M.K., 2001. Rotaviruses and their replication. In: D.M. KNIPE, P.M. HOWLEY, D.E. GRIFFIN, R.A. LAMB, M.A. MARTIN, B. ROIZMAN, and S.E. STRAUS (Ed). Field Virology, 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, Pa. FALCON, E., M. TARANTINO, L., DI TRANI, P. CORDIOLI, A. LAVAZZA, and M. TOLLIS. 1999. Determination of bovine rotavirus G dan P serotypes in Italy by PCR. J. Clin. Microbiol., 37:3879-3882.
GIANINO, P., MASTRETA, E., LONGO, P., LACCISAGLIA, A., SARTORE, M., and RUSSO, R., 2002. Incident of nosocomial rotavirus infections, symptomatic and asymptomatic, in breast-fed and non-breast-fed infants. J Hospital Infection. 50:13-17 GOUVEA, V.N., N. SANTOS, and M.D. TIMENETSKY. 1994. Identification of bovine and porcine rotavirus G types by PCR. J. Clin. Microbiol. 32:1338-1340. GUSBI, A.M., and HIRD, D.W., 1983. Calf mortality rate on five dairy stations 1976-1980. Vet Bull., 53:3348. HASSO, S.A., PANDEY, R., THAPLIYAL, D.C., and ALSAMARRAC, S.A.G., 1983. Rotavirus infection of young calves in Iraq. Acta Virologica, 27: 93. HIBB, C.M. 1974. Some viral diseases associated with cow-calf production. Bovine Prct., 9:5156 HILPERT, H., BRUSSOW, H., MIETENS, C., SIDOTI, J., LERNER, L., WERCHAU, and H., 1987. Use of bovine milk concentrate containing antibody to rotavirus to treat rotavirus gastroenteritis in infants. J. Infect. Dis, 156:158-166 HOSHINO, Y., and KAPIKIAN, A.Z. 1994. Rotavirus vaccine development for the prevention of severe diarrhea in infant and young children. Trends Microbiol. 2:242-249
FEDIDA, M., DANNACHER, G., and COUDERT, M., 1985. Calf mortality in the Rhone-Alpes region: Result on survey carried out in 19791980. Vet Bull., 55:2934.
HOSHINO, Y., JONES, R.W., and KAPIKIAN, A.Z. 2003. Construction and characterization of rhesus monkey rotavirus (mmu18006)-or bovine rotavirus (UK)-based serotype G5, G8, G9, or G10 single VP7 gene substitution reassortant candidate vaccines. Vaccine, 21:3003-3010.
FERNELIUS, A.L., RITCHI, A.E, CLASSIC, L.G. NORMAN, J.O, and MEBUS, C.A., 1972. Cell culture adaptation and propagation of a reovirus-like agent of calf diarrhea from a field outbreak in Nebraska. Arch. Gesamte Virusforsch, 37:114-130.
HUSSEIN, H.A., FROST, E., TALBOT, B., SHALBY, M., CORNALIA, E dan EL-AZHARY, Y., 1996. Comparison of polymerase chain reaction and monoclonal antibodies for G-typing of group A bovine rotavirus directly from fecal material. Vet. Microbiol., 51: 11-17.
FINK, T. 1980. Influence of type of housing, microclimate and management on health of calves. Inaugurai Disser Tierarztliche Hochshule, Hanover. Pp. 120
ISA, P., A.R. WOOD, T. NETHERWOOD, M. CIARLET, H. IMAGAWA, and D.R. SNOGRASS. 1996. Survey of equine rotaviruses shows concervation of one P genotype in background of two G serotypes. Arch. Virol., 141: 16011612.
FLEWETT, T.H. and WOODE, G.N. 1978. The rotavirus. Arch. Virol., 57: 1-23 FREESE, E., and GRAVERT, H.O., 1982. Calf losses-a growing problem. Vet Bull., 52:3484. GERNA, G.A., A. SCRAISISI, L. ZEHLIN, A. DIMATTEO, P. MIRANDO, A. PAREA, M. BATTAGLIA, and G. MILANESE. 1990. Isolation in Europe of 69Mlike (serotype 8) human rotavirus strains with either subgroup I or II specificity and a long RNA electropherotype. Arch. Virol. 112:2740.
JENNY, B.F., CRAMLING, G.E., and GLAZE, T.M., 1981. Management factors associated with calf mortality in South Caroline dairy herds. J. Dairy Sci., 64:2284-2289. JONES, R.C., HUGHEST, C.S., and HENRY, R.R., 1979. Rotaviruses infections in commercial laying hens. Vet. Rec., 104: 22. KAPIKIAN, A.Z., Y. HOSHINO, and R.M. CHANOEK. 2001. Rotavirus. In: D.M. KNIFE, P.M.
99
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
HOWLEY, D.E. GRIFFIN, et al., (ed). Fields Virology, 4th. Ed., Lippincott Williams & Wilkin, Philadelphia, Pa. pp. 1787-1833. KAUSHIK, A.K., SRIVASTAVA, R.N., and PRASAD, S., 1983. Prevalence of rotavirus antibody in Indian buffaloes and cattle. Vet Bull, 53:4565. KELKAR, S.D., S.G. PUROHIT, and K.V. SIMHA, 1999. Prevalene of rotavirus diarrhea among hospitalized children in Pune, India. Indian J. Med. Res., 337: 1181-1187. KHAN, A., and KHAN, M.Z., 1991. Aetiopathology of neonatal calf mortality. J. Islamic Ac. Sci, 4(2):159-165. LUCCHELLI, A., S.E. LANCE, P.B. BARTLETT, G.Y. MILLER, and L. J. SAIF. 1992. Prevalence of bovine group A rotavirus shedding among dairy calves in Ohio. Am. J. Vet. Res. 53:169174. LUDER, J.E., GIL, F., LIPRANDI, F., and ESPARZA, J., 1986. The structure of the rotavirus inner capsid studied by electron microscopy of chemically disrupted particles. J. Gen. Virol., 67:1721-1725. MATSUNO, S., A. HASEGAWA, A. MUKOYAMA, and S. INOUYE. 1985. A candidate for a new serotype of human rotavirus. J. Virol.54:623-624. MCGUIRE, J.C., PFEIFFER, N.E., WEIKEL, J.M., and BARTSCH, R.C., 1976. Failure of colostral Ig transfer in calves dying of infectious disease. J Am Vet Med Assoc., 169: 713 MCNULTY, M.S., 1978. Rotaviruses. J. Gen. Virol., 40:1-8. MCNULTY, M.S., ALLAN, G.M, THOMSPSON, D.J., and O’BOYLE, J.D., 1978b. Antibody to rotaviruses in dogs and cats. Vet. Rec., 102:533-534. MCNULTY, M.S., ALLAN, G.M., and STUART, J.C., 1978a. Rotavirus infection in avian species. Vet. Rec., 103: 319-320. MCNULTY, M.S., MCFERRAN, J.B., BRYSON, D.G., LOGAN, E.F., and CURRAN, W.L., 1976. Studies on rotavirus infections and diarrhea in young calves. Vet Rec. 99:229-230. MEBUS C.A., STAIR, E.L., UNDERDAHL, NR., and TWIEHAUS, M.J., 1971. Pathology of neonatal calf diarrhea induced by reo-like virus. Vet Pathol., 8:490-505. MEBUS, C.A. WHITE, R.G., STAIR, E.L., RHODES, M.B., and TWIEHAUS, M.J., 1972. Neonatal calf diarrhea: Results of a field trial using a reo-like virus vaccine. Vet Med Small Anim Clin., 67:173-178. MOON, H.W., MCCLURKIN, A.W., ISAACSON, R.E., POHLENZ, J., HABIL, S.M., SKARTVEDT, S.M., GILLETE, K.G., and BASTZ, A.L., 1978. Pathogenic relationships of rotavirus, Escherichia coli, and other agents in mixed
100
infections in calves. J. Am Vet Med Assoc., 173:577-583. MORIN, M., LAMOTHE, P., GAGNON, A., and MALO, R., 1974. A case of neonatal calf diarrhea in a Quebec dairy herd. Can J Comp Med, 38: 326342. NAKAGOMI, O., and T. NAKAGOMI. 1991. Genetic diversity and similarity among mammalian rotaviruses in relation to interspecies transmission of rotavirus. Arch Virol. 120: 4355. NEUVONEN, E., VEIJILAINEN, P., SARKKINEN, H., and EK-KOMMONEN, C., 1982. Rotavirus as causal agent in neonatal calf diarrhea in Finland. Vet Bull, 52: 3877 OFFIT P., and CLARK, H., 1995. Principles and practice of infectious diseases. Churchill Livingstones, New York. Pp.1448-1455 PALOMBO, E. A., R. CLARK, and R.F. BISHOP. 2000. Characterization of a “European-like” serotype G8 human rotavirus isolated in Australia. J. Med. Virol. 60:56-62. PARASHAR, U., BRESEE, J., GENTSCH, J., and GLASS, R., 1998. Rotavirus. Emerg Infect Dis., 4:561570 PARASHAR, U., HUMMELMAN, E., BRESEE, J., MILLER, M., and GLASS, R., 2003. Global illness and deaths caused by rotavirus disease in children. Emerg Infect Dis, 9:565-572. PEREZ, M.S., PERRIN, K., SCARDINO, D., and BEGUE, R.E., 2002. Evaluation of rotavirus vaccine effectiveness in a pediatric group practice. Am Epidemiol, 156:1049-1055. PETERS, A.R., 1986. Studies of mortality, morbidity and performance in intensive calf rearing. Wld Rev Anim Prod, 22:83-88. RAMSAY, M. 1999. Rotavirus : new vaccine for the UK?. Archives of disease in childhood. Vol. 81(2). Pp. 101-102. SATO, K., INABA, Y., SHINOZAKI, T., and MATUMOTO, M., 1981. Neutralizing antibody rotavirus in various animal species. Vet Microbiol, 6:259-261. SATO, M., T. NAKAGOMI, K. TAJIMA, K. EZURU, H. AKASHI, and O. NAKAGOMI. 1997. Isolation of serotype G8, P6[1] bovine rotavirus from adult cattle with diarrhea. J. Clin. Microbiol. 35:1266-1268. SOENARTO, Y., T. SEBODO, R. RIDHO, H. ALRASJID, J. E., ROHDE, H. C. BUGG., G.L. BARNES and R.F. BISHOF. 1981. Acute diarrhea and rotavirus infection in newborn babies and children in Yogyakarta, Indonesia, from June 1978 to June 1979. J. Clin. Microbiol., 14(2):123-129.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
SCHLAFER, D.H., and SCOOT, F.W. 1979. Prevalence of neutralizing antibody to the calf rotavirus in New York cattle. Cornell Vet., 69: 262-271. SCHULZ, W., 1983. Immunofluorescent detection of rotavirus and coronavirus in calves with diarrhoea in the Magdeburg region of German Democratic Republic. Vet Bull, 53:1779. SCHWERS, A., PASTORET, P.P., MAENHOUDT, M., DGENAIS, L., BROECKE, C.V., GOOSSENS, A., and WERENNE, J., 1983. Experimental reproduction of rotavirus diarrhoea in colostrum deprived newborn calves. Annales Rech Vet, 11: 265-270. SHALABY, M.A., SABER, M.S., and EL-KARAMANY, M.R., 1981. Rotavirus infection associated with diarrhoea in calves in Egypt. Vet Res Comm, 5: 165-170. SIMEONOV, I., PEEV, Y., and IORDANOV, V., 1982. Aetiologi of enteritis in newborn calves in the Varchan region of Bulgaria. Vet Bull, 52: 3255. SNOGRASS, D.R., ANGUS, K.W., and GRAY, E.W., 1979. A rotavirus from kitens. Vet. Rec., 104: 222-223. SNOGRASS, D.R., T. FITGERALS, I. CAMPBELL, F. M.M. SCOTT, G.F. BROWNING, D.L. MILLER, A.J. HERRING, and H.B. GREENBERG. 1990. Rotavirus serotypes 6 and 10 predominate in cattle. J. Clin. Microbiol. 28:504-507. SNOGRASS, D.R., TERZOLO, H.R., CAMPBELL, D., SHERWOOD, I., MENZIES, J.D., and Synge, B.A., 1986. Aetiology of diarrhea in young calves. Vet. Rec. 119:31-34. STEELE, A.D., S.P. PARKER, I. PEENZE, C.T. PAGER, M.B. TAYLOR, and W.D. CUBIT. 1999. Comparative studies of human rotavirus serotype G8 strains recovered in South Africa and the United Kingdom. J. Gen. Virol. 80:3029-3034.
TANIGUCHI, K., T. URASAWA and S. URASAWA. 1993. Independent segregation of the VP4 and the VP7 genes in bovine rotaviruses as confirmed by VP4 sequence analysis of G8 and G10 bovine rotavirus strains. J. Gen. Virol. 74: 1215-1221. TANIGUCHI, K., T. URASAWA, Y. PONGSUWANNA, M. CHOONTHANOM, C. JAYAVASU, and S. URASAWA. 1991. Molecular and antigenic analyses of serotypes 8 and 10 of bovine rotaviruses in Thailand. J. Gen. Virol. 72:2929-2930. TAOUDI, A., MELER, C., and AMTSBERG, G. 1983. Prevalence of bacterial pathogens in post mortem material from calves. Praktische Tierarzt, 64:221-236. TENNANT, B., WARD, D.E., BRAUN, R.K., HUNT, E.L., and BALDWIN, B.H., 1978. Clinical management and control of neonatal enteric infections of calves. J Am Vet Med Assoc., 173:654-661. TZIPORI, S. 1980. Rotavirus infections. SCA Animal Health Committee, Sub-Committee of Principal Laboratory Officers. The Australian Bureau of Animal Health. UMOH, J.U., 1982. Relative survival of calves in a university herd in Zaire, Nigeria. British Vet J., 138: 507-514. VARMA, A.K., SATRY, N.S.R., and KAR, D. 1988. Mortality trends in female Murrah bufallo calves. Indian J. Anim Prod. Manag., 4:18-21. VARGHESE, V., S. DAS, N.B. SINGH, K. KOJIMA, S.K. BHATTACHARYA, T. KHRISNAN, N. KOBAYASHI, and T.N. NAIK. 2004. Molecular characterization of a human rotavirus reveals porcine characteristics in most the genes including VP6 and NSP4. Arch. Virol., 149:155-172 VERMA, G.S., SADANA, D.K., BASUL, S.B., and SHARMA, P.A., 1980. Studies on mortality in buffalo calves. Indian J Anim Sci., 50:87-90.
TAKAHASHI, E., INABA, Y., SATO, K., KUROGI, H., AKASHI, H., SATODA, K and OMORI, T., 1979. Antibody to rotaviruses in various animal species. Nat. Inst. Anim. Health Quart.,19: 7273.
WHITE, D.G. and ANDREWS, A.H. 1986. Adeguate concentration of circulating colostral proteins for market calves. Vet Rec., 119: 112-114.
TANIGUCHI, K., and S. URASAWA. 1995. Diversity in rotavirus genomes. Semin. Virol., 6:123-131.
WOODE, G.N., 1978. Epizootiology of bovine rotavirus infection. Vet Rec, 103:44-46. WORLD HEALTH ORGANIZATION, 1999. Rotavirus vaccines: WHO position paper. Weekly Epidemiological Record, 74:33-40 ZRELLI, M., YOUNES, A.B., and HADDAD, N., 1988. Survey of calf mortality in dairy farms in Tunisia. I. Overall mortality. Maghrib Vet., 3:5-8.
101