POTENSI EKSTRAK METANOL DAUN KAPUR (Harmsiopanax aculeatus, Harms) SEBAGAI OBAT ANTIMALARIA Jefry Wijaya1), Jusuf Salenussa1), Jacky Marantika1) 1
Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pattimura email:
[email protected]
Abstract Kapur plant (Harmsiopanax aculeatus Harms) is traditionally used by Mollucans to treat malaria disease. Squeezed of young leaves which is dropped on the eye of sufferer is the way of its treatment. This research is aimed to assay haem polymerization inhibition activity, cytotoxic activity toward vero cells and to analysis chemical secondary metabolit of compound content on methanol extract of the old kapur leaves. Dried powder of kapur leaves (1 kg) is extracted by maceration technique using methanol solvent obtained 95,85g (9,59%) of methanol extract. Those extract which assayed haem polymerization inhibition on activity by Bassilico et al. (1998) method is shown IC50 values of 9410,93 µg/mL. Cytotoxic test toward vero cells using MTT assay, Kasugai et al. (1983) is shown that IC50 values is 9402,81 µg/mL. Phytochemical analysis by spray and visible reagent shown of flavanoids, phenolic, saponin an antraquinones compound. Keyword: Harmsiopanax acuelatus Harms, haem polymerization inhibition activity, cytotoxic activity, vero cell, phytochemical. 1. PENDAHULUAN Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja (Direktorat PPBB, 2011). Pada tahun 2010 diperkirakan 216 juta kasus malaria di seluruh dunia, dengan tingkat kematian 655 000 orang. 91% kematian di wilayah Afrika, diikuti oleh wilayah Asia Tenggara 6%, dan daerah Mediterania Timur 3% (WHO, 2011). Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia dilaporkan peringkat ketiga tertinggi jumlah kasus malaria, sebesar 229 819 kasus. Demikian pula, jumlah kematian sebesar 432 jiwa (WHO, 2012). Salah satu kendala dalam penanggulangan malaria adalah adanya resistensi terhadap obat antimalaria yang digunakan (Tjitra, 1994). Timbulnya resistensi Plasmodium sp terhadap antimalaria mendorong para peneliti mencari antimalaria baru untuk menggantikan antimalaria yang tidak efektif lagi. Salah satu usaha menemukan antimalaria baru adalah melalui penelitian terhadap tanaman obat yang digunakan secara tradisional oleh masyarakat untuk mengobati malaria (Depkes RI dalam Suwandi, 2008). Banyak senyawa alam berhasil
diisolasi dan dibuktikan aktivitas antiplasmodiumnya baik secara in vitro maupun in vivo. Senyawa-senyawa tersebut umumnya metabolit sekunder golongan aklakoid, terpen, kuasinoid, flavanoid, limonoid, kalkon, peptida, xanton, kuinon, kumarin, dan beberapa obat antimalaria bahan alam lainnya (Kaur et al dalam Mustofa, 2009). Obat antimalaria ideal harus memenuhi beberapa kriteria, salah satu kriteria adalah mempunyai efek samping ringan dengan toksisitas rendah sehingga tidak merugikan penderita (Mustofa, 2009). Tanaman Harmsiopanax aculeatus (Bl. Ex. DC) Harms merupakan tanaman obat yang telah digunakan secara luas oleh masyarakat Maluku untuk mengobati malaria. Oleh masyarakat Maluku tanaman ini disebut “pohon kapur”. Pada penelitian sebelumnya uji aktivitas antiplasmodium secara in vivo terhadap mencit yang diinfeksikan dengan Plasmodium berghei menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun kapur (H. aculeatus) yang diberikan secara intraperitonial memiliki aktivitas paling baik sebagai antiplasmodium dengan nilai ED50 sebesar 16,16 mg/kgBB dan Fraksi gabungan 8 (FG8) dari ekstrak metanol telah terbukti menghambat polimerisasi hem sebagai salah satu mekanisme aksi obat antimalaria dengan nilai IC50 sebesar 18,22 μg/mL. Uji fitokimia
fraksi paling aktif menghambat polimerisasi hem dari ekstrak metanol daun kapur (H. aculeatus) mengandung minyak atsiri (eugenol), asam lemak jenuh (asam palmitat) dan esternya (isopropil miristat dan metil ester palmitat) serta ester asam ftalat (bis(2metilpropil) ftalat, butil 2-metilpropil ftalat, dan bis(2- etilheksil) ftalat) (Turalely, 2011). Hasil penelitian Turalely (2011) pada daun kapur (H. aculeatus) muda menunjukkan aktivitas antimalaria yang baik sangat baik. Namun Sampai saat ini belum dilakukan pengujian aktivitas penghambatan polimerisasi hem, sitotoksik maupun fitokimia pada ekstrak metanol daun kapur tua (tidak terlalu muda / tidak terlalu tua, diambil 1 meter kedua dari pucuk muda). Daun tua memiliki ketersedian metabolit sekunder yang lebih banyak dibandingkan dengan daun muda pada tumbuhan. Lebih dari 90% volume sel tumbuhan dewasa berupa vakuola. Vakuola berisi berbagai bahan organik dan anorganik (Mulyani, 2006). Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukannya pengujian aktivitas penghambatan polimerisasi hem, uji sitotoksik terhadap sel Vero serta analisis fitokimia pada ekstrak metanol daun kapur (Harmsiopanax aculeatus Harms) yang sudah tua.
neraca analitis (OHAUS AR2140), sentrifuse (Eppendorf, Centrifuge 5415 D), mikroskop inverter (Olympus CKX 41), inkubator CO2 (Model 6200, NAPCO), LAF (Delta Series), ELISA Reader (Bio Rad), dan lampu UV 365nm.
2. METODE Bahan dan Alat Utama Bahan yang digunakan adalah daun kapur tua yang mengalami pematangan fisiologi (tidak terlalu muda / tidak terlalu tua) diambil 1 meter kedua dari pucuk muda, diperoleh dari desa Amahai Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah. Kristal hematin, sel Vero yang diperoleh dari Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, media M199 dan mikroplate dengan 96 sumuran (IWAKI). Bahan kimia yang digunakan adalah metanol, kloroform, etil asetat berderajat analisis (Merck KGaA), DMSO (Schuchardt OHG Merck), asam asetat glasial (E. Merck), NaOH (E. Merck), MTT, SDS 10%, lempeng lapis tipis silika gel 60 F254, HCl (E. Merck), serbuk Zn, reagen Dragendorff, Wagner, Mayer, FeCl3, Liebermann-Burchard, dan KOH alkoholis. Peralatan yang digunakan adalah rotary evaporator (B’U’CHI Switzerland R-215),
% Kadar air =
Tempat Penelitian Proses ekstraksi dan uji fitokimia dilakukan di Laboratorium Kimia FKIP Universitas Pattimura; sedangkan proses evaporasi pelarut di Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas Pattimura; dan pengujian aktivitas penghambatan polimerisasi hem dan sitotoksik di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Cara Kerja Pembuatan Ekstrak Metanol Daun Kapur Pengumpulan dan Pengeringan Bahan Bahan tanaman yang diambil adalah daun segar yang sudah tua (diambil 1 meter kedua dari pucuk muda) dari tanaman kapur (H. aculeatus) yang telah dibersihkan kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan dipanaskan di oven pada suhu 40oC selama 2x24 jam. Simplisia daun kapur kemudian dibuat serbuk dan ditimbang hingga konstan untuk mengukur kadar airnya. massa awal − massa konstan massa awal
x 100%
(1)
Pembuatan Ekstrak 1 kg serbuk daun kapur tua diekstraksi dengan teknik maserasi menggunakan 3000 mL pelarut metanol, dilakukan 3x24 jam dibantu dengan shaker. Pelarut diuapkan menggunakan Rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak metanol dan dihitung rendamennya. Rendamen ekstrak daun kapur tua ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut: Rendamen =
massa ekstrak yang diperoleh massa sampel yang digunakan
x 100%
(2)
Uji Penghambatan Polimerisasi Hem Pembuatan Kurva Standar Hematin Larutan hematin dengan seri konsentrasi 2,5; 1,25; 0,63; 0,31; dan 0,16 mM dalam NaOH 0,2M dibuat secara two fold dilution. Sebanyak 100 μL larutan hematin direaksikan dengan 50 μL asam asetat glasial 100% dan
untuk tiap konsentrasi dibuat triplikat. Eppendorff yang telah berisi larutan tersebut diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah inkubasi, eppendorff disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 10 menit kemudian dicuci dengan 200 μL DMSO sebanyak tiga kali. Endapan kristal hematin yang diperoleh dilarutkan dengan 200 μL NaOH 0,1M. Sejumlah 100 μL larutan tersebut dipindahkan ke microplate 96 sumuran dan dibaca nilai absorbansinya dengan ELISA Reader pada panjang gelombang 405 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh dan nilai konsentrasi β-hematin diplot ke regresi linear sehingga diperoleh persaman regresi linear yang akan menjadi acuan untuk menghitung konsentrasi βhematin yang terbentuk dalam tiap bahan uji. Uji Aktivitas Penghambatan Polimerisasi Hem Uji penghambatan polimerisasi hem dilakukan terhadap ekstrak metanol daun kapur tua (H. aculeatus) dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Bassilico et al. (1998) yang dimodifikasi. Sebanyak 100 μL larutan hematin 1 mM dalam NaOH 0,2 M dan 50 μL bahan uji dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, kemudian ditambahkan 50 μL asam asetat glasial 100%. Bahan uji yang digunakan dibuat dalam berbagai konsentrasi 4000; 2000; 1000; dan 500 µg/mL dan untuk setiap konsentrasi dibuat triplikat. Untuk kontrol negatif digunakan aquades sebagai pengganti senyawa uji dan kontrol positif digunakan klorokuin konsentrasi 4000; 2000; 1000; dan 500 µg/mL. Setiap konsentrasi kontrol positif dibuat triplikat. Eppendorff yang telah berisi larutan tersebut diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah inkubasi, eppendorff disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 10 menit kemudian dicuci dengan DMSO sebanyak tiga kali. Endapan kristal hematin yang diperoleh dilarutkan dengan 200 μL NaOH 0,1M. Sejumlah 100 μL larutan tersebut dipindahkan ke microplate 96 sumuran dan dibaca nilai absorbansinya dengan ELISA Reader pada panjang gelombang 405 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh diplot ke persamaan garis regresi linear kurva standar sehingga dapat ditentukan konsentrasi β-hematin bahan uji pada setiap sumuran. Presentase penghambatan polimerisasi hem ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut:
% Penghambatan = [β−hematin]KN − [β−hematin]BU [β−hematin]KN
x 100%
(3)
Ketrangan: KN = Kontrol Negatif, BU = Bahan Uji. Aktivitas penghambatan polimerisasi hem dinyatakan dengan dalam nilai IC50 yaitu kadar yang mampu menghambat polimerisasi hem hingga 50%. Nilai IC50 diperoleh berdasarkan hasil analisis regresi probit pada SPSS. Uji Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Daun Kapur Sifat sitotoksik ekstrak metanol daun kapur tua diujikan pada sel vero. Sel vero dikultur menggunakan media M199 yang telah ditambahkan 10% FBS, 2% penisilinstreptomisin dan 0,5-1% fungison. Sel vero diambil dari nitrogen cair, dihangatkan pada suhu 370C sampai cair. Suspensi sel yang telah cair dimasukkan ke dalam conical tube dan dicuci dengan medium komplit M199. Suspensi sel kemudian dipindahkan ke dalam flask kultur dan diinkubasikan dalam inkubator 37oC, 5% CO2. Pertumbuhan sel diamati setiap hari dengan mikroskop inverted sampai sel hampir memenuhi dinding dasar flask. Panen sel vero dilakukan setelah sel hampir memenuhi dinding flask. Sel dicuci dengan PBS dan ditambahkan dengan tripsin 0,25% agar sel terlepas dari dinding flask. Suspensi sel dibuat dengan menambahkan medium komplit, setelah itu jumlah sel dihitung dengan haemocytometer. Untuk menentukan toksisitas ekstrak secara in vitro dilakukan dengan metode yang dilakukan oleh Kasugai et al. (1983). Sel dimasukkan ke dalam microplate 96-well dengan kepadatan 2x104 sel/well dalam 100μL. Kemudian medium kultur yang mengandung ekstrak untuk tiap variasi konsentrasi ditambahkan. Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 16000; 8000; 4000; 2000; dan 1000 µg/mL dan untuk setiap konsentrasi dibuat triplikat. Kultur sel dan ekstrak kemudian diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator pada suhu 37oC, 5% CO2. Pertumbuhan sel diamati menggunakan MTT yang selanjutnya dibandingkan dengan kultur (tanpa ekstrak sebagai bahan uji). Medium dibuang setelah massa inkubasi berakhir kemudian ditambahkan kembali 100 µL medium komplet dan 10 µL larutan MTT dan diinkubasi kembali selama 4 jam dalam inkubator pada suhu 37oC,
5% CO2. Selanjutnya 100 µL SDS 10% dalam HCl 0,01 M ditambahkan untuk melarutkan formazan yang terbentuk dan dinkubasi overnigth pada suhu kamar. Hasil pengujian dibaca dengan ELISA Reader pada panjang gelombang 595 nm. Kemudian dihitung presentase sel hidup. Rendamen ekstrak daun kapur tua ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut: % sel hidup = (absorbansi perlakuan−absorbansi KM) (absorbansi KS − absorbansi KM)
x100%
(4)
Keterangan: KM = Kontrol Media; KS = Kontrol Sel. Aktivitas Sitotoksik dinyatakan dengan nilai IC50 yaitu kadar yang mampu menghambat kehidupan sel vero hingga 50%. Nilai IC50 diperoleh berdasarkan hasil analisis regresi probit pada SPSS. Analisis Golongan Senyawa dalam Ekstrak Metanol Daun Kapur Larutan ekstrak metanol daun kapur ditotolkan pada 7 lempeng lapis tipis silika gel 60 F254 berukuran 2x8 cm dan dielusi menggunakan eluen klorofrom : etil asetat (9:1). Tiap spot yang diperoleh setelah dielusi kemudian disemprot dengan pereaksi Dragendorff, Meyer, Wagner (untuk pengujian alkaloid), FeCl3 (untuk pengujian fenolik), Liebermann-Burchard (untuk pengujian steroid), KOH (untuk pengujian antrakuinon). Perubahan warna pada spot dilihat pada sinar tampak dan UV 365 nm dan dibandingkan dengan lempeng KLT standar yang tidak disemprot dengan pereaksi. Uji saponin dilakukan dengan mengocok ekstrak dalam alkohol-air (65oC) di dalam tabung reaksi, timbulnya busa menunjukkan adanya saponin. Pengujian flavanoid dilakukan dengan cara ekstrak dilarutkan dalam HCl 2N dan diberi serbuk Zn, adanya flavanoid ditunjukkan melalui perubahan warna oranye ketika dikocok. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Serbuk Daun Kapur Tua Ekstraksi serbuk daun kapur tua (H. acuelatus) secara maserasi menggunakan pelarut metanol menunjukkan bahwa 1 kg serbuk kering daun kapur tua diperoleh: 95,85 g
ekstrak metanol berwarna coklat kehitaman, berbentuk gel, dan rendamen sebesar 9,59%. Daun kapur tua (H. aculeatus) atau sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini sebelumnya diukur kadar airnya. Kadar air yang diperoleh dari daun kapur tua sebesar 54,17%. Penentuan kadar air dimaksudkan untuk menyatakan kandungan zat dalam tumbuhan sebagai persen bahan kering dan untuk mengetahui ketahanan suatu bahan dalam penyimpanan (Harjadi, 1993). Menurut Pramono (2005) dalam (Ma’mun, dkk, 2006) jika kadar air dalam bahan masih tinggi dapat medorong enzim melakukan aktifitasnya mengubah kandungan kimia yang ada dalam bahan menjadi produk lain yang mungkin tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti senyawa aslinya. Hal ini tidak akan terjadi jika bahan yang telah dipanen segera dikeringkan sehingga kadar airnya rendah. Beberapa enzim perusak kandungan kimia yang telah lama dikenal antara lain hidrolase, oksidase dan polimerase. Air harus dihilangkan agar dapat memperpanjang masa simpan suatu bahan. Kadar air yang baik adalah kurang dari 10% karena pada kadar ini bahan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama sehingga kemungkinan rusak karena jamur sangat kecil. Tingginya kadar air pada tanaman ini kemungkinan karena adanya proses fotosintesis. Simplisia daun kapur tua dibuat serbuk menggunakan grainder. Pembuatan serbuk daun kapur dimaksudkan untuk mereduksi ukuran suatu padatan agar diperoleh luas permukaan lebih besar. Perbesaran luas permukaan dimaksudkan antara lain untuk : 1) mempercepat pelarutan; 2) mempercepat reaksi kimia; 3) mempertinggi kemampuan penyerapan; 4) menambah kekuatan warna (Bernasconi dkk, 1995). Ekstraksi daun kapur tua menggunakan teknik maserasi, maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan panas. Teknik ini digunakan karena relatif sederhana tapi menghasilkan produk baik (Meloan, 1999). Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk kering daun kapur tua dengan pelarut selama 3x24 jam dibantu menggunakan shaker pada kecepatan 175 rpm agar kontak antara sampel dan pelarut semakin sering terjadi, hal ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Maserat yang diperoleh, disaring untuk memisahkan residu dan filtrat. Filtrat yang diperoleh berwarna hijau pekat. Warna kehijauan terbentuk karena pelarut yang digunakan mengekstrak klorofil yang ada dalam tumbuhan. Klorofil dalam tumbuhan memiliki dua sifat yaitu bersifat hidrofobik jika mengikat gugus CH3 (metana, non polar) dan hidrofilik jika mengikat gugus CHO (aldehid, polar) (Sa’adah, 2010). Klorofil yang terdapat dalam daun kapur tua adalah klorofil yang bersifat hidrofilik, karena pelarut yang digunakan bersifat polar. Soekartono (1988) menjelaskan bahwa klorofil tidak dapat larut dalam air tetapi dapat larut dalam etanol, metanol, kloroform dan aseton. Kemudian filtrat dilakukan pemekatan dengan rotatory evaporator pada suhu 60oC. Pemekatan bertujuan untuk mengetahui persen rendemen sekaligus mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan komponen yang terkandung dalam ekstrak dan mempermudah dalam hal penyimpanannya bila dibandingkan dalam keadaan ekstrak yang masih terkandung pelarut (Yulia, 2006). Uji Penghambatan Polimerisasi Hem Daun Kapur Tua Plasmodium falciparum pada siklus hidupnya, akan bermultiplikasi dan menghancurkan hemoglobin sel hospes di vakuola makanan untuk kebutuhan nutrisi. Proses penghancuran hemoglobin ini menghasilkan molekul hem yang toksik yaitu ferriprotoporphyrin IX (FPIX). Parasit malaria intraeritrositik mampu mendegradasi molekul hem menjadi sesuatu yang tidak berbahaya yang disebut hemozoin. Suatu polimer yang identik dengan hemozoin adalah β-hematin. βhematin dapat dibentuk secara in vitro dari hematin dalam suasana asam. β-hematin yang terbentuk diukur absorbansinya menggunakan Elisa Reader. Penghambatan polimerisasi hem didapat dengan membandingkan absorbansi pada kelompok perlakuan dengan kadar βhematin pada kurva. Hasil uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem ekstrak metanol daun kapur tua (H. acuelatus). Kadar β-hematin dari sampel uji maupun kontrol diperoleh dengan cara memasukkan harga absorbansi masing-masing bahan uji dan kontrol tersebut ke dalam persamaan kurva standar hematin yaitu: y = 1,5504x – 0,2929 dengan y adalah absorbansi
dan x adalah kadar β-hematin. Nilai R2 = 0,9976 (Gambar. 1). Analisis probit menunjukkan bahwa IC50 adalah 9410,93 µg/mL dan nilai kontrol positif (klorokuin) adalah 1016,72 μg/mL seperti terlihat pada Tabel 1. Kemampuan suatu antiplasmodium dalam menghambat polimerisasi hem berhubungan langsung dengan kemampuannya sebagai antimalaria, walaupun diketahui bahwa mekanisme kerja antiplasmodium tidak hanya melalui penghambatan polimerisasi hem. Aktivitas penghambatan polimerisasi hem sebenarnya merupakan kerja satu atau dua mekanisme, yaitu (1) terjadi interaksi antara senyawa terpenoid, fenol dan sterol dengan sistem elektronik hem, (2) ekstrak-ekstrak ini terdiri dari senyawa-senyawa yang memiliki gugus hidroksil yang dapat berikatan dengan ion besi hem (Bassilico, et al., 1998; Syarif, 2007). Melihat hal tersebut, mekanisme kerja ekstrak daun kapur tua (H. aculeatus) dalam menghambat polimerisasi hem adalah berinteraksinya senyawa fenolik dengan sistem elektronik hem dan gugus hidroksil yang berikatan dengan ion besi hem. Uji ini merupakan reaksi kimiawi model dengan meniru suasana pada sel hidup (eritrosit yang terinfeksi Plasmodium sp). Pada sel hidup banyak faktor lain yang mempengaruhi aktivitas antiplasmodium, misalnya kelarutan obat dalam lemak yang akan mempengaruhi absorbsi dan penetrasi obat ke dalam eritrosit dan parasit. Pada reaksi kimiawi hal ini tidak terjadi. Ada faktor lain yang juga berpengaruh pada uji dengan menggunakan metode ini. Faktor tersebut adalah warna dan pH ekstrak. Pencucian yang tidak bersih akan mempengaruhi absorbansi yang diukur pada Elisa Reader. Reaksi kimia terbentuknya kristal hematin membutuhkan pH yang rendah, sedangkan pH ekstrak yang mungkin tinggi akan meningkatkan pH sehingga kristal hematin tidak terbentuk. Kesemua faktor ini akan mempengaruhi hasil pembacaan pada Elisa Reader. Baelsman et al. (2000) menyebutkan jika IC50 yang didapat dari uji penghambatan polimerisasi pada kloroquinsulfat lebih dari 37,5 mM (12.000 µg/mL) maka dapat dikategorikan tidak memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem. Berdasarkan kriteria ini maka ekstrak metanol daun kapur tua dapat dikatakan memiliki aktivitas
penghambatan polimerisasi hem (Bassilico, et al., 1998; Suwandi, dkk., 2008). Jika dibandingkan dengan nilai IC50 kontrol positif (klorokuin), ekstrak metanol daun kapur tua memiliki nilai IC50 yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa klorokuin memiliki aktivitas yang lebih besar dalam menghambat polimerisasi hem daripada ekstrak metanol daun kapur tua. Meskipun klorokuin memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem lebih besar daripada ekstrak metanol daun kapur tua, bukan berarti ekstrak metanol tidak aktif
menghambat mekanisme aksi obat antimalaria. Hal ini dapat saja terjadi karena mekanisme ekstrak metanol, mungkin lebih aktif melalui mekanisme kerja lain yang mengakibatkan P. falciparum terhambat pertumbuhannya sehingga perlu diuji aktivitas mekanisme lainnya (penghambatan metabolisme asam folat meliputi: pembentukan dihidropterat dan enzim dihidrofolat reduktase; penghambatan topoisomerase II; dan penghambatan sintesis protein mitokondria).
4.00 y = 1.5504x - 0.2929 R² = 0.9976
3.50
Absorbansi
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 -0.50
0
0.5
1 1.5 2 konsentrasi β-hematin (mM)
2.5
3
Gambar 1. Kurva Standar Hematin Tabel 1. Pengaruh Pemberian Ekstrak Metanol Daun Kapur Tua (H. acuelatus) Terhadap Aktivitas Penghambatan Polimerisasi Hem Konsentrasi Rerata kadar βRerata Persen Bahan Uji IC50 (µg/mL) (µg/mL) hematin Penghambatan 4000 0,7959 44,6077 2000 0,9416 34,4621 Ekstrak Metanol 9410,93 1000 1,0167 29,2397 500 1,0379 27,7582
Kontrol positif
Kontrol negatif
4000 2000 1000 500
0,4329 0,5920 0,7711 0,8238 1,4368
69,8670 58,7936 46,3286 42,6624
1016,72
sel vero. Sel vero merupakan sel yang berasal Uji Aktivitas Sitotoksik Daun Kapur Tua Hasil uji aktivitas sitotoksik ekstrak dari sel epitel ginjal dari Monyet Hijau Afrika metanol daun kapur tua adalah 9402,81 µg/mL (Cercopithecus aethiops). Medium yang seperti terlihat pada Tabel 2. digunakan untuk mengkultur sel vero adalah Tabel 2. Presentase Kehidupan Sel Vero pada media M199, media ini berguna untuk Pemberian Ekstrak Metanol Daun Kapur Tua memberikan nutrisi yang dibutuhkan sel, (H. acuelatus) pada Inkubasi 24 Jam supaya sel dapat bertahan hidup dan dapat memperbanyak diri. Presentase Uji sitotoksitas dengan metode tidak Konsentrasi Kehidupan Sel IC50 langsung dilakukan dengan metode MTT. Sel (µg/mL) Vero (%) inkubasi (µg/mL) hidup akan mengubah garam tetrazolium (324 jam (4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetralolium 16000 23,58 bromida) (MTT) menjadi formazan dalam 8000 62,49 mitokondria. MTT diabsorbsi ke dalam sel 4000 85,78 9402,81 hidup dan dipecah melalui reaksi reduksi oleh 2000 88,97 enzim reduktase dalam rantai respirasi 1000 96,30 mitokondria menjadi formazan yang terlarut Penggunaan kultur sel semakin disukai dalam SDS 10% berwarna ungu (Doyle dan untuk keperluan uji sitotoksisitas karena Griffiths, 2000). Penambahan SDS 10% dalam berbagai alasan diantaranya mampu HCl 0,01 M bertujuan untuk menghentikan menurunkan biaya percobaan dibandingkan reaksi enzimatik dan melarutkan formazan penggunaan hewan uji dan mekanisme sehingga warna ungu formazan dapat dibaca toksisitas yang dapat dikerjakan jauh leebih aborbansinya secara spektrofotometri dengan efektif karena lingkungan sel lebih mudah ELISA reader. Absorbansi tersebut dikontrol. Pengembangan metode in vitro menggambarkan jumlah sel hidup. Semakin sebagai alternatif pengganti uji dengan kuat intensitas warna ungu yang terbentuk, menggunakan hewan uji mempunyai relevansi absorbansi akan semakin tinggi, hal ini yang cukup baik terutama yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa semakin banyak MTT mendeteksi potensi suatu obat pada manusia yang diabsorbsi ke dalam sel hidup sehingga (Wahyudi dan Djajanegara, 2009). formazan yang terbentuk juga semakin banyak, Uji sitotoksitas pada penelitian ini absorbansi ini yang digunakan untuk dilakukan untuk mengetahui toksisitas ekstrak menghitung presentase sel hidup sebagai respon metanol daun kapur tua pada sel normal. Sel (Sieuwerts et al.,1995). normal yang dipakai dalam penelitian ini adalah Berikut ini gambar reaksi reduksi MTT menjadi formazan:
N
N
Reduktase mitokondria
N N
Br + N
N
N
N N
N S
S
MTT
Formazan Gambar 2. Reduksi MTT Menjadi Formazan
Persentase kehidupan sel vero akibat pemberian ekstrak metanol daun kapur tua semakin kecil dengan peningkatan konsentrasi bahan uji untuk inkubasi 24 jam. Pada konsentrasi 125 µg/mL belum memberi efek membunuh sel vero. Sedangkan pada
konsentrasi 2000 µg/mL baru memperlihatkan efek membunuh sel vero dan pada konsentrasi 16000 µg/mL menunjukkan efek membunuh hampir mendekati 100%. Data presentase kehidupan sel vero ini, selanjutnya dianalisis untuk mengetahui presentase penghambatan
50% (IC50) sel vero dengan menggunakan analisis probit pada SPSS. Nilai IC50 ekstrak metanol daun kapur tua pada inkubasi 24 jam dikategorikan mempunyai efek toksik rendah (Jenett-Siems et al., 1999 dalam Suwandi, 2007) karena memiliki nilai IC50 > 30 µg/mL.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Sel vero setelah pemberian MTT, (a) pada kontrol sel; pada konsentrasi sampel (b) 125 µg/mL; (c) 2000 µg/mL; (d) 16000 µg/mL. Uji Fitokimia Analisis fitokimia ekstrak metanol daun kapur tua menggunakan berbagai pereaksi kimia untuk menguji golongan senyawa metabolit sekunder. Hasil yang diperoleh seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Fitokimia Golongan Senyawa Jenis pereaksi Hasil Metabolit Sekunder Dragendorff Alkaloid Meyer Wagner Flavanoid Shinoda Test + Fenolik FeCl3 1 % + Steroid Lieberman-Burchard Saponin Tes buih + Antrakinon 5% KOH Alkoholis + Uji fitokimia ekstrak daun kapur dilakukan untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak daun kapur dan menjadi studi awal untuk mencari dan menemukan lead compound (senyawa penuntun/senyawa aktif) yang akan dipakai sebagai antimalaria (Harbone, 198) Berdasarkan Tabel 3. Ekstrak methanol mengandung senyawa metabolit sekunder flavanoid, fenolik, saponin dan antrakinon. 4. KESIMPULAN Dari hasil percobaan dapat disimpulkan:
1. Uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun kapur tua dengan IC50 sebesar 9410,93 µg/mL. 2. Uji sitotoksik terhadap sel vero menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun kapur tua tidak toksik terhadap sel normal dengan IC50 sebesar 9402,81 µg/mL. 3. Uji fitokimia ekstrak metanol daun kapur tua mengandung senyawa flavanoid, fenolik, saponin dan antrakuinon. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini, Ibu Rachel Turalely, S.Pd., M.Biotech yang telah membimbing kami dan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 5. REFERENSI [1] Bassilico N, Pagani E, Monti D, Olliaro P and Taramelli D. 1998. A Microtitre based Method for Measuring the Haem Polimerization Inhibitory Activity (HPIA) of Antimalarial Drugs. J. Antimicrob. Chemother. 42: 55-60. [2] Baelmans R., Deharo E., Munoz V., Sauvain M., Ginsburg H. 2000. Experimental Conditions for Testing the Inhibitory Activity of Chloroquine on the Formation of B-hematin. Exp Parasitol. 96(4):243-8. [3] Bernasconi G., Gerster H., Hauser H., Stauble H. Schneiter. 1995. Teknologi Kimia Bagian 2. Diterjemahkan oleh Handojo L. Pradnya Paramita. Jakarta. 45, 178-180. [4] Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang. 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia, dalam Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Triwulan I. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. Hlm 1–16. [5] Doyle, A, dan Griffiths, JB. 2000. Cell and Tissue Culture For Medical Research. New York: John Wiley and Sons Ltd.
[6]
[7] [8]
[9]
[10] [11]
[12]
[13]
[14]
[15]
Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan terbitan kedua. Diterjemahkan oleh Padmawinata K dan Soediro I. Penerbit ITB. Bandung. Hlm 8-9, 19-20, 49, 147, 155. Harjadi W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia. Jakarta. Ma’mun, Suhirman S, Manoi F, Sembiring BS, Tritianingsih, Sukmasari M. Gani A, Tjitjah F, dan Kustiwa D. 2006. Teknik Pembuatan Simplisia dan Ekstrak Purwoceng. Laporan Pelaksanaan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Meloan C. E. 1999. Chemical Separation. Principle, Techniques and Expremints. John Wiley and Sons publication. Canada. Mulyani S. 2006. Anatomi Tumbuhan. Kanisius. Yogyakarta. 65. Mustofa. 2009. Obat Antimalaria Baru: Antara Harapan dan Kenyataan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Hlm 9. Sa’adah L. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Tanin Dari Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.). skripsi. Universitas Islam Negri (UIN) Maulana Malik Ibrahim. , Malang. Sieuwerts, Anieta M, et al. 1995. The MTT Tertazolium Salt Assay Scrutinized: How to Use this Assay Reliably to Measure Metabolic Activity of Cell Cultures in vitro for the Assessment of Growth Characteristics, IC50- Values and Cell Survival. Eur J Clin ChemBiochem. 33: 813-823. Soekartono. 1988. Isolasi Suatu Flavonol dari Fraksi Etil Asetat Daun Krinyuh (Euptoim pallescents. Pc, Asteraceaece). Skripsi. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Suwandi JF. Wijayanti MA, Mustofa. 2008. Aktivitas Penghambatan
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
Polimerisasi Hem Antiplasmodium Ekstrak Daun Sungkai (Peronema canescens) In Vitro. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II, Universitas Lampung, 17-18 November 2008, Indonesia. IV:113-120. Syarif RA. 2007. Aktivitas Antiplasmodium Fraksi Larut Eter Ekstrak Metanol Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray) Pada Plasmodium falciparum secara In vitro. Tesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tjitra E. 1994. Obat-obat Baru Anti Malaria, dalam Cermin Dunia Kedokteran No.94. Jakarta: Grup PT Kalbe Farma. Hlm 16-22. Turalely R. 2011. Fraksi Antiplasmodium Paling Aktif Dari Daun Kapur (Harmsiopanax aculeatus Harms) Dan Identifikasi Beberapa Kandungan Senyawanya Menggunakan GC-MS. Tesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hlm 23-25, 69. Wahyudi P dan Djajanegara I. 2009. Pemakaian Sel HeLa Dalam Uji Sitotoksisitas Fraksi Kloroform dan Ethanol Kulit Batang Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa). Jurnal Biotika Vol. 7 No. 2: 52-60 WHO. 2011. World Malaria Report : 2011. Switzerland: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. Hlm 66. WHO. 2012. Disease Burden in SEA Region. http:// www.searo.who.int/LinkFiles/Malari a_in_the_SEAR_Map_SEAR_Endemi city_10.pdf. Diakses tanggal 21 Maret 2012. Yulia R. 2006. Kandungan Tanin dan Potensi Anti Streptococcus mutans Daun The Var. Assamica Pada Berbagai Tahap Pengelolahan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.