1
POTENSI ANTIOKSIDASI DAUN SALAM: KAJIAN IN VIVO PADA TIKUS HIPERKOLESTEROLEMIA DAN HIPERGLIKEMIA
LIGA NENGGALA GIRI
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
2
ABSTRAK LIGA NENGGALA GIRI. Potensi Antioksidasi Daun Salam: Kajian In Vivo pada Tikus yang Hiperkolesterolemia dan Hiperglikemia. Dibimbing oleh SULISTIYANI dan POPI ASRI KURNIATIN. Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi antioksidasi ekstrak daun salam pada tikus hiperkolesterolemia dan hiperglikemia. Sebanyak 15 ekor tikus jantan galur Sprague-Dawley dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok hiperkolesterolemia (kelompok I) mendapatkan pakan kolesterol 1.5% dan propil tiourasil 0.5 mg/kg BB. Kelompok hiperglikemia (kelompok II) mendapatkan induksi aloksan dosis tunggal sebesar 150 mg/kg BB. Kelompok hiperkolesterolemia-hiperglikemia (kelompok III), mendapatkan pakan kolesterol, propil tiourasil dan aloksan seperti kelompok sebelumnya. Setiap kelompok mendapatkan ekstrak daun salam sebanyak 2.04 g/kg BB. Ekstraksi etanol 70% daun salam dengan metode refluks menghasilkan rendemen 33.4%. Potensi antioksidasi ekstrak ditentukan dengan metode asam tiobarbiturat pada panjang gelombang 532 nm. Pakan kolesterol meningkatkan konsentrasi kolesterol darah kelompok I dan kelompok III sebesar 73.49% dan 90.28%. Pemberian aloksan pada kelompok II dan kelompok III meningkatkan konsentrasi glukosa darah sebesar 333.73% dan 424.41%. Umur tikus yang tua meningkatkan konsentrasi lipid peroksida darah, konsentrasinya pada setiap kelompok sebelum pemberian ekstrak sebesar 0.808 µM, 0.664 µM, dan 0.880 µM. Potensi antioksidasi ekstrak daun salam sangat rendah, pada kelompok hiperkolesterolemia dan kelompok hiperkolesterolemia-hiperglikemia potensinya sebesar 16.21% dan 14.20%. Sedangkan pada kelompok hiperglikemia tidak memperlihatkan adanya khasiat antioksidan.
3
ABSTRACT LIGA NENGGALA GIRI. The Antioxidative Potency of Bay Leaves: In vivo Studies on Hyperglycemic and Hypercholesterolemic Rats. Under the direction of SULISTIYANI and POPI ASRI KURNIATIN. The objective of this research was to study the antioxidative potency of bay leave extract on hyperglycemic and hypercholesterolemic rat. Extract were tested to Sprague-Dawley male rats. Fifteen rats were divided into three experimental groups as follow: hypercholesterolemic (group I), hyperglycemic (group II), and hypercholesterolemic-hyperglycemic (group III). Hypercholesterolemic group gets cholesterol feed 1.5% and prophyltiouracil 0.5 mg/kg BB. Hiperglycemic group gets single dose aloxan induction of 150 mg/kg BW (intraperitoneal). Hypercholesterolemic-hyperglicemic group was cholesterol fed group which given single dose of aloxan (150 mg/kg BW intraperitoneal). Every group gets the bay leave extract for 2.04 g/kg BW. The yield percentage of the crude extracts was 33.4%. The antioxidative potency of bay leaves extract were determined by thiobarbituric acid (TBA) method using spectrophotometer at 532 nm. Cholesterol feeding increased 73.49% and 90.28% blood cholesterol of group I and III respectively. Aloxan induction increased 333.73% and 424.41% blood glucose of group I and group III respectively. The old age rat increased lipid peroxide concentration in blood. The concentration lipid peroxide before extract addition is 0.808 µM, 0.664 µM, and 0.880 µM respectively. Bay leave antioxidation potency is very low. In hypercholesterolemic and hypercholesterolemic-hyperglicemic group the potency were 16.21% and 14.20% respectively. There is no antioxidation effect in hyperglycemia group.
4
POTENSI ANTIOKSIDASI DAUN SALAM: KAJIAN IN VIVO PADA TIKUS HIPERKOLESTEROLEMIA DAN HIPERGLIKEMIA
LIGA NENGGALA GIRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biokimia
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
5
Judul Skripsi : Potensi Antioksidasi Daun Salam: Kajian In Vivo pada Tikus Hiperkolesterolemia dan Hiperglikemia Nama : Liga Nenggala Giri NIM : G44102009
Disetujui Komisi Pembimbing
Popi Asri Kurniatin, Apt. Anggota
drh. Sulistiyani, M.Sc.,PhD Ketua
Diketahui
Dr. drh. Hasim, DEA Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Tanggal Lulus:
6
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan segala Tuhan, Allah SWT yang telah memberikan kehidupan kepada penulis sehingga karya ilmiah yang berjudul ” Potensi Antioksidasi Daun Salam: Kajian In Vivo pada Tikus yang Hiperkolesterolemia dan Hiperglikemia” ini dapat diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan mulai bulan September 2006-Februari 2007 di Laboratorium Biokimia FMIPA IPB. Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu drh. Sulistiyani, M.Sc., Ph.D. selaku pembimbing utama dan Ibu Popi Asri Kurniatin, Apt. selaku pembimbing anggota atas segala saran dan bimbingannya, Ibu Mega, Mba Martini, Ibu Iis, Ibu Marry, Bapak Arya, Bapak Edi, Bapak Yadi, Bapak Nana, Kak Dimas, Fatwa Adhie, Kak Agus dan dosen-dosen yang telah banyak membantu dan mengajarkan penulis selama penelitian. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada orang tua yang sangat luar biasa, mamah (alm) dan bapak yang selalu menyayangi, berkorban, dan senantiasa memberi dukungan moril dan materi. Kepada keluarga besar Sukabumi, Pitria, Revinerita, Trias, Nazwa, Nenek, dan Ibu Nengsih atas pengertian, kasih sayang, dukungan, dan kebersamaannya. Tidak lupa kepada keluarga besar Kuningan, Mang Ugit, Bi Daday, De Acip, dan De Iyus atas segala perhatiannya. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman yang sangat hebat, Fitri, Yayu, Alviani, Icha, Yulfan, Febrimarsa, Novan, Fahrizan, Fauzi, Anang, Nuri, serta teman-teman lainnya di Biokimia 39 dan 40 yang telah membantu dan memberi motivasi kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2008 Liga Nenggala Giri
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada 19 Maret 1984 dari ayah Tatang Sutjipta dan Ibu Enung Nurhaeni (alm). Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Kota Sukabumi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Biokimia, Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis berperan aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Kimia (Imasika) dan Departemen Biokimian IPB. Penulis pernah melakukan Praktik Lapangan di Instalasi Pengolahan Air Limbah PT. Unitex Tbk Bogor pada bulan Juli sampai Agustus 2005.
8
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
x
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus dan Hiperglikemia ........................................................ Radikal Bebas dan Peroksidasi Lipid ....................................................... Hiperkolesterolemia, Lipid Peroksida, dan Aterosklerosis ...................... Hewan Model dan Senyawa Penginduksi Hiperglikemia ........................ Salam ........................................................................................................
2 3 5 6 6
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ......................................................................................... Metode Penelitian ....................................................................................
7 8
HASIL DAN PEMBAHASAN Masa Induksi Hiperkolesterolemia .......................................................... Masa Induksi Hiperglikemia ………........................................................ Masa Pemberian Ekstrak Daun Salam …................................................
11 13 14
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………….
17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
17
LAMPIRAN ......................................................................................................
20
9
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Propiltiourasil (1,2-dihidro-6-propil-2-tioksopirimidin-4-on) ...................
6
2
Aloksan ......................................................................................................
7
3
Daun Salam ................................................................................................
7
4
Rancangan Percobaan ................................................................................
9
5
Accu Check ................................................................................................ 10
6
Konsentrasi kolesterol dan glukosa darah hewan coba ...……………….. 12
7
Konsentrasi lipid peroksida darah hewan coba ......................................... 12
8
Konsentrasi kolesterol dan glukosa darah hewan coba ..…………............ 13
9
Konsentrasi lipid peroksidadarah hewan coba .....…………………….. ... 13
10 Konsentrasi glukosa darah hewan coba …….............................................
14
11 Konsentrasi kolesterol dan glukosa darah hewan coba ............................. 14 12 Konsentrasi lipid peroksida darah hewan coba ......................................... 15 13 Konsentrasi kolesterol dan glukosa darah hewan coba ....................….. 16 14 Konsentrasi lipid peroksida darah hewan coba ................………………. 16 15 Konsentrasi kolesterol dan glukosa darah ………………..……………... 17 16 Konsentrasi lipid peroksida darah ..............................……..……...…….. 17
10
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Tahapan penelitian ……………………………………..…………………
21
2 Bobot badan tikus selama percobaan (gram) ..............................................
22
3 Konsumsi pakan tikus selama percobaan (gram) .......................................
23
4 Konsentrasi lipid peroksida darah selama percobaan (µM) .......................
24
5 Konsentrasi kolesterol darah selama percobaan (mg/dl) …………………
25
6 Konsentrasi glukosa darah selama percobaan (mg/dl) …………...............
26
11
PENDAHULUAN Tingginya kadar kolesterol darah, penyakit diabetes melitus, obesitas, dan hipertensi dapat saja terjadi secara bersamaan pada seseorang. Para ahli kesehatan menyebut kondisi ini sebagai sindrom metabolik. Sindrom metabolik dikenal pertama kali sebagai Sindrom X pada tahun 1988 (Isnaini 2006). Kondisi ini timbul ketika terjadi gangguan pada kerja hormon insulin atau dikenal dengan resistensi insulin (Soegondo 2006). Kuat dugaan resistensi insulin disebabkan oleh faktor keturunan, etnis, dan faktor lingkungan. Selain itu, obesitas dan kurang bergerak juga berperan atas timbulnya masalah ini. Saat ini sindrom metabolik telah menjadi masalah dunia, tidak hanya di Eropa dan Amerika, di kawasan Asia pun angka penderitanya mengalami peningkatan setiap tahun. Mengutip penelitian yang dilakukan oleh Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI), prevalensi sindrom metabolik diderita oleh sekitar 13.13% warga Indonesia. Angka ini didapat berdasarkan kriteria obesitas yang cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu indeks massa tubuh melebihi 25 kg/m2 (Soegondo 2006). Menurut Alwi (2006), sindrom metabolik merupakan sebuah faktor risiko terhadap meningkatnya kejadian diabetes melitus dan penyakit pembuluh darah (kardiovaskular). Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang dicirikan oleh tingginya kadar glukosa dalam darah. Diabetes Melitus adalah kondisi medis yang kronis, artinya akan diderita seumur hidup. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO, World Health Organization) pada tahun 2003 tercatat hampir 200 juta orang di dunia menderita diabetes dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penderita bisa mencapai sekitar 330 juta jiwa. Sementara di Indonesia, berdasarkan data WHO pada tahun 2003 tercatat lebih dari 13 juta penderita diabetes, dari jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 20 juta penderita pada tahun 2030. Diabetes melitus disebabkan oleh berkurangnya produksi insulin terhadap kebutuhan tubuh atau insulin yang diproduksi tidak berfungsi optimal (ketidakmampuan sel untuk menggunakan insulin). Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, yang berfungsi membantu glukosa memasuki sel-sel tubuh dan mengatur kadar glukosa di dalam darah. Oleh karena itu, tanpa
insulin sel-sel tubuh menjadi kekurangan glukosa dan menyebabkan kadar glukosa darah meningkat. Gukosa yang berlebihan di dalam darah (hiperglikemia) akan dikeluarkan dalam urin, yang membuat urin menjadi manis. Tidak adanya insulin juga dapat menyebabkan terjadinya penguraian lemak dalam sel, yang melepaskan keton-keton ke dalam darah. Keton menyebabkan darah bersifat asam, dengan gejala berupa mual, muntah, dan sakit pada perut. Apabila tidak segera mendapatkan pengobatan, penderita akan dengan cepat mengalami koma bahkan meninggal. Komplikasi kronik lain dari DM berkaitan dengan penyakit-penyakit pembuluh darah (kardiovaskular) dan biasanya diklasifikasikan menjadi penyakit pembuluh darah kecil, yang termasuk mata, ginjal dan syaraf (penyakit mikrovaskular) dan penyakit pembuluh darah besar, yang melibatkan jantung (penyakit makrovaskular). Penyakitpenyakit ini disebabkan oleh tingginya kadar lipid dalam darah pada penderita diabetes, yang memicu terjadinya reaksi oksidasi lipid yang akan menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas merupakan senyawa yang sangat reaktif dan mampu menimbulkan berbagai penyakit, seperti kanker, dan aterosklerosis. Pembentukan radikal bebas dapat dihambat dan dikurangi oleh senyawa antioksidan melalui proses antioksidasi. Dengan demikian, penyakit pembuluh darah harus disadari sebagai komplikasi diabetes yang penting, dan manajemennya merupakan bagian penting dari rencana pengobatan untuk penderita diabetes. Sampai saat ini, diabetes termasuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Meskipun demikian, telah ada terapi untuk mengendalikan kadar gula darah untuk menghindari komplikasi penyakit yang mematikan. Biasanya para dokter spesialis diabetes akan memberikan obat anti diabetes oral (diminum) dan menyarankan penderita untuk merubah gaya hidup menjadi lebih banyak bergerak (olahraga). Akan tetapi, pengobatan insulin yang intensif memerlukan biaya yang besar dan risiko efek samping yang berbahaya. Mahalnya biaya pengobatan diabetes inilah yang memicu para ahli untuk mencari obat alternatif yang dapat dijangkau oleh masyarakat serta tidak memiliki efek samping yang membahayakan. Salah satu tanaman yang telah digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam pengobatan diabetes adalah daun salam. Sayangnya sampai saat ini penelitian mengenai daun
12
salam terbatas hanya pada khasiatnya sebagai senyawa antidiabetes. Seharusnya pengobatan diabetes tidak hanya terfokus pada pengontrolan glukosa darah, melainkan harus memperhatikan faktor risiko lain yang ditimbulkan oleh kondisi diabetes. Pada penderita diabetes, faktor risiko seperti penyakit pembuluh darah dan peningkatan kadar lipid dalam darah (hiperlipidemia) memiliki lebih sekedar dari efek tambahan sehingga pengobatannya menjadi bagian penting dari pengobatan diabetes. Oleh karena itu, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum adanya penelitian ilmiah yang membuktikan khasiat antioksidasi dari ekstrak daun salam pada tikus hiperglikemia dan hiperkolesterolemia. Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi antioksidasi ekstrak daun salam pada tikus hiperkolesterolemia dan hiperglikemia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah informasi ilmiah mengenai pemanfaatan daun salam sebagai antioksidan sehingga dapat dijadikan dasar pengembangan tanaman salam menjadi fitofarmaka.
TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus dan Hiperglikemia Diabetes melitus (DM) atau penyakit kencing manis adalah suatu gejala kelainan dalam tubuh yang ditandai dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah dan adanya gula dalam air seni. Seseorang dapat menderita penyakit DM karena berbagai faktor, antara lain keturunan (genetis), obesitas (kegemukan), pola makan (diet), malnutrisi, kehamilan serta lingkungan (Tjokroprawiro 1989)). Penyakit ini dinamai diabetes karena terjadinya diuresis berlebihan pada penyakit ini. Aretaeus, seorang dokter Cappadocia pada abad kedua sebelum Masehi menulis bahwa nama diabetes digunakan untuk gangguan ini karena seolah-olah disertai pengeluaran air yang mengalir. Dengan intuisi yang baik ia mengemukakan sifat diabetes sebagai “being a melting-down of the flesh and limbs into urine”. Sedangkan melitus berasal dari bahasa latin, yang berarti “dibuat manis dengan madu”, menunjukkan adanya gula dalam urin pasien penyakit ini (Stryer 1995). Menurut WHO, ada 3 jenis diabetes mellitus yaitu tipe 1, tipe 2 dan diabetes gestasional (terjadi selama kehamilan). Diabetes tipe 1 disebabkan pankreasnya rusak
sehingga membutuhkan penyuntikan insulin, sedangkan tipe 2 yang disebabkan sekresi insulin menjadi berkurang dapat diatasi dengan pengobatan oral (obat yang diminum) dan hanya membutuhkan insulin bila obatnya tidak efektif. Terakhir, diabetes mellitus pada kehamilan yang umumnya akan sembuh dengan sendirinya setelah persalinan. Dari tiga tipe diabetes, ternyata diabetes tipe 2 merupakan penyebab kematian terbanyak kelima setelah infeksi, penyakit jantung, kanker dan kecelakaan. Dari seluruh kasus, ternyata diabetes tipe 2 menempati porsi terbanyak yaitu sebesar 95%. Diabetes tipe 2 ini termasuk penyakit yang diturunkan secara genetik dalam keluarga. Namun, faktor genetik saja tidak cukup. Ada faktor life style yang memiliki andil cukup besar dalam membuat seseorang menderita diabetes tipe 2. Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Gejala yang sering timbul pada penderita DM antara lain sering haus, sering buang air kecil, kesemutan, penglihatan kabur, banyak makan tetapi berat badan menurun, gatal-gatal, gairah seks menurun serta merasa cepat lelah dan mengantuk (Purwakusuma 2003). Perubahan ini disebabkan oleh ekskresi glukosa dalam jumlah besar ke dalam air seni, kondisi ini diketahui sebagai glukosuria. Diabetes biasanya menunjukkan konsentrasi glukosa abnormal yang tinggi dalam darah, kondisi ini disebut hiperglikemia. Hiperglikemia adalah suatu keadaan konsentrasi glukosa yang sangat tinggi dalam darah hingga melebihi normal. Hiperglikemia terjadi karena defisiensi insulin absolut atau relatif. Defisiensi insulin akan menyebabkan gangguan proses biokima dalam tubuh yaitu menurunnya pemasukan glukosa ke dalam sel dan peningkatan pelepasan glukosa dari hati ke dalam sistem sirkulasi. Hiperglikemia juga dapat terjadi karena stress (Willrad et al., 1994). Penyakit DM dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan glukosa darah atau urin. Pemeriksaan glukosa darah spesifik dilakukan dalam keadaan puasa (8-10 jam setelah makan). Konsentrasi glukosa darah puasa pada orang normal berkisar antara 70120 mg/dL. Konsentrasi di atas bisa bertambah tinggi pada keadaan setelah makan, yaitu 180 mg/dL dan akan kembali normal dalam waktu 2 jam. Apabila hasil dua kali pemeriksaan pada waktu yang berbeda menunjukkan konsentrasi glukosa darah puasa
13
lebih dari 140 mg/dL maka seseorang dapat didiagnosis menderita DM (Mathur et al., 2003). Pramono (1989) melaporkan bahwa konsentrasi glukosa darah normal tikus adalah 50-135 mg/dL. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan filtrasi glukosa oleh glomerulus ginjal sehingga ambang batas ginjal terlewatkan (Baron 1984). Hal ini mendorong tingginya pengeluaran glukosa ke dalam urin (glukosuria). Glukosuria menginduksi diuresis osmotik yang mendorong penderita menjadi banyak urinasi (poliuria) sehingga dapat menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi menyebabkan hiperosmolaritas akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah dan cairan interstisial. Hal ini cenderung mengurangi air intrasel yang sangat penting pada osmoreseptor dari pusat haus di otak. Kondisi ini mendorong penderita untuk banyak minum (Cotran et al., 1995). Kehilangan cairan tubuh secara berlebihan akan menyebabkan kerusakan otak secara permanen, koma bahkan dapat menyebabkan kematian (Kapit et al., 1987). Hiperglikemia dapat dibuat pada hewan percobaan melalui pemberian zat yang dapat meningkatkan konsentrasi glukosa darah seperti aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidina; 5,6-dioksiurasil). Penderita diabetes melitus juga memperlihatkan peningkatan konsentrasi lipid darah. Peningkatan konsentrasi lipid ini disebabkan karena peningkatan katabolisme lemak dari depot lemak dan penurunan aktivitas lipoprotein lipase karena defisiensi insulin. Lipoprotein lipase adalah enzim yang aktivitasnya tergantung insulin dan berperan dalam menghidrolisis triasilgliserol dari kilomikron dan VLDL serta membawa asam lemak ke dalam otot dan jaringan lemak. Aktivitas enzim ini umumnya menurun pada penderita diabetes melitus dan ditandai dengan terjadinya peningkatan konsentrasi lipid darah (Stryer 1995). Pengobatan diabetes melitus dapat dilakukan secara modern dan tradisional. Menurut mekanisme kerjanya Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu : (1) OHO sebagai penghambat absorpsi karbohidrat di usus, (2) OHO sebagai perangsang sekresi insulin sel pankreas, yang terdiri dari golongan sulfonilurea dan nonsulfonilurea, (3) OHO sebagai penghambat produksi glukosa dari hati, dan (4) OHO yang meningkatkan pengambilan glukosa (glucose uptake), yang bekerja memerlukan insulin dan yang tanpa adanya insulin.
Salah satu obat golongan sulfonilurea yang sering dipakai dalam pengobatan diabetes adalah glimepiride. Obat ini bekerja terutama menurunkan kadar glukosa darah dengan merangsang sekresi insulin dari sel pankreas. Efek samping yang ditimbulkan oleh obat golongan sulfonilurea adalah menyebabkan hipoglikemia berat. Oleh karena itu pemilihan pasien, dosis, dan instruksi yang tepat sangat penting untuk menghindari kejadian hipoglikemia. Selain itu, risiko hipoglikemia akan meningkat pada pemberian glimepiride bersama-sama dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Daya kerja glimepiride akan menurun jika diberikan bersamaan dengan obat-obat yang cenderung menimbulkan hiperglikemia. Obat lainnya yang sering dipakai dalam terapi diabetes adalah pioglitazone, yang termasuk ke dalam golongan thiazolidinedione. Pioglitazone bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan target, seperti menurunkan glukoneogenesis di hati. Pengobatan tradisional untuk mengobati diabetes lebih didasarkan kepada pengalaman dan kebiasaan, sehingga mekanisme kerjanya belum dapat dijelaskan secara ilmiah. Dalam pengobatan tradisional biasanya penderita diabetes mengkonsumsi bagian tanaman seperti daun, batang, akar atau buah tanaman tertentu dengan dosis dan cara pembuatan yang tergantung pada pengetahuan empiris. Widowati et al. (1997) melaporkan bahwa terdapat 46 jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai obat antidiabetes. Namun baru 16 jenis tanaman yang diteliti secara ilmiah, diantaranya adalah daun salam, bawang putih, tapak dara, dan sambiloto. Disamping harganya yang murah dan mudah untuk mendapatkannya, pengobatan tradisional memiliki efek samping yang lebih ringan bila dibandingkan dengan obat sintesis. Kelemahan dalam pengobatan tradisional adalah rasa atau aroma yang ditimbulkannya dapat membuat penderita tidak ingin mengkonsumsinya. Selain melakukan pengobatan, perubahan pola hidup berpengaruh besar terhadap keberhasilan terapi diabetes. Mengurangi makanan berlemak, tidak mengkonsumsi alkohol dan tidak merokok, yang disertai dengan olah raga teratur akan mengoptimalkan hasil pengobatan yang telah dilakukan. Radikal Bebas dan Peroksidasi Lipid Oksidasi dan Reduksi Oksidasi didefinisikan sebagai suatu proses yang mengakibatkan hilangnya satu
14
elektron atau lebih dari dalam zat (atom, ion atau molekul). Bila suatu unsur dioksidasi, muatan unsur tersebut akan berubah menjadi lebih positif. Berbeda dengan oksidasi, reduksi adalah suatu proses yang mengakibatkan diperolehnya satu elektron atau lebih oleh zat (atom, ion atau molekul). Oleh karena itu, bila suatu unsur direduksi maka muatan unsur tersebut akan berubah menjadi lebih negatif. Berdasarkan sejarahnya, istilah oksidasi diterapkan untuk proses diambilnya oksigen oleh suatu zat. Oleh karena itu, reduksi dianggap sebagai proses diambilnya oksigen dari dalam suatu zat. Disamping itu, penangkapan hidrogen juga disebut reduksi, sehingga kehilangan hidrogen harus disebut oksidasi. Oksidasi dan reduksi selalu berlangsung dengan serempak. Hal ini sangat jelas, karena elektron yang dilepaskan oleh suatu zat harus diambil oleh zat yang lain (Svehla 1990). Oksidator adalah zat yang memperoleh elektron dan dalam reaksinya zat ini direduksi. Sedangkan reduktor merupakan zat yang kehilangan elektron dan dalam prosesnya zat ini dioksidasi (Svehla 1990). Jika suatu reagen berperanan sebagai oksidator dan reduktor secara bersamaan, maka dikatakan zat tersebut mengalami autooksidasi (Khopkar 1990). Radikal Bebas Bagi manusia, oksigen adalah zat yang penting sekaligus toksik. Struktur oksigen dapat menyebabkan terbentuknya radikal oksigen dan spesies oksigen reaktif yang mampu menyebabkan cedera sel. Metabolit oksigen yang utama yang dihasilkan melalui reduksi satu-elektron oksigen adalah spesies oksigen reaktif (ROS); superoksida (O2-); radikal bebas hidroksil (OH-), dan hidrogen peroksida (H2O2). Suatu radikal, berdasarkan definisi adalah suatu atom yang memiliki sebuah elektron tidak berpasangan di orbital sebelah luar. Zat ini sangat reaktif dan dapat mencetuskan reaksi berantai dengan mengekstraksi sebuah elektron dari molekul di dekatnya untuk melengkapi orbitalnya sendiri. Radikal bebas mampu bereaksi tanpa pandang bulu dengan setiap molekul yang berkontak dengannya, menarik elektron, dan membentuk radikal bebas yang baru (Marks et al. 1996). Terdapat sejumlah cara pembentukan radikal, di antaranya adalah fotolisis, termolisis, dan reaksi redoks (Sykes 1989). Pembentukan radikal bebas lemak dan peroksida lemak dianggap sebagai suatu ciri penting dalam cedera sel yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. Jenis reaksi ini
disebut auto-oksidasi radikal bebas. Asam lemak utama yang mengalami peroksidasi lemak di dalam membran sel adalah asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid, PUFA). Berbagai reaksi yang melibatkan radikal banyak terjadi dalam bentuk gas. Reaksi radikal juga berlangsung dalam larutan, terutama jika dilakukan dalam pelarut nonpolar serta jika terkatalisis oleh cahaya. Ciri khas lainnya adalah reaksi-reaksi radikal berlangsung amat cepat sehingga hanya memerlukan sedikit energi. Radikal bereaksi dengan halogen membentuk trifenilmetil halida atau dengan oksigen dari udara membentuk peroksida (semua radikal mudah bereaksi dengan oksigen dari udara) (Sykes 1989). Peroksidasi Lipid Auto-oksidasi (oksidasi-diri) adalah oksidasi dengan suhu rendah pada berbagai senyawa organik oleh oksigen. Peristiwa ini melibatkan reaksi rantai radikal. Pada tahap awal reaksi biasanya terjadi pembentukan hidroperoksida. Hidroperoksida yang mulamula terbentuk seringkali mengalami reaksi lebih lanjut. Penguraian bertahap kebanyakan senyawa organik yang terkena udara dan cahaya matahari adalah akibat oksidasi-diri karena peka terhadap cahaya. Oksidasi-diri dapat diawali oleh ion logam, cahaya serta oleh radikal. Oksidasi-diri bukan saja menjadi penyebab kerusakan makanan (ketengikan) tetapi juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh secara in vivo sehingga menimbulkan berbagai penyakit, antara lain kanker, inflamasi, aterosklerosis, dan proses menua. Efek yang merusak ini ditimbulkan oleh radikal bebas (ROO•, RO•, OH•) yang dihasilkan saat pembentukan peroksida dari asam lemak yang mengandung ikatan rangkap yang diselingi gugus metilena, yaitu ikatan yang ditemukan dalam asam lemak tak jenuh ganda yang ada di alam (Murray 2003). Reaksi peroksidasi lipid dimulai dengan pemisahan sebuah atom hidrogen oleh radikal bebas dari suatu grup metilena (-CH2) PUFA. Reaksi ini menghasilkan pembentukan suatu radikal karbon pada PUFA. Radikal karbon distabilkan melalui suatu pengaturan ulang ikatan rangkap yang menghasilkan pembentukan diena terkonyugasi. Bila diena terkonyugasi bereaksi dengan O2 maka akan terbentuk radikal peroksi lipid. Selanjutnya radikal peroksi lipid ini akan membentuk lipid peroksida. Radikal peroksi lipid ini dapat juga
15
menghilangkan sebuah atom hidrogen dari molekul lipid lain yang berdekatan untuk membentuk hidroperoksida lipid dan juga membentuk radikal karbon lain. Bila radikal karbon lain ini bereaksi lagi dengan oksigen maka reaksi peroksidasi lipid akan terus berlanjut. Pembentukan enderoperoksida lipid pada PUFA yang mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap akan mendorong pembentukan malondialdehida (MDA) sebagai produk dari reaksi peroksidasi (Murray 2003). Konsentrasi lipid peroksida diukur dengan metode asam tiobarbiturat (TBA) yang akan mengukur adanya MDA sebagai produk reaksi peroksidasi lipid. TBA akan bereaksi dengan gugus karbonil dari MDA, yaitu satu molekul MDA akan berikatan dengan dua molekul TBA. Konsentrasi lipid peroksida yang berlebih pada darah maupun organ dapat mengakibatkan berbagai penyakit degeneratif. Bila konsentrasi lipid peroksida di hati meningkat maka lipid peroksida ini dapat keluar dari hati menuju pembuluh darah dan akan merusak organ atau jaringan lain. Pada manusia, konsentrasi lipid peroksida akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi konsentrasi normalnya yaitu 4 nmol/mL (Yagi 1994). Hiperkolesterolemia, Lipid Peroksida, dan Aterosklerosis Hiperkolesterolemia adalah suatu keadaan tingginya konsentrasi kolesterol dalam darah. Menurut Grundy (1991), ada tiga tingkatan kolesterol dalam serum manusia, yaitu kolesterol serum normal dengan kolesterol total < 200 mg/dL, kolesterol borderline (BHC) dengan kolesterol total 200-239 mg/dL dan kolesterol serum tinggi. Kolesterol serum tinggi pada manusia dapat menyebabkan kondisi hiperkolesterolemia sedang (240-289 mg/dL) dan hiperkolesterolemia berat (> 290 mg/dL). Pramono (1989) melaporkan bahwa konsentrasi kolesterol normal tikus berkisar antara 40-130 mg/dL. Hiperkolesterolemia dapat terjadi akibat penurunan laju katabolisme LDL dan pengayaan LDL dengan ester kolesterol. Konsentrasi kolesterol manusia akan tetap tinggi walaupun tanpa konsumsi makanan dari luar, hal ini disebabkan adanya kelainan yang terjadi pada spesies manusia (species defect) (Grundy 1991). Penyebabnya adalah hanya sekitar 3040% kolesterol yang diubah menjadi asam empedu sehingga konsentrasi kolesterol darah tetap tinggi. Faktor lain yang menyebabkan
hiperkolesterolemia adalah konsumsi makanan tinggi kolesterol dan asam lemak jenuh serta kondisi menopause pada wanita. Tingginya konsentrasi kolesterol disebabkan juga oleh kondisi hiperlipidemia, yaitu suatu keadaan meningkatnya konsentrasi lipid darah yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi triasilgliserol darah, konsentrasi LDL serta konsentrasi kolesterol. Hiperkolesterolemia dapat dibuat pada beberapa hewan dengan menambahkan lemak dan kolesterol dalam makanannya yang disebut dengan induksi eksogen. Tikus putih jantan galur Sprague Dawley umur 2.5 bulan dengan rataan bobot badan 285.83 gram mengalami peningkatan konsentrasi kolesterol darah sebesar 181.40% setelah diberi diet kolesterol 12.5% selama 7 hari (Nofendri 2004). Hiperkolesterolemia dapat juga dibuat secara endogen melalui pemberian propiltiourasil (PTU) (Gambar 1). Propiltiourasil merupakan zat antitiroid yang mampu meningkatkan konsentrasi kolesterol darah secara endogen dengan merusak kelenjar tiroid. Propiltiourasil akan menimbulkan hipotiroidisme yang dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi LDL plasma akibat penurunan katabolisme LDL. Penyebabnya yaitu pada kondisi hipotiroid terjadi penurunan sintesis dan ekspresi reseptor LDL di hati, sehingga LDL banyak beredar di plasma dan menjadi penyebab hiperkolesterolemia (Salter et al., 1991). Propiltiourasil (1,2-dihidro-6-propil-2tioksopirimidin-4-on) memiliki bobot molekul 170.23 dengan ciri-ciri berwarna putih atau kuning muda, tidak berbau dan mempunyai rasa yang pahit. Senyawa PTU sangat sukar larut dalam air dan agak sukar larut dalam etanol 95% tetapi larut dalam larutan alkali hidroksida. Dosis maksimum pemberian PTU dalam sehari adalah 600 mg, dengan dosis maksimum untuk sekali makan sebesar 250 mg (Dhawan 1997).
Gambar 1 Propiltiourasil (1,2-dihidro-6propil-2-tioksopirimidin-4-on)
16
Konsentrasi LDL yang tinggi pada hiperkolesterolemia akan menyebabkan aterosklerosis sehingga hiperkolesterolemia dikatakan sebagai faktor resiko dari aterosklerosis. Aterosklerosis adalah penyakit dengan penimbunan plak pada intima arteri karena akumulasi ester kolesterol (Cotran et al., 1999). Penimbunan plak akan menyebabkan penyempitan intima arteri sehingga pembuluh darah tidak lagi berbentuk bulat dan luas penampangnya mengecil. Dengan kondisi ini, pembuluh darah tidak lagi elastis sehingga aliran darah menjadi tidak lancar maka aterosklerosis dapat menimbulkan penyakit jantung koroner dan pendarahan otak (Pratanu 1995). Lipid peroksida yang berlimpah juga mendorong proses asterosklerosis melalui oksidasi LDL yang dirangsang oleh radikal bebas. Proses modifikasi oksidatif LDL melibatkan semua komponennya termasuk fosfolipid, asam lemak, kolesterol dan apolipoprotein. LDL yang teroksidasi ini tidak akan dikenali lagi oleh reseptor LDL namun akan dikenali oleh reseptor scavenger dari makrofag. Hal ini menyebabkan terbentuknya sel busa yang terjadi karena akumulasi ester kolesterol dari LDL pada makrofag (Stryer 1995). Hewan Model dan Senyawa Penginduksi Hiperglikemia Hewan model DM adalah hewan laboratorium yang memiliki respon alami ataupun respon buatan dan mempunyai sifat atau karakteristik yang mirip (sebagian atau keseluruhan) dengan DM yang terjadi pada manusia (Jayo di dalam Widyastuti 2000). Faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan hewan model diantaranya harga, kemudahan memperoleh, perawatan dan kemiripan dengan manusia (anatomi, fisiologi dan kedekatan genetik). Penelitian ini menggunakan tikus putih Sprague Dawley jantan, berumur 6 bulan, mempunyai aktivitas normal, memiliki bobot badan (BB) berkisar antara 100-250 gram dan sehat sebagai hewan model. Pemilihan hewan model ini karena kemudahan dalam memperoleh dan merawatnya. Kelemahan tikus sebagai hewan model yaitu umur hidup yang pendek sehingga tidak bisa digunakan untuk mempelajari DM jangka panjang. Hewan lainnya yang sering digunakan sebagai hewan model DM adalah satwa primata, kelinci dan mencit. Satwa primata merupakan hewan model yang bagus untuk DM karena mempunyai jangka hidup yang
relatif lama dan memiliki kemiripan anatomi, fisiologi dan kedekatan genetik dengan manusia sehingga peluang keberhasilan dan aplikasi penelitian pada manusia akan lebih besar (Wagner et al., 1996). Kondisi hiperglikemia pada hewan coba dapat dibuat dengan cara induksi menggunakan senyawa kimia. Penginduksi yang biasa digunakan dalam membuat model DM adalah aloksan dan streptozotocin (STZ). Senyawa STZ merupakan senyawa glukosilnitrosurea dan mampu memberikan pengaruh yang sama dengan aloksan, yaitu mengakibatkan kerusakan sel β pankreas. Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidina; 5,6dioksiurasil) bersifat hidrofilik dan merupakan senyawa yang tidak stabil. Memiliki waktu paro pada pH netral dan suhu 37 ˚C sekitar 1.5 menit dan semakin meningkat pada suhu rendah (Lenzen & Munday di dalam Szkudelski 2001). Pemberian aloksan (Gambar 2) secara intervena maupun intraperitoneal mengakibatkan diabetes permanen tidak hanya pada tikus tetapi juga pada kelinci dan monyet dengan dosis yang berbeda untuk setiap jenis spesies yang berbeda Dhawan (1997). Salam Salam mempunyai nama latin Eugenia polyantha (Wight) sinonim Syzigium polyanthum (Wight) dan termasuk ke dalam famili Myrtaceae. Di Sumatera dikenal sebagai ubar serai sedangkan di Jawa disebut gowok (Sunda), salam (Jawa dan Madura). Tumbuhan ini tumbuh liar di hutan dan pegunungan, atau ditanam di pekarangan dan sekitar rumah. Salam dapat ditemukan dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1.800 m di atas permukaan laut. Pohon salam bertajuk rimbun, tinggi mencapai 25 m, berakar tunggang dan berbatang bulat dengan permukaan yang licin. Daun tunggal, letak berhadapan, bertangkai yang panjangnya 0.5-15 cm dengan lebar 3-8 cm, pertulangan menyirip, permukaan atas licin berwarna hijau tua, permukaan bawah warnanya hijau muda.
Gambar 2 Aloksan
17
Daun salam bila diremas berbau harum (Gambar 3). Bunganya bunga majemuk tersusun dalam malat yang keluar dari ujung ranting, warnanya putih, baunya harum. Buahnya buah buni, bulat, diameter 8-9 mm, warnanya bila muda hijau, setelah masak menjadi merah gelap, rasanya agak sepat. Biji bulat, penampang sekitar 1 cm, warnanya coklat. Kulit pohonnya dipakai sebagai bahan pewarna jala atau anyaman bambu. Perbanyakan tumbuhan ini dengan biji, cangkok atau stek (Hembing 1996). Daunnya yang memiliki bau sedap yang khas dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai penyedap, pewangi atau bumbu masak, baik dalam keadaan segar maupun sudah dikeringkan. Aroma yang ada pada daun salam disebabkan adanya minyak atsiri yang merupakan campuran kompleks dari bahanbahan hayati, termasuk di dalamnya adalah aldehida, alkohol, ester, keton dan terpen. Daun dan kulit batang salam mengandung saponin dan flavonoid, polifenol dan tanin. Flavonoid merupakan senyawa fenol terbanyak yang ditemukan di alam. Flavonoid ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi, tetapi tidak dalam mikro organisme. Senyawa ini menjadi zat berwarna merah, ungu, biru dan kuning dalam tumbuhan. Selain digunakan sebagai bumbu masak, daun salam juga dikenal oleh masyarakat kita sebagai salah satu obat tradisional. Daun salam berkhasiat dalam mengobati diare, kencing manis, darah tinggi, maag, kudis, gatal, dan diabetes. Pada mulanya, penggunaan daun salam sebagai obat hanya berdasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang diwariskan secara turuntemurun. Untuk memperoleh informasi yang lebih pasti dan ilmiah maka berbagai penelitian dilakukan sehingga khasiatnya dapat dibuktikan. Selain harganya yang murah dan mudah untuk mendapatkannya, pemilihan daun salam dalam penelitian ini karena daun salam secara tradisional telah digunakan oleh masyarakat sebagai antidiabetes.
Maryati (1989) melaporkan bahwa ekstrak air daun salam memiliki efek hipoglikemik. Dalam penelitian tersebut ekstrak air daun salam diberikan secara oral pada tikus diabetes tidak tergantung insulin (DMTTI) dan tergantung insulin (DMTI) dengan dosis 5.5 g/kg bb. Efek hipoglikemik ekstrak air daun salam diuji mengikuti metoda uji toleransi glukosa oral atau UGTO dengan menetapkan kadar glukosa darah pada menit ke 0; 15; 30; 45; 60; 120 dan 180 setelah pcmberian glukosa baik pada tikus DMTTI maupun DMTI, yang sebelumnya telah mendapat pra perlakuan ekstrak air daun salam atau kontrol positif. Setelah dianalisis secara statistik mengikuti analisis varian satu jalan dan uji Tukey dengan taraf kepercayaan 95%, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tikus DMTTI ekstrak air daun salam 5,5 g/kg bb secara oral mampu menurunkan konsentrasi glukosa darah sebesar 27,60%. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sayekti (1994) melaporkan bahwa pada dosis 4 g setara bahan segar/200 g BB, ekstrak etano70% daun salam menunjukkan aktivitas hipoglikemik dan aktivitas hipoglikemiknya lebih kuat dibandingkan ekstrak herba bulu lutung. Pada penelitian tersebut digunakan tikus putih jantan galur Wistar hiperglikemik aloksan. Zanubia (1994) melaporkan bahwa campuran ekstrak total etanol 95% dan air daun salam dosis setara daun salam kering 2,04 g/kg BB mampu menurunkan konsentrasi glukosa darah pada tikus diabetik secara bermakna (p>0.05). Penetapan konsentrasi glukosa darah dilakukan secara spektrofotometri dengan metode ortho toluidin. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan mctode Anova 2 jalan dan dilanjutkan uji t dcngan taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran ekstrak total etanol 95% dan air daun salam mampu menurunkan konsentrasi glukosa darah secara bermakna (p<0,05) pada tikus diabetik. Hasil analisis kandungan kimia menunjukkan adanya golongan saponin, triterpen, flavonoid, tanin dan polifenol dalam ekstrak daun salam.
BAHAN DAN METODE
Gambar 3 Daun salam (Eugenia polyantha (Wight))
Bahan dan Alat Hewan coba yang digunakan adalah 15 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley, diperoleh dari Fakultas Peternakan Institut
18
Pertanian Bogor saat berumur 2 bulan dengan bobot badan 100-150 gram. Sebelum percobaan, hewan coba dipelihara selama 6 bulan sehingga umur tikus yang digunakan pada saat perlakuan adalah 8 bulan dengan bobot badan 200-350 gram. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah serbuk daun salam kering yang berasal dari daun salam segar yang biasa digunakan sebagai bumbu masakan (tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua). Bahan untuk uji TBA adalah asam sulfat 0.083N, asam fosfotungstat 10%, asam tiobarbiturat 1%, n-butanol:piridin (15:1 v/v), asam asetat 50%, dan 1,1,3,3tetrametoksipropana (TMP) sebagai larutan standar. Bahan penelitian lainnya adalah propiltiourasil (PTU), pakan tikus standar (dengan komposisi protein 14-15%, lemak 46%, serat kasar 4-6%, dan abu 7-9%), dan pakan kolesterol (pakan standar yang mengandung 1.5% kolesterol) Peralatan yang digunakan adalah oven, mikropipet, neraca analitik, sentrifus klinis dengan rotor merk Hettich universal, microfuge Beckman, pengaduk magnetik, vorteks, penangas air, pH meter, spektrofotometer UV, glukometer merk AccuChek® Active, sonde oral, alat suntik plastik, kandang tikus, alat-alat gelas, dan peralatan ekstraksi. Metode Penelitian Rancangan Percobaan Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap percobaan. Tahap pertama adalah induksi hiperkolesterolemia melalui pemberian pakan kolesterol 1.5% dan propil tiourasil dosis 0.5 mg/kg BB selama 13 minggu. Selanjutnya tahap kedua yaitu induksi hiperglikemia melalui pemberian aloksan dosis tunggal sebesar 150 mg/kg BB secara intraperitoneal (Salim 2006). Kemudian tahap ketiga merupakan pemberian ekstrak etanol 70% daun salam dosis setara dengan serbuk daun salam kering sebanyak 2.04 g/kg BB (Zanubia 1994) 1 minggu. Total percobaan dalam penelitian ini adalah 14 minggu. Pada masa induksi hiperkolesterolemia hewan coba dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok hiperkolesterolemia, yang terdiri dari 10 ekor tikus yang mendapatkan induksi hiperkolesterolemia selama percobaan. Kelompok kedua adalah kelompok normokolesterolemia, yang terdiri dari 5 ekor tikus yang pada minggu ke-13 mendapatkan induksi hiperglikemia. Kelompok ini selanjutnya disebut juga kelompok
hiperglikemia. Setelah induksi hiperkolesterolemia, kelompok pertama dibagi menjadi dua kelompok kecil yang terdiri dari 5 ekor tikus. Kedua kelompok tersebut adalah kelompok hiperkolesterolemia yang hanya mendapatkan induksi hiperkolesterolemi dan kelompok hiperkolesterolemia-hiperglikemia yang mendapatkan perlakuan tambahan induksi hiperglikemia pada minggu ke-13 (Gambar 4). Selama percobaan, pengukuran bobot badan tikus dilakukan sekali dalam seminggu, sedangkan konsumsi pakan ditimbang setiap hari. Pakan hewan coba diberikan secara teratur sebanyak 20 g/ekor/hari. Pengambilan darah dilakukan sebanyak 3 kali terhadap semua tikus pada setiap kelompok, yaitu pada minggu ke-0, minggu ke-13, dan minggu ke14 masa percobaan. Selanjutnya dianalisis konsentrasi lipid peroksida darahnya dengan modifikasi metode TBA (Yagi 1968). Ekstraksi dan Dosis Daun Salam Ekstraksi Daun Salam. Serbuk kering daun salam dari Sukabumi yang dikumpulkan oleh Pusat Studi Biofarmaka Bogor diekstrak dengan etanol 70% pada suhu 70 ºC menggunakan metode refluks, dengan cara serbuk kering daun salam sebanyak 50 gram diekstraksi dengan 500 mL etanol 70% selama 2 jam. Ekstraksi dilakukan sebanyak 9 kali. Ekstrak yang diperoleh lalu disaring dengan kertas saring. Ekstrak yang telah disaring kemudian diuapkan menggunakan rotary vapour evaporator pada suhu 40 ºC hingga diperoleh ekstrak kasar sebanyak 16.70 gram, dengan rendemen sebesar 33.4%. Dosis Daun Salam. Dosis yang digunakan setara dengan serbuk daun salam kering sebanyak 2.04 g/kg BB (Zanubia 1994). Diketahui rendemen daun salam sebesar 33.14%, sehingga dosisnya menjadi: 33.14% x 2.04 g/kg BB = 0.68g ekstrak/kg BB Dosis ini akan setara dengan 800 ppm, bila rata-rata volume total darah tikus dengan BB 300 gram adalah 250 ml. Perhitungannya adalah sebagai berikut: 2.04g/kg BB x 300 g = 0.612 g daun salam kering. 33.14% x 0.612 = 0.20 g ekstrak/300 g BB tikus, maka: 0.20 g ekstrak x 106 = 800 ppm. 250 ml
19
pekat. Selanjutnya larutan diukur konsentrasi kolesterolnya dengan spektrofotometer pada λ= 420 nm.
Gambar 4 Rancangan penelitian Penyiapan Pakan Kolesterol (Rachmadani 2001) Pakan kolesterol dibuat dengan komposisi kolesterol 1.5%, lemak kambing 10%, minyak goreng curah 1%, dan pakan standar sampai 100%. Kolesterol pada pakan kolesterol diperoleh dari tepung kuning telur ayam negeri curah. Tepung kolesterol diperoleh dengan cara kuning telur dipisahkan dari putihnya lalu dikukus selama 30 menit. Kuning telur yang telah dikukus kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 50˚C. Setelah kering, kuning telur digerus sampai halus. Berdasarkan analisis kolesterol menggunakan metode Liebermann-Buchard, diperoleh konsentrasi kolesterol pada tepung kuning telur sebesar 91.3 mg/gram tepung kuning telur. Selanjutnya tepung kuning telur diaduk sampai tercampur rata dengan bahan yang lain. Setelah itu dijadikan bentuk pelet seperti bentuk pakan standar menggunakan mesin pencetak pelet. Analisis Konsentrasi Kolesterol Kuning Telur Metode Liebermann-Buchard (Kaplan & Pesce, 2002) Sebanyak 0,02 g kuning telur dilarutkan dengan alkohol-eter (3:1) dalam tabung yang bertutup rapat kemudian dikocok kuat selama 3 menit dan dibiarkan selama 30 menit. Larutan tersebut kemudian disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 1600 g. Supernatan yang dihasilkan dipindahkan kemudian diuapkan pada penangas mendidih sampai supernatan kering. Residu yang terbentuk dilarutkan dalam kloroform hingga volume 5 mL. Setiap tabung ditambahkan 2 mL asetat anhidrida dan 0,1 mL asam sulfat pekat kemudian dikocok kuat. Setelah itu tabung disimpan dalam ruang gelap selama 15 menit hingga terbentuk larutan berwarna merah muda. Kepekatan warna yang terbentuk sesuai dengan konsentrasi kolesterolnya. Semakin tinggi konsentrasi kolesterolnya maka warna yang dihasilkan akan semakin
Pengambilan Darah Hewan Tikus dipuasakan ± 16 jam sebelum dilakukan pengambilan darah. Pengambilan darah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu sebelum percobaan (minggu ke-0), sebelum pemberian ekstrak daun salam, dan setelah pemberian ekstrak daun salam. Pengambilan darah dilakukan dengan cara bagian ujung ekor tikus dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian dipotong kira-kira 5 mm lalu diurut perlahan-lahan sampai darahnya keluar. Darah yang diambil dari setiap ekor tikus berkisar antara 1-1.5 mL. Darah yang diperoleh ditampung pada vial 2 mL. Setelah didiamkan pada suhu ruang selama 60 menit, darah disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 1800 g. Kemudian supernatan yang diperoleh berupa serum dipisahkan dari peletnya menggunakan pipet tetes. Rata-rata serum yang diperoleh dari hasil sentrifus adalah 0.5 mL. Analisis Konsentrasi Kolesterol Darah Metode CHOD-PAP Konsentrasi kolesterol darah dianalisis dengan metode CHOD-PAP menggunakan kit yang dibuat oleh Dyasis®. Konsentrasi kolesterol darah diukur sebanyak 3 kali, yaitu sebelum percobaan (minggu ke-0), setelah induksi hiperkolesterolemia (minggu ke-13), dan setelah pemberian ekstrak daun salam (minggu ke-14 masa percobaan). Disediakan tabung reaksi masing-masing untuk serum, standar dan blanko sebagai berikut:
Setiap tabung dikocok selama satu menit, kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu 25 ˚C. Warna merah muda yang terbentuk pada larutan dibaca serapannya dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 492 nm. Penentuan konsentrasi kolesterol darah awal dan akhir dilakukan secara terpisah, menggunakan serum yang telah disimpan selama 1-7 hari dalam lemari pendingin
20
Analisis Konsentrasi Lipid Peroksida Darah Metode Uji TBA (Yagi et al., 1968) Kurva standar. Kurva standar dibuat dengan menggunakan larutan 1,1,3,3tetrametoksipropana (TMP) sebagai larutan standar. Dari stok TMP dibuat pengenceran pada berbagai konsentrasi yaitu 0.15, 0.3, 0.6, 1.5, 3.0, dan 6.0 µM. Masing-masing konsentrasi dipipet sebanyak 4 mL ke dalam tabung reaksi bertutup (untuk blanko digunakan 4 mL akuades). Masing-masing diberi penambahan 1 mL TBA 1.0% dalam pelarut asam asetat 50%, dipanaskan di penangas air mendidih dengan suhu 95 ˚C selama 60 menit lalu didinginkan pada suhu ruang, pada masing-masing tabung diberi 1 mL akuades dan 5 mL n-butanol:piridin (15:1 v/v), divorteks, disentrifus pada kecepatan 1600 g selama 15 menit dan diambil lapisan atas (fase organik). Kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 532 nm (panjang gelombang maksimum). Penentuan konsentrasi lipid peroksida darah. Analisis konsentrasi lipid peroksida darah sebelum dan setelah pemberian ekstrak daun salam dilakukan secara bersamaan sehingga terjadi perbedaan umur serum. Konsentrasi lipid peroksida darah diukur sebanyak 3 kali, yaitu sebelum percobaan (minggu ke-0), setelah induksi hiperkolesterolemia (minggu ke-13), dan setelah pemberian ekstrak daun salam (minggu ke-14 masa percobaan). Konsentrasi lipid peroksida minggu ke-0 diukur menggunakan serum yang telah disimpan selama 15 minggu dalam lemari pendingin. Penentuan lipid peroksida darah minggu ke-13 diukur menggunakan serum yang telah disimpan selama 3 minggu sedangkan penentuan konsentrasi lipid peroksida minggu ke-14 diukur menggunakan serum yang telah disimpan selama 2 minggu dalam lemari pendingin. Ke dalam tabung gelas sentrifus ditambahkan 0.6 mL serum. Kemudian ke dalam tabung ini ditambahkan 4.0 mL N/12 H2SO4 lalu dikocok kuat. Selanjutnya ditambah 0.5 mL asam fosfotungstat 10%. Setelah itu campuran dibiarkan pada suhu ruang selama 5 menit lalu disentrifus pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Endapan yang dihasilkan dilarutkan dalam 4.0 mL air destilasi dan 1.0 mL reagen TBA, lalu dipanaskan di penangas air mendidih dengan suhu 95 ˚C selama 60 menit lalu didinginkan pada suhu ruang. Kemudian ke dalam masingmasing tabung diberi 1 mL akuades dan 5 mL n-butanol:piridin (15:1 v/v), divorteks, disentrifus pada kecepatan 1600 g selama 15
menit dan diambil lapisan atas (fase organik) yang berwarna merah muda untuk diukur serapannya pada panjang gelombang 532 nm. Pengukuran Glukosa Darah Konsentrasi glukosa darah tikus diukur menggunakan glukometer merek Accu-Chek® Active (Gambar 5) dengan cara setetes darah tikus yang berasal dari ujung ekor diteteskan pada strip glukosa yang telah dimasukkan ke dalam glukometer. Sebelumnya pada glukometer dilakukan penyesuaian kode yang tertera pada kemasan strip glukosa. Setelah darah diteteskan pada strip, ditunggu ± 5 detik untuk menunggu hasil pembacaan nilai konsentrasi glukosa darah oleh glukometer. Nilai yang tertera pada glukometer merupakan nilai konsentrasi glukosa darah tikus dengan satuan mg/dL. Konsentrasi glukosa darah diukur sebanyak 3 kali, yaitu sebelum percobaan (minggu ke-0), 72 jam setelah pemberian aloksan (minggu ke-13), dan setelah pemberian ekstrak daun salam (minggu ke-14 masa percobaan). Pengukuran glukosa darah tikus dilakukan setelah tikus dipuasakan selama ± 16 jam.
Gambar 5 Accu-Chek® Active Analisis Statistik (Mattjik & Sumertajaya 2000) Hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor. Model rancangan tersebut adalah:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan: Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k. µ, αi, dan β j = komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor A, dan pengaruh utama faktor B. αβ)ij = komponen interaksi dari faktor A dan faktor A. εijk = pengaruh acak yang menyebar normal (O, σ2).
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Masa Induksi Hiperkolesterolemia Kelompok Hiperkolesterolemia Bobot Badan. Pada awal masa pemeliharaan (umur tikus 2 bulan) rata-rata bobot badan hewan coba kelompok hiperkolesterolemia sebesar 137 ± 13.59 gram, sedangkan setelah 6 bulan masa pemeliharaan (umur tikus 8 bulan) bobot badannya meningkat 2 kali lipat secara bermakna menjadi 275 ± 41.70 gram (P<0.05). Peningkatan bobot badan tersebut karena umur tikus yang masih muda (<6 bulan) sehingga bobot badannya masih mengalami pertumbuhan. Tikus dipelihara hingga usia 8 bulan dengan harapan konsentrasi lipid peroksida darahnya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Setelah 13 minggu masa induksi hiperkolesterolemia, bobot badannya mengalami penurunan yang kecil dari 275 ± 41.70 gram pada akhir masa pemeliharaan (minggu ke-0) menjadi 266 ± 22.63 gram pada minggu ke-13 (Tabel 1). Hal ini diduga karena umur tikus yang telah dewasa (>6 bulan) sehingga bobot badannya akan cenderung stabil. Konsumsi Pakan. Rata-rata pakan kolesterol yang dikonsumsi oleh tikus kelompok hiperkolesterolemia selama masa induksi hiperkolesterolemia sebesar 13.96 ± 2.28 gram (Tabel 1). Hasil ini sesuai dengan Pramono (1989), bahwa konsumsi pakan tikus hanya sekitar 10-20 gram/hari. Tabel 1 Rataan konsumsi pakan dan bobot badan (gram) hewan coba kelompok hiperkolesterolemia selama induksi hiperkolesterolemia Minggu ke 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Bobot Badan (gram) 275 ± 43.8 285 ± 48.93 294 ± 42.18 302 ± 36.27 312 ± 45.66 299 ± 39.58 256 ± 47.24 262 ± 38.56 268 ± 44.31 264 ± 42.57 268 ± 41.29 284 ± 43.61 268.5 ± 51.32 266 ± 42.16
Konsumsi Pakan (gram) 17.92 16.03 13.38 15.64 14.80 16.72 17.62 16.32 16.67 16.61 16.68 16.72 12.49
Kolesterol Darah. Konsentrasi kolesterol darah awal diukur pada akhir masa pemeliharaan (minggu ke-0). Berdasarkan hasil analisis, konsentrasi kolesterol darah minggu ke-0 kelompok hiperkolesterolemia sebesar 83.62 ± 24.15 mg/dl. Nilai ini sesuai dengan yang dilaporkan Pramono (1989) bahwa konsentrasi kolesterol normal tikus adalah 40-130 mg/dl. Efek pemberian pakan kolesterol dan PTU terhadap peningkatan konsentrasi kolesterol darah kelompok ini terlihat pada minggu ke-13 induksi hiperkolesterolemia (Gambar 6). Karena pada minggu ini konsentrasi kolesterol darahnya meningkat secara bermakna (P<0.05) sebesar 44.48% menjadi 151.06 ± 8.14 mg/dl dibandingkan dengan konsentrasi awalnya. Pada minggu ke-13 inilah hewan coba kelompok ini berada pada kondisi hiperkolesterolemia (konsentrasi kolesterol darah >130 mg/dl). Peningkatan konsentrasi kolesterol darah yang terjadi pada kelompok hiperkolesterolemia sesuai dengan laporan Grundy (1991), yang menyatakan bahwa konsumsi makanan yang kaya akan kolesterol dan asam lemak akan menekan pembentukan reseptor LDL, sehingga akan memperbanyak kolesterol dalam darah. Sedangkan pengaruh peningkatan kolesterol oleh PTU disebabkan karena PTU merupakan zat antitiroid yang akan menghambat pembentukan hormon tiroid tapi tidak menghambat sekresinya (Hermawan 1990). Kekurangan hormon tiroid dapat menekan pembentukan reseptor LDL di hati sehingga memicu hiperkolesterolemia (Grundy 1991). Lebih lamanya waktu yang diperlukan untuk menimbulkan kondisi hiperkolesterolemia pada penelitian ini tidak konsisten dengan percobaan yang dilakukan Dahlianti (2001). Penelitian tersebut hanya memerlukan waktu 1 minggu untuk mencapai kondisi hiperkolesterolemia, sedangkan dalam penelitian ini diperlukan waktu 13 minggu. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh berbedanya galur dan umur tikus yang digunakan. Dahlianti (2001) menggunakan tikus galur Wistar yang berumur 5 bulan, sedangkan percobaan ini menggunakan tikus galur Sprague Dawley umur 8 bulan. Diduga galur dan umur tikus yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap induksi hiperkolesterolemia meskipun komposisi pakan kolesterol dan dosis PTU yang diberikan sama. Hasil penelitian ini juga tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan Salvati et
22
al. (1993). Pada penelitian tersebut tikus jantan galur Sprague Dawley yang diberi PTU 0.05% b/v memiliki konsentrasi kolesterol otak yang lebih tinggi selama empat minggu perlakuan. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan jenis kolesterol yang diukur, Salvati et al. (1993) mengukur konsentrasi kolesterol otak sedangkan dalam penelitian ini melakukan pengukuran kolesterol darah. Glukosa Darah. Konsentrasi glukosa darah minggu ke-0 tikus kelompok hiperkolesterolemia sebesar 74.5 ± 6.33 mg/dl. Kemudian setelah 13 minggu masa induksi hiperkolesterolemia, konsentrasinya mengalami penurunan yang rendah menjadi 72.4 ±12.65 mg/dl (P>0.05) (Gambar 6). Lipid Peroksida Darah. Pada tikus kelompok hiperkolesterolemia, konsentrasi lipid peroksida darah minggu ke-0 sebesar 0.177 ± 0.03 µM. Setelah 13 minggu induksi hiperkolesterolemia, konsentrasi lipid peroksida darahnya meningkat secara bermakna (P<0.05) menjadi 0.835 ± 0.210 µM (Gambar 7). Meningkatnya konsentrasi lipid peroksida darah pada kondisi hiperkolesterolemia tidak dapat dipastikan penyebabnya karena percobaan-percobaan terdahulu menunjukkan hasil yang berbeda. Utomo et al. (1991) melaporkan bahwa tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara lipid peroksida darah dengan kolesterol pada pasien penyakit jantung koroner yang berusia kurang dari 75 tahun. Selain itu, Sayogya (2002) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara lipid peroksida hati dengan lipoprotein densitas tinggi (HDL, High Density Lipoprotein) pada tikus Sprague Dawley (umur 8.5 bulan) yang hiperkolesterolemia dan hiperglikemia. Sedangkan Ledwozyw (1996) melaporkan bahwa pada pasien aterosklerosis dijumpai korelasi positif antara lipid peroksida darah dengan trigliserida, kolesterol, dan lipid total darah. Pada penelitian ini diduga peningkatan konsentrasi lipid peroksida darah kelompok hiperkolesterolemia disebabkan oleh faktor umur tikus yang tua. Hal ini terlihat dari meningkatnya konsentrasi lipid peroksida darah kelompok normokolesterol yang tidak mendapatkan induksi hiperkolesterolemia namun umur tikus yang digunakannya sama. Setelah 13 minggu masa induksi hiperkolesterolemia, maka kelompok hiperolesterolemia dibagi menjadi dua kelompok kecil, yaitu kelompok hiperkolesterolemia dan kelompok hiperkolesterolemia-hiperglikemia yang akan
Gambar 6 Konsentrasi kolesterol dan glukosa darah hewan coba. Kelompok hiperkolesterolemia sebelum (▬) dan setelah (▬) induksi hiperkolesterolemia
Gambar 7 Konsentrasi lipid peroksida darah hewan coba. Kelompok hiperkolesterolemia sebelum (▬) dan setelah (▬) induksi hiperkolesterolemia mendapatkan induksi hiperglikemia. Kelompok Normokolesterolemia Bobot Badan. Bobot badan awal tikus kelompok normokolesterolemia sebesar 144 ± 11.40 gram. Pada akhir masa pemeliharaan bobot badannya meningkat secara bermakna (P<0.05) menjadi 280 ± 41.83 gram (minggu ke-0). Setelah 13 minggu masa induksi hiperkolesterolemia bobot badannya mengalami sedikit peningkatan (P>0.05) menjadi 285 ± 49.5 gram (Tabel 2). Hasil tersebut dikarenakan umur tikus yang dewasa (>6 bulan) sehingga bobot badannya akan relatif stabil. Konsumsi Pakan. Setelah 13 minggu masa induksi hiperkolesterolemia, konsumsi pakan kelompok normokolesterolemia menurun sebesar 32.23% dari konsumsi pakan awal 17.91 gram menjadi 12.49 gram. (Tabel 2). Meskipun mengalami penurunan yang besar, rata-rata konsumsi pakan tikus kelompok ini masih berada pada kisaran normal (konsumsi pakan tikus hanya sekitar 10-20 gram/hari Pramono (1989)).
23
Tabel 2 Rataan konsumsi pakan dan bobot badan (gram) hewan coba kelompok normokolesterolemia selama induksi hiperkolesterolemia Minggu ke 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Bobot Badan (gram) 280 ± 41.83 280 ± 41.83 266 ± 43.93 274 ± 36.47 284 ± 36.47 286 ± 37.82 258 ± 26.83 264 ± 23.02 264 ± 35.07 268 ± 24.90 274 ± 23.02 278 ± 26.83 281 ± 21.33 285 ± 49.50
Konsumsi Pakan (gram) 17.91 16.03 13.37 15.64 14.80 16.73 14.62 16.33 16.67 16.61 16.78 16.72 12.49
Kolesterol Darah. Selama 13 minggu masa induksi hiperkolesterolemia tidak terjadi perubahan yang bermakna terhadap konsentrasi kolesterol darah kelompok normokolesterolemia (Gambar 8). Hal tersebut terlihat dari kecilnya perubahan konsentrasi kolesterol darah yang terjadi (P>0.05), dari 69.20 ± 12.29 mg/dl menjadi 76.80 ± 8.36 mg/dl. Hasil ini tentunya disebabkan karena tikus kelompok normokolesterolemia tidak mendapatkan induksi hiperkolesterolemia (pemberian pakan kolesterol dan PTU) sehingga perubahan konsentrasi kolesterol darahnya tidak akan bermakna. Glukosa Darah. Konsentrasi glukosa darah minggu ke-0 normokolesterolemia sebesar 77.40 ± 2.07 mg/dl, kemudian menurun menjadi 74.70 ± 17.10 mg/dl setelah 13 minggu masa percobaan (P>0.05) (Gambar 8). Hal tesebut terjadi karena tikus kelompok ini belum mendapatkan perlakuan (pemberian aloksan), sehingga tidak terjadi perubahan yang bermakna terhadap konsentrasi glukosa darahnya. Lipid Peroksida Darah. Diketahui konsentrasi lipid peroksida darah minggu ke-0 kelompok normokolesterolemia sebesar 0.169 µM. Setelah 13 minggu induksi hiperkolesterolemia konsentrasi lipid peroksida darahnya meningkat secara bermakna (P<0.05) menjadi 0.664 µM (Gambar 9). Masa Induksi Hiperglikemia Induksi hiperglikemia dilakukan pada
minggu ke-13. Konsentrasi glukosa darah kelompok normokolesterolemia mengalami peningkatan setelah dilakukan induksi aloksan. Diketahui konsentrasi glukosa awal kelompok ini sebesar 74.70 mg/dl. Setelah 72 jam induksi aloksan, tikus kelompok normokolesterolemia berada pada kondisi hiperglikemia dengan konsentrasi glukosa darah 324 ± 49.50 mg/dl (Gambar 10). Kelompok normokolesterolemia kemudian disebut juga sebagai kelompok hiperglikemia. Pada kelompok hiperkolesterolemiahiperglikemia diketahui konsentrasi glukosa awalnya sebesar 64.20 ± 7.60 mg/dl. Kemudian konsentrasinya meningkat secara bermakna (P<0.05) menjadi 336.67 mg/dl. Setelah 72 jam induksi aloksan kedua kelompok ini berada pada kondisi hiperglikemia. Namun, setelah 72 jam induksi aloksan, terjadi kematian 3 ekor tikus pada kelompok hiperglikemia dan 2 ekor tikus pada kelompok hiperkolesterolemia-hiperglikemia . Kematian 5 ekor tikus ini diduga disebabkan oleh konsentrasi gula darahnya yang sangat tinggi (>600 mg/dl).
Gambar 8 Konsentrasi kolesterol dan glukosa darah hewan coba. Kelompok hiperkolesterolemia sebelum (▬) dan setelah (▬) induksi hiperkolesterolemia
Gambar 9 Konsentrasi lipid peroksidadarah hewan coba. Kelompok normokolesterolemia sebelum (▬) dan setelah (▬) induksi hiperkolesterolemia
24
Pramono (1989) melaporkan bahwa konsentrasi glukosa darah tikus normal berkisar antara 50-235 mg/dl. Pengkondisian hewan coba menjadi hiperkolesterolemia dan hiperglikemia dalam penelitian ini dilakukan dengan harapan kedua kondisi tersebut mampu mempercepat peningkatan konsentrasi lipid peroksida darah sehingga pengujian potensi antioksidasi daun salam dapat dilakukan secara optimal. Masa Pemberian Ekstrak Salam Kelompok Hiperkolesterolemia Bobot Badan dan Konsumsi Pakan. Bobot badan hewan coba kelompok hiperkolesterolemia sebelum induksi ekstrak daun salam sebesar 282 ± 4.47 gram. Setelah 1 minggu pemberian ekstrak daun salam, bobot badannya menurun (P>0.05) menjadi 276 ± 11.40 gram. Meskipun bobot badannya menurun, konsumsi pakan kolesterol pada kelompok ini meningkat secara bermakna (P<0.05), dari konsumsi pakan awal sebesar 12.65 gram menjadi 16.32 gram. Kolesterol dan Glukosa Darah. Setelah pemberian ekstrak daun salam, konsentrasi kolesterol darah kelompok hiperkolesterolemia menurun secara bermakna (P<0.1) menjadi 138.76 ± 11.63 mg/dl dari 150.59 ± 10.28 mg/dl (Gambar 11). Bila dibandingkan dengan jamur kuping, daun salam memiliki potensi yang lebih kecil (8.19%) sebagai penurun antihiperkolesterolemia. Dahlianti (2001) melaporkan bahwa ekstrak jamur kuping mampu menurunkan konsentrasi kolesterol tikus hiperkolesterolemia sebesar 41.7% (P<0.05). Namun perbandingan tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh konsentrasi awal kolesterol, kondisi hewan coba saat mendapatkan perlakuan, dan umur tikus yang digunakan pada saat percobaan. Fungsi antihiperkolesterolemia daun salam tidak menentukan daun salam memiliki potensi sebagai antioksidan, karena tidak ada hubungan antara antioksidan dengan antihiperkolesterolemia penurun kolesterol Diketahui konsentrasi glukosa darah sebelum pemberian ekstrak daun salam pada kelompok hiperkolesterolemia sebesar 80.6 ± 11.59 mg/dl. Setelah pemberian ekstrak, konsentrasi glukosa darahnya tidak mengalami perubahan yang bermakna (P>0.05), yaitu menjadi 88 ± 11.11 mg/dl (Gambar 11). Lipid Peroksida Darah. Hewan coba kelompok hiperkolesterolemia mengalami
penurunan konsentrasi lipid peroksida darah secara bermakna (P<0.025) sebesar 16.21%, dari 0.808 µM menjadi 0.677 µM setelah mendapatkan ekstrak daun salam (Gambar 12). Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan Ekawati (2007). Pada penelitian tersebut ekstrak daun salam kota Cianjur pada konsentrasi 1000 ppm memiliki potensi antioksidasi sebesar 68.44%. Lebih rendahnya potensi antioksidasi penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut karena Ekawati (2007) menggunakan konsentrasi ekstrak daun salam yang lebih besar.
Gambar 10 Konsentrasi glukosa darah hewan coba. Kelompok normokolesterolemia sebelum (▬) dan setelah (▬) induksi hiperkolesterolemia serta setelah (▬) 72 jam induksi aloksan
Gambar 11
Konsentrasi kolesterol dan glukosa darah hewan coba. Kelompok hiperkolesterolemia sebelum (▬) dan setelah (▬) pemberian ekstrak daun salam
Gambar 12 Konsentrasi lipid peroksida darah hewan coba. Kelompok hiperkolesterolemia sebelum (▬) dan setelah (▬) pemberian ekstrak daun salam
25
Pada penelitian ini diuji ekstrak daun salam dengan konsentrasi 800 ppm sedangkan Ekawati (2007) menguji ekstrak daun salam pada konsentrasi 1000 ppm. Selain itu, Ekawati (2007) melakukan percobaan secara in vitro sedangkan dalam penelitian ini khasiat antioksidasi daun salam dicobakan terhadap tikus (in vivo). Banyak faktor yang mempengaruhi hasil percobaan dengan hewan coba, salah satunya adalah kondisi psikologis hewan coba. Lamanya penelitian ini yang mencapai 8 bulan menjadikan hewan coba tidak sensitif terhadap perlakuan yang diberikan. Usia hewan coba yang semakin tua akan menjadikan kondisi fisiologisnya tidak bereaksi secara optimal terhadap perlakuan yang diberikan karena telah terjadi penurunan fungsi organ tubuh, terutama hati. Antioksidan yang diharapkan dapat mengatasi peroksidasi lipid adalah suatu antioksidan pencegah rantai, yang akan bereaksi dengan radikal bebas penyebab peroksidasi lipid. Kelompok Normokolesterolemia Bobot Badan dan Konsumsi Pakan. Setelah pemberian ekstrak daun salam, bobot badan kelompok ini mengalami penurunan yang relatif kecil (P>0.05). Sebelum pemberian ekstrak daun salam bobot badannya 285 gram, sedangkan setelah pemberian ekstrak daun salam menjadi 276 gram. Defisiensi insulin pada diabetes akan menyebabkan peningkatan glukoneogenesis melalui perombakan protein otot, yang akan mengakibatkan penurunan bobot badan (Lehninger 1994). Diketahui konsumsi pakan kelompok hiperglikemia mengalami peningkatan yang bermakna 29.06% (P<0.05), dari 12.49 gram menjadi 16.32 gram setelah 1 minggu mendapatkan ekstrak daun salam. Hal tersebut sesuai dengan Lehninger (1994) yang menyatakan bahwa gejala-gejala klinis diabetes, diantaranya adalah banyak makan (polifagia), banyak minum (polidipsi), dan banyak urinasi (poliuria). Glukosa Darah. Hewan coba kelompok hiperglikemia mengalami penurunan rata-rata konsentrasi glukosa darah secara bermakna (P<0.05) sebesar 48.92%, dari 324 mg/dl sebelum pemberian ekstrak daun salam menjadi 165.5 mg/dl setelah pemberian daun salam (Gambar 13). Potensi antihiperglikemia daun salam lebih tingggi bila dibandingkan dengan sirih merah meskipun dosis ekstrak daun salam yang digunakan lebih rendah. Salim (2006) melaporkan bahwa rebusan daun sirih merah dosis 20 g/kg BB mampu
menurunkan konsentrasi glukosa darah tikus diabetes galur Sparague-Dawley yang diinduksi aloksan tetrahidrat hinga 17.76%, 40.17%, 38.44% pada hari ke-5, ke-8, dan ke13 setelah induksi aloksan. Selain itu, bila dibandingkan dengan ekstrak air mahkota dewa, ekstrak etanol 70% daun salam memiliki potensi antihiperglikemik yang lebih besar. Shalahuddin (2000) melaporkan bahwa ekstrak air mahkota dewa dosis tinggi (62.5 mg/kg BB) memiliki efek anti hiperglikemik dengan menurunkan kadar glukosa darah tikus diabetes galur Sprague-Dawley yang diinduksi streptozotosin hingga 46.1% pada minggu pertama dan 43.8% pada minggu kedua. Perbandingan potensi anti hiperglikemik antara daun salam, sirih merah dan mahkota dewa tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan coba yang digunakan pada saat perlakuan serta konsentrasi glukosa darah sebelum diberi ekstrak. Kolesterol dan Lipid Peroksida Darah. Setelah mendapatkan ekstrak daun salam konsentrasi lipid peroksida darahnya meningkat sebesar 4.217%, dari 0.664 µM menjadi 0.692 µM (Gambar 14). Peningkatan lipid peroksida darah pada tikus kelompok hiperglikemia diduga oleh umur tikus yang dewasa (>6 bulan). Dugaan tersebut sesuai dengan Yagi (1994), yang menyatakan bahwa konsentrasi lipid peroksida akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Selain itu, pada tikus kelompok hiperglikemia penurunan konsentrasi kolesterol darahnya tidak terlalu besar (P>0.05), dari 76.80±8.36 menjadi 74.94±3,96 (Gambar 13). Namun hasil penelitian ini tidak konsisten dengan Widyastuti (2000) bahwa hiperglikemia yang ditimbulkan oleh aloksan pada monyet ekor panjang berusia 5-7 tahun dapat mendorong disfungsi endotel yang akan menyebabkan peningkatan radikal bebas sehingga lipid peroksidanya akan meningkat. Kelompok HiperkolesterolemiaHiperglikemia Bobot Badan dan Konsumsi Pakan. Berdasarkan pengukuran, diketahui bobot badan hewan coba kelompok hiperkolesterolemia-hiperglikemia sebelum induksi esktrak daun salam sebesar 250 gram. Setelah pemberian ekstrak daun salam, bobot badannya menurun secara tidak bermakna menjadi 246.7 gram. Meskipun bobot badannya menurun, konsumsi pakan pada kolesterol kelompok ini meningkat secara
26
bermakna (P<0.05), dari konsumsi sebelum pemberian esktrak daun salam sebesar 12.34 gram menjadi 16.34% gram setelah mendapatkan ekstrak daun salam. Glukosa Darah. Setelah pemberian ekstrak daun salam, konsentrasi glukosa darahnya menurun secara bermakna (P<0.05) menjadi 240 mg/dl (penurunan 28.57%) (Gambar 15). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak daun salam memiliki potensi sebagai senyawa antihiperglikemia pada tikus kondisi hiperkolesterolemia-hiperglikemia. Lipid Peroksida dan Kolesterol Darah. Pada kelompok hiperkolesterolemiahiperglikemia terjadi penurunan secara bermakna konsentrasi lipid peroksida darahnya (P<0.05), dari 0.880 µM sebelum mendapatkan ekstrak daun salam menjadi 0.755 µM setelah pemberian ekstrak daun salam (dengan penurunan sebesar 14.20%) (Gambar 16). Penurunan konsentrasi lipid peroksida darah pada kelompok ini tidak diikuti oleh penurunan konsentrasi kolesterol darahnya. Pada kelompok ini hanya terjadi penurunan yang relatif kecil (P>0.05), dari 151.84 mg/dl menjadi 148.72 mg/dl (Gambar 15).
Berdasarkan hasil pengukuran lipid peroksida darah sebelum dan setelah induksi ekstrak daun salam pada setiap kelompok, dapat dikatakan bahwa potensi antioksidan ekstrak daun salam sangat rendah. Hal tersebut telihat dari rendahnya penurunan konsentrasi lipid perokisda darah yang terjadi pada hewan coba, yaitu 16.21% pada kelompok hiperkolesterolemia dan 14.20% pada kelompok hiperkolesterolemiahiperglikemia. Sedangkan pada kelompok hiperglikemia tidak terjadi penurunan konsentrasi lipid peroksida darah setelah 1 minggu pemberian ekstrak daun salam. Satria (2005) melaporkan bahwa ekstrak daging tua mahkota dewa 1000 ppm mampu menghambat pembentukan MDA sebesar 82.2%. Satria (2005) melakukan percobaan secara in vitro. Selain itu, daun sangitan dosis 267 mg/kg BB dapat menghambat proses oksidasi pada tikus galur Sprague Dawley sebesar 43.75% dan 32.29% lebih rendah daripada kelompok kontrol positif (Rustandi 2006).
Gambar 15 Gambar 13 Konsentrasi kolesterol dan glukosa darah hewan coba. Kelompok hiperglikemia sebelum (▬) dan setelah (▬) pemberian ekstrak daun salam
Gambar Gambar 14 Konsentrasi lipid peroksida darah hewan coba. Kelompok hiperglikemia sebelum (▬) dan setelah (▬) pemberian ekstrak daun salam
Konsentrasi kolesterol dan glukosa darah. Kelompok hiperkolesterolemiahiperglikemia sebelum (▬) dan setelah (▬) pemberian ekstrak daun salam
16 Konsentrasi lipid peroksida darah. Kelompok hiperkolesterolemiahiperglikemia sebelum (▬) dan setelah (▬) pemberian ekstrak daun salam
27
Rendahnya potensi antiokidasi ekstrak daun salam bila dibandingkan dengan mahkota dewa dan daun sangitan dapat disebabkan oleh dosis dan lamanya pemberian ekstrak. Dosis daun salam yang digunakan pada penelitian ini setara dengan serbuk daun salam kering sebanyak 2.04 g/kg BB. Meskipun dosis tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan dosis daun sangitan yang digunakan Rustandi (2006), sebesar 267 mg/kg BB tetapi potensi antioksidasinya lebih kecil. Selain itu, lamanya pemberian ekstrak daun sangitan yang dilakukan Rustandi (2006) lebih lama bila dibandingkan dengan lamanya pemberian ekstrak daun salam pada penelitian ini. Pada penelitian ini hewan coba hanya diberi ekstrak selama 1 minggu sedangkan Rustandi (2006) mencekok hewan cobanya dengan ekstrak daun sangitan selama 5 minggu. Meskipun demikian, penurunan konsentrasi lipid peroksida darah yang terjadi pada hewan coba dapat disebabkan oleh adanya senyawa aktif yang berfungsi sebagai antioksidan yang terdapat dalam ekstrak daun salam. Sayekti (1993) melaporkan bahwa dari hasil uji fitokimia ekstrak etanol 70% daun salam, menunjukkan adanya lima golongan senyawa yaitu saponin, terpenoid, steroid, flavonoid dan tanin. Selain itu, berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan Ekawati (2007), di dalam ekstrak etanol 70% daun salam terdapat senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, fenolik hidrokuinon, triterpenoid, dan tanin. Saponin menurut Lipkin (1995) dapat menurunkan konsentrasi kolesterol dalam tubuh karena mampu berikatan dengan kolesterol dan tidak terserap saluran pencernaan. Hernani & Rahardjo (2005) melaporkan bahwa flavonoid merupakan antioksidan yang berpotensi untuk mencegah pembentukan radikal bebas. Peneliti lainnya, Atmosukarto (2003) menyatakan bahwa pada tumbuhan berkayu banyak terdapat senyawa yang dapat bertindak sebagai antioksidan, seperti flavonoid, terpenoid, dan senyawa fenol. Diduga adanya senyawa-senyawa di ataslah yang menyebabkan ekstrak daun salam mampu menurunkan konsentrasi lipid peroksida, kolesterol, dan glukosa darah pada hewan coba penelitian ini. Adapun mekanisme antioksidasi ekstrak daun salam diduga melalui reaksi dengan radikal bebas yang menyebabkan membran sel akan terlindung dari reaksi peroksidasi lipid. Dugaan mekanisme lainnya dengan cara memutus rantai reaksi peroksidasi lipid yang
akan mempengaruhi propagasi rantai sehingga mengurangi pembentukan radikal bebas.
SIMPULAN DAN SARAN Potensi antioksidasi ekstrak daun salam 0.68 g/kg BB sangat rendah, pada kelompok hiperkolesterolemia dan kelompok hiperkolesterolemia-hiperglikemia potensinya sebesar 16.21% dan 14.20%. Sedangkan pada kelompok hiperglikemia tidak memperlihatkan adanya khasiat antioksidan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai potensi antioksidasi daun salam dengan dosis yang lebih bervariasi dan waktu pemberian ekstrak daun salam yang lebih lama (lebih dari 1 minggu).
DAFTAR PUSTAKA Alhamdi S. 1989. Uji efek antidiare daun salam ( Eugenia polyantha Wight.) pada tikus putih jantan. [Skripsi]. Lampung: Jurusan Farmasi Fakultas Matemtika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas. Baron DN. 1984. Kapita Selekta Patologi Klinik Edisi Ke-4. P. Andrianto, J. Gunawan, penerjemah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Cotran RS, Kumar V, Robbins SL. 1995. Buku Ajar Patologi I & II Ed Ke-4. Staf Pengajar Anatomik FK Unair, penerjemah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Dahlianti V. 2001. Ekstrak jamur kuping (Auricularia polytricha) sebagai antihiperlipidemia pada tikus putih galur wistar. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Kimia IPB. Depkes RI. 2005. Diabetes melitus masalah kesehatan masyarakat yang serius. http://www.depkes.go.id./index.php?optio n=news&task=viewarticle&sid=942 . Dhawan BN, Srimal RC. 1997. Laboratory Manual For Pharmacological Evaluation Of Natural Products. UNIDO. Gitawati R. 1995. Radikal bebas. Sifat dan peran dalam menimbulkan kerusakan atau kematian sel. Cermin Dunia Kedokteran
28
102: 33-36. Grundy SM. 1991. Multifactorial etiology of hypercholestrolemia. Implications for prevention coronary heart disease. Aterioscler. Thromb. 11:1619-1635. Hembing W, Dalimartha S, Wirian AS. 1996. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid IV. Jakarta: Pustaka Kartini. Kapit W, Macey RI, Meisami E. 1987. The Physiology Coloring Book. New York: Harper Collins College. Kaplan LA, Pesce AJ. 1989. Clinical Chemistry 3rd edition. New York:Mosby Tear Book Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. A Saptorahardjo, penerjemah. Jakarta:UI-Press. Kristiani EBE. 2003. Ekstrak daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) sebagai obat alternatif untuk hiperlipidemia: kajian in vivo dan in vitro. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 2. Maggy Thenawidaja, penerjemah. Jakarta:Erlangga. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan Di Laboratorium. Bogor:PAU IPB. Marks DB et al. 1996. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Brahm U Pendit, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
glukan dari Saccharomyces cerevisiae terhadap kadar LDL dan HDL darah tikus putih. [Skripsi]. Bogor:Jurusan Kimia FMIPA IPB Pratanu S. 1995. Regresi aterosklerosis. Cermin Dunia Kedokteran. 102: 14-17 Purwakusuma ED. 2003. Tumbuhan Sebagai Sumber Biofarmaka di dalam Pelatihan Tanaman Obat Tradisional (Swamedikasi) : Pengobatan Penyakit Diabetes Melitus 3-4 Mei 2003. Bogor: Pusat Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian IPB. Widyastuti SR. 2000. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai model diabetes melitus: pengaruh hiperglikemia pada lipid darah, serum oksida nitrik (NO) dan tingkah laku klinis. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Rachmadani. 2001. Ekstrak air daun jati belanda (Guazoma ulmifolia Lamk.) berpotensi menurunkan kadar lipid darah pada tikus putih strain Wistar. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Kimia FMIPA IPB. Shalahuddin I. 2005. Efek antihiperglikemik ekstrak air buah mahkota dewa pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotosin. [Skripsi]. Bogor:Departemen Biokimia FMIPA IPB. Salim A. 2006. Potensi rebusan daun sirih merh (Piper crocatum) sebagai senyawa antihiperglikemia pada tikus putih galur Sprague-Dawley. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Biokimia FMIPA IPB.
Maryati NP. 1989 Efek hipoglikemik ekstrak air daun salam (Eugenia polyantha Wight) pada tikus diabetes. [Skripsi]. Yogykarta: Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada.
Salter AM, Hayashi R, Al-Seeni M. 1991. Effect of hypothyroidism and high-fat feeding on mRNA concentrations for the low density lipoprotein receptor and on acyl coA. Cholesterol acyltransferase activities in rat liver. J. Biochem. 276: 825-832.
Mathur R, Shiel WC. 2003. Diabetes Mellitus. http://www.medicinenet.com/dibetes mellitus/rticle.htm
Salvati et al. 1993. Effect of propylthiouracilinduced hypothyroidism on membranes of adult rat brain. Lipids. 80: 112-115.
Murray RK et al. 2003. Biokimia Harper. Andry Hartono, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sayekti S, Muhtadi A, Supriyatna. 1993. Aktivitas hipoglikemik daun salam dan herba bulu lutung. [Skripsi]. Bandung: Jurusan Farmasi Universitas Padjajaran.
Nofendri. 2004. Pengaruh pemberian beta
29
Sayogya AP. 2002. Efek senyawa antioksidan Biological Response Modifier (BRMTM) terhadap kadar lipid peroksida hati tikus. [Skripsi]. Jurusan Kimia IPB, Bogor. Siburian E. 1990. Isolasi dan identifikasi kandungan kimia daun salam (Syzygium poyanthum (Wight) Walp). [Skripsi]. Jakarta: Jurusan Farmasi Universitas Pancasila. Styer L. 1996. Biokimia.Vol.2.E/4. Mohammad Sadikin dkk, penerjemah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Sudewi R. 1992. Isolasi dan uji daya antibakteri minyak atsiri daun salam (Eugenia polyantha Wight). [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. Svehla G. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. L Setiono, penerjemah. Jakarta:PT. Kalman Media Pustaka. Sykes P. 1989. Mekanisme Reaksi Kimia Organik. Anton J Hartomo dkk, penerjemah. Jakarta:Gramedia. Szkudelski T. 2001. The Mechanism of alloxan and streptozotosin action in ß cells of rat pancreas. J. Physiol. Res. 50: 536-546. Tjokroprawiro A. 1989. Diabetes Melitus : Klasifikasi, Diagnosis, dan Dasar-dasar Terapi. Jakarta: Gramedia. Wagner JD, Carlson CS, O’Brien TD. 1996. Dibetes Mellitus in Nonhuman Primtes: Recent Research Advances on Current Husbandry Pretices. J. Med. Primtol. 19:609-625. Willard, MD, Tvedten H, Turnwald GH. 1994. Small Animal Clinical Diagnosis by Laboratory Methods. ED ke-2. W. B. London: Saunders. Yagi K. 1994. Lipid peroxides in hepatic, gastrointestinal, and pancreatic diseases, hlm 1-14 & 165-169. Di dalam D. Amstrong (penyunting), Free Radicals in Diagnostic Medicine. New York: Plenum Press. Yagi K, Nishigaki I, Ohama H. 1980. Assay
for serum lipid peroxide. Vitamins 39:105-110. Zanubia I. 1994. Pengaruh campuran ekstrak total alkohol dan air daun salam (Eugenia polyantha Wight.) terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan. [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.
30
LAMPIRAN
31
Lampiran 1 Tahapan penelitian
32
Lampiran 2 Bobot badan tikus selama percobaan (gram) Kelompok Hiperkolesterolemia Minggu ke- (gram) Tikus No awal 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2 115 300 320 320 320 320 320 240 250 250 260 260 260 255 8 140 250 250 250 270 260 260 250 260 280 260 270 270 250 9 140 260 290 290 290 330 330 270 280 250 280 280 280 290 11 130 330 350 330 350 350 300 230 240 270 240 240 240 240 13 125 210 240 250 270 290 290 230 230 230 230 250 240 250 Rata-rata 130 270 290 288 300 310 300 244 252 256 254 260 258 257 SD 10.61 46.37 46.37 37.68 34.64 35.36 27.39 16.73 19.24 19.49 19.49 15.81 17.89 19.24
13 280 280 290 280 280 282 4.47
14 290 280 270 280 260 276 11.40
Kelompok Hiperglikemia Minggu ke- (gram) Tikus No awal 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 3 140 310 300 280 290 300 310 300 300 320 310 310 320 300 4 160 320 320 310 310 320 320 260 260 270 260 270 280 280 250 250 7 130 300 310 300 300 310 310 240 250 260 250 250 250 290 320 300 10 140 230 230 210 230 240 240 230 240 240 250 260 260 290 12 150 240 240 230 240 250 250 260 270 230 270 280 280 245 Rata-rata 144 280 280 266 274 284 286 258 264 264 268 274 278 281 285 275 SD 11.40 41.83 41.83 43.93 36.47 36.47 37.82 26.83 23.02 35.07 24.90 23.02 26.83 21.33 49.50 35.36
33
Lanjutan lampiran 2 Bobot badan tikus selama percobaan (gram) Kelompok Hiperkolesterolemia - Hiperglikemia Minggu ke- (gram) Tikus No awal 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1 140 330 340 370 370 390 290 320 330 350 350 360 370 350 310 300 5 155 280 290 320 330 330 330 260 250 260 240 250 250 270 6 125 230 200 210 210 220 230 260 260 260 260 260 260 220 200 200 14 150 250 270 290 290 300 310 240 250 250 250 230 260 280 240 240 15 155 310 300 310 320 330 330 260 270 280 270 280 280 280 Rata-rata 142 280 280 300 304 314 298 268 272 280 274 276 284 280 250 246.67 SD 12.75 41.23 51.48 58.31 59.83 61.89 41.47 30.33 33.47 40.62 43.93 50.30 49.30 46.37 55.68 50.33
Lampiran 3 Konsumsi pakan tikus selama percobaan (gram) Hiperkolesterolemia Hiperglikemia
Minggu ke- (gram) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 18.26 16.68 12.84 16.50 15.03 16.47 15.60 14.43 15.74 15.72 16.23 16.30 12.65 16.32 17.91 16.03 13.37 15.64 14.80 16.73 14.62 16.33 16.67 16.61 16.78 16.72 12.49 16.35
HiperglikemiaHiperkolesterolemia
17.57 15.38 13.91 14.78 14.58 16.98 13.64 18.22 17.60 17.50 17.32 17.14 12.34 16.34
Kelompok
34
Lampiran 4 Konsentrasi lipid peroksida darah selama percobaan (µM)
Tikus no
Awal (µM) 2 0.186 8 0.165 9 0.144 11 0.165 13 0.241 Rata-rata 0.180 SD 0.037
Tikus no
Awal (µM) 3 0.172 4 0.151 7 0.158 10 0.165 12 0.22 Rata-rata 0.173 SD 0.027
Kelompok Hiperkolesterolemia Waktu percobaan Sebelum pemberian ekstrak daun salam Setelah pemberian ekstrak daun salam (µM) (µM) 1.067 0.663 0.855 0.465 0.77 0.635 0.592 0.961 0.756 0.663 0.808 0.677 0.173 0.179 Kelompok Hiperglikemia Waktu percobaan Sebelum pemberian ekstrak daun salam Setelah pemberian ekstrak daun salam (µM) (µM) 0.557 0.791 0.77 0.592 0.664 0.692 0.151 0.141
35
Lanjutan lampiran 4 Konsentrasi lipid peroksida darah selama percobaan (µM)
Tikus no
Awal (µM) 1 0.158 5 0.213 6 0.186 14 0.138 15 0.172 Rata-rata 0.173 SD 0.028
Kelompok Hiperglikemia-Hiperkolesterolemia Waktu percobaan Sebelum pemberian ekstrak daun salam Setelah pemberian ekstrak daun salam (µM) (µM) 1.223 0.720 0.748 0.833 0.670 0.713 0.880 0.755 0.299 0.067
Lampiran 5 Konsentrasi kolesterol darah selama percobaan (mg/dl) Kelompok Hiperkolesterolemia Waktu percobaan Tikus no Awal Sebelum pemberian ekstrak daun salam Setelah pemberian ekstrak daun salam (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) 2 143.61 159.31 154.33 8 63.2 141.87 145.61 9 83.95 161.18 134.4 11 63.84 138.14 135.65 13 79.41 152.46 123.82 Rata-rata 86.80 150.59 138.76 SD 33.07 10.28 11.63
36
Lanjutan lampiran 5 Konsentrasi kolesterol darah selama percobaan (mg/dl) Kelompok Hiperglikemia Waktu percobaan Tikus no Awal Sebelum pemberian ekstrak daun salam Setelah pemberian ekstrak daun salam (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) 3 52.17 4 82 82.72 77.74 7 61.25 70.89 72.14 10 77.46 12 73.57 Rata-rata 69.29 76.80 74.94 SD 12.292 8.36 3.96 Kelompok Hiperglikemia-Hiperkolesterolemia Waktu percobaan Tikus no Awal Sebelum pemberian ekstrak daun salam Setelah pemberian ekstrak daun salam (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) 1 65.14 151.84 146.23 5 80.71 6 85.25 147.48 149.35 14 70.33 156.2 150.59 15 100.81 Rata-rata 80.448 151.84 148.72 SD 13.914 4.36 2.25
37
Lampiran 6 Konsentrasi glukosa darah selama percobaan (mg/dl) Kelompok Hiperkolesterolemia Waktu percobaan Tikus no Awal Sebelum pemberian ekstrak daun salam Setelah pemberian ekstrak daun salam (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) 2 75 79 88 8 72 76 98 9 70 79 79 11 80 100 75 13 83 69 100 Rata-rata 76 80.6 88 SD 5.43 11.59 11.11 Kelompok Hiperglikemia Waktu percobaan Tikus no Awal Sebelum pemberian ekstrak daun salam Setelah pemberian ekstrak daun salam (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) 3 79 4 76 359 215 7 80 289 116 10 77 12 75 Rata-rata 77.4 324 165.5 SD 2.07 49.50 70.01
38
Lanjutan lampiran 6 Konsentrasi glukosa darah selama percobaan (mg/dl) Kelompok Hiperglikemia-Hiperkolesterolemia Waktu percobaan Tikus no Awal Sebelum pemberian ekstrak daun salam Setelah pemberian ekstrak daun salam (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) 1 61 379 264 5 74 6 72 316 182 14 78 315 274 15 80 Rata-rata 73 336.67 240 SD 7.42 36.66 50.48