VOLUME III, SEPTEMBER 2013
Majalah Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
Mengoptimalkan
Daerah Otonom Baru Jejak :
Gunungsitoli, Gerbang Memasuki Nias
Post-2015 Agenda Pembangunan Baru
Kota Kita ed3.indd 1
01/10/13 12:15
Undangan RAPAT KERJA TEKNIS APEKSI “Implementasi dan Permasalahan Pemberian Dana Hibah Dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD” Jakarta, 7-8 Oktober 2013 Hotel Santika Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jalan Pintu 1 Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur
Kota Kita ed3.indd 2
01/10/13 12:15
D A F T A R
I S I
WAWANCARA
16
ROBERT ENDI JAWENG
Mengoptimalkan Daerah Otonom Baru
I S T I M E WA
5
Sekitar 80 persen daerah otonom baru berkinerja buruk dan gagal mencapai tujuan dari pemekaran daerah. Salah satu penyebab utama adalah masalah pengalihan aset yang tidak mulus. Diperlukan grand design yang lebih komprehensif dalam pengaturan dan penataan daerah.
11
“Manejemen Pemekaran Harus Diubah” Banyak daerah otonom baru hasil pemekaran ternyata berkinerja buruk dan gagal mensejahterakan masyarakat. Banyak masalah yang menyebabkan daerah hasil pemekaran tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan optimal.
Persiapan Dulu, Baru Jadi Daerah Otonom Pemerintah menyusun Desain Besar Penataan Daerah (Desartada). Nantinya, pemekaran daerah harus melalui tahap persiapan. Setelah lolos sebagai Daerah Persiapan, baru bisa ditingkatkan menjadi Daerah Otonom Baru. Berapa jumlah ideal daerah otonom untuk wilayah seluas Indonesia?
LAPORAN KHUSUS 28
18
JEJAK
“Post-2015, Agenda Pembangunan Baru Menyongsong berakhirnya program Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015, kini muncul Agenda Pembangunan Pasca-2015 atau Post-2015 Development Agenda. Seperti apa rumusan agenda pembangunan yang baru tersebut?
MDGs: Tiga yang Sulit Dicapai… Dunia tengah menyongsong Post-2015, sebuah agenda pembangunan universal pasca-2015 untuk menggantikan program Millenium Development Goals (MDGs). Bagaimana pencapaiaan MDGs 2015 di Indonesia?
X X X X X
Membangun Sukabumi Kota Jasa dan Pelayanan Kota Sabang Masuk New 9 Wonderful Parks Menyempurnakan Reformasi Birokrasi Menghitung Emisi Kota dengan Software HEAT+ Dicari, Model Kerja Sama Antar-Daerah
Diterbitkan oleh:
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Alamat: Rasuna Office Park III WO. 06-09, Komplek Rasuna Epicentrum Jl. Taman Rasuna Selatan, Kuningan, DKI Jakarta, 12960, Indonesia Telpon: +62-21 8370 4703 Fax: +62-21 8370 4733 http://www.apeksi.or.id
14 20 34 36 40
R R I . C O. I D
33
Gunungsitoli, Gerbang Memasuki Nias Pada 29 Oktober 2013, Kota Gunungsitoli tepat berusia lima tahun. Gunungsitoli merupakan kota tua yang namanya telah mendunia. Kini ia mulai bangkit kembali menjadi pusat pertumbuhan sekaligus pintu masuk Kepulauan Nias.
Penanggung Jawab: Ketua Dewan Pengurus Apeksi Pemimpin Redaksi: Dr. Sarimun Hadisaputra, MSi Wakil Pemimpin Redaksi: H. Soeyanto, Sri Indah Wibi Nastiti Dewan Redaksi: Drs. H. Rahudman Harahap, MM (Komwil – I, Kota Medan), Drs. Herman, H.N., MM. (Komwil – II, Kota Bandar Lampung), Hj. Airin Rachmi Diany, SH.,MH. (Komwil - III, Kota Tangerang Selatan), dr. H. Samsul Ashar, Sp.Pd. (Komwil – IV, Kota Kediri), H.M. Riban Satia, S.Sos. (Komwil – V, Kota Palangkaraya), Drs. H. Burhan Abdurahman, MM. (Komwil – VI, Kota Ternate), M. Abdurrahman, Tri Utari dan Dian Anggreini, Suharto, Mukhlisin Iklan: Imam Yulianto Administrasi & Distribusi: Teguh Ardhiwiratno
Volume III
Kota Kita ed3.indd 3
SEPTEMBER 2013
3
01/10/13 12:15
D A R I
R E D A K S I
Pemekaran dan Agenda Pembangunan Global
Foto cover : Stadion Banteng di Tangerang yang terbengkalai akibat sengketa status pengelolaan aset yang tak kunjung selesai antara pemerintah daerah induk dan pemerintah daerah otonom baru.
4
Kota Kita ed3.indd 4
Volume III
S
EMAKIN luas dan dalam. Itulah tam-
pilan Majalah Kota Kita edisi ketiga ini jika dibandingkan dengan dua edisi sebelumnya. Dalam liputan Laporan Utama edisi ini, misalnya, kami menghadirkan laporan mendalam tentang berbagai permasalahan dalam pelaksanaan pemekaran daerah yang sangat marak beberapa tahun terakhir. Menurut hasil evaluasi yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 80 persen daerah otonom baru (DOB) hasil pemekaran berkinerja buruk dan gagal menjalankan tugas dan fungsinya: yaitu meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kenapa hal tersebut bisa terjadi, dan bagaimana solusinya? Jawaban dari pertanyaan tersebut menjadi bahasan Rubrik Laporan Utama majalah ini. Sementara itu, dalam Rubrik Laporan Khusus, kami menghadirkan laporan tentang Agenda Pembangunan Pasca-2015 atau Post-2015 Development Agenda, yang lebih popular disebut “Post-2015”. Ini merupakan pengganti Millenium Development Goals (MDGs), agenda pembangunan global yang akan berakhir pada 2015, yang dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Topik tersebut kami angkat sebagai laporan khusus bukan karena Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang memimpin panel tingkat tinggi untuk merumuskan “Post-2015” tersebut, melainkan juga lantaran kita telah menjadi bagian dari dunia global yang nanti juga akan dan harus ikut menjalankan agenda-agenda pembangunan pasca-2015 tersebut. Agenda apa saja yang akan menjadi isu utama pembangunan pasca-2015, itulah yang kami beberkan dalam Rubrik Laporan Khusus edisi ini. Di luar dua isu utama tersebut, pada rubrik-rubrik lain kami juga menurunkan banyak laporan penting dan menarik seputar dinamika kota-kota di seluruh Indonesia, atau agenda-agenda pemerintah kota, dan informasi-informasi yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan asosiasi pemerintah kota. Semoga semua laporan yang semakin luas dan dalam tersebut dapat memperkaya khasanah di lingkungan pemerintahan kota untuk menjadi referensi dalam meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:15
L A P O R A N
U T A M A
I S T I M E WA
Mengoptimalkan Daerah Otonom Baru Sebagian besar atau sekitar 80 persen daerah otonom baru berkinerja buruk dan gagal mencapai tujuan dari pemekaran daerah. Salah satu penyebab utama adalah masalah pengalihan aset yang tidak mulus. Diperlukan grand design yang lebih komprehensif dalam pengaturan dan penataan daerah.
Volume III SEPTEMBER 2013
Kota Kita ed3.indd 5
5
01/10/13 12:16
U T A M A
I S T I M E WA
L A P O R A N
Pasar merupakan aset vital suatu wilayah yang tidak boleh “salah urus”.
UHU politik di Tasikmalaya, Jawa Barat, dalam beberapa bulan terakhir terasa kian panas. Penyebabnya, hubungan antara para pejabat Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya tidak harmonis. Ketegangan hubungan antarpejabat itu pun merembes ke tingkat akar rumput. Sejumlah tokoh masyarakat Kota Tasikmalaya, misalnya, menuding Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum telah melanggar sumpah jabatan lantaran tidak segera menyerahkan pengelolaan aset-aset yang dikuasai Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya ke Pemerintah Kota Tasikmalaya. Ya, pokok pangkal panasnya suhu politik tersebut tak lain disebabkan berlarut-larutnya penyerahan aset dari Kabupaten Tasikmalaya sebagai daerah induk kepada Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom baru (DOB) hasil pemekaran. Seperti diketahui, Kota Tasikmalaya merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tasikmalaya yang dibentuk
S 6
Kota Kita ed3.indd 6
Volume III
berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2001. Sayangnya, meskipun sudah berlangsung selama 12 tahun, penyerahan aset-aset dari daerah induk ke daerah hasil pemekaran tak kunjung beres. Padahal, penyerahan aset tersebut merupakan perintah dari UU pembentukan
Berlarut-larutnya masalah pengalihan aset ini dinilai sebagai salah satu pemicu DOB berkinerja buruk. Kota Tasikmalaya yang harus dilaksanakan paling lambat setahun sejak UU tersebut diundangkan. Itulah yang menyulut panasnya suhu politik. Bahkan, karena dinilai sengaja menghambat penyerahan aset, pada akhir Agustus 2013 rumah dinas
lama Bupati Tasikmalaya yang masih berada di wilayah kota dilempari bom molotov dicorat-coret oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai warga Kota Tasikmalaya. Perebutan pengelolaan aset daerah antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Tasikmalaya tersebut hanya salah satu contoh dari sengkarut masalah pengelolaan aset di hampir semua daerah yang dimekarkan. Masih di provinsi yang sama, Kota Tangerang Selatan dan Kota Depok juga mengalami hal serupa. Di wilayah-wilayah lain, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua juga banyak terjadi perebutan aset antara daerah induk dengan daerah hasil pemekaran. Bahkan, di sejumlah daerah, rebutan pengelolaan aset ini menyulut timbulnya konflik sosial di tingkat akar rumput. Bukan hanya itu. Akibat lebih jauh, berlarut-larutnya masalah pengalihan aset ini dinilai sebagai salah satu pemicu DOB berkinerja buruk. Sebab, tanpa
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
I S T I M E WA
Sampah tak terurus terus menumpuk di pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, sebagai akibat dari sengketa pengelolaan aset daerah antara daerah induk dengan daerah hasil pemekaran.
didukung oleh dan dapat mengelola aset sendiri, daerah-daerah hasil pemekaran tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal. Di saat yang sama, aset-aset yang sedang diperebutkan akhirnya seringkali malah terbengkalai, tak terurus, atau setidaknya tidak dapat dimanfaatkan dan didayagunakan secara maksimal. Pada akhirnya rakyat yang menjadi korban. Sebab, kebanyakan aset-aset yang menjadi obyek perebutan berkaitan dengan fungsi pelayanan publik atau sumber pendapatan asli daerah (PAD). Seperti, rumah sakit, pasar, perusahaan air minum, terminal, gedunggedung perkantoran, dan sebagainya. Contoh, misalnya, adalah Pasar Ciputat yang masih dikuasai Pemkab Tangerang padahal lokasinya di wilayah Kota Tangerang Selatan. Pemkot Tangerang Selatan tak merasa punya kewajiban untuk mengatur masalah kebersihan pasar lantaran retribusinya masuk ke kantung Pemkab Tangerang. Sebaliknya,
Dampaknya bisa ditebak: sampah dan kebersihan lingkungan pasar tak terurus. Jorok dan semrawut. Pemkab Tangerang merasa tak bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan pasar lantaran kawasan tersebut masuk wilayah Kota Tangerang Selatan. Dampaknya bisa ditebak: sampah dan
kebersihan lingkungan pasar tak terurus. Jorok dan semrawut. Contoh lain, di sejumlah daerah pemekaran banyak terminal angkutan umum tak terurus akibat sengketa pengelolaan aset seperti ini. Biasanya, terminal berada di wilayah kota hasil pemekaran, sementara pengelolaannya masih dikuasai daerah induk. Daerah induk hanya rajin menarik retribusi, sementara daerah hasil pemekaran ogah menjaga ketertiban dan kebersihan terminal karena tak ikut menikmati hasilnya. Begitu pula nasib aset-aset daerah lainnya yang menjadi obyek sengketa, seperti rumah sakit, perusahaan air minum, dan sebagainya. Hampir semua aset-aset yang dipersengketakan pengelolaannya akhirnya tak bisa dimanfaatkan dan didayagunakan secara maksimal, baik untuk peningkatan pelayanan publik maupun untuk meningkatkan PAD. Itulah yang kemudian mengakibatkan banyak DOB berkinerja rendah. Dalam catatan Kementerian Dalam
Volume III
Kota Kita ed3.indd 7
SEPTEMBER 2013
7
01/10/13 12:16
U T A M A
8
Kota Kita ed3.indd 8
Volume III
“Karena masalah aset tidak beres, banyak daerah hasil pemekaran yang tidak bisa menjalankan fungsinya dengan optimal.” dibentuk pada 2012-2013. Hasil evaluasi kemudian dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu baik, sedang, kurang baik, dan tidak baik. Berdasarkan laporan hasil evaluasi terhadap 57 DOB tersebut, tak satu pun ada yang masuk kategori baik. Terdapat 43 DOB atau 75,4 persen berkinerja sedang dan 4 DOB atau 7,0 persen berkinerja kurang baik. Namun, tidak ada yang masuk kategori tidak baik karena, sisanya, sebanyak 10 DOB tak bisa dinilai lantaran tidak tersedia data yang cukup. Hasil evaluasi terbaru seperti yang disampaikan Direktur Penataan Daerah, Otsus, dan DPOD pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Boy Tenjuri dalam seminar “Pemekaran Daerah Kebutuhan Masyarakat Atau Kepentingan Elite” di Gedung DPR RI Jakarta, medio Mei 2013, menunjukkan, bahwa 80 persen dari seluruh DOB dinilai gagal dan berki-
I S T I M E WA
Negeri (Kemendagri), pengalihan aset menjadi salah satu masalah paling krusial dalam setiap proses pemekaran daerah. Menurut Kepala Subdirektorat Penataan Daerah Wilayah I pada Direktorat Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Hendaryanto, berdasarkan hasil evaluasi, banyak DOB memperoleh skor rendah karena proses pengalihan aset berlarut-larut. “Karena masalah aset tidak beres, banyak daerah hasil pemekaran yang tidak bisa menjalankan fungsinya dengan optimal,” katanya. Dijelaskan, sejak kebijakan pemekaran daerah mulai digulirkan pada 1999, Kemendagri terus melakukan evaluasi terhadap perkembangan DOB. “Tujuan evaluasi untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan pembentukan DOB,” lanjutnya. Fokus evaluasi yang dilakukan Kemendagri meliputi 10 aspek, yaitu pembentukan organisasi perangkat daerah; pengisian personil; pengisian keanggotaan DPRD; penyelenggaraan urusan wajib dan urusan pilihan; kemampuan pembiayaan terhadap penyelenggaraan urusan wajib dan urusan pilihan; pengalihan pembiayaan dan alokasinya; pengalihan aset dan dokumen; pelaksanaan penetapan batas wilayah; penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan; penyusunan rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW); dan pemindahan ibu kota bagi daerah yang ibu kotanya dipindahkan. Meskipun begitu, Kemendagri belum dapat melakukan evaluasi terhadap seluruh daerah hasil pemekaran yang hingga 2013 ini jumlahnya telah mencapai 219 DOB —dan masih akan terus bertambah. Kemendagri baru dua kali menerbitkan laporan hasil evaluasinya, yaitu pada 2012 dan 2013. Itu pun baru meliputi evaluasi perkembangan terhadap 57 DOB yang dibentuk dalam kurun waktu 2007-2009 yang terdiri dari 50 kabupaten dan 7 kota. Baru pada tahun 2013 ini Kemendagri melakukan evaluasi kinerja dan evaluasi perkembangan terhadap seluruh DOB, termasuk yang baru
A N TA R A N E W S . C O M
L A P O R A N
nerja buruk, dan yang selebihnya hanya berkategori sedang. Hanya ada dua DOB yang memperoleh nilai di atas 60, yaitu Kota Cimahi, Jawa Barat, dan Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. “Belum ada yang baik, apalagi mampu memenuhi harapan untuk mensejahtarakan rakyat. Karena itu, pemerintah sudah membuat moratorium penghentian pemekaran itu, hanya DPR RI yang masih mempertimbangkannya secara politis,” ungkap Boy Tenjuri. Menurut Hendaryanto, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan Kemendagri, hingga saat ini sedikitnya terdapat 7 permasalahan yang penyelesaiannya berlarut-larut dalam pelaksanaan pembentukan DOB. Yaitu, pemberian bantuan/hibah, pengalihan aset dan dokumen, penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan, penyusunan RUTRW, pengisian personil, pemindahan ibu kota, dan
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
I S T I M E WA
penegasan batas wilayah. Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), ada dua masalah krusial yang menyebabkan DOB gagal dan berkinerja buruk, yaitu soal perebutan aset dan sengketa batas wilayah. “Perebutan aset masih terus terjadi, dan ini mengakibatkan tujuan dari pemekaran daerah gagal tercapai,” ujar Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng. Hal tersebut bisa terjadi, menurut Endi Jaweng, karena sejak awal masalah-masalah seperti yang berkaitan dengan pengalihan aset, dan juga batas wilayah, tidak dituntaskan terlebih dulu penyelesaiannya. Dengan demikian, ketika DOB sudah terbentuk, banyak masalah yang kemudian muncul, di antaranya penyelesaian pengalihan aset yang berlarut-larut dan bahkan memunculkan sengketa akut. “Kalau pemdanya berantem melulu, akhirnya rakyat yang jadi korban,” tandas Endi Jaweng. Karena itu, Endi Jaweng menyarankan agar pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, mengambil langkahlangkah serius dan tegas untuk menyele-
“Sebab, bukankah semua bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat?” saikan berbagai permasalahan yang membelit daerah-daerah pemekaran selama ini, terutama yang menyangkut masalah perbatasan wilayah dan pengalihan aset. “Tanpa kesungguhan dari pemerintah pusat, perebutan aset dan sengketa batas wilayah masih akan terus terjadi,” ujarnya. Selama ini, lanjut Endi Jaweng, pemerintah pusat baru melakukan evaluasi, namun belum memberikan solusi yang tegas untuk menyelesaikan berbagai masalah daerah hasil pemekaran tersebut. “Baru sebatas evaluasi, tapi langkah konkretnya seperti apa belum jelas,” imbuhnya. Namun, menurut Hendaryanto, sebenarnya pemerintah pusat juga tak tinggal diam. Kemendagri, misalnya, di-
katakan sudah sering memfasilitasi atau menjadi mediator bagi daerah pemekaran yang masih bermasalah atau berselisih soal berbagai hal, mulai dari dana hibah, pemindahan ibu kota, penetapan batas wilayah, hingga pengalihan aset. Namun, diakui Heryanto, Kemendagri baru sebatas memfasilitasi atau menjadi mediator. Selebihnya, bagaimana penyelesaiannya memang terpulang pada komitmen antara daerah induk dengan daerah hasil pemekarannya. “Mereka sendiri yang harus menyelesaikan masalah-masalah seperti itu. Pusat belum sampai pada tahap, misalnya, memberi sanksi sebab aturannya belum sampai ke sana,” jelasnya. Sesungguhnya, menurut Hendaryanto, jika para elite di daerah lebih mengedepankan kepentingan masyarakat yang lebih luas, dan kembali pada tujuan awal dilakukannya pemekaran daerah, masalah-masalah seperti sengketa batas wilayah atau pengalihan aset tidak perlu terjadi. “Sebab, bukankah semua bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Hendaryanto. Seringkali, imbuh Hendaryanto, berbagai permasalahan yang muncul di
Volume III
Kota Kita ed3.indd 9
SEPTEMBER 2013
9
01/10/13 12:16
L A P O R A N
U T A M A
Hendaryanto
daerah pemekaran justru dipicu oleh hal-hal yang tidak prinsip, seperti kurang baiknya hubungan antara pejabat daerah induk dengan pejabat daerah hasil pemekaran, adanya egoisme kelompok, atau tidak adanya perencanaan yang matang, dan sebagainya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wali Kota Sukabumi Mohamad Muraz. “Kadang-kadang seperti itu, tidak ada yang mau mengalah lebih dulu hanya karena masing-masing kepala daerah merasa sama kedudukannya,” ujarnya. Karena itu, menurut Muraz, semua pemangku kepentingan di daerah-daerah pemekaran harus punya kesadaran dan komitmen yang sama dalam memajukan daerah. Sebab, sesuai tujuan awalnya, semua aset memang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. “Mau dikuasai daerah induk atau daerah pemekaran, sepanjang memang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, tidak ada masalah,” ujar Muraz. Untuk itu, lanjut Muraz, para pemangku kepentingan baik dari daerah induk maupun daerah hasil pemekaran harus mau duduk semeja untuk menemukan jalan terbaik guna menyelesaikan berbagai persoalan daerah pemekaran. “Kalau satu aset misalnya akan lebih bermanfaat jika dikelola daerah hasil pemekaran, ya sebaiknya diserahkan. Tapi, sebaliknya, jika lebih bermanfaat tetap dikelola daerah induk, ya tidak usah dipaksakan. Jadi, lebih melalui me-
10
Kota Kita ed3.indd 10
Volume III
lalui kajian yang matang dan jangan saling ngotot,” kata Muraz. Hal yang hampir sama diusulkan oleh Endi Jaweng. Menurutnya, untuk masalah aset dalam proses pemekaran daerah selama ini cenderung menggunakan pendekatan lokasi. Artinya, jika suatu aset lokasinya berada di daerah pemekaran, misalnya, nantinya harus diserahkan atau menjadi milik daerah hasil pemekaran. Begitu sebaliknya. “Mestinya tidak harus selalu menggunakan pendekatan lokasi,” ujar Endi Jaweng. Dia mencontohkan, sebuah aset yang lokasinya berada di kabupaten atau kota hasil pemekaran bisa saja kepemilikan dan pengelolaannya tetap berada di daerah induk, atau kepemilikannya tetap di daerah induk tapi pengelolaannya diserahkan kepada daerah hasil pemekaran, atau dikelola secara bersamasama. “Yang terpenting aset tersebut bisa dimanfaatkan dan didayagunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat,” imbuhnya. Sebagai contoh, misalnya, keberadaan Pasar Ciputat kepemilikannya tidak harus dialihkan dari Pemkab Tangerang ke Pemkot Tangerang Selatan. Bisa saja pasar tersebut dikelola secara bersamasama melalui skema aliansi strategis. Aset-aset daerah pemekaran yang berbentuk badan usaha milik daerah (BUMD) pun sesungguhnya juga bisa dikelola secara bersama-sama, tidak harus dengan cara pengalihan kepemilikan atau penguasaan. Dalam hal sengketa PDAM antara Kabupaten Bogor dengan Kota Depok, misalnya, penyelesaiannya pun tidak harus berupa pengalihan atau penyerahan aset, melainkan dapat dilakukan dengan skema kerja sama pengelolaan. Di sejumlah daerah, menurut Endi Jaweng, model pengelolaan aset daerah secara bersama-sama sudah banyak dilakukan. Contohnya adalah pengelolaan Terminal Purabaya di Jawa Timur. Terminal ini letaknya di wilayah Kabupaten Sidoarjo, namun dikelola secara bersamasama antara Pemkab Sidoarjo dengan Pemkot Surabaya. Artinya, meskipun lokasinya berada di Kabupaten Sidoarjo,
Robert Endi Jaweng
karena Terminal Purabaya merupakan hasil pemindahan dari Terminal Wonokromo milik Pemkot Surabaya, kepemilikan aset tersebut tidak harus dialihkan. Cukup dengan pengelolaan bersama. Namun, menurut Endi Jaweng, untuk menemukan model pengelolaan terhadap seluruh aset di daerah yang dimekarkan memang harus dilakukan kajian secara mendalam dari berbagai aspek, mulai dari aspek legal, sosial-politik, dan ekonomi. “Ini yang belum pernah dilakukan ketika suatu daerah akan dimekarkan,” ujar Endi Jaweng. Dia menyarankan, pemerintah pusat segera turun tangan untuk menyelesaikan berbagai persoalan, terutama penetapan garis batas wilayah dan pengalihan aset, di semua daerah pemekaran melalui kajian atau studi yang mendalam. Hasil kajian itulah yang nanti akan dijadikan model penyelesaian dan wajib dipatuhi oleh seluruh daerah induk atau daerah hasil pemekaran. “Yang tidak patuh harus diberi sanksi,” tandasnya. Selain itu, dia menambahkan, ke depan pemerintah pusat harus membuat aturan dan persyaratan yang lebih ketat dan tegas dalam proses pemekaran daerah. Sebelum daerah dimekarkan, semua persyaratan harus terpenuhi lebih dulu. Misalnya, kata Endi Jaweng, masalah penetapan garis batas wilayah dan pengalihan atau pengelolaan aset harus dituntaskan lebih dulu. “Sebelum semua masalah-masalah krusial seperti itu tuntas, jangan dimekarkan,” tandasnya.
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
I S T I M E WA
DPRD Sulut menggelar rapat dengar pendapat, sinkronisasi antara pansus pemekaran.
Persiapan Dulu, Baru Jadi Daerah Otonom Pemerintah menyusun Desain Besar Penataan Daerah (Desartada). Nantinya, pemekaran daerah harus melalui tahap persiapan. Setelah lolos sebagai Daerah Persiapan, baru bisa ditingkatkan menjadi Daerah Otonom Baru. Berapa jumlah ideal daerah otonom untuk wilayah seluas Indonesia?
S
EJAK reformasi, jumlah da-
erah otonom baru (DOB) di Indonesia bak cendawan di musim hujan. Gairah untuk memekarkan daerah membuncah ke seluruh pelosok Nusantara. Dalam kurun waktu tahun, selama -, jumlah daerah otonom telah bertambah sebanyak , yang terdiri atas provinsi, kabupaten, dan kota. Sempat dilakukan moratorium, mulai tren pemekaran daerah kembali bergairah. Hal itu ditandai dengan mulai dibahasnya 19 Rancangan Undang-Undang (RUU) DOB pada Mei 2012. Tak lama kemudian lahir 5 DOB yang terdiri dari 1 provinsi dan 4 kabupaten, yaitu Provinsi Kalimantan Utara (pemekaran dari Kalimantan Timur serta Kabupaten
Pesisir Barat (Lampung), Pangandaran (Jawa Barat), Pegunungan Arfak, dan Manokwari Selatan (Papua Barat). Pada awal 2013, lahir lagi 7 DOB, yaitu Kabupaten Mahakam Ulu (Kalimantan Timur), Malaka (Nusa Tenggara Timur), Mamuju Tengah (Sulawesi Barat), Banggai Laut (Sulawesi Tengah), Pulau Taliabu (Maluku Utara), Penukal Abab Lematang Ilir (Sumatera Selatan), dan Kolaka Timur (Sulawesi Tenggara). Dengan demikian, dari 19 rencana pemekaran, sudah 12 yang disetujui, sisanya tampaknya tinggal menunggu waktu. Artinya, hingga kini, belum genap 15 tahun masa reformasi, sudah resmi terbentuk 217 DOB. Sehingga total jumlah daerah otonom saat ini mencapai 539 yang terdiri atas 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota.
Bandingkan, misalnya, dengan kondisi pada tahun 2001, di mana hanya ada 29 provinsi, 269 kabupaten, dan 85 kota atau total hanya 383 daerah otonom. Cukup? Belum. Sebab, menurut Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunanjar Sudarsa, saat ini masih ada sekitar 200an usulan pemekaran daerah yang masuk ke Komisi II DPR RI yang salah satu tugasnya RUU DOB. Dari jumlah itu, yang sudah dipastikan dibahas pada tahun 2013 ini hingga 2014 ada sekitar 70 usulan pemekaran. Jika diasumsikan separonya saja yang disetujui, maka jumlah daerah otonom akan bertambah lagi sekitar 30-an. Singkatnya, tahun depan jumlah daerah otonom bisa jadi akan bertambah menjadi sekitar 570. Atau, sejak 1999 akan lahir sekitar 250an DOB.
Volume III SEPTEMBER 2013
Kota Kita ed3.indd 11
11
01/10/13 12:16
U T A M A
Sayangnya, tren maraknya pemekaran daerah tersebut tak segaris dan tak sebangun dengan tujuan awalnya, seperti mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, memeratakan pembangunan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seperti diungkapkan oleh hasil evaluasi yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), 80 persen DOB ternyata berkinerja buruk dan gagal menjalankan tugas dan fungsi yang diembannya. Menurut data di Kemendagri, dari evaluasi atas 205 DOB yang dilakukan pada 2011, hanya dua yang meraih skor di atas 60 alias baik, yaitu Kota Cimahi (Jawa Barat) dan Kota Banjarbaru (Kalimantan Selatan). Selebihnya hanya punya nilai sedang dan buruk. Selain gagal menjalankan tugas dan fungsinya, dalam perkembangannya, ternyata lebih banyak DOB yang justru semakin membebani keuangan negara. “Sebab, setiap pembentukan daerah baru anggarannya dibebankan kepada APBN,” ujar Kepala Subdirektorat Penataan Daerah Wilayah I pada Direktorat Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Hendaryanto. Sebagai gambaran, misalnya, pada 2003 pemerintah pusat harus menyediakan dana alokasi umum (DAU) sebesar Rp1,33 triliun bagi 22 DOB hasil pemekaran pada 2002. Pada 2004, jumlahnya melonjak dua kali lipat, sebab pemerintah harus mentransfer DAU sebe-
12
Kota Kita ed3.indd 12
Volume III
Banyak kalangan mengingatkan pemerintah pusat agar sesegera mungkin mengendalikan tren pemekaran daerah ini.
K O M PA S . C O M
P I K I R A N - R A K YAT . C O M
L A P O R A N
Demonstrasi-demnstrasi massa yang menuntut pemekaran suatu wilayah pemerintahan.
sar Rp 2,6 triliun bagi 40 DOB hasil pemekaran 2003. Kemudian, pada tahun 2010, pemerintah mengucurkan dana Rp 47,9 triliun sebagai DAU untuk 205 DOB. Diperkirakan, pembengkakan anggaran akan terus terjadi lantaran mulai 2012 mulai marak lagi tren pemekaran daerah. Beban keuangan negara akan makin berdarah-darah sebab kinerja DOB masih buruk dan sebagian besar anggaran, antara 70-80 persen, ternyata hanya dialokasikan untuk belanja rutin. Karena itu, banyak kalangan mengingatkan pemerintah pusat agar sesegera mungkin mengendalikan tren pemekaran daerah ini. Jika tren pemekaran daerah tak terkendali, dikhawatirkan pemerintah pusat tak sanggup lagi menanggung beban anggaran dan justru akan kontraproduktif bagi pembangunan nasional di masa depan. Untuk itulah, Kemendagri mulai menyusun Desain Besar Penataan Daerah
(Desartada) dengan kurun waktu 20102025. Menurut Hendaryanto, Desartada ini akan dimasukkan ke dalam materi perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Jika perubahan UU Pemerintah Daerah ini telah disahkan, nantinya seluruh proses pemekaran daerah harus mengikuti semua syarat, ketentuan, dan tahapan yang diatur dalam UU baru tersebut. “Persyaratannya diperketat,” tegas Hendaryanto. Salah satunya, misalnya, sebelum ditetapkan sebagai DOB, daerah hasil pemekaran tersebut, baik itu provinsi, kabupaten, maupun kota harus terlebih dahulu melalui tahapan persiapan selama 3-5 tahun. Selama ini, begitu RUU disahkan, daerah hasil pemekaran bisa langsung ditetapkan sebagai DOB. “Nanti tidak bisa begitu lagi,” tambahnya. Pemilihan kepala daerah definitifnya pun baru bisa dilaksanakan setelah daerah hasil pemekaran tersebut lulus masa persiapan dan secara definitf
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
K O M PA S . C O M K O M PA S . C O M
pula telah ditetapkan sebagai daerah otonom. Menurut Hendaryanto, Desartada ini juga diproyeksikan jumlah ideal daerah otonom di Indonesia hingga 2025 yang didasarkan pada pertimbangan aspek geografi, demografi, dan sistem. Berdasarkan pertimbangan ketiga aspek tersebut, ternyata masih dimungkinkan dilakukannya pembentukan DOB. Untuk provinsi, diestimasikan akan dibentuk 11 provinsi baru. Sedangkan,
untuk kabupaten/kota antara 2010 hingga 2025 masih dimungkinkan dibentuk sekitar 54 DOB. Dengan demikian, berdasarkan estimasi Desartada ini, pada 2025 akan ada 44 provinsi dan 545 kabupaten/kota atau total menjadi 589 daerah otonom. Tapi, Hendaryanto menegaskan, jumlah daerah otonom tersebut baru merupakan estimasi dalam Desartada 2010-2025. Dalam praktiknya bisa saja berubah, dalam arti bisa berkurang atau
Estimasi Jumlah Daerah Otonom 2010-2025 Daerah otonom Jumlah provinsi Jumlah kabupaten/kota Jumlah daerah otonom
2010 33
Penambahan 11
2025(*) 44
491
54
545
524
65
589
Sumber: Desartada 2010-2025 Kementerian Dalam Negeri.
justru bertambah. “Sebab, nantinya ketentuan tentang penggabungan daerah otonom juga mulai dijalankan,” tandasnya. Artinya, dalam otonom yang dalam perkembangannya berkinerja buruk bisa saja dihapuskan atau digabungkan dengan daerah otonom lain. Namun, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengingatkan, pemerintah harus benar-benar melakukan kajian yang matang untuk menjalankan Desartada 2010-2025. Sebab, jika masih menggunakan pola lama, hasilnya tidak akan berbeda jauh dengan yang apa yang terjadi selama ini. “Saya bukannya antipemekaran. Tapi, apakah untuk mengatasi masalah kesenjangan di daerah harus selalu dilakukan dengan cara pemekaran. Jangan-jangan solusinya justru sebaliknya,” ujar Endi Jaweng sembari menyebut beberapa contoh. Di banyak negara, menurut Endi Jaweng, yang terjadi justru sebaliknya, yaitu pengurangan jumlah daerah otonom. Di Jepang, misalnya, desentralisasi bukan dilakukan dengan pemekaran wilayah, melainkan justru dengan penggabungan daerah. Pada tahun 1990-an, masih terdapat 3.300 Pemerintahan Daerah. Dan, 10 tahun kemudian diciutkan 1.500 Pemerintahan Daerah. Di negara-negara Eropa tren penggabungan justru sudah lama dilakukan. Di Swedia, misalnya, pada 1960-an masih terdapat 1.006 pemda, dan pada tahun 1980-an dipangkas habis-habisan hanya tinggal 284 pemda. Dalam kurun yang hampir bersamaan, Belgia, Denmark, Jerman, dan Inggris juga melakukan hal yang sama. Di Belgia, jumlah daerah otonom dikurangi dari 2.663 daerah menjadi 589, di Denmark dari 1.387 menjadi 275, di Jerman dari 24.282 menjadi 8.426, dan Inggris dari 1.288 menjadi 457. Jadi, menurut Endi Jaweng, pemerintah harus membuat kajian yang benar-benar matang agar tidak terjadi kesalahan yang sama. “Jangan dikit-dikit pemekaran, dikit-dikit pemekaran. Jangan-jangan solusinya bukan itu,” katanya.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 13
SEPTEMBER 2013
13
01/10/13 12:16
WIKIPEDIA.ORG
I S T I M E WA
P R O F I L
Mohamad Muraz. Prasarana jalan di sudut Kota Sukabumi.
Membangun Sukabumi Kota Jasa dan Pelayanan Sadar akan potensi daerahnya, Wali Kota Sukabumi Mohamad Muraz bertekad mewujudkan daerah yang dipimpinnya sebagai pusat pelayanan pendidikan, kesehatan, dan perdagangan.
“
AMI tidak punya sumber daya alam (SDA), kecuali udara yang sejuk. Maka, pilihannya hanya menggenjot kualitas sumber daya manusia (SDM),” ujar Mohamad Muraz ketika ditanya strategi apa yang dipilih untuk memajukan Kota Sukabumi. Memang, dibandingkan
K 14
Kota Kita ed3.indd 14
Volume III
dengan daerah-daerah lain di wilayah Provinsi Jawa Barat, Kota Sukabumi terbilang miskin SDA. Tapi, harus diakui, udara kota ini sangat sejuk, embusan anginnya terasa segar. “Dengan SDM yang berkualitas, kota ini bisa menjadi pusat jasa dan pelayanan, juga perdagangan, yang cukup maju,” tuturnya. Sebagai tokoh yang cukup lama me-
niti karier cukup lama di lingkungan pegawai negeri sipil (PNS), Mohamad Muraz yang belum lama ini terpilih menjadi wali kota memiliki modal dan pengalaman yang cukup untuk menjalankan visi dan strategi pilihannya. Lahir di Sukabumi 6 Mei 1956, peraih gelar Magister Manajemen Keuangan dari Universitas Padjadjaran Bandung ini mengawali kariernya sebagai Staf Sekretariat DPRD Kota Sukabumi pada 1975. Lima tahun kemudian ia menjadi Kepala Sub-Bagian Keuangan di tempat yang sama, lalu digeser menjadi Kepala Sub-Bagian Persidangan. Setelah itu, selama 7 tahun, dari 1983 hingga 1990, ia sempat menjadi guru di STM Pasundan Sukabumi dan SMEA YASPI Syamsul Ulum Sukabumi serta dosen di STHI Syamsul Ulum Sukabumi. Namun, pada tahun-tahun itu pula, Mohamad Muraz dipercaya menjadi Wakil Direktur PD Bank Pasar Kota Sukabumi. Akhir 1980-an ia kembali berdinas di lingkungan pemerintahan. Pada 1989, Muraz dipercaya menjadi Kepala Bagian Hukum dan Ortala Setda Kota Sukabumi. Kemudian, pada 1991 ditunjuk menjadi Kepala Bagian Keuangan Setda Kota Sukabumi dan lima tahun kemudian menjadi Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Sukabumi dan tahun 2000 Asisten Administrasi Setda Kota Sukabumi.
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
A EW IM IST
Jabatan terakhir sebelum terpilih menjadi wali kota adalah Sekretaris Daerah Kota Sukabumi yang dijabat dari 2003 hingga 2012. Sebelum itu, Mohamad Muraz pernah menjadi Ketua Badan Pengawas PD Apotek Waluya Kota Sukabumi, Ketua Dewan Pembina Penasihat Hukum Pemerintah Kota Sukabumi, Ketua Badan Pengawas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Sukabumi, Wakil Ketua Dewan Pembina RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi, dan pada 2008 sempat menjadi Pelaksana Harian Wali Kota Sukabumi selama Wali Kota Sukabumi cuti guna mengikuti Pemilukada. Selain di pemerintahan, Mohamad Muraz juga dikenal aktif pada organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan. Tercatat, ia pernah Ketua Umum Korpri Kota Sukabumi, Anggota Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Sukabumi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Sukabumi, Ketua Umum Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Kota Sukabumi dari tahun 2004 sampai dengan 2012, Ketua Penggerak Penghapal Al-Quran Kota Sukabumi dari tahun 2010 sampai dengan 2012, dan Ketua DKM Masjid ALIkhlas Pemda Kota Sukabumi dari tahun 2004 sampai dengan 2009. Dengan latar belakang tersebut, awal 2013 Mohamad Muraz terpilih sebagai wali kota mengalahkan calon petahana Mulyono. Begitu terpilih sebagai wali kota, Mohamad Muraz langsung tancap gas untuk menjalankan visi dan misinya dalam membangun Kota Sukabumi. Tak perlu belajar dari nol, sebab ia sudah puluhan tahun berada di lingkungan pemerintahan Kota Sukabumi. Menurut Muraz, kunci sukses dalam pembangunan suatu daerah adalah adanya potensi atau sumber daya dan kepemimpinan yang kuat dan baik. “Yang pertama potensi, yang kedua pemimpin. Kalau tidak ada potensi dan kepemimpinan yang hebat, ya susah untuk bisa maju,” ujarnya. Nah, dalam konteks itulah, Muraz
melihat bahwa Kota Sukabumi tergolong daerah yang minim potensi SDA. Dengan demikian, tidak mungkin pembangunan Kota Sukabumi mengandalkan dari ekspolasi SDA. Karena itu, pilihannya adalah pengembangan SDM. Untuk itu, kata kuncinya tak lain adalah memajukan pendidikan. “Jadi, larinya ke pengembangan pendidikan,” Muraz menegaskan. Selain itu, dengan kondisi alam dan lingkungan yang masih segar, Muraz melihat Sukabumi sangat cocok dikembangkan sebagai pusat jasa dan pelayanan di bidang kesehatan. Kata kuncinya tak lain adalah meningkatkan fasilitas dan pelayanan kesehatan, dalam hal ini adalah pembangunan dan pengembangan rumah sakit di daerah. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Sukabumi saat ini klasifikasi sudah B Plus, dan akan terus ditingkatkan dan dikembangkan menjadi rumah sakit wisata. Di samping bidang pendidikan dan kesehatan, Muraz ingin mengembangkan Kota Sukabumi sebagai pusat dan jasa perdagangan. Semuanya, menurut
Muraz, akan ditata sedemikian rupa menjadi satu kesatuan dengan pengembangan industri jasa pariwisata. Singkatnya, pengembangan bidang pendidikannya diarahkan untuk mendorong pengembangan industri pariwisata. Begitu pula dengan bidang pelayanan kesehatan dan sektor perdagangan. “Jadi, orang datang ke Kota Sukabumi untuk berobat sambil berwisata, atau berbelanja juga sambil berwisata,” ujarnya. Meskipun begitu, Muraz sadar untuk itu masih diperlukan waktu karena dukungan infrastruktur masih belum optimal, terutama di bidang transportasi. Misalnya, kondisi jalan dari Jakarta ke Sukabumi masih belum memadai. Realisasi pembangunan jalan tol terus molor. Jalur kereta apinya pun lebih sering menganggur. “Yang ada hanya ‘kereta hantu’ atau ‘kereta drakula’, berangkat hari masih gelap, pulang hari sudah gelap,” candanya. Untuk itu, dia akan berusaha keras agar infrastrtuktur untuk mendukung pembangunan Kota Sukabumi segera terbangun secara memadai. Dan, itulah kuncinya.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 15
SEPTEMBER 2013
15
01/10/13 12:16
W A W A N C A R A
“Manejemen Pemekaran Harus Diubah” ANYAK daerah otonom baru hasil pemekaran ternyata berkinerja buruk dan gagal mensejahterakan masyarakat. Banyak masalah yang menyebabkan daerah hasil pemekaran tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan optimal. Untuk mengetahui berbagai masalah yang membelit daerah pemekaran, Majalah Kota Kita mewawancarai Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng. Berikut petikannya: Menurut pantauan KPPOD, bagaimana perkembangan daerah-daerah otonom hasil pemekaran selama ini? Kami sudah melakukan survei tentang tata kelola pemerintah daerah dalam konteks daya saing investasi di daerah. Temuannya adalah, dari 253 daerah yang kami datangi, ada kecenderungan umum bahwa daerah kota punya tingkat daya saing lebih tinggi ketimbang kabupaten. Kemudian, daerah Indonesia Barat lebih bagus ketimbang Indonesia Timur. Lalu, daerah yang tidak mengalami pemekaran lebih bagus dari daerah induk dan lebih bagus lagi dari daerah yang mengalami pemekaran. Terakhir, kami coba melihat daerah-daerah yang tidak mengalami pemekaran sama sekali. Nilai kinerjanya 65 untuk skala 1-100. Artinya, walaupun nilainya di tengah lebih sedikit tapi, lebih tetap tinggi dari daerah yang mengalami pemekaran. Bagaimana dengan kinerja daerah induk? Daerah induk poinnya sekitar 62, dan daerah pemekaran 59 ke bawah. Jadi, menariknya lagi, antara daerah yang mekar 10 tahun lalu, yakni tahun 2000 awal atau tahun 1999, dibandingkan dengan yang mekar sekarang, kinerjanya kurang lebih sama. Ada orang mengatakan, itu, kan, daerah baru. Tapi, daerah yang sudah mekar 10 tahun pun tingkat kinerjanya juga rendah. Apa kita harus bersabar belasan tahun atau mungkin puluhan tahun untuk melihat hasil kinerja dari daerah-daerah
B
16
Kota Kita ed3.indd 16
Volume III
seperti ini. Dari survei tersebut, berarti sudah bisa dipetakan bagaimana gambaran kinerja pemerintah daerah di seluruh Indonesia? Kalau dibagi per pulau, ada kecenderungan daerah-daerah Papua dan Maluku punya indeks kinerja yang jauh lebih rendah dari daerah-daerah lain seperti di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemekaran semestinya hanya untuk daerah-daerah yang sudah siap. Kalau tidak terlalu siap, ya akan seperti itu. Seharusnya bagaimana? Pemekaran bukan jalan keluar untuk memperbaiki kinerja, bukan untuk memperbaiki kinerja untuk membangun daya saing. Karena, nyatanya, setelah mekar juga malah kemudian mereka berada pada posisi yang sangat rendah dalam hal daya saing, dalam hal kualitas tata kelola ekonomi, dan dalam hal kemampuan untuk menarik investasi. Itulah kenapa saya agak keras bersuara untuk soal pemekaran ini. Sebab, data menunjukkan itu. Memang, ada satu dua daerah hasil pemekaran kinerjanya bagus, tapi secara overall seperti itu. Kalau dikatakan 80 persen yang dianggap sulit memenuhi target pemekaran, ya berarti hanya sekitar 20 persen yang memang bagus. Itu berdasarkan hasil evaluasi pemerintah sendiri. Tapi hasil evaluasi pemerintah itu mau diapakan? Kalau hanya evaluasi-evaluasi, itu pekerjaan LSM. Kita juga bisa megevaluasi. Yang penting dari pemerintah adalah evaluasi terhadap daerah baru ini harus sama dengan rekomendasi teknis, penguatan kapasitas dan fasilitasi agar daerahdaerah ini tahun berikutnya tidak ketemu lagi daerah-daerah yang bermasalah, atau paling tidak membaiklah. Bagaimana hasil evaluasi itu mesti ditindaklanjuti? Setelah berapa tahun dilakukan evaluasi yang sangat in-
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
tensif dengan pendampingan khusus masih juga gagal, ya langkah teknis harus ditindaklanjuti dengan langkah politis. Ya penggabungan itu. Karena, kalau tidak, anggaran itu kemakan terus sama mereka. Sesuatu yang kita tahu ini jadi sumber problem. Dia menjadi cost center. Menyerap anggaran pusat terus, tapi dia sendiri tidak mampu menunjukkan kinerja yang bagus untuk pelayanan publik, pembangunan ekonomi, dan lain-lain. Tidak mensejahterakan masyarakat. Jika kebijakan politis yang diambil, misalnya hingga terjadi penggabungan kembali, bagaimana dampaknya? Itu bedanya. Itu yang selalu saya suarakan. Kalau sekedar evaluasi, semua bisa melakukannya. Bedanya saya dan Anda adalah, kalau kami, setelah evaluasi keluar, kami publikasikan di media dan kami sampaikan kepada pemerintah pula. Kalau pemerintah yang melakukan evaluasi, mestinya harus lebih konkret lagi dan ditindaklanjuti secara teknis dengan pendampingan. Ambil contoh, dari semua daerah yang dievaluasi, katakanlah 10 daerah dengan nilai terbawah itu, beri pendampingan intensif. Bayangan saya begitu. Jadikan itu sebagai daerah pembinaaan khusus dari pemerintah pusat. Didampingi benar untuk membuktikan bahwa pemerintah juga mampu membuktikan pemekaran ini menjadi rute alternatif dalam mempercepat akselerasi pembangunan, perbaikan, dan macam-macam. Kalau misalnya setelah dibina dalam 2-3 tahun ternyata tetap tidak mampu memberikan pelayanan signifikan, artinya memang daerah ini daerah yang sulit. Daerah yang sulit seperti ini ya harus dengan langkah politis. Memang belum ada ya isyarat ke sana? Tantangannya adalah, mungkin Presiden atau Mendagri sendiri belum pasti benar bahwa ini soal pendampingan. Juga, ada kekhawatiran munculnya resistensi dari daerah jika akan digabung. Untuk itu diperlukan dua hal. Satu, hasil evaluasi yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan keabsahan dan validitasnya. Kedua, pada sisi politik, adalah ketegasan sikap. Yang penting, kan, punya bukti bahwa evaluasi memang menunjukkan bahwa Anda itu memang sulit untuk diperbaiki. Karena itu, caranya adalah daripada menghabiskan anggaran terus, ya dikembalikan ke daerah induknya. Siapa yang harus bertanggung jawab kalau anggaran negara jebol hanya untuk membiayai daerah yang terus dimekarkan? Dan apa sungguhnya masalah yang menyebabkan perkembangan daerah hasil pemekaran tidak optimal? Ya pemerintah pusat. Karena, pemekaran daerah baru itu berdasarkan undang-undang (UU). Pembentuk UU itu DPR dan pemerintah. Sekuat apa pun aspirasi daerah, seberapa besar pun tekanan politik, kalau pemerintahnya menghendaki mekar, ya mekar. Karena harus dengan UU. Kalau UU sudah lolos, ya pemerintah harus bertanggung jawab. Jadi, dari prosesnya memang sudah bermasalah. Itu probem pertama pemekaran. Masalah kedua adalah masalah transisi administrasi. Salah satunya berkaitan dengan pengalihan aset. Masalah transisi administrasi ini bukan hanya masalah pengalihan aset, ada soal Peralihan Personil
Dokumen dan Peralatan (P3D). Ada masalah hibah yang tidak dipenuhi selama 2 tahun. Kan, katanya 2 tahun. Ternyata hibah setahun saja, setelah itu nggak jelas. Ini datanya juga ada di Kemendagri. Kemudian yang asetnya bermasalah ada berapa persen, kemudian PNS yang tidak mau pindah berapa persen. Jadi, ini memang masa peralihan, masa transisi yang selama 2-3 tahun itu jadi masalah. Kenapa masalah transisi begitu merepotkan? Karena dulu ketika dimekarkan, semangatnya hanya memekarkan. Yang penting ini dulu deh, kita rebut dulu momentum pengesahan pemekaran. Soal transisi itu urusan belakangan. Semangat memperjuangkan pemekaran mereka heroik sekali. Padahal, semestinya, masalah transisi yang begini ini dikompromikan dahulu. Karena diabaikan, ketika mekar baru kemudian orang sadar, ‘oh ternyata’, wah peralihan aset itu bukan urusan gampang ya. Jangankan aset, untuk memindahkan PNS ke daerah baru saja susah. Mereka apa mau pindah ke daerah baru jika belum ada fasilitas. Orang sudah lama di ibu kota daerah induk, kemudian disuruh ke daerah antah-berantah yang baru dibuka, wah itu tidak gampang. Kalau transisi saja tidak beres, bagaimana daerah-daerah ini bisa memberikan pelayanan publik yang baik. Ini menjadi masalah ketiga problem pemekaran. Pelayanan publik itu selama 2-3 tahun terbengkalai karena daerah sibuk dengan masalah transisi administrasi. Dengan begitu, kapasitas untuk bisa meningkatkan kualitas layanan publik, untuk memperbaiki kesejahteraan masayarakat, sulit ditingkatkan. Membuka lahan baru itu memang bukan hal gampang. Lalu, apa yang mesti dilakukan agar daerah pemekaran tidak gagal lagi dan benar-benar dapat mensejahterakan masyarakat? Pertama, saya kira bukan hanya untuk masyarakat, tapi pemerintah juga ya. Saya ingin meringkas begini, pemekaran itu sesuatu yang wajar saja, bukan barang haram. Pemekaran sah-sah saja, tapi tidak dengan manajemen kebijakan yang seperti sekarang ini. Jadi, rusaknya daerah-daerah baru itu bukan karena pemekarannya, tapi karena mismanajemen kebijakan pemerintah pusat. Kedua, kembali pada daerah lokal, pemekaran adalah momentum baru untuk membangun. Harus diingat, membangun itu sesuatu lebih gampang ketimbang mereformasi birokrasinya. Nah, untuk itu kita memang selalu melihat pemekaran itu akan menjadi momentum meningkatkan perbaikan layanan publik dan kesejahteraan. Tapi, untuk itu dibutuhkan hadirnya kepala daerah dengan kepemimpinan yang bagus. Saya selalu mengatakan bahwa kalau Kota Tarakan itu bagus sebagai daerah otonom baru, kemudian Cimahi itu bagus, kemudian Kota Banjarbaru itu bagus, itu karena pemimpinnya bagus. Tidak banyak daerah yang seperti itu. Nah, kalau kepemimpinan tidak bagus, berarti pemekaran ini hanya untuk mengulang-ulang apa yang sudah ada. Kepemimpinan itu sangat penting di tingkat lokal. Hanya dengan kepemimpinan baru seperti ini pemekaran bisa menjadi momentum untuk meningkatkan perbaikan layanan publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 17
SEPTEMBER 2013
17
01/10/13 12:16
J E J A K
R R I.CO.I D
Gunungsitoli Gerbang Memasuki Nias Martinus Lase
E
RA baru itu dimulai pada
Mei , ketika Martinus Lase dilantik sebagai Penjabat Wali Kota Gununggsitoli. Semula, Gununggsitoli adalah kecamatan di Kabupaten Nias. Kemudian, berdasarkan Undang Undang (UU) Nomor Tahun , Gununggsitoli ditetapkan sebagai kota otonom. Kabupaten Nias di Provinsi Sumatera Utara dimekarkan menjadi tiga daerah otonom, yaitu Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias Utara, dan Kabupaten Nias Barat. Meskipun baru berusia lima tahun, sesungguhnya Gunungsitoli menyimpan sejarah yang panjang. Berdasarkan catatan sejarah, Gunungsitoli sering juga disebut Luaha yang sudah dikenal dan dikunjungi banyak orang dari berbagai tempat sejak abad ke-18. Posisi kota Luaha terletak pada muara sungai Nou atau pasar Gunungsitoli saat ini. Pada saat itu, ada tiga marga dominan yang menghuni kota Luaha, yaitu Harefa, Zebua, dan Telaumbanua atau lebih
18
Kota Kita ed3.indd 18
Volume III
Pada 29 Oktober 2013, Kota Gunungsitoli tepat berusia lima tahun. Sebagai daerah otonom, usianya memang baru seumur jagung. Namun, Gunungsitoli merupakan kota tua yang namanya telah mendunia. Kini ia mulai bangkit kembali menjadi pusat pertumbuhan sekaligus pintu masuk Kepulauan Nias.
dikenal dengan sitolu tua. Namun, belum diketahui secara pasti asal muasal penamaan Gunungsitoli. Dalam sebuah sebuah buku yang ditulis seorang pastor yang mendirikan Museum Pusaka Nias disebutkan bahwa nama Gunungsitoli diberikan oleh para pedagang yang berasal dari Indocina. Kelak, para pedagang inilah yang disebut-sebut nenek moyang orang Nias. Tapi, masyarakat setempat punya referensi harfiah tersendiri. Jelas, kata Gunungsitoli berasal dari kata “gunung” dan kata “sitoli”. Gunung berarti tanah yang tinggi (berbukit), dan Sitoli konon berasal dari nama orang yang berdiam di bukit dekat rumah sakit (daerah Onozitoli sekarang). Pada abad-abad berikutnya, pamor Gunungsitoli akhir meredup. Namun, sejak ditetapkan sebagai daerah otonom, Gunungsitoli mulai bangkit kembali. Ia mulai memainkan peran penting dan strategis di wilayah Kepulauan Nias. Kota yang hingga kini masih dipimpin Martinus Lase ini memiliki luas
wilayah 469,36 km persegi dan tercatat dihuni 125.495 jiwa. Kota Gunungsitoli terdiri dari 6 kecamatan. Ditetapkannya Kota Gunungsitoli sebagai daerah otonom bertujuan untuk memacu kemajuan di wilayah Kepulauan Nias yang belum seberuntung daerah-daerah lain. Sejak ditetapkan sebagai daerah otonom, Kota Gunungsitoli mulai memainkan peran penting, yaitu menjadi pintu masuk ke wilayah Kepulauan Nias. Lalu lintas dari dan ke Kepulauan Nias, misalnya, baik melalui transportasi udara maupun laut, harus melalui Kota Gunungsitoli. Sebab, di Kepulauan Nias, bandar udara memang hanya ada di Gunungsitoli, yaitu Bandara Udara Binaka Gunungsitoli yang berjarak 17 km arah selatan Kota Gunungsitoli. Sedangkan, untuk moda transportasi laut, hanya pelabuhan di kota ini yang infrastrukturnya terbilang cukup memadai, yaitu Pelabuhan Angin Gunungsitoli. Pelabuhan ini bisa dikatakan sebagai pintu gerbang utama keluar masuknya berbagai barang komoditi yang dibutuhkan
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
I S T I M E WA
I S T I M E WA
WIKIPEDIA.ORG
Sudut-sudut Kota Gunungsitoli.
masyarakat Gunungsitoli. Posisi Kepulauan Nias memang dikelilingi laut. Itulah yang membuat wilayah ini sangat tergantung daerah luar untuk memenuhi kebutuhannya, seperti beras, minyak goreng, terigu, sayur mayur, dan lainnya. Tak heran, pelabuhan yang terletak di pesisir Kota Gunungsitoli ini setiap harinya sibuk melayani berbagai rute pelayaran kapal. Kota Gunungsitoli sendiri berada di Pulau Nias yang terletak di Samudra Hindia, persisnya 125 km sebelah barat Pulau Sumatera. Pulau ini dikelilingi sekitar 27 pulau kecil, dan baru 11 pulau yang sudah berpenghuni. Selain telah memerankan diri sebagai gerbang utama Kepulauan Nias, Gunungsitoli kini telah berkembang menjadi pusat penyediaan barang, jasa,
serta berbagai fasilitas yang dibutuhkan masyarakat Kepulauan Nias. Di kota ini pula terdapat Museum Pusaka Nias yang menyimpan sekira 6.500 koleksi benda budaya peninggalan masyarakat Nias. Tak ayal, perkembangan kota ini mewarnai peradaban masyarakat Nias menuju modernisasi dan sebagai kota tertua di kepulauan ini. Dalam lima tahun terakhir memang telah terjadi banyak kemajuan. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur digalakkan agar konektisitas antardaerah di Gunungsitoli dan daerah lainnya dapat dilakukan dengan mudah. Setidaknya, hingga saat ini telah dibangun enam jembatan penghubung. Pembangunannya atas bantuan dana hibah dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Proyek yang dimulai 1
Juni 2010 ini pada diresmikan 15 Februari 2013. Di antaranya adalah Jembatan Nou sepanjang 41 km, Jembatan Nou A sepanjang 48,5 meter, Jembatan Idano Gawo sepanjang 151 meter, Jembatan Sowa sepanjang 53 meter, Jembatan Mezaya sepanjang 94 meter, dan Jembatan Gido Si’ite sepanjang 40 meter. Atas kerja keras Pemerintah Kota, Kota Gunungsitoli kini mampu membuktikan diri bersaing dengan daerah otonom baru lainnya. Seperti, hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah pusat terhadap 30 daerah otonom baru (DOB), pada tahun keempat Kota Gunungsitoli berada di posisi keempat. Pada hari jadi yang kelima, masyarakat Kota Gunungsitoli mulai memandang masa depan dengan mata berbinar.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 19
SEPTEMBER 2013
19
01/10/13 12:16
D I N A M I K A
I S T I M E WA
Kota Sabang Masuk New 9 Wonderful Parks
K
OTA Sabang, Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD), ditetapkan sebagai destinasi alam unggulan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama obyek wisata lainnya di Indonesia. Penetapan tersebut disambut baik oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NAD, Adami Umar. Total, ada 45 obyek wisata yang ditetapkan sebagai destinasi alam unggulan yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Ke-45 destinasi alam unggulan tersebut diikutkan dalam program “New 9 Wonderful Parks” yang digelar di Singapura, 27-29 September 2013. Untuk itu, pada 27-29 September 2013, Ditjen Pengembangan Destinasi memfasilitasi para calon
20
Kota Kita ed3.indd 20
Volume III
peserta, termasuk delegasi Kota Sabang, untuk memperkenalkan diri di dalam ajang “New 9 Wonderful Parks” di Singapura. Kemudian, pada awal tahun 2014, masing-masing delegasi mendeklarasikan wilayahnya sebagai peserta even “New 9 Wonderful Parks”. Selanjutnya, kata Adami, pada 27 September 2014, di Singapura, akan dideklarasikan New9 Wonderful Parks sebagai sebuah “Kawasan Taman Wisata Dunia” dengan agenda meresmikan System New 9 Wonderful Parks yang berbasiskan jejaring sosial di www.new9wonderful.com. Menurut Adami, program tersebut sekaligus menjadikan Singapura sebagai pintu gerbang pertama untuk masuk ke Kawasan New9 Wonderful Parks (Indonesia), termasuk Kota Sabang. “Agenda terakhir adalah meluncurkan New9 Wonderful Card,” demikian Adami Umar
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
Investor Bangun Super Blok di Kota Padang SEJAK dilanda gempa bumi tahun 2009, geliat roda ekonomi
Kota Padang, Sumatera Barat, kurang bergairah. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Kota Padang mulai membuka diri terhadap masuknya investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Investor dalam negeri yang telah berkomitmen berivestasi di Kota Padang salah satunya adalah kelompok usaha Lippo dengan rencana investasi Rp 1,3 triliun. Kelompok bisnis ini berencana membangun super blok yang terdiri dari sekolah, hotel, rumah sakit, dan pusat belanja. Kepala Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Padang, Muji Susilawati, mengatakan, investor Grup Lippo telah melengkapi segala persyaratan proses perizinan. “Kita semua maklum untuk mendapatkan dan menarik investor datang ke Kota Padang sulit sekali dan memakan waktu cukup lama. Pak Wali Kota Padang pun harus rela melakukan lobi-lobi,” terang Muji. Muji Sulawati menjelaskan, Grup Lippo juga telah berkomitmen membangun sarana publik untuk masyarakat sekitar yang dikenal sangat religius. “Kehadiran Grup Lippo di kota ini hanya bersifat bisnis dan tidak ada unsur lain,” terangnya. Muji berharap seluruh elemen masyarakat Kota Padang dapat menerima kehadiran kelompok usaha ini. “Kami akan terus memberikan sosialisasi akan adanya investasi dari Grup Lippo yang siap membangun dan mengangkat pertumbuhan perekonomian di Kota Padang,” ujar Muji menjelaskan. Dijelaskan juga, rencana investasi ini telah sesuai dengan peraturan daerah Kota Padang. Untuk itu, Pemerintah Kota Padang dipastikan akan memberikan perlindungan hukum kepada investor. “Sebab, tidak ada kegiatan yang melanggar hukum,” terangnya.
PEMERINTAH Kota (Pemkot) Payakumbuh, Sumatera Barat, berencana membangun 18 kolam ikan percontohan dalam tahun anggaran 2013 ini. Kolam ikan percontohan itu akan diserahkan kepada 6 kelompok pembudidayaan ikan (Pokdatan) yang ada pada empat kecamatan di kota ini. Pemkot merencanakan, di tahun 2015 nanti, ke-6 Pokdatan sudah mampu menjadi kelompok mandiri dan memberikan peningkatan kesejahteraan bagi anggotanya. Kepala Dinas Pertanian Kota Payakumbuh Mediar Indra, menginformasikan, biaya pembangunan 18 kolam ikan percontohan itu berasal dari dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 990 juta. Sesuai jadwal, perekaannya diharapkan rampung akhir September ini. Pada tahun anggaran berjalan ini, Pemkot Payakumbuh membantu pembuatan kolam ikan terhadap ke-6 Pokdatan. Tahun 2014 nanti, Pokdatan yang sama akan dibantu dengan bibit dan pakan ikan. “Harapan kami, tahun 2015 nanti, ke-6 Pokdatan itu mampu mandiri dalam mengelola pembudidayaan ikan, dalam usaha peningkatan kesejahteraan anggota Pokdatan,” ungkap Mediar Indra. Menurutnya, dalam pengelolaan Pokdatan diperlukan semangat kebersamaan dan senasib sepenanggungan. Pengurus dan anggota harus benar-benar satu visi dalam menjalankan kegiatan. Bagian pemilik tanah juga harus dikeluarkan sesuai dengan kesepakatan bersama. Ke-6 Pokdatan yang menerima bantuan pembangunan kolam ikan percontohan itu masing-masing Pokdatan Harapan Kami Kelurahan Ampangan, Kecamatan Payakumbuh Selatan, sebanyak 2 unit; Pokdatan Agro Saiyo Kelurahan Sicincin Mudik, Payakumbuh Timur (3 unit); Pokdatan Topi Tobek Kelurahan Bodi, Payakumbuh Timur (5 unit); Pokdatan Bukik Siambek Kelurahan Padang Alai, Payakumbuh Timur (3 unit); Pokdatan Sawah Tobek Kelurahan Kubu Gadang, Payakumbuh Barat (2 unit); dan Pokdatan Bonda Kincia Kelurahan Kotopanjang Dalam, Kecamatan Latina (3 unit).
W W W . A N TA R A S U M B A R . C O M
I S T I M E WA
Kota Payakumbuh Bangun 18 Kolam Ikan
Volume III
Kota Kita ed3.indd 21
SEPTEMBER 2013
21
01/10/13 12:16
D I N A M I K A
Kota Langsa Bangun Pabrik Pengolah Kelapa
meningkatkan pendapatan petani kelapa. Bukan hanya untuk masyarakat Langsa, tetapi masyarakat Aceh pada umumnya. Untuk itu, Marzuki berharap warga jangan menebang pohon kelapa sembarangan yang selama ini justru banyak digunakan untuk bahan bangunan. “Dengan adanya pabrik pengolahan buah kelapa itu, maka otomatis harga jual buah kelapa bakal naik,” ujarnya.
PEMERINTAH Kota Langsa, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), menandatangani naskah kerja sama dengan Anoop Khandelwan, investor India. Penandatanganan dilakukan di Langsa, akhir Agustus 2013. Melalui skema kerja sama ini, investor akan membangun pabrik pengolah kelapa di Kota Langsa. “Investor asal India, Anoop Khandelwan, sudah siap bekerja sama dengan Pemkot Langsa untuk membangun pabrik pengolahan kelapa di Alue Dua,” kata Wakil Wali Kota Langsa Marzuki Hamid. Dijelaskan juga, kerja sama bidang industri ini merupakan salah satu upaya Pemkot Langsa dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Menurutnya, dalam pembicaraan awal disepakati Pemkot akan menyediakan lahan untuk lokasi pabrik seluas 4 ha. Adapun masalah operasional dan pengadaan bahan baku kelapa masih akan ada pembicaraan lebih lanjut dengan pihak investor. Kerja sama bidang industri pengolahan kepala ini diperkirakan akan mulai dilaksanakan dalam tiga atau empat bulan ke depan. “Saat ini Pemkot bersama investor sedang mengurus izin terkait amdal serta kontrak kerja sama,” ujar Wakil Wali Kota Langsa itu. Pabrik pengolah kelapa akan dilengkapi beberapa subunit pengolahan, seperti membuat tepung kelapa, minyak rambut, minyak goreng, pasta kelapa, karbon, dan lainnya. Dengan adanya pabrik pengolah buah kelapa itu, Pemkot Langsa optimis mampu membuka peluang usaha dan
22
Kota Kita ed3.indd 22
Volume III
PRODUKSI kopi di Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, terus meningkat. Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kota Pagaralam mencatat, peningkatan produksi kopi sudah terlihat di semester pertama 2013 ini. Pada periode Januari sampai Juli 2013, produksi kopi Kota Pagaralam tembus di angka 9.183 ton. Produksi tersebut merupakan hasil panen dari areal seluas 8.323 hektar. Jumlah produksi kopi di tahun ini diprediksi meningkat jika dibandingkan tahun lalu. Diprediksi produktivitas hingga pengujung Desember 2013 bakal melampaui angka produksi di 2012 silam, sebanyak 11.829 ton biji kering yang masih kualitas asalan. Soalnya, hingga Juli lalu, panen yang dilakukan petani kopi tersebar di lima kecamatan mencapai sekitar 9.183 ton. Menurut data di Dishutbun Kota Pagaralam, peningkatan produksi hampir merata di semua kecamatan. Di Kecamatan Pagaralam Utara produksi sebanyak 875 ton dengan luas panen 876 hektar; di Kecamatan Pagaralam Selatan mencapai sekitar 709 ton dengan luas panen 709
I S T I M E WA
B E R I TA D A E R A H . C O M
Produksi Kopi Pagaralam Melebihi Target
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
hektar; dan di Kecamatan Dempo Selatan mencapai 662 ton dengan luas panen 872 hektar. Lalu. sebanyak 2.908,4 ton biji kopi kering dihasilkan di Kecamatan Dempo Tengah, dengan luas panen mencapai 2.970 hektar, sementara di Kecamatan Dempo Utara yang merupakan wilayah penyokong produksi terbesar di Kota Pagaralam produksinya tembus sekitar 4.029 ton dengan luas panen 2.896 hektar. Dari lima kecamatan yang ada di Kota Pagaralam, Dempo Utara dan Tengah merupakan penghasil biji kopi terbanyak
dibandingkan dengan wilayah lainnya, atau hampir 80 persennya dihasilkan dari dua kecamatan tersebut. Meningkatnya produksi kopi tahun ini diyakini tak terlepas dari upaya intensifikasi yang terus dilakukan Pemkot Pagaralam, terutama dengan teknologi stek sambung. Setiap tahun, melalui suntikan anggaran dari APBD Provinsi ataupun Pemkot Pagaralam, program, stek sambung dilakukan di sekitar 100 hingga 150 hektar areal tanaman kopi di kota ini.
W W W. H A R I S R A M B O Z H A . C O M
Bandar Lampung Jadi Kota Perdagangan dan Jasa
PEMERINTAH Kota Bandar Lampung terus meningkatkan pembangunan di segala bidang untuk menjadikan kota ini sebagai pusat perdagangan dan jasa di Provinsi Lampung. Upaya ini diharapkan berdampak positif bagi pemerintah dan penduduk setempat untuk menuju kota metropolitan. Banyak pembangunan dilakukan Pemkot Bandar Lampung, baik dari segi infrastruktur, perhotelan, industri, serta di bidang pendidikan maupun kesehatan. Sesuai dengan rencana pemerintah setempat, Kota Bandar Lampung akan dikembangkan kota pusat jasa dan perdagangan yang berbasis ekonomi kerakyatan. Infrastruktur yang sedang dibangun, misalnya, dua jalan layang yang sudah mulai dioperasionalkan. Selain itu, satu jalan layang lagi sedang dibangun dan ditargetkan selesai akhir tahun ini. Pembangunan dua jalan layang ini, Jalan Sultan Agung—Jalan Ryacudu dan Jalan P. Antasari— Jalan Tirtayasa dikerjakan sejak tahun lalu itu menggunakan dana APBD 2012 dan 2013. Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung Ibrahim, mengatakan, jalan layang Jalan Sultan Agung—Ryacudu sepanjang 350 meter dan lebar 12 meter memakan anggaran sebesar Rp 31,5 miliar, jalan
layang Jalan P. Antasari—Tirtayasa sepanjang 450 meter dan lebar 14 meter menggunakan anggaran Rp 33,6 miliar, sementara jalan layang Gajah Mada—Ir. Juanda yang kini dalam pengerjaan dan akan memiliki panjang 450 meter dan lebar 9 meter menelan biaya Rp 92 miliar. Wali Kota Bandar Lampung Herman HN, mengatakan, pembangunan jalan layang tersebut dilakukan mengingat bertambahnya jumlah kendaraan dan perkembangan Kota Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi yang kian maju pesat. Herman menambahkan, salah satu solusi alternatif yang dinilai layak untuk mengurangi kepadatan arus lalu lintas, terutama di titik-titik rawan kemacetan, adalah dengan pembangunan jalan layang serta peningkatan pembangunan pelebaran jalan. “Semoga pembangunan flyover ini bisa mengurai kemacetan. Apabila anggaran mencukupi, Pemkot berencana kembali membangun flyover di beberapa titik,” ungkap Wali Kota Bandar Lampung. Tidak hanya sebagai penunjang kelancaran lalu lintas, jalan layang tersebut pun kerap dijadikan lokasi kongko bagi anak muda. Pasalnya, dari jalan layang tersebut bisa terlihat pemandangan sebagian daerah berjuluk Kota Tapis Berseri ini yang memang indah di malam hari. Sekretaris Kota Bandar Lampung Badri Tamam mengatakan, Pemkot juga akan membangun jalan layang dari Jalan Teuku Umar (depan PTPN 7) hingga Jalan Raden Intan sepanjang 5 km. Pembangunan akan menggunakan dana APBN dan sedang dibahas di Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Saat ini dalam tahap perencanaan dan 2014 mudah-mudahan dilakukan tahap pembangunan. “Pihak pemerintah pusat pun sudah turun ke lapangan untuk feasibility study (studi kelayakan). Pemkot pun akan terus melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat agar pembangunan segera dimulai,” kata dia.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 23
SEPTEMBER 2013
23
01/10/13 12:16
D I N A M I K A
sebelum resmi di-launching. Dengan banyaknya masukan, diharapkan dapat mempermudah masyarakat dalam menyampaikan pengaduannya ke instansi terkait di lingkungan Pemkot Denpasar.
I S T I M E WA
Satgas Perlindungan Anak Tangerang Selatan Masuk MURI
Denpasar Pilot Projet Kota Aduan project pelaksanaan Reformasi Birokrasi, khususnya di bidang pelayanan publik penanganan pengaduan masyarakat. Untuk itu, Pemerintah Kota Denpasar memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan pengaduan tentang pembangunan yang dilaksanakan di Pemerintah Kota Denpasar. Sebagai pelaksana penanganan Pengaduan Masyarakat di Kota Denpasar ditetapkan Dinas Komunikasi dan Informatika melalui SK Wali Kota Nomor: 188.45/206/ HK/2013. Setelah ditetapkan sebagai pelaksana, Dinas Kominfo Kota Denpasar melalukan sosialisasi ke semua Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), kelurahan, perusahaan daerah, dan instansi vertikal di lingkungan Pemkot Denpasar. Kepala Bidang Peranti Lunak Dinas Kominfo Denpasar, Anom Prasetya, mengatakan, sosialisasi awal dilakukan dengan memperkenalkan cara pengaduan masyarakat secara online dan pelaksanaannya. Menurutnya, sistem layanan pengaduan online ini merupakan bukti keberpihakan Pemkot Denpasar terhadap masyarakat dalam rangka mendukung kemajuan Kota Denpasar ke arah yang lebih baik. Sistem pengaduan online ini juga dilengkapi dengan menu kritik dan saran yang selama ini menjadi media pengaduan masyarakat di Portal Website Kota Denpasar. Secara umum, pengaduan online ini merupakan sistem yang melibatkan partisipasi publik bersifat dua arah, yang digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan monitoring dan verifikasi capaian program pembangunan maupun pengaduan masyarakat terkait pelaksanaan program pembangunan di Kota Denpasar. Kelebihan dari sistem ini juga dapat mengunggah foto atau gambar dalam mengajukan pengaduan. Dalam suatu acara sosialisasi juga diberikan kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan masukan sebagai upaya penyempurnaan dari pembangunan sistem pengaduan online
24
Kota Kita ed3.indd 24
Volume III
W W W . A N TA R A F O T O . C O M
PEMERINTAH Kota Denpasar, Bali, menjadi salah satu pilot
PEMERINTAH Kota Tangerang Selatan, Banten, mencatatkan prestasinya sebagai kota pertama yang memiliki satuan tugas perlindungan anak (Satgas PA) di tingkat rukun warga (RW) di Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI). Penghargaan itu diterima Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany bertepatan Peringatan Hari Anak Nasional Tingkat di Universitas Terbuka Convention Center, Tangerang Selatan, 8 Agustus lalu. Airin mengatakan, di wilayahnya ada 108 Satgas PA dan 540 relawan di mana pengurusnya ada di tingkat RW. Bertindak sebagai pelindung Satgas PA adalah Wali Kota Tangerang Selatan, Kepala Polres Jakarta Selatan, Kepala Polres Tangerang Kota, Kejari Tangerang, Ketua Pengadilan Tangerang, dan Ketua Pengadilan Agama. “Tugas dan fungsi Satgas PA ini adalah menerima pengaduan dan memberikan perlindungan terhadap anak, khususnya yang memiliki masalah akibat tindakan kekerasan,” kata Airin. Dilanjutkan, mereka juga bertugas mendampingi anak-anak yang tersangkut masalah hukum, meminimalisasi tindakan kekerasan terhadap anak, memantau, dan melaporkan jika terjadi praktik kekerasan terhadap anak. Psikolog dan pemerhati anak, Seto Mulyadi, mengatakan, dirinya bangga atas Kota Tangerang Selatan yang sangat peduli terhadap perlindungan anak-anak. Sekretaris Daerah Provinsi Banten Muhadi, mengatakan, jumlah anak di Kota Tangerang Selatan hampir 30 persen dari populasi. Dengan
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
Balikpapan menambah 1 kawasan, yaitu kawasan sarana olah raga. Kawasan ini menjadi pembeda dengan kabupaten/kota lain yang hanya menerapkan 7 kawasan sehat tanpa rokok. Sekretaris Daerah Kota Balikpapan, Sayid MN Fadly menjelaskan, penetapan kawasan sehat tanpa asap rokok tersebut baru diatur melalui peraturan wali kota, namun segera ditingkatkan menjadi peraturan daerah (perda), Perda Kawasan Sehat Tanpa Asap Rokok (KSTR). “Tahun ini sudah masuk dalam Prolegda 2014. Perda ini akan kita bahas dan semoga mendapat persetujuan dari legislatif.” ungkapnya. Untuk mendukung program ini, lanjutnya, Dinas Kesehatan Kota Balikpapan membuka displai dan membagikan brosur informasi tentang perkembangan pengendalian kawasan sehat tanpa rokok di Kota Balikpapan. Pertemuan bupati dan wali kota se-Kalimantan Timur tersebut diakhiri dengan pendeklarasian dan penandatanganan dukungan untuk pembuatan dan penerapan regulasasi kawasan sehat tanpa rokok dari pemerintah provinsi dan kabupaten kota di provinsi tersebut.
jumlah ini, diharapkan tidak ada lagi anak-anak yang mendapatkan tindak kekerasan, apalagi saat ini sudah memiliki Satgas PA.
I D.W I K I P E D I A.O R G
KOTA Balikpapan Sehat Tanpa Rokok
Kota Makassar Pintu Masuk Indonesia Timur
gai kota pertama di Indonesia yang menetapkan adanya 8 kawasan tanpa asap rokok, sementara daerah lain di Indonesia baru menetapkan 7 kawasan tanpa asap rokok. Hal tersebut diungkapkan Kasubdit P2 dan PL Kementerian Kesehatan Prima Yosepine ketika menghadiri Pertemuan Aliansi Bupati dan Wali Kota se-Kalimantan Timur dalam Pengendalian Masalah Kesehatan Akibat Tembakau dan Penyakit Tidak Menular di Samarinda, Kalimantan Timur, 22 Agustus 2013. Acara ini dibuka oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim Rini Retno Sukesih. Tampil sebagai nara sumber adalah Prima Yosepine, Sekretaris Daerah Kota Balikpapan Sayid MN Fadly, dan Sekjen P3DI DPR RI. Acara yang digagas Kementerian Kesehatan ini dimaksudkan sebagai upaya penguatan internal stakeholder di level provinsi dan kabupaten kota dalam membangun komitmen bersama untuk mendukung penerapan regulasi di daerah tentang pengendalian tembakau melalui penerapan kawasan sehat tanpa rokok di masing masing daerah. Dalam pertemuan tersebut Prima Yosepine mengungkapkan, Kota Balikpapan tercatat sebagai kota yang lebih dahulu menerapkan regulasi tentang kawasan sehat tanpa rokok. Bahkan, Kota Balikpapan adalah kota yang pertama kali menerapkan 8 kawasan sehat tanpa rokok. Kabupaten dan kota lain di Indonesia hanya menerapkan 7 kawasan, yakni tempat umum, tempat ibadah, tempat kerja, tempat bermain/berkumpul anak-anak, sarana belajar mengajar, angkutan umum, dan sarana kesehatan. Kota
I S T I M E WA
KOTA Balikpapan, Kalimantan Timur, tercatat seba-
PEMERINTAH Kota Makassar, Sulawesi Selatan, bertekad menjadikan Kota Makassar sebagai kota berkelas dunia yang menjadi pusat penghubung di kawasan Indonesia bagian timur. Jika selama ini lalu lintas ekspor dari kawasan Indonesia bagian timur lebih sering melalui Jakarta, ke depan cukup dilakukan di Makassar. “Kota ini harus mampu menjadi penghubung ekspor maupun penyedia jasa bagi perekonomian Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Karenanya, Makassar butuh ditata dan dibangun untuk memenuhi kebutuhan itu,” ujar Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dalam suatu kesempatan
Volume III
Kota Kita ed3.indd 25
SEPTEMBER 2013
25
01/10/13 12:16
D I N A M I K A
belum lama ini. Tekad tersebut salah satunya didasarkan pada fakta sejarah, bahwa pada abad ke16 Makassar pernah menjadi pusat perdagangan keempat di Asia Pasifik. Atas dasar itu, Pemkot Makassar kini ingin menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangan dan finansial di kawasan Indonesia bagian timur. Untuk itu, kebutuhan utama yang perlu didukung adalah pembangunan infrastruktur. Ilham menjelaskan, Makassar saat ini sudah punya bandar udara kelas internasional, pelabuhan, hingga pembangunan ruang terbuka dan hotel di sepanjang Pantai Losari. “Sekarang pelabuhan harus dibenahi, ruas jalan ditambah,” katanya seraya menambahkan, cetak biru Makassar 2025 saat ini sudah siap, dengan tata ruang yang disesuaikan dengan rencana nasional. “Perencanaan sudah ada. Sekarang, bagaimana saya harus titipkan ini untuk pemimpin masa depan agar pembangunan berkelanjutan.” Pakar tata kota yang berdomisili di Kota Makassar, Danny Pomanto, melihat Makassar cukup siap untuk menjadi kota dunia melihat pembangunan delapan tahun terakhir. Yang kemudian dibutuhkan adalah dukungan dari pusat. “Perlu ada dukungan pemerintah pusat. Jangan melihat Makassar sendiri. Makassar harus dibuat menjadi living room Indonesia Timur yang kalau bisa beban (pembangunan)nya dibagi dua. Bagaimana regulasi ini dibuat sehingga mendukung Makassar menjadi pusat perdagangan dan finansial Indonesia Timur,” paparnya. Upaya tersebut, lanjut Danny, akan searah dengan upaya debottlenecking yang didengungkan pemerintah. Catatan yang dibuat Denny, pemerintah pusat memang perlu menekankan komitmen untuk menjadikan Makassar lebih dari sekadar pintu gerbang ke timur. Pemerintah pusat belum memperlihatkan hal itu dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI), meski Makassar sudah dimasukkan sebagai kota penting di koridor empat, lima, dan enam. “Misalnya, hub seaport itu dalam MP3EI ditaruh di Bitung. Padahal, kegiatan hub laut kenyataannya secara informal terpusat di Makassar. Ini melawan anatomi yang sudah terbentuk,” cetus Danny. Padahal, Makassar sudah mencita-citakan Pelabuhan Soekarno-Hatta menjadi pelabuhan ekspor-impor. Sementara itu, ekonom Universitas Hassanuddin Abdul Hamid Paddu mengatakan, setelah infrastruktur keras, Makassar juga perlu jadi penyedia infrastruktur keuangan. “Instrumen keuangan harus dikembangkan di Indonesia Timur sehingga tidak terpusat lagi di Jakarta. Sekarang, kan, yang sudah ada masih pada lembaga keuangan dan bank. Ini harus dibuka untuk lebih luas. Tapi ini butuh dukungan politik,” cetus Hamid. Keseluruhan pembangunan tersebut diperlukan untuk menjadikan Makassar sebagai kota besar dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Rp100
26
Kota Kita ed3.indd 26
Volume III
triliun pada tahun 2025 dengan tingkat kemiskinan perkotaan yang sejalan dengan tingkat kemiskinan nasional. Sebagai catatan, PDRB kota tersebut pada 2011 adalah Rp 36,73 triliun.
8 Wali Kota Ikut Program Pendidikan di Harvard
SEBANYAK 8 wali kota di Indonesia terpilih mengi-
kuti Program Diklat Executive Education Training, Harvard Kennedy School- Indonesia Program (HKS-IP) 2013. Program pendidikannya dilaksanakan di Harvard University, Amerika Serikat. Program ini merupakan hasil kerja sama The Rajawali Foundation dengan Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri Indonesia. Program ini dimulai 25 Agustus dan berakhir 19 Oktober 2013. Selain wali kota, terdapat 11 bupati yang juga mengikuti program ini. Sebelum diberangkatkan ke Harvard University pada 17 Oktober, para wali kota dan bupati ini memperoleh pembekalan di Jakarta. Hari pertama di Jakarta peserta memperoleh pembekalan tentang “Transportation Policy Development Planning and Management”. Diklat ini dibuka Staf Ahli Mendagri bidang Hukum, Politik, dan Antar-Lembaga Reydomyzar Moenek. Dalam kesempatan tersebut, Prof Hani S Mahmassani selaku Director of Nort Western University Transportation Center turut memberikan sambutan. Usai sambutan dilanjutkan dengan materi pengenalan transportasi “Transportation Policy and Decision Making” oleh Prof Joseph Scholer dari Northwestern University, kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Dalam diskusi dibahas masalah model transportasi angkutan massal monorel. Setelah
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
Kota Mataram Gelar Agriculture Expo 2013 PEMERINTAH Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), menggelar Agriculture Expo 2013. Pameran dibuka Wali Kota Mataram Ahyar Abduh, di Mataram, 22 Agustus 2013. Dalam pembukaan yang digelar di halaman Kantor Wali Kota Mataram, Ahyar Abduh menjelaskan, pameran ini merupakan rangkaian kegiatan dalam merayakan hari jadi ke20 Kota Mataram. Pameran ini diikuti sekitar 50 kelompok pengolahan hasil, kelompok usaha tanaman hias, kelompok
W W W . A N TA R A N T B . C O M
pembukaan, acara dilanjutkan pemaparan materi I berjudul Pengenalan Sistem Transportasi oleh Prof Joseph Scholer. Program selanjutnya adalah merancang komitmen bersama sebagai peserta dan pemilihan ketua angkatan. Pada kesempatan tersebut, Wali Kota Manado GS Vicky Lumentut secara aklamasi terpilih menjadi ketua angkatan HKS-IP 2013. “Saya terkejut, tetapi merasa sangat diapresiasi oleh seluruh peserta dan panitia yang telah mempercayakan saya untuk menjadi ketua angkatan tahun ini,” tutur Vicky Lumentut. Hari kedua pembekalan diisi berbagai materi tentang pengembangan, kebijakan, perencanaan, dan pengelolaan transportasi kota. Secara keseluruhan, program diklat ini meliputi, pertama, diklat “Transportation Policy Development Planning and Management” oleh North Western University, yang berlangsung 25 sampai 31 Agustus 2013, di Hotel Four Seasons, Jakarta. Para pembicara adalah ahli bidang transportasi dari North Western University of Transportation, Chicago USA. Kedua, diklat pendahuluan HKS-IP di Jakarta tanggal 15-20 September 2013, pembicara para ahli di bidang hukum, sosial, politik, dan manajemen pemerintahan dari Harvard University USA. Ketiga, diklat lanjutan HKS-IP di Harvard University, Cambridge, Amerika Serikat, pada tanggal 22 September sampai 11 Oktober 2013. Keempat, field trip dengan mengunjungi pemerintah kota di beberapa kota yang ada di Amerika Serikat untuk melihat secara langsung sistem pemerintahan kota di sana. Kegiatan ini berlangsung dari 12 sampai 16 Oktober 2013. Dan, kelima, diklat lanjutan di North Western University tentang transportasi pada 17 -19 Oktober 2013. Sedangkan kedelapan wali kota tersebut adalah: 1. Vicky Lumentut (Wali Kota Manado) 2. Airin Rachmi Diany (Wali Kota Tangerang Selatan) 3. M. Idaham (Wali Kota Binjai) 4. Ahmad Dahlan (Wali Kota Batam) 5. Hayadi Suyuti (Wali Kota Jogja) 6. Jonas Salean (Wali Kota Kupang) 7. Benhur Mano (Wali Kota Jayapura) 8. Asafri Jaya Bakri (Walikota Sungai Penuh).
usaha peternakan, kelompok usaha perikanan, pelaku dunia usaha, sejumlah asosiasi, perguruan tinggi, lembaga keuangan/perbankan, SKPD lingkup Pemkot Mataram, serta SKPD lingkup Provinsi NTB. Kegiatan ini dibagi dua, yaitu pameran atau bazar produk, mesin dan alat bidang pertanian, pengolahan dan pengemasan, sarana produksi pertanian serta jasa keuangan. Selain itu, juga ada lomba tanaman angrek, merangkai bunga heliconia, kontes ayam serama dan ayam ketawa, dan lomba pengemasan produk hasil olahan. Menurut Wali Kota Mataram, Mataram Agriculture Expo 2013 merupakan bentuk ikhtiar Pemkot Mataram dalam memberdayakan petani untuk percepatan pembangunan di bidang pertanian demi peningkatan pendapatan masyarakat. Petani, menurutnya, jangan hanya bertumpu pada kegiatan budi daya atau on farm, tetapi juga harus mulai mencari alternatif dalam mengolah produk pertanian yang dihasilkannya. Menyusutnya lahan pertanian di kota ini, katanya, juga harus mendorong petani harus makin kreatif untuk menanam produk yang memilliki nilai jual tinggi. Dijelaskan, Pemkot Mataram tetap berkomitmen untuk memberikan dukungan kepada petani guna terus meningkatkan hasil produksi agar bisa semakin maju. Kegiatan Mataram Agriculture Expo diharapkan bisa memberikan manfaat bagi para petani. Kepala Dinas Pertanian, Kelautan, dan Perikanan Kota Mataram HL Mazhuriadi, menjelaskan, kegiatan Mataram Agriculture Expo 2013 dilaksanakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat petani dan mempromosikan ragam potensi, peluang investasi, dan sekaligus mengembangkan pasar bagi produk agribisnis unggulan baik komoditas pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perikanan, dan kelautan baik segar maupun olahan yang ada di Kota Mataram.Tujuan Mataram Agriculture Expo 2013 adalah sebagai ajang mempromosikan ragam potensi dan menggembangkan pasar bagi produk agribisnis unggulan, dan memberikan intensif bagi para petani pelaku usaha agribisnis Kota Mataram yang berprestasi.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 27
SEPTEMBER 2013
27
01/10/13 12:16
R U S M A N / P R E S I D E N S B Y. I N F O
L A P O R A N
K H U S U S
SBY membuka acara Konsultasi Nasional untuk Agenda Pembangunan pasca (APP)-2015 di Istana Negara.
“Post-2015”
Agenda Pembangunan Baru Menyongsong berakhirnya program Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015, kini muncul Agenda Pembangunan Pasca-2015 atau Post-2015 Development Agenda. Seperti apa rumusan agenda pembangunan yang baru tersebut? 28
Kota Kita ed3.indd 28
Volume III
T
UNTAS sudah tugas mu-
lia Presiden RI Susilo B ambang Yudhoyono (SBY) dalam kancah internasional. Pada Mei lalu, sebagai Ketua Bersama (Co-Chair) Panel Tingkat Tinggi Para Tokoh Terkemuka tentang Agenda Pembangunan Pasca-, SBY menyerahkan laporan kerjanya
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
W W W. R A D I O AU S T R A L I A . N E T. AU
kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon di markas PBB di New York, Amerika Serikat (AS). Panel Tingkat Tinggi Para Tokoh Terkemuka tentang Agenda Pembangunan Pasca-2015 (PTT APP-2015) atau High Level Panel of Eminent Persons (HLPEP) on Post-2015 Development Agenda adalah sebuah forum yang dibentuk oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon pada September 2012. Forum ini diberi tugas adalah merumuskan agenda besar atau kerangka pembangunan global untuk menggantikan program MDGs yang akan berakhir pada tahun 2015 nanti. Ada 27 negara anggota yang ditunjuk sebagai anggota Panel. Presiden SBY kemudian ditunjuk sebagai Ketua Bersama (Co-Chair) Panel ini bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf. Jika dibandingkan dengan panelpanel lainnya yang pernah dibentuk oleh Sekjen PBB , masa kerja Panel ini terbilang singkat. Dibentuk pada September 2012, Panel berhasil mengadakan lima pertemuan berturut-turut, yakni di New York, London, Monrovia, Bali, dan kembali ke New York untuk secara resmi menyerahkan laporannya. Dalam lima kali pertemuan, Panel berdiskusi dengan lebih dari 5 ribu organisasi dari lebih 120 negara. Laporan akhir Panel tersebut diberi nama “Kemitraan Baru Global: Memberantas Kemiskinan dan Transformasi Ekonomi Melalui Pembangunan Berkelanjutan”. “Saat kami menyerahkan laporan, kami mendapat kesan yang positif. Majelis Umum PBB menyambut baik hasil yang akhirnya bisa digunakan setelah MDGs berakhir,” ujar Presiden SBY pada peluncuran Laporan Panel di Jakarta medio Juni 2013. Laporan Panel tersebut akan dijadikan bahan oleh Sekjen PBB dalam menyusun agenda pembangunan global pasca-2015 yang untuk sementara disebut sebagai pengganti program MDGs 2015. Jika nanti sudah ditetapkan sebagai Post-2015 Development Agenda atau Agenda
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan Laporan kepada Sekretaris-Jenderal PBB Ban Ki-moon setelah selesai memimpin Rapat HLPEP Kelima pada tanggal 29 Mei 2013.
Pembangunan Pasca-2015, maka pembangunan di semua negara-negara angota PBB di seluruh dunia akan menggunakannya sebagai acuan dan model, lebih-lebih Indonesia yang kepala negaranya memperoleh kehormatan memimpin panel perumusnya.
Dari Indonesia untuk Semua BEGITU ditunjuk memimpin Panel
APP-2015, di dalam negeri Presiden SBY membentuk Komite Nasional Komite (Komnas) APP-2015 yang diketuai oleh Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto. Komite yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2012 tertanggal 21 September 2012 ini diberi tiga tugas penting, yaitu mendukung Presiden dalam merumuskan visi dan agenda pembangunan pasca-2015; merancang rumusan prinsip-prinsip utama untuk memperkuat mekanisme akuntabilitas dan kemitraan global; dan merancang rekomendasi untuk membangun, memperkuat, dan mempertahankan konsensus politik yang luas bagi agenda pembangunan berkelanjutan global pasca-2015.
Dalam menjalankan tugasnya, Kuntoro didampingi Deputi I UKP4 Heru Prasetyo sebagai Sekretaris merangkap anggota dan beberapa anggota antara lain Hasan Kleib (Dirjen Multilateral Kemlu); Nila Moeloek (Utusan Khusus Presiden); Luki Eko Wuryanto (Deputi di Menko Perekonomian); Willem Rampangilei (Deputi di Kemenko Kesra); Penny Lukito (pejabat fungsional di Bappenas); Noor Endah (Koordinator Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kemendikbud); Dana A Kartakusuma (Staf Ahli di Kementerian LH); Triono Soendoro (Staf Ahli di Kemenkes); Bambang Widianto (Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan); Hadisusanto Pasaribu (Staf Ahli di Kementerian Kehutanan); Chairil Abdini (Deputi di Kementerneg); Agus Purnomo (SKP Bidang Perubahan Iklim); dan Bistok Simbolon (Deputi di Seskab). Masa tugas Komite berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa tugas Presiden RI sebagai Ketua Bersama HLPEP on Post-2015 Development Agenda. Hasil kerja Komite tersebut telah menjadi bagian penting dari Laporan Panel setebal 92 halaman yang kini sudah berada di tangan Sekjen PBB.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 29
SEPTEMBER 2013
29
01/10/13 12:16
K H U S U S
R U S M A N / P R E S I D E N S B Y. I N F O
L A P O R A N
SBY menyampaikan sambutan pembukaan Konsultasi Nasional untuk Agenda Pembangunan pasca (APP)-2015 di Istana Negara.
Dengan demikian, kelak Indonesia akan mewarnai jalannya pembangunan di berbagai belahan dunia pasca-2015. “Tujuan kita lantang, gamblang, yaitu menyiapkan laporan yang tegas, ambisius, dan dapat diwujudkan; sebuah agenda yang meletakkan tanggung jawab bersama antarbangsa, penghapusan kemiskinan dan pembangunan berkesinambungan sebagai i n t i nya ,” i m b u h Presiden menjelaskan benang merah Laporan Panel. Sebagai tindak lanjut dari program MDGs 2015, APP2015 sama sekali tidak menafikan keberadaan dan pencapaian yang diraih MDGs 2015. Hanya, seperti terungkap dalam isi Laporan tersebut, APP-2015 bertekad menyempurnakan dan melanjutkan program MDGs 2015. Lebih jauh, APP-2015 memang dirancang sebagai
agenda yang “lebih keras” dibandingkan dengan program MDGs 2015. Hal itu, misalnya, terlihat dari visi yang dirumuskan oleh Panel, yaitu “Visi dan tanggung jawab kita adalah untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem dalam segala bentuknya dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan meletakkan dasar-dasar kesejahteraan yang berkesinambungan bagi semua.” “Bukan sekedar untuk mengurangi, melainkan mengakhiri kemiskinan ekstrem dalam segala bentuknya,” Presiden SBY menegaskan. Untuk itu, dalam laporannya Panel mengusung “Lima Pergeseran ke Arah Transformasi Besar” sebagai isu utama agenda pembangunan universal hingga 2030. Transformasi besar tersebut salah satunya juga didasarkan pada penca-
“Bukan sekadar untuk mengurangi, melainkan mengakhiri kemiskinan ekstrem dalam segala bentuknya.”
30
Kota Kita ed3.indd 30
Volume III
paian program MDGs 2015 beserta seluruh kekurangannya. Panel mencatat, misalnya, sejak digulirkan pada 2000, program MDGs telah berhasil mempercepat pengurangan angka kemiskinan tercepat dalam sejarah umat manusia. Disebutkan, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan internasional dengan standar pengeluaran 1,25 dolar AS per hari, berkurang setengah miliar. Laju kematian anak turun lebih dari 30 persen, dengan sekitar tiga juta jiwa anak terselamatkan setiap tahun dibandingkan dengan kondisi tahun 2000. Juga, kematian akibat malaria turun hingga seperempatnya. Harus diakui, kemajuan ini didorong oleh adanya pertumbuhan ekonomi, kebijakan yang lebih baik, dan komitmen global terhadap MDGs, yang memicu seruan inspiratif di seluruh dunia. Capaian itulah yang, menurut Presiden SBY, sangat diapresiasi oleh anggota Panel. Untuk melengkapi keberhasilan itulah Panel memasukkan sasaran-sasaran baru, target-target baru, dan agenda-agenda baru dalam proses
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
W W W. L E N S A I N D O N E S I A . C O M
pembangunan global yang dilengkapi dengan isu-isu strategis di bidang hak asasi manusia (HAM), lingkungan, dan sebagainya. Semua itu bermuara pada satu tujuan: penghapusan kemiskinan ekstrem dari muka bumi ini menjelang 2030. APP-2015, menurut pandangan Panel, juga harus meneruskan semangat dan program MDGs namun lebih fokus pada program-program praktis pada isuisu seperti kemiskinan, kelaparan, air, sanitasi, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Namun begitu, dipastikan bahwa APP-2015 harus menargetkan pencapaian lebih dari yang dicapai program MDGs. Misalnya, jika selama ini fokus MDGs dinilai kurang menjangkau mereka yang paling miskin dan terkucil, belum menjawab persoalan dari dampak yang parah akibat konflik dan kekerasan dalam pembangunan, belum mengembangkan tata kelola dan lembaga yang baik yang menjamin berlakunya prinsip hukum, belum menjamin sepenuhnya kebebasan berbicara serta pemerintahan yang terbuka dan akuntabel tidak dicakup dalam MDGs, begitu pula dengan perlunya pertumbuhan inklusif untuk menyediakan lapangan kerja; maka agenda APP-2015 akan mencakup semua hal tersebut. APP-2015 disusun juga dengan mempertimbangkan perubahan besar di dunia sejak tahun 2000 dan perubahan yang mungkin akan terjadi pada tahun 2030. Saat itu diperkirakan jumlah penduduk bumi akan bertambah satu miliar jiwa, menjadi tujuh miliar, yang setengahnya tinggal di daerah-daerah perkotaan. Dan, ancaman dunia di masa depan adalah tetap terjadinya ketimpangan karena peluang tidak terbuka bagi semua orang. Semua isu strategis tersebut menjadi fokus bahasan Panel. Dalam pertemuan di London, misalnya, fokus diskusi adalah kemiskinan di tingkat rumah tangga. Di Monrovia, diskusi Panel berfokus pada isu-isu transformasi ekonomi dan dasardasar yang dibutuhkan bagi pertumbuhan yang menghasilkan inklusi sosial dan penghormatan terhadap lingkungan. Adapun di Bali, Panel menyepakati pen-
Kuntoro Mangkusubroto.
tingnya semangat baru untuk memandu sebuah kemitraan global bagi agenda yang berpusat-pada-manusia dan pekabumi (people-centred and planet-sensitive), berdasar pada prinsip-prinsip kemanusiaan.
Transformasi Besar DALAM Laporan yang disampaikan ke-
pada Sekjen PBB, Panel merumuskan lima prinsip dasar dan komitmen dalam upaya penghapusan kemiskinan ekstrem yang diyakini akan mengarahkan dunia global mengalami transformasi besar. Kelima prinsip dasar tersebut adalah, tidak meninggalkan siapa pun (leave no one behind); menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai inti (put sustainable development at the core); mentransformasikan ekonomi untuk lapangan kerja dan pertumbuhan inklusif (transform economies for jobs and inclusive growth); membangun perdamaian dan kelembagaan
yang efektif, terbuka, dan akuntabel (build peace and effective, open, and accountable institutions for all); dan, membangun sebuah kemitraan global yang baru (forge a new global partnership). “Misi Panel ini adalah merumuskan kerangka setelah MDGs. Ada 8 goals MDGs dan tidak dibuang, karena masih relevan dan diperlukan oleh negara berkembang. Kita terus melakukan evaluasi dan koreksi,” Presiden SBY menambahkan. Selain lima prinsip dasar, Panel juga merumuskan 12 tujuan agenda pembangunan Post-2015. Ke-12 tujuan tersebut adalah: 1. mengakhiri kemiskinan ekstrem; 2. pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender; 3. pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur hidup; 4. memastikan kehidupan yang sehat; 5. menjamin ketahanan pangan
Selain lima prinsip dasar, Panel juga merumuskan 12 tujuan agenda pembangunan Post-2015.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 31
SEPTEMBER 2013
31
01/10/13 12:16
K H U S U S
I S T I M E WA
L A P O R A N
dan gizi yang baik; 6. akses universal terhadap air dan sanitasi; 7. perlunya ketahanan energi secara berkelanjutan; 8. menciptakan lapangan kerja, pengidupan yang berkelanjutan, dan pertumbuhan yang adil; 9. mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan; 10. memastikan good governance dan institusi yang efektif; 11. memastikan masyarakat yang stabil dan damai; 12. dan menciptakan lingkungan hidup dan katalisator pembiayaan jangka panjang secara global. Lima prinsip dasar 12 tujuan agenda pembangunan global tersebut diikhtiarkan sebagai strategi pembangunan masa depan untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem melalui pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan. “Mengakhiri kemiskinan ekstrem dalam segala bentuknya adalah tanggung jawab kita bersama, Panel meyakini itu. Dan, ini adalah dalam konteks pembangunan dan pertumbuhan berkelanjutan dengan ekuitas,” kata Presiden SBY. Untuk itu, diperlukan adanya sebuah kemitraan baru dengan semua pemangku kepentingan untuk memiliki rasa kesamaan tujuan dan bertindak
32
Kota Kita ed3.indd 32
Volume III
dalam kepentingan bersama. Dalam sebuah acara “Diskusi Agenda Pembangunan Pasca-2015” di Gedung BPPT, Jakarta, medio Maret 2013, Ketua Komite Nasional APP-2015 Kuntoro Mangkusubroto mengungkapkan, banyak isu dalam Laporan Panel yang akan dimasukkan ke dalam agenda pembangunan nasional pasca-2015. Dia menjelaskan, isu-isu tersebut nantinya akan menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Menurut Kuntoro, saat ini tim Komite tengah menyusun isu atau poin-poin penting yang akan menjadi prioritas pembangunan dalam APP2015. “Isu strategis dalam agenda pembangunan pakca-2015 tidak jauh berbeda dengan program MDGs yang telah ada sebelumnya, misalnya soal isu sosial dan ekonomi akan masuk dalam agenda,” ujar dia dalam acara “Diskusi Agenda Pembangunan pasca 2015” di Gedung BPPT, Jakarta, Kamis (14/3). Dia mengatakan, contoh isu strategis yang masuk dalam agenda pembangunan tersebut adalah menurunkan angka kemiskinan, mengurangi angka pengangguran, mengurangi angka kematian ibu, memberikan pelayanan kesehatan terbaik, serta meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih jauh Kuntoro Mangkusubroto
menjelaskan, berdasarkan Laporan Panel tersebut, ada tiga hal yang diperhatikan dalam menjalankan program pembangunan ke depan. Pertama, bahwa APP2015 yang kelak akan disepakati harus menggabungkan antara ikhtiar pengentasan kemiskinan dalam segala bentuk dengan upaya mempromosikan pembangunan berkesinambungan dalam tiga dimensi, yakni sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kedua, harus dibentuk sebuah kemitraan global yang baru berdasarkan pada keadilan, solidaritas, kerja sama, dan akuntabilitas. Kemitraan ini juga harus melibatkan pemerintah (daerah dan nasional) serta pemangku kepentingan lainnya. Pemangku kepentingan termaksud antara lain rakyat yang hidup dalam kemiskinan, mereka yang tunadaksa, perempuan, masyarakat (sipil, adat, setempat), kelompok-kelompok yang secara tradisional terpinggirkan, lembaga multilateral, komunitas usaha, akademisi, hingga donor swasta. Ketiga, komunitas internasional harus terus mengawal implementasi dan monitoring APP-2015 agar semua negara dapat saling belajar satu sama lain. Dalam rangka menyongsong implementasi APP-2015, menurut Kuntoro, ada 4 hal yang harus dilakukan Indonesia sesuai dengan instruksi Presiden SBY. Pertama, akselerasi pencapaian MDGs menuju 2015 harus diarusutamakan dengan agenda baru pasca-2105. Kedua, pada tingkat nasional supaya pikiran-pikiran hasil laporan ini agar mulai dikomunikasikan. Ketiga, memperkuat ke lem bagaan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah, salah satunya dengan meninggalkan pendekatan sektoral. Dan, keempat, implementasi, pengawasan, dan evaluasi dari program pembangunan agar dilakukan secara efektif-terukur dengan memegang kuat-kuat prinsip kebersamaan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Dengan demikian, lanjut Kuntoro, seluruh pemangku kepentingan nasional pada saatnya sudah harus siap menyongsong implementasi APP-2015.
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
MDGs: Tiga yang Sulit Dicapai…
I S T I M E WA
Dunia tengah menyongsong Post-2015, sebuah agenda pembangunan universal pasca-2015 untuk menggantikan program Millenium Development Goals (MDGs). Bagaimana pencapaiaan MDGs 2015 di Indonesia?
D
UA tahun ke depan, ya-
itu tahun , menjadi target akhir pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan Indonesia bersama negara anggota PBB lainnya pada . Ada tujuan utama dari program MDGs tersebut, penanggulangan kemiskinan dan kelaparan; memberikan pendidikan dasar yang universal; kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; mengurangi tingkat kematian bayi; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; memastikan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan; dan membangun kemitraan global dalam pembangunan. Bagaimana pencapaiannya saat ini? Secara umum, pencapaiannya relatif baik. Namun, seperti diakui Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs Nila F Moeloek, masih diperlukan kerja ekstra keras untuk mencapai semua target
tepat waktu, setidaknya untuk tiga bidang. “Meskipun sudah menunjukkan kemampuan yang signifikan, tetapi kita masih harus bekerja ekstra keras untuk mencapainya, terutama dalam penurunan angka kematian ibu, penanggulangan HIV/AIDS, dan akses terhadap air minum serta sanitasi layak,” ujarnya kepada pers dalam Orasi Ilmiah Memperingati 40 Tahun Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta belum lama ini. Dia menjelaskan, capaian tujuan MDGs di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, tujuan yang berhasil dicapai; tujuan yang menunjukkan kemajuan bermakna dan diharapkan dapat dicapai pada atau sebelum tahun 2015; dan tujuan yang masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya. Yang sudah berhasil dicapai diantaranya penurunan angka kemiskinan (MDG-1) dari 15,10 persen (1990) men-
jadi 12,49 persen (2011); rasio angka melek huruf perempuan terhadap lakilaki usia 15-24 tahun (MDG-3) telah mencapai 99,95 persen pada 2011; dan pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru tuberkulosis (MDG-6). Sedangkan, untuk tujuan MDGs yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on-track) adalah proporsi murid kelas satu yang berhasil menamatkan sekolah dasar (MDG-2); dan penurunan yang sudah mendekati dua pertiga angka kematian neonatal atau pasca persalinan dan proporsi anak satu tahun yang mendapat imunisasi campak mengalami peningkatan tajam (MDG-4). Selain itu, peningkatan angka pemakaian kontrasepsi (MDG-5); peningkatan proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan antiretroviral (MDG7) dan pemanfaatan teknologi informasi (MDG-8). Namun, dia akui, masih ada “rapor merah” untuk masalah angka kemiskinan, kasus HIV/AIDS, dan angka kematian ibu. “Capaiannya dianggap belum cukup karena masih banyak hambatan dan tantangan,” ujarnya. Sulitnya mencapai ketiga target tersebut, menurutnya, disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya pembangunan yang belum merata sehingga infrastruktur maupun layanan kesehatan antara satu provinsi dengan provinsi lainnya berbeda. Mengingat tenggat semakin dekat, diharapkan seluruh elemen masyarakat terlibat aktif mengupayakan percepatan pencapaian MDGs. “Itu salah satu instruksi Presiden,” ujar Ketua Komine Nasional Agenda Pembangunan Pasca-2015 Kuntoro Mangkusubroto.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 33
SEPTEMBER 2013
33
01/10/13 12:16
I N F O
A P E K S I
Menyempurnakan Reformasi Birokrasi Perjalanan Reformasi Birokrasi jilid dua, yang digulirkan semua lini pemerintah saat ini hampir memasuki tahap akhir. Namun, hasilnya seperti mendorong truk mogok. APEKSI membuat daftar isian masalah serta rekomendasinya.
A
KHIR tahun nanti,
program reformasi birokrasi dan tata kelola yang ditetapkan sebagai prioritas nasional memasuki babak akhir. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor Tahun tentang Grand Desaign Reformasi Birokrasi -, tujuan reformasi birokrasi ini adalah terjadinya
34
Kota Kita ed3.indd 34
Volume III
perubahan tata pemerintahan, mengurangi penyalahgunaan kewenangan, meningkatkan mutu pelayanan, melancarkan proses perumusan kebijakan, dan meningkatkan efisiensi. Bila tidak berhasil, pelayanan publik menjadi tidak berkualitas dan itu berarti bisa mengurangi kepercayaan masyarakat. Program Reformasi Birokrasi (RB) II ini bukan sekadar lanjutan program se-
belumnya. Program memperluas sasaran yang lebih menukik ke pemerintahan yang bebas praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), peningkatan kualitas layanan publik, serta peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja. Area perubahannya pun diperluas menjadi delapan—penambahan tiga elemen yang mencakup pengawasan, akuntabilitas, dan pelayanan publik serta mengubah budaya organisasi pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) aparatur. Program ini diluncurkan untuk memperbaiki model dan konsep program RB jilid pertama yang dinilai memilliki banyak kelemahan. Misalnya, RB I hanya mampu membuat demam birokrasi saja, belum sampai membuat gelombang perubahan. Selain itu, program RB I hanya terfokus untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, dengan lima area perubahan. Meski demikian, program RB tersebut hingga saat ini tampaknya belum berdampak pada peningkatan pelayanan publik yang yang diselenggarakan pemerintah dan pemerintah daerah. Mengingat waktu yang tersisa sedemikian mepet, hal ini dimanfaatkan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) untuk menginisiasi serta mengidentifikasikan permasalahan terkait kebijakan reformasi birokrasi. Pada 23-24 Juli 2013, APEKSI menggelar diskusi terbatas dengan tema “Penguatan Pemerintah Daerah dalam Reformasi Birokrasi” di Jakarta. Diskusi ini diikuti perwakilan dari Kota Surabaya, Banjarbaru, Madiun, Binjai,
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
Medan, dan lainnya. Diskusi membahas sejumlah permasalahan, seperti penerapan RB di pemerintah baerah, permasalahan aktual aparatur pemerintah daerah, dan best practice Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi yang dilaksanakan di Kota Yogyakarta. Diakhir diskusi ini peserta merumuskan daftar isian masalah (DIM) serta rekomendasi untuk pemerintah pusat terkait perbaikan pelaksanaan program RB. Dalam rumusan hasil diskusi tentang DIM, masalah sumber daya manusian (SDM) menjadi sorotan pertama. Disebutkan bahwa untuk SDM, terjadi kelangkaan jabatan golongan II. Hal itu
terjadi lantaran CPNS yang diangkat menjadi PNS bisa langsung menyesuaian golongannya dengan ijazah S1. Untuk itu, APEKSI merekomendasikan penyesuai an ini hanya bisa dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 1980. Direkomendasikan agar kewenangan kenaikan pangkat yang selama ini ada di Badan Kepegawaian Nasional (BKN) pusat bisa dialihakn ke BKN daerah. Untuk perlindungan hukum bagi PNS, diusulkan agar dibentuk komisi kepegawaian dari pusat hing ga daerah. Kenaikan pangkat eselon III/4B ke atas yang selama ini berada di bawah kewenangan presiden direkomendasikan
Untuk masalah rekrutmen pegawai di daerah, selama ini belum ada standar untuk formasi
kebutuhan. Di sinilah perlunya diatur standar kebutuhan.
untuk dilimpahkan ke BKN. Di bidang kelembagaan, terkait pengalihan formasi yang selama ini dikelola Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, APEKSI merekomendasikan agar dilimpahkan ke pemerintah daerah. Berkaitan dengan struktur organisasi yang membesar di satu daerah dan mengecil di daerah lain sesudah diberlakukannya PP Nomor 41 Tahun 2007, APEKSI merekomendasikan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyusun struktur organisasi sesuai kebutuhan dan kondisi setiap saerah. Pemerintah juga diminta meninjau ulang berbagi kebijakan yang mengamanatkan pembentukan kelembagaan baru di daerah. Mengingat dalam struktur yang lama beban kerja antarunit kerja menjadi tidak seimbang, maka perlu dilakukan penghitungan beban kerja. Di sisi lain, DPRD sebagai lembaga pengawas kurang memahami struktur organisasi pemerintah daerah. Untuk itu, pemerintah daerah dalam menyusun struktur organisasi sesuai kebutuhan dan kondisi daerahnya juga harus mensosialisasikan ke DPRD. Untuk masalah rekrutmen pegawai di daerah, selama ini belum ada standar untuk formasi kebutuhan. Di sinilah perlunya diatur standar kebutuhan. Di samping itu, dalam penerimaan pegawai belum ada standar. Di sini perlu dibuat standar kelulusan yang disesuaikan dengan tuntutan pekerjaan. Sementara itu, terkait dengan masalah remunerasi dinilai belum ada pengaturan yang ideal. PNS yang memiliki risiko pekerjaan lebih tinggi justru kerap kali tidak memperoleh tunjangan atau penghargaan sebanding. Karena itu, direkomendasikan agar dibuat standar mengenai insentif atau penghasilan tambahan. Secara keseluruhan, dinilai masih belum ada standar yang jelas terkait besaran remunerasi yang fair di semua lini pegawai negeri. Karena itu, direkomendasikan agar dibuat rumusan standar yang jelas yang berlaku untuk pusat dan daerah.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 35
SEPTEMBER 2013
35
01/10/13 12:16
A P E K S I
FOTO-FOTO: TEGUH.
I N F O
Farhan Helmy, Sekretaris Pokja Mitigasi Perubahan Iklim DNPI memberikan sambutan.
Para peserta pelatihan.
Menghitung Emisi Kota dengan Software HEAT+ Tak henti-hentinya Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) mendorong anggotanya untuk membangun kota yang ramah lingkungan salah satunya rendah emisi. Berbagai kerja sama pun dilakukan untuk membekali kompetensi anggotanya. ERSAMA Local Governance for
B
Sustainability - (ICLEI) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim In donesia (DNPI), APEKSI menyelenggarakan pelatihan tentang penghitungan emisi dengan menggunakan HEAT+. Pelatihan ini dilaksanakan pada tanggal sampai September di Kantor DNPI Jakarta, dengan menghadirkan tiga experts dari ICLEI South Asia. Pelatihan ini diikuti sekitar peserta, di antaranya dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan/ Kantor Lingkungan Hidup (Badan/Kantor LH) Pemerintah Kota, APEKSI, ICLEI Indonesia, Badan Lingkungan Hidup DKI
36
Kota Kita ed3.indd 36
Volume III
Jakarta dan Kabupaten Bogor, Litbang Kementerian Pertanian, serta instansi dan organisasi mitra pemerintah kota. Apa yang dilakukan APEKSI ini sejalan dengan program pemerintah pusat yang telah menargetkan pencapaian pengurangan gas rumah kaca (GRK) di tahun 2020. Dengan demikian, keterlibatan pemerintah kota seluruh Indonesia beserta seluruh jajarannya agar bisa berkontribusi dalam mencapai target tersebut. Kegiatan pelatihan ini merupakan salah satu manfaat dari kerja sama APEKSI dan ICLEI yang dimulai sejak 2012 dalam bentuk Proyek Urban Low Emission Development Strategies (Urban
LEDS) atau strategi pembangunan perkotaan rendah emisi. Program kerja sama direncanakan akan berjalan selama tiga tahun ini memperoleh pendanaan dari European Union (EU) dan UN Habitat. Program ini diarahkan untuk membantu kota-kota di Indonesia agar mampu membangun perkotaan dengan menitikberatkan pada pengurangan emisi karbon. Selain program tersebut, APEKSI juga bekerjasama dengan ICLEI dalam Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) atau Jaringan KotaKota di Asia tentang Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim. Program ini mendapat bantuan dana dari Yayasan Rockefeller selama 2 tahun. Manfaat dari proyek ini bagi kota-kota di Indonesia adalah untuk membangun dan memperkuat jaringan kota-kota di Asia dalam meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim yang sekarang sedang terjadi. Dalam kerja sama ini, APEKSI dan ICLEI berencana melaksanakan program kegiatan dalam bentuk asistensi, pelatihan dan workshop untuk para wali kota dan aparat pemerintah kota. Program ini bersinergi dengan program yang telah disepakati dengan Pokja Perubahan Iklim APEKSI. Kegiatan ini juga diharapkan dapat membantu meningkatkan kapasitas dan wawasan aparat pemerintah kota khususnya di bidang lingkungan. Salah
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
Para peserta pelatihan sejenak berfoto bersama di depan Gedung Kementerian BUMN RI dimana kantor DNPI berada di lantai 18.
satu kegiatan pelatihan yang telah dilakukan adalah pelatihan penghitungan emisi dengan menggunakan HEAT+. Atas dasar itu, APEKSI, ICLEI, dan DNPI mengadakan pelatihan penghitungan emisi dengan menggunakan Harmonized Emissions Analysis Tool plus (HEAT+). HEAT+ merupakan suatu software yang dirancang oleh ICLEI untuk membantu pemerintah kota dalam upaya penurunan gas rumah kaca (GRK) dan polusi udara secara umum. Diharapkan, dengan mengikuti pelatihan HEAT+ ini, pemerintah kota memiliki software yang bisa dibuat untuk memperhitungkan emisi gas rumah kaca. Dengan begitu, pemerintah kota dapat mencapai target penurunan emisi karbon dengan efektif dan terukur yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas udara, mitigasi perubahan iklim, meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, dan meningkatkan efektifitas anggaran pemerintah daerah. HEAT+ juga merupakan suatu alat bagi pemerintah kota untuk mengelola dan melaporkan capaian perencanaan pembangunan rendah karbon yang telah direncanakan. Software HEAT+ ini juga merupakan software satu-satunya yang berbasis web (online) yang menawarkan tingkat keamanan dan kerahasiaan data, bantuan teknis yang komprehensif dan akses selama 24 jam.
Dengan mempelajari dan menggunakan software ini, kota-kota juga dapat menyusun laporan upaya penurunan emisi dan membandingkannya pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional. Manfaat lain dari penggunaan software ini adalah kota-kota dapat melakukan pengukuran penggunaan energi pada sektor transportasi, pengelolaan sampah, dan menyusun data informasi untuk penyusunan inventarisasi dan proyeksi emisi, penyusunan rencana aksi, mengukur tingkat komitmen pemerintah daerah, mengukur kinerja dan capaian, desiminasi informasi dan kebijakan pemerintah kota, menyusun prioritas kerja, kuantisifikasi kemajuan, dan menyusun laporan. Mekanisme pelatihan yang diberikan oleh ICLEI India terbagi menjadi dua tahap. Pertama, para peserta diajak untuk menyelami definisi dan cara kerja software HEAT+ ini dan manfaatnya pada instansi pemerintah daerah dan organisasi mitra. Kedua, para peserta diajak langsung untuk berinteraksi dan belajar cara
penggunaan software secara real time (online). Untuk itu, para peserta pelatihan diwajibkan membawa laptop yang mampu menggunakan internet. Para peserta pelatihan sangat intens dan berpartisipasi secara aktif selama 2 hari penuh untuk mendapatkan pelajaran tentang penghitungan emisi karbon dengan menggunakan software HEAT+. Para peserta sangat antusias mengikuti pelatihan ini. Respon dari peserta sangat positif. Namun, pelatihan ini mempunyai kelemahan karena tidak menyediakan manual berbahasa Indonesia dan studi kasus dari kota-kota di Indonesia sehingga bisa langsung dimanfaatkan oleh peserta. Peserta dari Balikpapan, misalnya, mengusulkan agar software ini dibuat secara offline sehing ga tidak membahayakan pekerjaan yang sudah dibuat sebelumnya oleh kota dan tidak berisiko akan hilangnya data yang telah diinput oleh pemerintah kota. Peserta dari Madiun juga mengusulkan agar ada tambahan materi tentang bagaimana mengumpulkan data-data emisi yang dibutuhkan.
Software satusatunya yang berbasis web (online) yang menawarkan tingkat keamanan dan kerahasiaan data, bantuan teknis yang komprehensif dan akses selama 24 jam.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 37
SEPTEMBER 2013
37
01/10/13 12:16
I N F O
A P E K S I
Mencari Formula Ideal Perlindungan Pekerja Migran
I S T I M E WA
Pekerja migran masih minim perlindungan. Saatnya melibatkan pemerintah daerah dalam penanganan masalah pekerja migran.
Para tenaga kerja Indonesia (TKI) sedang check-in perjalanan untuk merantau ke luar negeri.
P
EKERJA migran, yang selama
ini lebih dikenal dengan sebutan tenaga kerja Indonesia (TKI) atau tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri, telah menjadi pendulang devisa yang luar biasa besar dan, harus diakui, juga telah menjadi penyangga pertumbuhan perekonomian di daerah. Namun, di saat bersamaan, cerita duka nestapa selalu menyertai kabar tentang mereka di negeri asing. Ada yang gajinya tidak dibayar. Banyak yang telantar. Tidak sedikit pula yang menjadi korban tindak kekerasan bahkan ada yang harus meregang nyawa. Itulah sisi potret buram pekerja migran Indonesia di berbagai negara. Harus diakui, hal itu terjadi lantaran masih masalah dalam hal pengaturan (regulasi) pekerja migran dan implementasinya. Sebagai contoh, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan ketenagakerjaan telah menjadi salah satu urusan wajib dan ke-
38
Kota Kita ed3.indd 38
Volume III
wenangan pemerintah daerah (pemda) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Namun tidak demikian dalam implementasinya. Berkaitan dengan penempatan di luar negeri, pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) masih menganggap pekerja menjadi kewenangan dan urusan pusat. Padahal pemerintah daerah juga bertanggung jawab terhadap jaminan perlindungan masyarakatnya. Seringkali, ketika terjadi kasus, pemda pun tak bisa lepas tangan. Itu hanya salah satu dari sekian banyak masalah yang dalam hal pengaturan dan penanganan pekerja migran. Singkat kata, pekerja migran masih minim perlindungan, terutama dari sisi hukum. Menyadari hal itu, pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN). Guna memberikan masukan dalam proses pembahasan RUU tersebut, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) mengadakan
seminar nasiomal bertema “Pembahasan RUU PPILN. Seminar dilaksanakan di The Bridge Function Room, Hotel Aston Rasuna Kuningan, Jakarta Selatan, 27 Juni 2013. Hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kemenakertrans, Reyna Usman dan Yuniyanti Chuzaifah dari Komisi Nasional (Komnas Perempuan). Dari hasil seminar ini, APEKSI merumuskan rekomendasi guna penyempurnaan RUU PPILN. Reyna Usman, yang membawakan makalah pada kesempatan pertama, memaparkan hal-hal krusial yang terdapat dalam rumusan RUU PPILN. Ia mencatat ada sejumlah masalah krusial dalam RUU yang tersebut, mulai dari klausul yang berkaitan judul RUU, kelembagaan, perwakilan di luar negeri, tugas dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlindungan keluarga pekerja migran, pelatihan, hingga sanksi. Reyna mengusulkan agar judul RUU ini disesuaikan dengan amanat Pasal 33 dan Pasal 34 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 33 UU Ketenagakerjaan disebut bahwa penempatan tenaga kerja terdiri dari (a) penempatan tenaga kerja di dalam negeri dan (b) penempatan tenaga kerja di luar negeri. Sedangkan, dalam Pasal 34 disebutkan bahwa ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri diatur dengan UU. Karena itu, ia mengusulkan judul RUU disempurnakan menjadi “Penempatan dan Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri”. Selintas sepele, namun Reyna mengingatkan bahwa ini masalah sangat krusial. Sebab, selama masa proses penempatan yang meliputi tahapan pra, selama, dan purna penempatan calon pekerja migran/pekerja migran harus tetap memperoleh perlin-
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
I S T I M E WA
Seorang tenaga kerja wanita (TKW) yang sedang menunggu penerbangannya ke luar negeri.
dungan secara optimal. Berikutnya, Reyna menyorot klausul yang mengatur masalah kelembagaan. Dalam RUU ini ditegaskan akan dibentuk lembaga perlindungan yang akan disebut Badan Nasional PPILN. Namun, lembaga ini dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan tugas dan fungsi beberapa kementerian/lembaga. Selain itu, karena Kepala BNPPILN nantinya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR, Reyna memandang lembaga yang diusulkan dalam RUU ini bukan Lembaga Perlindungan Tenaga Kerja (LPNK) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. “Karena itu, pembentukan lembaga baru tidak diperlukan, sebaiknya mengoptimalkan BNP2TKI, dan tetap di bawah koordinasi dan pengawasan Kemnakertrans,” katanya. Selain itu, Reyna tidak setuju ada pembentukan perwakilan BN PPILN di luar negeri dengan alasan tugas dan fungsinya akan tumpang tindih dengan keberadaan Atase Ketenagakerjaan di Perwakilan RI. “Perlindungan TKI di luar negeri menjadi tugas dan tanggung jawab Atase Ketenagakerjaan di Perwakilan RI,” katanya. Di bagian lain, Reyna tidak setuju jika tugas dan wewenang kementerian dan pemerintah daerah diatur dalam RUU ini sebab telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Namun, ia menambahkan, tugas dan fungsi badan diintegrasikan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah se-
suai dengan UU Pemerintahan Daerah. Tentang perlindungan keluarga pekerja migran, ia menegaskan bahwa anggota keluarga yang turut serta menjadi pekerja migran dengan sendirinya diatur dalam RUU ini. Sedangkan, untuk anggota keluarga yang tetap tinggal di Indonesia, RUU harus mengatur agar anggota diberi akses informasi dan komunikasi sesuai dengan hak-haknya. Reyna juga menekankan RUU ini mengatur secara jelas dan tegas masalah penempatan, pelatihan, dan pemberian sanksi. “Pelanggaran sering terjadi karena ketidaktegasan sanksi,” ujarnya. Meskipun tidak setuju jika tugas dan wewenang pemda dimasukkan ke dalam RUU ini, secara khusus Reyna tetap mengusulkan agar sejak awal pemda dilibatkan dalam proses penempatan pekerja migran. Sebab, selama ini banyak pemda sulit mengakses informasi dan memantau warganya yang bekerja di luar negeri. Sementara itu, pembicara dari Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah banyak mengulas permasalahan yang berkaitan dengan kondisi TKW dan problematikanya. Ia, misalnya, mencatat saat ini angka pengangguran mencapai 11 juta jiwa, dan yang berjenis kelamin perempuan mencapai 5 juta jiwa. Para perempuan ini kemudian banyak yang bekerja di luar negeri, dan kebanyakan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). “Mereka ini penumpu keluarga, namun minim perlindungan,” ujarnya.
Yuniyanti Chuzaifah menyarankan agar penyusunan RUU PPILN dilakukan secara komprehensif, tidak terkotak-kotak, dan memberi peran lebih kepada pemda. Dia menambahkan, dalam masalah penananganan pekerja migran ini, banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemda. Misalnya, melakukan perbaikan pelayanan birokrasi, menyiapkan data base, menyediakan program pendidikan dan pelatihan, mengelola proses transit dan penempatan, hingga pembantuan terhadap pekerja migran yang korban berbagai tindak pelanggaran. “Peran pemda harus ditingkatkan,” tegasnya. Berdasarkan hasil seminar ini, APEKSI kemudian menyusun pokok-pokok pikiran yang dijadikan rekomendari untuk pembahasan RUU PPILN. Pertama, judul RUU harus disempurnakan menjadi RUU “Penempatan dan Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri”. Kedua, RUU harus mengatur tugas dan wewenang dari pemerintah daerah secara tegas, termasuk dalam hal kerja sama antar-pemerintah daerah. Ketiga, RUU ini perlu mengatur adanya insentif dan disinsentif di dalam lembaga penyelenggara penempatan tenaga kerja. Keempat, masalah standar kompetensi tenaga kerja yang dikirim termasuk juga dengan lembaga pendidikan penyelenggara pelatihan harus diatur tersendiri. Kelima, RUU ini harus mengatur soal pentingnya pendampingan terhadap tenaga kerja luar negeri, baik itu dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun oleh lembaga. Keenam, RUU harus mengamanatkan disiapkannya kurikulum pendidikan bagi kepentingan tenaga kerja di luar negeri. Ketujuh, perlu adanya penguatan dan konsistensi dari pemerintah terhadap aspek pengawasan dan pengaturan sanksi harus diperkuat untuk menjadi perlindungan terhadap tenaga kerja. Selain itu, diusulkan juga agar pejabat fungsional juga menjadi urusan pemerintah pusat, tidak saja dari pemerintah daerah dan alokasi dana pendidikan 20 persen yang berasal dari APBN juga dapat diberikan kepada disnaker untuk keperluan diklat ketengakerjaan.
Volume III
Kota Kita ed3.indd 39
SEPTEMBER 2013
39
01/10/13 12:16
I N F O
A P E K S I
Dicari,
Model Kerja Sama Antar-Daerah Nyaris tidak mungkin suatu daerah mampu mengembangkan dan mengotimalkan potensinya tanpa keterlibatan daerah lain. Masyarakat pun, sebagai pengguna layanan dasar, tak peduli lagi dilayani pemerintah yang mana. Sebab, yang penting kebutuhan mereka terpenuhi. Di sinilah pentingnya kerja sama antardaerah guna meningkatkan pelayanan publik perkotaan.
I
SU pentingnya kerja sama an-
tardaerah menjadi tema diskusi yang diselenggarakan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) pada Juli di Kantor Sekretariat Nasional APEKSI Jakarta. Diskusi ini menghadirkan nara sumber Kepala Subdirektorat Kerja Sama Antar-Daerah Kementerian Dalam Negeri Zain Afif dan wakil dari tiga kota anggota APEKSI, yakni Tangerang Selatan, Sukabumi, dan Yogyakarta. Diskusi dibagi dalam dua sesi. Pertama, paparan tentang kerja sama antardaerah yang disampaikan Kepala Subdirektorat Kerja Sama Antar-Daerah Kementerian Dalam Negeri Zain Afif dan dilanjutkan dengan tanya jawab. Pada sesi kedua, peserta diskusi membuat rumusan hasil diskusi yang kemudian diusulkan untuk dijadikan rekomendasi sebagai bahan penyusunan program kerja APEKSI 20132016, khususnya di bidang kerja sama antardaerah. Diskusi ini dibuka oleh Direktur Eksekutif APEKSI Sarimun Hadisaputra yang sekaligus memberikan sambutan dan arahan kepada peserta diskusi. Dalam arahannya, Sarimun Hadisaputra mengatakan, kerja sama antardaerah
40
Kota Kita ed3.indd 40
Volume III
(KAD) saat ini banyak diwarnai egoisme kedaerahan, kompetisi yang kurang menguntungkan, yang pada gilirannya mematikan daerah yang bersangkutan. Seperti, banyak daerah bersaing membuat tempat wisata waterboom. Langkah ini sebenarnya justru kurang menguntungkan di antara daerah. Seharusnya, kekuatan tersebut disatukan untuk membuat waterboom yang memiliki fasilitas dan permainan lengkap yang dapat menyedot lebih banyak pengunjung. Secara tersirat, Sarimun ingin mengatakan bahwa daerah seharusnya memiliki konsep kerja sama yang saling menguntungkan. Mereka bisa mencontoh kerja sama yang dilakukan di Yogyakarta, Sleman, Bantul (Kartamantul) dan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Kerja sama ini lebih ditujukan untuk melayani kepentingan umum, mulai dari persampahan, air limbah, air bersih, jalan, drainase, transportasi, dan tata ruang. Melihat aktivitas perkotaan yang begitu dinamis, sesungguhnya masyarakat memiliki harapan yang tinggi bagaimana infrastruktur perkotaan menjadi satu sistem yang fungsional integratif. Masyarakat yang membutuh-
kan infrastruktur dasar seperti jalan, drainase, persampahan, transportasi, dan lainnya tidak lagi peduli dilayani oleh pemerintah kota yang mana. Yang penting kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Di sinilah pelayanan publik di perkotaan—membutuhkan sumber daya lintas daerah—alias tidak mengenal batas administratif. Sebagai asosiasi pemerintah kota, APEKSI berkepentingan membangun kesadaran pemerintah kota, sejauh mana kepentingan kerja sama bisa dipahami dan saling menguntungkan. Seperti DKI Jakarta, sebagai kota metropolitan, aktivitas kotanya menghasilkan sampah dan limbah cair yang cukup besar. Pemerintah DKI Jakarta tidak bisa menangani sampah di daerahnya. Ia membutuhkan kerja sama dengan daerah sekitar untuk pengolahan sampah. Melihat pentingnya kerja sama antardaerah itulah, APEKSI menjadikan isu ini sebagai salah satu program prioritas kepengurusan 2012-2016. Menurutnya, Kementerian Dalam Negeri sebagai pembina pemerintah daerah, sejauh ini memang telah mengatur kerja sama antardaerah, meskipun sifatnya masih relatif umum. Upaya meningkatkan dan memanfaatkan keunggulan
SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
I S T I M E WA
komparatif setiap daerah harus terus dilakukan dengan meninggalkan egoisme daerah yang berlebih, serta menghindari timbulnya inefisiensi dalam pelayanan publik. Konsep itu dituangkan dalam rencana pembangunan 2005-2025. Sementara itu, dalam paparannya, Kasubdit Kerja Sama Antar-Daerah Kementerian Dalam Negeri Moh Zain Afif, mengatakan, selama ini banyak daerah mengklaim melakukan kerja sama, namun mereka belum memahami makna kerja sama yang dimaksud. Padahal, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 19 Tahun 2009, dan Permendagri 23 Tahun 2009 terkait kerja sama antardaerah tersebut. “Kerja sama antardaerah ini intinya harus ada kesamaan persepsi terkait substansi kerja sama,” terangnya. Zain Afif mengakui, untuk kerja sama antardaerah pengaturnya memang masih bersifat umum. Dalam aturan tersebut disebutkan adanya kesepakatan, yang bermuatan obyek dan jangka waktu kerja sama yang ditandatangani kepala daerah. “Perjanjian yang sudah sangat teknis terkait hak dan kewajiban menjadi kewenangan Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD),” terangnya. Pengaturan yang ada sekarang masih dikelola badan kerja sama yang bersifat sementara. Badan kerja sama ini berperan sebagai konsultan, dipimpim profesional, yang keberadaannya tidak menjalankan peran SKPD. Badan kerja sama ini sudah ada dasar hukumnya serta bisa mendapatkan pembiayaan dari APBD, dengan catatan sifatnya seperti di atas. Badan kerja sama sifatnya nonstruktural, seperti Sekretariat Bersama (Sekber) Kartamantul bisa diganti menjadi Badan Kerja Sama (BK) Kartamantul. Jika sebuah kerja sama ingin menjalankan pelayanan, maka pendekatan seperti Sarbagita bisa dilakukan, dengan membentuk (Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) di tingkat provinsi, atau membuat Badan Usaha Milik Darerah (BUMD) dengan penyertaan modal. “Model BK seperti sekarang tidak memungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga,” ungkap Zain Afif. Zain Afif menekankan, daerah yang terlibat kerja sama perlu memperhatikan bagaimana kerja sama dilakukan serta apa obyek dan subyek kerja sama. Sebelum dilakukan kerja sama, obyek kerja sama harus dilakukan kajian apakah feasible atau tidak. Hasil kajian dijadikan sebagai dasar untuk menyusun perencanaan agar pelaksanaan kerja sama bisa mencapai efisiensi dan efektivitas. “Jangan sampai kerja sama terjadi hanya karena kemauan politik pimpinan,” terangnya. Dalam kerja sama antardaerah tidak tertutup kemungkinan berhadapan dengan adanya perselisihan. Perselisihan dalam kerja sama antardaerah diatur untuk tidak boleh dibawa ke ranah hukum. Perselisihan dalam satu provinsi akan diselesaikan dengan keputusan gubernur, sementara perselisihan antarprovinsi akan diselesaikan oleh keputusan Menteri Dalam Negeri. Keputusan tersebut bersifat final dan mengikat. “Ini berbeda dengan kerja sama dengan pihak ketiga, di mana penyelesaiannya ada di ranah hukum perdata,” jelas Zain Arif. Meski eforia kerja sama antardaerah sangat tinggi, Kemendagri melihat
banyak inisiatif kerja sama kurang berhasil. Banyak daerah telah menciptakan inisiatif-inisiatif kerja sama, mulai dari Kartamantul dan Sarbagita yang relatif berhasil, sampai Subosukawonosraten, Barlingmascakeb, dan kerja sama-kerja sama “bilateral” yang belum terdengar kabar efektivitasnya. Banyak contoh kerja sama antardaerah sepi dalam aplikasinya. Kerja sama Provinsi Kalimatan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, misalnya. Setelah tiga tahun penandatanganan kerja sama hingga kini tidak pernah ada implementasinya. Padahal, kesepakatan kerja sama hanya berlaku selama 12 bulan. Praktis, tahapan kesepakatan sebaiknya diulang sebelum masuk pada tahap perjanjian. Zain Afif mengakui, kerja sama antardaerah memang tidak banyak cerita inisiatif dari luar Jawa, karena memang kebutuhan dan desakan masyarakat di perbatasan relatif tidak setinggi di daerah di Jawa dan Bali. Sampai saat ini, Kemendagri telah memfasilitasi adanya inisiatif kerja sama sampai kerja sama antardaerah membuahkan hasil. Di tahun 2013, misalnya, Kemendagri memfasilitasi delapan daerah di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kerja sama Ponorogo, Trenggalek, Pacitan, Wonogiri, dan Wonosari–mencakup tiga provinsi. Dan kerja sama Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT). Pada tahun 2014 nanti, Kemendagri berencana memfasilitasi kerja sama Seragon (Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon) dan Subosukawonosraten. Secara garis besar, aturan mengenai KAD telah disetujui DPR. Secara mendetail, akan ada pembedaan antara kerja sama yang “wajib” dan kerja sama yang bersifat sukarela. Kerja sama wajib— artinya yang tidak melakukan akan diberikan disinsentif – adalah kerja sama antardaerah yang menurut kriteria eksternalitas dampaknya melampaui satu daerah otonom saja. “Jadi, daerah perlu bersiap dengan pengaturan KAD bercorak top down ini,” jelas Zain Afif. Zain Afif mengharapkan APEKSI membuat acara yang bisa mempertemu-
Volume III
Kota Kita ed3.indd 41
SEPTEMBER 2013
41
01/10/13 12:16
I N F O
A P E K S I
kan pemimpin kota. Sebab, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemerintahan Umum Kemendagri memiliki program kerja sama antardaerah yang perlu segera diaplikasikan oleh pemerintah kota guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat kota. Kepala KPMD, Kota Tangerang Selatan Oting Ruhiyat, dalam diskusi melontarkan banyak menolak kerja sama dari investor luar negeri terkait suplai air bersih dan pengelolaan sampah di Tangerang Selatan. Menurutnya, tantangan kerja sama antardaerah terletak pada pengelolaan aset. Bahkan, ketika aset yang dibangun bersama akhirnya dihibahkan kepada salah satu pihak, biaya pemeliharaannya masih menjadi masalah. “Barangkali Kemendagri dan APEKSI bisa mendorong sinergi dan mengurangi bottle neck seperti ini,” ungkap Oting. Menanggapi hal itu, Zain Afif mengatakan, kerja sama dengan luar negeri menjadi wilayah kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat memang ketat dalam mengatur hal ini. Zain menekankan, pemerintah pusat tidak menghendaki Indonesia dimanfaatkan sebagai pasar saja bahkan untuk barang yang sudah tidak laku di negara asalnya. Atau, daerah tidak selalu memahami status hubungan diplomatik dengan negara yang menawari kerja sama. Terkait PDAM, bila diinginkan kerja sama, PDAM dapat bekerja sama dengan provinsi dan kabupaten/kota. Tinggal dibuat peraturan daerah untuk penyertaan modalnya. Bila BUMD hendak bekerja sama dengan pihak ketiga, kepala daerah disarankan untuk tidak ikut campur. Sebab, BUMD sudah merupakan pihak ketiga, bukan SKPD. “Kerja sama merupakan tool saja untuk mendorong 31 urusan di daerah. Jadi, yang paling penting diklirkan dalam kerja sama adalah substansinya,” terang Zain lagi. Sementara itu Bagian Kerja Sama, Kota Yogyakarta, Nindyo Dewanto, mengutarakan kesulitan yang dihadapi Kartamantul. Sebuah BKAD suatu saat akan didatangi oleh pihak ketiga dan
42
Kota Kita ed3.indd 42
berpotensi harus mengelola aset. “Dalam kondisi serupa, siapa pihak pertama dalam perjanjian? Siapa yang akan memiliki aset? Siapa subyek hukumnya? Absennya pengaturan di Indonesia menimbulkan kontroversi tafsir: apakah karena tidak diatur berarti boleh, atau justru karena tidak diatur maka tidak boleh,” ujarnya. Terkait dengan itu, Zain Afif mengkonfirmasi kasus yang diangkat Kota Yogyakarta ini memang belum diatur dalam perundangan yang ada.
Hasil Diskusi DARI diskusi tersebut akhirnya diperoleh
rumusan yang akan direkomendasikan untuk menjadi bahan penyusunan program kerja prioritas APEKSI untuk masa 2012-2016. Disimpulkan bahwa kerja sama antardaerah menjadi kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan, terutama kerja sama untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang sering terlewat di daerah perbatasan. Untuk itu perlu dibuat konsep pelayanan publik di daerah perbatasan yang efektif dan efisien, baik terhadap sumber daya maupun penyelenggaraannya. Pelayanan publik di perbatasan ini perlu komitmen para pemimpin daerah untuk mengelolanya. Adanya permasalahan-permasalahan yang kompleks dan mendesak, pemecahannya memerlukan kerja sama. Adanya kepentingan nasional dan global yang menuntut penyelesaian lintasdaerah, seperti pernah kasus pemberantasan polio. Kerja sama antardaerah ini bisa berhasil bila dilandasi oleh faktor kultural pendukung seperti kesamaan sejarah, hubungan antarkepala daerah dan komitmen yang kuat dari kepala-kepala daerah yang terlibat, dan adanya infrastruktur dasar yang mendukung, sehingga memberikan daya tawar bagi pihak-pihak yang bekerja sama. Di samping itu, diperlukan tersedianya informasi peta potensi dari pihak-pihak yang terlibat, sehingga prinsip-prinsip kerja sama, termasuk take and give, bisa diberlakukan. Kemungkinan digunakannya legal expert yang profesional untuk memberikan dukungan dalam peru-
musan kerja sama juga terbuka. Selain itu, juga ada tantangan dalam implementasi kerja sama antardaerah. Seperti egoisme daerah, termasuk untuk menyadari potensi dari kerja sama, untuk membuka peluang menghibahkan aset, untuk membuka peluang dihibahkannya aset dan melakukan pemeliharaan. Di samping itu, adanya regulasi yang dinilai terlalu banyak, sehingga sulit bagi daerah untuk memahami dan menjalankannya dalam sebuah kerja sama yang efektif. Sosialisasi regulasi dari pemerintah pusat juga dinilai kurang efektif. Tantangan lain adalah adanya ketidakseimbangan manfaat dan dampak yang mendorong perilaku free rider, misalnya dalam kasus adanya tambang di daerah A, namun daerah B terkena dampak negatif lalu lintas hasil tambang yang merusak jalan, dan tidak mendapatkan manfaat penambahan pendapatan. Peserta diskusi merekomendasikan, dari sisi regulasi perlu dilakukan sinkronisasi, kejelasan bentuk badan hukum kerja sama, revisi PP 50 Tahun 2007 dan Permendagri Nomor 23 Tahun 2009. Peserta diskusi juga memandang diperlukannya pengaturan pendanaan kerja sama antardaerah yang lebih aplikatif. Ada juga rekomendasi yang tidak terkait dengan kerja sama antardaerah, di antaranya secara eksternal diperlukan adanya pengaturan yang tegas bahwa iuran untuk Asosiasi boleh berasal dari APBD, kendati bukan pos hibah dan bantuan sosial (bansos). Dan, secara internal perlu dipertimbangkannya dilakukannya perubahan Anggaran Rumah Tangga (ART) Asosiasi guna mendorong adanya staf profesional di tingkat Komwil (bukan PNS), mengingat Komwil mengelola dana, dan ini bisa membahayakan staf yang berstatus PNS. Diskusi ini juga mengharapkan APEKSI dapat melakukan penyusunan direktori program kerja sama internasional yang menangani isu dan memfasilitasi kerja sama antardaerah, melakukan advokasi sinkronisasi regulasi, dan membuat kajian mengenai operasional KAD, termasuk konsekuensi pembentukan konsorsium.
Volume III SEPTEMBER 2013
01/10/13 12:16
Kota Kita ed3.indd 43
01/10/13 12:16
Kota Kita ed3.indd 44
01/10/13 12:16