PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU (Analisis Politik Pembentukan Kabupaten Pangandaran Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah) Oleh Andi Firmansah 123507004 Email:
[email protected] Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis politik pembentukan Kabupaten Pangandaran dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini tidak terlepas dari persyaratan pembentukan daerah berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah tipe deskriptif kualitatif berupa kata-kata. Dengan tujuan untuk menggambarkan bagaimana peran elit dan tokoh masyarakat dalam pembentukan Kabupaten Pangandaran sampai pada tahap pembahasan di tingkat pusat. Hasil penelitian menunjukan bahwa, ketika ketua presidium berada di tingkat Kabupaten Ciamis sampai pusat. Bapak H. Supratman dapat mengatur dan mengerahkan masa yang secara langsung mendatangi elit politik di daerah sampai pusat, untuk mendesak ‘sedikit’ dan sekaligus mempengaruhi mereka elit politik agar mau menyetujui pembentukan Kabupaten Pangandaran dengan cara melakukan dialog maupun melobi antara ketua presidium dengan elit politik. Selain itu ketika bola sedang bergulir di DPR RI, tokoh presidium juga dibantu oleh beberapa elit Provinsi DKI Jakarta sebagai juru bicara Bapak H. Supratman dalam melakukan lobi-lobi politik dengan beberapa partai politik. Dalam lobi tersebut elit lokal mengatakan kepada anggota DPR RI bahwa, penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan upaya untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan publik kepada masyarakat. Maka solusi yang tepat adalah dengan cara melakukan pembentukan daerah otonom baru, sehingga akan memperpendek rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kata Kunci: Desentralisasi, Pembentukan Daerah, Peran Elit Lokal, Dan Masyarakat.
ABSTRACT This study aims to determine the political analysis Pangandaran District establishment in the implementation of regional autonomy. This is not apart from the requirements of the establishment of the area under PP 78 of 2007 on the Procedures for the Establishment, Removal and Merger of Regions. The research method used by writer is descriptive qualitative form of words. With the aim to illustrate how the elite and prominent role in the formation of the District Pangandaran reached the stage of discussion at the national level. The results showed that, when the chairman of the presidium are in Ciamis district level to the center. Mr. H. Supratman can organize and mobilize period that directly come to the political elite in the region to the center, to urge a
'little' and also affect their political elite that would approve the establishment of Pangandaran district by way of dialogue and lobbying between the chairman of the presidium of the political elite. Additionally, when the ball was rolling in the House of Representatives, leaders presidium also assisted by some of the elite of Jakarta as a spokesman for Mr. H. Supratman doing political lobbying by some political parties. In the lobby of the local elite told members of Parliament that the regional administration is an effort to improve the effectiveness and efficiency in service delivery to the public. Then the proper solution is to make the establishment of new autonomous regions, which will shorten the span of control of the regional administration. Keywords: Decentralization, Local Formation, Role of Local Elites, And Society.
A. PENDAHULUAN Demokratisasi di Indonesia mulai terjadi sejak era reformasi, dengan adanya perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu berupa penerapan konsep desentralisasi sebagai anti tesis dari konsep sentralisasi pada masa orde baru. Berdasarkan peraturan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa, desentralisasi atau pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Tahun 1945. Pembahasan terkait pemerintahan daerah sebagaimana telah diatur dalam peraturan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, menghasilkan sebuah proses aspirasi dari masyarakat daerah. Dengan adanya hal tersebut, pemerintah pusat telah memfasilitasi daerah untuk melakukan pemekaran atau pembentukan daerah. Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai langkah yang strategis untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan juga dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah, sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemekaran wilayah yang sering marak terjadi di tingkat kabupaten, seperti yang terjadi pada Kabupaten Ciamis yang dimekarkan menjadi dua kabupaten melalui UU No. 27 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Kota Banjar di Jawa Barat yang disahkan pada tanggal 11 Desember 2002 dan diundangkan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Februari 2003. Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar yang dianggap efektif oleh masyarakat Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar karena berhasil memandirikan Kota Banjar, baik pada segi ekonomi dan pemerintahan. Sehingga menimbulkan wacana baru dalam pemekaran wilayah Pangandaran. Munculnya wacana pemekaran wilayah akibat dari berbagai masalah yang ada di wilayah Ciamis Selatan atau Pangandaran. Sejak tahun 2007 mulai terjadi tuntutan pemekaran wilayah yang dilakukan oleh ketua presidium Bapak H. Supratman atas aspirasi masyarakat Pangandaran, melalui surat keputusan dari setiap Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang akan menjadi cakupan wilayah Kabupaten Pangandaran seperti sekarang ini. Sebagaimana telah diungkapkan oleh ketua presidium bahwa, Kabupaten Ciamis terlalu luas sehingga akan menimbulkan permasalahan dari berbagai aspek. Kurangnya tenaga kerja
profesional yang memegang peranan penting dalam pemerintahan di tingkat kabupaten, sehingga dapat mengakibatkan pelayanan umum kepada masyarakat menjadi terhambat. Ketua presidium Bapak H. Supratman mengatakan dari pemikiran itu saya berkesimpulan bahwa, kalau Pangandaran ingin maju maka harus berpisah dari Kabupaten Ciamis. Hal tersebut harus ada perjuangan dengan sungguh-sungguh dalam meneruskan tujuan cita-cita pemekaran wilayah di Pangandaran. Langkah berikutnya ketua presidium mengundang tokoh yang berpengaruh di masyarakat dengan tujuan untuk memperbesar dukungan, karena banyaknya dukungan dari tokoh masyarakat yang hadir di rumah ketua presidium. Dari sinilah kemudian dibuatlah organisasi Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran (PPKP) pada tanggal 15 Juli tahun 2007 yang dipimpin oleh Bapak H. Supratman sendiri, sekretaris oleh Bapak Dudi Hermanto, wakil oleh Bapak Andis Sose, bendahara oleh Bapak H. Yos dan Bapak H. Adang, sehingga akan mudah dikendalikan dalam mengusulkan pemekaran wilayah kepada Pemerintah Kabupaten Ciamis. Pada tahun 2008 setelah adanya desakan dari daerah yang ingin cepatcepat dimekarkan semakin besar, sehingga pihak Pemkab Ciamis merasa dikejarkejar target untuk segera menyelesaikan tuntutan pemekaran wilayah di Ciamis Selatan. Kemudian Bupati Ciamis menunjuk Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung yang bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada saat melakukan kajian, bupati menggunakan data Biro Pusat Statistik (BPS) Ciamis tahun 2006 hasilnya menyatakan bahwa Pangandaran tidak dapat dimekarkan, sehingga ketua presidium menulis surat kepada BPS Ciamis untuk meminta disajikan data tahun 2007, kemudian setelah dihitung oleh tim kajian hasilnya menyatakan bahwa Pangandaran layak untuk dimekarkan. Akhirnya pada tahun 2009 Bupati Ciamis dan Ketua DPRD mau menyetujui usulan pemekaran wilayah Ciamis Selatan atau Pangandaran. Berdasarkan pemaparan di atas tadi, penulis tertarik untuk menelitinya sekaligus ingin mengetahui secara langsung pokok permasalahan, baik dari faktor yang menjadi pendukung maupun sebagai penghambat terkait dengan tema Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB), sehingga penulis bermaksud untuk mengajukan sebuah penelitian yang berjudul “Analisis Politik Pembentukan Kabupaten Pangandaran Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Desentralisasi Pada negara-negara dengan sistem negara kesatuan, hubungan antar tingkat pemerintahan berlangsung secara terbuka dimana kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan-urusan pemerintahan tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan. Dalam kondisi demikian, praktik penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari cenderung berlangsung secara dekonsentrasi dalam format desentralisasi. Seberapa besar kewenangan yang diberikan menuju kemandirian daerah di dalam suatu negara kesatuan, tergantung kepada sistem dan keinginan politik dalam memberikan keleluasaan kepada daerah (Bambang Yudoyono, 2001: 5).
Menurut Riggs (dalam Sarundajang, 1999: 47-48) mengatakan bahwa, teori desentralisasi sendiri mempunyai dua makna, yaitu sebagai pelimpahan wewenang (delegation) dan pengalihan kekuasaan (devolution). Delegation mencakup penyerahan tanggungjawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan berdasar kasus yang dihadapi, tetapi pengawasan tetap berada ditangan pusat. Sedangkan devolution mempunyai makna, dimana seluruh tanggungjawab untuk kegiatan tertentu diserahkan penuh kepada penerima wewenang dalam perspektif desentralisasi politik dan perspektif desentralisasi administratif. 2. Otonomi Daerah Berdasarkan perkembangan sejarah di Indonesia, otonomi daerah selain mengandung arti perundangan juga mengandung arti pemerintahan. Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (J. Kaloh, 2007: 3-4). 3. Teori Elit Secara bahasa istilah elit berasal dari kata elligere yang berarti memilih, dalam perkataan biasa dapat diartikan sebagai orang-orang yang menduduki posisi yang tinggi. Elit menurut Suzzane Keller (dalam La Ode Risman, 2015: 15) yang mengatakan bahwa, sekelompok warga masyarakat yang memiliki kekuasaan lebih tinggi dari masyarakat lainnya dalam posisi yang strategis. Terdapat dua kelas di dalam masyarakat, yaitu kelas yang menguasai kelas lainnya disebut elit, dan kelas yang dikuasai disebut masyarakat. Kelas pertama atau elit terdiri dari beberapa orang saja yang memiliki posisi strategis dalam menjalankan fungsi politik, memonopoli kekuasaan. Sedangkan kelas kedua yaitu masyarakat, jumlahnya jauh lebih banyak dan segala bidang dalam kehidupannya telah diatur dan dikuasai oleh para elit. a. Elit Politik Lokal Elit lokal dapat diartikan sebagai sekumpulan dari beberapa orang yang memiliki kecakapan dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat setempat. Masyarakat daerah yang memiliki keinginan untuk melakukan pemekaran daerah, hal tersebut tidak akan terlepas dari keberadaan dan peran elit lokal dalam posisi yang sangat penting untuk saling memperkuat satu sama lain, serta melancarkan apa yang hendak ingin mencapai tujuan pembentukan daerah otonom. b. Elit Tradisional (Tokoh Adat) Sebagaimana telah dikatakan oleh Pareto (dalam La Ode Risman, 2015: 28) yang membagi elit berkuasa menjadi dua yaitu, elit yang sedang memerintah dan elit yang tidak memerintah dapat dikatakan sebagai tokoh masyarakat setempat atau tokoh adat. Putnam (dalam La Ode Risman, 2015: 30) yang mengatakan bahwa, dalam lapisan pertama terdapat beberapa orang yang secara langsung menentukan pembuatan kebijaksanaan nasional disebut pengambilan keputusan. Sedangkan pada lapisan kedua terdapat beberapa orang yang memiliki pengaruh secara tidak langsung dan secara tidak sadar telah terpengaruhi. Mereka ini sering diminta nasihat oleh para pengambil keputusan untuk memenuhi keinginan para pembuat kebijakan tersebut.\
c. Peran Masyarakat Peran masyarakat dalam pembentukan daerah otonom sangat berpengaruh terhadap keputusan yang diambil, karena dampak dari berhasil atau tidaknya suatu daerah akan dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia peran adalah, perangkat tingkah laku dengan harapan dapat dimiliki oleh orang yang berkedudukan di dalam masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat berasal dari bahasa latin socius yang berarti kawan. Berbeda dengan istilah masyarakat yang berasal dari bahasa Arab syaraka dapat diartikan yaitu ikut serta dan berpartisipasi. C. METODE PENELITIAN Adapun metode yang digunakan oleh peneliti untuk mengkaji sesuai dengan pokok pembahasan, yaitu berupa metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor mengatakan bahwa, penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2011: 4). Pendekatan dalam penelitian ini berikutnya disebut sebagai pendekatan studi kasus. Menurut Ghony dan Almanshur (2014: 62) mengatakan bahwa, “Studi kasus adalah penelitian tentang suatu “kesatuan sistem” berupa program, kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu yang diarahkan untuk menghimpun data, makna, dan memperoleh pemahaman dari kasus tersebut”. D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Peran Organisasi PPKP Dalam Mempengaruhi Elit Politik Pada Saat Memperjuangkan Pembentukan Kabupaten Pangandaran Pembentukan daerah otonom tidak terlepas dari peran dan kepentingan bagi sekelompok orang atau elit lokal, yang menginginkan adanya daerah otonom yang berdiri sendiri secara mandiri. Pemekaran wilayah pada dasarnya telah ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang maupun peraturan pemerintah. Dengan demikian harus ada aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk keputusan BPD. Aspirasi dalam pemekaran dapat diartikan sebagai masyarakat yang secara sadar memiliki kemauan politik untuk membentuk daerah otonom baru dan menyelenggarakan pemerintahan daerah sendiri. Maka diperlukan sebuah wadah atau organisasi untuk menampung aspirasi yang memiliki kesamaan dalam visi dan misi yaitu membentuk daerah otonom baru. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan sebagai tingkah laku politik atau suatu kegiatan politik seseorang dalam membangun pola hubungan komunikasi antara satu dengan lainnya. Perilaku politik dapat dikatakan sebagai segala tindakan dan kegiatan yang dilakukan seseorang dengan berusaha memberikan dampak pengaruh kepada elit politik dalam menentukan suatu kebijakan secara tidak langsung. Sebagaimana dikatakan oleh Bapak H. Supratman yang memiliki peran sebagai ketua presidium (dalam wawancara dengan peneliti Sabtu, 12 November 2016 Pukul 16.24) bahwa. Ketika ketua presidium berada di tingkat kabupaten induk sampai pusat, Bapak H. Supratman dapat mengatur dan mengerahkan masa yang lebih banyak yang secara langsung mendatangi elit politik di daerah sampai elit pusat nasional. Hal
ini dilakukan sebagai upaya untuk mendesak ‘sedikit’ dan juga sekaligus mempengaruhi mereka elit politik agar mau menyetujui pembentukan Kabupaten Pangandaran, dengan cara melakukan dialog antara ketua presidium dengan elit politik, menjelaskan untung ruginya serta mempertimbangkan hasil kajian kelayakan dari awal sampai akhir.
Sikap dari tokoh presidium pada saat menyampaikan aspirasi masyarakat di tingkat Kabupaten Ciamis sampai pusat (nasional) dapat terlihat bahwa, adanya proses dalam membangun hubungan komunikasi dengan elit politik dan sekaligus meyakinkan kepada mereka dengan cara mendesak “sedikit” agar mau menyetujui pemekaran wilayah. Tokoh-tokoh PPKP tidak hanya sebagai tokoh di masyarakat, tetapi juga terdapat beberapa orang sebagai kader atau elit politik seperti Bapak H. Adang Hadari yang sekarang menjadi wakil Bupati Pangandaran periode (20152020) dari PAN. Dengan demikian orang tersebut memiliki kepentingan dalam memperjuangkan pemekaran wilayah Kabupaten Pangandaran dengan tujuan agar dapat menduduki jabatan di pemerintahan daerah (menjadi Bupati Pangandaran). Sebagaimana telah dikatakan Bapak Cucu Kurniawan (dalam wawancara dengan peneliti Senin, 28 November 2016 Pukul 08.12) bahwa, Bupati Engkon Komara pada awalnya memang tidak setuju terhadap pemekaran wilayah. Namun seiring dengan perkembangan waktu dan tuntutan masyarakat Pangandaran bahwa, Pemerintah Kabupaten Ciamis telah memberikan dukungan terhadap pemekaran wilayah Pangandaran sekaligus menyetujui sebagai daerah otonom baru Kabupaten Pangandaran. Kemudian dia juga mengatakan bahwa, terkait dengan adanya kepentingan mantan Ketua DPRD Ciamis Bapak H. Jeje Wiradinata dirinya akan mencalonkan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Pangandaran tahun 2015. Karena Kabupaten Pangandaran merupakan Daerah Otonom Baru, maka diperlukan seorang pemimpin yang dipilih secara langsung oleh masyarakat Kabupaten Pangandaran, untuk mengisi jabatan sebagai bupati dalam menjalankan roda pemerintahan selama 5 tahun. Sehingga apabila Bapak H. Jeje Wiradinata mencalonkan dalam Pilkada Pangandaran 2015 sangat wajar.
2. Peran Elit Lokal Dalam Memberikan Dukungan Terhadap Pemekaran Wilayah Melalui Surat Keputusan DPRD Dan Bupati Ciamis Menurut Suzzane Keller yang mengatakan bahwa, elit adalah sekelompok orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari masyarakat lainnya dalam posisi yang strategis. Sedangkan elit politik dalam kaitannya dengan pembentukan daerah otonom, dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki peran strategis untuk meloloskan usulan pembentukan daerah pada saat proses politik sedang berlangsung atau dalam pembuatan kebijakan (La Ode Risman, 2015: 15). Elit lokal selain memiliki peran dan fungsi menjadi wakil rakyat daerah, juga memiliki hak untuk memperjuangkan keinginan masyarakat sampai pada tahap pengesahan dalam memberikan dukungan terhadap pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). Ketika ketua DPRD akan membahas usulan pemekaran tersebut, pihaknya selalu mendapat pertentangan dari bupati. Sejak awal adanya tuntutan pemekaran wilayah saja, sikap dari Bupati Ciamis kurang begitu menanggapi terhadap usulan yang telah diperjuangkan oleh ketua presidium, hal ini adanya unsur yang secara disengaja untuk menghentikan aspirasi politik masyarakat dan sekaligus ingin mempertahankan wilayah Pangandaran sebagai bagian dari Kabupaten Ciamis.
Selama beberapa bulan berkas-berkas usulan pemekaran wilayah tersebut berada di Kabupaten Ciamis, namun dalam prosesnya tidak ada hasil laporan dari bupati terkait perkembangan berikutnya bagi kemajuan pemekaran wilayah, hal ini diluar dari apa yang diharapkan oleh ketua presidium. Menurut Bapak H. Supratman (dalam Fitriyani dan Subhan Agung, Jurnal Aliansi, No. 2, Juli 2011: 461) yang mengatakan bahwa, kemunduran proses pemekaran ini salah satunya dikarenakan Jeje Wiradinata yang memang selama ini cukup mendukung pemekaran, di tahun 2008 justru sepertinya acuh tak acuh dalam mencegah kembali upaya-upaya yang dilakukan pemerintah, atau bersikap setengah hati. Perubahan sikap ini dikarenakan pada waktu itu posisinya sebagai calon Bupati Ciamis pada Pilkada 2009 bersama Engkon Komara. Sikap ini yang dilakukan oleh Jeje Wiradinata dikarenakan ingin mempertahankan dan mencuri suara dari Utara Ciamis, semisal Panjalu, Kawali, Cihaurbeuti yang selama ini dianggap basis dukungan politik Engkon Komara. Bapak H. Jeje Wiradinata justru mengungkapkan hal yang berbeda dengan ketua presidium, memang ketidaksepakatan dan kontra terhadap pemekaran itu ada di pemerintahan Engkon Komara, namun dari sepengetahuannya pemerintah Engkon Komara tidak pernah mempersulit proses. Lewat lobi-lobi yang dilakukan oleh DPRD, terutama wakil dari Ciamis Selatan, bupati memberikan persetujuan pembentukan kabupaten baru. Hal ini menjadi salah satu syarat administrasi yang wajib dipenuhi, selain persetujuan DPRD induknya. Jadi anggapan konflik terjadi antara yang pro dan kontra yang keras salah besar, hal itu terlalu dipolitisir dan dibesar-besarkan. Kalaupun pemerintah pada awalnya kontra, tetapi tidak sampai terjadi pengerahan dukungan. Selama ini proses berlangsung sesuai prosedur yang berlaku. Setidaknya ketua presidium telah melakukan serangkaian pembicaraan sebanyak dua kali dengan anggota DPRD Ciamis. Pertama, pada saat rapat kerja pembahasan pemekaran (Rabu, 2 Maret 2008). Kedua, pada waktu menjelaskan aspirasi masyarakat tentang pemekaran (Selasa, 1 April 2008). Maka demikian dalam pembicaraan yang pertama, ketua presidium menyatakan kepada anggota DPRD Ciamis melalui lobi-lobinya bahwa. Pertama, Pangandaran lepas dari daerah induk (Kabupaten Ciamis) tidak akan mengurangi APBD Ciamis sehingga Pangandaran dapat berkembang secara mandiri dan lebih maju. Kedua, Kabupaten Ciamis yang awalnya berjumlah 36 kecamatan sekarang berkurang sedikit menjadi 26 kecamatan setelah terjadinya pemekaran wilayah Pangandaran seperti sekarang ini terbentuknya daerah otonom Kabupaten Pangandaran, dengan demikian akan mengurangi beban biaya Ciamis sehingga diantara kedua masing-masing daerah otonom Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Pangandaran secara bersamaan akan maju dan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat daerah, serta dalam hal pembangunan dari berbagai aspek kehidupan di lingkungan masyarakat, akhirnya Ciamis dapat juga mengerti setelah mau mendengarkan penjelasan dari Presidium Pangandaran.
Berdasarkan penjelasan di atas tadi, ketua presidium berhasil meyakinkan anggota DPRD Ciamis untuk segera menyetujui terhadap pemekaran wilayah. Setelah terjadi penundaan pembahasan pemekaran selama sembilan bulan sejak usulan pembentukan Kabupaten Pangandaran diserahkan kepada DPRD Ciamis.
Akhirnya Sidang Paripurna DPRD Ciamis dimulai, kemudian semua fraksi-fraksi mau menyetujui secara kolektif dan ketua DPRD Ciamis mau menandatangani tentang Persetujuan Pembentukan Calon Kabupaten Pangandaran yang dituangkan dalam SK Ketua DPRD Nomor: 188.4/Kep.13/DPRD/2008 Tentang Persetujuan Pembentukan Calon Kabupaten Pangandaran (Senin, 12 Mei 2008). Sebagaimana telah dikatakan Bapak H. Jeje Wiradinata (dalam Fitriyani dan Subhan Agung, Jurnal Aliansi, No. 2, Juli 2011: 461), yang mengungkapkan kesimpulan dari hasil kajian tim kecil yang secara khusus meneliti persoalan perkembangan perekonomian di wilayah yang sebelumnya menghendaki adanya pemekaran. Kajian yang dilakukan tim tersebut, juga merujuk pada PP. Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan Dan Penggabungan Daerah. Hal tersebut juga dikuatkan dengan hasil penelitian dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, yang merekomendasikan Ciamis Selatan layak untuk menjadi kabupaten di tahun 2007 dengan alasan berdasarkan penilaian bahwa, calon daerah otonom tergolong mampu dengan nilai 412 (persyaratan minimal 340). Demikian pula induk daerah otonom tergolong pada kategori sangat mampu. Namun pernyataan Bapak H. Jeje Wiradinata berbeda dengan pernyataan dari ketua presidium yang mengatakan bahwa. Tidak ada tim kecil yang mengkaji dan menyatakan Pangandaran layak menjadi daerah otonom baru di tahun 2007. Berikutnya dia juga mengatakan bahwa, setelah ketua DPRD Ciamis memberikan persetujuan pemekaran kemudian Pemkab atau Bupati Ciamis mulai membahas dan sekaligus merencanakan kajian kelayakan sehingga pihaknya merasa dikejar-kejar target untuk segera menyelesaikan tuntutan pemekaran wilayah di Ciamis Selatan atau Pangandaran. Dengan demikian kemudian Bupati Ciamis menunjuk Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Galuh (Unigal) Ciamis dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Ciamis untuk melakukan kajian kelayakan pemekaran, dalam kajian tersebut hanya dilakukan satu kali saja.
Pada saat melakukan kajian kelayakan pemekaran wilayah Bupati Ciamis menggunakan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, berdasarkan hasil kajian yang diperoleh dengan data tahun 2006 menyatakan bahwa Pangandaran tidak dapat dimekarkan. Salah satu faktor yang menjadi penyebab tidak lolosnya kajian pemekaran, hal ini dikarenakan perekonomian masyarakat pada waktu itu sedang terkena musibah bencana (Tsunami Pangandaran Tahun 2006). Dengan demikian perekonomian masyarakat menjadi menurun, sehingga tidak dapat memenuhi syarat minimal dalam pembentukan Daerah Otonom Baru Kabupaten Pangandaran sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah yaitu sebesar 340 point. Penjelasan di atas sejalan dengan pendapat dari Fitriyani dan Subhan Agung (dalam Jurnal Aliansi, No. 2, Juli 2011: 461) yang mengatakan bahwa, Ciamis Selatan tidak dapat dimekarkan untuk menjadi kabupaten sendiri, dikarenakan produksi non migas yang diharapkan sebagai sumber Pendapatan Domestic Regional Bruto (PDRB) dinilai kurang memberikan kontribusi pada pertumbuhan perekonomian Jawa Barat. Menanggapi hasil kajian akademis yang menyatakan bahwa calon Daerah Otonom Baru (DOB) tidak dapat dimekarkan, sehingga ketua presidium Bapak H.
Supratman melakukan komunikasi dengan pihak dari Pemkab dan Biro Pusat Statistik (BPS) Ciamis. Kemudian ketua presidium meminta kajian akademis untuk diulang, seraya dengan memperhatikan objektivitas penggalian data dan pemutakhiran data. Pada saat proses komunikasi berlangsung dengan pihak dari BPS Ciamis, pihaknya memberikan dua pilihan kepada ketua presidium yang mengatakan ada kemungkinan bagi calon Daerah Otonom Baru (DOB) Kabupaten Pangandaran untuk lolos kajian akademis diantaranya yaitu. Pertama, dengan memasukan wilayah Banjarsari, Purwadadi dan Lakbok.Kedua, menyiapkan data atau menggunakan data tahun 2007. Sebagaimana telah diungkapkan oleh ketua presidium bahwa. Banjarsari sudah dimasukan ke dalam wilayah Pangandaran sebagai bagian dari calon DOB Kabupaten Pangandaran tetapi yang lebih dulu selesai adalah memakai data dari BPS tahun 2007. Berikutnya ketua presidium juga mengatakan bahwa, Banjarsari mau bergabung dengan Pangandaran namun untuk menyelesaikan syarat-syarat administrasi yaitu berupa persetujuan dari setiap Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di tiga kecamatan tersebut ternyata tidak selesai, jadi oleh ketua presidium ditinggalkan. Pada saat kajian akademis yang dilakukan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Galuh (Unigal) Ciamis dan juga Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Ciamis, kemudian dihitung oleh tim kajian dan dinyatakan bahwa, calon Daerah Otonom Baru Kabupaten Pangandaran layak untuk dimekarkan.
Setahun setelah DPRD Ciamis memberikan persetujuan pembentukan Kabupaten Pangandaran, kemudian Bupati Ciamis mau menyetujui setelah pihaknya mengetahui kesimpulan akhir dari hasil kajian kelayakan yang dilakukan Unpad Bandung (Jurnal Kajian Pengembangan Wilayah Kabupaten Ciamis, 2008: 6-1) yang menyatakan bahwa. Berdasarkan PP. No. 78 Tahun 2007, Calon dan Induk Daerah Otonom “DIREKOMENDASIKAN” untuk dapat dibentuk DOB. Calon DOB tergolong kategori “MAMPU” dengan nilai 412 dan Induk Daerah Otonom tergolong kategori “SANGAT MAMPU”. Demikian pula dengan total nilai indikator faktor kependudukan, kemampuan ekonomi, fotensi daerah, dan faktor kemampuan keuangan baik induk maupun calon memenuhi syarat untuk “DIREKOMENDASIKAN” sebagai Daerah Otonom. Dengan demikian di tahun 2009, Bupati Ciamis mengeluarkan SK Bupati Ciamis Nomor: 135/ Kpts.47Huk/2009 Tentang Persetujuan Pembentukan Calon Kabupaten Pangandaran. 3. Peran Elit Lokal Dalam Memberikan Dukungan Terhadap Pemekaran Wilayah Melalui Surat Keputusan DPRD Dan Gubernur Jawa Barat Berbekal persetujuan Bupati dan DPRD Kabupaten Ciamis, kemudian ketua presidium langsung mengusulkan berkas-berkas pemekaran yang disertai dengan lampiran SK atau persetujuan pembentukan Kabupaten Pangandaran kepada Gubernur dan DPRD melalui Biro Otonomi Daerah Provinsi Jawa Barat. Pada tahapan tersebut, Kepala Biro Otonomi Daerah waktu itu dijabat oleh Drs. Daud Achmad sangat mendukung adanya pembentukan Kabupaten Pangandaran, dan pihaknya akan membantu dalam mempercepat keluarnya persetujuan dari Gubernur Jawa Barat. Sejak berkas-berkas usulan pemekaran wilayah berada di Provinsi Jawa Barat, selama proses tersebut berlangsung dengan lancar dan tidak ada hambatan.
Sambil menunggu persetujuan dari Gubernur melalui Biro Otonomi Daerah Provinsi Jawa Barat, kemudian ketua presidium menyampaikan aspirasi kepada Komisi II DPR RI (Selasa, 24 Februari 2009). Aspirasi ketua presidium disambut dengan baik oleh kalangan legislatif atau wakil rakyat di Senayan Jakarta Pusat. Kemudian ketua presidium mulai melakukan serangkaian pembicaraan dengan fraksi-fraksi di DPRD Jawa Barat melalui lobi-lobi atau meyakinkan kepada mereka-mereka anggota DPRD sebelum turun ke lapangan atau calon Kabupaten Pangandaran yang bertempat di Parigi. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh ketua presidium Bapak H. Supratman dalam lobi-lobinya bahwa. Pertama, Jawa Tengah memiliki daerah otonom kabupaten atau kota dengan jumlah 36, lebih banyak dibandingkan Jawa Barat. Jawa Barat dengan jumlah penduduk lebih banyak, namun masih sedikit daerah otonom kabupaten atau kota yang hanya berjumlah 26, sehingga dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) banyak yang terserap oleh daerah otonom di luar Jawa Barat. Maka dengan adanya pembentukan Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa Barat, dapat meningkatkan jumlah bantuan Dana Alokasi Umum (DAU) seperti bantuan beras Bulog (Badan Usaha Logistik) yang masuk ke Provinsi Jawa Barat.
Kedua, setelah ketua presidium menjelaskan manfaat-manfaat pemekaran wilayah. Dengan demikian, tidak ada alasan Gubernur dan DPRD Provinsi Jawa Barat tidak menyetujui pembentukan Kabupaten Pangandaran karena selama ini ketua presidium dalam langkahnya telah sesuai dan mengikuti prosedur maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal tersebut juga diperkuat dengan hasil kajian kelayakan pemekaran wilayah. Kemudian dia Bapak H. Supratman yang mengatakan bahwa. Tokoh-tokoh presidium dalam memperjuangkan pemekaran wilayah tidak ada kelompok kepentingan melainkan untuk kepentingan bagi semua masyarakat Kabupaten Pangandaran, dan di dalam organisasi PPKP terdapat fraksi-fraksi serta organisasi kemasyarakatan yang digunakan sebagai wadah aspirasi dari berbagai unsur pendukung demikian.
Sebelum DPRD Provinsi Jawa Barat menyetujui pembentukan Kabupaten Pangandaran, pihaknya melakukan kunjungan kerja ke wilayah calon Ibu Kota Pangandaran yang bertempat di Kecamatan Parigi. Kunjungan tersebut guna untuk menyesuaikan data dari Ciamis apakah benar atau tidak dengan hasil kajian kelayakan tersebut. Setelah anggota DPRD mengetahui data dari Ciamis sesuai dengan kondisi wilayah Pangandaran yang hendak akan dimekarkan, kemudian pimpinan DPRD Jawa Barat memberikan persetujuan dengan mengeluarkan SK DPRD Provinsi Jawa Barat Nomor: 135/Kep.DPRD-19/2009 Tentang Persetujuan Pembentukan Calon Kabupaten Pangandaran. Peran Bapak Daud sangat tepat dalam mempercepat keluarnya persetujuan dari Gubernur Jawa Barat, hal ini dapat dibuktikan setelah DPRD memberikan persetujuan pembentukan calon Kabupaten Pangandaran kemudian Gubernur Jawa Barat memberikan persetujuan hari Senin 12 Oktober 2009, yang dituangkan melalui SK Gubernur Nomor: 130/Kep.1503/Otdaksm/2009 Tentang Persetujuan Pembentukan Calon Kabupaten Pangandaran. Untuk mempercepat kelahiran Kabupaten Pangandaran, kemudian Gubernur Jawa Barat mengusulkan berkasberkas pembentukan Kabupaten Pangandaran kepada Menteri Dalam Negeri atau
(Mendagri), yang dituangkan melalui SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 130/3949/ Otdaksm/2009 dengan melampirkan (1) hasil kajian daerah; (2) peta cakupan wilayah calon Kabupaten Pangandaran; (3) keputusan DPRD kabupaten atau kota dan keputusan bupati atau walikota; (4) keputusan DPRD provinsi dan keputusan gubernur. 4. Peran Elit Dalam Mengawal Rancangan Undang-Undang Sampai Pada Tahap Pembahasan Dan Sidang Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Kabupaten Pangandaran Perjalanan pemekaran yang selama ini diperjuangkan oleh ketua presidium Bapak H. Supratman ternyata cukup melelahkan, mulai dari awal perjuangannya di semua desa sebagai lembaga pemerintahan paling bawah yang ada di sepuluh kecamatan, sampai pada tahap pengesahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Kabupaten Pangandaran. Sejak awal ketua presidium menyampaikan aspirasi kepada Komisi II DPR RI (Selasa, 24 Februari 2009), sejak itu pula Bapak H. Supratman memiliki peran dan tanggungjawab yang besar bersama orang-orang yang turut serta dalam mengawal pembahasan RUU di DPR RI. Untuk menghadapi sejumlah tantangan pemekaran pada saat memasuki DPR RI, kemudian ketua presidium melakukan komunikasi lebih intensif dengan kalangan legislatif dan eksekutif di Senayan Jakarta Pusat. Selain itu, Bapak H. Supratman mengajak kalangan eksekutif Kabupaten Ciamis untuk bersama-sama memperjuangkan Kabupaten Pangandaran, diantaranya Asda I Kabupaten Ciamis Mahmud SH., MH dan Kabag Pemerintahan Kabupaten Ciamis Drs. Undang Sobarudin. Peran Bapak Mahmud pada waktu itu, melakukan komunikasi dengan Departemen Dalam Negeri (Depagri) seputar rencana kunjungannya ke daerah Pangandaran atau calon Kabupaten Pangandaran sebagai DOB. Sedangkan peran Bapak Undang juga sama, yaitu melakukan komunikasi dengan Komisi II DPR RI menjelang kunjungan legislatif ke Pangandaran. Sebagaimana telah dikatakan oleh Bapak H. Supratman (dalam wawancara dengan peneliti Senin, 15 Agustus 2016 Pukul 14.09) bahwa. Sejak adanya moratorium pemekaran daerah tahun 2009. Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2007-2009), proses pembahasan pemekaran daerah Pangandaran sudah ada di DPR RI, hal ini dikarenakan ketua presidium terus berjalan sesuai dengan petunjuk dan prosedur, “tidak berjalan melainkan sebelum dia mendapatkan persetujuan”. Artinya, sambil menunggu persetujuan dari DPRD dan Gubernur Jawa Barat, Bapak H. Supratman secara bersamaan bagaimana cara membangun komunikasi dengan elit politik nasional DPR RI.
Perjuangan ketua presidium ketika “bola bergulir” di DPR RI, juga dibantu oleh Drs. Wagiman serta warga Pangandaran yang menjadi anggota DPRD DKI Jakarta yang bernama Ibu Hj. Sofi Sofiyah bersama Bapak H. Maman sebagai suaminya. Peran Bapak Wagiman pada waktu itu, untuk mendampingi Bapak H. Supratman ketika menghadiri pertemuan presidium dengan anggota Komisi II DPR RI terkait rencana pembentukan Kabupaten Pangandaran saat memasuki Badan Legislasi Nasional (Balegnas) DPR RI. Sedangkan peran dari Ibu Hj. Sofi bersama suaminya menjadi juru bicara presidium ketika sedang melakukan lobilobi politik dengan beberapa Partai Politik (Parpol) di Senayan Jakarta.
Selama berlangsungnya proses lobi-lobi politik yang dilakukan oleh ketua presidium di luar maupun pada saat jam kerja DPR RI, dengan demikian akhirnya mendapatkan dukungan. Dukungan tersebut datang dari ketua Komisi II DPR RI Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, M.Si (Golongan Karya), anggota Komisi II DPR RI Gaffar Pattape (Demokrat), mantan anggota Komisi II DPR RI periode (20042009) Eka Santosa (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Selain itu pada saat ketua presidium berkunjung ke Senayan Jakarta (Selasa 13 April 2010), dukungan terhadap pembentukan Kabupaten Pangandaran juga datang dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) asal Jawa Barat, diantaranya Prof. Muhammad Surya, KH. Sofyan Yahya, MA, Hj. Laela, MA dan Syafrudin, MA. Anggota DPD RI asal Provinsi Jawa Barat, tidak lama kemudian melakukan kunjungan kerja ke Pangandaran yang bertempat di Parigi sebagai Calon Ibu Kota Pangandaran (Jum’at, 30 Juni 2010). Menurut Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunanjar, pembahasan tentang rencana pembentukan Kabupaten Pangandaran akan disatupaketkan dengan 33 kab/ kota/ provinsi lainnya, karena Pangandaran sudah memenuhi syarat. Hasil kajian Komisi II DPR RI, bukti administratif yang diperlukan calon Kabupaten Pangandaran sebagai daerah yang akan memisahkan diri dari induknya telah sesuai prosedur. Dengan demikian, rencana pembentukan Kabupaten Pangandaran akan segera dibahas dalam Program Legislasi Nasional atau (Prolegnas) bersama 33 kab/ kota/ provinsi yang juga telah memenuhi syarat administratif. Bapak H. Supratman yang didampingi Bapak H. Adang dan Bapak H. Yos Rosbi dalam acara silaturahmi presidium di kediaman Bapak H. Teddy Sonjaya, pihaknya sempat melakukan lobi-lobi dengan DPR RI sebelum mengunjungi wilayah Pangandaran yang mengatakan bahwa. Kedatangan seratus orang dari perwakilan elemen masyarakat Ciamis Selatan menemui Komisi II DPR RI di Gedung DPR RI Jakarta, untuk membuktikan bahwa pembentukan Kabupaten Pangandaran merupakan murni aspirasi dan keinginan segenap masyarakat Ciamis Selatan yang meliputi sepuluh kecamatan. Kita ingin membuktikan kepada DPR bahwa pembentukan Kabupaten Pangandaran merupakan kehendak rakyat, bukan keinginan segelintir orang. Dari seratus orang itu merupakan perwakilan dari seluruh elemen, ada dari Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa, tokoh Ulama, tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Maka tidak ada alasan bagi Kabupaten Pangandaran gagal menjadi daerah otonom baru, tegasnya. Dari segi persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan, menurut Bapak H. Supratman Pangandaran sudah dikatakan layak untuk dijadikan daerah otonom baru. Menurut H. Supratman, setelah perwakilan masyarakat melakukan dialog dengan Komisi II DPR RI, akhirnya ada jawaban positif dari DPR. Dari 17 daerah di Indonesia yang akan diajukan melalui hak inisiatif DPR untuk dimekarkan, pembentukan Kabupaten Pangandaran dijanjikan masuk prioritas. Komisi II sudah menyatakan sikapnya mendukung pembentukan Kabupaten Pangandaran dan berjanji masuk prioritas. Kalau tidak ada aral melintang (masalah) serta tidak ada perubahan konstelasi politik, DPR memastikan Pangandaran masuk ke dalam daftar calon daerah otonom yang akan diajukan melalui hak inisiatif DPR, dan akan ditetapkan dalam rapat Paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober mendatang.
Jika dilihat dari persyaratan, Kabupaten Pangandaran sudah sangat layak. Jadi Insya Alloh akan lolos jika dikaji oleh Badan Otonomi Daerah. Jika begitu, maka tahun depan Pangandaran sudah dapat disahkan menjadi salah satu daerah otonom baru di Indonesia. Pada tahun 2012, setelah Presiden SBY membuka kembali pemekaran wilayah. Usaha yang dilakukan oleh Bapak Mahmud melalui lobi-lobi dengan Departemen Dalam Negeri (Depagri), untuk segera melakukan kunjungan kerja ke wilayah Pangandaran baru akan terlaksanakan. Menurut Bapak Adi Sumaryadi yang mengatakan bahwa. Pembentukan Kabupaten Pangandaran terus mengalami kemajuan, pasalnya beberapa hari yang lalu Tim dari Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri telah melakukan observasi (pengamatan) ke 19 Calon Daerah Otonom Baru termasuk nama calon Kabupaten Pangandaran. Tim Alhamdulillah sudah datang ke lokasi Pangandaran dan Alhamdulillah Sukses ungkap Andis Sose, Sekretaris Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran saat dihubungi my pangandaran melalui pesan singkat. Jika tidak ada aral melintang (hambatan) pada tanggal 19-23 Oktober 2012 pembahasan DOB Pangandaran dengan Panitia Kerja (Pokja) DPR dapat segera dijadwalkan. Setelah proses ini, dan mendapatkan rekomendasi maka DPR akan mengesahkan menjadi sebuah Undang-Undang yang merupakan sebagai dasar hukum terbentuknya Kabupaten Pangandaran. Selain bertemu dengan beberapa perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Ciamis, presidium dan juga masyarakat beberapa waktu yang lalu. Selain itu Tim Observasi dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), juga mengunjungi beberapa daerah yang nantinya akan menjadi lingkup Kabupaten Pangandaran termasuk meninjau daerah Cintaratu Parigi yang nantinya akan menjadi pusat pemerintahan. Berkat lobi-lobi politik yang intensif dalam setiap pertemuan non formal yang dilakukan semua pihak, dan hasilnya adalah lompatan pembahasan yang signifikan.Terbentuknya RUU Pembentukan Kabupaten Pangandaran sehingga mudah diterima oleh DPR RI. Maka demikian Badan Legislatif DPR RI pertama kalinya membuat surat rekomendasi atas pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang Tentang Pembentukan Kabupaten Pangandaran, yang secara bersamaan dengan usulan pembentukan Daerah Otonom Baru lainnya pada bulan Oktober 2012. Politisi dari Partai Golkar itu menjelaskan sesuai dengan surat keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR tanggal 24 Mei 2012 dan surat pimpinan DPR RI Nomor: TU.04/04966/DPR RI/V/2012 tanggal 25 Mei 2012, memutuskan menyetujui penanganan dari 19 Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk usulan RUU Kabupaten Pangandaran yang diserahkan kepada Komisi II DPR RI untuk memproses pembicaraan tingkat I (dalam Laporan Rapat Paripurna Komisi II DPR RI Mengesahkan Pembentukan Kabupaten Morowali Utara Di Provinsi Sulawesi Tengah dan Pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan Di Provinsi Sulawesi Tenggara). Pembahasan terhadap 19 RUU Pembentukan Daerah Otonom Baru sudah dimulai dari tanggal 13 Juni 2012 dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan pemerintah, dan juga mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah dalam proses pembahasannya. Agun Gunanjar mengatakan bahwa, sampai akhir tahun 2012
anggota Komisi II DPR RI telah menyelesaikan pembahasan 12 RUU dan telah disahkan menjadi Undang-Undang. Dalam Sidang Paripurna tanggal 25 Oktober 2012 telah disahkan 5 RUU menjadi Undang-Undang. Kemudian pada Sidang Paripurna tanggal 14 Desember 2012 dan juga telah disahkan 7 RUU menjadi Undang-Undang. Diantara 5 RUU Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) tersebut, salah satunya yaitu RUU Pembentukan Kabupaten Pangandaran yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR RI dan Presiden RI (Jum’at, 16 November 2012) melalui UU No. 21 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Kabupaten Pangandaran dan di undangkan dalam Lembaran Negara oleh Menteri Hukum dan HAM RI Sabtu, 17 November 2012. Sidang Paripurna juga menetapkan 4 daerah otonom baru lainnya yaitu, pembentukan Provinsi Kalimantan Selatan, Kabupaten Pesisir Barat (Provinsi Lampung), Kabupaten Manokwari Selatan (Provinsi Papua Barat), dan Kabupaten Pegunungan Arfak (Provinsi Papua Barat). E. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Kebijakan pemekaran daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 yang lebih mengutamakan pada proses lobi-lobi politik. Peran dari presidium dan tokoh masyarakat dalam pembentukan Kabupaten Pangandaran tidak akan berhasil seperti sekarang ini tanpa adanya peran dari elit lokal, regional maupun pusat (nasional). Hal ini dikarenakan elit nasional memiliki hak inisiatif sebagai anggota DPR RI, maka pihaknya dapat mengajukan Rancangan UndangUndang Tentang Pembentukan Kabupaten Pangandaran. Ketika ketua presidium berada di tingkat kabupaten sampai pusat, Bapak H. Supratman dapat mengatur dan mengerahkan masa untuk mendesak elit agar mau menyetujui pembentukan Kabupaten Pangandaran, dengan cara dialog antara ketua presidium dengan elit politik, menjelaskan untung ruginya serta dengan mempertimbangkan hasil kajian kelayakan dari awal sampai akhir. Sehingga pihak DPR RI mengusulkan RUU Tentang Pembentukan Kabupaten Pangandaran sampai disahkannya menjadi UU Nomor 21 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Kabupaten Pangandaran. 2. Saran Faktor pendukung terbentuknya Kabupaten Pangandaran yang bersifat alami yaitu di bidang pariwisata, pemerintah daerah harus mampu mengelola dan melestarikan daerah-daerah wisata seperti cagar alam dan sebagainya yang masuk dalam kawasan terlindungi. Pemerintah daerah atau Pemda harus mengadakan perbaikan sarana dan prasarana berupa jalan raya penghubung antar kabupaten dan provinsi, dan jalan-jalan yang memudahkan untuk sampai ke tempat wisata seperti pantai maupun wisata air terjung di wilayah pegunungan sebaiknya lebih diutamakan, sehingga dapat menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara dan akan meningkatkan hasil Pendapatan Asli Daerah (PAD).
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Djunaidi Ghony & Almanshur Fauzan. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. HR, Syaukani. Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah. Tenggarong: Gerbang Dayaku. Kaloh, J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Moleong, Lexy. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ratnawati, Tri. 2009. Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rosidin, Utang. 2015. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia S.H., Sarundajang. 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sugiyono, 2012. Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Yudoyono, Bambang. 2001. Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
B. Skripsi Enang, Muhammad Firdaus, 2013. “Pembentukan Daerah Otonomi Baru Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat”, skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. La Ode, Risman, 2015. “Studi Tentang Rancangan Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan”, skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makasar. Muhammad, Rifki Pratama, 2010. “Studi Kasus Proses Pembentukan Kota Tangerang Selatan”, skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Slamet, Untung, 2013. “Strategi Pemenangan Kepala Desa Terpilih Di Desa Sikayu Kec. Comal Kab.Pemalang Dalam Pesta Demokrasi Desa Tahun 2012”, skripsi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, Semarang.