BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Otonomi daerah yang merupakan salah satu jawaban dari reformasi 1998
telah menghasilkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah) sebenarnya telah menggeser orientasi pengembangan wilayah yang berbasis sektoral menjadi berbasis kewilayahan. Pengembangan wilayah berbasis sektoral ditandai dengan penyamarataan program pembangunan daerah oleh Pemerintah Pusat untuk daerah-daerah di Indonesia. Instansi-instansi sektoral di daerah hanya menjadi perpanjangan dari instansi-instansi sektoral di tingkat pusat dengan pendekatan dan sasaran pembangunan yang tidak sesuai/dibutuhkan. Akibat dari hal ini adalah instansi-instansi sektoral di daerah kurang bisa menangkap kompleksitas pembangunan yang ada di daerahnya masing-masing. Salah satu tantangan saat ini yang paling nyata pada era otonomi daerah adalah bagaimana setiap daerah mampu menangkap pergeseran orientasi pengembangan wilayah ini secara baik. Tertangkapnya pergeseran orientasi pengembangan wilayah ini menjadi lebih penting daripada sekedar “kebebasan” yang diperoleh oleh daerah. Dalam kacamata yang sangat ekstrim, Smith (1985) dalam Bappenas (2004) 1 mengungkapkan bahwa otonomi daerah merupakan embrio disintegrasi/separatisme. Desentralisasi sering menampakkan diri sebagai gerakan parokial dan separatis. Ia mengancam “the unity of general will”, memaksakan kepentingan sempit dan parsial. Pengembangan wilayah berbasis kewilayahan memandang pentingnya keterpaduan antara sektor, spasial, dan kelembagaan di dalam dan antardaerah.
1
Bappenas. Peran Propinsi dalam Pembentukan Daerah Otonom Baru dan Fasilitasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Otonom Baru. Laporan Kajian Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. 2004
2
Keterpaduan antarsektor menuntut adanya keterkaitan fungsional antarsektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pengembangan wilayah berbasis kewilayahan. Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, perlu ada skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa: 1. Setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain); 2. Setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; 3. Aktivitas sektoral menyebar secara tidak merata dan spesifik; beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), dan sumberdaya sosial yang ada.
Oleh karena itu menurut Anwar dan Rustiadi (2000), setiap daerah mempunyai sektor-sektor unggulan yang memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan ekonomi wilayah. Dampak yang diberikan oleh sektor-sektor tersebut bisa bersifat langsung maupun tidak langsung. Dalam kaitannya dampak langsung maupun tidak langsung maka pengembangan terhadap sektor-sektor unggulan ini akan menyebabkan pengembangan sektor-sektor lainnya yang berkaitan dalam suatu wilayah tertentu. Dengan demikian pengembangan wilayah perlu memperhatikan sektor-sektor unggulan yang ada dalam rangka penentuan prioritas sehingga menjadi lebih terfokus. Adanya kebijakan pengembangan wilayah berdasarkan pada prioritas dapat menghasilkan suatu kebijakan yang lebih terarah sehingga mengurangi resiko kesia-siaan pemanfaatan sumberdaya. Dalam konteks era otonomi daerah saat ini, khususnya menyangkut otonomi kabupaten dan kota, pengembangan wilayah seharusnya menjadi isu yang sangat penting dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karena itu, daerah kabupaten dan kota yang ada baik daerah otonom lama maupun baru, seharusnya mempunyai spirit pengembangan wilayah yang lebih kental daripada
3
sekedar euforia “kemerdekaan” yang tentunya tidak akan membawa pada perubahan yang lebih baik bagi wilayah dan masyarakatnya apalagi dalam rangka pencapaian kemandirian wilayah seperti filosofi awal dari otonomi daerah. Dengan demikian, salah satu tantangan yang dihadapi oleh kabupaten dan kota saat ini dan di masa mendatang adalah kemampuan untuk mewujudkan pengembangan wilayah yang tepat sehingga tujuan dari otonomi daerah dapat terwujud. Salah satu daerah otonom baru yang belum lama ini memekarkan diri adalah Kabupaten Bandung Barat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Bandung pada tahun 2007. Kabupaten Bandung Barat mempunyai 42,56 % luas wilayah 2 ; 32,95 % jumlah penduduk 3 ; dan sekitar 11,26 % Pendapatan Asli Daerah (PAD) 4 dari Kabupaten Bandung sebelum pemekaran. Beberapa alasan yang digunakan untuk pemekaran ini adalah5: 1. Wilayah Kabupaten Bandung memiliki wilayah yang terlampau luas, sehingga masih ada wilayah yang belum terjangkau oleh pelayanan aparatur pemerintah secara efektif serta belum sepenuhnya terjangkau oleh kegiatan pembangunan; 2. Cakupan wilayah kerja yang memadai akan memberikan peluang peningkatan
pelayanan
masyarakat
dengan
berbagai
kegiatan
pembangunan serta memberi peluang untuk tumbuhnya kehidupan demokrasi,
dengan
demikian
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan dapat lebih efektif; 3. Dari aspek teknis seperti pendapatan, jumlah penduduk, dan luas wilayah serta
pertahanan
dan
keamanan
cukup
memiliki
potensi
dan
berkemampuan untuk mengelola hak, wewenang, dan tanggung jawab menyelenggarakan urusan pemerintah di daerah secara mandiri.
2
Kabupaten Bandung Dalam Angka 2007 Suseda Kabupaten Bandung Tahun 2007 4 Pemerintah Kabupaten Bandung. KBB Hanya Memiliki PAD Rp 17 Milyar. Selasa, 5 Juni 2007. http://bandungkab.go.id 5 Dede Mariana. Selamat Datang KBB. Sabtu, 6 Oktober 2007. http://dedemariana.blogspot.com. Ketua Tim Konsorsium Perguruan Tinggi Pemekaran Kabupaten Bandung Barat 3
4
Jika merujuk pada UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 5 bahwa pembentukan daerah harus memenuhi 3 persyaratan, yaitu administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Ketiga persyaratan ini telah dipenuhi oleh Kabupaten Bandung Barat namun secara teknis masih mengacu pada PP 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah karena pada saat itu belum ada PP turunan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, sebagai daerah otonom baru, tentunya Kabupaten Bandung Barat harus mampu menangkap pergeseran orientasi pengembangan wilayah saat ini sehingga dapat mencapai tujuan sejati dari otonomi daerah, yaitu lebih mampu mensejahterakan masyarakatnya.
1.2
Perumusahan Masalah Melihat sejarah Kabupaten Bandung Barat kebelakang, sejak tahun 1998
sebelum adanya Undang-Undang Otonomi Daerah (UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah), wacana pemekaran Bandung Barat sudah bergulir6. Pada waktu itu isunya adalah pembentukan Kabupaten Padalarang yang melingkupi Kecamatan Padalarang, Ngamprah, Cipatat, Cikalongwetan, dan Cipeundeuy; jauh sebelum Cimahi menjadi kota otonom pada tahun 2001 7 . Isu ini sempat tenggelam seiring terbentuknya Cimahi sebagai kota otonom pada tahun 2001. Awal tahun 2003, isu pembentukan Bandung Barat kembali mengemuka dengan deklarasi para tokoh masyarakat di Kecamatan Ngamprah8. Pada tahun 2004, Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Bandung melalui Surat Keputusan Nomor 11 Tahun 2004 telah memberi Persetujuan Terbentuknya Kabupaten Bandung Barat. Surat Keputusan DPRD berikutnya Nomor 07 Tahun 2005 telah menunjuk Kecamatan Ngamprah sebagai calon definitif ibu kota Bandung Barat9. Melalui Surat Keputusan Nomor 135/Kep.DPRD-7/2005, DPRD Jawa Barat menetapkan Persetujuan Pembentukan Kabupaten Bandung Barat. 6
“Kondisi dan Potensi Bandung Barat”. Harian Umum Kompas. Sabtu, 18 Juni 2005 Ikin Sodikin. Jangan Main-Main dengan Rakyat!. FISIP UNPAS. Sabtu, 4 Juni 2005. http://www.fisip-unpas.org 8 “Kondisi dan Potensi Bandung Barat”. loc. cit. 9 Ikin Sodikin. loc. cit. 7
5
Kemudian disusul dengan surat Gubernur Jawa Barat kepada Menteri Dalam Negeri bernomor 135.1/1197/Desen perihal Usul Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat10. Di lain sisi, Pemerintah Kota dan DPRD Cimahi sendiri telah memohon Gubernur Jawa Barat untuk mengkaji ulang luas wilayah Kota Cimahi dengan mengeluarkan SK No. 07/Kep/DPRD/IV/2005 tentang Hasil Pengkajian Wilayah Pelayanan dan Aspirasi Masyarakat yang meminta perluasan wilayah Kota Cimahi dengan memasukkan beberapa kecamatan di Kabupaten Bandung yang berdekatan dengan Kota Cimahi11. Hal ini diperkuat dengan keinginan beberapa kelompok masyarakat di Kecamatan Lembang, Parongpong, Cisarua, Ngamprah, dan Batujajar yang menolak bergabung dengan Kabupaten Bandung Barat jika jadi terealisasi karena secara geografis lebih dekat dengan Kota Cimahi12. Pada
perjalanannya,
pembentukan
Kabupaten
Bandung
Barat
menimbulkan pro dan kontra. Beberapa masyarakat yang pro pemekaran masuk dalam KPBB (Komite Pembentukan Bandung Barat); adapun yang kontra masuk dalam F14 (Forum 14 Kecamatan)13. Argumentasi pihak yang menilai pemekaran belum perlu dilakukan karena pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sudah semakin tepat dan optimal karena dilakukan di tingkat kecamatan setelah adanya pelimpahan kewenangan oleh bupati kepada camat (Mariana, 2007). Seiring perjalanan waktu dan perkembangan, dengan diterbitkannya UU Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat, secara resmi Kabupaten Bandung Barat menjadi kabupaten baru di Jawa Barat dan dengan demikian menjadi daerah otonom baru serta menjadi daerah ke-26 Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bandung Barat melingkupi 15 kecamatan termasuk beberapa kecamatan yang mempunyai kedekatan geografis dengan Kota Cimahi. Kelima belas kecamatan di Kabupaten Bandung Barat adalah Cililin, Cihampelas, Sindangkerta, Gununghalu, Rongga, Cipongkor, Batujajar, Lembang,
10
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Bandung Barat Telah Lahir. Sabtu, 23 Juni 2007. www.diskukm-jabar.go.id 11 Ikin Sodikin. op. cit., hal. 4. 12 ”Kabupaten Bandung Barat Disetujui DPRD”. Harian Umum Tempo. Rabu, 23 Maret 2005 13 .”Wacana Pemekaran Bandung Barat Terus Bergulir, Pro Kontra pun Terus Berlanjut”. Harian Umum Pelita. 25 Oktober 2007.
6
Parongpong, Cisarua, Ngamprah, Padalarang, Cipatat, Cipeundeuy, dan Cikalongwetan. Merujuk pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menegaskan bahwa setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam pengembangan wilayahnya, Kabupaten Bandung Barat juga mempunyai kewajiban dengan kewenangannya yang lebih luas sehingga mampu menerapkan
strategi pengembangan wilayah yang tepat dalam rangka
mensejahterakan masyarakatnya. Pemekaran Kabupaten Bandung Barat pada dasarnya tidak terlepas dari tren saat ini dimana beberapa daerah (dengan isu akses terhadap pelayanan publik yang minim serta isu kesejahteraan masyarakat yang masih rendah) lebih memilih untuk memekarkan diri daripada mereorientasi pengembangan wilayahnya berbasis kewilayahan, meskipun secara kultural dan historis Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung hampir tidak memiliki perbedaan. Sebagai catatan, saat ini (tahun 2009) saja terdapat 498 kabupaten dan kota yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia (Wikipedia, 2008)14. Sebagai perbandingan, pada tahun 1999 masih terdapat 339 kabupaten dan kota di 26 Provinsi di Indonesia (Bappenas, 2004) 15 . Namun, bukti di lapangan menunjukkan bahwa banyak daerah otonom baru yang gagal mandiri dan cenderung memboroskan anggaran seperti diuraikan oleh Brodjonegoro dan Laksono16 serta Purnomo17. Struktur fiskal Kabupaten Bandung Barat sendiri pada tahun 2008 masih tergantung dari pendapatan non PAD dan proporsi belanja aparatur yang tinggi. Persentase PAD sebesar 4,30 % dari total pendapatan daerah; adapun belanja aparatur (belanja tidak langsung) sebesar 70,96 % dari total belanja daerah18. Selain tantangan eksternal untuk menjadi daerah otonom baru yang tidak gagal, Kabupaten Bandung Barat juga menghadapi tantangan internal terutama adanya kecenderungan dualisme ekonomi antara sektor pertanian dan industri. 14
Wikipedia per 1 Mei 2009 Bappenas. op.cit., hal. 1 16 ”Pemekaran Wilayah Boroskan Anggaran”. 2 Juli 2007. www.indonesia.go.id 17 Agus Purnomo. Mayoritas Daerah Hasil Pemekaran Berjalan Lamban. Kamis, 7 September 2006. http://fpks-dpr.or.id 18 DP2AKD Kabupaten Bandung Barat Tahun 2008 15
7
Sektor industri menyumbangkan 42,92 % PDRB; namun hanya menyerap 16,61 % tenaga kerja. Sektor pertanian sendiri mempunyai kontrbusi PDRB sebesar 12,34 %, namun menyerap sebagian besar tenaga kerja sebesar 34,03 %19. Masih dominannya pertanian dapat dilihat juga secara fisik dimana Kabupaten Bandung Barat masih didominasi kawasan budidaya perdesaan (52,14 %) dan kawasan lindung yang masih cukup luas (36,94 %). Adapun luas budidaya perkotaan sebesar 9,58 % dari luas total Kabupaten Bandung Barat20. Banyak angkatan kerja di Kabupaten Bandung Barat yang tidak terserap sehingga menimbulkan pengangguran terbuka yang mencapai 17,21 % pada tahun 2007 21 . Dilihat dari sisi kualitas sumber daya manusia, indeks pembangunan manusia (IPM) Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2007 sebesar 70,01; lebih rendah dari IPM Provinsi Jawa Barat sebesar 70,7122. Dari sekilas potensi yang ada, Kabupaten Bandung Barat mempunyai beberapa daerah yang sangat terkenal jauh sebelum kabupaten ini berdiri, antaranya adalah Kecamatan Lembang yang dikenal karena daya tarik alamnya atau Kecamatan Padalarang yang dikenal dengan penggalian batunya atau Kecamatan Cililin karena wajiknya. Namun secara umum, potensi wilayah dan sumber daya manusia Kabupaten Bandung Barat masih dianggap minim sehingga perkembangan Kabupaten Bandung Barat memerlukan waktu yang panjang untuk bisa sejajar dengan daerah lainnya23. Tantangan (baik internal maupun eksternal) Kabupaten Bandung Barat sebagai daerah otonom baru perlu diimbangi dengan strategi pengembangan wilayah yang dapat menangkap reorientasi pengembangan wilayah yang berbasis kewilayahan sehingga pemaknaan dan pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bandung Barat tidak kehilangan esensinya. Dengan demikian, pengembangan wilayah tidak lagi diartikan sebagai pengembangan keseluruhan sektor secara sama rata, namun lebih mengarah pada bagaimana sektor-sektor apa yang menjadi unggulan dan bagaimana keterkaitannya dengan aspek spasial, kelembagaan, dan isu-isu penting dalam pengembangan wilayah. 19
Suseda Kabupaten Bandung Tahun 2007 dan PDRB Kabupaten Bandung Barat Tahun 2006 RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029 21 Suseda Kabupaten Bandung Tahun 2007 22 RPJMD Kabupaten Bandung Barat 2008-2013 23 Pemerintah Provinsi Jawa Barat. op. cit., hal. 5 20
8
Memperhatikan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, ada beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apa yang menjadi sektor-sektor unggulan Kabupaten Bandung Barat (sector-based inward looking)? 2. Bagaimana keterkaitan sektor-sektor unggulan dengan wilayah yang lebih luas (sector-based outward looking)? 3. Dimana lokasi pemusatan sektor-sektor unggulan (spatial-based)? 4. Apakah terjadi ketimpangan, kebocoran, dan keberlanjutan pengembangan wilayah? 5. Apakah kelembagaan yang ada bisa mendukung pengembangan wilayah? 6. Bagaimana strategi pengembangan wilayah berbasis kewilayahan di Kabupaten Bandung Barat?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk: 1. Mengidentifikasi sektor-sektor unggulan Kabupaten Bandung Barat (sector-based inward looking); 2. Mengidentifikasi keterkaitan sektor-sektor unggulan dengan wilayah yang lebih luas (sector-based outward looking); 3. Mengidentifikasi lokasi pemusatan sektor-sektor unggulan (spatial-based); 4. Mengidentifikasi
ketimpangan,
kebocoran,
dan
keberlanjutan
terhadap
pengembangan
pengembangan wilayah; 5. Mengidentifikasi
dukungan
kelembagaan
wilayah; 6. Menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis kewilayahan di Kabupaten Bandung Barat.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pengembangan wilayah Kabupaten Bandung Barat di era otonomi daerah untuk semua pemangku kebijakan pada umumnya dan terutama Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat pada khususnya. Selain itu, penelitian ini bisa
9
digunakan sebagai dasar penelitian lanjutan yang berkaitan dengan wilayah Kabupaten Bandung Barat.
1.5
Kerangka Pemikiran Anwar dan Rustiadi (2000) mengemukakan bahwa pembangunan berbasis
pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antara pembangunan secara (1) sektoral, (2) kewilayahan, dan (3) institusional (kelembagaan). Artinya bahwa konsep pengembangan wilayah merupakan hubungan saling kait-mengkait antara sektor (sector-based), ruang (spatialbased), dan kelembagaan di dalam maupun antarwilayah (outward looking). Empat komponen dasar inilah yang kemudian menjadi kerangka dasar analisis penelitian ini. Dalam konteks sektoral, perkembangan ekonomi wilayah terjadi melalui pertumbuhan sektor ekonomi unggulan serta adanya diversifikasi dan keterkaitan antarsektor ekonomi. Hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward linkages) –merupakan hubungan dengan penjualan hasil produksi atau disebut sebagai daya dorong atau juga derajat kepekaan- dan hubungan ke belakang (backward linkages) –merupakan hubungan dengan bahan baku/mentah atau disebut sebagai daya penyebaran atau daya tarik (Enirawan, 2007). Wilayah, yang dalam penelitian ini adalah Kabupaten Bandung Barat, adalah satu kesatuan integral antara sektor dan ruang. Identifikasi sektor-sektor unggulan dari analisis yang dihasilkan tentunya akan menghasilkan sektor-sektor prioritas dalam lingkup wilayah Kabupaten Bandung Barat secara integral. Oleh karena itu, hasil dari analisis ini lebih bersifat sector-based. Dengan perspektif yang tidak hanya bersifat inward looking, sektor-sektor unggulan di Kabupaten Bandung Barat sendiri juga perlu unggul dalam konteks wilayah yang lebih luas, yaitu Provinsi Jawa Barat. Hasil dari analisis ini akan memunculkan sektor-sektor unggulan yang outward looking karena melihat potensinya dari perspektif Jawa Barat Hasil yang bersifat sector-based yang outward looking perlu juga ditunjang oleh hasil spatial-based, yaitu mampu mengidentifikasi ruang (lokasi) pengembangan sektor-sektor unggulan. Pengembangan wilayah Kabupaten
10
Bandung Barat berbasis kewilayahan ini –yang memadukan sector-based yang outward looking dan spatial-based - tentunya harus didukung oleh kelembagaan yang berfungsi untuk melaksanakan pembangunan daerah. Menurut Rustiadi et al. (2008), kelembagaan sebagai aturan main dan organisasi berperan penting dalam mengatur penggunaan alokasi sumberdaya secara efisien,
merata, dan
berkelanjutan. Pengembangan wilayah saat ini sangat fokus pada isu ketimpangan wilayah, kebocoran wilayah, dan pembangunan berkelanjutan khususnya dalam perhatian lingkungan sehingga turut dianalisis dalam penelitian ini. Dengan demikian, strategi pengembangan wilayah Kabupaten Bandung Barat yang dirumuskan mampu menjawab keragaan sektor, spasial, kelembagaan, dan isu pengembangan wilayah di Kabupaten Bandung Barat. Secara diagramatis, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran