POSISION PAPER KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN LPKSM A. Pendahuluan Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), antara lain diatur keberadaan sejumlah lembaga yang terkait dengan perlindungan konsumen, salah satunya adalah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat atau LPKSM. LPKSM merupakan lembaga non-pemerintah (Non Governmental Organizatinon/NGO) yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen diantaranya berupa pembelaan, pemberdayaan, penelitian, pengujian maupun pengawasan barang dan jasa yang beredar di masyarakat. LPKSM tersebut sesuai bunyi pasal 44 Ayat 3 UUPK memiliki sejumlah tugas meliputi: a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Selanjutnya, perincian tugas LPKSM tersebut diatur dalam PP No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, sebagai berikut : 1. Penyebaran informasi yang dilakukan oleh LPKSM, meliputi penyebarluasan berbagai pengetahuan mengenai perlindungan konsumen termasuk peraturan perundangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen. (pasal 4) 2. Pemberian nasehat kepada konsumen yang memerlukan dilaksanakan oleh LPKSM secara lisan atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. (pasal 5) 3. Pelaksanaan kerjasama LPKSM dengan instansi terkait meliputi pertukaran informasi mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang dan/atau jasa yang beredar, dan penyuluhan serta pendidikan konsumen. (pasal 6) 4. Dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, LPKSM dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok. (pasal 7) 5. Pengawasan perlindungan konsumen oleh LPKSM bersama pemerintah dan masyarakat dilakukan atas barang yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. (pasal 8)
1|P age
Hingga saat ini, jumlah LPKSM di Indonesia telah berdiri sebanyak 252 Unit1 . LPKSM tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia, meskipun tidak merata (kebanyakan berada di Pulau Jawa). LPKSM ini tumbuh secara alami dengan mengintepretasikan peraturan perundangan sesuai persepsi masing-masing, sebagai dasar tindakannya. Sehingga seringkali ditemui keluhan masyarakat terutama dari kalangan pelaku usaha tentang perilaku LPKSM yang tidak terpuji. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya pengawasan terhadap sepak terjang LPKSM oleh pemerintah/pemerintah daerah yang telah diberikan/ditetapkan perijinannya. B. Beberapa Catatan Kasus Perilaku LPKSM Dari pengamatan terhadap LPKSM oleh BPKN selama satu tahun 2012, menunjukkan bahwa terdapat LPKSM yang bertindak di luar ketentuan normatif, sebagaimana gambaran berikut: 1.
Perbuatan Tidak Menyenangkan, Laporan Palsu dan Adanya Indikasi Pemerasan Salah satu kasus tentang perilaku LPKSM yang kurang baik dapat dilihat pada pemberitaan, yang dimuat adalam situs justisi.com (Minggu, 17 Mei 2012). Dalam situs tersebut diberitakan bahwa seorang ketua LPKSM ditangkap polisi karena melakukan pemerasan terhadap dua perusahaan telekomunikasi. Ketua LPKSM tersebut diduga melakukan pemerasan, diawali dengan mengirimkan somasi kepada dua perusahaan tersebut. Somasi tersebut selanjutnya direspon oleh perusahaan dengan mengirimkan lawyer-nya untuk bertemu dengan ketua LPKSM disatu tempat. Selanjutnya di tempat itu ketua LPKSM ditangkap polisi dengan tuduhan pemerasan. Contoh lain tentang perilaku LPKSM yang kurang baik dapat dilihat pada pemberitaan dari kantor Berita Antara (Minggu, 20 Mei 2012 18:23 WIB ) memberitakan bahwa oknum ketua LPKSM dilaporkan kepada polisi karena dugaan memberikan laporan palsu dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan serta melakukan pencemaran nama baik terhadap dua perusahaan telekomunikasi. Kasus tersebut sekarang sedang ditangani oleh pihak kepolisian.
2.
Pencatutan dan Penyalahgunaan Nama Salah Satu LPKSM Kasus lain yang menunjukkan kinerja menyimpang dalam pelaksanaan tugasnya adalah penyalahgunaan nama salah satu LPKSM. Pada tanggal 27 Januari 2011 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melakukan klarifikasi di dalam blognya. Klarifikasi tersebut dimaksudkan agar masyarakat mengetahui bahwa perilaku buruk yang dilakukan LPKSM di daerah yang menggunakan nama YLKI ditambah dengan nama daerah kabupten/kota dimana YLKI daerah itu berada. YLKI daerah tersebut menurut YLKI telah melakukan kegiatan yang tidak terpuji seperti menawarkan iklan kepada pelaku usaha dan meminta sumbangan kepada pelaku usaha. Kondisi seperti ini sangat merugikan bagi lembaga yang memiliki nama yang dicatut atau digunakan oleh oknum LPKSM daerah.
1
Informasi dari bpk Wahyu Hidayat, Kasubdit Kelembagaan Dirat PK, tanggal 22 Januari 2012.
2|P age
3.
Komersialisasi Kegiatan Advokasi Dalam sebuah blog yang dimiliki oleh salah satu LPKSM menyebutkan bahwa LPKSM tersebut mampu untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang memiliki hutang, antara jutaan hingga milyaran rupiah. Pemberian bantuan tersebut tidak gratis. Masyarakat yang ingin mendapatkan bantuan tersebut harus menyetorkan uang sejumlah Rp 100.000,agar bisa mendapatkan fasilitas dari LPKSM mengenai penyelesaian sengketa hutang yaitu berupa (Skep, Keplek dan buku panduan). Sumber: http://lpksm.blogspot.com/ Beberapa kejadian yang berhasil dihimpun melalui wawancara terhadap beberapa debt collector di Jepara, menyebutkan bahwa LPKSM menjadi mediator antara konsumen leasing kendaraan bermotor dengan debt collector. Permasalahanya adalah, LPKSM tersebut melakukan “pembelaan” terhadap konsumen dengan tendensi uang “komersial.” Tendensi komersial yang dimaksudkan adalah, LPKSM meminta uang “jasa” kepada konsumen dengan besaran tertentu. Uang “jasa” tersebut besarnya antara 1-2 juta rupiah per unit sepeda motor. Selain meminta uang kepada konsumen untuk membantu melepaskan jeratan debt collector, LPKSM biasanya juga meminta uang tambahan untuk diberikan kepada debt collector yang bersangkutan. Menurut pengakuan dari debt collector tersebut, ternyata ada sebuah permainan antara LPKSM dan debt collector dan sayangnya keadaan tersebut sudah menjadi hal yang biasa di kalangan LPKSM dan debt collector. Keluhan LPKSM menarik dana pengaduan kepada konsumen, seperti dimuat dalam harian Joglo Semar, tanggal 15 Maret 2011, sbb. “ Seperti diketahui, pasca erupsi Merapi, sebuah LPKSM berusaha menjembatani pengaduan dari para nasabah perbankan tersebut terkait dengan kondisi dan kelangsungan pembayaran kredit mereka di perbankan. Dalam kinerjanya tersebut, tak lupa LPKSM yang dimaksud juga membebankan Rp 300.000,kepada para konsumen atau nasabah sebagai dana penerimaan pengaduan.” Permasalahan diatas senada dengan keluhan yang dimuat oleh Media Indonesia.com pada tanggal 30 Januari 2011, yang isinya antara lain adalah sbb ; “Puluhan korban bencana gunung Merapi warga Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (29/1) sore, mendatangi posko pelayanan sebuah LPKSM untuk menagih janji lembaga ini yang mau membantu membebaskan kredit permodalan usaha mereka. Puluhan korban bencana erupsi Gunung Merapi yang terjerat kredit macet, termasuk kredit kendaraan bermotor itu, menanyakan kebenaran janji LPKSM tersebut yang akan membantu penghapusan atau pembebasan utang dari kredit mereka. Korban bencana Merapi yang sedang mengalami masalah dengan pembayaran angsuran kredit maupun pinjaman diminta untuk membayar uang kontribusi kepada LPKSM tersebut dengan biaya sebesar Rp 300.000,- per perkara.”
4.
“Penipuan” Kepada Konsumen Berdalih Bantuan Penyelesaian Masalah Di dalam blog sebuah LPKSM ditemukan kasus berkaitan dengan kegiatan LPKSM yang seolah-olah memberikan bantuan kepada konsumen dan meminta sejumlah dana sebagai
3|P age
biaya sidang dan pengacara. Modus yang digunakan oleh LPKSM tersebut adalah mencari debitur dengan jaminan mobil yang kolaps. Kepada debitur tersebut LPKSM tersebut menawarkan untuk menggugat perusahaan finance dengan menjanjikan apabila menang maka akan memperoleh dana sebesar Rp 2 milyar karena perusahaan finance melanggar undang-undang perlindungan konsumen, dimana dalam pasal 62 UUPK, pelaku usaha yang melanggar pasal 18 dapat dipidana denda sebesar 2 milyar rupiah. LPKSM selanjutnya membuat gugatan dan memasukkan ke Pengadilan Negeri. LPKSM tersebut sebenarnya sudah mengetahui bahwa posisi konsumen akan kalah, dan terbukti keputusan Pengadilan Negeri dimemenangkan oleh pelaku usaha, namun agar terkesan berjuang, LPKSM tersebut meminta pengacara debitur tersebut melakukan banding hingga kasasi. Praktek yang dilakukan oleh LPKSM tersebut bisa dikatakan “penipuan”, karena oknum dari LPKSM tersebut sudah mengetahui bahwa debitur tersebut pasti mengalami kekalahan jika menggugat perusahaan finance. Tetapi dengan berbagai rayuan LPKSM tersebut “memaksa” debitur tersebut untuk mau melakukan gugatan dengan bantuan LPKSM tersebut. Atas “bantuan” tersebut LPKSM mengutip bayaran dari debitur kolaps tersebut. 5. Tindak Kekerasan atau Premanisme oleh LPKSM Tidakan lain yang kurang terpuji dari LPKSM adalah melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan kegiatannya. Kasus di Cirebon sebagaimana diberitakan oleh Radar Cirebon bahwa sejumlah karyawan leasing resah atas ulah aksi premanisme yang dilakukan pihakpihak tertentu yang mengatasnamakan LPKSM. Seorang karyawan leasing dipukuli oleh oknum LPKSM ketika hendak menarik sepeda motor yang kreditnya macet. LPKSM tersebut berdalih bahwa sepada motor yang yang digunakan sudah dibeli dari pemilik pertama. LPKSM tersebut memberikan perlindungan dengan seolah-olah membeli motor tersebut. Pada saat karyawan leasing menarik motor mereka memukuli karyawan leasing tersebut hingga babak belur. Cara-cara yang digunakan oleh LPKSM dalam rangka melakukan perlindungan konsumen ternyata melanggar peraturan bahkan melanggar KUHP yaitu melakukan tindak kekerasan dan main hakim sendiri. (Radar Cirebon, 18 Juni 2012) 6. Penyimpangan-penyimpangan Lainnya. Penyimpangan-penyimpangan lainnya yang ditemukan di lapangan adalah sebagai berikut : a. Mencantumkan lambang Negara Republik Indonesia surat/lambang LPKSM.
Garuda Pancasila untuk kop
b. Membuat nama LPKSM yang seolah-olah Badan/Lembaga Pemerintah. c. Mencantumkan alamat Direktorat Pemberdayaan Konsumen Kementerian Perdagangan RI dan BPKN dalam kop surat LPKSM yang seolah-olah LPKSM dimaksud adalah cabang dari Kementerian Perdagagnan/ cabang dari BPKN. d. Membuat stiker untuk ditempel di rumah konsumen yang seolah-olah menjamin suatu barang/jasa yang telah memenuhi kelaikan/sertifikasi tertentu. 4|P age
e. Mencantumkan iklan/promosi barang/jasa milik pelaku usaha yang ditampilkan dalam sampul halaman majalah/tabloid milik LPKSM. f. Melakukan konferensi pers, menyampaikan pendapat atau opini tertentu tentang suatu kasus tanpa didukung data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. g. Menghalang-halangi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas eksekusi yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), dengan cara mengerahkan massa.
C. Keluhan Pengelola LPKSM Terkait dengan LPKSM, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) telah melaksanakan serangkaian kegiatan, antara lain adalah : (1) Kajian Pentingnya Kode Etik Bagi LPKSM (Juni 2012); (2) Forum Motivasi Pembentukan LPKSM di Kota Mataram (28 Maret 2012), Forum Motivasi Pembentukan LPKSM di Kota Bandar Lampung (2 Mei 2012), serta Temu Nasional LPKSM dan Stakeholder di Surabaya (4-7 Juli 2012). Dari hasil kajian dan pertemuan tersebut, teridentifikasi kebutuhan pengembangan ketrampilan atau capacity building bagi LPKSM, meliputi : 1. Penggalian Sumber Pendanaan. Pada umumnya LPKSM menalami kesulitan dalam mencari sumber-sumber pendanaan untuk menjalankan kegiatannya. Mengingat semakin terbatasnya kesempatan pendanaan dari lembaga donor (funding agency), dan sumber-sumber pendanaan lainnya, sementara untuk menghindari konflik kepentingan dengan pelaku usaha, dan sesuai kode etik Organisasi Konsumen Internasional (Consumer International/CI), LPKSM tidak diperkenankan menerima sumber pendanaan dari Pelaku Usaha. 2. Melakukan Gugatan di Pengadilan, atau legal standing, yaitu sebagai organisasi konsumen, LPKSM dapat tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (civil proceding) . Ketrampilan dan kemampuan LPKSM dalam hal ini sangat lemah, apalagi jika latar belakang para pengelola LPKSM bukan dari disiplin ilmu hukum. 3.
Melakukan Gugatan Perwakilan Kelompok (class Action), yaitu suatu ketrampilan mengkoordinir sekelompok kosumen (satu orang atau lebih) yang mewakili kelompok mengajukan gugatan di pengadilan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya, sesuai yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 46 ayat 1 (b) bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
5|P age
4.
Melakukan Konsiliasi dan Mediasi Sengketa Konsumen. Seperti disebutkan dalam Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 40/PDN/02/2010, bahwa jika pada suatu daerah kabupaten/kota belum terbentuk BPSK, konsumen dapat meminta bantuan kepada LPKSM untuk menyelesaikan sengketa, namun terbatas melalui cara konsiliasi atau mediasi. Kemampuan Konsiliasi dan Mediasi ini pada para pengelola juga masih sangat lemah.
5.
Melakukan Pengawasan Barang dan Jasa Beredar, di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survey seperti yang dikehendaki oleh PP No. 59 Tahun 2001 pasal 8. Kemampuan melakukan pengawasan terhadap barang beredar juga masih lemah, mengingat banyaknya ragam barang yang diperdagangan dan masing-masing memiliki ciri spesifik yang membutuhkan ketrampilan spesifik pula dalam cara penelitian, penguian maupun survey.
D. Amanat Pembinaan LKPSM 1. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK) Pasal 29 UUPK menjelaskan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Dalam pasal 29 ayat 4 (b) yaitu pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen meliputi upaya untuk berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 5 huruf b. PP 58 Tahun 2001 ini menyebutkan bahwa dalam upaya untuk mengembangkan LPKSM, Menteri (dalam hal ini Menteri Perdagangan) melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal : pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlinudngan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Pasal 2 ayat (1) PP 59 tahun 2001 ini menyebutkan bahwa Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat sebagai berikut : (a) terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota; dan (b) bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya. Dalam pasal 10 ayat (1) PP 59 tahun 2001 ini menyebutkan bahwa: Pemerintah membatalkan pendaftaran LPKSM, apabila LPKSM tersebut : (a) tidak lagi menjalankan kegatan perlindungan konsumen; dan (b) terbukti 6|P age
melakukan kegiatan pelanggaran ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya. 4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Dalam keputusan ini, Bupati/Walikota dapat memberikan sanksi kepada LPKSM sesuai dengan “pelanggarannya”, meliputi : (a) peringatan tertulis; (b) pembekuan TDLPK; (c) pembatalan TDLPK. E.
Saran Rekomendasi. Dari uraian permasalahan tersebut diatas dapat disusun rekomendasi untuk ditujukan kepada Menteri Perdagangan sebagai berikut : 1. Untuk melakukan fasilitasi agar himpunan LPKSM seluruh Indonesia yang telah terbentuk didorong untuk dapat meningkatkan kinerja dan aktivitasnya dan dapat mengimplementasikan kode etik LPKSM agar keluhan masyarakat terhadap sikap dan perilaku LPKSM yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dapat dieliminir. 2. Untuk melakukan peningkatan kapasitas LPKSM dalam memperoleh peluang pendanaan dari lembaga donor (funding agency), menyediakan dana hibah (small grant) kepada LPKSM dalam bentuk kerjasama dalam pelaksanaan kegiatan terkait perlindungan konsumen sekaligus meningkatkan kapasitas kelembagaan LPKSM. 3. Melakukan kegiatan peningkatan kapasitas (capacity building), kepada LPKSM terutama terkait dengan materi-materi : a. Kemampuan melakukan gugatan di pengadilan (legal standing) b. Kemampuan mengkoordinir konsumen dalam melakukan gugatan kelompok (class action) c. Kemampuan dalam melakukan pengawasan barang dan jasa beredar meliputi penelitian, pengujian dan survey. d. Kemampuan dalam melakukan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dan mediasi. 4. Meningkatkan peran Pemerintah Daerah dalam melakukan pengawasan/pemantauan kinerja LPKSM beserta penegakan hukumnya (law enforcement) dan menerapkan sanksi seprti diatur dalam Pasal 10 ayat (1) PP No. 59 tahun 2011 jo Keputusan menteri Pedindustrian dan Perdagangan Nomor : 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). --o0o--
7|P age