POSISI TRANPORTASI DALAM PARIWISATA Oleh : Nani Tambunan Dosen Universitas Mpu Tantular, Jakarta
Abstract: Transportation and travel can be discussed without taking tourism into consideration, but tourism cannot thrive without travel. Transportation is an integral part of the tourism industry. It is largely due to the improvement of transportation that tourism has expanded. The impacts on the ecology, degradation of destination sites, tourist experience, and economy has called for a better management of resources. In biodiversity-rich areas, opening of sensitive and fragile areas through improved infrastructure and service may prove detrimental to the ecology of the place. In the light of such issues, it is important to rethink the role of transportation in areas such as these. Though careful planning of the components of the destination is done to ensure sustainability, transportation is seldom considered in the process and due to this a number of biodiversity-rich areas have been destroyed due to the easy access.
PENDAHULUAN Menurut World Tourism Organization (WTO) and The Caribbean Tourism Organization (CTO) wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan dan tinggal di luar lingkungan mereka tidak lebih dari satu tahun tetapi lebih dari 24 jam. Berbicara mengenai pariwisata tidak terlepas dari faktor-faktor sebagai berikut. (1) Faktor kelangkaan (scarcity) yakni: sifat objek/pertunjukan wisata tidak dapat dijumpai di tempat lain, termasuk kelangkaan alami maupun kelangkaan bangunan buatan manusia. (2) Faktor kealamiahan (naturalism) yakni: sifat dari objek wisata belum mengalami perubahan akibat perilaku manusia. Pertunjukan wisata bisa berwujud suatu warisan budaya, pertunjukan alam yang belum mengalami banyak perubahan oleh perilaku manusia. (3) Faktor keunikan (uniqueness) yakni sifat objek/pertunjukan wisata yang memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan objek lain yang ada di sekitarnya. (4) Faktor pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Faktor ini menghimbau supaya masyarakat lokal benarbenar dapat diberdayakan untuk terlibat pada objek wisata setempat, sehingga masyarakat akan memiliki rasa memiliki agar menimbulkan keramah tamahan bagi wisatawan yang berkunjung. (5) Faktor optimalisasi lahan (area optimalsation) maksudnya adalah lahan yang dipakai sebagai kawasan wisata alam digunakan berdasarkan pertimbangan optimalisasi sesuai dengan mekanisme pasar. tanpa melupakan
pertimbangan konservasi, preservasi, dan proteksi. (6) Faktor pemerataan harus diatur sedemikian rupa, sehingga menghasilkan manfaat terbesar bagi kelompok masyarakat yang paling tidak beruntung serta memberikan kesempatan yang sama kepada individu sehingga tercipta ketertiban masyarakat. Tuan rumah menjadi utuh dan padu dengan pengelola kawasan wisata dan 7) Transportasi beserta fasilitas jalan tersedia dan berkualitas karena ada perpindahan orang, barang dan jasa dari daerah asal ke daerah tujuan wisata. Sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi apabila di zaman yang sangat modern ini, ada orang melakukan perjalanan wisata tidak menggunakan fasilitas pengangkutan yang memadai. Wisatawan yang melakukan perjalanan merupakan manifestasi dari interaksi, sebagai akibat perpindahan orang dari tempat di mana wisatawan biasanya tinggal. Transportasi dapat menggerakkan banyak orang, dari satu negara ke negara lain, dari satu daerah ke daerah lain, dari satu kota ke kota lain dan dari kota ke daerah pedalaman dan sebaliknya. Kegiatan pariwisata dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi negara dan mempekerjakan banyak orang, sehingga negara di manapun berada berlomba-lomba meningkatkan kualitas objek wisatanya. Jumlah pekerja dari sektor pariwisata di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 8.747.000 orang-hari (BPS 2008). Pendapatan negara Indonesia dari sektor pariwisata dapat dilihat pada Tabel 1.
39 Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi VI, Januari - Juni 2009
Tabel 1. Pendapatan Sektor Wisata Indonesia Dari Kunjungan Wisatawan Manca Negara 2001-2008 Rata-rata pengeluaran Waktu Rata-rata lama Pariwisata Tahun tiba tinggal (Million US$) Per kunjungan Per hari 2001 5.153.620 1.053,36 2002 5.033.400 893,26 2003 4.467.021 903,74 2004 5.321.165 901,66 2005 5.002.101 904,00 2006 4.871.351 913,09 2007 5.505.759 970,98 2008 6.429.027 1.178,54 Sumber: Laporan Statistik kunjungan ke Indonesia Aktivitas kepariwisataan banyak bergantung pada transportasi dan komunikasi. Faktor jarak dan waktu sangat mempengaruhi keinginan orang untuk melakukan perjalanan wisata. Keberadaan berbagai pilihan transportasi saat ini menyebabkan pertumbuhan pariwisata maju sangat pesat. Kemajuan fasilitas transportasi ikut mendorong kemajuan bidang kepariwisataan dan sebaliknya. Ekspansi dalam industri pariwisata dapat meningkatkan permintaan transportasi untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Fungsi utama transportasi sangat erat hubungannya dengan aksesibilitas (accessibility). Aksesibilitas berkaitan dengan frekuensi penggunaan dan kecepatan yang dimiliki oleh angkutan, sehingga jarak lokasi yang jauh menjadi terasa lebih dekat. Hal ini berarti mempersingkat waktu tempuh dan sudah tentu akan lebih meringankan biaya perjalanan. Dengan demikian dapat dikatakan transportasi dapat semakin memudahkan orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu, seperti misalnya daerah tujuan wisata. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjelaskan peran dan kedudukan transportasi dalam menunjang pariwisata, sehingga bermanfaat bagi para stakeholder yang terlibat dalam industri pariwisata. PEMBAHASAN Angkutan Wisatawan Dalam kepariwisataan ada tiga macam transportasi yang biasa digunakan wisatawan, yaitu: 1) transportasi udara (international flight, domestic flight); 2) transportasi laut (regular lines, charter lines cruiser); 3) transportasi darat ( sepeda, dokar atau delman, sepeda motor, mobil penumpang, kereta api). Persentase kedatangan para wisatawan yang menggunakan angkutan udara ke Indonesia pada tahun 2004 tercatat sebesar 52.43%, laut
100,42 91,29 93,27 95,17 99,86 100,48 107,70 137,38
10,49 9,79 9,69 9,47 9,05 9,09 9,02 8,58
5.396,26 4.305,56 4.037,02 4.797,88 4.521,89 4.447,98 5.345,98 7.377,39
47.15% dan darat 0.41% (BPS, 2009). Jumlah wisatawan yang datang di berbagai lokasi kedatangan pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kedatangan Wisatwan Tahun 2008. Soekarno-Hatta 1464717 Ngurah Rai 2081786 Polonia 130211 Batam 1061390 Juanda 156726 Sam Ratulangi 21795 Entikong 19989 Adi Sumarmo 19022 Minangkabau 40911 Tg. Priok 67886 Tg. Pinang 123505 Other 1046559 Total 6234497 Sumber. Laporan BPS. 2008 Pemakaian angkutan untuk keperluan wisata jarang yang hanya menggunakan satu macam angkutan saja. Pemakaian angkutan hampir selalu merupakan kombinasi. Pemakaian angkutan banyak bergantung pada kondisi tempat atau daerah tujuan wisata. Jadi ada bermacam-macam kombinasi pengangkutan yang digunakan untuk mencapai daerah tujuan wisata, bergantung pada pengaturan yang dilakukan oleh operator perjalanan (tour operator). Operator perjalanan merencanakan jenis angkutan sesuai dengan rencana perjalanan (tour itinerary) yang mereka susun. Perjalanan lintas negara yang jauh biasanya dilakukan dengan pesawat udara, sedangkan perajalanan jarak pendek umumnya menggunakan angkutan darat dan air. Pemakaian penerbangan borongan (charter flight) mulai terjadi dalam periode tahun 1945-1950, di mana untuk pertama kalinya penerbangan borongan diperkenalkan
40 Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi VI, Januari - Juni 2009
untuk pengangkutan wisatawan, yaitu dengan menyewa suatu pesawat dan seluruh awaknya pergi ke tujuan daerah wisata tertentu. Dengan adanya sistem borongan ini penerbangan dengan pesawat udara dapat disesuaikan dengan rencana perjalanan wisata yang telah disusun oleh operator perjalanan yang menyewa pesawat tersebut Pada tahun lima puluhan kepariwisataan di Eropa berkembang pesat, dimana permintaan perjalanan wisata jarak jauh (long-haul) menunjukkan kecenderungan meningkat. Sejak itu mulailah beberapa agen perjalanan (travel agent) dan tour operator memikirkan untuk menyewa pesawat untuk membawa wisatawan ke daerah tujuan wisata tertentu dengan sistem "back to back charter". Ternyata usaha semacam itu banyak menarik wisatawan dan karenanya beberapa operator perjalanan yang bekerjasama dengan perusahaan angkutan mulai merencanakan penyelenggaraan perjalanan dengan menggunakan pesawat sewaan. Suatu studi yang pernah dilakukan oleh PATA mengenai transportasi yang digunakan oleh wisatawan yang berkunjung ke daerah Pasifik dan Timur Jauh, diperoleh kesimpulan bahwa yang wisatawan menggunakan pesawat udara 99% dan hanya 1% saja yang menggunakan kapal laut. Studi itu berdasarkan angket pertanyaan yang ditanyakan kepada para wisatawan yang berkunjung ke beberapa negara di Pasifik dan Timur Jauh. Dewasa ini penggunaan pesawat udara untuk tujuan perjalanan wisata sangat memegang peranan penting. Hampir semua perjalanan wisatawan dari negara-negara asalnya (tourist generating countries) dilakukan dengan pesawat udara. Bila dianalisis secara umum hubungan antara pariwisata dan transportasi, maka secara kualitatif dapat dikatakan bahwa pariwisata tidak dapat berkembang tanpa tersedianya sarana transportasi, khususnya pengangkutan melalui udara. Dengan perkataan lain dapat dinyatakan bahwa walau tersedia pertunjukan wisata yang menarik, fasilitas rekreasi dan olah raga yang lengkap, hotel yang serba mewah, tanpa tersedianya sarana transportasi yang cukup memadai, semuanya akan sia-sia dan tidak berarti. Saling ketergantungan antara pariwisata dengan sarana pengangkutan udara khususnya, banyak dipengaruhi oleh faktorfaktor yang datang dari luar misalnya situasi politik, krisis ekonomi, cuaca yang buruk. Di samping itu peraturan pemerintah sering pula membatasi perjalanan warga negaranya untuk melakukan perjalanan ke luar negeri.
Hubungan Transportasi dan Pariwisata Faktor musim mempengaruhi pengangkutan wisata, seperti misalnya di Indonesia pada waktu hari raya Idul Fitri banyak orang melakukan wisata singkat dengan pergi ke lokasi objek wisata dan hiburan. Angkutan darat mengalami peningkatan pemakaian, sehingga kenaikan ongkos dan kenaikan harga karcis objek wisata dan hiburan sulit dihindari. Karena orang ramai bepergian ke daerah lain dan sebaliknya, berarti terjadi penigkatan frekuensi penggunaan transportasi, maka kadangkala banyak perjalanan wisatawan yang tertunda, terutama wisatawan yang melakukan perjalanan yang tidak melalui agen perjalanan. Dari sudut pandangan kuantitatif dirasakan masih ada kekurangan dalam penelitian tentang hubungan antara pengeluaran untuk keperluan transportasi (transportation expenditures) secara keseluruhan pada berbagai negara. Pengetahuan ini diperlukan untuk dapat digunakan dalam rangka menetapkan kebijaksanaan penerbangan udara sipil (civil aviation policy), terutama dalam pemberian izin bagi maskapai penerbangan asing untuk membawa penumpang dalam jaringan penerbangan tertentu agar tidak merugikan maskapai penerbangan nasional. Hasil penelitian di Spanyol menunjukkan bahwa pengeluaran wisatawan untuk biaya pesawat udara lebih besar dibandingkan dengan biaya selama tinggal di sana, seperti biaya hotel, makan dan minuman serta pelayanan lain yang berkaitan. Rasio antara pengeluaran untuk pengangkutan udara dengan biaya selama tinggal di Spanyol adalah 110,8%. Hal ini disebabkan karena wisatawan yang datang ke Spanyol adalah wisatawan yang datang dari Eropa Barat, seperti Norwegia, Swedia, Jerman, Inggeris yang mempunyai jarak relatif cukup jauh. Pemakaian angkutan udara untuk keperluan perjalanan wisata semakin mendapat tempat, terutama setelah berkembangnya penggunaan penerbangan borongan; prospeknya semakin baik karena biaya perjalanan dengan borongan menjadi lebih murah dibandingkan kalau menggunakan penerbangan biasa (normal flight). Transportasi menyebabkan dan mempunyai dampak pada pertumbuhan pariwisata di berbagai negara. Fasilitas transportasi yang tersedia dengan cukup, aman, terjangkau menuju objek wisata akan dapat memicu peningkatan jumlah wisatawan yang akan berkunjung dan pengembangan objek
41 Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi VI, Januari - Juni 2009
1)
wisata akan dapat merangsang pengembangan transportasi. Aksesibilitas merupakan fungsi utama dasar angkutan pariwisata. Untuk mengakses lokasi yang merupakan tujuan utama, maka wisatawan akan menggunakan moda transportasi. Hubungan antara pariwisata dan transportasi terutama sangat dipengaruhi oleh dua elemen yaitu 1) kemudahan mengakses tujuan (convenient access), 2) kualitas layanan transportasi harus memenuhi harapan pengguna seperti tingkat keamanan, kenyamanan, frekuensi, efisiensi dan keandalan. Pada waktu yang lalu kebanyakan perjalanan dilakukan untuk tujuan profesi, tetapi saat ini telah terjadi perubahan gaya hidup dan daya beli yang lebih tinggi, sehingga keadaan ini merubah keseimbangan dalam hal tamasya dan pariwisata. Untuk waktu yang lama kendaraan pribadi merupakan moda transportasi yang lebih disukai untuk kegiatan bersenangsenang dan wisata, sehingga pusat-pusat kota menjadi macet pada akhir minggu dan malam hari. Karena kemacetan, saat ini banyak orang berpaling ke kendaraan umum dan akan mencari pemecahan baru untuk kebutuhan pergerakan bersenang-senang mereka. Sehingga meningkatnya keperluan bersenang-senang dan wisata menjadi peluang nyata bagi operator transportasi umum Karena biro dan agen perjalanan wisata tumbuh, maka suatu strategi mobilitas berkelanjutan harus memperhitungkan bentukbentuk perjalanan. Promosi moda transportasi yang bersahabat secara lingkungan seperti transportasi umum khususnya yang sesuai untuk tujuan dalam wilayah yang bernilai secara ekologi. Layanan transportasi umum yang baik membuat lokasi wisata dan bersenang-senang lebih dapat diakses oleh setiap orang termasuk orang yang kemampuan perjalanannya dibatasi oleh keadaan keuangnan , tidak mempunyai sim, sakit dan cacat. Manfaat pariwisata bagi sektor transportasi ada dua yaitu: Penggunaan infrastruktur dan pemakaian kendaraan menjadi lebih optimal. Muatan ankutan dapat ditambah selama jam-jam puncak dan liburan. Misalnya di banyak daerah wisata, kapasitas yang penuh dari armada angkutan sekolah digunakan selama periode liburan bagi wisatawan. Pamanfaatan pegawai yang lebih baik dan persediaan kendaraan akan dapat meningkatkan perputaran dan ridership. Perjalanan dan wisata selanjutnya mempunyai kesempatan untuk berkembang, memperbaiki
saran dan prasaranan angkutan dan menganekaragamkan sarana transportasi umum. 2) Keuntungan ekonomi dari wisatawan regional. Orang yang menggunakan transportasi umum untuk wisata dan bersenang-senang (leisure) membentuk sebuah kelompok baru konsumen berpotensi bagi akomodasi lokal, makanan dan layanan wisatawan. Transportasi umum untuk wisatawan selanjutnya mendatangkan keuntungan ekonomi bagi sektor pariwisata dan hiburan di wilayah sekitarnya. 3) Pandangan wisatawan mengenai transportasi umum dapat ditingkatkan. Layanan transportasi umum akan berjalan bagi pariwisata dan hiburan, sehingga akan membantu peningkatan semua citra angkutan umum diantara angkutan lainnya. Hal ini dapat mempengaruhi pengguna non kendaraani umum agar kadang-kadang menjadi pengguna transportasi umum. Hubungan yang tak dapat dihindarkan terjadi antara transportasi dan pariwisata. Hubungan ini merupakan dasar yang penting didalam menjelaskan sistem pariwisata (Leiper, 1990). Pola perjalanan yang ada antara pasar yang dibangkitkan dan lokasi tujuan yang diinginkan telah menjadi fokus kegiatan penelitian di masa yang lalu. Misalnya peran teknologi transportasi dijelaskan dalam evolusi ruang dan ekonomi tujuan wisata (Hobson & Uysal, 1992). Sifat pertanyaan saat ini telah berubah, akan tetapi para akademisi dan praktisi telah mendesak dilakukannya perubahan terhadap prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan menuju hasil yang praktis (Butler, 1999). Dalam konteks ini, transportasi untuk wisatawan mendapat perhatian utama. Karena transportasi merupakan bagian dari sistem pariwisata yang sangat terikat pada dua dunia yang mengkonsumsi banyak energi dan mengeluarkan polusi seperti transportasi udara dan kendaraan bermotor (Greene &Wegener, 1997; Royal Commission on Environmental Pollution, 1994). Hall (1999) membedakan empat peran transportasi: 1) angkutan untuk sampai ke lokasi tujuan, 2) angkutan memastikan mobilitas di dalam tujuan, 3) mobilitas di dalam pertunjukan wisata dan 4) perjalanan sepanjang jalur daerah rekreasi. Jelaslah, transportasi tidak hanya merupakan alat untuk bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi juga membentuk suatu daya pikat sendiri seperti dalam kasus perjalanan dengan kapal pesiar, penerbangan (scenic flights) dan perjalanan dengan kereta api. Meskipun eksistensi penelitian pariwisata yang terkait dengan transportasi berpendapat bahwa usaha-usaha untuk membangun sebuah kerangka kerja bagi
42 Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi VI, Januari - Juni 2009
transportasi dan wisata dengan tujuan memahami kebutuhan pariwisata akan transportasi dan pentingnya transportasi bagi pengalaman wisatawan belum berhasil sepenuhnya. Penelitian sebelumya mengenai transportasi dan pariwisata mencerminkan disiplin dan titik pandang yang berbeda. Misalnya studi geografik mengenai perilaku perjalanan wisatawan mengenalisis pergerakan ruang dengan moda transportasi yang berbeda (Oberdries dan Forer, 1995; Oppermann, 1995). Inovasi teknologi dalam transportasi sangat mempengaruhi perilaku perjalanan dan dengan menurunkan waktu dan biaya perjalanan mengakibatkan penciutan psikologi dan pisyik dunia (Tolley dan Turton, 1995). Secara khusus pembangunan pesawat jet telah mendukung tetapnya pertumbuhan pariwisata. Akibatnya bidang perjalanan udara telah menarik peneliti transportasi dan pariwisata. Bidang perhatian utama adalah penumpang regional dan global atau aliran wisata (Oppermann & Cooper, 1999; Schafer & Victor, 1999), kebutuhan perjalanan udara sekarang dan masa akan datang (Crouch, 1994), Dampak ekonomi berkaitan dengan perjalanan udara (Raguraman, 1997) dan pembangunan pariwisata (Bowen, 2000; Prideaux, 2000). Sementara itu perjalanan udara dilihat sebagai fasilitator penting bagi pariwisata dan berperan pada perubahan iklim (Janiæ, 1999; Olsthoorn, 2001). Transportasi udara sering mengabaikan dampak lingkungan. Banyak usaha-usaha yang telah dilakukan terhadap sistem transportasi sampai saat ini gagal sebagian karena tindakan-tindakan yang bersifat tradisional seperti jumlah penumpang yang diangkut dan jumlah subsidi per penumpang tidak mengukur pencapaian tujuan Lingkungan seperti perubahan dalam pemisahan moda. Juga transportasi umum perlu dipadukan ke dalam strategi lalu lintas yang lebih luas atau program hijau menjadi berhasill (Eaton & Holding, 1996, p. 64). Promosi siklus pariwisata dan pembangunan siklus jeringan telah diidentifikasi sebagai fasilitator potensial dari pembangunan berkelanjutan (Lumsdon, 2000). Perilaku wisatawan adalah sebuah faktor penting dalam perilaku perjalanan dan pemilihan moda transportasi. Dalam sebuah studi mengenai sikap terhadap lingkungan, Knight (1992) menemukan bahwa orang secara umum sadar menganai dampak lingkungan akibat transportasi dan menganggap penghematan bahan bakar menjadi isu penting. Akan tetapi, isu yang muncul bahwa orang yang peduli secara lingkungan cenderung membeli kendaraan yang lebih ekonomis dari pada
menggunakan transportasi umum untuk menghindari ketidaknyamanan dan masalah yang terkait dengan moda transportasi non individu. Perilaku transportasi wisatawan ádalah kompleks dan tampaknya berbeda menurut kelompok sosial ekonomi (Carlsson-Kanyama &Linden, 1999) dan perbedaan aktivitas (Stettler, 1997) menyebabkan kebutuhan energi yan berbeda. Peran transportasi umum terhadap pasar Transportasi menghubungkan berbagai tujuan dan mengangkut orang, barang dan jasa. Pariwisata semuanya mengenai perjalanan dan peran transportasi di dalam pengoperasian pariwisata sangat penting. Jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia pada tahun 2003 sebesar 4.467.021 orang dan meningkat menjadi 5.312.165 pada tahun 2004. Pasar utama para wisatawan sebesar 30.91% berasal dari Singapura, dari Malaysia 11.70%, dari Japang 11.57%, dari Australia 7.63%, dari Taiwan 7.22%, Korea Selatan 4.30%, USA 2.88%, German 2.53%, Inggris 2.13% dan Belanda 1.73%. Jumlah total 82.60%, sementara sisanya 17.4% berasal dari negara lain. Wisatawan dari Asean sebesar 45.69% (BPS. 2009). Karena pengembangan transportasi sehingga pariwisata berkembang. Kemajuan penerbangan telah mempersempit dunia dan kendaraan bermotor membuat perjalanan memungkinkan kemana saja. Adanya kedua realitas ini disertai dengan perubahan pola kerja dan inovasi pemasaran telah menggerakkan pariwisata seluruh dunia sepanjang tahun. Culpan (1987) mengidentifikasikan bahwa moda transportasi dan pengelolaan sebagai bumbu penting dari sistim pariwisata dunia akan dikaitkan dengan tangkutan udara, air dan darat untuk pengoperasin pariwisata dan mendukung layanan stasiun bahan bakar, perbaikan mobil, motel dan fasilitas istrahat lainnya untuk perjalanan darat. Produk wisata dan hiburan dapat mencakup komponen berikut: 1. Orientasi pelanggan lebih kuat Perjalanan ke lokasi hiburan dan wisata membutuhkan suatu pendekatan yang sangat berorientasi pada layanan. Karena tujuan dari perjalanan wisata berbeda dengan yang dilakukan dengan alasan pekerjaan. Kebutuhan dari orang yang melakukan perjalanan akan juga berbeda. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka penting dengan jelas memahami apa yang diharakan konsumen yaitu:
43 Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi VI, Januari - Juni 2009
Transportasi umum akan menarik jika ada sarana dan prasarana transportasi yang lengkap dari asal ke tujuan Layanan transportasi umum sebaiknya memasukkan tabel waktu, ongkos, dan tiket sesuai dengan kekhususan orang yang melakukan perjalanan. Tarif sebaiknya memasukkan biaya perjalanan, makanan, akomodasi dan aktivitas. Penawaran transportasi sebaiknya memasukkan lokasi yang disingahi, selain dari lokasi kerja dan tempat tinggal dan sebaiknya menyediakan layanan yang baik untuk kegiatan budaya (konsert, pertunjukan, perjalanan ke lokasi bersejarah), kegiatan olah raga, wisata alam (nature excursion), daya pikat lain. Penumpang seharusnya juga mempunyai keleluasaan untuk memilih titik awal dan akhir perjalanan. 2. Faktor-faktor Pendorong Wisata Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi orang melakukan perjalanan wisata dengan pesawat udara, sehingga permintaan perjalanan dapat berulang ulang. Faktor-faktor tersebut ialah: 1. Daya tarik suatu daerah tujuan wisata, apa yang dimiliki objek wisata, fasilitas apa yang tersedia di sana, pertunjukan menarik apa yang dapat disaksikan, olah raga apa yang dapat dilakukan di sana, barangbarang apa yang dapat dibeli di sana. Dengan kata lain, suatu daerah tujuan wisata harus memenuhi tiga syarat supaya wisatawan mau melakukan wisata yaitu tersedianya: a) seuatu yang dapat dilihat (something to see); b) sesuatu yang dapat dilakukan (something to do) ; dan c) sesuatu yang dapat dibeli (something to buy) 2. Keadaan sosio-demografi dihubungkan dengan negara asal wisatawan (keadaan sosio-demografi Australia jauh lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan sosiodemografi India atau Indonesia, sehingga lebih banyak wisatwan Australia pergi ke objek wisata di luar). 3. Faktor keuangan, sampai di mana kekuatan daya beli masyarakatnya, di mana hal ini banyak pula ditentukan oleh pendapatan yang dibelanjakan (disposable income) oleh penduduknya. Dari ketiga faktor ini yang paling dominan adalah faktor keuangan, karena biaya perjalanan akan banyak mempengaruhi calon wisatawan untuk mengambil keputusan. Dengan kondisi keuangan yang ada, mereka dapat melakukan pilihan akan menggunakan pesawat
udara atau kendaraan lain, atau liburan cukup di daerah sekitar saja dengan menggunakan kendaraan umum. Atas pertimbangan di atas, maka elastisitas permintaan untuk melakukan perjalanan dengan pesawat udara, faktor tarif (fares) akan sangat menentukan dalam membuat suatu perencanaan kepariwisataan pada suatu negara. Politik tentang pengangkutan suatu negara sangat mempengaruhi adanya arus lalulintas pariwisata, sebab politik angkutan ini akan menentukan jarak tempuh dan waktu yang dibutuhkan oleh wisatawan. Angkutan merupakan salah satu unsur pokok daripada industri pariwisata. Dengan perkataan lain, politik pengangkutan dalam hubungannya dengan industri pariwisata harus ditujukan kepada hal-hal tentang bagaimana caranya agar jarak serta waktu dapat ditempuh dengan cepat, efisien, murah dan penuh kenyamanan (comfort) sebagai faktor yang merupakan bagian terpadu dari keseluruhan gejala yang menyangkut perjalanan para wisatawan. Dalam hubungan ini, yang dimaksudkan dengan politik pengangkutan yang langsung berkaitan dengan kehidupan industri pariwisata, adalah kebijaksanaan pemerintah di dalam mengatur lalu-lintas, kelengkapan serta perlengkapan jaringan-jaringan dan alat-alat yang dipergunakan dalam operasi angkutan ini dalam arti kata seluas-luasnya, seperti misalnya pembangunan pelabuhan laut, pembuatan lapangan udara, pembangunan stasiun kereta api, pembangunan jalan raya, import berbagai alat pengangkutan seperti lokomotif, gerbong, mobil, bus, pesawat udara dan sebagainya. Itu semua merupakan kelengkapan fasilitas yang menggerakkan para wisatawan berpindah pindah dari suatu tempat ke tempat lain selama mereka mengadakan perjalanan. Dengan adanya kemajuan motorisasi yang lebih cepat dibandingkan dengan pengangkutan lain pada saat ini, maka politik pengangkutan ini penting sekali artinya bagi industri pariwisata. Politik pengangkutan harus memperhitungkan peraturan-peraturan dan fasilitas yang harus disediakan pada musim kunjungan, langkah-langkah kebijakan keselamatan lalu-lintas dan kebijakan mengenai tarif angkutan yang dalam keadaan yang tertentu dikehendaki ada perlakuan istimewa dan khusus. Misalnya, demi untuk memajukan industri pariwisata, maka pemerintah atau perusahaan pengangkutan melakukan penurunan harga karcis atau memberikan harga karcis istimewa bagi wisatawan, memberikan potongan sewa (ongkos) untuk keperluankeperluan wisata, karcis murah bagi keperluan
44 Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi VI, Januari - Juni 2009
berlibur (holyday season tickets) dan sebagainya. 3. Transportasi dalam Pariwisata Kemajuan dalam transportasi secara luas mempermudah perjalanan. Kemajuan itu disimbolkan dengan kemudahan dan aksesibilitas transportasi modern yang telah memacu penyebaran pertumbuhan wisata alam di Amerika Serikat dan luar negeri (Honey,1999). Peningkatan jumlah pengunjung ke lokasi pedalaman telah mengakibatkan kerusakan sumberdaya sehingga peran transportasi perlu dievaluasi. Dampak pembangunan pariwisata termasuk erosi, pemadatan, pembersihan vegetasi untuk membuat fasilitas jalan dan pariwisata, penggunaan kendaraan off road, sepeda trail dan mobil salju, kuda bahkan perjalanan pejalan kaki (Buckley, 1996). Transportasi di dalam pariwisata paling sering dilihat hanya sebagai bagian sistem pariwisata yang membawa wisatawan ke lokasi tujuan, mengelilinggi lokasi dan meniggalnya segera selama perjalanan. Page and Lumsdon (2004) menyatakan bahwa sistim transportasi dari tujuan wisatawan mempunyai Dampak pada pengalaman wisatawan yang menerangkan bagaimana orang melakukan perjalnan dan kenapa mereka memilih bentuk liburann, tujuan dan transportasi yang berbeda. Perbaikan moda transportasi ditambah ongkos yang rendah telah menigkatkan aksesibilitas dari lokasi. Akses ke lokasi wisata berubah tergantung pada sifat lokasi, keadaan infrastruktur dan efisiensi dari sistim transportasi Dampak kendaraan bermotor dalam pariwisata dapat diamati pada meningkatnya jumlah perjalanan harian dan perjalanan liburan (leisure travel). Strategi transportasi mencerminkan nilai dari apa yang ada dalam bisnis. Farrell and Runyan (1991), di dalam pendekatan pengelolaan transportasi-pariwisata yang berbeda menyatakan sumberdaya dapat diperkuat dengan pengerasan jalan, pemagaran, pembatasan mengarahkan lalu lintas atau dengan memberikan fasilitas yang penggunaannya lebih banyak, membuat peraturan tataguna lahan, membatasi akses terikat pada sifat lokasi, menggunakan skema pengelolaan lalulintas pengunjung seperti mengkaitkan transportasi umum dan pribadi, membatasi kecepatan, membatasi ukuran kelompok, dan karakteristik dan pemasaran. Karena transportasi merupakan kebutuhan yang digerakkan, maka pengetahuan mengenai target populasi akan sangat membantu dalam
menentukan moda transportasi yang paling sesuai untuk wiayah tertentu. Strategi lain yang digunakan dalam pengelolaan transportasi termasuk membuat kebijakan tataguna lahan dengan mengatur lokasi, skala, kepadatan dan rancangan kegiatan yang berdampak pada arus lalu lintas. Pengelolaan dapat juga disesuaikan dengan pembangunan kota di sekitar lokasi yang membutuhkan sistim trasnportasi publik untuk membuat keseimbangan kebutuhan penumpang. Promosi kendaraan non kendaraan dan transportasi umum mendapat penekanan dan keterlibatan pengguna didorong dalam pengamilan keputusan dan mengurangi dampak negatif transportasi. Melalui perencanaan tataguna lahan sediri tidak dapat dipecahkan pola transportasi yang tidak berkelanjutan. Perencanaan tataguna lahan dapat membantu mengurangi perjalanan yang tidak perlu, mencegah frakmentasi kegiatan dan memberikan peluang bagi moda transportasi yang lebih bersahabat (Herala, 2003). Akhirnya isu mengenai keberlanjutan transportasi dan pariwisata dapat dicapai bila akses menuju tujuan wisata menarik wisatwan. Alasan adanya perbedaan kebutuhan untuk merehabilitasi objek wisata karena terlalu banyak tekanan dari pengunjung mulai dari hal non akomodasi wisatawan sampai ke hal melindungi lokasi. Mowforth and Munt (1998). menyatakan bahwa kendaraan bermotor sekarang jumlah dan kualitas terbatas di lokasi alam. 4. Isu-isu Perencanaan Peran transportasi penting dalam perencanaan lokasi alam bila lokasi tujuan melibatkan berbagai pemain dan pertimbangan kebutuhan masyarakat yang akan dilayani. Transportasi kadang-kadang tidak merangsang pembangunan pariwisata yang diinginkan dan selanjutnya adalah penting untuk memahami posisi sentral dari transportasi dalam pembangunan lokasi tujuan jika proses pertumbuhan tujuan dipahami. a. Wisatawan Kenyataannya bahwa ada peningkatan kebutuhan penyediaan lokasi alam sebagai lokasi tujuan wisata, dimana ada penurunan pasar dalam kualitas dan kuantitas lokasi alam karena meningkatnya pariwisata. Analisis mengenai pergerakan pariwisata menunjukkan bahwa ada pergerakan pariwisata yang terjadi mengikuti konsep musiman: seperti iklim yang disukai, lokasi dan jadwal kegiatan seperti festival sejenisnya (Burns dan Associates, 1989). Sebuah asosiasi pariwisata dapat juga
45 Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi VI, Januari - Juni 2009
tertarik pada jenis wisata yang disediakan dan berdampak pada lingkungan. Penyediaan sarana dan prasarana transportasi menuju lokasi wisata harus direncanakan sedemikian rupa sehingga mempunyai daya tarik bagi pengunjung. Jaringan jalan seharusnya memberikan petunjuk tanda-tanda yang punyai arti tersendiri sehingga aksesibilitas ke lokasi tujuan wisata semakin mudah dan menyenangkan. b. Stakeholder Isu-isu keberlanjutan antara pariwisata dan transportasi dipersepsikan berbeda oleh pemerintah setempat, operator, dan berbagai organisasi yang bergerak dibidang pariiwisat. Adalah penting dan perlu bagi berhasilnya sebuah renncana sehingga strategi pariwisata memerlukan pertimbangan berbagai peran stakeholder dalam mewujudkan praktek yang berkelanjutan. Brohman (1996) percaya bahwa negara dan pasar harus membuat parameter bagaimana pembangunan pariwisata akan melayani kepedulian negara dan masyarakat. Di dalam sebuah survey yang dilakukan terhadap dua ratus dua puluh satu operator pariwisata menunjukkan bahwa kepedulian wisatawan atas pembangunan, kehilangan lingkungan asli, dan kehilangan budaya tradisional tidak setajam pemikiran para akademisi, tetapi mereka mengakui bahwa kesadaran lingkungan dan sosialisasi pembangunan berkelanjutan dalam hal produk dan praktek industri perlu ditingkatkan (Lew, 1998). Doolan (1994) mengakui bahwa operator tour menyukai aspek perjalanan ekonomi pariwisata. Adalah penting kirannya bagi operator tour membawa wisatawan ke lokasi tujuan terkait dengan isu aksesibilitas, moda, akomodasi dan ukuran kelompok sampai yang luarbiasa tetapi lokasi yang jauh perlu dipertimbangkan. Jumlah sumberdaya dapat mendukung dan mempengaruhi pengunjung atas habitat binatang. Wisatawan lebih memperhatikan nilai uang yang mereka keluarkan untuk kualitas pelayanan, daya tarik dan kedalaman pengalaman. Keberlanjutan pariwisata terkait dengan faktor seperti kebijakan pariwisata suatu negara, perilaku operator, visi, dan advokasi kelompok. Fennell, (2003) menyatakan ada empat alasan yang menyebabkan keberlanjutan pariwisata sulit dipenuhi yaitu tidak ada penghargaan dari industri parawisata seperti pariwisata lemah secara elektoral dan dukungan pemerintah tidak cukup dan kurangnya kepemimpinan untuk menggerakkan industri pariwisata. Selain itu, kenyataan bahwa pariwisata adalah industri
internasional sehingga setiap negara mencoba mendapatkan keuntungan. Travis (1985) mengakui fakta bahwa pariwisata adalah komoditas perdagangan internasional. Pariwisata merupakan industri global yang mendorong pemerintah membuat kebanyakan daya tarik alam yang mereka miliki dapat berubah menjadi pendapatan yang dibawa oleh wisatawan internasional Lembaga pariwisata di masing-masing negara membuat mekanisme pemasaran daya tarik alam mereka menjadi terkenal dengan cara membuat kemasan perjalanan yang manarik bagi wisatawan. Adalah penting bahwa pengambilan keputusan pemasaran wisata melibatkan semua sektor dalam pertimbangan tujuan perencanaan nasional khususnya ketika pengembangan pariwisata memerlukan infrastruktur seperti jalan, bandara udara, penyedia listrik dan air karena ini akan menguntungkan dan mempunyai dampak tidak hanya pembangunan itu sendiri tetapi pada masyarakat setempat juga (Brohman, 1996). 5. Pengelolan Pengunjung Kerusakan tapak jalan karena perbuatan sejumlah pengunjung telah membawa strategi yang berbeda untuk membatasi, menurunkan atau melarang pembukaan daerah baru untuk pariwisata. Peran transportasi dalam mengelola pengunjung dan sumberdaya perlu dianalisis untuk mengurangi dampak negatif pada lokasi tujuan. Pengelolaan sumberdaya yang efektif memerlukan suatu alat pengukur yang baik untuk menghitung sumberdaya sistematis dan menyeluruh dengan memperhatikan kemampuan daya dukung lokasi. Dalam melakukan analisis di lokasi. Inskeep (1987) menegaskan bahwa untuk menetapkan konsep dasar bagi perencanaan pariwisata dapat dilakukan melalui analisis lingkungan yang lingkungan maka cara pengunjung mengakses lokasi yang kritis secara lingkungan dapat dikendalikan, lokasi yang cocok bagi fasilitas wisatawan dapat dipetakan dan lokasi wisata yang rentan terhadap gangguan dijaga keamanannya. Hal penting lain adalah perlunya menetapkan daya dukung berdasarkan daya terima wisatawan dan merupakan satu hal yang diperhatikan pada lingkungan (Inskeep, 1987). Buckley (1996) menghubungkan bahwa sejumlah pengunjung dan perilaku mereka dianggap sebagai isu pengelolaan utama bagi perlindungan cagar alam dunia luas. Pada sistem transportasi yang baik, maka penerapan skema pengelolaan lalu lintas dan
46 Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi VI, Januari - Juni 2009
keterkaitannya dengan program ekonomi pariwisata pelaksana mungkin dapat mengurangi dampak. Coleman’s (1997) melakukan studi mengenai lalu lintas pengunjung di taman nasional North York Moors dengan tujuan mengetahui pandangan mengenai pengunjung, penduduk setempat dan lalu lintas, sistem pengelolaan pengunjung dan lingkungan di taman. Studi juga diinginkan untuk merumuskan skema pengelolaan lalulintas pengunjung yang paling sesuai, sehingga akan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan kendaraan umum. Dari hasil studi untuk mendorong pergantian moda, informasi mengenai menfaat kendaraan umum dan alasan kenapa pengunjung tidak menggunakan kendaraan umum adalah penting (Coleman, 1997). Beberapa instrument aturan telah dirumuskan untuk mengendalikan dampak lingkungan transpotasi. Sebuah tinjauan mengenai instrumen kebijakan ekonomi dan indikator transportasi dilakukan oleh Acutt dan Dodgson (1997). Instrumen ekonomi memasukkan pajak bahan bakar, pajak emisi, pajak cukai kendaraan, pengenaan pajak kemacetan, biaya parkir dan subsidi untuk transportasi umum. Instrumen peraturan di sisi lain, termasuk pembatasan penggunaan kendaraan, pengendalian parkir, perencanaan tataguna lahan, kebisingan kendaraan, tingkat pencemaran, pembangunan jalan, keselamatan, dan kenyamanan lalu lintas. Kesulitan pelaksanaan teknik-teknik ekonomi diakui dan mereka menyarankan bahwa pendekatan ekonomi dapat menjadi pelengkap yang efektif untuk peraturan (Acutt dan Dodgson, 1997). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Transportasi merupakan syarat penting bagi pariwisata, karena karakteristik kunci wisatawan adalah mobilitas. Namun, mobilitas ini telah meningkat secara tajam selama akhir dekade ini, terutama karena adanya kemajuan teknologi dan peningkatan pendapatan bersih. Ketika mobilitas tinggi maka transportasi dengan sendirinya merupakan pelopor utama bagi landasan kepedulian lingkungan. Meskipun peningkatan efisiensi dipertimbangkan, perjalanan dengan pesawat udara masih sebagai pengguna energi besar bila dibandingkan dengan moda transportasi lain berdasarkan jarak/kmnya. Hanya transportasi air khususnya yang berjalan pada lautan terbuka mengkonsumsi lebih banyak energi dari pada angkutan udara.
Namun hal ini sedikit mendapat perhatian karena seluruh jumlah penumpang air relatif kecil dan jarak perjalanan relatif pendek dibandingkan dengan pesawat udara. Saran Berkaitan dengan transportasi wisata, beberapa saran yang perlu dipertimbangkan 1. Hendaknya diciptakan suatu penyelenggaraan yang menyenangkan terutama bagi wisatawan luar negeri dengan suatu sistem pengurangan ongkos, atas dasar pemikiran bahwa mereka akan tinggal di negeri yang bersangkutan untuk jangka waktu tertentu, dengan maksud untuk mengurangi arti daripada jumlah pengeluaran untuk ongkos-ongkos transport dalam proporsinya dengan jumlah pengeluaran seluruhnya, selama mengadakan perjalanan. 2. Agar keringanan-keringanan khusus dalam bidang pariwisata harus diadakan dengan jalan menyajikan konsesi-konsesi biaya (ongkos) bagi wisatawan luar negeri, baik dalam hal pengangkutan maupun penginapan mereka. DAFTAR PUSTAKA Acutt, M.Z. and J.S. Dodgson (1997) Controlling the environmental impacts of transport: Matching instruments to objectives, Transportation Research D, Vol. 2, No.1, 17-33. Bowen, J. (2000). Airline hubs in Southeast Asia: national economic development and nodal accessibility. Journal of Transport Geography 8, 25-41. [BPS} Biro Pusat Statistik 2009. Brohman, J. (1996) New directions in tourism for third world development, Annals of Tourism Research, Vol. 23, No. 1, 48-70. Buckley, R. (1996) Sustainable tourism: Technical issues and information needs, Annals of Tourism Research, Vol 23, No. 1, 925-928. Butler, R.W. (1999) Sustainable tourism: State of the art review. Tourism Geographies 1 (1), 7–25. Carlsson-Kanyama, A. & Linden, A.L. (1999). Travel patterns and environmental effects now and in the future: implications of differences in energy consumption among socioeconomic groups. Ecological Economics 30, 405-417. Coleman, C. (1997) Tourist traffic in English National Parks---An innovative approach to management, The Journal of Tourism Studies, Vol.8, No.1, 2-15.
47 Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi VI, Januari - Juni 2009
Croall, J. (1995) Preserve or destroy: Tourism and the environment, Calouste Gulbenkian Foundation, London. Crouch, G.I. (1994). Demand Elasticities for Short-Haul versus Long-Haul Tourism. Journal of Travel Research 2, 2-7. CTO, 2003. Caribbean Tourism Statistical Report. CTO, Barbados. Culpan, R. (1987) International tourism model for developing economies, Annals of Tourism Research, Vol. 14, 541-552. Eaton, B. & Holding, D. (1996). The evaluation of public transport alternatives to the car in British National Parks. Journal of Transport Geography 4 (1), 55-65. Farrell, B. and D. Runyan (1991) Ecology and tourism, Annals of Tourism Research, Vol. 18, 26-40. Fennell, D. (2003) Ecotourism: An introduction, Routledge, London. Greene, D.L. andWegener,M. (1997) Sustainable transport. Journal of Transport Geography 5 (3), 177–190. Hall, D. (1999). Conceptualising tourism transport: inequality and externality issues. Journalof Transport Geography 7, 181188. Herala, N. (2003) Regulating traffic with land use planning, Sustainable Development, Vol. 11, 91-102. Hobson, J.S.P. and Uysal, M. (1992) Infrastructure: The silent crisis facing the future of transport. Hospitality Research Journal 17 (1), 209–215. Honey, M. (1999) Ecotourism and sustainable development: Who owns paradise? Island Press, Washington DC. Hvenegaard, G. (1994) Ecotourism: A status report and conceptual framework, The Journal of Tourism Studies, Vol. 5, No. 2, 24-35. Inskeep, E. (1987) Environmental planning for tourism, Annals of Tourism Research, Vol. 14, 118-135. Janiæ, M. (1999). Aviation and externalities: the accomplishments and problems. Transportation Research Part D4, 159180. Knight, L.O.P. (1992). Environmentalism and Transport Choices: An Australian Study of Attitudes Towards urban Travel and Transport Energy Use. New Zealand Geographer 48(2), 59-64. Leiper, N. (1990) Tourism Sistims: An Interdisciplinary Perspective. Massey University, Palmerston North, Occasional Paper No 2
Lumsdon, L. (2000). Transport and Tourism: Cycle Tourism – A Model for Sustainable Development? Journal of Sustainable Tourism, 8(5), 361-376. Mowforth, M. and I. Munt (1998) Tourism and sustainability: New tourism in the third world. Routledge, London and New York. Oberdries, M. & Forer, P. (1995). Making sense of tourist movements: an interactive approach for decision support. Presented at the Seventh Annual Colloquium of the Spatial Information Research Centre, Massey University, Palmerston North, New Zealand, 26-28 April 1995. Olsthoorn, X. (2001). CO2 emissions from international aviation: 1950-2050. Journal of Air Transport Management 7, 87-93. Oppermann, M., dan Cooper (1995). A Model of Travel Itineraries. Journal of Travel Research 33(4), 57- 61. Page, S. and L. Lumsdon (eds.) (2004) Tourism and transport: Issues and agenda for the new millennium, Elsevier, Boston. Prideaux, B. (2000). The role of the transport sistim in destination development. Tourism Management 21, 53-63. Raguraman, K. (1997). Estimating the Net Economic Impact of Air Services. Annals of Tourism Research 24(3), 658-674. Rochajat, H. Posisi Transportasi dalam kepariwisataan. 2008. www. Kabarindonesia.com Schafer, A. & Victor, D.G. (1999). Global passenger travel: implications for carbon dioxide emissions. Energy 24, 657-679. Stettler, J. (1997). Sport und Verkehr. Sportmotiviertes Verkehrsverhalten der Schweizer Bevölkerung. Berner Studien zu Freizeit und Tourismus, 36. Tolley, R. dan Turton, B. (eds.) (1995). Transport Sistims, Policy and Planning: A Geographical Approach. Harlow: Longman. Travis, A.S. (1985) Collected papers on leisure and tourism, Center for Urban and Regional Studies, University of Birmingham, Birmingham. WTO, 2004. Tourism Highlights. Edition 2004.
48 Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi VI, Januari - Juni 2009