POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI
SKRIPSI Diajukan untuk me menuhi salah satu persyaratan me mpe roleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun oleh: Dwiki Oktobrian NIM. E1A009106
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM 2013
SKRIPSI POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI Oleh Dwiki Oktobrian E1A009106 Disusun untuk meraih gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada tanggal 21 Februari 2013
Para Penguji / Pembimbing Penguji I / Pembimbing I
Penguji II / Pembimbing II
Penguji III
Dr. H. Kut Puji Prayitno, S.H., M.Hum.
Dr. Noor Aziz Said, S.H., M.S.
Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H.
NIP. 19650829 199002 1002
NIP. 19540426 198003 1004
NIP. 19610527 198702 1001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001
ii
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto, 21 Februari 2013
Dwiki Oktobrian E1A009106
iii
ABSTRAK Kejahatan merupakan permasalahan sosial, terlebih apabila kejahatan tersebut adalah korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Tindak pidana korupsi oleh karenanya perlu ditanggulangi agar statistik kriminalnya menurun. Upaya penanggulangan tersebut dinamakan dengan politik kriminal. Politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia mendapatkan perhatian khusus sejak era reformasi pada tahun 1998. Berbagai peraturan perundang-undangan dibentuk sebagai wujud penyerapan aspirasi masyarakat terhadap tuntutan pemberantasan korupsi, peraturan perundang-undangan tersebut merumuskan upaya penal dan upaya non penal dalam menanggulangi tindak pidana korupsi. Meningkatnya kriminalitas korupsi menunjukan bahwa sebenarnya terdapat permasalahan dalam politik kriminalnya. Penelitian terhadap perumusan upaya penal dan upaya non penal dalam perundang-undangan di bidang korupsi dilakukan dalam rangka menemukan jawaban atas dugaan tersebut. Melalui penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi dilakukan melalui berbagai pembentukan peraturan perundang- undangan. Politik kriminal tersebut masih terfokus kepada upaya penal sehingga mengesampingkan upaya non penal yang sesungguhnya merupakan upaya paling strategis dalam menanggulangi kejahatan. Kata kunci: politiki kriminal dan korupsi.
iv
ABSTRACT Crime is a social problem , especially if the crime is corruption crime which is an extraordinary crime. Corruption therefore need to be addressed in order to decrease crime statistics. Countermeasures efforts is called a criminal policy. Criminal policy corruption crime in Indonesia special attention since the reform era in 1998. Various laws and regulations established as a form of absorption aspirations towards the eradication of corruption charges, the legislation is an attempt to formulate penal and non- penal efforts in tackling corruption. Increased corruption crime shows that there are actually problems in the criminal policy. Research on formulation efforts penal and non- penal efforts in legislation in the field of corruption conducted in order to find answers to these allegations. Through research normative regulatory approach, this study aims to determine the response of criminal policy corruption crime in Indonesia during the reform era. Based on the research note that criminal policy establishment through various legislations. Criminal policy corruption crime are still focused on the efforts that penal non penal override effort which is really a most strategic efforts in countermeasures crime. Keywords : criminal policy and corruption.
v
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI”. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Oleh karena itu, semua kritik dan saran akan diterima dengan ketulusan dan keikhlasan hati. Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, selain dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
2.
Bapak Dr. H. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.
Bapak Dr. Noor Aziz Said, S.H., M.S. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan arahan dan bimbingan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Bapak Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji pada seminar artikel ilmiah dan pendadaran.
5.
Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik yang telah berkenan memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan.
6.
Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7.
Seluruh staf akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
vi
8.
Semua aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
9.
Semua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman khususnya angkatan 2009.
Purwokerto, 21 Februari 2013 Penulis
vii
HALAMAN MOTTO
∑
Proses dan hasil bukanlah sesuatu yang parsial, proses dan hasil ibarat upaya penal dan upaya non penal dalam politik kriminal yang dilaksanakan dengan pendekatan integral berdasarkan asas keseimbangan.
∑
Orang yang pesimis memandang permasalahan sebagai rintangan, sedangkan orang yang optimis me mandang permasalahan sebagai suatu tantangan yang didalamnya pasti atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan keberhasilan.
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………. i HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………………..
ii
SURAT PERNYATAAN……………………………………………………………….. iii ABSTRAK…………………………………………………………………………….…. iv ABSTRACT……………………………………………………..……………………….. v KATA PENGANTAR………………………………………………….……………….. vi HALAMAN MOTTO…………………………………………………………………… viii DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. ix BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………………………………………...……….. 1 B. Perumusan Masalah………………………………………………………………. 6 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………………..... 6 D. Kegunaan Penelitian……………………………………………………………… 6 BAB II: TINJAUAN PUSTAKA A. Poltik Kriminal 1.
Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………… 8
2.
Pendekatan………………………………………………………………….... 13
B. Tindak pidana korupsi 1. Tindak Pidana………………………………………………………………… 21
2. Korupsi……………………………………………………………………….. 28 BAB III: METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian…………………………………………………………………… 33 B. Pendekatan Penelitian…………………………………………………………... 33 C. Bahan Hukum…………………………………………………..………………… 33 ix
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum…………………………………………. 34 E. Metode Analisis Bahan Hukum………………………………………………... 35 BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Peraturan Perundang-Undangan Yang Digunakan Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi Pada Era Reformasi 1. Tap MPR TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme………………………………………………………………… 36 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme………………………………………………………………… 38 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi…………………………………………………………………… 44 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ..………………………………………………………………………...... 59 5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)……..………………………………………………… 64 6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi..………………..……………………….
68
7. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi…………………………………………………………………… 74 B. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi Pada Era Reformasi 1. Upaya Penal………………………………………………………………. 79 2. Upaya Non Penal…………………………………………………………. 84 BAB V: PENUTUP 1. Kesimpulan……………………………………………………………….. 93 2. Saran……………………………………………………………………… 94 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….……... 95 x
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan salah satu dari sekian istilah yang kini telah akrab di telinga masyarakat Indonesia, hampir setiap hari media massa memberitakan berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatur negara baik pegawai negeri ataupun pejabat negara. Dalam kepustakaan kriminologi, korupsi merupakan salah satu kejahatan jenis “white collar crime” atau kejahatan kerah putih. Akrabnya istilah korupsi di kalangan masyarakat telah menunjukkan tumbuh suburnya perhatian masyarakat terhadap korupsi, “white collar crime” mampu menarik perhatian masyarakat karena para pelakunya adalah orang-orang yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang-orang terkenal atau cukup terpandang namun merekalah yang membuat kemelaratan dalam masyarakat. 1 Timbulnya kejahatan jenis seperti ini menunjukan bahwa sudah tidak hanya kemiskinan saja yang menjadi penyebab timbuknya kejahatan, melainkan faktor kemakmuran dan kemewahan merupakan faktor pendorong orang-orang melakukan kejahatan. 2 Edwin Sutherland mengemukakan bahwa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kalangan atas (upper class)
1
Teguh Sulista dan Aria Zurnetti, Huk um Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, ha l 63. 2 J. E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, Alumn i, Bandung, 1979, hal 68 -69.
2
merupakan kejahatan yang tidak kalah merugikannya dari kejahatan yang dilakukan oleh kalangan bawah (lower class). 3 Beberapa pernyataan tersebut ini nampak mulai terbukti di Indonesia, hingga 16 Mei 2012, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa ada indikasi perampokan uang rakyat yang merata di semua instansi pemerintahan lewat perjalanan dinas, ditemukan penyelewengan sebesar 30 – 40 % dari biaya perjalanan dinas 18 triliun selama setahun.
Di Arisp
Nasional RI ditemukan bukti pertanggungjawaban perjalanan dinas sebesar 139 juta rupiah tidak sah dan 275 juta rupiah tidak dapat diyakini kebenarannya. Selain itu, di Badan Nasional Penanggulangan Bencana ditemukan realisasi biaya perjalanan dinas 565 juta rupiah diragukan kebenarannya dan terdapat kelebihan pembayaran perjalanan dinas sebesar 236 juta. Di Kementerian Komunikasi dan Informatika, laporan perjalanan dinas yang terdapat selisih sebesar 99,6 juta rupiah, perjalanan dinas fiktif sebesar 610 juta rupiah. Di Kementerian Sosial ditemukan pengelolaan penerimaan negara bukan pajak belum tertib dan terdapat pungutan 712 juta rupiah, biaya belanja perjalanan dinas 10 Milyar yang tidak didukung dengan bukti yang sah, kemudian pengadaan barang dan jasa tahun 2010 yang tidak hemat sebesar 469 juta rupiah dan yang tidak tepat sasaran 224 juta rupiah, selain itu
3
405 – 417.
Edwin H. Sutherland, White Collar Crime, Rinehart and Winston, New York, 1961, hal
3
ditemukan pula aset tanah senilai 66 Milyar yang belum bersertifikat dan senilai 532 juta rupiah masih bersengketa dengan pihak lain. 4 Tumbuh suburnya korupsi di Indonesia tentu perlu dilakukan upaya penanggulangan yang sangat serius melalui politi kriminal baik melalui upaya penal yang bersifat menanggulangi setelah terjadinya kejahatan (represif), upaya non penal yang bersifat mencegah terjadinya kejahatan (preventif), ataupun gabungan keduanya. 5 Sangat perlu diingat bahwa kini korupsi sudah bukan sekedar kejahatan luar biasa atau “extra ordinary crime”, melainkan korupsi kini telah menjadi kejahatan kemanusiaan atau “crime against humanity”.6 Dalam konteks sejarah, perhatian masyarakat Indonesia terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami episode khusus pada tahun 1998 yang bertepatan dengan reformasi politik di Indonesia. Pada masa itu masyarakat dari berbagai elemen serentak turun ke jalan untuk menuntut perbaikan nasib perekonomian negara karena masyarakat berkeyakinan bahwa penguasa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme 7 sehingga krisis moneter yang terjadi tidak bisa diselesaikan dan berdampak melonjaknya harga-harga barang. Hal tersebut nampak dalam enam tuntutan rakyat dalam reformasi yakni: 1. Penegakan supremasi hukum; 4
Dalam Harian Ko mpas tanggal 16 Mei 2012, Mental Korupsi Sudah Merata. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008, hal 77 – 78. 6 Moh Hatta, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum dalam rangka Penanggulangan Kejahatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal 61. 7 Disampaikan oleh Effendy Choiry, Anggota Komsiis I DPR RI , Sabtu 19 mei 2012 dalam Ko mpas.com, Agenda Reformasi Dikhianati, diunduh tanggal 21 Mei 2012. 5
4
2. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme; 3. Pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya; 4. Amandemen konstitusi; 5. Pencabutan dwifungsi ABRI; 6. Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. 8 Menarik untuk diteliti mengenai politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi, hal ini dikarenakan bahwa selama tiga belas tahun agenda reformasi dijalankan namun tuntutan pemberantasan korupsi tidak mengalami keberhasilan yang signifikan bahkan pelaku-pelaku korupsi saat ini melibatkan para penggerak reformasi pada saat itu. 9 Selain daripada itu, setelah sekian instrumen hukum telah diterbitkan pertama kali berupa Peraturan Penguasa Militer tahun 1957 sampai saat ini tercatat berjumlah sekitar dua puluh undang-undang, peraturan pemerintah / penguasa militer dan penindakan oleh aparat penegak hukum terus dilakukan terhadap para koruptor, namun praktik-praktik Korupsi dalam era reformasi ini tetap marak, masif, dan tidak kalah ganasnya dengan masa tiga puluh tahun Orde Baru memerintah. 10 Dari hal tersebut, nampak terdapat permasalahan dalam perundangundangan pemberantasan korupsi. Permasalahan tersebut dapat berupa permasalahan dalam
rumusan perundang-undangnya atau permasalahan
pelaksanaan perundang-undangnya yang belum optimal. Penelitian ini akan
8
Situs Vivapemuda43a, 6 Tuntutan Reformasi, d iunduh tanggal 23 April 2012. Effendy Choiry, Anggota Komsiis I DPR RI , sabtu 19 mei 2012 dalam Kompas.com, Agenda Reformasi Dikhianati, diunduh tanggal 21 Mei 2012. 10 Moh. Hatta, Op. Cit, hal 198. 9
5
lebih mengkaji aspek perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi, karena perumusan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi nampak belum mampu untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Nampak bahwa prinsip cost benefit principle dalam kriminalisasi tindak pidana korupsi melalui formulasi perundang-undangan belum begitu berhasil. Menurut Ryaas Rasyid, Biaya yang dihabiskan dalam pembuatan satu undang-undang di DPR bisa mencapai Rp 1-2 miliar. 11 Sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, dalam kurun waktu tujuh tahun atau terhitung 2004-2011, negara harus menanggung kerugian Rp 39,3 triliun akibat tindak pidana korupsi. Angka tersebut cukup signifikan jika dikonversi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan total kerugian negara akibat korupsi itu setidaknya dapat digunakan untuk membangun 393 unit rumah atau membangun 311 unit ruang sekolah dasar. Bahkan dapat memberikan 68 juta anak SD sekolah gratis. 12 Moh. Hatta mengungkapkan bahwa ada sekitar dua puluhan undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi, terlihat bahwa politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi nampak lebih mengedepankan sarana penal padahal dalam politik kriminal atau kebijakan kriminal, pada prinsipnya terdapat dua sarana dalam menanggulangi kejahatan yakni sarana penal dan sarana non penal.
dan keduanya harus diintegralkan atau dilaksanakan
11 Jejaringnews.com, Pembuatan Undang-Undang Sering Abaikan Spirit Penghematan, diunduh tanggal 9 nopember 2011. 12 merdeka.co m, Negara Rugi Rp 39 Triliun Akibat Korupsi, diunduh tanggal 4 Desember 2012.
6
dengan
keterpaduan.
Sudarto
mengemukakan
bahwa
tidak
adanya
keterpaduan dalam politik kriminal akan mengakibatkan politik kriminal itu sendiri akan menimbulkan faktor kriminogen (menyebabkan timbulnya kejahatan) dan faktor victimogen (menimbulkan korban kejahatan). 13 B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam pendahuluan maka disusunlah permasalahan: “Bagaimana
politik kriminal penanggulangan
tindak pidana korupsi di Indonesia pasca reformasi?” Mengingat permasalahan tersebut disusun dengan rumusan yang luas, maka perlu adanya perincian yang bersifat membatasi sebagai berikut: 1. Peraturan perundangan apa saja yang digunakan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi pada era reformasi? 2. Upaya apa saja yang digunakan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi pada era reformasi? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui politik kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia pada era reformasi. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan yang meliputi kegunaan teoritis dan kegunaan praktis sebagai berikut:
13
Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal 96.
7
1. Keguanaan Teoritis Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu hukum pidana khusus dalam bidang tindak pidana korupsi. 2. Kegunaan Praktis a.
Sebagai masukan bagi lembaga penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dalam menyusun politik kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi.
b.
Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum pidana khusus yang terkait dengan politik kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
c.
Sebagai salah satu acuan bagi penelitian yang serupa.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Kriminal 1.
Pengertian dan Ruang Lingkup Politik Kriminal Apabila melihat berbagai kepustakaan ilmu hukum pidana dan turunan ilmunya, politik kriminal diistilahlainkan dengan kebijakan kriminal. Politik kriminal mempunyai keterikatan dengan politik sosial, yakni usaha dari masyarakat atau negara untuk
meningkatkan
kesejahteraan warganya. 14 Beberapa pakar hukum pidana baik di tingkat nasional maupun internasional telah mencoba memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan politik kriminal. Menurut Marc Ancel15 , criminal policy is the rational organization of the control of crime by society. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pengertian tersebut menjadi politik kriminal adalah organisasi rational untuk mengontrol kejahatan dalam masyarakat. IS. Heru Permana mengatakan bahwa kebijakan kriminal adalah usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. 16
14
Dalam IS. Heru Permana, 2011, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, ,
hal 1. 15
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebikjakan Hukum Pidana, Cit ra Aditya Bakti, Bandung, hal 2. 16 IS Heru Permana, Op. Cit, hal 9.
9
Pandangan lain disampaikan oleh Hoefnagels 17, bahkan ia memberikan lebih dari satu pengertian daripada politik kriminal. Berbagai pengertian tersebut adalah: a. Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime (politik kriminal adalah organsasi rasional dari reaksi sosial terhadap kejahatan) ; b. Criminal policy is the science of crime prevention (politik kriminal adalah ilmu pengetahuan mengenai pencegahan kejahatan); c. Criminal policy is a policy of designating behavior as a crime (politik krimjnal adalah kebijakan dalam rangga menandai perilaku sebagai suatu kejahatan); d. Criminal policy is a rational total of response to crime (politik kriminal adalah total rasional dari respon terhadap kejahatan). Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan yang mentukan: a.
Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
b.
Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c.
Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilakukan18. Sudarto
membagi pengertian politik kriminal dalam tiga
pengertian. Pertama, dalam pengertian sempit, politik kriminal adalah 17
Dalam Widiada Gunakaya dan Petrus Irianto, 2012, Penanggulangan Tindak Pidana Pendidikan, Alfabeta, Bandung, hal. 10., 18 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 28 – 29.
Kebijakan Kriminal
10
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Kedua, dalam pengertian lebih luas, politik kriminal adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk cara kerja pengadilan dan polisi. Ketiga, dalam pengertian paling luas, politik kriminal adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma- norma sentral dari masyarakat. Selain itu, Sudarto memberikan pengertian secara praktis, menurutnya politik kriminal adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. 19 Menurutnya usaha rasional merupakan konsekuensi logis
karena didalam melaksanakan politik, orang
mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. 20 Politik kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (Social Defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (Social Welfare) dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari dari politik kriminal adalah
perlindungan
masyarakat
untuk
mencapai
kesejahteraan
masyarakat. Hubungan yang demikian diilustrasikan oleh Barda Nawawi Arief dengan skema demikian21:
19
IS. Heru Permana. Op. Cit,, hal 5. Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alu mni, Bandung, hal 153. 21 Dalam IS Heru Permana, Op. Cit, hal 7 20
11
Social Welfare Policy Social Policy
TUJUAN
Social Defence Policy
Penal Criminal Policy Non Penal
Gambar 1.1 Skema Politik Kriminal menurut Barda Nawawi Arief
Dalam skema tersebut, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa perlu adanya pendekatan integral atau integrated approach. Integral merupakan istilah resapan dari bahasa Inggris yang berarti melengkapi.22 Dari skema tersebut, pendekatan integral dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, keterpaduan antara politik kriminal dengan politik sosial, dan kedua, keterpaduan antara sarana penal dan sarana non penal. Dalam keterpaduan pertama, Sudarto mengemukakan bahwa tidak adanya keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial maka akan mengakibatkan politik kriminal itu sendiri akan menimbulkan faktor kriminogen (menyebabkan timbulnya kejahatan) dan faktor victimogen (menimbulkan korban kejahatan). 23 Keterpaduan kedua diperlukan untuk menekan atau mengurangi faktor- faktor potensial untuk tumbuh suburnya kejahatan, keterpaduan ini diharapkan social defence planning benarbenar dapat berhasil. 24
22
John M. Echols dan Hassa Shadily, 1995, Kamus Inggris Indonesia, Gramed ia, Jakarta,
23
Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal 96. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 160.
hal 326. 24
12
Selanjutnya
G.
Peter
Hoefnagel
mengemukakan
bahwa:
“Criminal policy as science of policy is part of larger policy: the law enforcement policy. The legislative and enforcement policy is in turn part of social policy”. 25 Pendapatnya tersebut secara skematis digambarkan sebagai berikut 26 : Social Policy Law Enforce ment Policy Criminal Po licy
Influencing view of society on crime and punishment (mass media)
Criminal law application (practical criminology) ∑
∑ ∑ ∑
Admin istration of criminal justice in narrow sense: ß Criminal legislation; ß Criminal jurisprudence; ß Criminal, proses in wide sense; ß sentencing Forensic psychiatry and psychology; Forensic social work; Crime, sentence execution and policy statistic
Prevention without punishment ∑ ∑ ∑ ∑
Social policy; Co mmunity planning mental helath; Mental health social, wo rk, child welfare; Admin istrative and civil law
Gambar 1.2 Skema Politik Kriminal menurut G.P. Hoefnagels
25
G. Peter Hofnagel da lam W idiada Gunakaya, Op. Cit, hal 18 G. Peter Hoefnagels dalam Barda Nawawi A rief, 2008, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana, Perk embangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, hal 39 & 40. 26
13
Dari skema tersebut, usaha untuk menanggulangi kejahatan dalam politik kriminal dapat dijabarkan melalui: a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing view of society on crime and punishment). 2.
Pendekatan dalam Politik Kriminal Bekerjanya
politik
kriminal
dalam
menanggulangi
suatu
kejahatan dapat dilakukan dengan beberapa strategi atau beberapa pendekatan. Dengam melihat skema yang dirancang oleh Barda Nawawi Arief dan Hoefnagels pada bahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara garis besar upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan dua cara yakni pendekatan penal dan pendekatan non penal. Kesimpulan tersebut didasarkan pada pandangan bahwa pembagian Hoefnagels mengenai pencegahan tanpa pidana dan media massa menurut Barda Nawawi Arief dapat dimasukan dalam kelompok non penal. 27 a.
Pendekatan Penal Pendekatan penal merupakan cara yang dipergunakan dengan memanfaatkan sarana pidana atau sanksi pidana, pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling tua dalam pidana. Dikatakan paling tua karena pendekatan ini menurut Gene Kassebaum umurnya
27
Ibid.
14
setua peradaban manusia itu sendiri, sehingga ia mengatakan bahwa sarana penal merupakan “older philosophy of crime control”.28 Penggunaan sarana pidana berarti mengggunakan upaya paksa yang dimiliki hukum pidana melalui sistem peradilan pidana. Menurut Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. 29 Barda Nawawi Arief berpandangan bahwa sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana ataupun sistem kekuasaan
kehakiman
di
bidang
hukum
pidana,
terpadu
diimplementasikan dalam 4 (empat) sub-sistem kekuasaan, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili / menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi / pelaksanaan pidana. 30 Langkah- langkah operasionalisasi politik kriminal dengan menggunakan sarana penal yang baik, dilakukan melalui: 1) Penetapan kebijakan perundang- undangan (dapat juga disebut kebijakan legislasi) yang didalamnya berisikan penetapan kebijkan mengenai: a) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana (kebijakan kriminalisasi); 28
Dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumn i, Bandung, hal 149. 29 Mardjono Reksodiputro, 1993, Sistem Peradilan Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Huku m pada Fakultas Huku m Un iversitas Indonesia, Jakarta, hal 1. 30 Barda Nawawi Arief, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, hal 9.
15
b) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar (kebijakan penalisasi / kebijakan pemidanaan). 2) Penerapan pidana oleh badan pengadilan (disebut juga kebijakan yudikasi). 3) Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana (disebut juga kebijakan eksekusi). 31 Dalam pendekatan ini, Muladi 32 berpandangan bahwa terdapat dua masalah sentral yakni masalah penentuan: 1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Permasalahan yang pertama adalah masalah yang berkaitan dengan kriminalisasi, menurut Sudarto 33 kiranya diperhatikan hal- hal yang pada intinya sebagai berikut: 1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana
bertujuan
untuk
menanggulangi
kejahatan
dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
31
Widiada Gunakaya, Op. Cit, hal 14. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 160. 33 Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Yayasan Sudarto, Semarang, hal 44-48. 32
16
2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat; 3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil”. (cost – benefit principle); 4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overblsating). Bassiouni34 berpendapat bahwa keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan berbacam faktor, termasuk: 1) Keseimbangan
sarana-sarana
yang
digunakan
dalam
hubungannya dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai; 2) Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari; 3) Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya
dengan
prioritas-prioritas
lainnya
dalam
pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
34
M. Cherif Bassioni, 1973, Substantive Criminal Law, Charles C. Tho mas Publiser, USA, hal 82.
17
4) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan (dipandang dari segi) pengaruh-pengaruhnya yang sekunder. Permasalahan yang kedua merupakan permasalahan yang berkenaan dengan pemidanaan atau yang dalam bahasa Belanda disebut “wordt gestraft”. Istilah pemidanaan merupakan istilah yang berasal dari pidana, istilah pidana sendiri dalam bahasa Belanda disebut “straf”35. Beberapa sarjana mengemukakan pengertian pidana seperti Sudarto yang menyatakan bahwa pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan pada negara pada pembuat delik itu 36 . Muladi berpandangan bahwa unsur- unsur pidana adalah: 1) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); 3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang; 35 36
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 1. Ibid, hal 2.
18
Masih terkait dengan sanksi apa yang sebaiknya dikenakan, perlu sangat diperhatikan bahwa tidak terkendalinya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi yang dipilih dan ditetapkan. Setidaktidaknya perumusan pidana di dalam undang-undang yang kurang tepat dapat menjadi faktor timbul dan berkembangnya kriminalitas 37 . b. Pendekatan Non Penal Dalam politik
kriminal,
upaya
untuk
menanggulangi
kejahatan tidak hanya diperlukan dengan sarana penal namun juga dapat dilakukan dengan sarana non penal. Sarana non penal ini berkaitan dengan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, berbeda dengan sarana penal yang dilakukan setelah terjadinya kejahatan. Barda Nawawi Arief menyampaikan bahwa pendekatan ini memiliki tujuan utama untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian menuurut Barda Nawawi Arief, pendekatan non penal dalam politik kriminal memiliki posisi yang sangat startegis dan memegang posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan, apabila pendekatan ini mengalami kegagalan dalam penggarapannya justru akan berakibat fatal bagi usaha menanggulangi kejahatan. 38
37 38
Ibid, hal 98. Ibid, hal 159.
19
Upaya preventif kejahatan menurut kongres PBB mengenai “the prevention of crime and the treatment of offenders” dilakukan dengan dasar penghapusan
sebab-sebab kondisi-kondisi yang
menyebabkan timbulnya kejahatan, upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang dimikian harus merupakan strategi pokok / mendasar dalam upaya pencegahan kejahatan (the basic crime prevention strategy).39 Selain daripada itu, perlu dipahami bahwa sarana penal memiliki keterbatasan yang telah banyak diungkapkan oleh para sarjana antara lain: 1) Rubin, menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya apakah dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan; 2) Karl O. Christiansen, menyatakan bahwa kita mengetahui pengaruh pidana penjara terhadap si pelanggar, tetapi pengaruhpengaruhnya terhadap masyarakat secara keseluruhan (general prevention) merupakan “terra incognita”, suatu wilayah yang tidak diketahui (unknown territory). 3) S. R. Brody, menyatakan bahwa dari Sembilan penelitian mengenai pemidanaan, lima diantaranya menyatakan bahwa
39
A. Widiada, Op. Cit, hal. 36.
20
lamanya waktu yang dijalani d dalam penjara tampaknya tidak berpengaruh pada adanya penghukuman kembali (reconviction) 4) Bassiouni pernah menegaskan bahwa kita tidak tahu atau tidak pernah tahu secara pasti metode- metode tindakan (treatment) apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap tindakan itu untuk dapat menjawab masalah-masalah secara pasti, kita harus mengetahui sebab-sebab kejahatan dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan yang lengkap mengenai etiologi tingkah laku manusia. 40 Berbagai
ungkapan
tersebut
meninjau
keterbatasan
kemampuan hukum pidana dari sudut hakikat berfungsinya atau bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Dilihat dari kejahatan sebagai masalah sosial, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Faktor penyebab terjadinya kejahatan tersebut sangat kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana. Wajarlah hukum
pidana
mempunyai
keterbatasan
kemampuan
untuk
menanggulangi karena seperti pernah dikemukakan Sudarto bahwa penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan sesuatu gejala (Kuren am Symton) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya 41.
40 41
Widiada Gunakaya, Op. Cit, hal 19 – 22. IS. Heru Permana, Op. Cit, hal 47.
21
Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama politik kriminal. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa konsep dan definisinya masih terlalu lemah sehingga orang cenderung untuk membicarakan pencegahan kejahatan dalam kerangka pendekatan dan model. Secara tradisional, tujuan sistem peradilan pidana bersifat represif dan berkaitan erat dengan pencegahan kejahatan setelah suatu kejahatan terjadi (after on offfence has already occurred). Konsep pencegahan kejahatan sendiri memfokuskan diri pada campur tangan sosial, ekonomi, dan pelbagai area kebijakan publik, dengan maksud mencegah kejahatan sebelum kejahatan dilakukan (to prevent crime before an offence has been committed).42 B. Tindak Pidana Korupsi 1.
Tindak Pidana a. Pengertian Tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata
strafbaarfeit
terjemahan
dalam
kemudian bahasa
diterjemahkan
Indonesia.
dalam
Beberapa
berbagai
kata
yang
dipergunakan untuk menterjemahkan strafbaarfeit oleh sarjana-
42
Ibid, hal 89.
22
sarjana di Indonesia antara lain: tindak pidana 43 , delict44, perbuatan pidana 45 . Menurut P.A.F. Lamintang, pembentuk undang-undang tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “stafbaaar feit”, maka timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut. 46 Dari sekian banyak pandangan mengenai istilah apa yang paling tepat untuk “strafbaar feit”, pembentuk undang-undang akhirnya menyatakan bahwa istilah yang cocok untuk“strafbaar feit” tersebut adalah tindak pidana. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah aspek socio-yuridis, dimana hampir semua perundang-undangan pidana memakai istilah tindak pidana. 47 Berkaitan dengan pengertian tindak piidana, dikenal dua pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis48 . Pandangan
monistis
menjelaskan bahwa didalam pengertian
perbuatan pidana / tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana / kesalahan (criminal responsibility). Sedangkan dalam 43
Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A-B, FH Und ip, Semarang, 1975, hal 31. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun, hal 74. 45 Sudarto, Op. Cit, hal 30. 46 P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Huk um Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 181. 47 Tim Penerjemah Badan Pembinaan Huku m Nasional, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terjemahan Resmi, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 10. Dalam W idiada Gunakaya, Op. Cit, hal 44. 48 Ibid, hal 31 -32. 44
23
pandangan dualistis, memberikan pandangan bahwa dalam tindak pidana hanya terdapat perbuatan yang dilarang (criminal act), dan pertanggungjawaban pidana / kesalahan (criminal responsibility) tidak menjadi unsur tindak pidana. 49 Sarjana yang menganut paham monisme adalah Simons, menurutnya yang dimaksud dengan tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan
sengaja
oleh
seseorang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut, unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana adalah: 1) Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat); 2) Diancam dengan pidana; 3) Melawan hukum; 4) Dilakukan dengan kesalahan; 5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 50 Lain dengan Simons, J. Baumann51 mengatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan. Sedangkan
49
Tongat, Op. Cit, hal 105 -106. P. A. F. Lamintang, Op. Cit, hal 185. 51 Sudarto, Op. Cit, hal 31-32. 50
24
Wiryono Prodjodikoro 52 berpandangan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dipidana. Sarjana yang menganut paham dualisme adalah Moeljatno, menurutnya yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melangggar larangan tersebut. Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut, unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana adalah: 1) Adanya perbuatan (manusia); 2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya Pasal 1 ayat (1) KUHP; 3) Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif). 53 Selain Moeljatno, sarjana lain yang tergolong menganut pandangan dualism adalah Pompe. Menurut Pompe, dalam hukum positif stafbaarfeit tidak lain feit (tindakan) yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. Menurutnya, dalam hukum positif sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana 54 .
52
Dalam Tongat, Op. Cit, hal. 106. Ibid, hal 107. 54 Ibid. 53
25
Jika dicermati secara seksama, terdapat persamaan dalam pandangan monisme dan dualisme. Baik pandangan monisme dan dualisme, keduanya mengharuskan bahwa untuk adanya pidana harus terdapat tindak pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Adapun perbedaannya telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. b. Sifat Melawan Hukum Sifat melawan hukum merupakan unsur yang mendapat perhatian khusus dalam tindak pidana, keberadaan unsur sifat melawan hukum dalam pengertian tindak pidana bahkan tidak terpengaruh terhadap apakah pengertian tersebut dihasilkan oleh sarjana
yang
menganut
aliran
monisme
ataupun
dualisme
sebagaimana dapat dilihat dalam bahasan tindak pidana sebelumnya. Urgensi sifat melawan hukum bertolak dari kenyataan bahwa yang menjadi perhatian hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan tersebutlah yang kemudian dalam hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana. 55 Terdapat dua ajaran mengenai sifat melawan hukum yakni ajaran sifat melawan hukum secara formil dan ajaran sifat melawan hukum secara meteriil.
55
Moeljatno, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Bumi A ksara, Jakarta, ha l. 130.
26
1) Ajaran Sifat Melawan Hukum Secara Formil Dalam ajaran sifat melawan hukum secara formil dikatakan bahwa bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai delik (tindak pidana) dalam undang-undang. 56 Mencermati hal tersebut, terkandung makna bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undangundang. 57 Ajaran ini dalam hukum pidana Indonesia tercermin dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP atau yang lebih dikenal dengan asas legalitas. Ajaran ini memiliki dua pemahaman: a)
Perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan yang diancam pidana.
b) Hal yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan hanyalah dapat dilakukan melalui pencabutan oleh undang-undang (dekriminalisasi secara formil). 58 2) Ajaran Sifat Melawan Hukum Secara Materiil Dalam ajaran sifat melawan hukum secara materiil dikatakan bahwa sifat melawan hukumnya suatu perbuatan tidak hanya didasarkan pada undang-undang saja tapi juga didasarkan pada nilai- nilai yang hidup dalam masyarakat atau hukum tidak 56
Sudarto,Op. Cit, hal 62. Moeljatno, Loc. Cit. 58 Tongat, Op. Cit, hal 196 57
27
tertulis. 59 Moeljatno lebih lanjut mengatakan bahwa dalam ajaran yang materiil, belum tentu suatu perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik itu adalah bersifat melawan hukum, sebab perbuatan itu selain mencocoki perumusan delik juga perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan. 60 Ajaran sifat melawan hukum secara materiil terbagi menjadi dua ajaran lagi, ajaran sifat melawan hukum secara meteriil dalam fungsinya yang negatif dan ajaran sifat melawan hukum secara materiil dalam fungsinya secara positif. Pada fungsi yang negatif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat hanya diakui sebagai hal yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan. Sedangkan pada fungsi yang positif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat diakui sebagai sumber hukum positif. Artinya, sekalipun suatu perbuatan tidak diformulasikan secara positif (dalam peraturan perundang-undangan) sebagai suatu tindak pidana, tetapi apabila perbuatan itu bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka perbuatan itu berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat dipositifkan menjadi suatu tindak pidana 61.
59
Ajaran sifat
melawan
Ibid. Moeljatno dalam W idiada Gunakaya, Op. Cit, hal. 47. 61 Tongat, Op. Cit, 202-203. 60
hukum secara
materiil
28
merupakan ajaran yang kini dianut para sarjana di Indonesia62 dan ajaran sifat melawan hukum materiil yang dianut adalah ajaran sifat melawan hukum secara materiil dan fungsi negatif. 63 2.
Korupsi a.
Pengertian Ditinjau dalam sudut pandang etimologi, korupsi merupakan istilah asing yang diserap dalam bahasa Indonesia, Dalam Webster Studen Dictionary, Korupsi merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi” 64 . Di dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya
62
Sudarto, Op. Cit, hal 66. Ibid. 64 Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 63
hal 6.
29
sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. 65 Pengertian korupsi secara harafiah menurut John M. Echols dan Hassan Shadaly66 , berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut A. I. N. Kramer SR 67 mengartikan kata korupsi sebagai: busuk, rusak atau dapat disuap. Arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan
kata
bahasa
Indonesia,
disimpulkan
oleh
Poerwadarminta bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya 68. Beberapa pengertian dalam sudut pandang etimologi tersebut pada akhirnya nampak bahwa korupsi memiliki pengertian yang sangat luas. Sependapat dengan ini adalah pengertian dari Encyclopedia Americana, dimana korupsi adalah suatu hal yang sangat buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat, dan bangsa. 69 Beberapa
sarjana
mencoba
mendefinisakan
korupsi,
Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmer, menguraikan arti istilah korupsi dari berbagai bidang, yakni yang menyangkut 65
masalah penyuapan,
yang berhubungan dengan
Henry Campbell Blac k, 1990, Blac’k Law Dictionary, 6th Edition, West Publishing, St. Paul M inesota dalam Marwan Effendy, 2012, SIstem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Referensi, Jakarta, hal. 80. 66 Wijo wasito, 1999, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ikhtiar Baru, Jakarta, hal 128. 67 John M. Echols dan Hassan Shadaly, 1997, Kamus Inggris Indonesia, Gramed ia Pustaka Utama, Jakarta, hal 149. 68 W. J. S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 524. 69 Dalam Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 6.
30
manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangut bidang kepentingan umum. 70 Sudarto menjelaskan pengertian korupsi dari unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. 2) Perbuatan itu bersifat melawan hukum. 3) Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan / atau perekonomian negara, atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 71 Selain itu, perlu diperhatikan mengenai pernyataan dari World Bank berdasarkan hasil penelitiannya yang menjelaskan bahwa korupsi adalah “An Abuse Of Public Power For Private Gains” atau penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi. 72 Dalam sudut pandang normatif, pengertian korupsi dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dijelaskan pengertian korupsi melalui unsur- unsur dari tindak pidana korupsi. unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) adalah: 1) Melawan hukum, 70
Dalam Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Ediisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9. 71 Dalam Ibid, hal. 18. 72 World Bank, 1997, World Develop ment Report – The State in Changing World, Washington DC dalam Marwan Effendy, Op. Cit, hal. 81.
31
2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 adalah: 1) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, 3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. b. Sebab-Sebab Tindak Pidana Korupsi Korupsi merupakan suatu perbuatan, oleh karenanya terdapat alasan-alasan atau sebab-sebab mengapa orang melakukan perbuatan korupsi. Andi Hamzah membuat hipotesis mengenai sebab-sebab korupsi sebagai berikut: 1) Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat; 2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia; 3) Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efisien; 4) Modernisasi73 Marwan Effendy turut mengambil bagian dalam menemukan jawaban dari sebab-sebab korupsi, dengan berangkat dari pengertian korupsi yang disampaikan oleh Sheldon S. Steinberg dan David T. 73
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 13 – 23.
32
Ausytern yang menyatakan bahwa korupsi adalah perbuatan tidak etis yang merusak sendi-sendi pemerintahan yang baik maka dapat disimpulan bahwa sebab-sebab korupsi adalah: 1) Minimnya integritas, 2) Sistem karier dan penggajian yang tidak berbasis kinerja serta standar pelayanan minimal, 3) Perilaku masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan. 74 Patrick Glynn, Stephen J. Korbin, dan Moise Naim berpandangan bahwa korupsi disebabkan sebagai akibat dari perubahan politik secara sistematis, sehingga memperlemah atau mengahancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum. 75 Pendapat mereka tersebut nampak terbukti, sebelum reformasi atau ketika orde baru, korupsi menjadi sistemik dan hierarkis. Kemudian dengan jatuhnya orde baru yang kemudian munculnya pengenalan sistem pemilihan umum yang baru di tahun 1999 dan implementasi desentralisasi di tahun 2001 membuat pola korupsi era orde baru menyusut, tetapi dalam perkembangannya justru korupsi dalam skala kecil semakin meningkat karena pemain lama yakni para pejabat kakap sudah absen. Meningkatnya korupsi dalam skala kecil ini melah ternyata telah membuat suatu budaya yang dapat memaklumi keikutsertaan dalam korupsi. 76
74
Marwan Effendy, Op. Cit, hal 83-84. Kimberly Ann Elliot, 1999, Corruption and The Global Economy, Edisi Perta ma, terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal 11 dalam Marwan Effendy, Loc. Cit. 76 Ibid. 75
33
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah normatif, dimana penelitian normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 77 Metedo pendekatan normatif juga dikenal dengan nama penelitian hukum atau legal research. 78 B. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan perundang- undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangai 79 , isu hukum yang ditangani dalam penelitian ini adalah tindak pidana korupsi. C. Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 80 1.
Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari: 77
Soerjono Soekanto dan Sri Pamuji, Penelitian Huk um Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan ket iga, 2011, hal 14. 78 Ronny Hanit ijo Soe mit ro, Metodologi Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 10. 79 Peter Mah mud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal 93. 80 Ibid, hlm.113 -114.
34
a.
Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b.
Peraturan dasar, yaitu batang tubuh UUD 1945;
c.
Peraturan Perundang-undangan:
d.
Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat;
e.
Yurisprudensi;
f.
Traktat;
g.
Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti KUHP (Wetboek van Strafrecht).
2.
Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan UndangUndang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian hukum, hasil karya ilmiah, dan sebagainya.
3.
Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus.
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka atau kepustakaan, yakni kegiatan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti.
35
Penggunaan metode pengumpulan ini merupakan konsekuensi logis dari penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 81 E. Metode Analisis Bahan Hukum Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif yakni analisis yang menekankan pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah. 82 Penyimpulan dalam penelitian ini menggunakan logika deduktif yankni logika yang berangkat dari hal yang bersifat umum ke hal yang bersifat khusus. Penggunaan metode analisis data kualitatif ini merupakan konsekuensi logis dari pengaplikasian penelitian dengan tipe normatif. 83
81 M. Syamsyudin, Operasionalisasi Penelitian Huku m, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007hal 101-102. 82 Ibid, hal 133. 83 Bambang Waluyo, Op. Cit, hal 78.
36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Peraturan perundangan yang digunakan untuk me nanggulangi tindak pidana korupsi pada e ra reformasi Semenjak era reformasi berjalan di Indonesia pada tahun 1998, ada banyak peraturan perundang- undangan yang dirumuskan dalam rangka menanggulangi tindak pidana korupsi. Perumusan peraturan perundangundangan ini merupakan manifestasi aspirasi masyarakat dalam tuntutan reformasi, salah satu tuntutan reformasi tersebut adalah pemberantasan korupsi. Hingga tahun 2013, terhitung sudah empat belas tahun masyarakat Indonesia merasakan reformasi dan dari empat belas tahun tersebut sudah pula negara ini merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan untuk memenuhi harapan masyarakat Indonesia yang gerah akan predikat negara korup. 1.
TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotis me TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang ditetapkan pada tanggal 13 Nopember 1998 merupakan tindak lanjut atas ketidaksesuaian lagi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum mengenai tindak pidana korupsi. Dikatakan tidak sesuai lagi karena setelah diberlakukan selama 28 (dua puluh delapan)
37
tahun berlaku ternyata telah terjadi perkembangan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara dengan para pengusaha. 84
Sebuah Aide Memorie Bank Dunia yang
diterbitkan pada Oktober 1998 menyatakan bahwa benar terjadi korupsi pada proyek-proyek di Indonesia yang didanai Bank Dunia dan dana bantuan
dari
lembaga- lembaga
internasional
lainnya
sehingga
disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia sudah melembaga. 85 Dalam konsideransnya ada dua pertimbangan pokok lahirnya TAP MPR ini: a) Bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggara negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional; b) Bahwa dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat negara dan mantan pejabat negara serta keluarganya yang diduga berasal dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
84 Ermasyarah Djaja, 2009, Me mberantas Korupsi bersama KPK, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9. 85 Dalam Artidjo Alkostar, 2008, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 85.
38
TAP MPR ini bertujuan untuk memfungsikan secara proporsional dan benar lembaga- lembaga negara yang ada, sehingga penyelenggaraan negara dapat berlangsung sesuai dengan UUD 1945. Penyelenggara negara pada lembaga- lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsinya dengan baik dan bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara dengan sikap jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. 86 Dari TAP MPR ini, lahirlah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999. 2.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotis me. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disahkan pada tanggal 19 Mei 1999, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa undang-undang ini dirumuskan karena undang-undang ini diamanatkan secara langsung oleh TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam undang-undang ini sangat rinci merumusakan fokus upaya tata kelola negara yang bebas dari KKN antara lain melalui definisi penyelenggara negara, penyelenggaraan negara yang bersih,
86
Ermansyah Djaja, Op. Cit, hal 16 – 17.
39
korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam Pasal 1 secara berututan 87 . Adapun bunyi Pasal 1 tersebut adalah berikut: Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. 3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. 4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. 5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Selain itu, undang-undang ini dalam Pasal 2 nya secara tegas merumuskan siapa-siapa saja yang terkategori sebagai penyelenggara negara, adapun bunyi pasal 2 tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 2 Penyelenggara Negara meliputi: 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
87
Servas Pandur, 2011, Testimoni Antasari Azhar Untuk Hukum dan keadilan, Laras indra Semesta, Jakarta, hal. 365.
40
7.
Pejabat lain yang memilki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang ini mewajibkan kepada penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan kekayaan dalam rangka pencegahan praktek KKN bagi penyelenggara negara. Kewajiban pemeriksaan kekayaan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5. Pasal 5 Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk: 1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya; 2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; 3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat;
Selanjutnya pelaksanaan kewajiban pemeriksaan kekayaan bagi penyelenggara negara dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Undang-undang ini memungkinkan untuk adanya peluang peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari KKN. Peluang tersebut diberikan undang- undang ini dalam Pasal 8, kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) peran serta masyarakat diwujudkan dalam beberapa bentuk sebagaimana bunyi pasal tersebut sebagai berikut: Pasal 9 (1)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk: a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara;
41
b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; c. Hak menyampaikan suatu saran dan pendapat secara bartanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan d. Hak untuk memperoleh pelrindungan hukum dalam hal: 1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam bentuk a, b, dan c; 2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang
Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dalam melaksanakan bentuk-bentuk peran serta masyarakat tersebut dengan ketentuan melakukan pemberitahuan baik secara tertulis maupun lisan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi yang berwenang. Agar undang-undang ini dapat dijalankan sebagai mestinya, undang-undang ini mengamanatkan kepada Presiden untuk membentuk Komisi Pemeriksa. Komisi Pemeriksa yang dimaksud adalah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) KPKPN merupakan lembaga independen yang didirikan oleh Presiden sehingga oleh karenanya KPKPN bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. Fungsi KPKPN diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa KPKPN berfungsi
42
untuk
mencegah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam
penyelenggaraaan negara. kedudukan KPKPN sendiri berada di ibukota negara. Terkait dengan stuktur organisasinya, KPKPN terdiri dari terdiri dari seorang ketua merangkap anggota dan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang Anggota yang terbagi dalam 4 (empat) Sub Komisi yang terdiri dari: a) Sub Komisi Eksekutif; b) Sub Komiis Legislatif; c) Sub Komisi Yudikatif; dan d) Sub Komisi Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah. Tugas dan wewenang KPKPN diatur dalam Pasal 17 UU No. 28 Tahun 1999, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa KPKPN mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan penyelenggara negara. pemeriksaan tersebut dilakukan sebelum, selama, dan sesudah penyelenggara negara menjabat. Bentuk tugas dan wewenang yang dimiliki KPKPN adalah sebagai berikut: a) Melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara Negara; b) Meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
43
c) Melakukan Penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan; d) Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk Penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan; e) Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga
meminta pejabat yang
berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari undang-undang ini, kemudian lahirlah empat peraturan pemerintah yakni: Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1999 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pengangkatan Serta Pemberhentian
Anggota
Komisi Pemeriksa,
Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1999 tentang
Tata Cara
Pemantauan Dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Komisi Pemeriksa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang
44
Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan undang-undang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam considerans Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dinayatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat
sehingga
perlu
diganti
dengan
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Sisi penting Undang-Undang ini adalah mengakui bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan risiko korupsi yang terjadi selama in di Negara RI adalah: a) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; b) menghambat pertumbuhan dan kelangsungan negara pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. 88
88
Ibid , hal 366.
45
Dalam undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang bersifat fundamental, diantaranya adalah sebagai berikut: a) Perumusan Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi dalam undang- undang ini dirumuskan dalam dua kelompok yakni: 1) Kelompok tindak pidana dalam Bab II yang berjudul Tindak Pidana Korupsi yang dimulai dari Pasal 2 hingga Pasal 20; dan 2) Kelompok tindak pidana dalam Bab II yang berjudul Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi yang dimulai dari Pasal 21 hingga Pasal 24. Tindak pidana korupsi dirumuskan dalam berbagai macam bentuk, dalam undang-undang ini hanya dibahas dua bentuk yakni kerugian keuangan negara dan gratifikasi atau pemberian hadiah karena bentuk
lainnya
seperti penyuapan,
penggelapan,
dan
sebagainya sudah diubah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahyun 1999 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi dalam bentuk kerugian keuangan negara dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,…” Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa terdapat tiga unsur dalam tindak pidana korupsi yakni:
46
1) Melawan hukum; 2) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; 3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Berkaitan dengan unsur melawan hukum, penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan secara tegas bahwa melawan hukum dalam undang-undang ini adalah melawan hukum secara formil dan materiil. Adapun bunyi penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah berikut: “Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Ketentuan
perumusan
ini
merupakan
ketentuan
yang
menguntungkan bagi Penuntut Umum karena mempermudah dalam menjerat terdakwa karena tidak perlu membuktian bahwa perbuatan yang didakwakan telah melanggar ketentuan pasal yang mana. Dalam perkembangannya, ketentuan sifat melawan hukum materiil berhenti diterapkan sejak tahun 2006 karena ketentuan ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konsitusi karena digugat oleh Ir. Dawud Djatmiko dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006. Peristiwa
digugatnya
perumusan
tersebut
nampaknya
merupakan suatu kewajaran karena ajaran sifat melawan hukum materiil yang dianut di Indonesia adalah ajaran sifat melawan hukum
47
secara materiil dalam fungsi negatif. 89 Sedangkan perumusan penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut menganut ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsi yang positif. Berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, nampak bahwa unsur ini merupakan tujuan dari korupsi. Istilah “memperkaya” sebagai suatu unsur (bestanddeel) merupakan istilah yang baru dalam hukum pidana di Indonesia mengingat bahwa dalam KUHP tidaklah dikenal istilah demikian. 90 Secara
harafiah,
istilah
“memperkaya”
mengandung
makna
mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya), pengertian istilah “memperkaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya. 91 Berkaitan dengan unsur terakhir yakni dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, undang-undang ini memberikan makna dalam penjelasan dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
89
Sudarto, Loc. Cit. Andi Hamzah, 2005, Pe mberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Rajawali Press, Jakarta, hal 174. 91 Ibid, hal 174 – 175.. 90
48
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tindak pidana formil adalah tindak pidana yang telah dianggap terjadi atau selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang. 92 Konsekuensi logis dari klasifikasi tindak pidana korupsi menjadi tindak pidana formil dapat dilihat dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
Pengertian korupsi dalam bentuk kerugian keuangan negara juga dirumuskan dalam Pasal 3. Pasal 3 “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Dari rumusan pasal tersebut, diketahui beberapa unsur dalam pengertian tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3, adapun unsur-unsur dalam Pasal 3 tersebut adalah sebagai berikut: 1) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,
92
Tongat, Op. Cit, hal 118 – 119.
49
3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perumusan dalam ketentuan Pasal 3 ini memiliki perbedaan dengan perumusan dalam ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1). Perbedaan pertama dalam Pasal 3 ini adalah tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum secara eksplisit, unsur sifat melawan hukum dalam pasal ini lebih bersifat implisit dimana apabila semua unsur dalam pasal ini dapat dipenuhi maka hal tersebut secara otomatis telah membuktikan adanya sifat melawan hukum. Logika yang demikian pada hakikatnya mudah dipahami oleh karena setiap tindak pidana pada hakikatnya selalu dianggap bersifat melawan hukum, dimana justru karena perbuatan itu dianggap bersifat melawan hukum maka perbuatan itu dirumuskan sebagi perbuatan pidana. 93 Perbedaan kedua dalam perumusan Pasal 3 ini adalah pencantuman unsur “menguntungkan”, berbeda dengan perumusan dalam Pasal 2 ayat (1) yang mencantumkan unsur “memperkaya”. Kedua perbedaan ini menunjukan peluang kemudahan bagi Penuntut Umum karena kedua unsur tersebut relatif lebih mudah dibuktikan, dimana unsur pertama tidak perlu membuktikan sifat melawan hukumnya perbuatan dan unsur kedua tidak perlu membuktikan apakah ada peningkatan harta kekayaan. Dalam prakteknya, perumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
93
Ibid, hal 214.
50
merupakan perumusan yang paling banyak diterapkan dalam formulasi surat dakwaan oleh penuntut umum dimana “semestinya” Pasal 2 ayat (1) dikualifikasikan sebagai dakwaan primair dan pasal 3 dikulifikasikan sebagai dakwaan subsiadair. 94 Pengertian korupsi dalam bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi dirumuskan dalam Pasal 13. Pasal 13 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Dari rumusan tersebut nampak bahwa unsur- unsur korupsi dalam bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi adalah: 1) Setiap orang; 2) Memberi hadiah atau janji; 3) Kepada pegawai negeri; 4) Dengan mengingan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan pegawai negeri yang bersangkutan; atau oleh pemberi hadiah atau janji melekat pada jabatan atau kedudukan pegawai negeri tersebut. 95
b) Ancaman Pidana 94
Andi Hamzah, Op. Cit, hal 191. Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi Dan Teknik Korupsi: Mengetahui Untuk Mencegah, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal 30. 95
51
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dirumuskan beberapa perubahan dalam ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi. Dalam undang-undang ini dikenal ancaman pidana mati sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) yang bunyinya sebagai berikut: Pasal 2 (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Istilah “keadaaan tertentu” tersebut diberikan makna dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Dengan adanya ancaman pidana mati ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan undang-undang yang paling keras dan berat di ASEAN. 96 Dalam perkembangannya, penjelasan ini dinyatakan tidak berlaku karena Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah merumuskan baru penjelasan pasal tersebut. Perubahan ancaman pidana selain ancaman pidana mati adalah ancaman pidana minimum baik untuk pidana penjada ataupun denda, 96
Ibid, hal 73.
52
konsep ancaman pidana minimum ini merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam KUHP. Menurut Barda Nawawi Arief, rumusan ancaman pidana minimum ini terdapat kekurangan yakni tidak merumuskan pedoman pemidanaan untuk menerapkan ancaman pidana minimum ini. Seharusnya undang-undang khusus di laur KUHP membuat aturan tersendiri untuk penerapannya, karena ini merupakan konsekuensi logis dari Pasal 103 KUHP. 97 Tanpa adanya pedoman pemidanaan pidana minimal ini maka tidak dapat ditentukan apakah pidana minimal dapat diperingan atau dapat diperberat. Kejanggalan lain nampak dalam pola pidana minimalnya, ada delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20 tahun penjara dan pidana minimalnya pidana 4 tahun penjara seperti dalam Pasal 2 dan Pasal 12. Sedangkan ada delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20 tahun penjara namun ancaman pidana minimalnya 1 tahun penjara seperti dalam Pasal 3. Padahal untuk delik lainnya, pidana minimal 1 tahun diancam dengan pidana maksimal 5 tahun penjara seperti dalam Pasal 9 dan Pasal 11. 98 Barda Nawawi Arief juga
mengkritik
konsep
sistem
perumusan kumulatif dan sistem perumusan kumulatif alternatif dalam ancaman pidana undang-undang ini. Menurutnya konsep yang dipergunakan tidaklah jelas karena konsep tersebut menimbulkan pertanyaan sederhana yang paling mendasar yakni mengapa delik 97
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Huk um Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, hal. 149. 98 Ibid, hal 150
53
korupsi berupa memperkaya diri dalam Pasal 2 diancam dengan pidana secara kumulatif sedangkan menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 diancamn dengan pidana secara kumulatif alternatif. Padahal kedua delik ini ancaman pidana maksimumnya sama dan bobot / kualitas deliknya juga sama. 99 Menurutnya secara teoritis, delik yang diancam dengan pidana kumulatif lebih berat daripada yang diancam dengan kumulatif alternatif. Ini berarti pembentuk undang-undang menganggap delik memperkaya
diri
dipandang
lebih
berat
daripada
delik
menyalahgunakan kewenangan. Padahal dilihat dari sudut pandang masyarakat dan sudut pandang hakikat korupsi sebagai delik jabatan, perbuatan menyalahgunakan kewenangan dirasakan lebih berat atau lebih jahat daripada memperkaya diri atau setidak-tidaknya kedua delik tersebut sama berat atau sama jahatnya. Patut perlu dicatat pula menurutnya, bahwa konsep kumulatif mengandung kelemahan karena bersifat imperatif dan kaku apabila dilihat dari sudut pandang kebijakana operasionalisasi pidana. 100 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembentuk undang-undang masih belum tepat merumuskan sanksi pidana dalam tindak pidana korupsi sehingga wajar apabila pada era reformasi ini tindak pidana korupsi masih merajalela. Sebagaimana dikatakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa tidak terkendalinya 99
Ibid. Ibid, 150 – 151.
100
54
perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi yang dipilih dan ditetapkan. Setidak-tidaknya perumusan pidana di dalam undangundang yang kurang tepat dapat menjadi faktor timbul dan berkembangnya kriminalitas. 101 c) Korporasi Menjadi Subjek Undang-undang
pemberantasan
tindak
pidana
ini
memungkinkan dilakukannya pemidanaan tidak hanya untuk orang (naturlijk person) saja, melainkan juga korporasi. Korporasi yang dirumuskan dalam undang-undang ini pun tidak dibatasi bagi korporasi yang berbadan hukum (recht person) saja melainkan pula korporasi yang tidak berbadan hukum sebagaimana undang-undang ini merumuskan pengertian korporasi dalam Pasa 1 angka 1: “Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Adapun
ketentuan
dalam
undang- undang
ini
yang
memungkinkan dilakukannya pemidanaan terhadap suatu korporasi terdapat dalam Pasal 20 ayat (1): Pasal 20 (1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
101
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc. Cit..
55
Kemudian apabila korporasi ini dituntut pidana maka yang menurut Pasal 20 ayat (3), yang mewakili korporasi tersebut adalah pengurusnya. Pasal 20 (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Terkait dengan pidana apa yang dijatuhkan bagi korporasi yang
melakukan tindak pidana, korporasi tersebut dikenai pidana
berupa denda yang besarnya sesuai dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 20 ayat (7). Pasal 20 (7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Mengenai
pemidaan
terhadap
korporasi,
Muladi
menyampaikan bahwa pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executing officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutus (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima oleh korporasi tersebut. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan. 102
102 Muladi, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, dalam Jurnal Huku m Pidana dan Kriminolog, Volu me 1/No.1/1998, hal 9, dalam Marwan Effendy, 2012, Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana), Referensi, Jakarta, hal. 87.
56
d) Peran Serta Masyarakat Peran serta masyarakat yang diatur dalam undang-undang ini diatur secara khusus dalam BAB V yang terdiri dari Pasal 41 dan Pasal 42. Masyarakat diberikan peluang oleh undang-undang ini untuk berperan serta, adapun bentuk peran serta tersebut diatur dalam Pasal 41 ayat (2). Urgensi diakomodirnya peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Deklarasi Manila yang dihasilkan oleh “The Asian Regional Ministerial Meeting of Transnational Crime” pada 23 – 25 Maret 1998, urgensi peran serta masyarakat dalam deklarasi tersebut adalah untuk melibatkan peran masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi, khususnya dalam mengembangkan tindakan pencegahan dan pengawasan
yang
memajukan “a culture of accountability and transparency” atau budaya pertanggungjawaban dan keterbukaan. 103 Adapun bentuk peran serta masyarakat dalam udang-undang ini merupakan bentuk peran serta yang mirip diatur dalam Pasal 9 ayat
(1)
Undang-Undang
Nomor
28
Tahun
1999
tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Pasal 41 ayat (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk : a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak
103
Dalam Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
57
c.
d.
e.
pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : 1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; 2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Berbeda dengan ketentuan peran serta masyarakat dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, peran serta masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memberikan amanat bagi pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berjasa membantu upaya menanggulangi tindak pidana korupsi dimana ketentuan tersebut dapat dilihat dalam pasal 42 ayat (1): Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Peran serta serta pemberian penghargaan tersebut selanjutnya diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
58
e) Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Agar undang-undang ini dapat dilaksankan sebagaimana mestinya, pembentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan agar dibentuk lembaga baru yang dinamakan dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. amanat ini termaktub dalam Pasal 43, dimana dalam Pasal 43 ayat (2) dinyatakan bahwa Komisi tersebut mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi
dan supervisi,
termasuk
melakukan
penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan. Pasal 43 (1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disahkan pada tanggal 16 Agustus 1999. Melihat ketentuan dalam Pasal 43 ayat (2) tersebut nampak bahwa dengan hadirnya Komisi yang dimaksud akan merubah sistem peradilan pidana, karena selama ini penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh polisi sedangkan penuntutan dilakukan oleh jaksa. Dengan kata lain, hadirnya Komisi tersebut akan menghadirkan pula sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi.
59
4.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pe rubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disahkan pada tanggal 21 Nopember 2001, undang-undang ini merubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dalam considerans menimbang huruf b dinayatkan bahwa perubahan undang-undang dilakukan untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak- hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Beberapa perubahan secara mendasar dalam memberantas tindak pidana korupsi dilakukan dalam undang-undang ini. Perubahan pertama adalah pengkualifikasian tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) karena tindak pidana korupsi dipandang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas yang dilakukan secara sistematis. 104 Kualifikasi korupsi sebagai tindak pidana luar biasa berimplikasi bahwa penanggulangan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara luar biasa pula, sebagaimana dinyatakan dalam considerans menimbang huruf a yang menyatakan: “bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah 104
Marwan Effendy, Op.Cit, hal 89.
60
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.” Perubahan kedua dalam undang-undang ini adalah perumusan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, bentuk korupsi hanya disebutkan kerugian keuangan negara, sedangkan dalam undang-undang ini bentuk-bentuk korupsi selain kerugian keuangan negara adalah sebagai berikut 105 : a) Tindak pidana korupsi penyuapan, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2); b) Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pembangunan, leveransir, dan rekanan. Diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2); c) Tindak pdiana korupsi penggelapan, diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; d) Tindak pidana korupsi kerakusan (knevelarij), daitur dalam Pasal 12 huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf I; e) Tindak pidana korupsi tentang Gratifikasi, diatur dalam Pasal 12 B. Perubahan ketiga adalah dimungkinkannya penerapan pembuktian terbalik, dalam Penjelasan Umum Paragraf kedua Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa permbuktian terbalik adalah pembuktian
yang dibebankan
kepada
terdakwa.
Andi
Hamzah
berpandangan bahwa undang- undang ini merumuskan dua jenis ketentuan pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik jenis pertama 105
Dalam Surach min dan Suhandi Cahaya, Op. Cit, hal 18 – 30.
61
menyangkut pemberian gratifikasi yang nilainya diatas Rp. 10.000.000,(sepuluh juta rupiah).106 Jenis pembutkian terbalik ini dapat dilihat Pasal 12 B ayat (1). Pasal 12 B (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Pembuktian terbalik jenis kedua menyangkut perampasan harta benda terdakwa yang diperoleh setelah melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan, sehingga harta yang diperoleh sesudah melakukan perbuatan korupsi yang dibuktikan dengan pembuktian biasa, dianggap diperoleh juga dari perbuatan korupsi sampai dibuktikan sebaliknya. 107 Jenis kedua pembutkian terbalik ini dapat dilihat Pasal 37 A. Pasal 37 A (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
106 107
Andi Hamzah, Loc. Cit. Ibid, hal 74 -75.
62
Dalam Penjelasan Umum Paragraf Ketujuh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan bahwa pembuktian terbalik ini perlu dirumuskan sebagai ketentuan yang bersifat premium remedium dan prevensi khasus. Premium remidium merupakan kebalikan dari ultimum remidium, dimana apabila ultimum remedium memandang pidana sebagai obat yang baru akan digunakan manakala obat diluar hukum pidana sudah tidak efektif lagi digunakan108 , sehingga dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa premium remidium memandang pidana sebagai obat pertama dalam menghadapi tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus mengandung makan bahwa pidana bertujuan agar si terpidana berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. 109 Perubahan keempat dalam undang-undang ini adalah perubahan penjelasan keadaan tertentu yang mengakibatkan terdakwa dapat dijatuhi pidana mati. Perubahan tersebut tercantum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2). Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Perubahan kelima dalam undang-undang ini berkaitan dengan alat bukti yang terkait dengan petunjuk, petunjuk merupakan salah satu jenis alat bukti yang sah yang dianut dalam Pasal 184 (1) KUHAP. Pengertian 108 109
Tongat, Op. Cit, hal 26. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 18.
63
petunuuk sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 188 ayat (1) adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dalam Pasal 188 (2) KUHAP pun diatur bahwa alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari keterangan ahli, surat, dan keterangan terdakwa. Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merubah ketentuan ini, dengan adanya ketentuan ini mengakibatkan perubahan ketentuan darimana saja alat bukti petunjuk diperoleh khusus untuk perkara tindak pidana korupsi. Pasal 26 A Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Perubahan
keenam
dalam
undang-undang
ini
adalah
dimungkinkannya bagi negara untuk mengajukan gugatan perdata, gugatan perdata ini dilakukan ketika masih ada harta benda milik terpidana yang berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenai
64
perampasan. Perampasan merupakan salah satu jenis pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 38 C. Pasal 38 C Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Perubahan
ketujuh
dalam
undang- undang
ini
adalah
dihapuskannya ketentuan ancaman minimum pidana baik pidana penjara ataupun pidana denda, penghapusan ketentuan ini hanya dibatasai pada tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Dalam Penjelasan Umjum Paragraf Kedelapan dijelaskan bahwa tujuan dari dirumuskannya ketentuan
ini adalah
untuk
menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil. 5.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation
Convention
Against
Corruption,
2003
(Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) Pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Pemerintah
Republik
Indonesia
telah
ikut
menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi yang diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003. Tiga tahun
65
setelahnya, pada tanggal 18 April 2006 konvensi ini diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Ratifikasi konvensi ini dipandang perlu karena selama ini pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia melalui peraturan perundangundangan sejak tahun 1957 tetap saja belum efektif dan dipandang belum memadai karena belum adanya kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi. Sebagaimana diungkapkan oleh Andi Hamzah bahwa kekurangan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 adalah belum diaturnya ketentuan masalah kerjasama internasional dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, kerja sama tersebut termasuk pula pendidikan dan pelatihan para penegak hukum yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 110 Dengan diratifikasinya konvensi ini, maka terbukalah jembatan antara sistem hukum yang berbeda-beda dari masing-masing negara terkait dengan tindak pidana korupsi yang pelakunya melarikan diri ke luar negeri dan hasil korupsinya diinvestasikan ke luar negeri pula. Draft Konvensi ini dirancang oleh Ad Hoc Committee (Komite Ad Hoc) yang dibentuk oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam jangka waktu dua tahun. Konvensi tersebut miliki beberapa tujuan, antara lain:
110
Andi Hamzah, Op. Cit, hal 219.
66
a) Meningkatkan dan memperkuat upaya-upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif; b) Meningkatkan, internasional
memfasilitasi, dan
bantuan
dan teknis
mendukung dalam
kerja
pencegahan
sama dan
pemberantasan korupsi, termasuk dalam pengembalian aset; c) Meningkatkan integritas, akuntabilitas, dan pengelolaan yang baik urusan-urusan publik dan kekayaan publik. Arti penting ratifikasi konvensi ini dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006,
arti penting tersebut
adalah bukti dari komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah: a) Untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset basil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri; b) Meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik; c) Meningkatkan
kerja
sama
internasional
dalam
pelaksanaan
perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum; d) Mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
67
bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan e) Harmonisasi
peraturan
perundang-undangan
nasional
dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini. Konvensi ini diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2006 dengan syarat
(reservation) terhadap Pasal 66 ayat (2) yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa. Dalam persyaratan tersebut dinyatakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat ketentuan Pasal 66 ayat (2) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (2) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan para Pihak yang berselisih. Adapun isi dari Pasal 66 ayat (2) konvensi tersebut adalah sebagai berikut: Article 66 Settlement of disputes 2. Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation or application of this Convention that cannot be settled through negotiation within a reasonable time shall, at the request of one of those States Parties, be submitted to arbitration. If, six months after the date of the request for arbitration, those States Parties are unable to agree on the organization of the arbitration, any one of those States Parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in accordance with the Statute of the Court.
68
Pasal 66111 Penyelesaian sengketa 2. Sengketa antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan melalui perundingan dalam waktu yang wajar wajib, atas permintaan salah satu Negara Pihak, diajukan ke arbitrase. Jika dalam waktu enam bulan setelah permintaan pengajuan ke arbitrase, Negara-Negara Pihak itu tidak dapat bersepakat mengenai struktur arbitrase, salah satu Negara Pihak dapat mengajukan sengketa itu kepada Mahkamah Internasional dengan permintaan sesuai dengan Statuta Mahkamah Internasional. 6. Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi Undang-undang ini merupakan undang-undang yang dimanatkan langsung oleh Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) diamanatkan oleh Pasal 43 ayat (1) untuk didirikan dalam waktu paling lambat dua tahun setelah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 resmi disahkan. Pada prakteknya, komisi ini baru bisa berdiri tiga tahun kemudian dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 27 Desember 2002. Penting untuk dipahami bahwa alasan terpenting mengapa KPK berdiri sebagaimana dalam considerans menimbang huruf b, bahwa dalam considerans menimbang huruf b tersebut dinyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak 111
Terjemahan diambil dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2006, Kumpulan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Pertama, hal 83. Diunduh dari kpk.go.id
69
pidana korupsi. Adapun lembaga pemerintah yang dimaksud adalah POLRI dan Kejaksaan. Tugas KPK dirumuskan dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002, adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 6 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Agar dapat melaksanakan kelima tugas tersebut, KPK diberikan beberapa wewenang, untuk dapat melaksanakan tugas pertama yakni koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK diberikan wewenang yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 32 Tahun 2002. Pasal 7 Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
70
Untuk dapat melaksanakan tugas kedua yakni supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK diberikan dua wewenang: a)
Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Wewenang ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002;
b)
Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Wewenang ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002. Terkait dengan wewenang kedua, KPK dapat menjalankannya
dengan beberapa alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU No. 30 Tahun 2002. Pasal 9 Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
71
Untuk dapat melaksanakan tugas ketiga yakni melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan, penuntutan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c) Menyangkut kerugian negara paling sedikit rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Tiga wewenang tersebut diatur dalam Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002, dengan demikian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang tidak memenuhi keadaan yang dimaksud Pasal 11 tersebut dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Kemudian, pembentuk undang-undang juga memberikan 10 (sepuluh) wewenang tambahan agar KPK dapat melaksanakan tugas ketiganya. Wewenang tambahan tersebut diatur dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002. Pasal 12 Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
72
d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang h. dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; i. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; j. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Untuk dapat melaksanakan tugas keempat yakni melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, KPK diberikan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2002. Wewenang tersebut adalah sebagai berikut: a) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara; b) menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; c) menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; d) merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; e) melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
73
f)
melakukan
kerja
sama
bilateral
atau
multilateral
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dan untuk dapat melaksanakan tugas kelima, yakni melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara, KPK diberikan beberapa wewenang sebagimana diatur dalam Pasal 14 UU No. 30 Tahun 2002. Adapun beberapa wewenang tersebut adalah: a) Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; b) Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c) Melaporkan kepada presiden republik indonesia, dewan perwakilan rakyat republik indonesia, dan badan pemeriksa keuangan, jika saran komisi pemberantasan korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan. Masih
berbicara
kewenangan,
pembentuk
undang-undang
ternyata tidak hanya memberikan wewenang, melainkan juga tidak memberikan wewenang kepada KPK. Wewenang yang tidak diberikan KPK adalah wewenang mengelurkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah SP3. Ketentuan ini nampak dalam pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002. Dilihat dalam sudut pandang hukum acara pidana, ketidakwenangan ini merupakan suatu penyimpangan dari Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang
74
mengatur penghentian penyidikan dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP yang mengatur penghentian penuntutan. 7.
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan pengadilan baru dalam kekuasaan kehakiman atau yudikatif. Pada mulanya, pengadilan ini muncul berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum Pasal 53 tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Bab Kekuasaan Kehakiman karena pengadilan khusus pada hakikatnya hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri. Karena landasan hukum yang tidak kuat tersebut, pembentuk undang-undang akhirnya merumuskan dan mengesahkan landasan hukum pengadilan tipikor, landasan hukum tersebut adalah UndangUndang Nomor 46 tahun 20009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dengan lahirnya undang-undang ini, semakin melengkapi jajaran penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi. Pengadilan tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
75
korupsi termasuk yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia. Kewenangan terhadap tindak pidan korupsi yang dilakukan oleh WNI di luar wilayah negara RI merupakan penerapan dari asas nsaional aktif dalam hukum pidana Indonesia, asas nasional aktif mengandung prinsip bahwa peraturan pidana Indonesia berlaku bagi setiap WNI yang melakukan tindak pidana di luar (wilayah) Indonesia. 112 Selain tindak pidana korupsi, ada dua perkara lain yang termasuk dalam wewenag pengadilan tipikor yakni tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan kedudukannya, pengadilan tipikor berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota namun dengan pembentukan pertama kalinya di setiap ibukota provinsi. Terkait dengan hukum acaranya, pengadilan tipikor pada prinsipnya menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang pengadilan tipikor. Beberapa pengecualian tersebut akan diuraikan sebagai berikut. Pertama, komposisi majelis hakim dalam pengadilan tipikor terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc. Adapaun kedua hakim tersebut diberikan definisi secara tegas dalam Pasal 1 undnag-undang tipikor.
112
Tongat, Op. Cit, hal 81.
76
Pasal 1 Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi. Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.
Urgensi dari hakim ad hoc termuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Pengadilan Tipikor, dinyatakan bahwa hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kedua, terdapat jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi pada setiap pemeriksaan. Di dalam KUHAP, jangka waktu suatu perkara tindak pidana pada masing-masing tingkat pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan diputus tidak ditentukan. Jangka waktu
penyelesaian
pemeriksaan
untuk
masing- masing
tingkat
pemeriksaan diatur dalam Pasal 29 hingga Pasal 32 Undang-Undang Pengadilan Tipikor. Jangka waktu untuk tingkat pertama adalah paling lama 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 29. Jangka waktu untuk tingkat banding adalah paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara diterima ke pengadilan tinggi sebagaimana diatur
77
dalam Pasal 30. Jangka waktu untuk tingkat kasasi adalah paling lama 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara diterima ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 31.
Sedangkan
jangka waktu untuk permintaan oeninjauan kembali adalah paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara diterima ke pengadilan tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 32. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa adanya pengadilan tipikor membuat semakin melengkapi jajaran penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, hadirnya pengadilan tipikor membuat hanya tinggal satu sub kekuasaan lagi sehingga terciptalah sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi yang utuh, sub sistem tersebut adalah sub sistem pemasyarakatan. Hingga saat ini, lembaga pemasyarakatan khusus bagi narapidana tindak pidana korupsi yang dasarnya adalah undang-undang belum didirikan. Sekalipun demikian, hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahuyn 1985 tentang
Pemasyarakatan
dinyatakan
bahwa
pembinaan
terhadap
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan
kriteria lain sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan. Dengan demikian, narapidana perkara tindak pidana korupsi akan ditempatkan dengan sesamanya di dalam lembaga pemasyarakatan.
78
B. Upaya-upaya yang digunakan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi pada e ra reformasi Politik kriminal adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat menanggulangi kejahatan113
untuk
yang secara
garis
besar
upaya
penanggulangannya dapat dilakukan dengan dua cara yakni pendekatan penal dan pendekatan non penal. Politik kriminal “criminal policy” tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yakni kebijakan sosial “social policy” yang terdiri dari kebijakan kesejahteraan sosial “social welfare policy”dan kebijakan perlindungan masyarakat “social defence policy”. 114 Politik kriminal yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari politik sosial menimbulkan dua konsekuensi logis terhadap pelaksanaan upaya penal dan upaya non penal, konsekuensi logis tersebut terkait dengan integralitas pelaksanaan politik kriminal terhadap politik sosial. Menurut Barda Nawawi Arief, dua konsekuensi logis adalah sebagai berikut: 1.
Penggunaan sarana penal dan sarana non penal harus menunjang goal yakni kesejahteraan sosial dan perlindungan sosial;
2.
Penggunaan sarana penal dan sarana non penal harus dilakukan dengan pendekatan integral yang menunjukan keseimbangan. 115 Akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini terkait dengan masing-
masing upaya tersebut yang meliputi upaya penal dan upaya non penal sekaligus pelaksanaan penggunaannya. 113
Lihat pengertian politik criminal secara praktis dalam IS. Heru Permana. Op. Cit, hal
5. 114
Dalam IS Heru Permana, Loc. Cit. Barda Nawawi A rief, 2008, Masalah Penegakan Huku m dan Kebijakan Hu ku m Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, hal 77 – 78. 115
79
1.
Upaya Penal Upaya penal merupakan kejahatan
yang
mempergunakan
upaya penanggulangan sarana
pidana,
terhadap
agar
dapat
dioperasionalkan dengan baik maka upaya tersebut dilakukan melalui tahapan berikut 116 : a) Penetapan kebijakan perundang-undangan (dapat juga disebut kebijakan legislasi) yang didalamnya berisikan penetapan kebijkan mengenai: 1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana (kebijakan kriminalisasi); 2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar (kebijakan penalisasi / kebijakan pemidanaan). Penerapan tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999: i.
Kolusi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa dalam Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
ii.
Nepotisme yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa dalam Pasal 22 dipidana dengan
116
Widiada Gunakaya, Loc. Cit.
80
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). 2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 I.
Korupsi jenis kerugian keuangan negara karena memperkaya diri dalam Pasal 2 dipidana dengan pidana penjara minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun dan denda minimal Rp. 200.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda maksimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dalam hal tertentu, dipidana dengan pidana mati. Kemudian korupsi jenis kerugian keuangan negara karena menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
II.
Korupsi
jenis
suap
kepada
pegawai
negeri
atau
penyelenggaran negara dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp
81
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). kemudian korupsi jenis suap kepada hakim atau advocat dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah); III.
Korupsi jenis tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pembangunan, leveransir, dan rekanan atau perbutaan curang dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah);
IV.
Korupsi jenis penggelapan dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
V.
Korupsi jenis kerakusan dalam Pasal 12 huruf e, f, g, h, dan i dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
82
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); VI.
Korupsi jenis gratifikasi dalam Pasal 12 B dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sangat disayangkan bahwa terdapat kekurangan dalam perumusan kebijakan penalisasi / kebijakan pemidanaannya yakni
tidak
merumuskan
pedoman
pemidanaan
untuk
menerapkan ancaman pidana minimum. Seharusnya undangundang khusus di laur KUHP membuat aturan tersendiri untuk penerapannya, karena ini merupakan konsekuensi logis dari Pasal 103 KUHP. 117 Tanpa adanya pedoman pemidanaan pidana minimal ini maka tidak dapat ditentukan apakah pidana minimal dapat diperingan atau dapat diperberat. Kejanggalan minimalnya,
ada
lain delik
nampak yang
dalam
diancam
pola
pidana
dengan
pidana
maksimalnya 20 tahun penjara dan pidana minimalnya pidana 4 tahun penjara seperti dalam Pasal 2 dan Pasal 12. Sedangkan ada 117
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, hal. 159.
83
delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20 tahun penjara namun ancaman pidana minimalnya 1 tahun penjara seperti dalam Pasal 3. Padahal untuk delik lainnya, pidana minimal 1 tahun diancam dengan pidana maksimal 5 tahun penjara seperti dalam Pasal 9 dan Pasal 11 118 . Kesalahan demikian
menurut
Muladi
dan
Barda
Nawawi
Arief
mengakibatkan tidak terkendalinya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat karena kesalahan inilah yang menjadi faktor timbul dan berkembangnya kriminalitas. 119 b) Penerapan pidana oleh badan pengadilan (disebut juga kebijakan yudikasi). Penerapan kebijakan ini dilakukan melalui UndangUndang Nomor 46 tahun 20009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi termasuk yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia. c) Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana (disebut juga kebijakan eksekusi).
Penerapannya dilakukan oleh
Lembaga
Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan dengan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Kebijakan ini juga dilaksanakan oleh Penuntut Umum berdasarkan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang 118 119
Ibid, hal 150. Ibid, hal 98.
84
Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejakasaan. 2.
Upaya non penal Upaya non penal merupakan upaya dalam menanggulangi kejahatan tanpa mempergunakan sarana pidana, cakupan sarana ini adalah pencegahan kejahatan. Pencegahan kejahatan adalah segala tindakan yang memilki tujuan khusus untuk membatasi meluasnya kekerasan dan kejahatan, baik melalui pengurangan potensial maupun melalui masyarakat umum. 120 Inventarisasi upaya non penal dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dirumuskan pada era reformasi nampak sebagai berikut: a.
Program Anti Korupsi Program anti korupsi nampak dalam Pasal 13
Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 KPK berwenang untuk: 1) Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; 2) Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; 3) Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum. b.
Kewajiban pemeriksaan dan publikasi kekayaan bagi penyelenggara negara
120
IS. Heru Permana, Loc. CIt.
85
Pemberian kewajiban ini nampak dalam Pasal 5 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 yang memberikan kewajiban bagi penyelenggara negara untuk: 1) Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya; 2)
Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3)
Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat; Pemberian kewajiban tersebut awalnya dilakukan oleh
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.
(1)
Pasal 17 Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berimplikasi terhadap keberadaan KPKNP. Berdasarkan Pasal 69 ayat (1) dinyatakan bahwa dengan terbentuknya KPK maka KPKPN menjadi bagian bidang pencegahan pada KPK. Meleburnya KPKPN kepada KPK berimplikasi juga bahwa kewenangan pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara yang dimiliki KPKPN harus pula dimiliki oleh lembaga KPK. Mencermati ketentuan Pasal 13 Undang-Undang
86
Nomor 30 tahun 2002, nampak bahw KPK memilkki kewenangan untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara. c.
Peran Serta Masyarakat Peran serta masyarakat dalam upaya pencegajan tindak pidana korupsi memilki urgensi sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Manila yang dihasilkan oleh “The Asian Regional Ministerial Meeting of Transnational Crime” pada 23 – 25 Maret 1998. Urgensi peran serta masyarakat dalam deklarasi tersebut adalah untuk melibatkan peran masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi, khususnya dalam mengembangkan tindakan pencegahan dan pengawasan yang memajukan “a culture of accountability and transparency” atau budaya pertanggungjawaban dan keterbukaan. 121 Penerapan peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi pada era reformasi ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 (1)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk: a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara; b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; c. Hak menyampaikan suatu saran dan pendapat secara bartanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
121
Dalam Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
87
d. Hak untuk memperoleh pelrindungan hukum dalam hal: 1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam bentuk a, b, dan c; 2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dalam melaksanakan bentuk-bentuk peran serta
masyarakat
tersebut
dengan
ketentuan
melakukan
pemberitahuan baik secara tertulis maupun lisan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi yang berwenang. Adapun bentuk peran serta masyarakat dalam udang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ini merupakan bentuk peran serta yang mirip diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk : a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
88
d.
e.
hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : 1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; 2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sekalipun demikian, peran serta masyarakat dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 memilki perbedaan dengan peran serta masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Peran serta masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memberikan amanat bagi pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berjasa membantu upaya menanggulangi tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam pasal 42 ayat (1): Pasal 42 (1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Peran serta serta pemberian penghargaan tersebut selanjutnya diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 7 ayat (2)Peraturan Pemerintah tersebut, penghargaan yang diberikan pemerintah dapat berupa piagam atau premi. Adapun besar premi yang diberikan sebesar 2^ (dua
89
permil) dari nilai kerugian keuangan negara yang dikembalikan sebagaimana diatur dalam Pasal 9. Menurut Kongres PBB mengenai “the prevention of crime and the treatment of offenders”, pencegahan kejahatan dilakukan dengan dasar penghapusan
sebab-sebab kondisi-kondisi yang menyebabkan
timbulnya kejahatan, upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisikondisi yang dimikian harus merupakan strategi pokok / mendasar dalam upaya pencegahan kejahatan (the basic crime prevention strategy).122 Marwan Effendy menyimpulan bahwa sebab-sebab korupsi adalah: a) Minimnya integritas, b) Sistem karier dan penggajian
yang tidak berbasis kinerja serta
standar pelayanan minimal, c) Perilaku masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan. 123 Terkait dengan sebab korupsi pertama yakni minimnya integritas, upaya non penal yang dipergunakan untuk menghapus sebab ini dapat dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. yang memberikan kewajiban bagi penyelenggara negara untuk: a) Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya. b) Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
122 123
A. Widiada, Loc. Cit. Marwan Effendy, Loc. Cit.
90
c) Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat; Pemberian kewajiban pertama membuat penyelenggara negara akan lebih mawas diri dengan selalu menjaga tingkah lakunya karena sumpah atau janji yang ia ucapkan merupakan sumpah atau janji langsung kepada Tuhan yang sudah tentu selalu melihat dan tahu perbuatan yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Pemberian kewajiban kedua dan ketiga membuat penyelenggara negara semakin kehilangan kesempatan untuk melakukan korupsi karena secara berkala penyelenggara negara akan diperiksa harta kekayaannya secara berkala. Dengan demikian ketiga kewajiban tersebut dapat menjaga integritas daripada penyelenggara negara. Terkait dengan sebab kedua yakni sistem karier dan penggajian yang tidak berbasis kinerja serta standar pelayanan minimal, kita akan menemui kebuntuan mencari penanggulangannya dalam perundangundangan tindak pidana korupsi karena dalam perundang-undangan tersebut tidak diatur mengenai sistem karier dan penggajian. Untuk mengetahuinya kita dapat meninjau Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Terkait dengan sistem karier, Dalam Pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang
91
ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan. Terakit dengan penggajian, dalam Pasal 7 ayat (1) dinyatkan bahwa Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya, kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa gaji yang diterima oleh Pegawai Negei harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. Dengan demikian, upaya non penal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 sudah mampu meniadakan sebab dalam undang-undang tersebut menjelaskan bahwa sistem karier dan penggajian dilaksanakan dengan berbasis kinerja dan berstandar pelayanan minimal. Terkait dengan sebab korupsi yang ketiga yakni perilaku masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan, upaya non penal yang dipergunakan adalah kewenangan KPK dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa KPK berwenang untuk melakukan program anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan dan masyarakat umum. Melalui kewenangan ini, masyarakat dapat diarahkan dan dibimbing agar perilaku masyarakat tidak menjadi serba instan dalam setiap urusan. Perilaku demikian sebenarnya merupakan perilaku korup, sehingga masyarakat tergerak untuk menghindari perilaku serba instan tersebut. Mencermati semua upaya non penal tersebut, sebenarnya dapat dilihat suatu kekurangan atau kelemahan. Kekurangan atau kelemahan
92
nampak bahwa pelaksana upaya non penal tersebut adalah KPK. Kewenangan untuk menyelenggarakan program anti korupsi dan pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara hanya dimiliki oleh KPK. Lebih dari itu, tugas koordinasi dan supervisi yang dimilkiki KPK hanyalah terbatas pada upaya pemberantasan yang jelas tentu masuk ranah upaya penal bukan upaya non penal. KPK sebagai suatu lembaga negara, tentu memilki keterbatasan sumber daya manusia. Hingga saat ini KPK belum mendirikan perwakilan di daerah sekalipun dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dinyatakan bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Dengan demikian, sebetulnya kita dapat melihat bahwa upaya non penal dalam penanggulangan tindak pidana korupsi belum menjadi fokus utama bagi pembentuk undang-undang. Pembentuk undang-undang nampak masih fokus berfikir bagaimana menjerat koruptor dengan kriminalisasi berbagai perbuatan yang dianggap korupsi ataupun dengan penalisasi berbagai ancaman pidana baru. Sangat disayangkan hal demikian terjadi, padahal upaya non penal merupakan
upaya
yang
sangat
strategis
dalam
menanggulangi
kejahatan. 124 Kegagalan dalam penggarapannya justru akan berakibat fatal bagi usaha menanggulangi kejahatan125, terlebih pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama dari politik kriminal. 126 BAB IV 124
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 159. Ibid. 126 IS. Heru Permana, Loc. Cit. 125
93
PENUTUP A. Kesimpulan Politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi dilakukan melalui: 1.
Pembentukan peraturan perundangan-undangan yakni: Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pembetrantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 2. Upaya-upaya penanggulangan yang diantaranya: 1) Upaya penal melalui: a) Kebijakan formulasi melalui kriminalisasi terhadap kolusi dan nepotisme bagi penyelenggara negara dan penggolongan tindak pidana korupsi menjadi kerugian keuangan negara, penyuapan, kecurangan, penggelapan, kerakusan, dan gratifikasi. Kebijakan ini dilakukan juga melalui perumusan ancaman pidana berupa pidana mati dan pidana minimal. Namun disayangkan perumusan
94
ancaman pidananya tidak merumuskannya ketentuan pelaksanaan pidana minimal dan pola pemidanaan antara pidana minimal dan pidana maksimalnya tidak proporsional. b) Kebijakan aplikasi melalui pengadilan tindak pidana korupsi. c) Kebijakan eksekusi melalui lembaga pemasyarakatan, balai pemasyaraktan, dan penuntut umum. 2) Upaya non penal yang meliputi program anti korupsi, pemberian kewajiban pemeriksaan dan publikasi kekayaan bagi penyelenggara negara, dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara serta peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi. B. Saran a.
Ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nopmor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perlu direvisi dengan merumuskan ketentuan pelaksanaan pidana minimal dan perumusan pola pemidanaan antara pidana minimal dengan pidana maksimal yang lebih proporsional.
b.
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pencegahan tindak pidana korupsi melakukan kerjasama dengan instansi di daerah atau dengan organisasi masyarakat untuk mengoptimalkan upaya pencegahan mengingat hingga saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi belum memilki perwakilan di daerah.
95
DAFTAR PUSTAKA Lite ratur: Campbell Black, Henry, et.al., 1979, Blak’ Law Dictionary, fith edition, St. Paulminn West Publicing C. O. Djaja, Ermansjah, 2009,
Memberantas Korupsi bersama KPK, Jakarta: Sinar
Grafika. Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Hatta, Moh, 2010, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum dalam rangka Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Heru Permana, IS, 2011, Politik Kriminal, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa. Lamintang, P. A. F., 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, , Bandung: Citra Aditya Bakti. M. Echols, John dan Shadaly, Hassan, 1977, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mahmud Marzuki, Peter, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Muladi dan Nawawi Arief, Barda, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Nawawi Arief, Barda, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana. Nawawi Arief, Barda, 1966, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
96
Poerwadarminta, 1979, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Sahetapy, 1979, Kapita Selekta Kriminologi, Bandung; Alumni. Soekanto, Soerjono dan Pamuji, Sri, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru. Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Sudarto, 1975, Hukum Pidana Jilid I A-B, Semarang: FH Undip. Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sulista, Teguh dan Zurnetti, Aria, 2001, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Surachimn dan Cahaya, Suhandi, 2011, Stategi dan Teknik Korupsi: Mengetahui untuk Mencegah, Jakarta: Sinar Grafika. Sutherland, Edwin H, 1961,
White Collar Crime, New York: Rinehart and
Winston. Syamsyudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana dalam Perspektif Pembaharuan., Malang: UMM Press. Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika. Wijowasito, 1999, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru.
97
Wisnubroto, Aloysius, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Peraturan Perundang-Undangan: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
98
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi, 2003). Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lain-lain Harian Kompas tanggal 16 Mei 2012, Mental Korupsi Sudah Merata. http://vivapemuda43a.wordpress.com/2012/04/23/6-tuntutan-reformasi-tahun1998/, diunduh tanggal 23 April 2012. Kompas.com, Agenda Reformasi Dikhianati, diunduh tanggal 21 Mei 2012. Jejaringnews.com,
Pembuatan
Undang-Undang
Sering
Abaikan
Spirit
Penghematan, diunduh tanggal 9 nopember 2011. merdeka.com, Negara Rugi Rp 39 Triliun Akibat Korupsi, diunduh tanggal 4 Desember 2012.