PENERAPAN TINDAK PIDANA MATI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH : NAMA NPM
: ARIS WIDODO : 26120039
FAKULTAS HUKUM UNIVERSTAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014
PENERAPAN TINDAK PIDANA MATI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH : NAMA NPM
: ARIS WIDODO : 26120039
FAKULTAS HUKUM UNIVERSTAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014
ii
PENERAPAN TINDAK PIDANA MATI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
NAMA
:
ARIS WIDODO
FAKULTAS
:
HUKUM
PROGRAM STUDI
:
ILMU HUKUM
NPM
:
26120039
DISETUJUI DAN DITERIMA OLEH PEMBIMBING
ANDY USMINA WIJAYA, SH, MH
iii
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan judul:
“PENERAPAN TINDAK PIDANA MATI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA” Disusun Oleh: ARIS WIDODO NPM : 26120039 Telah Disetujui oleh Tim Penguji Hari
: Rabu
Tanggal
: 12 Maret 2014
Panitia Penguji:
Penguji I,
Penguji II,
Dr. H. Taufiqurrahman, S.H, M.
Joko Ismono, S.H, M.H
Mengetahui : Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra,
Tri Wahyu Andayani, S.H., CN., M.Hum.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadiran Allah SWT atas berkah rahmat dan hidayahnya sehingga terselesaikanlah skripsi ini. Tentunya masih banyak sekali kekurangan ataupun kelemahan dalam tulisan ini, maka dengan senang hati penulis menerima kritkan dan juga saran demi kebaikan penelitian selanjutnya. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada: 1. Allah swt yang memberikan kelancaran sehingga terselesaikan skripsi ini, amin…amin…Ya Rabb. 2. Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra. 3. Bapak/Ibu Dosen Pembimbing dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Andi Usmina Wijaya, S.H., M.H selaku dosen pembimbing. 5. Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala harapan semoga karya tulis ini berguna bagi semua pihak yang memerlukannya.
Surabaya, 12 Maret 2014 Penulis.
Aris Widodo
v
DAFTAR ISI Halaman Judul..................................................................................................... Halaman Pengesahan .......................................................................................... Kata Pengantar .................................................................................................... Daftar Isi .............................................................................................................
III IV V VI
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH................................................................ 2. RUMUSAN MASALAH ................................................................................ 3. PENJELASAN JUDUL .................................................................................. 4. ALASAN PEMILIHAN JUDUL .................................................................... 5. TUJUAN PENELITIAN ................................................................................. 6. MANFAAT PENELITIAN............................................................................. 7. METODE PENELITIAN ................................................................................
1 5 6 8 9 10 10
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MATI DAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA 2.1 Jenis tindak pidana ........................................................................................ 2.1.1 Tempat dan waktu tindak pidana ............................................................... 2.2 Pengaturan tindak pidana mati ...................................................................... 2.2.1 Sejarah tindak pidana mati dan pengaturan pidana mati ............................ 2.2.2 Motif dan alasan umum pengaturan hukuman mati di Indonesia .............. 2.2.3 Pengaturan tindak pidana mati di Indonesia .............................................. 2.3.1 Pengertian tindak pidana korupsi ............................................................... 2.3.2 Unsur-unsut tindak pidana ......................................................................... 2.3.3 Sifat Korupsi .............................................................................................. 2.3.4 Ciri-ciri korupsi .......................................................................................... 2.3.5 Faktor-faktor penyebab korupsi .................................................................
14 14 15 16 21 29 47 50 52 55 56
BAB III PELAKSANAAN PIDANA MATI TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA 3.1 Sejarah pelaksanaan pidana mati di Indonesia .............................................. 58 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ................................................................................................... 64 4.2 Saran.............................................................................................................. 64 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 65
vi
1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Seiring berjalannya waktu, korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan suatu patologi sosial (penyakit sosial) yang sangat berbahaya yang mengancam
semua
bernegara.Dan
aspek
korupsi
kehidupan
sudah
menjadi
bermasyarakat, kebiasaan
berbangsa
dari
dan
aparat-aparat
tertentu.Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Dan bukan hanya itu saja korupsi juga terjadi pada aparat-aparat lain bahkan korupsi terjadi pada kalangan rendahan, misalnya kepala desa bahkan sampai kepada ketua RT dan masih banyak yang lainnya. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir
di
seluruh
wilayah
tanah
air.Sarana
pemerasan
bisa
berupa
kekuasaan.Pejabat tinggi yang memeras bawahannya.Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas, rasa malu, serta kurangnya pendidikan pancasila sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan keserakahan sehingga tidak
memikirkan
masyarakat
yang
masih
banyak
mengalami
kemiskinan.Achamad Zainuri mengungkapkan bahwa korupsi di negeri ini merambah semua lini bagaikan gurita.Penyimpangan ini bukan saja merasuki kawasan yang sudah dipersepsi publik sebagai sarang korupsi, tetapi juga
2 menyusuri lorong-lorong instansi yang tidak terbayangkan sebelumnya bahwa disana ada korupsi.Satu per satu skandal keuangan di berbagai instansi Negara terbongkar.Komisi pemilihan umum yang dipenuhi aktivis demokrasi, akademisi, dan guru besar, juga tidak steril dari wabah korupsi.Di departemen Agama, kasus korupsinya bahkan menyeret mantan orang nomor satunya sebagai tersangka. Daftar instansi baru yang dibobol koruptor, daftar tersangka baru, dan daftar modus baru penyalahgunaan kekuasaan, tampaknya akan terus bertambah. Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan.Di luar soal polemik institusi, yaitu “perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI, ada pula persoalan
sistemis,
yakni
penanganan
dan
pemidanaan
pelaku
korupsi.Ringannya hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa mengapresiasi sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah.Korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak makin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian Negara maupun kualitasnya. Akhirakhir ini Nampak makin terpola dan sistimatis, lingkupnya juga telah menyentuh keseluruhan aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas Negara.Atas dasar hal tersebut, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai “extraordinary crime”, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti
3 dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Maraknya aksi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi di negara ini, membuat masyarakat Indonesia resah akan kelangsungan pembangunan nasional. Pemberian hukuman atau sangsi terhadap pelaku korupsi/koruptor tidak sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat yaitu merugikan negara. Hukuman atau sangsi kepada para pelaku korupsi/koruptor yang dianggap masyarakat terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan suatu efek jera kepada para pelaku korupsi, sehingga banyak timbulnya calon-calon koruptor di negara ini.Faktanya sekarang, baru-baru ini tercuatnya kasus korupsi ketua MK. Kasus korupsi yang tercuat sekarang ini memberikan pandangan sehingga Presiden SBY memahami kemarahan rakyat atas ditangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam kasus suap.Bahkan ada suara-suara yang meminta dirinya membubarkan MK dan menjatuhkan hukuman mati kepada Akil. Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan sosial, yang secara strategis dilakukan melalui 3 (tiga) tahap yaitu tahap formulasi hukum oleh Lembaga Legislatif, tahap penerapan hukum oleh Pengadilan dan tahap eksekusi1.Permasalahan yang menjadi fokus pembicaraan sekarang ini adalah kebijakan pidana mati dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Lebih penting lagi pada persoalan apakah peraturan sekarang ini yakni Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 efektif untuk memberantas para pelaku tindak pidana korupsi, sesuai dengan harapan dari Lembaga Legislatif sebagai mana tertuang dalam Konsiderans UndangUndang tersebut, yaitu :
4 a. Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara luas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa; b. Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi
masyarakat,
serta
perlakuan
secara
adil
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Lebih lagi dengan dicantumkan pidana mati sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2001, yang masing-masing Pasal-Pasal tersebut pada intinya merumuskan sebagai berikut: Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa : “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa : “Beberapa ketentuan dan penjelasan Pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana diubah sebagai berikut : Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan Pasal demi Pasal dirubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal demi Pasal angka 1 Undang-undang ini”. Pencantuman pidana mati dalam Undang-Undang tersebut di atas tentunya merupakan fenomena baru dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia karena dengan pencantuman pidana mati tersebut diharapkan akan memberikan efek jera bagi pelaku maupun bagi pelaku lain yang berpotensi
5 sebagai pelaku. Hal ini tentunya dapat dijadikan pegangan bagi aparat penegak hukum untuk dapat menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi yang memenuhi rumusan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sehubungan dengan hal di atas, dijelaskan oleh Romli Atmasasmita bahwa: Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi efektif diterapkan di Republik Rakyat Cina (RRC), dan ternyata cukup berhasil dalam rangka mengurangi tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya dapatdijadikan contoh oleh Indonesia di dalam menjatuhkan pidana mati bagi para koruptor. Kenyataan
tersebut
sejak
berlakunya
Undang-Undang
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 20 Tahun 2001, hakim di Indonesia tidak pernah sekalipun menjatuhkan pidana mati tersebut terhadap seorang koruptor meskipun dalam ketentuan perundang-undangan memberikan landasan hukum yang cukup tegas, sehingga belum dapat memberikan efek jera kepada para koruptor lainnya semakin subur dan sulit diberantas.
2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat ditarik suatu
rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi dan tindak pidana mati di Indonesia ? b. Bagaimanakah pelaksanaan tindak pidana mati di Indonesia ?
6 3.
Penjelasan Judul Judul dari penelitian skripsi ini adalah “Pidana Mati Pada Tindak PIdana
Korupsi di Indonesia”.Apabila diuraikan lebih lanjut mengenai judul diatas maka pengaturan tentang Tindak Pidana Korupsi ( hukum positif) hingga saat ini, ada tiga perundang-undangan yang berlaku, yaitu : a. Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya yang menyangkut ketentuan pidananya saja; b. Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi; dan c. Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UndangUndang nomor 31 tahun 1999. Mencermati dari sejarah pembentukannya, dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999, sejak itu pula Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini dapat dibaca dari bunyi pasal 44 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagai berikut pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (lembaran negara tahun 1971 nomor 19, tambahan lembaran negara nomor 2958) dinyatakan tidak berlaku. Dari ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan hukum yang berkaitan dengan kekosongan hukum karena dalam pasal 44 tersebut, tidak memberikan ketentuan peralihan terhadap tindak pidana kompsi yang dilakukan pada saat Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 berlaku (berkaitan dengan tempus delictie). Pada waktu berlakunya Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 banyak kritikan yang dilontarkan berkaitan dengan banyak hal kelemahan dalam
7 penerapannya, dan yang lebih ironis lagi bahwa ada sinyalemen UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 dibuat untuk melindungi kepentingan rezim orde baru. Perlu diketahui bahwa daam tata pemerintaban di Indonesia telah mengalami 3 orde yaitu orde lama (1945-1965), orde baru (1966-1999), dan orde reformasi (2000-sekarang), pada masa tersebut telah dibuat tiga UndangUndang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, masing-masing UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 dan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan produk pemerintahan orde baru, sedangkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mempakan kode pemerintahan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berupaya untuk mengkoreksi dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada pada Undang-Undang nomor 31 tahun 1999, sebagaimana dapat dibaca dari perumusan tindak pidana korupsi (pasaI26 - 37, 37A, 38, 38 A-B-C) dan ketentuan peralihan (pasal 43 A). berkaitan hal itu, maka hal-hal khusus apa saja yang berkaitan dengan hukum acara pidana dalam tindak pidana korupsi, sebagai isu hukum utama yang menjadi kajian dalam penulisan ini. Pengaturan
pidana
mati
di
Indonesia
sebagai
sebuah
bentuk
pemidanaan pidana mati diakui eksistensinya dalam sistim hukum pidana Indonesia. Legitimasi akademis terhadap pidana mati dapat tercantum secara jelas dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mencantumkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok, disamping pidana penjara, kurungan dan denda. Di Indonesia, meskipun pidana mati diakui eksistensinya, pada kenyataannya hal ini tidak dilakukan secara masif. Paling tidak selama kurun waktu 30 tahun ini, eksekusi mati diberlakukan terhadap kurang lebih 36 jiwa. Pun dalam penjatuhan pidana mati ini, lebih banyak terkonsentrasi kepada kejahatan pembunuhan, yang dilakukan dengan sengaja
8 dan dengan direncanakan lebih dahulu untuk merampas nyawa orang lain (340 KUHP).
4.
Alasan Pemilihan Judul Adapun alasan pemilihan judul pada penelitian skripsi ini adalah ingin
mengetahui sejauh mana pelaksanaan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.Selain itu ingin memberikan masukan kepada masyarakat untuk efek jera yang ditimbulkan dari pidana mati untuk tindak pidana korupsi di Indonesia.Wibawa institusi penegak hukum dan hukum ditopang oleh efek jera yang ditimbulkannya.Kalau hukum dianalogikan sebagai sebuah bangunan, maka efek jera adalah tiang penyangga bangunan itu.Jika hukum dan penjatuhan hukuman kepada terpidana tidak menimbulkan efek jera, maka hukum cenderung menjadi instrumen yang tidak memiliki wibawa.Demikian pula dengan institusi penegak hukum.Pada kesempatan ini, kita ingin membahas soal efek jera dan urgensinya dalam menjaga wibawa penegak hukum dan hukum itu sendiri. Pertama-tama ditegaskan bahwa kebutuhan akan hukum yang memiliki efek jera dirasakan makin tinggi. Ketika pelanggaran hukum terusmenerus dilakukan berulang-ulang oleh berbagai kalangan, maka pada saat itu hukum dan penegak hukum telah kehilangan wibawa. Pada saat yang sama, muncul kebutuhan untuk segera menerapkan vonis yang lebih berat demi tegaknya wibawa hukum itu. Korupsi
memiliki
banyak
dampak
negatif
pada
setiap
bidang
pembangunan masyarakat: sosial, ekonomi dan politik.Korupsi merupakan fenomena global dan pengaruhnya terhadap individu, institusi, negara dan pembangunan global telah membuat isu yang memprihatinkan universal. Menurut Lima Deklarasi, dampak korupsi meliputi: erosi kain moral masyarakat,
9 pelanggaran sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat miskin dan rentan, melemahkan
demokrasi,
subversi
dari
aturan
hukum,
retardasi
dari
pengembangan dan penolakan masyarakat, khususnya masyarakat miskin, penyangkalan manfaat gratis dan persaingan terbuka”. Dari sisi kepentingan umum, efek jera menjadi penting sebab dapat menjawab dahaga publik akan keadilan hukum. Dalam kasus korupsi, penegakan efek jera tidak dapat dilakukan oleh satu jenis hukuman saja, umpama hukuman penjara saja. Lebih dari itu, harus dijatuhkan hukuman lain yang berdiri sejajar dengan hukuman penjara dalam rangka menegakkan efek jera dan wibawa hukum itu. Dalam konteks ini, ada perkembangan baru dari KPK. Sebagaimana diberitakan, muncul niat KPK untuk memiskinkan pelaku tindak pidana korupsi dengan menggunakan dua undang-undang sekaligus, yakni UU Tipikor (UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi) dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penerapan dua undang-undang sekaligus terhadap tersangka kasus korupsi diharapkan dapat menegakkan efek jera dan memulihkan wibawa hukum dan institusi penegak hukum.
5.
Tujuan Penelitian Tujuan akademis untuk memenuhi persyaratan studi tahap akhir guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra. Tujuan praktis, dimaksudkan untuk:
a. menjelaskan pengaturan mengenaitindakpidana korupsi di Indonesia seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasn Tindak Pidana
10 Korupsi.
b. menjelaskan pengaturan tindak pidana mati pada tindak pidana korupsi di Indonesia.
c. Mengetahui pelaksanaan tindak pidana mati di Indonesia.
6.
Manfaat Penelitian Penelitian ini pada dasarnya diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal
sebagai berikut bahwa secara teoritis adalah untuk mengetahui dan menambah pengetahuan dan membuka wawasan tentang kebijakan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia setelah berlakunya Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Selain itu manfaat penelitian Secara praktis adalah sebagai bahan informasi dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum pidana pada khususnya yang mempunyai perhatian pada masalah tindak pidana korupsi
7.
Metodelogi Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan bersifat terapan.Sifat preskriptif ilmu hukum merupakan sesuatu yang substansial dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh ilmu-ilmu lain yang bukan ilmu hukum, walaupun obyek yang dipelajari sama-sama hukum, misal sosiologi hukum, antropologi hukum, filsafat hukum, psikhologi hukum, dan sebagainya. Oleh sebab itu, jenis penelitian ilmu hukum berbeda dengan penelitian
11 non-hukum. 1 a.
Tipe Penelitian Pemilihan metode penelitian disesuaikan dengan batasan isu hukum
yang akan dicari jawabannya yaitu tentang “Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Untuk dapat memberikan jawaban atas isu hukum tersebut digunakan tipe "Penelitian Hukum Normatif", suatu penelitian yang bertumpu pada telaah yuridis normatif peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas.Dalam penelitian hukum normatif, tidak dikenal adanya variabel bebas dan variabel terikat, hipotesis, populasi dan sampling, data dan teknik pengumpulan data, analisis data dengan menggunakan penelitian kuantitatif maupun kualitatif. b. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan
(statute
approach).Pendekatan
perundang-undangan,
dengan
melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang terkait dengan pokok masalah yang dibahas. c. Bahan Hukum Sebagai sumber dalam penelitian hukum normatif, terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Bahan hukum primer, terdiri atas peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lain yang berlaku (hukum positif) yang pembahasannya terkait dengan pokok masalah yang dibahas.Bahan hukum sekunder, berupa buku literatur, jurnal hukum, internet, makalah-makalah seminar atau pertemuan ilmiah lainnya.Dalam menggunakan 1
Hal. 22.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2005,
12 bahan hukum, tidak dibatasi pada aturan hukum tertentu, melainkan semua aturan hukum yang berkaitan. d. Langkah-Langkah Kajian Pertama-tama melakukan pengumpulan bahan-bahan hukum dan menginventarisasi bahan hukum yang terkait dengan menggunakan studi kepustakaan. Kemudian bahan hukum diklasifikasikan dengan cara memilahmilah bahan hukum, dan disusun secara sistematis agar mudah dibaca dan di pahami. Untuk menganalisa bahan-bahan hukum digunakan metode deduksi yaitu suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan pemikiran atau ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, kemudian diterapkan pada pokok masalah yang dibahas yang bersifat khusus. Untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan penafsiran sistematis, yaitu penafsiran yang mendasarkan pada hubungan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, pasal yang satu dengan pasal lainnya dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.
8.
Sistematika Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penulisan ini maka penulisan
dibagi dalam 4 (empat) Bab, sebagai tersebut di bawah ini. Bab I Pendahuluan, yang mendeskripsikan latar belakang masalah yang menjadi alasan penting mengapa kajian
hukum ini dilakukan. Kemudian
dilanjutkan dengan merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian hukum
13 ini, serta tujuan dan manfaat penelitian.Uraian tentang metode penelitian sebagai instrument kajian apakah langkah-langkah kajian dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bab II Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Mati dan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Pada bab II ini dijelaskan mengenai beberapa definisi dan ketentuan hokum tindak pidana mati dan tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia. Bab III Pelaksanaan Tindak Pidana Mati Pada Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Pembahasan meliputi prosedur dan cara pelaksanaan tindak pidana mati yang ada di Indonesia. Bab IV Penutup. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri dari bagian kesimpulan sebagai jawaban singkat atas rumusan masalah dan bagian saran sebagai sumbangan pemikiran masukan dalam khasanah hokum.
14
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MATI DAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
2.1.
Jenis Tindak Pidana Jenis tindak pidana terdiri atas pelanggaran dan kejahatan.Pembagian
tindak pidana ini membawa akibat hukum materiil, yaitu sebagai berikut. a.
Undang-undang tidak membuat perbedaan antara apzet dan culpa dalam suatu pelanggaran.
b.
Percobaan suatu pelanggaran tidak dapat dihukum.
c.
Keikutsertaan dalam pelanggaran tidak dapat dihukum.
d.
Pelanggaran yang dilakukan pengurus atau anggota pengurus ataupun para komisaris dapat dihukum apabila pelanggaran itu terjadi sepengetahuan mereka.
e.
Dalam pelanggaran itu tidak terdapat ketentuan bahwa adanya pengaduan yang merupakan syarat bagi penuntutan.
2.1.1. Tempat dan Waktu Tindak Pidana Tidak mudah untuk menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana. Hal ini disebabkan oleh hakikat tindak pidana merupakan tindakan manusia, di mana pada waktu melakukan tindakannya seringkali manusia menggunakan alat yang dapat menimbulkan akibat pada waktu dan tempat yang lain di mana orang tersebut telah menggunakan alat-
15 alat itu. Dapat pula teIjadi bahwa tindakan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada waktu dan tempat yang lain daripada waktu dan tempat di mana pelaku tersebut telah melakukan perbuatannya. Jadi, tempus delicti adalah waktu di mana telah terjadi suatu tindak pidana sedangkan locus delicti adalah tempat tindak pidana berlangsung. Menurut Prof. van Bemmelen yang dipandang sebagai tempat dan waktu dilakukannya tindak pidana pada dasamya adalah tempat di mana seorang pelaku telah melakukan perbuatannya secara materiil. Yang dianggap sebagai locus delicti adalah :
a. tempat
di
mana
seorang
pelaku
itu
telah
melakukan
sendiri
perbuatannya;
b. tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu bekerja; c. tempat di mana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul; d. tempat di mana akibat konstitutif itu telah timbul.
2.2.
Pengaturan Tindak Pidana Mati Pidana
merupakan
suatu
penderitaan
yang
dikenakan
terhadap
pelanggar undang-undang akan tetapi di pihak lain pidana juga merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku kejahatan. Hukuman mati dalam istilah hukum dikenal dengan uitvoering.Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam undangundang yang diancam dengan hukuman mati.Hukuman mati berarti telah menghilangkan nyawa seseorang. Pidana mati adalah pidana yang terberat dari semua jenis pidana pokok,
16 sehingga hanya diancamkan terhadap pelaku kejahatan tertentu saja.Sejauh ini tentang perlu tidaknya pidana mati diancamkan terhadap pelaku kejahatan menimbulkan banyak pendapat.Pidana mati sifatnya eksepsional artinya pidana mati itu hanya dijatuhkan hakim apabila benar-benar diperlukan. Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana pokok lainnya, ini merupakan pilihan kepada hakim agar penjatuhan pidana mati tidak dilakukan secara semena-mena.Apabila seseorang oleh hakim dinyatakan terbukti bersalah melakukan kejahatan yang berat sebagaimana dengan kejahatan yang diancam dengan pidana mati, maka hakim dapat menjatuhkan pidana mati.Adapun dalam prakteknya pelaksanaan pidana mati dapat ditangguhkan sampai Presiden memberikan Fiat Eksekusi, artinya Presiden menyetujui pelaksanaan pidana mati kepada terpidana. Jadi pidana mati adalah pidana atau reaksi terhadap atau nestapa berupa kematian yang dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana pembuat delik, sedangkan arti kematian yang diambil dari kata dasar mati maksudnya adalah hilangnya nyawa seseorang atau tidak hidup lagi. Kematian ini akan terjadi melalui gagalnya fungsi salah satu dari tiga pilar kehidupan (Modi of Death)4 , yaitu : otak (central nervous sistem), jantung (circulaty of sistem), dan paru-paru (respiratory of system.
2.2.1. Sejarah Pidana Mati dan Pengaturan Pidana Mati Dimasa penjajahan kolonial, praktek pengunaan hukuman mati sebagai salah satu jenis penghukuman sudah berlaku, baik praktek hukuman mati yang diperkenalkan oleh beberapa peraturan VOC dalam bentuk hukum plakat yang berlaku sangat terbatas di beberapa wilayah yang dikuasai oleh VOC, juga
17 hukuman mati yang berlaku dalam wilayah hukum lokal (baik tertulis maupun tidak) yang juga digunakan secara terbatas. Di Aceh misalnya, pada jaman dahulu berlaku hukuman mati bagi isteri yang berzina, Sultan yang berkuasa juga dapat menjatuhkan lima macam hukuman yang istimewa yang mencakup pula hukuman mati yakni dengan dibunuh dengan lembing, menumbuk kepala terhukum dalam lesung (sroh). Di daerah pedalaman Toraja para pelaku inses biasanya dihukum mati dengan cara di cekik, atau dimasukkan ke dalam keranjang rotan yang diberati batu dan selanjutnya dilempar ke dalam laut. Demikian pula ada hukuman mati yang berlaku di wilayah Minangkabau dan di kep Timor pada masa lalu. 2 Namun konsolidasi yang pertama atas penggunaan jenis hukuman ini secara menyeluruh di tanah jajahan, Hindia Belanda (Indonesia) adalah ketika pada tahun 1808 atas perintah Daendles lahirlah sebuah peraturan mengenai hukum dan peradilan (Raad van Indie) dimana dalam salah satu kebijakannya itu ialah mengenai pemberian hukuman pidana mati yang dijadikan kewenangan Gubernur Jendral. Dinyatakannya bahwa sebelum hukuman mati dapat dilakukan, maka perlu diperoleh fiat executie dari Gubernur Jendral
kecuali,
dalam hukuman mati yang dijatuhkan oleh penguasa militer karena kondisi pemberontakan. Menurut Plakat tertanggal 22 April 1808, maka pengadilan diperkenankan menjatuhkan hukuman: a. Dibakar hidup terikat pada sebuah tial (paal), b. Dimatikan dengan mengunakan keris (kerissen) dan seterusnya. 3 Pada tahun 1848 dibuatlah peraturan hukum pidana yang terkenal dengan
namaInterimaire
Strafbepalingen.
Dalam
pasal
1
peraturan
ini
dinyatakan bahwa peraturan ini akan meneruskan kebijakan hukum pidana
Supomo dan Djokosutono,”Sejarah politik Hukum Adat”, Djambatan, Jakarta, 1982 Ibid
2 3
18 sebelum tahun 1848 dengan perkecualian adanya beberapa perubahan dalam sistem hukuman. Salah satunya yakni eksekusi hukuman mati yang dilakukan dengan cara menggantung terpidana (galg). Sebelumnya eksekusi dilakukan dengan cara yang berbeda-beda seperti yang diberlakukan pada masa Deandles. Konsolidasi praktek hukuman mati kedua dan yang terpenting di Hindia Belanda adalah ketika diberlakukannya kodifikasi hukum pidana dalam Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiers) atau WvSI pada tanggal 1 Januari 1873. Kemudian karena adanya perkembangan baru dimana lahirnya kodifikasi pertama hukum pidana yang ada di belanda yang maka WvSinl tersebut kemudian disesuaikan dengan perkembangan tersebut dengan melakukan unifikasi hukum pidana di seluruh wilayah Indonesia.Maka pada tahun 1915 diundangkanlah Wetboek van strafrecht voor Indoensie, (WvSI) dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. Berbeda dengan Belanda, di Hindia Belanda di dalam WvSI tersebut masih dicantumkan hukuman mati.Di Belanda sendiri pada tahun 1870, tiga tahun sebelum di berlakukannya WvSI di Hindia Belanda, hukuman mati telah dihapuskan.Hukuman mati dipertahankan di Hindia Belanda karena dipandang sebagai hukum darurat dan penerapan hukuman mati ini di Hindia Belanda dibatasi pada kejahatan-kejahatan yang di anggap terberat oleh pemerintah Kolonial.Yakni kejahatan berat terhadap keamanan negara, pembunuhan, pencurian dan pemerasan dengan pemberatan, perampokan, pembajakan pantai pesisir dan sungai. WvSI tersebut kemudian terus berlaku sampai dengan masa penjajahan Jepang. Setelah kemerdekaan WvSI berdasarkan UU No 1 tahun 1946 ini di berlakukan dengan beberapa perubahan menjadi KUHP tahun 1946 yang secara
19 resmi berlaku di seluruh Indonesia pada tanggal 29 september 1958. KUHP yang berasal dari WvSi tersebut masih memiliki beberapa pasal yang memberi ancaman hukuman mati yang tersebar di seluruh Buku II KUHP. Ancaman hukuman mati tersebut berada dalam kejahatan seperti: makar, pemberontakan, penghianatan, pembunuhan terhadap kepala negara, pembunuhan berencana, pembajakan di laut, pencurian dengan kekerasan, dan pemerasan. 4 Dalam perkembangnya karena KUHP 1946 tidak lagi dapat memenuhi keperluan masyarakat di jaman revolusi kemerdekaan terutama dalam konteks politik ekonomi sosial pada masa itu maka sejak masa kemerdekaan telah banyak dilakukan ketentuan hukum pidana khusus yang mencantumkan ancaman hukuman mati. Misalnya Pada tahun 1951 dalam Masa Demokrasi Liberal (di bawah UUDS 1950) lahirlah UndangUndang Darurat No 12 Tahun 1951 (mengenai peraturan hukuman istimewa sementara) tentang senjata api, amunisi dan bahan peledak. Dikeluarkannya peraturan ini karena saat itu banyaknya jumlah konflik bersenjata di Indonesia, gerombolan bersenjata dan pemberontak yang memiliki persenjataan pasca pergerakan kemerdekaan RI. Peraturan ini dikeluarkan untuk memperkuat ancaman kejahatan terkait dengan senjata api yang pernah di keluarkan oleh pemerintah Belanda. Kemudian, saat kondisi ekonomi Indonesia (masa demokrasi terpimpin 19561966).Mengelami penurunan yang drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan dan disamping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat seperti penimbunan barang, pencatutan dan lain sebagainya. Maka Presiden RI saat itu kemudian mengeluarkan Undang-Undang Darurat tentang pengusutan penuntutan dan Tresna, “Hukum Pidana I”, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1950 , h-57
4
20 peradilan tindak pidana ekonomi LN 1955 Nr 27 yang diperkuat dengan Penetapan Presiden No 5 tahun 1959 dan Peraturan pemerintah Pengganti UU No 21 tahun 1959 dengan ancaman maksimal hukuman mati. Presiden Soekarno juga mengeluarkan sebuah regulasi yang diharapkannya mampu mengurangi tingkat kejahatan korupsi dengan mengeluarkan Perpu pengganti UU tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi LN 1960 Nr 1972. Di masa orde baru di masa pemerintahan Soeharto hukuman pidana mati kemudian di tambah dengan dikeluarkannya beberapa undang-undang pidana yakni: UU No 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. UU No 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan, UU No 9 tahun 1976 tentang Narkotika, UU No 5 Tahun 1997 mengenai Psikotropika, UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika, dan UU No 31 tahun 1997 tentang Tenaga Atom. Setelah pergantian kepemimpinan presiden Soeharto di tahun 1998, UU mengenai anti subversi kemudian di cabut. Namun beberapa tahun kemudian kembali Indonesia melahirkan beberapa undang-undang yang memberikan ancaman hukuman mati, undang-undang tersebut yakni: UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Kejahatan Terorisme. Deskripsi singkat di atas menunjukkan bahwa pola yang konsisten dimana jumlah pasal pidana yang mencantumkan hukuman mati masih juga bertambah dari masa ke masa. Pada awalnya pasalpasal yang mencantumkan hukuman mati warisan kolonial Belanda hanyalah terbatas berada dalam WvSI, (KUHP Hindia Belanda) namun setelah kemerdekaan baik di masa presiden Soekarno, Soeharto dan di Era reformasi jumlah pasalpasal hukuman mati tetap
21 bertambah. Terlihat juga bahwa setelah kemerdekaan, penambahan hukuman mati justru lebih banyak menggunakan hukum pidana di luar kodifikasi (KUHP).
2.2.2. Motif dan Alasan Umum Penggunaan Hukuman Mati di Indonesia Bila dicermati, apa yang menjadi motif menggunakan model hukuman ini di Indonesia tentunya berbedabeda dari tiap masa atau konteks munculnya peraturan yang memberikan hukuman mati tersebut. Namun untuk memberikan gambaran yang sederhana maka akan dipaparkan beberapa motif utama dari penngunaan hukuman tersebut. Di masa Daendeles motif melakukan konsolidasi hukum pidana dan menerapkan kebijakan hukuman mati ini tak lain disamping karena ia sekedar menyesuaikan hukuman dalam hukum pidana tertulis dengan sistem hukum lokal. Dimana menurutnya, banyak hukum lokal yang masih menerapkan hukuman mati dan hukuman badan (hukuman kejam). Daendeles mungkin juga tidak mengetahui alternatif lain selain menggunakan kebijakan tersebut. Selain ia tidak memiliki pengalaman sedikitpun mengenai urusan di tanah jajahan. Kemungkinan lainnya mengapa Daendeles bertindak ganas dengan melakukan konsolidasi menerapkan hukuman mati (dan hukuman kejam lainnya) karena ia bertugas untuk mempertahankan pulau jawa dari serangan angkatan perang Inggris dan oleh sebab itu sangat takut akan kemungknan timbulnya pemberontakan rakyat jajahan. Dimasa melakukan
pembentukan
unifikasi
hukum
kodifikasi
hukum
pidana.Pemerintah
pidana Kolonial
(WvSI)
dengan
Belanda
tetap
mempertahankan hukuman mati tersebut di daerah jajahannya termasuk Indonesia.Berbeda dengan perkembangan kodifikasi Hukum Pidana di Belanda dimana pada tahun 1870 hukuman mati di Belanda justru dihapuskan. Motif pemerintahan Kolonial Belanda masih mempertahankan hukuman mati tersebut
22 sangatlah beragam, namun pada intinya pencantuman hukuman mati tersebut memiliki: motif rasial, alasan karena faktor ketertiban umum dan konteks hukum pidana dan kriminologi pada masa itu. Prasangka rasial yang diskriminatif tersebut pada intinya menganggap bahwa orangorang pribumi tidak bisa dipercayai.Bahwa pribumi suka berbohong di pengadilan dengan memberikan kesaksian palsu.Orang-orang pribumi mudah percaya dan menerima kebohongan sebagai kebenaran dan banyak orang pribumi bersifat buruk.Pandangan yang diskriminatif tersebut karena para sarjana hukum belanda sudah memiliki perasaan yang superior sebagai bangsa penjajah. Sedangkan alasan faktorfaktor ketertiban umum ini mencakup beberapa aspek lain misalnya. Adanya anggapan bahwa karena negara memiliki segala kewenangan untuk menjaga ketertiban umum oleh karena itu maka hukuman mati adalah sebuah keharusan dalam menjaga ketertiban umum tersebut. 5 Disamping itu karena Hindia Belanda adalah jajahan yang luas yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa dan kondisi Hindia Belanda yang demikian ini sangat berbeda dengan kondisi di Belanda di Hindia belanda tertib hukum sangat mudah terganggu dan karena itu keadaannya mudah mengalami krisis dan berbahaya di bandingkan dengan Belanda disamping itu juga adanya anggapan
bahwa
susunan
pemrintahan
dan
saranasarana
untuk
mempertahankan kekuasaan di Hindia Belanda sulit untuk berkerja dengan dibandingkan dengan kondisi di Belanda. Di pertahankannya hukuman mati di Hindia belanda jika dikaitkan dengan konteks permasalahan hukum pidana dan kriminologi pada masa itu bukanlah merupakan faktor yang terpenting.Faktor yang paling penting adalah tetaplah Tresna, “Hukum Pidana I”, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1950 , h-68
5
23 pada prasangka yang diskrimininatif dan alasan ketertiban umum.Hal ini mungkin wajar karena pada masa itu pidana mati sebagai sebuah unsur yang wajar dalam hukum pidana dan oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan.Pidana mati dianggap inherent dengan hukum pidana.Oleh karena itu maka wajarlah pilihan menetapkan digunakannya pidana mati pada saat ini karena besarnya kepentingan politik dan ekonomi Belanda sebagai negara kolonial di Hindia Belanda. Beberapa pemikiran sarjana hukum Belanda yang mencerminkan hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pernyataan yang di kutip oleh prof Dr J.E Sehatapy yakni: bahwa pidana mati dapat menjamin bahwa si penjahat tidak akan berkutik lagi sehingga masyarakat tidak akan diganggu lagi oleh pelaku, pidana mati merupakan sebuah alat represi yang kuat bagi pemerintah Hindia Belanda dengan alat tersebut maka kepentingan masyarakat dapat dijamin sehingga dengan demikian ketertiban hukum dapat di lindungi, alat represi yang kuat ini sekaligus juga berfungsi sebagai prevensi umum sehingga diharapkan para calon akan mengurungkan niatnya mereka untuk melakukan kejahatan sehingga kejahatan akan berkurang, dengan dijatuhkannya pidana mati diharapkan adanya seleksi buatan sehingga masyarakat dapat dibersihkan dari unsurunsur yang jahat dan buruk dan seterusnya. Setelah Indonesia merdeka sampai dengan saat ini motif maupun tujuan penghukuman mati dalam berbagai peraturan yang ada juga menunjukkan pola yang konsisten.Walaupun studi terhadap aspek ini sangatlah sedikti sekali namun dari berbagai bahan yang ada tersebut dapatlah di paparkan secara
24 ringkas beberapa argumentasi mengapa pidana mati masih digunakan baik dalam peraturan maupun dalam prakteknya sampai saat ini. 6 Ada beberapa Motif yang paling populer dalam menggunakan hukuman mati di Indonesia yakni: hukuman mati memiliki tingkat efektif yang lebih tinggi dari ancaman hukuman mati lainnya karena memiliki efek yang menakutkan (shock therapi) disamping juga lebih hemat. Hukuman mati digunakan agar tidak ada eigenrichting dalam masyarakat. Secara teoritis hukuman mati ini juga akan menimbulkan efek jera (detterent effect) yang sangat tinggi sehingga akan menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana, sehingga bisa dijadikan sebagai alat yang baik untuk prevensi umum maupun prevensi khusus. Disamping itu masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan pada aspek pembalasan (retributive), dan utamanya masih dipertahankannya beberapa pendekatan dari terori absolut atas pembalasan, teori relatif dan teori gabungan tentunya memberikan kontribusi penting bagi langgengnya hukuman mati di Indonesia saat ini. Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini merupakan hasil dan serta buah pikiran dari kolonial Belanda, meskipun di negeri Belanda pada tahun 1870 pidana mati itu sudah dihapuskan. Berdasarkan asas konkordansi kemudian diberlakukan di Indonesia. Begitu juga dengan sejarah pidana mati tidak terlepas dari proses pembentukan K.U.H.Pidana. Apabila kita telusuri sejarah pidana mati yang berlaku di Indonesia maka tidak akan terlepas dari sejarah dicantumkannya pidana mati di negeri Belanda. Pidana mati di negeri Belanda berasal dari Code Penal Perancis, karena di masa pemerintahan Napoleon, Perancis pernah menjajah negeri Belanda.oleh karena itu secara historical Code Penal Pernah berlaku di negeri Belanda. Code Penal 6
Sahetapy, “Pidana Mati Dalam Negara Pancasila”, Citra Adiitya Bhakti, Bandung, 2007, h.77.
25 yang dibuat pada masa pemerintahan Napoleon, masih mempertahankan pidana mati, bahkan menjadi sarana yang paling utama dalam usaha mencegah timbulnya tindak pidana serta untuk mempertahankan status quo pemerintahan Napoleon. Setelah pemerintahan Belanda merdeka usaha-usaha untuk melakukan penggantian serta ketergantungan pada Code Penal Perancis membuahkan hasil, sehinggamelahirkan kodifikasi hukum di negeri Belanda, hal ini berarti tidak terlepas dari Code Penal Perancis. Alasan untuk mempertahankan pidana mati, karena dirasakan sangat perlu dan dinilai sangat efektif dalam mencegah terjadinya tindak pidana. Kemajuan yang dialami oleh Belanda membawa dampak untuk melakukan ekspansi ke negara lain termasuk Kepulauan Indonesia. sehingga hukum yang berlaku di negeri Belanda juga diberlakukan di negeri jajahan, termasuk di dalamnya mengenai sanksi pidana mati. Adapun alasan-alasan mengapa pidana mati masih dipertahankan atau dicantumkan dalam WvSNI sebagaimana disimpulkan oleh J.E. Sahetapy dari pendapat para sarjana Belanda didasarkan pada tiga alasan yang diajukan, yaitu; A. Alasan berdasarkan faktor rasial; Alasan dimaksudnya ancaman pidana mati berdasarkan faktor rasial ini menurut J.E Sahetapy dapat dilihat dari : a. Adanya sikap dan penilaian yang keliru terhadap pribumi, karena para sarjana hukum Belanda yang bertugas di lembaga-lembaga penegak hukum belum menguasai bahasa Melayu (Bahasa Indonesia pada waktu itu) dan bahasa setempat. ketergantungan kepada penerjemah dapat
26 memperbesar adanya kesaksian palsu. b. Para sarjana hukum Belanda belum memahami dan meresapi nilai-nilai sosial dan struktur masyarakat pribumi pada waktu itu. c. Kurang memadainya suatu hukum acara pidana dan tidak adanya pembela
atau
penasehat
hukum
pribumi,
maka
tidak
tercegah
kemungkinan timbulnya gambaran dan anggapan keliru bahwa para saksi pribumi suka memberikan kesaksian palsu. B. alasan berdasarkan faktor ketertiban umum; Masalah ketertiban umum dalam daerah jajahan adalah sangat penting sebelum dikodifikasikan KUHP (WvSNI) dapat diketahui secara lebih mendalam kesulitan
yang
dihadapi
oleh
pembentuk
undang-undang
pada
jaman
penjajah.Dalam hal ini Van Hamel menyatakan : a. Keanekaragaman penduduk dan pengertian terhadap orang-orang pribumi yang sulit dipahami oleh pembentuk undang-undang. b. Karena dalam pertengahan abad ke-19 di dunia barat telah timbul pemikiranpemikiran baru yang mulai progresif terhadap perbudakan dan masalah penjajahan. c. Situasi dan kondisi yang sulit dicernakan oleh penguasa Belanda pada waktu itu menyebabkan seolah-olah tidak ada kemampuan untuk bertindak tanpa UU yang keras dan bengis sebagai dasar untuk mempertahankan daerah jajahan Berdasarkan alasan ketertiban umum ini Moderman menyatakan bahwa : a. Negara memiliki segala kewenangan untuk menjaga ketertiban umum, dan oleh karena itu adanya pidana mati harus dilihat dalam rangka kriteria keharusan. b. Meskipun lembaga pidana mat memiliki berbagai kekurangan yang tidak
27 dapat disangkal, namun jangan sampai ada yang menahan diri untuk tidak memasukkannya dalam stelsel pidana oleh karena itu demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan Menurut Lemaire, alasan-alasan yang patut untuk dimasukkannya pidana mati dalam WvSNI, antara lain : a. Hindia Belanda (Indonesia pada waktu itu) adalah suatu daerah jajahan yang luas dan penduduknya terdiri atas berbagai ragam suku bangsa. Pada hakekatnya keadaan Hindia Belanda pada waktu itu sangat berlainan dengan di Belanda. Di Hindia Belanda tertib hukum sangat mudah terganggu dan mudah sekali menjadi kritis dan berbahaya dibandingkan di Belanda. b. Susunan pemerintahan dan sarana-sarana untuk mempertahankan di Hindia Belanda sulit untuk dapat melaksanakan langkah yang sama seperti di Belanda atau negara-negara lain di Eropa. C. Alasan berdasarkan hukum pidana dan kriminologi J.E Sahetapy mendapat kesan kuat sekali kalau para sarjana Belanda menganggap pidana mati sebagai unsur wajar dalam hukum pidana dan oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan. Pidana mati dianggap seolah inheren dengan hukum pidana “Werd Niet Twiffelacting Geoordeeld” artinya “tidaklah perlu diragukan lagi” hal seperti ini memang dapat dipahami selama hukum pidana dilihat sebagai sarana politik pemerintah belaka. Hal ini juga berlaku untuk masa sekarang, kendatipun masih banyak sarjana hukum yang kurang menyadarinya. Masih banyak sarjana hukum yang berpendapat bahwa hukum pidana bertalian dengan masalah bagaimana memberantas kejahatan, bagaimana menjatuhkan
28 pidana pada konteks teori pidana yang dianutnya, bagaimana agar ketentuanketentuan hukum pidana mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma yang hidup pada masyarakat, bagaimana agar hukum pidana juga merupakan salah satu alat yang ampuh dalam pelaksanaan politik pemerintahan, suatu rezim. Dilihat
dari
pokok
pemikiran
yang
lebih
menitikberatkan
pada
perlindungan masyarakat, maka wajar konsep tetap mempertahankan jenis-jenis sanksi yang berat yaitu pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, namun pidana mati dalam konsep tidak dimasukkan dalam deretan “pidana pokok” dan ditempatkan sendiri sebagai jenis pidana yang bersifat khusus atau eksepsional. Pertimbangan utama digesernya kedudukan pidana mati itu didasarkan pada pemikiran ilmu dilihat dari tujuan pemidanaan dan tujuan diadakan hukum pidana tersebut sebagai salah satu sarana kebijakan kriminal dan kebijakan sosial, pidanamati pada hakekatnya menimbulkan sarana utama untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki masyarakat. Berdasarkan
alasan-alasan
di
atas,
maka
pemerintah
Belanda
menganggap perlunya pidana mati dicantumkan lagi dalam WvSNI sebagai senjata yang ampuh dari penguasa Belanda untuk mempertahankan daerah penjajahannya di Indonesia pada waktu itu. Pelaksanaan pidana mati baik di negeri Belanda pada awalnya maupun di negeri jajahan khususnya di Kepulauan Indonesia (Hindia Belanda) adalah dengan cara menggantungkan terpidana ditiang gantungan yang dilakukan oleh seorang algojo. Kemudian setelah Indonesia merdeka, pidana mati yang dicantumkan dalam WvSNI tetap berlaku. Pada tahun 1946 melalui UU Nomor 1 tahun 1946 Indonesia melakukan konkordansi terhadap hukum pidana yang berlaku pada
29 masa pemerintahan Hindia Belanda masih tetap diberlakukan sepanjang tidak menyimpang dengan tujuan pemerintahan Indonesia. Dalam sistem pemidanaan menurut konsep KUHP yang baru jenis pidana yang diancam dalam perumusan delik terutama hanya pada pidana penjara dan pidana denda.Pidana mati hanya diancamkan untuk delik tertentu dan selalu dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup. Pidana tutupan dan pidana pengawasan tidak dirumuskan karena hanya merupakan “Strafmodus” dari pidana penjara 2.2.3. Pengaturan Tindak Pidana Mati di Indonesia A. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Paling tidak terdapat 12 (dua belas) peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu pidana dalam ketentuan pidananya (lihat tabel). Hukuman mati ini dijatuhkan terhadap tindak pidana - tindak pidana, baik yang diatur dalam KUHP maupun dalam UU khusus, yang dianggap akan menimbulkan gangguan yang besar terhadap ketertiban hukum di Indonesia. Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda; Hukuman tambahan terdiri dari : Pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim. Sedangkan tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU No. 2/PnPs/1964 yang masih berlaku sampai saat ini. Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati
30 atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah : 1. Makar terhadap presiden dan wakil presiden Ketentuan perbuatan makar terhadap presiden dan wakil presiden diatur secara khusus pada pasal 104 KUHP. Pada pasal 104 KUHP diterangkan bahwa
makar
denagn
maksud
untuk
membunuh,
atau
merampas
kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden dan Wakil Presiden memerintah, akan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama duapuluh tahun. 2. Membujuk
negara
asing
untuk
bermusuhan
atau
berperang,
jika
permusuhan itu dilakukan atau jadi perang. Perbuatan membujuk Negara asing untuk bermusuhan atau berperang dapat dilihat dari ketentuan pasal 111 ayat 2 KUHP. Pasal 111 ayat 2 KUHP ini menyatakan bahwa barang siapa mengadakan hubungan dengan Negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap Negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan permusuhan atau perang terhadap Negara, dapat diancam pidana penjara paling lama limabelas tahun. Akan tetapi apabila perbuatan permusuhan dilakukan atau terjadi perang maka ancaman hukuman yang diberikan KUHP adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama duapuluh tahun. 3. Membantu musuh waktu perang Membantu musuh pada saat perang juga mendapat ancaman hukuman pidana mati. Ketentuan ini diatur secara tegas dalam pasal 124 ayat 3
31 KUHP, yang mana dalam pasal tersebut ditekankan bahwa perbuatan dalam rangka memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusak sesuatu tempat atau pas yang diperkuat atau diduduki, suatu alat penghubung persediaan perang, ata kas perang ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat atau bagian daripadanya, merintangi, menghalanghalangi atau menggagalkan suatu usaha untuk menggenangi air atau karya tentara lainnya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menagkis atau menyerang akan dapat diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama suapuluh tahun. Ini tentunya merupakan hukuman paling berat disbanding dengan pasalpasal lainnya yang berkaitan seperti pasal 124 ayat 1 dan ayat 2 KUHP. Pada ketentuan pasal 124 ayat 1 disebutkan bahwa barang siapa dalam masa perang memberikan batuan kepada musuh atau merugikan Negara terhadap musuh akan mendapat ancaman pidana penjara paling lama limabelas tahun. Begitu pula perbuatan yang memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh peta rencana, gambar atau penulisan mengenai bangunan-bangunan tentara dan menjadi mata-mata atau memberikan pondokan kepadanya akan diancam hukuman pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama duapuluh tahun. 4. Makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut. Perbuatan makar yang mendapat ancaman pidana mati tidak hanya ditujukan kepada Presiden atau Wakil Presiden Negara Indonesia semata namun juga diperuntukan bagi perbuatan maker terhadap raja atau kepala Negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut.Ketentuan mengenai perbuatan ini diungkapkan secara tegas pada pasal 140 ayat 3
32 KUHP. Pada pasal 140 ayat 3 KUHP menerangkan bahwa jika makar terhadap nyawa dengan direncanakan terlebih dahulu dan mengakibatkan kematian, akan diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama duapuluh tahun. Kenyataan ini berbeda jika perbuatan makar tersebut dilakukan atas nyawa atau kemerdekaan raja atau dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu tanpa mengakibatkan kematian dapat diancam pidana paling lama lima belas tahun. 5. Pembunuhan berencana Perbuatan yang mendapatkan ancaman pidana mati lainnya adalah pembunuhan berencana yang diatur dalam pasal 340 KUHP. Pada pasal 340 KUHP ini memberikan penjelasan bahwa barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana akan diamcam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama duapuluh tahun. Kemudian juga dijelaskan dalam Hoge Raad tanggal 17 Januari 1921 bahwa barang siapa dalam melaksanakan suatu niat yang sejak semula sudah dipertimbangkan dengan tenang, membawa bayi dalam keadaan telanjang dengan tali pusar yang belum diputus dalam suatu tempat yang dingin dan meninggalkannya ditempat itu
sehingga meninggal dunia
dianggap telah melakukan pembunuhan berencana dan dapat diancam pidana mati. Hoge Raad lainnya yang mengatur pembunuhan berencana tersebut adalah adanya ketentuan bahwa meskipun dalam hal ini alasan pelaku hanya ingin menyingkirkan orang-orang tertentu, akan tetapi rencananya juga meliputi membunuh
orang
lainnya
yang
sudah
diserahkan
kuenya
akan
33 memakannya khususnya wanita dari orang yang dituju juga akan dapat diancam pidana mati. Ketentuan ini diatur dalam Hoge Raad pada tanggal 19 Januari 1911. Selanjutnya pada Hoge Raad tanggal 22 Maret 1909 memutuskan bahwa untuk dapat diterimanya suatu rencana terlebih dahulu, maka adalah perlu adanya suatu tenggang waktu pendek atau panjang dalam mana dilakukan pertimbangan
dan
pemikiran
yang
tenang.
Pelaku
harus
dapat
mempertimbangkan makna dan akibat-akibat perbuatannya dalam suatu suasanan kejiwaan yang memungkinkan untuk berfikir.Pertimbangan dan pemikiran yang tenang sebagaimana diisyaratkan untuk rencana terlebih dahulu adalah kebalikannya dari perbuatan yang dilakukan karena perasaan amarah dan emosi yang timbul dengan tiba-tiba yang dialami oleh pelaku dengan
sekonyong-konyong
dan
yang
telah
mendorongnya
untuk
melakukan perbuatan itu dengan seketika tanpa ada keadaan lainnya. 6. Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati. Perbuatan pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati yang diatur dalam pasal 365 ayat 4 KUHP juga merupakan salah satu perbuatan yang mendapatkan ancaman pidana mati. Pada pasal365 ayat
KUHP ini memberikan penegasan bahwa barang siapa melakukan
pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempermudah atau mempersiapkan pencurian atau dalam hal ini tertangkap tangan untuk memungkinkan melarikan diri atau peserta lainnya atau tetap menguasai barang
serta
pencurian
tersebut
disertai
dengan
kekerasan
yang
mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu dapat diancam dengan pidana mati atau pidana
34 penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama limabelas tahun. 7. Pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati. Berhubungan dengan ketentuan pasal 368 ayat 2 KUHP mengenai ancaman pidana
mati
bagi
perbuatan
pencurian
dengan
kekerasan
yang
menyebabkan luka berat dan kematian maka pada pasal 368 ayat 2 juga merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana mati karena pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat ata kematian. Secara lengkap dalam pasal 368 ayat 2 KUHP menerangkan bahwa barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hokum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebaggian adalah kepunyaan orang tersebut atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau waktu tertentu paling lama limabelas tahun. Penyerahan sesuatu barang merupakan unsure dari kejahatan ini yang baru terjadi apabila orang terhadap siapa kekerasan dilakukan telah kehilangan penguasaannya atas barang tersebut.Ketentuan ini merupakan putusan Hoge Raad tanggal 17 Januari 1921. 8. Pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian. Dalam KUHP juga disebutkan pidana mati diberikan kepada perbuatan pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang perbuatan tersebut dapat mengakibatkan suatu kematian atau hilangnya nyawa seseorang.Ketentuan ini diatur dalam pasal 444 KUHP. Pada pasal 444 KUHP ini menerangkan bahwa barang siapa melakukan perbuatan-perbuatan kekerasan di lautan
35 bebas terhadap kapal lain atau orang lain dan barang diatasnya tanpa mendapat kuasa dari sebuah negara yang berperang atau angkatan laut suatu negara yang menyebabkan seseorang dikapal yang diserang itu mati maka perbatan tersebut akan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama wakt tertentu paling lama duapuluh tahun. Ancaman pidana mati ini juga diberikan kepada mereka yang
melakukan
perbuatan
dengan
kekerasan
yang
menyebabkan
seseorang yang diserang tersebut mati pada daerah pesisir (tepi laut), sekitar pantai atau muara sungai, serta di sungai.
B. Ketentuan Hukum Lainnya Didalam perkembangannya kemudian, terdapat beberapa UndangUndang yang memuat ancaman hukuman mati antara lain: 1. UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika Pada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika disebutkan pada pasal 80 ayat 1 huruf a bahwa barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum melakukan kegiatan memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Kemudian ketentuan ini dipertegas dengan pasal 80 ayat 2 huruf a yang menyatakan bahwa apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud diatas didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
36 sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak (dua miliar rupiah). Selanjutnya pada pasal 80 ayat 3 huruf a menerangkan bahwa pidana mati juga diberikan ancaman terhadap kegiatan tindak pidana sebagaimana dimaksud dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati at au pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Pada pasal 82 ayat 1 huruf a juga memberikan ancaman pidana mati pada barang siapa tanpa hak dan melawan hukum melakukan perbuatan mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual-beli atau menukar narkotika Golongan 1, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Disamping itu pasal 82 ayat 2 huruf a juga menyebutkan bahwa apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud tersebut didahului dengan permufakatan jahat maka terhadap tindak pidana dimaksud diancam dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Pasal 82 ayat 3 huruf a juga memberikan ancaman pidana mati kepada barang siapa dan tanpa hak melakukan kegiatan seperti pada pasal 82 ayat 1 huruf a namun dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, at au pidana penjara
37 paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit. Pidana mati dalam ancaman sanksi pada Undang-Undang Nmor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika diperbolehkan oleh negara dan tidak melangga hak asazi manusia. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi
(MK)
dalam
sidang
pembacaan
putusan
permohonan
pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang diajukan para Pemohon perkara 2/PUU-V/2007 (Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myuran Sukumaran, Andrew Chan) dan Pemohon perkara 3/PUU-V/2007 (Scott Anthony Rush); Selasa (30/10) di Ruang Sidang MK. Para Pemohon yang sebagian merupakan warga negara asing yang telah dipidana mati tersebut merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya ancaman pidana mati dalam UU Narkotika. Putusan ini dalam konklusinya, terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) pemohon warga negara asing tersebut, MK menyatakan bahwa para Pemohon
yang
berkewarganegaraan
asing
tidaklah
mempunyai
kedudukan hukum, sehingga permohonan Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott Anthony Rush tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Menanggapi argumentasi pokok yang diajukan para Pemohon bahwa pidana mati bertentangan dengan hak untuk hidup (right to life) yang menurut rumusan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, mendasarkan
pada
original
intent
pembentuk
UUD
1945
MK yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi. Hal ini diperkuat
38 pula dengan penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie); hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life); baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang penghilangan nyawa secara absah, dapat juga ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi manusia, di antaranya, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR); Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, Rome Statute of International Criminal Court, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights); American Convention on Human Rights, Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty. Sebagai
contoh,
ICCPR
yang
digunakan
para
Pemohon
untuk
mendukung dalil-dalilnya, tidaklah melarang negara-negara pihak (state parties) untuk memberlakukan pidana mati, tetapi ada pembatasan diberlakukan hanya terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius
39 sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut (the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime..) [Pasal 6 ayat (2) ICCPR].Artinya, dengan dimungkinkannya suatu negara memberlakukan pidana mati (meskipun dengan pembatasan-pembatasan); hal itu merupakan bukti bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak. Terkait dengan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kejahatankejahatan yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan “the most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR. Mahkamah Konstitusi juga memberikan beberapa catatan penting, sebagaimana dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan, salah satunya adalah ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh: bahwa pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan
40 terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun; pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa; eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Selain itu, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah Konstitusi juga menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan. 2. Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPRRI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan asas-asas hukum internasional. Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada lembaga-Iembaga tinggi negara dan seluruh aparatur
pemerintah
untuk
menghormati,
menegakkan
dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan
41 melalui pembentukanKomisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Untuk melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor XVIII MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia tersebut, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan undang-undang tersebut merupakan perwujudan tanggungjawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan undang-undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan/atau diterima oleh negara Republik Indonesia. Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional
maupun
dari
kepentingan
internasional,
maka
untuk
menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Untuk merealisasikan terwujudnya Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, perlu dibentuk undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dasar pembentukan un dang-un dang ten tang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 104 Ayat (1) U ndang- U ndangN omor 39 Tahun 1999 ten tang Hak Asasi Manusia.
42 Undang- Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman baik bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pembentukan undang undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
a. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan "extraordinary crimes" dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun intemasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang merupakan perasaan tidak am an baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketenteraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia;
b. Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah:
a. diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc;
43
b. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan,
penuntutan,
dan
pemeriksaan
di
pengadilan;
d. diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi; e. diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kedaluwarsa bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan Pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 jo. Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis". Dengan ungkapan lain asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi hak asasi manusia itu sendiri berdasarkan Pasal 28 jo. Ayat
44 (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Oleh karena itu, UndangUndang ini mengatur pula tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang be rat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan Peradilan Umum. Dalam ketentuan pidana pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia disebutkan juga ancaman pidana mati yang diatur dalam pasal 36 dan pasal 37. Pada pasal 36 diterangkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan pada pasal 8 huruf a, b, c, d atau e dijelaskan tindak pidana yang dimaksud adalah melakukan kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan selumh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengaIi cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik selumh
atau
sebagiannya,
memaksakan
tindakan-tindakan
yang
bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
45 Sedangkan pasal 39 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa pidana mati juga bisa dilakukan kepada setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluhlima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Tindak pidana yang dimaksud pada pasal 39 adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilaku-kan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang
yang
melanggar
(asas-asas)
ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, dan perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
3. Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi UU No. 1 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi, serta
4. Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selengkapnya beberapa peraturan di luar KUHP yang juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya adalah sebaai berikut:
46 1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan Tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan. 2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi. 3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang Senjata Api, Amunisi atau Sesuatu Bahan Peledak. 4. Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom. 5. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika 6. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/prasarana Penerbangan.
2.3.
Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut korupsi (dari bahasa Latin:
corruptio artinyapenyuapan; corruptore artinyamerusak) gejala di mana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan teIjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:
a. kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran (S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris- Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit: Hasta, Bandung).
47
b. perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
c. korup (busuk; suka menerima uang suap uang/sogok; memakai kekuasaan untukkepentingan sendiri dan sebagainya);
d. korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya);
2.3.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian tentang tindak pidana. Pembentuk undang-undang kita menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut. Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit.Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dan kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.Pengertian dari perkataan straafbaarfeit. 7
a.
Simons Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah "Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak
dengan
sengaja
oleh
seseorang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum." Alasan dariSimon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas
7
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 5
48 karena: •
untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa di situ terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undangundang
di
mana
pelanggaran
terhadap
larangan
atau
kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum; •
agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;
•
setiapstraafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.
Jadi, sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasamya sifat tersebut bukan suatu un sur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.
b.
E. Utrecht Menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doenpositif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan
49 pidana dij adikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana.Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana.Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab.
c.
Pompe Perkataan straafbaarfeit secara teoretis dapat dirumuskan sebagai suatu: "Pelanggaran norma at au gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan
hukuman
terhadap
pelaku
itu
adalah
penting
demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum." Sangatlah berbahaya untuk mencari suatu penjelasan mengenai hukum positif, yakni semata-mata dengan menggunakan pendapat secara teoretis.Perbedaan antara hukum positif dengan teori adalah semu.Oleh karena itu, yang terpenting dalam teori itu adalah tidak seorang pun dapat dihukum kecuali tindakannya benar-benar melanggar hukum dan telah dilakukan dalam bentuk schuld, yakni dengan sengaja atau tidak dengan sengaja.Adapun hukum kita juga mengenal adanya schuld tanpa adanya suatu wederrechtelijk heid. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Jadi, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik (an objective of penol provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective built). Di sini berlaku "tiada pidana tanpa kesalahan"
50 (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa).Culpa di sini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan.
d. Moeljatno "Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: (1) perbuatan (manusia), (2) memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil), (3) bersifat melawan hukum (syarat materiil). Syarat formil harus ada, karena asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2.3.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur-unsur tindak pidana korupsi menurut Pasal 1 ayat (1) sub a UUPTPK urutannya sebagai berikut. 8 a. Melawan hukum. Melawan hukum di sini diartikan secara formil dan materiil. Unsur ini perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Perbuatan memperkaya artinya berbuat apa saja, misalnya mengambil
8
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil Dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayu Media Publishing, Malang, 2005, h. 33
51 memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kaya. c. Yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
perbuatan
tersebut
merugikan
keuangan
negara
atau
perekonomian negara. Untuk menyusun dakwaan, tidak perlu dimulai dengan melawan hukum. Dalam hukum pidana sering delik itu dibagi dua, yaitu perbuatan dan pertanggungjawaban. Pada perumusan delik di atas perbuatan adalah "memperkaya diri dan seterusnya" dan akibatnya adalah "kerugian negara dan seterusnya", disusul dengan "melawan hukum" yang dapat diartikan dalam delik ini sebagai "tanpa hak untuk menikmati hasil korupsi" tersebut selaras dengan putusan HR tanggal 30 Januari 1911, yang mengartikan "melawan hukum" itu "tidak mempunyai hak untuk menikmati keuntungan" itu dalam delik penipuan (Pasal 378 KUHP). Kata-kata tidak mempunyai hak untuk menikmati hasil korupsi sama dengan pengertian sehari-hari, artinya pada umumnya telah mengerti maksud kata-kata itu. Para pakar berpendapat bahwa alasan peniadaan pidana (strafuitslui tingsgrond) tidak perlu disinggung dalam dakwaan.Maksudnya tidak diisyaratkan untuk disebut dalam dakwaan tidak adanya alasan pemaaf itu.Dalam hukum pidana dikenal berbagai alasan pemaaf. Delik korupsi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) sub b UUPTPK yang unsur-unsumya sebagai berikut: a. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan; b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
52 c. yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selanjutnya dalam pengaturan mengenai tindak pidana korupsi lainnya harus dipahami terlebih dahulu mengenai unsur-unsur dari tindak pidana korupsi. Unsur-unsur yang dimaksudkan adalah : A. Unsur Subjektif
a. Kesengajaan atau kelalaian. b. Maksud dari suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasa1 53 ayat (1) KUHP.
c. Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pema1suan, dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP.
e. Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasa1 308 KUHP. B. Unsur Objektif
a. Sifat melawan hukum. b. Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan kejahatan yang diatur da1am Pasa1 415 KUHP.
c. Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.
2.3.3. Sifat Korupsi Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan
53 merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas yaitu :
a. Korupsi,
penyelewengan
atau
penggelapan
(uang
negara
atau
perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
b. Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara.Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi
dan
perekonomian
keputusan
sering
mengenai
dikategorikan
keuangan
perbuatan
yang
korupsi).
membahayakan Selanjutnya
ia
menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum). Dikatakan pula,
54 disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decision, or governmental
appointment
(korupsi
pada
penelitian
umum,
termasuk
memperoleh suara dengan uang,janji denganjabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam
jabatan
melibatkan
penjualan
suara
dalam
legislatif,
keputusan
administrasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan). Baharuddin Lopa dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk, yaitu sebagai berikut. A. Korupsi yang Bermotif Terselubung Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. Contoh: seorang pejabat menerima uang suap denganjanji akan menerima si pemberi suap menjadi pegawai negeri atau diangkat dalam suatujabatan. Namun, dalam kenyataannya setelah menerima suap, pejabat itu tidak mempedulikan lagi janjinya kepada orang yang memberi suap tersebut.Yang pokok adalah
55 mendapatkan uang tersebut. B. Korupsi yang Bermotif Ganda Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik. Contoh: seseorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya, pej abat itu dalam mengambil keputusannya memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu, meskipun sesungguhnya si pembujuk (penyogok) tidak memikirkan apakah fasilitas itu akan memberikan hasil kepadanya.
2.3.4. Ciri-Ciri Korupsi Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed HuseinAlatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut.
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sarna dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud). Contohnya adalah pemyataan tentang belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun, di sini seringkali ada pengertian diam-diam di antara pejabat yang mempraktikkan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan meningkatkan frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan oleh para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemik di masyarakat.
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu
56 telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
2.3.5. Faktor Penyebab Korupsi Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut.
a. Lemahnya pendidikan agama dan etika. b. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
c. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.
d. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para
57 pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.
e. Tidak adanya sanksi yang keras. f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi. g. Struktur pemerintahan. h. Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.
i.
Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan. Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan
moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. Beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah sebagai berikut:
a. keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta tugas kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi;
b. administrasi yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumbersumber korupsi;
c. kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan; d. berfungsinya suatu sistem yang antikorupsi; e. kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi.
58
BAB III PELAKSANAAN PIDANA MATI TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
3.1.
Sejarah Pelaksanaan Pidana Mati Di Indonesia Di Indonesia, pada jaman dahulu eksekusi untuk hukuman mati bisa
dikatakan dilakukan sebagai sebuah seni tersendiri. Dan kadangkala bersifat kebiasaan yang diturunkan atau ditiru dari berbagai wilayah lainnya.Misalnya, dengan dibunuh dengan lembing, menumbuk kepala terhukum dalam lesung (sroh), di cekik, atau dimasukkan ke dalam keranjang rotan yang diberati batu dan selanjutnya dilempar ke dalam laut.Dan masih banyak metode eksekusi lainnya. Pada masa kolonial belandalah model eksekusi tersebut semakin lama dikonsolidasikan menjadi beberapa model yang lebih sedikit ragamnya Menurut Plakat tertanggal 22 April 1808, maka pengadilan diperkenankan menjatuhkan hukuman: a. Dibakar hidup hidup dengan terikat pada sebuah tial (paal), b. Dimatikan dengan mengunakan keris (kerissen). Kemudian Pada tahun 1848 dibuatlah peraturan hukum pidana yang terkenal dengan nama Interimaire Strafbepalingen. Yang menyatakn bahwa eksekusi hukuman mati yang dilakukan dengan cara menggantung terpidana (galg). Dan sejak itulah eksekusi mati secara di gantung menjadi cara yang paling umum di gunakan di Hindia belanda, sampai dengan berlakunya WvSI di tahun 1815. Dalam pasal 15 dinyatakan bahwa hukuman mati dijalankan oleh
59 algojo di tempat penggantungan dengan menngunakan sebuah jerat dileher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Namun sebelum tahun 1872 masih digunakan berbagai cara lain dan lazimnya eksekusi tersebut di lakukan didepan umum. 9 Pada masa pendudukan Jepang, selain diberlakukannya WvSi juga diberlakukan pula peraturan hokum pidana yang dikeluarkan oleh balatentara Jepang. Dalam Pasal 6 Osamu Gunrei No 1 ditetapkan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan dengan bedil. Sehingga pada waktu yang bersamaan ada dua cara pelaksanaan hukuman mati yaitu di gantung atau di tembak. Jika yang dilanggar adalah WvSI maka yang digunakan adalah ekskesi gantung, sedangkan jika yang dilanggar adalah peraturan Dai Nippon maka yang digunakan eksekusi dilakukan dengan cara ditembak mati. Kemudian Gunsei Keizirei yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1944 juga mengatur tata cara pelaksanaan hukuman mati dalam pasal 5 yang dilakukan dengan cara ditembak, kecuali jika hal itu sukar dilakukan maka diperbolehkan menggunakan cara lain. Pada Tahun 1946 Pemerintah RI mengeluarkan UU No 1 tahun 1946.kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya dualiesme eksekusi mati. Dalam wilayah RI yang saat itu dikuasi RI yang berlaku ialah pasal 11 KUHP yang menharuskan hukuman mati dilakukan dengan cara di gantung. Dan bagi daerah yang dikuasai oleh Belanda berlakulah Stb 1945 No 123 yang menharuskan hukuman mati dengan cara ditembak. Keadaan ini berlangsung sampai dengan tahun 1958. Dengan dikeluarkannya UU No 73 tahun 1958 maka cara pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan cara digantung sesuai dengan pasal
11 KUHP.
Pelaksanaan hukuman
mati
dengan
Tresna, “Hukum Pidana I”, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1950 , h-75
9
cara digantung
60 iniberlangsung sampai dkeluarkannya Penetapan Presiden No 2 tahun 1964. Menurut penetapan tersebut pelaksanaan hukuman dilaksanakan dengan di tembak sampai mati.Cara inilah yang berlaku sampai dengan sekarang. 10 Dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 ini secara tegas-tegas menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan, baik dilingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati (pasal 1) dengan tata cara sebagai berikut:
1.
11
Dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.
2.
Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang didalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama,
keculai
jika
terdapat
hal-hal
yang
tidak
memungkinkan
pelaksanaan demikian itu (pasal 2). 3.
Kepala
Polisi
Daerah
(KAPOLDA)
bertanggung
jawab
untuk
pelaksanaannya sekaligus menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. 4.
Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang KAPOLDA lain, maka KAPOLDA tersebut merundingkannya dengan KAPOLDA itu.
5.
KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi atau jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.
10
Ibid.
11
Ibid.
61 6.
Menunggu pelaksanaan pidana mati, Terpidana ditahan dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi.
7.
3 X 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut.
8.
Apabila
terpidana
hendak
mengemukakan
sesuatu,
maka
keterangannya atau pesannya itu diterima oleh jaksa Tinggi/ Jaksa tersebut. 9.
Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
10. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati. 11. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. 12. Untuk pelaksanaan pidana mati, KAPOLDA yang bertanggung jawab membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara (Brigadir - sekarang), 12 orang tamtama dibawah pimpinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob POLRI). 13. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya. 14. Regu penembak ini dibawah perintah Jaksa Tinggi/ jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati. 15. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. 16. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rokhani. 17. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
62 18. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, Komandan Pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. 19. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut. 20. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/ jaksa dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikatkan kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. 21. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ketempat yang ditentukan oleh Jaksa. 22. Jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter. 23. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. 24. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. 25. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. 26. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka komandan regu penembak segera
memerintahkan
kepada
Bintara
regu
penembak
untuk
melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
63 27. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter. 28. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa memutus lain. 29. Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan yang ditentukan oleh agama/ kepercayaan yang dianut terpidana
64
BAB IV PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
a. Hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Antikorupsi yang diterapkan saat ini di Indonesia di anggap masih terlalu ringan. Hal ini dikarenakan semakin maraknya tindak pidana korupsi yang ditemui dewasa ini. Lemahnya pengawasan dari pemerintah dan aparat-aparat yang terkait menyebabkan para pelaku tindak pidana korupsi dengan leluasa melancarkan aksinya.
b. Pemberantasan korupsi yang tidak dilaksanakan dengan tuntas dan tegas me`nyebabkan munculnya kasus-kasus korupsi lainnya. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah, membuat orang tergiur untuk memperkaya diri secara instan dengan jalan korupsi tanpa perlu bekerja keras
4.2.
Saran
a. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
b. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
DAFTAR BACAAN
Ali, Raymond, Pidana mati: analisis terhadap aturan pidana, penerapan dan pelaksanaan (eksekusi) serta prospeknya dalam pembaharuan hukum pidana, 2003 Djoko Parkoso & Nurwahid, Studi Tentang Pendapa-Pendapat Mengenai Efektifitas Hukuman Mati, GhaliaIndonesia, Jakarta, 1985 Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 ------------, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni, Bandung 1979 Supriyadi Widodo & Wahyu Wagiman, Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati di Indonesia, PT Alumni, Jakarta, 1979 Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, PT. Prenada Media, Jakarta, 2005.