POLITICAL INTEREST LEGISLATIF DALAM PENGALOKASIAN ANGGARAN DAERAH PADA SEKTOR PEKERJAAN UMUM (Studi Pada Pemerintah Provinsi Maluku) Gabrielle Issabelle O. Pariury Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Email:
[email protected] Priyo Hari Adi Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Email:
[email protected]
Abstract The main aim of this research is to find the exsistense of legislative’s political interest in local government budgeting process, especially at the infrastructure sector in Province Maluku Government. This study used qualitative approach that using information from key informants, primer and secondary data. The key informants are both from legislative and bureaucratic and the secondary data used in this research are Regional Government Work Plan and also the Regional Government Budget both that is proposed and issued through the regional act. The result shows the legislative’s opportunistic behavior by allocating infrastructure budget to their election areas. Legislative tend to optimize their political interests by using their power in budgeting process Keywords : Local Budgeting, Political Interest, Legislative’s Opportunistic Behaviour.
PENDAHULUAN Reformasi pada sektor publik ditandai dengan diberlakukannya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mengatur tentang Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomisasi ini memiliki dampak yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, termasuk pelaksanaan manajemen keuangannya, yaitu dalam pengelolaan keuangan dan anggaran daerah. Proses penyusunan anggaran pasca UU 22/1999 melibatkan dua pihak : eksekutif dan legislatif. 1
Penelitian Dodlova (2008), Halim (2001) dan Halim dan Abdullah (2006) membuktikan bahwa antara legislatif dan eksekutif tersebut terjadi hubungan keagenan. Dilihat dari segi politik, proses penganggaran mengandung unsur-unsur kolusi di mana pihak eksekutif dan legislatif secara bersama-sama mempertahankan kepentingannya dalam alokasi anggaran (Bastian, 2006). Hal ini karena adanya kepentingan dan preferensi berbeda dari kalangan budget actors (eksekutif dan legislatif) serta adanya perilaku oportunistik legislatif (Halim & Abdullah, 2006). Proses penganggaran memberikan peluang terjadinya perilaku oportunistik kepada legislatif karena di dalam proses tersebut, ada interaksi antara legislatif dan eksekutif untuk membahas dan meratifikasi usulan anggaran dari eksekutif. Pada tahap inilah, legislatif memiliki kesempatan untuk memasukkan kepentingannya dalam anggaran, termasuk political interest-nya. Hal inilah yang disebut perilaku oportunistik legislatif. Di Indonesia, posisi legislatif sejak UU 22/1999, menjadi sangat dominan, karena berhak memilih dan memberhentikan Kepala Daerah. Rekomendasi legislatif dalam pengalokasian sumber daya sulit ditolak oleh eksekutif, sehingga memberikan kesempatan bagi legislatif untuk memasukkan kepentingannya dalam anggaran. Keadaan ini menyebabkan distorsi dan kerugian bagi rakyat. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, pemerintah kemudian memberlakukan UU 32/2004 sebagai revisi peraturan sebelumnya. Legislatif tidak lagi memiliki kewenangan sebagai perantara dalam memilih kepala daerah, karena pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat. Tidak hanya itu, PP 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan Daerah yang mengandung kemungkinan bias interpretasi atas anggaran dan menyebabkan korupsi dalam penganggaran (Bastian, 2006) pun direvisi menjadi PP 24/2004. Perubahan-perubahan dalam perundangan tersebut diharapkan akan mengurangi perilaku oportunistik legislatif dengan memanfaatkan discretionary power yang dimilikinya (Halim & Abdullah, 2006).
2
Penelitian mengenai perilaku oportunistik legislatif ini sudah pernah dilakukan oleh Syukriy Abdullah (2004). Dari penelitiannya, diperoleh hasil bahwa legislatif melakukan political corruption melalui discretionary power yang dimilikinya dalam penganggaran. APBD pun digunakan oleh legislatif sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian Abdullah (2004), perilaku oportunistik diukur dengan menggunakan variabel spread pendapatan asli daerah (PPAD) di kabupaten/kota di Indonesia dan legislatif masih memiliki bargainning power yang lebih besar dibandingkan eksekutif. Sedangkan dalam penelitian ini, kedudukan eksekutif dan legislatif pasca UU 32/2004 adalah sejajar dan sama kuat, sehingga proses tarik menarik kepentingan menjadi lebih kuat. Perilaku oportunistik (political interest) legislatif dilihat dengan melakukan studi dan analisis deskriptif pada RKPD dan Realisasi Fisik dan Keuangan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku. Spesifikasi ini didasari oleh pendapat Dodlova (2008), Mitchell (2005) dan Abdullah (2004) yang menyatakan bahwa pemerintah akan cenderung lebih condong kepada proyek yang menguntungkan dirinya dan valuable di mata voters, seperti infrastruktur. Preferensi legislatif pada proyek infrastruktur (yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum) ini karena lebih mudah digunakan sebagai bentuk pemenuhan atas janji kepada voters-nya (Keefer & Khemani, 2003 dalam Abdullah, 2004). Hal ini dilakukan legislatif juga untuk menghemat biaya kampanye untuk Pemilu berikutnya. Sedangkan Provinsi Maluku dipilih sebagai objek penelitian, karena Provinsi Maluku juga telah menerapkan sistem otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, berdasarkan UU 22/1999 dan UU 25/1999. Daerah ini pun sudah memilih wakil rakyatnya dengan cara pemilihan langsung, sehingga anggota dewan pun memiliki kontrak politik dengan konstituennya masingt-masing. Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang diteliti selanjutnya dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut : bagaimana political interest
3
(perilaku oportunistik) legislatif dalam mempengaruhi besarnya alokasi anggaran Pekerjaan Umum khususnya ke kabupaten/kota yang merupakan daerah pemilihannya? Dan apakah pengaruh legislatif dalam mengalokasikan anggaran Pekerjaan Umum tersebut akan berdampak pada kesuksesannya dalam Pemilihan Umum pada periode berikutnya? TINJAUAN LITERATUR Penganggaran Daerah dalam Organisasi Pemerintahan Anggaran Daerah merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam mendukung siklus perencanaan strategis daerah dan berkaitan dengan rencana strategis Daerah (Yuwono et al., 2005 : 87). Di Indonesia, dokumen Anggaran Daerah dikenal sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang selanjutnya disebut APBD. Menurut Bastian (2006 : 155), APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Sebagai sebuah instrumen penting dalam proses manajemen, Anggaran Daerah memiliki banyak
fungsi. Sebagaimana yang dikutip dari Mardiasmo (2002), Anggaran Daerah
mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu sebagai : (1) alat perencanaan, (2) alat pengendalian, (3) alat kebijakan fiskal, (4) alat politik, (5) alat koordinasi dan komunikasi, (6) alat penilaian kinerja, (7) alat motivasi, dan (8) alat menciptakan ruang publik. Adapun tujuan utama perumusan Anggaran Daerah yaitu menterjemahkan perencanaan ekonomi pemerintah, yang terdiri dari perencanaan input dan output dalam satuan keuangan (Darwanto & Yustikasari, 2005). Mardiasmo (2002 : 63) menyatakan bahwa salah satu alasan pentingnya Anggaran Daerah adalah karena anggaran diperlukan oleh sebab adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada
4
terbatas. Hal yang sama dikemukakan Key (Abdullah, 2004), dimana keterbatasan sumber daya menyebabkan proses pembuatan keputusan menjadi sangat dinamis, terlebih karena terdapat banyak pihak dengan kepentingan dan preferensi berbeda. Penganggaran digunakan oleh budget actors (eksekutif dan legislatif) menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumber daya, dan menjadi suatu bargaining process antar dua pihak tersebut (Hagen et al., 1996). Siklus anggaran setidaknya mempunyai tiga tahapan, yakni penyusunan anggaran daerah, pelaksanaan anggaran daerah, dan pertanggungjawaban APBD (Yuwono et al.,2005). Sedangkan Henley et al.(1990) sebagaimana dikutip oleh Mardiasmo (2002), penganggaran meliputi empat tahap yang terdiri atas preparation, approval/ratification, implementation dan reporting and evaluation. Pada kedua tahapan pertama, menurut Abdullah (2004), terjadi interaksi antara eksekutif dan legislatif dan politik anggaran terjadi dan paling mendominasi, sementara pada dua tahap terakhir hanya melibatkan birokrasi sebagai agent. Hubungan Keagenan dalam Organisasi Pemerintahan Untuk menjelaskan fenomena political interest dalam penganggaran publik, teori keagenan dapat dipakai sebagai landasan teori (Christensen, 1992; Johnson, 1994; Smith & Bertozzi, 1998 dalam Halim & Abdullah, 2006). Teori keagenan (agency theory) menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) dengan pihak yang menerima wewenang (agen), dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of contract”. Pihak agen biasanya memiliki informasi (keuangan) yang lebih daripada pihak prinsipal, sedangkan pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi dan politiknya karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power) menurut Alt et al. (2005). Di organisasi pemerintahan daerah Indonesia secara sadar atau tidak, teori keagenan ini telah dipraktikkan. Apalagi sejak otonomi dan desentralisasi diberikan kepada pemerintah 5
daerah sejak tahun 1999. Masalah keagenan yang timbul di kalangan legislatif (anggota dewan) terjadi dari dua tinjauan perspektif, sebagai prinsipal atas eksekutif dan sebagai agen dengan rakyat atau pemilih (Halim & Abdullah, 2006). Masalah keagenan yang timbul dalam perspektif prinsipal pasca UU 22/1999 adalah legislatif memiliki discretionary power dibandingkan eksekutif, karena legislatif memiliki peran utama dalam memilih dan memberhentikan eksekutif (kepala daerah). Dalam hal ini muncul moral hazard, dimana legislatif cenderung tidak akan memilih kepala daerah berdasarkan preferensi konstituen, melainkan preferensi berbeda, seperti kepentingan partai politiknya. Eksekutif sendiri, dengan dukungan birokrasinya mempunyai informasi yang lebih daripada legislatif, sehingga muncul asimetri informasi. Namun setelah UU 22/1999 direvisi menjadi UU 32/2004, dominasi legislatif berpindah ke eksekutif. Hal ini karena kepala daerah tidak lagi dipilih dan diberhentikan oleh DPRD melainkan oleh rakyat. Hal ini berarti bahwa kepada daerah membawahi lembaga birokrasi di daerah pun memiliki kepentingannya sendiri. Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, berusaha semaksimal mungkin dalam mengakomodasi aspirasi dari konstituennya, dengan harapan bisa terpilih lagi dalam pemilihan berikutnya. Dalam hal ini pula ada indikasi perilaku oportunistik yang dilakukan Kepala Daerah, yang akan cenderung condong pada proyek-proyek yang valuable di mata konstituennya. Fakta tersebut membuat penganggaran menjadi proses tarik menarik kepentingan antara legislatif dan eksekutif, karena masing-masing ingin memasukkan kepentingannya dalam anggaran. Apalagi, legislatif juga mempunyai preferensi berbeda dengan eksekutif atas jumlah anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum. Sedangkan dilihat dari perspektif agen, posisi legislatif adalah sebagai agen dan voters/rakyat sebagai prinsipal. Rakyat memilih legislator sebagai wakilnya di pemerintahan,
6
dan memberikan dana berupa pembayaran pajak. Pihak legislatif sebagai agen diharapkan akan membela kepentingan mereka. Namun hal ini seringkali tidak terjadi karena ketidakjelasan aturan konsekuensi kontrol kekuasaan yang disebut abdication. Akibatnya, menurut Garamfalvi (1997) dalam Abdullah (2006), pihak legislatif cenderung menyusun anggaran untuk kepentingan pribadi, termasuk kepentingan politiknya (political interest). Apabila kondisi di atas terjadi, maka proses penyusunan APBD yang semestiya akan menghasilkan outcome yang efisien dan efektif dari alokasi sumber daya dalam anggaran akan terdistorsi karena adanya perilaku oportunistik untuk kepentingan pribadi dan politisi (Abdullah, 2006). Political Interest (Perilaku Oportunistik) Legislatif dalam Penganggaran Daerah Fungsi anggaran sebagai alat politik adalah sebagai dokumen politik yang merupakan bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu (Mardiasmo, 2002). Namun seringkali anggaran digunakan oleh politisi sebagai sarana untuk melancarkan political interest yang ingin dicapainya. Dilihat dari sudut pandang teori keagenan, eksekutif sebagai agen menjadi pengusul anggaran dan juga pelaksana atau pengguna dari anggaran tersebut berupaya untuk memaksimalkan jumlah anggaran. Sedangkan legislatif memiliki kesempatan untuk memasukkan kepentingannya dalam usulan anggaran yang diajukan eksekutif. Proses ratifikasi anggaran menjadi ajang legislatif dan eksekutif untuk mempertahankan kepentingannya. Menurut Abdullah (2009), beberapa bentuk persoalan keagenan dalam pengalokasian sumberdaya ini adalah (1) Penentuan alokasi yang terlalu besar atau lebih besar dari kebutuhan yang sebenarnya (mark-up), (2) Penentuan target kinerja yang terlalu rendah (understatement) dan (3) Pemrioritasan yang tidak sesuai dengan preferensi publik.
7
Hal ini dilakukan legislatif untuk memenuhi political interest jangka panjang dalam menjaga kesinambungan dan mengharumkan nama politisi bersangkutan untuk kepentingan pemilihan berikutnya. Dalam konteks peran legislatif dalam penganggaran inilah, adanya motif political interest akan mempengaruhi pengalokasian dana di dalam anggaran. Alt dan Lassen (2005) menyatakan bahwa political interest dalam memanipulasi instrumen kebijakan ekonomi sangat kuat dan menjelaskan mengapa hal itu terjadi : One purpose of a political business cycle is to signal competence to voter .... Greater transparency is a way to create what Powell and Whitten (1993) called “clarity of responsibility.” It eases the task of attributing outcomes to the acts of particular politicians. Naturally, incumbents want credit for delivering things valued by voters. Equally, incumbents want to dodge blame for things disliked by voters.
Pendapat ini menegaskan bahwa political interest terjadi karena politisi ingin menunjukkan kompetensinya pada voters. Apalagi menurut Powell dan Whitten (1993), transparansi politik era ini membuat voters bisa dengan mudah melihat hasil kerja wakilnya. Oleh karena itu, incumbents akan melakukan hal-hal yang valuable bagi voters dan akan menghindari kesalahan yang tidak disukai oleh voters. Dengan melakukan strategi politik tersebut, pejabat/legislatif melakukan upaya yang disebut rent-seeking. Kebijakan yang ditujukan untuk publik dibuat dengan motivasi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok yang berimplikasi merugikan kepentingan publik, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Seorang incumbent yang mengedepankan kepentingannya akan melakukan upaya tersebut untuk meminimumkan political cost. Political cost merupakan penggunaan anggaran untuk kepentingan politik seseorang. Alt dan Lassen (2002) berpendapat bahwa pejabat yang ingin terpilih lagi, tentu saja akan bertindak akuntabel, sehingga biaya politik/kampanye yang akan dikeluarkan saat Pemilu bisa diminimumkan. Tak jarang, politisi pun melakukan korupsi dan menggunakan anggaran untuk kepentingan politik pribadinya. Garamfalvi (1997) dalam Halim & Abdullah (2006) menyatakan bahwa politisi akan menggunakan pengaruh dan kekuasaan untuk menentukan alokasi sumber daya, yang akan 8
memberikan keuntungan pribadi bagi politisi. Preferensi legislatif adalah pada proyek infrastruktur karena lebih mudah digunakan sebagai bentuk pemenuhan atas janji kepada voters-nya (Keefer & Khemani, 2003 dalam Abdullah, 2006). Legislatif pun memiliki kesempatan untuk mengalokasikan anggaran ke wilayah-wilayah yang menguntungkan bagi kedudukannya pada periode berikutnya, misalnya pada daerah pemilihannnya. Dengan melakukan hal itu, voters akan dengan mudah melihat apa yang sudah dilakukan oleh incumbent, sehingga diharapkan akan meningkatkan dukungan pada Pemilu berikutnya. Harapannya, dengan mempengaruhi pengalokasian anggaran, biaya kampanye yang dikeluarkan bisa ditekan karena kepercayaan publik telah ditingkatkan. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian dan Data Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan pengamatan melalui diskusi untuk memperoleh gambaran secara mendalam gambaran dari suatu gejala. Penelitian ini dilakukan melalui wawancara dengan key informant, dan didukung data-data aktual untuk memperoleh gambaran mengenai
political interest legislatif dalam
penganggaran daerah. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa data sekunder yaitu Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Realisasi Fisik dan Keuangan Bidang Pekerjaan Umum untuk kurun waktu 2007 sampai dengan 2009. Sumber data diperoleh dari Pemerintah Daerah dan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku. Sedangkan data kualitatif berupa data primer yang berasal dari hasil wawancara dengan beberapa informan kunci (key informant) yaitu : beberapa anggota DPRD khususnya dari Komisi C yang menangani infrastruktur, dan informan dari Dinas Pekerjaan Umum dan
9
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penganggaran infrastruktur di Provinsi Maluku.
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Mardiasmo (2002), menyebutkan bahwa penganggaran meliputi empat tahap, yang terdiri atas preparation, approval/ratification, implementation dan reporting and evaluation. Menurut Von Hagen (2002), dalam Abdullah (2004), tahap pertama dan kedua didominasi oleh politik anggaran, yaitu terlibatnya beragam aktor sepanjang proses penganggaran tersebut, mulai dari perencanaan dan penyusunannya di lingkungan eksekutif sampai pengesahannya di legislatif menjadikan anggaran sebagai arena pertarungan politik penting setelah Pemilu. Untuk menjawab persoalan penelitian mengenai kepentingan politik legislatif, maka deskripsi terhadap kedua tahap tersebut dibutuhkan, dan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut. 1. Persiapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pada tahap persiapan (preparation) anggaran, peran eksekutif sangat mendominasi. Setiap proses dalam kegiatan penyusunan rancangan anggaran ini disusun dan dikoordinasi langsung oleh eksekutif, dalam hal ini pemerintah daerah. Sebagai langkah awal, pemerintah daerah perlu melakukan perencanaan dengan menyelenggarakan forum Musyawarah Perencanaan
Pembangunan
(Musrenbang)
secara
berjenjang,
mulai
dari
tingkat
desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota hingga tingkat provinsi. Termasuk kemudian menyelenggarakan Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kabupaten/kota dan provinsi. Secara ringkas, alur perencanaan dan penyusunan anggaran khususnya bidang kePUan dapat dilihat pada gambar berikut ini :
10
Musrenbang Desa/Kelurahan Musrenbang Kecamatan Musrenbang Kabupaten/Kota
Forum SKPD Kabupaten/Kota
Forum SKPD Provinsi Musrenbang Provinsi RKPD KUA PPAS Renja SKPD RKA Subdin PSDA
RKA Subdin P2J
RKA Subdin P2TB
Draft RKA-SKPD RKA-SKPD RAPBD APBD
Gambar 1. Alur Perencanaan dan Penyusunan APBD (Hasil Penelitian dan Wawancara) Sebagai awal, pemerintah akan memulai dengan Musrenbang tingkat desa/kelurahan pada bulan Januari sebelum tahun anggaran yang
melibatkan semua unsur penyelenggaraan
negara dengan mengikutsertakan masyarakat. Forum ini akan menyiapkan daftar prioritas pembangunan, beserta potensi dan permasalahan yang dihadapi, maupun daftar delegasi yang akan mewakili desa ke forum tingkat berikutnya. Dari hasil wawancara, ditemukan bahwa pelaksanaan Musrenbang, khususnya untuk daerah Maluku sendiri, memiliki beberapa kendala. Hal tersebut disampaikan oleh Guntur Napitupulu, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Bappeda Provinsi Maluku : ”...kenyataannya tidak semua daerah melaksanakan Musrenbang. Anda bisa bayangkan bahwa kondisi kita itu lebih dari 1000 pulau, 1412 pulau. Transportasi itu sulit...Anda sudah pernah melihat peta Maluku kan, misalnya dari satu pulau ke pulau lain itu satu desa, satu kecamatan. Jadi bagaimana dia bisa transportasi, mahal...Kan kita gak mungkin langsung turun ke desa sana, wah ini kapan lagi, padahal kita dijadwalkan Januari sudah harus musyawarah... Di desa juga ada kendalanya, karena di desa itu banyak kontroversi yang nanti terjadi. Pemilihan kepala desa kan ada yang setuju, ada yang tidak setuju. Kadang-kadang kan yang tidak
11
setuju, ah ngapain saya rapat-rapat. Padahal nanti kalau sudah ada program, baru protes, katanya tidak sesuai.”
Proses musyawarah yang diharapkan bisa menjaring aspirasi masyarakat, rupanya belum terselenggara secara optimal. Masyarakat di daerah Maluku khususnya, masih terhalang oleh masalah klasik, yaitu transportasi dan kurangnya partisipasi. Hanya segelintir masyarakat yang bisa terlibat langsung dalam proses, sehingga tidak semua aspirasi bisa tersalurkan. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas Musrenbang masih jauh dari harapan. Berikutnya pada Musrenbang tingkat Kecamatan, terjadi interaksi pertama kali dengan SKPD, dimana hasil dari musyawarah ini tidak hanya diteruskan ke Musrenbang Kabupaten/Kota saja, tetapi juga ke Forum SKPD. Melalui forum tersebut, setiap SKPD akan melakukan verifikasi terhadap usulan dari masing-masing kecamatan hingga kemudian dituangkan dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD). SKPD yang diteliti yaitu Dinas Pekerjaan Umum, akan melakukan koordinasi dengan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), khususnya Bidang Sarana dan Prasarana untuk melakukan verifikasi atas usulan-usulan yang berkaitan dengan infrastruktur. Hal tersebut sebagaimana diterangkan oleh Sandy Wattimena selaku Kepala Sub Bidang Pengembangan Permukiman dan Tata Bangunan, yang menangani Prasarana/Sarana Pedesaan/Perkotaan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku: “Jadi verifikasi sesuai dengan sasaran-sasaran tahunan yang mau kita capai dalam bidang infrastruktur, untuk apa saja. Itu harus tercermin dari program yang kita masukkan. Misalnya kita mau peningkatan pelayanan kebutuhan air minum untuk Provinsi Maluku. Nah, disitu misalnya di dia punya sasaran tahunannya peningkatan kebutuhan air minum, misalnya sekian liter per detik, itu katong harus tunjang dengan katorang punya program tahunan untuk tunjang dia punya tujuan pembangunan itu. Nah itu dibahas di Bappeda...”
Usulan semua SKPD yang telah lolos verifikasi akan disinkronisasi, diusulkan dan dibahas dalam Musrenbang Provinsi yang diselenggarakan oleh Kepala Bappeda dan diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan, seperti perangkat daerah dan kepala tiap departemen. Hasil pembahasan tersebut akan disahkan menjadi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang memiliki kekuatan hukum menurut perundang-undangan dan menjadi
12
salah satu pedoman untuk kemudian menyusun rencana Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (KUA). Arah dan kebijakan umum ini biasanya berisikan asumsi-asumsi, sehingga dalam pencapaiannya ditemukan berbagai kendala karena adanya keterbatasan sumber daya. Untuk itu diperlukan strategi, skala prioritas atau cara tertentu yang dapat memperlancar pencapaian arah dan kebijakan umum APBD. Oleh karena itu pemerintah daerah kembali merumuskan Plafon dan Prioritas Anggaran Sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap SKPD. KUA dan PPAS ini dinyatakan dalam sebuah nota kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Pada tahap formulasi tersebut relatif tidak terjadi konflik antara eksekutif dan legislatif. Kemudian Dinas PU sebagai salah satu SKPD, akan menyusun draft RKA-SKPD (Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah) berdasarkan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara. Draft pembangunan fisik disusun oleh setiap Sub Dinas PU, antara lain : (1) Pengembangan Sumber Daya Air (PSDA), (2) Pengembangan Prasarana Jalan (P2J), (3) Pengembangan Permukiman dan Tata Bangunan (P2TB), disesuaikan dengan tugas dan kewenangan yang mereka miliki. Berikut ini rancangan yang telah disusun Dinas PU beserta realisasi proyeknya : Tabel 1 : Rancangan dan Realisasi APBD Bidang Infrastruktur Provinsi Maluku TA 2008 dan 2009 (Berdasarkan Sub Dinas PU) TA
2008
Sub Dinas
Nilai Proyek Dianggarkan dalam APBD
Nilai Proyek yang Direalisasi Rp
%
P2J
57.446.450.000
31.060.115.625
30.001.663.080
96,59%
PSDA
17.088.000.000
25.005.999.000
24.676.686.000
98,68%
P2TB
2.400.000.000
800.000.000
-
0,00%
76.934.450.000
56.866.114.625
54.678.349.080
96,15%
120.924.596.000
56.731.927.400
19.216.177.000
33,87%
PSDA
50.891.800.000
8.125.070.000
11.221.483.000
138,11%
P2TB
18.485.000.000
11.412.965.000
1.223.822.000
10,72%
76.269.962.400
31.661.482.000
41,51%
TOTAL P2J 2009
Nilai Proyek yang Diajukan dalam RAPBD
TOTAL 190.301.396.000 Sumber : RKA-SKPD dan Realisasi Anggaran Dinas PU
13
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa daya serap daerah dan kinerja dinas dalam merealisasikan belanja bidang infrastruktur sudah cukup baik, terbukti dengan realisasi pembangunan pada tahun 2008 yang mencapai 96,15%. Pada tahun 2009 sendiri, realisasi pembangunan adalah mencapai 41,51%. Berdasarkan hasil penelitian pada proses verifikasi intern pada dinas tersebut juga ditemukan
bahwa
dalam
penyusunan
anggaran
SKPD
biasanya
akan
berusaha
memaksimalkan anggaran untuk kepentingan birokratnya. Hal ini diakui oleh Sandy Wattimena : “...Uang ini kan katong pake di Provinsi Maluku, sebagian besar kita pakai untuk anggaran rutin, seperti gaji-gaji pegawai, pemeliharaan kantor, dan segala macam. Itu terbesar disitu. Belanja aparatur kalau gak salah. Kalau belanja fisik kan akhirnya dari sisa-sisa itu lah, dibagi. Makanya kan terbatas. Sementara investasi-investasi untuk infrastruktur itu kan cukup besar. Jadi itu bisa saja ada kabupaten yang tidak dapat.”
Alokasi anggaran sebagian besar rupanya digunakan untuk membiayai anggarananggaran rutin, khususnya belanja pegawai. Hal ini tidak hanya terjadi pada anggaran Dinas Pekerjaan Umum, namun juga pada instansi-instansi pemerintah lainnya. Data APBD 2008 dan 2009 menunjukkan bahwa anggaran untuk belanja pegawai di Provinsi Maluku pada tahun 2008 dan 2009 mencapai 45% dari total belanja daerah. Hal ini menunjukkan bahwa dana yang dialokasikan untuk pembangunan langsung dan dapat dinikmati oleh rakyat masih sangat minim, dibandingkan dana yang dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan kalangan birokrasi. Dampak langsung yang dirasakan rakyat adalah daerahnya bisa saja tidak mendapatkan alokasi anggaran. Perilaku resisten aparatur negara tersebut menunjukkan bahwa kepentingan eksekutif dalam anggaran pun tidak bisa dielakkan. 2. Pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Konstitusi secara tegas menyampaikan tiga fungsi DPRD, yang salah satunya adalah fungsi anggaran. Sebagai lembaga representatif rakyat, legislatif merupakan tempat untuk 14
memastikan anggaran optimal sesuai dengan kebutuhan daerah berdasarkan sumber daya yang tersedia. Pada proses penganggaran, peran DPRD (legislatif) sangat penting dalam menyetujui atau menolak usulan anggaran yang diajukan oleh eksekutif melalui RAPBD, sebelum disahkan menjadi APBD. Kondisi ini seringkali dimanfaatkan oleh legislatif yang duduk sebagai incumbent menggunakan APBD untuk memenuhi political interest-nya. Pada tahun 2009, terdapat format Pemilihan Umum baru yang diterapkan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa legislatif dipilih berdasarkan jumlah suara mayoritas. Dengan demikian, kursi parlemen akan ditentukan berdasarkan suara rakyat, tidak lagi berdasarkan pengaruh besar elit partai seperti tahun-tahun sebelumnya. Format yang baru ini tentu saja mendorong para calon anggota legislatif bergerak lebih aktif untuk menarik konstituen. Mereka harus bekerja lebih keras, bersedia turun langsung ke masyarakat, untuk mempersiapkan kampanye melalui poster, baliho, brosur dan yang lainnya. Ini tentu saja membutuhkan political cost yang tidak sedikit. Tidak hanya dengan cara kampanye yang “beretika”, ada sebagian pula yang menggunakan cara-cara menyimpang seperti membagi-bagikan sembako gratis, membeli suara, dan lain-lain. Walaupun semua calon mendeklarasikan bahwa mereka tidak menggunakan kampanye yang menyimpang, namun selalu ada kemungkinan untuk politik uang. Untuk calon yang baru pertama kali mencalonkan diri, dana politik bisa berasal dari tabungan, sponsor, donor ataupun utang. Sedangkan untuk incumbent, selalu ada kemungkinan untuk menggunakan dana dari APBD. Ini dibuktikan dengan anggaran pada tahun 2009, yaitu hanya sepertiga daerah saja yang mengesahkan APBD tepat waktu. Data dari BPK menunjukkan, dari 33 provinsi dan 491 Kabupaten/Kota, hanya 156 APBD yang disahkan tepat pada waktunya, sedangkan anggaran 162 daerah, termasuk Provinsi Maluku, yang masih diperdebatkan di DPRD, terutama pada pembahsan RAPBD. Hal ini karena ada perdebatan dan negosiasi antara eksekutif dan legislatif, dan terjadi tarik-menarik
15
kepentingan (bargainning-process) di antara kedua pihak tersebut. Itu artinya sampai pemilihan umum dimulai, ada cukup waktu calon anggota legislatif incumbent mengalihkan dana APBD yang digunakan untuk kepentingan politiknya. Biasanya hal ini dilakukan dengan menyelipkan anggaran tertentu, salah satunya adalah anggaran untuk proyek pembangunan fisik atau infrastruktur. Hal ini menimbulkan konflik antara legislatif dan eksekutif. Karena di lain pihak, untuk memenuhi political interest-nya, anggota legislatif menginginkan daerahnya mendapatkan bagian dari alokasi anggaran fisik lebih dari daerah lain. Hal ini dilakukan karena proyek pembangunan fisik pada bidang ke-PUan merupakan proyek yang valuable karena bisa dilihat maupun dinilai secara langsung oleh voters dan sangatlah penting bagi legislatif dalam rangka pemenuhan janji terhadap konstituen. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Keefer & Khemani (2003, 2004), Mauro (1998a, 1998b), Garamfalvi (1997), dan Martinez-Vasquez et al. (2004) dalam Abdullah (2004), yang menemukan adanya upaya legislatif mempengaruhi keputusan alokasi anggaran belanja di APBD dan kecenderungan pada proyek infrastruktur untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Hal tersebut pun diakui oleh salah satu Anggota Komisi C DPRD Provinsi Maluku, Thalib Soumenna: ”Kalau seperti itu, dalam pandangan politik yang sedikit praktis, ya itu tidak bisa ditutupi. Tapi dari segi anggota dewan menjalankan amanat dia sebagai wakil rakyat, itu merupakan tuntutan karena memang kebutuhan riil disana. Kalau dia tidak bersuara dalam masalah ke-PUan ini, dia ditinggalkan oleh konstituennya. Iya kan?”
Pentingnya anggaran sektor fisik ini menyebabkan anggota legislatif melakukan intervensi yang cukup besar terhadap anggaran (intervensi hak budget). Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota legislatif sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat dan eksekutif yang telah dihimpun dalam RAPBD, seperti yang disampaikan Sandy Wattimena: “Ya, hal itu memang seng bisa dipungkiri... Karena itu tadi, dari segi dapilnya dia. Ada si A ngotot, si B ngotot, si C ngotot. Karena kan masing-masing membela dia punya konstituen lhah. Pasti dengan
16
sendirinya kita kembali kepada penganggaran. Uang ada gak. Kalau ada, ya kasih masuk aja, kan gak ada masalah. Tapi kalau ga ada duit, berarti kembali kepada mana yang diprioritaskan. Contoh 2010 kemarin kita masukin daerah-daerah lain, tapi ternyata ada masukan lain, legislatif ini juga kan pada masa reses, dorang kan kunjungan ke dorang punya daerah. Dorang lihat langsung, masyarakat susah. Dorang buat catatan. Nah pada saat pembahasan dengan eksekutif, disampaikan. Nah yang seperti itu, yang terpaksa harus kita prioritaskan. Tinggalkan dulu yang aksesnya memang agak jauh, tapi masih bisa dapat.”
Dari wawancara tersebut, ada kesan anggaran dikaitkan dengan kinerja sehingga legislatif akan berusaha semaksimal mungkin, agar daerahnya bisa mendapatkan alokasi anggaran fisik, sehingga
cenderung melakukan intervensi dan perubahan dalam anggaran proyek
infrastruktur. Padahal penambahan proyek baru bukan merupakan wewenang legislatif karena tidak diatur dalam konstitusi, yaitu PP 21/2007 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Penambahan proyek yang signifikan oleh legislatif berdasarkan daerah pemilihannya tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2 : Ringkasan APBD Bidang Infrastruktur Provinsi Maluku TA 2008 No
Daerah
1.
Kota Ambon
2.
Kab. Maluku Tengah
3.
Nilai Proyek yang Diajukan Eksekutif dalam RAPBD
Nilai Proyek Yang Ditambahkan Legislatif dalam Pembahasan Rp %
Nilai Proyek Diajukan Eksekutif yang Disetujui
Total Nilai Proyek Dianggarkan dalam APBD
1.550.000.000
381.350.000
10.443.047.000
96,5%
10.824.397.000
39.055.000.000
3.826.483.000
13.094.181.450
77,4%
16.920.664.450
Kab. Maluku Tenggara
4.235.600.000
2.344.594.100
722.500.000
23,6%
3.067.094.100
4.
Kab. Maluku Tenggara Barat
5.325.000.000
300.000.000
-
5.
Kab. Pulau Buru
6.658.000.000
11.327.115.675
265.000.000
2,3%
11.592.115.675
6.
Kab. Seram Bagian Barat
12.625.850.000
3.475.630.400
4.561.721.000
56,8%
8.037.351.400
7.
Kab. Seram Bagian Timur
4.085.000.000
6.124.492.000
-
0%
6.124.492.000
8 Kabupaten/Kota
3.400.000.000
-
-
0%
-
76.934.450.000
27.779.665.175
29.086.449.450
TOTAL
0%
51,1%
300.000.000
56.866.114.625
Sumber data : RKA-SKPD dan Realisasi Anggaran DPU Maluku
Tabel 3 : Ringkasan APBD Bidang Infrastruktur Provinsi Maluku TA 2009 No
Daerah
Nilai Proyek yang Diajukan Eksekutif dalam RAPBD
Nilai Proyek Yang Ditambahkan Legislatif dalam Pembahasan
Nilai Proyek Diajukan Eksekutif yang Disetujui
Rp
%
Total Nilai Proyek Dianggarkan dalam APBD
1.
Kota Ambon
11.215.000.000
1.094.727.072
7.034.470.000
86,5%
8.129.197.072
2.
Kab. Maluku Tengah
58.097.717.000
13.156.245.405
12.894.492.000
49,5%
26.050.737.405
3.
Kab. Maluku Tenggara
19.989.934.000
6.184.434.000
2.929.000.000
32,1%
9.113.434.000
4.
Kab. Maluku Tenggara Barat
8.500.000.000
-
1.347.000.000
100%
1.347.000.000
5.
Kab. Pulau Buru
24.727.500.000
1.880.563.000
1.920.477.000
50,5%
3.801.040.000
6.
Kab. Seram Bagian Barat
44.591.245.000
14.084.618.000
6.911.240.000
32,9%
20.995.858.000
7.
Kab. Seram Bagian Timur
15.440.000.000
750.000.000
483.000.000
39,2%
1.233.000.000
8.
Kab. Kepulauan Aru*
7.740.000.000
593.000.000
2.310.000.000
79,6%
2.903.000.000
9.
Kota Tual*
-
-
655.000.000
100%
655.000.000
17
10.
Kab.Buru Selatan**
-
-
856.696.000
100%
856.696.000
11.
Kab. Maluku Barat Daya***
-
-
1.185.000.000
100%
1.185.000.000
190.301.396.000 37.743.587.477 TOTAL * Merupakan pecahan dari Kab. Maluku Tenggara ** Merupakan pecahan dari Kab. Pulau Buru *** Merupakan pecahan dari Kab. Maluku Tenggara Barat Sumber data : RKA-SKPD dan Realisasi Anggaran DPU Maluku
38.526.375.000
50,5%
76.269.962.477
Tabel 2 dan 3 di atas, menunjukkan bahwa penambahan proyek fisik yang dilakukan oleh legislatif pada APBD sangat signifikan dibandingkan yang diajukan eksekutif pada RAPBD. Bahkan proyek baru yang ditambahkan legislatif mencapai 51,1% pada tahun 2008 dan 50,5% pada tahun 2009 (lebih rinci lihat lampiran 2), dari total nilai proyek yang dianggarkan dalam APBD. Jika dilihat dalam alokasi anggaran tiap kabupaten, total keseluruhan anggaran lebih besar dialokasikan untuk pembangunan Kabupaten Maluku Tengah, yang luas daerahnya lebih besar daripada daerah-daerah lain di Provinsi Maluku. Sedangkan daerah-daerah lain yang alokasi anggarannya sedikit dikarenakan adanya pemekaran-pemekaran daerah dan luas daerahnya yang cenderung kecil, seperti diungkapkan Guntur Napitupulu : ”Khusus PU itu ada uniknya. Uniknya, PU itu menangani beberapa ; Cipta Karya, Sumber Daya Air, Prasarana Jalan. Sedangkan Prasarana Jalan ini memiliki masalah kewenangan ; jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten. Yang ditangani oleh jalan provinsi, misalnya, status kewenangannya provinsi. Kenapa kalau kita ikuti dengan dasar ini ada daerah yang mendapat lebih. KArena pelebaran kewenangan provinsi, khusus jalan ya, lebih banyak di Seram (Maluku Tengah). Saparua, Haruku, Pelauw ada. Seram Timur ada. Pulau Buru jalan provinsinya sedikit saja. Pulau Yampena malah ga ada. Ini sudah ditentukan status jalannya. Sedangkan Maluku Tenggara itu banyak tersebar. Kan gabung kan, Kabupaten Maluku Tenggara dengan Kota Tual kan baru-baru aja terpisah. Sedangkan kepulauan Aru, malahan hanya 23 km, Sionidal dan Sional. Artinya ini akan mempengaruhi sistem pengalokasian anggaran.”
Walaupun anggaran infrastruktur untuk Kabupaten Maluku Tengah-lah yang paling besar, namun ternyata persentase nilai proyek terbesar yang ditambahkan legislatif justru adalah pada anggaran untuk Kota Ambon, yaitu sebesar 96,5% pada tahun 2008 dan 86,5% di tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa intervensi hak budget dan political interest legislatif yang paling besar juga terdapat pada daerah yang merupakan ibukota Provinsi Maluku ini.
18
Intervensi hak budget tersebut seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang dan alot untuk negosiasi antara eksekutif dan legislatif, seperti diakui Thalib Soumenna yang merupakan Anggota Komisi C DPRD Provinsi Maluku dari Daerah Pemilihan Kota Ambon : “Memang kendala. Jadi ramainya kita pada saat pembahasan anggaran adalah pada masalah ini. Jadi anggota dewan kan dia mewakili dapilnya, dia mewakili konstituennya. Tentu dia akan memperjuangkan habis-habisan kepentingan dapilnya, kepentingan konstituennya. Dan biasanya yang bikin pembahasan ini dia lama, ya lama tarik ulur dan sebagainya karena masalah ini. Dan sudah tentu kalau seorang anggota dewan, aspirasi yang dia bawa itu tidak diakomodir, tentu reaksi macam-macam ya.. Intinya adalah kita inginkan itu, jangan sampai terjadi gejolak politik. Karena gejolak politik kan nanti akan mengganggu stabilitas kerja dan kinerja pemerintah daerah. Dan anggota dewan kalau dia tidak diakomodir kepentingan dapilnya, potensi terjadi gejolak politik itu selalu ada. Nah karena itu kita tidak berharap demikian. Makanya selalu ada antisipasi-antisipasi...”
Reaksi yang dimunculkan anggota legislatif untuk memperjuangkan anggaran bagi konstituennya ini tak lepas dari adanya motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD terkesan membagi-bagi proyek. Menjelang Pemilu, pun mereka akan memaksimalkan anggaran fisik, agar pembangunan bisa dilihat dan dinilai oleh konstituennya. Terbukti anggaran infrastruktur terus meningkat pada dua tahun menjelang Pemilu yaitu tahun 2008 dan 2009 (lihat tabel 2 dan 3). Adanya dominasi perhatian terhadap anggaran fisik ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rahayu, dkk (2007) di daerah Samarinda. Ini memperkuat pendapat Alt dan Lassen (2002) bahwa pejabat yang ingin terpilih lagi, akan bertindak lebih akuntabel, sehingga biaya politik/kampanye yang akan dikeluarkan saat Pemilu bisa diminimumkan. Rury Moenandar selaku Ketua Komisi C DPRD Maluku mengakui usaha-usaha yang dilakukan legisaltif dalam penganggaran tersebut tidak lepas dari berbagai kepentingan di dalamnya, yang menguatkan indikasi hubungan positif antara political interest dengan anggaran : “Aspek pertama adalah prioritas kepentingan masyarakat tapi aspek kedua itu ada kepentingankepentingan politik di balik proses penganggaran itu. Anggaran-anggaran di DPRD kan semuanya itu berhubungan dengan kepentingan politik. Iya kan? Karena DPRD ini kan lembaga politik, jadi selalu berkaitan satu dengan yang lain. Tapi perjuangan untuk memenangkan program dalam APBD itu biasanya berkaitan dengan banyak aspek. Kepentingan masyarakat, kepentingan konstituen,
19
kepentingan politik, kepentingan eksekutif sedikit, kepentingan pejabat, kepentingan legislatif, belum lagi kepentingan bisnis dan segala macam.”
Tidak hanya pihak legislatif yang mengakui adanya kepentingan dalam anggaran. Pihak eksekutif selaku mitra legislatif, yang terlibat langsung dan bersama-sama melakukan kegiatan penganggaran, pun melihat adanya fenomena political interest legislatif dalam penganggaran, sebagaimana dijelaskan oleh Sandy Wattimena : “…legislatif kan lembaga politik. Dia kan membawa dimana dia punya lembaga pemilihan. Misalnya kita bahas untuk bidang kita di komisi C, itu kan dibawa ke dalam pleno itu kan semua panitia anggaran. Tapi mulai dari komisi C itu saja kan, misalnya ada berapa orang, 12 kalau gak salah. Dapilnya kan beda-beda. Pasti kan dia juga harus melihat kepentingan dia punya daerahnya kan... Kita kan sekarang sudah ada 11 kabupaten/kota. Waktu muncul, kadang-kadang kan dia punya daerah tidak ada. Dia kan pasti juga ngotot. Ngotot dalam arti, dia bilang, saya punya konstituen di daerah sana kan juga butuh. Tapi biasanya alot kan, artinya biasanya ditunda. Tapi biasanya ada daerah kita sudah usul, tapi tidak begitu diprioritaskan, kita ganti dengan yang lebih diprioritaskan...”
Hal ini pun sejalan dengan penelitian yang dilakukan Abdullah (2006) mengenai perilaku oportunistik legislatif yang menyimpulkan bahwa APBD digunakan oleh legislatif sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Dan perilaku tersebut tidak hanya terjadi di kota dan kabupaten di Jawa/Bali tetapi juga terjadi di luar Jawa/Bali. Proses penganggaran yang sarat kepentingan politik, seharusnya dilakukan perencanaan yang lebih arif. Karena apabila kegiatan penganggaran ini melewati tenggang waktu yang diberikan, maka Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Keuangan, akan memberikan sanksi berupa pemotongan DAU (Dana Alokasi Umum) sebesar 25%. Hal ini akan berdampak besar pada daerah, khususnya Provinsi Maluku yang masih mengandalkan DAU dari pemerintah pusat dibandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Dimana pendapatan daerah pada tahun anggaran 2008 dan 2009 yang berasal dari DAU mencapai 85% dan 80%, sedangkan PAD hanya berkisar 16% dan 17% saja (Lampiran 3). Masalah lain yang timbul adalah, jika proses penganggaran tersebut terlampau alot sehingga tidak mencapai titik temu dan melewati tenggang waktu yang diberikan, maka anggaran yang digunakan adalah anggaran tahun sebelumnya, yang tentu saja tidak sesuai dengan kebutuhan. Hal ini diungkapkan Guntur Napitupulu selaku Kepala Bidang Sarana dan 20
Prasarana Bappeda Provinsi Maluku yang juga ikut terlibat dalam pembahasan bersama legislatif : ”Proses APBD ini kan sesuai dengan Undang-Undang. Jadi pemerintah daerah menyerahkan rancangan itu maksimal bulan Juli. Jadi kalau dia serahkan, sebelum akhir tahun itu, harus selesai. ... Kalau sampai tanggal 31 Desember kita tidak menetapkan, maka anggaran DAU dipotong 25%. Dan itu fatal bagi kita. Bagi daerah lain gak ada masalah, karena PADnya tinggi, tapi kita punya PAD kan kecil. Kadang-kadang terjadi negosiasi, terjadi winning solution antara Pemda dan DPRD... Kalau DAU dipotong 25% berarti habis itu pembangunan di daerah. Yang rasakan bukan kita DPRD, tapi rakyat... Jadi kita harus toleransi, supaya minimal bisa memperbaiki kesejahteraan masyarakat dari tahun kemarin. Kalau DAU dipotong, rombak semua. Kalau anggaran tahun ini tidak disahkan, ya dia pakai anggaran tahun kemarin.”
Anggaran yang digunakan sebagai ajang pertarungan antar politisi dan menyebabkan distorsi serta misalokasi anggaran, sehingga anggaran yang direalisasikan tidak mengenai sasaran dan tidak merata. Bahkan ada pertentangan kepentingan antara eksekutif dan legislatif, karena adanya kepentingan dan preferensi berbeda serta adanya perilaku oportunistik legislatif yang cenderung memperhatikan kebutuhan infrastruktur ke daerah pemilihannya. Penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Halim & Abdullah, 2006 mengenai hubungan keagenan yang terjadi antara eksekutif dan legislatif. Walaupun studi kasus di Provinsi Maluku ini belum bisa mewakili provinsi lainnya di Indonesia, namun cukup bisa menggambarkan adanya tekanan pada mekanisme pemerintahan daerah yang sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel politik, termasuk political interest legislatif. Selain merupakan konsekuensi dari sebuah demokrasi, proses politik yang melatarbelakangi timbulnya political interest legislatif ini juga menyebabkan penurunan efektivitas anggaran daerah. Dari penelitian ini, nampak bahwa konselasi politik di Indonesia memang belum memungkinkan terciptanya penganggaran publik yang benar-benar akuntabel. Oleh karena itu, di masa yang akan datang, perlu diadakan reformasi yang berfokus pada prosedur politik dalam penganggaran daerah, terutama dalam kaitannya dengan perilaku legislatif. Selaku representasi rakyat, legislatif harus mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan political interest yang dimilikinya. 21
SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN PENELITIAN MENDATANG Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa proses penyusunan anggaran tidak lepas dari adanya kepentingan politik dari pihak-pihak terkait, yaitu eksekutif dan legislatif. Ketika pembahasan inilah terjadi bargainning process (tarik-menarik kepentingan) antara kedua pihak tersebut. Hal ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Dodlova (2008), Halim (2001) dan Halim & Abdullah (2006) dimana antara legislatif dan eksekutif tersebut terjadi hubungan keagenan. Proses penganggaran mengandung unsur-unsur kolutif di mana pihak eksekutif dan legislatif secara bersama-sama mempertahankan kepentingannya dalam alokasi anggaran (Bastian, 2006). Legislatif akan mengoptimalkan alokasi anggaran ke daerah pemilihannya dengan melakukan intervensi hak budget yang cukup besar pada penganggaran.
Hal tersebut
dilakukan legislatif karena adanya kepentingan politik (political interest), yaitu sebagai sarana pemenuhan janji dan agar tidak ditinggalkan oleh konstituennya. Hasil penelitian ini konsisten dengan Abdullah (2006) yang menemukan adanya perilaku oportunistik yang dilakukan legislatif dalam penganggaran.
Keterbatasan dan Penelitian Mendatang Karena keterbatasan waktu penelitian, penulis tidak dapat mengamati secara langsung proses penyusunan sampai pengesahan anggaran. Penelitian mendatang diharapkan adanya pengamatan secara langsung dalam proses ini, sehingga bisa diperoleh informasi yang lebih mendalam bagaimana dinamika prosesi itu berlangsung. Deskripsi mengenai hal ini akan memberikan
informasi
lebih
jauh
bagaimana,
baik
legislatif
maupun
eksekutif
mengoptimalkan political interest-nya melalui anggaran daerah. 22
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Syukriy. 2004. Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah: Pendekatan Principal-Agent Theory. Makalah disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu, Bengkulu, 4-5 Oktober 2004. Alt, James., David Lassen. 2002. The Political Economy of Institutions and Corruption in American States. Prepared for presentation in the Mancur Olson Lecture Series, University of Maryland, April 2002. _________. 2006. Transparency, Political Polarization, and Political Budget Cycles in OECD Countries. American Journal of Political Science, Vol. 50, No. 3, Pp. 530–550 Alt, James., David Lassen & Shanna Rose. 2005. The Causes of Fiscal Transparency: Evidence from the American States. presented at the Jacques Polak Sixth Annual Research Conference, International Monetary Fund, November 3-4, 2005. Bastian, Indra. 2006. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat. Darwanto, Yulia Yustikasari. 2005. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Dodlova, Maria. 2008. Political Tenure, Power and the Size of Government Bureaucracy. Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintahan Daerah: sebuah peluang penelitian anggaran dan akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. _________. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : Penerbit Andi. Mitchell, Daniel J. 2005. The Impact of Government Spending on Economic Growth. Executive Summary Backrounder Yuwono, Sony., Tengku Indrajaya & Hariyadi. 2002. Penganggaran Sektor Publik. Malang : Bayumedia.
23