Policy Brief “Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jakarta” Komisi B - DRD DKI I. Pengantar Pengaturan kota cenderung menjadi isu politis level tinggi, yang dipengaruhi oleh banyak kepentingan. PKL merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi dalam sektor informal yang didefiniskan sebagai sektor ekonomi yang berlangsung diluar peraturan dan ketentuan yang mengatur sektor formal. Kajian PKL ini tidak sempurna sebagimana layaknya suatu hasil penelitian mengingat keterkaitan tugas dan fungsi DRD DKI dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki sehingga mungkin tidak secara runtut mengantarkan kita pada pemahaman yang utuh tentang makna, etika, dan operasionalisasi, penataan serta pembinaan PKL yang selayaknya dilakukan. II. Latar Belakang Pembangunan Ekonomi Indonesia berlangsung tidak berimbang antara Pusat dan Daerah, antara Kota dan Desa, sehingga akses pembangunan hanya bertumpu pada segelintir pelaku ekonomi kuat yang tidak berorientasi kepada Sumber Daya Alam (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan) dengan SDM yang didukung oleh kemodernan (industri). Dengan kata lain, bahwa pembangunan sektor modern tidak diupayakan berjalan berimbang dengan kemajuan sektor pertanian yang berakibat terjadinya mobilisasi penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah suatu “keterpaksaan”, karena mereka tidak cukup memiliki skill untuk mempertahankan hidup dengan melakukan berbagai usaha ekonomi sektor informal (PKL) yang kerap berlangsung di luar peraturan dan ketentuan dengan memanfaatkan fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap. Karena itulah, pembuat kebijakan kerap memandang PKL sebagai “penyakit” dalam tata kota modern karena identik dengan ketidakteraturan, kekotoran, gangguan lalu lintas, kumuh, dan lain-lain. Dengan perspektif ini, kebijakan umum yang dipakai adalah bersifat represif melalui razia tanpa komunikasi yang baik. Di sisi lain, PKL adalah “korban” ketidakteraturan kota dan ketidakpastian hukum yang kerap menghadapkan mereka pada tindakan-tindakan premanisme jalanan, baik secara fisik maupun finansial. Lebih ironis lagi, PKL kerap membayar retribusi/pajak ilegal kepada preman penguasa lokasi, dimana retribusi/pajak tersebut tidak masuk ke kas negara. Data Kementerian Koperasi & UKM Tahun 2013 menunjukkan jumlah UKM dan Mikro mencapai 56,5 Juta Unit dan 98,8% adalah Usaha Mikro yang menampung lebih dari 100 Juta tenaga kerja. Sedangkan Data Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) DKI Jakarta, Tahun 2010 mencapai 422.712 orang (SHNews 08/05/2013) yang pada Februari 2013, Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan (KUMKMP) menyatakan sedang melakukan pendataan jumlah PKL di Jakarta yang dipastikan terus berkembang tiap tahunnya (Suara Pembaruan 27/02/2013). Dari sisi penawaran, aktivitas PKL merupakan salah satu sumber utama penghasilan masyarakat miskin perkotaan yang tidak terserap dalam sektor ekonomi formal (McGee, 1977, Iyenda, 2005). Dari sisi permintaan, PKL muncul karena adanya kebutuhan (demand) dari masyarakat khususnya dari masyarakat ekonomi lemah (Bodhikong & Moongjongklang, 2004). 1
Dalam perspektif baru ekonomi, sektor ekonomi informal tidak lagi semata dilihat sebagai masalah perkotaan negara berkembang, namun dapat dimanifestasikan secara positif ke dalam bentuk kreativitas individu dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi (Todaro, 2005). Oleh sebab itu, merupakan keniscayaan Pemerintah Dki untuk melakukan penataan, pembinaan, dan perlindungan terhadap PKL. III. Metodologi Kajian dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
Tinjauan Literatur - PKL dapat dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu statis dan dinamis (Bhowmik 2002). PKL statis memiliki lokasi tetap, menggelar dagangan dengan tikar plastik atau tenda-tenda semi-permanen. PKL dinamis umumnya mendorong gerobak atau memikul dagangannya dan berpindahpindah tempat. - Empat faktor pendorong berkembangnya PKL di perkotaan (Dimas 2008): o Migrasi desa-kota akibat gap pembangunan. Kebanyakan dari sektor agrikultur, tidak memiliki cukup kompetensi bagi sektor formal perkotaan. Akibatnya, mereka terserap dalam sektor informal; o Surplus tenaga kerja di sektor pertanian di daerah rural sementara tanah tidak bertambah. Mereka yang tidak terserap di daerah bermigrasi ke kota untuk bekerja. o Persaingan ketat pasar ekonomi global mendorong pada outsourcing yang kerap menempatkan pekerja pada sektor informal dengan gaji rendah tanpa asuransi, standar kerja yang layak dll (ILO 2005). Menurut penelitian, sejumlah besar PKL di Asia dan Amerika Latin adalah mereka yang dulu bekerja dalam sektor formal namun kehilangan pekerjaannya setelah proses outsourcing terjadi. Teknik-teknik pengembangan kota dalam mengakomodir sektor informal (Perera, 1994): Teknik Regularisasi penggunaan area yang sudah ada Alokasi land reservations Pengembangan lahan kosong Jalur kereta yang sudah tidak terpakai Penempatan/pengaturan perkampungan kumuh yang rusak Konservasi perkotaan
Tipe Area Tepi jalan (sidewalks), street corners, lahan sisa, jalan dengan arus lalu lintas relatif lambat Railroad reservation, riverbank reservation Lahan yang tidak digunakan di sekitar jalur rel kereta api Pembaharuan/pengembangan ulang kota Blok perkotaan (inner city block) yang mulai rusak Pertokoan tua, pasar kota yang mulai rusak
Literatur Penelitian PKL dalam dan luar negeri Survey dan Wawancara ke Pasar-pasar di DKI Jakarta Focused Group Discussion pada 2 Desember 2014 dan 12 Desember 2014
2
IV. Temuan Pokok Praktik-Praktik Penataan PKL Dalam Negeri
PKL (Pedagang Kreatif Lapangan) Kota Bogor o Kuliner sebagai wisata andalan kota Bogor o Kementerian Koperasi & UKM dan Pemkot Bogor bekerja sama menghimpun pedagang makanan dalam koperasi pedagang kreatif lapangan (PKL) yang anggotanya akan diberi pelatihan dan difasilitasi dalam pengurusan sertifikat higienis dan halal. Lapak mereka diperbaiki Pemkot dan ditarik retribusi Rp 30.000 per bulan. Kawasan kuliner Jalan Bina Marga dijadikan percontohan pembinaan PKL. Kota Kudus, Jawa Tengah o Bank Sinarmas Syariah memberdayakan PKL melalui kerangka micro finance (pembiayaan mikro) terhadap PKL di Kudus. Dana yang disiapkan mencapai 1 miliar dimana tiap PKL dapat memperoleh hingga maksimal Rp 10 juta dengan margin pembayaran sebesar 1,6% per bulan (Republika, 9 September 2013).
Praktik-Praktik Penataan PKL Luar Negeri: Bangkok, Thailand
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nirahtron (2006) terhadap PKL di Thailand, disimpulkan bahwa kredit bunga rendah yang ditawarkan pemerintah dalam program “registration of the poor” tidak dapat mengatasi permasalahan mereka namun hanya menambah beban hutang mereka. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dukungan terpenting yang dibutuhkan oleh PKL adalah dalam memperkuat jaringan sosial dan komunitas dalam menyebarkan informasi tentang perencanaan bisnis (perencanaan keuangan dan kalkulasi biaya-untung). Penelitian juga menyimpulkan bahwa minimnya luas area berjualan tidak terlalu berpengaruh pada usaha mereka, namun yang terpenting adalah pemilihan lokasi dan kedekatan lokasi tersebut terhadap pembeli. Undang-Undang terkait penataan PKL: o UU Kebersihan dan Keteraturan Kota (1992) melarang individu untuk memasak dan menjual barang di jalan umum dan area publik. melarang penggunaan mobil untuk tujuan ekonomi di jalanan umum dan area publik. Pemberdayaan aparat pemerintah dalam mengatur aktivitas PKL PKL diperbolehkan untuk berjualan di zona-zona tertentu dan pada hari dan waktu tertentu. PKL tidak boleh berjualan pada hari Rabu dan atau hari lain yang ditentukan, mereka harus teregistrasi dan memiliki identitas PKL serta berpakaian sepantasnya. PKL juga bertanggung jawab atas kebersihan area kerja mereka o UU Kesehatan Publik (1992) Melarang siapa saja berjualan di trotoar/jalan setapak dan jalan umum. PKL dapat berjualan di jalan hanya jika mereka mendapatkan izin dari petugas pemerintah yang berada dibawah otorisasi Gubernur. Aparat pemerintah lokal berhak menentukan zona, hari dan waktu terlarang bagi aktivitas PKL, serta ketentuan-ketentuan lainnya yang terkait, termasuk mengawasi kebersihan PKL. o UU Lalu Lintas dan Transportasi Darat (1992) dan UU Jalan Tol (1993)
3
Melarang segala aktivitas yang mengganggu jalur lalu lintas dan pejalan kaki Pemberdayaan polisi dan polantas dalam mengawasi dan mengkontrol penggunaan jalan umum. Dengan demikian, PKL dapat menjadi subjek hukum bagi aparat pemerintah lokal/kota dan bagi kepolisian Contoh good practices dalam kebijakan penataan PKL oleh Bangkok Metropolitan Administrative: o Area dimiliki dan diatur oleh pemerintah Gubernur Bangkok namun melalui komunikasi dan konsultasi aktif dengan para pedagang. o Pemberian konsesi pada pihak swasta/individu untuk mengelola pasar umum (private market) melalui proses seleksi yang transparan dan akuntabel. Hasilnya, pasar dapat diatur dengan baik. Sang pemilik pasar mengelilingi pasar setiap hari dan bersikap responsif terhadap permasalahan para pedagang. o Sebuah pasar yang berada di area perumahan umum dikelola oleh perusahan swasta. Harga sewa relatif lebih tinggi dibanding di tempat lainnya, dan standar higienitas, keteraturan, dan keamanan yang juga lebih baik. Pada awalnya, pedagang PKL tidak menyukai relokasi ke tempat ini, namun ketika perdagangan semakin ramai, manajer pasar berhasil mempengaruhi pedagang dan relokasi dapat diselesaikan dengan baik. Melalui renovasi oleh perusahaan pengelola, pasar memiliki infrastruktur yang baik termasuk toilet dan parkir mobil, sehingga kunjungan konsumer pun bertambah banyak dan para pedagang bersedia membayar sewa walaupun terbilang cukup tinggi. Keberhasilan pengaturan pasar ini memperlihatkan suksesnya negosiasi antara pedagang dan manajer pasar dalam mencapai kesepakatan tentang ketentuan sewa. Kunci kesuksesannya adalah seberapa besar manajer mau mendengar dan mengakomodir kebutuhan dan aspirasi para pedagang. Contoh beberapa tantangan dalam penanganan PKL di Bangkok: o Kebijakan menarik uang kebersihan pada PKL yang diterapkan pada tahun 2000-2002 berdampak pada praktik rent-seeking (mencari keuntungan pribadi) oleh petugas pengumpul anggaran o Pada tahun 2005 aksi premanisme muncul dimana para PKL dimintai uang “perlindungan dan izin dagang” dari para preman. Sebagai respon, Gubernur Bangkok memutuskan untuk mengurangi jumlah PKL sebesar 10% per tahun dan melarang pemilik gedung untuk menyewakan area jual di depan bangunannya. Para pedagang diminta untuk menghubungi kantor-kantor distrik yang akan menentukan area untuk mereka berjualan.
V. Rekomendasi Kebijakan
Sektor informal harus dipandang sebagai aset bagi pembangunan kota. Mereka bisa diatur, dapat tumbuh besar, bertahan dalam krisis, dan secara berkala dapat diupayakan untuk masuk ke sektor formal. Kebijakan pedagang jalanan (PKL) tidak hanya tentang membolehkan kaum miskin untuk berjualan namun juga bagaimana mengintegrasikan mereka dalam area urban dan bagaimana area ini secara strategis diposisikan di dalam kebijakan pembangunan perkotaan dengan jalan:
4
o Mewujudkan kebijakan yang humanis dan bukan represif. Kebijakan represif yang mengandalkan kekuatan kepolisian tanpa komunikasi yang baik antara tiap pemangku kepentingan hanya akan bersifat kontraproduktif. o Perlu untuk mengupayakan agar kebijakan pembangunan nasional, pembangunan kota, penataan, dan pemberdayaan PKL tidak menjadi “magnet” baru bagi arus migrasi desa ke kota (Jakarta). o Tidak ada satu formula kebijakan universal yang dapat menjadi solusi bagi penataan PKL di tiap wilayah (no single panacea). Setiap lingkungan memiliki karakteristik masing-masing, kawasan Pasar Minggu bisa berbeda situasinya dengan Blok M, Pasar Cimanggis, Pasar Induk, dan lain-lain (suku yang mendominasi, karakter pedagang dan warga sekitar area relokasi, sifat barang dagangan, dll). Untuk itu, setiap kebijakan harus diformulasikan menyesuaikan dengan situasi dan aspirasi di tiap tempat yang berbeda-beda. Perlu diingat bahwa proses integrasi ekonomi informal ke dalam pembangunan kota akan memakan biaya birokrasi yang tidak sedikit termasuk terkait dengan proses registrasi PKL. Kebijakan Jangka Pendek (target dalam 1-2 tahun)
Perlu untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok kepentingan dan pola hubungan/komunikasi diantara mereka untuk mengetahui aktor-aktor utama yang perlu dirangkul dalam penataan PKL. Perlu untuk memperbaiki sistem pendataan PKL yang reguler untuk dapat menentukan kebijakan “zero growth” yaitu menghentikan peningkatan jumlah PKL guna memaksimalkan penataan PKL yang sudah ada. Berkomunikasi dan berkonsultasi secara aktif dan produktif dengan PKL sebagai pemangku kepentingan utama (main stakeholder) dan kelompok lain seperti warga/masyarakat sekitar tentang permasalahan yang mereka hadapi dan aspirasi-aspirasi yang dapat mendukung upaya penyusunan kebijakan yang partisipatif. Sebisa mungkin memberdayakan PKL untuk ikut serta dalam merancang dan mendirikan ruang dagang mereka dan bukannya hanya menjadikan mereka kelompok pasif yang hanya menerima “bantuan” pemerintah. Hal ini ditujukan untuk menciptakan rasa kepemilikan (sense of belonging) atas tempat yang akan dipakai sehingga menumbuhkan semangat penjagaan (maintenance) atas segala aset yang dibangun dan rasa berdikari (self sufficient). Mengupayakan biaya sewa tempat yang terjangkau bagi pedagang PKL. Beberapa alternatif cara yaitu: o Merubah frekuensi pembayaran uang sewa kios dari bulanan menjadi harian. Dengan cara ini biaya sewa tidak menumpuk banyak dan cara ini adalah sesuatu yang mereka selalu lakukan ketika masih berjualan di jalanan dengan membayar “retribusi” illegal harian kepada preman setempat. Cara ini mungkin akan membutuhkan upaya administratif yang lebih mengingat pengumpulan uang dilakukan harian, namun Bank Pasar/Bank Pembangunan Daerah dan Grameen Bank di Bangladesh telah melakukannya selama bertahun-tahun. o Subsidi silang yaitu melalui dua cara: (1) bantuan dari pemerintah, dan (2) subsidi pedagang besar ke pedagang kecil. Sebagai contoh, rancang bangun area PKL di lantai bawah mall dengan flooring sederhana sehingga menekan biaya sewa namun standar kebersihan dan kenyamanan tetap terjaga. Sementara itu, para pedagang besar berada di lantai-lantai atas lantai-lantai atas gedung pebelanjaan dengan desain yang lebih “modern” dan mereka dikenai biaya yang lebih besar.
5
Kebijakan Jangka Menengah (dalam 3-5 tahun)
DKI Jakarta memiliki banyak mall mewah, sementara kebutuhan akan ruang publik (taman) dan ruang ekonomi bagi masyarakat lapisan menengah kebawah, termasuk PKL, sangat minim. Untuk itu diperlukan pengintegrasian kebutuhan ruang PKL ke dalam rancang bangun tata ruang kota. Beberapa alternatif: o Kebutuah ruang bagi PKL diintegrasikan dalam ruang-ruang umum yang sudah ada seperti terminal, taman publik, area pom bensin, area peristirahatan jalan tol (rest area), mall/supermarket, dan lain-lain. Akan tetapi, kedisiplinan penjagaan kebersihan taman tetap harus diperhatikan sesuai dengan aspirasi Perda No. 7 Tahun 2008 tentang Ketertiban Umum yang mengatur pelarangan berjualan di taman. Teknik integrasi bersifat menyebar titik PKL (desentralisasi). o Mengalokasikan area khusus bagi PKL yang terpisah dari fasilitas umum yang lain. Dibanding dengan metode integrasi, metode alokasi khusus ini dapat menampung lebih banyak PKL dalam satu titik lokasi (sentralisasi). o Dalam hal penentuan lokasi, penelitian di Bangkok (Rupkamdee et al 2005) menyimpulkan bahwa minimnya luas area berjualan tidak terlalu berpengaruh pada usaha PKL, namun yang terpenting adalah pemilihan lokasi yang dekat dengan potensi pembeli. Memberdayakan PKL melalui penguatan jaringan sosial dan komunitas (network) para pedagang kaki lima yang akan memfasilitasi arus informasi tentang perencanaan bisnis (perencanaan keuangan dan kalkulasi biaya/untung). Mengedukasi pembeli untuk tidak berbelanja dari atas kendaraan di pinggir jalan Mendorong penciptaan lapangan kerja formal di Jakarta guna menyerap surplus tenaga kerja Kebijakan Jangka Panjang
Perlu untuk membuat kebijakan nasional yang komprehensif dan khusus tentang PKL. Hal ini penting sebagai dasar hukum yang jelas dan titik acuan bagi pengintegrasian PKL sebagai salah satu unsur ekonomi negara. Selain itu, pemberian status hukum yang jelas terhadap PKL juga akan mengikis praktikpraktik penarikan retribusi ilegal yang selama ini berlangsung. Penguatan makro-ekonomi yang mendukung penyamarataan buah pembangunan (fruits of development) dengan merealisasikan prinsip trickle down effect. Dengan perbaikan makro-ekonomi, diharapkan PKL dapat terserap ke sektor kerja formal sehingga mengurangi membengkaknya jumlah PKL sert mengurangi arus migrasi desa-kota. Studi kasus di Bangkok menunjukkan bahwa tidak hanya teknik namun juga proses pemerintahan (good governance) yang baik akan menentukan hasil yaitu dengan mengedepankan prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efisiensi & efektivitas, profesionalisme, kesetaraan, wawasan ke depan, pengawasan, dan penegakan hukum.
6