DAMPAK KEGIATAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP LINGKUNGAN DI DKI JAKARTA. Oleh: RACHMAWATI MADJID Dosen Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
ABSTRAKSI Proses pembangunan ekonomi di wilayah DKI Jakarta mampu meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Permasalahannya proses pembangunan tersebut belum mampu menyerap tambahan tenaga kerja yang ada. Kondisi ini mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang tidak terserap dalam sektor formal melakukan kegiatan usaha dalam bentuk sektor informal/pedagang kaki lima. Upaya ini memang mampu mengurangi tekanan pengangguran tetapi pada sisi lain menggangu ketertiban dan mengotori lingkungan kota. Upaya pengaturan sudah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum memadai. Diperlukan kebijakan yang komprehensif agar masalah pedagang kaki lima dapat diberdayakan sehingga mampu menjadi unit usaha yang mandiri dan memberikan nilai tambah bagi wilayah DKI Jakarta.
KATA KUNCI: Pedagang Kaki Lima (Pkl) dan Lingkungan. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Untuk melihat dampak suatu kegiatan dibidang ekonomi terhadap lingkungan, perlu dipahami secara baik jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan. Pada dasarnya semua kegiatan akan mempunyai dampak terhadap lingkungan, namun dengan memperhatikan interaksi antara kegiatan dan komponen lingkungan maka dapat diupayakan lewat pengelolaan tertentu, sehingga hasilnya bahwa kegiatan dapat berjalan terus, sedangkan dampak yang ditimbulkan dapat dihilangkan atau telah diupayakan sekecil mungkin, sehingga dampak dapat diselesaikan oleh daya dukung lingkungan yang ada.
Halaman | 59 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
Suatu kenyataan bahwa konsentrasi pelaksanaan pembangunan selama ini lebih banyak berpusat di daerah perkotaan. Akibatnya arus perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) semakin melimpah. Tetapi karena kesulitan memperoleh lapangan kerja di daerah perkotaan akhirnya mendorong para pencari kerja (migrant) sebagian berusaha di sektor informal. Salah satu ciri kota adalah kompleksitas permasalahan, dan salah satunya adalah heterogenitas penduduk, kebudayaan dan heterogenitas ekonomi masyarakat. Untuk kota di Negara berkembang seperti kota Jakarta, kesenjangan ekonomi masyarakat mempunyai ciri khusus dengan tumbuhnya sektor ekonomi informal, meliputi ; usaha skala kecil, usaha industry kecil, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung dan lain sebagainya. Timbulnya sektor ini antara lain adalah akibat ketidak seimbangan antara jumlah penduduk, terutama usia angkatan kerja dengan kesempatan kerja serta lapangan usaha. Secara rasio dapat diilustrasikan penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa dalam setiap 10 orang pencari kerja ternyata kesempatan yang tersedia ada 2 dan yang memenuhi persyaratan hanya 1 orang (10:2:1). Sedangkan untuk DKI Jakarta, rasionya dalam setiap 10 orang pencari kerja tersedia 3 lapangan kerja dan yang memenuhi persyaratan hanya 2 orang (10:3:2). Dengan demikian kesempatan memperoleh pekerjaan masih sulit dan pengangguran meningkat. Usaha yang termasuk dalam kriteria sektor informal salah satunya adalah PEDAGANG KAKI LIMA yang lebih tren disebut PKL di mana unit usahanya tidak resmi (informal) serta berskala kecil, yang menghasilkan barang dan jasa tanpa memiliki izin usaha atau izin lokasi sebagaimana ketentuan yang berlaku. Kegiatan PKL atau pedagang kaki lima telah berlangsung sejak lama di daerah perkotaan seperti Jakarta. Namun fungsi sosial ekonomi kegiatan ini baru muncul ke permukaan setelah Presiden pada masa orde baru menyampaikan instruksinya kepada Gubernur dan Walikota untuk memperhatikan dan membina mereka. Hanya selama ini pembinaan belum terpadu, dilaksanakan oleh berbagai instansi baik oleh dinas maupun instansi vertikal serta lembaga lainnya. Secara keseluruhan, di Indonesia terdapat sekitar 30 juta PKL. Penataan PKL diamanatkan melalui Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Ada Sembilan kementerian dan satu badan sebagai anggota tim koordinasi yaitu Kementerian Dalam Negeri, Koperasi dan UKM, Perdagangan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Perindustrian, Pekerjaan Umum, Kesehatan, Halaman | 60 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Badan pengawas Obat dan Makanan. Namun dilihat dari kacamata pengelolaan kota, yang menitik beratkan pembangunan dan pemeliharaan sarana kota agar fungsi kota berjalan sebagaimana mestinya, PKL menjadi masalah dalam lingkungan hidup di mana kegiatan PKL yang memenuhi jalanan atau keliling pasar dan meninggalkan limbah padat yang dapat mencemari lingkungan serta mengganggu estetika kota. 2. Masalah Permasalahan yang dihadapi oleh keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL), sebenarnya hanya pada kegiatan dan lokasinya yang sering menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Serta kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL diperkotaan. 3. Tujuan Untuk meningkatkan kegiatan jangka pendek yang ditekankan pada : -
Ketertiban berusaha agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan antara lain kebersihan, waktu kegiatan dan lalu lintas. Pengendalian terhadap pertambahan jumlah pedagang di luar rencana. Relokasi pada sarana usaha yang lebih mantap.
TINJAUAN TEORITIK Di dalam literatur luar maupun dalam negeri, PKL (pedangan kaki lima) selalu dituding sebagai perusak lingkungan, memang benar, jika kegiatan PKL sebagai sektor informal dimana mereka memenuhi jalanan atau berkeliling pasar, dan meninggalkan limbah padat yang mencemari lingkungan. Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda, Peraturan Pemerintah waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki, lebar ruas untuk pejalan kaki adalah 5 kaki atau sekitar 1 setengah meter. Konsep sektor informal ini pertama dikembangkan oleh Terry Mcgee yang pada tahun 1970 telah merintis penelitian-penelitian tentang pedagang kaki lima di Hongkong. Studi ini kemudian dikembangkan lebih lanjut di Halaman | 61 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
Jakarta dan Bandung (Indonesia), Kuala Lumpur, Malaka (Malaysia), Manila dan Bagio (Filipina). Dalam suatu fase penelitian ini menambah keterangan secara lebih terperinci dari teka-teki menggelumbungnya sektor jasa dan perdagangan di daerah perkotaan di kawasan ini. Buat Negara berkembang pengertian sektor jasa dan perdagangan yang tersirat dalam definisi yang digunakan sesungguhnya berlainan sekali dengan kenyataan, dan kegiatan ekonomi sebagian besar dari tenaga kerja yang perdefinisi digolongkan sebagai bekerja di sektor ini. Selanjutnya secara lebih konsepsional sejak tahun 1973 mulai mencoba untuk mengembangkan konsep yang lebih spesifik, ditujukan untuk mengungkapkan masalah ketenaga kerjaan di daerah perkotaan di Negara-negara berkembang. Selanjutnya konsep ini dalam rangkaian penelitian mengungkapkan lebih terperinci dan diperkanalkan dibeberapa kota Negara-negara berkembang, antara lain Calkuta, Abijan, Sao Paulo, Acra, Laos, Bogota , dan Jakarta (S.V. Sethuraman ; 1974) Istilah “sektor informal” definisi pkl BPS Prop DKI Jakarta dalam hal ini padagang kaki lima (PKL) biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Sektor informal pada umumnya merupakan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di Negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia, mereka yang memasuki kegiatan berskala kecil di kota, terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan. Sejalan dengan pandangan Adi Sasono, karena mereka yang terlibat pada sektor ini pada umumnya miskin, pendidikan sangat rendah, tidak terampil, dan kebanyakan para migrant. Jelaslah bahwa meraka bukanlah kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukan pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri. Dalam berbicara tentang pedagang kakilima memang belum ada pendekatan (definisi) yang jelas apalagi definisi seragam yang digunakan semua instansi pemerintah maupun swasta. Kriteria yang digunakan juga bervariasi, antara lain pendekatan skala usaha, tempat yang digunakan, tenaga kerja yang terlibat dan lain sebagainya. Dalam kaitan ini, “pedagang kakilima” dapat dilihat berdasarkan kriteria sebagai berikut : (1) pola usahanya tidak teratur, baik dari lokasi maupun jam kerja, (2) tidak memiliki izin usaha, (3) mudah beralih dari satu jenis usaha ke jenis usaha lain, (4) tidak banyak membutuhkan pendidikan formal, karena hanya berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh sambil bekerja, (5) modal yang dimiliki,
Halaman | 62 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
umumnya dari tabungan sendiri, (6) kelompok PKL adalah penduduk yang berasal dari luar Jakarta, dan berstatus musiman. Di Indonesia pedagang kaki lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak, istilah ini sering ditafsirkan demikian karena jumlah pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak. Saat ini istilah PKL yang digunakan untuk pedagang dijalanan pada umumnya. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dianalisa bahwa pedagang kaki lima atau disingkat PKL adalah usaha yang termasuk dalam kreteria sektor informal, dimana unit-unit usaha tersebut tidak resmi, berskala kecil, yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa tanpa memiliki izin usaha dan izin lokasi sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Dan masih digolongkan suatu usaha yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Jumlah PKL, di Jakarta berdasarkan sensus penduduk tahun 2005 jumlah yang terdata mencapai 92000. Memang ada kesan seolah-olah para pedagang kaki lima sulit diatur sehingga sulit ditata. Meskipun Pemda DKI Jakarta telah membangun pasilitas kios bagi mereka, namun masih saja ada yang berdagang dipinggir jalan menyongsong pembeli. Kegiatan ini mempengaruhi lingkungan hidup selain produksi limbah juga modifikasi lingkungan hidup.
METODOLOGI Jenis metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah diskriptif dan studi literatur yang berhubungan dengan tema penulisan.
PEMBAHASAN Ketidak seimbangan pembangunan perkotaan dengan pedesaan membawa dampak terjadinya urbanisasi dan pertumbuhan sektor informal. Jakarta sebagai pusat kota jasa membawa dampak logis, yaitu tingginya urbanisasi dan sulitnya memperoleh kesempatan kerja formal di perkotaan, di pihak lain sektor informal ini masih tergolong usaha yang memberi dampak negatif pada lingkungan, walaupun dilihat dari tingkat penyerapan tenaga kerja bisa mencapai 83% dari kesempatan kerja di perkotaan. Kesulitan yang dihadapi para pengusaha sektor informal dalam hal ini pedagang kakilima (PKL) pada umumnya adalah masalah lokasi tempat berdagang. Kurangnya Halaman | 63 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
modal, kurangnya pengetahuan/keterampilan dan (entrepreneurship) serta kurangnya sarana dan prasarana.
sikap
mental
Pedagang kakilima membuka usahanya dengan mempergunakan bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat kepentingan umum yang bukan diperuntukan untuk usaha, serta tempat lain yang bukan miliknya. Itulah sebabnya keberadaan pedagang kakilima di wilayah DKI Jakarta merupakan problematika yang sulit dipecahkan secara baik dan komperhensip. 1. Ciri Pedagang Kakilima : a. Pedagang kakilima pada umumnya mempunyai modal kecil dan tidak mempunyai usaha menetap, berdagang di emperan/depan toko, di pinggiran jalan, trotoar, di atas got, di taman, bantaran kali dan di areal parkiran dan tempat-tempa orang ramai. b. Jam berdagang tidak tentu, ada pagi, ada siang, sore dan malam hari bahkan ada yang dari pagi sampai sore hari dengan berbagai macam jenis dagangan. c. Jenis dagangan beraneka ragam, ada jajanan (makanan proses), tanaman hias/ikan hias, pakaian jadi, sepatu, tas, kerajinan, buah-buahan dan lain-lain. d. Tempatnya dalam bentuk bangunan ada yang tertutup, terbuka, menggunakan payung, gelaran, gerobak, pikulan, meja dan sebagainya, konstruksi bangunan darurat, semi permanen dan tanpa bangunan. e. Pada umumnya pedagang kakilima menimbulkan gangguan terhadap lingkungan, lalu lintas, ketertiban dan kebersihan. Pedagang kakilima sulit untuk dihapuskan, karena merupakan jenis pekerjaan transisi yang tidak selalu membutuhkan keterampilan. Yang penting adalah kepercayaan antara pemodal dan pelaku, dalam hal ini tidak selalu modal sendiri. Lokasi kegiatannya tersebar pada lingkunganlingkungan yang berbeda, tetapi pada umumnya di lingkungan industry, pusat-pusat perdagangan, kawasan pemukiman bahkan pada lingkungan perumahan elite. Meskipun keberadaannya menimbulkan masalah lingkungan, namun pada hakekatnya juga merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja. Serta dibutuhkan oleh masyarakat golongan menengah ke bawah bahkan menengah ke atas.
Halaman | 64 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
2. Faktor-faktor penyebab orang berdagang kakilima : a. Karena sulitnya mencari lapangan kerja formal. b. Pekerjaan pedagang kakilima dipandang relatif mudah dilakukan karena tidak membutuhkan modal yang besar, tidak membutuhkan biaya yang banyak untuk membangun tempat, tidak memerlukan izin yang formal. Kewajiban restribusi dianggap masih relatif murah dan terjangkau. c. Selain masyarakat masih membutuhkannya karena alasan-alasan tertentu seperti harga di kakilima cukup murah dan jaraknya dekat dengan pembeli, serta barang masih asli dan baru seperti hasil pertanian. d. Sarana perpasaran formal masih kurang mencukupi terutama di wilayah pemukiman. e. Berusaha sebagai pedagang kakilima dapat dianggap kerja sambilan dan latihan pengalaman menjadi wiraswasta. Kesulitan memperoleh lokasi merupakan masalah utama kelompok pedagang kakilima ini karena lahan di perkotaan terbatas dan sudah diatur peruntukannya berdasarkan Rencana Tata Ruang, sehingga penggunaan lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, sudah barang tentu menimbulkan dampak negatif. 3. Kronologis penanganan kakilima DKI Jakarta a. Periode sampai dengan tahun 1969, Pedagang kakilima diorganisasi dan dilayani oleh kelompok-kelompok anggota masyarakat seperti ; jagoan/jawara dan oknum-oknum lainnya secara liar (tanpa ditunjuk oleh instansi yang berwenang). Hal tersebut dampaknya masih terasa hingga sekarang. b. Periode tahun 1969 – 1973. Ditangani oleh Walikota madya berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. Db 6/I/3/1969 tanggal 7 Maret 1969 tentang “Pungutan untuk Kebersihsn pedagang liar” dan No. Db.8/I/3/1969 tentang “Dana Kebersihan Pedagang”. Pungutan yang dilakukan dimaksudkan untuk biaya pemeliharaan kebersihan tempat-tempat berjualan dan bukan untuk melegalisir kebersihan pedagang kakilima dimaksud. c. Periode tahun 1974 selama 6 bulan. Ditangani oleh Dinas Kebersihan, pungutan tersebut diartikan sebagai “Retribusi Kebersihan Pedagang” berdasarkan Perda No. 4 Tahun 1974.
Halaman | 65 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
d. Pertengahan tahun 1074 – 1976. Pungutan retribusi dikontrakkan kepada PT. Jampang Kencana. e. Periode tahun 1976 – 1979. Pungutan retribusi ditangani oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta. f. Periode pengananan kakilima setelah Perda 5 Tahun 1978 : 1.Periode Tahun 1979 – 1984 Penanganan kakilima oleh BKPMD berdasarkan SK. Gubernur DKI Jakarta No. 692 Tahun 1979. 2. Periode Tahun 1985 – 1992. Berdasarkan Perda No. 10 Tahun 1982, maka peranan dan fungsi Biro Bina Pengembangan Produksi Daerah secara mutatis menjadi peranan dan fungsi Biro Bina Perekonomian Daerah dalam menangani pedagang kakilima. Kemudian tahun 1993 telah dibentuk Badan Koordinasi Pembinaan Golongan Ekonomi Lemah (GEL) dengan tugas mengkoordinasikan peranan sektor informal termasuk pedagang kakilima, asongan dan pemulung. Sifat badan ini non structural, sehingga perlu waktu dalam menyesuaikan tugastugas yang diemban. 4. PKL di Jakarta dan Permasalahannya Perekonomian Jakarta sebagai ibu kota Negara tidak hanya bercerita tentang orang-orang yang berkecimpung dalam pekerjaan sektor formal, tetapi juga perjuangan ekonomi orang-orang di sektor informal. Pekerja sektor informal ini jumlahnya 30 persen dari total pekerja di Jakarta. Di Jakarta ini banyak kaum urban yang bekerja di sektor informal, termasuk PKL. Mereka mengaku sudah lama tinggal di Jakarta, tetapi tidak mempunyai KTP DKI. Persoalan PKL pun tidak sebatas jumlah. Pedagang yang sudah berjualan di pasar pun banyak yang ingin menggelar lapak di luar pasar karena merasa dagangannya tidak laku. PKL disejumlah stasion kereta api juga menghadapi persoalan tersendiri dengan adanya permintaan pengosongan lahan dari pihak PT Kereta Api Indonesia. Kelompok PKL yang usahanya dibayang-bayangi penggusuran.Pedagang yang tidak mempunyai tempat berjualan secara legal paling banyak menempati badan jalan (31persen) dan trotoar (28 persen). Tempat favorit PKL ini menimbulkan masalah. Selain merusak wajah kota.
Halaman | 66 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
Di beberapa tempat, PKL dipermasalahkan karena mengganggu pengendara motor dimana PKL menempati badan jalan. Selain itu ada PKL yang menggunakan bantaran sungai sebagai tempat berdagang sekaligus tempat tinggal, sungai dijadikan tempat membuang sampah dan air cucian, sampah dan air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada dengan mematikan ikan dan menyebabkan eutrofikasi tetapi PKL kerap menyediakan makanan atau barang lain dengan harga lebih murah, bahkan sangat murah dari pada membeli di toko. Keberadaan PKL menyebabkan kemacetan, menganggu pejalan kaki, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat, seperti dibeberapa tempat strategis di Jakarta, antara lain ; -
-
-
-
-
PKL di depan Pasar Gembrong arah Casablanca dan Pondok Bambu salah satu contohnya. Pedagang mainan dan karpet menggunakan sebagian badan jalan untuk berjualan. Meski pernah ditertibkan petugas pada pertengahan tahun 2011, tetap saja kembali ke pinggir jalan. Kemacetan di jalan tak terhindarkan. PKL di kawasan kota tua Jakarta barat, Pedagang yang menjual makanan-minuman sampai pakaian memenuhi pelataran Meseum Sejarah Jakarta, bahkan menutupi jalan masuk. Hal ini merusak perwajahan tempat wisata sejarah. PKL di sepanjang jalan Kramat Raya dipenuhi pedagang makanan, dan semakin ramai jika bulan Ramadhan, kegiatan PKL ini memanfaatkan trotoar. Mengakibatkan jalan macet karena para pembeli memarkir kendaraan di badan jalan yang tidak boleh parkir. Blok M Jakarta Selatan juga tidak terhindarkan dari keberadaan PKL. Dampak kegiatan-kegiatan ini lingkungan menjadi kotor karena tempat sampah yang disediakan tidak memenuhi volume sampah yang ada. PKL di Pasar Senen, meskipun Pemda DKI Jakarta telah membangun kios di lantai tiga dan lantai empat bagi mereka, namun masih cukup banyak yang berdagang di sisi kiri dan kanan pintu masuk pasar.
Berulangnya PKL kembali menempati lokasi sama meski telah dibongkar juga perlu dipahami dalam konteks relasi ekonomi dan dicarikan solusinya. Ada alasan mengapa PKL bertahan di lokasi semula yang dilarang. PKL terikat dengan pembeli yang menjadi sumber penghasilannya. Keterikatan tersebut membentuk kerumunan masyarakat yang lambat laun menciptakan pasar tersendiri. Jika pasar itu dibongkar, ketergantungan yang sudah tercipta terganggu. Pedagang pasti akan kembali ke tempat itu karena ada permintaan konsumen. Halaman | 67 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
Lokasi pengganti bagi PKL yang telah dibangun juga sebaiknya ditinjau kembali, kondisi lokasi binaan PKL saat ini dianggapnya kurang baik karena jauh dari lokasi lama, bahkan tidak cukup strategis untuk berjualan karena sukar diakses pembeli. PKL juga dituntut membayar sewa yang tinggi. Penyediaan bangunan yang potensial sebagai lahan lokasi PKL akan mudah dilakukan jika tersedia dana dan investor. Akan tetapi, tidaklah mudah merelokasi PKL Jakarta yang sekarang sudah mapan berjualan pada tempat mengalokasi fasilitas umum, seperti jalan dan trotoar. Agaknya, memang butuh waktu, tenaga serta dana yang tidak sedikit untuk menata kelompok informal yang ikut mewarnai perekonomian ibu kota. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses komunikasi dan dialog yang akan dilakukan terhadap ratusan ribu PKL di Jakarta ? Sebagai perbandingan dalam menata 1000 PKL di kota Solo, diperlukan 54 kali dialog dengan PKL yang berarti butuh waktu lebih dari sebulan untuk mencapai kesepakatan. Di Jakarta ada sekitar 300.000 PKL yang tersebar di 215 lokasi. Mungkin dibutuhkan waktu minimal tiga tahun untuk merelokasi semua PKL ke lokasi yang belum diketahui di mana. 5. Penataan Kelompok PKL Sudah tidak terhitung upaya penanganan yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja DKI, pembongkaran paksa lapak PKL paling sering dilakukan Satpol PP karena PKL dianggap melanggar Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 mengenai ketertiban umum. Sesunggunya, Pemprov DKI tidak asal menggusur paksa. Lokasi sementara dan lokasi binaan telah disiapkan pada tempat yang tidak mengganggu ketertiban umum, namun sampai tahun 2009 baru tersedia 20 lokasi permanen yang hanya menampung sekitar 2500 PKL (2,6 persen dari total PKL) selain itu bangunan lokasi binaan yang yang dibangun pada tahun 1999 kondisinya sudah rusak. Dalam hal ini banyak yang bisa dipelajari dari kota lain yang cukup berhasil menata PKL tanpa menggusur atau menggunakan kekerasan dalam menertibkan PKL, misalnya Yogyakarta dan Solo. Upaya relokasi tetap dilakukan, tetapi diberengi pendekatan komunikasi guna tercapai pemahaman yang sama diantara kedua belah pihak. Joko Widodo sebagai Gubernur baru DKI Jakarta menjanjikan PKL tidak akan digusur, sebaliknya PKL akan ditata, dicarikan solusi dan diberi fasilitas serta tidak ada pungutan. Hal tersebut untuk meningkatkan perekonomian rakyat dengan memberi ruang bagi PKL. Ruang yang Halaman | 68 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
dimaksud adalah mal khusus untuk PKL serta merevitalisasi pasar tradisional. Untuk mewujudkan obsesi tersebut, perlu dilakukan evaluasi terhadap semua upaya penanganan PKL yang selama ini dilakukan. Sementara itu jika ingin meniru penataan PKL di Yogyakarta dengan menggunakan insentif berupa uang, adakah tersedia anggaran untuk memberi insentif bagi PKL Jakarta yang hendak dipindahkan ? Jawaban dari question mark ini yang dinanti-nanti oleh kelompok PKL.
Halaman | 69 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
Halaman | 70 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
Sumber: http://everythingpossible.files.wordpress.com/2008/05/dscn1271.jpg tanggal 1 April 2013, 07.34 PM
KESIMPULAN Jakarta seperti juga kota-kota besar lainnya di Negara berkembang akan terus mendapat tekanan penduduk, hkususnya migrasi dari luar Jakarta dengan kualitas pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Kondisi ini akan meningkatkan tumbuhnya sektor-sektor informal. Sektor informal dalam hal ini PKL, di DKI Jakarta keberadaannya tidak dapat dipungkiri dan merupakan pelaku ekonomi masyarakat penduduk DKI Jakarta. Masalah kelompok PKL sesungguhnya adalah masalah nasional, oleh karena itu pemecahannya harus dilakukan secara nasional pula. Tidak mungkin ditangani secara tuntas oleh Pemda DKI Jakarta sendiri. Untuk itu peran serta semua pihak sangat diharapkan. Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan, sehingga kelompok PKL cenderung menempati badan jalan dan trotoar bahkan bantaran sungai. Dengan modal dan biaya yang dibutuhkan kecil, kerap mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang kecil atau orang kalangan ekonomi lemah yang biasanya mendirikan bisnisnya di sekitar rumah mereka. Sayangnya upaya penertiban baru dilakukan setelah jumlah pedagang terlanjur banyak, bukan ketika masih sedikit. Penggusuran juga baru dilakukan ketika ada kepentingan meraih Adipura.
DAFTAR PUSTAKA Buchholz Rogene A., Principles of Environmental Management. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458. 1999. Gelandangan, Pandangan Ilmuan DSosial, LP3ES, Jakarta, 1996. Hardjasoemantri Koesnadi., Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press, September 2006.
Halaman | 71 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013
Kompas., Relokasi Pedagang di Stasiun Butuh Peran Pemda. Februari 2013. Kompas., Penataan PKL. Maret 2013. Parsuadi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta, (ED). Pembinaan Sektor informal di DKI Jakarta, PPPPL DKI Jakarta – LIPI, 1998. Reksohadiprodjo Sukamto., Ekonomi Lingkungan, Universitas Terbuka, edisi revisi 2000. Ritonga Abdurrahman dkk., Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia, 2003. The World Bank., World Development Report. Penerbit Salemba Empat 2007. Todora Michael P., Economic Development in the Third World, Longman New York & London, 2000.
Halaman | 72 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
Vol. 1 No. 3 Mei – Agustus 2013