Riptek Vol. 7, No. 1, Tahun 2013, Hal. 39-46
MODEL PEMBIAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) MELALUI QARDHUL HASAN Heru Sulistyo *), Abdul Hakim *) Abstract PKL growth increased rapidly from year to year, giving rise to various social polemic. On one side of the PKL as an economic force capable of moving the people's economy, providing employment in the informal sector in reducing unemployment and poverty, while on the other hand the existence of PKL often disturbing the environment, hygiene and beauty are not awake. According to data across Indonesia Market Traders Association (ASPPSI), the number of PKL in Indonesia reached 22 million people. Employment opportunities PKL able to contribute very significantly, especially the uneducated labor in Indonesia where the number is still enormous. Therefore, PKL should be empowered and maintained its existence through the government's attention both to the arrangement of street vendors, as well as management and business capital that had been tidaak gain access of financial institutions. The population in this study are all PKL in Semarang around 12,000 people. The appropriate number of samples analyzed 100 respondents. Data were collected through primary data and secondary data. Primary data obtained through questionnaires distributed to street vendors and merchants who had obtained a loan qardhulhasan. The results showed that qardhul hasan financing for vendors to help increase sales turnover and the level of their welfare. Keywords: PKL, qardhu lHasan, Islamic banking, Bazda, capital Pendahuluan Krisis ekonomi dan moneter serta krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1997 dan tahun 2008 di Indonesia telah menyebabkan banyaknya perusahaan yang bangkrut dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berakibat meningkatnya jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan. Bank Dunia memperkirakan angka kemiskinan tahun 2011 sebesar 13,3% dari 240 juta orang. Sementara menurut pemerintah, angka kemiskinan pada tahun 2009 sebesar 14,2% dan diperkirakan tahun 2011 sebesar 11,55% hingga 12,5%. Semakin sulitnya mencari pekerjaan, ditambah semakin mendesaknya kebutuhan hidup, maka penciptaan lapangan kerja serba cepat dan instan merupakan alternatif yang cocok dalam kondisi saat ini, yaitu menjadi pedagang kaki lima (PKL). Dengan modal seadanya untuk mendapatkan barang dagangan yang dinilai cepat laku, kemudian dijual dengan untung yang tidak terlalu besar. Kegiatan PKL dianggap sebagai proses menciptakan diri mandiri di bidang ekonomi dan meningkatkan skill berdagang. Survei yang dilakukan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI, 2006) mengungkapkan, pasar tradisional mengalami pertumbuhan minus 8%, sementara pasar modern tumbuh 35%. Hal ini berarti bahwa pasar tradisional kondisinya semakin tidak kompetitif, sehingga berpengaruh terhadap keberadaan PKL di sekitar pasar tradisional. Pertumbuhan pedagang kaki lima meningkat dengan pesat dari tahun ke tahun sehingga menimbulkan berbagai polemik sosial. Di satu sisi, PKL sebagai kekuatan ekonomi mampu menggerakkan perekonomian rakyat,
khususnya pada saat krisis ekonomi tahun 1997 hingga 1999, sementara di sisi lain keberadaan PKL seringkali mengganggu ketertiban lingkungan, kebersihan dan keindahan yang tidak terjaga, sehingga seringkali terkena penggusuran lokasi PKL oleh pemerintah kota/kabupaten. Menurut data Asosiasi Pedagang Pasar seIndonesia (ASPPSI), jumlah PKL di Indonesia saat ini mencapai 22 juta orang. PKL mampu menyumbang lapangan pekerjaan sangat signifikan, terutama tenaga kerja yang tidak terdidik dimana jumlahnya di Indonesia masih luar biasa besar. Eksistensi PKL perlu ditata, dibina, dikembangkan agar mampu memberikan lapangan kerja, khususnya terkait dengan pinjaman modal kerja. Dari sisi penataan PKL, Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengalokasikan Rp 100 milyar untuk program revitalisasi pasar tradisional sebanyak 78 dan 13 sarana pedagang kaki lima (PKL) untuk penerapan relokasi dan revitalisasi di seluruh Indonesia. Namun demikian, dari sisi permodalan, saat ini pemerintah belum menemukan akses permodalan yang mudah, cepat dan ringan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pedagang kaki lima harus diberi hak hidup, eksis dan kokoh dalam menghidupi jutaan pedagang dan keluarga. Pedagang kaki lima perlu diberi hak hidup agar tidak mati secara perlahan-lahan karena pelaku-pelaku ekonomi kecil ini jumlahnya dominan dalam sistem perekonomian kita. Di Indonesia terdapat 13.650 pasar tradisional dan jumlah pedagang termasuk pedagang kaki lima yang terlibat dalam pasar tradisional berjumlah 12,6 juta pedagang. Dengan asumsi bahwa setiap pedagang menghidupi empat orang anggota keluarga,
*) Dosen Magister Manajemen Universitas Islam Sultan Agung Semarang E mail:
[email protected]
Model Pembiayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Melalui Qardhul Hasan maka dapat disimpulkan bahwa pasar tradisional dapat menghidupi 50 juta orang. Data dari asosiasi pedagang kaki lima Indonesia (APKLI) menunjukkan bahwa jumlah PKL di Indonesia diperkirakan mencapai 22 juta orang dan selama lima tahun terakhir, tingkat pertumbuhan PKL rata-rata 7% hingga 10%. Bila setiap PKL rata-rata memperkerjakan 2 orang, maka jumlah tenaga kerja yang terserap dalam sektor ini sebesar 44 juta orang. Sementara tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2011 diperkirakan sebesar 12,5% dari 240 juta penduduk, yaitu kurang lebih sebesar 30 juta orang. Sementara, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 6% pertahun dan jika diasumsikan setiap 1% pertumbuhan ekonomi menyerap 200 ribu tenaga kerja, dalam satu tahun ada 1,2 juta tenaga kerja yang terserap. Jumlah penyediaan lapangan kerja ini hanya bisa disediakan dari sektor informal, yaitu pedagang kaki lima dengan perkiraan sebesar 44 juta tenaga kerja. Sektor formal tidak mampu menampungnya akibat krisis ekonomi dan keuangan tahun 2008 serta globalisasi perdagangan, dimana produk asing lebih kompetitif dibanding produk dalam negeri. Dengan demikian sangatlah penting bagi pemerintah untuk memfokuskan dan memberdayakan PKL, karena merupakan basis kegiatan ekonomi rakyat yang selama ini sebagai penyelamat perekonomian negara, baik akibat krisis ekonomi maupun masalah penyediaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan. Berangkat dari kesadaran akan peran penting PKL untuk ikut menjadikan Kota Semarang sebagai kota dengan perekonomian yang tumbuh secara dinamis dan sehat, maka diperlukan pemberdayaan PKL secara berkesinambungan dan berkelanjutan sehingga mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan PKL merupakan usaha penguatan PKL untuk mandiri, tetap bertahan dan memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian Kota Semarang di tengah-tengah maraknya usaha-usaha yang bermodal besar. Meski Perda No. 11 Tahun 2000 telah dikeluarkan, namun jumlah PKL tetap saja semakin bertambah dan mendekati angka 12.000 PKL. Strategi penataan PKL telah dilakukan oleh Pemerintah (Kementerian Koperasi dan UKM) , namun demikian perhatian dan kebijakan Pemerintah dalam penyediaan modal kerja bagi PKL masih belum banyak dilakukan. Sifat usaha sektor informal yang tidak bankable dan manajemen usaha tidak profesional menyulitkan PKL memulai dan mengembangkan usahanya, karena keterbatasan modal. Selama ini PKL tidak pernah meminta
40
(Heru Sulistyo, Abdul Hakim) permodalan dari Pemerintah maupun perbankan, meskipun demikian bisa survive. Dengan adanya keterbatasan akses modal inilah maka diperlukan solusi, agar PKL dapat tumbuh dan berkembang dalam memberi kontribusi terhadap perekonomian nasional. Perbankan syariah dan lembaga keuangan mikro seperti BMT serta penggunaan dana zakat infaq sedekah (ZIS) dari badan amil zakat sedekah merupakan lembaga yang berpotensi besar memberikan akses modal bagi PKL, khususnya produk khardul hasan. Penggunaan produk khardul hasan di bank syariah (BNI Syariah dan Mandiri Syariah) masih belum optimal. Demikian juga penggunaan dana yang berasal dari zakat, infak dan sedekah bagi warga kurang mampu untuk kegiatan produktif belum banyak dilakukan, padahal potensinya sangat besar. Kajian ini akan memfokuskan pada peningkatan kesejahteraan PKL melalui pembiayaan modal kerja berbasis kardhul hasan, agar PKL semakin berkembang dan tertata dengan baik menjadi usaha sektor informal bagi penggerak ekonomi rakyat dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Pedagang Kaki Lima (PKL) Sejak tahun 70-an, sektor kerja informal dikenal oleh masyakat sebagai sektor yang kurang mendapat dukungan pemerintah daerah, tidak tercatat secara resmi, dan beroperasi di luar aturan pemerintah daerah, secara otomatis dukungan pemerintah daerah akan diarahkan untuk memformalisasi sektor ini. Pendekatan ini juga berasumsi bahwa satu-satunya hambatan sektor informal untuk tumbuh adalah sikap negatif dari pemerintah daerah terhadap sektor ini. Oleh karena itu, dukungan pemerintah daerah dianggap bisa menjadi jaminan sukses. Hal ini mengabaikan kompetisi yang kompleks dan hubungan tidak seimbang antara usaha kecil dan usaha besar dan berbagai strategi monopoli untuk menekan kompetisi usaha kecil. Kegiatankegiatan informal adalah sebuah cara untuk melakukan sesuatu yang dicirikan mudah masuk, bersandar pada sumber daya lokal, usaha milik keluarga, operasi skala kecil, padat karya dan adapted technology, ketrampilan diperoleh di luar sistem formal sekolah dan tidak diatur dan pasar kompetitif. Sehingga terdapat kecenderungan untuk menyamakan sektor informal perkotaan dengan ‘urban poor.’ Padahal tidak semua yang bekerja di sektor informal adalah orang miskin, demikian juga sebaliknya. Ananya Roy dan Nezar Alsayyad (2004), melalui bukunya Urban Informality: Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America and South Asia, mengenalkan konsep informalitas perkotaan sebagai logika yang menjelaskan proses transformasi perkotaan.
Riptek Vol. 7, No. 1, Tahun 2013, Hal. 39-46 Mereka tidak menekankan dikotomi sektor formal dan informal tetapi pada pengertian bahwa informalitas sebagai sektor yang tidak terpisah dalam struktur ekonomi masyarakat. Menurut mereka, informalitas ini adalah suatu moda urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan ekonomi dan ruang di kawasan perkotaan. Menurut pengamatan mereka pada kota-kota di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia, perumahan dan pasar lahan informal tidak hanya merupakan domain bagi penduduk miskin, tetapi penting pula untuk penduduk kelas menengah. Demikian pula dengan sektorsektor informal yang baru banyak berlokasi di pinggiran kota. Dapat dikatakan bahwa perkembangan kawasan perkotaan disebabkan oleh urbanisasi informal. Pemahaman informalitas perkotaan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL akan menempatkan sektor informal sebagai bagian terintegral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL. Pedagang kaki lima ini timbul dari adanya suatu kondisi pembangunan perekonomian dan pendidikan yang tidak merata diseluruh NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia ) ini. PKL juga timbul akibat dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya memiliki tanggung jawab didalam melaksanakan pembangunan bidang pendidikan, bidang perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan. Ketentuan ini diatur dalam peraturan perundang-undangan yang tertinggi yaitu UUD 1945 pasal 27 ayat (2) UUD 1945 : “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pedagang kaki lima adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal (Winardi dalam Haryono, 1989). Pedagang kaki lima pada umumnya adalah selfemployed, artinya mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang dimiliki relatif tidak terlalu besar, dan terbagi atas modal tetap, berupa peralatan, dan modal kerja Pengaturan dan pembinaan PKL di Semarang diatur dalam Perda No. 11 Tahun 2000, yang merupakan pengganti Perda No 3 Tahun 1998. Pada bagian pertama perda menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan PKL adalah pedagang yang di dalam usahanya
mempergunakan sarana dan atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang/dipindahkan dan atau mempergunakan tempat usaha yang menempati tanah yang dikuasai pemerintah daerah dan atau pihak lain (pasal 1). Pengaturan tempat usaha melalui pengadaan, pemindahan, bahkan penghapusan lokasi PKL ditetapkan oleh walikota (pasal 2). Penetapan tempat usaha PKL adalah lokasi milik atau yang dikuasai oleh pemerintah daerah dan atau pihak lain dengan mempertimbangkan fasilitas PKL yang ada, dan tempat kepentingan umum lainya. Qhardul Hasan Qardhul hasan atau benevolent loan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata dimana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman. Qardhul hasan dalam kitab-kitab klasik adalah qardh. Qardh secara etimologi berarti al-qot’u yang artinya pemotongan. Harta yang disodorkan kepada orang yang berhutang disebut qardh, karena merupakan “potongan” dari harta orang yang memberikan hutang. Qardhul hasan atau pinjaman kebajikan merupakan suatu pembiayaan yang bersifat sosial dalam Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS). Kata qardhul hasan diambil dari Al Qur’an surat al-Hadid ayat 11 dan surat al-Baqarah ayat 245. Pembiayaan qardhul hasan merupakan bentuk implementasi dari fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang qardh oleh LKS. Bahwa Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) disamping sebagai lembaga komersial, harus dapat berperan sebagai lembaga sosial yang dapat meningkatkan perekonomian secara maksimal. Salah satu sarana peningkatan perekonomian yang dapat dilakukan oleh LKS adalah penyaluran dana melalui prinsip qardh. Berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW, pemberian pendahuluan pinjaman dengan cara al-qard lebih berkenan bagi Allah dari pada memberi sedekah. Ini merupakan keterangan yang sah dan tidak perlu diragukan lagi, serta merupakan sunah Nabi Saw dan ijma’ ulama (Maslehuddin, 1994). Secara terminologi, alqardu al-hasan (benevolent loan) ialah suatu pinjaman yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata, dalam hal ini si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apa pun kecuali pinjaman (Perwataatmadja dan Antonio, 1999). Sifat dari al-qard al-hasan ini ialah tidak memberi keuntungan finansial (Antonio, 2001). Qardhul hasan adalah pinjaman tanpa laba (zero-return). Al-qur’an sangat menganjurkan kaum muslim untuk memberi pinjaman kepada yang membutuhkan. Peminjam hanya wajib mengembalikan pokok pinjamannya, tetapi dibolehkan memberi bonus sesuai dengan
41
Model Pembiayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Melalui Qardhul Hasan keridaannya. Peminjam qardh hasan juga mendapatkan manfaat dari berbagai macam layanan dan keuangan serta dukungan moral yang diberikan oleh bank. Pinjaman ini sering diberikan kepada lembaga-lembaga amal untuk mendanai aktivitas mereka. Pengembalian dilakukan selama suatu periode yang disepakati kedua pihak. Bank boleh memungut biaya pelayanan, tetapi tanpa dikaitkan dengan jumlah atau jangka waktu pinjaman. Jadi, kelebihan itu semata-mata untuk biaya pelayanan. Pembiayaan qardh hasan bisa juga menjadi jalan untuk mempererat dan memfasilitasi hubungan bisnis. (Lewis dan Algaoud, 2001). Qardhul hasan merupakan pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan peminjam untuk menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan mengembalikan dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang disepakati. Jika peminjam mengalami kerugian bukan karena kelalaiannya maka kerugian tersebut dapat mengurangi jumlah pinjaman. Sumber dana qardhul hasan ini berasal dari eksternal dan internal. Sumber dana eksternal berasal dari sumbangan, infak, sedekah dan juga zakat, dan sumber dana internal berasal dari bank dan juga pendapatan non halal. Pinjaman qardhul hasan merupakan pinjaman yang bersifat sosial, sehingga peminjam hanya mengembalikan sejumlah pokok pinjaman tanpa imbal jasa (bunga). Tujuan penyaluran dana qardhul hasan ini sejalan dengan salah satu misi BAZIS untuk mengentaskan seorang mustahiq menjadi muzakki. Jika peminjam mengalami kerugian yang bukan merupakan kelalaiannya, maka kerugian tersebut dapat mengurangi jumlah pinjaman. Produk ini memungkinkan pengucuran dana segar kepada masyarakat yang kurang mampu (dhuafa) dan termasuk ke dalam mustahik (yang berhak menerima zakat) sebagai modal untuk melakukan usaha produktif dengan jumlah pinjaman yang juga disesuaikan dengan kapasitas usahanya. Biasanya bank syariah memberikan pembatasan mengenai jumlah dan jangka waktu, hal ini dimaksudkan sebagai proses revolving dari dana qardhul hasan ini sehingga bisa digulirkan kembali kepada mustahik lainnya. Salah satu penyedia produk khardul hasan adalah bank islam atau bank syari’ah yang dalam realitasnya mestinya sistem perbankan ini berbasis pada sistem Profit dan Loss Sharing (PLS) dengan model mudharabah dan musyarakah. Secara mengejutkan, sebagaimana yang ditemukan dari penelitian Abdullah Saeed (2004), kalangan perbankan syari’ah sedikit sekali menggunakan pola PLS ini dan lebih berpaling kepada pola murobahah yang mana pola pembiayaannya mirip bunga. Keengganan kalangan perbankan Islam terhadap
42
(Heru Sulistyo, Abdul Hakim) model PLS dan lebih memilih model murabahah ini tercermin pada porsi murabahah yang mencapai 70% pola pembiayaan bank, adapun yang menggunakan pola PLS ditekan hanya maksimal 30% atau bahkan sampai 0%. (Saeed, 2004). Penelitian yang dilakukan Faruk (2004) mengkaji tentang operasionalisasi al–khard alhasan di BNI Syariah Yogyakarta, menyimpulkan bahwa BNI Syariah Yogyakarta melakukan langkah-langkah sesuai dengan hukum Islam untuk lebih mengoptimalkan peran dan upayanya dalam membantu memberdayakan ekonomi rakyat melalui produk khardul hasan. Penelitian yang dilakukan Amijaya (2003) tentang penyelesaian apabila mutaridh terlambat membayar angsuran pinjaman pada akad perjanjian pembiayaan al-khard al-hasan menyimpulkan bahwa, penyelesaian apabila mutaridh terlambat membayar angsuran pinjaman dilakukan dengan cara musyawarah. Penelitian yang dilakukan Adnan dan Furywardhana (2006) tentang evaluasi Non Performing Loan (NPL) pinjaman khardul hasan menyimpulkan bahwa karakter yang baik, referensi yang obyektif serta payment yang semakin baik mampu menurunkan rasio Non Performing Loan (NPL) dari nasabah khardul hasan. Metode Penelitian Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang kaki lima (PKL) yang ada di Kota Semarang, yaitu sekitar 12.000 orang. Adapun jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 250 PKL. Sedangkan responden dalam penelitian ini mencakup perbankan syariah, Bazda Kota Semarang dan pedagang yang pernah mendapatkan khardul hasan dari bank syariah. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan melalui data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan kepada pedagang kaki lima dan pedagang yang pernah memperoleh pinjaman khardul hasan. Kuesioner dan wawancara dilakukan terhadap personal dari Dinas Pasar Kota Semarang, personal dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang, pengurus Bazda Kota Semarang, personal dari perbankan syariah. Kuesioner kepada PKL dan pedagang yang telah menerima khardul hasan mencakup profil PKL, jenis dagangan, sejarah pekerjaan, sumber dan bantuan modal yang telah diterima, manajemen usaha, tenaga kerja yang dipekerjakan, efisiensi usaha, modal berputar, dan aspirasi PKL. Kuesioner ke Dinas Pasar
Riptek Vol. 7, No. 1, Tahun 2013, Hal. 39-46 yang menangani PKL mencakup jumlah PKL, besaran modal PKL, kebijakan pengaturan PKL, perda PKL, penataan PKL, dan relokasi PKL. Kuesioner ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan mencakup bantuan permodalan saat ini bagi PKL, arah pemberdayaan PKL, kebijakan pengembangan PKL dan perlindungannya. Kuesioner dan wawancara yang ditujukan pada perbankan syariah dan Bazda terkait khardul hasan mencakup syarat administrasi, kriteria fakir dan miskin, besarnya pinjaman, prosedur seleksi peminjam, pengembalian pinjaman dan penyelesaian pinjaman bila macet. Variabel Penelitian dan Indikator Profil PKL mencakup karaktersitik pedagang mencakup: jenis kelamin, umur, status perkawinan, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, jam kerja, jenis dagangan, daerah asal pedagang, tempat tinggal sekarang, sejarah pekerjaan, dan keterlibatan tenaga kerja lain (termasuk keluarga). Efisiensi usaha dan akses modal PKL mencakup sumber modal usaha, asal modal usaha, jumlah modal usaha awal, taksiran nilai barang dagangan dan peralatan, biaya usaha, pendapatan bersih rata-rata/bulan, hambatan pengelolaan usaha, dan hambatan akses modal. Mekanisme qardhul hasan terdiri dari prosedur dan syarat admisnitrasi, verifikasi dan kriteria peminjam, plafon pinjaman, dan penyelesaian pinjaman macet. Analisis pembiayaan qardhul hasan mencakup karakter nasabah, referensi dan payment. Hasil Dan Pembahasan Deskripsi responden Berdasarkan tingkat pendidikan responden, mayoritas berpendidikan SD hingga SMU (72%), sementara yang berpendidikan D3 hingga S1 hanya sekitar 5,3%. Dilihat dari sisi jenis kelamin, mayoritas responden wanita (56,8%) lebih banyak dibanding pria (41,1%). Besarnya tanggungan keluarga yang harus dihidupi responden rata-rata 1 – 3 orang (43%) dan hanya 7,4% yang menghidupi anggota keluarga 4 -5 orang. Ditinjau kemampuan pedagang untuk tetap bertahan, menunjukkan bahwa pedagang masih mendapatkan jumlah pembeli yang banyak (25,3%) dan cukup banyak (67,4%). Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang disurvei seluruhnya pernah memperoleh bantuan modal qardhul hasan, baik yang bersumber dari Laznas, Bazda Kota Semarang maupun Bazda Provinsi Jawa Tengah, serta BMT. Berdasarkan pendapat responden, bantuan modal berupa qardhul hasan sangat membantu responden dalam mengembangkan
usahanya (83,2%), sedangkan yang tidak mampu meningkatkan usahanya hanya sekitar 3,2%. Hampir seluruh pedagang menyatakan bantuan qardhul hasan mampu menambah kinerja usaha (81,1%). Hal ini disebabkan akses modal bagi pedagang kaki lima masih sangat sulit diperoleh, sehingga keberadaan pembiayaan qardhul hasan tanpa disertai agunan sangat membantu dalam mengembangkan usaha. Selama ini faktor modal menjadi masalah utama bagi pedagang kaki lima, sementara untuk jumlah pembeli masih sangat tinggi. Sebanyak 11,6% menyatakan bantuan pembiayaan qardhul hasan yang disalurkan melalui Bazda, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) syariah dan BMT tidak memberikan manfaat yang signifikan dalam mengembangkan usahanya. Hal ini disebabkan karena pembiyaaan yang diterima pedagang kaki lima tidak digunakan sepenuhnya untuk keperluan pengembangan usaha, namun sebagian digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah. Berdasarkan analisis terhadap tingkat kemacetan angsuran pembiayaan qardhul hasan bagi pedagang kaki lima menunjukkan bahwa sebanyak 65,3% angsuran pinjaman tidak pernah macet, sementara sebanyak 15,8% menyatakan pernah macet dalam membayar angsuran kepada BPR syariah, BMT dan Bazda. Penyebab kemacetan angsuran pinjaman antara lain adanya keperluan mendadak keluarga sehingga harus menggunakan modal kerja, terlupa tanggal angsuran pinjaman sehingga dirapel bulan berikutnya, membayar biaya sekolah anak, pembeli yang sepi sehingga pendapatan tidak pasti per harinya. Penanganan angsuran pinjaman macet yang dilakukan BPR syariah, BMT dan Bazda dengan cara menyarankan pedagang kaki lima untuk mengakumulasikan pembayaran pada bulan berikutnya, diberi jangka waktu yang cukup bagi pedagang kaki lima untuk kembali dapat mengangsur pinjaman, diberikan keringanan angsuran, diselesaikan dengan cara persuasif dan musyawarah. Bagi pedagang kaki lima yang memang dalam kondisi yang sangat sulit sekali untuk membayar angsuran pinjaman, pihak BPR syariah, BMT dan Bazda membebaskan dari kewajiban mengangsur pinjaman. Berdasarkan análisis terhadap mekanisme pembiayaan qardhul hasan menunjukkan bahwa pedagang kaki lima yang setuju dan merasakan kemudahan untuk memperoleh modal qardhul hasan sebanyak 63%, sementara sebanyak 13,7% menyatakan agak kesulitan dalam mengakses modal qardhul hasan. Tingkat kesulitan ini disebabkan karena PKL memiliki informasi yang terbatas terhadap keberadaan institusi yang memberikan bantuan pinjaman qardhul hasan. Terhadap kemudahan persyaratan administrasi untuk mendapatkan pinjaman qardhul hasan.
43
Model Pembiayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Melalui Qardhul Hasan Mayoritas PKL menilai sangat mudah dan tidak berbelit yang ditunjukkan dengan tingkat kesetujuan sebesar 63,3% sementara yang menyatakan kurang setuju sebesar 13,7%. PKL yang merasa kesulitan melengkapi administrasi untuk mendapatkan pinjaman disebabkan karena data-data kependudukan yang diperlukan tidak lengkap, tingkat pendidikan rata-rata SD dan SMP sehingga tidak mudah untuk memahami berbagai ítem persyaratan administrasi dan kecenderungan ingin mendapatkan modal secara langsung secara instan tanpa adanya pemenuhan persyaratan administrasi. Adapun prosedur untuk memperoleh pinjaman qardhul hasan, PKL diwawancarai oleh petugas BPR syariah, BMT dan Bazda. Sebanyak 69,5% PKL menyatakan diwawancarai saat mengajukan pinjaman qardhul hasan, sementara sebesar 11,6% tidak pernah diwawancarai oleh petugas. Bagi yang tidak diwawancarai, pemberian pinjaman dilakukan melalui kelompok – kelompok organisasi (majelis ta’lim) maupun database warga miskin yang tercatat di BPR syariah, BMT dan Bazda. Dalam memberikan pinjaman, pihak institusi yang akan menyalurkan dana qardhul hasan menganalisis secara mendalam tujuan memperoleh pinjaman, apakah untuk modal usaha yang produktif atau konsumsi. Berdasarkan jawaban PKL, 73,7% seluruh petugas menanyakan tujuan perolehan pinjaman qardhul hasan, 9,6% tidak melakukan analisis tujuan mendapatkan pinjaman. Ditinjau dari sisi penggunaan agunan dalam memperoleh pinjaman qardhul hasan, mayoritas PKL (57,9%) menyatakan bahwa pihak BPR syariah, BMT dan Bazda tidak mengharuskan adanya agunan dalam memperoleh pinjaman. Sekitar 25,2% yang mensyaratkan adanya agunan. Hal ini disebabkan jumlah pembiyaan yang diminta cukup besar dan menjamin kelancaran angsuran pinjaman. Dalam melakukan analisis pemberian pinjaman pihak institusi menganalisis juga kemampuan tingkat pengembalian pinjaman PKL. Sebanyak 72,7% PKL setuju telah dilakukan analisis tingkat pengembalian pinjaman oleh institusi dan hanya 10,6% yang menyatakan tidak setuju. Hampir seluruh PKL (61%) yang memperoleh pinjaman qardhul hasan hasil rekomendasi berbagai pihak, mengingat sumber informasi yang diperoleh sangat terbatas. Sekitar 15,8% PKL memperoleh pinjaman qardhul hasan tanpa melalui rekomendasi pihak lain, karena memiliki akses informasi yang lengkap. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan pinjaman qardhul hasan mayoritas digunakan untuk menambah modal kerja. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kesetujuan PKL sebesar 77,9%, sementara hanya 5,3% yang
44
(Heru Sulistyo, Abdul Hakim) penggunaanya di luar modal kerja. Bagi PKL yang menggunakan pinjaman untuk modal kerja, mayoritas tidak pernah macet dalam membayar cicilan pinjaman (16,9%), sementara yang pernah macet dalam membayar cicilan pinjaman sebanyak 61%. Untuk menangani pinjaman yang macet, pihak BPR syariah, BMT dan Bazda melakukan musyawarah dengan PKL. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kesetujuan responden sebesar 72,6%, sementara yang menyatakan tidak setuju sebesar 5,3%. Dampak pemberian pinjaman qardhul hasan adalah semakin meningkatnya keuntungan usaha (77,9%) dan mampu meningkatkan omzet penjualan PKL (77,9%). Bagi pinjaman yang macet, pihak institusi mau memahami alasan PKL macet dalam membayar angsuran pinjaman (63,2%), hanya 11,6% yang menyatakan bahwa petugas institusi tidak bersedia menerima alasan kemacetan pinjaman. Namun demikian, seluruh PKL sangat jujur dalam mengemukakan alasan ketidakmampuan membayar angsuran. Hal ini didukung dengan hasil jawaban PKL yang selalu terus terang apa adanya dalam memberikan keterangan (71,5%), sementara yang tidak jelas memberikan keterangan sebesar 7,4%. Kondisi ini sangat konsisten atas penilaian PKL bahwa petugas pemberi pinjaman sangat baik dan ramah dalam melayani (73,6%) dan hanya 6,3% yang menyatakan kurang setuju. Menurut PKL, pemberian pinjaman qardhul hasan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga (72,6%), sementara yang tidak memberikan dampak peningkatan kesejahteraan sebesar 6,4%. Peningkatan kesejahteraan ini juga karena didukung tidak hanya pemberian pinjaman qardhul hasan, namun juga adanya pendampingan dan pelatihan usaha bagi PKL. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kesetujuan PKl sebesar (60%), sementara sebanyak 19% menyatakan belum pernah mendapatkan pendampingan dan pelatihan usaha. Berdasarkan hasil penelitian, hampir mayoritas (87%) Laznas, BPR syariah, BMT dan Bazda memiliki pembiayaan qardhul hasan yang merupakan hasil pengumpulan dana zakat infaq dan sedekah. Persyaratan untuk memperoleh pinjaman qardhul hasan dilakukan melalui survey, wawancara, surat keterangan miskin, dan memiliki usaha. Jumlah pembiayaan qardhul hasan hingga tahun 2011 sebesar Rp417.000.000,00, sedangkan besarnya pembiyaan yang macet sebesar Rp27.625.000,00. Adapun jenis usaha yang dibiayai selama ini antara lain perdagangan, toko kelontong, warung makan, petani, peternak, jualan makanan dan sayur keliling. Analisis terhadap karakter peminjam dilakukan melalui survey dan wawancara baik dengan PKL, orang
Riptek Vol. 7, No. 1, Tahun 2013, Hal. 39-46 terdekat atau tetangga terdekat. Analisis terhadap kolateral dilakukan dengan memberikan taksiran jaminan sebesar 30% hingga 50% terhadap asset dan barang dagangan yang dimiliki. Selain itu juga dilakukan berdasarkan jenis usaha, sirkulasi penjualan, omzet penjualan, lokasi usaha yang strategis, track record PKL, dan penghasilan tiap bulan. Secara umum karakter nasabah PKL saat ini mayoritas baik (78,3%). Hal ini mengingat PKL yang meminjam dana qardhul hasan hasil dari pemberian referensi (65,2%). Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa pembiayaan qardhul hasan bagi pedagang kaki lima ternyata sangat bermanfaat dalam meningkatkan omzet penjualan dan tingkat kesejahteraannya. Namun demikian, saat ini proporsi pembiayaan qardhul hasan masih sangat kecil, khususnya dana ZIS yang terkumpul di Bazda Kota Semarang maupun Provinsi Jateng. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ditawarkan model pembiyaan qardhul hasan dengan melibatkan berbagai instansi secara komprehensif, seperti Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pasar, Bazda Kota Semarang dan Bazda Provinsi Jawa Tengah, Laznas, Bank syariah, BPR syariah untuk menentukan data base bagi pembiayaan PKL, pembinaan dan pendampingan usaha. Selama ini tidak ada koordinasi sama sekali antar instansi terkait. Dengan demikian diharapkan peningkatan proporsi pembiyaan bagi PKl akan dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Kota Semarang. Kesimpulan Model pembiayaan qardhul hasan sangat penting untuk memberikan solusi pembiayaan bagi pedagang kaki lima yang selama ini tidak memiliki akses permodalan ke lembaga keuangan. Beberapa lembaga seoerti bank syariah, BPR syariah, BMT, Laznas dan Bazda Kota Semarang dan Bazda Provinsi Jawa Tengah sudah menyalurkan pembiayaan tersebut namun masih dalam proporsi yang kecil. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kemacetan pembiayaan qardhul hasan sangat kecil dan mayoritas PKL merasakan adanya peningkatan omzet dan tingkat kesejahteraan mereka. DAFTAR PUSTAKA _______, 2003, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN _______, 2004, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Adnan Muhammad Akhyar dan Furywardhana (2006), Evaluasi Non Performing Loan (NPL) Pinjaman Qardhul hasan (Studi Kasus di BNI Syariah Cabang Yogyakarta, JAAI, Volume 10 No. 2, Desember. Antonio, Muhammad Syafi’i (2001), Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press Beik, Irfan (2009), The Use of Zakat as Financing Source for Micro and Small Scale Enterprises and Its Role in Reducing Poverty: A Case Study in Jakarta, Indonesia, Unpublished phD Dissertation, IIUM Malaysia Biro Pusat Statistik (2010),” Semarang dalam Angka 2009,” Dahlan, Abdul Azis (ed), 1997, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve Hoetoro, Arief, 2007, Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, Malang: Banyu Media. Indiastuti (2006). Respon konsumen terhadap persaingan pasar tradisional dan pasar modern, studi empiris di Kota Bandung. Laporan Penelitian. Iqbal, Zamir dan Abbas Mirakhor, 2008, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktek, Jakarta: Prenada Kara, Muslimin H, 2005, Bank Syari’ah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syari’ah, Yogyakarta: UII Press Karim, Adiwarman A., 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press Lewis Mervyn K dan Latifa M. Algaoud, 2007, Perbankan Syari’ah: Prinsip praktik dan prospek, Jakarta: Serambi Mubarok, Jaih, 2008, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Muhammad, 2000, Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UUI Press Nasution, Mustafa Edwin dkk, 2007, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,Jakarta: Kencana
45
Model Pembiayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Melalui Qardhul Hasan
(Heru Sulistyo, Abdul Hakim)
P3EI, 2008, Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Ridwan, Muhammad, 2004, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil, Yogyakarta: UII Press
Perwataatmadja, Karnaen A dan Anis Byarwati, 2008, Jejak Rekam Ekonomi Islam: Refleksi Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang sejarah kekhalifahan, Jakarta: Cicero.
Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Zikrul
46
Saeed, Abdullah, 2004, Menyoal Bank Syari’ah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank kaum Neo Revivalis, Jakarta: Paramadina