Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI1 Dr. Sri Hery Susilowati dan Ir. Supriyati, MS Pendahuluan Sampai saat ini pemerintah masih memberikan subsidi pupuk kepada petani dalam bentuk subsidi harga. Pemberian subsidi pupuk tersebut selain untuk mendorong adopsi teknologi penggunaan pupuk sesuai dengan rekomendasi, juga ditujukan untuk meringankan beban petani yang sebagian besar adalah petani kecil. Dasar hukum pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi 2013 diatur dalam Permendag No.15/MDGA/4/2013, yaitu penyaluran pupuk subsidi pemerintah dilakukan oleh produsen, distributor dan pengecer. Sedangkan Permentan No.69/Permentan/SR.130/11/2013 mengatur penyaluran pupuk dari kios kepada kelompok tani yang dilakukan dengan sistem tertutup menggunakan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Secara umum petani (khususnya petani padi) sudah sangat tergantung kepada subsidi pupuk. Anggaran pemerintah untuk subsidi pupuk juga terus meningkat, dimana peningkatan jumlah subsidi secara nyata terjadi tahun 2007 ke 2008 yang meningkat lebih dari dua kali lipat (Rp. 6,8 T menjadi Rp. 14,11). Jumlah subsidi pupuk tahun 2012 sebesar Rp. 13,94 Triliun, merupakan sekitar 6,7% dari total PDB subsector tanaman pangan dan subsector perkebunan pada tahun yang sama, dan jumlah anggaran subsidi pupuk secara konsisten terus meningkat dengan jumlah yang besar sehingga menjadi beban berat bagi APBN. Berdasarkan data Nota Keuangan RAPBN 2014, anggaran untuk subsidi pupuk ke petani tahun 2014 sebesar Rp. 18,04 trilyun sehingga perkembangan jumlah subsidi pupuk sejak tahun 2003 sampai dengan 2014 menunjukkan peningkatan dengan laju rata-rata 26,2%/tahun. Berbagai kebijakan dan model subsidi pupuk telah dilakukan dan terus dilakukan perbaikan, namun sampai saat ini masih tetap dijumpai beberapa permasalahan yang bersifat klasik. Dari sitem distribusi, meskipun telah menggunakan sistem tertutup dari produsen (pabrik) hingga ke petani, namun sistem tersebut masih belum sepenuhnya efektif. Hal ini terbukti di daerah-daerah tertentu masih terjadi kelangkaan atau keterlambatan penyaluran pupuk bersubsidi. Penyerapan subsidi pupuk juga belum seimbang antara Jawa dan luar Jawa. Rata-rata penyerapan subsidi pupuk di luar Jawa relatif lebih rendah dari alokasi subsidi, sementara di Jawa, rata-rata penggunaan pupuk kimia per hektar (utamanya padi sawah) 1
Draft disiapkan oleh Sri Hery Susilowati dan Supriyati, masing‐masing peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
1
sudah jauh melebihi takaran yang direkomendasikan pemerintah. Hal ini berarti pemborosan sumberdaya ekonomi, baik di tingkat petani maupun pemerintah, disamping menimbulkan polusi lingkungan. Harga eceran tertinggi (HET) pupuk yang terlalu murah diduga menjadi faktor penyebab utamanya. Rasio HET pupuk terhadap HPP gabah semakin mengecil dari tahun ke tahun yang berarti HET riil sebenarnya terus menurun (makin murah). Namun di sisi lain, meskipun HET riil pupuk semakin menurun, petani yang sebagian besar petani berlahan sempit dan miskin menghadapi kesulitan modal untuk membeli pupuk sehingga selalu terperangkap dalam sistem hutang pada pelepas uang/pedagang dengan suku bunga sangat tinggi. Hal ini disebabkan perbankan belum banyak melayani kebutuhan modal usahatani petani dengan suku bunga relatif rendah. Kenyataan ini menjadikan dilema bagi pemerintah dalam mengalokasikan anggaran subsidi pupuk. Akhir-akhir ini muncul pemikiran untuk mengurangi subsidi pupuk kimia secara bertahap yang berkonsekuensi terhadap peningkatan HET pupuk. Namun peningkatan HET sudah barang tentu tetap mempertimbangkan pendapatan usahatani padi sehingga petani tetap memperoleh keuntungan normal usahatani, sebesar minimal 30 persen. Penghematan biaya subsidi akan digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur utama pertanian seperti jaringan irigasi dan jalan pertanian yang sekarang sudah banyak yang rusak, atau peningkatan subsidi untuk pupuk organik. Diharapkan, perbaikan kondisi infrastruktur itu akan memberikan manfaat lebih besar tanpa mendistorsi pasar input dibanding dampak ekonomi negatif yang disebabkan oleh berkurangnya subsidi pupuk. Berdasarkan pemikiran tersebut perlu dikaji tingkat penyesuaian HET pupuk yang layak bagi usahatani, khusunya usahatani padi. Perkembangan HET Pupuk dan HPP Gabah Jenis pupuk yang disubsidi adalah pupuk tunggal Urea, ZA dan SP18 (pengganti SP36), pupuk majemuk (NPK) dan pupuk organik. Pupuk NPK terdiri dari tiga merk dagang, yaitu NPK Phonska (komposisi 15:15:15) buatan PT. Petrokimia Gresik, NPK Pelangi (komposisi 20:10:10) dan NPK Kujang (komposisi 30:6:8). Harga pupuk yang dibayar petani adalah Harga Eceran Tertinggi (HET). Yang dimaksudkan dengan HET adalah harga tertinggi yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian untuk penjualan tunai pupuk anorganik yaitu pupuk Urea, SP18, ZA dan NPK dan pupuk organik dalam kemasan 50 kg, 40 kg atau 20 kg oleh pengecer di Lini-4 kepada petani/Kelompok Tani. Harga pupuk bersubsidi (HET) selama periode 2003-20013 hanya mengalami perubahan tiga kali (Tabel 1). Untuk pupuk Urea, tahun 2003-2005 seharga Rp.1150/Kg, tahun 2006-2008 seharga Rp. 1200/Kg sehingga dalam dua periode tersebut hanya terjadi kenaikan 5 persen. Kemudian tahun 2009 terjadi kenaikan sebesar Rp. 1600/Kg (naik 34%) dan bertahan sampai tahun 2011, tahun 2012 harga Urea naik menjadi Rp.1800/Kg (naik 13%) dan tetap sampai sekarang. Hal senada untuk kenaikan harga pupuk NPK, ZA dan SP-36 (yang sekarang menjadi SP-18). Dilihat dari perkembangan selama periode 2003-2013 tersebut HET pupuk Urea meningkat dengan laju 5,34%/tahun, HET NPK (Phonska, Pelangi dan Kujang) meningkat dengan laju pertumbuhan sama, yaitu 3,72%/tahun, HET pupuk ZA meningkat 4,75%/tahun sedangkan HET pupuk SP-36 meningkat dengan laju 4,35%/tahun. 2
Pemerintah selain memberikan subsidi harga untuk pupuk anorganik, sejak tahun 2008 juga memberikan subsidi harga untuk pupuk Organik. HET pupuk organik tahun 2008 sampai dengan 2011 sebesar Rp. 700/Kg, tahun 2012 justru diturunkan menjadi Rp. 500/Kg. HET pupuk yang justru turun dibandingkan tahun sebelumnya, dimaksudkan untuk mendorong petani menggunakan pupuk organik lebih banyak sehingga struktur tanah dapat diperbaiki. Tujuan pemerintah untuk mendorong minat petani menggunakan pupuk organik tercapai, terbukti dari semakin banyaknya petani/kelompok tani yang membuat pupuk organik sendiri dan bahkan dari hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, banyak desa-desa tertentu yang sudah “minded” terhadap penggunaan pupuk organik, yang pada akhirnya HET organik sebesar Rp.500/Kg justru dipandang tidak mendorong pengembangan usaha pembuatan pupuk organik in-situ oleh petani/kelompok tani karena mereka tidak bisa bersaing dengan harga subsidi pupuk organik sebesar Rp. 500/Kg. Pendapatan petani dari usahatani sangat tergantung dari perkembangan HET pupuk dan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) untuk gabah (GKP). Jika perkembangan HET pupuk relatif stabil (naik dengan laju moderat), sebaliknya perkembangan HPP gabah lebih dinamis atau terus meningkat yaitu dari Rp 1230/Kg pada tahun 2003 menjadi Rp. 3300/Kg pada tahun 2013 atau selama 10 tahun terakhir telah meningkat 169 persen. Selama periode yang sama, HPP gabah meningkat dengan laju 10,9%/tahun (Tabel 1) Tabel 1. Perkembangan HET Pupuk Bersubsidi di Tingkat Pengecer dan HPP Gabah GKP, Tahun 2003-2013 NPK
SP-36 Organik HPP GKP ZA Phonska Pelangi Kujang -------------------------------------(Rp/Kg)-----------------------------------------------------2003 1150 1750 1,750 1,750 950 1400 1,230 2004 1150 1750 1750 1,750 950 1400 1,230 2005 1150 1600 1600 1600 950 1400 1,330 2006 1200 1750 1750 1750 1050 1550 1,730 2007 1200 1750 1830 1586 1050 1550 2,035 2008 1200 1750 1830 1586 1050 1550 700 2,240 2009 1600 1750 1830 1586 1050 1550 700 2,440 2010 1600 2300 2300 2300 1400 2000 700 2,640 2011 1600 2300 2300 2300 1400 2000 700 2,640 2012 1800 2300 2300 2300 1400 2000 500 3,300 2013 1800 2300 2300 2300 1400 2000 500 3,300 %/tahun 5,34 3,72 3,72 3,72 4,75 4,35 (7,69) 10,88 Sumber : Ditjen Sarana dan Prasarana Pertanian, Kementerian Pertanian. Tahun
Urea
3
Laju peningkatan HPP gabah yang lebih cepat dari peningkatan HET, berarti bahwa rasio HET pupuk bersubsidi terhadap HPP gabah terus menurun, yang mengindikasikan bahwa harga pupuk bersubsidi menjadi relatif makin murah dibanding HPP gabah. Selama periode 2008-2013, rasio HET pupuk terhadap HPP gabah cenderung terus menurun kecuali untuk pupuk NPK Phonska (Tabel 2). Rasio HET Urea dan ZA terhadap HPP gabah rata-rata hanya berkisar 0,5 sementara untuk pupuk NPK rata-rata berkisar 0,75 sampai 0,78, yang berarti harga riil pupuk NPK relatif terhadap harga gabah lebih tinggi dibandingkan pupuk Urea dan ZA. Meskipun rasio harga lebih tinggi namun selama periode yang sama harga riil pupuk NPK terhadap harga gabah semakin lebih murah, yang ditunjukkan melalui laju penurunan rasio haga NPK terhadap harga Urea dan ZA yang lebih besar. Tabel 2. Rasio HET Pupuk terhadap Harga Gabah, Tahun 2008-2013 NPK ZA SP-36 Organik Phonska Pelangi Kujang 2008 0.54 0.78 0.82 0.71 0.47 0.69 0.31 2009 0.66 0.72 0.75 0.65 0.43 0.64 0.29 2010 0.61 0.87 0.87 0.87 0.53 0.76 0.27 2011 0.61 0.87 0.87 0.87 0.53 0.76 0.27 2012 0.55 0.70 0.70 0.70 0.42 0.61 0.15 2013 0.55 0.70 0.70 0.70 0.42 0.61 0.15 Rata-rata 0.58 0.77 0.78 0.75 0.47 0.68 0.24 %/tahun (1.38) (1.78) (2.77) 0.33 (1.47) (2.19) (14.49) Sumber : Ditjen Sarana dan Prasarana Pertanian, Kementerian Pertanian dan BPS (diolah) Tahun
Urea
Pemerintah telah menetapkan HPP gabah, dimana tujuan dari penetapan HPP gabah adalah untuk melindungi petani dari penurunan harga yang akan merugikan petani. Pemerintah berkewajiban membeli gabah dengan harga HPP apabila harga gabah (dengan kualitas tertentu yang sudah ditetapkan untuk Kadar air dan kadar hampa/kotoran) mengalami penurunan sampai dibawah HPP. HPP gabah menurut Kriteria kadar air dan kadar hampa ditetapkan setiap tahun (Tabel 3). Namun kenyataan di lapang menunjukkan bahwa harga pasar GKP (Gabah Kering Panen) maupun harga gabah kualitas rendah yang memiliki kriteria kadar air dan kadar kotoran lebih tinggi dari kriteria yang ditetapkan untuk HPP gabah, selalu lebih tinggi dari HPP gabah. Hal ini dapat diartikan bahwa jika penetapan HPP sudah memperhitungkan keuntungan normal petani (25% dari biaya total), maka pada kondisi normal, petani yang menjual gabah mereka pada kondisi kering panen dan bahkan kualitas yang lebih rendah masih tetap memperoleh keuntungan normal. Dengan kata lain, jika yang digunakan sebagai acuan “kesejahteran petani” adalah petani masih memperoleh keuntungan minimal 25%, maka hal ini mengindikasikan masih ada peluang untuk melakukan penyesuaian (kenaikan) HET pada kondisi harga gabah (HPP) tetap. Namun demikian, perlu dilakukan analisis secara lebih rinci dan hati-hati agar penyesuaian HET pupuk tetap memberikan 4
keuntungan yang layak bagi petani. Agar pendapatan petani dari usahatani padi tidak menurun, maka kenaikan HET hendaknya diimbangi dengan kenaikan HPP gabah. Tabel 3. Perkembangan Harga Gabah Menurut Kualitas, Tahun 2008-2013
Tahun
Harga Gabah (Rp/Kg)
Gabah Kualitas Rendah 2008 2.482 2.201 2009 2.704 2.395 2010 3.109 2.712 2011 3.589 3.160 2012 3.948 3.559 2013 4.005 3.593 %/tahun 10,22 10,60 Sumnber : BPS (berbagai tahun) GKP
Kadar Air (%) GKP 19,10 18,69 18,73 18,72 18,63 18,64
Gabah Kualitas Rendah 25,42 25,77 25,90 25,40 25,45 25,50
Kadar Hampa/Kotoran (%) GKP
Gabah Kualitas Rendah
5,07 4,98 5,10 5,05 5,12 5,09
8,59 8,85 9,56 9,22 9,22 9,83
HPP (RP/Kg)
2.240 2.440 2.640 2.640 3.300 3.300 8,16
Analisis Biaya dan Pendapatan Usahatani Padi Hasil analisis usahatani padi yang merupakan rataan dari 738 petani padi yang menyebar di 16 provinsi pada MH 2012/2013 ditampilkan pada Tabel 4. Dari hasil analisis tersebut dapat dikemukakan beberapa hal: (i) Biaya ushatani padi per ha mencapai Rp 10,6 juta, dengan proporsi pengeluaran terbesar untuk tenaga kerja; (ii) Biaya untuk pupuk mencapai 10,8 persen dari total biaya. Harga pembelian pupuk bersubsidi jauh di atas HET yang telah ditetapkan Pemerintah, harga beli pupuk Urea 14 persen di atas HET, harga beli pupuk SP 23 persen di atas HET, harga beli pupuk ZA 24 persen di atas HET, harga beli pupuk NPK 16,5 persen di atas HET. Halini antara lain disebabkan karena adanya biaya transportasi dan sebagian petani membeli dengan system pembayaran setelah panen (‘yarnen’); (iii) Dengan rataan produktivitas sekitar 5,64 ton GKP per ha, dan harga jual GKP Rp 3 733/kg, maka pendapatan usahatani padi sebesar Rp 21 juta/ha dan keuntungan Rp 10,41 juta/ha (sekitar 49 persen dari pendapatan). Harga jual GKP petani di atas harga HPP yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hal ini juga sesuai dengan data dari BPS, bahwa harga tingkat produsen lebih tinggi dari HPP; (iv) Yang perlu digarisbawahi adalah keuntungan sebesar Rp 10,41 juta adalah untuk luasan 1 hektar dan periode waktu 3-6 bulan. Dari data yang sama, rataan luas usahatani adalah 0,54 hektar (dengan kisaran 0,03-6,3 hektar). Hasil sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa rataan luas tanam padi per rumah tangga 0,67 hektar; (v) Analisis pupuk organik bersubsidi tidak dapat dilakukan, karena data tersebut tidak tersedia.
5
Tabel 4. Analisis Usahatani Padi di Indonesia MH 2012/2013 Usahatani MH 2012/2013 Uraian
Satuan
1. Benih
Kg/ha
2. Pupuk
Kg/ha
Jumlah
Harga per satuan
Nilai (Rp/ha)
Proporsi Biaya terhadap Total Biaya
42.65
7,580
323.29
3.04
1,150.54
10.80
a.Urea
Kg/ha
219.59
2,052
450.66
4.23
b.SP-36
Kg/ha
80.92
2,458
198.92
1.87
c.ZA
Kg/ha
28.73
1,744
50.11
0.47
d.KCL
Kg/ha
5.80
5,187
30.09
0.28
e.NPK
Kg/ha
143.75
2,681
385.41
3.62
f.Pupuk Kandang
Rp/ha
20.77
0.20
g.Kompos
Rp/ha
14.57
0.14
758.38
7.12
4. Sarana Produksi lainnya 5. Tenaga Kerja
7,766.91
72.94
a. Luar keluarga
5,240.86
49.22
b. Dalam Keluarga
2,526.05
23.72
514.75
4.83
6. Sewa Lahan
Rp/ha
Rp/ha
7. Biaya Lain
Rp/ha
134.73
1.27
Total Biaya
Rp/ha
10,649
100.00
Pendapatan
Ton/ha
Keuntungan
Rp/ha
5.64
3,733.79
21,059 10,410
% Keuntungan 49.43 Sumber: Data primer Kajian Karakteristik Produsen Dan Penangkar Serta Analisis Kelayakan Usahatani Benih Padi (PSEKP, 2013)
Usulan Penyesuaian HET Pupuk Tahun 2014 dan Dampaknya terhadap Pendapatan Petani Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya bahwa dilihat dari rasio HET terhadap harga gabah, maka harga pupuk bersubsidi relatif terhadap harga gabah semakin murah. Hal ini mengakibatkan semakin besarnya beban anggaran pemerintah untuk subsidi pupuk, dan di sisi lain petani terus di”manjakan” dengan harga pupuk murah yang mendorong penggunaan puouk dengan dosis berlebihan, terutama pada usahatani padi di Jawa. Untuk meningkatkan efektifitas subsidi dan efisiensi anggaran subsidi, maka HET pupuk dan HPP gabah perlu dinaikkan dengan mempertimbangkan: (1) Respon petani yang positif terhadap kenaikan HET pupuk; (2) Jumlah pupuk yang disubsidi tidak dikurangi dan perlu keseimbangan dalam dosis penggunaan antara pupuk Urea dan pupuk majemuk (NPK); (3) Petani mendapatkan keuntungan lebih besar; (4) Beban anggaran pemerintah berkurang; dan (5) Tidak menimbulkan inflasi secara berlebihan. 6
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka scenario kenaikan HET adalah sebagai berikut: (i) HET dan HPP meningkat 10 persen; (ii) HET dan HPP meningkat 15 persen. Berdasarkan hasil analisis usahatani PSE-KP, maka ditampilkan analisis usahatani (Tabel 5): (i) Analisis usahatani riil hasil survey PSE-KP, selanjutnya sebagai dasar perhitungan untuk penghitungan scenario kenaikan HET pupuk dan HPP GKP; (ii) Skenario I (Sken I): Analisa usahatani, harga pupuk sesuai HET dan harga output sesuai dengan HPP; (iii) Skenario II (Sken II) : Analisa usahatani, dengan HET dan HPP meningkat 10 persen; (iv) Skenario III (Sken III): Analisa usahatani, dengan HET dan HPP meningkat 15 persen. Tabel 5. Analisis Usahatani Padi di Indonesia menurut Skenario Usulan Penyesuaian HET dan HPP Uraian
1. Benih 2. Pupuk 3. Sarana Produksi lainnya 4. Tenaga Kerja 5. Sewa Lahan 6. Biaya lain Total biaya Pendapatan Produksi Harga gabah Keuntungan % Keuntungan % Biaya pupuk
Eksisting
Sken I
Sken II
Sken III
Nilai (Rp/ha)
Nilai (Rp/ha)
Nilai (Rp/ha)
Nilai (Rp/ha)
323 1,151
323 993
323 1,086
323 1,133
758
758
758
758
7,767 514.75 134.73 10,649 21,059 5.64 3,734 10,410 49.43 10.18
7,767 514.75 134.73 10,491 18,612 5.64 3,300 8,121 43.63 8.91
7,767 514.75 134.73 10,584 20,473 5.64 3,630 9,889 48.30 9.67
7,767 514.75 134.73 10,631 23,544 5.64 4,175 12,914 54.85 10.04
Catatan : Eksisting: Analisis usahatani eksisting hasil survey PSE-KP SKEN I : Analisa usahatani, harga pupuk sesuai HET dan harga output sesuai dengan HPP SKEN II : Analisa usahatani, dengan HET dan HPP meningkat 10 persen; SKEN III : Analisa usahatani, dengan HET dan HPP meningkat 15 persen
Analisa usahatani dengan harga pupuk sesuai HET dan harga output sesuai dengan HPP (Skenario I) menunjukkan bahwa: proporsi biaya pupuk menurun, pendapatan serta keuntungan petani menurun dibandingkan dengann analisa usahatani riil. Hal ini mengindikasikan bahwa harga jual GKP memberikan peningkatan pendapatan yang signifikan. Apabila HET dan HPP meningkat 10 persen (Skenario II), hasil analisa usahatani, menunjukkan bahwa pendapatan dan keuntungan petani sekitar 48 persen. Apabila HET dan HPP meningkat 15 persen (Skenario III), hasil analisa usahatani, menunjukkan bahwa pendapatan dan keuntungan petani meningkat, proporsinya sekitar 55 persen. Proporsi biaya pupuk juga meningkat. 7
Skenario Ditjen PSP (dalam RAB subsidi pupuk 2014), HET pupuk bersubsidi meningkat, Urea menjadi Rp 2600/kg (meningkat 44 persen), ZA menjadi Rp 2300/kg (meningkat 64 persen) dan SP dan NPK menjadi Rp 3500/kg (meningkat 75 dan 52 persen), apabila HPP tetap maka keuntungan petani akan menurun tajam menjadi Rp 6,9 juta/ha atau keuntungan hanya 37,4%. Peurunan keuntungan petani ini berpotensi menimbulkan gejolak dan bisa jadi petani akan mengalihkan usahataninya ke komodtas lain yang dipandang lebih menguntungkan. Oleh karena itu peningkatan HET sebesar itu ana diimbangi dengan kenaikan HPP sebaiknya tidak dilakukan (Tabel 6, scenario PSP I). Pada Skenario PSP II, dengan usulan harga HET dan keuntungan petani tetap seperti pada MH 2012/2013, maka HPP harus ditingkatkan menjadi Rp 3912/kg (meningkat 18 persen). Apabila keuntungan petani harus meningkat 10 persen (mengimbangi inflasi) maka HPP menjadi Rp 4097/kg (meningkat 25 persen). Namun demikian, ada catatan khusus terhadap kenaikan yang sangat tinggi ini, yaitu: (i) HET langsung dapat diberlakukan, namun peningkatan HPP belum tentu akan mempengaruhi penjualan GKP secara langsung. Harga jual GKP petani sangat dipengaruhi oleh mekanisme pasar; (ii) Dampak psikologis ke petani kurang bagus, dikawatirkan akan menuai protes yang berkelanjutan; (iii) Uraian di bawah menyatakan bahwa sebagian besar petani menyatakan bahwa dosis pupuk akan turun jika HET kedua jenis pupuk itu naik 15 persen. Dengan peningkatan antara 44-75 persen, maka akan terjadi penurunan dosis pupuk, yang akan mempengaruhi ke produkstivitas, dan mengancam swasembada beras Indonesia. Tabel 6. Analisis Usahatani Padi di Indonesia menurut Usulan Kenaikan HET Pupuk (Ditjen PSP) Uraian 1. Benih 2. Pupuk 3. Sarana Produksi lainnya 4. Tenaga Kerja 5. Sewa Lahan 6. Biaya lain Total biaya 7. Pendapatan 8. Produksi Harga gabah Keuntungan % Keuntungan % Biaya pupuk
bersubsidi
Riil Nilai (Rp/ha) 323 1,151
Skenario PSP I Nilai (Rp/ha) 323 2,155
Skenario PSP II Nilai (Rp/ha) 323 2,155
Skenario PSP III Nilai (Rp/ha) 323 2,155
758
758
758
758
7,767 514.75 134.73 10,649 21,059 5.64 3,734 10,410 49.43 10.18
7,767 514.75 134.73 11,654 18,612 5.64 3,300 6,958 37.39 18.50
7,767 514.75 134.73 11,654 22,064 5.64 3,912 10,410 47.18 18.50
7,767 514.75 134.73 11,654 23,104 5.64 4,097 11,451 49.56 18.50
Catatan: Skenario PSP I: Skenario Ditjen PSP (dalam RAB subsidi pupuk 2014), HET pupuk bersubsidi meningkat, Urea menjadi Rp 2600/kg (meningkat 44 persen), ZA menjadi Rp 2300/kg (meningkat 64 persen), SP dan NPK menjadi Rp 3500/kg (meningkat 75 dan 52 persen), HPP tetap Skenario PSP II: dengan usulan harga HET sesuai RAB subsidi pupuk 214 dan keuntungan petani tetap seperti pada MH
8
Skenario PSP III: Kenaikan HET seuai RAB subsidi pupuk 2014, keuntungan petani meningkat 10 persen (mengimbangi inflasi)
Respons Petani terhadap Kenaikan HET Dalam menerapkan suatu kebijakan baru, pemerintah perlu mengetahui dan mempertimbangkan respons petani terhadap rencana penerapan kebijakan baru tersebut. Uraian berikut ini menunjukkan respon petani terhadap HET pupuk Urea dan NPK (jenis pupuk utama) jika HET pupuk dinaikkan pemerintah. Analisis respons petani ini merupakan hasil kajian Kebijakan Subsidi Pupuk tahun 2009 oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan pertanian, Badan Litbang Pertaniian. Dalam analisis tersebut dibuat skenario kenaikan HET sebesar 5 persen, 10 persen dan 15 persen dari posisi tahun 2009. Respon petani contoh ditunjukkan pada Tabel 7 . Terlihat bahwa sebagian besar petani di semua wilayah penelitian menyatakan bahwa dosis pupuk Urea dan NPK tidak akan berubah jika HET hanya naik 5 persen, yaitu 88.3 – 95 persen petani untuk pupuk Urea dan 83.3 – 88.3 persen petani untuk pupuk NPK. Namun untuk kenaikan HET 10%, persentase jumlah petani yang menyatakan dosisnya akan tetap sama, turun menjadi sekitar 78.3 – 89.8 persen untuk pupuk Urea, dan 72.9 – 78.3 persen untuk pupuk NPK. Untuk kenaikan HET sebesar 15 persen, persentase jumlah petani yang menyatakan dosis pupuk tetap ternyata menurun sangat drastis yaitu menjadi hanya 18.3 – 37.3 persen untuk pupuk Urea, sedangkan untuk pupuk NPK ada perbedan antara Jawa Barat dan Jawa Timur dengan Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, persentase jumlah petani yang menyatakan dosis pupuk tetap ternyata tetap tinggi yaitu 83.3 persen, sedangkan di dua wilayah penelitian lainnya menjadi hanya 20.3 – 28.3 persen petani. Alasan utama petani tidak menurunkan dosis pupuk adalah agar produksi padinya tidak turun. Sepertinya sebagian besar petani sudah menyadari bahwa produksi padi akan turun jika dosis pupuk Urea dan NPK dikurangi. Dari Tabel tersebut juga dapat diketahui, sebagian kecil petani menyatakan bahwa dosis pupuk yang digunakan akan turun jika HET pupuk Urea dan pupuk NPK naik 5-10 persen, namun sebagian besar petani menyatakan bahwa dosis pupuk akan turun jika HET kedua jenis pupuk itu naik 15 persen, kecuali di Sulawesi Selatan. Untuk kenaikan HET sebesar 5 persen, tingkat penurunan dosis pupuk adalah 3.0 – 8.7 persen untuk pupuk Urea dan 4.5 – 28.7 persen untuk pupuk NPK. Untuk kenaikan HET sebesar 10 persen, tingkat penurunan dosis pupuk adalah 5.3 – 21.2 persen untuk pupuk Urea dan 7.5 – 28.8 persen untuk pupuk NPK. Untuk kenaikan HET sebesar 15 persen, tingkat penurunan dosis pupuk adalah 10.2 – 21.2 persen untuk pupuk Urea dan 14.3 – 33.4 persen untuk pupuk NPK. Namun pada petani pada umumnya menyatakan bahwa kenaikan HET pupuk tidak menjadi masalah asalkan disertai dengan kenaikan HPP gabah yang proporsional sehingga keuntungan petani justru bisa naik. Bagi petani, yang paling penting adalah bahwa pupuk selalu tersedia pada waktu petani membutuhkannya.
9
Tabel 7. Respon Petani Contoh terhadap Kenaikan HET Pupuk Urea dan NPK, 2009 Provinsi dan % Kenaikan HET Pupuk
Tetap (% petani)
Jawa Barat 5% 90.0 10% 78.3 15% 36.7 Jawa Timur 5% 94.9 10% 89.8 15% 37.3 Sulawesi Selatan 5% 88.3 10% 81.7 15% 18.3 Sumber : Hadi, dkk (2009)
Urea Dosis Turun Petani Penurunan (%) (%)
Tetap (% petani)
NPK Dosis Turun Petani Penurunan (%) (%)
10.0 21.7 63.3
8.7 21.2 27.5
88.3 78.3 28.3
11.7 21.7 71.7
28.7 28.8 33.4
5.1 10.2 62.7
3.0 6.2 11.2
79.7 72.9 20.3
20.3 27.1 79.7
5.0 7.5 14.3
11.7 18.3 81.7
3.1 5.3 10.2
83.3 75.0 83.3
16.7 25.0 16.7
4.5 14.4 21.6
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Dengan mempertimbangkan dinamika HET dan HPP Gabah, beban anggaran pemerintah subsidi pupuk yang makin besar, kinerja subsidi pupuk dan usahatani padi serta respons petani tehadap kenaikan HET pupuk, maka peningkatan HET pupuk layak dilakukan yang diimbangi dengan kenaikan HPP sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan keuntungan petani, menghemat anggaran biaya pemerintah untuk subsidi pupuk dan diharapkan petani akan menggunakan pupuk majemuk (NPK) dan pupuk organik lebih banyak serta mengurangi penggunaan pupuk tunggal (utamanya Urea). Peningkatan HET pupuk dan HPP gabah yang diusulkan adalah HET pupuk bersubsidi dan HPP dinaikkan masing-masing sebesar 15 persen. Dengan peningkatan HET pupuk dan HPP gabah seperti itu, maka jumlah keuntungan petani padi sawah akan meningkat dan diperoleh penghematan anggaran pemerintah untuk subsidi pupuk. Petani akan bersedia membayar harga pupuk lebih mahal karena ada harapan untuk memperoleh keuntungan lebih besar dibanding sebelumnya dari naiknya HPP gabah. Dengan penghematan pada anggaran subsidi pupuk tersebut, maka penyediaan pupuk dan penyalurannya harus dibuat sedemikian rupa sehingga petani akan makin banyak menggunakan pupuk majemuk (NPK) dan pupuk organik, sekaligus mengurangi penggunaan pupuk tunggal, utamanya Urea. Dengan perubahan komposisi pupuk yang lebih mengarah ke penggunaan NPK dan organik lebih besar diharapkan produktivitas padi akan meningkat. Disamping itu, sebagian dari penghematan anggaran subsidi pupuk tersebut perlu dialokasikan 10
untuk pembangunan/rehabilitasi insfrastruktur pertanian/pedesaan, antara lain jaringan irigasi, jalan pertanian dan jembatan, melalui suatu mekanisme alokasi anggaran pemerintah pusat.
Daftar Pustaka Hadi, P.U., S.H. Susilowati, B. Rachman, H.J. Purba dan T.B. Purwantini. 2009. Perumusan Model Subsidi Pertanian Untuk Meningkatkan Produksi Pangan Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian. Pusat Sosial ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Peraturan Menteri Perdagangan No.15/MDGA/4/2013. “Sistem Distribusi Pupuk dari Lini I sampai Lini IV”. Peraturan Menteri Pertanian No.29/Permentan/OT.140/06/2008. “Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi”. Peraturan Menteri Pertanian No.69/Permentan/SR.130/11/2013. “Sistem Penyaluran Pupuk dari Lini IV ke Petani atau Kelompok Tani”.
11