SISTEM DETEKSI DINI UNTUK MANAJEMEN KRISIS PENYEDIAAN PUPUK BERSUBSIDI BAGI PETANI PADI (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)
SKRIPSI
Oleh: YOGA REGANTORO AGRARISTA F34062398
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Bagi Petani Padi (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah) Early Warning System for Supply Crisis Management of Subsidized Fertilizers Distribution For Rice Farmers (Case Study in Banyumas, Central Java) Yoga Regantoro Agrarista Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, PO BOX 220, Bogor, Jawa Barat
ABSTRACT Fertilizer supply crisis in Indonesia occur almost every year. This crisis can be prevented by early detection before the crisis situation occurred. Preventive action would be much better than remedial action. In this research, an Artificial Neural Network (ANN) based decision support for supply crisis of subsidized fertilizer distribution was developed. The Early Warning detection was developed with backpropagation (BP) learning’s methods. The constructing of the data’s input for ANN based on the fundamental parameters of supply crisis of subsidized fertilizer by using Exponential Comparation Method (ECM) and expert’s judgments with Analytical Hierarchy Process (AHP), consisting of the critical factor causing supply crisis of subsidized fertilizer, so this system be able to assess of intensity of the crisis with more fast, effective and efficient.Based on the “trial and error” test of ANN’s training process, the best network performance for BP learning’s method was obtained. The best network performance for BP was showed by the Mean Square Error (MSE) score of 0.00000000531 (5.31.10-9) at the 38th epoch, when the system used sigmoid bipolar for hidden layer and linear’s activation function for output neuron, Levenberg-Marquadt’s algorithm training, the momentum score was 0.05, the learning rate score was 0.05, and the minimum error was 0.0000005 with the network architecture of [9 60 30 1], that is, 9 neurons in an input layer, 60 neurons in a first hidden layer, 30 neurons in a second hidden layer and 1 neuron in an output layer. The BP was trained with 66 actual data and tested with 15 actual data, with 87% accuracy rate. From the test shows that the network has been able to recognize patterns of crisis. To get the improved accuracy of detection it is recommended for additional training with the latest data. Keywords : Backpropagation, artificial neural network, supply crisis management, subsidized fertilizer distribution
Yoga Regantoro Agrarista. F34062398. Sistem Deteksi Dini untuk Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Bagi Petani Padi (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah) Di bawah bimbingan Marimin : 2010
RINGKASAN Kasus kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi hampir berulang-ulang setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal produksi pupuk dari lima pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu berada di atas kebutuhan domestik. Kondisi di lapang menunjukan bahwa penanganan kelangkaan pupuk biasanya dilakukan setelah krisis kelangkaan terjadi. Hal ini berpengaruh terhadap nasib petani yang berhubungan langsung dengan komoditi pupuk tersebut, sehingga dalam kasus ini bisa dikatakan bahwa petanilah yang menanggung beban kelangkaan pupuk yang terjadi. Jaringan syaraf tiruan merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk memecahkan banyak masalah, terutama masalah yang kompleks dan sulit dimodelkan. Salah satu masalah yang dapat dipecahkan menggunakan jaringan syaraf tiruan adalah klasifikasi data. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kalasifikasi intensitas krisis kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas. Ruang lingkup dari penelitian ini adalah menyusun model kualitatif sistem deteksi dini berbasis jaringan syaraf propagasi balik untuk mengidentifikasi kelangkaan pupuk urea. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data pertanian dari Dinas Tanaman Pangan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Data yang digunakan untuk melakukan deteksi dini merupakan data-data dari faktor kritis penyebab kelangkaan pupuk yang telah ditentukan oleh pakar dari hasil wawancara seperti harga pupuk urea, curah hujan, besarnya subsidi, dosis pemakaian pupuk, jumlah pupuk yang hilang dan sebagainya. Indikator yang digunakan untuk mengukur dan mendeteksi kelangkaan ini hanya ditekankan pada parameter tepat jumlah, tepat waktu dan tepat harga. Selain hal tersebut, data yang digunakan untuk melakukan deteksi dini dibatasi hanya pada data tahun 2006 hingga tahun 2008. Data yang diperoleh nantinya akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu data yang digunakan sebagai data pelatihan dan juga data yang digunakan sebagai data percobaan atau simulasi. Pembagian data ini dilakukan dengan Rasio 80:20. Artinya 80% untuk data yang digunakan sebagai data pelatihan dan 20% untuk data yang digunakan sebagai data penelitian atau simulasi. Tahapan penelitian terdiri dari lima tahapan, yaitu identifikasi masalah, pengumpulan data dan informasi lapang, identifikasi faktor krisis, modeling dan pelatihan jaringan syaraf, dan pengujian dan validasi jaringan. Model jaringan syaraf yang digunakan adalah JST tipe backpropagation neural network dengan dua hidden layer dan satu output. Backpropagation merupakan model jaringan syaraf tiruan dengan layar jamak, backpropagation melatih jaringan untuk mendapatkan keseimbangan antara kemampuan jaringan untuk mengenali pola yang digunakan selama pelatihan serta kemampuan jaringan untuk memberikan respon yang benar terhadap pola masukan yang serupa dengan pola yang dipakai selama pelatihan. Berdasarkan hasil "trial and error" uji proses pelatihan JST, kinerja jaringan terbaik untuk metode pembelajaran Backpropagation telah diperoleh. Kinerja jaringan terbaik untuk BP ditunjukkan dengan nilai MSE 0,00000000531 (5.31.10-9) pada iterasi ke-38. Arsitektur yang digunakan ketika sistem dilatih adalah fungsi aktivasi sigmoid bipolar untuk lapisan tersembunyi dan fungsi aktivasi linear untuk neuron output, algoritma pelatihan Levenbergs-Marquadt, skor momentum adalah 0,05, skor tingkat belajar adalah 0,05, dan toleransi kesalahan minimum 0,0000005 dengan arsitektur jaringan [9 60 30 1], yaitu 9 neuron pada lapisan input, 60 neuron dalam lapisan tersembunyi pertama, 30 neuron dalam lapisan tersembunyi kedua dan 1 neuron pada lapisan output. Penerapan sistem ini dilakukan dengan menggunakan data aktual yang diperoleh dari instansi terkait seperti BPS dan kantor Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Banyumas. BP dilatih dengan 66 data aktual dan diuji dengan 15 data aktual, hasilnya BP menunjukan tingkat akurasi 84%. Salah satu hasil penilaian prototipe sistem peringatan dini berdasarkan prediksi BP menunjukkan
bahwa intensitas krisis di Baturaden berada dalam tingkat bahaya. Tingkat krisis ini sesuai dengan data aktual yang tersedia, yang menyatakan Baturaden dalam kondisi rentan. Dengan adanya sistem desain JST Deteksi Dini ini diharapkan dapat mendukung pemberlakuan kebijakan yang lebih baik dalam penentuan tindakan sebelum masa kelangkaan pupuk terjadi. Selain itu penggunaan sistem deteksi dini ini diharapkan dapat menentukan level krisis kelangkaan pupuk secara lebih akurat, efisien dan efektif sehingga kebijakan pemerintah tentang tindakan penanganan kelangkaan pupuk dapat segera terwujud. Selain itu, petani juga lebih terbantu dalam menjalankan tugasnya untuk meningkatkan produktivitas mereka tanpa harus khawatir tentang kebutuhan pupuk untuk musim tanam selanjunya, sehingga beban petani yang harus mereka tanggung karena harga pupuk yang berada jauh di atas HET dapat dikurangi. Bagi distributor dan pengecer tentunya mereka harus segera memperbaiki diri untuk meningkatkan kualitas proses pengadaan dan penyaluran pupuk secara nyata dalam memenuhi kriteria dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai saran perlu adanya pelatihan tambahan untuk menilai ulang dan mengukur kinerja jaringan dengan data-data yang lebih baik dan lebih baru agar bisa mengenali pola-pola yang terjadi pada masa ini, karena data yang digunakan pada penelitian ini tergolong data yang kurang up-date yaitu data tahun 2006-2008. Pelatihan tambahan dengan data yang lebih banyak atau data baru untuk meningkatkan akurasi penilaianya dan untuk mendapatkan sistem peringatan yang lebih baik, pintar, dan lebih efisien. Jika dimungkinkan perlu adanya pengembangan Sistem Deteksi Dini untuk manajemen krisis pupuk ini dalam cakupan yang lebih luas, yaitu cakupan nasional bukan hanya untuk kabupaten. Karena kelangkaan pupuk tidak hanya terjadi pada tingkat kabupaten tetapi juga terjadi pada tingkat provinsi dan juga merupakan permasalah nasional yang hampir terjadi setiap tahunnya.
SISTEM DETEKSI DINI UNTUK MANAJEMEN KRISIS PENYEDIAAN PUPUK BERSUBSIDI BAGI PETANI PADI (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: YOGA REGANTORO A F34062398
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
Nama Nim
: Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Bagi Petani Padi (Studi kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah) : Yoga Regantoro Agrarista : F34062398
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc NIP 19610905 198609 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus : 20 Desember 2010
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Yoga Regantoro Agrarista NRP : F34062398 Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Bagi Petani Padi (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)” merupakan karya tulis saya pribadi dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas disebutkan rujukannya.
Penulis,
Yoga Regantoro A
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Nganjuk, pada tanggal 25 Juni 1988. Penulis merupakan anak dari pasangan Siswantoro dan Wiwik Hermawati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Penulis telah menyelesaikan pendidikan di TK Kemala Bhayangkari pada tahun 1992-1994 dan melanjutkan pendidikan di SD Sokanegara 01 pada tahun 1994-2000, SMP Negeri 1 Purwokerto pada tahun 2000-2003, dan pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Purwokerto. Pada tahun 2006, penulis berhasil lulus Ujian Saring Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis termasuk orang yang aktif dalam kehidupan organisasi maupun kepanitiaan di kampus IPB. Pada tahun 2007-2008 penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai Staf bidang kewirausahaan dan sekaligus sebagai Pengurus Koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB sebagai staf Kominfo. Pada tahun 2008-2009 penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fateta (BEM-F) sebagai staf Hubungan Eksternal. Selain itu penulis juga aktif di UKM BETAKO Merpati Putih Kolat IPB Dramaga. Penulis juga pernah menjadi koordinator praktikum Penerapan Komputer pada tahun 20082009 dan asisten praktikum Peralatan Industri Pertanian pada tahun 2009-2010. Penulis juga memiliki kegemaran dalam bidang programming dan desain grafis. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan praktek lapang di Ungaran, Jawa Tengah dengan judul “Mempelajari Aspek Proses Dan Manajemen Produksi Pada Industri Pengolahan Kopi, Karet Dan Pala Di PTPN IX Kebun Ngobo Ungaran”.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya sehingga pelaksaanaan penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik. Skripsi ini berjudul “Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Bagi Petani Padi (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)” dan penelitiannya dilaksanakan dari bulan Juli hingga November 2010. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Terima kasih kepada Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng dan Dr. Ir. Hartrisari.H. sebagai dosen penguji yang telah memberi masukan dalam perbaikan skripsi ini. 3. Bapak Wargianto, Bapak Anisur dan Bapak Rohman yang telah membantu penulis untuk mengumpulkan data untuk keperluan skripsi ini. 4. Ibu dan Bapak serta keluarga tercinta, yang selalu memberikan dukungan materi, semangat dan juga doa kepada penulis. 5. Seluruh staf dan pekerja Dinas Pertanian Kabupaten Banyumas atas bantuannya dengan berbagai pengetahuan dan ilmu pengetahuan serta atas segala keramahan dan dukungannya dalam pelaksanaan penelitian. 6. Sahabat-sahabat satu bimbingan Aam, Ratih, Evi, dan Bagus, atas dukungan dan kebersamaannya. 7. Sahabat-sahabatku tercinta, Sukardi, Ajias, Akbar, Dyanza, Ipit, Dina, Norma, Echa, Asto, Ari, Muthi dan Afi, terimakasih atas tawa canda serta indahnya persahabatan ini. 8. Senri Utami atas perhatian, kesabaran, doa dan dukungan langsung kepada penulis selama pelaksanaan Penelitian dan selama penulisan Skripsi. 9. Teman-teman TIN 43 yang telah memberikan dukungan dan masukan yang bermanfaat bagi penulis. 10. Seluruh pihak yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pihakpihak yang membacanya. Penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan, baik kesalahan pemikiran maupun kesalahan redaksional. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan tulisan selanjutnya. Terima kasih. Bogor, Januari 2011
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman SURAT PERNYATAAN ..…………………………………………………………………..
iii
RIWAYAT HIDUP.………………………………………………………………………….
iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….
v
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….
vi
DAFTAR TABEL……………………………………………................................................
viii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………................................................
x
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang.………………………………………………………………………
1
1.2 Tujuan.……………………………………………………………………………….
2
1.3 Ruang Lingkup..……………………………………………………………………..
2
1.4 Hasil dan Manfaat Penelitian………………………………………………………...
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...………………………………………………………….
4
2.1 Kajian Pupuk Bersubsidi….…………………………….............................................
4
2.2 Manajemen Krisis dan Sistem Deteksi Dini...…………….........................................
6
2.3 Identifikasi Faktor Krisis..……………………………...............................................
8
2.4 Jaringan Syaraf Tiruan………………………………………………………………..
10
2.5 Komponen dan Arsitektur Jaringan…….……………………….…………………....
13
2.6 Algoritma Pembelajaran Propagasi Balik…………………………………………….
15
2.7 Persiapan Data dalam Jaringan Syaraf Tiruan..…….…..............................................
17
2.8 Penelitian Terdahulu…………………………………………………………………
19
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...………….…………………………………….
21
3.1 Kerangka Pemikiran..………………………………………………………………..
21
3.2 Tahapan Percobaan………………………………………………….........................
22
3.3 Identifikasi Faktor Kritis……………………….……………………………………
27
3.4 Arsitektur Jaringan Propagasi Balik...……………………………………………….
27
3.5 Data Percobaan dan Pelatihan………………………………………………………..
29
3.6 Waktu dan Tempat Penelitian………………………………………..........................
30
3.7 Spesifikasi Sistem………………...……..…………………………………………...
30
BAB IV. ANALISIS SITUASIONAL DISTRIBUSI PUPUK DI BANYUMAS…..…….
31
4.1 Profil Daerah………………………………………………………………………..
31
4.2 Distribusi Pupuk di Banyumas……………………………………………………...
32
4.3 Permasalahan Kelangkaan Pupuk……………………………………………………
35
vi
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN.…………………………………………………….
38
5.1 Persiapan Data Analisis Jaringan Syaraf..……………….........................................
38
5.2 Model Jaringan Syaraf…………………... ………………………………………...
42
5.3 Pelatihan Jaringan Syaraf…………………………………………………………..
45
5.4 Pengujian Jaringan Syaraf ……………………………….…………………………
46
5.5 Bentuk dan Interface Program EWS………………………………………………..
48
5.6 Hasil Verifikasi……………………………………………………………………...
50
5.7 Implikasi Menejerial………………………………………………………………..
51
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………
53
6.1 Kesimpulan...………………………………………................................................
53
6.2 Saran..……………………………………………………………............................
53
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...
55
LAMPIRAN………………………….………………………………………………………
58
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Perbandingan Kemampuan antara Otak Manusia dengan CPU ....................................
12
Tabel 2. Arsitektur JST yang akan dikembangkan .......................................................................
29
Tabel 3. Daftar Kecamatan di Kabupaten Banyumas ..................................................................
31
Tabel 4. Daftar Distributor dan Wilayah tanggung jawabnya .....................................................
34
Tabel 5. Hasil Perhitungan Skor Alternatif dengan Metode MPE ...............................................
39
Tabel 6. Parameter Penentuan Tingkat Kerawanan Berdasarkan Prinsip tiga Tepat ..................
42
Tabel 7. Alternatif Penentuan Arsitektur Jaringan .......................................................................
44
Tabel 8. Hasil Pengujian Learning Rate, Momontum dan Learning Algorithm ..........................
44
Tabel 9. Hasil Pengujian Jumlah neuron pada Hidden Layer ......................................................
45
Tabel 10. Hasil Uji Coba dan Verifikasi Pendeteksia Kelangkaan Pupuk ..................................
50
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Rayonisasi Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi .........................................................
6
Gambar 2.Siklus Krisis .................................................................................................................
7
Gambar 3. Struktur Dasar Hirarki AHP........................................................................................
10
Gambar 4. Arsitektur Syaraf Manusia ..........................................................................................
11
Gambar 5. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan ..............................................................................
12
Gambar 6. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Bobot ........................................................................
13
Gambar 7. Fungsi aktivasi Linear. ................................................................................................
14
Gambar 8. Fungsi aktivasi Tansig ................................................................................................
14
Gambar 9. Fungsi aktivasi Logsig ................................................................................................
15
Gambar 10. Topologi arsitektur backpropagation dengan dua lapisan tersembunyi ..................
16
Gambar 11. Skema integrasi data persiapan untuk analisis data jaringan syaraf ........................
17
Gambar 12. Posisi Peran EWS yang dikembangkan ....................................................................
19
Gambar 13. Konsep Arsitektur Prototipe deteksi dini Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi bagi Petani Padi ......................................................................................
21
Gambar 14. Tahapan Proses Penelitian dan metode yang digunakan..........................................
22
Gambar 15. Skema Alur Pendistribusian Pupuk Bersubsidi. .......................................................
33
Gambar 16. Bobot Hasil Penilaian Pakar dengan Metode AHP ..................................................
40
Gambar 17. Pegujian dengan Traingdx dengan Target yang tidak Tercapai ...............................
44
Gambar 18. Data yang akan dilatihkan pada jaringan..................................................................
46
Gambar 19. Grafik Hasil pelatihan jaringan .................................................................................
46
Gambar 20. Grafik hasil Pengujian JST .......................................................................................
47
Gambar 21. Hasil Pengujian JST dengan pembulatan nilai simulasi ..........................................
48
Gambar 22. Tampilan muka dari EWS kelangkaan Pupuk ..........................................................
49
Gambar 23. Contoh Penggunaan Prototipe Deteksi Dini .............................................................
49
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Arsitektur JST Propagasi Balik Untuk Deteksi Kelangkaan Pupuk .......................
59
Lampiran 2. Data Input Jaringan Syaraf Tiruan ...........................................................................
60
Lampiran 3. Hasil Normalisasi Data Input Jaringan Syaraf Tiruan .............................................
63
Lampiran 4. Penentuan Tingkat Kelangkaan Pupuk ...................................................................
66
Lampiran 5. Perbandingan dan Perhitungan Nilai MSE dan MAPE dari Data Pengujian ...................................................................................................
69
Lampiran 6. Data Bobot Hasil Ujicoba Sistem ...........................................................................
71
Lampiran 7. Gambar karung Pupuk Bersubsdi ...........................................................................
73
Lampiran 8. Dokumentasi Sistem .................................................................................................
74
Lampiran 9. Pseudocode Jaringan Syaraf Tiruan .........................................................................
79
.
x
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kasus kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi hampir berulang-ulang setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal produksi pupuk dari lima pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu berada di atas kebutuhan domestik. Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, masih ada kelebihan pasokan pupuk sekitar 1.3 juta ton baik pada tahun 2009 untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar ekspor. Namun fakta di lapangan sering terjadi kelangkaan dan lonjakan harga yang dibayar petani di atas HET (Yusdja et al. 2005). Pupuk sendiri merupakan salah satu faktor produksi yang bernilai penting dalam budidaya pertanian. Berbagai kebijakan dalam pendistribusian pupuk telah dilakukan untuk menangani kelangkaan. Kebijakan tersebut mempengaruhi kinerja ekonomi pupuk yang meliputi produksi, ketersediaan, tingkat harga dan tingkat penggunaan oleh petani. (Darwis et al. 2004). Sedangkan menurut Deptan (2009), padi merupakan tanaman pangan pokok yang ada di Indonesia dan tanaman pangan mendapatkan 61% kebutuhan pupuk urea yang diproduksi oleh pemerintah setiap tahunnya. Hal inilah yang membuat pupuk urea sangat bernilai strategis bagi petani padi. Secara umum persoalan kelangkaan (yang merefleksikan ketidaktepatan dosis, jenis, mutu, waktu dan tempat) dan harga yang dibayar petani atas HET, lebih banyak disebabkan pada sistem distribusi yang berjalan tidak efektif dan efisien (Yusdja et al. 2005). Permasalahan kelangkaan pupuk bersubsidi pada dasarnya disebabkan oleh kekurang tepatan pupuk dalam hal jumlah dan waktu dengan berbagai penyebab, diantaranya adalah persoalan kurangnya alokasi, kurang tepatnya perencanaan, adanya perembesan dan belum lancarnya infrastruktur distribusi. Kajian sebelumnya merekomendasikan berbagai hal dalam peningkatan kinerja distribusi pupuk bersubsidi diantaranya adalah perlunya dikembangkan sistem peringatan dini (Early Warning System) dalam sistem distribusi pupuk bersubsidi (Maksi-PPKS-BPTP 2009). Menurut Eriyatno (1989) Peringatan dini sendiri merupakan kegiatan pendugaan untuk suatu keadaan di masa mendatang, dengan mengadakan taksiran terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi sebelum suatu rencana yang lebih pasti dilakukan. Penyediaan pupuk nasional dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terlibat dalam produksi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan. Keterkaitan faktor yang berhubungan dengan penyediaan pupuk bersifat kompleks, dinamis, dan probabilistik. Kompleksitas tersebut disebabkan oleh faktor yang berpengaruh dan bersifat multi aspek dan multi dimensi. Perubahan nilai, tingkat keterkaitan antar faktor tersebut berubah menurut waktu dan sulit untuk diprediksi. Walaupun demikian, pemahaman hubungan dan sifat kedinamisan faktor penentu krisis pasokan pupuk akan sangat bermanfaat dalam merumuskan model sistem yang mampu memberikan peringatan, menyediakan protokol manajemen krisis dan penanggulangan dampak jika terjadi kelangkaan pasokan pupuk bersubsidi untuk petani padi. Informasi yang lebih dini akan terjadinya krisis pasokan pupuk akan sangat bermanfaat dalam rangka merumuskan program aksi atau langkah operasional untuk menghindari dan menanggulangi terjadinya krisis atau mengurangi dampak yang lebih besar akibat terjadinya krisis pasokan pupuk. Krisis yang berlarut-larut yang tidak segera ditangani akan mengakibatkan chaos yang merupakan puncak dari sebuah krisis yang akan sangat sulit untuk ditangani dan dikembalikan kekondisi semula (Fink 1986).
1
Selama ini pemerintah lebih bersifat pragmatis terhadap kasus kelangkaan pupuk yang terjadi di Indonesia. Pemerintah lebih cenderung melakukan tindakan penanganan setelah kasus kelangkaan terjadi bukan sebelum krisis terjadi. Hal ini diharapkan dapat diperbaiki secara perlahanlahan. Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis faktor kritis penyebab kelangkaan secara mendalam untuk melakukan deteksi dini terhadap kondisi kelangkaan pupuk yang terjadi di pasar agar pemerintah atau pihak terkait dapat mengambil kebijakan lebih awal. Hal ini berjutuan agar petani tidak terlalu terbebani dengan kasus kelangkaan pupuk tersebut. Salah satu langkah penerapan tindakan preventif ini adalah pembuatan prototipe Sistem Deteksi Dini menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (Yu, Chen dan Wang 2009). Penggunaan jaringan syaraf tiruan ini dilakukan karena jaringan syaraf tiruan memiliki kelebihan dalam mengolah variabel input yang jumlahnya banyak baik linear maupun nonlinear tanpa mengetahui persamaan matematisnya.
1.2 Tujuan Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan prototipe model deteksi dini untuk manajemen krisis penyediaan pupuk khusunya bagi petani padi. Sedangkan tujuan antara dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kelangkaan yang paling berpengaruh terhadap kondisi kelangkaan pupuk yang terjadi. 2. Mengidentifikasi kinerja jaringan syaraf tiruan yang telah dibuat sebagai prototipe sistem deteksi dini.
1.3 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah menyusun model kualitatif sistem deteksi dini berbasis jaringan syaraf propagasi balik untuk mengidentifikasi kelangkaan pupuk urea. Penggunaan jaringan syaraf propagasi balik sebagai sistem deteksi dini disebabkan jaringan syaraf propagasi balik mampu menyelesaikan permasalahan yang sulit dimodelkan dan didefinisikan jika menggunakan metode deteksi dini lainnya seperti regresi linier dengan time series. Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari data pertanian dari Dinas Tanaman Pangan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Data yang digunakan untuk malakukan deteksi dini merupakan data-data dari faktor kritis penyebab kelangkaan pupuk yang telah ditentukan oleh pakar dari hasil wawancara. Hasil deteksi ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak pemerintah dalam melakukan antisipasi kelangkaan pupuk di kecamatan Banyumas dengan melakukan tindakan sebelum kelangkaan itu benar-benar terjadi. Selain ruang lingkup geografis, indikator yang digunakan untuk mengukur dan mendeteksi kelangkaan ini hanya ditekankan pada 3 tepat yaitu : Tepat Jumlah, Tepat Waktu dan Tepat Harga. Selain hal tersebut data yang digunakan untuk melakukan deteksi dini dibatasi hanya pada data tahun 2006 hingga tahun 2008 karena adanya keterbatasan data. Prototipe sistem deteksi dini ini juga memiliki keterbatasan, yaitu belum memperhatikan permasalahan mendetail yang terjadi pada ketepatan peramalan pupuk yang terjadi dalam penyusunan RDKK Pupuk oleh petani ataupun pemerintah. Hanya sebatas faktor kelangkaan hasil studi turun lapang seperti harga pupuk urea, curah hujan, besarnya subsidi, dosis pemakaian pupuk, jumlah pupuk yang hilang dan sebagainya.
2
1.4 Hasil dan Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat menyediakan model sistem deteksi dini yang diharapkan dapat mencegah atau menghindari krisis pasokan yang akan terjadi dalam jangka pendek dan menengah dalam distribusi pupuk bersubsidi khususnya bagi para petani padi.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pupuk Bersubsidi 2.1.1 Pupuk Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usaha tani, terutama dalam rangka meningkatkan produksi tanaman pangan. Dari beberapa hasil penelitian dapat diketahui adanya korelasi yang nyata antara tingkat pemakaian pupuk dengan tingkat produksi padi. Pupuk sendiri dapat diartikan sebagai bahan yang diberikan ke dalam tanah sebagai penyedia unsur yang diperlukan oleh tanah agar produktivitas tanah meningkat (Pertiwi 2005). Sedangkan menurut Puspita (2002) pupuk adalah bahan yang diberikan kepada tanaman baik langsung maupun tidak langsung guna mendorong pertumbuhan tanaman, meningkatkan produktivitas atau memperbaiki kualitasnya sebagai akibat perbaikan nutrisi tanaman. Pupuk merupakan senyawa yang mengandung unsur hara yang diberikan pada tanaman. Pupuk sendiri dapat dikelompokan menjadi pupuk organik dan anorganik. Pupuk UREA, KCL, TSP merupakan contoh pupuk anorganik. Sedangkan kompos, pupuk kandang dan pupuk hijau merupakan contoh pupuk organik. Berdasarkan hasil penelitian Deptan (1995) ada lima aspek yang dipertimbangkan petani dalam mengkonsumsi pupuk, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Aspek teknis (jenis tanaman, pola tanam, keadaan lahan) Aspek ekonomis (harga pupuk, harga output, luas lahan, produksi dan modal) Aspek sosial (pengalaman dan pengetahuan usaha tani, saran sesama kelompok tani, dan saran PPL) Aspek kelembagaan (kebijakan penyaluran pupuk, penyaluran kredit usaha tani, efisiensi pemupukan, ketepatan waktu penyaluran pupuk) Aspek ekologis (iklim/cuaca, ketersediaan irigasi)
Di Indonesia telah banyak diperdagangkan berbagai macam jenis pupuk. Sebagian besar jenis pupuk yang diproduksi di Indonesia merupakan hasil produksi 5 perusahaan pupuk BUMN Indonesia. Perusahaan tersebut antara lain PT. Pupuk Iskandar Muda, PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, dan Pupuk Kalimantan Timur. Dari kelima perusahaan pupuk BUMN itulah di produksi pupuk bersubdi. Adapun jenis pupuk yang disubsidi oleh pemerintah adalah Urea, SP-36, ZA, NPK dan Pupuk Organik.
2.1.2 Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi Subsidi adalah bantuan yang diberikan pemerintah kepada produsen. Subsidi pada dasarnya adalah penambahan pendapatan bagi produsen, oleh karena itu disebut pajak tak langsung negatif (BPS 2000). Subsidi juga dapat berarti sebuah pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengkompensasi produsen agar harga barang atas jasa yang diproduksinya berada di bawah harga pasar (Horner dan Liebster 1980 dalam Ardi 2005). Sebuah industri dapat menerima subsidi disebabkan industri tersebut mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian suatu negara. Bagaimanapun juga seperti pajak, subsidi dapat menimbulkan efek yang kurang menguntungkan. Subsidi dapat membuat sebuah perusahaan menjadi
4
terlalu bergantung kepada pemerintah, sehingga menghabiskan sumberdaya yang seharusnya dapat lebih berguna di tempat lain (Chishelm dan Marilu 1978 dalam Ardi 2005). Distribusi adalah proses penyaluran suatu barang dari produsen kepada konsumen dengan tahapan tertentu. Sedangkan menurut SK Menperindag No. 70/2003 distribusi pupuk atau penyaluran pupuk adalah proses penyampaian pupuk dari tingkat produsen sampai ke tingkat konsumen. Distribusi sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan penyaluran suatu barang dari produsen ke konsumen. Kebijakan pemerintah tentang distribusi pupuk bersubsidi dilakukan dengan pola tertutup. Pelaksanaan pola tertutup yang mulai dilaksanakan pada Januari 2009 ditujukan menghindari terjadinya kelangkaan pupuk dan penyimpangan pendistribusian pupuk ke sektor lain selain pertanian. Secara umum, teknis distribusi pupuk bersubsidi dengan pola tertutup sesuai Permendag dan Permentan itu cukup tegas mengatur tanggung jawab produsen (Lini I-II), distributor (Lini III), dan penyalur (Lini IV). Dalam hal ini, tanggung jawab produsen yakni menetapkan wilayah tanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk ke masing-masing distributor yang dicantumkan dalam Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) atau kontrak. Produsen juga berkewajiban menjamin kelancaran arus barang melalui penyederhanaan prosedur penebusan pupuk, dan dalam penyaluran pupuk bersubsidi itu harus mempertimbangkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Sementara itu, distributor berkewajiban melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai ketentuan yang ditetapkan produsen berdasarkan prinsip enam tepat yakni tepat waktu, jumlah, jenis, tempat, mutu dan harga yang layak. Distributor juga wajib menyampaikan daftar pengecer di wilayah tanggung jawabnya kepada produsen yang ditembuskan kepada kepala dinas provinsi/kabupaten dan tim pengawas pupuk provinsi/kabupaten. Sedangkan tanggung jawab penyalur yakni dalam melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi harus sesuai ketentuan distributor berdasarkan prinsip enam tepat kepada petani atau kelompok tani. Penyalur wajib melakukan pencatatan dan penyusunan daftar seluruh petani yang akan dilayani di wilayah tanggung jawabnya yang disahkan oleh kepala desa atau Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat. Penyalur hanya dapat melakukan penebusan pupuk bersubsidi dari satu distributor yang ditunjuk, dan hubungan kerja antara distributor dan penyalur juga diatur dengan SPJB (Permendag Nomor 21/M-DAG/PER/6/2008).
2.1.3 Kriteria Pendistribusian Pupuk Agar pupuk selalu tersedia di tingkat petani, distributor maupun produsen mendapatkan margin sesuai jasa yang diberikan kepada pihak lain, diperlukan suatu sistem tataniaga pupuk yang berkeadilan (Darwis et al. 2004). Untuk bisa mencapai hal itu, Memperindag mengaturnya dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag No 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Februari 2003 yang mengatur kembali pola Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian dengan mekanisme sebagai berikut : 1. Rayonisasi Wilayah Pemasaran Rayonisasi wilayah pemasaran selain dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi distribusi pupuk, juga untuk memberikan tanggung jawab pengamanan pengadaan pupuk kepada anggota holding agar tidak menjadi monopoli unit niaga tertentu. Penetapan rayonisasi pemasaran dilakukan dengan perimbangan kemampuan produksi masing-masing anggota holding company. Atas dasar ini, pembagian wilayah dan tanggung jawab adalah sebagai berikut : PT. Pupuk Iskandar Muda (Aceh, Sumatra Utara, dan Riau), PT. Pupuk Sriwijaya (Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, DIY, Jawa Tengah, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat,
5
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya) , PT. Pupuk Kujang, (Jawa Barat), PT. Petrokimia Gresik (Jawa Timur), dan PT.Pupuk Kalimantan Timur (Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan). Sehingga untuk daerah Banyumas sendiri ketersediaan pupuk menjadi tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya karena Banyumas terletak di Propinsi Jawa Tengah.
Gambar 1. Rayonisasi Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi (Pusri 2009) 2.
Penjualan Pupuk mulai di Lini III (kabupaten) Pemberlakuan penjualan pupuk mulai dari lini III (kabupaten), selain dimaksudkan untuk mendekatkan dengan konsumen juga untuk membatasi gerak distributor yang dulunya sangat leluasa. Dengan adanya pengaturan tersebut, baik unit niaga PT. Pusri maupun distributor yang ditunjuk oleh produsen diharuskan menjual pupuk Urea kepada pengecer atau konsumen resmi yang telah ditunjuk. 3. Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat Persyaratan distribusi yang dimaksud adalah pengaturan alokasi dan rayonisasi distribusi. Menurut pengaturan alokasi, produsen pupuk Urea berada di bawah koordinasi PT. Pusri yang berkewajiban mengalokasikan produksinya untuk kebutuhan sektor pertanian. Selanjutnya alokasi sektor pertanian ditentukan secara proposional sesuai rencana produksi masing-masing produsen (Darwis et al. 2004). Sehingga produsen pupuk benar-benar harus memproduksi sesuai kapasitas produksinya untuk pemenuhan kebutuhan daerah yang ditunjuk.
2.2 Manajemen Krisis dan Sistem Deteksi Dini Krisis merupakan suatu keadaan yang tidak stabil dimana perubahan mendasar bisa terjadi. Dalam penanganan krisis atau manajeman kontrol sangat dibutuhkan suatu alat (tools) untuk melakukan pendugaan keadaan lebih awal, yaitu deteksi dini (Fink 1986).
6
Fink (1986) menjelaskan bahwa berdasarkan anatominya terdapat empat tahap dari siklus krisis : (1) Tahap Krisis Prodomal; (2) Tahap Krisis Acute; (3) Tahap Krisis Chronic; (4) Tahap Krisis Resolution.
Prodomal
Acute
Krisis Resolution
Chronic
Gambar 2.Siklus Krisis (Fink 1986) Pada tahap prodomal telah terlihat adanya gejala yang mengarah pada keadaan krisis, namun masih sulit untuk diidentifikasi. Pengenalan kondisi krisis pada tahap ini sangat penting guna mencegah terjadinya krisis pada tahap awal dan membuat tindakan untuk menuju titik balik ke keadaan normal. Di tingkat perusahaan, tahap ini merupakan tahapan peringatan bagi manajemen untuk mengambil tindakan. Kondisi yang terjadi umumnya sangat dinamis sehingga bila pengenalan keadaan krisis ini tidak ditemukan pada tahapan ini maka kondisi akan terus berlanjut menuju ke tahapan acute. Pada tahap acute, fakta akan terjadinya suatu krisis sudah ditemukan, sehingga akan sangat sulit sekali untuk menemukan keadaan sebagai titik balik menjadi keadaan normal kembali, dan umumnya sudah cukup banyak kerugian atau permasalahan yang terjadi. Dengan demikian, dibutuhkan perencanaan dalam penanganan tahap acute dan seluruh tindakan harus terkontrol dengan baik sehingga intensitas dan lamanya tahap ini dapat dikendalikan. Tahap selanjutnya adalah tahap chronic, disebut juga tahap penyembuhan atau pembersihan. Pada tahap ini para pembuat keputusan perlu menerapkan manajeman krisis dengan menganalisis kebenaran dan kesalahan dari langkah atau tindakan yang dijalankan sebelumnya untuk bahan evaluasi dalam mengambil keputusan terbaik selanjutnya. Tahap terakhir dari suatu siklus krisis adalah tahap resolution, yaitu tahap pemulihan. Penanganan yang dilakukan pada tahapan ini harus yang berhubungan dengan penangaan yang telah dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya. Ada dua faktor yang menentukan keberhasilan pananganan tahap resolution ini, pertama mengidentifikasi tahap prodomal dan kedua mengontrol penanganan tahap selanjutnya. Mengingat bahwa tahapan-tahapan di atas merupakan suatu siklus krisis, maka akhir dari tahap resolution ini dianggap sebagai suatu tahap awal dari prodomal. Fink (1986) menyatakan sulit untuk menentukan kapan dimulai dan berakhirnya suatu krisis, mengingat krisis merupakan komplikasi efek reaksi dari suatu kondisi ke kondisi lainnya. Deteksi dini merupakan kegiatan pendugaan untuk suatu keadaan di masa mendatang, dengan mengadakan taksiran terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi sebelum suatu rencana yang lebih pasti dilakukan (Eriyatno 1989). Deteksi dini dapat dipisahkan dalam dua jangka waktu prakiraan, yaitu prakiraan jangka panjang dan prakiraan jangka pendek. Prakiraan jangka panjang kegunaannya lebih ditentukan pada penyusunan strategi, sedangkan untuk penanganan secara rinci didapatkan dari prakiraan jangka pendek yang umumnya digunakan sebagai pedoman bagi penyusunan perencanaan pelaksanaan. Secara praktis, sistem deteksi dini sangat diperlukan dalam bidang penjadwalan
7
pemakaian atau pengadaan sumber daya yang dibutuhkan agar dapat dioperasikan se-efisien mungkin (Satria 1994). Dari segi proses, deteksi dini dilakukan atas dasar dua teknik utama, yaitu : (a) didasarkan atas catatan dengan waktu yang selanjutnya diekstrapolasiakan ke masa yang akan datang dengan menggunkan statistik atau model matematik; dan (b) berdasarkan analisa kuantitatif yang sangat tergantung pada keahlian, pengalaman dan kepandaian penilai. Metode deteksi dini secara kuantitatif dapat dibagi dalam dua metode, yaitu metode deret waktu (time series) dan metode sebab-akibat (causal). Metode ini dapat diaplikasikan bila memenuhi beberapa kondisi, seperti : (a) tersedianya informasi masa lalu (historical data); (b) informasi yang didapatkan bisa dikuantitatifkan; dan (c) asumsi kondisi masa lalu sama dengan kondisi masa mendatang. Menurut Eriyatno (1998), keberhasilan penerapan sistem deteksi pada organisasi tergantung dari dua hal penting yaitu kemampuan sintesis pengenalan keadaan dan integritas dari para analis yang mengelola unit deteksi dini.
2.3 Identifikasi Faktor Krisis Pada dasarnya krisis merupakan peubah tidak bebas (dependent variables) yang tergantung pada pertumbuhan parameter dari suatu gugus peubah atau faktor terutama yang bersifat bebas. Nilai dari kelompok peubah untuk kejadian krisis merupakan cerminan parameter lain yang tidak terukur secara langsung. Model pengambilan keputusan kriteria jamak dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor dominan/penting yang dapat memperkirakan kelangkaan atau kelancaran distribusi dan pasokan pupuk bersubsidi bagi petani padi. Model pengambilan yang dimaksud adalah model perbandingan eksponensial. Faktor-faktor penentu tersebut selanjutnya dapat dianalisis tingkat kritikalitas dan keterkaitannya dengan aspek lainnya dengan AHP (Marimin 2004).
2.3.1 Metode Perbandingan Eksponensial Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk pengambilan keputusan dari beberapa alternatif keputusan majemuk. Metode ini dikembangkan dengan cara mengubah penilaian kulitatif yang berasal dari subjektifitas mengambil keputusan menjadi nilai kuantitatif (Manning 1984). Manning (1984) melanjutkan bahwa tahapan atau urutan dalam menggunakan Perbandingan Eksponensial adalah : 1. Menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih. 2. Menentukan kriteria atau pertimbangan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi. 3. Menentukan tinggkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria. 4. Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria. 5. Menghitung skor atau nilai total setiap alternatif. 6. Menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total alternatif masing-masing. Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metode perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut:
8
Nilai
K
1,2,3, … , 1,2,3, … , Penentuan urutan prioritas keputusan dilakukan dengan cara mengurutkan nilai skor dari alternatif yang terbesar sampai alternatif yang terkecil.
2.3.2 Metode Analytical Hierarchy Process Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy process – AHP) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business pada tahun 1970an untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (judgment) dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty 1980). Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan akan diselesaikan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Secara grafis, persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat (hierarki), yang dimulai dengan goal atau sasaran, lalu kriteria level pertama, sub kriteria dan akhirnya alternatif (Gambar 3). Terdapat berbagai bentuk hierarki keputusan yang disesuaikan dengan subtansi dan persoalan yang akan diselesaikan dengan AHP. AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Saaty (1980) menentukan cara yang konsisten untuk mengubah perbandingan berpasangan (pairwise), menjadi suatu himpunan bilangan yang merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif.
9
Fokus yang hendak dicapai
Fokus
Faktor
Faktor-1
Faktor -2
Faktor -m
Aktor-1
Aktor-2
Aktor-n
Altrnatif-1
Altrnatif-2
Altrnatif-o
Aktor
Alternatif
Gambar 3. Struktur Dasar Hirarki AHP (Saaty 1980)
2.4 Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan adalah sistem proses informasi yang mempunyai beberapa persamaan karakteristik dengan jaringan syaraf biologis. Jaringan syaraf tiruan memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Pola hubungan antar neuron yang disebut arsitektur. 2. Metode penentuan bobot pada hubungan yang disebut pelatihan (training) atau pembelajaran (learning) atau algoritma. 3. Fungsi aktivasi yang dijalankan masing-masing neuron input pada masing-masing output. Informasi yang diberikan pada jaringan syaraf tiruan akan dirambatkan melalui layer neuron, dimulai dari layer input sampai ke layer output melalui lapisan lainnya. Lapisan ini sering dikenal dengan nama lapisan tersembunyi (hidden layer) (Fausett 1994). Definisi lain Jaringan syaraf tiruan adalah kerangka kerja fleksibel untuk pemodelan komputasi berbagai masalah nonlinier (Wong et al. 2000). Jaringan syaraf tiruan tersusun dari sejumlah besar elemen yang melakukan kegiatan yang analog dengan fungsi-fungsi biologis yang paling elementer. Elemen-elemen ini terorganisasi sebagaimana layaknya anatomi otak, walaupun tidak persis. Jaringan syaraf tiruan dapat belajar dari pengalaman, melakukan generalisasi atas contoh-contoh yang diperolehnya dan mengabstraksi karakteristik esensial input bahkan untuk data yang tidak relevan. Berbeda dengan metode lain, algoritma untuk jaringan syaraf tiruan beroperasi secara langsung dengan angka sehingga data yang tidak numerik harus diubah menjadi data yang numerik. Dibandingkan dengan cara perhitungan konvensional, jaringan syaraf tiruan tidak memerlukan atau menggunakan suatu model matematis atas permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu jaringan syaraf tiruan juga dikenal dengan sebutan free-estimator. Jaringan syaraf tiruan memiliki sejumlah besar kelebihan dibandingkan dengan metode perhitungan lain atau metode konvensional, yaitu :
10
1. Kemampuan mengakuisisi pengetahuan walaupun dalam kondisi ada gangguan dan ketidakpastian. Hal ini dapat disebabkan jaringan syaraf tiruan mampu melakukan generalisasi, abtraksi dan ekstraksi terhadap properti statistik dari data. 2. Kemampuan merepresentasikan pengetahuan secara fleksibel. Jaringan syaraf tiruan dapat menciptakan sendiri representasi melalui pengaturan diri sendiri atau kemampuan belajar (self organizing). 3. Kemampuan untuk memberikan toleransi atas suatu distorsi (error/fault), dimana gangguan kecil pada data dapat dianggap hanya sebagai noise (guncangan) belaka. 4. Kemampuan memproses pengetahuan secara efisien karena memakai sistem parallel, sehingga waktu yang diperlukan untuk mengoperasikannya menjadi lebih singkat. Dengan tingkat kemampuan yang sangat baik, beberapa aplikasi jaringan syaraf tiruan sangat cocok untuk diterapkan pada : 1. Klasifikasi, memilih suatu input data ke dalam suatu kategori tertentu yang diterapkan. 2. Asosiasi, menggambarkan suatu objek secara keseluruhan hanya dengan sebuah bagian dari objek lain. 3. Self Organizing, kemampuan untuk mengolah data-data input tanpa harus memiliki data sebagai target. 4. Optimasi, menemukan suatu jawaban atau solusi yang paling baik sehingga dengan meminimalkan suatu fungsi biaya (optimizer). Walaupun memiliki segudang kelebihan, jaringan syaraf tiruan juga mempunyai sejumlah keterbatasan, antara lain kekurangmampuannya dalam melakukan operasi-operasi numerik dengan presisi tinggi, operasi algoritma aritmatik, operasi logika dan operasi simbolis serta lamanya proses pelatihan yang terkadang membutuhkan waktu berhari-hari untuk jumlah data yang sangat besar (Hermawan 2006).
2.4.1 Perbandingan Antara Otak Manusia dan Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf manusia terdiri atas sel-sel yang disebut neuron. Ada tiga komponen utama neuron yang fungsinya dapat dianalogikan dengan yang terjadi pada Neural Network, yaitu dendrit, soma, dan akson. Dendrit akan menerima sinyal-sinyal dari neuron lain. Sinyal tersebut merupakan impuls listrik yang ditransmisikan melalui synaptic gap melalui proses kimia. Sedangkan soma atau badan sel akan menjumlahkan sinyal-sinyal input yang masuk. Jika ada input yang masuk, sel akan aktif dan mentransmisikan sinyal ke sel lain melalui akson dan synaptic gap. Ilustrasi jaringan syaraf manusia disajikan pada Gambar 4. .
Gambar 4. Arsitektur Syaraf Manusia (Hermawan 2006)
11
Pada jaringan syaraf tiruan, istilah neuron sering disebut dengan unit, sel, atau node. Setiap node terhubung dengan node-node lain melalui layer dengan bobot (weight) tertentu. Bobot disini melambangkan informasi yang digunakan oleh jaringan untuk menyelesaikan persoalan, dan dapat dianalogikan dengan aksi pada proses kimia yang terjadi pada synaptic gap. Layer adalah suatu tempat dimana node-node tersusun. Jika suatu node berada dalam layer yang sama dengan node lain, biasanya akan memiliki sifat yang sama. Setiap node memiliki internal state yang disebut aktivasi, yaitu fungsi dari input yang diterima. Secara visual gambaran Jaringan Syaraf Tiruan terdapat pada Gambar 5. Unit Masukan
X1 X2 X3
Unit Keluaran
W1 W2
Z1
Unit Pengolah
Y Z2
W3
Gambar 5. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan (Hermawan 2006) Perbedaan lain antara syaraf manusia dan syaraf tiruan adalah bahwa informasi pada syaraf manusia bisa lupa, sedangkan jaringan syaraf tiruan tidak mungkin lupa. Pada manusia data dan informasi disimpan dalam suatu unit sel yang terstruktur dalam otak. Sementara pada jaringan syaraf tiruan data dan informasi tersimpan dalam bobot-bobot dan bisa berbentuk file sehingga kerusakan dapat diantisipasi dengan mem-backup file tersebut. Selain perbedaan di atas, perbedaan lainnya yang penting dan merupakan salah satu keunggulan jaringan syaraf tiruan adalah kemampuan menyelesaikan masalah yang sama dengan hasil yang sama meskipun masalah tersebut diulang hingga puluhan juta kali. Tidak demikian pada otak manusia, syaraf manusia memiliki keterbatasan pada pekerjaan yang bersifat berulang. Untuk puluhan proses atau pekerjaan mungkin masih akurat, tetapi untuk ratusan atau bahkan ribuan syaraf manusia dapat mengalami keletihan sehingga hasilnya tidak akurat lagi. Perbandingan secara lengkap antara kemampuan yang dimiliki oleh otak manusia dan sebuah CPU konvensional disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Kemampuan antara Otak Manusia dengan CPU Parameter Elemen Pengolah Ukuran Elemen Energi yang Digunakan Kecepatan Pengolah Bentuk Komputasi Fault Tolerant Proses Belajar Kepandaian
Otak Manusia 1011 10-6m 30 W 100 Hz Pararel terdistribusi Ya Ya Selalu
CPU 10 transistor 10-6m 30 W (CPU) 109 Hz Serial terpusat Tidak Tidak Tidak (kadang-kadang) 8
Sumber : Hermawan (2006)
Perpaduan antara otak manusia dan CPU konvensional inilah yang mampu menciptakan jaringan syaraf tiruan sebagai alternatif baru untuk menyelesaikan masalah dengan meniru kerja otak manusia.
12
2.5 Komponen dan Arsitektur Jaringan Seperti halnya sebuah arsitektur bangunan, jaringan syaraf tiruan pun memiliki komponenkomponen yang bersusunan untuk menyusun jaringan tersebut. Jaringan syaraf tiruan terdiri dari beberapa neuron. Neuron tersebut akan berhubungan dengan yang lainnya. Neuron ini mengubah informasi yang diterima dan mengirimnya menuju neuron lain. Pada jaringan syaraf tiruan, hubungan ini disebut bobot. Input akan dikirim ke neuron dengan bobot kedatangan tertentu. Input diproses oleh suatu fungsi perambatan yang menjumlahkan nilai semua bobot. Hasil penjumlahan kemudian akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang (threshold) tertentu melalui fungsi aktifasi setiap neuron. Apabila neuron diaktifkan maka akan menghasilkan output ke semua neuron yang berhubungan. Jaringan syaraf tiruan terdiri atas beberapa elemen proses yang disebut neuron, units, cells atau nodes. Setiap neuron berhubungan dengan neuron lainnya dengan bobot yang telah ditentukan. Setiap neuron mempunyai fungsi aktifasi yang mengirimkan nilai aktifasi sebagai sinyal kepada beberapa neuron lainnya pada satu waktu.
X W1
X
W2
Y
W3
X
Gambar 6. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Bobot (Siang 2009) Contoh jaringan syaraf tiruan Pada Gambar 6, terdiri atas tiga neuron pada lapisan input dan satu neuron pada lapisan output. Neuron Y menerima input dari neuron X1, X2, dan X3. Sedangkan nilai W1, W2, dan W3 merupakan bobot masing-masing input. Untuk menghitung nilai output digunakan persamaan : _ Nilai aktivasi y dari neuron Y adalah suatu fungsi dari input jaringan, Y=f(Y_in). Fungsi f adalah fungsi linear atau fungsi-fungsi lain yang lebih kompleks. Fungsi aktivasi pada jaringan propagasi balik terdapat tiga macam fungsi aktivasi, yaitu fungsi aktivasi sigmoid atau logistik, fungsi aktivasi tangen hiperbola, dan fungsi aktivasi linier. Fungsi tersebut adalah fungsi umum yang akan digunakan untuk membawa input menuju output yang diinginkan. Fungsi aktivasi inilah yang akan menentukan besarnya bobot. Penggunaan fungsi aktivasi tergantung pada kebutuhan dan desired output (Indrawanto 2008). Berikut adalah penjelasan terhadap masing-masing fungsi aktivasi ini.
13
1. Linear / Pureline Fungsi linier akan membawa input ke output yang sebanding. Fungsi ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 7. Fungsi aktivasi Linear (Mathworks Online 2010) algoritma dari fungsi ini adalah:
2. Tansig Tansig adalah fungsi sigmoid tangen yang digunakan sebagai fungsi aktivasi
Gambar 8. Fungsi aktivasi Tansig (Mathworks Online 2010) Fungsi ini akan membawa nilai input pada output dengan menggunakan rumus hyperbolic tangen sigmoid. Nilai maksimal output dari fungsi ini adalah 1 dan minimal -1. Algoritma dari fungsi ini adalah:
3. Logsig Logsig / Log Sigmoid adalah fungsi transfer yang membawa input ke output dengan penghitungan log sigmoid. Nilai outputnya antara 0 hingga 1.
14
Gambar 9. Fungsi aktivasi Logsig (Mathworks Online 2010) algoritma dari fungsi ini adalah:
Selain memiliki komponen khusus dan fungsi aktivasi, Jaringan Syaraf Tiruan juga tersusun dengan pola keterkaitan antar layer yang spesifik, keterkaitan ini disebut net architecture. Arsitektur jaringan syaraf tiruan diklasifikasikan sebagai single layer, multilayer dan competitive layer. Untuk menentukan banyak layer yang digunakan, input layer tidak diikutsertakan sebagai layer yang digunakan. Banyaknya layer yang disertakan dalam jaringan syaraf tiruan menunjukkan banyaknya nilai bobot yang berhubungan antar layer tersebut, karena itu nilai bobot merupakan hal yang penting dalam jaringan syaraf tiruan. Perbedaan antara single layer, multilayer dan competitive layer adalah sebagai berikut : 1.
Single layer net Single layer net mempunyai satu layer untuk menghubungkan nilai bobotnya. Neuron input langsung berhubungan dengan neuron output. Jaringan ini hanya menerima informasi dan langsung mengolahnya menjadi output tanpa melalui hidden layer. Ciri-ciri yang dimiliki single layer net ini hanya mempunyai satu layer input dan satu layer output.
2.
Multilayer net Multilayer net adalah jaringan yang mempunyai tambahan satu layer atau lebih (hidden neuron) diantara layer input dan output. Jaringan dengan banyak layer ini dapat menyelesaikan permasalahan yang lebih rumit dibandingkan jaringan dengan satu layer.
3.
Competitive layer net Competitive layer net terdiri dari dua atau lebih jaringan syaraf tiruan. Arsitektur jaringan ini bisa menghubungkan satu neuron dengan neuron lainnya (Pusparianti 2008).
2.6 Algoritma Pembelajaran Propagasi Balik Jaringan syaraf tiruan propagasi balik (Backropagation) pertama kali diperkenalkan oleh Rumelhart, Hinton dan William pada tahun 1986, kemudian Rumehart dan Mc Clelland mengembangkan pada tahun 1988. Jaringan syaraf tiruan ini tersusun atas sekumpulan elemen pemroses (neuron) atau simpul atau sel yang terinterkoneksi dan terorganisasi dalam lapisan-lapisan. Arsitektur JST propagasi balik merupakan jaringan perseptron lapis jamak (multiplayer). JST ini
15
tterdiri atas lappisan masukan n (input layer),, lapisan tersem mbunyi (hiddeen layer) dan lapisan keluarran ( (output layer) (Rich dan Kevvin 1991). Pada saat pembelajaaran dilakukann pada input yang y berbeda, maka nilai bo obot akan diubbah s secara dinamiss hingga menccapai suatu nillai yang cukup p seimbang. Apabila A nilai inni telah tercappai m mengindikasik kan bahwa tiapp-tiap input teelah berhubunngan dengan output o yang diharapkan. d Paada d dasarnya terdappat dua metodee pembelajarann yaitu : 1.
Superrvised learningg Supervised learning meruupakan suatu metode m penenttuan bobot yanng menggunakkan sepasaang kumpulann vektor, yaittu vektor pelaatihan dan veektor target. Penentuan P bobbot didasaarkan pada perrbandingan anntara vektor peelatihan dan tarrget sampai ouutput JST sesuuai dengaan targetnya. Disebut meetode pembelajjaran terawasi jika output yaang diharapkann telah diketahuui. Nilai bobot sudah disesuaikan d meenurut algoritm ma pembelajaraan yang ditentu ukan. Salah saatu contohh pembelajarann ini adalah klaasifikasi.
2.
Unsuppervised learniing Unsupervissed learning m merupakan self-organizing JST T, artinya menggunakan vekttor pelatihan tanpa vekktor target. JST T memodifikaasi bobot sehinngga vektor-veektor input yanng serupaa dikelompokkkan dan diklasiifikasikan ke daalam suatu uniit output yang sama. s Tujuan darri pembelajaraan ini adalah mengelompoka m an input yang serupa. Metoode pembeelajaran ini tid dak memerlukaan target outputt. Jaringan ini m mengubah nilaai bobot sehinggga nilai input i yang seruupa akan dikateegorikan sebag gai output yangg sama dan kon nsisten.
Jaringgan Syaraf Prropagasi balik merupakan salah s satu algoritma pembeelajaran terawaasi ((supervised lea arning) dalam m jaringan syarraf tiruan dan biasanya diguunakan oleh peercepton denggan b banyak lapisann untuk menguubah bobot-bobbot yang terhuubung dengan neuron-neuron n yang ada paada l lapisan tersemb bunyi. Multilayyer net (dengann satu atau lebih hidden layerr) dapat memppelajari pemetaaan y yang rumit dengan akurasi yang y cukup. Lebih L dari satuu hidden layer akan bergunaa untuk beberaapa a aplikasi, tetapii satu hidden layer sudah mencukupi m meetode pembelajjaran. Topologgi arsitektur daari j jaringan backppropagation deengan dua lapissan tersembunyyi disajikan padda Gambar 10.
Gambar 10. Topologi arsittektur backproppagation dengaan dua lapisan tersembunyi (F Fausset 1994).
16
Pada gambar tersebut, terdapat lapisan masukan (input layer) Xi, lapisan keluaran (output layer) Yk dan dua lapisan tersembunyi (hidden layer) Z dan ZZ. Bias untuk suatu unit Yk, diberikan oleh wok. Bias pada lapisan tersembunyi Zk dinyatakan dengan uok dan bias pada lapisan tersembunyi ZZj dinyatakan dengan voj. Bias ini bertindak seolah sebagai bobot pada koneksi yang berasal dari suatu unit atau neuron yang keluarannya selalu 1. Aliran sinyal pada gambar dinyatakan dengan arah panah. Sedangkan pada fase propagasi balik, sinyal dikirim pada arah berawanan. Algoritma Backpropagation menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error ini, tahap forward propagation harus dikerjakan terlebih dahulu. Pada saat forward propagation, neuron-neuron diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi yang dapat dideferensiasikan. Algoritma dasar backpropagation memiliki tiga fase : 1. 2. 3.
Fase feedforward pola input pembelajaran atau pelatihan Fase kalkulasi dan backpropagation error yang didapat Fase penyesuaian bobot
Seperti halnya jaringan syaraf yang lain, pada jaringan feedforward pelatihan dilakukan dalam rangka melakukan pengaturan bobot, sehingga pada akhir pelatihan akan diperoleh bobot-bobot yang baik. Selama proses pelatihan, bobot-bobot diatur secara iteratif untuk meminimumkan fungsi kinerja jaringan. Fungsi kinerja yang sering digunakan untuk backpropagation adalah Mean Square Error (MSE). Fungsi ini akan mengambil rata-rata kuadrat error yang terjadi antara output jaringan dan target.
2.7 Persiapan Data dalam Analisis Data Jaringan Syaraf Salah satu tahapan yang penting dilakukan sebelum merancang model jaringan syaraf adalah mempersiapkan data. Mempersiapkan data merupakan langkah penting dan kritis dalam melakukan analisis data jaringan syaraf tiruan dan memiliki dampak yang sangat besar terhadap analisis data yang kompleks (Hu 2003). Alasan utama perlu dilakukan persiapan data adalah bahwa kualitas data masukan ke dalam model jaringan syaraf sangat mempengaruhi hasil analisis data. Secara umum, data yang disiapkan mudah untuk penanganannya sehingga dapat memudahkan dalam melakukan analisis data menjadi sederhana. Kinerja jaringan syaraf tidak dapat bekerja secara signifikan jika terdapat data yang hilang dan bersifat stabil (tidak bergerak terhadap atribut data yang lain). Selain itu, persiapan data dapat mempengaruhi tingkat mutu data yang dimasukkan. Data dikatakan memiliki tingkat mutu data yang baik jika memenuhi lima aspek berikut, yaitu : 1. Up – to – date (terbaru) Data yang digunakan sebaiknya merupakan data dalam beberapa tahun terakhir. Terbaru di sini dapat didefinisikan juga sebagai data yang bersifat final dan tidak mengalami revisi di kemudian hari. 2. Relevan Data yang bersifat relevan dapat didefinisikan sebagai data yang ada hubungan langsung dengan persoalan yang sedang diteliti. 3. Akurasi Akurasi menyatakan seberapa dekat nilai hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya (true value) atau nilai yang dianggap benar (accepted value). Jika tidak ada data bila sebenarnya atau nilai yang dianggap benar tersebut maka tidak mungkin untuk menentukan berapa akurasi pengukuran tersebut.
17
4. Presisi Presisi menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali atau lebih pengulangan pengukuran. Semakin dekat nilai‐nilai hasil pengulangan pengukuran maka semakin presisi pengukuran tersebut. 5. Lengkap Data yang digunakan untuk keperluan analisis jaringan syaraf tiruan harus memiliki kelengkapan data yang diinginkan. Ketidaklengkapan data dapat mempengaruhi kinerja jaringan syaraf tiruan dalam melakukan peramalan.
Analisis Data Awal
Analisis Kebutuhan
Koleksi Data
Seleksi Data
Masalah Penting
Integrasi Data
Solusi
- Seleksi variabel data
- Analisis Korelasi
Proses Awal Data Pemeriksaan Data
Pengolahan Data
Masalah Penting -
Solusi
Data yang terlalu banyak Data yang terlalu sedikit Data yang hilang Data yang noise (outlier) Data dengan skala yang berbeda Data trend/musiman Data bukan stasioner
-
Sampling data Pengumpulan kembali data Perbaikan data Menghilangkan data noise Normalisasi data Menghilangkan trend Membedakan
Analisis Data Akhir Pembagian Data
Validasi Data
Masalah Penting -
Undefitting Overfitting
Penyesuaian Kembali Data
Solusi -
Meningkatkan kelompok data Menurunkan kelompok data
Gambar 11. Skema persiapan data untuk analisis data jaringan syaraf (Yu, Chen dan Wang 2009)
18
Selain membutuhkan data yang baik dalam mempersiapkan data masukan bagi jaringan syaraf tiruan membutuhkan integrasi data dan persiapan data lebih lanjut. Secara umum skema untuk integrasi data persiapan dapat dilihat pada Gambar 11.
2.8 Penelitian Terdahulu Hasil Penelitian Evaluasi Distribusi Pupuk Bersubsidi Nasional bagi petani kelapa sawit rakyat (Maksi-PPKS-BPTP 2009) menunjukkan bahwa walaupun pelaku telah berusaha mensukseskan distribusi pupuk bersubsidi, namun kadang masih juga terjadi kekurangtepatan pupuk dalam hal jumlah dan waktu dengan penyebab berbagai hal diantaranya adalah persoalan kurangnya alokasi, kurang tepatnya perencanaan, adanya perembesan dan belum lancarnya infrastruktur distribusi. Kajian ini merekomendasikan berbagai hal dalam peningkatan kinerja distribusi pupuk bersubsidi diantaranya adalah perlunya dikembangkan sistem peringatan dini (Early warning system) dalam sistem distribusi pupuk bersubsidi. Salya (2006), melakukan penelitian tentang rekayasa model sistem deteksi dini untuk perniagaan minyak goreng kelapa sawit dengan menggunakan jaringan Syaraf Tiruan. Hasil rekayasa model tersebut digunakan dalam analisis harga minyak goreng yang ada di pasaran berdasarkan harga minyak goreng terdahulu. Hasil analisa ini digunakan sebagai sistem deteksi dini agar dapat mencegah adanya kelangkaan minyak goreng di pasaran. Seminar et al. (2009) melakukan analisis Sistem Deteksi Dini (Early Warning System/EWS) untuk manajemen krisis pangan dengan simulasi model dinamis dan komputasi cerdas. EWS yang dikembangkan dalam studi ini adalah EWS yang melakukan deteksi indikasi krisis pada periode awal terjadinya fenomena krisis (occurences) dan pola fenomena (patterns: combination of variables & progress of occurences) hingga terjadinya fenomena chaos (Gambar 12). Perioda dari awal krisis sampai memasuki perioda chaos adalah perioda yang diharapkan masih dapat melakukan tindakan untuk pemulihan dan pencegahan terhadap chaos yang merupakan kelumpuhan akibat krisis yang akut dan tidak mungkin dilakukan pemulihan (Barton dan Wilson 2002). Dengan demikian fungsi EWS adalah mendeteksi fenomena krisis sedini mungkin untuk mencegah terjadinya chaos. Safe
Early Crisis Forecasting Crisis
Early Chaos
Chaos
Detecting Crisis
EWS Detection:
Occurrences, & Patterns
Parameter/ indicator
Gambar 12. Posisi Peran EWS yang dikembangkan (Seminar et al. 2009)
19
Pengembangan sistem isyarat dini (Early Warning System/EWS) dengan simulasi sistem dinamis dan komputasi cerdas menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) tersebut telah dilakukan sampai pada level prototipe software yang telah diuji dan divalidasi pada 28 provinsi dengan jumlah kabupaten sebanyak 265 kabupaten. Data yang digunakan untuk pelatihan sebanyak 167 buah data dan sisanya digunakan untuk pengujian. Akurasi sistem dalam mendeteksi level krisis pangan adalah 96.9%, dengan tingkat error (mean square error /MSE sebesar 0.11). Pada penelitian ini dilakukan pemuatan prototipe EWS untuk mengatasi kelangkaan pupuk bersubsidi di daerah Jawa Tengah, Kabupaten Banyumas yang terdiri atas 27 Kecamatan. Indikator atau parameter input yang akan digunakan merupakan hasil analisis pakar dengan menggunakan AHP.
20
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Pemerintah akhir-akhir ini sering dihadapkan pada masalah persediaan pupuk bersubsidi yang daya serapnya rendah dan kasus kelangkaan di berbagai lokasi di Indonesia. Lambatnya tanggapan pemerintah terhadap sinyal-sinyal krisis ini menyebabkan kejadian kelangkaan pupuk terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Setelah krisis kelangkaan terjadi barulah pemerintah bertindak untuk menanganinya. Hal ini berpengaruh terhadap nasib petani yang berhubungan langsung dengan komoditi pupuk tersebut, sehingga dalam kasus ini bisa dibilang petanilah yang menanggug beban kelangkaan pupuk yang terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan sistem deteksi dini yang menangkap sinyal-sinyal krisis yang kemungkinan akan terjadi sehingga pemerintah dapat melakukan tindakan sebelum suatu krisis terjadi. Hal ini tentunya akan membantu pihak petani agar tidak selalu menderita menanggung harga pupuk yang berada jauh di atas harga eceran tertinggi yang ditentukan oleh pemerintah. Oleh karena alasan tersebutlah dibuat kajian khusus tentang sistem deteksi dini bagi petani padi ini. Kajian ini diawali dengan menganalisis faktor dan variabel penentu dalam sistem distribusi pupuk bersubsidi dengan menggunakan teknik perbandingan eksponensial dan AHP. Faktor dan variabel penentu ini akan dijadikan sebagai masukan dalam pengembangan sistem deteksi dini distribusi pupuk bersubsidi bagi petani padi. Sementara itu, arsitektur prototipe deteksi dini dirancang untuk mendukung proses pengambilan keputusan sebelum dan sesudah terjadi krisis kelangkaan persediaan pupuk. Prototipe ini mempunyai arsitektur sistem yang secara konseptual menyediakan fasilitas input data dan informasi, model pemrosesan data dan menghasilkan output berupa informasi intensitas krisis dan saran tindak lanjutnya. Input model berupa data yang didapatkan dari distributor resmi dan kelompok tani secara periodik. Data dan informasi ini sesuai dengan struktur rancangan database model deteksi dini. Model deteksi dini mengolah input data primer dan sekunder yang didapat dari BPS serta instansi terkait . Gambar 13 menjelaskan model konseptual arsitektur prototipe deteksi dini manajemen krisis penyediaan pupuk bersubsidi untuk petani padi. Dinas Pertanian
Gambar 13. Konsep arsitektur prototipe deteksi dini manajemen krisis penyediaan pupuk bersubsidi bagi petani padi 21
3.2 Tahapan Penelitian Proses dan metode dalam penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan. Kerangka tahapan penelitian disajikan dalam Gambar 14. Mulai
Studi literatur, wawancara, dan survey lapang
Identifikasi Masalah
- Metode Perbandingan Eksponensial - Analytical Hierarchy Process (Saaty, 1980)
Analisis Faktor Kritis Penyediaan Pupuk Bersubsidi
Pelatihan JST
- Artificial Neural Network : Probabilistic & Backward Propogation (Patterson 1996, Seminar et al 2006) Pengujian JST
Uji Model (OK)?
Tidak
Ya Selesai
Gambar 14. Tahapan proses penelitian dan metode yang digunakan
3.2.1 Identifikasi Masalah Identifikasi masalah dilakukan dengan turun ke lapang dan melakukan wawancara serta juga studi literatur untuk mendapatkan gambaran umum tentang permasalahan distribusi dan kelangkaan yang terjadi. Pada jaringan syaraf tiruan, identifikasi masalah diperlukan untuk menganalisis hasil yang diharapkan. Hal ini penting dilakukan untuk mendapatkan data yang relevan dengan masalah penelitian yang akan dilakukan sehingga hasil yang diharapakan dapat digunakan pada tahap selanjutnya.
3.2.2 Analisis Faktor Kritis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Pada tahap ini dilakukan analisis untuk menentukan faktor-faktor yang mungkin dan relevan yang dapat mengakibatkan kelangkaan pupuk urea yang terjadi di Kabupaten Banyumas. Dari faktor-
22
faktor yang didapatkan tersebut dilakukan pengurutan berdasarkan tingkat penyebab utama kelangkaan yang terjadi dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial. Setelah diurutkan faktor penyebab tersebut dianalisis kembali dengan Analytical Hierarchy Process berdasarkan penilaian pakar. Langkah selanjutnya adalah membuang faktor yang diduga bukan merupakan faktor kritis dan mengumpulkan data sekunder dari faktor kritis dari dinas setempat dan juga BPS serta berbagai sumber lain. Setelah data terkumpul, data dinormalisasi ke dalam selang 0.1 dan 0.9 menggunakan persamaan sebagai berikut : 0.8 x min x 0.1 max x min x Normalisasi ini dilakukan mengingat salah satu fungsi aktifasi sigmoid yang akan digunakan merupakan fungsi asimotik yang nilainya tidak pernah mencapai nilai 0 ataupun 1 (Siang 2009).
3.2.3 Pelatihan Jaringan Merujuk dari penelitian sebelumnya oleh Seminar et al. (2009) maka arsitektur yang digunakan adalah Multi-Layer Percepton dengan menggunakan 2 hidden layer dan Algoritma pembelajarannya adalah Backpropagation. Menurut Siang (2009), jaringan dengan satu hidden layer sudah cukup untuk sembarang perkawanan antara masukan dan target dengan tingkat ketelitian yang ditentukan. Akan tetapi penambahan jumlah hidden layer kadangkala membuat pelatihan menjadi lebih mudah. Dalam Algoritma Backpropagtion setidaknya ada 3 langkah penting dalam pelatihan jaringannya, yaitu tahap Fase Maju, Fase Mundur, dan Perubahan Bobot. Berikut adalah tahapan detail dari setiap langkah pelatihan Jaringan Backpropagation. Langkah 0.
Inisialisasi bobot (biasanya digunakan nilai acak yang kecil) set laju pembelajaran
Langkah 1. Langkah 2.
Selama syarat henti salah, lakukan langkah 2 – 11 Untuk setiap pasangan pelatihan (masukan dan target), lakukan langkah 3 – 10.
Fase Maju
Langkah 3. Langkah 4.
Setiap unit masukan (Xi, i=1, ..., n) menerima sinyal masukan xi dan meneruskannya ke seluruh unit pada lapisan di atasnya (hidden units). Setiap unit tersembunyi kesatu (Zh, h = 1,…., q) menghitung total sinyal masukan terbobot, n
z _ in h u oj
x u i
i 1
ij
ih
lalu menghitung sinyal keluarannya dengan fungsi aktivasi, z h f ( z _ in h )
Langkah 5.
dan mengirimkan sinyal ini keseluruh unit pada lapisan tersembunyi kedua Setiap unit tersembunyi pada lapisan kedua (ZZj, j = 1,…., p) menghitung total sinyal masukan terbobot, n
zz _ in j v oj
z v
h hj
i 1
lalu menghitung sinyal keluarannya dengan fungsi aktivasi, zz j f ( zz _ in j )
23
Langkah 6
Setiap unit output (Yk, k= 1,...,m) menghitung total sinyal masukan terbobot, p
y _ in k w0 k
zz
j w jk ,
j 1
lalu menghitung sinyal keluaran dengan fungsi aktivasi y k f ( y _ in k )
Fase Mundur
Langkah 7.
Setiap unit output (Yk, k=1,…,m) menerima sebuah pola target yang sesuai dengan pola masukan pelatihannya. Unit tersebut menghitung error,
k (t k y k ) f ' ( y _ in k ) kemudian menghitung koreksi bobot (digunakan untuk mengubah wjk) w jk k zz j dan menghitung koreksi bias w0 k k
serta mengirimkan nilai k ke unit pada lapisan tersembunyi (ZZj, j = 1…….p) Langkah 8.
Setiap unit tersembunyi (ZZj, j = 1…….p) menghitung selisih input (dari unit-unit pada layer di atasnya),
_ in j
m
k w jk
k 1
lalu mengalikannya dengan turunan fungsi aktivasi untuk menghitung informasi errornya, j _ in j f ' ( zz _ in j ) selanjutnya menghitung koreksi bobot untuk mengubah vij nanti, v ij j x i dan menghitung koreksi biasnya v 0 j
j
dan mengirim j ke lapisan tersembunyi ke dua (Zh, h=1.....q). Langkah 9
Untuk setiap lapisan tersembunyi (Zh, h=1.....q): Menjumlahkan bobot input dari unit-unit pada layer di atasnya, p
_ in h
j v hj
k 1
lalu mengalikannya dengan turunan fungsi aktivasi untuk menghitung informasi errornya,
h _ in h f ' ( z _ in h ) selanjutnya menghitung koreksi bobot untuk mengubah vij nanti, u ih h x i
dan menghitung koreksi biasnya v 0 j
j
24
Perubahan bobot dan bias
Langkah 10.
Setiap unit output (Yk, k= 1, ..., m) mengubah bias dan bobot-bobotnya (j=0,......,p); w jk ( new ) w jk (old ) w jk
Setiap unit tersembunyi , ZZj, (h=0.....q : j=1,..,p) mengubah bias dan bobotnya v hj ( new ) v h j ( old ) v hj
Setiap unit tersembunyi Zh,(i=0,.......,n : h =1,..,q) mengubah bias dan bobotnya u ih (new) u ih (old ) u ih
Langkah 11.
Uji syarat henti : n
Jika besar total square-error
(t
k
y k ) 2 lebih kecil dari toleransi yang telah
k 1
ditentukan atau jumlah epoch pelatihan sudah mencapai epoch maksimum, maka selesai; jika tidak maka kembali ke langkah 1. Nilai toleransi () yang digunakan adalah 1 < ≤ 0. Pelatihan jaringan ini pada dasarnya bertujuan untuk mengubah bobot jaringan yang dapat mengingat segala informasi yang telah kita latihkan. Proses pelatihan ini biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk data yang jumlahnya banyak karena perubahan bobot dilakukan dengan proses iterative hingga batas yang ditentukan tercapai. Batasan kinerja yang sering digunakan dalam pelatihan jaringan Backpropagation adalah Mean Square Error (MSE). Fungsi ini akan mengambil rata-rata kuadrat error yang terjadi antara output jaringan dan target.
3.2.4 Pengujian Jaringan Seperti halnya pelatihan pada jaringan Backpropagation. Pada pengujian jaringan Backpropagation pun memiliki tahapan yang terstruktur. Berikut adalah tahapan dari pengujian Jaringan Backpropagation. Langkah 0. Langkah 1. Langkah 2.
Inisialisasi bobot (digunakan nilai bobot yang diperoleh dari algoritma pelatihan) Untuk setiap vektor masukan x, lakukan langkah 2-6 Set nilai aktivasi dari unit masukan, i = 1, .... , n xi si
Langkah 3. Langkah 4.
Setiap unit masukan (Xi, i=1, ..., n) menerima sinyal masukan xi dan meneruskannya ke seluruh unit pada lapisan di atasnya (hidden units). Setiap unit tersembunyi kesatu (Zh, h = 1,…., q) menghitung total sinyal masukan terbobot, n
z _ in h u oj
x u i
i 1
ij
ih
lalu menghitung sinyal keluarannya dengan fungsi aktivasi, z h f ( z _ in h )
dan mengirimkan sinyal ini keseluruh unit pada lapisan tersembunyi kedua
25
Langkah 5.
Setiap unit tersembunyi pada lapisan kedua (ZZj, j = 1,…., p) menghitung total sinyal masukan terbobot, n
zz _ in j v oj
z v
h hj
i 1
lalu menghitung sinyal keluarannya dengan fungsi aktivasi, zz j f ( zz _ in j )
Langkah 6
Setiap unit output (Yk, k= 1,...,m) menghitung total sinyal masukan terbobot, p
y _ in k w0 k
zz
j w jk ,
j 1
Lalu menghitung sinyal keluaran dengan fungsi aktivasi y k f ( y _ in k )
Pada dasarnya langkah pengujian sama dengan langkah pelatihan namun hanya sampai pada tahap pertama atau tahap feedforward dan tidak dilanjutkan pada tahap selanjutnya. Karena tujuan dari proses pengujian hanya untuk mencari keluaran bukan untuk melakukan perubahan bobot dan minimasi error.
3.2.5 Validasi dan Perhitungan Error Validasi dan perhitungan error bertujuan untuk pengukuran keakurasian. Ada dua macam perhitungan error yang dipakai, yaitu Mean Square Error (MSE) untuk membadingkan hasil target jaringan dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) untuk menghitung persentase tingkat akurasi jaringan. Validasi yang akan digunakan pada penelitian kali ini adalah validasi silang (cross validation). Validasi silang merupakan suatu metode statistik yang digunakan menganalisa dan mengukur keakuratan hasil percobaan pada data yang independen. Metode ini membagi sebuah data menjadi beberapa subdata yang selanjutnya subdata satu digunakan untuk mengkonfirmasi kebenaran subdata yang lain. MSE merupakan salah satu dari beberapa macam error yang sering dipakai. MSE merupakan rata-rata kuadrat dari selisih antara output jaringan dengan target output. Tujuan utama adalah memperoleh nilai error ini sekecil-kecilnya dengan secara iteratif mengganti nilai bobot yang terhubung pada semua neuron pada jaringan syaraf. Untuk mengetahui seberapa banyak bobot yang harus diganti, setiap iterasi memerlukan perhitungan error yang berasosiasi dengan setiap neuron pada output dan hidden layer. Rumus dari MSE yang akan digunakan pada metode jaringan syaraf adalah sebagai berikut :
∑ Perhitungan MAPE hampir sama dengan perhitungan MAE, hanya hasilnya dinyatakan dalam persentase. Formula berikut merupakan rumus dari MAPE :
Dimana :
m adalah jumlah pola yang dihitung
nc adalah nilai vektor target atau nilai sebenarnya
nd adalah nilai keluaran atau nilai pendugaan.
26
3.3 Identifikasi Faktor Kritis Penentuan faktor kritis dilakukan dengan melakukan dua tahapan. Tahapan pertama adalah dengan melakukan identifikasi faktor krisis dilakukan dengan teknik perbandingan eksponensial. Tahap kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Menyusun semua alternatif faktor yang dipertimbangkan melalui studi literatur dan wawancara pakar. Tentukan kriteria-kriteria penting dalam pemilihan faktor tersebut. Lakukan penilaian terhadap semua alternatif faktor pada setiap kriteria. Susun matrik penilaian dan identifikasi arah dan rentang penilaian. Lakukan penghitungan skor atau nilai total setiap alternatif faktor. Tentukan urutan prioritas faktor didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif.
Sedangkan tahapan selanjutnya adalah analisis dan prioritasi faktor-faktor kritis yang mempengaruhi krisis penyediaan pupuk bersubsidi di Banyumas dilakukan dengan menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP). Komponen-komponen pada setiap hierarki di elaborasi dari analisis dan sintesis pada tahap sebelumnya.
3.4 Arsitektur Jaringan Propagasi Balik Dalam membentuk arsitektur jaringan ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, antara lain learning rate dan momentum. Learning rate menentukan seberapa cepat jaringan syaraf tersebut mempelajari pola dari data training. Momentum meningkatkan kecepatan dalam menemukan nilai yang diinginkan. Pemakaian parameter momentum ini bertujuan agar proses penyesuaian bobot tetap cenderung dalam arah yang sama. Nilai ini harus dipilih dengan benar, jika terlalu kecil maka proses pembelajaran akan lama dan jika terlalu besar maka akan terjadi penyimpangan. Sedangkan momentum menunjukkan bahwa bobot pada iterasi sebelumnya mempengaruhi bobot sekarang. Selain learning rate dan momentum ada beberapa hal yang bisa dimanipulasi untuk mengoptimalkan pelatihan Backpropagation. Hal-hal tersebut antara lain adalah fungsi aktivasi, pemilihan bobot awal, penentuan jumlah iterasi, penentuan jumlah layer, hidden layer, neuron input, output dan toleransi error berdasarkan MSE (Renaldy 2007).
3.4.1 Penentuan Learning rate dan Momentum Tujuan penentuan learning rate dan momentum ini adalah untuk menentukan perubahan bobot yang terbaik agar target proses pelatihan dengan error yang terkecil dapat tercapai sesuai target. Dalam standar Backpropagation, learning rate berupa suatu konstanta yang nilainya tetap selama proses iterasi. Akibatnya, unjuk kerja algoritma sangat dipengaruhi oleh besarnya learning rate yang dipakai. Selain learning rate, momentum juga mempengaruhi perubahan bobot jaringan selama masa pelatihan. Penambahan momentum ini dimaksudkan untuk menghindari perubahan bobot yang mencolok akibat adanya data yang sangat berbeda dengan data yang lain (Siang 2009). Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa nilai learning rate dan momentum untuk mendapatkan nilai error yang paling maksimal. Penentuan nilai parameter learning rate dan momentum pada penelitian ini ditentukan dengan trial dan error. Adapun nilai momentum dan learning rate adalah konstanta nilai diantara 0 dan 1.
27
Merujuk pada penelitian Hendri (2010) akan digunakan masing-masing tiga konstanta untuk mencari mana nilai learning rate dan momentum yang terbaik yang akan digunakan adalah arsitektur jaringan Backpropagation ini. Adapun nilai Nilai learning rate yang diujicobakan pada penelitian ini adalah 0.005, 0.3, 0.2, 0.1 sedangkan nilai momentum yaitu 0.1, 0.6 dan 0.9.
3.4.2 Penentuan Fungsi Aktivasi Dalam backpropagation, fungsi aktivasi yang dipakai harus memenuhi beberapa syarat yaitu : continue, terdiferensial dengan mudah dan merupakan fungsi yang tidak turun. Alternatif lain adalah menggunakan fungsi linear hanya untuk layar output (Siang 2009). Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut maka fungsi yang dipakai dalam pembentukan arsitektur jaringan dalam penelitian ini adalah fungsi sigmoid bipolar untuk semua fungsi masukan ke layar berikutnya dan fungsi linear untuk layar keluaran.
3.4.3 Pemilihan Bobot Awal Bobot awal akan mempengaruhi apakah jaringan mencapai titik minimum lokal atau global dan seberapa cepat konvergensinya. Bobot yang menghasilkan nilai turunan aktivasi yang kecil sedapat mungkin dihindari karena akan menyebabkan perubahan bobot menjadi sangat kecil. Demikian pula nilai bobot awal tidak boleh terlalu besar karena nilai turunan fungsi aktivasi menjadi kecil juga. Oleh karena itu dalam standar backpropagation, bobot diisi dengan bilangan acak kecil (Siang 2009). Salah satu cara menentukan bobot dengan bilangan acak kecil adalah dengan menentukannya secara manual untuk menghasilkan hasil yang baik, namun cara ini terkadang tidak praktis dan membutuhkan tambahan waktu untuk melakukannya. Namun pada penelitian ini penentuan bobot jaringan ditentukan oleh MATLAB secara acak agar mempercepat proses pelatihan jaringannya.
3.4.4 Penentuan Jumlah Iterasi Jumlah iterasi sering juga disebut juga sebagai epoch dalam Backpropagation. Satu epoch adalah satu siklus yang melibatkan seluruh pola data training (training pattern). Dalam proses belajar jaringan backpropagation biasanya memerlukan banyak epoch. Pada penelitian ini ditentukan banyaknya iterasi yang dilakukan pada proses belajar adalah 5000 epoch. Jumlah ini diperkirakan cukup dan merupakan referensi dari penelitian Seminar et al. (2009) dapat menghasilkan performansi jaringan yang baik.
3.4.5 Penentuan Jumlah Layer, Hidden Layer, dan Neuron Input dan Output Penentuan arsitektur hidden layer terdiri atas dua bagian, yaitu penentuan jumlah layar dan ukuran layar. Jumlah layar yang digunakan dalam hidden layer adalah satu layar. Hal ini dilakukan karena dua pertimbangan, yaitu karena jumlah data training dan waktu training. Selain itu performansi dengan satu hidden layer juga baik untuk network dengan node yang tidak begitu banyak. Dalam penelitian ini, digunakan jumlah unit input terdiri dari delapan input data dengan dua unit hidden layer dan satu unit output.
28
3.4.6 Penentuan Toleransi Galat Dalam Backpropagation defaultnya perhitungan unjuk kerja dilakukan berdasarkan kuadrat rata-rata kesalahan atau Mean Square Error (MSE). MSE digunakan untuk menampilkan batas nilai agar iterasi dihentikan. Iterasi akan berhenti jika MSE lebih kecil daripada batas yang ditentukan atau jumlah epoch mencapai batas yang ditentukan. Pada penelitian ini, nilai yang diset adalah 0.0000005. hal ini disesuaikan dengan pendapat Dhaneswara et al. (2004), semakin kecil MSE, JST semakin kecil kesalahannya dalam memprediksi kelas dari record yang baru. Maka pelatihan JST ditujukan untuk memperkecil MSE dari satu siklus ke siklus berikutnya sampai selisih nilai MSE pada siklus ini dengan siklus sebelumnya lebih kecil atau sama dengan batas minimal yang diberikan. Rincian arsitektur jaringan yang akan dirancang untuk melakukan pelatihan Backpropagation disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Arsitektur JST yang akan dikembangkan Karakteristik Spesifikasi Neuron input layer 9 neuron Jumlah Hidden layer 2 layer Neuron output layer 1 neuron Fungsi aktivasi Sigmoid bipolar dan linear Toleransi galat 0.0000005 Epoch / Iterasi 5000 Penentuan Bobot Bilangan acak kecil dari MATLAB
3.5 Data Percobaan dan Pelatihan Oleh karena jaringan syaraf tiruan bekerja berdasarkan pola waktu masa lalu, maka pada penelitian ini digunakan sejumlah data deret waktu yaitu data-data faktor penyebab krisis pada tahapan analisis sebelumnya. Adapun contoh data yang kemungkinan merupakan faktor penyebab kelangkaan pupuk adalah data kebutuhan pupuk Urea, data penggunaan dosis pupuk urea, data loss pupuk selama distribusi, data perbedaan harga antara pupuk subsidi dan non-subsidi, data besarnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah, data perubahan harga gabah dan bahan baku dan data lain yang berhubungan dengan penyebab kelangkaan pupuk dari 27 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyumas. Data input ini merupakan data deret waktu yang diambil dari Januari 2006 hingga Desember 2008. Atribut-atribut tersebut dipilih karena keterkaitan antar atribut diperoleh dengan menggunakan metode kausalitas antar atribut data. Data yang diperoleh akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu data yang digunakan sebagai data pelatihan dan sisanya data yang digunakan sebagai data penelitian atau simulasi. Pembagian data ini dilakukan dengan Rasio 80: 20. Nilai ini memiliki arti 80% data digunakan sebagai data pelatihan jaringan dan 20% data digunakan sebagai data penelitian atau simulasi (Salya 2006).
29
3.6 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan July sampai dengan Oktober 2010 bertempat di Kabupaten Banyumas tepatnya di Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Pengolahan data dan ujicoba Jaringan dilakukan di Laboratorium Teknik Manajemen Industri, Institut Pertanian Bogor.
3.7 Spesifikasi Sistem Pengimplementasian sistem jaringan syaraf tiruan ini menggunakan MATLAB versi 7.8.0.347 (R2009a). MATLAB merupakan perangkat lunak yang cocok dipakai sebagai alat komputasi yang melibatkan data yang banyak dan menggunakan matriks dan vektor. Fungsi-fungsi yang terdapat pada toolbox MATLAB memudahkan pengguna melakukan perhitungan dengan menggunakan data yang besar. Selain itu, MATLAB juga menyediakan fungsi-fungsi khusus untuk menyelesaikan model jaringan syaraf tiruan (Siang 2009). Spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunak lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. CPU : Intel ® Dual Core T2130 @ 1.86GHz 1 MB Cache 2. Memory 1 GB Memory 3. Mouse 4. Modem 5. Sistem operasi Microsoft® Windows XP SP 2 6. Microsoft® Office 2007. 7. Expert Choice.
30
IV. ANALISIS SITUASIONAL DISTRIBUSI PUPUK DI BANYUMAS
4.1 Profil Daerah Kabupaten Banyumas adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan Purwokerto sebagai Ibukotanya. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Brebes di utara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, dan Kabupaten Kebumen di timur, serta Kabupaten Cilacap di sebelah selatan dan barat. Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah terdapat di ujung utara wilayah kabupaten ini. Luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km2 atau setara dengan 132.759,56 ha, dengan keadaan wilayah antara daratan dan pegunungan dengan struktur pegunungan terdiri atas sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah pertanian, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman, pekarangan, dan sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis terletak di lereng Gunung Slamet. Keadaan cuaca dan iklim di Kabupaten Banyumas memiliki iklim tropis basah. Karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari pesisir pantai maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak. Namun dengan adanya dataran rendah yang seimbang dengan pantai selatan, angin hampir nampak bersimpangan antara pegunungan dengan lembah dengan tekanan rata-rata antara 1.001 mbs, dengan suhu udara berkisar antara 21,4° C - 30,9° C. Kondisi cuaca dan iklim inilah yang mendukung Banyumas cocok untuk dikembangkan sebagai salah satu daerah pertanian tanaman pangan seperti padi, jagung, dan berbagai macam umbi-umbian. Kabupaten Banyumas sendiri terdiri dari 27 kecamatan dan tersebar sekitar 301 desa dan 30 kelurahan. Adapun 27 kecamatan yang juga menjadi studi dari penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Daftar Kecamatan di Kabupaten Banyumas Nama Kecamatan 1. 3. 5. 7.
Lumbir Wangon Jatilawang Rawalo
2. 4. 6. 8.
Pekuncen Cilongok Karanglewas Sokaraja
9. 11. 13. 15. 17.
Kebasen Kemranjen Sumpiuh Tambak Somagede
10. 12. 14. 16. 18.
Kembaran Sumbang Baturaden Kedung Banteng Purwokerto Selatan.
19. 21. 23. 25. 27.
Kalibagor Banyumas Patikraja Purwojati Gumelar
20. 22. 24. 26.
Purwokerto Barat. Purwokerto Timur. Purwokerto Utara. Ajibarang
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Banyumas (2010)
31
Pada tahun 2010 Kabupaten Banyumas menjadi salah satu kabupaten percontohan pertanian dan juga merupakan penyandang pangan nasional di wilayah provinsi Jawa Tengah serta mampu berswasembada beras. Namun pada tahun 2008 karena pembangunan infrastuktur dan industri mengakibatkan luas panen padi sawah menurun 0.9% dari tahun sebelumnya (BPS 2009).
4.2 Distribusi Pupuk di Banyumas Kabupaten Banyumas telah menerapkan sistem distribusi tertutup untuk menyalurkan seluruh pupuk bersubsidi dari pemerintah kepada perorangan warga negara Indonesia yang mengusahakan lahan miliknya sendiri atau milik orang lain untuk budidaya tanaman pangan atau hortikultura. Penerapan sistem distribusi tertutup ini diterapkan sejak tanggal 1 Januari 2009 sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No 07/M-DAG/PER/2/2009. Dalam hal ini penyaluran pupuk kepada petani ditentukan berdasarkan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK), yakni tiap kelompok petani mencatat nama anggota, alamat dan luas lahan. Menurut Permentan no.50/Permentan/SR.130/11/2009, RDKK sendiri merupakan perhitungan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi yang disusun oleh kelompok tani berdasarkan luasan areal usaha tani yang diusahakan petani, pekebun, peternak dan pembudidaya ikan dan atau udang anggota kelompok tani dengan rekomendasi pemupukan berimbang spesifik lokasi. Petani sebagai pelaku utama melalui musyawarah menyusun RDKK yang merupakan rencana kerja usaha tani dari kelompok tani untuk satu periode 1 (satu) tahun berisi rincian kegiatan dan kesepakatan bersama dalam pengelolaan usaha tani. Dari RDKK inilah kebutuhan pupuk untuk suatu lokasi tertentu selama satu tahun dapat diperkirakan. Namun demikian jatah pupuk bersubsidi ini hanya diperuntukan bagi petani yang terdaftar saja pada kelompok tani tertentu atau sering disebut petani legal. Selanjutnya RDKK dari setiap kelompok tani akan dikumpulkan di kecamatan untuk direkap oleh Pemerintah Daerah dan hasilnya akan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi untuk disatukan dengan RDKK yang berasal dari kabupaten di seluruh Jawa Tengah. Hasil dari RDKK ini akan diserahkan pada Dinas Pertanian pusat untuk diolah dan ditindaklajuti dengan kebijaksanaan Menteri pertanian yang hasilnya merupakan kebutuhan pupuk nasional untuk tahun tertentu. Kebutuhan pupuk nasional ini akan diserahkan kepada produsen pupuk yang bertanggung jawab di area lokasi kerjanya untuk memproduksi sejumlah kebutuhan yang telah ditentukan tersebut. Dari tahap inilah distribusi pupuk nasional dimulai. Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk mendiskripsikan lokasi dalam distribusi pupuk bersubsidi ini, istilah tersebut adalah : 1. Lini I adalah lokasi gudang pupuk di wilayah pabrik dari masing-masing produsen atau di wilayah pelabuhan tujuan untuk pupuk impor. 2. Lini II adalah lokasi gudang produsen di wilayah ibukota provinsi dan Unit Pengantongan Pupuk (UPP) atau diluar wilayah pelabuhan. 3. Lini II adalah lokasi gudang produsen dan atau distributor di wilayah kabupaten/kota yang ditunjuk atau ditetapkan produsen. 4. Lini IV adalah lokasi gudang atau kios pengecer di wilayah kecamatan dan atau desa yang ditunjuk untuk ditetapkan oleh distributor. Setelah pupuk bersubsidi yang diproduksi oleh produsen selesai, maka pupuk tersebut akan diletakan di Lini I dan siap untuk disalurkan pada Lini berikutnya. Produsen disini memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai dengan prinsip enam tepat dari
32
Lini I hingga Lini IV, sedangkan distributor dan pengecer memiliki kewajiban untuk melakukan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai dengan prinsip enam tepat dari Lini III hingga Lini IV. Pelaksanaan kewajiban tersebut dilakukan secara bertahap dengan rincian tugas sebagai berikut : 1. Produsen melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini I, Lini II sampai dengan lini III di wilayah tanggung jawabnya. 2. Distributor melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai dengan peruntukannya dari Lini III sampai Lini IV di wilayah tanggung jawabnya. 3. Pengecer melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani dan atau kelompok tani di Lini IV di wilayah tanggung jawabnya berdasarkan RDKK yang jumlahnya sesuai dengan peraturan gubernur dan bupati. Selain kewajiban tersebut, produsen setiap bulan juga diwajibkan untuk menyampaikan rencana pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk periode tiga (3) bulan ke depan di setiap tanggung jawab wilayahnya kepada pihak-pihak terkait. Dari penjelasan di atas dapat digambarkan skema alur pendistribusian pupuk secara nasional. Skema tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Kabupaten Banyumas terletak di Provinsi Jawa Tengah, oleh karena itu kebutuhan pupuk bersubsidi yang diperlukan oleh Kabupaten Banyumas merupakan tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya (Pusri). Oleh karena itu pemerintah dan distributor di Banyumas melakukan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) untuk mengadakan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak agar distribusi pupuk bersubsidi ini dapat berjalan dengan lancar. Selain dengan dilakukannya SPJB untuk mengawasi distribusi pupuk, pemerintah Banyumas juga memiliki Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) yang dibentuk oleh bupati untuk mengawasi pelakasanaan peredaran pupuk dan pestisida agar tersalurkan kepada pihak yang seharusnya, di sinilah fungsi pemerintah sebagai lembaga pengawas untuk menghindari kelangkaan pupuk berperan penting.
Gambar 15. Skema Alur Pendistribusian Pupuk bersubsidi (Maksi-PPKS-BPTP 2009) Guna pengamanan penyaluran pupuk bersubsidi, pada kemasan pupuk bersubsidi wajib diberi label tambahan yang berbunyi “ Pupuk Bersubsidi Pemerintah ” yang mudah dibaca dan tidak mudah
33
terhapus. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan dan membedakan antara pupuk yang bersubsdi dan tidak bersubsidi. Namun demikian keberadaan komisi pengawasan distribusi pupuk, SPJB, dan sistem distribusi tertutup masih belum bisa menghilangkan penyalahgunaan pupuk bersubsidi. Hal ini ditandai dengan hasil survey lapang yang menunjukkan bahwa harga pupuk di lapang selalu berada di atas HET walaupun margin peningkatan harganya tidak terlalu banyak. Hal ini dimungkinkan juga karena adanya pengecer ilegal dan petani ilegal yang ikut menikmati pupuk bersubsidi dari pemerintah. Dari hasil turun lapang di Kabupaten Banyumas didapatkan beberapa hasil bahwa salah satu peran penting untuk menanggulangi kelangkaan pupuk di daerah adalah melakukan pengawasan yang ketat mulai di Lini III atau pada gudang distributor karena jumlah kebutuhan pupuk untuk suatu daerah dikirimkan kepada gudang distributor tersebut. Di Kabupaten Banyumas terdapat sepuluh distributor resmi yang bertanggung jawab menyalurkan pupuk kepada kecamatan yang berada dalam tanggung jawabnya. Daftar distributor resmi yang terdapat di Kabupaten Banyumas disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Daftar distributor dan wilayah tanggung jawabnya Nama Distributor 1. CV Hasil Tani 2. CV Mitra Tani
3. PT PPI
4. CV Karya Tani
5. CV Jayanti
6. PT Pertani 7. KUD Mekar Tani
8. CV Reski Utama
9. CV Sumber Hasil
10. KUD Aris
Kecamatan Lumbir Wangon Sokaraja Kebasen Purwojati Kalibagor Jatilawang Rawalo Baturanden Kedungbanteng Purwokerto Utara Kembaran Sumbang Purwokerto Timur Patikraja Cilongok Pekuncen Ajibarang Gumelar Sumpiuh Kemranjen Somagede Purwokerto Barat Purwokerto Selatan Tambak Karanglewas Banyumas
Sumber : Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Banyumas (2010)
34
Setelah pupuk sampai pada distributor pupuk tersebut akan diangkut oleh pengecer yang ada di kecamatan untuk dijual pada petani atau kelompok tani yang membutuhkan pupuk tersebut. Petani yang sebelumnya telah diarahkan oleh Petugas Penyuluh Lapang (PPL), masing-masing petani akan mendapatkan kartu kendali untuk menandai seberapa banyak pupuk yang sudah diambil oleh petani tersebut. Jika jumlah batasan yang ditentukan telah mencapai quota maka petani tersebut tidak diperkenankan lagi untuk membeli di pengecer tersebut. Siklus ini akan berulang untuk tahun yang berikutnya dengan dimulainya pembuatan RDKK oleh kelompok tani di akhir tahun. Dalam kondisi nyatanya di Banyumas, alokasi pupuk yang telah direncanakan pada awal bulan untuk suatu wilayah bisa saja tidak tepat baik kekurangan stok maupun kelebihan stok karena tingkat penyerapan pupuk yang berbeda, untuk itu pemerintah pusat biasanya menyediakan pupuk persediaan nasional setidaknya 7% dari jumlah total yang diproduksi pada tahun itu. Untuk tahun 2010 ini cadangan pupuk nasional untuk pupuk urea adalah 400.000 ton pupuk siap distribusi. Penyerapan pupuk yang berbeda di setiap daerah ini disebabkan perbedaan agroclimate dan musim pada suatu daerah tertentu. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk di wilayah yang mengalami kekurangan pasokan dapat dilakukan dengan merealokasi pupuk dari wilayah lainnya yang penyerapannya dari alokasi yang telah ditetapkan. Adapun mekanisme untuk melakukan realokasi pupuk di suatu wilayah adalah : 1. Realokasi antar kecamatan dalam wilayah kabupaten atau kota ditetapkan oleh bupati dengan mempertimbangkan usulan dari dinas teknis setempat. 2. Realokasi antar kota atau kabupaten dalam wilayah provinsi ditetapkan oleh gubernur atas usul bupati dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari dinas teknis setempat. 3. Realokasi antar provinsi ditetapkan oleh Direktur Jendral Tanaman Pangan atas usul dari Gubernur (Ditjentan 2010).
4.3 Permasalahan Kelangkaan Pupuk Kabupaten Banyumas sebagai salah satu daerah percontohan pertanian pastilah tidak lepas dari berbagai macam permasalahan yang ada akibat distribusi pupuk yang kurang baik. Penyediaan bahan baku produksi yang baik seperti pupuk dan benih tentunya akan membuahkan hasil yang baik pula, oleh karena itu pemerintah daerah Banyumas selalu berusaha untuk mengatasi segala kendala dalam pertanian tanaman pangan untuk meningkatkan produktivitas sawah terutama segala permasalahan tentang kelangkaan pupuk urea. Dalam sistem distribusi pengadaan dan penyaluran pupuk, titik rawan yang sering menjadi masalah adalah titik pada rantai pasok terakhir, dimana pada setiap rantai pasok terdapat berbagai permasalahan yang akhirnya permasalahan tersebut menumpuk dan harus ditanggung oleh rantai yang terakhir. Untuk mengatasi kelangkaan yang ada di Kabupaten Banyumas, pemerintah daerah membentuk Komisi Pengawasan Pupuk yang beranggotakan instansi-instansi terkait seperti pihak kepolisian, dinas pertanian, punyuluhan, dan dinas perindustrian. Dari komisi inilah pengawasan dan inspeksi mendadak sering dilakukan untuk menertibkan penyaluran dan pengadaan pupuk bersubsidi dari pemerintah. Namun demikian kendala kelangkaan terkadang tetap terjadi walaupun telah dilakukan pengawasan yang tergolong ketat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa tempat di Banyumas didapatkan bahwa masalah umum penyaluran dan pengadaan pupuk bersubsidi yang sering terjadi antara lain :
35
1. 2. 3. 4. 5.
Ketepatan peramalan kebutuhan pupuk bersubsidi yang digunakan petani. Efektifitas pengawasan penyaluran pupuk oleh pemerintah daerah. Perbedaan penyerapan pupuk bersubsidi di setiap daerah. Alokasi pupuk bersubsidi. Dosis pemupukan oleh petani. Aktor yang dianggap berperan penting untuk meningkatkan kelancaran distribusi dan mengurangi kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas tentunya adalah aktor yang berada di tingkat kabupaten. Aktor-aktor tersebut antara lain adalah distributor, pengecer, kelompok tani dan Petani itu sendiri. Dari permasalahan tersebut dapat digali lebih dalam berbagai masalah khusus dari setiap pelaku pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi pemerintah di Kabupaten Banyumas. Dengan penggalian masalah lebih dalam ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang masalah sebenarnya yang merupakan akar permasalahan dari penyaluran pupuk bersubsidi di Kabupaten Banyumas. Permasalahan tentang distribusi pengadaan dan penyaluran pupuk bisa ditinjau dari prinsip enam tepat seperti yang dijelaskan pada Permendag No 07/M-DAG/PER/2/2009. Namun pada bagian berikut akan dijabarkan masalah yang diperkirakan mampu menyebabkan kelangkaan pupuk bersubsidi pemerintah di Kabupaten Banyumas berdasarkan pelaku yang beroperasi di tingkat kabupaten :
Distributor 1) Kendala birokrasi 2) Banyaknya pungutan liar yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. 3) Kendala waktu pengiriman yang kadangkala terlambat dari produsen.
Pengecer 1) Masalah RDKK : pupuk yang sudah disalurkan oleh distributor tidak ditebus oleh petani. 2) Adanya pungutan liar dari masyarakat dengan mengatas-namakan aparat dengan alasan mencari-cari kesalahan. 3) Adanya permintaan pupuk dari petani namun tidak melalui mekanisme (RDKK). 4) Masih adanya lead-time sejak pengajuan sampai pupuk datang. 5) Kesulitan penjualan untuk pupuk yang rusak kemasan/bocor (5-10 karung dalam 1 truk) selama proses pengangkutan. 6) Kendala penjadwalan alokasi kepada Kelompok Tani karena besarnya permintaan tidak sebanding dengan jumlah/ketersediaan pupuk yang diperoleh dari distributor. 7) Adanya biaya tambahan seperti biaya angkutan dan bongkar muat.
Kelompok Tani 1) Kekurangan jumlah pupuk UREA karena musim tanam tiba. 2) Prosedur RDKK yang tidak sesuai. 3) Masalah distribusi pupuk yang berawal dari distributor. 4) Prosedur realokasi masih sangat kurang baik.
Petani 1) Kendala kemampuan finansial dalam pembelian pupuk. 2) Adanya paket pembelian dari pemerintah (HET Rp 1600 untuk setiap 50 kg Pupuk UREA) dan tidak berlaku eceran.
36
3) Penyaluran pupuk masih belum tepat sasaran (belum sesuai RDKK). 4) Penerapan penggunaan kartu kendali yang kurang baik. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah daerah di Banyumas tidak hanya berdiam diri. Berikut adalah beberapa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Banyumas untuk mengatasi permasalahan kelangkaan pupuk Urea yang terjadi : 1) Penambahan kuota pupuk untuk sub-sektor pertanian. 2) Meningkatkan komunikasi yang lebih intensif antara kabupaten dengan provinsi, untuk berkoordinasi lebih baik lagi. 3) Perbaikan mekanisme penyaluran melalui pengecer agar tepat sasaran kepada petani. 4) Proses pemilihan distributor dilakukan lebih ketat (perbaikan/pengetatan mekanismepersyaratan penunjukan distributor) . 5) Pemberian sanksi yang tegas pada semua pelanggar peraturan yang mengakibatkan kelangkaan pupuk. Selain masalah-masalah di atas, mungkin masih banyak permasalahan lain yang dapat menyebabkan kelangkaan pupuk dan mengganggu proses distribusi pupuk bersubsidi. Hal inilah yang akan selalu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Kabupaten Banyumas.
37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Persiapan Data Analisis Jaringan Syaraf Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data faktor penyebab kelangkaan pupuk yang telah dipilih baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pemilihan faktor penyebab kelangkaan pupuk berasal dari studi literatur dan hasil wawancara dengan para pakar dan pelaku pendistribusian pupuk yang ada di Kabupaten Banyumas. Menurut Dewi (2009) faktor yang menyebabkan kelangkaan pupuk antara lain adalah kecukupan jumlah produksi pupuk Urea, penggunaan dosis pupuk yang berlebihan, pengecer menimbun / memberikan pupuk kepada penebus terbesar, peramalan masa tanam yang kurang tepat, distribusi pupuk bersubsidi yang tidak tepat sasaran, keterlambatan pengiriman karena kondisi tertentu, dan terjadinya perembesan keluar daerah subsidi lain. Dari hasil wawancara diperoleh faktor-faktor penyebab kelangkaan pupuk antara lain adalah data luas lahan yang tidak valid di daerah, permintaan yang meningkat di awal musim tanam, adanya perbedaan harga antara pupuk subsidi dan nonsubsidi, besarnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah, dan perubahan harga gabah di tingkat petani. Menurut pakar, faktor-faktor tersebutlah yang memiliki hubungan keterkaitan dengan masalah penelitian ini, yaitu faktor yang dimungkinkan dapat menyebabkan kelangkaan pupuk. Faktor- faktor yang didapatkan dari studi literatur dan hasil wawancara digabungkan dan dicek kembali dengan menggunakan pendapat salah seorang pakar. Hasil penilaian ini adalah 12 faktor yang dianggap sebagai penyebab kelangkaan pupuk yang terjadi di Kabupaten Banyumas. Setelah faktor-faktor tersebut didapatkan, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis awal untuk mempersiapkan data sebelum data tersebut akan diproses lebih lanjut dalam jaringan syaraf Backpropagation. Analisis yang akan dilakukan ini adalah pengidentifikasian faktor kritis penyebab kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas. Analisis identifikasi faktor krtitis penyebab kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas ini dilakukan dengan dua tahap dengan menggunakan bantuan penilaian pakar (Expert Judgement). Tahap pertama adalah dengan melakukan urutan prioritas terhadap pengaruh suatu faktor terhadap kejadian kelangkaan yang terjadi. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses (Marimin 2004). Dalam MPE ini dilakukan dua tahapan penilaian oleh seorang pakar, tahapan pertama adalah penilaian untuk menentukan bobot dari masing-masing kriteria dengan menggunakan model penilaian perbandingan berpasangan. Setelah bobot masing-masing kriteria didapatkan, tahapan selanjutnya adalah penilaian perhitungan skor untuk setiap alternatif faktor penyebab kelangkaan pupuk. Model penilaian yang dilakukan adalah dengan model penilaian skala ordinal (generik). Model penilaian skala ordinal ini dinilai dengan skala 1-5, dimana nilai (1) artinya sangat sedikit, (2) sedikit, (3) biasa, (4) banyak dan (5) sangat banyak. Dari hasil penilaian pakar, didapatkan hasil seperti yang disajikan pada Tabel 5.
38
Tabel 5. Hasil perhitungan skor Alternatif dengan Metode MPE
Alternatif Faktor Kecukupan Jumlah Produksi Pupuk Urea Penggunaan dosis pupuk yang berlebihan Pengecer menimbun / memberikan pupuk kepada penebus terbesar Peramalan Masa tanam yang kurang tepat Distribusi Pupuk bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Keterlambatan pengiraman karena kondisi tertentu. Data luas lahan yang tidak valid di daerah Permintaan yang meningkat di awal musim tanam Terjadinya Perembesan Keluar daerah Subsidi lain Adanya Disparitas Harga (perbedaan harga antara pupuk subsidi dan nonsubsidi) Besarnya Subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Perubahan Harga Gabah di tingkat petani. BOBOT Keterangan : A = Biaya penanggulangan B = Frekuensi krisis
Kriteria Peniaian A B C D
Nilai
Ranking
3 1
4 3
4 4
3 2
518 340
3 5
4 3
2 4
2 3
1 4
37 344
8 4
3
3
2
3
103
6
3 2
1 1
2 3
3 3
23 87
9 7
4
5
4
4
889
1
2
2
2
3
37
8
4
4
5
4
889
1
3 3 1
2 4 4
5 4 4
4 3 1
648 518
2 3
C = Dampak bagi petani D = Kemudahan penanganan.
Dari hasil penilaian skor tersebut didapatkan urutan prioritas faktor penyebab kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas. Faktor dengan nilai terendah (keterlambatan pengiriman karena kondisi tertentu, pengecer menimbun atau memberikan pupuk kepada penebus terbesar, dan terjadinya perembesan keluar daerah subsidi lain) akan dieliminasi dan tidak dilanjutkan pada analisis di tahap berikutnya, yaitu penilaian dengan menggunakan AHP. Tahapan analisis berikutnya adalah penilaian pakar dengan menggunakan teknik AHP. Sama halnya dengan analisis pada tahapan sebelumnya, analisis dengan menggunakan AHP ini juga membutuhkan penilaian pakar untuk mendapatkan bobot yang akan menentukan prioritas dari suatu faktor yang memiliki pengaruh yang paling besar terhadap kelangkaan yang terjadi. Perbedaan AHP dan MPE ini terletak pada cara penilaian di mana pada MPE penilaian dilakukan hanya dengan melihat nilai dari faktor itu sendiri sedangkan pada AHP penilaian dilakukan dengan membandingkan satu faktor dengan faktor yang lain dan dilihat dari tingkat kepentingan dari level sebelumnya. Oleh karena itu penilaian AHP ini lebih terstruktur dan lebih menyeluruh.
39
Dalam menilai pembobotan dalam hierarki ini digunakan bantuan software Expert Choice. Berikut adalah hasil penilaian yang telah dilakukan oleh beberapa pakar yang telah disatukan dengan bantuan software ini.
Gambar 16. Bobot hasil penilaian pakar dengan metode AHP Dari hierarki tersebut dapat dilihat bahwa pada aktor yang berperan penting dalam menangani kelangkaan pupuk yang terjadi di Kabupaten Banyumas adalah Pemerintah. Dimana pemerintah memiliki peran penting dan strategis untuk bertindak dan melakukan penanganan terhadap segala masalah kelangkaan yang terjadi. Selanjutnya dapat dilihat pula bahwa faktor penyebab kelangkaan yang terjadi di Banyumas adalah karena perbedaan margin yang terlalu besar diantara harga pupuk subsidi dan pupuk yang tidak bersubsidi. Menurut Drajat (2005) Permasalahan kelangkaan pupuk yang terjadi pada Lini I, Lini III dan Lini IV sebenarnya bersumber pada dua hal berikut yaitu : 1. 2.
Disparitas harga domestik dan ekspor terlalu tinggi, sehingga terjadi ekspor pupuk (disparitas harga bisa mencapai AS$ 50 per ton). Disparitas harga pupuk bersubsidi dan pupuk tidak bersubsidi terlalu tinggi dimana harga pupuk bersubsidi terlalu rendah (disparitas harga normal Rp 850 per kg). Hal ini memicu perembesan pupuk dari pertanian tanaman pangan dan perkebunan rakyat ke perkebunan besar.
Dari hierarki tersebut juga terlihat bahwa untuk mengatasi kelangkaan tersebut pemerintah dapat melakukan perubahan sistem manajerial terutama dalam menentukan perbedaan harga pupuk yang bersubsidi dan yang tidak bersubsidi. Misalnya dengan menetapkan harga tertinggi bagi pupuk nonsubsidi sehingga selisih harga yang ditimbulkan dapat terkontrol. Faktor yang memiliki bobot paling kecil dari hasil analisis adalah ketidakvalidan data luas tanah pertanian yang dicantumkan dalam RDKK. Nilai ini dianggap tidak terlalu berpengaruh karena perubahan luas lahan yang dicantumkan dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan, kalaupun ada perubahan biasanya sedikit. Faktor yang memiliki bobot paling kecil inilah yang akan dieliminasi sehingga tersisa delapan faktor kritis yang dapat menyebabkan kelangkaan di Kabupaten Banyumas.
40
5.1.1 Perincian Data Setelah delapan faktor yang diperkirakan dapat menyebabkan kelangkaan di Banyumas dari hasil penilaian pakar maka faktor-faktor tersebut dikelompokan untuk dijabarkan menjadi data yang lebih terperinci. Data yang lebih terperinci inilah yang akan menjadi masukan pada JST yang akan dikembangkan. Adapun perincian data berdasarkan faktor penyebab kelangkaannya adalah sebagai berikut : 1. Perbedaan harga pupuk subsidi dan nonsubsidi (Harga pupuk subsidi, Harga HET, Harga Pupuk tidak bersubsidi, Selisih harga, dll). 2. Distribusi tidak tepat sasaran (Perkiraan jumlah pupuk yang hilang / loss ). 3. Besarnya subsidi pemerintah (Anggaran APBN Subsidi Pupuk, Besarnya Subsidi Gas Amonia, Nilai Tukar Rupiah pada Dolar, dll). 4. Permintaan pupuk yang tinggi di awal musim tanam (Jumlah pemakaian pupuk urea daerah, jumlah pupuk yang tersedia untuk bulan tanam). 5. Kecukupan jumlah produksi pupuk (Alokasi Urea untuk Kabupaten Banyumas, Alokasi Urea untuk Kecamatan Banyumas). 6. Harga Gabah di tingkat Petani (Harga GKG, Harga GKP, Harga Gabah Kualitas Rendah, Harga Beras). 7. Pemakaian dosis tidak tepat (Anjuran dosis pemerintah, dosis pupuk yang digunakan petani). 8. Peramalan masa tanam tidak tepat (Data waktu tanam, data curah hujan, data waktu panen).
5.1.2 Pemilihan Masukan Data Setelah data dikelompokan dalam kelompok data yang lebih terperinci, langkah selanjutnya adalah menentukan data yang akan diintegrasikan dengan sistem deteksi dini menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan. Pemilihan atribut masukan pada jaringan ini ditentukan berdasarkan metode kausalitas dimana dalam metode ini melakukan pemilihan atribut masukan jaringan syaraf tiruan berdasarkan dampak atau sebab akibat antar atribut. Seperti yang telah dijabarkan pada analisis data pada tahap sebelumnya bahwa data-data tersebut adalah faktor yang diperkirakan dapat menyebabkan kelangkaan pupuk apabila porsi data yang seharusnya tidak terpenuhi, sehingga seluruh data di atas adalah data yang bersifat kausalitas. Pada penelitian ini atribut-atribut data mengenai kualitas kelangkaan pupuk dan sumber data yang dipilih adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Selisih harga pupuk subsidi dan nonsubsidi (Permentan dan Dintan Banyumas) (X1) Perkiraan jumlah pupuk yang hilang (Dintan Banyumas) (X2) Anggaran dana pemerintah untuk subsdi pupuk (BPS) (X3) Jumlah ketersediaan pupuk urea daerah (Dintan Banyumas) (BPS) (X4) Alokasi urea untuk Per-Kecamatan di Banyumas (Dintan Banyumas) (X5) Harga gabah kering iling (BPS) (X6) Dosis pupuk yang digunakan petani (Dintan Banyuams) (X7) Data curah hujan kecamatan di Banyumas (BPS dan Dintan Banyumas) (X8)
41
Dari pemilihan atribut data masukan ini didapatkan delapan data yang lebih terperinci yang diperkirakan memiliki dampak yang nyata sebagai penyebab adanya kelangkaan pupuk yang terjadi di Kabupaten Banyumas sehingga dapat dijadikan sebagai parameter untuk sinyal-sinyal kelangkaan pupuk yang akan terjadi.
5.1.3 Persiapan Akhir data Setelah data yang akan digunakan sebagai masukan pada jaringan telah ditentukan, langkah selanjutnya adalah menyusun data tersebut ke dalam sebuah matriks besar secara berurutan agar data tersebut dapat diidentifikasikan. Data yang akan digunakan adalah data delapan atribut tersebut pada setiap kecamatan di Banyumas selama kurun waktu tiga tahun dimulai dari tahun 2006 hingga tahun 2008. Dari data tersebut didapatkan 81 paket data yang siap untuk dianalisis. Namun sebelum melakukan analisis lebih lanjut, 81 Paket data tersebut dinormalisasi terlebih dahulu untuk memudahkan proses pembelajaran dan agar sesuai dengan fungsi aktivasi yang akan digunakan. Normalisasi dilakukan dengan range 0.1 hingga 0.9. Data yang telah didapatkan tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu data untuk pelatihan dan data yang digunakan sebagai pengujian. Dalam penelitian ini 80% data digunakan sebagai data pelatihan dan 20% digunakan sebagai data pengujian, atau dengan kata lain 66 paket data digunakan sebagai data pelatihan dan 15 data digunakan sebagai data pengujian. Berdasarkan literatur yang ada hingga kini tidak ada aturan baku untuk menentukan ukuran jumlah baik data set pelatihan atau data uji. Pada percobaan ini delapan atribut tersebut selanjutnya akan digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan, data input disajikan dalam Lampiran 2. Dari hasil literatur belum ditemukan tingkat kelangkaan pupuk yang terjadi di Kabupaten Banyumas. Oleh karena itu, pada percobaan tingkat kelangkaan pupuk dibuat berdasarkan hasil wawancara dan studi literatur dengan batasan parameter penentuan tersebut hanya berdasarkan tiga tepat yaitu, ketepatan jumlah kebutuhan pupuk, ketepatan waktu, dan ketepatan harga pupuk seperti yang telah dijelaskan dalam ruang lingkup sebelumnya. Parameter tersebut didapatkan dari hasil wawancara yang menyebutkan bahwa jumlah pupuk dapat digunakan sebagai patokan terjadinya krisis, selain itu dari studi literatur menyebutkan bahwa pupuk baru bermakna ketika memenuhi setidaknya dua tepat. Tepat yang pertama adalah tepat waktu yang berarti ketika dibutuhkan pada saat mulai musim tanam seperti saat ini petani bisa mendapatkannya, dan yang kedua adalah tepat harga (Suswono 2008). Selanjutnya penentuan intensitas krisis dilakukan dengan pembobotan yang didapatkan dari hasil analisis AHP yang telah dimodifikasi. Dari hasil analisis tersebut ditentukan tingkat kelangkaan pupuk manjadi tiga level yaitu aman, normal dan rawan. Penentuan tingkat kerawanan tersebut didasarkan pada parameter yang tersedia pada Tabel 6. Perhitungan penentuan tingkat kerawanan berdasarkan AHP dapat dilihat dalam Lampiran 4. Tabel 6. Parameter Penentuan Tingkat Kerawanan Berdasarkan Prinsip tiga Tepat Waktu (berdasarkan Curah Hujan) (mm/bln)
Jumlah (bedasarkan persentase ketersediaan pupuk) (%)
Harga (berdasarkan selisih harga pupuk subsidi) (Rp)
Aman
< 100
> 85
< 500
Biasa
100 - 200
80 – 85
500 - 1000
Rawan
> 200
< 80
> 1000
Bobot
0.165
0.379
0.456
42
Tiga tingkat kerawanan tersebut ditransformasikan menjadi sebuah bilangan bulat kecil, tingkat kerawanan tersebut adalah : 1. Aman 1 2. Normal 2 3. Rawan 3 Level kelangkaan pupuk tersebutlah yang akan dijadikan target pelatihan dan juga akan digunakan sebagai alat untuk memvalidasi dan mengukur kemampuan kerja dari jaringan syaraf tiruan yang akan dikembangkan sebagai sistem deteksi dini. Adapun nilai diluar tersebut akan diberi keterangan raguragu karena jaringan dianggap belum mengenali pola tersebut.
5.2 Model Jaringan Syaraf Tahapan selanjutnya adalah mempersiapkan arsitektur jaringan yang terbaik yang diharapkan dapat mengenali pola yang akan dilatihkan terhadap jaringan tersebut. Pada tahapan ini penentuan arsitektur jaringan diperoleh dari metode Trial and Error dan juga referensi dari penelitian sebelumnya yang dianggap dapat mewakili kondisi pada pola yang akan dikembangkan ini. Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 3, arsitektur jaringan yang akan dikembangkan meliputi penentuan learning rate dan momentum, penentuan fungsi aktivasi, pemilihan bobot awal, penentuan jumlah iterasi, penentuan jumlah layer, jumlah neuron hidden layer, neuron input, neuron output dan toleransi error berdasarkan MSE. Gambar arsitektur jaringan yang dikembangkan dapat dilihat pada Lampiran 1. Untuk menentukan fungsi aktivasi, pemilihan bobot awal, penentuan jumlah iterasi, toleransi error berdasarkan MSE, jumlah hidden layer, neuron input, dan jumlah neuron output didasarkan pada penelitian terdahulu. Ketentuan arsitektur jaringan yang akan dikembangkan ini dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan untuk menentukan jumlah neuron pada hidden layer dan menentukan learning rate dan momentumnya serta algoritma pembelajarannya akan digunakan metode trial and error untuk mendapatkan kinerja terbaik berdasarkan nilai error MSE terkecil. Untuk menentukan jumlah minimal neuron dalam suatu hidden layer dapat digunakan persamaan berikut : nh = ½ (ni+no) + √ndt Keterangan : nh = Jumlah minimal neuron dalam hidden layer ni = Jumlah neuron input no = Jumlah neuron output ndt = Jumlah data pelatihan (Skapura 1996 dalam Salya 2006) Dari persamaan di atas didapatkan bahwa neuron pada hidden layer minimal untuk mendapatkan kinerja yang baik adalah 13 neuron. Nilai tersebut adalah nilai minimal jumlah hidden layer yang dibutuhkan menurut Skapura (1996). Penambahan jumlah neuron pada hidden layer dapat membuat jaringan mampu menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik maka akan diujikan beberapa alternatif arsitektur jaringan yang disajikan pada Tabel 7.
43
Tabel 7. Alternatif Penentuan Arsitektur Jaringan Karakteristik Spesifikasi Laju pembelajaran 0.005, 0.3, 0.2, dan 0.1 Momentum 0.005, 0.1, 0.6 dan 0.9 Neuron Hidden layer 1 dan 2 (20; 10), (40, 20) dan (60, 30) Algoritma Pembelajaran Traingdx dan Trainlm Setelah spesifikasi arsitektur jaringan ditentukan langkah, selanjutnya adalah melakukan pengujicobaan terhadap jaringan dengan ketentuan seperti yang telah ditetapkan di atas. Hasil yang diperoleh dari pengujian untuk menentukan arsitektur jaringan yang terbaik dinilai dari error yang dihasilkan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Pengujian Learning Rate, Momentum dan Learning Algorithm Learning Learning Momentum MSE Epoch Algorithm Rate 0.005 0.005 4.75e-13 37 Trainlm 0.3 0.1 2.65e-09 2 0.2 0.6 4.28e-07 79 0.1 0.9 1.20e-07 39 0.005 0.005 0.0138 5000 Traingdx 0.3 0.1 0.0175 5000 0.2 0.6 0.0116 5000 0.1 0.9 0.00938 5000 Dari hasil di atas arsitektur dengan learning rate dan momentum dengan nilai masing-masing 0.005 memiliki nilai error yang paling kecil jika dibandingkan dengan yang lain. Dari hasil tersebut maka diputuskan bahwa nilai learning rate dan momentum yang digunakan adalah 0.005 dengan learning algorithm nya adalah trainlm. Sedangkan pengujian dengan kombinasi learning rate dan momentum dengan menggunakan algoritma pembelajaran traingdx tidak ada yang bisa mencapai target error, yaitu 0.0000005 (5.10-7). Traingdx adalah fungsi pelatihan jaringan yang mengupdate bobot neuron dan nilai-nilai bias sesuai dengan momentum penurunan gradient dan laju pembelajaran adaptif. Hasil pegujian dengan traingdx dengan target yang tidak tercapai disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Pegujian dengan Traingdx dengan target yang tidak tercapai
44
Dalam algoritma backpropagation dengan menggunakan momentum, perubahan bobot didasarkan atas gradien yang terjadi untuk pola yang dimasukkan saat itu. Momentum akan membuat jaringan melakukan penyesuaian bobot yang lebih besar selama koreksinya memiliki arah yang sama dengan pola ada. Sedangkan learning rate yang kecil digunakan untuk mencegah respon yang terlalu besar terhadap error dari satu pola proses belajar. Tahapan selanjutnya adalah pengujian untuk menentukan jumlah neuron pada hidden layer pertama dan kedua. Hasil pengujian jumlah neuron pada Hidden Layer disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil pengujian jumlah neuron pada Hidden Layer Hidden 1 Hidden 2 MSE Epoch 20 10 1.54e-07 40 40 20 2.91e-08 41 60 30 2.55e-09 66 Hasil pengujian untuk menentukan jumlah neuron pada hidden layer 1 dan 2 menunjukkan bahwa hasil terbaik diperoleh oleh kombinasi antara 60 neuron untuk hidden layer 1 dan 30 untuk hidden layer 2, yaitu dengan nilai MSE terkecil. Maka dengan diperolehnya hasil ini, konfigurasi yang terbaik untuk model pelatihan jaringan syaraf tiruan dengan pola data yang ada telah didapatkan.
5.3 Pelatihan Jaringan Syaraf Setelah didapatkan konfigurasi arsitektur jaringan yang dianggap paling baik, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pelatihan dengan data pelatihan yang telah dipersiapkan. Sebelum melakukan pelatihan terlebih dahulu dibuat jaringan Backpropagation dengan menggunakan MATLAB. Pembentukan jaringan Backpropagation di MATLAB dengan perintah newff, dan dilanjutkan dengan konfigurasi seperti yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada pembentukan jaringan ini juga ditentukan algoritma pelatihan yang digunakan dan juga metode perubahan bobot yang digunakan. Pada percobaan ini algoritma pelatihan yang digunakan adalah trainlm (Levenberg-Marquardt backpropagation Algorithms). Algoritma trainlm seringkali merupakan algoritma backpropagation tercepat di MATLAB, dan sangat direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk algoritma yang diawasi, meskipun membutuhkan memori lebih dari algoritma yang lain (Matworks Online 2010). Selain itu ditentukan juga metode perubahan bobot yang akan digunakan. Pada percobaan ini digunakan metode learngdm, yang merupakan metode default yang direkomendasikan oleh MATLAB. Setelah semua parameter ditentukan dan algoritma pelatihan beserta metode perubahan bobot ditentukan langkah selanjutnya adalah menginputkan data pelatihan yang akan dilatihkan kedalam MATLAB. Gambar data pelatihan yang telah di inputkan dan telah di normalisasi dapat dilihat pada Gambar 18.
45
Gambar 18. Data yang akan dilatihkan pada jaringan Pada gambar tersebut terdapat sembilan kolom yang masing-masing kolom merepresentasikan data atribut yang telah dipilih sebagai masukan jaringan. Kolom 1 hingga 8 merepresentasikan (X1 – X8) sedangkan kolom 9 adalah intensitas level kelangkaan yang dijadikan target keluaran. Setelah data masukan yang sudah dinormalisasi telah dinputkan semua maka tahap selanjutnya adalah melakukan pelatihan jaringan. Pelatihan ini bertujuan agar jaringan mampu mengenali pola yang diinputkan. Gambar 19 menunjukkan grafik hasil pelatihan yang telah dilakukan dengan menggunakan 66 data pelatihan.
Gambar 19. Grafik hasil pelatihan jaringan Parameter yang ditentukan dalam pelatihan ini adalah nilai MSE 0.0000005 (5.10-7). Namun hasil pelatihan jaringan mampu mendapatkan nilai Error yang lebih kecil yaitu 0.00000000531 (5.31.10-9) dengan 38 iterasi. Nilai ini menandakan bahwa performa yang didapatkan lebih baik dan telah melampaui batas yang telah ditentukan. Gambar di atas juga menandakan bahwa pola data yang telah dilatihkan telah dapat dikenali dan siap untuk dilakukan pengujian dan validasi.
5.4 Pengujian Jaringan Syaraf Pengujian dilakukan dengan menggunakan sisa data yang telah disiapkan sebagai data pengujian. Jumlah data yang akan dilatihkan berjumlah 15 paket data yang dipilih secara acak dari 46
total data yang didapatkan. Pengujian dilakukan pada jaringan yang telah dilatih sebelumnya menggunakan 66 paket data. Data yang akan diujikan juga sebelumnya harus dimasukan dalam suatu matriks dan diinputkan ke dalam MATLAB. Grafik hasil pengujian dengan 15 paket data dapat dilihat pada Gambar 20. Dalam gambar tersebut dapat dilihat adanya garis biru dan lingkaran berwarna hijau. Garis berwarna biru merupakan data target (aktual) sedangkan lingkaran berwarna hijau menunjukkan hasil pengujian data percobaan. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, didapatkan tingkat kesalahan berdasarkan MSE sebesar 0.47 dengan tingkat akurasi atau ketepatan deteksi sebesar 75.04%. Nilai ini memiliki arti dari 15 data pengujian yang diujikan 75.04% datanya atau sekitar 11 data memiliki ketepatan dengan data aktual. Perhitungan MSE dan MPAE serta perbandingan antara data aktual dengan data hasil pengujian dapat dilhat pada Lampiran 5.
Gambar 20. Grafik hasil Pengujian JST Data hasil pengujian tersebut merupakan bilangan desimal, sedangkan level kelangkaan yang ditentukan merupakan bilangan bulat antara 1 hingga 3. Untuk itu perlu adanya pembulatan bilangan desimal tersebut agar menjadi bilangan bulat. Untuk merubah bilangan desimal menjadi bilangan bulat digunakan fungsi round di MATLAB. Dengan pembulatan hasil pengujian tersebut tentunya akan merubah kemampuan atau error antara data aktual dengan data hasil pengujian yang telah dibulatkan tersebut. Grafik hasil pengujian JST antara data aktual dengan hasil simulasi kelangkaan pupuk yang telah dibulatkan dapat dilihat pada Gambar 21. Pada grafik tersebut dapat dilihat ada garis biru dan juga bulatan kecil berwarna merah. Seperti halnya pada grafik sebelumnya, garis berwarna biru menunjukkan data aktual sedangkan bulatan kecil berwarna merah menandakan data hasil simulasi atau pengujian yang telah dibulatkan menjadi bilangan bulat. Dari hasil pembulatan tersebut didapatkan nilai error MSE sebesar 0.46. Nilai ini lebih baik sebanyak 0.01 jika dibandingkan dengan nilai MSE yang tidak menggunakan pembulatan. Sedangkan tingkat akurasi juga meningkat menjadi 84.44% atau meningkat sebanyak 9.40%. Peningkatan kinerja tersebut dapat dilihat dengan lingkaran merah yang menempel dan berhimpitan pada garis berwarna biru.
47
Gambar 21. Hasil Pengujian JST dengan pembulatan nilai simulasi Hasil di atas menunjukkan bahwa jaringan tersebut telah dapat mengenali pola-pola lain di luar pola yang telah dilatihkan dan dapat digunakan untuk mendeteksi kelangkaan pupuk yang akan terjadi. Penyimpangan jaringan dalam mendeteksi level kelangkaan bisa dimungkinkan karena data pengujian masih terlalu asing dan tidak memiliki pola yang sama dengan beberapa pola data pelatihan. Menurut Effendy et al. (2008), kegagalan suatu jaringan dalam memprediksi suatu nilai sebenarnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena variabel input yang berjumlah banyak maka idealnya data yang dilatihkan tidak hanya sedikit. Karena semakin banyak jenis atau tipe yang dilatihkan, jaringan akan semakin baik mengenali pola-pola tertentu.
5.5 Bentuk dan Interface Program EWS Kemampuan jaringan dalam mendeteksi pola kelangkaan yang terjadi dapat dimanfaatkan sebagai prototipe untuk mengembangkan EWS agar mudah digunakan oleh semua pihak yang bersangkutan. Dalam tahapan ini dibuatlah sebuah aplikasi prototipe yang diharapkan bisa mendeteksi sinyal kelangkaan dari delapan masukan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk memudahkan dalam penggunaan jaringan yang telah dikembangkan sebagai EWS maka dibuatlah sebuah tampilan muka agar lebih mudah dioperasikan. Prototipe ini diawali dengan adanya welcome screen dan beberapa fitur bantuan agar pengguna bisa mengerti cara menggunakan program ini. Untuk memulai analisis maka user perlu menekan tombol “Mulai Analisa” agar program dapat masuk ke halaman utama. Gambar interface halaman utama program dapat dilihat pada Gambar 22. Setelah masuk ke halaman utama, untuk menggunakan program ini user harus menentukan lokasi kecamatan yang akan diuji. Setelah memilih maka tahapan selanjutnya adalah menginputkan data yang dianggap dapat menyebabkan kelangkaan. Setelah data semua terinput dengan baik. Untuk menganalisis user cukup dengan menekan tombol Analisa maka level kelangkaan pupuk pada suatu kecamatan dapat terdeteksi dengan cepat dan effisien.
48
Gambar 22. Tampilan Muka dari EWS kelangkaan Pupuk Untuk menilai kemampuan JST dalam mendeteksi kelangkaan pupuk urea sedini mungkin, maka dipilihlah satu kecamatan sebagai contoh yaitu Kecamatan Baturaden. Berikut adalah hasil deteksi menggunakan Sitem Deteksi Dini dan tampilan muka program EWS dengan inputan parameter yang dimiliki Kecamatan Baturaden.
Gambar 23. Contoh Penggunaan Prototipe Deteksi Dini Keluaran hasil deteksi dini ini berupa informasi tingkat kelangkaan pupuk dan juga nilai skor krisis dalam angka. Hasil tersebut menandakan bahwa Kecamatan Baturaden berpotensi mengalami kerawanan. Hal ini dimungkinkan karena selain memiliki lahan pertanian yang luas ( ± 3800 ha ), Baturaden juga merupakan daerah pegunungan yang subur sehingga permintaan akan pupuk pasti besar. Permintaan yang tinggi inilah yang memicu adanya kelangkaan pupuk terutama jenis urea. Dengan adanya informasi dari hasil deteksi dini ini dan atribut yang menjadi inputan JST, hasil tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan protokol kelangkaan pupuk urea bersubsidi. Berdasarkan analisis bobot jaringan syaraf yang terbentuk (dilihat dari besarnya bobot dan fluktuasi bobot) dapat pula diketahui atribut input jarigan yang memiliki faktor yang dianggap penyebab utama kelangkaan pupuk yang terjadi. Urutan faktor tersebut secara adalah adalah :
49
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Selisih harga pupuk subsidi dan non-subsidi (X1) Jumlah ketersediaan pupuk urea daerah (X4) Dosis pupuk yang digunakan petani (X7) Perkiraan jumlah pupuk yang hilang (X2) Alokasi urea untuk Per-Kecamatan di Banyumas (X5) Anggaran dana pemerintah untuk subsdi pupuk (X3) Harga gabah kering giling (X6) Data curah hujan kecamatan di Banyumas (X8)
Nilai ini ternyata tidak jauh berbeda dengan dua urutan pertama faktor kritis yang dinilai oleh pakar. Hasil tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan protokol kelangkaan pupuk urea bersubsidi. Data bobot hasil ujicoba sistem dapat dilihat pada Lampiran 5.
5.6 Hasil Verifikasi Pada Sub bab 5.5 telah dilihat hasil dan tampilan dari prototipe program deteksi dini yang telah dikembangkan. Penilaian pada Sub bab sebelumnya hanya dilakukan pada Kecamatan Baturaden. Untuk mengetahui keakuratan dan hasil ujicoba yang telah dilakukan pada bagian ini akan ditampilkan hasil keluaran jaringan dalam mendeteksi tingkat kelangkaan di Banyumas pada tahun 2008. Tabel 10. Hasil Ujicoba dan Verifikasi Pendeteksian Kelangkaan Pupuk di 27 Kecamatan Kecamatan Lumbir Wangon Jatilawang Rawalo Kebasen Kemranjen Sumpiuh Tambak Somagede Kalibagor Banyumas Patikraja Purwojati Ajibarang Gumelar Pekuncen Cilongok Karanglewas Sokaraja Kembaran Sumbang Baturaden Kedung Banteng Purwokerto Sel. Purwokerto Brt. Purwokerto Tim. Purwokerto Utr.
NiIai JST 2.400056864 1.999976439 2.100033318 0.510034695 1.799963621 3.300012057 3.000009908 1.999989073 2.201341108 1.999959898 1.699958183 2.190057754 1.999986881 2.220004175 2.999946249 2.999954012 1.999966695 1.699991319 1.669957643 1.888979588 2.200012961 3.330121421 2.200040641 2.000087337 2.300104119 1.000136741 0.999980172
Nilai Aktual 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 1
Keterangan Normal Normal Normal Ragu-Ragu Normal Rawan Rawan Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Rawan Rawan Normal Normal Normal Normal Normal Rawan Normal Normal Normal Aman Aman
50
Hasil tersebut adalah hasil deteksi yang dilakukan pada seluruh kecamatan di Kabupaten Banyumas berdasarkan data pada tahun 2008. Nilai keluaran JST dan Nilai aktual kondisi kelangkaan pupuk tidak jauh berbeda. Hasil tersebut tentunya mendefinisikan bahwa jaringan telah dapat dgunakan untuk melakukan deteksi kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas.
5.7 Implikasi Manajerial Pupuk sebagai salah satu komoditas penting dan memiliki peran strategis bagi pertanian Indonesia tentunya pasti mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Salah satu bentuk perhatian itu adalah dengan dibuatnya Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) baik di tingkat nasional, provinsi, hingga ke tingkat kabupaten sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian. Pembentukan Komisi ini dilakukan atas dasar alasan untuk melindungi petani dan menjaga agar proses pengadaan dan penyaluran pupuk dapat berlangsung dengan baik. Namun demikian, kendala demi kendala tidak dapat dihindari mulai dari adanya ekspor pupuk gelap, hingga HET yang melonjak naik karena di suatu tempat kekurangan pasokan pupuk. Selama ini pemerintah khususnya komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida mungkin lebih banyak bertindak setelah suatu kasus kelangkaan terjadi. Sedangkan apabila penanganan kelangkaan pupuk dilakukan setelah kelangkaan terjadi, tentunya sudah ada yang menjadi korban terutama petani yang menanggung beban harga pupuk yang berada di luar peratuan HET. Oleh sebab itu, dengan adanya sistem desain JST Deteksi Dini ini diharapkan dapat mendukung pemberlakuan kebijakan yang lebih baik dalam penentuan tindakan sebelum masa kelangkaan pupuk terjadi. Selain itu penggunaan sistem deteksi dini ini diharapkan dapat menentukan level krisis kelangkaan pupuk secara lebih akurat, efisien dan efektif sehingga kebijakan pemerintah tentang tindakan penanganan kelangkaan pupuk dapat segera terwujud. Bagi petani tentunya dengan adanya penerapan sistem ini, mereka lebih terbantu dalam menjalankan tugasnya untuk meningkatkan produktivitas mereka tanpa harus khawatir tentang kebutuhan pupuk untuk musim tanam selanjutnya. Dengan adanya penerapan desain EWS ini jumlah petani yang harus menanggung beban karena harga pupuk yang berada jauh di atas HET dapat dikurangi. Implikasi lainnya adalah terhadap pabrik pupuk, distributor dan pengecer tentunya mereka harus segera memperbaiki diri untuk meningkatkan kualitas proses pengadaan dan penyaluran pupuk secara nyata dalam memenuhi kriteria dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Konsekuensinya apabila produsen, distributor dan pengecer gagal dalam menjalankan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pupuk bagi petani tentunya akan ada sanksi khusus dari pemerintah. Oleh sebab itu, dengan adanya sistem desain EWS untuk memprediksi level kelangkaan pupuk yang akan terjadi di suatu daerah dapat memberikan alternatif penanganan baik dari pihak pemerintah, produsen, distributor maupun pengecer untuk segera melakukan koordinasi yang lebih intens. Dengan adanya prototipe ini selain berdampak terhadap aktor yang berperan dalam distribusi pupuk juga akan berpengaruh terhadap sumberdaya manusia yang mungkin akan menggunakan prototipe ini. Karena untuk bisa merekayasa dan meningkatkan kinerja jaringan diperlukan adanya pelatihan tambahan yang harus dilakukan penambahan data yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Sehingga dimungkinkan perlu adanya training khusus untuk menggunakan sistem ini dan juga untuk maintenance sistem ini. Selain itu juga diperlukan adanya sistem jaringan database dari instansi yang terkait yang memungkinkan user untuk bisa mengakses data terbaru yang bisa digunakan sebagai data pelatihan maupun data pengujian untuk meningkatkan kinerja sistem deteksi ini. Prototipe sistem deteksi berperan sebagai pencegah dan penduga apakah dalam suatu musim/bulan tersebut kedepannya akan terjadi krisis atau tidak. Sehingga untuk meningkatkan
51
manajeman krisis kelangkaan pupuk perlu dilakukan pendeteksian yang berkala berdasarkan data pertanian setiap bulan yang dilakukan di pertengahan bulan. Data yang digunakan tentunya adalah data rata-rata setengah bulan terakhir dengan tujuan untuk mendeteksi kondisi untuk bulan itu dan memperkirakan kondisi bulan kedepannya dengan prototipe ini. Karena diharapkan dengan data pada pertengahan bulan dapat mewakili kondisi bulan tersebut dan juga kondisi bulan yang akan datang. Apabila hasil pendeteksian menunjukkan tingkat kerawanan, maka langkah pertama yang dilakukan adalah menelaah hasil deteksi sistem dan mengidentifikasi faktor apakah yang menyebabkan kelangkaan dan apa yang perlu ditangani oleh pihak terkait.
52
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Penelitian ini merupakan langkah awal untuk menyusun protokol sistem deteksi dini yang dikembangkan untuk mencegah krisis penyediaan pupuk khususnya bagi petani padi. Dalam tahapan ini protokol masih dalam tahap prototipe atau masih pada taraf ujicoba. Jaringan syaraf yang dikembangkan pada prototipe ini menunjukkan tingkat akurasi pendeteksian hingga 84.4% dan tingkat MSE sebesar 0.4 dengan pengujiaan terhadap data baru yang diujikan sesuai dengan target (data aktual). Nilai tersebut menunjukkan dari 15 data pengujian yang dilakukan, 11 pola data dapat teridentifikasi dengan baik dan 4 data masih belum teridentifikasi secara baik. Hal ini menunjukkan tingkat kesalahan yang diperoleh pada jaringan syaraf tiruan ini tergolong kecil. Dari penelitian ini juga didapatkan urutan parameter krisis penyebab kelangkaan pupuk terutama jenis urea. Hasil ini diperoleh dari analisis pengidentifikasian faktor kritis penyebab kelangkaan pupuk menggunakan teknik AHP. Urutan parameter krisis dari yang terbesar hingga terkecil adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Selisih harga pupuk subsidi dan non-subsidi (X1) Jumlah ketersediaan pupuk urea daerah (X4) Alokasi urea untuk Per-Kecamatan di Banyumas (X5) Anggaran dana pemerintah untuk subsdi pupuk (X3) Harga gabah kering giling (X6) Dosis pupuk yang digunakan petani (X7) Perkiraan jumlah pupuk yang hilang (X2) Data curah hujan kecamatan di Banyumas (X8)
Urutan ini agak sedikit berbeda jika dibandingkan urutan prioritas berdasarkan analisis bobot jaringan syaraf. Urutan pertama hingga ketiga berdasarkan bobot jaringan syaraf adalah X1, X4 dan X7. Perbedaan yang terjadi tidak cukup mencolok karena urutan pertama dan keduanya sama. Perbedaan ini dimungkinkan karena data yang digunakan sebagai data pelatihan masih kurang, sehingga pola yang pasti masih belum terbentuk sesuai dengan penilaian pakar. JST pada Early Warning Sistem yang dikembangkan pada dasarnya siap untuk diterapkan sebagai manajeman krisis kelangkaan pupuk bersubsidi, karena jaringan telah mampu mendeteksi pola-pola yang sesuai dengan kondisi nyata. Namun pengujian lanjut memang masih dibutuhkan untuk menilai kinerja dari sistem ini. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan pemerintah dapat menggunakan metode jaringan syaraf propagasi balik dalam melakukan deteksi kelangkaan pupuk. Hasil deteksi ini dapat membantu pihak pemerintah dalam melakukan penanganan prakrisis berdasarkan hasil deteksi jaringan berdasarkan lokasi kecamatan.
6.2 Saran Hambatan utama dalam melakukan pengujian jaringan pada penelitian ini adalah sulitnya dalam memperoleh data, maka perlu adanya kerjasama dengan pemerintah dalam hal penyediaan data yang baik. Sistem Deteksi Dini dengan jaringan syaraf tiruan ini akan lebih akurat lagi bila data yang
53
digunakan adalah data series yang cukup banyak. Beberapa saran yang dapat menyempurnakan penelitian ini adalah : 1. 2.
3.
4.
Adanya pelatihan tambahan untuk menilai ulang dan mengukur kinerja jaringan. Selain itu juga perlu adanya metode penelitian yang lebih adaptif seperti metode Hybrid. Jika dimungkinkan perlu adanya pengembangan Sistem Deteksi Dini untuk manajemen krisis pupuk ini dalam cakupan yang lebih luas, yaitu cakupan nasional bukan hanya untuk kabupaten. Karena ketersediaan data untuk cakupan nasional lebih mudah didapatkan daripada data di tingkat kabupaten. Perlu adanya studi atau pendalaman dan penambahan metode terhadap cara identifikasi tingkat kelangkaan pupuk yang terjadi di Banyumas sehingga penentuan level krisis benar-benar tepat dan tidak meleset. Perlu adanya penambahan sistem basis data dan input yang lebih terintegrasi pada prototipe sistem deteksi dini ini untuk memudahkan user dalam menggunakan prototipe ini.
54
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2000. Tabel Input-Output Indonesia Jilid I. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Barton, Dominic, Newell R., G. Wilson. 2002. Dangerous Markets: Managing in Financial Crisis. Willey Finance Series. ISBN 0-471-22686-6. USA. Chiselm R, dan Marilu M. 1978. Principles of Economics. dalam Taufik Ardi. Analisis Pencabutan subsidi pupuk terhadap sektor pertanan di Indonesia (Analisis input output sisi penawaran) [Skripsi].Institut Pertanian Bogor, Bogor. Eriyatno. 1989. Analisa Sistem Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Eriyatno. 1998. Manajemen Pada Situasi Kritis – Aplikasi Pada Kelembagaan Sistem Distribusi. Perencanaan Pembangunan 12 : 3-8. Darwis V, dan A. Rozany. 2004. Kebijakan Distribusi, Tingkat Harga dan Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi 22(1): 63-73. Departemen Pertanian. 1995. Vademekum Bimas. Sekretarian Badan Pengendalian Bimas. Jakarta. Dewi S R, dan Raning J. K. 2009. Evaluasi Faktor-Faktor Penyebab Kelangkaan Pupuk Persubsidi [Skripsi]. Universitas Kristen Petra, Surabaya. Dhaneswara G, Dan Veronica S. M. 2004. Jaringan Syaraf Tiruan Propagasi Balik Untuk Klasifikasi Data. Integral 9 (3) : 117 -131. Dinas Pertanian. 2009. Statistik Pertanian Indonesia 2007-2008. Ditjentan. Jakarta. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Subsdi Pupuk Tahun 2010. Pupuk. Ditjentan. Jakarta. Drajat B, dan Wayan R S. 2005. Kebijakan Subsidi Pupuk Pada Subsektor Perkebunan: Dampak dan Pengelolaan. http://www.ipard.com/art_perkebun/jul08-05_wrs+bd.asp. [1 Nov 2010]. Effendy N, Subagja, Amir F. 2008. Prediksi Penyakit Jantung Koroner (PJK) Berdasarkan Faktor Risiko Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation. SNATI 1(1):E19-E24. Fausett L. 1994. Fundamentals of Neural Networ, Architecture, Algoritm And Application. PrinticeHall. Inc. London. Fink S. 1986. Crisis Management: Planning For Inevitable. American Management Association, New York. Hendri A. 2010. Penerapan Backpropagation Neural Network Untuk Peramalan Penjualan Produk Susu [Skripsi]. Bogor : Faultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hermawan A. 2006. Jaringan Syaraf Tiruan : Teori dan Aplikasi. Penerbit Andi. Yogyakarta. Salya H D. 2006. Rekayasa Model Sistem Deteksi Dini Perniagaan Minyak Goreng Kelapa Sawit [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Horner C F, dan L M Liebster. 1980. Dictionary of Business Terms. dalam Taufik Ardi. Analisis Pencabutan subsidi pupuk terhadap sektor pertanan di Indonesia (Analisis input output sisi penawaran) [Skripsi].Institut Pertanian Bogor, Bogor.
55
Hu X. 2003. DB-H Reduction: A Data Preprocessing Algorithm for Data Mining Applications. Applied Math Letters, vol. 16, pp. 889-895. Indrawanto C, Eriyatno, Anas M, Machfud, Sukardi, Noer S. 2008. Forecasting of Vetiver Prices: An Application of Artificial Neural Network Method. Indonesian Journal of Agricuture 1(1): 58-63. Manning W A. 1984. Decision Making: How a Microcomputer Aids the Process. Journal Quality of Technology. Maksi-PPKS-BPTP. 2009. Evaluasi dan Perbaikan Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi Nasional untuk Petani Kelapa Sawit. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grassindo. Mathworks Online. 2010. Function - Neural Network Toolbox. http://www.mathworks.com/ help/toolbox/nnet/. [31 Okt 2010]. Pertiwi R D. 2005. Analisis Kelangkaan Pupuk Urea dalam Pengadaan dan Penyaluran Pupuk di Jawa Barat [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pusparianti A R. 2008. Peramalan Kurs Rupiah terhadap Dolar dengan Jaringan Syaraf Tiruan Propagasi Balik. Skripsi. Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor. Puspita B H. 2002. Analisis Pengambilan Keputusan Strategi Bauran Pemasaran Pupuk Urea Pada PT Pupuk Kujang (Persero) Cikampek, Jawa Barat [Skripsi], Institut Pertanian Bogor, Bogor. Renaldy, Bernard. 2007. Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Propagasi Balik Studi Kasus Pengenalan Jenis Kopi. Jurnal Informatika. 3(1):49-42. Rich E, and Kevin K. 1991. Artificial Intelligence. McGraw Hill Book. Singapura. Saaty T L. 1980. The Analytical Hierarchi Process : Planning Priority Setting, Resources Alocation. Mc Graw Hill Inc. Book Company. New York. Satria S. 1994. Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan Asuransi Kerugian di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Siang J J. 2009. Jaringan Syaraf Tiruan dan Pemprogramannya Menggunakan MATLAB. Andi Offset. Yogyakarta. Seminar K B, Marimin, Nuri A, Yayuk F, Yenny H, Mohammad S. 2009. Studi Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Pangan Dengan Simulasi Model Dinamis Dan Komputasi Cerdas. Penelitian Strategis Unggulan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Skapura D M. 1996. Building Neural Network. dalam Indrawanto. Forecasting of Vetiver Prices: an Application of Artificial Neural Network Method. Indonesian Journal of Agriculture 1(1). 2008: 58-63 Suswono, 2008. Solusi Kelangkaan Pupuk bersubsidi. http://c-tinemu.blogspot.com/2008/12/solusikelangkaan-pupuk-bersubsidi.html. [20 Okt 2010]. Wong B K. Vincent S. and Jolie L. 2000. A Bibliography of Neural Network Business Applications. Research : 1994–1998, Comput. Oper. Res. 27 (1045–1076).
56
Yu L, Chen H, Wang K. 2009. An Integrated Data Preparation Scheme for Neural Network Data Analysis. International Jurnal of Evolving least squares support vector machines for stock market trend mining IEEE Transactions on Evolutionary Computation v.13 n.1, p.87-102. Yusdja Y, dan Ketut K. 2005. Kajian Sistem Distribusi Pupuk dan Usulan Penyempurnaannya : Kasus di Tiga Provinsi di Jawa. Analisis Kebijakan Pertanian. 3(3):201-216.
57
LAMPIRAN
58
Lampiran 1. Arsitektur JST Propagasi Balik Untuk Deteksi Kelangkaan Pupuk
Keterangan : X1 = Selisih Harga Pupuk subsidi dan non-subsidi (Rp/Kg) X2 = Perkiraan jumlah pupuk yang hilang (Ton) X3 = Anggaran Dana Pemerintah untuk Subsdi Pupuk (Trilliun/Tahun) X4 = Jumlah ketersediaan pupuk urea daerah (Ton) X5 = Alokasi Urea untuk Per-Kecamatan di Banyumas (Ton) X6 = Harga Gabah Kering Giling (Rp/Kg) X7 = Dosis pupuk yang digunakan petani (Kg/ha) X8 = Data curah Hujan kecamatan di Banyumas (mm/Bulan) Y = Ountput Jaringan ( Intensitas [1, 2, 3] ) 1 = Nilai Awal bias
59
Lampiran 2. Data Input Jaringan Syaraf Tiruan
Kecamatan
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
Target Keluaran Krisis
2006 Lumbir
950
15.04
4.18
602
752
2250
300
61
2
Wangon
1150
20.1
4.18
804
1005
2250
250
31
2
Jatilawang
1150
18.24
4.18
730
912
2250
300
204
2
Rawalo
1050
18.64
4.18
746
932
2250
300
152
2
Kebasen
950
11.32
4.18
453
566
2250
250
166
1
Kemranjen
1050
16.82
4.18
673
841
2250
250
236
2
Sumpiuh
1050
15.8
4.18
632
790
2250
200
226
3
Tambak
1050
17.5
4.18
700
875
2250
250
192
2
Somagede
450
5
4.18
200
250
2250
300
175
2
Kalibagor
850
11.92
4.18
477
596
2250
300
159
1
Banyumas
750
8.94
4.18
358
447
2250
250
162
1
Patikraja
950
16.24
4.18
731
812
2250
300
87
2
Purwojati
950
16.38
4.18
737
819
2250
300
177
1
Ajibarang
1000
16.4
4.18
738
820
2250
300
173
1
Gumelar
950
17.6
4.18
748
880
2250
250
241
2
Pekuncen
1050
21.44
4.18
911
1072
2250
250
239
2
Cilongok
1050
23.14
4.18
983
1157
2250
250
191
2
Karanglewas
950
9.52
4.18
405
476
2250
250
189
2
Sokaraja
950
12.66
4.18
538
633
2250
300
163
2
Kembaran
950
9.08
4.18
386
454
2250
250
158
2
Sumbang
1150
25.82
4.18
1097
1291
2250
250
132
2
Baturaden
1050
17.88
4.18
760
894
2250
300
276
3
Kedung Banteng
1050
18.56
4.18
789
928
2250
200
92
2
Purwokerto Sel.
450
3.12
4.18
133
156
2250
250
141
2
Purwokerto Brt.
450
2.24
4.18
95
112
2250
250
135
2
Purwokerto Tim.
450
1.78
4.18
76
89
2250
250
143
2
Purwokerto Utr. 2007
450
2.62
4.18
111
131
2250
300
139
1
Lumbir
950
15.54
6.79
622
777
2357
350
48
2
Wangon
1150
20.76
6.79
830
1038
2357
300
19
2
Jatilawang
1150
18.84
6.79
754
942
2357
350
185
2
Rawalo
1050
19.26
6.79
770
963
2357
350
142
2
Kebasen
950
11.7
6.79
468
585
2357
300
145
2
1050
17.38
6.79
695
869
2357
300
221
2
16.34
6.79
654
817
2357
250
212
2
Kemranjen Sumpiuh
1050
60
Tambak Somagede
1050
18.08
6.79
723
904
2357
300
168
1
450
5.16
6.79
206
258
2357
350
156
3
Kalibagor
850
12.32
6.79
493
616
2357
350
135
2
Banyumas
750
9.24
6.79
416
462
2357
300
142
2
Patikraja
950
16.78
6.79
755
839
2357
350
73
2
Purwojati
950
25.38
6.79
761
846
2357
350
153
1
Ajibarang
1000
25.44
6.79
763
848
2357
350
154
1
Gumelar
950
27.27
6.79
773
909
2357
300
229
2
Pekuncen
1050
33.24
6.79
942
1108
2357
300
221
2
Cilongok
1050
35.85
6.79
1016
1195
2357
300
166
2
950
14.76
6.79
418
492
2357
300
171
2
Karanglewas Sokaraja
950
19.65
6.79
557
655
2357
350
142
2
Kembaran
950
14.07
6.79
399
469
2357
300
143
2
40.02
6.79
1134
1334
2357
300
116
3
Sumbang
1150
Baturaden
1050
27.69
6.79
785
923
2357
350
266
2
Kedung Banteng
1050
28.77
6.79
815
959
2357
250
84
2
Purwokerto Sel.
450
4.83
6.79
137
161
2357
300
121
2
Purwokerto Brt.
450
3.48
6.79
99
116
2357
300
121
1
Purwokerto Tim.
450
2.76
6.79
78
92
2357
300
121
2
115
135
2357
350
121
1
69
2
Purwokerto Utr. 2008
450
4.05
6.79
Lumbir
950
24.33
14.1
649
811
2410
350
Wangon
1150
32.52
14.1
867
1084
2410
300
38
2
Jatilawang
1150
29.52
14.1
787
984
2410
350
214
2
Rawalo
1050
30.15
14.1
804
1005
2410
350
159
2
950
18.33
14.1
489
611
2410
300
164
2
Kemranjen
1050
27.21
14.1
726
907
2410
300
249
3
Sumpiuh
1050
25.59
14.1
682
853
2410
350
241
3
1050
28.32
14.1
708
944
2410
300
168
2
450
8.07
14.1
202
269
2410
350
169
2
19.29
14.1
482
643
2410
350
165
2
Kebasen
Tambak Somagede Kalibagor
850
Banyumas
750
14.49
14.1
362
483
2410
300
159
2
Patikraja
950
26.28
14.1
657
876
2410
350
77
2
Purwojati
950
26.52
14.1
663
884
2410
350
179
2
Ajibarang
1000
26.55
14.1
664
885
2410
350
164
2
Gumelar
950
28.47
14.1
712
949
2410
300
242
3
Pekuncen
1050
34.71
14.1
868
1157
2410
300
249
3
Cilongok
1050
37.44
14.1
936
1248
2410
300
188
2
950
15.42
14.1
386
514
2410
300
174
2
Karanglewas Sokaraja
950
20.52
14.1
513
684
2410
350
158
2
Kembaran
950
14.7
14.1
368
490
2410
300
146
2
Sumbang
1150
41.79
14.1
1045
1393
2410
300
143
2
28.92
14.1
723
964
2410
350
284
3
Baturaden
1050
61
Kedung Banteng
1050
30.03
14.1
751
1001
2410
350
111
2
Purwokerto Sel.
450
72.3
14.1
126
168
2410
300
142
2
Purwokerto Brt.
450
72.3
14.1
91
121
2410
300
134
2
Purwokerto Tim.
450
72.3
14.1
72
96
2410
300
146
1
Purwokerto Utr.
450
72.3
14.1
106
141
2410
350
141
1
62
Lampiran 3. Hasil Normalisasi Data Input Jaringan Syaraf Tiruan
Kecamatan
Target Keluaran Krisis
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
Lumbir
0.671
0.250
0.100
0.499
0.507
0.100
0.633
0.227
2
Wangon
0.900
0.308
0.100
0.651
0.662
0.100
0.367
0.136
2
Jatilawang
0.900
0.287
0.100
0.595
0.605
0.100
0.633
0.658
2
Rawalo
0.786
0.291
0.100
0.607
0.617
0.100
0.633
0.502
2
Kebasen
0.671
0.208
0.100
0.387
0.393
0.100
0.367
0.544
1
Kemranjen
0.786
0.271
0.100
0.553
0.561
0.100
0.367
0.755
2
Sumpiuh
0.786
0.259
0.100
0.522
0.530
0.100
0.100
0.725
3
Tambak
0.786
0.278
0.100
0.573
0.582
0.100
0.367
0.622
2
Somagede
0.100
0.137
0.100
0.196
0.199
0.100
0.633
0.571
2
Kalibagor
0.557
0.215
0.100
0.405
0.411
0.100
0.633
0.523
1
Banyumas
0.443
0.181
0.100
0.315
0.320
0.100
0.367
0.532
1
Patikraja
0.671
0.264
0.100
0.596
0.544
0.100
0.633
0.305
2
Purwojati
0.671
0.266
0.100
0.601
0.548
0.100
0.633
0.577
1
Ajibarang
0.729
0.266
0.100
0.602
0.548
0.100
0.633
0.565
1
Gumelar
0.671
0.279
0.100
0.609
0.585
0.100
0.367
0.770
2
Pekuncen
0.786
0.323
0.100
0.732
0.703
0.100
0.367
0.764
2
Cilongok
0.786
0.342
0.100
0.787
0.755
0.100
0.367
0.619
2
Karanglewas
0.671
0.188
0.100
0.351
0.337
0.100
0.367
0.613
2
Sokaraja
0.671
0.223
0.100
0.451
0.434
0.100
0.633
0.535
2
Kembaran
0.671
0.183
0.100
0.336
0.324
0.100
0.367
0.520
2
Sumbang
0.900
0.373
0.100
0.872
0.837
0.100
0.367
0.441
2
Baturaden
0.786
0.283
0.100
0.618
0.594
0.100
0.633
0.876
3
Kedung Banteng
0.786
0.290
0.100
0.640
0.615
0.100
0.100
0.320
2
Purwokerto Sel.
0.100
0.115
0.100
0.146
0.141
0.100
0.367
0.468
2
Purwokerto Brt.
0.100
0.105
0.100
0.117
0.114
0.100
0.367
0.450
2
Purwokerto Tim.
0.100
0.100
0.100
0.103
0.100
0.100
0.367
0.474
2
Purwokerto Utr. 2007
0.100
0.110
0.100
0.130
0.126
0.100
0.633
0.462
1
Lumbir
0.671
0.256
0.310
0.514
0.522
0.635
0.900
0.188
2
Wangon
0.900
0.315
0.310
0.671
0.682
0.635
0.633
0.100
2
Jatilawang
0.900
0.294
0.310
0.613
0.623
0.635
0.900
0.601
2
Rawalo
0.786
0.298
0.310
0.626
0.636
0.635
0.900
0.471
2
Kebasen
0.671
0.213
0.310
0.398
0.404
0.635
0.633
0.480
2
Kemranjen
0.786
0.277
0.310
0.569
0.579
0.635
0.633
0.710
2
Sumpiuh
0.786
0.265
0.310
0.538
0.547
0.635
0.367
0.683
2
2006
63
Tambak
0.786
0.285
0.310
0.591
0.600
0.635
0.633
0.550
1
Somagede
0.100
0.138
0.310
0.201
0.204
0.635
0.900
0.514
3
Kalibagor
0.557
0.220
0.310
0.417
0.423
0.635
0.900
0.450
2
Banyumas
0.443
0.185
0.310
0.359
0.329
0.635
0.633
0.471
2
Patikraja
0.671
0.270
0.310
0.615
0.560
0.635
0.900
0.263
2
Purwojati
0.671
0.368
0.310
0.619
0.564
0.635
0.900
0.505
1
Ajibarang
0.729
0.368
0.310
0.621
0.566
0.635
0.900
0.508
1
Gumelar
0.671
0.389
0.310
0.628
0.603
0.635
0.633
0.734
2
Pekuncen
0.786
0.457
0.310
0.755
0.725
0.635
0.633
0.710
2
Cilongok
0.786
0.487
0.310
0.811
0.779
0.635
0.633
0.544
2
Karanglewas
0.671
0.247
0.310
0.361
0.347
0.635
0.633
0.559
2
Sokaraja
0.671
0.303
0.310
0.465
0.447
0.635
0.900
0.471
2
Kembaran
0.671
0.239
0.310
0.346
0.333
0.635
0.633
0.474
2
Sumbang
0.900
0.534
0.310
0.900
0.864
0.635
0.633
0.393
3
Baturaden
0.786
0.394
0.310
0.637
0.612
0.635
0.900
0.846
2
Kedung Banteng
0.786
0.406
0.310
0.660
0.634
0.635
0.367
0.296
2
Purwokerto Sel.
0.100
0.135
0.310
0.149
0.144
0.635
0.633
0.408
2
Purwokerto Brt.
0.100
0.119
0.310
0.120
0.117
0.635
0.633
0.408
1
Purwokerto Tim.
0.100
0.111
0.310
0.105
0.102
0.635
0.633
0.408
2
Purwokerto Utr. 2008
0.100
0.126
0.310
0.132
0.128
0.635
0.900
0.408
1
Lumbir
0.671
0.356
0.900
0.535
0.543
0.900
0.900
0.251
2
Wangon
0.900
0.449
0.900
0.699
0.710
0.900
0.633
0.157
2
Jatilawang
0.900
0.415
0.900
0.639
0.649
0.900
0.900
0.688
2
Rawalo
0.786
0.422
0.900
0.651
0.662
0.900
0.900
0.521
2
Kebasen
0.671
0.288
0.900
0.414
0.420
0.900
0.633
0.539
2
Kemranjen
0.786
0.388
0.900
0.592
0.602
0.900
0.633
0.793
3
Sumpiuh
0.786
0.370
0.900
0.560
0.569
0.900
0.900
0.771
3
Tambak
0.786
0.401
0.900
0.579
0.625
0.900
0.633
0.549
2
Somagede
0.100
0.171
0.900
0.198
0.210
0.900
0.900
0.552
2
Kalibagor
0.557
0.299
0.900
0.409
0.440
0.900
0.900
0.542
2
Banyumas
0.443
0.244
0.900
0.319
0.342
0.900
0.633
0.523
2
Patikraja
0.671
0.378
0.900
0.541
0.583
0.900
0.900
0.276
2
Purwojati
0.671
0.381
0.900
0.545
0.588
0.900
0.900
0.584
2
Ajibarang
0.729
0.381
0.900
0.546
0.588
0.900
0.900
0.537
2
Gumelar
0.671
0.403
0.900
0.582
0.628
0.900
0.633
0.772
3
Pekuncen
0.786
0.474
0.900
0.699
0.755
0.900
0.633
0.793
3
Cilongok
0.786
0.505
0.900
0.751
0.811
0.900
0.633
0.609
2
Karanglewas
0.671
0.255
0.900
0.336
0.361
0.900
0.633
0.568
2
Sokaraja
0.671
0.313
0.900
0.432
0.465
0.900
0.900
0.518
2
Kembaran
0.671
0.247
0.900
0.323
0.346
0.900
0.633
0.484
2
Sumbang
0.900
0.554
0.900
0.833
0.900
0.900
0.633
0.473
2
Baturaden
0.786
0.408
0.900
0.590
0.637
0.900
0.900
0.900
3
64
Kedung Banteng
0.786
0.420
0.900
0.611
0.660
0.900
0.900
0.376
2
Purwokerto Sel.
0.100
0.900
0.900
0.141
0.148
0.900
0.633
0.470
2
Purwokerto Brt.
0.100
0.900
0.900
0.114
0.120
0.900
0.633
0.446
2
Purwokerto Tim.
0.100
0.900
0.900
0.100
0.104
0.900
0.633
0.482
1
Purwokerto Utr.
0.100
0.900
0.900
0.125
0.132
0.900
0.900
0.467
1
Catatan : Data yang berwarna merah adalah data yng digunakan sebagai pengujian, dan sisa data digunakan sebagai data pelatihan.
65
Lampiran 4. Penentuan Tingkat Kelangkaan Pupuk Parameter penilaian yang digunakan Waktu (berdasarkan Curah Hujan) (mm/bln)
Jumlah (bedasarkan persentase ketersediaan pupuk) (%)
Harga (berdasarkan selisih harga pupuk subsidi) (Rp)
Aman
< 100
> 85
< 500
Biasa
100 - 200
80 - 85
500 – 1000
Rawan
> 200
< 80
> 1000
Bobot
0.165
0.379
0.456
Hasil Penilaian Berdasarkan bobot Parameter.
Harga 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Waktu 61 31 204 152 166 236 226 192 175 159 162 87 177 173 241 239 191 189 163 158 132 276 92 141 135 143 139 48
Jumlah 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 90% 90% 90% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 80%
Harga 950 1150 1150 1050 950 1050 1050 1050 450 850 750 950 950 1000 950 1050 1050 950 950 950 1150 1050 1050 450 450 450 450 950
Nilai Berdasar Parameter 1 2 2 1 2 3 3 2 3 3 2 3 2 2 2 3 2 3 3 2 3 2 2 3 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 1 2 2 1 2 3 2 2 3 2 3 3 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 3 1 2 3 2 2 1 2 2 1 2 2 1 2 2 1 1 2 2
Hasil 2 2 2 2 1 2 3 2 2 1 1 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 1 2
66
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
19 185 142 145 221 212 168 156 135 142 73 153 154 229 221 166 171 142 143 116 266 84 121 121 121 121 69 38 214 159 164 249 241 168 169 165 159 77 179 164 242
80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 90% 90% 90% 90% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 85% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 75% 75% 75% 75% 75% 75% 75% 75%
1150 1150 1050 950 1050 1050 1050 450 850 750 950 950 1000 950 1050 1050 950 950 950 1150 1050 1050 450 450 450 450 950 1150 1150 1050 950 1050 1050 1050 450 850 750 950 950 1000 950
1 2 2 2 3 3 2 2 2 2 1 2 2 3 3 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 1 1 3 2 2 3 3 2 2 2 2 1 2 2 3
2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 2 3 3 3 1 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 3 3 3 1 1 1 1 2 3 3 3 2 3 3 3 1 2 2 2 2 2 2
2 2 2 2 2 2 1 3 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 2 3
67
70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
249 188 174 158 146 143 284 111 142 134 146
75% 75% 75% 75% 75% 75% 75% 75% 75% 75% 75%
1050 1050 950 950 950 1150 1050 1050 450 450 450
3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 2 2 2 3 3 3 1 1 1
3
81 BOBOT
141 0.165
75% 0.379
450 0.456
2
3
1
1
2 2 2 2 2 3 2 2 2 1
Keterangan : Kondisi aman Kondisi normal Kondisi Rawan
( ditandai dengan nilai 1) ( ditandai dengan nilai 2) ( ditandai dengan nilai 3)
68
Lampiran 5. Perbandingan dan Perhitungan Nilai MSE dan MAPE dari Data Pengujian
Tabel Perbandingan Nilai Keluaran Jaringan dengan data aktual Nilai Rata-rata Error
Aktual
2
3
2
3
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
1
Output
2.07
2.43
3.44
2.85
2.14
1.90
1.72
1.78
1.18
2.30
2.39
0.16
1.38
1.66
0.86
MSE
0.00495
0.32641
2.08794
0.02369
0.01870
0.01045
0.08014
0.05010
0.67181
0.08840
0.15528
3.39735
0.14545
0.11568
0.02039
0.478
MAPE
3.51808
19.0442
72.2485
5.13076
6.83704
5.11113
14.1543
11.1917
40.9820
14.8657
19.7024
92.1594
38.1373
17.0059
14.2808
24.958
Persentase Akurasi Jarigan
75.04 %
Grafik Perbandingan Nilai Keluaran Jaringan dengan data aktual
Perbandingan data Aktual dan Data Pengujian Data aktual
Data Pengujian
3,44 3
3 2,85
2,43 2,07 2
2,14 2
2
2 1,90
2 1,72
2 1,78
2,39 2
2,30 2
2
2
2 1,66
1,38 1
1,18
1 0,86
0,16 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
69
Tabel Perbandinngan Nilai Keluaraan Jaringan yang Teelah dibulatkan denngan data Aktual Nilai Rata-rata Error
Aktual
2
3
2
3
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
1
Output
2
2
3
3
2
2
2
2
1
2
2
0
1
2
1
MSE
0
1
1
0
0
0
0
0
1
0
0
4
0
0
0
0.467
MAPE
0
33.333
500
0
0
0
0
0
50
0
0
100
0
0
0
15.5556
Perseentase Aku urasi Jariingan
84.44 44 %
Grafik Perbandiingan Nilai Keluaraan Jaringan yang T Telah dibulatkan deengan data Aktual
Perbaandingan d data Aktuaal dan Dataa Pengujian
2
3
3
2
2
Data aktual
3
2
2
Data Pengujian
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 0
11
12
13
14
1 15
70
Lampiran 6. Data bobot hasil ujicoba sistem Neuron
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
1
-1.63371
-4.39455
0.55343
2.39017
-0.36376
1.19542
1.68893
1.29140
2
1.69503
-1.57959
2.96594
-1.96381
2.01225
2.85190
-1.78421
0.62539
3
1.48403
3.12500
1.35309
-0.47790
2.67268
1.95792
-2.77337
1.18432
4
0.63205
-0.05248
3.25585
-3.03602
-1.30081
0.56111
-3.06713
-1.52326
5
-1.20044
3.00071
-3.29926
1.18140
-2.15656
-0.51063
-2.93572
-0.84503
6
-0.90261
2.43373
3.25919
2.60725
2.97530
-1.30709
0.48401
2.52776
7
-0.43309
-2.85859
-2.61220
2.17954
-0.36174
1.53965
2.20373
2.55827
8
-0.71614
2.16596
-3.17955
2.35307
0.14417
-3.47595
1.87218
-0.39577
9
-2.31784
1.38944
0.91333
-0.70245
-2.56713
-3.16217
-2.81721
-1.59565
10
0.03700
2.98308
-0.95002
-1.03198
-2.64287
1.89674
-3.47225
-0.55572
11
-3.26047
0.55514
-1.16775
-3.16159
2.74633
-0.96655
1.24620
-1.37040
12
0.56456
1.03404
2.47824
2.60547
4.04802
0.69405
-0.14039
-1.81847
13
-2.94527
-2.62706
-1.26065
-2.59119
-0.63849
-1.30955
0.05750
-2.44825
14
2.38118
-1.92849
0.68199
-3.33029
2.13938
1.37005
-1.32181
-2.20166
15
2.65717
-3.25145
-0.25398
-1.54708
3.37966
-0.94624
-1.20252
0.01280
16
-0.65621
-0.09312
-1.44603
3.48290
3.25961
1.07899
2.26777
-2.87894
17
2.79960
-1.11132
1.92702
1.02685
2.02792
2.92524
-0.40775
2.48161
18
3.55900
-1.39776
0.70265
-0.67365
1.49331
-2.61430
2.21568
-2.31142
19
3.12261
-0.05150
-2.72507
2.26733
-1.98659
-0.37363
-1.85016
-2.01609
20
-2.31174
-2.11435
-1.53602
1.14424
-1.79409
-2.70681
-2.76266
1.50346
21
-3.29255
2.99461
-2.35453
0.73924
-0.42244
1.29132
-2.08250
1.30593
22
-1.66024
3.15992
0.47259
-0.43634
-3.36664
3.01755
0.57706
-0.75775
23
-1.00627
0.61921
-1.94961
3.14827
-1.54101
-2.65156
1.30116
-2.61745
24
-1.36520
-2.68880
0.06193
1.85233
2.78886
0.21835
2.40083
-2.91302
25
1.54101
2.63818
1.51648
-3.29247
-1.27864
0.44913
-2.94012
-0.90593
26
-1.99837
1.25409
3.16145
-2.67399
0.46572
1.26017
-2.48675
2.04751
27
-0.50767
-4.41584
2.78072
-0.18405
1.20905
-2.05953
-0.55703
-0.37405
28
-1.74841
3.18014
-2.54627
0.61899
2.62850
0.83786
-1.13352
-2.64286
29
-1.24906
-1.36808
3.16646
-1.51302
-0.80472
-2.18731
-3.00393
2.16138
30
2.88748
2.23251
3.26714
-0.45750
1.40073
0.89684
2.20999
1.18099
31
-4.44283
-0.30041
1.00407
-0.95578
-2.71801
1.83419
-0.88979
-0.46767
32
-2.19555
0.61748
3.21105
-2.41761
-2.99410
-0.15613
1.29002
0.47276
33
-1.11963
-0.14345
-1.45888
4.34428
1.24847
-2.93319
0.99263
0.41669
34
2.46912
0.32901
2.92697
-1.10494
1.35083
-0.64172
-3.94221
0.91900
35
-2.22018
-2.42952
-3.71427
2.34428
-1.56923
0.53911
0.93496
1.00490
36
3.62884
0.65459
-0.19135
-3.61263
0.50110
-1.40798
-1.16349
-2.31360
37
3.07863
-2.33507
-2.49684
-0.48676
-1.22723
2.02678
-1.76415
2.02986
38
-0.87978
-0.66339
-1.51196
-3.61247
2.10169
-3.07059
-0.33441
-2.51900
71
39
4.13505
0.12785
-2.83837
-1.87929
-1.40544
-2.17046
0.98059
-0.83871
40
-2.64728
41
2.38362
-0.17364
0.70588
3.06851
1.37454
3.05114
2.09690
-1.77268
3.11733
1.31813
3.43460
1.26728
1.19270
0.63117
-1.90439
42
0.40590
2.48108
-0.88404
-1.94043
2.42677
1.22278
-2.70245
-3.11137
43
0.65372
2.91792
-2.75741
0.18038
-1.87557
1.92486
1.92272
2.74818
44
-0.18589
1.85914
-3.51510
-1.64912
0.68572
-3.51782
-1.86004
0.06795
45
-1.83877
-1.97326
-2.89781
2.58079
-2.73347
-0.59601
2.05419
-0.28115
46
-2.47147
-3.11267
-2.88927
-2.82679
0.18464
1.38236
1.15304
0.05421
47
0.85469
-1.99280
-3.46801
2.24855
2.68028
-2.66737
0.49086
-1.24391
48
2.17406
0.57345
3.34079
-2.26224
-3.14663
0.98808
-0.63197
-1.03377
49
1.06447
0.80000
1.62943
1.49639
-1.32327
-1.83789
-3.20137
3.55754
50
-0.13132
-1.12618
1.98596
-2.16703
1.53700
2.70973
3.95829
-0.15268
51
2.81502
0.88493
-2.88005
-1.93875
2.22375
2.14570
0.96420
1.69625
52
0.65926
3.18925
-3.27341
-2.45778
-0.11670
-0.55868
-2.47155
1.36041
53
-1.68339
-1.41189
-1.39746
2.97342
3.16915
-0.56418
-2.48915
1.83823
54
1.41249
-1.64472
2.98722
-0.93005
-0.56789
3.49205
-1.91293
-1.87944
55
-1.17204
-2.29113
2.79713
0.77272
-1.48854
-3.09208
2.20696
-1.34577
56
1.74273
0.15058
3.45867
-3.41011
-0.29901
-1.07770
-2.45340
1.31798
57
3.54283
2.27241
-1.11852
-1.96700
-2.47986
-0.13183
-0.19979
-2.32915
58
-1.55749
-1.39863
-1.45987
2.70506
-2.36186
0.86727
2.90751
2.38492
59
2.94642
1.84571
-1.89882
-0.12621
-1.38322
-2.66113
-1.89869
-2.00495
60
1.29987
-0.48171
1.59506
-3.40109
1.68844
-2.48359
-0.38548
3.02375
72
Lampiran 7. Gambar karung Pupuk Bersubsdi
Gambar Karung Pupuk Urea di LINI I (Pusri 2009)
Gambar Karung Pupuk Urea bersubsidi yang ditandai (Pusri 2009)
73
Lampiran 8. Dokumentasi Sistem
A. Instalasi Sistem Sebelum menerangkan proses instalasi sistem terlebih dahulu dijelaskan kebutuhan perangkat lunak dan perangkat keras yang diperlukan oleh EWS Pupuk. Spesifikasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Perangkat Keras a. CPU : Intel ® Dual Core T2130 @ 1.86GHz 1 MB Cache b. Memory 1 GB Memory c. Mouse d. Modem 2. Perangkat Lunak a. Sistem operasi Microsoft® Windows XP SP 2 b. Matlab (R2008b) atau (R2009a) Langkah selanjutnya adalah melakukan instalasi Matlab (R2008b) dengan menggunakan CD program Matlab (R2008b). Setelah CD dimasukan dalam CD-ROM maka autorun akan berjalan dan akan muncul tampilan sebagai berikut :
Gambar tampilan awal proses instalasi Matlab Pilih next dan selesaikan instalasi Matlab dengan memasukan activation key yang telah tersedia baik secara online atau activation key yang terdapat pada CD instalasi hingga akan muncul tampilan sebagai berikut :
Gambar proses aktivasi Matlab (R2008b)
74
Setelah proses aktivasi selesai maka akan muncul tampilan sebagai tanda bahwa Matlab telah siap untuk digunakan. Tampilan tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar proses instalasi Matlab yang telah selesai Setelah proses instalasi Matlab selesai langkah selanjut nya adalah melakukan pengoperasian program EWS Pupuk yang telah dikembangkan.
B. Prosedur Pengoperasian Program Prosedur pengoperasian program menjelaskan lebih rinci tentang penggunaan program dalam melakukan pendeteksian intensitas kelangkaan. Langkah-langkah penggunaan program dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Buka perangkat lunak Matlab (R2008b) yang telah di install kedalam komputer, setelah Matlab dibuka maka akan muncul tampilan sebagai berikut :
Buka file program EWS Pupuk dengan menekan tombol browse ( pada gambar yang dilingkari lingkaran merah) untuk menjalankan program EWS pupuk. 2.
Setelah proses pencarian direktori program selesai dilakukan maka akan muncul list file program yang siap digunakan. Untuk menjalankan Program ketik Front pada command line.
75
3.
Setelah program dipanggil maka akan munculan tampilan sebagai berikut :
Gambar tersebut merupakan gambar tampilan awal program EWS Pupuk. Tampilan awal ini akan menghantarkan pengguna masuk ke menu utama dengan cara menekan tombol Mulai Anasila. 4.
Setelah memasuki menu utama tugas dari pengguna adalam memilih kecamatan yang akan diidentifikasi dan memasukan data dari 8 atribut yang diminta untuk melakukan deteksi kelangkaan pupuk.
76
Setelah inputan data yang diperlukan telah terinput sempurna sesuai dengan satuan yang diminta, untuk menganalisa keadaan cukup dengan menekan tombol analisa yang tersedia, maka tingkat kerawanan akan ditampilkan. Untuk memulai analisa baru tekan tombol refresh untuk meghilangkan data inputan sebelumnya. 5.
Berikut adalah beberapa contoh hasil penggunaan program EWS Pupuk berdasarkan tingkat kerawanan di beberapa kecamatan di Banumas. Gambar deteksi di Kecamatan Baturaden yang menunjukan Intensitas kelangkaan yang rawan
Gambar deteksi di Kecamatan Kebasen yang menunjukan Intensitas kelangkaan yang Aman
Gambar deteksi di Kecamatan Lumbir yang menunjukan Intensitas kelangkaan yang Normal
77
Gambar deteksi di Kecamatan Wangon yang menunjukan hasil diluar pola pelatihan diberikan nilai Ragu-ragu
78
Lampiran 9. Pseudocode Jaringan Syaraf Tiruan. load('Data_JST.mat'); input = Data_JST; net = newff(minmax(input(:, 1:8)'), [60 30 1], {'tansig', 'tansig', 'purelin'}, 'trainlm', 'learngdm', 'mse'); net.trainParam.show = 5; net.trainParam.epochs = 1000; net.trainParam.goal = 0.0000005; net.trainParam.lr = 0.005; net.trainParam.mc = 0.005; net = init(net); p = input(:, 1:8); t = input(:, 9); [net, tr] = train(net, p', t'); save net net;
79