POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL MENENGAH SYARIAH USAHA BUDIDAYA KAKAO
DEPARTEMEN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN DAN UMKM
POLA PEMBIAYAAN USAHA MENENGAH SYARIAH USAHA BUDIDAYA KAKAO Pola Pembiayaan Usaha MENENGAH POLA SYARIAH USAHA BUDIDAYA KAKAO
Kata Pengantar Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian nasional memiliki peran penting dan strategis. Namun demikian, UMKM masih memiliki kendala, baik untuk mendapatkan pembiayaan maupun untuk mengembangkan usahanya. Dari sisi pembiayaan, masih banyak pelaku UMKM yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses kredit dari bank, baik karena kendala teknis, misalnya tidak mempunyai/tidak cukup, maupun kendala non teknis, misalnya keterbatasan akses informasi mengenai pola pembiayaan syariah untuk komoditas tertentu. Disisi lain, perbankan juga membutuhkan informasi tentang komoditas yang potensial untuk dibiayai. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka menyediakan rujukan bagi perbankan untuk meningkatkan pembiayaan terhadap UMKM serta menyediakan informasi dan pengetahuan bagi UMKM yang bermaksud mengembangkan usahanya, maka menjadi kebutuhan untuk penyediaan informasi pola pembiayaan syariah untuk komoditas potensial tersebut dalam bentuk model/pola pembiayaan komoditas (lending model). Sampai saat ini, Bank Indonesia telah menghasilkan lebih dari 124 judul buku pola pembiayaan pola konvensional dan 34 judul buku pola pembiayaan syariah. Dalam upaya menyebarluaskan hasil penelitian dimaksud kepada masyarakat, maka buku pola pembiayaan ini akan dimasukkan dalam ministe Info UMKM yang dapat diakses melalui internet di alamat: http://www.bi.go.id/ id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan. Tak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang bersedia membantu dan bekerjasama serta memberikan informasi dan masukan selama pelaksanaan kajian. Bagi pembaca yang ingin memberi kritik, saran, dan masukan bagi kesempurnaan buku ini atau ingin mengajukan pertanyaan terkait buku ini dapat menghubungi: BANK INDONESIA Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Grup Pengembangan UMKM Divisi Pengembangan dan Pengaturan UMKM Jalan M. H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat Telp. 021 2981-7991 l Faks. 021 351-8951 Besar harapan kami, bahwa buku ini dapat melengkapi informasi tentang pola pembiayaan syariah bagi perbankan dan sekaligus memperluas replikasi pembiayaan terhadap UMKM pada komoditi tersebut. n
Jakarta, november 2013 i
RINGKASAN POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL MENENGAH SYARIAH USAHA BUDIDAYA KAKAO No Usaha Pembiayaan
Uraian
1
Usaha Budidaya Kakao
Jenis Usaha
2 Lokasi Usaha
Kabupaten Konawe dan Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara
3 Dana yang digunakan (per musim tanam)
Investasi Modal Kerja Total
: Rp15.577.500,: Rp21.790.000,: Rp37.367.500,-
4 Sumber dana (Modal kerja) a. LKS Rp16.817.500, b. Modal Peternak Sendiri Rp6.050.000, Margin murabahah Jangka Waktu Pembiayaan 5 Periode pembayaran kredit
Pengusaha melakukan pembayaran angsuran murabahah setiap bulan selama jangka waktu pembiayaan. Pembayaran angsuran dimulai setelah berakhirnya masa grace period.
6
15 tahun Biji kakao 1 hektar perkebunan kakao Monokultur Lokal/Regional/Nasional
Kelayakan Usaha a. Periode proyek b. Produk utama c. Skala proyek d. Teknologi e. Pemasaran produk
7 Kriteria kelayakan usaha a. IRR b. Net B/C Ratio c. Pay Back Period d. Penilaian
20,67% 13,66 kali 7 tahun 2 bulan Layak diusahakan
8 Analisis Sensitivitas : Penurunan Pendapatan sebesar 19% Analisis Profitabilitas : ii
= 20% = 5 tahun
No Usaha Pembiayaan
a. IRR b. Net B/C Ratio c. Pay Back Period d. Penilaian 9
Uraian
13,14% 7,79 kali 8 tahun 11 bulan Layak diusahakan
Analisis Sensitivitas : Kenaikan Biaya Operasional sebesar 34%
Analisis Profitabilitas : a. IRR 13,03% b. Net B/C Ratio 9,23 kali c. Pay Back Period 9 tahun 0 bulan d. Penilaian Layak diusahakan 10
Analisis Sensitivitas : Kombinasi Kenaikan Biaya Operasional 12% dan
Penurunan Harga Penjualan 12% Analisis Profitabilitas : a. IRR 13,22% b. Net B/C Ratio 8,39 kali c. Pay Back Period 9 tahun 1 bulan d. Penilaian Layak diusahakan
iii
Daftar Isi KATA PENGANTAR RINGKASAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan
i ii iv vi vii vii 1 1 5
BAB II PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN SYARIAH 2.1. Profil Usaha 2.2. Pola Pembiayaan Syariah
8 9 13
BAB III ASPEK PASAR DAN PEMASARAN 3.1. Aspek Pasar 3.1.1 Permintaan 3.1.2. Penawaran 3.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Pasar 3.2. Aspek Pemasaran 3.2.1. Harga 3.2.2. Jalur Pemasaran Produk 3.2.3. Kendala Pemasaran BAB IV ASPEK TEKNIS BUDIDAYA 4.1. Lokasi Usaha 4.2. Fasilitas Produksi dan Peralatan 4.3. Bahan Baku 4.4. Tenaga Kerja 4.5. Teknologi 4.6. Proses Produksi 4.7. Jumlah, Jenis, dan Mutu Produk 4.8. Produksi Optimum 4.9. Kendala Produksi
14 15 15 16 17 18 18 20 21 24 25 25 26 26 26 27 30 30 30
BAB V ASPEK KEUANGAN 32 5.1. Pemilihan Pola Usaha Pembiayaan Syariah (Skema Murabahah) 33 5.2. Asumsi dan Parameter 36 iv
Daftar Isi
5.3. Komponen dan Struktur Pembiayaan Investasi dan Pembiayaan Operasional 38 5.3.1. Pembiayaan Investasi 38 5.3.2. Pembiayaan Operasional 39 5.4. Kebutuhan Pembiayaan Investasi dan Modal Kerja 40 5.5. Produksi dan Pendapatan 41 5.6. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point 43 5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Usaha 44 5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha 47 5.9. Hambatan dan Kendala 47 BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN 6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial 6.2. Dampak Lingkungan
52 53 55
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 7.1.1. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan 7.1.2. Pemasaran 7.1.3. Aspek Teknis Produksi 7.1.4. Aspek Keuangan 7.1.5. Aspek Ekonomi dan osial 7.2. Saran
56 57 57 57 58 59 60 60
DAFTAR PUSTAKA
64
LAMPIRAN
66
v
Daftar Tabel Tabel 1.1. Perkembangan Produksi Kakao Nasional yang Dirinci Menurut Skala Usahanya Tahun 2007-2011 (Ton) 1 Tabel 1.2. Perkembangan Produksi Kakao Dunia dan Negara-negara Produsen Kakao Dunia Tahun 2007-2012 (Ton) 2 Tabel 1.3. Nilai Ekspor Beberapa Komoditi Perkebunan Indonesia (2009-2011) 3 Tabel 1.4. Volume dan Nilai Ekspor Kakao Indonesia (2009-2011) 4 Tabel 2.1. Luas Areal (Ha) dan Produksi (Ton) Tanaman Kakao Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2010 -2012 9 Tabel 2.2. Jumlah Usaha Budidaya Kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara (2008-2013) 10 Tabel 2.3. Jumlah dan Penyebaran Usaha Budidaya Kakao Berdasar Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara (2011) 11 Tabel 2.4. Upah Tenaga Kerja yang Diterima oleh Responden Petani Peserta Gerakan Nasional Kakao Tahun 2010 13 Tabel 3.1. Nilai Ekspor Kakao dan Produk Kakao Beberapa Negara Produsen Kakao Dunia 2002-2011 (juta US$) 17 Tabel 3.2. Perkembangan Harga Jual Komoditi Kakao Selama Lima Tahun Terakhir 22 Tabel 5.1. Skim Pembiayaan Lembaga Keuangan di Provinsi Sulawesi Tenggara 35 Tabel 5.2. Asumsi Dalam Analisis Keuangan Budidaya Kakao 37 Tabel 5.3. Struktur Pembiayaan Investasi dan Modal Kerja Lembaga Keuangan 38 Tabel 5.4. Biaya Investasi Budidaya Kakao per Hektar 38 Tabel 5.5. Biaya Operasional 39 Tabel 5.6. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja 40 Tabel 5.7. Produksi Tanaman Berdasarkan Umur Tanaman dan Tingkat Kesesuaian Lahan (kg/ha) 41 Tabel 5.8. Proyeksi Produksi dan Pendapatan 42 Tabel 5.9. Proyeksi Rugi Laba Usaha (Rp) 43 Tabel 5.10. Proyeksi Arus Kas Usaha Budidaya Kakao dengan Pola Syariah (Rp) 45 Tabel 5.11. Kriteria Kelayakan Usaha Budidaya Kakao dengan Pola Syariah 46 Tabel 5.12. Sensitivitas Kelayakan Usaha Budidaya Kakao – Pola Syariah 47 Tabel 5.13. Kendala yang Dihadapi Petani Kakao 49 Tabel 6.1. Penggunaan Tenaga Kerja pada Lahan di Dalam Desa 53 Tabel 6.2. Alasan Penggunaan Tenaga Kerja 54 Tabel 6.3. Masyarakat yang Menggunakan Bahan Alami Dalam Pengendalian Hama dan Penyakit pada Tanaman Kakao 55
vi
Daftar Gambar Gambar 3.1. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 5.1. Gambar 5.2.
Tata Niaga dan Pemasaran Kakao Sulawesi Tenggara 21 Tanaman Kakao yang Sudah Mengalami Pemangkasan, Sehingga Buah Menjadi Lebat dan Dekat dengan Tanah 28 Pembuatan Rorak Untuk Menimbun Buah yang Sakit Sekaligus Untuk Memperbaiki Perakaran Tanaman Kakao 29 Skema Jual Beli Murabahah 34 Proses Analisis Keuangan Usaha Budidaya Kakao 37
Daftar Lampiran Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12.
Asumsi Dalam Analisis Keuangan Budidaya Kakao Komponen dan Struktur Biaya Investasi Biaya Operasional Produksi Tanaman Berdasarkan Umur Tanaman dan Tingkat Kesesuaian Lahan (kg/ha) Sumber Dana Proyeksi Produksi dan Pendapatan Angsuran Murabahan Petani ke LKS Proyeksi Rugi Laba Usaha (Rp) Proyeksi Arus Kas Usaha Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 19% Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 34% Analisis Kombinasi : Pendapatan Turun 12% dan Biaya Variabel Naik 12%
67 68 69 71 71 72 73 74 75 77 79 81
vii
BAB I PENDAHULUAN
viii
BAB I – PEndahuluan
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara pembudidaya tanaman kakao dengan areal budidaya terluas di dunia, yaitu seluas 1.563.423 hektar dengan produksi 795.581 ton, dengan 90% lebih merupakan perkebunan kakao rakyat yang melibatkan sebanyak 1,4 juta KK petani kakao. Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 2011, produksi kakao Indonesia tercatat sebanyak 903.092 ton per tahun yang sebagian besar perkebunan dikelola oleh rakyat dan selebihnya perkebunan besar negara serta perkebunan besar swasta. Secara keseluruhan selama rentang waktu 2007-2011 tingkat pertumbuhan produksi kakao di Indonesia mencapai 5% per tahun.
Tabel 1.1. Perkembangan Produksi Kakao Nasional yang Dirinci Menurut Skala Usahanya Tahun 2007-2011 (Ton)
Ket. *) Sementara, **) Estimasi Sumber: Ditjen Perkebunan, 2012
Menurut data Kementerian Perdagangan, volume ekspor kakao olahan pada periode Januari-Juli 2012 tercatat mencapai 121.000 ton atau naik 37,5% jika dibandingkan dengan periode 2011 sebesar 88.000 ton. Peningkatan produksi kakao memberikan dampak kepada peningkatan jatah biji kakao pada tahun 2011 dengan kuota sekitar 207.000 ton, sedangkan tahun 2012 ditargetkan pasar domestik sebesar 250.000 ton biji kakao produksi nasional. Namun, alokasi jatah bahan baku itu tidak setara dengan target produksi industri pengolahan sebesar 400.000 ton pada 2012. Sementara itu nilai ekspor kakao tahun 2010 tercatat US$1,6 miliar, sementara produksi biji kakao Indonesia selama 2012 bisa mencapai sekitar 500.000 ton atau 50.000 ton lebih banyak dari tahun sebelumnya. Data International Cocoa and Coffee Organization / ICCO menyebutkan bahwa kebutuhan kakao dunia meningkat sebesar 3,29 juta ton. Dan data pada saat ini produksi biji kakao hanya 3,28 juta ton. Komoditi Kakao Indonesia menjadi 1
BAB I – PEndahuluan
salah satu komoditi unggulan, dan dengan produksi kakao Indonesia saat ini menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading, dan Ghana di Afrika dengan pangsa produksi sebesar 13,23% dari total kakao dunia. Seperti yang digambarkan pada Tabel 1.2, total produksi kakao dunia telah mengalami peningkatan dari 3,66 juta ton pada tahun 2007-2008 menjadi 3,98 juta ton pada tahun 2011-2012. Perubahan dalam produksi belum menunjukkan peningkatan yang konstan karena kakao sangat berfluktuasi dengan berbagai pola tanam dan produksi pada daerah dan negara yang berbeda. Saat ini negara-negara di Benua Afrika masih menjadi produsen terbesar dengan pangsa pasar 70% kakao dunia. Indonesia yang merupakan produsen kakao terbesar di wilayah Asia hanya menyumbang 13% kakao dunia dan bersamasama dengan Malaysia dan negara lain di Asia memberikan kontribusi sebesar 16% pangsa pasar kakao dunia.
Tabel 1.2. Perkembangan Produksi Kakao Dunia dan Negara-negara Produsen Kakao Dunia Tahun 2007-2012 (Ton)
Sumber: ICCO, USDA, Reuters, LMC Report February 2012. Dalam Cocoa Market Update, Maret 2012.
2
BAB I – PEndahuluan
Sebagai negara penghasil utama kakao dunia, Pantai Gading mampu memproduksi kakao sekitar 1,6 juta ton (data tahun 2010) yang menjadikan mereka penghasil utama kakao di dunia dengan proporsi 44% suplai global berasal dari negara Afrika Barat itu. Sedangkan Ghana, meskipun bermasalah dengan penyakit yang menyebar, tetap menduduki peringkat kedua dalam produksi kakao di dunia. Tingginya produksi kakao Pantai Gading dan Ghana lebih dikarenakan tingginya produktivitas tanaman kakao per hektarnya yang mencapai 1,5 ton per ha jika dibandingkan dengan produktivitas tanaman kakao Indonesia yang sebesar 660 kg per ha. Angka ini masih diatas produktivitas Malaysia yang sebesar 300-400 kg per ha, namun dari sisi kualitas produk masih diatas Indonesia. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia, karena kakao termasuk salah satu dari empat komoditas dari sektor perkebunan yang memberikan sumbangan devisa yang sangat besar. Empat komoditas pertanian dan perkebunan tersebut adalah kelapa sawit, kakao, karet, dan kopi. Nilai ekspor komoditas kakao berada pada posisi urutan ketiga setelah ekspor kelapa sawit dan karet, yaitu mencapai US$1.345.430.000 pada tahun 2011 (Tabel 1.3). Menurunnya nilai ekspor kakao pada tahun 2011 tidak terlepas dari terjadinya krisis ekonomi yang dialami benua Eropa dan Amerika pada tahun 2010, dimana Eropa dan Amerika merupakan salah satu pasar utama produk kakao dunia.
Tabel 1.3. Nilai Ekspor Beberapa Komoditi Perkebunan Indonesia (2009-2011) US$
Sumber: Ditjen Perkebunan, 2012
Selanjutnya pada Tabel 1.4 dapat dilihat perkembangan volume dan nilai ekspor kakao Indonesia antara tahun 2009 - 2011. Dari tabel tersebut diperoleh 3
BAB I – PEndahuluan
informasi bahwa volume ekspor meningkat dengan pesat (46,6%), namun nilai ekspor justru mengalami penurunan sebesar 7,8%. Volume neraca perdagangan kakao meningkat 51,5% namun nilai neraca perdagangan menurun 12,6%. Fakta ini menunjukkan bahwa secara potensi produksi, Indonesia mampu menghasilkan lebih banyak kakao dari tahun ke tahun, namun tingkat harga yang diterima kurang baik, sehingga penerimaan yang diperoleh justru menurun.
Tabel 1.4. Volume dan Nilai Ekspor Kakao Indonesia (2009-2011)
Sumber: BPS, 2012
Luas lahan perkebunan kakao di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun (2006-2010) meningkat pesat dengan rata-rata 8% per tahun hingga mencapai 1.462.000 ha dimana sekitar 90% dari luasan tersebut merupakan perkebunan rakyat. Terkait dengan karakter perkebunan rakyat yang umumnya memiliki skala usaha kecil dan bahkan mikro, maka dijumpai cukup banyak masalah dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat di Indonesia. Salah satu masalah klasik yang sering dihadapi adalah rendahnya produktivitas, dimana beberapa faktor penyebabnya adalah penggunaan bibit tanaman yang kurang baik, teknologi budidaya yang kurang optimal, umur tanaman yang sudah tua, serta masalah serangan hama penyakit. Harga yang diterima petani Indonesia dari hasil penjualan kakao termasuk paling rendah di pasar internasional. Hal ini dikarenakan kualitas produksi yang rendah dimana penjualan didominasi oleh biji yang tidak difermentasi, kadar kotoran tinggi serta terkontaminasi oleh serangga, jamur, dll. Namun demikian, di sisi lain potensi perkebunanan kakao Indonesia masih sangat menjanjikan. Kelompok negara Asia diperkirakan akan terus mengalami peningkatan konsumsi seiring dengan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini. Kapasitas produksi kakao di beberapa negara Asia Pasifik lain seperti Papua New Guinea, Vietnam dan Philipina masih jauh di bawah Indonesia baik dalam hal luas areal maupun total produksi, oleh karena itu dibanding negara lain, Indonesia memiliki beberapa keunggulan dalam hal pengembangan kakao, antara lain ketersediaan lahan yang cukup luas, biaya tenaga kerja relatif murah, dan potensi pasar domestik yang besar. 4
BAB I – PEndahuluan
Upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas kakao Indonesia adalah melalui penggunaan bibit unggul, penerapan teknologi budidaya secara baik, pengendalian hama dan penyakit dan sistem pengolahan usaha tani yang baik. Disamping itu perlu adanya peningkatan kualitas produksi kakao petani, terutama terkait dengan pengolahan paska panen melalui kegiatan fermentasi. Terkait dengan upaya tersebut, para petani kakao perlu mendapat dukungan pembiayaan dari lembaga pembiayaan yang ada. Selama ini lembaga pembiayaan masih sedikit memberikan bantuan pembiayaan kepada sektor pertanian, termasuk untuk perkebunan kakao. Oleh karenanya perlu dilakukan suatu kajian untuk menjajagi potensi pembiayaan perbankan kepada subsektor perkebunan kakao di daerah sentra produksi kakao. Penelitian dilakukan pada suatu daerah sentra produksi, agar dapat dilihat berapa besar tingkat kebutuhan yang dirasakan oleh para petani dan bagaimana mekanisme yang efektif dan efisien dalam proses pembiayaan yang perlu dilakukan. Selanjutnya perlu dijajagi potensi pola pembiayaan syariah untuk pengembangan perkebunan kakao. Hal ini mengingat di kalangan masyarakat petani telah membudaya pola-pola bagi hasil sebagaimana yang disepakati para petani secara konvensional. Model pembiayaan syariah perlu dikaji sesuai dengan pola kegiatan dan kebutuhan pembiayaan tanaman kakao, yang tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan jenis komoditi lainnya. Di sisi lain, lembaga perbankan masih kekurangan informasi mengenai pola pembiayaan syariah kepada usaha mikro, kecil dan menengah serta kelayakan usaha untuk komoditas perkebunan kakao rakyat. Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan dan menyediakan informasi dalam bentuk model/pola pembiayaan syariah untuk komoditas kakao yang dinilai memiliki potensi untuk dibiayai melalui perbankan syariah. 1.2. Tujuan Tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Menyediakan rujukan/informasi yang cukup komprehensif bagi perbankan/investor dalam mengambil keputusan untuk investasi/ pembiayaan syariah kepada UMKM. 2. Menyediakan informasi dan pengetahuan bagi UMKM dalam menerapkan/mereplikasi pola usaha dan model pembiayaan syariah untuk mengembangkan usahanya. 3. Menyediakan informasi kepada kementerian, dinas teknis terkait, dan perguruan tinggi serta lembaga lainnya yang terkait dengan pengembangan UMKM. 5
BAB I – PEndahuluan
4. Menyediakan bahan masukan untuk Pola Pembiayaan Syariah untuk UMKM yang merupakan bagian dari Info UMKM dalam website Bank Indonesia. n
6
BAB I – PEndahuluan
Halaman ini sengaja dikosongkan
7
BAB II PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN SYARIAH
8
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan
2.1. Profil Usaha Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan Indonesia yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan cukup pesat dalam kurun waktu lima tahun terakhir dimana areal perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2012 tercatat seluas 1.732.954 ha dan tersebar di seluruh provinsi di Indonesia kecuali di DKI Jakarta dengan konsentrasi pada 4 provinsi di Pulau Sulawesi, yaitu Sulawesi Tengah (281.976 ha), Sulawesi Selatan (279.884 ha), Sulawesi Tenggara (249.683 ha), dan Sulawesi Barat (191.728 ha). Sementara total produksi kakao pada tahun 2012 tercatat sebesar 936.266 ton dimana 66,50% diantaranya dihasilkan di 4 provinsi sentra produksi kakao tersebut. Tabel 2.1. Luas Areal (Ha) dan Produksi (Ton) Tanaman Kakao Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2010 -2012
Keterangan : *) Angka Sementara; - ) Data tidak tersedia Sumber : Buku Statistik Perkebunan Tahun 2008 – 2012. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementan RI.
9
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan
Dalam rangka penyusunan buku Pola Pembiayaan Syariah untuk Usaha Kecil Menengah Usaha Budidaya Kakao, maka ditetapkan alternatif 4 wilayah utama sentra produksi kakao di Pulau Sulawesi. Dan dengan pertimbangan realisasi penyaluran pembiayaan usaha budidaya tersebut maka ditetapkan Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai lokasi kajian. Provinsi Sulawesi Tenggara sendiri merupakan salah satu sentra daerah produksi kakao terbesar di Indonesia, bersama dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Menurut data Dinas Perkebunan dan Hortikultura, pada tahun 2012 luas wilayah penanaman kakao di Sulawesi Tenggara sebesar 251.107 hektar. Terdapat perbedaan data luasan areal penanaman dan total produksi kakao yang dikeluarkan dinas terkait dengan data Kementerian Pertanian. Diperkirakan pada tahun 2013 luasan penanaman kakao mencapai 257.703 hektar (Tabel 2.2)
Tabel 2.2. Jumlah Usaha Budidaya Kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara (2008-2013)
Sumber: Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara, 2013.
Namun meningkatnya luasan lahan penanaman kakao masih belum sejalan denggan peningkatan jumlah produksi yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan tingkat produktivitas tanaman kakao rata-rata masih berfluktuasi. Pada tahun 2011 jumlah produksi mencapai 146.705 ton, dengan rata-rata tingkat produktivitas sebesar 810,8 kg/ha. Pada tahun 2013 diprediksi tingkat produktivitas tanaman kakao menurun menjadi sekitar 729,28 kg/ha, maka angka produksi kakao di Sulawesi Tenggara menurun menjadi 134.808 ton. Tabel 2.2 juga menunjukkan animo petani yang tinggi untuk budidaya kakao. Hal ini terkait dengan pelaksanaan Gerakan Nasional (Gernas) Kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara. Terlihat bahwa jumlah petani tanaman kakao terus meningkat antara tahun 2008 sampai 2012, yaitu dari 130.780 ribu kepala keluarga petani menjadi 160.314 kepala keluarga. Dilihat dari sebaran lokasi sentra produksi kakao, Tabel 2.3 menjelaskan kabupaten-kabupaten dengan luas lahan penanaman kakao terbesar adalah 10
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan
Kabupaten Kolaka (94.000 ha) diikuti oleh Kabupaten Kolaka Utara (82.502 ha), Kabupaten Konawe Selatan (19.162 ha) dan Kabupaten Konawe (18.272 ha). Jumlah kepala keluarga (KK) petani pekebun kakao pun tersebar mengikuti luasan lahan kakao di berbagai kabupaten ini. Jumlah KK petani terbanyak terdapat pada Kabupaten Kolaka (45.125 KK), yang diikuti dengan Kabupaten Kolaka Utara (26.457 KK), Kabupaten Konawe Selatan (23.835 KK), dan Kabupaten Konawe (21.177 KK).
Tabel 2.3. Jumlah dan Penyebaran Usaha Budidaya Kakao Berdasar Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara (2011)
Sumber: Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Utara, 2013.
Namun demikian luas pengusahaan lahan penanaman kakao oleh petani dijumpai cukup bervariasi dari 0,17 ha sampai 3,12 ha per KK. Rata-rata pengusahaan lahan penanaman kakao di tingkat provinsi adalah 1,55 ha per KK. Rata-rata pengusahaan kakao terluas dijumpai pada petani di Kabupaten Kolaka Utara (3,12 ha/KK), diikuti Kabupaten Kolaka (2,08 ha/KK) dan Kabupaten Bombana (1,78 ha/KK). Sebaliknya pada Kabupaten sentra produksi seperti Konawe Selatan dan Konawe, rata-rata luas pengusahaan lahan masing-masing KK petani kurang dari 1 ha, yaitu masing-masing hanya 0,80 ha dan 0,87 ha. Hasil studi yang dilakukan Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo (2011) terkait dengan petani kakao yang mengikuti program Gernas Kakao, menunjukkan bahwa dari 51 sampel petani di Provinsi Sulawesi Tenggara, 96% diantaranya mengusahakan lahan milik sendiri, dan hanya 4% yang mengusahakannya dengan mekanisme bagi hasil. Tidak dijumpai adanya petani yang menyewa lahan untuk penanaman kakao. Selanjutnya, penelitian tersebut juga mengemukakan bahwa pola usaha tani yang diterapkan petani kakao cukup bervariasi dari pola monokultur, tumpang 11
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan
sari sampai dengan campuran. Alasan utama dalam penerapan pola usaha tani tersebut, adalah efisiensi penggunaan lahan, disamping adanya pertimbangan risiko kerugian yang ditimbulkan. Sekitar 27% petani yang mengusahakan tanaman kakao secara monokultur, 29% secara tumpang sari dan sisanya secara campuran. Pola usaha tani monokultur memberikan produksi yang terbesar yaitu 713 kg/ha dibandingkan dengan pola usaha tani tumpang sari (556 kg/ha) dan yang paling rendah produktivitasnya adalah pola campuran, yaitu hanya 493,3 kg/ha. Namun demikian pola usaha tani monokultur ini memiliki tingkat risiko tertinggi jika terdapat serangan penyakit tanaman. Angka produktivitas ini jauh lebih rendah dari rata-rata produktivitas tingkat provinsi. Hal ini dikarenakan sampel petani mencantumkan luas lahan tanaman kakao yang diusahakan secara keseluruhan, khususnya yang terkait dengan pola tanam campuran. Pada tahun 2011 rata-rata harga kakao yang diterima petani di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar Rp17.251/kg. Harga ini bervariasi antar daerah sentra produksi. Tingkat harga yang terendah adalah sebesar Rp13.000/kg yang dijumpai di Kabupaten Konawe, sementara yang tertinggi adalah sebesar Rp22.500/kg di Kabupaten Konawe Selatan. Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa semua petani kakao menggunakan pupuk dalam budidaya kakao. Namun terdapat perbedaan di antara petani terkait dengan intensitas pemupukan. Terdapat sekitar 18% petani yang memupuk tiga kali atau lebih dalam setahun, 56% memupuk dua kali, dan sisanya sebanyak 1 kali artinya sebagian besar petani memupuk tanaman kakaonya sebanyak dua kali dalam setahun. Dalam proses kegiatan usaha tani, petani menggunakan sumber tenaga kerja baik dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga atau tenaga kerja yang disewa. Tingkat upah tenaga kerja sewa berbeda antara tenaga laki-laki yaitu sekitar Rp42.000/hari dan tenaga perempuan itu sekitar Rp39.800/hari. Tingkat upah ini bervariasi antara daerah, tergantung pada tingkat kesulitan di masing-masing wilayah penanaman kakao, disamping tingkat kesulitan dari jenis pekerjaan yang dijalani. Untuk yang terakhir, misalnya akan berbeda tingkat upah antara pekerjaan pemangkasan dengan pemetikan.
12
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan
Tabel 2.4. Upah Tenaga Kerja yang Diterima oleh Responden Petani Peserta Gerakan Nasional Kakao Tahun 2010
Disamping tanaman kakao, terdapat berbagai komoditas lain yang dihasilkan petani di Provinsi Sulawesi Tenggara, seperti kelapa, cengkeh, merica, mangga, jambu mete, kemiri dan durian. Jambu mete banyak dikembangkan di Kabupaten Muna, sementara kelapa banyak dijumpai di Kabupaten Kolaka. Tanaman kemiri dan cengkeh banyak dijumpai di Kolaka Utara, sementara merica tersebar produksinya hampir di seluruh wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Selain dari perkebunan kakao, sebagian petani juga memiliki usaha lain di luar sektor pertanian. Terdapat sekitar 42% petani yang memiliki usaha di luar pertanian, seperti PNS, aparat desa, pedagang kios atau sebagai pekerja serabutan. 2.2. Pola Pembiayaan syariah Pada umumnya pembiayaan perbankan untuk sektor pertanian, khususnya untuk perkebunan kakao masih sangat kecil. Apalagi jika dikaitkan dengan pola pembiayaan syariah. Perbankan besar belum ada yang terjun ke perkebunan kakao. Jika ada pengalaman dalam pembiayaan sub-sektor perkebunan, masih terbatas pada pembiayaan perkebunan kelapa sawit dan karet. Itupun pengalaman yang diperoleh di luar Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam perwakilan kesempatan Focus Group Discussion yang diselenggarakan di Kantor Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara, hanya dijumpai BPD Sultra yang pernah membiayai perkebunan kakao. Pembiayaan dilakukan tidak langsung kepada petani kakao, namun melalui kelembagaan petani yang disebut Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera (LEMS). BPD Sultra pernah melakukan pembiayaan terhadap 3 LEMS di Sulawesi Tenggara. Sampai saat ini proses pengembalian berjalan baik tanpa ada tunggakan. Sementara perbankan lainnya belum memberikan pembiayaan kepada petani kakao. Kalau pun ada terkait dengan kakao, pembiayaan diberikan kepada para pedagang kakao. n 13
BAB III ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
14
BAB III – Aspek teknis produksi
3.1. Aspek Pasar 3.1.1. Permintaan Permintaan kakao dalam negeri sampai tahun 2009 masih dianggap sedikit dibandingkan dengan total produksi kakao Indonesia. Rendahnya permintaan kakao nasional dikarenakan pemerintah menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% untuk setiap kakao yg dibeli pabrik di dalam negeri sehingga industri pengolahan kakao dalam negeri sulit untuk berkembang. Sebaliknya, apabila petani mengekspor produknya ke luar negeri, maka tidak dikenakan PPN. Pada tahun 2007 pemerintah membuat kebijakan yang pro industri pengolahan kakao dalam negeri, yaitu dengan dihapuskannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% untuk setiap kakao yang dibeli pabrik di dalam negeri. Tapi kebijakan tersebut masih belum memperbaiki iklim industri pengolahan kakao dalam negeri. Selanjutnya, pada tahun 2010 pemerintah secara resmi menerapkan kebijakan Bea Keluar (BK) secara progresif terhadap ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 67/ PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Sejak ditetapkannya kebijakan bea keluar (BK) permintaan kakao dalam negeri mengalami peningkatan dari ±150.000 ton pada tahun 2009 menjadi ±200.000 ton pada tahun 2010. Permintaan biji kakao dalam negeri ini terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya karena banyak investor yang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia dengan mendirikan pabrik-pabrik pengolahan biji kakao. Permintaan atau kebutuhan biji kakao dunia sangat besar dan cenderung meningkat setiap tahunnya, terutama di negara-negara maju. Pada tahun 2005 permintaan biji kakao dunia mencapai 3.574 ribu ton. Negara konsumen kakao terbesar pada tahun 2005 masih dipegang negara-negara Eropa, yaitu sebanyak 1.462 ribu ton atau 42,10% dari seluruh permintaan biji kakao dunia. Permintaan biji kakao tertinggi berasal dari Negara Belanda, Amerika Serikat dan Jerman. Saat ini, pertumbuhan permintaan kakao dunia sekitar 4 juta ton per tahun, dan berdasarkan data International Cocoa and Coffee Organization (ICCO) menyebutkan bahwa dalam lima tahun terakhir, permintaan atas kakao tumbuh rata-rata sebesar 5%. Permintaan terbesar berasal dari Eropa sebanyak 2.025.000 ton dan permintaan dari Amerika sebanyak 1.185.000 ton, dari Asia sebanyak 901.000 ton, dan dari Afrika sebanyak 702.000 ton. Untuk ke depannya, komoditi kakao masih potensial untuk dikembangkan 15
BAB III – Aspek teknis produksi
di mana tingkat konsumsi kakao di negara Indonesia, India, dan China yang jumlah penduduknya mencapai 2,7 milyar jiwa, saat ini masih sangat rendah yakni hanya sekitar 0,25 kg/kapita/tahun, sementara tingkat konsumsi di Eropa sudah mencapai 10 kg/kapita/tahun. Diprediksi, konsumsi kakao di tiga negara yaitu Indonesia, India, dan China dapat mencapai 1 kg/kapita/ tahun sehingga akan ada permintaan tambahan sekitar 2,2 juta ton biji kakao per tahun. 3.1.2. Penawaran Indonesia merupakan negara produsen utama kakao dunia. Luas areal tanaman kakao Indonesia tercatat 1,4 juta hektar dengan produksi kurang lebih 500 ribu ton per tahun. Jumlah produksi ini menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar ketiga dunia setelah Ivory Coast (Pantai Gading) dan Ghana. Pantai Gading, dengan luas area 1,6 juta ha dan produksinya sebesar 1,3 juta ton per tahun dan Ghana sebesar 900 ribu ton per tahun. Secara umum terdapat sekitar 50 negara produsen kakao yang berada di tiga benua yaitu; Benua Afrika yang menguasai sekitar 65% kakao dunia, Asia (20%) dan Amerika Latin (15%). Sedangkan dari sisi industri, Indonesia berada di nomor tujuh dunia di bawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian peluang peningkatan produksi terbuka luas termasuk peningkatan nilai tambah produk-produk dari kakao. Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar 8%. Biji kakao maupun produk olahan kakao merupakan komoditi yang diperdagangkan secara internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan biji kakao. Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya, ekspor Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Perdagangan luar negeri komoditi tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Dikeluarkannya serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao dapat mengarahkan Indonesia untuk meningkatkan daya saing dengan meningkatkan produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di Indonesia hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai, seperti Malaysia. Pengembangan daya saing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan penetrasi maupun perluasan pasar. 16
BAB III – Aspek teknis produksi
Tabel 3.1. Nilai Ekspor Kakao dan Produk Kakao Beberapa Negara Produsen Kakao Dunia 2002-2011 (juta US$)
Sumber : Rugimun, 2013
Peluang Indonesia untuk merebut pasar dunia sangat luas. Beberapa negara produsen kakao seperti Papua New Guinea, Vietnam, Malaysia, dan Filipina masih jauh dibawah Indonesia. Untuk itu dibutuhkan peningkatan produktivitas melalui penggunaan varietas unggul, penanganan gangguan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) di sektor on-farm. Sedangkan di sektor hilir, perlu dilakukan perbaikan industri pengolahan. Selama sepuluh tahun rata-rata ekspor kakao dari Indonesia sebesar hampir US$999,6 juta. Total nilai ekspor dunia juga mengalami penurunan dari tahun 2010 cukup besar dikarenakan permintaan negara-negara Eropa menurun sebagai akibat krisis ekonomi di kawasan tersebut. Untuk tahun 2011 nilai ekspor kakao Malaysia lebih tinggi dibanding nilai ekspor kakao Indonesia. Nilai ekspor kakao terbesar masih dikuasai oleh negara Pantai Gading dan Ghana. Pada umumnya ekspor kakao negara-negara ini sudah melalui fermentasi sehingga harganya lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa kualitas ekspor kakao Indonesia perlu ditingkatkan melalui fermentasi. Diperkirakan bila melalui fermentasi, nilai ekspor kakao akan bertambah Rp3.000,- per kg. Saat ini di dalam negeri harga kakao berkisar antara Rp15.000,- per kg sampai dengan Rp24.000,- per kg. 3.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Pasar Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa volume ekspor kakao olahan pada periode Januari-Juli 2012 mencapai 121.000 ton, naik 37,5% dibandingkan dengan periode sama 2011 sebesar 88.000 ton. Industri dalam negeri dapat meningkatkan jatah biji kakao. Tahun 2011, industri pengolahan mendapat kuota sekitar 207.000 ton. Pada tahun 2012 ditargetkan pasar domestik diberi jatah untuk menyerap 250.000 ton biji kakao produksi 17
BAB III – Aspek teknis produksi
nasional. Namun, alokasi jatah bahan baku itu tidak setara dengan target produksi industri pengolahan sebesar 400.000 ton pada 2012. Nilai ekspor kakao tahun 2010 tercatat US$1,6 miliar. Produksi biji kakao Indonesia selama 2012 bisa mencapai sekitar 500.000 ton atau 50.000 ton lebih banyak dari tahun sebelumnya. Komoditi kakao Indonesia menjadi salah satu komoditi unggulan. Indonesia termasuk sebagai penghasil kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading, dan Ghana di Afrika yang memiliki pangsa produksi sebesar 13,23% dari total kakao dunia. Perkembangan dan potensi produksi kakao mempunyai arti yang strategis dan penting karena pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap. Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dengan penerapan fermentasi pada pengolahan biji paska panen dan pengembangan produk hilir kakao berupa serbuk kakao. Diharapkan di masa mendatang Indonesia dapat meningkatkan produksi lebih baik lagi terutama untuk pengolahan produk-produk berbahan baku kakao. Meskipun Indonesia masih berada di urutan ketiga produsen kakao dunia, namun sesungguhnya Indonesia memiliki potensi yang sangat besar mengingat tanah di dalam negeri sangat cocok untuk ditanami kakao. Selanjutnya, dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan pemerintah dalam rangka hilirisasi industri kakao guna meningkatkan nilai tambah di dalam negeri terbukti sangat efektif dalam pengembangan industri kakao di Indonesia. Saat ini industri kakao nasional sedang berupaya bangkit. Hal ini terbukti dengan semakin menurunnya volume ekspor biji kakao, sementara ekspor kakao olahan terus mengalami peningkatan. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa setelah pemberlakuan Bea Keluar (tahun 2010-2012), biji kakao yang diekspor menurun dalam kurun waktu 3 tahun, menjadi 163.501 ton pada 2012. Jumlah ekspor tersebut jauh menurun jika dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 210.067 ton, sementara pada tahun 2010 sebesar 432.437 ton. Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari tahun 2010 sebesar 119.214 ton, pada tahun 2011 naik menjadi 195.471 ton, dan tahun 2012 kembali naik menjadi 215.791 ton. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan daya saing komoditas olahan kakao Indonesia. 3.2. Aspek Pemasaran 3.2.1. Harga Perkembangan harga kakao di pasaran ekspor sulit diprediksi, karena tingkat harga berkaitan langsung dengan situasi politik dan ekonomi, baik di negara 18
BAB III – Aspek teknis produksi
produsen utama seperti Pantai Gading, maupun di negara konsumen utama, seperti Eropa dan Amerika. Sedangkan tingkat harga kakao di pasaran lokal, pada umumnya menyesuaikan perkembangan harga di bursa London yang sejak dua tahun terakhir cenderung naik. Hal ini dipicu juga karena pabrik coklat dalam negeri meningkatkan produksinya demi memenuhi kebutuhan coklat. Saat ini harga kakao kering dalam negeri berkisar antara Rp20.000,sampai Rp25.000,- per kilogram. Untuk biji kakao yang telah difermentasi harganya lebih tinggi Rp3.000,- dibanding biji kakao yang tidak difermentasi. Rantai pemasaran kakao di Indonesia sangat panjang. Di setiap mata rantai tersebut, pedagang mengambil untung yang cukup lumayan. Menurut laporan USAID (2006) tentang mata rantai pemasaran, terdapat tujuh mata rantai yang harus dilalui untuk sampai ke pabrik pembuatan coklat dan konsumen coklat. Pertama adalah petani yang memproduksi biji kakao, kemudian pedagang lokal yang membeli biji kakao dengan kapasitas kecil, kemudian dilanjutkan ke pedagang pengumpul lokal, eksportir lokal, pedagang kakao multinasional atau perusahaan-perusahaan besar pembeli biji kakao, perusahaan pemprosesan multinasional, produsen kakao multinasional, dan akhirnya pembeli coklat. Menurut UNCTAD, harga kakao ditentukan oleh tingkat permintaan dan penawaran. Biasanya, harga kakao turun ketika musim panen dan kemudian stagnan. Penurunan harga yang berterusan membuat petani beralih mengganti ke tanaman yang lain dan pada akhirnya kembali meningkatkan harga kakao. Disisi yang lain, konflik yang berkepanjangan dan pelarangan ekspor kakao di negara produsen kakao seperti Pantai Gading telah berakibat pada meningkatnya harga kakao dunia sebesar 6,2% ke harga US$3.393 per ton (The Guardian, 2011). Merujuk pada data IMF statistic, sejak tahun 1985-2010 untuk pasar komoditas New York, harga kakao dunia terus meningkat dengan kenaikan rata-rata sekitar 3%. Kenaikan paling tinggi yang pernah terjadi pada periode tersebut adalah sebesar 63,46%, dan juga pernah turun sebesar 32,28%. Namun, untuk lima tahun terakhir dari tahun 2005-2010, kenaikan harga kakao rata-rata 16%, tertinggi 31%, dan terendah 3%. Dilihat dari data IMF statistic, harga kakao dunia terus melambung tinggi. Saat ini, harga jual ditingkat petani untuk kadar air dibawah 8% adalah Rp18.000,- – Rp20.000,-. Kalau dihitung dengan harga kakao dunia, petani menikmati kurang dari 60% dari harga kakao dunia, sedangkan pedagang, yang tergabung dalam mata rantai penjualan kakao, menikmati sekitar 40%. Pada tataran meso dan mikro di Provinsi Sulawesi Tenggara, hasil penelitian Faperta Unhalu (2011) menjumpai bahwa sebagian besar petani kakao (92%) menjual langsung kepada pedagang pengumpul. Selebihnya petani menjual 19
BAB III – Aspek teknis produksi
kakaonya kepada eksportir dan koperasi dalam hal ini Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera (LEMS). Alasan utama yang mendorong petani dalam menjual produksi kakao kepada pedagang pengumpul karena pedagang pengumpul tersebut terdapat pada setiap desa penghasil kakao dan mereka menjemput langsung kakao yang dihasilkan oleh petani. Sehingga petani tidak mengeluarkan biaya dalam proses pemasaran kakao. Mekanisme pembentukan harga kakao ditentukan oleh beberapa pihak yaitu pihak pembeli, pihak penjual dan kesepakatan antara pihak pembeli dan pihak penjual, serta faktor lain. Namun yang banyak terjadi di tingkat petani kakao di Sulawesi Tenggara, bahwa harga jual kakao lebih dominan ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan antara pihak pembeli dan penjual (sebanyak 55% petani) dan baru disusul dengan harga yang ditentukan pihak pembeli (45%). Hal ini dilihat dengan besarnya jumlah responden yang melakukan hal tersebut. Angka persentase ini sedikit bervariasi antar kabupaten produsen kakao, dimana hal ini mengindikasikan adanya perbedaan ketidak tersediaan informasi harga kakao yang diterima oleh petani itu sendiri sebagai produsen kakao disamping rendahnya posisi tawar mereka terhadap para pedagang pengumpul. Selanjutnya terdapat informasi terkait ada tidaknya keterikatan antara petani dengan mitra atau pihak pembeli. Keterikatan yang dimaksud adalah adanya perjanjian untuk menjual produk kakao kepada mitranya terkait dengan pinjaman dana untuk biaya produksi atau perawatan tanaman. Sebanyak 25% petani memiliki keterikatan, sementara 75% lainnya tidak mempunyai keterikatan. Terdapat beberapa perusahaan yang menjadi mitra bagi petani dalam pengadaan input produksi maupun pemasaran hasil produk kakao, diantaranya adalah PT Agrivision Utama, PT Sygenta, PT Kalla Kakao Industri, dan PT Core Exibiy Indonesia. Kesemua perusahaan ini memiliki bentuk kemitraan yang relatif sama dengan petani yaitu bentuk kemitraan dagang umum. 3.2.2. Jalur Pemasaran Produk Jalur pemasaran produk kakao yang dijumpai di Provinsi Sulawesi Tenggara sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.1. Dalam kunjungan ke Kecamatan Lambadia Kabupaten Kolaka, dijumpai adanya peran LEMS sebagai organisasi petani di tingkat pedesaan yang membantu petani kakao dalam memasarkan produk kakao secara kolektif. Sementara itu, di Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe, yang juga terdapat LEMS, namun petani menjualnya secara langsung ke pedagang pengumpul. Perbedaan antara kedua lokasi di kabupaten yang berbeda ini terlihat pada jenis produk kakao yang dijual. Pada Kecamatan Lambadia, umumnya petani menjual dalam bentuk fermentasi dikarenakan harga yang sedikit lebih baik. Sementara di Kecamatan Besulutu petani menjual dalam bentuk asalan, dengan alasan lebih mudah dan lebih cepat untuk bisa 20
BAB III – Aspek teknis produksi
dijual. Adapun tingkat harga yang diperoleh pada dasarnya tidak berbeda secara signifikan, karena banyak faktor lain yang lebih menentukan tingkat harga yang diterima petani di luar apakah produk kakao sudah difermentasi atau tidak.
Lainnya
(Sumber: Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara, 2013)
Gambar 3.1 Tata Niaga dan Pemasaran Kakao Sulawesi Tenggara
3.2.3. Kendala Pemasaran Gambar 3.1 menjelaskan aliran produk kakao dari tingkat petani menuju pasar ekspor. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada umumnya aliran produk kakao dari Provinsi Sulawesi Tenggara diarahkan pada pasar ekspor, baik yang secara langsung dilaksanakan di Sulawesi Tenggara (dalam hal ini di Kolaka) maupun di Makassar. Sebenarnya tidak dijumpai masalah yang kritikal dalam pemasaran hasil produksi kakao petani, khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini dikarenakan daerah produksi di provinsi ini yang relatif terjangkau, dan adanya permintaan yang sangat besar untuk keperluan ekspor. Namun adanya fenomena yang menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan harga yang signifikan antara penjualan biji kakao yang difermentasi maupun yang bentuk 21
BAB III – Aspek teknis produksi
asalan, hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa petani kurang termotivasi untuk memberikan nilai tambah dari produk kakao yang dihasilkan. Tabel 3.2 menjelaskan perbedaan harga antara biji kakao fermentasi dengan asalan, dimana tidak selalu harga produk kakao terfermentasi lebih mahal sekitar Rp3.000,- per kg dari kakao asalan. Bahkan pada tahun 2011 harga kakao asalan dijumpai sedikit lebih mahal dari kakao fermentasi.
Tabel.3.2. Perkembangan Harga Jual Komoditi Kakao Selama Lima Tahun Terakhir
Sumber: Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara, 2013
Demikian pula terdapat eksportir kakao yang menghendaki produk kakao dalam bentuk asalan ketimbang sudah difermentasi. Perbedaan ini terkait dengan produk akhir yang akan dibuat oleh masing-masing negara pengimpor. Misalnya negara-negara Eropa membutuhkan produk kakao yang sudah difermentasi. Sementara Singapura lebih cenderung untuk membeli produk kakao asalan. Masalah lain yang dijumpai di tataran makro terkait dengan adanya hambatan ekspor dengan diterapkannya kebijakan Bea Keluar yang progresif. Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) mencantumkan tarif bea keluar ekspor biji kakao untuk harga US$2.000 – US$2.750 per ton dikenai pajak 5%. Untuk harga US$2.750 - US$3.500 per ton, dikenai pajak 10%, sedangkan harga diatas US$3.500 per ton maka bea keluarnya 15%. Harga ekspor ini disesuaikan dengan fluktuasi tarif internasional dari bursa berjangka di New York. Tingginya perbedaan beban pajak akan dirasakan terutama jika mendapat harga sedikit lebih tinggi dari kisaran yang ditetapkan. Misalnya harga pasar US$3.550 yang terkena pajak 15% dibandingkan harga US$3.500 yang masih terkena pajak 10%. n
22
BAB III – Aspek teknis produksi
Halaman ini sengaja dikosongkan
23
BAB IV ASPEK TEKNIS BUDIDAYA
24
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
4.1. Lokasi Usaha Umumnya lokasi usaha penanaman kakao tidak jauh dari tempat kediaman petani. Petani menyatakan lahan yang diusahakan sesuai dengan kebutuhan penanaman kakao, baik dari tingkat kesuburannya maupun ketersediaan air yang dibutuhkan. Hal ini tidak lepas dari sejarah awal mereka mengusahakan lahan untuk tanaman kakao. Tidak sedikit dari para petani kakao yang ada merupakan kaum pendatang dari Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu suku Bugis. Misalnya dijumpai di Kecamatan Labandia, boleh dikatakan sebagian besar (bahkan hampir 100%) petani kakao adalah para pendatang suku Bugis. Mereka datang ke Sulawesi Tenggara sebagai transmigrasi lokal, dengan pemahaman bahwa di daerah baru yang akan mereka usahakan memiliki potensi lahan yang baik untuk tanaman kakao. 4.2. Fasilitas Produksi dan Peralatan Fasilitas produksi dan peralatan yang digunakan petani adalah peralatan yang bersifat tradisional seperti cangkul, garpu, parang, dan sebagainya. Namun untuk memperolehnya, petani perlu membelinya di kota seperti Kendari. Adapun input produksi seperti pupuk dan pestisida diperoleh dari para penyalur input produksi yang ada di wilayah petani kakao. Sebagian dari para penyalur input produksi ini juga menyediakan jasa penyuluhan kepada para petani kakao. Misalnya PT Agri Vision yang memiliki program kunjungan berkala kepada petani di daerah sentra produksi kakao. Mereka merekomendasikan kepada petani mengenai penggunaan input produksi secara tepat waktu dan tepat jumlah sehingga produksi kakao yang dihasilkan dapat meningkat. Disamping itu mereka menyuluhkan bagaimana teknik perawatan tanaman sehingga produksi dapat meningkat secara signifikan. Misalnya dengan penerapan teknik sambung samping, pemangkasan dahan yang benar, cara memetik kakao yang benar, teknik mengatasi hama dan penyakit, dll. Salah satu bentuk peningkatan produksi kakao dapat terlihat pada jumlah buah kakao yang bisa dipanen pada saat musim panen. Disamping itu juga terlihat dari semakin lama masa panen yang bisa dilakukan petani. Bahkan dalam beberapa kasus dijumpai petani yang hampir sepanjang tahun selalu tersedia buah kakao yang bisa dipanen. Hasil studi Faperta Unhalu (2011) menunjukkan bahwa di wilayah Gernas Kakao sudah terdapat toko-toko yang menyediakan sarana produksi seperti, pupuk, obat-obatan (insektisida/fungisida). Kondisi tersebut dapat memudahkan petani setempat dan sekitarnya dalam mengembangkan usaha pertanian secara umum dan kakao pada khususnya. Terdapat 88% petani kakao yang menyatakan 25
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
faktor ketersediaan sarana produksi mendukung dalam berusaha tani kakao, hal ini terkait dengan peningkatan produksi dan mutu kakao yang dihasilkan oleh responden. Hanya 4% petani yang menyatakan ketersediaan sarana produksi masih menghambat, dengan alasan aksesibilitas yang jauh dengan lokasi usaha tani kakao. 4.3. Bahan Baku Jika untuk input produksi seperti pupuk dan pestisida petani tidak mendapat masalah, namun terkait dengan pengadaan bibit tanaman berkualitas petani masih mendapat masalah. Petani harus datang sendiri ke lokasi penjual bibit yang cukup jauh (misalnya di Kolaka). Adapun secara lokal, bibit diperoleh petani dari penanaman sendiri sebelumnya atau membeli dari tetangga. 4.4. Tenaga Kerja Pada wilayah sentra produksi kakao, tidak dijumpai permasalahan dalam pengadaan tenaga kerja untuk aktivitas perawatan tanaman dan panen kakao. Pada daerah produksi yang petaninya tergabung dalam organisasi LEMS, dijumpai bentuk kerjasama dalam kegiatan-kegiatan usaha tani tersebut. Pengerjaan perawatan tanaman dilakukan bersama-sama dengan petani lain secara bergilir dari lahan petani yang satu ke lahan petani lainnya. Misalnya untuk 1 hektar kebun dilaksanakan oleh 10 orang dalam 1 hari. Besoknya bergantian mengerjakan lahan kebun petani lainnya. Bentuk kerjasama ini, disatu sisi menjadi suatu bentuk kerukunan antara petani, dan disisi lain dapat mengurangi beban pembiayaan usaha tani untuk pos tenaga kerja. Disamping itu, dengan pendekatan ini terdapat manfaat lain, yaitu petani bisa saling belajar bagaimana cara pengelolaan usaha tani kakao yang baik. Karena mereka berpindah dari satu kebun ke kebun petani lainnya, dan mereka dapat belajar dari petani yang telah melaksanakan praktek budidaya pertanian yang baik (Good Agricultural Practices). 4.5. Teknologi Penerapan teknologi dalam budidaya kakao terkait dengan kegiatan pemupukan dan pencegahan hama dan penyakit. Untuk hal ini petani sangat membutuhkan bimbingan dari penyuluh pertanian, baik dari penyuluh perkebunan maupun penyuluh swasta, yaitu dari perusahaan pemasok input produksi. Para penyuluh mengajarkan jadwal dan dosis serta intensitas pemupukan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman agar dapat menghasilkan lebih banyak buah kakao. 26
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
Disamping itu, sesuai dengan pelaksanaan program Gernas Kakao yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan mutu kakao milik petani dilaksanakan beberapa bentuk pelatihan dan demonstrasi. Pelatihan ini mengenai upaya untuk mengganti bibit tanaman dengan bibit yang berkualitas, melakukan pemangkasan dahan secara tepat, melakukan sambung samping dan sebagainya. Berdasarkan hasil kajian Faperta Unhalu (2011) dijumpai bahwa aspek teknis produksi merupakan permasalahan besar bagi petani kakao dalam pengembangan kakao. Aspek ini terutama berkaitan dengan serangan hama dan penyakit kakao dan usia tanaman kakao yang sudah tua. Terdapat sebanyak 96% petani yang menjadikan serangan hama dan penyakit merupakan masalah dan hambatan dalam proses produksi kakao. Hama dan penyakit yang timbul pada tanaman kakao saat ini, meliputi penyakit busuk buah dan hama Penggerek Buah Kakao (PBK). Hama dan penyakit tersebut dapat menurunkan produksi dan mutu kakao pada setiap tahun. Selain masalah hama dan penyakit, umur tanaman kakao juga menjadi hambatan karena sudah tidak produktif lagi. Terdapat 84% menyatakan bahwa umur tanaman kakao yang sudah tua merupakan hambatan dalam upaya peningkatan produksi kakao tersebut. Hal ini tentunya mendukung program Gernas yaitu peremajaan tanaman, rehabilitasi dan intensifikasi. Sehingga tanaman yang sudah tua tersebut, dapat dimusnahkan dan diganti dengan tanaman kakao yang baru. 4.6. Proses Produksi Bibit kakao dapat ditanam apabila kondisi lapangan telah siap, pohon penaung telah berfungsi dengan baik, dengan kriteria intensitas cahaya yang diteruskan penaung sekitar 30-50% cahaya matahari langsung. Penanaman dilakukan pada lubang tanam yang telah disiapkan dan dilaksanakan dengan hati-hati, dijaga agar akar tidak mengalami gangguan yang berat. Bibit yang mati atau kerdil, segera disulam yang dapat dilakukan sampai umur 1 tahun. Piringan bibit kakao muda perlu dibersihkan dari gulma yang antara lain dapat dilakukan dengan pemberian mulsa. Tanaman kakao berbunga berdasarkan perubahan iklim. Kakao hibrida mulai berbunga sekitar 30 bulan setelah ditanam, sedangkan kakao klonal hanya 15-24 bulan. Produksi puncak tercapai pada saat pohon berumur 4-5 tahun dan dapat bertahan selama 20 tahun atau lebih jika pengelolaannya baik. Pada akhir musim hujan (Maret) tanaman memproduksi tunas daun baru (flush) dan segera sesudahnya (April-Juli) terbentuklah bunga. Bunga yang sudah terserbuki akan berkembang menjadi buah dewasa setelah 5-6 27
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
bulan. Panen utama berlangsung selama bulan Oktober-Januari, 60% panen dalam setahun dihasilkan pada periode ini. Pertumbuhan flush kedua (daun diikuti oleh bunga) terjadi pada saat awal musim hujan (November) dan hasil periode pertengahan dipanen antara April-Juli. Pengelolaan HPT baik berupa pemangkasan dahan kakao, kegiatan sanitasi, pengelolaan gulma, pemupukan dan pengelolaan tanaman penaung, sebaiknya dilakukan 3 bulan sebelum masa pembungaan, baik pembungaan utama maupun pertengahan musim. Kegiatan ini dilakukan untuk lebih memacu pembungaan dan perkembangan buah daripada pertumbuhan vegetatif. Selain itu, buah yang sakit sebaiknya disingkirkan setiap melakukan panen mingguan.
Gambar 4.1. Tanaman Kakao yang Sudah Mengalami Pemangkasan, Sehingga Buah Menjadi Lebat dan Dekat dengan Tanah
Ketahanan kakao sangat ditentukan oleh pemangkasan. Pemangkasan akan menghasilkan pohon dengan tajuk terbuka hingga memungkinkan matahari masuk. Tujuannya untuk membentuk tanaman dan tajuk kakao yang memacu perkembangan cabang sekunder dan menghasilkan banyak buah. Disamping itu, pemangkasan juga bertujuan untuk membatasi ketinggian tanaman, serta membersihkan permukaan tanah. Pemangkasan juga diperlukan terhadap pohon penaung. Jumlah penaung yang terlalu sedikit mengakibatkan kakao menjadi tidak sehat dan muncul masalah gulma. Tapi penaung yang terlalu banyak akan meningkatkan masalah hama dan penyakit. Keduanya menyebabkan produksi kakao rendah. Jenis tanaman penaung beraneka macam, namun yang biasa ditemui adalah kelapa atau glirisidia (Gliricidia sepium). 28
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
Pemakaian pupuk perlu dipertimbangkan dan disesuaikan dengan kondisi. Pupuk urea memungkinkan perkembangan akar dan ketahanan, serta memacu pertumbuhan vegetatif baru dan produksi bunga. Sedangkan pupuk kimia dan pupuk kandang menyediakan unsur hara ekstra untuk membentuk ketahanan dan memperbaiki kesehatan tanaman, sehingga mampu meningkatkan produksi. Pemakaian pupuk kimia sebaiknya pada akhir periode panen untuk memacu pembungaan. Saat ini pupuk kimia yang sering digunakan adalah urea dan NPK (nitrogen, fosfor, kalium). NPK membantu tanaman dewasa untuk memasok nutrisi pada buah muda dan menunjang perkembangan buah sampai masak. Disamping pupuk kimia, bisa digunakan pupuk kandang yang dikomposkan selama 3 bulan agar bisa memperbaiki tanah dan bermanfaat dalam produksi kakao organik. Sanitasi blok yang memerlukan perawatan karena penyakit dan hama kakao tersebar akibat buruknya pengelolaan blok. Serangga memainkan peranan penting dalam siklus penyakit busuk buah (Phytophtora). Sanitasi akan memacu kebersihan pokok dan memperbaiki kesehatan tanaman. Bagian paling penting dalam sanitasi adalah memanen semua buah satu minggu sekali selama musim hujan, dan dua minggu sekali selama musim kemarau. Sanitasi blok terdiri atas kebersihan pohon dan permukaan tanah. Kebersihan pohon meliputi pembersihan buah yang busuk/hitam (dibuang dari blok kakao untuk mengurangi penyebaran inokulum dan terjadinya penyakit), bagian tanaman yang sakit/rusak (dipangkas mulai dari chupon/tunas vertikal, tunas baru, daun, dan cabang yang terinfeksi penyakit pembuluh kayu atau vascular streak dieback (VSD) dan kanker (berupa bercak infeksi yang timbul.1
Gambar 4.2. Pembuatan Rorak Untuk Menimbun Buah yang Sakit Sekaligus Untuk Memperbaiki Perakaran Tanaman Kokoa
1
Media Perkebunan:http://www.mediaperkebunan.net/index.php?option=com_content&view =article&id=80%3Aagar-kakao-berbuah-lebat-&catid=8%3Aproduct&Itemid=5
29
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
4.7. Jumlah, Jenis, dan Mutu Produk Sejauh yang diamati di lapangan, di tingkat petani saat ini hanya dikenal dua jenis mutu produk kakao yang dihasilkan, yaitu produk asalan dan produk fermentasi. Masing-masing jenis produk ini ada pasarnya, sehingga petani memiliki pilihan, apakah akan menjual biji kakaonya sesegera mungkin, yaitu dalam bentuk asalan, atau dalam bentuk yang sudah difermentasi. 4.8. Produksi Optimum Dalam rangka meningkatkan produksi kakao nasional, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian melaksanakan program yang disebut Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao). Gernas Kakao adalah upaya percepatan peningkatan produktivitas dan mutu hasil kakao nasional melalui pemberdayaan secara optimal seluruh pemangku kepentingan serta sumber daya yang tersedia. Gerakan ini dilaksanakan mulai tahun 2009, yaitu pada 9 provinsi (Sulsel, Sultra, Sulbar, Sulteng, Bali, NTT, Maluku, Papua dan Papua Barat) dengan 40 kabupaten. Pada tahun 2010 menjadi 13 provinsi (ditambah Kalbar, Kaltim, Gorontalo dan Maluku Utara) dengan 56 kabupaten. Selanjutnya pada tahun 2011 dilaksanakan pada 25 provinsi dan 98 kabupaten, dan akhirnya pada tahun 2012 dilaksanakan pada 14 provinsi dan 50 kabupaten. Pada tahun 2013 ini Gernas masih dilanjutkan karena target program kegiatan rehabilitasi masih belum tercapai. Pada tahun 2013 khusus kegiatan rehabilitasi ada di 5 provinsi dan 29 kabupaten. Pertanaman kakao di wilayah tersebut pada umumnya kondisi tanamannya sudah tua/rusak dan kurang terawat, terserang hama dan penyakit dengan tingkat serangan sedang sampai berat, sehingga memerlukan upaya perbaikan secara menyeluruh agar produktivitas dan mutu dapat ditingkatkan. Sasaran Gernas Kakao meliputi perbaikan tanaman kakao rakyat seluas 450.000 ha melalui peremajaan, rehabilitasi, intensifikasi, pemberdayaan petani, pengendalian hama dan penyakit, perbaikan mutu kakao, serta penyediaan sarana pendukung lainnya. Dasar pelaksanaan Gernas Kakao yaitu Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 1643/Kpts/OT.160/12/2008 tanggal 2 Desember 2008 tentang Penyelenggaraan dan Pembentukan Tim Koordinasi Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao. 4.9. Kendala Produksi Sentra produksi kakao di Indonesia tersebar di Sulawesi (67,43%), Sumatera (20,75%), Jawa (3,87%), Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali 30
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
(1,97%), Kalimantan (1,47%), Maluku dan Papua (4,52%). Berdasarkan identifikasi lapangan dan data tahun 2008, diketahui kurang lebih 70.000 ha kebun kakao dengan kondisi tanaman tua, rusak, tidak produktif, dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan berat sehingga perlu dilakukan peremajaan. Selanjutnya sekitar 235.000 ha kebun kakao dengan tanaman yang kurang produktif dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan sedang sehingga perlu dilakukan rehabilitasi, dan 145.000 ha kebun kakao dengan tanaman tidak terawat serta kurang pemeliharaan sehingga perlu dilakukan intensifikasi. Serangan hama penyakit utama adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD), mengakibatkan menurunnya produktivitas menjadi 660 kg/ha/tahun atau sebesar 37% dari produktivitas yang pernah dicapai (1.100 kg/ha/thn). Hal ini mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 184.500 ton/thn atau setara dengan Rp3,69 triliun per tahun. Selain menurunkan produktivitas, serangan tersebut menyebabkan mutu kakao rakyat rendah, sehingga ekspor biji kakao ke Amerika Serikat mengalami pemotongan harga sebesar US$301,5/ton. Rendahnya mutu kakao menyebabkan citra kakao Indonesia menjadi kurang baik di pasar internasional. Upaya pengembangan kakao dihadapkan berbagai kendala antara lain (1) produktivitas tanaman di bawah potensi normal; (2) adanya berbagai serangan hama penyakit yang sulit dikendalikan oleh petani secara individual; (3) mutu biji yang rendah; (4) industri hilir dalam negeri belum berkembang sehingga masih dalam bentuk produk primer; (5) sulitnya petani mendapatkan pendanaan khusus untuk pengembangan kakao. Selama ini telah dilakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut seperti pemberdayaan petani melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) dan Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE), serta penerapan teknologi pengendalian dengan metoda PSPsP (pemangkasan, sanitasi, panen sering dan pemupukan) untuk pengendalian PBK dan VSD serta penyediaan benih unggul. Mengingat pelaksanaannya masih parsial dalam skala kecil, maka hasilnya belum optimal. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilakukan secara serentak, terpadu dan menyeluruh melalui suatu gerakan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan maupun sumber daya yang ada. n
31
BAB V ASPEK KEUANGAN
32
BAB V – ASPEK Keuangan
5.1. Pemilihan Pola Usaha Pembiayaan Syariah (Skema Murabahah) Skema pembiayaan syariah yang memungkinkan untuk digunakan dalam budidaya pertanian termasuk tanaman kakao adalah produk jual beli syariah. Produk jual beli di sektor pertanian dan perkebunan ini pada umumnya menggunakan beberapa akad utama, yaitu murabahah, salam, dan istisna. Namun demikian akad murabahah lebih sering digunakan oleh lembaga keuangan syariah dalam memberikan pelayanan keuangan kepada nasabahnya karena sederhana dan praktis. Murabahah berasal dari kata rabiha-yarbahu, yang bermakna mengambil keuntungan dengan cara menjual lebih tinggi dari harga beli. Murabahah secara teknis perbankan adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Murabahah merupakan kontrak penjualan dengan basis penangguhan pembayaran (deffered payment) dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark-up profit. Harga mark-up ini bukan dihubungkan dengan penundaan pembayaran, karena jika pihak yang didanai mengalami default pada saat jatuh tempo maka jumlah yang harus dibayar tetap sama. Mark-up sebagai tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik dana berkaitan dengan jasanya dalam memperoleh barang dan risiko yang dihadapi dalam upaya perolehan tersebut. Pengertian harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qimah) benda yang menjadi objek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah. Sedangkan yang dimaksud harga dalam jual beli dan biaya yang diperlukan ditambah dengan keuntungan sesuai dengan hasil kesepakatan. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah telah ditentukan berapa required profit-nya (keuntungan yang ingin diperolehnya). Karateristik murabahah adalah si penjual harus memberitahu pembeli tentang harga barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambah pada biaya tersebut. Dalam akad ini LKS bertindak sebagai penjual dan petani/nasabah bertindak sebagai pembeli. Landasan Syariah Murabahah: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al Baqarah/2:275). “Tiga perkara didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara kredit, muqaradah (nama lain mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual" (HR. Ibnu Majah) Petunjuk Praktis Skema bai' al-Murabahah 1. LKS menjual pupuk, obat-obatan, bibit kakao, alat-alat pertanian dan 33
BAB V – ASPEK Keuangan
2. 3.
lain-lain kepada petani. Pembayaran dapat dilakukan dengan cara diangsur atau sekali bayar dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. LKS memperoleh untung dari margin harga jual barang.
Gambar 5.1: Skema Jual Beli Murabahah
Akad jual beli pola syariah dengan menggunakan murabahah (selain salam dan istisna) memiliki prospek yang besar untuk bisa dikembangkan di masyarakat petani kakao di Sulawesi Tenggara. Namun demikian dari hasil wawancara dengan lembaga keuangan baik syariah maupun konvensional serta melakukan pengamatan langsung, pola pembiayaan syariah dengan produk jual beli (murabahah, salam, dan istisna), produk profit-sharing system (mudharabah, musyarakah), produk sewa (ijarah), qardul hasan (kredit tanpa bunga), serta berbagai produk syariah lainnya belum digunakan oleh para petani kakao. Hasil wawancara dengan lembaga keuangan yang ada di Sulawesi Tenggara juga memperkuat bahwa pola pembiayaan/akad kerjasama secara syariah memang belum digunakan oleh lembaga keuangan di wilayah ini termasuk untuk pembiayaan petani tanaman kakao (Table 5.1).
34
Sumber: Wawancara dengan responden lembaga perbankan, 2013
Tabel 5.1. Skim Pembiayaan Lembaga Keuangan di Provinsi Sulawesi Tenggara
BAB V – ASPEK Keuangan
35
BAB V – ASPEK Keuangan
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebenarnya terdapat lembaga keuangan yang telah menyediakan pembiayaan pada usaha budidaya kakao (Bank BII), namun demikian menurut lembaga keuangan tersebut bahwa sampai saat ini belum ada debitur yang menjalankan usaha untuk budidaya kakao. BNI Syariah yang memberikan jasa keuangan dengan akad syariah sampai dilakukannya studi ini belum menerima pengajuan dari nasabah potensial untuk pembiayaan kakao. Dari jumlah lembaga keuangan yang disurvey, terdapat empat lembaga (bank BNI konvensional, Bank BRI konvensional, Bank Danamon, dan BPR Mustika Utama) yang sejauh ini telah memberikan pembiayaan kepada petani usaha budidaya kakao namun dengan pola konvensional. Bank Danamon telah mengucurkan pinjaman sebanyak 200 nasabah petani kakao, sedangkan BPR Mustika Utama telah memberikan kredit kepada 20 orang nasabah petani budidaya kakao. BRI Syariah menyampaikan bahwa sebenarnya lembaga keuangannya telah mengalokasikan salah satu skim pembiayaannya kepada budidaya kakao, namun sampai dilakukannya survey ini belum ada calon nasabah yang mengajukan pembiayaan di sektor ini. Bank Syariah Mandiri (BSM) juga telah mengalokasikan skim pembiayaan untuk petani kakao, namun menurut mereka bahwa petani budidaya kakao belum memenuhi persyaratan yang ada dalam mengajukan pembiayaan usaha ini (unbankable). Bank BTN dan Bank Muamalat sampai saat ini belum mengucurkan pembiayaan kepada petani kakao, hanya sebatas pembiayaan/pinjaman kepada sektor perdagangan yang termasuk didalamnya adalah komoditas kakao. Sedangkan PT Bank Pundi Indonesia Tbk belum memperoleh ijin dari kantor pusatnya untuk mengalokasikan skim kreditnya pada usaha budidaya kakao. 5.2. Asumsi dan Parameter Dalam analisis keuangan budidaya tanaman kakao bisa dilihat dari cash flow keuangan yang masuk, operational cost serta benefit yang dihasilkan. Analisis keuangan merupakan penggunaan laporan keuangan untuk menganalisis posisi dan kinerja keuangan budidaya kakao dan untuk menilai kinerja keuangan di masa depan. Analisis keuangan dalam budidaya kakao di Sulawesi Tenggara ini terdiri dari 3 bagian besar sebagaimana yang terlihat pada Gambar 5.2.
36
BAB V – ASPEK Keuangan
Gambar 5.2. Proses Analisis Keuangan Usaha Budidaya Kakao
Analisis keuangan budidaya kakao dilakukan berdasarkan beberapa asumsi dan parameter untuk menilai kelayakan usaha dari sisi keuangan. Asumsi dan parameter ini diperoleh berdasarkan kajian terhadap usaha budidaya kakao di Kabupaten Konawe dan Kabupaten Kolaka di Provinsi Sulawesi Tenggara, serta informasi yang diperoleh dari petani, dinas terkait, perbankan, dan pustaka. Tabel 5.2. Asumsi Dalam Analisis Keuangan Budidaya Kakao
period
angsuran pokok
tahun
37
BAB V – ASPEK Keuangan
5.3. Komponen dan Struktur Pembiayaan Investasi dan Pembiayaan Operasional Jenis pembiayaan yang disediakan/diberikan untuk jenis budidaya kakao bervariasi, terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional, atau keduaduanya. Dari lima institusi lembaga keuangan yang memberikan jawaban ketika dilaksanakan wawancara, tiga lembaga keuangan diantaranya memberikan pembiayaan (atau menyediakan) untuk investasi dan modal kerja, sementara dua institusi hanya memberikan pembiayaan untuk modal kerja (Tabel 5.3). Hasil wawancara saat survey menunjukkan bahwa sumber dana untuk penyaluran pembiayaan usaha budidaya kakao ini merupakan modal dari lembaga keuangan sendiri atau bekerja sama dengan lembaga keuangan lainnya. Tabel 5.3. Struktur Pembiayaan Investasi dan Modal Kerja Lembaga Keuangan
Sumber: Survey Lapang 2013
5.3.1. Pembiayaan Investasi Pembiayaan investasi yang dibutuhkan pada tahap awal usaha budidaya kakao adalah persiapan lahan perkebunan dan peralatan budidaya, seperti ditunjukkan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Biaya Investasi Budidaya Kakao per Hektar
38
BAB V – ASPEK Keuangan
5.3.2. Pembiayaan Operasional Untuk pembiayaan operasional atau modal kerja, berdasarkan wawancara dengan beberapa lembaga keuangan yang ada diperoleh informasi bahwa skim pembiayaan yang digunakan adalah kredit (BPR) dengan plafond Rp5 juta dan biaya yang disalurkan adalah Rp500 juta. Sementara itu lembaga perbankan menggunakan skim KUK dengan jumlah dana yang disalurkan sebesar Rp400 juta. Biaya operasional berdasarkan kajian lapang dan pustaka terdiri dari pembelian benih kakao, peralatan penunjang, saprotan dan upah tenaga kerja (Tabel 5.5).
Tabel 5.5. Biaya Operasional Budidaya Kakao per Hektar
39
BAB V – ASPEK Keuangan
5.4. Kebutuhan Pembiayaan Investasi dan Modal Kerja Data yang diperoleh dari wawancara mendalam (in-depth interview) mengilustrasikan permodalan budidaya kakao sebagaimana dijelaskan pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 menunjukkan bahwa kebutuhan dana awal pembiayaan petani kakao diperkirakan sebesar Rp22.867.500,- yang terdiri dari Rp20.181.000,berasal dari pembiayaan LKS dan Rp6.050.000,- merupakan modal sendiri. Total pembiayaan LKS yang diasumsikan terdiri dari total pembiayaan sebesar Rp16.817.500,- dan margin murabahah 20% sebesar Rp3.363.500,-.
Tabel 5.6. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja
40
BAB V – ASPEK Keuangan
5.5. Produksi dan Pendapatan Salah satu penyebab rendahnya produktivitas usaha tani kakao adalah kurangnya penggunaan bibit unggul yang berkualitas. Penggunaan bibit yang berkualitas untuk budidaya kakao memerlukan sosialisasi yang sesuai kepada masyarakat, oleh karena keuntungan akan diperoleh petani manakala menggunakan bibit unggul yang berdaya hasil tinggi serta memiliki sifat tahan terhadap serangan hama dan penyakit tertentu. Pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih menggunakan bibit lokal sehingga berpengaruh terhadap hasil produksi. Dengan menerapkan pola tanam yang baik maka tanaman kakao sudah dapat menghasilkan pada tahun ke-3 meskipun produksinya masih kecil dan baru meningkat mendekati produksi optimal mulai tahun ke-4. Berdasarkan kajian lapang dan studi pustaka, proyeksi produksi kakao berdasarkan umur tanaman dan jenis lahan yang digunakan ditampilkan pada Tabel 5.7. Sementara itu proyeksi pendapatan selama umur tanaman kakao ditampilkan pada Tabel 5.8. Tabel 5.7. Produksi Tanaman Berdasarkan Umur Tanaman dan Tingkat Kesesuaian Lahan (kg/ha)
Keterangan : Tingkat Keseusiaan Lahan : klas S1 (sesuai); S2 (cukup sesuai); S3 (kurang sesuai atau marginal)
41
42
Keterangan : Perhitungan dari beberapa sumber. Panen mulai stabil pada tahun ke-4 Pada tahun ke 19 s/d tahun ke 24 produksi semakin menurun
Tabel 5.8. Proyeksi Produksi dan Pendapatan
BAB V – ASPEK Keuangan
BAB V – ASPEK Keuangan
5.6. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point Proyeksi laba rugi usaha budidaya kakao dilakukan selama 15 tahun usaha, dimana tahun ke-1 hingga ke-3 belum memberikan hasil positif atau keuntungan meskipun tanaman sudah mulai menghasilkan pada tahun ke-3. Dengan penerapan grace period selama 3 tahun, maka cicilan murabahah pertama kali dilakukan pada bulan pertama tahun ke-4 atau bulan ke 37 sejak awal kegiatan budidaya tanaman kakao, dan lunas pada tahun ke-5 bulan ke-8 atau menjalani angsuran selama 20 bulan. Perhitungan break even point atau BEP terjadi pada hasil penjualan sebesar Rp12.477.192,- di tahun ke-4, kemudian turun pada tahun ke-5 dan semakin menurun pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini terjadi seiring dengan semakin optimalnya produksi kakao.
Tabel 5.9. Proyeksi Rugi Laba Usaha (Rp)
Keterangan : Pada tahun ke 19 s/d tahun ke 24 produksi semakin menurun
43
BAB V – ASPEK Keuangan
5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Usaha Kebutuhan dana untuk membiayai pengelolaan usaha pertanian kakao pada dasarnya relatif besar. Kebutuhan dana tersebut dialokasikan untuk membiayai pengelolaan usaha tani mulai dari proses budidaya, pemeliharaan tanaman, panen dan paska panen. Meskipun petani telah mengeluarkan biaya yang relatif besar, namun kebutuhan akan modal kerja masih sangat dibutuhkan. Hal tersebut disebabkan oleh karena pengeluaran biaya usaha tani saat ini baru dapat memenuhi sebagian kecil kebutuhan modal kerja, khususnya untuk membiayai pembelian pupuk, pestisida, peralatan pertanian, biaya tenaga kerja dan biaya paska panen. Namun demikian, dari hasil budidaya kakao dari petani menunjukkan bahwa petani masih memperoleh keuntungan dari hasil usahanya itu. Secara umum arus kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua aliran, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk diperoleh dari penjualan kakao setiap tahun dan disajikan pada Lampiran 9. Selanjutnya berdasarkan cashf low tersebut ditentukan nilai indikator kelayakan finansial yang meliputi Internal Rate of Return (IRR), Benefit-Cost (B/C) Ratio, dilengkapi juga Payback Period. Analisis NPV (Net Present Value) seperti yang biasa dilakukan pada analisis finansial konvensional, tidak dilakukan pada murabahah, karena tidak ada bunga pinjaman. Margin murabahah (sebesar 20%) juga tidak berubah dengan lamanya angsuran. Demikian juga dalam menghitung B/C Ratio dan payback period, dengan menggunakan discount factor. Tabel 5.10 dan 5.11 menunjukkan bahwa dari hasil analisis, seluruh kriteria finansial memenuhi standar kelayakan.
44
Tabel 5.10. Proyeksi Arus Kas Usaha Budidaya Kakao dengan Pola Syariah (Rp)
BAB V – ASPEK Keuangan
45
46
6. 7.
4.
Tabel 5.11. Kriteria Kelayakan Usaha Budidaya Kakao dengan Pola Syariah
BAB V – ASPEK Keuangan
BAB V – ASPEK Keuangan
5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha jika ada perubahan harga sarana produksi pertanian dan harga kakao. Dalam kasus ini analisis sensitivitas dilakukan jika terdapat peningkatan biaya operasional (input variabel dan input tetap) sebesar 34%, serta adanya penurunan penerimaan sebesar 19%. Selain itu diperhitungkan pula analisis sensitivitas kombinasi peningkatan biaya operasional sebesar 12% dan penurunan penerimaan 12%. Hasil analisis sensitivitas secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 10 hingga Lampiran 12, dan secara ringkas ditampilkan pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12. Sensitivitas Kelayakan Usaha Budidaya Kakao – Pola Syariah
Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa peningkatan biaya operasional sebesar 19%, penurunan pendapatan sebesar 19% atau kombinasi penurunan penerimaan dengan peningkatan biaya operasional masing-masing 12%, maka hasil analisis menunjukkan usaha budidaya kakao masih dinilai layak untuk diusahakan karena memenuhi kriteria pelunasan murabahah kurang dari 15 tahun, IRR (lebih besar dari suku bunga pasar sebesar 13%), Net B/C lebih besar dari 1 dan payback period (pelunasan murabahah) kurang dari 15 tahun. Pelunasan murabahah berupa angsuran untuk pembayaran pembiayaan yang digunakan dalam proses budidaya kakao selama 3 tahun pertama sejak penanaman benih kakao dengan ditambah margin murabahah sebesar 20%. 5.9. Hambatan dan Kendala Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas subsektor perkebunan yang memiliki peran dan kontribusi yang strategis terhadap perekonomian Sulawesi Tenggara dengan jumlah produksi pada tahun 2009 sebesar 131.831 ton dan berkontribusi terbesar berkisar 30–35% terhadap pembentukan PDRB sektor pertanian dan menyerap tenaga kerja mencapai 149.754 orang petani 47
BAB V – ASPEK Keuangan
atau 15,75% dari total tenaga kerja di Sulawesi Tenggara. Dengan demikian pengembangan sektor pertanian menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka pembangunan daerah. Namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, produktivitas tanaman kakao di Sulawesi Tenggara mengalami penurunan yang sebagian besar disebabkan oleh hama penggerek batang dan penggerek buah, usia tanaman yang sudah tua, serta bentuk pengelolaan usaha tani yang masih tradisional, sehingga produktivitas tanaman kakao di Sulawesi Tenggara relatif rendah dengan kisaran 500-700 kg/ha/tahun. Jika kondisi dan kecenderungan seperti ini tidak ditangani, maka produksi kakao Sulawesi Tenggara akan terus mengalami penurunan dan hal ini akan menyebabkan pendapatan para petani kakao semakin menurun. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut adalah menggulirkan Program Revitalisasi Kakao. Program Revitalisasi Kakao ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/ OT.140/7/2006 tanggal 26 Juli 2006. Program Revitalisasi Kakao merupakan upaya pemerintah bekerja sama dengan perbankan untuk percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah. Untuk Sulawesi Tenggara, lokasinya difokuskan pada empat daerah yang merupakan sentra produksi kakao di Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe, dan Kabupaten Konawe Selatan. Target program revitalisasi mencakup tiga indikator yakni jumlah petani yang mengambil kredit, luas areal kebun kakao yang direvitalisasi dan jumlah dana kredit. Namun demikian realisasi kredit revitalisasi kakao di Sulawesi Tenggara relatif rendah dari target yang direncanakan. Selain itu, pemerintah pusat telah menggulirkan Program Gerakan Nasional (Gernas) kakao pada tahun 2008, dimana Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah lokasi sasaran Gernas kakao yang mulai dilaksanakan pada tahun 2009 hingga tahun 2011. Tujuan Gernas kakao dalam rangka percepatan peningkatan jumlah dan mutu produksi. Pada tahap awal pelaksanaan Gernas meliputi 5 kabupaten yaitu: Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Muna. Pelaksanaan Gernas kakao di Sulawesi Tenggara dalam rangka perbaikan kondisi tanaman seluas 99.000 ha, yang terdiri dari peremajaan seluas 12.000 ha, rehabilitasi tanaman kakao 50.000 ha dan intensifikasi seluas 37.000 ha. Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kendala/hambatan yang dihadapi petani kakao di Sulawesi Tenggara yaitu menurunnya produktivitas tanaman yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit, tanaman yang sudah berumur tua dan pemeliharaan tanaman yang belum sesuai dengan standar teknis budidaya. 48
BAB V – ASPEK Keuangan
Tabel 5.13. Kendala yang Dihadapi Petani Kakao
Sumber : Laporan survey profil Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) Sejahtera Prov Sulawesi Tenggara (2011).
Berdasarkan wawancara mendalam dengan beberapa responden, hambatan yang selama ini sering dialami dalam budidaya kakao terutama bagi lembaga keuangan adalah bahwa Gerakan Nasional (Gernas) selama ini dianggap dana hibah dari pemerintah, sehingga masyarakat kurang serius dalam proses budidaya kakao. Salah satu contoh yang yang bisa dijumpai di lapang adalah, bahwa pohon kakao banyak yang tidak terawat dan tumbuh liar tanpa adanya treatment untuk melakukan pruning, pemangkasan yang bisa memacu munculnya tunas baru dan lain sebagainya. Hal ini menjadi salah satu penyebab menurunnya minat lembaga keuangan untuk bisa memberikan pembiayaan ke budidaya kakao. Untuk meminimalkan masalah yang ada, lembaga keuangan menjalin kerja sama dengan petugas PPL dalam hal pemberian pembekalan dan training terkait budidaya kakao yang baik walaupun tanaman kakao itu awalnya merupakan kegiatan gerakan nasional. Secara umum hambatan yang ada dalam usaha budidaya kakao sebagaimana yang disampaikan dalam penelitian sebelumnya juga adalah: 1.
Menurunnya produktivitas tanaman yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit menyebabkan rendahnya nilai penjualan petani;
2. Terbatasnya akses dan permodalan usaha tani dalam pemenuhan biaya pemeliharaan, biaya pemberantasan hama dan penyakit pada 49
BAB V – ASPEK Keuangan
tanaman menyebabkan petani kesulitan dalam meningkatkan produktivitas tanaman.
3. Rendahnya jumlah dan mutu produksi kakao yang dihasilkan menyebabkan harga penjualan petani berfluktuasi, rendah dan sangat ditentukan oleh pembeli; 4.
50
Minimnya ketersediaan sarana penunjang produksi dan paska panen menyebabkan petani kesulitan menghasilkan biji kakao yang mutunya baik (fermentasi) sesuai dengan standar SNI. n
BAB V – ASPEK Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
51
BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN
52
BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN
6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial Sekitar 67% produksi kakao nasional dihasilkan petani kakao di Pulau Sulawesi. Wilayah Sulawesi Selatan merupakan peringkat terbesar di daratan Sulawesi, kemudian Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan beberapa daerah lainnya. Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) sebagai salah satu penghasil kakao di tanah air hingga saat ini menyumbang sekitar 16,5% kakao dari luas areal perkebunan milik petani di daerah ini yang mencapai 249.683 hektar (Ditjen Perkebunan 2013). Provinsi Sulawesi Tenggara dalam berbagai referensi disebut sebagai daerah agraris dimana sektor pertanian menjadi salah satu leading sector. Pada tahun 2009, share sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB sebesar 35,02%. Selanjutnya, dari sisi ketenagakerjaan sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama dari sekitar 53% total tenaga kerja tahun 2009 (BPS Sultra,2009). Dampak ekonomi dan sosial dari kegiatan produksi, antara lain penyerapan tenaga kerja, hal ini ditunjukkan oleh kebutuhan petani kakao akan tenaga kerja untuk melakukan pemupukan, penyemprotan serta pemanenan. Tenaga yang dibutuhkan berkisar antara 5-10 orang sesuai kebutuhan yang ada dari petani kakao. Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera (LEMS) merupakan lembaga swadaya masyarakat yang sangat membantu terutama dalam pemberian pendampingan dan penyediaan pupuk bagi para petani kakao. Berdasarkan laporan survey profil Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera (LEMS), Sejahtera di Provinsi Sulawesi Tenggara, kerjasama dengan kantor perwakilan BI dengan Dinas Perkebunan dan Hortikultura (2011) bahwa pada umumnya lahan kakao yang terdapat di dalam desa sebagian besar pengelolaannya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga (82,71%) dan bukan keluarga sebesar 17,29%. Penggunaan tenaga kerja bukan keluarga berdasarkan sebaran LEMS, terbanyak pada LEMS Iwoi Menggura (26,19%) dan terkecil terlihat pada LEMS Tinete (6,84%).
Tabel 6.1. Penggunaan Tenaga Kerja pada Lahan di Dalam Desa
Sumber: Laporan Survey Profil LEM Sejahtera Prov Sulawesi Tenggara (2011)
53
BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Tabel 6.2. Alasan Penggunaan Tenaga Kerja
Sumber: Laporan Survey Profil LEMS Prov Sulawesi Tenggara (2011)
Tabel 6.2 menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja dikarenakan luas lahan tanaman kakao (42,36%) yang tidak mungkin ditangani sendiri oleh petani. Sedangkan rata-rata besar upah tenaga kerja harian sebesar Rp21.387,dan upah borong sebesar Rp675.000,-. Penerapan sistem upah borongan baru dilaksanakan oleh sebagian kecil petani di LEMS Iwoi Menggura dan Penanggoosi. Penggunaan tenaga kerja dengan sistem bagi hasil pada lahan tanaman kakao pada umumnya belum diterapkan. Terkait peningkatan pendapatan, petani kakao bisa menyisihkan pendapatan sebagai tabungan dari hasil usaha budidaya kakao ini dan jumlah tabungan yang mereka miliki terus meningkat. Program pengentasan kemiskinan secara tidak langsung bisa dijalankan melalui program budidaya kakao ini, indikasinya adalah terpenuhinya kebutuhan para petani kakao dengan adanya kemampuan menambah jumlah nominal tabungan, kebutuhan budidaya kakao juga terpenuhi, dan bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Nilai tambah (added value) yang diperolah dari kegiatan budidaya kakao ini adalah diperolehnya program pembinaan terkait manajemen usaha, pemasaran, serta administrasi keuangan. Dalam hal ini menurut responden yang diwawancarai, bahwa kebijakan pemerintah dalam menjalankan usaha kakao cukup kondusif dan mendukung program budidaya. Selain itu, keinginan dan komitmen yang cukup besar telah ditunjukan oleh masyarakat/petani melalui terbentuknya sejumlah LEMS di kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara. Bentuk kelembagaan pada umumnya telah dilengkapi legalitas formal berbadan hukum akta notaris dengan unit usaha yang berkaitan langsung dengan usaha anggota, khususnya pada sektor pertanian, antara lain; usaha simpan pinjam, perdagangan pupuk dan hasil bumi. Sebaran LEMS pada lokasi survei sebagian besar terletak di Kabupaten Kolaka (3 LEMS). Banyaknya jumlah LEMS di Kabupaten Kolaka lebih disebabkan 54
BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN
oleh jumlah LEMS yang telah terbentuk pada saat pemilihan/penetapan lokasi program klaster pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Tenggara. 6.2. Dampak Lingkungan Berdasarkan pengamatan langsung di lapang, limbah yang dihasilkan dari budidaya kakao ini adalah limbah padat berupa kulit kakao. Secara umum petani belum memanfaatkan limbah ini untuk keperluan lainnya. Mereka menumpuk sampah tersebut di lingkungan rumah mereka, namun ada sebagian yang telah menggunakan sampah tersebut untuk pupuk organik yang diletakkan di sekitar tanaman kakao. Selama ini kegiatan sosial yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan belum ada, namun demikian para petani kakao beranggapan bahwa sejauh ini belum dijumpai masalah terkait menjaga kelestarian lingkungan. Di saat terjadi permasalahan terkait limbah yang ada, para petani kakao mencoba untuk memperbaiki sesuai kemampuan mereka. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa sudah ada petani yang telah menggunakan bahan alami untuk mengendalikan hama dan patogen penyebab penyakit (Tabel 6.3). Hal ini penting karena bahan alami yang digunakan oleh petani relatif lebih aman terhadap lingkungan, petani dan konsumen. Oleh karena itu, pemakaian pestisida nabati (alami) perlu ditingkatkan. Saat ini kesadaran manusia terhadap bahan pangan yang aman semakin meningkat. Beberapa pembeli kakao di luar negeri telah mensyaratkan sertifikat eco-labeling yang menjamin bahwa bahan pangan termasuk kakao diproduksi atau dihasilkan dengan cara-cara yang aman. Pestisida nabati adalah cara yang aman bagi lingkungan dan konsumen. n
Tabel 6.3. Masyarakat yang Menggunakan Bahan Alami Dalam Pengendalian Hama dan Penyakit pada Tanaman Kakao
Sumber: Kajian Sosial Ekonomi Gernas Kakao di Sulawesi Tenggara (2011)
55
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
56
Komoditi PAdi | Peningkatan BAB VII – Kesimpulan Akses Pemasaran dan saran
7.1. Kesimpulan 7.1.1. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan 1. Pola usaha tani monokultur memberikan produksi yang terbesar yaitu 713 kg/ ha dibandingkan dengan pola usaha tani tumpang sari (556 kg/ha) dan yang paling rendah produktivitasnya adalah pola campuran, yaitu hanya 493,3 kg/ ha. Namun demikian pola usaha tani monokultur ini memiliki tingkat risiko tertinggi jika terdapat serangan penyakit tanaman. Angka produktivitas ini jauh lebih rendah dari rata-rata produktivitas tingkat provinsi. 2. Jangka waktu pelunasan murabahah 15 tahun, dengan IRR 20,67%, net benefit/cost rasio 13,66 dan pay back period 7,13 tahun. Berdasarkan kriteria dan asumsi yang ada menunjukkan bahwa usaha budidaya kakao dengan pola syariah selama masa proyeksi layak untuk dilaksanakan. 3. Kenaikan biaya operasional 34%, atau penurunan penerimaan sebesar 19%, maupun kombinasi kenaikan biaya operasional dan penurunan pendapatan masing-masing sebesar 12% menunjukkan usaha budidaya kakao masih layak untuk dilaksanakan. 4. Pada umumnya pembiayaan perbankan untuk sektor pertanian, khususnya untuk perkebunan kakao masih sangat kecil. Apalagi jika dikaitkan dengan pola pembiayaan syariah. Perbankan besar sangat terbatas yang terjun ke perkebunan kakao. 7.1.2. Pemasaran 1. Perkembangan dan potensi produksi kakao mempunyai arti yang strategis dan penting karena pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap. Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dengan penerapan fermentasi pada pengolahan biji paska panen dan pengembangan produk hilir kakao berupa serbuk kakao. Diharapkan di masa mendatang Indonesia dapat meningkatkan produksi lebih baik lagi terutama untuk pengolahan produkproduk berbahan baku kakao. 2. Adanya peran Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera (LEMS) sebagai organisasi petani di tingkat perdesaan yang membantu petani kakao dalam memasarkan produk kakao secara kolektif. 3. Sejauh ini tidak dijumpai masalah yang kritikal dalam pemasaran hasil produksi kakao petani, khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini 57
BAB VII – Kesimpulan dan saran
dikarenakan daerah produksi di provinsi ini yang relatif terjangkau, dan adanya permintaan yang sangat besar untuk keperluan ekspor. 7.1.3. Aspek Teknis Produksi 1. Umumnya lokasi usaha penanaman kakao tidak jauh dari tempat kediaman petani. Petani menyatakan lahan yang diusahakan sesuai dengan kebutuhan penanaman kakao, baik dari tingkat kesuburannya maupun ketersediaan air yang dibutuhkan. Hal ini tidak lepas dari sejarah awal mereka mengusahakan lahan untuk tanaman kakao. Tidak sedikit dari para petani kakao yang ada merupakan kaum pendatang dari Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu suku Bugis. 2. Pola budidaya tanaman kakao di Sulawesi Tenggara ini menunjukkan bahwa sebagian besar pola tanam yang ada menggunakan sistem tumpang sari dengan tanaman nilam dengan masa panen relatif pendek. Pengembangan jenis tanaman nilam sebagai tanaman tumpang sari mulai marak dibudidayakan sejak beberapa tahun terakhir yang disebabkan oleh tingginya permintaan dan harga nilam. Sementara tanaman tahunan seperti kelapa, mente dan tanaman buah lainnya digunakan sebagai tanaman sela pada tanaman kakao hanya terdapat dalam persentase yang kecil. 3. Pada daerah produksi yang petaninya tergabung dalam organisasi Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera (LEMS), dijumpai bentuk kerjasama dalam kegiatan-kegiatan usaha tani tersebut. Pengerjaan perawatan tanaman dilakukan bersama-sama dengan petani lain secara bergilir dari lahan petani yang satu ke lahan petani lainnya. Misalnya untuk 1 hektar kebun dilaksanakan oleh 10 orang dalam 1 hari. Besoknya bergantian mengerjakan lahan kebun petani lainnya. 4. Penerapan teknologi dalam budidaya kakao terkait dengan kegiatan pemupukan dan pencegahan hama dan penyakit. Untuk hal ini petani sangat membutuhkan bimbingan dari penyuluh pertanian, baik dari penyuluh perkebunan maupun penyuluh swasta, yaitu dari perusahaan pemasok input produksi. 5. Pemakaian pupuk perlu dipertimbangkan dan disesuaikan dengan kondisi. Pupuk urea memungkinkan perkembangan akar dan ketahanan, serta memacu pertumbuhan vegetatif baru dan produksi bunga. Sedangkan pupuk kimia dan pupuk kandang menyediakan unsur hara ekstra untuk membentuk ketahanan dan memperbaiki kesehatan tanaman, sehingga mampu meningkatkan produksi. 58
BAB VII – Kesimpulan dan saran
6. Sejauh yang diamati di lapangan, bahwa di tingkat petani saat ini hanya dikenal dua jenis mutu produksi kakao yang dihasilkan, yaitu produk asalan dan produk fermentasi. Masing-masing jenis produk ini ada pasarnya, sehingga petani memiliki pilihan, apakah akan menjual biji kakaonya sesegera mungkin, yaitu dalam bentuk asalan, atau dalam bentuk yang sudah difermentasi. 7.1.4. Aspek Keuangan 1. Walaupun terdapat beberapa skema pembiayaan syariah yang memungkinkan untuk digunakan dalam budidaya pertanian termasuk tanaman kakao yaitu murabahah, salam, dan istisna. Namun akad pembiayaan tersebut sampai saat ini tidak dijumpai di lokasi penelitian. Sebagian besar perbankan masih menganggap bahwa budidaya kakao ini masih memiliki risiko yang tinggi. 2. Terdapat beberapa lembaga keuangan telah memberikan pembiayaan/ kredit pada petani untuk budidaya kakao, namun tidak menggunakan akad syariah, hanya sebatas pembiayaan/pinjaman kepada sektor perdagangan yang termasuk di dalamnya adalah kakao. 3. Sumber dana untuk penyaluran pembiayaan usaha budidaya kakao ini merupakan modal dari lembaga keuangan sendiri atau bekerja sama dengan lembaga keuangan lainnya. 4. Terdapat tiga lembaga keuangan baik syariah maupun non syariah memberikan/berencana memberikan pembiayaan investasi kepada petani kakao, yakni BNI konvensional, BRI konvensional, dan Bank Syariah Mandiri. Untuk pembiayaan investasi ini skema yang digunakan bisa KCPE (Bank BRI konvensional) dengan plafon kurang dari Rp 30 juta, dengan jumlah yang disalurkan adalah Rp 127.328.809. 5. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas usaha tani kakao adalah kurangnya penggunaan bibit unggul yang berkualitas. Penggunaan bibit yang berkualitas untuk budidaya kakao memerlukan sosialisasi yang sesuai kepada masyarakat dari pemerintah. Hal ini karena keuntungan menggunakan bibit unggul selain berdaya hasil tinggi juga memiliki sifat tahan terhadap serangan hama dan penyakit tertentu. 6. Dalam masa-masa tidak memberikan hasil panen ini, para petani kakao biasanya telah menyisihkan keuntungan yang diperoleh terutama pada saat panen untuk menutupi segala kebutuhan yang ada dalam budidaya kakao. 7. Kendala/hambatan yang dihadapi petani kakao di Sulawesi Tenggara 59
BAB VII – Kesimpulan dan saran
yaitu menurunnya produktivitas tanaman yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit, tanaman yang sudah berumur tua dan pemeliharaan tanaman yang belum sesuai dengan standar teknis budidaya. 7.1.5. Aspek Ekonomi dan Sosial 1. Dampak ekonomi dan sosial dari kegiatan budidaya kakao, antara lain penyerapan tenaga kerja (anggota keluarga dan petani lain) yang ditunjukkan oleh kebutuhan petani kakao akan tenaga kerja untuk melakukan pemupukan, penyemprotan serta pemanenan. Tenaga yang dibutuhkan berkisar anatar 5–10 orang sesuai kebutuhan yang ada dari petani kakao. 2. Limbah yang dihasilkan dari budidaya kakao ini adalah limbah padat berupa kulit kakao. Secara umum petani belum memanfaatkan limbah ini untuk keperluan lainnya. Mereka menumpuk sampah tersebut di lingkungan rumah mereka, namun ada sebagian yang telah menggunakan sampah tersebut untuk pupuk organik yang diletakkan di sekitar tanaman kakao. 3. Pada dasarnya budidaya kakao ini sangat strategis untuk dikembangkan. Pembiayaan dari lembaga keuangan termasuk pola pembiayaan syariah sangat memungkinkan untuk bisa memberikan pembiayaan. Studi kasus yang ada di Sulawesi Tenggara menggambarkan pola pembiayaan syariah yang bisa memberikan kontribusi dan hal ini sangat dimungkinkan untuk bisa diterapkan di daerah lain. 7.2. Saran, termasuk jika direplikasi di wilayah yang lain 1. Guna mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi progam peningkatan jumlah dan mutu kakao di Sulawesi Tenggara serta dalam rangka meningkatkan daya saing petani terhadap pengembangan pola kemitraan maka perlu dilaksanakan pembinaan dan pembentukan kelembagaan petani yang kuat, mandiri dan berkelanjutan. 2. Masih terbatasnya jangkauan petani kakao (dibawah LEMS) dalam pemenuhan kebutuhan sarana prasarana penunjang produksi dan paska panen, maka perlu dilaksanakan fasilitasi kemitraan dengan stakeholders penyedia sarana dan prasarana penunjang produksi dan paska panen. 3. Minimnya akses dan permodalan petani khususnya dalam pemenuhan biaya pemeliharaan tanaman dan paska panen, maka perlu dilaksanakan fasilitasi kemitraan dengan lembaga perbankan khususnya akses terhadap skema kredit/pembiayaan syariah program yang tersedia pada perbankan. 60
BAB VII – Kesimpulan dan saran
4. Mengingat kendala utama yang dihadapi petani kakao sebagian besar adalah serangan hama dan penyakit yang menyebabkan produktivitas dan kualitas biji kakao menurun, maka perlu dilaksanakan pelatihan peningkatan kapasitas dan ketrampilan petani pada aspek budidaya dan paska panen serta penyediaan bibit yang unggul yang berkualitas. 5. Pada dasarnya budidaya kakao ini sangat strategis untuk dikembangkan dengan pembiayaan dari lembaga keuangan,salah satunya pola pembiayaan syariah. Studi kasus yang ada di Sulawesi Tenggara menggambarkan pola pembiayaan syariah yang bisa memberikan kontribusi dan hal ini sangat dimungkinkan untuk bisa diterapkan di daerah lain. n
61
INFO UMKM
INFO INF UMKM PADA WEBSITE BANK INDONESIA FO UMKM M PADA WEBSITTE BANK INDONESIA http://jktbiwfe/id/umkm/Default.aspx htttp://jktbiwffe/id/umkm m/Default.asspx
INFFO UMKM M PADA WEBSITTE BANK INDONESIA htttp://jktbiwffe/id/umkm m/Default.asspx
pada website Bank Indonesia www.bi.go.id terdapat minisite Info UMKM yang o.idterdapa Padaweb bsite Ba ank informasi Ind donesia www.bi.go atminisite Inffo simulasi UM MKM yang menyediakan terkait pengembangan UMKM, termasuk pola menyedia akaninforma an www.bi.go UMKM, ,termasuksim mulasipolap (lending Padaweb bsite asiterkaitpe Ba ank engembanga Ind donesia o.idterdapa atminisite Inffo embiayaan UM MKMyang pembiayaan (lending model) usaha kecil menengah sebagaimana dicantumkan model)usa aha kecil meenengahseb bagaimanad dicantumkan ndalambuku uini. menyedia akaninforma engembanga an UMKM, ,termasuksim mulasipolap embiayaan (lending dalam buku ini. asiterkaitpe model)usa aha kecil meenengahseb bagaimanad dicantumkanndalambukuuini.
meenu informa asi yang terssediapadaInfo I UMKM M Beberapa menuBeeberapa informasi yang tersedia pada Info UMKM
Info Beeberapa meenu informa asi yang terssediapadaInfo I UMKM M UMKKM TenttangLayananIIni > KoordinasidanKe erjasama
Info UMK KM
> Konssultasi Usaha
Tent tangLayananI ∨ Kela ayakan Usaha a Ini > KooKomoditiUng rdinasidanKe erjasama ggulan > Kons sultasi Usaha PolaPembia ayaan ∨ Kela ayakan Usaha a SistemPenun njangKeputu sanUntukInve estasi
KomoditiUng ggulan
PolaPembia ayaan > Dattabase Profil UMKM > Kre edit UMKM SistemPenunnjangKeputu
sanUntukInve estasi > Kisa ahSuksesPemb biayaan > Pennelitian >> Dat ta tabase KomoditiProfil Dat
UMKM
k Web UMKM M > Link Kre edit UMKM
> Kisa ahSuksesPemb biayaan
62
> Pennelitian > Datta Komoditi
INFO UMKM
POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL MENENGAH POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL MENENGAH PenelitianlengkapPOLA
PEMBIAYAAN
(LENDING
MODEL)
USAHA
KECIL
Penelitian POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) oleh Bank Indonesia dapatdiunduhpada Info USAHA UMKM:KECIL MENENGAHlengkap MENENGAH oleh Bank Indonesia dapat diunduh pada Info UMKM: http://www. http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx OLA PEMBIAYAAN ( LENDING MODEL) USAHA KECIL MENENGAH bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx (Menu: P Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan) (Menu: Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan). PenelitianlengkapPOLA
PEMBIAYAAN
(LENDING
MODEL)
USAHA
KECIL
Bank Indonesia dapatdiunduhpada Info UMKM: MENENGAHoleh SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI) http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI) (Menu: Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan)
Beberapa pola pembiayaan pembiayaan (lending kecil menengah tersebut Beberapa pola (lending model)model) usaha usaha kecil menengah tersebut dapat dapat disimulasikan secaradan interaktif dinamis dengan aplikasi SPKUIpada Info SPKUI UMKM:pada disimulasikansecara interaktif dinamisdan denganaplikasi Info UMKM: http://www.bi.go.id/spkui http://www.bi.go.id/spkui SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI) (Menu: Kelayakan Usaha > Sistem Penunjang (Menu: Kelayakan Usaha > Sistem Penunjang Keputusan Keputusan Untuk Investasi)Untuk Investasi). Beberapa pola pembiayaan (lending model) usaha kecil menengah tersebut dapat disimulasikansecara interaktif dan dinamis denganaplikasiSPKUIpada Info UMKM: http://www.bi.go.id/spkui (Menu: Kelayakan Usaha > Sistem Penunjang Keputusan Untuk Investasi)
n Simulasi Simulasi SPKUI SPKUI dilakukan dengan mengakses menu yang tersedia secara bertahap, yaitusecara dilakukan dengansub mengakses sub menu yang tersedia
Home
bertahap, Komoditi yaitu Sumber Dana Asumsi dengan BiayaInv Simulasi SPKUI dilakukan mengaksesBiaya Ops sub menu yang tersedia secaraR/L bertahap,ArusKas yaitu
Home
Komoditi
Asumsi
BiayaInv
Biaya Ops
Sumber Dana
R/L
ArusKas
Kelayakan
Kelayakan
Setiap pengguna SPKUI dapat melakukan simulasi perhitungan analisis kelayakan n Setiap pengguna usaha/proyek dengan melakukan perubahan (editing) terhadap variabel/parameter yang melakukan simulasi perhitungan Setiap pengguna SPKUISPKUI dapat dapat melakukan simulasi perhitungan analisis kelayakan analisis terdapat pada Tabel Asumsi Usaha,perubahan Tabel Biaya Investasi Usahavariabel/parameter dan Tabel Biayayang Operasi usaha/proyek dengan melakukan (editing) terhadap kelayakan usaha/proyek dengan melakukan perubahan (editing) terhadap Usaha, untuk pada disesuaikan dengan dan kondisi daerah pengguna terdapat Tabel Asumsi Usaha,situasi Tabel Biaya Investasi Usaha dandimana Tabel Biaya Operasiakan variabel/parameter yang terdapat pada Tabel Asumsi Biaya melaksanakan usahanya. Usaha, untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah dimana Usaha, pengguna Tabel akan
Berdasarkan simulasi perhitungan akan diperoleh informasi utama dalam penentuan kelayakan Berdasarkan simulasi perhitungan akan diperoleh informasi akan utama dalam penentuan kelayakan situasi dan kondisi daerah pengguna melaksanakan usahanya. suatu usaha dalam SPKUI, yaitu: dimana dalam SPKUI, yaitu: - suatu Net usaha Present Value (NPV), n Berdasarkan simulasi perhitungan akan diperoleh informasi utama dalam - Net Rate Present - Interest of Value Return(NPV), (IRR), - Interest Rate of Return (IRR), usaha dalam SPKUI, yaitu: penentuan kelayakan suatu - Net B/C, dan - Net B/C, dan - Net Present Value (NPV), - Payback Period (PBP). - Payback Period (PBP).
melaksanakan usahanya. Investasi Usaha dan Tabel Biaya Operasi Usaha, untuk disesuaikan dengan
- Interest Rate of Return (IRR), - Net B/C, dan - Payback Period (PBP).
63
DAFTAR PUSTAKA
64
Daftar Pustaka
Pedoman Umum Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Tahun 2013. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Desember 2012. Pedoman Umum Pola Pembiayaan Syariah Untuk Usaha Sektor Pertanian. Kementerian Pertanian RI. 2012. Anonimous, 2007, Prospek dan Arah Pembangunan Agrisbisnis Kakao, Badan Pengembangan dan Penelitian Pertanian (Indonesian Agency for Agricultural Research and Development), Departemen Pertanian RI. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2006, Panduan Lengkap Budidaya Kakao (Kiat mengatasi permasalahan praktis), PT. Agromedia Pustaka. Sri Mulato dkk, 2005, Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember. Tjitrosoepomo, Gembong, 1988, Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Tumpal H.S. Siregar dkk, 2006, Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Coklat, Penebar Swadaya Jakarta. Hendro Dalfi, Studi Kelayakan Bisnis Perkebunan Kakao, 2012.
65
Lampiran
66
Lampiran
Lampiran 1. Asumsi Dalam Analisis Keuangan Budidaya Kakao
67
Lampiran 2. Komponen dan Struktur Biaya Investasi
Lampiran
68
Lampiran
Lampiran 3. Biaya Operasional
69
Lampiran
70
Lampiran
Lampiran 4. Produksi Tanaman Berdasarkan Umur Tanaman dan Tingkat Kesesuaian Lahan (kg/ha)
Keterangan Tingkat Keseusian Lahan: klas S1 (sesuai); S2 (cukup sesuai); S3 (kurang sesuai atau marginal)
Lampiran 5. Sumber Dana
71
Lampiran 6. Proyeksi Produksi dan Pendapatan
Lampiran
72
Lampiran
Lampiran 7. Angsuran Murabahah Petani ke LKS Margin murabahan: 20% Total yang diangsur oleh petani ke LKS: Rp 20.181.000
Keterangan: • Pada margin murabahan lunas di tahun 5 bulan ke 8 (56 bulan termasuk masa grace period 36 bulan) • mulai mengangsur pada bulan ke 1 tahun ke 4
73
74
F
F
Lampiran 8. Proyeksi Rugi Laba Usaha (Rp)
Lampiran
5.
Lampiran 9. Proyeksi Arus Kas Usaha
Lampiran
75
5.
Lampiran 9. Proyeksi Arus Kas (Lanjutan)
Lampiran
76
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 19%
Lampiran
77
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 19% (Lanjutan)
Lampiran
78
Lampiran 11. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 34%
Lampiran
79
Lampiran 11. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 34% (Lanjutan)
Lampiran
80
Lampiran 12. Analisis Kombinasi : Pendapatan Turun 12% dan Biaya Variabel Naik 12%
Lampiran
81
Lampiran 12. Analisis Kombinasi : Pendapatan Turun 12% dan Biaya Variabel Naik 12% (Lanjutan)
Lampiran
82
Lampiran
Halaman ini sengaja dikosongkan
83
Lampiran
Halaman ini sengaja dikosongkan
84
Lampiran
85
POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL MENENGAH SYARIAH USAHA BUDIDAYA KAKAO
DEPARTEMEN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN DAN UMKM Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat 10350 Telp. (021) 500 131 www.bi.go.id/umkm
86